Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
62
ANALISIS TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN RODA EMPAT
(Study Kasus Kota Jakarta)
Edison Hatoguan Manurung
Mahasiswa S3 Universitas 17 Agustus 1945
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana terjadinya pencurian
kendaraan bermotor roda empat di daerah Jakarta serta modus yang digunakan.Metode dam desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan pendekatan
hukum normative untuk menggambarkan bagaimana tentang manusia, keadaan atau hipotesa agar
dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau didalam penyusunan teori-teori baru.i
Dalam hal ini penulis mengkaji peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
tentang petunjuk pelaksanaan penyidikan.Data pada penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari literatur- literatur dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.Dalam usaha penulis mendapatkan data yang diperlukan untuk penyusunan tesis, penulis mempergunakan data sekunder.Adapun analisa yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah analisa kualitatif diskriptif.Hasil penelitian ini adalah bahwa pencurian terjadi karena kelalaian pemilik kendaran dan lingkungan yang kurang terawasi.
Kata Kunci: Tindak Pidana,Pencurian Kendaraan ©2019 Universitas Mpu Tantular
_______________________________________________________________________________________________
_
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Volume kendaraan roda empat di Jakarta terus bertambah seiring jumlah penduduk. Yang
tidak di ikuti tersedianya lapangan kerja menimbulkan pengangguran dan akhirnya menjadi
pelaku kriminal serta gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Data Polda Metro Jaya
pada tahun 2011 kasus pencurian kendaraan roda empat berjumlah 1.200 kasus sedangkan tahun
2012 berjumlah 1.600 kasus meningkat lebih kurang 40%. Untuk mengantisipasi Polri melakukan
tindakan preventif.Fungsi reserse, adalah penyidikan terhadap pencuri kendaraan roda empat
dengan penyelidikan, penindakan.Menurut Awaloedin Djamin (1991) penyidikan pada umumnya
bukan diawali dengan tindak pemanggilan atau penahanan tersangka,sehingga yang dibutuhkan
hanya keterangan tersangka dan keterangan saksi, tapi jauh lebih luas dari itu misalnya kasus
perampokan atau pembunuhan dimana pelakunya melarikan diri, setelah ada laporan tentang
kejahatan itu, maka mulailah proses penyelidikan dan penyidikanyang cukup rumit dan
memerlukan pengetahuan dan kemampuan yang umumnya dikenal sebagai taktik dan teknik
kriminal.ii.Dalam melaksanakan tugas penyidikan, seluruh penyidik Polri diwajibkan berpedoman
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai dasar bertindak untuk
menghindari kesewenang-wenangan di dalam proses penyidikan dan untuk memberi arah yang
sesuai agar hak azasi manusia dihargai. Disamping Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Polri juga memiliki pedoman yaitu kumpulan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis dalam proses penyidikan tindak pidana. Dilapangan semuanya belum diterapkan karena
sumber daya yang dimiliki terbatas.Dengan keterbatasan sumber daya tersebut, jumlah
penyelesaian kasus pencurian kendaraan roda empat diwilayah hukum Polda Metro Jaya, masih
belum optimal.Dengan pemahaman terhadap petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis proses
penyidikan tindak pidana,diharapkan dapat menekan angka kejahatan pencurian kendaraan roda
empat serta meningkatkan penyelesaiannya.Memanfaatkan peluang-peluang, meningkatnya
penguasaan Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana, Perundang• undangan, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
63
dan Peraturan• peraturan lainnya, meningkatkan mental maupun motivasi personil serta melakukan
operasi khusus kepolisian yang diarahkan pada kejahatan pencurian kendaraan roda
empat.Kualitas personil merupakan salah satu faktor kunci di dalam menentukan keberhasilan
operasional dilapangan, sesuai dengan pendapat guru besar sosiologi hukum Universitas Indonesia
Soeijono Soekanto, bahwa penegakan hukum diperlukan beberapa faktor pendukung, diantaranya
pada si penegak hukum yakni masalah pokok penegak hukum terletak pada faktor penegak
hukumnya.iii.Dengan penjelasan diatas faktor penegak hukum adalah Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Metro Jaya harus mampu mengaplikasikan taktik dan teknik penyidikan yang tidak
menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Petunjuk Pelakasanaan /
Juklak, Petunjuk Teknis ( Juknis ) Peraturan Kapolri ( Perkap ) maupun undang-undang yang
lain.Kasus pencurian kendaraan roda empat sulit diselesaikan, karena para pelaku terdiri dari suatu
jaringan operasi yang meliputi lebih dari satu kota. Jaringan dikelola secara profesional, rapi dan
terorganisasi. Pelaku mampu menghilangkan jejak pelaku pencurian kendaraan roda empat dan
menghilangkan jejak pencurian.Kendaraan roda empat merupakan sarana transportasi dengan
mobilitas tinggi dengan mudah dipindah tempat dari satu tempat ketempat lain dengan
mengandalkan kecanggihan mesin.
TINJAUAN PUSTAKA UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN
RODA EMPAT
1. Pengertian Tindak Pidana
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu isilah untuk keduanya, yaitu Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah
pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.iv.Saut Roma Sianturiv merumuskan pidana dengan istilah: "Strajbaar feit" yaitu suatu handling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan bahwavi: Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukun perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh
pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. viiZainal Abidin Farid mengusulkan istilah perbuatan kriminal karena "perbuatan pidana" kurang tepat.Roeslan Saleh menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.viii.
Van Hamel merumuskan tindak pidana dengan istilah"strajbaar feit" itu sama dengan
yang dirumuskan oleh Sianturi, hanya ditambahkan dengan kalimat "tindakan mana bersifat dapa
t dipidana".Sianturi,Jonkers, merumuskan "strafbaar feit" adalah suatu kelakuan (gedraging)
manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam pidana.
