20
3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bagi seorang individu keluarga adalah kumpulan manusia yang saling memberikan kasih sayang (afeksi), cinta, rasa aman yang mana juga harus saling menjaga, melindungi antara anggota keluarga satu dengan yang lainnya. Disamping itu, keluarga merupakan terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu, dan anak dimana terbentuk karena adanya ikatan tali perkawinan. Pendapat lain tentang keluarga merupakan suatu kelompok sosial atau unit terkecil dari masyarakat yang tinggal di dalam satu rumah dalam keadaan saling ketergantungan, mulai dari anak bergantung kepada ibu, ayah, kakak, abang maupun sebaliknya, bahwa semuanya saling membutuhkan (Andryani, 2016 : 40). Melalui lingkungan sosial yang terdekat inilah individu mendapatkan kebahagian sejati yang tidak akan didapatkan ditempat atau lingkungan lain. Kelompok sosial terkecil yang bernama keluarga adalah instansi pertama yang memberikan pengaruh sosialisasi kepada anggotanya, yang kemudian akan membentuk kepribadian yang dalam keadaan normalnya para anak-anak akan meniru, terpengaruh, dan terbentuk oleh sikap, tindakan dari kedua orang tuanya (Tirtawinata, 2013 : 1142). Pada dasarnya kepribadian anak lahir dan terbentuk tergantung bagaimana kedua orangtua bersikap dan bertindak terutama dalam mendidik, memberi pembelajaran yang terbaik bagi anak serta menanamkan nilai dan norma yang baik maka, disini anak akan tumbuh dan berkembang dengan kepribadian serta sikap baik yang ditanamkan pada dirinya dari kedua orang tuanya.

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/40946/2/BAB I.pdf · dan anak dimana terbentuk karena adanya ikatan tali perkawinan. Pendapat lain tentang keluarga merupakan suatu

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bagi seorang individu keluarga adalah kumpulan manusia yang saling

memberikan kasih sayang (afeksi), cinta, rasa aman yang mana juga harus saling

menjaga, melindungi antara anggota keluarga satu dengan yang lainnya.

Disamping itu, keluarga merupakan terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu,

dan anak dimana terbentuk karena adanya ikatan tali perkawinan. Pendapat lain

tentang keluarga merupakan suatu kelompok sosial atau unit terkecil dari

masyarakat yang tinggal di dalam satu rumah dalam keadaan saling

ketergantungan, mulai dari anak bergantung kepada ibu, ayah, kakak, abang

maupun sebaliknya, bahwa semuanya saling membutuhkan (Andryani, 2016 : 40).

Melalui lingkungan sosial yang terdekat inilah individu mendapatkan kebahagian

sejati yang tidak akan didapatkan ditempat atau lingkungan lain.

Kelompok sosial terkecil yang bernama keluarga adalah instansi pertama

yang memberikan pengaruh sosialisasi kepada anggotanya, yang kemudian akan

membentuk kepribadian yang dalam keadaan normalnya para anak-anak akan

meniru, terpengaruh, dan terbentuk oleh sikap, tindakan dari kedua orang tuanya

(Tirtawinata, 2013 : 1142). Pada dasarnya kepribadian anak lahir dan terbentuk

tergantung bagaimana kedua orangtua bersikap dan bertindak terutama dalam

mendidik, memberi pembelajaran yang terbaik bagi anak serta menanamkan nilai

dan norma yang baik maka, disini anak akan tumbuh dan berkembang dengan

kepribadian serta sikap baik yang ditanamkan pada dirinya dari kedua orang

tuanya.

