145
i PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dr. Pujiyono, SH.MHum PENERBIT PUSTAKA MAGISTER SEMARANG 2015

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

  • Upload
    others

  • View
    27

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

i

PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

Dr. Pujiyono, SH.MHum

PENERBIT PUSTAKA MAGISTER

SEMARANG 2015

Page 2: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

ii

Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Pujiyono Semarang; Penerbit Pustaka Magister, 2015 xxviii + 137 hlm; 23 cm

ISBN: xxxxxxxxxxx

PENERBIT PUSTAKA MAGISTER SEMARANG Jalan Pucangsari Timur IV/19 Pucanggading Mranggen - Demak

Page 3: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

iii

KATA PENGANTAR

Buku Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ini bertujuan

untuk melengkapi khasanah penegakan hukum di bidang Pidana

Korupsi, yang sebenarnya sudah banyak ditulis oleh para pakar

hukum pidana. Buku ini merupakan wujud keprihatinan dan

keresahan akan meraknya tindak pidana korupsi di Indonesia, baik

dari lapisan masyarakat teratas, seperti anggota DPR, para pejabat

negara sekelas Menteri sampai pada lapisan masyarakat terbawah.

Menurut penulis, pemahaman mengenai “hukum” tindak pidana

korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam

upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Perspektif yuridis

tidak hanya bersifat normatif, tetapi bersifat multi dimensional

berkaitan dengan bagaimana sebuah kebijaksanaan itu dibuat,

sebab untuk memahami teks perundang-undangan sebagai sebuah

“kebijaksanaan” dibutuhkan pengetahuan sosiologikal, historikal

dan kultural. Seorang tidak dapat hanya berangkat dari norma

untuk melakukan penanggulangan tindak pidana.

Khusus mengenai penanggulangan “tindak pidana korupsi”

adalah berkaitan dengan revolusi mental bangsa Indonesia, bukan

sekedar penegakan hukum biasa yang bersifat preventif dan

represif. Penanggulangan, lebih dalam lagi adalah sebuah revolusi

mental yang berdasarkan kepada “pengetahuan” fisik–nonfisik

dari hukum, yang menunjuk kepada “jati diri” masyarakat dimana

Page 4: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

iv

sebuah kebijakan itu dibuat. Nilai-nilai, dan kaedah yang hidup

dan menjadi “daya” masyarakat haruslah menjadi landasan dari

pembentukan sebuah kebijakan.

Page 5: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................... v

BAB I....................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TINDAK PIDANA

KORUPSI ................................................................................... 1

B. PENGERTIAN DAN SEJARAH PENGATURAN TINDAK

PIDANA KORUPSI ................................................................... 7

C. KEKUASAAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI ................................................................. 14

1. Era Pemerintahan Presiden Soekarno ............................... 14

2. Era Pemerintahan Presiden Soeharto ................................ 15

3. Era Pemerintahan Presiden Habibie .................................. 16

4. Era Presiden Abdurrahman Wahid.................................... 17

5. Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ....... 17

6. Era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudayono ............... 18

D. SEJARAH UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI SEBELUM UU-PTK .............................................. 19

BAB II ................................................................................................... 23

RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI ............................ 23

A. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI ......................................... 23

1. Tindak Pidana Korupsi Berkaitan Kerugian Keuangan

Negara ............................................................................... 25

a. Isi Pasal dan Unsur-unsurnya....................................... 25

b. Penjelasan Unsur Tindak Pidana ................................. 30

Page 6: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

vi

2. Tindak Pidana Korupsi yang Berkaitan Dengan Suap

Menyuap. .......................................................................... 38

3. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan

jabatan. .............................................................................. 51

4. Tindak Pidana Korupsi yang masuk dalam kelompok

pemerasan. ........................................................................ 56

5. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan

curang. .............................................................................. 60

6. Tindak Pidana Korupsi yang berbenturan adanya

pengadaan barang. ............................................................ 65

7. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Gratifikasi.

.......................................................................................... 67

B. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN TINDAK

PIDANA KORUPSI. ................................................................ 70

C. KELEMAHAN SUBSTASIAL (JURIDIS MATERIEL)

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI ............ 77

D. SUBJEK DAN PERTANGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI ........................................................................... 92

1. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi .......... 92

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana

Korupsi ............................................................................. 95

BAB. III................................................................................................. 96

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI .................... 96

A. LEMBAGA PENYIDIKAN ......................................................... 99

1. Penyidik Polri. ................................................................ 100

2. Penyidik Kejaksaan ........................................................ 103

3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ...................... 107

B. LEMBAGA PENUNTUTAN ................................................ 119

1. Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan............................. 120

Page 7: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

vii

2. Penuntut Umum Lembaga KPK...................................... 124

C. PENGADILAN TIPIKOR ...................................................... 129

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 134

Page 8: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan
Page 9: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Tidak disangkal Indonesia adalah negara besar, kekayaan alam

yang melimpah ternyata tidak mampu memakmurkan rakyat.

Kehidupan di bawah garis kemiskinan mendominasi statistik

penghitungan tingkat kesejahteraan masyarakat. Korupsi

merupakan penyebab utama, kekayaan tersentral pada “segelintir”

orang, tidak terdistribusi secara merata. Korupsi berkembang

sangat menggurita, menelusup disegala bidang kehidupan,

“menyandera”, “menghambat” bahkan “menghancurkan”

pembangunan, baik pembangunan fisik maupun nilai-nilai sosial.

Stigma bahwa korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia,

membuat pencitraan Indonesia di mata dunia semakin buruk.

Berdasarkan publikasi Political and Economy Risk Consultancy

(PERC)1 baru-baru ini, Indonesia kembali dikategorikan sebagai

negara terkorup di Asia Pasifik. Dari 16 negara yang disurvei,

Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup, diikuti

Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India,

Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amarika

Serikat, Hongkong, Auastralia dan Singapura. Skor Indonesia 9,27

1 Siaran Pers Transparency International-Indonesia, tanggal 10 Maret 2010

Page 10: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

2

dalam skala 0-10, di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat

korup, keadaan ini turun sangat siginifikan dibanding tahun lalu di

mana Indonesia mencapai skor 8,32.

Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan

perekonomian nasional, akan tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat

secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan

sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga

pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra

measure).

Korupsi terkait dengan berbagai permasalahan, “ia” merupakan

problem social sehingga tidak hanya permasalahan hukum dan

penegakannya, akan tetapi menyangkut masalah moral, sikap

mental, masalah pola hidup serta budaya dan lingkungan social,

masalah struktur/system ekonomi , masalah sistem/budaya politik,

masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/

prosedur administrasi termasuk sistem pengawasan di bidang

keuangan mapun pelayanan public. Jadi kausa dan kondisi yang

bersifat kriminogin timbulnya korupsi sangat luas (multi

dimensional) yaitu bisa di bidang moral, social, ekonomi, politik,

budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya2.

2 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 86

Page 11: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

3

Para pakar mempunyai pendapat yang sama, bahwa penyebab

timbulnya korupsi bersifat multi dimensional. Faktor politik atau

yang berkaitan dengan kekuasaan merupakan sumber inistrasi

negara, sebagai “Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas

resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang

yang menyangkut pribadi (perorangan, keluargkorupsi berkaitan

dengan penyalah gunaan kekausaan. John Emerich Edward

Dalberg Acton, biasa dikenal dengan Lord Acton menyatakan

bahwa kekuasaan merupakan sumber korupsi. Rumusan terkenal

yang tidak terbantahkan hingga saat ini dari ucapannya dari Lord

Acton adalah bahwa “Power tend to corrupt, absolute power

corruptsabsolutely”. Faktor lemahnya perumusan dan sanksi

hukum serta faktor budaya, terutama budaya feudal merupakan

faktor-faktor tumbuh suburnya korupsi. Syed Hussein Alatas,

dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Korupsi: Sebuah

Penjelajahan dengan Data Kontemporer”, mengidentifikasi

beberapa sumber munculnya korupsi, yaitu3:

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi

kunci yang mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan

korupsi;

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika;

3 Syed Hussein Alatas, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 46-47

Page 12: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

4

3. Kolonialisme, karena suatu pemerintahan asing tidak

menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk

membendung korupsi;

4. Kurangnya pendidikan;

5. Kemiskinan;

6. Tiadanya tindakan hukuman yang keras;

7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti

korupsi;

8. Struktur pemerintahan;

9. Perubahan radikal, yang menjadikan korupsi muncul sebagai

suatu penyakit transisional;

10. Keadaan masyarakat yang kondusif untuk tumbuhnya korupsi.

Menurut Syed Hussain Alatas dalam bukunya yang berjudul

“Sosiologi Korupsi” dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi

memiliki cirri-ciri4:

a. senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

b. dilakukan secara rahasia.

c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal

balik.

d. Biasanya tetap berlindung di bawah payung hukum.

e. Mengandung penipuan

4 Syed Hussen Alatas, Ibid

Page 13: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

5

f. Menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk

mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

g. Sebagai bentuk pengkhianatan

Kerusakan akibat korupsi tidak hanya bersifat lokal, secara

internasional dampak akibat korupsi sangat dirasakan oleh Negara

Maju maupun Negara Berkembang. Oleh karena itu bahaya/akibat

korupsi yang sangat luas dan multidimensi, sering dinyatakan

dalam berbagai statement global, antara lain5 :

a. Dalam Resolusi "Corruption in government" Kongres PBB ke

8/1990 mengenai "the Prevention of Crime and the Treatment

of Offenders" di Havana (Cuba) dinyatakan, bahwa korupsi di

kalangan pejabat publik ("corrupt activities of public

official"):

dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua

jenis program pemerintah ("can destroy the potential

effectiveness of all types of governmental programmes");

dapat mengganggu/menghambat pembangunan ("hinder

development"); dan

menimbulkan korban individual maupun kelompok

masyarakat (“victimize individuals and groups”).

5 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 69-70

Page 14: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

6

b. Di dalam Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo antara lain juga

ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius karena :

membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat

(endangers the stability and security of societies);

merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas (undermined

the values of democracy and morality); dan

*membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan

politik (jeopardizes social, economic and political

development).

c. Di dalam UN Convention Against Corruption yang telah

diterima oleh Majelis Umum PBB pada 31 Oktober 2003,

antara lain dinyatakan bahwa korupsi merupakan :

ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat

to the stability and security of societies);

merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi

(undermining the institutions and values of democracy),

merusak nilai-nilai moral dan keadilan

(underminingethical values and justice);

membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan

“rule of law” (jeopardizing sustainable development and

the rule of law); dan

mengancam stabilitas politik (threaten the

politicalstability).

Page 15: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

7

B. PENGERTIAN DAN SEJARAH PENGATURAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio –

corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa

Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta di dalam

Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya

menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak

jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan6.

Menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law

Dictionary korupsi disebut sebagai perbuatan yang dilakukan

dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak

sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain,

secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk

orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari

pihak lain7.

Dalam working paper di forum International Monetary

Found, Vito Tanzi menyatakan pengertian korupsi adalah sebagai

“perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di

sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat

6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, Cetakan Keempat, 1996, hal. 115 7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing,St.Paul Minesota, 1990

Page 16: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

8

berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul,

termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme8.

Robert Klitgaard mendefinisikan korupsi dari perspektif adma

dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan

pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi”.9

Syed Hussein Alatas menyebut korupsi sebagai

penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi, “corruption

is the abuse of trust in the interest of private gain”10.

Korupsi yang dipahami oleh masyarakat secara umum

sebagai hasrat buruk untuk memperkaya diri dengan

penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan tercela lain, tentunya

bukan potret mati tanpa dapat ditelusuri latar belakang dan

konsep-konsep ide yang melatar belakangi munculnya tindak

pidana tersebut. Dalam kerangka berfikir pelaku tentunya ada dan

ditentukan oleh motif-motif atau tujuan tertentu, yang mungkin

bisa bersumber pada permasalahan ekonomi, moral, politik

bahkan budaya.

Hasrat untuk melakukan korupsi yang terjadi karena

dorongan-dorongan yang bersifat budaya telah banyak

dikemukakan para ahli. Stanley Karnow menyatakan bahwa

8 Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Market, IMF Working Paper, Agustus 1994, hal.3 9 Robert Klitgaard, Memberantas Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal. 31 10 Syed Husen Alatas, Corruption: Its Nature, Causes and Consequences, Aldershot, Brookfield, Vt: Avebury.

Page 17: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

9

merebaknya korupsi di Philipina tidak dapat dilepaskan dengan

adanya budaya yang dikenal dengan istilah sistem compradazgo.

Dalam sistem ini dikenal adanya hubungan interpersonal antar

anggota masyarakat berbentuk suatu jaringan kerja ritual kerabat-

kerabat dan kerabat-angkat yang menuntut adanya kesetiaan lebih

tinggi diantara masyarakat Philipina, melebihi kesetiannya

terhadap lembaga resmi manapun. Jaringan seperti itu muncul

dilatar belakangi adanya budaya “utang na loob”, yaitu budaya

hutang budi. 5 Budaya local di banyak daerah di Indonesia juga

bisa berpotensi sebagi pemicu (factor criminogen) timbulnya

korupsi. Di Indonesia dalam kehidupan masyarakat lazim berlaku

untuk memperhatikan kondisi ekonomi keluarga dan komunitas

dengan cara menyantuni sanak keluarga yang lebih miskin.

Budaya ini menurut Syafri Sairin,6 berjalan bersama dengan azas

reciprocity, yaitu kewajiban untuk mengembalikan pemberian

yang pernah diterimanya di masa lampau dari keluarga dan

komunitasnya karena berlaku prinsip social exchange (pertukaran

sosial). Terkait dengan kondisi tersebut di atas, Banfeld

menyatakan bahwa korupsi adalah ekspresi dari sikap

partikularisme yaitu perasaan wajib membantu keluarga dekat.

5 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, diterjemahkan dari judul aslinya “Controlling Curruption” oleh Hermojo, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001),hal. xxiii 6 Amir Santoso, Korupsi : Penyebab dan Saran Pemberantasannya, dalam Korupsi Musuh Bersama editor Musni Umar (Jakarta, Lembaga Pencegah Korupsi, 2004), hal. 81

Page 18: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

10

Lebih jauh sikap partikularisme ini menimbulkan nepotisme.7

Munculnya tindak pidana korupsi juga bisa terdorong oleh karena

pemahaman terhadap konsep apa yang diimaksud dengan korupsi.