Menurut Sianturi,Jonkers defenisi "Strajbaarfeit" adalah:
a. "Strajbaar feit "adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
b. "Strajbaar feit "adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pompe merumuskan bahwa: "Strajbaar feit " adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan
umum. ix Sedangkan Rusli Effendy memakai istilah pidana yang menyatakan bahwa: delik perbuatan oleh hukum pidana dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan
tersebut, untuk itu disebut peristiwa pidana atau delik.x.Moeljatno menyatakan istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
64
sosial.xi.Moeljatno menyatakan bahwa untuk menerjemahkan istilah tersebut beliau menggunakan istilah perbuatan pidana dengan alasan: perbuatan adalah perkataan lazim digunakan dalam
percakapan sehari-hari, seperti: perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya.xii.
Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapatdilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.xiii
Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, lazim disebut sebagai
perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, delik (starjbaar feit, criminal act). Menurut
sistem KUHP, starjbaar feitdibagi menjadi dua jenis yaitu kejahatan (misdrijven) diatur dalam
Buku II KUHP dan pelanggaran (overtredingen) diatur dalam Buku III KUHP.
Pengaturan starjbaar feit tersebut kedalam dua buku seperti yang kita kenai sekarang, menurut
sistem RUU KUHP disatukan dalam satu buku yaitu buku II tentang Tindak Pidana. RUU KUHP
hanya terdiri dari dua buku, yaitu buku I yang mengatur tentang Ketentuan Umum dan Buku II
mengatur tentang Tindak Pidana.Untuk menentukan kapan seseorang dapat dikatakan telah
melakukan suatu perbuatan pidana, KUHP mengenal asas yang prinsipil yaitu asas legalitas
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa
tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang.
Dalam asas legalitas tampak adanya jaminan kepastian hukum, tumpuan dari hukum pidana dan
hukum acara pidana. Sesuai dengan jiwa Pasal 1 KUHP diisyaratkan juga bahwa ketentuan
undang• undang harus dirumuskan secermat mungkin (asas lex certa : undang-undang yang dapat
dipercaya). Dalam hubungan asas legalitas ini, Anselm von Feuerbach, seseorang sarjana hukum
pidana Jerman (1975 - 1833), merumuskan asas legalitas tersebut dalam bahasa latin sebagai
berikut : nulla poena sine lege (pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang);
nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana); nul/urn crimen sine poena legal
(tiada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Selanjutnya rumusan
tersebut dirangkum dalam satu kalimat : nu/lum, nulla poena sine praevia lege (tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu).Menurut Prof. Muljatno
pengertian hukum pidana sebagaimana tersebut diatas meliputi hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil (hukum acara pidana).Menurut pendapat para ahli hukum pidana Belanda, seperti
Hazewinkel Suringa, Vos atau Simons, mereka mendefinisikan hukum pidana menjadi hukum
pidana obyektif dan hukum pidana subyektif.Sedangkan hukum pidana subyektif atau jus puniendi
adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk
melaksanakan pidana.xiv.Senada dengan Suringa, menurut Vos hukum pidana terdiri dari hokum
pidana obyektif (jus punale) dan hukum pidana subyektif (jus puniendi). Jus punale adalah aturan-
aturan hukum obyektif, yakni aturan hukum pidana.Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang
timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum penitentiair) aturan
mengenai kapan, siapa, dan bagaimana pidana dijatuhkan.Sedangkan hukum pidana subyektif atau
jus peniendi adalah hak subyektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut
pidana, menjatuhkan pidana, dan melaksankaan pidana.xv.Demikian pula Simons, membagi hukum
pidana menjadi hukum pidana obyektif dan hukum pidana subyektif. Hukum pidana obyektif adalah
seluruh larangan atau hal yang dilarang sebagai pelanggaran oleh negara atau kekuasaan umum
yang dapat dikenal pidana terhadap pelanggar dan bagaimana pidana itu diterapkan. Hukum pidana
obyektif adalah hukum pidana positif atau jus poenae.Hukum pidana subyektif adalah hak negara
memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan disebut
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
65
juga jus puniendi.xvi.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana adalah merupakan
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara yang terdiri dari baik hukum
pidana materiil (mengatur perbuatan• perbuatan apa saja yang dilarang dengan memberikan
ancaman pidana bagi yang melanggarnya), maupun hukum pidana formil atau hukum acara
pidana (mengatur tata cara hukum pidana materiil itu dipertahankan/ dilaksanakan).
2. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Ruang Lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi tempat terjadinya delik (locus delicti) dan
waktu terjadinya delik (tempus delicti).Tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti), perlu
diketahui untuk :
a. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana
tersebut atau tidak. Ini berhubungan dengan Pasal 2-8 KUHP
b. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini
berhubungan dengan kompetensi relatif.
Mengetahui waktu terjadinya delik (tempus delicti) adalah penting berhubung dengan :
a. Pasal 2 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan
diancam dengan pidana?
b. Pasal 44 KUHP apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggungjawab?
c. Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16
tahun? Jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara ketiga kemungkinan
• Mengembalikan anak tersebut kepada orangtuanya tanpa diberi pidana apapun;
• Menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukkan rumah pendidikan;
• Menjatuhi pidana seperti orang dewasa maksimum daripada pidana•pidana pokok dikurangi 1/3 (lihat Pasal47 KUHP).Pasal 49 KUHP (verjaring atau daluarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan
tertangkap tangan (opheterdaad). xvii
Sejak tahun 1981, ketentuan mengenai "tertangkap tangan" diatur dalam Pasal 1 angka 19
KUHAP, yaitu tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan
atau membantu melakukan tindak pidana.
