Upload
agung-setiobudi
View
40
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dsd
Citation preview
lxxii
BAB III
PERANAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
TERHADA TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING)
DIPERAIRAN INDONESIA
A. Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam menyelesaikan Tindak
Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Pengadilan Perikanan merupakan Pengadilan khusus yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dan berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan UU No. 45 tahun 2009, pasal 71 ayat 3, disebutkan bahwa
pengadilan perikanan pertama kalinya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakrata
Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Sejak tahun 2005 hingga akhir tahun 2009 sudah lebih dari 800 kasus
kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Sebagian besar pelaku kasus illegal
fishing yang terungkap adalah kapal ikan asing seperti dari Vietnam, Thailand,
China, Myanmar dan Malaysia. 20
20 Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan
Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari 2010.
Dengan banyaknya kasus pelanggaran
penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal
berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) maka pemerintah
Indonesia harus melakukan upaya penegakan hukum untuk mencegah dan
menanggulangi tindak pidana illegal fishing di ZEEI.
Universitas Sumatera Utara
lxxiii
Untuk memberikan landasan hukum bidang perikanan, telah disahkan
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini
merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 dan Undang-
Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dipandang belum
menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi.
Sudah beberapa kali Undang-Undang mengenai perikanan direvisi tetapi
implementasi di lapangan masih memprihatinkan. Amanat agar perkara-perkara
perikanan dibawa ke pengadilan perikanan dan menjerat pelaku dengan UU
Perikanan itu ternyata belum efektif. Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan
Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang
memadai. Lebih dari 800 kasus perikanan selama empat tahun terakhir,
kebanyakan kasus penangkapan kapal nelayan asing walaupun ada juga kasus
penangkapan kapal nelayan Indonesia. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada
tindak lanjut yang efektif. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran
pengadilan perikanan Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak
pidana illegal fishing perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap
kasus yang masuk kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para
instansi yang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan
Sumatera Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi
Universitas Sumatera Utara
lxxiv
penyisiran wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak
dari pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri. 21
21 Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan
Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari 2010.
Dengan peningkatan kinerja para instansi pengawas dilapangan, nantinya
akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di karenakan
semakin rajinnya para instansi pengawas di lapangan melakukan penyisiran ,
semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing tertangkap. Dengan
demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan perikanan akan meningkat
sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu sendiri dalam menyelesaikan
tindak pidana illegal fishing dapat berjalan efektif.
B. Peranan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Perikanan
Hakim pada Pengadilan Perikanan terdiri dari Hakim Karier dan Hakim
Ad Hoc yang diangkat dan ditugaskan pada Pengadilan Perikanan, untuk
mengadili tindak pidana perikanan. Disamping itu, ada Majelis Kehormatan
Hakim Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri dari
Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri, serta memberikan
pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut.
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang.
Universitas Sumatera Utara
lxxv
Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung. Untuk dapat menjadi calon Hakim Ad Hoc, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 40 tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berwibawa, cakap, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan paling rendah strata satu bidang hukum dan/atau strata
satu lainnya yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain
perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan,
dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan;
h. berpengalaman di bidang perikanan paling kurang 5 (lima) tahun;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
j. tidak menjadi anggota salah satu partai politik; dan
k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama
menjadi Hakim Ad Hoc.
Universitas Sumatera Utara
lxxvi
Mahkamah Agung dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan
seleksi administratif dan tes tertulis untuk menetapkan daftar nominasi calon
Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung juga melakukan seleksi kompetensi calon
Hakim Ad Hoc.
Terhadap Calon Hakim Ad Hoc yang telah dinyatakan lulus seleksi
kompetensi diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan
oleh Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc yang dinyatakan lulus pendidikan
dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk
diangkat sebagai Hakim Ad Hoc.
Masa tugas Hakim Ad Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas. Penempatan Hakim Ad Hoc
ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Sebelum memangku jabatan, Hakim Ad Hoc wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya sebagai berikut :
Sumpah :
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji :
Universitas Sumatera Utara
lxxvii
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Hakim Ad Hoc dilarang merangkap sebagai:
a. pejabat negara
b. anggota partai politik
c. advokat
d. pengurus organisasi perikanan, pengurus asosiasi perusahaan perikanan,
dan pengusaha di bidang perikanan atau
e. konsultan perikanan.