4

Setiap individu yang telah berkeluarga atau sudah memiliki keluarga pasti

ingin hidup bahagia, memiliki hubungan yang harmonis dengan setiap anggota

keluarga terutama dengan pasangan, hal tersebut merupakan ciri untuk menjadi

keluarga yang ideal dan menjadi cita-cita untuk setiap rumah tangga yang ada,

apabila dalam pandangan islam untuk mewujudkan keluarga yang sakinah,

mawaddah, rohmah. Selain itu, juga untuk mencapai keluarga sehat dan sejahtera,

namun dalam arti lain sehat disini adalah bukan sehat secara fisik namun sehat

secara mental dan sosial. Oleh karena itu, seluruh anggota keluarga yang ada

harus berusaha untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan rumah tangga untuk

melahirkan individu-individu yang sehat dan sejahtera secara jasmani dan rohani.

Menjaga keutuhan, ketahanan dan keharmonisan didalam sebuah rumah

tangga merupakan suatu hal yang sangat penting, sehingga kehancuran (broken)

akan membawa dampak yang negatif untuk hubungan keluarga terutama dalam

pertumbuhan, perkembangan serta pola perilaku anak yang akan membuat sang

anak akan melakukan perilaku-perilaku yang tidak semsetinya dilakukan atau

menyimpang. Karena faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang,

kenakalan yang dilakukanoleh anak ini disebabkan tidak berfungsinnya orang tua

sebagai figur tauladan yang baik bagi anak di dalam keluarga (Sujoko, 2011).

Jadi, keluarga ibarat cermin bagi anak sehingga baik-buruknya sikap maupun

perilaku anak tergantung dari orang tua atau lingkungan dari keluarga itu sendiri.

Perlu dipahami bahwa dalam interaksi sosial dalam sebuah keluarga tidak

hanya anak namun juga bagaimana sikap dan peran ayah dan ibu kepada anggota

keluarga. Apakah dalam keluarga tiap-tiap individu tersebut telah menjalankan

perannya dengan sebaik-baiknya seperti tidak hanya anak yang membutuhkan

5

pembelajaran serta bimbingan tetapi juga seorang ibu atau istri juga perlu

mendapat bimbingan penuh dari ayah sebagai kepala keluarga serta ayah sebagai

kepala keluarga harus memberikan contoh yang baik bagi anggota keluarganya.

Karena untuk menyatukan tali perkawinan yang didasari oleh cinta dan kasih

namun juga harus siap menerima dan hidup bersama dalam kelebihan serta

kekurangan masing-masing.

Keharmonisan dan kebahagiaan merupakan cita-cita hidup setiap keluarga

yang ada, namun didalam kehidupan sosial pasti akan adanya masalah sosial

(konflik). Menurut Randall Collins dalam George Ritzer (2016 : 550) konflik

merupakan sesuatu yang penting dan selalu akan muncul, namun tidak semua

konflik memberikan dampak negatif. Benar bahwa konflik merupakan sesuatu

yang penting dan selalu muncul karena dengan adanya konflik-konflik yang

terjadi sebagai individu akan dapat memperbaiki kehidupan sosialnya agar

menjadi lebih baik. Terutama dalam keluarga pasti akan mengalami yang

namanya berkonflik, dari konflik tersebut tiap-tiap anggota keluarga diharapkan

dapat menemukan solusi atau setidaknya ada sisi positif dari konflik yaitu dapat

menumbuhkan sifat pengendalian serta menurunkan ego pada tiap-tiap individu.

Wilayah Kabupaten Tuban dalam catatan Pengadilan Agama Kabupaten

Tuban tercatat sebanyak 10.451 pasangan bercerai dalam lima tahun terakhir,

apabila dalam kalkulasi setiap bulannya sekitar 200 hingga 250 pasangan dalam

kasus perceraian, hal tersebut bukan angka yang sedikit walaupun masih ada

banyak di kota-kota besar yang lebih tinggi angka kasus perceraian. Adapun data

lima tahun terakhir kasus perceraian di Kabupaten Tuban adalah :

6

Tabel 1. Data Kasus Perceraian di Kabupaten Tuban dalam lima tahun

terakhir

No. Tahun Jumlah Kasus Perceraian 1. 2018 14 kasus 2. 2017 2.286 kasus 3. 2016 2.281 kasus 4. 2015 2.142 kasus 5. 2014 3.728 kasus

