64
By Timur Abimanyu, SH.MH EKONOMI SYARI’AH SEJALAN DENGAN EKONOMI KERAKYATAN ABSTRAK Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistim ekonomi mainstream yang disebut juga sistim ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya USAmenghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang terjadi ketika itu. Depresi ini menyadarkan dunia, ternyata sistim ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia. Melihat fenomena faktual sistim ekonomi dunia maka muncul tuntutan mencari sistim ekonomi alternatif tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Adanya ekonomi alternatif yaitu Sistim ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistim perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya. Sejarah perbankan Islam di Dunia, Istilah Perbankan Islam atau Perbankan Syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistim ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistim Perbankan Syari’ah menerapkan sistim bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Perbankan Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional.

Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

By Timur Abimanyu, SH.MH

EKONOMI SYARI’AH SEJALAN DENGANEKONOMI KERAKYATAN

ABSTRAK

Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistim ekonomi mainstream yang disebut juga sistim ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya USAmenghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang terjadi ketika itu. Depresi ini menyadarkan dunia, ternyata sistim ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia. Melihat fenomena faktual sistim ekonomi dunia maka muncul tuntutan mencari sistim ekonomi alternatif tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Adanya ekonomi alternatif yaitu Sistim ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistim perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya. Sejarah perbankan Islam di Dunia, Istilah Perbankan Islam atau Perbankan Syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistim ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistim Perbankan Syari’ah menerapkan sistim bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Perbankan Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional.

Maududi Uzairmerupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul A Groundwork for Interest Free Bank. Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank Syari’ah hanya menjadi diskursus teoritis. Belum ada langkah konkrit yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank Syari’ah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam. Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup .

Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Sedang Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh

Page 2: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House. Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an,Bank-bank Islam bermunculan di Mesir,Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,  Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).Sejarah Perbankan Islam di Indonesia, Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakatvs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.

Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.

Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi

Page 3: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayahIndonesia. Prospek Perbankan Islam di Indonesi, jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barteryang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Dalam Islam tidak diperbolehkan adanya dana yang mengendap atau tidak produktif. Sehingga konsep perbankan syariah, yaitu bagaimana dana semua bisa produktif membangun ekonomi masyarakat Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistim dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang.

Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional. Dimana Bank Syari’ah / Islam dalam sistim perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil.

Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan

Page 4: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten. Ada revisi terhadap UU Bank Indonesia yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) memberikan support terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimana dalam UU No. 23/1999 menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapanDual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistim perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku (BankIndonesia, Oktober 2001).Peran Bank Indonesia sebagai Bank Central Indonesia yang memegang otoritas moneter adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Menurut pasal. 11 ayat 1 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh (90) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Sedang bagi perbankan syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang di Indonesia.Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Namun, wewenang yang dimiliki oleh pengadilan tersebut, tidak akan berjalan sesuai harapan konsep syariah tanpa didukung oleh perangkat peraturan yang komprehensif dari hukum perdata di Indonesia, karena perangkat hukum yang digunakan adalah kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang notabene belum bersusuaian dengan hukum perdata Islam.Untuk itu perlu adanya hukum perdata Islam (syariah) yang akan mengatur sengketa perdata dalam perbankan syariah.

Hal ini dirasa sangat penting untuk menghindari adanya ambiguitas hukum, disatu sisi konsep syariah diterapkan dalam perbankan syariah, tapi disisi lain penyelesaian perkara terkait perbankan syariah dilakukan berdasar hukum yang notabene peninggalan belanda.Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Syariah yang telah diuraikan yang berdasarkan sumber data dan issu yang

Page 5: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

berkembang, mari kita teliti dan analisa tentang Peneliti Utama Bidang Pengelolaan Risiko Fiskal Depkeu terhadap Sistim ekonomi syariah dewasa ini semakin populer. Tak hanya di negara negara Islam, tetapi juga di negara Barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya bank-bank menerapkan konsep syariah. Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif. Nilai-nilai itu, misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha. Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai diterapkan sejak 1991 yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Tantangan ke depan Kondisi perbankan syariah pada tahun mendatang diperkirakan akan terus membaik. Ini terbukti dengan masih tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Dalam rangka peningkatan jangkauan melalui kemudahan untuk membuka kantor pelayanan, diharapkan dapat memberikan pengaruh pada minat masyarakat. Di sisi lain, secara internasional peluang memanfaatkan investasi asing, khususnya dari Timur Tengah ke dalam sistim perekonomianIndonesia masih terbuka lebar.Dalam usia relatif muda, setidaknya ada tiga tantangan besar ekonomi Islam. Pertama, ujian atas kredibiltas sistim ekonomi dan keuangannya. Kedua, bagaimana ekonomi syariah dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi kemiskinan serta pengangguran. Ketiga, perangkat peraturan, hukum, dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Ahli ekonomi Islam di Indonesia yang terdiri dari akademisi dan praktisi telah membentuk organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang berdiri dan dideklarasikan pada 3 dan 4 Maret 2004 di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dalam momentum Konvensi Nasional Ahli Ekonomi Islam Indonesia.RUU Perbankan Syariah, dewasa ini pemerintah tengah berusaha mengembangkan perbankan syariah. Pemerintah mengharapkan sistim perbankan syariah sebagai bagian dari sistim ekonomi nasional yang dapat merespons agenda nasional. Mengingat pentingnya pembangunan ekonomi syariah, pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya bagi pengembangan sistim ekonomi syariah dengan melakukan perubahan Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan menjadi UU No 10/1998. Undang-undang ini mengatur pranata hukum bagi keberadaan bank syariah di Indonesia.Berdasarkan UU ini pula, bank umum konvensional diperbolehkan berusaha dengan prinsip syariah melalui pembukaan Unit Usaha Syariah. Pada 1999 pemerintah mengeluarkan UU No 23/1999 yang kemudian diamendemen dengan UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada BI untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Dalam mempercepat pertumbuhan perbankan syariah, keberadaan UU Perbankan Syariah mutlak diperlukan. Untuk mewujudkannya, pemerintah dengan DPR tengah menyelesaikan RUU tersebut. Hingga kini pembahasan RUU Perbankan Syariah masih menyisakan beberapa pasal krusial.Adapun pasal-pasal krusial itu antara lain pasal berkenaan dengan 1) keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), 2) keberadaan Unit Usaha Syariah (UUS), 3) masalah perizinan, 4) lembaga penyelesaian sengketa, 5) kepemilikan asing, 6) kewenangan penyidikan, dan 7) lembaga yang berwewenang menetapkan fatwa.Pembahasan RUU ini diharapkan segera selesai. Dengan ditetapkannya UU Perbankan Syariah ini, nantinya diharapkan dapat menjadi faktor pemacu pertumbuhan perbankan syariah, baik dalam membuka jaringan bank umum syariah, UUS, maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.Pertumbuhan perbankan syariah ini selanjutnya diharapkan dapat membawa multiplier effect dalam perekonomian nasional.

Selama ini perbankan syariah telah teruji kemampuannya dalam menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh. Secara faktual perbankan syariah telah terbukti

Page 6: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

keunggulannya dalam masa krisis. Pada waktu bank konvensional mengalami guncangan akibat badai krisis pertengahan 1997, perbankan syariah dengan sistim bagi hasil terbukti selamat dari badai tersebut. Untuk itu, dengan keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan akan semakin menumbuhkan perekonomian nasional. Akhirnya, keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan pula dapat membawa dampak pada aliran dana investasi ke Indonesia yang semakin meningkat, terutama dari negara-negara Timur Tengah. Terhadap kegiatan usaha bank syariah harus tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dan sementara itu aturan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. “Ini tidak mencabut kewenangan penyelesaian sengketa di peradilan umum, karena jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di peradilan agama, maka penyelesaian dilakukan sesuai perjanjian. Tantangan Krisis, meski UU Perbankan Syariah telah eksis, tantangan bank nonribawi di tengah kepungan bank konvensional masih membentang. Perkembangan sistim finansial syariah yang pesat boleh jadi sedang mendapat ujian untuk benar-benar bisa membuktikan sebagai sistim alternatif, atas sistim perbankan kapitalisme yang saat ini terimbas krisis keuangan global. Secara substansial pun, yang “menyelamatkan” perbankan syariah adalah perbedaan operasional dengan perbankan konvensional, di mana dalam sistim keuangan Islam melarang pinjaman dengan beban bunga, yang dipandang sebagai riba, serta sistim syariah ini melarang spekulasi derivatif. Sebagai gantinya, pembiayaan harus pada sektor riil, serta faktor risiko dan keuntungan ditanggung bersama antara bank dan nasabah.

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9 persen pada triwulan ketiga tahun 2008. Adapun nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah telah mencapai Rp37,7 triliun. Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. 

Prospek 2009, perbankan syariah nasional menapaki tahun 2009 diperkirakan tetap dalam fase pertumbuhan tinggi, yang didasarkan aspek yuridis UU Perbankan Syariah membuat kepastian hukum dan mendorong peningkatan implementasi kapasitas usaha bisnis syariah. Juga, UU SBSN menjadi penguat kinerja sistim keuangan Islami itu. Kemudian adanya amandemen UU Perpajakan memberi kepastian hukum dalam mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui penarikan peran investor asing. Di lapangan, bakal terealisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah). Paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri. Terjadi realisasi penerbitan Corporate Sukuk oleh bank syariah untuk memperkuat modal dasar perbankan syariah. “Yang tak kalah penting, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah. Demikian pula perbankan syariah dinilai sebagai bank universal. Bukan bank semata-mata untuk orang Islam,” kata Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah. Tugas BI dalam menyempurnakan sitem keuangan syariah memang harus terus ditingkatkan seiring berkembang pesatnya transaksi

Page 7: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

keuangan syariah. Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah sendiri pernah menyatakan Bank Indonesia (BI) berketetapan merumuskan strategi besar pengembangan pasar syariah, sehingga pangsa lima persen dibandingkan bank konvensional lebih cepat tercapai dari saat ini sekitar 2,2 persen. Pada akhirnya dengan rel jelas yang mengacu UU Perbankan Syariah, Petinggi Negara yang melaksanakan kebijakan Pemerintahan untuk meminta pengelola perbankan syariah nasional dapat menjadi pemain domestik yang andal dan memiliki kualitas layanan dan kinerja bertaraf internasional, bukan sesuatu yang mustahil.(Sumber data :Zaenal Abidin). Jika perkembangan ekonomi syariah didunia Eropa (kaum nasrani) seperti di Inggris, Australia, Jepang sudah menggunakan sistim ekonomi syariah, Indonesia Kenapa tidak…karena sistim ekonomi syariah adalah identik dengan ekonomi kerakyatan yang dapat menandingi sistim Neolib dan Kapitalis….sedangkan yang telah digambar-gemborkan mengenai sistim ekonomi tengah adalah suatu difinisi yang tidak terdapat dalam maszab maupun sistim ekonomi didunia, sistim ekonomi tengah adalah suatu difinisi yang tidak mempunyai standart dan asal usulnya…ini adalah difinisi yang bersifat pembodohan terhadap rakyat dan Bangsa.