Hakim Ad Hoc dapat diberhentikan dengan hormat maupun dengan tidak
hormat dari jabatannya. Hakim Ad Hoc diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya, karena :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 6 (enam) bulan
berdasarkan surat keterangan dokter yang dibuat oleh dokter yang
berwenang;
d. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau
e. telah selesai masa tugasnya.
Universitas Sumatera Utara
lxxviii
Pemberhentian dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung. Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya, dengan alasan:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah;
c. melanggar sumpah atau janji jabatan;
d. melakukan perbuatan tercela; atau
e. melanggar larangan jabatan rangkap.
Sebelum Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat, Pengadilan
Negeri membentuk Majelis Kehormatan Hakim untuk memeriksa Hakim Ad Hoc
yang bersangkutan. Majelis Kehormatan melaksanakan pemeriksaan dalam
tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Hasil pemeriksaan tersebut
disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Hakim Ad Hoc
yang bersangkutan dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak selesai pemeriksaan.
Hakim Ad Hoc diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Pembelaan diri dilakukan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Hakim Ad Hoc sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementaras dilakukan
Universitas Sumatera Utara
lxxix
untuk kelancaran pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim atau karena
perintah penangkapan yang tidak diikuti dengan penahanan. Pemberhentian
sementara Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Mahkamah Agung
memutuskan untuk mengabulkan atau menolak usulan tersebut dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul Ketua Pengadilan Negeri diterima.
Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat tidak terbukti,
pemberhentian sementara tersebut harus dicabut. Apabila alasan pemberhentian
tidak dengan hormat terbukti, maka pemberhentian tidak dengan hormat
ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Hakim Ad Hoc diberhentikan
dari jabatan organiknya selama menjadi Hakim Ad Hoc tanpa kehilangan
statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dapat dinaikkan
pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun, dan diberikan hak-hak
kepegawaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakim Ad Hoc
juga berhak mendapat uang kehormatan dan hak-hak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
lxxx
C. Pengawasan dan Instansi Penanganan Tindak Pidana Pencurian Ikan
(Illegal Fishing)
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan amanat dari Pasal
66 UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan : Pengawas
perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan yang bertugas untuk mengawasi
tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang perikanan dan terdiri
atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik pegawai negeri
sipil perikanan.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan pengawasan di lapangan, telah
dilakukan secara bertahap sesuai dengan sistem yang dikembangkan dalam
pengawasan sumberdaya ikan. Monitoring, Controll dan Surveillance (MCS) dan
ditindaklanjuti dengan Investigasi, merupakan sistem pengawasan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang diterapkan dan dikembangkan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan.
Dalam rangka pengembangan sistem dan teknis pengawasan sumberdaya
ikan, khususnya penangkapan ikan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor : 02/MEN/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan Penangkapan Ikan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : 03/MEN/2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan.
Bedasarkan keputusan tersebut diharapkan pengawasan terhadap kapal perikanan
yang beroperasi diwilayah perikanan Indonesia dapat dilakukan dengan lebih baik
dan terkoordinasi.
Universitas Sumatera Utara
lxxxi
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengawasan, para petugas
Pengawas Perikanan sebagian telah dididik menjadi Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), sehingga petugas pengawas yang terkualifikasi PPNS tidak saja
dibekali pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan dibidang perikanan
tetapi juga diberikan keterampilan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran tindak pidana di bidang perikanan.
Pelaksana pengawasan :22
1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kelautan dan Perikanan, maka pelaksanaan pengawasan dilakukan secara
fungsional.
2. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 35/KEP/M.PAN/5/2001 tentang Jabatan Fungsional Pengawas
Perikanan dan Angka Kreditnya, dan Keputusan Bersama Menteri
Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.
SKB.53/MEN/2001 dan No. 40 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Pengawasan Perikanan dan Angka Kreditnya, maka
Pengawas Perikanan yang melaksanakan pengawasan penangkapan ikan
adalah Pejabat Fungsional yaitu Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan
Ikan.