Sutandyo menjelaskan bahwa dalam khazanah bahasa-bahasa

lokal di Indonesia tidak dikenal istilah yang mengarah kepada

pengertian korupsi. Pemberian rakyat kepada penguasa yang

lazim disebut sebagai upeti tidak dianggap sebagai sogok

(korupsi. Pen) yang dilarang dalam dunia modern. Sebaliknya,

pemberian dari penguasa kepada anggota keluarga dekat dan

kepada rakyatnya meskipun diambilkan dari harta negara, tidak

dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Pemberian itu

malahan dianggap sebagi “mengayomi lan ngayemi” (mengayomi

dan menenteramkan perasaan) rakyat.8 Dalam masyarakat

Meksiko meluas apa yang disebut sebagai personalisme dan

amistad, yaitu loyalitas primer kepada keluarga dan sahabat-

sahabat bukannya ke arah pemerintah atau badan-badan

administrasi, yang secara signifikan telah mendorong tumbuh

berkembangnya korupsi. Orang-orang Meksiko memperlakukan

satu sama lain sebagai pribadi, dengan akibat kode hukum tingkah

laku yang telah diformalkan tidak punya arti dalam masyarakat.

7 Ibid, hal. 82 8 Ibid. hal. 79-80

Page 19: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

11

Kedudukan hukum kalah dan dilemahkan dengan personalisme

dan amistad tersebut. 9

Beberapa contoh yang mengemuka tersebut menarik untuk

dicermati, terutama dalam perspektif interaksi sosial, yang

ternyata perilaku korupsi mempunyai keterkaitan yang sangat kuat

dengan struktur sosialnya. Disini ada ketergantungan antara

pelaku korupsi dengan masyarakatnya, yaitu adanya upaya

pemenuhan kebutuhan pelaku korupsi akan tuntutan-tuntutan

sosial terhadap rasa solidaritas masyarakat. Seseorang merasa

perlu melakukan sesuatu perbuatan meskipun nota bene perbuatan

tersebut sebagai pelanggarann hukum, hanya semata-mata karena

seseorang ingin dihargai dan diakui sebagai anggota masyarakat.

Terkait dengan hal ini Robert Merton dalam teorinya tentang

Meanseds Scema menyatakan bahwa korupsi merupakan perilaku

individu untuk memperoleh pengakuan sosial dari

lingkungannya.10 Jadi dalam hal ini ada tingkat interdependensi

(ketergantungan) yang sangat tinggi dari seseorang anggota

komunitas masyarakat terhadap kebutuhan penerimaan,

pengakuan dan penghargaan sebagai anggota masyarakat.

Sehingga dalam hal ini berlaku hipotesa, seorang anggota

masyarakat tanpa pengakuan dan penghargaan komunitasnya

adalah sebagai individu yang tidak mempunyai arti, merasa

9 Robert Klitgaard, Op-cit, hal. 82-823 10 Ibid. hal. 81

Page 20: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

12

terasing dan dalam tataran tertentu bisa merupakan hal yang

sangat menyakitkan, menderitakan lebih dari sekedar penjatuhan

pidana oleh pengadilan. Keadaan semacam ini semakin terasa

manakala pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai

kedudukan, posisi, jabatan, atau berkuasa, dan memiliki strata

sosial yang tinggi. Kebanyakan pelaku korupsi menyandang

predikat seperti itu, sehingga kejahatannyapun sering disebut

sebagai kejahatan krah putih (white collar crime), kejahatan yang

dilakukan oleh orang-orang yang punya kedudukan atau jabatan

dalam masyarakat.

Dalam sudut pandang budaya, orang bisa melakukan tindak

pidana yang berkualitas sebagai korupsi karena dorongan-

dorongan pemenuhan pengakuan akan eksistensinya sebagai

warga dari suatu komunitas, dalam perspektif budayapun secara

terbalik potensi ini dapat digunakan sebagai sarana alternatif

dalam pemberantasan korupsi. Korupsi yang dipersepsi dalam

kontek budaya oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

bermoral, tercela, buruk, merugikan sehingga harus ditolak,

seharusnya bisa menjadi sarana yang sangat baik untuk mencegah

korupsi, apabila pemahaman bahwa korupsi sebagai perbuatan

tersecela tersebut tidak berhenti dalam tataran konsep, akan tetapi

secara operasional di direfleksikan dalam kehidupan

bermasayrakat, berupa tindakan penolakan perbuatan dan pelaku

korupsi. Sanksi sosial berperan secara aktif untuk difungsikan

Page 21: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

13

sebagia sarana pengintegrasi perilaku, dalam hal ini sanksi sosial

berfungsi ganda, sebagai saranna penindakan (represif) dan

pencegahan (preventif), terhadap perilaku menyimpang berupa

korupsi. Terkait dengan permasalahan ini teori Reintegrative

Shaming relefan untuk diketengahkan, sebagai salah satu

alternatif diantara sekian cara untuk mengeliminer kalau tidak

dapat dikatakan sebagai sarana memberantas atau menghilangkan

korupsi.

Terlepas dari berbagai ragam pengertian dan hakekat korupsi

sebagaimana diuraikan tersebut di atas, secara yuridis pengertian

korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan di dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tinda Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001

tentang Perubahan atas Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tinda Pidana Korupsi dan undang-undang

sebelumya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas

kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga

perbuatan-perbuatan lain yang memenuhi rumusan delik yang

menurut sifatnya merugikan masyarakat atau orang perseorangan.

Ketentuan ini terlihat dari bermacam-macam tindak pidana

korupsi yangdiatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya

Page 22: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

14

disebut UU No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16

Agustus 1999 diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140. UU

No. 31 Tahun 1999 menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

kemudian dirubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya

disebut UU No. 20 Tahun 2001), diundang pada tanggal 21

Nopember 2001, kedua undang-undang tersebut secara bersama-

sama selanjutnya disebut UU-PTK.

C. KEKUASAAN DAN UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

Upaya pemberantasan korupsi seakan menjadi komitmen

setiap regim pemerintahan di Indonesia, sejak Pemerintahan

Presiden Soekarno hingga sekarang ini. Hal tersebut dapat kita

telusuri dari kebijakan penaggulangan tindak pidana korupsi yang

ada pada era setiap regim pemerintahan, sehingga memunculkan

lembaga/komisi baru dan peraturan-perundang-undangan khusus

tentang korupsi.

1. Era Pemerintahan Presiden Soekarno

Sejak pemerintahan pertama Indonesia terbentuk, sejak saat

itu pula muncul benih-benih korupsi oleh oknum-oknum mulai

menggerogoti kekayaan Negara dan menyengsarakan rakyat. Pada

Page 23: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

15

Era Presiden Soekarno saat itu membentuk “Pasukan Khusus”

yang dikomandani oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil KSAD

dengan mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor

PRT/PM/06/1957. Operasi Budhi pernah dijalankan pada tahun

1963 dan dalam waktu 3 (tiga) bulan mampu menyelamatkan

uang Negara Rp. 11 Miliar, tetapi karena dianggap mengganggu

prestise Presiden operasi tersebut dihentikan.

2. Era Pemerintahan Presiden Soeharto

Ketika pemerintahan Soekarno jatuh dan menandai kelahiran

Orde Baru, Presiden Soeharto dengan semangat memberantas

tindak korupsi membuat lembaga negara yang sama dengan nama

berbeda. Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksa

Agung, akan tetapi tetap saja tidak menyentuh Bulog, Pertamina,

Departemen Kehutanan dan lembaga negara yang dianggap sarang

koruptor. Pada tahun 1967 keluar Keputusan Presiden Nomor 228

tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi.

Selanjutnya dibentuk Komisi Empat berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 12 tahun 1970. Komisi ini bertugas meneliti dan

mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan

korupsi. Selanjutnya untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki

Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3

Tahun 1971. Pemerintah Orde Baru juga mencanangkan Operasi

Tertib (Opstib) yang berlanjut dengan Instruksi Presiden Nomor 9

tahun 1977 tentang pembentukan Tim Operasi Tertib. Tim itu

Page 24: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

16

untuk meningkatkan daya dan hasil guna serta meningkatkan

kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktek-

praktek penyelewengan dalam segala bentuk. Dipenghujung era

Orde Baru Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang Undang

Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Menurut

undang undang itu, baik pemberi maupun penerima bisa didakwa

melakukan kejahatan. Juga muncul peraturan tentang Displin

Pegawai Negeri yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 30

tahun 1980.

3. Era Pemerintahan Presiden Habibie

Periode Pemerintahan Presiden Habibie secara progresif telah

melahirkan beberapa lembaga atau komisi baru yang bertujuan

untuk memberantas korupsi seperti KPKPN, KPPU dan Lembaga

Ombudsman. Meskipun Sidang Umum MPR menghasilkan Tap

MPR No XI/MPR/1998 salah satu ketetapan Ombudsman. yang

secara tegas menuntut lahirnya pemerintah yang bersih dan bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kemudian Pemerintah

dan DPR menghasilkan Undang Undang Nomor 28 tahun 1998

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

KKN. Nampaknya dalam masa jabatan yang singkat, Presiden

Habibie juga belum mampu menuntaskan permasalah korupsi di

negeri Indonesia. Meskipun penyempurnaan UU No 3 tahun 1971

dilakukan dengan keluarnya UU No 31 tahun 1999 tentang

Page 25: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

17

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. usaha pemberantasan

korupsi dimulai oleh

B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru

seperti KPKPN, KPPU atau Lembaga Ombudsman. Presiden

4. Era Presiden Abdurrahman Wahid

Pada saat pemerintahan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid,

keluarlah Keputusan Presiden No 127 tahun 1999, pemerintah

membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara

Negara dikuatkan pula Terbitnya surat Keputusan Presiden

tanggal 13 Oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan

penyelenggara negara berdasarkan standar pemeriksaan yang telah

ditetapkan. Dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional kemudian

menyusul Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

akan tetapi menjadi ironi tersendiri ketika Gus Dur harus lengser

dengan dugaan korupsi (Bantuan Sultan Brunei dan Dana Non

Bugeter Bulog).

5. Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Sedangkan pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tim

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa

dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah

Agung. Meskipun Indonesia yang diwakili Menteri Kehakiman

Page 26: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

18

dan HAM Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB

tentang Pemberantasan Korupsi di New York, Kamis 18

Desember 2003, sejarah perjuangan pemberantasan korupsi belum

dan tidak akan pernah tuntas. Sikap pesimis ini didapat dari hasil

laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dari

anggaran Negara yang telah diperiksa Rp 36,257 triliun pada

semester I 2002 sebanyak 17,71persen bocor dan menguap tak

jelas.

6. Era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudayono

Berdasarkan fakta sejarah diatas, masyarakat Indonesia

seakan menaruh harapan besar kepada pemerintah hasil pemilu

2004 dalam memberantas korupsi yang jelas merugikan

kehidupan berbangsa. Berbagai kasus pengungkapan korupsi

maupun yang masih terindikasi korupsi banyak terekam media

dan menghebohkan masyarakat kita, fakta persidangan

memperlihatkan bahwa berbagai pimpinan atau elit dari berbagai

instansi lembaga negara terjerat kasus korupsi. Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tukang jagal yang

meradang menerjang semua pelaku kejahatan korupsi, sehingga

harapan rakyat tentang pengelolaan negara tanpa korupsi semakin

terlihat keberhasilannya. Namun badai besar tengah menyelimuti

pemberantasan korupsi di Indonesia, nahkoda KPK, Antasari

Azhar tersangkut kasus pembunuhan berencana. Selain hal yang

mencengangkan itu, tenggat waktu yang diberikan oleh

Page 27: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

19

Mahkamah Konstitusi, DPR dan Presiden harus mengesahkan UU

Pengadilan Tipikor paling lambat hingga 19 Desember 2009,

sementara masa tugas anggota DPR RI periode 2004-2009 akan

berakhir September mendatang. Jadi memasuki detik-detik

penentuan kejelasan konstitusi dalam melakukan pemberangusan

korupsi, intrik dan friksi politik yang lebih terlihat ketimbang

keinginan dan kesadaran bahwa kejahatan tersebut dapat kita

hilangkan dari bumi Indonesia jika kita bersama-sama

mencegahnya. Tindakan prefentif itu adalah segera lahirnya UU

Tipikor karena tanpa itu, sejarah pemberantasan korupsi akan

mengiringi setiap gerak kehidupan bangsa.

D. SEJARAH UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

SEBELUM UU-PTK

Sejarah pengaturan korupsi dalam perundang-undangan di

Indonesia11:

a. Dalam KUHP terdapat kelompok tindak pidana yang

dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) misalnya Pasal

209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423,

425, 435.

b. Istilah korupsi masuk dalam istilah yuridis di

Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat tindak pidana

11 Periksa dan perbandingkan dengan, Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2005, hal. 22-23

Page 28: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

20

korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer

Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer

Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasa Militer

Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa

Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor

PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan Penguasa

Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor

PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958. Peraturan

militer ini muncul karena militer mengganggap tidak

ada kelancaran dalam dalam usaha memberantas

perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja

yang dapat menerobos kemacetan usaha

pemberantasan korupsi. Tujuan diadakannya peraturan

penguasa perang ini agar perbuatan korupsi yang saat

itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang

sesingkat-singkatnya.

c. Untuk menyempurnakan aturan penguasa perang ini

maka munculah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak

Pidana Korupsi. UU ini diawali dengan Perpu yang

kemudian dengan UU No. 1 Tahun 1961 disebut

dengan UU No. 24 Prp Tahun 1960. Kelemahan

undang-undang ini:

Page 29: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

21

1). Adanya perbuatan yang merugikan keuangan

negara dan melanggar keadilan masyarakat

namun tidak dapat dipidana karena tidak masuk

dalam rumusan tindak pidana.

2). pelaku hanya ditujukan kepada pegawai negeri,

padahal orang non pegawai negeri yang

menerima bantuan dapat melakukan perbuatan

korupsi.

3). belum adanya ketentuan yang mempermudah

pembuktian dan percepatan proses hukum acara.

d. Untuk menyempurnakan UU No. 24 Prp Tahun 1960

keluarlah UU No. 3 Tahun 1971. UU ini memiliki

beberapa kemajuan antara lain:

1). Perumusan eksplisit mengenai unsur melawan

hukum tindak pidana korupsi. Aturan terdahulu

dirumuskan dengan unsur "dengan atau karena

melakukan kejahatan atau pelanggaran".

2). Bentuk tindak pidana korupsi merupakan delik

formil yang dalam aturan sebelumnya sebagai

delik materiel.

3). Perluasan jenis tindak pidana korupsi berupa

suap (gratifikasi)

Page 30: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

22

4). Bentuk percobaan dan permufakatan

dikualifikasikan sebagai delik selesai (dipidana

seperti pelaku delik selesai).

e. UU Nomor 3 Tahun 1971 digantikan dengan UU

Nomor 31 Tahun 1999 dan diubah beberapa pasalnya

dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Beberapa

kemajuan dalam UU ini adalah:

1). Dikenal adanya korupsi aktif dan korupsi pasif.