Mengenai locus delicti, didalam kepustakaan dikenal 3 (tiga) teori, yaitu :
Teori perbuatan materiil (leer van de lichamelijke daad). Menurut teori ini maka yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala perbuatan yang kemudian
dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan.
a. Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument), yang mengatakan bahwa delik
dilakukan ditempat dimana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan lain
perkataan yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada "uitwerking" alat yang
dipergunakan.
b. Teori akibat (leer van het gevolg). Menurut teori ini yang menjadi locus delicti ialah
tempat akibat dari perbuatan itu terjadi.xviii
Moeljanto, mengatakan bahwa teori tentang locus delicti ada 2 (dua) aliran, yaitu:
a. Aliran yang menentukan disatu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b. Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan
mungkin pula tempat akibat.xix
W.v.S, tidak menentukan secara tegas dalam pasal-pasalnya tentang locus delicti (tempat
terjadinya tindak pidana/delik). Berbeda dengan RUU KUHP tahun 2006, mengenai locus delicti ini
diatur dengan tegas dalam Pasal 10 yang menentukan bahwa tempat tindak pidana adalah :
a. Tempat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
66
TERBUKTI PERUMUSAN
DELIK
Sifat Melawan
Hukum
Sifat
tercela
Dipidana
undangan atau,
b. Tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam peraturan perundang• undangan atau
tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut.
3. Unsur Tindak Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia dalam lingkup rumusan delik, bersifat melawan
hukum dan dapat dicela.Dalam ruang lingkup rumusan delik semi unsur rumusan delik yang
tertulis harus dipenuhi.Bersifat melawan hukum yakni suatu perbuatan yang memenuhi semua
unsur rumusan delik yang tertulis tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum.Dapat
dicela suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan
hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya.
Unsur di luar undang-undang; jadi yang tidak tertulis.
Tabel 2.1
Unsur Unsur Tindak Pidana :
a. `Unsur Objektif (unsur yang terdapat di luar diri si pelaku Tindak Pidana)
• Dilarang perbuatan tertentu (Delik Formil contoh Pasal362 KUHP).
• Dilarang akibat tertentu (Delik Materiil, contoh Pasal 338 KUHP) adanya ajaran Kausalitas
(sebab akibat). b. Unsur Subjektif yakni unsur kesengajaan (menghendaki dan mengetahui)
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur sengaja atau opzet, bukan unsur culpa. Ini
layak oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu ialah orang yang
melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana
yaitu :
• Perbuatan yang dilarang.
• Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu.
• Bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
Kesengajaan ada 3 (tiga) macam:
a. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu(opzet als oogmerk).
b. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafaan,
bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bijzekerheidsbewuztzijn) atau kesengajaan
secara keinsyafaan kepastian.
c. Kesengajaan dengan disertai keinsyafaan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa
suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids bewuztzijn) atau kesengajaan secara
keinsyafaan kemungkinan.
4. Sifat Melawan Hukum
Dalam dogmatic hukum pidana, istilah "sifat melawan hukum" tidak selalu berarti sama.
Ada empat makna yang berbeda-beda, tetapi yang masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat
melawan hukum. Harus selalu ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk
mengetahui artinya.
5. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang berkaitan dengan tindak
pidana terhadap kekayaan orang. Tindak pidana pencurian ini diatur dalam BAB XXII Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) "yang dirumuskan sebagai tindakan mengambil barang
seluruhnya atau sebagian milik secara orang lain dengan tujuan memilikinya secara melanggar
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
67
hukum".xxxxi.R.Soesilo mengatakan bahwa "Pencurian dapat dikatakan selesai jika barang yang
dicari sudah pindah tempat". xxiiPengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya
dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi : "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 900 (Sembilan Ratus
rupiah)".xxiii.Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur - unsur objektif
(perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif
(adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum)..Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut di
atas.
a. Unsur Tindak Pidana Pencurian Obyektif
Mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan
membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut,maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut
ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak.xxiv Unsur berpindahnya kekuasaan benda
secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai
ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia
kemudian melepaskannya karena diketahui".
b. Melawan hukum
Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan
hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah
mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demlkian) itu adalah
bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam
pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif.Pendapat ini kiranya sesuai
dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur
yang ada di belakangnya.xxv Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan.
Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong
diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang
tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-
1983) 6. Azas Legalitas Dalam KUHP
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental. Pertama kali asas
ini dituangkan dalam konstitusi Amerika 1776, dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de
droits de J'homme et du citoyem 1798. Asas legalitas ini kemudian tercantum dalam KUHP
berbagai negara di dunia Di Prancis asas ini pertama kali termuat dalam Pasal 4 Code Penal yang
disusun Napoleon Bonaparte (tidak. ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang
dapat dipidana berdasarkan aturan hukurn yang ada, sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih
dahulu), di Belanda asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang
dengan tegas menentukan "Green feit is strajbaar dan uit kracht van eenedaaraan
voorafgenane wettelijke strafbepaling, ". Demikian pada dalam WvS (KUHP) Indonesia, asas
legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) : "Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana,
kecuali atas perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan".Menurut
Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa syarat : pertama, nullum crimen, noe/a poena
sine lege praevia, yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa hukum pidana tidak boleh
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
68
berlaku surut. Kedua, nullum crimen, noela poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga, nullum crimen, noela poena sine
lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang
jelas. Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan perbuatan pidana sehingga tidak
bersifat multitafsir yang dapat membahayakan kepastian hukum. Ke empat, nullum crimen, noela
poena sine lege stricto, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implisit adalah tidak diperbolehkannya analogi.
Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana
baru.xxvi.Asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP,
yang menentukan "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana", kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada".Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu
perbuatan yang tercela, yaitu adanya ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan
perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, menjelaskan kepada kita, bahwa:
a. Suatu perbuatan dapat dipidana kalau tennasuk ketentuan pemidanaan menurut undang-
undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
b. Ketentuan pidana itu harus lebih dulu daripada perbuatan itu; dengan perkataan lain,
ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh Karena itu
ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun
sanksinya.Rumusan dari Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak
berlaku surut untuk kepentingan terdakwa, artinya bilamana terjadi perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkannya.Dalam asas legalitas tampak jaminan dasar
kepastian hukum, merupakan tumpuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana Di
samping dalam Pasal 1 KUHP, asas legalitas dapat juga dijumpai dalam sumber-
sumber hukum internasional
7. Alasan Penghapus Pidana
Alasan Penghapus Pidana diatur dalam Buku I, Bab III KUHP yang mengatur tentang "Hal-
hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana'.Alasan penghapusan pidana adalah
memungkinkan orang yang melakukan perbuatan pidana atau delik tidak dijatuhi pidana.
8. Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat adalah alasan pembenar, yaitu kalau seseorang dihadapkan pada suatu
dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar. Dalam
keadaan demikian dibenarkan oleh hukum kalau orang melakukan delik agar kepentingan yang
lebih besar tadi diamankan. Karena itu delik tersebut dalam keadaan yang demikian tidak dapat
dipidana.
9. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Di samping istilah pembelaan terpaksa, ada juga yang memakai istilah pembelaan
darurat.Dengan istilah pembelaan terpaksa, suatu delik dapat dilakukan karena pembelaan yang
dibenarkan.Pasal 49 ayat (1) KUHP menentukan "tidak dapat dipidana seseorang yang
melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain,
membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang
mengancam langsung atau seketika itu juga".Dalam rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP tersebut
ditentukan syarat-syarat dimana melakukan suatu delik untuk membela diri dapat dibenarkan.
Menurut pasal ini, untuk pembelaan terpaksa disyaratkan :
a. ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan
b. kesusilaan atau harta benda;
c. serangan itu bersifat melawan hukum;
d. pembelaan merupakan keharusan;
e. cara pembelaan adalah patut (syarat ini tidak disebut dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
69
Serangan harus bersifat melawan hukum, kalau tidak berarti tidak ada noodweer. Di
samping serangan yang bersifat melawan hukum.
Ada 3 (tiga) asas yang sangat penting untuk ajaran alsan penghapus pidana, yaitu:
a. Asas Subsidiaritas
Menurut asas ini, melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan
hukum orang lain, baru diperkenankan atau dibenarkan, kalau tidak ada kemungkinan
yang lebih baik atau jalan yang lain. Pembelaan tidak menjadi keharusan (jadi tidak akan
dibenarkan) selama orang masih bisa melarikan diri.
b. Asas Proporsionalitas
Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain
dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggaran.
Jadi, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang
dilanggar.
c. Asas "Culpa in Causa"
Menurut asas ini, barang siapa yang keberadaannya dalam situasi darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggungjawab. Ini berarti, bahwa seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena
pembelaan terpaksa.xxvii
Menurut Sudarto, perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan main
hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49 KUHP, maka
perbuatannya dianggap tidak melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya, sementara negara
dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum
dari orang yang diserang itu, maka pembelaan darurat itu merupakan alasan pembenar.Pembelaan
diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum.Bahwa dalam hal pembelaan darurat ada 2
(dua) hal yang pokok, yaitu:
a. Ada serangan,seketika,langsung mengancam,melawan hokum,sengaja ditujukan pada badan,
peri kesopanan dan harta benda.
b. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu dengan syarat,pembelaan harus dan perlu dilakukan,pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-undang yakni serangan pada badan (lift), peri kesopanan (eerbaarheid) dan
harta benda (goed) kepunyaan sendiri dan orang lain.xxviii
10. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Roda Empat
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus
mampu bertanggungjawab, dengan lain dengan perkataan harus ada kemampuan bertanggungjawab
dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab
(toerekening svatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam dokrin
atau memorie van toelichting (MvT).Simons rnengatakan : "'kernampuan bertanggungjawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang mernbenarkan adanya penerapan sesuatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya". Selanjutnya dikatakan,
bahwa seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
b. dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Menurut van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah sesuatu keadaan normalitas
psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
b. Mampu tintuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
70
dibolehkannya.
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.
Menurut memorie van toeliching (MvT), tidak dan kemarnpuan bertanggung jawab pada si
pembuat, apabila :
a. Si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai
apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang;
b. Si pembuat ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat perbuatannya.
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan
mengunakan pendektan peraturan perundang-undangan.Data yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder. Kemudian dianalisa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori
lama atau didalam penyusunan teori-teori baru. Dalam hal ini penulis mengkaji peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tentang petunjuk pelaksanaan penyidikan.Penelitian ini
dilakukan diwilayah hokum polda metro jaya
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan berupa
mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, buku-buku dan bahan pustaka
lainnya yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini dengan cara mengumpulkan dari
perpustakaan termasuk perpustakaan Markas Besar Kepolisian.
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN RODA EMPAT
DAN PERMASALAHAN
1. Sebab - sebab Meningkatnya Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Roda Empat
Kehidupan Kota Jakarta sangat komplek dengan bermacam-macam masalah, corak
kehidupan, keanekaragaman budaya daerah masyarakat heterogen. Dengan kompleknya budaya
di Jakarta dapat memicu terjadinya beberapa gangguan kriminalitas yang beranekaragam,
terorganisir dan tidak terorganisir. Tindak pidana pencurian kendaraan roda empat yang teijadi di
wilayah hukum Polda Metro Jaya tahun per tahun semakin meningkat ini didasarkan dari data yang
ada di Polda Metro Jaya yaitu tahun 2009 kasus pencurian kendaraan roda empat berjumlah 8.000
kasus sedangkan tahun 2010 berjumlah 8.600 kasus meningkat lebih kurang 20%.
2. Faktor Ekonomi dan Pendidikan
Faktor ini adalah faktor yang sangat dominan mengapa seseorang melakukan tindak pidana
pencurian kendaraan roda empat. Faktor ini tidak terlepas dari sifat seseorang untuk mencari
kehidupan memadai. Khususnya didalam pencurian kendaraan roda empat, sifat ini sangat
dipengaruhi seseorang tersebut melakukan tindakan pidana karena adanya tuntutan ekonomi dan
pendidikan yang kurang dari para pelaku pencurian kendaraan roda empat.Kebutuhan ingin hidup
layak dan enak, menyebabkan seseorang melakukan pelanggaran hukum yaitu salah satunya dengan
melakukan pencunan kendaraan. Faktor pendidikan yang kurang baik juga menyebabkan
teijadinya peningkatan pencurian kendaraan roda empat karena untuk bekeija yang dapat
menghasilkan hidup yang layak dengan berpendidikan yang baik tapi para pelaku rata-rata
berpendidikan rendah. (Subbag Opsnal Dit Reskrimum Polda Metro Jaya).