Sumber : Direktori Putusan Peradilan Agama Kabupaten Tuban, maret 2018

Apabila dilihat dari data tersebut angka perceraian di wilayah Kabupaten

Tuban mengalami naik turun pada setiap tahunnya. Pada kasus perceraian yang

terjadi di Kabupaten Tuban, rata-rata istrilah yang melayangkan gugatan cerai

kepada suami karena disebabkan adanya perselingkuhan, dengan adanya orang

ketigasehingga suami meninggalkan istri, cemburu tehadap pasangan, tidak

adanya tanggung jawab suami terhadap keluargadari faktor ekonomi

(Memorandum, 2018). Kasus perceraian maupun broken home pasti akan

membawa dampak yang tidak baik khususnya kepada anak.

Penelitian yang mengkaji tentang pola interaksi sosial anak korban

perceraian dengan anggota keluarga ini dilakukan di Kabupaten Tuban yang lebih

tepatnya di Kelurahan Ronggomulyo. Berdasarkan hasil wawancara dengan lurah

Ronggomulyo yang memaparkan bahwa tahun 2018 hingga bulan Mei

penduduknya belum ada yang melayangkan perkara gugatan perceraian. walaupun

begitu, generasi penerus atau anak yang memiliki perilaku menyimpang,

disebabkan karena salah satunya yaitu perpecahan atau perceraian didalam

keluarga. Pada observasi awal, diketahui bahwa pada lintasan Rukun Tetangga

(RT) 01 terdapat 9 pasangan keluarga yang mengalami broken home akibat

perceraian yang disebabkan karena adanya orang ketiga didalam keluarga

7

(selingkuh), tidak adanya tanggung jawab dari suami serta ada faktor ekonomi dan

dari awalpun tidak adanya persetujuan pernikahan dari orang tua pada pihak laki-

laki, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), komunikasi yang tidak

memperoleh titik temu dan ego yang tinggi dari masing-masing individu yang

saling mempertahankan mindset, prinsip masing-masing. Dari semua konflik

maupun permasalahan tersebut pada akhirnya menghasilkan perceraian.

Berdasarkan hasil wawancara awal yang telah dilakukan dengan subjek

penelitian yakni anak korban perceraian, status-status baru yang dialami para

orangtuadi Kelurahan Ronggomulyo dengan kasus perceraian ternyata

mengakibatkan trauma, luka yang begitu mendalam, luka tersebut diakibatkan

yang dulu orangtua selingkuh dan akhirnya orangtua menikah lagi, sehingga

seperti yang dirasakan oleh anak korban perceraian (seperti subjek penelitian yaitu

MA dan MAF) adalah mereka tidak lagi mendapatkan kasih sayang, perhatian,

sehingga merasa tidak ada lagi motivasi untuk menjalani hidup. Hingga akhirnya

mereka bertemu dengan seseorang yang mereka anggap teman, sahabat bahkan

dianggap keluarga atau saudara sendiri sehingga lebih nyaman menghabiskan

waktu diluar rumah daripada waktu bersama keluarga, meskipun tidak berpikir

panjang apakah teman-teman yang dipilih memiliki sikap dan kepribadian yang

baik atau buruk (nakal). Dari hal tersebut, peneliti melihat bahwa tidak

mudahuntuk dapat melakukan interaksi yang baik antara anak korban perceraian

dan orangtua sehingga menyebabkan tidak adanya keakraban, kedekatan antara

orangtua dan anak seperti keluarga utuh pada umumnya.

Perceraian yang dialami kedua orangtua dan akhirnya memutuskan untuk

menikah lagi merupakan hidup yang berat dialami oleh MA dikarenakan

8

orangtuanya (ayah) tidak lagi memberikan kasih sayang, dan perhatian.