Konsisten terhadap system mana kita berpijak, Neolib, Liberal, Kapitalis atau atau Ekonomi syariah/ekonomi kerakyatan……jika kita berbicara ekonomi kerakyatan atau ekonomi syariah maka identik dengan UUD 45 dan Pancasila, ……dan untuk mengembangankan Ekonomi Syariah, yang mana Negara Indonesia sudah tertinggal jauh oleh Negara Eropa yang sudah lama beralih dan mengembangkan Ekonomi Syariah. Peluang investasi dari Timur Tengah tersebut pemerintah paling tidak harus menyiapkan lima hal yakni kelengkapan perangkat hukum, lingkungan bisnis yang mendukung, kebijakan ramah investasi, kebijakan insentif perpajakan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).Kepastian hukum dan deregulasi proses perizinan merupakan salah satu kunci untuk menciptakan suasana bisnis yang kondusif.Berdasarkan penilaian OECD dan Bank Dunia mengenai efektivitas peraturan dalam mendukung iklim bisnis, walaupun telah menunjukkan adanya peningkatan dengan diberlakukannya beberapa deregulasi, Indonesia masih tergolong berkategori buruk yang selevel dengan negara seperti Hongaria dan Meksiko. Dalam rangka meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi terutama di sektor keuangan syariah, Bank Indonesia perlu memberlakukan liberalisasi keluar masuknya dana investasi asing. Dimana Investor asing perlu secara bebas menentukan denominasi mata uang yang akan mereka investasikan di Indonesia, serta bebas untuk menentukan jumlah dan jenis mata uang dalam rangka pemulangan kembali dana hasil investasi ke negara asalnya.Fakta dan Issu yang terjadi baik secara Factor Internal dan Faktor Eksternal, dimana perkembangan ekonomi Syariah terus menanjak naik seiring dengan krisis globalisasi dunia salah satu dibidang Sukuk, dimana pengertian sukuk menurut fatwa No. 32/DSNMUI/ IX/2002 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Sedangkan, menurut Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-130/BL/2006 Tahun 2006 Peraturan No. IX.A.13, sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Dimana pada tahapan penghimpunan dana dan tahapan penyaluran dana. Pada tahapan pengimpunan dana, hubungan hukum yang terjadi antara shahibul maal yang

Page 8: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

menitipkan dananya ke Bank Syariah dan Bank sebagai mudharib yang akan melakukan pengelolaan dana. Pada tahapan penyaluran dana hubungan hukum yang terjadi antara Bank Syariah sebagai shahibul maal dan nasabah sebagai mudharib yang akan memanfaatkan dana dari Bank Syariah dimana terdapat dua hubungan hukum yang terjadi yaitu pada tahapan penghimpunan dana, hubungan hukum yang terjadi adalah antara deposan (nasabah kreditur) dan bank. Pada tahapan penyaluran dana maka hubungan hukum yang terjadi adalah bank dan nasabah debitur.Berdasarkan gambar di atas terdapat kesamaan perikatan yang digunakan dalam hubungan hukum antara Bank dengan Nasabahnya yaitu dimulai dengan perjanjian atau akad. Terdapat persamaan dan perbedaan antara perjanjian dan akad. Persamaannya antara lain bahwa di dalam perjanjian maupun akad mendasarkan pada kesepakatan (consensus) para pihak. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil, Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembuangan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembuangan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risko, karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di Bank Islam termasuk kategori investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana.

Dengan demikian, Bank Islam tidak dapat hanya sekedar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan dalam tabel berikut : adalah pada cara menghitung Bagi Hasil Bank dengan prinsip bagi hasil di dalam menghimpun dananya baik modal disetor, dana masyarakat maupun pinjaman dari bank lain maupun pihak lain tidak boleh menyimpang dari prinsip syariah Islam, dengan kata lain di dalam mengelola dana-dana tersebut harus sesuai dengan ketentuan syariah. Di dalam operasionalnya antara modal bank dengan dana masyarakat maupun pinjaman pihak lain terjadi kerjasama dalam pendanaan untuk penyaluran pembiayaan sehingga antara bank dengan kreditur terjadi akad musyarakah. Semua keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan dana tersebut dibagihasilkan kepada pemilik dana dengan aturan yang telah disepakati. Metode Bagi Hasil ada tiga kategori yaitu revenue sharing, profit sharing dan profit loss sharing.Berikut ini akan dijelaskan perbedaannya masing-masing., 1.Revenue Sharing, yang dibagikan adalah pendapatan kotor, 2.Profit Sharing, yang dibagikan dan laba/rugi, namun jika terdapat rugi masih ditanggung bank dan 3.Profit and Loss Sharing, yang dibagikan adalah keuntungan (jika perusahaan/ bank untung) dan bila mudharib rugi maka shahibul maal ikut menanggung kerugian.Didalam menentukan bagi hasil maka variabel penentu bagi hasilnya adalah:a.Pendapatan/keuntungan bank,b.Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, c.Rata-rata nominal dana nasabah dan d.Rata-rata Perhimpunan dana bank. Berikut ini akan dipaparkan contoh perhitungan bagi hasil pada prinsip wadi’ah mudharabah.

==========

Pendahuluan, Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistim ekonomi mainstream yang disebut juga sistim ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya USA menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang

Page 9: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

terjadi ketika itu. Depresi ini menyadarkan dunia, ternyata sistim ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia.

Melihat fenomena faktual sistim ekonomi dunia maka muncul tuntutan mencari sistim ekonomi alternatif tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Salah satu topik paling penting menjadi diskursus pada saat itu adalah topik “ekonomi alternatif.” Karena, masalah ekonomi yang sebenarnya adalah terletak kepada bagaimana kekayaan diperoleh, dan tidak terletak kekayaan itu ada atau tidak. Karena akar permasalahannya adalah terletak kepada konsep bagaimana perolehan atau kepemilikan (property), termasuk tentang absurditas transaksi dalam masalah kepemilikan (property), dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar inilah sistim ekonomi Islam merupakan hukum-hukum yang mengatur tiga hal pokok yaitu kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan. Tiga hal ini adalah yang nantinya menjadi asas dari sistim ekonomi Islam itu sendiri.  Tiga hal inilah yang dilupakan dalam sistim ekonomimainstream yang dominan, sehingga kegagalan-kegagalan akan terus datang silih berganti.

Indonesia sebagai Negara yang menganut sistim ekonomi barat atau kapitalis, maka juga ikut tersangkut dan terkena imbas dari carut marutnya persoalan ekonomi dunia. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang, seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999 sampai 2007 ini – telah secara nyata membuktikan bahwa sistim ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme – sekularisme telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.

Setelah melalui perjalan panjang, akhirnya Indonesia mengakui adanya tuntutan adanya ekonomi alternatif yaitu Sistim ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistim perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya.

Untuk membandingkan perkembangan perbankan syariah, kita bisa lihat perkembangan sistim hukum perbankan Islam di Negara-negara tetangga kita semisal Malaysia, Sehingga, gerak dari sistim perbankan Islam di Malaysia sungguh luar biasa dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam sistim perekenomian nasional Malaysia. Pertanyaan yang muncul, kenapa di Indonesiasebagai Negara dengan mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia hal itu tidak bisa berjalan sesuai keinginan kita, adakah yang salah dari kita ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita lakukan pembahasan dan analisa beberapa aspek dan persoalan yang dihadapi perbankan Islam di Indonesia sebagai berikut : 1. Sejarah perkembangan Sistim perbankan Islam di dunia dan Indonesia, 2. Prospek perbankan syariah di Indonesia, dan 3. Aspek hukum dan peraturan pendukung Perbankan Syariah di Indonesia dengan mencoba membandingkan aspek hukum perbankan Islam di Malaysia.

Sejarah perbankan Islam di Dunia, Istilah Perbankan Islam atau Perbankan Syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistim ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistim Perbankan Syari’ah menerapkan sistim bebas bunga (interest free)dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Perbankan

Page 10: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional.

Konsep teoritis mengenai Perbankan Islam muncul pertama kali, menurut dalam bukunya Sultan Remy Sjahadeini bahwa pemikiran dari para penulis yang mula-mula menyampaikan gagasan mengenai perbankan Syari’ah adalah Anwar Iqbal Qureshi, Naiem Siddiqi, dan Mahmmud Ahmad. Kemudian uraian yang lebih rinci tentang gagasan ini ditulis oleh Al Maududi (1950). Maududi Uzairmerupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul A Groundwork for Interest Free Bank. Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank Syari’ah hanya menjadi diskursus teoritis. Belum ada langkah konkrit yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank Syari’ah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam.

Hingga pada tahun 1963 dari sudut kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Sedang Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .

Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Karena mesir telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

Pada perjalanannya sistim perbankan berbasis Syariah, semakin hari semakin populer bukan hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin suburnya

Page 11: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Perkembangan perbankan syariah atau perbankan dengan konsep bagi hasil menandakan konsep syariah dalam pengelolaan kekayaan/ uang diterima kebiasaan umat manusia secara universal, karena jelas-jelas konsepriba atau bunga dalam Islam sangat dilarang dan bertentangan dengan konsep kemanusiaan.

Sejarah Perbankan Islam di Indonesia, Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan(LSIK).Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.

Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesiamengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakansyubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga.Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif.Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.

Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.

Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, danSyubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.

Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A

Page 12: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya diBandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (KoperasiRidho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayahIndonesia.

Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.

Prospek Perbankan Islam di Indonesi, jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabahdan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Dalam Islam tidak diperbolehkan adanya dana yang mengendap atau tidak produktif.Sehingga konsep perbankan syariah, yaitu bagaimana dana semua bisa produktif membangun ekonomi masyarakat.

Sementara itu, LPPS terakhir perbankan Syariah tahun 2006 Bank Indonesia Selama tahun 2006 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami peningkatan, yaitu masing-masing sebanyak 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 13 BPRS. Secara industri pada akhir 2005 terdapat 3 Bank Umum Syariah (BUS), 20 UUS dan 105 BPRS. Sejalan peningkatan tersebut, jaringan kantor bank syariah (termasuk kantor kas, kantor cabang pembantu dan Unit Pelayanan Syariah) juga mengalami peningkatan sebanyak 40 kantor sehingga menjadi 636 kantor pada akhir tahun 2006. Kinerja Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Selama tahun 2006 industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sebesar Rp5,8 triliun

Page 13: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

sehingga pada akhir periode laporan mencapai Rp26,7 triliun. Peningkatan tersebut memperbesar pangsa aset perbankan syariah terhadap total asset perbankan nasional dari 1,4% pada akhir tahun 2005 menjadi 1,6% pada akhir 2006.(Bank Indonesia.2006.LPPS Perbankan Syariah)

Pada sisi aset, menurut Deputi Bank Indonesia Siti Fadjrijah, perbankan syariah mengalami kenaikan menjadi Rp 29,2 triliun (1,69 persen dari total aset industri perbankan) jika dibandingkan akhir 2006 yang berjumlah Rp 26,7 triliun (1,55 persen dari total aset industri perbankan). Untuk dana pihak ketiga (DPK), posisi Juni 2007 adalah sebesar Rp 22,71 triliun, meningkat dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,67 triliun. Pembiayaan atau kredit per Juni 2006 adalah sebesar Rp 22,97 triliun, naik dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,44 triliun. Sedangkan untuk FDR (Financing to Deposit Ratio/LDR) per Juni 2007 adalah 101,1 persen, naik dari posisi akhir 2006 yang sebesar 98,9 persen. BI menargetkan pada 2007 ini total aset perbankan syariah tumbuh menjadi 2,8 persen dari total aset industri perbankan. Serta pada tahun 2008 mencapai 5 persen dan akan tumbuh pada 2015 menjadi 15 persen.

Ini menandakan perkembangan perbankan syariah di Indonesiaadalah sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu adanya perhatian dari semua pihak, bahwa prospek perbankan syariah akan mampu memberikan nilai (value) yang besar kepada perekonomian nasional.

Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistim dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.

Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

Prinsip Keadilan, prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.

Prinsip Kesederajatan, Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.

Prinsip Ketentraman, Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.

Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional. Dimana Bank Syari’ah / Islam dalam sistim perbankan Indonesia

Page 14: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.

UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapanDual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri(mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.

Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten.

Dari apa yang telah disampaikan Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), KH Ma’ruf Amin. Menurut KH. Ma’ruf Amin, UU nomor 10/1998 belum terlaksana secara maksimal. Masih banyak yang harus diperbaiki dari UU tersebut, perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki karakter yang berbeda. Karena itu, perlu ada peraturan atau UU tersendiri dari perbankan syariah untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah. Karena Idealnya market share (pangsa pasar) bank syariah dan bank konvensional itu fifty-fifty.

Ada revisi terhadap UU Bank Indonesia yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) memberikan support terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimana dalam UU No. 23/1999 menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistim perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam

Page 15: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku (Bank Indonesia, Oktober 2001).

Peran Bank Indonesia sebagai Bank Central Indonesia yang memegang otoritas moneter adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut pasal. 11 ayat 1 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh (90) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Sedang bagi perbankan syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang diIndonesia.

Peraturan Pendukung Perbankan Syariah di Indonesia,Keberadaan UU nomor 10/1998 tentang perbankan dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia menjadi landasan utama penunjang perbankan syariah di Indonesia saat ini, dengan berbagai kelemahan dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ditambah lagi yang menjadi persoalan sekarang adalah peraturan pendukung terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Tanpa adanya peraturan pendukung terhadap alat-alat dari transaksi perbankan syariah akan memenuhi kesulitan bahkan bisa fatal. Peraturan pendukung perbankan syariah dimaksud adalah tentang peraturan BI tentang operasional perbankan syariah, Obligasi, Pasar Modal, Hukum Perdata dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah

Pertama, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian oleh BI antara lain: Kerangka dan perangkat pengaturan Operasional perbankan syariah belum lengkap; Pengaturan Cakupan pasar masih terbatas; Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal; perlu adanya aturan sistim bagi hasil dan transaksi dalam perbankan syariah serta aturan investasi asing di perbankan syariah (sebelum adanya UU atau PP Investasi di bidang perbankan syariah.Peran ini dirasa kurang dari Bank Indonesia, masih banyak yang harus diperhatikan oleh Bank Indonesia terkait pembuatan peraturan atau aturan main perbankan di Indonesia, sehingga posisi perbankan syariah dan konvensional berada dalam satu tingkatan yang sama.Bank Indonesia sebagai Bank central Indonesia dengan hak dan otoritas yang dimiliki mestinya lebih leluasa membuat suatu kebijakan yang lebih komprehensif terkait dengan kebijakan perkembangan perbankan syariah. Peran bank Indonesia sungguh luar biasa kalau melihat amanah yang diberikan oleh UU. 23 Tahun 1999, sekarang tinggal bagaimana BI mamainkan perannya ke depan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.

Kedua, Terkait dengan surat-surat berharga atau surat utang negara (SUN) di Indonesia yang berdasar syariah belum diatur sehingga dalam pelaksanaannya akan memenuhi banyak rintangan dan berdampak kepada pemahaman investasi dari aspek syariah pada sisi yang berbeda. Pada

Page 16: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

tahun 2006 saja negara-negara Timur Tengah (Timteng) menawarkan dana hingga 8 miliar dolar AS, atau setara dengan Rp 71 triliun, untuk membeli obligasi syariah atau Sukuk Indonesia. Dana dari hasil penerbitan Sukuk itu nantinya digunakan membiayai proyek- proyek kelistrikan. Negara kaya raya dari Timur tengah kini memiliki dana yang melimpah ruah akibat tingginya harga minyak dunia. Di tengah limpahan duit, negara-negara Timteng itu kelimpungan mencari tempat investasi. Sebab sampai sekarang beberapa negara di Eropa dan Amerika menutup diri akibat peristiwa pengeboman menara kembar WTC, atau peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11. Sebagai pengganti, negara-negara Timteng membidik Asia, termasuk Indonesia untuk menempatkan dana-dananya tersebut. Kalau kita lihat UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara/ obligasi kalau dipakai landasan obligasi syariah maka akan rancu, karena dalam UU tersebut masih banyak kata-kata secara tidak langsung berkaitan dengan bunga yang sangat bertentangan dengan konsep syariah atau riba. Sehingga dalam kenyataannya obligasi korporasi dengan prinsip syariah telah mencapai belasan (14 sampai saat ini, 6 mudharabah dan 8 ijarah). Contoh kasus, Obligasi Syariah Indosat tidak mempunyai acuan hukum positif seperti UU atau peraturan Bapepam yang menjadi naungannya. Sebagai gantinya Obligasi Syariah Indosat bernaung di bawah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 32 tentang Obligasi Syariah dan No 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Kasus lainnya, Obligasi korporasi dengan prinsip syariah yang sesudahnya juga dapat bernaung di bawah Fatwa DSN MUI No 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan mengalami redefinisi sebagai Surat Berharga Jangka Panjang berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat diperjual belikan. Berangkat dari kasus-kasus ini, kalau dilihat dari kaca mata hukum dan peradilan, maka hal ini cukup meragukan, sehingga untuk memberikan kekuatan hukum sesuai dengan sistim hukum di Indonesia maka perlu adanya UU tersendiri mengenai obligasi syariah, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor dan lainnya.

Ketiga, mengenai perangkat pendukung perbankan syariah sebagaimana perbankan konvensional, maka perlu diatur perdagangan saham perbankan syariah yaitu pasar modal berprinsip syariah.Kegiatan Pasar Modal di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1995 (”UUPM”). Pasal 1 butir 13 UU 8/95 menyatakan bahwa “Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Sedangkan Efek, dalam UUPM Pasal 1 butir 5 dinyatakan sebagai: “suratberharga yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas Efek dan setiap derivatif Efek”. UU No. 8 Tahun 1995 ini tidak membedakan apakah kegiatan Pasar Modal tersebut dilakukan berdasarkan prisnip-prisnip syariah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan Pasar Modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah.( KarimSyah Law Firm, 2005. Perlunya Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pasar Modal Berdasarkan Syariah. Jakarta) Sehingga dalam pelaksanaannya bagi perbankan syariah akan memberikan ketidak pastian apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak. Maka dari itu, perlu sekiranya pembuatan perangkat hukum terkait dengan keberadaan pasar modal syariah untuk mendukung perjalanan perbankan syariah.

Keempat, Sebelum adanya amandemen terhadap UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama menjadi kendala hukum di Indonesia, kewenangan mengadili sengketa perbankan Islam ada ditangan Pengadilan Negeri, sedang pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum

Page 17: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

bagi penyelesaian perkara. Dan kita tahu wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syariah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase MuamalahIndonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Tapi saying sampai sebelum UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama diamandemen, badan tersebut belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dengan keluarnya UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.

Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang -orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Namun, wewenang yang dimiliki oleh pengadilan tersebut, tidak akan berjalan sesuai harapan konsep syariah tanpa didukung oleh perangkat peraturan yang komprehensif dari hukum perdata di Indonesia, karena perangkat hukum yang digunakan adalah kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang notabene belum bersusuaian dengan hukum perdata Islam.

Untuk itu perlu adanya hukum perdata Islam (syariah) yang akan mengatur sengketa perdata dalam perbankan syariah. Hal ini dirasa sangat penting untuk menghindari adanya ambiguitas hukum, disatu sisi konsep syariah diterapkan dalam perbankan syariah, tapi disisi lain penyelesaian perkara terkait perbankan syariah dilakukan berdasar hukum yang notabene peninggalan belanda.

Kesimpulan, dari beberapa uraian diatas : mengenai Sejarah perbankan di dunia dan Indonesia, Prospek perbankan syariah diIndonesia, Aspek hukum dan peraturan pendukung perbankan syariah di Indonesia serta perbandingan hukum syariah di Malaysia, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :1. Prospek perbankan syariah sangat menjanjikan di Indonesia untuk ikut memberikan kontribusi kepada perekonomian bangsa dan Negara, 2. Perlu adanya peraturan perbankan syariah yang mandiri yang akan lebih komprehensif dalam pengaturannya, 3. Perlu adanya keberanian BI Indonesia untuk membuat terobosan baru dan super visi mengenai perbankan syariah dengan pembuatan kebijakan-kebijakan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia dan 4. Perlu adanya peratuarn pendukung mandiri/ tersendiri terkait perkembangan perbankan syariah seperti : obligasi syariah, pasar modal syariah dan perdata syariah.

Page 18: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Berangkat dari kesimpulan diatas, maka penulis sekiranya perlu memberikan saran, sebagai berikut:

1. Karena prospek perbankan syariah sungguh luar biasa di Indonesia, maka perlu kiranya semua eleman masyarakat dan Negara untuk ikut memberikan support terkait perkembangan perbankan syariah ke depan,

2. Demi kemandirian dan secara kaffah pelaksanaan perbangkan syariah di Indonesia, maka perlu pemerintah dan Legislatif secara bersama-sama membuat peraturan perbankan syariah yang mandiri,

3. Peran BI dalam perjalanan perbankan syariah sangat besar, sehingga BI perlu membuat kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif dan maksimal untuk mendukung perbankan syariah. Hal ini mungkin bisa lakukan dengan menambah sumber daya manusia yang betul-betul memahami ekonomi syariah yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang komprehensif dan maksimal dalam menggiring laju perbankan syariah

4. Pemerintah dan Legislatif juga dituntut untuk membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan obligasi syariah, pasar modal syariah serta hukum perdata syariah sebagai instrument pendukung perbankan syariah.(sumber data :www.WordPress.com weblog/Jufrism’s.Weblog).

Berkaitan dengan Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Syariah yang telah diuraikan yang berdasarkan sumber data dan issu yang berkembang, mari kita teliti dan analisa tentang Peneliti Utama Bidang Pengelolaan Risiko Fiskal Depkeu terhadap Sistim ekonomi syariah dewasa ini semakin populer. Tak hanya di negara negara Islam, tetapi juga di negara Barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya bank-bank menerapkan konsep syariah.

Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif. Nilai-nilai itu, misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha. Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai diterapkan sejak 1991 yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Pada awalnya berdirinya, BMI belum mendapatkan perhatian yang luas. Dalam perjalanannya, khususnya sejak MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, bank berbasis Syariah bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya, seperti asuransi syariah yang memang belum menjamur seperti bank syariah. Dalam tiga tahun terakhir ini industri perbankan syariah mengalami perkembangan yang pesat dan diiringi dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan dan tantangan.

Secara industri pada akhir 2005 terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 92 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Hingga Desember 2007 jumlah BUS tidak mengalami peningkatan, tetapi jumlah UUS meningkat menjadi 26 dan BPRS menjadi 114. Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor bank, pada periode 2005-2007 industri ini mengalami peningkatan volume usaha cukup besar, dari Rp 20,9 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 36,5 triliun tahun 2007. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga meningkat dari Rp15,6 triliun pada 2005 menjadi Rp 28,0 triliun pada 2007.

Page 19: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan yang diberikan (PYD) perbankan syariah juga meningkat dari Rp 15,2 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 27,9 triliun pada 2007. Berdasarkan jenis penggunaannya, sebagian besar pembiayaan masih terfokus pada tiga jenis pembiayaan, yakni piutang mudharabah 59,24 persen, pembiayaan mudharabah 19,96 persen, dan pembiayaan musyarakah sebesar 15,77 persen. Pertumbuhan pembiayaan yang masih cukup tinggi dalam kondisi sektor riil yang kurang kondusif akibat meningkatnya tekanan inflasi, berdampak pada meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah (NPL).