Perlu diterangkan di sini, pandangan dari pelopor hukum pidana modem yaitu Dr. Lambroso
(1835 - 1909), bahwa Penjahat memang merupakan tipe manusia yang dilahirkan berbeda dalam
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
71
hampir dari segala hal dengan rnanusia pada umumnya.xxix
3. Faktor Individu dan Lingkungan
Para pelaku melakukan pencurian kendaraan roda empat dipengaruhi lingkungan tempat
tinggal dan lingkungan bergaul.Lingkungan yang tidak baik mempengaruhi perilaku seseorang
untuk melakukan perbuatan tidak baik.
a. Organized Crime : Suatu tindak kejahatan yg dilakukan oleh sekelompok orang secara
sistematis
b. Criminal Organization : Suatu organisasi yang didirikan oleh para penjahat untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan (punya struktur organisasi yg jelas, memiliki
keanggotaan tetap, menggunakan peralatan teknologi, memiliki aksi kejahatan yang
berkelanjutan, menggunakan akumulasi kekuasaan
c. State Organized Crime :Tindakan yg menurut hukum ditentukan sebagai kejahatan &
dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam menunaikan tugas dari negara.
d. Crime againts humanity :
• kejahatan perang;
• pembersihan etnik (genocide;
• perbudakan dan lain-lain.
4. Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Pencurian Roda Empat. a. Kegiatan Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik yang menurut tata cara undang undang
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-
undang.
b. Kegiatan Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terangtindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Bab IV, Bagian
Kesatu, Pasal4 sampai dengan Pasal 12 KUHAP.
5. Kegiatan Penindakan
a. Pemanggilan
Dalam rangka penyelidikan untuk mendapatkan keterangan terhadap perkara yang diduga
merupakan tindak pidana, petugas penyelidik/penyidik berwenang untuk memanggil orang guna
dimintai keterangan. Pemanggilan dapat dilaksanakan secara lisan, melalui telepon atau dengan
mengirimkan surat panggilan.
b. Mekanisme Pemanggilan Menurut pasal 216 KUHAP :
Pemanggilan secara lisan harus dilak.ukan dengan cara :
• Disampaikan secara sopan.
• Tidak. boleh memaksakan kesedian pihak. yang dipanggil.
• Penentuan tentang waktu dan ternpat untuk pelaksanaan pemanggilan serta pemberian
keterangan berdasarkan kesepak.atan antara penyelidik/ penyidik dengan pihak. yang
dipanggil.
• Tidak boleh ada pemaksaan atau ancaman kepada pihak. yang dipanggil yang menolak
panggilan.
• Sebelum melakukan pemanggilan secara lisan, harus meminta izin kepada atasan penyelidik
/penyidik.
b. Penangkapan
Adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
72
atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.Tindakan penangkapan
terhadap seseorang hanya dapat dilakukan dengan cara yang diatur dalam perturan perundang
undangan. Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi dengan Surat Perintah Tugas dan Surat
Perintah Penangkapan yang syah dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
c. Penahanan
Adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau Penuntut
Umum atau Hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang -
undang.Dalam rangka menghonnati Hak Azasi Manusia / Human Right tindakan mekanisme
Penahanan Menurut Undang – Undang KUHAP harus memperhatikan standar sebagai berikut :
• Setiap orang mempunyai hak kemerdekaan dan keamanan pribadi.
• Tidak seorangpun dapat ditangkap ataupun ditahan dengan sewenang-wenang.
• Tidak seorangpun boleh dirampas kemerdekaannya kecuaii dengan alasan alasan tertentu
dan sesuai dengan prosedur seperti yang telah ditentukan oleh hukum.
Tindakan penahanan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum dan menurut tata cara yang
diatur didalam KUHAP dan perturan perundang undangan, Tahanan yang pada dasarnya telah
dirampas kemerdekaannya harus tetap diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sebelum ada
keputusan hukum yang tetap. Penahanan wajib dilengkapi Surat Perintah Penahanan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
d. Penggeledahan
Adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal.ruang terbatas dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau dalam hal dan menurut yang
diatur dalam Undang• Undang.Tindakan Penggeledahan wajib dilengkapi dengan Surat Perintah
Penggeledahan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan hanya dapat dilakukan setelah
mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.kecuali dalam keadaan mendesak.Dalam hal
keadaan sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin
untuk mendapatkan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu penyidik dapat
melakukan penggeledahan dimana wajib disaksikan oleh Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat
setempat dan setelah melakukan tindakan penggeledahan penyidik harus segera membuat berita
acara penyidikan.Mekanisme Penggeledahan Menurut Undang – Undang KUHAP dalam
melakukan tindakan penggeledahan orang dan tempat petugas pelakasana penggeledahan itu wajib :
• Memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan sopan.
• Meminta maaf dan meminta kesediaan orang yang digeledah atasterganggunya hak privasi
karena harus dilakukkanya penggeledahan.
• Menunjukkan Surat Perintah Penggeledahan dan/atau Identitas petugas yang
melkasanakan penggeledahan
• Melakukan pemeriksaan untuk mencari sasaran penggeledahan untuk pemeriksaan yang
diperlukan dengan cara yang teliti, humanis, sopan, etis dan simpatik.
• Melakukan tindakan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik pemeriksaan untuk
kepentingan tugas yang di dalam batas kewenangannya.