Menurutnya, semua kasih sayang dan perhatiannya hanya diberikan kepada istri

baru serta anak-anak dari istri barunya. Berbeda dengan MAF yang akhirnya

diadopsi oleh (kakak) dari ibu kandungnya karena masalah ekonomi dan juga

merasa kurang diperhatikan setelah memiliki anak dari pernikahan barunya selain

itu juga dipengaruhi oleh teman. Itulah penyebab seringnya pulang malam atau

bahkan tidak pulang kerumah dalam waktu 1 hingga 2 hari yang dialami oleh MA

begitupun juga MAF untuk menghilangkan stres yang mengakibatkan depresi,

frustasi yang dialami untuk mendapatkan kesenangan.

Masa remaja yang mengalami pubertas merupakan masa yang rawan bagi

anak, dimana anak mengalami perubahan atau pembentukan sikap dan karakter.

Dimana pada masa remaja tersebut, anak sangat membutuhkan perhatian dari

orangtua yakni melalui interaksi, komunikasi yang dilakukan oleh orangtua

dengan anak. Dimana dengan adanya pola interaksi sosial yang baik, orangtua

bisa memperkenalkan anak pada aturan, norma, tata nilai yang baik yang berlaku

(Sari, 2014 : 2). Namun, yang terjadi pada subjek penelitian MA mengalamiemosi

sering tidak terkendali karena tidak adanya kepedulian dari orangtua, dan merasa

hidup sendiri. Disamping itu, orangtuanya yang selalu menuntut, meminta untuk

menuruti untuk menjadi apa maupun semua yang orangtua mereka inginkan,

sehingga terjadi depresi, frustasi seperti yang dialami subjek penelitian yang

mengakibatkan menjadi kepribadian yang sulit untuk diatur, brutal,bergaul dengan

teman dengan melakukan hal-hal yang bisa membuatnya merasa senang, yaitu

nongkrong, dengan mabuk-mabukan, merokok. Dampak yang ditimbulkan dari

nongkrong, mabuk-mabukan, merokok hingga sering pulang malam bahkan tidak

9

pulang menjadikan pembelajaran disekolah menjadi terbengkalai karena sering

tidak bisa bangun pagi, terutama juga tidak ada motivasi tersendiri dalam

mengikuti pelajaran disekolah.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis ingin

melakukan penelitian bagaimana interaksi sosial anak korban perceraian dengan

anggota keluarga secara lebih mendalam, karena anggota keluarga broken home

pada realitas diatas menimbulkan dampak anak menjadi susah diatur dan lain

sebagainya, maka dari itu peneliti mengangkat judul “Pola Interaksi Sosial Pada

Anggota Keluarga Broken Home Studi Tentang Interaksi Anak Korban Perceraian

Dengan Anggota Keluarga Di Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,

adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana anak korban perceraian di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten

Tuban memaknai perceraian orang tua ?

2. Bagaimana pola interaksi sosial anak korban perceraian dengan anggota

keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, adapun tujuan

penelitian ini, yakni :

1. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan pola interaksi sosial

anak korban perceraian dengan anggota keluargadi Kelurahan

Ronggomulyo Kabupaten Tuban.

10

2. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan anak korban

perceraian di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban memaknai

perceraian orang tua.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan

mampu memberikan kontribusi pengembangan terhadap teori interaksionisme

simbolik oleh George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi sosial anak

korban perceraian dengan anggota keluargadi Kelurahan Ronggomulyo

Kabupaten Tuban.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak

terkait, diantaranya :

a. Bagi Penulis

Pada penelitian ini, penulis dapat mengaplikasikan mata kuliah

yang telah didapatkan selama perkuliahan yakni, sosiologi keluarga

yang didalamnya mempelajari tentang definisi tentang keluarga, ciri-ciri

keluarga, fungsi keluarga, peran dari tiap-tiap anggota keluarga, konflik

dalam keluarga. Serta dalam penelitian ini, peneliti mengaitkan dengan

realitas yaitu bagaimana interaksi sosial anak korban perceraian dengan

anggota keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban.