Pada akhir 2005 NPL bertahan pada level terkendali, rasio NPF (gross) sebesar 2,8 persen. Namun, pada 2007 meningkat menjadi 4,05 persen. Dari sesi profitabilitas, pada 2005 perbankan syariah mampu mencatatkan tingkat keuntungan Rp 238,6 miliar, meningkat menjadi Rp 540,08 miliar pada 2007. Sejalan dengan peningkatan profitabilitas ini, rasio keuntungan terhadap aset yang dikelola meningkat dari 1,35 persen pada 2005 menjadi 1,78 persen tahun 2007.Tantangan ke depan Kondisi perbankan syariah pada tahun mendatang diperkirakan akan terus membaik. Ini terbukti dengan masih tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Dalam rangka peningkatan jangkauan melalui kemudahan untuk membuka kantor pelayanan, diharapkan dapat memberikan pengaruh pada minat masyarakat. Di sisi lain, secara internasional peluang memanfaatkan investasi asing, khususnya dari Timur Tengah ke dalam sistim perekonomian Indonesia masih terbuka lebar.

Industri keuangan syariah secara internasional menunjukkan pertumbuhan sangat tinggi yang memberikan peluang besar bagi sistim keuangan syariah. Harapan dapat menerbitkan sukuk menjadi semakin besar dengan minat pemerintah menerbitkan global sukuk berdenominasi valuta asing. Hal ini berpotensi meningkatkan variasi instrumen keuangan syariah yang akan sangat berguna bagi likuiditas sistim keuangan syariah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi global dan meningkatnya minat masyarakat, perbankan syariah menghadapi tantangan besar.Dalam usia relatif muda, setidaknya ada tiga tantangan besar ekonomi Islam. Pertama, ujian atas kredibiltas sistim ekonomi dan keuangannya. Kedua, bagaimana ekonomi syariah dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi kemiskinan serta pengangguran. Ketiga, perangkat peraturan, hukum, dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Ahli ekonomi Islam di Indonesia yang terdiri dari akademisi dan praktisi telah membentuk organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang berdiri dan dideklarasikan pada 3 dan 4 Maret 2004 di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia dalam momentum Konvensi Nasional Ahli Ekonomi Islam Indonesia.RUU Perbankan Syariah, dewasa ini pemerintah tengah berusaha mengembangkan perbankan syariah. Pemerintah mengharapkan sistim perbankan syariah sebagai bagian dari sistim ekonomi nasional yang dapat merespons agenda nasional. Mengingat pentingnya pembangunan ekonomi syariah, pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya bagi pengembangan sistim ekonomi syariah dengan melakukan perubahan Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan menjadi UU No 10/1998. Undang-undang ini mengatur pranata hukum bagi keberadaan bank syariah di Indonesia.

Berdasarkan UU ini pula, bank umum konvensional diperbolehkan berusaha dengan prinsip syariah melalui pembukaan Unit Usaha Syariah. Pada 1999 pemerintah mengeluarkan UU No 23/1999 yang kemudian diamendemen dengan UU No 3/2004 tentang BankIndonesia. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada BI untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Dalam mempercepat pertumbuhan perbankan syariah, keberadaan UU Perbankan Syariah mutlak diperlukan. Untuk mewujudkannya, pemerintah dengan DPR tengah menyelesaikan RUU

Page 20: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

tersebut. Hingga kini pembahasan RUU Perbankan Syariah masih menyisakan beberapa pasal krusial.

Adapun pasal-pasal krusial itu antara lain pasal berkenaan dengan 1) keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS), 2) keberadaan Unit Usaha Syariah (UUS), 3) masalah perizinan, 4) lembaga penyelesaian sengketa, 5) kepemilikan asing, 6) kewenangan penyidikan, dan 7) lembaga yang berwewenang menetapkan fatwa.

Pembahasan RUU ini diharapkan segera selesai. Dengan ditetapkannya UU Perbankan Syariah ini, nantinya diharapkan dapat menjadi faktor pemacu pertumbuhan perbankan syariah, baik dalam membuka jaringan bank umum syariah, UUS, maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.Pertumbuhan perbankan syariah ini selanjutnya diharapkan dapat membawa multiplier effect dalam perekonomian nasional. Selama ini perbankan syariah telah teruji kemampuannya dalam menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara menyeluruh. Secara faktual perbankan syariah telah terbukti keunggulannya dalam masa krisis. Pada waktu bank konvensional mengalami guncangan akibat badai krisis pertengahan 1997, perbankan syariah dengan sistim bagi hasil terbukti selamat dari badai tersebut. Untuk itu, dengan keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan akan semakin menumbuhkan perekonomian nasional. Akhirnya, keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan pula dapat membawa dampak pada aliran dana investasi keIndonesia yang semakin meningkat, terutama dari negara-negara Timur Tengah.

Ikhtisar: Praktik bisnis berdasar syariah terbukti mampu menghadapi badai krisis hingga kini dan dukungan Undang-Undang Perbankan Syariah akan makin memajukan perbankan syariah dan sektor runtutannya.(Republika Online)(Sumber data : Makmun,republika online, Sistim ekonomi syariah)

Perjalanan panjang kaum profesional Muslim untuk memperjuangkan legalitas ekonomi syariah di bumi Indonesia akhirnya mulai mewujud pada tahun 2008 dengan lahirnya UU Perbankan Syariah, yang bersamaan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).Bagi para pemangku kepentingan perbankan syariah, tahun 2008 menjadi tonggak penting setelah selama ini aspek yuridis operasional perbankan nonribawi di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini hanya menumpang pada hukum positif perbankan konvensional. Saat awal kaum profesional Muslim ingin menjalankan bank yang beroperasi dengan sistim bagi hasil, azas hukumnya pada UU Perbankan No.10 tahun 1992. Namun itu belum cukup, karena perbankan syariah tersendat jalannya dan terbukti dalam enam tahun pertama kemudian hanya satu bank syariah yang muncul yakni Bank Muamalat pada 1992.Perjuangan berlanjut lagi, yang kemudian timbul amandemen UU sebelumnya, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1998 yang memuat ketentuan lebih rinci di dalamnya tentang perbankan syariah. UU ini cukup memberi payung kondusif di saat perkembangan awal, terbukti cabang-cabang Bank Muamalat mulai dibuka di berbagai kota. Juga lahirnya bank-bank syariah baru atau unit syariah pada bank umum, serta di tingkat mikro ada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wa Taamwil (BMT).

Kini setelah DPR melalui rapat paripurna di Jakarta, Selasa (17 Juni 2008), menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perbankan Syariah menjadi UU, dan sebulan kemudian pada 16 Juli 2008 pemerintah mengundangkan UU itu di lembaran negara, payung hukum bisnis pembiayaan nonribawi di Indonesia melangkah ke depan lebih pasti. Anggota Dewan Syariah

Page 21: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Nasional (DSN), Adiwarman A. Karim mengungkapkan, paling tidak terdapat enam hal baru dalam UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. “Enam hal itu adalah otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS),” kata Adiwarman saat sosialisasi UU tentang Perbankan Syariah. 

Ia menjelaskan, kegiatan usaha bank syariah harus tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk Komite Perbankan Syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi berimbang dengan jumlah maksimum 11 orang.Untuk pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS terdapat pemilihan antara aspek teknis perbankan dan aspek kepatuhan pada prinsip syariah. Dari sisi teknis perbankan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh BI, sementara kepatuhan terhadap prinsip syariah dilakukan oleh MUI yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diangkat oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) atas rekomendasi MUI. 

Mengenai masalah pajak berganda, mekanisme penyaluran barang dari bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan hanya dapat dilakukan melalui sistim pembiayaan, bukan melalui sistim jual beli, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran lagi terhadap adanya kemungkinan pengenaan pajak ganda atas setiap transaksi barang antara bank syariah dengan nasabah.Sementara itu aturan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. “Ini tidak mencabut kewenangan penyelesaian sengketa di peradilan umum, karena jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di peradilan agama, maka penyelesaian dilakukan sesuai perjanjian,” kata Adiwarman. 

Hal baru lain dalam UU Perbankan Syariah adalah konversi UUS menjadi BUS yang menetapkan bank umum konvensional yang memiliki UUS yang nilai asetnya mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya, atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah, maka bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS itu menjadi bank umum syariah.

Tantangan Krisis, meski UU Perbankan Syariah telah eksis, tantangan bank nonribawi di tengah kepungan bank konvensional masih membentang. Perkembangan sistim finansial syariah yang pesat boleh jadi sedang mendapat ujian untuk benar-benar bisa membuktikan sebagai sistim alternatif, atas sistim perbankan kapitalisme yang saat ini terimbas krisis keuangan global. 

Aktivitas perbankan syariah di Indonesia yang hampir seluruh pembiayaannya masih diarahkan kepada sektor bisnis riil di perekonomian domestik dan tidak memiliki tingkat integrasi tinggi dengan sistim keuangan global yang ribawi, menjadi faktor yang “menyelamatkan” bank syariah dari imbas langsung dampak krisis.

Secara substansial pun, yang “menyelamatkan” perbankan syariah adalah perbedaan operasional dengan perbankan konvensional, di mana dalam sistim keuangan Islam melarang pinjaman dengan beban bunga, yang dipandang sebagai riba, serta sistim syariah ini melarang spekulasi derivatif.

Page 22: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Sebagai gantinya, pembiayaan harus pada sektor riil, serta faktor risiko dan keuntungan ditanggung bersama antara bank dan nasabah.Oleh karena itu kalau operasional perbankan syariah di tanah air hingga kini tetap tenang menjalankan bisnisnya adalah hal wajar. Bahkan, dari hasil analisis yang dikutip dari Outlook Perbankan Syariah 2009, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang baik.

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9 persen pada triwulan ketiga tahun 2008. Adapun nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah telah mencapai Rp37,7 triliun. Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. Prospek 2009, perbankan syariah nasional menapaki tahun 2009 diperkirakan tetap dalam fase pertumbuhan tinggi, yang didasarkan aspek yuridis UU Perbankan Syariah membuat kepastian hukum dan mendorong peningkatan implementasi kapasitas usaha bisnis syariah. Juga, UU SBSN menjadi penguat kinerja sistim keuangan Islami itu.

Kemudian adanya amandemen UU Perpajakan memberi kepastian hukum dalam mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui penarikan peran investor asing. Di lapangan, bakal terealisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah). Paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.

Demikian pula akan terjadi realisasi penerbitan Corporate Sukuk oleh bank syariah untuk memperkuat modal dasar perbankan syariah. “Yang tak kalah penting, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah. Demikian pula perbankan syariah dinilai sebagai bank universal. Bukan bank semata-mata untuk orang Islam,” kata Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah.Namun bagi kalangan bankir syariah, untuk mendukung perkembangan pesat pembiayaan nonribawi itu perlu instrumen operasi moneter syariah terus dilengkapi, karena operasi moneter syariah (OMS) yang baru saja diatur oleh Bank Indonesia (BI) belum maksimal.Menurut Direktur Utama Bank Mega Syariah (BMS) Beny Witjaksono, instrumen operasi moneter syariah masih belum lengkap karena saat ini yang ada baru reposurat berharga syariah negara (SBSN). Sedangkan untuk “fine tuning expansion”, “fine tuning contraction” dan fasilitas lelang penyerapan dana Bank Indonesia (Fasbi) belum ada. 