2). Percobaan, permufakatan, dan pembantuan

tindak pidana korupsi dianggap juga sebagai

pelaku korupsi.

3). Adanya ketentuan yang mempermudah

pembuktian dengan dipakainya prinsip

pembuktian terbalik yang terbatas dan adanya

ketentuan yang memprioritaskan penanganan

tindak pidana korupsi.

Page 31: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

23

BAB II

RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI

A. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI

Hukum positif Indonesia yang mengatur tindak pidana

korupsi, terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya

disebut UU No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16

Agustus 1999 diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140. UU

No. 31 Tahun 1999 menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dirasa

tidak memadai untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang

sangat meluas, bersifat borderless dan dipandang sebagai

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam

perkembangannya UU NO. 31 Tahun 1999 juga diperbaharui oleh

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun

2001), diundang pada tanggal 21 Nopember 2001.

UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001secara

substansial mengatur 2 (dua) kelompok tindak pidana. Pertama

kelompok tindak pidana korupsi dan Kedua kelompok tindak

pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.

Page 32: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

24

Kelompok Pertama (Tindak Pidana Korupsi) diatur dalam Bab II

tentang Tindak Pidana Korupsi berjumlah 13 (tiga belas) pasal

yang terjabarkan dalam 30 (tiga puluh) bentuk tindak pidana

korupsi, terdapat diantara Pasal 2 sampai dengan Ps. 20. Ketiga

puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut terbagi atas 7 (tujuh)

kelompok tindak pidana yaitu12 : 1. Kelompok delik yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Ps. 2 dan

3), 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap)

maupun pasif (yang disuap) (Ps. 5 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2).

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2). Pasal 11, Pasal 12 huruf

a,b,c dan d. Pasal 13) , 3. Kelompok delik pengelapan dalam

jabatan (Pasal. 8, Pasal 9 dan Pasal 10 huruf a,b dan c), 4.

Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion)

(Pasal 12 huruf e,f dan g), 5. Kelompok delik yang berkaitan

dengan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c dan d, ayat

(2). Pasal 12 huruf h), 6. Delik berkaitan benturan kepentingan

dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i), dan Kelompok ke 7. Delik

terkait Gratifikasi (Pasal 12 B Jo Pasal 12 C) . Ditinjau dari sudut

12 Pengelompokan Tindak Pidana Korupsi menurut Buku “Memahami Untuk Membasmi” Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, KPK (Komisi Pemberantsan Korupsi), Agustus 2006. Pendapat lain membagi tindak pidana korupsi dalam 5 (lima) kelompok TPK: 1. Delik berkaitan kerugian keuangan atau perekonomian Negara, 2. Delik penyuapan (aktif dan pasif), 3. Delik penggelapan , 4. Delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij/extortion) dan 5. Delik berkaitan pemborongan, leveransir dan rekanan. Periksa Hendarman Supandji: “Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya”, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hal. 65i

Page 33: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

25

substansi UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 juga

mengatur ketentuan hukum pidana materiel dan hukum pidana

formil.

1. Tindak Pidana Korupsi Berkaitan Kerugian Keuangan

Negara

a. Isi Pasal dan Unsur-unsurnya

Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001 berbunyi :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

Unsur-unsurnya adalah :

a. Melakukan “perbuatan memperkaya” diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan

memperkaya maksudnya berbuat apa saja asalkan

kekayaannya menjadi bertambah, seperti mengambil,

Page 34: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

26

memindah bukukan, mendepositokan dimana

bunganya diambil oleh si pembuat dan lain-lain.

b. Perbuatan dilakukan “secara melawan hukum”.

Melawam hukum diartikan baik secara formil maupun

secara materiil. Melawan hukum dalam arti formil

adalah apabila pebuatan tersebut bertentangan dengan

yang tertulis dalam Undang-Undang. Melawan hukum

dalam arti materiil adalah apabila perbuatan tersebut

dianggap tercela kaena tidak sesuai dengan rasa

keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

Dengan adanya kata ”dapat” sebelum kata-kata

merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, menunjukkan bahwa delik tersebut merupakan

delik formil, dimana kerugian negara dilihat sebagai

kerugian potensial (potential loss ), bukan kerugian

aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang

harus dibuktikan. Bahkan sesuai dengan ketentuan

Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada

negara sifat melawan hukumnya perbuata tidak hapus,

Page 35: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

27

sehingga pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat

diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.

Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001, menentukan :

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana

mati dapat dijatuhkan.

Dalam” keadaan tertentu” menurut penjelasan Pasal 1 ayat

(2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan

pidana sehingga pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku

tindak pidana korupsi, apabila tindak pidna tersebut

dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi

penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,

penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,

penangulanggan krisis ekonomi dan moneter, dan

pengulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001,

menentukan :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Page 36: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

28

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsurnya adalah :

a. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan.

Maksud penyalahgunaan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang disandang seseorang karena jabatan

atau kedudukannya itu tidak digunakan sesuai dengan

jalannya ketata –laksanaan yang seharusnya

dijalankan. Untuk bisa dikatakan ada penyalahgunaan

kewenangan (abuse of power), kesempatan atau sarana

yang ada karena jabatan atau kedudukan, menurut

Andenaes mengandung unsur-unsur yang bernuansa :

kecurangan (“deceit”), manipulasi (“manipulation”),

penyesatan (“misrepresentation”), penyembunyian

kenyataan (“concealment of facts”), pelanggaran

kepercayaan (“breach of trust”), akal-akalan

(“subterfuge”)atau pengelakan peraturan (“illegal

circumvention”).

Page 37: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

29

b. Dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini merupakan

unsur batin yang memberi arah pada perbuatan

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya ditujukan untuk mendapatkan

keuntungan . Artinya, perbuatan menyalahgunakan

kewenangan dan sebagainya itu, ditujukan untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara objektif

dengan melihat keadaan lahir yang menyertai

perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan

sebagainya itu.

c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

Dengan adanya kata ”dapat” sebelum kata-kata

merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, menunjukkan bahwa delik tersebut merupakan

delik formil, dimana kerugian negara dilihat sebagai

kerugian potensial (potential loss ), bukan kerugian

aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang

harus dibuktikan. Bahkan sesuai dengan ketentuan

Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada

Page 38: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

30

negara tapi pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat

diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.

b. Penjelasan Unsur Tindak Pidana

UNSUR MELAWAN HUKUM13

Unsur ”melawan hukum” (vide Pasal 2 ayat (1) UU

No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan

unsur “menyalahgunakan wewenang kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan” (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No.

31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) seringkali

terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur

tersebut.

Unsure melawan hukum (wederechtelijke) dalam No.

31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 meliputi

unsur melawan hukum yang bersifat formil maupun

materiil, sebagaimana tersebut dalam ketentuan Sifat

melawan hukum formil artinya perbuatan pelaku

bertentangan dengan ketentuan hukum formal seperti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain. Perlu diingat

pula bahwa peraturan yang formal yang dilanggar

13 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal 8-10

Page 39: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

31

tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi pidana.

Misalnya, Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi

pidana, namun terlanggarnya ketentuan tersebut sudah

dapat untuk membuktikan unsur melawan hukum.

Pengertian Hukum (recht) lebih luas dari pada

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden dan lain-lain sebagai hukum tertulis, karena

di dalamnya juga memuat pengertian hukum tak

tertulis seperti kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan di

masyarakat. Pelanggaran terhadap kebiasaan,

kepantasan dan kesusilaan merupakan sifat melawan

hukum materiil, yang dalam praktek peradilan di

Indonesia dapat berfungsi positif (sebagai alasan

untuk menghukum) seperti dalam kasus R. Sonson

Natalegawa (Yurisprudensi MA RI No.275K/Pid/1983

tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi

negatif (sebagai alasan untuk meniadakan

hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus Machrus

Effendi (Yurisprudensi MA RI No.42K/Kr/1965

tanggal 8 Januari 1966).

Untuk kasus “menyalahgunakan wewenang,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan” adalah terlanggarnya/

disalahgunakannya wewenang yang dimiliki oleh

Page 40: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

32

pelaku tindak pidana. Formulasi “wewenang” dapat

terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur

kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu.

Peraturan tersebut bisa berupa Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan

Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/

Keputusan Gubernur, Peraturan/Keputusan Gubernur

Bank Indonesia dan lain-lain yang memberikan

kewenangan tertentu kepada seseorang atau kelompok

orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

di dalam jabatan atau kedudukannya.

Pengertian “sifat melawan hukum formil” sering

dirancukan dengan pengertian “menyalahgunakan

wewenang” padahal itu jelas berbeda, sebab sifat

melawan hukum formil bisa dilakukan oleh setiap

orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya

bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai

kewenangan dan kapasitas tertentu yang ditetapkan

secara tertulis oleh suatu peraturan formil (tertulis).

Hal tersebut perlu difahami secara benar karena akan

berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan

pembuktiannya di depan persidangan.

Selain itu, ada aparat hukum yang berpendapat bahwa

kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk

Page 41: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

33

dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat

merugikan keuangan negara bukan termasuk tindak

pidana korupsi namun merupakan kesalahan

administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya

diselesaikan melalui jalur administrasi dengan

menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran

ganti rugi. Padahal, unsur melawan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No

31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya

sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga

mencakup melawan hukum administrasi. Dengan

demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum

administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan

hukum sebagaimana dimaksud dalam UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari

kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan

kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

UNSUR MEMPERKAYA DIRI ATAU ORANG

LAIN ATAU SUATU KORPORASI14

Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu

korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun

14 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal. 10

Page 42: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

34

1999 jo UU No 20 tahun 2001) dan unsur “dengan

tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi” (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun

1999 jo UU No 20 tahun 2001), merupakan unsur yang

bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak

pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil

tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku

memperkaya orang lain atau menguntungkan orang

lain. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau

suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena

harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya

kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah

perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis,

unsur “memperkaya diri...” sudah dapat dibuktikan

dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak

pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan

sehari-harinya. Sedangkan unsur “menguntungkan diri

atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya dari

adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari

perbuatan menyalahgunakan wewenang.

UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA15

15 Hendarman Supandji, Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007, hal. 10-11

Page 43: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

35

Mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat

penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait

yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik

menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan

hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat

secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah

mengarah pada audit adanya “melawan hukum” yang

bukan merupakan “zona wewenangnya”. Kewenangan

BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam

zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai

mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak,

karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan

Penuntut Umum

Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”,

konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999

dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus

dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh

mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan

perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.

Pengembalian kerugian negara setelah hasil

pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak serta merta

BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang

berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya

kerugian negara oleh BPK dari hasil audit yang

Page 44: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

36

dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang

berwenang (Kejaksaan, POLRI) untuk melihat apakah

terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut

merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau

tidak.

Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1

Tahun 2004 disana dikatakan “Bendahara, Pegawai

Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah

ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah

dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi

pidana”. Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa

walaupun

telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka

masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana.

Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil

audit BPK harus dilaporkan kepada instansi berwenang

(Kejaksaan dan POLRI) Terlepas terlepas apakah

kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena

untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara

tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan

hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik,

yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139

KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya

perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.

Page 45: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

37

Kerancuan juga terjadi dalam pembukian unsur

“kerugian keuangan negara”. Adakalanya dalam

praktek peradilan telah terbukti unsur “kerugian

keuangan negara”, namun, unsur memperkaya diri atau

orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau

unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu

korporasi” tidak terbukti. Hal tersebut dijadikan alasan

untuk membebaskan tersangka tindak pidana korupsi.

Kesalahan konstruksi yuridis demikian agaknya

menghambat proses penegakan hukum. Semestinya

dengan terbuktinya unsur kerugian negara, berarti telah

ada uang atau kekayaan negara yang hilang. Hal

tersebut memastikan bahwa tersangka telah

memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi,

atau tersangka telah menguntungkan diri atau orang

lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan

negara yang telah terbukti hilang tadi. Dengan

demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara

dalam suatu persidangan, dapat dikatakan bahwa unsur

memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi,

atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau

suatu korporasi, juga telah dapat dibuktikan. Apabila

tidak demikian, maka terjadi konstruksi yuridis yang

Page 46: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

38

tidak logis. Kemana uang atau kekayaan negara yang

hilang tersebut?

2. Tindak Pidana Korupsi yang Berkaitan Dengan Suap

Menyuap.

Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana

denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00

(dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan

maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara

negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya; atau

Unsur-unsurnya adalah :

o Subjeknya: Setiap orang, artinya orang

perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi

adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.

Page 47: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

39

o Perbuatan yang dilarang: memberi atau

menjanjikan sesuatu berarti bahwa perbuatan yang

dilakukan setiap orang secara aktif untuk

memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau

barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara agar melakukan sesuatu yang berkaitan

dengan jabatannya bertentangan dengan

kewajibannya.

o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal

ini adalah penyelenggara negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme.

o Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya.

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara karena atau berhubungan

dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam

jabatannya.

Unsur-unsurnya adalah :

Page 48: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

40

o Subjeknya adalah “setiap orang”. “setiap orang”

diberi makna : orang perseorangan atau termasuk

korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan

atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum maupun bukan badan hukum.

o ”memberi atau menjajikan sesuatu” berarti bahwa

perbuatan yang dilakukan setiap orang secara aktif

untuk memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau

barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara agar melakukan sesuatu yang berkitan

dengan jabatannya tersebut.

o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal

ini adalah penyelenggara negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme.

o Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau

tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan

Page 49: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

41

pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1).

Unsur-unsurnya adalah :

o Subjeknya adalah ”pegawai negeri atau

penyelenggara negara”.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal

ini adalah penyelenggara negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme.

o Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau

janji” seperti pada ayat (1) huruf a atau huruf b.

Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001.

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

setiap orang yang :

a. memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim

dengan maksud untuk mempengaruhi putusan

Page 50: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

42

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ;

atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang

yang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan ditentukan menjadi advokat untuk

mengahadiri sidang pengadilan dengan maksud

untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang

akan diberikan berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Unsur-unsurnya adalah :

o Subjeknya: Setiap orang artinya : orang perseorangan

atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan

orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

o Perbuatan yang dilarang:

(a). memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim

dengan maksud untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Dalam hal ini bahwa stiap orang tersebut dengan

aktif memberikan sesuatu baik berupa barang atau

uang kepada hakim untuk mempengaruhi putusan

perkara.

Page 51: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

43

(b). memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud

untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang

akan diberikan berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a advokat

yang menerima pemberian atau janji sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan

pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1).

Unsur-unsurnya adalah :

o Subjeknya: adalah “hakim atau advokat”.

“Hakim” adalah seluruh hakim termasuk Hakim ad

hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan

semua tingkatan peradilan.

“Advokat” adalah orang yang berprofesi memberi

jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan

yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 52: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

44

o Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau

janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)

huruf a atau b.

Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau

patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan denagn kewajibannya.

Unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam

pasal ini adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Page 53: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

45

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

o Menerima hadiah atau janji.

Maksudnya, pegawai negeri atau penyyelenggara

negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah

atau janji maka bersifat pasif.

o Diketahui bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkannya agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya.

o Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkan agar melakukan

atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya

yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima hadiah, padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai

akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya

Unsurnya adalah :

Page 54: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

46

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam

pasal ini adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Menerima hadiah.

Maksudnya, pegawai negeri atau penyelenggara

negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah

atau janji maka bersifat pasif.

o Diketahui bahwa hadiah etrsebut diberikan

sebagai akibat atau karena telah melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya.

o Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

sebagai akibat atau karena telah melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya.

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Page 55: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

47

Unsurnya adalah :

o Hakim adalah seluruh hakim termasuk Hakim ad

hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan

semua tingkatan peradilan.

o Menerima hadiah atau janji.

Maksudnya, hakim tersebut hanya sebagai

penerima hadiah atau janji maka bersifat pasif.

o Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima

hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji tersebut untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan, berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan tersebut untuk diadili.

Unsurnya adalah :

o Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan.

Yang dimaksud advokat disini adalah orang yang

berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam

Page 56: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

48

maupun diluar pengadilan yang memenuhi

persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

o Menerima hadiah atau janji. Maksudnya, advokat

tersebut hanya sebagai penerima hadiah atau janji

maka bersifat pasif.

o Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau

janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atai

pendapat yang akan diberikan berhubung dengan

perkara yang diserahkan kepada pengadilan

untuk diadili

Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana

denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus

lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui

atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangannya yang

berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut

pikiran orang memberikan hadiah atau janji tersebut ada

hubungan dengan jabatannya.

Page 57: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

49

Unsur-unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini

adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Menerima hadiah atau janji.

Maksudnya pegawai negeri atau penyelenggara negara

tersebut bersifat pasif, hanya menerima hadiah atau janji

dalam hal berkaitan dengan jabatannya.

o Diketahuinya. Maksudnya adalah pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut dalam hal menerima suatu

hadiah atau janji tersebut secara sadar mengetahui niat

dari penberian hadiah atau janji tersebut.

o Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang

memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan

dengan jabatannya.

Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001.

Page 58: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

50

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada

pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,

atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada

jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana

penjara palaing lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling

banyakRp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah).

Unsurnya adalah :

o Setiap orang.

Setiap orang artinya : orang perseorangan atau

termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang

dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum maupun bukan badan hukum.

o Memberi hadiah atau janji.

Maksudnya adalah setiap orang tersebut bersifat aktif

untuk memberikan hadiah atau janji kepada pegawai

negeri.

o Kepada pegawai negeri.

Pegawai negeri disini sebagai penerima hadiah atau

janji yang diberikan oleh setiap orang. Pegawai negeri

disini bersifat pasif.

Page 59: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

51

o Dengan mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang

melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh

pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada

jabatan atau kedudukannya tersebut.

3. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan

jabatan.

Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana

denda palin sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh

ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang

selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu

jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, atau

membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau

digelapkan orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut.

Unsurnya adalah :

Page 60: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

52

o Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri

yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

secara terus menerus atau untuk sementara waktu.

o Dengan sengaja.

Sengaja dalam hal ini adalah secara sadar mempunyai

niat untuk melakukan menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan.

o Menggelapkan atau membiarkan orang lain menagmbil

atau membiarkan orang lain menggelapkan atau

menbantu dalam melakukan perbuatan itu.

o Uang atau surat berharga.

o Yang disimpan karena jabatannya.

Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan palin lama 5 (lima) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain

pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu

jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-

daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Unsurnya adalah :

Page 61: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

53

o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara

terus menerus atau untuk sementara waktu.

o Dengan sengaja.

Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan dapat

mengetahui secara sadar apa akibat dari perbuatan

yang dilakukannya yaitu memalsu.

o Memalsu.

Maksudnya membuat sama persis seperti aslinya.

o Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk

pemeriksaan administrasi.

Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh

juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai

negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum

secara terus menerus atau untuk sementara waktu , dengan

sengaja :

a. Menggelapkan, menghancurkan , merusakkan atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau,

Page 62: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

54

daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau

membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang

dikuasai karena jabatannya; atau

Unsur-unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri

yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan

umumsecara terus menerus atau untuk sementara

waktu.

o Dengan sengaja.

Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan

dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari

perbuatan yang dilakukannya.

o Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai.

o Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan

untuk meyakinkan atau membuktikan di muka

pejabat yang berwenang.

o Yang dikuasainya karena jabatan.

b. Membiarkan orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

atau

Unsur-unsurnya adalah :

Page 63: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

55

o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri

yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

secara terus menerus atau untuk sementara waktu.

o Dengan sengaja.

Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan

dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari

perbuatan yang dilakukannya.

o Membiarkan orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai.

o Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana

disebut pada pasal 10 huruf a.

c. Membantu orang lain menghilangkan,

mengahancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri

yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

secara terus menerus atau untuk sementara waktu.

o Dengan sengaja.

Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan

dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari

perbuatan yang dilakukannya.

Page 64: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

56

o Membantu orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai.

o Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana

disebut pada pasal 10 huruf a.

4. Tindak Pidana Korupsi yang masuk dalam kelompok

pemerasan.

Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, atau dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan

sesuatu bagi dirinya sendiri.

Unsurnya adalah :

Page 65: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

57

o Pegawai negeri atau penyelengara negara.

Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-

Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau

orang lain.

Unsur ini merupakan unsur batin yang memberi

arah pada perbuatan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukannya.

Artinya, perbuatan menyalahgunakan kewenangan

dan sebagainya itu, ditujukan untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara

objektif dengan melihat keadaan lahir yang

menyertai perbuatan penyalahgunnaan kewenangan

dan sebagainya itu.

o Secara melawan hukum.

Perbuatan dilakukan “secara melawan hukum”.

Melawam hukum diartikan baik secara formil

maupun secara materiil. Melawan hukum dalam

arti formil adalah apabila pebuatan tersebut

Page 66: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

58

bertentangan dengan Undang-Undang dan tidak

diatur dalam Undang-Undang. Melawan hukum

dalam arti materiil adalah apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela kaena tidak sesuai dengan

rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial

dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana.

o Memaksa seseorang memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima pembayaran dengan

potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya.

o Menyalahgunakan kekuasaan.

Menyalahgunakan kekuasaan adalah kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan. Kewenangan adalah kesempatan atau

sarana itu tidak digunakan sesuai dengan jalannya

ketata –laksanaan yang seharusnya dijalankan.

Untuk adanya unsur penyalahgunaan kewenangan

adalah yang bernuansa : kecurangan, manipulasi,

penyesatan, penyembunyian kenyataan,

pelanggaran keperrcayaan, akal-akalan atau

pengelakan peraturan.

f. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada

waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau

Page 67: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

59

memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum

seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang

kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang.

Unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-

Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Pada waktu menjalankan tugas.

o Meminta, menerima, atau memotong pembayaran.

o Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang lain atau kepada kas umum.

o Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang lain atau kas umum mempunyai utang

kepadanya.

o Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan

utang.

Page 68: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

60

g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada

waktu mnjalankan tugas, meminta atau menerima

pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah

merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-

Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Pada menjalankan tugas.

o Meminta atau menerima pekerjaan, atau

penyerahan barang.

o Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya.

o Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan

utang.

5. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan

curang.

Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001.

Page 69: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

61

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 7 (tujuh) athun dan atau pidana

denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000.,00 (tiga

ratus lima puluh juta rupiah):

a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu

membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan

yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,

melakukan perbuatan curang yang dapat

membahayakan keamanan orang atau barang, atau

keselamatan negara dam keadaan perang ;

Unsurnya adalah :

o Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan

bangunan

o Melakukan perbuatan curang

o Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan

bahan bangunan

o Yang dapat membahayakan keamanan orang atau

keamanan barang atau keselamatan negara dalam

keadaan perang

b.Setiap orang yang bertugas mengawasi

pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,

Page 70: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

62

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaiman

dimaksud dalam huruf a ;

Unsurnya adalah :

o Pengawas bangunan atau pengawasan penyerahan

bahan bangunan.

o Membiarkan dilakukannya perbuatan curang

pada waktu membuat banguan atau menyerahkan

bahan bangunan.

o Dilakukan dengan sengaja.

o Sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (1)

huruf a.

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang

keeprluan Tentara Nasional Indonesia dan atau

Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan

perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamtan negara dalam keadaan perang; atau

Unsurnya adalah :

o Setiap orang.

Setiap orang artinya : orang perseorangan atau

termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan

orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

Page 71: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

63

o Melakukan perbuatan curang.

o Pada waktu menyerahkan barang keperlian TNI

dan atau Kepolisian Negara RI.

o Dapat menbahayakan keselamatan negara dalam

keadan perang.

d.Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan

atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf c.

Unsurnya adalah :

o Orang yang bertugas mengawasi penyerahan

barang keperluan TNI dan atau Kepolisian

Negara RI.

o Membiarkan perbuatan curang (sebagaimana

diamksud pada pasal 7 ayat (1) huruf c).

o Dilakukan dengan sengaja.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan

bangunan atau orang yang menerima penyerahan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau

kepolisian Negara Republik Indonesia dan

membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan

Page 72: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

64

pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1).

Unsur-unsurnya adalah :

o Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan

atau orang yang menerima penyerahan barang

keperluan TNI dan atau kepolisian Negara RI.

o Membiarkan perbuatan curang.

o Sebagaiman dimaksud pada pasak 7 ayat (1) huruf a

atau c.

Pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

h. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

pada waktu menjalnkan tugas, telah menggunakan

tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai,

seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, telah merugikan orang yang berhak,

padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut

Page 73: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

65

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan.

Unsur-unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-

Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah

negara yang diatasnya ada hak pakai.

o Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

o Telah merugikan yang berhak.

o Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan.

6. Tindak Pidana Korupsi yang berbenturan adanya

pengadaan barang.

Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

Page 74: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

66

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :

i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik

langsung maupun tidak langsung dengan sengaja

turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau

persewaan, yang ada pada saat dilkukan

pembuatan, untuk seluruh atau sebagian

ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Unsur-unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-

Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Dengan sengaja.

o Langsung atau tidak langsung turut serta dalam

pemborongan, pengadaan atau persewaan.

o Pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau

sebagian ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasinya.

Page 75: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

67

7. Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan Gratifikasi.

Pasal 12B jo pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.

20 Tahun 2001.

Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dianggap pemberian suap,

apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang

berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi

tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh

penerima suap;

b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut suap yang dilakukan oleh

penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat0 tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.

Page 76: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

68

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B

ayat (1)tidak berlaku, jika penerima melaporkan

gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi

paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak

tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam

waktu palaing lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

tanggal menerima laporan wajib menetapkan

gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik

negara

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan

status gratifikasi sebagaimana diamksud dalam ayat (3)

diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Unsurnya adalah :

o Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Page 77: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

69

Penyelenggara negara adalah penyelenggara

negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

o Menerima gratifikasi.

Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah

pemberian dalam arti luas, yakni meliputi

pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,

pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-

cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut

baik diterima di dalam negeri maupun diluar

negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan

sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

o Yang berhubungan dengan jabatan dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

o Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan

kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak

diterimanya gratifikasi.

Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Tindak

pidana Korupsi palaing lambat 30 hari kerja sejak

tanggal menerima laporan, wajib menetapkan

Page 78: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

70

apakah gratifikasi tersebut menjadi milik si

penerima atau milik negara.

B. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN TINDAK PIDANA

KORUPSI.

Didepan telah disebutkan bahwa UU No.31 Tahun 1999 Jo

UU No. 20 Tahun 2001 selain memuat aturan tentang “tindak

pidana korupsi”, juga mengatur tindak pidana selain tindak

pidana korupsi, yaitu “Tindak pidana lain yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi”, tepatnya diatur dalam BAB III

UU-PTPK 1999, terdapat dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal

24. Dari redaksi pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa

meskipun diatur dalam undang-undang tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi, ketentuan tersebut tidak mengatur

substansi tindak pidana korupsi, akan tetapi mengatur jenis

tindak pidana yang ada hubungannya dengan tindak pidana

korupsi (bukan merupakan tindak pidana korupsi). Jenis tindak

pidana tersebut meliputi:

Pasal 21. Selengkapnya berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau

menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap

tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara

Page 79: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

71

korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda

paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah).

Perbuatan yang dilarang adalah:

“Dengan sengaja “mencegah”, “merintangi”, atau

“menggagalkan” secara langsung atau tidak langsung

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan

terhadap tersangka, atau terdakwa ataupun para saksi dalam

perkara korupsi”.

Ancaman Pidananya:

Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan

komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana

penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja atau

denda saja. Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara

paling singkat (minimum khusus) 3(tiga) tahun dan paling

banyak 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit

(minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta

rupiah).

Pasal 22. Selengkapnya berbunyi:

Page 80: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

72

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,

Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi

keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Perbuatan yang dilarang adalah:

Dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan

keterangan yang tidak benar. Ketentuan merujuk pada

ketentuan Pasal 28 ialah tersangka Pasal 29 ialah Bank, Pasal

35 ialah Saksi atau ahli, dan Pasal 36 adalah mereka yang

menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia.

Ancaman Pidananya:

Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan

komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana

penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja atau

denda saja. Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara

paling singkat (minimum khusus) 3(tiga) tahun dan paling

banyak 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit

(minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta

Page 81: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

73

rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta

rupiah).

Pasal 23. Selengkapnya berbunyi:

Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421,

Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda

paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Perbuatan yang dilarang adalah:

Pelanggaran ketentuan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421,

Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana

Pasal 220 KUHP, yaitu:

“memberitahukan atau mengadukan bahwa

dilakukan suatu perbuatan padahal

mengetahui, bahwa tidak dilakukan itu”

Pasal 231 KUHP, yaitu:

Page 82: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

74

1. “dengan sengaja menarik suatu barang

yang disita menurut ketentuan undang-

undang, atau yang dititipkan atas perintah

hakim, atau dengan mengetahui, bahwa

barang ditarik dari situ,

menyembunyikannya;

2. “dengan sengaja menghancurkan, merusak

atau membikin tak dapat dipakai barang yang

disita menurut ketentuan undang-undang;

3. “dengan sengaja melakukan atau

membiarkan dilakukan salah satu kejahatan

itu, atau sebagai pembantu menolong

perbuatan itu”

Pasal 421 KUHP, yaitu:

“dengan menyalahgunakan kekuasaan

memaksa seseorang untuk melakukan, tidak

melakukan, atau mebiarkan sesuatu”

Pasal 422 KUHP, yaitu:

“yang dalam perkara pidana menggunakan

sarana paksaan baik untuk memeras

Page 83: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

75

pengakuan, maupun untuk mendapat

keterangan”

Pasal 429 KUHP, yaitu:

1. “yang dengan melampaui kekuasaan atau

tanpa mengindahkan cara-cara yang

ditentukan dalam peraturan umum, memaksa

masuk kedalam rumah, ruangan atau

pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang

lain, atau jika berada di situ secara melawan

hukum, tidak segera pergi atas nama orang

itu”

2. “yang pada waktu menggeledah rumah,

dengan melampaui kekuasaannya atau tanpa

mengindahkan cara-cara yang ditentukan

dalam peraturan umum”

Pasal 430 KUHP, yaitu:

1. “yang dengan melampaui kekuasaannya,

menyuruh memperlihatkan kepadanya atau

merampas surat, kartupos, barang atau paket,

yang diserahkan kepada lembaga

pengangkutan umum atau kabar kawat yang

Page 84: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

76

dalam tangan pejabat telegrap untuk

keperluan umum”

2. “yang melampaui kekuasaannya menyuruh

seorang pejabat telepon atau orang lain yang

ditugasi pekerjaan telepon untuk keperluan

umum, member keterangan kepadanya tetang

suatu percakapan yang dilakukan dengan

perantaraan lembaga itu”.

Ancaman Pidananya:

Berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)

Pasal 24. Selengkapnya berbunyi:

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000

(seratus lima puluh juta rupiah).

Perbuatan yang dilarang adalah:

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 31, yaitu: “dalam

penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan

Page 85: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

77

atau orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana

korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-

hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya

identitas pelapor”.

Pengertian pelapor menurut penjelasan Ps.31 ayat (1) adalah

orang yang memberi informasi kepada penegak hukum

mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan

pelapor sebagaimana dimaksud dalamPasal 1 angka 24

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KItab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 angka 24 KUHAP

menyatakan: “Laporan adalah pemberitahuan yang

disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajibannya

berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau akan tejadinya peristiwa pidana”.

Ancaman Pidananya:

Berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau

denda palig banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta

rupiah)

C. KELEMAHAN SUBSTASIAL (JURIDIS MATERIEL) UNDANG-

UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang

diatur oleh peraturan perundang-undangan pidana di luar Kitab

Page 86: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

78

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sepanjang tidak

diatur secara khusus dalam ketentuan tindak pidana korupsi,

tetap berlaku ketentuan umum dalam Buku I KUHP (vide: Ps.

103 KUHP). Ditinjau dari aspek juridis materiel (Substansial)

ketentuan UU-TPK (UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001)

dihubungkan dengan ketentuan Umum Bukun I KUHP

mengandung beberapa kelemahan yang bersifat substansial

berkaitan dengan16:

a. Masalah Kualifikasi Juridis dari Tindak Pidana

Korupsi

Di dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, tidak

ada ketentuan formal (pasal) yang menyatakan

kualifikasi juridis dari tindak pidana korupsi, apakah

sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran”. Jadi berbe-

da dengan UU No. 3/1971 (UU lama) yang

menyatakan secara tegas, bahwa tindak pidana

korupsi merupakan “kejahatan” (Pasal 33).

Dengan tidak adanya kualifikasi juridis, dapat timbul

masalah dalam menerapkan ketentuan umum Buku I

KUHP terhadap kasus-kasus korupsi, karena KUHP

membedakan “ketentuan umum untuk keja-hatan”

dan “ketentuan umum untuk pelanggaran”.

16 Diadaptasi dari Barda Nawawi Arief, “Masalah Kelemahan Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

Page 87: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

79

b. Masalah Penerapan Pidana Minimal Khusus

Berbeda dengan UU yang lama (UU No. 3/1971), di

dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001, ada

ancaman pidana minimal khusus di dalam perumusan

delik. Namun tidak disertai dengan ketentuan khu-sus

untuk menerapkan/menjatuhkan pidana minimal

khusus itu.

Pencantuman pidana minimal khusus dalam

perumusan delik meru-pakan suatu penyimpangan

dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP.

Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun

seharusnya di-sertai dengan aturan penerapannya

secara khusus, karena :

- suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja

diterapkan/diope-rasionalkan hanya dengan

dicantumkan dalam perumusan delik;

pencantuman “ancaman pidana” hanya merupakan

sub-sistem dari keseluruhan sistem pemidanaan;

- untuk dapat diterapkan, harus ada aturan

pemidanaan (straf-toemetingsregel)-nya terlebih

dahulu;

- aturan penerapan pidana yang ada selama ini

diatur dalam "aturan umum" KUHP (sebagai

sistem induk);

Page 88: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

80

- aturan (pemidanaan) umum dalam KUHP

semuanya berorientasi pada sistem maksimal,

tidak pada sistem minimal;

- oleh karena itu, apabila UU di luar KUHP akan

menyimpang dari sistem umum KUHP, maka UU

di luar KUHP seharusnya mem-buat aturan

(pemidanaan) khusus sesuai dengan ketentuan

dalam Psl. 103 KUHP.

Tidak adanya aturan pemidanaan untuk menerapkan

sistem minimal khusus itu, dapat menimbulkan

masalah juridis dalam praktek.

c. Masalah Pelaksanaan Pidana Denda Terhadap

Korporasi

Menurut UU No. 31/1999, korporasi dapat menjadi

subjek tindak pidana dan pidana pokok yang dapat

dijatuhkan hanya pidana denda yang maksimumnya

ditambah sepertiga (lihat Pasal 20).

Namun di dalam UU No. 31/1999 jo. UU No.

20/2001, tidak ada ketentuan khusus mengenai

pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh

korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah,

karena ketentuan pelaksanaan pidana denda dalam

Psl. 30 KUHP (yaitu, apabila denda tidak dibayar

diganti dengan pidana kurungan peng-ganti selama 6

Page 89: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

81

bulan) hanya berlaku untuk subjek “orang”, tidak

untuk korporasi.

d. Masalah Permufakatan Jahat

Dalam Pasal 15 UU No. 31/1999 dinyatakan, bahwa

“percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat

untuk melakukan tindak pidana korupsi” dipidana

sama dengan pidana yang diancamkan untuk tindak

pidana ybs.

Namun di dalam UU No. 31/1999 jo. UU No.

20/2001, tidak ada ke-tentuan khusus mengenai

pengertian/istilah “permufakatan jahat”. Hal inipun

dapat menjadi masalah, karena pengertian juridis

mengenai “permufakatan jahat” di dalam KUHP

(Pasal 88) tidak berlaku umum untuk tindak pidana di

luar KUHP. Oleh karena itu, seharusnya pe-ngertian

juridis dari permufakatan jahat dimasukkan dalam

“Keten-tuan Umum” Pasal 1 UU No. 31/1999, seperti

halnya di dalam UU Narkotika (dimasukkan dalam

Pasal 1 sub 17 UU No. 22/1997).

e. Masalah Penerapan Ancaman Pidana Mati

Dalam “Penjelasan Umum” UU No. 31/1999

dinyatakan, bahwa di-ubahnya UU No. 3/1971 (antara

lain dengan diadakannya ancaman pidana mati,

pidana minimal khusus dan pidana denda yang tinggi)

Page 90: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

82

dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas

secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana

korupsi. Dengan demikian, diadakannya ancaman

pidana mati itu merupakan suatu pilihan kebijakan

untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR

dalam memberantas korupsi.

Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang

berpendapat pro atau kontra terhadap penggunaan

pidana mati sebagai salah satu sarana untuk

menanggulangi kejahatan. Namun setelah kebijakan

diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan

(diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka

dilihat dari sudut kebijakan hukum pi-dana (penal

policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy),

kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya

diharapkan dapat diterapkan pada tahap aplikasi.

Masalahnya adalah, apakah kebijakan formulasi

pidana mati dalam UU No. 31/1999 cukup

operasional/fungsional untuk diterapkan secara

efektif dalam rangka memberantas korupsi di

Indonesia?

Dilihat dari kebijakan formulasinya, ketentuan

pidana mati dalam UU No. 31/1999 dapat

menimbulkan masalah juridis dan mengandung

Page 91: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

83

beberapa kelemahan, sehingga memberi kesan

“kekurangseriusan” pembuat undang-undang untuk

menerapkan pidana mati. Beberapa kelemahan itu

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ketentuan mengenai pidana mati dalam UU No.

31/1999, hanya diatur dalam

satu pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana

dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati

dapat dijatuhkan”.

Selanjutnya dalam “Penjelasan Pasal 2 ayat (2)”

dinyatakan :

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam

ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan

bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak

pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam

keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang

yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam

nasional, sebagai pengulangan tindak pidana

korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan

krisis ekonomi dan moneter.

Page 92: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

84

2. Dari perumusan Dari perumusan di atas

terlihat, bahwa pidana mati merupaka pemberatan

pidana apabila TPK (tindak pidana korupsi) dilakukan

“dalam keadaan tertentu”. Kebijakan formulasi yang

demikian mengandung beberapa kelemahan, antara

lain :

a. Pidana mati sebagai pemberatan pidana, hanya

diancamkan untuk TPK tertentu dalam Pasal 2 (1),

yaitu “melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri/orang lain/korporasi secara melawan

hukum”. Jadi tidak ditujukan kepada semua

bentuk TPK, padahal dalam “Penjelasan Umum”

dinyatakan, bahwa tujuan dibuatnya UU No.

31/1999 ini (sebagai pengganti UU No. 3/1971)

adalah untuk memberantas “setiap bentuk tindak

pidana korupsi”.

b. Dengan diancamkannya pidana mati (sebagai

pemberatan pida-na) hanya untuk TPK dalam

Pasal 2, berarti secara formal pidana mati tidak

ditujukan terhadap TPK lainnya, khususnya TPK

yang berupa “penyalahgunaan kewenangan/

kesempatan/sarana karena jabatan atau

kedudukan” (diatur dalam Pasal 3). Padahal TPK

dalam Pasal 3 inipun diancam dengan maksimum

Page 93: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

85

pidana yang sama dengan delik dalam Pasal 2 (1)

yaitu diancam dengan pidana seumur hidup atau

penjara 20 tahun. Bahkan dalam pandangan

masyarakat dan dilihat dari hakikat korupsi

sebagai delik jabatan, perbuatan

"menyalahgunakan kewenangan jabatan/

kedudukan" (Psl. 3) dirasakan lebih berat, lebih

jahat, atau lebih tercela daripada "memperkaya

diri" (Psl. 2); setidak-tidak-nya harus dipandang

sama berat, dan oleh karenanya juga layak untuk

diancam dengan pidana mati.

c. Kelemahan lain, berkaitan dengan formulasi

“keadaan tertentu” yang menjadi alasan

pemberatan pidana untuk dapat dijatuhkan-nya

pidana mati. Dalam berbagai formulasi UU,

“keadaan tertentu” yang menjadi alasan

pemberatan pidana pada umumnya dirumuskan

secara tegas dalam perumusan delik yang bersang-

kutan (lihat misalnya pemberatan pidana untuk

penganiayaan dalam Pasal 356 KUHP dan

pemberatan pidana untuk pencurian dalam Pasal

365 KUHP). Namun dalam Pasal 2 ayat (2) UU

No. 31/1999, “keadaan tertentu” yang menjadi

alasan pemberatan pidana itu tidak dirumuskan

Page 94: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

86

secara tegas dalam perumusan pasal, tetapi hanya

dimasukkan dalam “penjelasan Pasal 2”, yaitu

apabila TPK dalam ayat (1) dilakukan :

- pada waktu negara dalam keadaan bahaya

sesuai dengan UU yang berlaku;

- pada waktu terjadi bencana alam nasional;

- sebagai pengulangan; atau

- dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter;

d. “Keadaan tertentu” yang menjadi

alasan/syarat untuk dapat dijatuhkannya pidana

mati dalam penjelasan Pasal 2 di atas, sulit atau

jarang terjadi, terutama syarat “negara dalam

keadaan bahaya”, adanya “bencana alam

nasional”, dan adanya “krisis ekonomi dan

moneter”. Keadaan-keadaan tersebut mungkin

baru muncul sekali dalam rentang waktu sekitar

30 – 60 tahun, seperti munculnya “gempa

tsunami” dan “krismon”.

e. “Keadaan tertentu” yang paling mungkin

terjadi adalah “pengu-langan tindak pidana”

(“recidive”). Namun sangat disayangkan, UU

No. 31/1999 ini tidak memuat aturan maupun

pengertian/ batasan “recidive”, padahal

“pengulangan” merupakan suatu istilah teknis

Page 95: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

87

juridis. Sebagai suatu istilah juridis, seharusnya

ada pengertian/batasan/aturannya sebagaimana

istilah juridis lainnya (seperti istilah

“percobaan”, “pembantuan”, “permufakatan

jahat”). Terlebih dalam KUHP (sebagai aturan

induk), juga tidak ada aturan umum tentang

recidive; yang ada hanya aturan khusus di dalam

Buku II (Kejahatan) dan Buku III (Pelanggaran).

Jadi sistem yang berlaku saat ini menganut

“recidive khusus”, bukan “recidive umum”.

Dianutnya “recidive khusus” inipun terlihat juga

dalam UU khusus di luar KUHP, antara lain

dirumuskan dalam Pasal 96 UU Narkotika No.

22/1997 yang menyatakan :

Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima)

tahun melakukan pengulangan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan

Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan

sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang

dipidana dengan pidana mati, seumur hidup

atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

(huruf tebal dan miring dari Pen.).

Page 96: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

88

Demikian pula Pasal 72 UU No. 5/1997 (tentang

Psikotropika), mengandung di dalamnya aturan

recidive sebagai berikut :

Jika tindak pidana psikotropika dilakukan

dengan menggunakan anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah atau orang yang di bawah

pengampuan atau ketika melakukan tindak

pidana belum lewat dua tahun sejak selesai

menjalani seluruhnya atau sebagian

pidana penjara yang dijatuhkan

kepadanya, ancaman pidana ditambah

sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak

pidana tersebut. (huruf tebal dan miring dari

Pen.).

f. Dengan tidak adanya aturan tentang

“pengulangan (recidive)” di dalam UU No.

31/1999, maka tidak jelas apa yang menjadi

syarat-syarat pengulangan atau kapan dikatakan

ada pengu-langan :

- baik syarat “tenggang waktu”

pengulangannya, maupun

- syarat “perbuatan (tindak pidana)” yang

diulangi.

Page 97: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

89

Untuk syarat “tindak pidana yang diulangi”,

memang di dalam Pasal 2 (2) UU TPK di atas

sudah disebutkan. Namun dengan tidak

disebutkannya batas tenggang waktu

pengulangannya dan sejak kapan tenggang

waktu itu dihitung, hal ini dapat menim-

bulkan masalah. Di samping itu, apabila TPK

yang diulangi (dila-kukan kedua kali dst.)

adalah TPK lain, misal TPK dalam Psl. 3

(penyalahgunaan wewenang jabatan), atau

delik dalam Pasal 8 (melakukan penggelapan

uang/surat berharga karena jabatan), atau delik

dalam Pasal 10 (pejabat yg menggelapkan

barang bukti), atau delik dalam Pasal 12

(pemerasan oleh pejabat) atau delik-delik

lainnya, maka secara juridis formal tidak dapat

dikata-kan ada pengulangan dan dengan

demikian sipelaku akan lolos dari ancaman

pemberatan pidana mati, atau setidak-tidaknya

ti-dak ada pemberatan pidananya.

g. Walaupun UU:3/71 dan UU:31/99 jo.

UU:20/2001 tidak membuat aturan tersendiri

untuk recidive, namun pengulangan terhadap

ketiga delik jabatan di atas (yaitu Pasal 8, 10,

Page 98: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

90

12 UU No. 31/1999) sebenarnya masih dapat

dijaring dengan Psl. 486 KUHP. Dalam Psl.

486 KUHP ini, ada ketentuan recidive untuk

delik jabatan dalam Psl. 415 (penggelapan

uang/surat berharga karena jabat-an), Pasal 417

(penggelapan barang bukti oleh pejabat); dan

Psl. 425 (pemerasan oleh pejabat). Ketiga delik

jabatan itu (Psl. 415, 417, dan 425 KUHP) oleh

UU:3/1971 dijadikan TPK, yaitu ketiga-

tiganya dimasukkan dalam Psl. 1 sub 1 c; dan

oleh UU:31/ 1999 dimasukkan dalam Psl. 8

(untuk Psl. 415), Psl. 10 (untuk Psl. 417), dan

Psl. 12 sub f, g, h (untuk Psl. 425). Jadi

walaupun UU:3/71 dan UU:31/99 jo.

UU:20/2001 tidak membuat aturan tersendiri

untuk recidive, namun pengulangan terhadap

ketiga delik jabatan itu sebenarnya masih dapat

dijaring dengan adanya Psl. 486 KUHP.

Namun sangat disayangkan, dengan adanya

UU:20/2001 ketiga pasal KUHP tersebut (Psl.

415, 417, 425) termasuk pasal-pasal yang

“dinyatakan tidak berlaku” oleh Psl. 43 B,

sehingga praktis tidak mungkin lagi dijaring

dengan ketentuan recidive dalam KUHP.

Page 99: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

91

Terlebih “pengulangan” yang disebut da-lam

“penjelasan” UU: 31/1999 hanya tertuju pada

delik dalam Psl. 2 (1), tidak untuk delik dalam

Psl. 8, Psl. 10, dan Psl. 12.

h. Kelemahan lain ialah, pemberatan pidana mati

dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31/1999 hanya

ditujukan pada “orang”. Tidak ada pemberatan

pidana terhadap korporasi yang melakukan

tindak pidana korupsi dalam “keadaan-keadaan

tertentu” sebagaimana disebutkan di atas.

Walaupun pidana mati tidak bisa dikenakan

pada korporasi, namun seharusnya tersedia

juga pemberatan pidana untuk korporasi yang

bobotnya dapat diidentikkan dengan pidana

mati.

Karena adanya beberapa kelemahan formulasi di atas,

tidak mustahil pidana mati sulit atau jarang dapat

dijatuhkan terhadap para koruptor di Indonesia.

Sangat disayangkan kelemahan formulasi pidana mati

dalam UU No. 31/1999 itu, tidak dilihat sebagai suatu

masalah yang seharusnya diperbaiki atau

diamandemen oleh UU No. 20/2001.

Page 100: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

92

D. SUBJEK DAN PERTANGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

1. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya

mengenal orang sebagai subjek tindak pidana (naturlijke

person). Dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting)

Pasal 51 W.v.S Belanda (Indonesia sama dengan Pasal 59

KUHP) dinyatakan secara tegas bahwa: “Suatu strafbaar feit

hanya dapat diwujudkan oleh manusia, fiksi tentang badan

hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Ketentuan

bahwa hanya orang yang bisa bertindak sebagai subjek hukum

dalam KUHP, setidaknya dapat kita lihat dari beberapa hal

yaitu17: “pada setiap delik dalam rumsan KUHP selalu diawali

dengan “barang siapa” (Hij die…), atau kata-kata lain yang

menunjuk orang sebagai subjek seperti “ibu” (de moeder)

dalam ketentuan Pasal 341 dan 342 KUHP, “panglima tentara”

(bevelhebber) dalam Pasal 413 KUHP, “pegawai negeri” atau

“orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk

sementara waktu menjalankan jabatan umum” (de amtenaar of

ander met een igen openbaren dienst voortdurend od tijdelijk

belast person) dalam Pasal 415, 416 dan 417 KUHP.

UU-TPK 1971 tidak mengenal korporasi sebagai subjek

hukum, oleh karena itu UU-TPK 1999 bisa dikatakan lebih

17 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internsional, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 78

Page 101: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

93

maju dibandingkan dengan UU-TPK 1971 ialah, bahwa

subyek tindak pidana tidak hanya”orang perseorangan” tetapi

juga “korporasi”. Menurut ketentuan Pasal 1 ke-1, yang

dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau

kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.

Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada Korporasi

pebagai Subjek Tindak Pidana korporasi dalam perkara

korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa

rekomendasi konggres PBB mengenai The Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders, antara lain: 1. Dalam

rekomendasi Konggres PBB ke-8/ 1990 ditegaskan, agar ada

tindakan terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam

perkara korupsi”. 2. Dalam dokumen Konggres PBB ke-

9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan sebagai berikut:

“Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat

dalam penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yang

tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam banyak

kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai

keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para

pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/

istimewa, antara lain: a. Memberi kontrak; b.

Mempercepat/memperlancar ijin; c. Membuat perkecualian-

Page 102: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

94

perkecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-

pelanggaran peraturan18.

Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subyek

tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat

perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam

menjalankan aktifitas usaha. Pada mayarakat yang masih

sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara

perorangan. Dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi

sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama

dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha.

Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan

untukmengadakan kerjasama, antara lain adalah terhimpun

modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam

suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan

seorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat

membagi resiko kerugian19.

18 Barda Nawawi Arief, Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan Evaluasi Terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bahan Masukan UntukTim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999, hal 15-16 19 Hamzah Atrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Vicarious Liability, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996, hal 27

Page 103: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

95

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana

Korupsi

Konsekwensi logis dari korporasi sebagai subjek hukum

adalah, korporasi dapat dijatuhi pidana atau dapat

dipertanggangjawabkan dari segi hukum pidana. Ketentuan

tersebut terdapat dalam Pasal 20 ayat(1). Dinyatakan bahwa “

Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas

nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana

dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Tindak pidana korupsi dikatakan dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang

baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut

baik sendiri maupun bersama-sama. (Pasal. 20 ayat (2)).

Apabila terjadi tindak pidana sebagaimana dilakukan menurut

Pasal 20 ayat (2), sehingga terhadap korporasi dilakukan

tuntutan hukum, maka korporasi tersebut diwakili oleh

pengurusnya. (Pasal. 20 ayat (3)). Pengurus yang mewakili

korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat

diwakili oleh orang lain. (Pasal. 20 ayat (4)).

Dalam hal Hakim merasa perlu untuk mendapatkan

keterangan secara langsung dari pengurus korporasi maupun

diperlukan kehadirannya secara langsung, Hakim dapat

Page 104: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

96

memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri

di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus

tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (Pasal 20 ayat (5)).

Berkaitan dengan masalah panggilan sidang, apabila tuntutan

pidana dilakukan terhadap korporasi, berdasarkan Pasal 20

ayat (6) panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat

panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat

tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Sesuai dengan sifat dari korporasi yang tidak naturlijke

person, sanksi pidana (pidana pokok) yang dapat dijatuhkan

hanyalah pidana denda dengan system pemberatan yaitu,

dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu

pertiga). Ketentuan tersebut diatur secara tegas dalamPasal 20

ayat (7).

BAB. III

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA

KORUPSI

Page 105: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

97

Penegakan hukum pada hakekatnya adalah menunjuk pada

aktivitas penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap

pelanggaran produk hukum oleh pelaku. Dalam perkara pidana,

penegakan hukum tidak lain adalah, proses tindakan dari lembaga

penegak hukum dengan menggunakan perangkat hukum yang ada

untuk memberikan pemidanaan terhadap pelanggaran ketentuan

hukum pidana. Penegakan hukum pidana dengan demikian

melibatkan komponen penegak hukum dan seperangkat aturan

hukum pidana, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil

dan hukum pelaksanaan pidana.

Penegakan hukum tindak pidana korupsi, berjalan dalam

suatu mekanisme proses sistem peradilan pidana yang bersifat

khusus, berbeda dengan sistem peradilan pidana pada umumnya.

Dikatakan khusus karena selain dari sisi substansi hukum (legal

substance) diatur dengan ketentuan hukum pidana materiil khusus

(diluar KUHP) yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU

No. 31 Tahun 1999) , disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999

diundangkan dalam Lembaran Negara No. 140 dan diperbaharui

oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun

2001), diundangkan pada tanggal 21 Nopember 2001, dari sisi

struktur hukum (legal structure) penegakan hukum tindak pidana

korupsi dilakukan oleh lembaga yang bersifat khusus dari tingkat

penyidikan hingga tingat peradilan. Penyidikan dilakukan oleh

penyidik khusus tindak pidana korupsi yaitu Penyidik Kepolisian,

Penyidik Kejaksaan dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penuntutan dilakukan oleh lembaga khusus untuk menuntut kasus

korupsi, yaitu penuntut Kejaksaan dan Penuntut Komisi

Pemberatasan Korupsi, begitu pula di bidang peradilan. Dengan

Page 106: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

98

keluarnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2009 tentang Peradilan

TindakPidana Korupsi, dibentuk pengadilan khusus yang

mengadili perkara korupsi dari tingkat Pengadilan Negeri hingga

Mahkamah Agung. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi

selain memuat ketentuan hukum pidana materiil, juga memuat

ketentuan hukum pidana formil (hukum acara pidana) diluar

ketentuan KUHAP.

Dari sisi peraturan perundang-undangan, UU Tipikor juga

ditopang/diperkuat dengan beberapa aturan terkait yang

menempatkan penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat

khusus. Undang-undang tersebut antara lain:

1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi. Melalui undang-undang ini

melahirkan lembaga Komisis Pembernatsan Korupsi yang

memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi

2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian

Republik Indonesia. Melalui undang-undang ini dan

ketentuan Ps. 6 KUHAP, Kepolisian mempunyai

kewenangan untuk menyidik seluruh tindak pidana,

termasuk tindak pidana korupsi

3. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia dan Ps. 284 KUHAP, memungkinkan

lembaga kejaksaan untuk melakukan penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi

4. Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa tindak pidana

korupsi hanya diperiksa dan diadili oleh Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi

Page 107: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

99

Empat undang-undang di atas melahirkan lembaga-lembaga

yang mempunyai kewenangan untuk menegakkan tindak pidana

korupsi, mulai dari tahap penyidikan dilakukan oleh penyidik

Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK),

tahap penuntutan oleh penuntut kejaksaan dan penuntut KPK dan

tahap mengadili yang dilakukan oleh pengadilan khusus yaitu

Pengadilan Tindak pidana korupsi (Tipikor).

A. LEMBAGA PENYIDIKAN

Penyidikan menurut KUHAP (Pasal 1 angka 2) adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Meneilik pengertian tersebut, penyidikan adalah

serangkaian aktivitas penyidik dalam rangka mencari dan

mengumpulkan bukti agar perkaranya jelas dan diketemukan

tersangkannya. Penyidikan adalah pintu awal proses perkara

pidana, dalam sebagai pemeriksaan awal proses penegakan tindak

pidana korupsi.

Penyidikan dilakukan oleh aparat penyidik, UU-TPK tidak

menyebut siapa yang bertindak sebagai penyidik, tetapi hanya

menyebut penyidik. Dari ketentuan KUHAP, undang-undang

Kepolisian, Kejaksaan dan UU KPK dapat kita inventarisir bahwa

penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh 3 (tiga)

lembaga/isntitusi penyidik yaitu penyidik Kepolisian, Kejaksaan

dan penyidik KPK. Masing-masing melakukan tugas penyidikan

sesuai ketentuan undang-undang yang mengaturnya maupun

KUHAP.

Page 108: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

100

1. Penyidik Polri.

Penyidik Polri merupakan merupakan bagian tidak

terpisahkan dari fungsi dan kedudukan Kepolisian Republik

Indonesia (Polri) sebagai aparatur Negara di bawah Prsiden.

Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa, fungsi

kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.

Fungsi penyidikan dengan demikian bisa kita lihat

sebagai menjalankan sebagian tugas Polri, khususnya dibidang

penegakan hukum. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan

bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c.

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat. memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat. Fungsi Polri secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama, memelihara

keamanan dan ketertiban, kedua melakukan penegakan

hukum. Berkaitan dengan fungsi penegakan hukum, Polri

mempunyai kedudukan sebagai penegak hukum. Secara

integral adalah bagian dari keseluruhan sub-sistem penegak

hukum dalam sistem peradilan pidana.

Fungsi penyidikan ditubuh Polri dilaksanakan oleh

satuan reserse, yang oleh peraturan perundang-undang

mempunyai kewenangan melaksanakan penyelidikan,

penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut

Page 109: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

101

Pasal 16 (1) dinyatakan dalam rangka menyelenggarakan

tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di

bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia

berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang

meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk

kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan

orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh

berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan

penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan

diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang

ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i.

menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j.

mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat

imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi

dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah

atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak

pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada

penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan

penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada

penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut

hukum yang bertanggung jawab.

Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan

penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan

terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan

Undang-undang No. 8 tahun 1981 dan peraturan perundangan

lain. Menurut Pasal 12 Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia,

penyidik dan penyidik pembantu adalah pejabat fungsional

Page 110: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

102

yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Indonesia. Dalam

struktur organisasi dan tata kerja Polri sebagaiamana diatur

dalam Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kepolisian Republik Indonesia, kewenangan penyidikan

dilakukan reserse daerah dan pusat. Reserse di daerah melekat

pada organisasi Polri, dari tingkat Polisi Daerah (Polda)

sampai Polisi Sektor (Polsek). Tingkat pusat berada pada

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) sebagai unsur pelaksana

utama pusat berada di bawah dan bertanggungjawab langsung

kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (Pasal . 4 jo

Pasal 22 ). Bareskrim dipimpin oleh seorang Kabareskrim

berpangkat Pati Bintang Tiga dengan Eselon IA. Kabareskrim

dibantu oleh seorang Wakil Kabareskrim dan sebanyak-

banyaknya sepuluh Kepala Biro. Bareskrim meskipun

merupakan badan reserse ditingkat pusat, selain memiliki

tugas menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi

laboratorium forensic, juga mempunyai tugas melakukan

pembinaan terhadap pelaksanaan fungsi reserse di daerah

dalam rangka penegakan hukum.

Lembaga Kepolisian memiliki kewenangan penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan:

1. KUHAP, ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan

bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan. Pasal 6 ayat (1) sub a, menyatakan

bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia;

Page 111: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

103

2. UU Kepolisian, ketentuan Pasal 1 angkan 10 menyebutkan

penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk melakukan penyidikan. Pasal 14 huruf g, mengatur

kewenangan Kepolisian untuk melakukan penyelidikan

dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-

undangan lainnya, dalam hal ini termasuk tindak pidana

korupsi.

2. Penyidik Kejaksaan

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah

secara garis besar memiliki fungsi dan kewenangan di bidang

penegakan hukum dan kewenangan yang berhubungan dengan

menjaga ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang

penegakan hukum berhubungan dengan penegakan hukum

pidana, perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang

penegakan hokum pidana kejaksaan mempunyai tugas dan

kewenangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 Undang-

Undang No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan

pengadilan yang telah memperolah kekuatan hokum

tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

keputusan lepas bersyarat;

Page 112: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

104

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2), dibidang perdata dan tata

usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat bertindak baik di

dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama

Negara atau pemerintah. Adapun tugas dan kewenangan

kejaksaan berkaitan dengan menjaga ketertiban dan

ketenteraman masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 30

ayat (3) meliputi:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakana penegakan huukm;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan Negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan

agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik

kriminal.

Page 113: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

105

Berkaitan dengan kewenangan penuntutan, berdasarkan

ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

RI, kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berkaitan dengan

wewenang penuntutan menurut Pasal 37 dilaksanakan secara

independen dan pertanggungjawaban disampaikan kepada

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip

akuntabilitas. Undang-undang Dasar 1945 secara implisit

mengatur keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem

ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan

kehakiman (vide Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-

3 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai

penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara

yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan

sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan

alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai

executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan

pengadilan dalam perkara pidana.

Di bidang penyidikan, kewenangan kejaksaan sering

dipersoalkan mengingat tugas utama kejaksaan adalah

bertindak sebagai penuntut umum. Kewenangannnya

dianggap kewenangan sementara pada saat masa transisi

berlakunya KUHAP, sebab Pasal 6 ayat (1) menegaskan

Page 114: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

106

penyidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia

dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang.

Sesuai Pasal 284 KUHAP wewenang kejaksaan untuk

menyidik suatu tindak pidana adalah bersifat sementara dan

untuk tindak pidana- tindak pidana tertentu. Dalam Pasal 284

ayat (2) (KUHAP) disebutkan, kejaksaan bisa menyidik kasus

korupsi selama kurun waktu dua tahun semenjak

diundangkannya KUHAP. Ini berarti, seharusnya sejak tahun

1983, kejaksaan tidak boleh melakukan penyidikan. Politik

hukum KUHAP terhadap lembaga yang berwenang

melakukan penyidikan menurut KUHAP diberikan kepada

penyidik Polri dan PPNS, dengan menempatkan penyidik

Polri sebagai penyidik utama yang berwenang melakukan

penyidikan terhadap semua jenis tindak pidana. Meskipun

demikin politik hukum pembuat undang-undang masih

memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan,

khusus untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu (tindak

pidana khusus). Hal ini terlihat dari politik hukum yang

tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang

Kejaksaan dan sekarang yang terbaru Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Secara eksplisit kewenangan

penyidikan tersebut tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d.

Politik hukum pembuat undang-undang secara yuridis formal

Page 115: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

107

masih memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan

meskipun terbatas untuk tindak pidana khusus, sehingga

secara yuridis kewenangan tersebut masih sah. Dari kacamata

asas yaitu lex posteriori derogat lex priori. Artinya, aturan

hukum yang kemudian mengesampingkan aturan hukum yang

terdahulu dalam mengatur hal yang sama, maka kewenangan

penyidikan kejaksaanan tersebut tetap sah meskipun Pasal 6

ayat (1) KUHAP secara eksplisit mengakui penyidik adalah

penyidik Polri dan PPNS.

Dari perspektif perbandingan Andi Hamzah juga

memperkuat kewenangan kejaksaan dalam penyidikan,

dengan mengatakan di belahan negara-negara lain jaksa juga

mempunyai kewenangan untuk menyidik.

Negara-negara tersebut antara lain Rusia, Jerman, China,

Thailand, Georgia bahkan di negara Prancis sendiri Jaksa

Tinggi mempunyai kewenangan mengangkat dan

memberhentikan penyidik polisi yang dianggap tidak mampu

dalam melakukan penyidikan.

3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan problem universal bersifat

endemic, mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan

bernegara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Secara

Internasional korupsi diakui sebagai masalah yang sangat

komplek, bersifat sistemik dan meluas. Di Indonesia korupsi

sudah merambah di segala lini tata kehidupan sehinggga tidak

Page 116: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

108

hanya dipandang merugikan keuangan negara dan

perekonomian, akan tetapi telah merampas hak-hak sosial

masayrakat. Oleh karena itu tindak pidana korupsi

digolongkan sebagai tindak pidana yang laur biasa (extra

ordinary crime) sehingga diperlukan langkah-langkah yang

laur biasa (extra meassure).

Dalam pertimbangan dikeluarkannnya Undang-Undang No.

20 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,

dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani

tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan

efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh

karena itu perlu peningkatan penanganan korupsi secara lebih

profesional, intensif, berkesinambungan dan dilakukan

lembaga yang lebih independen. Sesuai dengan ketentaun

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu

dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

independen dengan tugas dan wewenang koordinasi dan

supervise termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan perkara tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi. KPK ditempatkan sebagai trager

mecanism dan bersifat superbody dalam pemberantasan

korupsi. KPK lahir sebagai bagian dari strategi pemberantasan

korupsi secara luar biasa (extra meassure), untuk itu diberikan

Page 117: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

109

kewenangan-kewenangan yang luar biasa yang tidak dimiliki

oleh aparat penegak hukum lainnnya. Menurut ketentuan Pasal

3, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun. KPK memiliki 5 tugas dan 29

wewenang. Berdasar Pasal 6, tugas KPK adalah:

a. Koodinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak

pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas tersebut dalam Pasal 6, KPK

mempunyai kewenangan-kewenagan yang lahir dari setiap

jenis tugasnya adalah sebagai berikut:

a. Pasal 7, dalam pelaksanaan tugas koordinasi, KPK

memilki wewenang:

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi;

Page 118: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

110

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan

tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan

dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

5. Meminta laporan instansi terkait mengenai

pencegahan tindak pidana korupsi.

b. Pasal 8 ayat (1), dalam melaksanakan tugas supervisi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b KPK

memiliki wewenang melakukan pengawasan,

penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang

menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan

dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan

instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

c. Pasal 8 ayat (2), dalam melaksanakan wewenang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil

alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian

atau kejaksaan.

d. Pasal 8 ayat (3), dalam hal KPK mengabil alih (teke

over) suatu penyidikan atau penuntutan, kepolisian

Page 119: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

111

atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan

seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen

lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal

diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan

Korupsi.

e. Pasal 8 ayat (4), Penyerahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan

menandatangani berita acara penyerahan sehingga

segala tugas dan kewenangan kepolisian atau

kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih

kepada KPK.

f. Menurut Pasal 9, KPK dapat melakukan

pengambilalihan penyidikan dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dengan alasan-

alasan sebagai berikut:

1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana

korupsi tidak ditindaklanjuti;

2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara

berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan;

3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk

melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang

sesungguhnya;

Page 120: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

112

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung

unsur korupsi;

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi

karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif,

atau legislatif; atau

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan

kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak

pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

g. Berdasarkan ketentuan Ps. 10, dalam hal terdapat

cukup alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,

KPK dapat melakukan pengambilalihan dengan

memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum

untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang

sedang ditangani.

h. Menurut Pasal 11, dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi yang :

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara

negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum atau penyelenggara negara;

Page 121: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

113

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

i. Menurut Pasal 12, dalam hal KPK melaksanakan tugas

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK mempunyai

berwenang :

1. Melakukan penyadapan dan merekam

pembicaraan;

2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk

melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga

keuangan lainnya tentang keadaan keuangan

tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga

keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang

diduga hasil dari korupsi milik tersangka,

terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan

tersangka untuk memberhentikan sementara

tersangka dari jabatannya;

Page 122: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

114

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan

tersangka atau terdakwa kepada instansi yang

terkait;

7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,

transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau

pencabutan sementara perizinan, lisensi serta

konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan

bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan

tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi

penegak hukum negara lain untuk melakukan

pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang

bukti di luar negeri;

9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang

terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara

tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, menurut Pasal 13,

KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya

pencegahan sebagai berikut :

Page 123: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

115

1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap

laporan harta kekayaan penyepenyelenggara

negara;

2. Menerima laporan dan menetapkan status

gratifikasi;

3. Menyelenggarakan program pendidikan

antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

4. Merancang dan mendorong terlaksananya program

sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada

masyarakat umum;

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral

dalampemberantasan tindak pidana korupsi.

j. Pasal 14 mengatur, dalam hal KPK melaksanakan

tugas monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf e, KPK mempunyai kewenangan:

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem

pengelolaan administrasi di semua lembaga negara

dan pemerintah;

2. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga

negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan

jika berdasarkan hasilpengkajian, sistem

pengelolaan administrasi tersebut berpotensi

korupsi;

Page 124: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

116

3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan

Badan PemeriksaKeuangan, jika saran Komisi

Pemberantasan Korupsi mengenai usulan

perubahan tersebut tidak diindahkan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung oleh

sumber daya manusia yang bersumber dari pegawai tetap,

pegawai negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidak

tetap (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005

Tentang Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan

Korupsi).

Sumberdaya manusia penyidikan merupakan pegawai

negeri sipil yang dipekerjakan, berasal dari Kepolisian.

Personil Kepolisian yang dipekerjakan di KPK menjadi

tenaga penyidik KPK, dengan tugas dan koordinasi di

bawah pimpinan KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 4

ayat (2), Pegawai Negeri yang dipekerjakan (penyidik

Kepolisian.pen) tidak kehilangan status Pegawai

Negerinya.

Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih

menjadi pegawai tetap sesuai dengan perayaratan dan tata

cara yang ditetapkan dalam peraturan Komisi. Dengan

beralihnya status kepegawaiannya, pegawai tersebut

Page 125: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

117

diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri.

(Pasal 7 PP No. 63 Tahun 2005).

Pegawai Negeri yang tidak beralih menjadi pegawai

tetap, statusnya diberhentikan sementara dari pegawai

negeri (Kepolisian.pen) akan tetapi tidak kehilangan

status Pegawai Negerinya. (Ps. 39 ayat (3) UUNo. 30

Tahun 2002 tentang KPK Jo Ps. 5ayat (2) PP No. 63

Tahun 2005). Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK

dengan masa penugasan selama 4(empat) tahun, dan

dapat diperpanjang hanya dalam satu kali perpanjangan.

(Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005)

Pegawai Negeri (penyidik Kepolisian.pen) yang

dipekerjakan di KPK berhenti statusnya sebagai personil

yang dipekerjakan terjadi karena: (1). masa penugasan

telah berakhir (Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005), (2).

Memasuki batas usia pensiun (Ps. 18 huruf a Jo Ps. 19

ayat (2) dan (3). karena sebab lain (Ps. 18 huruf b Jo. Ps

19 ayat (3). Karena sebab lain berdasarkan Pasal 19 ayat

(3), pensiun karena sebab lain karena: a. Meninggal

dunia, b. Atas permintaan sendiri, c. Pelanggaran disiplin

dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi

Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah komisi negara

yang keberadaannya diatur oleh undang-undang bersifat

independen tidak tersubordinasi oleh kekuasaan

Page 126: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

118

pemerintah, karena memang bukan lembaga dibawah

pemerintah (eksekutif), mempunyai kewenangan yang

laur biasa dan bersifat super body, sehingga diharapkan

bisa bertindak ujung tombak dan pemicu (triger

mecanism) terhadap aparat penegak hukum yang lain

(penyidik Polri dan Kejaksaan) dalam memberantas

korupsi, sehingga penegakan tindak pidana korupsi

berjalan optimal dan profesional.

Fungsi penyidikan KPK secara kelembagaan meskipun

bersifat independen, tidak didukung oleh personil yang

murni sumber daya manusia dari KPK sendiri, termasuk

personil penyidikan. Personil penyidikan (Penyidik Polri)

merupakan personil Penyidik yang di BKO kan (Bawah

Komando Operasi). Artinya untuk sementara personil

Penyidik Polri yang diperbantukan kepada KPK, menjadi

pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu

apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan

kepada instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc),

atau sewaktu-waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila

instansi asal membutuhkan. Kondisi ini memungkinkan

personil tidak independen dan kinerja penuntutan tidak

maksimal.

Page 127: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

119

B. LEMBAGA PENUNTUTAN

Fungsi penuntutan merupakan subsistem kedua setelah

subsistem penyidikan dalam rangkaian sistem peradilan

pidana. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di siding pengadilan. Tindakan penututan

dengan demikian adalah merupakan rangkain aktivitas

penegakan hokum, yang dilakukan oleh penegak hokum.

Menurut Pasal 13 KUHAP penuntutan dilakukan oleh

penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim. Untuk semua jenis tindak

pidana penuntut umum adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan

Republik Indonesia, kecuali untuk tindak pidana korupsi

terdapat jaksa penuntut umum dari lembaga KPK. Dengan

demikian dalam kewenangan penuntutan tindak korupsi,

terdapat dualisme lembaga penuntutan yaitu penuntut umum

dari lembaga kejaksaan dan penuntut umum dari lembaga

KPK.

Page 128: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

120

1. Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan.

Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan Negara di bidang penuntutan. Jaksa sebagai

penuntut umum dalam perkara pidana mengajukan berkas

perkara kepada pengadilan (hakim) secara aktif. Dalam bahasa

hukum Belanda kedudukan demikian disebut sebagai “staande

magistratuur”atau magistratur berdiri20. Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga pemerintah secara garis besar

memiliki fungsi dan kewenangan di bidang penegakan hukum

dan kewenangan yang berhubungan dengan menjaga

ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang penegakan

hukum berhubungan dengan penegakan hukum pidana,

perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang penegakan

hukum pidana kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan

sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang

No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan

pengadilan yang telah memperolah kekuatan hokum

tetap;

20 Arief Sidharta, Praktisi Hukum Dan Perkembangan Hukum, dalam Bukum

Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 79 tahun Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH

dengan judul “Wajah Hukum Di Era Reformasi”, Bandung, Penerbit Citra

Aditya Bakti, 2000, hal. 202

Page 129: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

121

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2), dibidang perdata dan tata

usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat bertindak

baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas

nama Negara atau pemerintah. Adapun tugas dan

kewenangan kejaksaan berkaitan dengan menjaga

ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sebagaimana

diatur dalam Pasal 30 ayat (3) meliputi:

a. peningkatan kesadaran hokum masyarakat;

b. pengamanan kebijakana penegakan huukm;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan Negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan

agama;

Page 130: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

122

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik

kriminal

Kedudukan lembaga kejaksaan ini diatur dalam Undang-Undang

No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2

ayat (1) yang berbunyi:

1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam

Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga

pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang.

2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan secara merdeka.

3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

satu dan tidak terpisahkan.

Memperhatikan rumusan tersebut berarti kejaksaan adalah

lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah, yang

menyelenggarakan fungsi yudikatif atau penegakan hokum

khususnya hokum pidana. Prinsip dasar penegakan hokum adalah

independen dan merdeka. Konsekwensi logis kedudukan

kejaksaan sebagai aparat pemerintah adalah tidak independen,

tersubordinasi bahkan terkooptasi oleh kekuasaan pemerintah.

Akibatnya pelaksanaan penegakan hokum yang dilakukan

Page 131: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

123

kejaksaan tidak akan independen21. Pasal 19 bahkan secara tegas

menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang tidak mandiri atau

independen, dengan dinyatakan bahwa:

1. Jaksa Agung adalah pejabat Negara;

2. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden.

Jaksa Agung adalah pemimpin dan penanggungjawab

tertinggi kejaksaan (Pasal 18 ayat (1)), dengan

sendirinya juga penanggungjawab tertinggi fungsi

penuntutan. Pasal 37 ayat (1) menegaskan bahwa

dalam fungsi penuntutan Jaksa Agung

bertanggungjawab atas fungsi penuntutan

dilaksanakan secara independen demi keadilan

berdasarkan hokum dan hati nurani, makna

independen tersebut tidak punya arti apabila dikaitkan

dengan realitas yuridis bahwa Jaksa Agunga adalah

pejabat Negara (Pasal 19 ayat (1), diangkat dan

21 Tesis tersebut sesuai dengan fakta, prenyataan Jaksa Agung Hendarman

Supandji pada saat memberikan ceramah umum di depan civitas fakultas

Hukum UNDIP di Gedung Pasca Sarjana Lt VI pada tanggal 27 Pebruari 2009,

bahwa Jaksa Agung sebagai aparat Pemerintah bawahan Presiden, menyatakan

tidak akan melakukan penyidikan terhadap Kepala Daerah yang disangka

melakukan tindak piana korupsi sepanjang belum mendapat ijin untuk

melakukan pemeriksaan oleh Presiden. Sikap demikian menujukkan Jaksa

Agung tidak independen dan terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif (Presiden),

memperlihatkan adanya ketaatan yang lebih kepada kekuasaan (penguasa) dari

pada ketaatan terhadap hukum . Secara nyata sikap tersebut menunjukkan Jaksa

Agung tidak independen atau mandiri dalam melakukan penegakan hukum.

Page 132: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

124

diberhentikan Presiden (Pasal 19 ayat (2). Jaksa

Agung dalam melaksanakan tugasnya

bertanggungjawab kepada Presiden. Dengan demikian

lembaga kejaksaan secara institusional berada dalam

posisi yang saling bertentangan. Satu sisi sebagai

penegak hokum harus bertindak indpenden atau

mandiri bebas dari campurtangan pihakmanapun,

disisi lain sebagai aparat pemerintah harus selalu loyal

dan taat pada kekuasaan eksekutif (Presiden).

2. Penuntut Umum Lembaga KPK

Pemberantasan korupsi adalah rangkaian aktivitas penegakan

hokum yang melibatkan perangkat hokum dan lembaga yang

mendukungnya. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 (tiga) UU

No. 30 Tahun 2002, pemberantasan korupsi adalah

serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,

monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta

masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Rangkaian tugas penegakan hokum tersebut

merupakan cakupan tugas KPK dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi, baik yang bersifat preventif berupa tindakan

koordinasi, supervisi, monitoring termasuk kegiatan sosialisasi

Page 133: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

125

dan pendidikan anti korupsi, sedangkan di bidang penegakan

hokum represif, KPK memiliki kewenangan melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK adalah

lembaga “super body” memiliki beberapa kewenangan yang

tidak dimiliki oleh penegak hokum lainnnya. Lembaga KPK

memiliki 3 (tiga) kewenangan sekaligus, sebagai penyelidik,

penyidik dan penuntut sekaligus.

Aturan penindakan dilakukan menurut hokum yang berlaku

(KUHAP) kecuali ditentukan secara khusus. Ketentuan

tersebut ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP, bahwa

segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum

pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut ketentuan

Pasal 39 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002, hokum acara pidana

yang digunakan adalah hokum acara pidana yang berlaku

(KUHAP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan

Page 134: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

126

ketentuan hokum acara pidana dalam UU No. 30 Tahun

2002.22

Kewenangan penuntutan yang dilakukan KPK adalah bersifat

independen, tidak dibawah koordinasi maupun pengawasan

lembaga lain. Pasal 39 ayat (2) UU KPK, menegaskan bahwa

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan

bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Penuntut dalam penegakan tindak pidana korupsi yang

dilakukan KPK adalah Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi. Penuntut Umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi

penuntutan tindak pidana korupsi, yang dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Umum. (Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3) UU KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung oleh sumber

daya manusia yang bersumber dari pegawai tetap, pegawai

22 Pasal 39 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002, menyatakan bahwa hokum acara

pidana diguanakan KPK dalam nelakukan penegakan hokum tindak pidana

korupsi adalah: hokum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pembernatsan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pembernatsan

Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang in.

Page 135: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

127

negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidak tetap (Pasal 3

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sumber

Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sumberdaya manusia penuntutan merupakan pegawai negeri

sipil yang dipekerjakan, berasal dari Kejaksaan. Personil

Kejaksaan yang dipekerjakan di KPK menjadi tenaga penuntut

KPK, dengan tugas dan koordinasi di bawah pimpinan KPK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pegawai Negeri yang

dipekerjakan (penuntut Kejaksaan.pen) tidak kehilangan status

Pegawai Negerinya.

Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih

menjadi pegawai tetap sesuai dengan perayaratan dan tata cara

yang ditetapkan dalam peraturan Komisi. Dengan beralihnya

status kepegawaiannya, pegawai tersebut diberhentikan

dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. (Pasal 7 PP No. 63

Tahun 2005).

Pegawai Negeri yang tidak beralih menjadi pegawai tetap,

statusnya diberhentikan sementara dari pegawai negeri

(Kejaksaan.pen) akan tetapi tidak kehilangan status Pegawai

Negerinya. (Ps. 39 ayat (3) UUNo. 30 Tahun 2002 tentang

KPK Jo Ps. 5 ayat (2) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai

Negeri yang dipekerjakan di KPK dengan masa penugasan

Page 136: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

128

selama 4(empat) tahun, dan dapat diperpanjang hanya dalam

satu kali perpanjangan. (Ps. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005)

Pegawai Negeri (penuntut Kejaksaan.pen) yang dipekerjakan

di KPK berhenti statusnya sebagai personil yang dipekerjakan

bisa terjadi karena: (1). masa penugasan telah berakhir (Ps. 5

ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005), (2). Memasuki batas usia

pensiun (Ps. 18 huruf a Jo Ps. 19 ayat (2) dan (3). karena

sebab lain (Ps. 18 huruf b Jo. Ps 19 ayat (3). Karena sebab lain

berdasarkan Pasal 19 ayat (3), pensiun karena sebab lain

karena: a. Meninggal dunia, b. Atas permintaan sendiri, c.

Pelanggaran disiplin dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi

Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah komisi negara yang

keberadaannya diatur oleh undang-undang bersifat independen

tidak tersubordinasi oleh kekuasaan pemerintah, karena

memang bukan lembaga dibawah pemerintah (eksekutif),

mempunyai kewenangan yang luar biasa dan bersifat super

body, sehingga diharapkan bisa bertindak ujung tombak dan

pemicu (triger mecanism) terhadap aparat penegak hukum

yang lain (Polri dan Kejaksaan) dalam memberantas korupsi,

sehingga penegakan tindak pidana korupsi berjalan optimal

dan profesional.

Fungsi penuntutan KPK secara kelembagaan meskipun

bersifat independen, tidak didukung oleh personil yang murni

Page 137: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

129

sumber daya manusia dari KPK sendiri, termsuk personil

penuntutan. Personil penuntutan (Penuntut Umum) merupakan

personil Penuntut Umum Kejakasaan yang di BKO kan

(Bawah Komando Operasi). Artinya untuk sementara personil

Penuntut Umum Kejaksaan yang diperbantukan kepada KPK,

menjadi pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu

apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan kepada

instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc), atau sewaktu-

waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila instansi asal

membutuhkan. Kondisi ini memungkinkan personil tidak

independen dan kinerja penuntutan tidak maksimal.

C. PENGADILAN TIPIKOR

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum diatur secara khusus

dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK), dasar pembentukannya

ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006

dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan

bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu

Page 138: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

130

lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-

undang tersendiri. Berdasarkan hal tersebut perlu pengaturan

mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam suatu undang-

undang tersendiri.

UU-PTPK merupakan pengadilan khusus di bawah lingkungan

Peradilan Umum, merupakan pengadilan satu-satunya untuk

memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi. Ketentuan

tersebut diatur dalam Pasal 5, yaitu bahwa “ Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak

pidana korupsi”.

Sebelum keluarnya UU-PTPK terjadi “dualisme” pengadilan.

Pertama, pengadilan yang memeriksa dan mengadili tindak pidana

korupsi hasil penyidikandari lembaga kepolisian / kejaksaan dan

penuntutannya dilakukan oleh Penuntut Umum Lembaga

Kejaksaan, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Umum

(Pengadilan Negeri). Kedua, pengadilan yang memeriksa dan

mengadili tindak pidana korupsi hasil penyidikan dan penuntutan

Komisi Pemberantasan Korupsi, diperiksa dan diadili oleh

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 6 UU-PTPK menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana Pasal 5 tersebut di atas, mempunyai kewenangan

untuk memeriksa dan mengadili:

Page 139: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

131

a. tindak pidana korupsi;

b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya

adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain

ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di siding

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan

sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP),

kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan

hukum acara tersebut antara lain mengatur:

a. penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua

dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

b. mengenai komposisi majelis Hakim dalam pemeriksaan di

siding pengadilan baik pada tingkat pertama, banding

maupun kasasi;

c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak

pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan;

d. alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk

alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus

diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

e. adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.

Page 140: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

132

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Hakim

Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan

pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya.

Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan

dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang

menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya

cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan

perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa

pemerintah dan lain-lain.

Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan selain karena kompleksitas

perkara tindak pidana korupsi, juga didasari pada ide dasar untuk

memberikan penguatan kinerja pengadilan tindak pidana korupsi

yang selama ini dianggap cenderung tidak “bersih” karena budaya

suap dlam peradilan. Namun sangat disayangkan kehadiran hakim

ad hoc yang ternyata telah mengangkat kinerja pengadilan tindak

pidana korupsi, dengan komposisi majelis hakim terdiri dari 3

(tiga) hakim ad hocda 2 (dua) hakim karier, dirubah oleh UU-

PTPK. Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) dan (4), Penentuan

mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh ketua

pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai

dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus

demi kasus. Ketentuan mengenai kriteria dalam penentuan jumlah

dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan

Page 141: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

133

memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

Page 142: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

134

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan

dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983,

………………….., Corruption: Its Nature, Causes and

Consequences, Aldershot, Brookfield, Vt: Avebury.

Atrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Hukum Pidana Indonesia dan Vicarious Liability, Jakarta,

PT Raja Grafindo Persada, 1996

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West

Publishing,St.Paul Minesota, 1990

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana

Nasional dan Internsional, Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada, 2005

Hartati, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2005

Klitgaard, Robert, Memberantas Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor

Indonesia, 1988

Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengelompokan Tindak Pidana

Korupsi menurut Buku “Memahami Untuk Membasmi”

Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana

Korupsi, KPK (Komisi Pemberantsan Korupsi), Agustus 2006

Nawawi Arief, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung,

Citra Aditya Bakti, 2003

Page 143: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

135

……………, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya

Bakti, 1998

………….., “Masalah Kelemahan Penegakan Hukum Pidana

Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

………….., Strategi Kebijakan Penanggulangan Korupsi dan

Evaluasi Terhadap Undang- Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Bahan Masukan UntukTim Pakar

Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999

Santoso, Amir, Korupsi : Penyebab dan Saran Pemberantasannya,

dalam Korupsi Musuh Bersama editor Musni Umar,

Jakarta, Lembaga Pencegah Korupsi, 2004

Sidharta, Arief, Praktisi Hukum Dan Perkembangan Hukum,

dalam Bukum Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 79

tahun Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH dengan judul “Wajah

Hukum Di Era Reformasi”, Bandung, Penerbit Citra Aditya

Bakti, 2000

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni,

Cetakan Keempat, 1996

Supandji, Hendarman, “Tindak Pidana Korupsi dan

Penanggulangannya”, Semarang, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2009

………….., Model Penegakan Hukum di Daerah, Persoalan dan

Implementasinya, Kejaksaan Agung RI, 9 Juli 2007

Page 144: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

136

Tanzi, Vito, Corruption, Governmental Activities, and Market,

IMF Working Paper, Agustus 1994

Transparency International-Indonesia, tanggal 10 Maret 2010

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi

Kepres No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kepolisian Republik Indonesia

Page 145: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSIeprints.undip.ac.id/73420/1/PENAGGULANGAN_KORUPSI_(1).pdf · korupsi dalam perspektif yuridis menjadi faktor penting dalam upaya penanggulangan

137

Konggres PBB ke-8/ 1990 mengenai The Prevention of Crime and

the Treatment of Offenders