• Melaksanakan penggeledahan untuk pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya dan
menyampaikan terima kasih atas terlaksananya acara penggeledahan. e. Penyitaan
Adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah
penguasaaanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.Mekanisme Penyitaan
Menurut Undang – Undang KUHAP yang dapat dikenakan tindakan penyitaan antara lain
tempat,orang.Penyitaan diatur dalam Pasal 1 butir 16, Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 7
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
73
ayat (1) huruf d dan e, Pasal 11, Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
pasal 45,Pasal 46, Pasal 47, Pasal48, Pasal49, Pasal128, Pasal129, Pasal 130 dan Pasal31
KUHAP.
f. Pemeriksaan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya dan penyelidikan adalah
serangkaian kegiatan penyelidik yang menurut tata cara undang undang untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-undang.
PROSES PENCEGAHAN PENGUNGKAPAN PENCURIAN KENDARAAN RODA
EMPAT
1. Proses Pencegahan Tindak Pidana Pencurian
Dengan melakukan pengawasan lingkungan yang baik serta kunci pengaman pada
kendaraan dapat mencegah terjadinya pencurian kendaraan bermotor roda empat.
2. Kegiatan Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik yang menurut tata cara undang
undang untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-
undang.Dalam KUHAP Pasal 102 ayat 1 Penyelidikan yang mengetahui menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
melakukan tindakan penyelidikan.Dalam hal tertangkap tangan dalam melakukan penyelidikan ,
Penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang dilakukan yang perlu dalam rangka melakukan
penyelidikansebagaimana tersebut pasal 5 ayat 1 huruf b.
3. Kegiatan Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.xxxxxxi
Data Pelaku Pencurian Kendaraan Roda Empat DKI Jakarta 2011-2012
Tabel 5.1
Hasil Penelitian Data Pelaku Pencurian Kendaraan Roda Empat DKI Jakarta 2011-2012
NO. BULAN Tahun2011 Tahun2012
L P JML L p JML
1. Januari 1100 2 13 2222 2 24
2. Pebruari 4 2 6 4 1 5
3. Maret 9 2 11 9 5 15
4. April 7 - 7 10 2 12
5. Mei 13 - 13 15 12 17
6. Juni 7 1 8 4 5 9
7. Juli 14 - 14 19 - 9
8. Agustus 12 1 13 15 1 6
9. September 6 - 6 11 - 1
10. Oktober 8 3 11 14 1 5
11. Nopember 25 - 25 25 22 47
12. Desember - - - 5 5
Jum/a 116 11 127 148 56 20444
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
74
Sumber Data : Polda Metro Jaya
4. Pemberkasan
Pemberkasan kelengkapan yang diisyaratkan oleh Undang-undang dalam proses
penyidikan, meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan dan pengarsipan atau dokumentasi guna
menjamin ketertiban, kelancaran dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan operasional,
penyidikan, peradilan dan pengawasan.
Tabel 5.2
Data Penanganan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Polda Metro Jaya 2011-2012
NO. KASUS TAHUN2011 TAHUN2012
L S PCT L S PCT
1. Pembunuhan 2 3 3 5 122 %
2. AniayaBerat 1 1 100% 3 4 133,33%
3. PencurianBerat 6 1 19,50% 3 5 200,32%
4. Curas - - - - - a.Todong - - - - - b.Rampas 14 11 80,57% 4 - - c.Rampok - - - - - d.Bajak - - - - -
5. Curanmor - - - - - aRoda2 30 8 36,66% 25 - - b.Roda3 - - - - - - c.Roda4 1.200 35 80,95% 1.600 75 120,95
6. Kebakaran 12 6 7.56% 12 6 7,56 %
7. Peijudian - - - - - 8. PerasIAncam 10 1 10% 5 3 - 9. Perkosaan - - - - - 10. Narkotika - - - - - 11. KenakalanRemaja - - - - -
Jumlah 8.103 66 33,98% 8.687 98 219,54%
Sumber Data : Polda Metro Jaya
5. Faktor-Faktor Yang Mendukung Penyidikan Dari Dalam
a. Jumlah personil Subditranmor Direktorat Reserse Polda Metro Jaya adalah 75 personil yang
merupakan modal dasar untuk lebih menyesuaikan diri dan memanfaatkan situasi untuk
mendukung proses penyidikan.
b. Dengan sarana komunikasi yang ada seperti Handy Talky dan sarana transportasi yang
dimiliki oleh anggota reserse walaupun sebagian besar swadaya dari anggota, merupakan
faktor yang mendukung untuk mempercepat penyarnpaian informasi dalarn pengungkapan
kasus-kasus pencurian kendaraan roda empat yang terjadi.
c. Dengan sarana komunikasi yang ada seperti Handphone dan sarana transportasi yang
dimiliki oleh anggota reserse walaupun sebagian besar swadaya dari anggota, merupakan
faktor yang mendukung untuk mempercepat penyarnpaian informasi dalam pengungkapan
kasus-kasus pencurian kendaraan roda empat yang terjadi.
Pelaksanaan operasi khusus pencurian kendaraan roda empat yang sering dilaksanakan di
Polda Metro Jaya memberikan dampak positif terhadap penekanan angka kejahatan
dan menaikkan jumlah penyelesaian angka · kejahatan. Hal ini dapat terlihat dari
hasil penelitian penulis terhadap hasil pelaksanaan operasi khusus curarunor tahun 2010 di
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
75
Polda Metro Jaya didapat hasil bahwa angka kejahatan curanmor mengalami penurunan
dibandingkan dengan sebelum diadakan operasi khusus dan angka penyelesaian perkara
meningkat, ini menunjukkan bahwa dengan melaksanakan operasi khusus didapatkan
hasil yang optimal.
d. Adanya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pencunan
kendaraan roda empat antara lain KUHAP yang sangat mendukung dalam pengungkapan
dan proses penyidikan tindak pidana curanmor.
e. Tersedianya fasilitas ruangan yang cukup nyaman dan melakukan pemeriksaan baik
terhadap saksi maupun tersangka sehlngga didalam melakukan pemeriksaan dapat berjalan
lancar dan berjalan dengan baik dan didapat hasil yang sangat memuaskan.
f. Hasil wawancara terhadap kepala unit Pencurian kendaraan roda empat, bahwa unit
curanmor telah dapat melakukan koordinasi dengan kejaksanaan tinggi DKI dalam Jak.sa
Penuntut Umum dan Pengadilan Tinggi Negeri dalam member ijin penggeledahan dan
penyitaan.