Tugas BI dalam menyempurnakan sitem keuangan syariah memang harus terus ditingkatkan seiring berkembang pesatnya transaksi keuangan syariah. Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah sendiri pernah menyatakan Bank Indonesia (BI) berketetapan merumuskan strategi besar pengembangan pasar syariah, sehingga pangsa lima persen dibandingkan bank konvensional lebih cepat tercapai dari saat ini sekitar 2,2 persen. Pada akhirnya dengan rel jelas yang mengacu UU Perbankan Syariah, Petinggi Negara yang melaksanakan kebijakan Pemerintahan untuk meminta pengelola

Page 23: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

perbankan syariah nasional dapat menjadi pemain domestik yang andal dan memiliki kualitas layanan dan kinerja bertaraf internasional, bukan sesuatu yang mustahil.(Sumber data :Zaenal Abidin).

Jika perkembangan ekonomi syariah didunia Eropa (kaum nasrani) seperti di Inggris, Australia, Jepang sudah menggunakan sistim ekonomi syariah, Indonesia Kenapa tidak…karena sistim ekonomi syariah adalah identik dengan ekonomi kerakyatan yang dapat menandingi sistim Neolib dan Kapitalis….sedangkan yang telah digambar-gemborkan mengenai sistim ekonomi tengah adalah suatu difinisi yang tidak terdapat dalam maszab maupun sistim ekonomi didunia, sistim ekonomi tengah adalah suatu difinisi yang tidak mempunyai standart dan asal usulnya…ini adalah difinisi yang bersifat pembodohan terhadap rakyat dan Bangsa.

Kita harus konsisten berbicara kepada system mana kita berpijak, Neolib, Liberal, Kapitalis atau atau Ekonomi syariah/ekonomi kerakyatan……jika kita berbicara ekonomi kerakyatan atau ekonomi syariah maka identik dengan UUD 45 dan Pancasila, ……dan untuk mengembangankan Ekonomi Syariah, yang mana Negara Indonesia sudah tertinggal jauh oleh Negara Eropa yang sudah lama beralih dan mengembangkan Ekonomi Syariah.

Atas dasar permasalahan tersebutlah, maka sudah seharusnya Negara Indonesia perlu melakukan kiat-kita untuk menarik Investor Timur Tengah dengan melakukan pembenahan dilima bidang perekonomian di Indonesia.Memasuki 2009 Indonesia harus bekerja keras menghadapi berbagai tantangan antara lain merembetnya resesi besar yang melanda Amerika dan Eropa bahkan ke Jepang, India, dan China.Negara-negara tersebut merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia. Selain itu, kita akan menghadapi pemilu baik legislatif maupun presiden.

Meroketnya harga minyak sejak 1998 telah menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai tempat berlimpahnya likuiditas. Sebuah hasil riset menunjukkan bahwa per tahun 2006 terdapat dana sekitar US$2,4 triliun sampai US$2.8 triliun yang siap diinvestasikan dari negara-negara kawasan Teluk, di mana US$150 miliar sampai US$180 miliar di antaranya khusus untuk investasi di sektor keuangan syariah. Negara mana saja yang menikmati kucuran investasi dana Timur Tengah tersebut, bagaimana cara mereka menarik investasi dan upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk meyakinkan para investor arab menanamkan modalnya di Tanah Air? Negara-negara di kawasan Asia Selatan merupakan salah satu kawasan yang menikmati aliran dana investasi dari Timur Tengah, diikuti China, London dan Austrailia dalam jumlah miliaran dolar AS.

Untuk bisa menangkap peluang investasi dari Timur Tengah tersebut pemerintah paling tidak harus menyiapkan lima hal yakni kelengkapan perangkat hukum, lingkungan bisnis yang mendukung, kebijakan ramah investasi, kebijakan insentif perpajakan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Dengan disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Nasional pada tahun 1998 merupakan langkah strategis penting yang telah diambil pemerintah beserta DPR. Walaupun sebenarnya kelengkapan perangkat hukum di bidang keuangan syariah tersebut sangat terlambat datangnya yakni 16 tahun setelah bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992.

Page 24: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Negara Indonesia sudah terlambat 25 tahun dibandingkan dengan Negara-negara lainnya yang telah memiliki Islamic Banking Act pada 1983 dan Takaful Act pada 1984. Kehadiran kedua UU tersebut telah lama sekali ditunggu kehadirannya, tidak hanya oleh para pelaku industri keuangan syariah domestik, tetapi juga para investor asing.Undang-undang tersebut telah memberikan arahan jelas tentang pendirian bank syariah, pembentukan dewan syariah, dan penyelesaian sengketa atas transaksi syariah.

Namun, sayangnya UU tersebut belum cukup menarik bagi para investor untuk datang mengingat ketidakjelasan mengenai status kepemilikan (beneficial ownership) dalam transaksi obligasi syariah (sukuk) dan masih simpang siurnya status pajak ganda atas transaksi pembiayaan syariah.

Dengan adanya suatu kepastian hukum dan deregulasi proses perizinan merupakan salah satu kunci untuk menciptakan suasana bisnis yang kondusif.Berdasarkan penilaian OECD dan Bank Dunia mengenai efektivitas peraturan dalam mendukung iklim bisnis, walaupun telah menunjukkan adanya peningkatan dengan diberlakukannya beberapa deregulasi, Indonesia masih tergolong berkategori buruk yang selevel dengan negara seperti Hongaria dan Meksiko. Dalam rangka meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi terutama di sektor keuangan syariah, BankIndonesia perlu memberlakukan liberalisasi keluar masuknya dana investasi asing.

Investor asing perlu secara bebas menentukan denominasi mata uang yang akan mereka investasikan di Indonesia, serta bebas untuk menentukan jumlah dan jenis mata uang dalam rangka pemulangan kembali dana hasil investasi ke negara asalnya.

Hal ini perlu dilakukan agar menurunkan beban biaya investor dalam berinvestasi, meningkatkan efisiensi serta mendorong sistim keuangan yang progresif dan kompetitif. Perlunya dibuat semacam kawasan one stop service sebagaimana MIFC (Malaysia Islamic Financial Centre) ataupun DIFC (Dubai Islamic Financial Centre). Dan faktor lain adalah sistim perpajakan yang benar-benar tidak menarik bagi investor terutama untuk sektor keuangan syariah karena diberlakukannya pajak ganda bagi transaksi pembiayaan syariah. Pemberlakuan netralitas pajak antara sistim konvensional dan syariah mutlak diperlukan.

Di Dubai misalnya, semua transaksi yang dilakukan oleh perbankan, asuransi dan pasar modal syariah bisa dipastikan tidak dikenakan pajak ganda karena mereka menerapkan sistim netralitas perpajakan bahkan mereka menawarkan beragam skema insentif perpajakan. Sektor perbankan dan asuransi syariah tidak dikenakan pajak pendapatan untuk semua pendapatan yang diperoleh bank dan asuransi syariah dalam semua bentuk mata uang asing yang dilakukan oleh bank syariah internasional, operator asuransi syariah internasional serta unit bisnis yang berada di bawah naungan lembaga MIFC dan DIFC serta masih banyak lagi skema insentif lainnya terkait dengan obligasi syariah dan raksa dana syariah.

Kurangnya SDM yang ahli dibidang keuangan syariah yang menyebabkan kurangnya inovasi produk yang dapat menarik minat investasi di sektor keuangan syariah, menjadi faktor selanjutnya. Sebenarnya Bank Indonesia memiliki lembaga pendidikan di bidang perbankan yakni Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), tetapi kita belum pernah mendengar komitmen Bank Indonesia untuk mengembangkan SDM ekonomi syariah secara serius.

Pada akhirnya, dengan suatu prinsip optimis menatap masa depan pada tahun 2009 dengan menciptakan suasana aman dan tenteram dalam melaksanakan pemilu, tetapi tetap bekerja keras

Page 25: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

menghadapi resesi dengan melanjutkan agenda-agenda perbaikan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi dan mitra bisnis strategis bagi Timur Tengah, serta dengan semakin mantapnya ekonomi syariah yang didasari oleh landasan hukum yang jelas dapat menandingi sistim Neolib apalagi ekonomi tengah yang tidak terdapat dalam sistim ekonomi apapun yang terdapat dalam teori-teori ilmu ekonomi didunia.(sumber data : Bisnis Indonesia, Rabu, 7 Januari 2009, daniri)

Bersandar pada Fakta dan Issu yang terjadi baik secara Factor Internal dan Faktor Eksternal, dimana perkembangan ekonomi Syariah terus menanjak naik seiring dengan krisis globalisasi dunia salah satu dibidang Sukuk, dimana pengertian sukuk menurut fatwa No. 32/DSNMUI/ IX/2002 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, menurut Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-130/BL/2006 Tahun 2006 Peraturan No. IX.A.13, sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. 

Inovasi baru-baru ini dalam keuangan Islam telah mengubah dinamika industri keuangan Islam terutama dalam area bonds dan sekuritas. Penggunaan sukuk atau sekurtias islam menjadi terkenal dalam beberapa tahun terakhir ini, baik government sukuk maupun corporate sukuk. Sukuk sudah berkembang menjadi salah satu mekanisme yang sangat penting dalam meningkatkan keuangan dalam pasar modal internasional melalui struktur yang dapat diterima secara Islam. Perusahaan multinasional, Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan lembaga keuangan menggunakan sukuk internasional sebagai alternatif pembiayaan sindikasi. Obligasi syariah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu instrumen keuangan yang sangat diminati pasar….(karena memegang prinsip-prinsip kesyariahan).

Dilansir dari Islamic Businnes & Finance Magazine Daya tarik sukuk sebagai salah satu alternatif untuk memperoleh dana segar dari Timur Tengah telah membuat banyak perusahaan di dunia melirik instrument keuangan yang berbasis ekonomi syariah ini, tidak ketinggalan Hongkong pun ikut tertarik untuk memanfaatkan peluang manis ini. Hongkong sebagai salah satu hub bisnis keuangan di Asia berminat untuk mengembangkan Islamic Finance guna menarik minat para investor dari Timur Tengah dan para pebisnis yang berminat dengan produk-produk yang berlandaskan syariah Islam. Keadaan ekonomi kapitalis yang saat ini sedang guncang dan melimpahnya dana segar di Timur Tengah sebagai akibat kenaikan harga minyak dunia ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi khususnya di Hongkong. Sejak Juli tahun lalu Pemerintah Hongkong melalui Hongkong Monetary Authority (Bank Sentral Hongkong) telah membentuk kelompok kerja yang bertugas menerbitkan peraturan yang diperlukan terkait dengan sistim ekonomi syariah , sistim pajak dan regulasi lainnya agar sistim syariah bisa berjalan seperti sistim ekonomi konvensional Donald Tsang selaku Chief Executive Hongkong ketika mengunjungi Uni Emirat Arab.Menjelaskan .. Tsang menjelaskan bahwa sukuk tidak hanya diminati oleh investor muslim tapi juga dari kalangan non muslim, dimana mereka melihat

Page 26: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

“kelebihan” dari sistim ekonomi syariah ini jika dibandingkan dengan sistim konvensional. Disamping itu, banyak bank asing yang beroperasi di negeri tersebut juga telah menggunakan sistim syariah. 

Pemerintah Hongkong juga telah mengumumkan rencana untuk menerbitkan sukuk dengan menggunakan skim ijarah pada bulan Desember tahun ini. Selain Hongkon, Indonesia dan Inggris juga akan melakukan hal yang sama. Kegigihan Hongkong untuk mengembangkan sistim syariah telah membuahkan hasil. Hal itu ditandai dengan disetujuinya peluncuran Hangseng Islamic China Index Fund oleh Badan Pengawas Pasar Modal Hongkong. Islamic index tersebut akan dijalankan oleh Hangseng Investment Management salah satu anak perusahaan HSBC. Meskipun demikian, masih diperlukan banyak “Pekerjaan Rumah” agar sistim syariah ini bisa betu-betul berjalan dan berkembang. Diantaranya, Hongkong perlu mendirikan badan arbitrase syariah sebagai badan yang nantinya akan menyelesaikan segala sengketa syariah, perlunya meningkatkan kapasitas dan kemampuan dari dewan pengawas syariah, dan seluruh pihak yang berkaitan dengan sistim ekonomi syariah ini berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman mereka tentang ekonomi syariah itu sendiri. 