22 Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan, (Jakarta, 2004),hal 6-7
Universitas Sumatera Utara
lxxxii
3. Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan pengawasan penangkapan
ikan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan
yang dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu :
a. Tingkat Kabupaten/Kota
Pengawas Perikanan tingkat kabupaten berwenang untuk mengawasi
kapal perikanan yang berukuran kurang dari 10 GT dengan daerah
operasi (Fishing Ground) kurang dari 4 mil. Petugas Pengawas
Perikatnan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota atau
Pejabat yang ditunjuk.
b. Tingkat Provinsi
Pengawas Perikanan tingkat provinsi berwenang mengawasi kapal
yang berukuran > 10 GT sampai dengan 30 GT, dengan daerah
operasi (fishing ground) antara 4-12 mil. Petugas Pengawas
Perikanan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Gubernur atau Pejabat
yang ditunjuk berdasarkan masukan dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten/Kota.
c. Tingkat Pusat
Pengawas Perikanan Pusat berwenang mengawasi kapal perikanan
yang berukuran > 30 GT dan atau > 90 HP (kapal perikanan dengan
izin pusat), dengan daerah operasi (fishing ground) lebih dari 12 mil.
Petugas Pengawas Perikanan dikukuhkan oleh Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan,
berdasarkan masukan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.
Universitas Sumatera Utara
lxxxiii
d. Mengingat kapal-kapal perikanan dalam operasionalnya saling
berinteraksi satu dengan yang lain, maka Pengawas Perikanan
tingkat Kabupaten dan Provinsi bisa mengawasi kapal-kapal yang
berukuran > 30 GT dan atau 90 HP, tetapi harus dikuatkan dengan
keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan atau pejabat yang ditunjuk.
Selain pengawas perikanan, masyarakat juga ikut serta dalam membantu
pengawasan perikanan (pasal 67 UU No. 45 Tahun 2009). Hal ini dijelaskan lebih
lanjut dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan masyarakat dalam Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, peranan masyarakat juga
dibutuhkan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana Pencurian Ikan (Illegal
Fishing). Pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas
sumber daya kelautan dan perikanan disebut dengan Siswasmas (sistem
pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat).
Siswasmas adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif
masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab, agar dapat
diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Tujuan dibentuknya siswasmas adalah
untuk memberikan pedoman bagi pihak yang berkepentingan (stakesholder) yaitu
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan pengawasan
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berbasis masyarakat.
Sasaran dibentuknya siswasmas adalah :
Universitas Sumatera Utara
lxxxiv
1. Terbentuknya mekanisme pengawasan berbasis masyarakat, yang secara
integratif dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi non
pemerintah serta dunia usaha dengan tetap mengacu kepada peraturan dan
perundangan yang ada/berlaku.
2. Meningkatkan partisipas masyarakat dalam pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan.
3. Terlaksananya kerja sama pengawasan sumber daya kelautan dan
perikanan oleh aparat keamanan dan penegak hukum, serta masyarakat.
Jaringan dan mekanisme operasional siswasmas adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat atau anggota Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas)
melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas
terdekat (Seperti : koordinator PPNS, Kepala Pelabuhan Perikanan,
Kepala Dinas Kelautan dan perikanan, Satpol-Airud (atau polisi terdekat),
TNI-AL terdekat, atau petugas karantina dipelabuhan dan PPNS).
2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak
pidana perikanan oleh kapal ikan Indonesia atau kapal ikan asing serta
tindakan Illegal lainnya dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan
perikanan.
3. Petugas yang menerima laporan dari Pokmaswas melanjutkan informasi
kepada PPNS dan/atau TNI-AL, dan/atau Satpol-Airud dan/atau Kapal
Inspeksi Perikanan.
Universitas Sumatera Utara
lxxxv
4. Koordinator pengawas perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang
menerima data dan informasi dari nelayan atau masyarakat maritim
anggota Pokmaswas, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti
TNI-AL dan Satpol-Airud atau Kapal Inspeksi Perikanan.
5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-Airud dan instansi
terkait lainnya melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan)
pengejaran dan penangkapan pada kapal Indonesia dan kapal ikan asing
sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya
kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan
penyidikan.
6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/atau
(Koordinator PPNS dan/atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan
informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/ Kota dan Instansi terkait
provinsi dengan tembusan Direktorat Jenderal Pengendalian sumber daya
kelautan dan perikanan.
7. Dinas perikanan kabupaten dan/atau provinsi melakukan koordinasi
dengan petugas pengawas dalam melakukan operasi tindak lanjut atas
pelanggaran yang dilakukan.