b. Bagi Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat

memberikan referensi bagi jurusan sosiologi serta dapat dijadikan

11

referensi bagi mahasiswa mahasiswi sosiologi pada penelitian-

penelitian selanjutnya.

c. Bagi Anak Korban Perceraian (Broken Home)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi anak

korban perceraian (broken home). Bahwa mengalami hal tersebut tidak

menjadikan individu-individu terutama pada anak korban perceraian

menyerah dalam hidup meskipun tidak ada keharmonisan dalam

keluarga tetapi dapat mengambil hikmah untuk dijadikan sebuah

pembelajaran bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus namun life must

go on dan selalu berpikir positif, serta ambil sisi positif pada masalah

tersebut serta menjalani hidup dengan melakukan hal-hal positif dan

semangat untuk mencapai cita-cita.

1.5 DEFINISI KONSEP

a. Pola Interaksi Sosial

Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (1954 : 489) dalam Soerjono

Soekanto (2013 : 55) merupakan hubungan sosial dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-perorangan, maupun

kelompok dengan kelompok.

Menurut Maryati dan Suryawati (2013) dalam Yesmil Anwar (2013 : 194),

interaksi sosial adalah hubungan timbal balik atau kontak atau intersimulasi dan

respons antar individu, antar kelompok atau individu dan kelompok.

Jadi apabila dapat disimpulkan interaksi sosial merupakan bentuk

hubungan aksi dari perilaku atau tindakan seseorang kemudian orang lain

memberikan reaksi dari aksi yang dilakukan. Dalam proses interaksi sosial ini

12

terdapat tiga pola interaksi sosial yakni asosiatif (kerjasama, akomodasi,

asimilasi) dan disosiatif (persaingan, kontraversi, pertentangan).

b. Anggota Keluarga

Keluarga jika didefinisikan secara umum, adalah unit sosial atau

sekelompok sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak ataupun lebih

anak ataupun tanpa anak yang diikat oleh tali perkawinan, dimana didalamnya

anak-anak dipelihara untuk menjadi seorang yang mempunyai rasa kepedulian

sosial (Sulistyowati, 2005 : 9).

Menurut Burges (1963) dalam Reginal Kansil (2017), anggota keluarga

merupakan individu-individu atau orang-orang yang berkumpul menjadi suatu

kelompok bagian yang terikat karena hubungan perkawinan, hubungan darah dan

diangkat atau diadopsiserta hidup bersama dalam satu atap rumah atau hidup

berjauhan (tidak tinggal dalam satu atap rumah)

c. Broken Home

Broken Home adalah suatu peristiwa dalam sebuah keluarga dimana ayah,

ibu telah bercerai karena suatu konflik atau perselisihan atau kurang adanya

perhatian, dari ayah atau ibu sehingga menimbulkan hilangnya keteladanannya,

kurang kasih sayang, yang mengakibatkan anak menjadi frustasi, sulit diatur serta

memiliki perilaku buruk (Oetari, 2016 : 3).

Menurut Matinka (dalam Lestari (2013) broken home merupakan sebuah

istilah yang digunakan untuk melukiskan suasana yang tidak adanya

keharmonisan dan tidak sesuainya kondisi keluarga yang rukun, sejahtera, dan

bahagia yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan didalam sebuah

keluarga.

13

Apabila disimpulkan dari beberapa pendapat diatas, broken home adalah

istilah yang menggambarkan perpecahan dalam sebuah hubungan keluarga yang

tidak adanya kerukunan, kesejahteraan, keakraban dalam sebuah keluarga

sehingga menciptakan suasana yang kurang nyaman, hilangnya komunikasi

sehingga munculnya konflik dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam

sebuah keluarga yang mengakibatkan anak menjadi frustasi dan sulit untuk diatur.

d. Korban Perceraian

Korban menurut Arif Gosita (1993 : 63) dalam Octorina Ulina (2014 : 4)

adalah mereka yang menderita secara jasmani maupun rohaniah yang diakibatkan

oleh tindakan orang lain untuk memenuhi kepentingan diri sendiri ataupun orang

lain yang bertentangan dengan kepentingan hak azasi pihak yang dirugikan.