6. Faktor-faktor yang menghambat
a. Dalam pengungkapan suatu kasus pencunan kendaraan roda empat masih ada kendala
yaitu dengan adanya kendaraan berada di luar hukum Polda Metro· Jaya seperti di Pulau-
Pulau yang jauh yaitu Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumatera dan yang lainnya
sehingga dalam pengungkapannya butuh waktu yang lama.
b. Masih kurangnya pertukaran informasi antar satuan reserse baik yang ada di wilayah
maupun yang ada di pusat di karenakan satuan-satuan tersebut mempunyai keinginan yang
besar terhadap pengungkapan kasus curanmor yang ada di wilayah hukum Polda masing-
masing.
c. Kejahatan pencurian kendaraan roda empat adalah merupakan kejahatan yang memiliki
mobilitas tinggi, dengan demikian daerah pemasaran dan lokasi tempat tinggal para pelaku
jauh dari TKP. Sehingga dalam melakukan penyidikan diperlukan biaya yang cukup besar
sedangkan yang disediakan oleh· anggaran operasional tidak mencukupi dan belurn
menunjang kegiatan dalam upaya penyidikan kasus curanmor.
d. Tempat-tempat berkumpul atau wilayah pantauan masih berjalan kurang baik sehingga
dalam pengungkapan belum berfokus terhadap wilayah pantauan.
e. Hasil observasi penulis di ruangan unit curanmor dan basil wawancara terhadap Kanit
Curanmor ( Kompol Supriyanto di Ruang Kerjanya Ditreskrimum Polda Metro Jaya )
bahwa daftar residivist dan daftar modus operandinya belum didatakan secara baik begitu
pula daftar pencarian orang (DPO) belum di file seluruhnya serta belum di sebarluaskan ke
wilayah-wilayah yang ada di jajaran hukum Polda Metro Jaya.
7. Faktor Pendukung Dari Luar Penyidik
a. Pemilik kendaraan roda empat sudah memanfaatkan perkembangan teknologi dalam
mengamankan kendaraan bermotomya misalnya dengan alarm, sistem kunci rangkap, remote
control dan lain sebagainya.
b. Perkantoran, pertokoan dan lingkungan pemukiman sudah banyak yang dilengkapi
tempat parkir dengan sistem pengamanan yang baik.
c. Adanya alat komunikasi seperti telepon, baik biasa maupun otomatis, telex yang secara
cepat mampu menghubungkan langsung jarak jauh khususnya mempercepat laporan masyarakat
kepada Polri tentang peristiwa kejahatan pencurian kendaraan roda empat yang teijadi, sehingga
dapat mempercepat Polri dalam penyidikannya.
d. Masih adanya warga masyarakat yang secara sukarela memberikan informasi kepada
petugas reserse tentang pelaku yang akan ditangkap bahkan terdapat masyarakat yang
melakukan penangkapan terhadap pelaku kasus pencurian kendaraan roda empat. Hal demikian
dapat terlihat dalam hasil kuesioner.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
76
Tabel 5.3
Data Infomasi Tentang Pelaku Curanmor
No. Jumlah Informasi
F %
1. TidakPernah 10 8
2 9
50
2. Sering 40
3. Jarang 10
4. Kadang-kadang 45
Jumlah 20 100
Sumber data: Hasil Penelitian Kuesioner Data Polda Metro Jaya
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa 45% anggota reserse menyatakan bahwa masyarakat
kadang-kadang memberikan informasi kepada petugas Polri, 40% anggota reserse menyatakan
sering dan 10% anggota reserse menyatakan jarang, sedangkan yang menyatakan tidak pernah
warga masyarakat memberikan informasi kepada petugas Polri tentang pelaku Curanmor sebanyak
5%.
Tabel 5.4
Data Jumlah Penangkapan Pelaku Curanmor
No. Masyarakatyang MemberiInformasi F Per
1 Tidak.Pemah 2 10
2. Sering 4 20
3. 4.
Jarang
Kadang-kadang
0
14
0
70
Jumlah 20
Sumber data: Hasil Penelitian Kuesioner Data Polda Metro Jaya
Tabel 5.4 menunjukkan masih terdapat warga masyarakat yang menangkap tersangka
curanmor yaitu 70% anggota reserse menanggapi bahwa masyarakat kadang-kadang melakukan
penangkapan tersangka curanmor, 20% anggota reserse menanggapi bahwa masyarakat sering
melakukan penangkapan curanmor, sedangkan 10% anggota reserse menanggapi bahwa
masyarakat tidak pemah melakukan penangkapan tersangka pencurian kendaraan roda empat.
8. Faktor-faktor yang menghambat
Dari hasil wawancara terhadap Kanit Curanmor, melakukan curanmor dianggap paling
mudah dibandingkan dengan kejahatan lainnya seperti pencurian dengan kekerasan terhadap harta
benda, kemungkinan tertangkap tangan kecil karena sulit dilakukan pengenalan membeli
kendaraan roda empat yang telah dicuri apalagi mudah dilakukan perubahan-perubahan. Hasil dari
curian sangat menguntungkan, modal melakukan pencurian hanya alat yang berupa besi yang
dibuat modelleter T.
9. Cara-Cara Pencegahan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Roda Empat
a. Dengan tidak melupakan azas mencegah lebih baik daripada timbulnya kejahatan maka
Polda Metro Jaya dengan melibatkan Instansi lain, organisasi yang ada di masyarakat
telah memberikan penerangan serta penyebaran informasi tentang bagaimana cara untuk
menanggulangi pencurian kendaraan roda empat di wilayahnya.
b. Secara fungsional dan berkala memberikan penerangan terhadap tukang parkir dan satpam
tentang bagaimana menjaga kendaraan roda empatyang sedang diparkir yang merupakan
tanggungjawabnya dan bagaimana dengan cepat memberikan informasi kepada petugas
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
77
bila terjadi pencurian kendaraan roda empat di tempat mereka bekerja sehingga dengan
cepat dapat diantisipasi dam dapat menangkap pelakunya.
c. Bersama - sama dengan instansi terkait mengadakan pengawasan terhadap para pelaku yang
telah divonis dan dijatuhkan hukuman agar tidak melakukan atau mengulangi perbuatannya.
10. Pencegahan Kejahatan
a. Perasaan takut terhadap pelaku kejahatan sehingga perasaan aman masyarakat terganggu.
b. Akar masalah kejahatan menyangkut Faktor Korelatif Kriminogen.
c. Pencegahan kejahatan adalah upaya bersama yang dilakukan oleh aparat dan masyarakat
umum dalam menjaga kelembagaan sosial, sistem sosial, dan peran-peran masyarakat
melalui mekanisme yg telah melembaga untuk mewujudkan perasaan aman. Pencegahan =
antisipansi sebelum masalah terjadi, penanganan kejahatan pada hulu permasalahan.
11. Pencegahan Refresif
Pencegahan refresif adalah pencegahan yang terak.hir, pencegahan ini dilakukan kepada
para pelaku tindak pidana pencurian kendaraan roda empat dengan cara :
a. Melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang diduga keras melakukan pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan surat-surat kendaraan roda empat dan penadahan
kendaraan roda empat guna diproses sesuai hukum yang berlaku.
b. Melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku tindak pidana pencurian kendaraan roda
empat dengan cara melumpuhkan bila ada pelaku tersebut melakukan perlawanan maupun
bila mengancam jiwa petugas yang sedang melakukan penindakan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, pelaku pencurian kendaraan bermotor roda empat di wilayah Polda Metro
Jaya terjadi disebabkan kelalayan pemilik kendaraan serta lingkungan yang kurang terawasi.
2. Saran
Aparat Kepolisian perlu melakukan tindakan tegas terhadap setiap tindakan criminal agar bias
menjadi efek jera pada pelaku yang lain
DAFTAR PUSTAKA
i Ibid.,
ii Awaloedin Djamin, Kumpulan Makalah tentang Kepolisian, pada makalah Polri Bukan Penyidik
tunggal melainkan penyidik professional, Jakarta, 991 hlm.5 iii Soejono Soekarno, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
1993, hlm.5. iv Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta,2008,hal.27 v E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana, Alumni AHM, PTHM, Jakarta 1982, hlm
205.
vi Wirjono Prodjokoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003,
hlm 1. vii viii Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Rhineka Cipta, 1983. Hlm. 211.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
78
ix W.P.J.Pompe, Alasan-Alasan Penghapusan Pidana,PT.Gramedia,1997,hal.112 x Rusli Effendy,
Pengertian Tindak Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 17. xi Moeljatno, Azas-azas Hukum
Pidana, Rineka Cipta,, Jakarta, 1993, hlm 15. xii E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni,
AHM., PTHM, Jakarta 1982, hlm 205. xiii Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25. xiv Eddy O.S. Hiariej, Azas Legalitas dan Penemuan Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
2009., hlm. 3 xv Ibid. hlm. 85 xvi E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni
AHM. PTHM., Jakarta 1982., hlm. 206. xvii Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 2008., hlm. 43-44 xviii R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1995., hlm. 22-23. xix Ibid, hlm. 43-44 xxi Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertenu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
2003, hlm. 10. xxii R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1991, hlm. 15 xxiii R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm.
376. xxiv Satochid Kartanegara, dan P.A.P, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung. 1979, hlm. 79-80. xxv Moetjatno, 0p.cit
xxvi Ibid, hlm. 24 xxvii Op.cit xxviii
Ibid,
xxix Henkie, Liklikuwata, Sosiologi Hukum Pidana Kejahatan dan Penjahat (Suatu Sketsa), Ind
Hilco, Jakarta, 1990., hlm. 34 xxx Sumber Data : Subbag Opsnal Dit Reskrim Polda Metro Jaya, 2009., xxx Ibid., xxx Awaloedin Djamin, Kumpulan Makalah tentang Kepolisian, pada makalah Polri Bukan
Penyidik tunggal melainkan penyidik professional, Jakarta, 991 hlm.5 xxx Soejono Soekarno, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, 1993, hlm.5. xxx Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta,2008,hal.27 xxx E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana, Alumni AHM, PTHM, Jakarta 1982,
hlm 205. xxx Wirjono Prodjokoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2003, hlm 1. xxx Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Rhineka Cipta, 1983. Hlm.
211. xxx W.P.J.Pompe, Alasan-Alasan Penghapusan Pidana,PT.Gramedia,1997,hal.112 xxx Rusli Effendy, Pengertian Tindak Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 17. xxx Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta,, Jakarta, 1993, hlm 15. xxx E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni,
AHM., PTHM, Jakarta 1982, hlm 205. xxx Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25. xxx Eddy O.S. Hiariej, Azas Legalitas dan Penemuan Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
79
2009., hlm. 3 xxx Ibid. hlm. 85 xxx E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia,
Alumni AHM. PTHM., Jakarta 1982., hlm. 206. xxx Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 2008., hlm. 43-44 xxx R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1995., hlm. 22-23. xxx Ibid, hlm. 43-44 xxx Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertenu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
2003, hlm. 10. xxx R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1991, hlm. 15 xxx R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm.
376. xxx Satochid Kartanegara, dan P.A.P, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung. 1979, hlm. 79-80. xxx Moetjatno, 0p.cit xxx Ibid, hlm. 24 xxx Op.cit
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
80
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
81
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
82