Sedangkan instansi penanganan tindak pidana perikanan diatur dalam
pasal 73 Ayat 1 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang mengatur:
“Penyidikan Tindak Pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TN-AL, dan Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.”
Universitas Sumatera Utara
lxxxvi
1. Penyidik Pegawai Sipil Perikanan (PPNS)
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, pengertian
PPNS Perikanan adalah :
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I
(Golongan II B) atau yang disamakan dengan itu.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas
usul dari Departemen yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut.
Menteri Kehakiman sebelum melaksanakan pengangkatan, terlebih
dahulu mendengar pertimbangan Jakusa Agung dan Kepala Kepolisian
Repoublik Indonesia.
c. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam butir b dapat
dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai kewenangan sebagai
berikut :
Berdasarkan Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana di bidang perikanan.
2. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi.
3. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau
saksi untuk didengar keterangannya.
Universitas Sumatera Utara
lxxxvii
4. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di
bidang perikanan.
5. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan
kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di
bidang perikanan.
6. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan
7. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang
perikanan.
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
tindak pidana di bidang perikanan.
9. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
10. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau
hasil tindak pidana.
11. melakukan penghentian penyidikan.
12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)
a. Peranan TNI AL dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut
Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran
polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut
merupakan wahana kegiatan laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut
Universitas Sumatera Utara
lxxxviii
nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung
pembangunan bangsa.
Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal
memberikan kewenangan penegak hukum bagi kapal perang terhadap setiap
bentuk kejahatan yang dilakukan di/dari lewat laut, terutama kejahatan yang
bersifat internasional. Disamping itu dalam peraturan perundangan nasional
juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.
Salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan ketertiban di laut
sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang
mengaturnya serta kebiasaan internasional, agar tugas tersebut dapat
dilaksanakan secara profesional dan proporsional untuk itu diperlukan suatu
prosedur tetap (protap) tentang langkah-langkah penanganan terhadap tindak
pidana di laut oleh unsur operasional TNI AL.
b. Dasar Kewenangan Penyidikan oleh TNI AL23
1. Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan
(Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl. 1 939
Nomor 442 menyatakan bahwa : “ Untuk memelihara dan mengawasi
pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada
komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal
Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari angkatan laut”.
23 Ibid, hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
lxxxix
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dalam pasal 14 ayat (1) undang-undang ini
memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh
Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983.
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat
(1) undang-undang ini menyatakan : “Aparat penegak hukum yang
berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan
undang-undang ini diperairan Indonesia adalah pejabat penyidik
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”.
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS
1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang
dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal
ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 107, 110, 111,
dan Pasal 224 UNCLOS 1982.
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2) kewenangan
penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu dilingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
xc
diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan UU Nomor 9
Tahun 1985 tentang perikanan.
6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ditetapkan
dalam pasal 99 ayat (1) : “selain penyidik pejabat Polisi Negara RI,
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya dibidang pelayaran dan perwira Tantara
Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran yang
dimaksud dalam undang-undang ini”.
7. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal
17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa : “bagi penyidik dalam
perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI
penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik
lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang megaturnya”.
8. Udang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia Pasal
24 ayat (3) : “Penegakan hukum dilakukan oleh instansi terkait antara
lain TNI AL, Polri, Departemen Keuangan dan Departemen
Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi terkait
tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
nasional maupun hukum internasional.
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ayat (5) tentang lingkungan
hidup : “Bahwa penyidikan tindak pidana dilingkungan hidup di
Universitas Sumatera Utara
xci
perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh
penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.(lihat
pasal 14 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1983.
10. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Pasal 14 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa TNI berperan
sebagai alat pertahanan negara termasuk didalamnya mempertahankan
keutuhan wilayah, melindungi kehormatan bangsa dan negara,
melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif
dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dimaksudkan melaksanakan Operasi Militer selain perang antara lain
bantuan kemanusiaan, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengawasan
pelayaran dan/atau penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan,
bantuan pengungsian dan korban bencana alam berdasarkan
permintaan dan atau peraturan perundang-undangan.
c. Kewenangan TNI AL di perairan Indonesia24
1. Mempertahankan eksistensi/keberadaan Negara Kesatuan RI dari
segala bentuk ancaman dan gangguan.