Perceraian menurut Hurlock (1993 : 307) dalam Reski Yuliana (2015 : 79)

merupakan titik tertinggi dari penyelesaian sebuah perkawinan buruk yang terjadi

antara pasangan suami istri yang tak mampu dalam menyelesaikan permasalahan

dimana hasil dari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah

pihak.

Jadi, korban perceraian adalah mereka yang mengalami atau menderita

secara jasmani maupun rohani akibat buruknya perkawinan yang dialami antara

pasangan suami istri yang tak mampu menyelesaikan permasalahan sehingga ada

yang bertentangan dengan kepentingan tersebut hingga menjadi pihak yang

dirugikan.

14

1.6 METODE PENELITIAN

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, metode

penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian

kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi secara

alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci, dan metode penelitian kualitatif

ini berlandaskan pada filsafat postpositivisme serta teknik pengumpulan data yang

dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis bersifat kualitatif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono,

2014 : 9).

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena untuk

mendeskripsikan, menggambarkan permasalahan yang secara alamiah terjadi dan

tidak untuk melakukan pengukuran ataupun melakukan penghitungan data

statistik, yakni dengan mengangkat permasalahan mengenai polainteraksi sosial

pada anggota keluarga broken home studi tentang interaksi anak korban

perceraian dengan anggota keluarga di Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten

Tuban dengan peneliti sebagai instrumen kunci.

1.6.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

kualitatif jenis deskriptif. Jenis penelitian atau metode deskriptif menurut Whitney

(1960) dalam Moh. Nazir (2014 : 43) merupakan pencarian atau menemukan

fakta-fakta dengan menggunakan interpretasi yang tepat.Sehingga dalam

penelitian ini peneliti menggunakan jenis deskriptif karena tepat untuk

mendeskripsikan, menggambarkan fenomena pola interaksi sosial anak korban

15

perceraian dengan anggota keluarga di Keluarhan Ronggomulyo Kabupaten

Tuban secara faktual dan akurat.

1.6.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian tentang pola interaksi sosial pada anggota keluarga

broken home studi tentang interaksi anak korban perceraian dengan anggota

keluargadilaksanakan dan ditetapkan oleh peneliti di Kelurahan Ronggomulyo,

Kabupaten Tuban dengan melihat dari sudut pandang kehidupan anak-anak pada

keluarga broken home yang berperilaku negatif sehingga peneliti ingin

mengetahui pola interaksi sosial seperti apa yang diterapkan didalam keluarga.

1.6.4 Teknik Penentuan Subjek

Teknik penentuan subjekmerupakan cara untuk memudahkan peneliti agar

dapat menentukan subjek penelitian dengan tepat.Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik purposive sampling dimana guna memudahkan peneliti

menentukkan kriteria-kriteria tertentu pada subjek penelitian.

Menurut Sugiyono (2014 : 9), purposive sampling adalah teknik penentuan

sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti halnya orang yang

memang ahli atau bisa dikatakan memahami peristiwa yang terjadi dalam tema

penelitian yang diambil, jadi sampel semacam ini cocok digunakan pada penelitan

kualitatif, maupun penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi, yang

artinya pada teknik purposive sampling tidak memberikan peluang-peluang bagi

yang lain dalam penemuan data untuk menggali informasi-informasi dalam

penelitian ini.

16

1.6.5 Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini merupakan anak korban perceraian, orangtua

yang tinggal di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban dimana

yangmengetahui, memahami secara mendalam kajian yang diangkat oleh peneliti

mengenai pola interaksi sosial anak korban perceraian dengan anggota keluarga.

