Upload
prasetyadi
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
A. PENDAHULUAN
Utang piutang sering terjadi dalam kegiatan ekonomi masyarakat, baik
masyarakat biasa maupun masyarakat bisnis, baik orang perorangan maupun
badan hukum. Adanya utang piutang ini adalah bersumber dari perikatan antara
dua orang atau lebih untuk melunasi utangnya. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Konsep utang piutang dalam hal ini adalah debitor selaku orang yang
berutang wajib melakukan kewajibannya membayar utang kepada pihak kreditor
yaitu orang yang berpiutang atau orang yang memberi utang, karena jika sudah
ada perjanjian utang piutang maka timbullah hak dan kewajiban antara debitor
dan kreditor. Hak kreditor adalah mendapatkan pembayaran dari debitor,
sedangkan kewajiban debitor adalah membayar utang terhadap kreditor.
Hukum islam menganjurkan orang yang berutang untuk melunasi segal
utangnya.
Dari Samurah , Nabi bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua
yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-
Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’).Kepailitan dalam Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
adalah sita umum atas semua harta kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur oleh UU Kepailitan dan PKPU. Jika kita lihat bahwa dalam
undang-undang kita pembayaran utang dilakukan melalui jalan kepailitan yang
mana prosesnya melalui Pengadilan Niaga sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 7
mengatakan bahwa pengadilan adalah Pengadilan Niaga, pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator melalui pengawasan Hakim Pengawas.
Pengertian utang dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan Debitor. Kurator menurut UU Kepailitan dan PKPU adalah Balai Harta
Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. sedangkan Hakim Pengawas adalah
hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang. Jadi, pemberesan utang piutang dalam
kepailitan ini dibantu oleh pihak kurator yag diawasi oleh hakim pengawas.
A. Pengertian kepailitan dalam hukum syariah
Kepailitan dalam hukum islam ada dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 283, yaitu:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang berutang hendaknya melaksanakan
kewajibannya untuk membayar utang, sebagaimana telah diberikan amanah atau
kepercayaan atas pemberian utang, dalam hal ini amanah dari kreditor kepada debitor.
Kitab Subulussalaam dalam bab Taflis menjelaskan mengenai arti At-Taflis
(kepailitan) yang diambil dari kata al-fals jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis uang
yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari tembaga. Fulus biasanya
dikesankan sebagai harta seseorang yang paling buruk dan mata uang yang paling
kecil. Sedangkan orang yang mengalami pailit disebut Muflis atau Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU menyebutnya Debitor Pailit.
Pasal 1 ayat 4 mendefinisikan Debitor Pailit yaitu sebagai debitor yang sudah
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.
Kreditor separatis dalam hukum kepailitan memiliki hak yang didahulukan
pembayaran sesuai dengan Pasal 55-60 UU Kepailitan dan PKPU, kreditor separatis
ini kreditor yang memiliki jaminan kebendaan, seperti hipotik, gadai, fidusia, atau
hak tanggungan. Dan utang perlu ditulis kepastiannya, agar keadilan tidak salah,
dalam hal ini adalah masalah pembayaran utang debitor kepada kreditor.
Hukum Islam pun mengatur mengenai hal ini yaitu dalam QS. Al-aBaqarah ayat
283: Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu
´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
Dalam proses pembayaran utangg Debitor Pailit, UU Kepailitan dan PKPU
memberikan akibat hukum kepailitan, diantaranya:
1) Terhadap Kekayaan Debitor
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa
semua aset debitur, baik yang sudah ada pada saat ini dan dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk utang debitur. Pasal 21 Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailtian dan Penundaan Kewaiban Pembayaran Utang
menegaskan tentang akibat hukum Debitor yang dipailitkan,“Kepailitan
meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”Debitor
demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal diputuskannya pailit.
2) Terhadap Perikatan
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit,
tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit (Pasal 26 UU Kepailitan dan PKPU). Tuntutan
mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan
oleh atau Kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh
atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan
suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-undang
Kepailitan).
Dengan demikian, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala
penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan
debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan
sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan menyandera debitor. Pihak-pihak yang terkait dalam pengurusan harta
pailit dalam penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya
Kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah Hakim
Pengawas, kurator dan panitia kreditor.
3) Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur sebelum
pernyataan pailit.
Dalam Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa
untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah
dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh
kreditor kepada pengadilan.