Mari kita telusuri secara mendalam, akan kearah manakah ekonomi syariah, apakah masuk kedalam pasar modal ataukah mencari investor asing yang mau tunduk kepada ketentuan-ketentuan kesyariahan yang sudah jelas menganut sistim-sistim Hukum Islam, memisahkan yang halal dan yang haram. Untuk lebih jelasnya kita analisa pada ruang lingkup Hukum Perbankan Syariah Indonesia.

Bank Syariah dikenal dengan nama lain : Bank Tanpa Bunga (La Riba Bank), Bank Islam (Islamic Bank), dan Bank Nirbunga . Kegiatan dalam praktik Bank Syariah merupakan bagian dari Muamalah. Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukarkan manfaatnya, yang dalam pembahasan pada buku ini akan dikhususkan dalam operasional kegiatan muamalah dibidang ekonomi melalui perbankan. Dalam buku ini istilah yang akan digunakan adalah Bank Syariah.

Bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam, yaitu bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Hadits. Makna bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tatacara bermuamalah dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Bank yang tata cara operasinya mengacu kepada Al Qur’an dan Hadits adalah bank yang tata cara beroperasinya mengikuti perintah dan larangan yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesuai dengan perintah dan larangan itu, maka yang dijauhi adalah praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh beliau.

Di dalam mengoperasionalkan Bank Syariah agar tidak menyimpang dari tuntunan Syariah maka pada setiap Bank Syariah hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam. Selain itu dibentuk Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syariahnya. Di dalam mengoperasionalkan Bank Syariah,

Page 27: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

dasar hukum pertama adalah Al Qur’an dan Hadits. Berikut ini akan dinukil beberapa ayat-ayat dalam Al Qur’an sebagai dasar operasional Bank Syariah, antara lain :a.Al-Baqarah : 275, yang artinya : ”orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”, b.Al-Imran : 130, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” dan c.An-Nisa’ : 29, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”. Selain beberapa ayat Qur’an di atas maka berdasarkan hukum positif, landasan dalam mengopersionalkan Bank Syariah adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya ditulis UUPI), karena belum ada peraturan perundangan khusus mengenai Bank Syariah.

Untuk memberikan legitimasi yuridis mengenai operasional Bank Syariah sudah diadopsi dalam UUPI, walaupun baru sebatas diakomodirnya Prinsip Syariah dalam operasional bank. Di dalam Pasal 1 ayat (3) UUPI menjelaskan Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian Prinsip Syariah terdapat dalam Pasal 1 butir (13) UUPI yang menyebutkan, Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, penyertaan modal, jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan, pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari bank oleh pihak lain.

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, di dalamnya mengatur antara lain ketentuan tentang proses pendirian Bank Umum Nirbunga. Berdasarkan Pasal 28 dan 29 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, mengatur tentang beberapa kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah. Peraturan lainnya yang khusus mengatur Akad dalam kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Dasar hukum lainnya yang dapat digunakan dalam pembuatan ataupun pelaksanaan akad dengan prinsip murabahah didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) dan (3) Buku III KUH Perdata. Peraturan lain yang memberikan dasar bagi beroperasionalnya Perbankan Syariah khususnya dalam hal mempertahankan hak dari para pihak yang dalam Ilmu Hukum dikenal sebagai hukum formalnya adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya ditulis UU Peradilan Agama) yang digunakan dalam penyelesaian para pihak melalui pengadilan atau dikenal secara litigasi. Di dalam peraturan tersebut terdapat pengertian Ekonomi Syariah dan adanya kompetensi absolut Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah.

Larangan Melakukan Riba sebagai Latar Belakang Lahirnya Perbankan Syariah 

Page 28: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Larangan riba terdapat di dalam Surat An-Nisa : 29, yang artinya “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil. Pengertian riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan), dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan berkembang. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau menjadi modal secara batil (bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam). Riba inilah yang menjadi problematika yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat dalam menentukan apakah bunga bank itu sama dengan riba yang dilarang dalam agama Islam ? Dengan kata lain apakah bunga bank itu haram, halal atau mutasyabihat. 

Seperti telah diketahui bahwa berdasarkan Hukum Islam, kedudukan dan kegiatan-kegiatan bank atau lembaga perbankan belum ada pada masa Rasulullah, oleh karena itu maka masalah perbankan dapat diklasifikasikan dalam masalah ijtihadiah, karena merupakan masalah ijtihadiah maka terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dalam menentukan hukumnya menurut Agama Islam. Berdasarkan pengkajian ilmiah oleh Majelis Ulama Sumatera Utara bersama Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara pada Tahun 1985, disimpulkan bahwa :a.Perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalah satu sub sistim dari sistim ekonomi

dewasa ini yang sulit dapat dihindarkan; b.Riba yang sifatnya adh’afan mudha’afah (berlipat ganda) adalah hukumnya haram, sesuai

dengan nash yang shahihah dari Al Qur’an dan Sunnah; c.Pendapat mengenai bunga bank, masih terdapat perbedaan pendapat dari para ulama, pendapat-

pendapat tersebut sebagai berikut:1) Mengharamkan bunga bank karena menganggapnya sama dengan riba, 2) Membolehkan bunga bank karena menganggapnya tidak sama dengan riba, yang diharamkan

oleh syariat islam dan 3) Bunga bank adalah haram, tetapi karena belum ada jalan keluar untuk menghindarkannya,

maka dibolehkan (karena dianggap darurat).

Jika didasarkan pada hasil Majelis Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo, yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh Bank-Bank Milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara “musytabihat” atau mutasyabihat, selanjutnya berdasarkan pada Hasil Majelis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta dalam Muktamar Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 dalam masalah bunga bank masih mempunyai kesimpulan yang sama yaitu bunga bank adalah “musytabihat” . Pada tahun 2006 Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah mengkalsifikasikan bahwa bunga bank masuk kategori haram yang telah dituangkan dalam draft Putusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 

Hasil Lokakarya Perbankan Islam yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Tahun 1990 menetapkan prinsip nirbunga yang dikemukakan para pemikir muslim ke dalam tiga kategori :a. Pandangan pertama, mengkategorikan bunga bank haram karena sama dengan riba; b. Pandangan kedua, bunga bank halal karena tidak sama dengan riba; c. Pandangan ketiga memasukkan dalam kategori mutasyabihat (dubious, seyogyanya dihindari

tetapi boleh dipraktikkan karena keadaan darurat dan terpaksa. Terakhir, pada awal Tahun 2004 keluar Fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank. Sebelum menguraikan arti dari riba akan dipaparkan beberapa Sumber Hukum Islam yang mengatur tentang riba antara lain :

Page 29: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

a.Ar-Rum (30) : 39, yang artinya : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia

menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahala); 

b.An Nisa (4) : 160-161, yang artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan-makanan) yang baik-baik yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dank arena banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih; 

c.Ali Imran (3) : 130, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”;

d.Al Baqarah (2) : 275, yang artinya : Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba;e.Al Baqarah (2) : 278-279, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada

Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiyaya. 

Jika ditelaah dari isi ayat-ayat dalam Al Qur’an, dapat diketahui bahwa Allah menetapkan riba dengan “berlipat ganda” dan inilah yang diharamkan Al Qur’an. Tuhan tidak mengharamkan selainnya (Rasyid Rida, tt: 114).

Menurut etimologi atau makna bahasa, riba berarti tambahan (az-ziyadah). Raba idza zada wa’ala, sesuatu itu riba apabila ia bertambah dan meninggi, sedang menurut terminologi (istilah) riba menurut syara’ adalah tambahan terhadap modal. Dalam Hukum Islam riba diartikan sebagai tambahan dengan criteria tertentu. Pendapat lain menyebutkan riba adalah kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari dua orang yang bertransaksi. 

Menurut Ibnu Qayyim, riba dikategorikan menjadi dua bagian yaitu Riba Jaliy dan Riba Khafiy. Riba Jaliy adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan madlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba Khafiy diharamkan untuk menutup terjadinya riba jaliy (wal-khafi haramun li-annahu dzari’atun ilaljaliy).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai bunga bank bahwa bunga bank diklasifikasikan haram karena sama dengan riba, diklasifikasikan halal karena tidak sama dengan riba dan ada yang membolehkan karena darurat, ada kepentingan yang mendesak yang harus dilakukan dan belum ada jasa lain yang dapat memfasilitasinya, dengan tetap mendasarkan adanya maslahat. Jika dikategorikan dalam Riba Jahiliy dan Riba Khafiy, maka bunga bank itu termasuk Riba Khafi yang dibolehkan jika ada maslahat.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka seyogyanyalah untuk menjaga kehidupan dari kemungkinan memakan atau menggunakan uang haram jika sudah tersedia Bank Syariah seyogyanya menggunakan jasa Bank Syariah, karena operasional Bank Syariah (Bank Islam) bebas bunga. Opersional Bank Syariah menggunakan sistim bagi hasil dan di dalam kelembagaan Bank Syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah yang terus mengontrol opersional Bank Syariah sesuai dengan Prinsip Syariah. 

Page 30: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Sejarah Perkembangan Bank Syariah, Perkembangan Perbankan Syariah Internasional Di dalam menguraikan tentang sejarah perkembangan Bank Syariah di bawah ini akan diperhatikan dari perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Syariah. Namun mengingat Perbankan Syariah bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka akan diuraikan terlebih dahulu mengenai Perkembangan Perbankan Syariah secara umum di luar Indonesiadan secara Internasional.

Berdasarkan sumber dari Bank Indonesia, pengembangan Perbankan Syariah secara Internasional dimulai pada tahun 1890, yaitu keberadaan The Barclays Bank yang membuka cabang di Kairo Mesir dan pertama kali mendapat kritik tentang bunga bank. Pada tahun 1900 -1930 mulai tersebar adanya pemahaman bahwa bunga bank adalah riba. Pada tahun 1930 -1950, pertama kalinya Ekonomi Islam memberikan alternatif aktivitas partnership yang sesuai dengan Syariah.

Konsep teoritis mengenai Bank Syariah muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai Perbankan Syariah yang ditandai dengan banyaknya pemikiran-pemikiran muslim yang menulis tentang keberadaan Bank Syariah, misalnya: Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952) . Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai Perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) . Dalam perkembangan sejarah, pada awal abad ke-20 merupakan masa kebangkitan dunia Islam dari ”ketertidurannya” di tengah pergolakan dunia. Kondisi ini membawa pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai Syariah dalam kehidupan nyata. Salah satu upayanya adalah dalam penerapan lembaga keuangan Syariah yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Perintisan penerapan sistim profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga keuangan Syariah, tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana jemaah haji secara nonkonvensional diPakistan dan Malaysia .

Dilanjutkan pada tahun 1950, Ekonomi Islam mulai menawarkan model teori perbankan dan keuangan pengganti system bunga berdasarkan konsep two-tier mudharabah. Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Islamic Rural Bank yang didirikan di daerah Myt Ghamr oleh Dr. Ahmed El-Najar yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir, walaupun pada akhirnya operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt . Myt Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menterjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersiil.

Secara kolektif gagasan berdirinya Bank Syariah di tingkat Internasional muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan April 1969, yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal, yaitu: 1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak haram hukumnya, 2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank Syariah yang bersih dan sistim riba dalam waktu secepat mungkin dan 3. Sementara waktu menunggu berdirinya bank Syariah, bank-

Page 31: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

bank yang menerpapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.