Adapun kriteria-kriteria yang telah ditentukan sebagai subjek penelitian oleh

peneliti adalah sebagai berikut :

a. Anak korban perceraian (broken home)yang tinggal bersama orangtua

laki-laki (bapak), dengan alasan karena anak yang tinggal bersama ayah

kurang mendapatkan perhatian.

b. Anak korban perceraian (broken home) yang tinggal bersama orangtua

perempuan (ibu), dengan alasan karena anak yang tinggal bersama ibu

kurang mendapat figur ayah sebagai pelindung.

c. Anak korban perceraian (broken home) yang tinggal bersama saudara

ayah/ibu (orangtua angkat/asuh), dengan alasan karena kurang

mendapatkan perhatian dari orangtua.

d. Anak korban perceraian diatas umur 16 tahun, dengan alasan karena

biasanya anak sudah memahami makna perceraian orangtuanya.

Selain subjek penelitian, untuk memberikan informasi kepada peneliti,

serta untuk menggali data secara mendalam tentang interaksi anak korban

perceraian dengan anggota keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten

Tuban ini, peneliti membutuhkan beberapa informan untuk mendapatkan

beberapa data yang diinginkan oleh peneliti, adapun informan yang telah

ditentukan oleh peneliti, yakni :

17

Tabel 2. Informan penelitian

No. Informan

1. Extended family (keluarga besar) :

- Ibu

- Nenek

- Bibi

- Dalam penggalian informasi dari informan, peneliti melakukan

wawancara yang berisi :

1. Tanggapan terhadap tindakan atau perilaku anak korban

perceraian

2. Tanggapan pergaulan anak korban perceraian dengan

teman-temannya

3. Tanggapan tentang pola interkasi anak korban perceraian

dengan anggota keluarga (extended family)

2. Perangkat daerah :

- Lurah Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban

- Dalam penggalian informasi dari informan, peneliti melakukan wawancara yang berisi : 1. Kondisi wilayah Kelurahan Ronggomulyo 2. Pendapat atau tanggapan tentang perceraian 3. Pendapat atau tanggapan tentang perilaku menyimpang pada

anak pasca perceraian

1.6.6 Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi menurut Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiyono (2014 : 85),

merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari

dari berbagai proses biologis dan psikologis dan dua yang terpenting adalah

pengamatan dan ingatan serta observasi pada penelitian kualitatif digunakan

apabila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala

alam, serta subjek penelitian tidak terlalu besar.

Pada tahap awal sebelum memulai untuk melakukan wawancara dengan

subjek penelitian, peneliti melakukan tahap awal yakni observasi dengan

18

melakukan pengamatan secara langsung dilokasi yang telah ditetapkan

yakni Kelurahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban. Dengan melihat seperti

apa kehidupan subjek penelitian ketika dirumah, interaksi sosial, sikap,

perilaku serta bagaimana subjek penelitian menerima maupun menghadapi

individu lain.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan, perbincangan dengan maksud tertentu

dengan dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara (interviewer)

(Moleong, 2017 : 186)

Tahap wawancara, peneliti terjun langsung dan melakukan wawancara

dengan subjek penelitian atau informan yang telah ditentukan oleh peneliti

serta memahami dan mengetahui mengenai permasalahan yang diangkat

oleh peneliti melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti

kepada subjek penelitian guna menggali informasi atau data-data yang ingin

diketahui maupun dibutuhkan tentang pola interaksi sosial anak dengan

orangtua korban perceraian. Pada tahap awal wawancara, informasi yang

didapat dari subjek penelitian yaitu kisah awal perceraian orangtua,

sehingga mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang sulit diatur, dan

cara untuk menghilangkan kejenuhan didalam rumah.