Kurator sebagai pihak yang membantu Debitor Pailit untuk pengurusan
dan penyelesaian kepailitan bertujuan agar Kreditor atau orang yanga
berpiutang tidak melakukan hal siapa cepat siapa dapat, maksudnya adalah
bahwa siapa yang cepat menagih, dialah yang mendapatkan pembayaran.
Dalam hukum kepailitan Indonesia, pembayaran utang Debitor Pailit kepada
Kreditor nya harus menganut prinsip keadilan. Prinsip Structured Creditors,
pembagian kreditor sesuai dengan struktural kreditor. Kreditor preferen yang
oleh undang-undang didahulukan pembayarannya. Maka dari itu, kreditor
tidak boleh meminta hak atau pembayaran lebih karena Debitor Pailit ini telat
membayar utangnya.
Prof. Man mengatakan hal yang sama bahwa pemberesan kepailitan
dilakukan dengan pembagian sama rata, artinya pembagian yang seimbang
sesuai dengan besar kecilnya piutang sebagaimana diatur dalam Pasal 1332
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Setiap keuntungan yang didapatkan dari transaksi utang piutang, statusnya
riba. Keuntungan yang dimaksud mencakup semua bentuk keuntungan,
bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian
(orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau
memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah
menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki
beberapa penguat)
Dalam riwayat yang lain, dari Abdullah bin Sallam, bahwa beliau
mengatakan,
“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi
memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka
janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)
Hal ini diperkuat oleh QS. AL-Baqarah ayat 188, yaitu:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.
Pengertian taflis
Secara etimologi at-taflis berarti pailit(muflis) atau jatuh miskin. Dalam
hukum positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang terlilit oleh
hutang. Dalam bahasa fiqih, kata yang digunakan untuk pailit adalah iflas
(berarti : tidak memiliki harta/fulus).secara terminologi,at-taflis hutang
seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa
sedikitpun baginya karena digunakan untuk membayar hutang-hutangnya.
Sedangkan at-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama fiqih
“keputusan hakim yang melarang seorang bertindak hukum atas
hartanya”.1 Apabila seseorang dalam kehidupannya sebagai pedagang yang
banyak meminjam modal dari orang lain, ternyata perdagangan yang ia
lakukan tidak lancar, sehingga seluruh barang dagangannya habis, maka atas
permintaan orang-orang yang meminjami pedagang ini modal dagang, kepada
hakim, pedagang ini boleh dinyatakan sebagai orang yang jatuh pailit,
sehingga segala bentuk tindakan hukumnya terhadap sisa harta yang ia miliki
boleh dicegah. Maksud dari pencegahan tindakan hukum orang pailit ini
adalah demi menjamin utangnya yang cukup banyak pada orang lain.2
1 Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi. 2 Bidayah mujtahid, oleh Ibnu Rusyd, jilid III, hal 331-351
A. Hukum at-taflis
B. At-taflis adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh
kekayaannya habis hingga tidak tersisa untuk membayar hutang.
C. Hukum-hukumnya :
1) Dikenakan al hajru jika para kreditur menghendakinya. (abu
hanifah berpendapat at tidak dikenakan al jahru).
2) Seluruh assetnya dijual untuk melunasi hutang, kecuali pakaian
dan makanan.
Jika seorang kreditur menemukan barangnya dalam kondisi utuh
tanpa cacat, maka ia berhak mengambilnya daripada kreditur lain, dengan
syarat ia tidak pernah mengambil dari uang hasil penjualan barang
tersebut. Jika ia pernah mengambil, maka haknya sama dengan kreditur
yang lain. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, “barangsiapa
menemukan barangnya di orang yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak
terhadapnya.” (HR.Muttafaq alaih).
· Jika terbukti mengalami kesulitan keuangan oleh hakim atau pengadilan (tidak memiliki kekayaan), maka ia tidak boleh ditagih.Allah berfirman dalam QS:Al-Baqarah :280bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îot �ÏàoYsù 4’n<Î) ;ouŽy£÷�tB 4 br&ur (#qè
%£‰|Ás? ׎ö �yz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.(al-baqarah :280)
Adapun hadist dari nabi :rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, “ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak memiliki hak selain itu.” (HR. muslim)
Jika seluruh hartanya sudah dibagi-bagi, kemudian dating kreditur yang belum tahu telah diberlakukan al hajru dan kreditur tersebut tidak mengetahui kalau semua asset telah dijual, maka kreditur tersebut mendatangi masing-masing kreditur untuk meminta bagian yang sama.
· Jika kreditur mengetahui pemberlakuan al hajru pada seorang debitur, kemudian ia melakukan bisnis dengannya, maka ia tidak mempunyai hak yang sama dengan kreditur yang lain, hutangnya tetap menjadi tanggungan debitur tersebut sampai lunas.
B. Hadits mengenai pailit (taflis)[3]1. Hadits No. 885
Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar berada pada orang yang jatuh bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut daripada orang lain." Muttafaq Alaihi.
2. Hadits No. 887Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu Kholadah bahwa ia berkata: Kami datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu menanyakan tentang teman kami yang bangkrut, lalu ia berkata: Aku berikan kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, yaitu: "Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan barangnya masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut." Hadits shahih menurut Hakim dan dha'if menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha'if keterangan tentang "meninggal dunia" pada hadits ini.
3. Hadits No. 889Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buah-buahan yang dibelinya, lalu hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda: "Bersedekahlah kepadanya." Lalu orang-orang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi hutangnya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada orang-orang yang menghutanginya: "Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik kalian." Riwayat Muslim.
4. Hadits No. 892Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits tersebut menurut persyaratan Bukhari-Muslim.
5. Hadits No. 893Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya." Dalam suatu lafadz: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya." Riwayat Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim.
6. Hadits No. 894Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga dapat melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya. Ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang
yang ditimpa kefakiran hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si Fulan telah ditimpa kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta." Riwayat Muslim.[4]
C. Penetapan seseorang jatuh pailitTerdapat perbedaan pendapat ulama fiqih tentang penetapan seseorang jatuh pailit dan
statusnya berada dibawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan melalui keputusan hakim atau tidak. Ulama malikiyah, dalam persoalan ini, memberikan pendapat secara rinci.
1. Sebelum seseoarang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang berhak melarang orang yang jatuh palit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti mewasiatkan harta, menghadiahkan dan melakukan akad mudharabah.
2. Persoalan utang piutang in tidak diajukan kepada hakim, dan antara yang berutang dengan orang-orang yang memberi utang dapat melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam kaitan dengan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum yang bersifat pemindahan hak milik sisa hartanya seperti, wasiat, hibah, dan kawin.
3. Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya) kepada hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil sisa hartanya untuk membayar utang-utangnya. Gugatan tersebut diajukan besrtakan bukti bahwa hutang yang ia miliki melebihi sisa hartanya dan hutang tersebut telah jatuh tempo pembayarannya.[5]
D. Status hukum orang pailit (muflis)Para ulama fiqh juga mempersoalkan status hukum orang yang jatuh pailit. Apakah
seseorang yang telah dinyatakan pailit harus berada dibawah pengampuan hakim atau harus ditahan atau dipenjara. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Imam hanifah berpendapat bahwa orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada dibawah pengampuan, sehingga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Dengan kata lain beliau mengatakan seseoarang yang jatuh pailit karena terlilit utang tidak boleh ditahan/dipenjarakan, karena memenjarakan seseorang berarti mengekang kebebasannya terhadap makhluk merdeka. Dalam hal ini hakim boleh memerintahkan untuk melunasi utang-utang itu, apabila perintah hakim ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai lunas hutang tersebut dan menyuruh si pailit agar menjual sisa dari hartanya untuk melunasi hutang itu.
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim, maka para ulama fiqh sepakat bahwa segala tindak hukum si pailit dinyatakan tidak sah, harta yang berada ditangan seorang yang pailit menjadi hak para pemberi piutang, dan sebaiknya kepailitanya diumumkan kapada khalayak ramai, agar khalayak lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang pailit tersebut.
Ulama hanafiyah mengemukakan bahwa seorang hakim boleh melakukan penahanan sementara pada orang yang pailit tersebut, apabila memenuhi 4 syarat berikut :
1. Utangnya telah jatuh tempo pembayaran2. Diketahui bahwa orang yang pailit ini mampu untuk membayar utang-utangnya, tetapi tidak ia
lakukan, sesuai dengan hadist rasulullah yang menyatakan : “saya berhak untuk menahan sementara orang yang enggan membayar utangnya, karena perbuatan itu bersifat zalim”.(HR. bukhari dan muslim).
3. Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah atau ibu dari orang yang pemberi piutang
4. Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutn kepada hakim agar orang yang jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara.[6]
E. Hajr Terhadap Penghutang yang pailitHajr bisa diberlakukan oleh hakim terhadap orang yang mempumyai hutang yang jatuh
pailit atas permintaan orang-orang yang memberikan hutang atau oleh sebagian dari mereka sehingga hak mereka tidak terancam hilang. Syaratnya adalah jika harta orang yang berhutang tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Lebih baik lagi pemberlakuan hajr ini dipublikasikan agar orang lain tidak melakukan transaksi dengannya.
Ada empat hukum yang terkait dengan hajr terhadap orang yang berhutang yang jatuh pailit sebagai berikut :
1. Keterkaitan hak orang-orang yang member hutang dengan harta bendanya ( penhutang yang pailit ).
2. Larangan membelanjakan hartanya ketika terkena hajr, namun pembelanjaan yang dilakukan sebelum terkena hajr tetap boleh .
3. Seorang hakim berhak menjual hartanya dan membayarkannya kepada orang-orang yang memberikannya hutang. Pembagiannya dimulai dariorang yang mempunyai gadai padannya. Hakim membayarkannya lebih kecil dari hutangnya atau sesuai dengan harga barang yang digadaikan. Kemudian hakim baru membayarkan hutang-hutangnya yang lain dengan cara yang adil.[7]
4. Orang yang mendapati hartanya ditangan pihak penghutang yang jatuh pailit lebih berhak atas harta itu dari pada pemberi hutang yang lain. Hal ini jika barang dagangan masih ada dan belum rusak sedikitpun serta tidak bertambah. Selain itu, jika penjual belum menerima harganya dan jika tidak ada orang mempunyai hak atas harta itu,seperti hak hibah,syuf’ah dan lain sebagainya.
Orang yang jatuh pailit berhak mendapatkan nafkah dari hartanya untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Rumahnya yang dijadikan tempat tinggal tidak boleh dijual.
F. Dasar Hajr Terhadap Muflis ( Orang yang Pailit ) Dasar pemberlakuan hajr terhadap muflis adalah hadits yang diriwayatkan ka’ab ibnu Malik :“ sesungguhnya nabi S.A.W melarang berbelanja terhadap Mu’azd ibnu Jabal, dan beliau menjual hartanya .” ( Riwayat Al-Baihaqi ). Diriwayatkan dari Abdur-Rahman, ia berkata, Mu’azd ibnu Jabal adalah seorang pemuda yang dermawan. Ia tidak pernah menahan sesuatu pun ditangannya. Ia terus saja member sehingga ia tenggelam dalam hutang. Kemudian ia datang kepada nabi S.A.W dan menceritakan hal tersebut kepada beliau agar menjadi perentara terhadap orang-orang yang menghutanginya. Sekiranya mereka membiarkan seseorang . tentulah mereka membiarkan Mu’azd demi Rasulullah S.A.W. kemudian beliau menjual harta Mu’azd sehingga ia tidak mempunyai apa-apa.[8]
G. Pencabutan status dibawah pengampuan orang pailitKaidah ushul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan illatnya. Apabila
ada illatnya maka hukum berlaku, dan apabila illatnya hilang maka hukum itu tidak berlaku. Dalam persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit dan berada dalam status dibawah pengampuan. Apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi piutang oleh hakim
apakah statusnya sebagai orang yang dibawah pengampuan hapus dengan sendirinya. Dalam hal ini jumhur ulama fiqh berpendapat :Ulama syafi’iah dan hanabilah mengemukakan bahwa “ apabila harta sipailit telah dibagi kepada pemberi piutang sesuai dengan perbandingannya, dan sekalipun tidak lunas, maka status di bawah pengampuan dinyatakan dihapus, karena sebab yang menjadikan ia berada dibawah pengampuan telah hilang”.Sebagian ulama syafi’iah dan hanabilah berpendapat juga bahwa status orang pailit sebagai orang yang berada dibawah pengampuan tidah hapus, kecuali dengan keputusan hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus dibawah pengampuan didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim.
H. Hukum putusan pernyataan pailitDari bunyi pasal 8, pasal 11, dan pasal 286 ayat (1) UUK (Undang-Undang Kepailitan)
terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan kepailitan yaitu upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Dari pasal 8 ayat (1) UUK (Undang-Undang Kepailitan) dinyatakan bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Berikutnya dalam pasal 286 ayat (1) UUK (Undang-Undang Kepailitan) dinyatakan terhadap putusan pengadilan niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada MA.[9]
I. Sejarah Dan Perkembangan Aturan Kepailitan Di IndonesiaSejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan
masuknyaWetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-UndangKepailitan(UUPK). Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.[10]
PENUTUP
Pada dasarnya Islam mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan sosial, termasuk utang piutang. Ada beberapa ayat dalam al-Qur'an yang secara langsung menyinggung soal utang piutang. Penggalan Surat al-Baqarah ayat 283 menyebutkan Hendaknya orang yang sudah dipercaya untuk berutang membayar utang-utangnya. Ada pula Hadits yang menyebutkan: Barangsiapa berutang dengan maksud akan membayarnya kembali, Allah akan membayar atas nama-Nya, dan barangsiapa berutang dengan maksud memboroskannya, maka Allah akan menghancurkan hidupnya. Sepengetahuan kami, dalam fikih Islam kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta disebut iflaas. Orang yang pailit disebut muflis, sedangkan keputusan hakim yang menyatakan seseorang dalam keadaan pailit disebut tafliis. Kata tafliis sering diartikan sebagai larangan kepada seseorang bertindak atas hartanya. Larangan itu dibuat karena yang bersangkutan terbelit utang yang lebih banyak dari hartanya. Pailit adalah kondisi bangkrutnya seseorang atau badan hukum. Dalam hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Berdasarkan Undang-Undang ini, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Surat al-Baqarah menyinggung beberapa hal terkait dengan utang piutang.Pertama, dalam utang piutang, jangan lupakan arti pentingnya dokumentasi alias pencatatan. Ayat 282 jelas menyebutkan Hendaklah kamu menuliskannya (utang piutang) dengan benar. Pada ayat yang sama, Allah mengingatkan kembali Dan janganlah kamu enggan untuk menuliskannya. Pencatatan perlu dilakukan lepas dari besar kecilnya jumlah utang. Kedua, utang piutang dikaitkan dengan riba. Islam mengharamkan riba. Apakah dengan dasar ini, dilarang membungakan utang piutang? Mohon maaf, bukan kapasitas kami untuk menjawabnya. Sebaiknya Anda berkonsultasi dengan ustadz atau ulama di tempat Anda tinggal. Yang jelas Surat al-Baqarah ayat 276 menegaskan: Allah menghapus berkah riba dan menambah berkah sedekah. Hal ketiga, berkaitan dengan pertanyaan Anda: apakah boleh dan dikenal PKPU dalam Islam? Dalam al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 280, Allah menyatakan antara lain ..Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Mudah-mudahan jawaban kami ini bermanfaat. Untuk memahami lebih lanjut masalah pailit dalam Islam, Anda bisa membaca buku M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (RajaGrafindo Persada, 2003), atau buku-buku lain yang sejenis. Terima kasih....(Mys).
PenutupKepailitan merupakan jalan terakhir yang ditempuh kreditor-debitor dalam pemenuhan
utangnya. Negara menjamin hak dan kewajiban terhadap kreditor sebagai pihak yang berpiutang dan debitor sebagai pihak yang berutang, yaitu dalam UU Kepailitan dan PKPU. Pada prinsipnya, kepailitan ini adalah jalan yang membantu suatu perusahaan atau orang pribadi untuk pembayaran utangnya, prinsip ini dikenal dengan Commercial Exit from Financial Distress yang mana menurut Ricardo Simanjuntak adalah suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit secara finansial yang sudah tidak bisa lagi terselesaikan. (Hadi Shubhan: 2008). Maka proses kepailitan ini adalah dibantu kurator untuk pembagian utang debitor kepada para kreditornya.
Islam menjaminkan seseorang yang terbebas utang akan masuk syurga, sebagaimana hadist dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والدين والغلول الكبر من الجنة دخل ثالث من برىء وهو الجسد وح الر فارق من
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] utang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai utang.”
Referensi:
Al-Qur’an. Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya Special For Woman.2007.
____________. Subullusalaam, Bandung: Dahlan. 852H. Juzz ke-3.Nor, Dumairi. Ekonomi Syariah versi Salaf. Jawa Timur: Pustaka Sidogiri. 2008. cet. ke-2.Shubhan, Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip. Norma. dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009. cet. ke-2.S Sastrawidjaja, Man. Hukum Kepailtian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: PT Alumni. 2010. cet. ke2Perundang-UndanganKitab Undang-Undang Hukum Perdata.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Internethttp://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-utangnya.html. diunduh pada tanggal 3 Mei 2013.http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/3438-tidak-amanah-dalam-melunasi-utang.html. diunduh pada tanggal 3 Mei 2013.