2. Memelihara stabilitas nasional dan turut serta memelihara stabilitas
regional dan internasional.
3. Menegakkan hukum terhadap tindak pidana di wilayah perairan
Indonesia, meliputi :
a. Illegal entry/pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing
24 Ibid, hal 8-9
Universitas Sumatera Utara
xcii
b. Imigran gelap
c. Pelanggaran Hak Lintas Damai
d. Pelanggaran Hak Lintas Kepulauan
e. Pelanggaran Hak Lintas transit
f. Pelanggaran Hak akses komunikasi
g. Tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing di sekitar wilayah
perairan Indonesia
h. Sabotase obyek vital dan tindakan terorisme lainnya.
4. Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi :
a. Pengamanan sumber daya alam hayati dari kegiatan
penangkapan/eksploitasi tanpa izin, antara lain :
1. Perikanan
2. Kehutanan
3. Benda Cagar Budaya
4. Pasir Laut
5. Pencemaran Laut
b. Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya alam non
hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin
c. Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupun
industri lainnya di laut.
5. Mengamankan pelayaran, meliputi :
a. Mencegah dan menindak kegiatan pelayaran yang dilakukan diluar
jalur pelayaran yang telah ditentukan
Universitas Sumatera Utara
xciii
b. Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak
sesuai dengan ketentuan penggunaan oleh kapal dilaut
c. Mencegah dan menindak perbuatan yang dapat membahayakan
keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di laut
d. Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut
6. Mengamankan pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana
komunikasi lainnya.
7. Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin
8. Mencegah dan menindak kegiatan pemetaan atau survey
hidrooseanografi tanpa izin
9. Mencegah dan menindak perampokan/pembajakan di laut
10. Mencegah dan menindak penyelundupan di laut
11. Mencegah dan menindak pengangkutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Illegal lewat laut
12. Mencegah dan menindak pengangkutan obat-obat terlarang dan senjata
api gelap.
3. Polisi Negara Republik Indonesia
Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara RI adalah sebagaimana yang
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) jo Pasal 73 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
jo Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
Walaupun secara yuridis formil kewenangan penyidikan dibidang tindak
pidana perikanan dilakukan oleh PPNS, Perwira TNI AL dan Polri, namun dalam
Universitas Sumatera Utara
xciv
pelaksanaan tugas-tugas penyidikan PPNS perikanan masih memerlukan
bantuan/bimbingan teknis penyidikan baik dari TNI AL maupun Penyidik Polri,
Sebelum berlakunya Undang-undang Perikanan, di kenal adanya hubungan tata
cara kerja antara Polri dan PPNS.
Berdasarkan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Polri dengan
PPNS mempunyai hubungan kerja, dimana untuk kepentingan penyidikan,
Penyidik Polri memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan
oleh PPNS.
Hubungan tata cara kerja Polri dan PPNS dibidang operasional penyidikan
dilapangan dilaksanakan secara timbal balik dengan mekanismenya adalah
sebagai berikut :25
1. Dalam hal penyidik PPNS melaksanakan penyidikan maka PPNS sejak
awal menerima laporan/pengaduan wajib memberitahukan hal ini
kepada penyidik Polri untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut
Umum (laporan dimulainya penyidikan).
2. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk-
petunjuk baik diminta maupun tidak diminta, berdasarkan tanggung
jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
3. Petunjuk yang diberikan meliputi petunjuk teknis, petunjuk taktis dan
petunjuk yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan
teknis, bantuan taktis dan bantuan upaya paksa.
25 Himpunan Juklak dan Juknis tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta, 1991), hal. 11
Universitas Sumatera Utara
xcv
Bantuan upaya paksa adalah bantuan penindakan apabila
wewenangnya tidak dimiliki oleh PPNS.
4. Dalam hal tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan oleh
PPNS, ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada Penuntut
Umum, maka PPNS wajib melaporkan hal ini kepada Penyidik Polri
(laporan perkembangan penyidikan).
5. Dalam hal penyidikan PPNS membutuhkan bantuan untuk melakukan
upaya paksa/penindakan yang wewenangnya dimiliki oleh PPNS yang
bersangkutan, maka untuk kegiatan tersebut dimintakan bantuan
penyidik Polri.