Pada tahap wawancara secara mendalam dilakukan peneliti pada bab

hasil dimana wawancara kepada subjek penelitian mengenai seperti apa

anak memaknai, memahami perceraian orangtuanya, dimana peneliti

19

menggunakan wawancara pembicaraan informal dan wawancara tidak

terstruktur agar peneliti dengan subjek penelitian menciptakan keakraban

serta tidak adanya rasa canggung.

c. Dokumentasi

Guba dan Lincoln (1981) dalam Lexy J. Moleong (2017 : 216),

mendefinisikannya ialah dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film,

lain dari record yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan dari

seorang penyidik. Selain bahan tertulis maupun film dokumen bisa berupa

gambar ataupun foto untuk dapat dianalisis dari temuan terdahulu dan

peneliti bisa mendokumentasikan berupa foto menggunakan kamera sendiri

sebagai data pendukung untuk penelitiannya saat melakukan penelitian.

Pada penelitian skripsi tentang interaksi sosial pada keluarga broken

home yang dilakukan di Keluarahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban ini

peneliti menggunkan dokumen dari pemerintah kelurahan sebagai informasi

profil kelurahan serta keadaan geografis Kelurahan Ronggomulyo guna

menunjang serta melengkapi penelitian ini.Pengumpulan data dalam bentuk

dokumen kelurahan dilakukan dengan observasi serta wawancara pada bab

deskripsi wilayah.

1.6.7 Teknik Analisa Data

Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Ulber Silalahi (2012 : 339),

kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang harus dilakukan secara

bersamaan, yakni reduksi data, penyajian data, dan setelah itu adalah penarikan

kesimpulan/verifikasi.

20

Berikut ini adalah komponen-komponen analisis data : model interaktif

menurut Miles dan Huberman (1992 : 20):

Gambar 1. Komponen analisis data

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisa yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, serta

mengorganisasi data hingga kesimpulan final dapat ditarik dan diverifikasi

(Silalahi, 2012 : 339)

b. Penyajian Data

Merupakan alur kedua yang penting didalam kegiatan analisis dalam

penelitian kualitatif adalah penyajian data, adalah kumpulan informasi

tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan

dan pengambilan tindakan, melalui data yang disajikan dapat dilihat dan

akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan

lebih jauh (Ulber, 2012 : 340)

Pengumpulan

Data

Penyajian Data

Kesimpulan-kesimpulan

Penarikan/Verifikasi

Reduksi

Data

21

c. Penarikan Kesimpulan

Kegiatan analisisyang ketiga yaitu penarikan kesimpulan atau verifikasi

data dimana tahap tersebut dilakukan ketika tahap penyajian data selesai

yang diawali dari kesimpulan awal yang belum jelas tetapi kian meningkat

sehingga menjadi lebih terperinci yang menghasilkan data final (Silalahi,

2012 : 341)

1.6.8 Keabsahan Data

Pada penelitian kualitatif pada dasarnya ada usaha meningkatkan

kepercayaan data yang dinamakan keabsahan data, keabsahan data merupakan

konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan

(realibilitas) (Moleong, 2017 : 321). Dalam melakukan keabsahan data, pada

penelitian ini menggunkan teknik trianggulasi yang diartikan sebagai teknik

pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai teknikpengumpulan dan

sumber data yang telah ada. (Sugiyono, 2014 : 241)

Teknik trianggulasi berarti peneliti menggunkan teknik pengumpulan

data yang berbeda-beda, yakni observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi

untuk sumber data yang didapatkan secara bersamaan, selain itu trianggulasi

merupakan teknik untuk mendapatkan data yang sama dari berbagai sumber

(Sugiyono, 2014 : 241).

Pada penelitian ini, peneliti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

kepada subjek penelitian serta pendapat dari berbagai informan yang telah

ditentukan, yakni anak korban perceraian dan orangtua yang mengalami

perceraian mengenai pola interaksi anak dengan orang korban perceraian di

Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban, serta informan dalam penelitian ini

22

yaitu extended family (kelurga besar) dan perangkat daerah yaitu Lurah

Kelurahan Ronggomulyo. Disini peneliti bertujuan untuk dapat membandingkan

informasi yang diperoleh agar data dapat mempunyai kapabilitas (dapat

dipercaya).