Pada tahun 1970, mulai bermunculannya bank dan lembaga keuangan syariah lainnya di beberapa negara muslim serta aktivitas keilmuan dan institusi-institusi strategis seperti Konferensi Ekonomi Islam. Pada bulan Desember 1970, di Karachi, Pakistan diawali dengan sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), ketika Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan Bank Syariah Internasional. Setelah melalui tahapan-tahapan tertentu dan persetujuan negara-negara OKI pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 (dua puluh dua) negara Islam pendiri. IDB berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dana negara-negara Islam untuk pembangunan dan secara aktif memberi pinjaman bebas bunga berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. IDB juga berperan dalam memotivasi banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan Syariah. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, lembaga keuangan Syariah bermunculan di Mesir,Sudan, negara-negara Teluk - Gulf States: negara-negara Arab-,Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki.

Bank Syariah pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50 (lima puluh) bank yang bebas bunga . Pada tahun 1977 berdiri dua Bank Syariah dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House.

Secara Internasional, perkembangan perbankan Syariah pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakisten bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Syariah Internasional untuk perdagangan dan pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistim keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistim kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.

Proposal tersebut diterima, dan sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam. 

Pada sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bula Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 (dua) milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI. 

Page 32: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Pada tahun 1980, semakin banyak dikembangkan bank, lembaga keuangan syariah dan institusi pendidikan ekonomi & keuangan Islam di Negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investmnt Bahrain Islamic Bank dan Islamic International holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

Pada tahun 1990, kebijakan publik mulai mewarnai sistim keuangan Islam yang dimiliki beberapa Negara muslim (mulai berdirinya Accounting and Auiditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI), dan konferensi ekonomi & keuangan Islam yang mendunia). Perbankan Syariah terus tumbuh karena nilai-nilainya yang berorientasi pada etika bisnis yang sehat. Dan konferensi pers yang dilakukan di Singapura pada Agustus 1998 dapat diketahui bahwa lembaga keuangan Islam mengalami perkembangan yang pesat di dunia. Jumlahnya telah mencapai 200 buah, di antaranya 160 berupa bank, dan sisanya adalah lembaga keuangan non bank.Perbankan Syariah telah merambah dan diterima bukan saja di negara-negara muslim tetapi juga negara-negara non muslim. Negara-negara yang sebagian penduduknya bukan muslim telah pula mengembangkan Perbankan Syariah. Kesempatan pengembangannya di negara non muslim tersebut ternyata cukup besar. Ketika diadakan Islamic Banking Conference di Toronto, Kanada, pada tanggal 25 Mei 1995, Don Blankarn, mantan Ketua Special Commite on Banks and Banking telah mengemukakan: “There is a huge opportunity for Islamic banking and finance inCanada” . 

Perkembangan beberapa Bank Syariah di dunia dari tahun ke tahun antara tahun 1973 sampai 1999 dapat ditampilkan dalam tabel berikut.Perkembangan Bank-Bank Syariah, Perkembangan lainnya terkait dengan Perbankan Syariah yang terjadi sekitar tahun 2000-2005 adalah diterbitkannya Obligasi Syariah swasta dan pemerintah yang mulai berkembang dan tumbuh pesat. Berdirinya Infrastructure institutions seperti Islamic Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), International Islamic Rating Agency (IIRA), (General) Council of Islamic Banks and Financial Institutions (CIBAFI), and Arbitration and Reconciliation Centre for Islamic Financial Institutions (ARCIFI) were established .

Berdasarkan informasi dari berbagai observasi diketahui present size of the IFSI (Islamic Financial Service Institution): 1.Berdasarkan data CIBAFI industri ini meliputi 284 Islamic financial institutions (IFIs) yang beroperasi di 38 negara dengan volume sebesar USD 178.5 miliar. Jumlah ini tidak termasuk “conventional banks’ Islamic window operations”, yang estimasinya mencapai USD 200 miliar.

Data inipun tidak termasuk non-banking financial institutions, Takaful dan aktivitas di pasar modal, 2. Pasar Modal Islam: a.Berdasarkan data The Islamic Banker, London, diperkirakan lebih dari 250 lembaga “mutual funds” Syariah yang mengelola sekitar USD 300 miliar assets, b.The Liquidity Management Centre (LMC) Bahrain menyusun daftar 37 perusahaan and sovereign Sukuk. Sukuk ini bernilai USD 7.96 miliar dan total international Sukuk USD 12-14 miliar,c.Malaysian domestic Islamic debt certificates sekitar USD 17.1 miliar dan Bahrain worth

Page 33: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

USD 2 miliar dan d.Kapitalisasi saham syariah yang sesuai dengan kriteria Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) sebesar USD 104 miliar pada tahun 2004. dengan asumsi bahwa saham syariah tersebut hanya 30% dari total kapitalisasi saham syariah di dunia maka diperkirakan total saham syariah dunia lebih dari USD 300 miliar.

Pada tahun 2005 terdapat 78 perusahaan Takaful yang beroperasi di dunia, dengan asumsi bahwa pada akhir tahun 2000 total gross premium Takaful senilai USD 530 juta, pertumbuhan rata-rata per tahun 1995-2000 adalah 63%, maka diperkirakan the present gross premium Takaful mencapai USD 5 miliar yang mengkover USD 20 miliar assets.Lembaga keuangan bukan bank (non-banking financial institutions), khususnya pembiayaan real estate bukan bank (non bank non-bank real estate) financing dan housing mortgages juga tumbuh, dimana diperkirakan mencapai sekitar USD 9-12 miliar.Berdasarkan data di atas pada akhir tahun 2005 diperkirakan lebih dari 300 institusi keuangan syariah di lebih 65 negara mengelola asset sekitar USD 700 - 1000 miliar. Berdasarkan data dari Bank Indonesia terdapat pusat-pusat pengembangan perbankan dan keuangan Syariah Internasional antara lain:a.Timur tengah ïƒ Bahrain, b.Afrika ïƒ Sudan, c.Asia Tengah ïƒ Iran, Pakistan, d.Asia Tenggara ïƒ Malaysia, Indonesia, e.Eropa ïƒ Inggris, f.Amerika ïƒ USA.Berikutnya akan dipaparkan beberapa lembaga keuangan Syariah Internasional sebagai berikut :a.Islamic Development Bank (IDB), b.Islamic Financial Services Board (IFSB), c.International Islamic Financial Market (IIFM), d.Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI).

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Rintisan praktik Perbankan Syariah di Indonesia dimulai dengan adanya pendapat dari K.H. Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937 – 1944 yang menyebutkan bahwa alasan penggunaan jasa Bank Konvensional adalah suatu hal yang terpaksa, karena pada waktu itu umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba. 

Pada pertengahan tahun 1970-an terdapat ide untuk mendirikan Bank Syariah yang kemudian diwacanakan pada Seminar Nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide tersebut, antara lain: operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku pada waktu itu adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan.

Konsep Bank Syariah dari dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkaitan dengan konsep Negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah. Pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Negara-negara Timur Tengah masih dicegah, antara lain oleh kebijakan pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di Indonesia .

Pada tahun 1980-an keinginan untuk menerapkan prinsip Syariah dibidang lembaga keuangan di tanah air dimulai dengan berdirinya lembaga keuangan Baitul Tamwil yang berstatus Badan Hukum Koperasi. Baitut Tamwil adalah lembaga keuangan dengan prinsip Syariah yang berstatus Badan Hukum simpan pinjam. Pertama kali didirikan di Bandung dengan nama Baitut-Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980 dengan akta perubahan tertanggal 21

Page 34: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Desember 1982. Kedua, di Jakarta didirikan Koperasi Simpan Pinjam Ridho Gusti, yang didirikan tanggal 25 September 1988. 

Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Syariah di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 19 - 22 Agustus 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasinal IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian Bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbanakan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silaturahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382,00. Dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri cabinet pembangunan V, juga Yayasan amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PINDAD. SElanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Syariah. Berbekal modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.

Pada tahun 1992, Indonesia memasuki era dual banking system dengan dimungkinkannya suatu bank beroperasi dengan prinsip bagi hasil berdasarkan Pasal 13 ayat (c) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tntang Perbankan yang menyatakan bahwa salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prisip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (selanjutnya ditulis PP No. 72 Th. 1992) dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 119 Tahun 1992., Pasal 6 PP No. 72 Th. 1992, berisi:(1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan

prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil,

(2) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan pinsip bagi hasil.

Penjabaran mengenai ketentuan di atas diuraikan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993 yang menyebutkan bahwa: a. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan melalui usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, b. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syariah, cBank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil hanya diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prisip bagi hasil.Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prisip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. 

Page 35: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Berdasarkan data dari Bank Indonesia maka perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, selain yang telah diuraikan di atas tampak dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan antara lain: 1. Dimulainya era dual-system bank, dengan memungkinkan Bank Konvensional membuka unit

usaha Syariah (UU No. 10 Th.1998);2. Penegasan peranan Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan perbankan Syariah dan dapat

melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah (UU No.23 Th.1999);3. Diberlakukannya ketentuan kelembagaan bank Syariah yang pertama sesuai dengan

karakteristik operasional bank syariah (Th. 1999);4. Beroperasinya unit usaha syariah dari bank umum konvensional untuk pertama kali (Th. 1999);5. Diterapkannya instrumen keuangan Syariah yang pertama yang menandai dimulainya kegiatan

di pasar keuangan antar bank dan kebijakan moneter berdasarkan prinsip Syariah (Th. 2000);6. Dibentuknya satuan kerja khusus (Biro Perbankan Syariah) di Bank Indonesia yang menangani

pengembangan perbankan Syariah secara komprehensif (Th. 2001);7. Disusunnya Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah (Th. 2002 dan 2005);8. Disusunnya naskah akademis RUU Perbankan Syariah (Th. 2003);9. Diberlakukannya ketentuan kehati-hatian yang pertama sesuai dg karakteristik operasional bank

Syariah yaitu kualitas aktiva produktif (KAP) dan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) bagi bank Syariah (Th. 2003);

10.Dikeluarkannya fatwa bunga bank haram oleh Majelis Ulama Indonesia (Th. 2003);11.Disusunnya ketentuan persyaratan, tugas dan wewenang DPS (Th. 2004); 

12.Diberlakukannya Ketentuan permodalan yang khusus bagi perbankan Syariah yang telah sesuai dengan standar internasional (IFSB) (Th. 2005);

13.Penjajagan ketentuan jaringan secara lebih efisien dan berhati-hati (Th. 2005);14.Inisiatif penyusunan “linkage program” sebagai dasar peran bank syariah dalam optimalisasi

voluntary sector (Th. 2005).

Berikut ini akan dipaparkan tentang Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2002 dan 2005. Pentahapan Pencapaian Sasaran Pengembangan Perbankan Syariah Nasional (Blueprint dari Bank Indonesia, khususnya pentahapan berdasarkan versi tahun 2005 dapat dilihat bahwa saat ini memasuki phase ke-2 yaitu memperkuat struktur industri yang akan berakhir pada tahun 2009. Tahapan berikutnya adalah pemenuhan standar keuangan dan mutu pelayanan Internasional pada phase ke-3 yang akan dimulai pada tahun 2010-2012. Pada tahun 2013-2015 tahapan menuju integrasi dengan lembaga keuangan Syariah lainnya. Phase ke-2 ini merupakan tahapan memperkuat struktur industri perbankan maka berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional, dapat dilihat pada Skema Bank sebagai berikut. 

Perkembangan Bank Syariah sejak pertama kali berdiri pada tahun 1992 hingga Maret 2006 dapat dilihat sebagai berikut : Jaringan Kerja Perbankan Syariah yang berdasarkan ketujuh aspek di atas maka pembeda yang paling utama antara Bank Konvensional dan Bank Syariah adalah konsep halal. Hal ini disebabkan adanya sifat transendental dari setiap transaksi dalam setiap aktivitas muamalah dan Hukum Islam. Disamping perbedaan tersebut perbedaan dalam prinsip operasionalnya adalah penggunaan sistim bunga dalam operasional Bank Konvensional dan penggunaan bagi hasil dalam operasional Bank Syariah. Perbedaan sistim bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Page 36: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Perbedaaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah Operasionalisasi antara Bank Konvensional dan Bank Syariahmempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya dapat dilihat dari aspek teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan dan persyaratan umum pembiayaan. Perbedaannya dapat dilihat dari 7 (tujuh) aspek antara lain: aspek akad dan aspek legalitasnya, lembaga penyelesaian sengketanya, struktur organisasinya, investasi, prinsip organisasi, tujuan dan hubungan nasabahnya. Uraian masing-masing akan dijelaskan melalui tabel di bawah ini.

Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah, yang berdasarkan ketujuh aspek di atas maka pembeda yang paling utama antara Bank Konvensional dan Bank Syariah adalah konsep halal. Hal ini disebabkan adanya sifat transendental dari setiap transaksi dalam setiap aktivitas muamalah dan Hukum Islam. Disamping perbedaan tersebut perbedaan dalam prinsip operasionalnya adalah penggunaan sistim bunga dalam operasional Bank Konvensional dan penggunaan bagi hasil dalam operasional Bank Syariah. Perbedaan sistim bunga dan bagi hasil.

Dimana pada tahapan penghimpunan dana dan tahapan penyaluran dana. Pada tahapan pengimpunan dana, hubungan hukum yang terjadi antara shahibul maal yang menitipkan dananya ke Bank Syariah dan Bank sebagai mudharib yang akan melakukan pengelolaan dana. Pada tahapan penyaluran dana hubungan hukum yang terjadi antara Bank Syariah sebagai shahibul maal dan nasabah sebagai mudharib yang akan memanfaatkan dana dari Bank Syariah dimana terdapat dua hubungan hukum yang terjadi yaitu pada tahapan penghimpunan dana, hubungan hukum yang terjadi adalah antara deposan (nasabah kreditur) dan bank. Pada tahapan penyaluran dana maka hubungan hukum yang terjadi adalah bank dan nasabah debitur.Berdasarkan gambar di atas terdapat kesamaan perikatan yang digunakan dalam hubungan hukum antara Bank dengan Nasabahnya yaitu dimulai dengan perjanjian atau akad. Terdapat persamaan dan perbedaan antara perjanjian dan akad. Persamaannya antara lain bahwa di dalam perjanjian maupun akad mendasarkan pada kesepakatan (consensus) para pihak.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil, Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembuangan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembuangan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risko, karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di Bank Islam termasuk kategori investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian, Bank Islam tidak dapat hanya sekedar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana. 

Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan dalam tabel berikut : adalah pada cara menghitung Bagi Hasil Bank dengan prinsip bagi hasil di dalam menghimpun dananya baik modal disetor, dana masyarakat maupun pinjaman dari bank lain maupun pihak lain tidak boleh menyimpang dari prinsip syariah Islam, dengan kata lain di dalam mengelola dana-dana tersebut harus sesuai dengan ketentuan syariah. Di dalam operasionalnya antara modal bank dengan dana masyarakat maupun pinjaman pihak lain terjadi kerjasama dalam pendanaan untuk penyaluran pembiayaan sehingga antara bank dengan kreditur terjadi akad musyarakah. Semua keuntungan

Page 37: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

yang diperoleh dari pemanfaatan dana tersebut dibagihasilkan kepada pemilik dana dengan aturan yang telah disepakati. 

Metode Bagi Hasil ada tiga kategori yaitu revenue sharing, profit sharing dan profit loss sharing.Berikut ini akan dijelaskan perbedaannya masing-masing., 1.Revenue Sharing, yang dibagikan adalah pendapatan kotor, 2.Profit Sharing, yang dibagikan adalah keuntungan laba/rugi, namun jika terdapat rugi masih ditanggung bank dan 3.Profit and Loss Sharing, yang dibagikan adalah keuntungan (jika perusahaan/ bank untung) dan bila mudharib rugi maka shahibul maal ikut menanggung kerugian.Didalam menentukan bagi hasil maka variabel penentu bagi hasilnya adalah: a.Pendapatan/keuntungan bank,b.Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, c.Rata-rata nominal dana nasabah dan d.Rata-rata Perhimpunan dana bank.

Berikut ini akan dipaparkan contoh perhitungan bagi hasil pada prinsip wadi’ah mudharabah:Selain yang telah disebutkan di atas maka perbandingan cara menghitung antara bagi hasil dan bunga dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Contoh di bawah ini diilustrasikan bahwa antara nasabah Bank Syariah dan bank Konvensional sama-sama menanamkan dananya sebesar 10.000.000,00, untuk jangka waktu 1 bulan. Berdasarkan perhitungan di bawah ini terdapat selisih tambahan yang diperoleh oleh nasabah dengan selisih sebesar Rp. 11.137,00 (sebelas ribu seratus tiga puluh rupiah).(Sumber data : Copyright © 2008-2009 Fakultas Ekonomi UMY Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional All Rights Reserved. Powered By IT-Line.Net)

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta.  Gadjah Mada 

University PressAhmed el Najar, 1977, Minhaj al Sahwa al Islamiah, Kairo: Dar Wihdan

Bahtiar Effendy,1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia,Jakarta: Penerbit Paramadina

Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafii Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana Bank

Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, 6th Ed, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia InstitutMuhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Gema Insani

Press

Rifyal Ka’bah, 2001,Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU,

Jakarta.Universitas Yaris

Sultan Remy Sjahadeini, 1999, Perbankan Islam, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Taqyuddin An-Nabhani, 2000. Membangun sistim ekonomi alternative Perspektif Islam.

Surabaya.Risalah Gusti.Umar Syihab, 1996, Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Semarang: Bina Utama,Syamsul Anwar, 2001, “al Massarif al Islamiah wa-al Qanon al Massrifi fi Indonesia , Al –

Jami’ah, Vol. 39Endang Sih Prapti. Masa Depan Ekonomi Alternatif di Indonesia.Jurnal equilibrium FE UGMAgustianto.Kerapuhan Kapitalisme, Perspektif Ekonomi Islamwww.pesantrenvirtual.com. Tanggal

akses 1 Januari 2008Bank Indonesia, 2002, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. www.bi.go.id ,

tanggal akses 1 Januari 2008Bank Indonesia, Oktober 2001.“Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan

Perkembangan”, www.bi.co.id tanggal akses 1 Januari 2008Bank Indonesia, 2002 . Bagian II Manfaat danTantangan Pengembangan.www.bi.go.id, tanggal

akses 1 Januari 2008Bank Indonesia.2006.LPPS Perbankan Syariah. www.bi.co.id tanggal akses 1 Januari 2009

Bedjo Santoso. Bank Syariah dan Perkembanganny.www.suaramerdeka.com tanggal akses 1 Januari 2008

Detikfinance. Rasio Kredit Macet Bank Syariah Semester I Naik. Senin, 30/07/2007 tanggal akses

15 Januari 2008Maman H. Somantri, 2002 “Indonesia Sharia Banking Development”, Seminar On Islamic

Economi Studies, Sahid Hotel: Yogyakarta, 12-13 OktoberRachmat Syafe’i, Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah,www.pikiran-rakyat.com, tanggal

akses 1 Januari 2008Rozaq Asyhari. Konfigurasi Sistim Perbankan Syariah

Malaysiawww.rozaqasyhari.multiply.com tanggal akses 1 Januari 2008

Page 39: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Roza Asyhari. 2007.Sejarah Perkembangan Perbankan

Malaysiawww.rozaqasyhari.multiply.com tanggal akses 1 Januari 2008——————-, Sejarah hukum perbankan syariah di Indonesiawww.omperi.wikidot.com/ tanggal

akses 1 Januari 2008

Zainul Arifin, Drs. MBA, Perkembangan bank Islam di Indonesia.

www.shariahlife.wordpress.com tanggal akses 16 Januari 2007

 www.eramoslem.com, Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi Keharusan. tanggal

akses 16 Januari 2008www.indomedia.com, Obligasi Syariah tanggal akses 1 Januari 2008Republik Indonesia,UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan

Republik Indonesia, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Republik Indonesia, UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 32 tentang Obligasi

Syariah

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 33 tentang Obligasi

Syariah Mudharabah

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 41 tentang Obligasi

Syariah Ijarah Q.S. al-Baqarah : 278-279Endang Sih Prapti. Masa Depan Ekonomi Alternatif di Indonesia. Jurnal equilibrium FE UGMTaqyuddin An-Nabhani, 2000. Membangun sistim ekonomi alternative Perspektif Islam. Risalah

Gusti.Surabaya.Agustianto.Kerapuhan Kapitalisme, Perspektif Ekonomi Islamwww.pesantrenvirtual.com. Tanggal

akses 1 Januari 2008Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafii Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana Bank Islam,

Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Sultan Remy Sjahadeini, 1999, Perbankan Islam, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Ahmed el Najar, 1977, Minhaj al Sahwa al Islamiah, Kairo: Dar Wihdan.Zainul Arifin, Drs. MBA, Perkembangan bank Islam di Indonesia.

http://shariahlife.wordpress.com tanggal akses 16 Januari 2007Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi Keharusan.www.eramoslem.com tanggal

akses 16 Januari 2008,Lihat Q.S. al-Baqarah : 278-279Bahtiar Effendy,1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina.Umar Syihab, 1996, Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Semarang: Bina Utama, hal. 1270Rifyal Ka’bah, 2001,Hukum Islam di Indonesia Perspektif Muhammadiyah dan NU,

Jakarta.Universitas Yaris. Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum,Jakarta: Tazkia Institut.

Peri Umar Farouk. Sejarah hukum perbankan syariah di Indonesiawww.omperi.wikidot.com/ tanggal akses 1 Januari

2008

Page 40: Ekonomi Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan

Bedjo Santoso. Bank Syariah dan Perkembanganny.www.suaramerdeka.com tanggal akses 1

Januari 2008

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, 6th Ed, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002Detikfinance. Rasio Kredit Macet Bank Syariah Semester I Naik. Senin, 30/07/2007 tanggal akses

15 Januari 2008UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, lihat juga Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank

Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani PressBisa dilihat.Sambutan Menteri Keuangan dengan disetujuinya rancangan UU tentang Perubahan

UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dalam UU Perbankan ,1999. cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika.

Bank Indonesia, 2002, Cetak Biru Pengembangan Perbankan SyariahIndonesia. www.bi.go.id , tanggal akses 1 Januari 2008

Rachmat Syafe’i, Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah, www.pikiran-rakyat.com, tanggal akses 1 Januari 2008

Syamsul Anwar, 2001, “al Massarif al Islamiah wa-al Qanon al Massrifi fi Indonesia” , Al –Jami’ah, Vol. 39, hal.485

Bank Indonesia, 2002 . Bagian II Manfaat danTantangan Pengembangan.www.bi.go.id, tanggal akses 1 Januari 2009

www.indomedia.com, Obligasi Syariah tanggal akses 1 Januari 2008Muhamad Syafii Antonio, 2001. Op.citMaman H. Somantri, 2002 “Indonesia Sharia Banking Development”, Seminar On Islamic

Economi Studies, Sahid Hotel: Yogyakarta, 12-13 Oktober.