Pengaturan tata cara kerja antara Polri dengan PPNS ini terutama disebabkan
karena sebelum diberlakukannya ketentuan UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45
Tahun 2009 Tentang Perikanan, Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) adalah sangat terbatas dan tidak mempunyai kewenangan untuk
menangkap serta menahan tersangka. Demikian juga dalam hal pengajuan berkas
penyidikan ke Penuntut Umum, tetap harus melalui Kepala Kepolisian setempat,
apakah itu Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) maupun Kepala Kepolisian Resort
(Polres)
Universitas Sumatera Utara
xcvi
D. Kendala-kendala yang dialami dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana pencurian ikan (Illegal Fishing)
Secara garis besar, beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penanganan
IUU Fishing di perairan Indonesia, antara lain :26
1. Masih lemahnya pengawasan yang antara lain disebabkan oleh :
a. Masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan
b. SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi
kuantitas
c. Belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan
d. Masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik
pusat maupun daerah.
e. Belum berkembangnya lembaga pengawasan
f. Penerapan sistem MCS yang belum optimal
2. Belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya
pemalsuan izin.
3. Masih lemahnya “Law Enforcement” yang menyebabkan menurunnya
kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan
maraknya pelanggaran.
26 Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Op. Cit. hal. 10
Universitas Sumatera Utara
xcvii
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ketentuan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal fishing Menurut UU 31
Tahun 2004 tentang Perikanan
Secara umum berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan,tindak pidana perikanan di bagi atas 2 jenis tindak pidana, yaitu
tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di
bidang perikanan.
a. Tindak Pidana Kejahatan di bidang perikanan di atur dalam Pasal 84, 85,
86, 89, 91, 92, 93 dan Pasal 94 UU Perikanan.
b. Tindak Pidana Pelanggaran di bidang perikanan di atur dalam Pasal 87,
89, 90, 95, 96, 97, 98,99 dan Pasal 100 UU Perikanan.
2. Peranan Pengadilan Perikanan dalam menyelesaikan tindak pidana illegal
fishing.
Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan Perikanan beroperasi, penyelesaian
kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Lebih dari 800 kasus
perikanan selama empat tahun terakhir, kebanyakan kasus penangkapan kapal
nelayan asing walaupun ada juga kasus penangkapan kapal nelayan Indonesia.
Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang efektif. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran pengadilan perikanan
Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana illegal fishing
Universitas Sumatera Utara
xcviii
perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap kasus yang masuk
kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para instansi yang
bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan Sumatera
Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi penyisiran
wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak dari para
pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri.
Dengan meningkatnya kinerja dari para instansi pengawas dilapangan,
nantinya akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di
karenakan semakin rajin para instansi pengawas di lapangan melakukan
penyisiran, semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing
tertangkap. Dengan demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan
perikanan akan meningkat sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu
sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing dapat berjalan
efektif.
B. Saran
1. Dilakukannya razia rutin di perairan Indonesia guna meminimalisir terjadinya
tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing)
2. Untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing)
di Indonesia, pemerintah hendaknya membentuk forum koordinasi penegak
hukum untuk menyamakan persepsi dan langkah-langkah penegakan hukum,
sehingga dalam melakukan pengawasan dan penindakan dapat dilaksanakan
secara terpadu dengan melibatkan seluruh komponen penegak hukum di laut
Universitas Sumatera Utara
xcix
selain itu juga melibatkan masyarakat khususnya masyarakat nelayan melalui
Siswasmas
3. Tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) yang sering terjadi di perairan
Indonesia adalah karena penangkapan yang dilakukan tidak di sertai oleh
SIUP dan SIPI, untuk itu diharapkan kepada pemerintah khususnya
institusinya yang terkait (yang memberikan izin dalam melakukan
penangkapan ikan), agar benar-benar menertibkan mekanisme penertiban izin
bagi kapal-kapal ikan lokal ataupun kapal asing dengan cara memeriksa dan
mengevaluasi kapal-kapal yang akan di berikan izin dan merevisi kembali
kapal-kapal yang telah di beri izin serta bekerja sama dengan penyidik
dilapangan untuk memeriksa kembali izin setiap kapal yang akan melakukan
dan atau yang sedang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara