Upload
phamdang
View
271
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG ISLAM
DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Dalam Ilmu Syariah Dan Hukum
Oleh
Muhammad Aulia Rachman
NPM.1321020098
Jurusan : Siyasah
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1439 H / 2017 M
PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG ISLAM
DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Dalam Ilmu Syariah Dan Hukum
Oleh
MUHAMMAD AULIA RACHMAN
NPM.1321020098
Jurusan : Siyasah
Pembimbing I : Drs. H. Chaidir Nasution, M.H.
Pembimbing II : Drs. Henry Iwansyah, M.A.
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1439 H / 2017 M
ii
ABSTRAK
PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG ISLAM
DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH
Oleh
Muhammad Aulia Rachman
1321020098
Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya
umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu harus
ditempatkan dalam satu nafas sehingga Islam yang
dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka,
inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah
besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang
beragam.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan? dan bagaimana perspektif
Fiqh Siyasah terhadap konsep Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan pemikiran Ahmad Syafii
Maarif ? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan
Ahmad Syafii Maarif mengenai konsep Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan. Serta untuk mengetahui
perspektif Fiqh Siyasah terhadap konsep Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan pemikiran Ahmad Syafii
Maarif.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library
research) yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data yang digunakan
dengan mengadakan penelaahan terhadap buku-buku, literatur-
literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang berhubungan
iii
dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian yang berkaitan
dengan permasalahan ini penulis menggunakan penelaahan yang
pada hal ini penelitian dilakukan dengan meneliti sumber-
sumber data tertulis, yaitu: buku Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan serta buku-buku
kemasyarakatan dalam kehidupan sosial, buku-buku fiqih
siyasah, artikel, makalah seminar, dan tulisan lain yang dapat
dijadikan referensi dalam penelitian ini.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa,
pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan adalah suatu pemikiran
integratif antara Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan dimana
ketiga hal tersebut dapat saling berintegrasi satu sama lain untuk
mewujudkan peradaban Islam di Indonesia yang maju, progresif,
ramah, terbuka, dan inklusif. Perspektif Fiqh Siyasah terhadap
pemikiran Ahmad Syafii Maarif adalah terdapat keserasian
antara prinsip – prinsip Fiqh Siyasah dengan konsep Islam,
keindonesiaan dan kemanusiaan. Kemudian pemikiran Ahmad
Syafii Maarif lebih kepada arah teori pemikiran politik Islam
integrasi seperti yang dianut oleh pemikir politik Islam
kontemporer seperti Husein Haikal, Fazlur Rahman dan
Mohammed Arkoun.
iv
KEMENTERIAN AGAMA
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jl. Letkol H. Endro Suratmin, Sukarame Bandar Lampung. 35131
PERSETUJUAN
Judul skripsi : PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
TENTANG ISLAM DALAM BINGKAI
KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN
DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH
Nama : M. Aulia Rachman
NPM : 1321020098
Program Studi : Siyasah
Fakultas : Syariah dan Hukum
DISETUJUI
Untuk dimunaqasyahkan dan dipertahankan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung.
Pembimbing I
Drs. H. Chaidir Nasution, M.H. NIP. 19580201 198603 1 002
Pembimbing II
Drs. Henry Iwansyah, M.A. NIP. 19581207 198703 1 003
Ketua Jurusan,
Drs. Susiadi AS., M. Sos.I NIP. 195808171993031002
v
KEMENTERIAN AGAMA
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jl. Letkol H. Endro Suratmin, Sukarame Bandar Lampung. 35131
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
Tentang Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan Kemanusiaan
dalam Perspektif Fiqh Siyasah disusun oleh Muhammad Aulia
Rachman NPM 1321020098 Jurusan Siyasah, telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah IAIN Raden
Intan Lampung pada Hari/Tanggal: Rabu, 4 Oktober 2017.
TIM DEWAN PENGUJI
Ketua : Dr. Jayusman, M. Ag. (………………)
Sekertaris : Arif Fikri, SHI., M.Ag (………………)
Penguji I : Dr. Alamsyah. S.Ag., M.Ag (………………)
Penguji II : Drs. H. Chaidir Nasution, M.H. (………………)
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag.
NIP. 197009011997031002
vi
MOTTO
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.1
1 Q.S Al – Hujurat :13
vii
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur yang mendalam, dengan telah
diselesaikannya Skripsi ini Penulis mempersembahkannya
kepada:
1. Mama dan Papa tercinta yang senantiasa selalu
mengajarkan kebaikan, rasa syukur dan keberanian untuk
selalu berada di jalan yang diberkahi Allah, tidak ada
kata yang dapat ananda ucapkan selain ribuan terima atas
segala yang telah Mama dan Papa berikan, kesabaran
dalam do’a mu menjadi kunci suksesnya Ananda di
kemudian hari. Tidak ada do’a yang terkabulkan selain
do’a dari orangtua yang ikhlas. Semoga rahmat, berkah,
karunia dan cinta Allah selalu bersama Mama dan Papa.
2. Adikku Hanifah yang selalu memberikan semangat,
kasih sayang, kesabaran dan do’a dalam mengerjakan
skripsi ini, semoga kebaikan dan kesabaranmu menjadi
amal yang baik bagimu.
viii
RIWAYAT HIDUP
Muhammad Aulia Rachman dilahirkan di Bandar
Lampung pada tanggal 29 April 1995, anak pertama dari dua
bersaudara, buah hati perkawinan pasangan Bapak Zuhri Ali dan
Ibu Marlisna.
Pendidikan yang pernah penulis tempuh yang pertama
yaitu Raudhatul Athfal Aji Daya dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah
Dasar di SD Al - Azhar 2 Bandar Lampung selama enam tahun
yaitu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah pertama di
SMPN 21 Bandar Lampung selama tiga tahun yaitu dari tahun
2006 sampai dengan tahun 2009. Setelah tamat menengah
pertama, penulis menempuh pendidikan menengah atas di
Madrasah Aliyah Negeri 1 (MAN) Model Bandar Lampung
selama tiga tahun yaitu mulai tahun 2009 sampai dengan tahun
2013. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan tinggi, pada Universitas Islam Negeri Raden Intan
Bandar Lampung, mengambil program studi Siyasah pada
Fakultas Syariah.
ix
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang lebih indah selain rasa syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia, berkah dan rahmat-Nya, berupa ilmu pengetahuan,
kesehatan dan petunjuk, sehingga skripsi dengan judul
“Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan dalam Perspektif Fiqh
Siyasah” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan pengikut-
pengikutnya yang setia.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi pada program Srata Satu (S1) jurusan
Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan
Bandar Lampung guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
dalam bidang ilmu syari’ah.
Atas bantuan pihak dalam proses penyelesaian skripsi
ini, tak lupa dihaturkan terimakasih sedalam-dalamnya. Secara
rinci ungkapan terimakasih itu disampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag.,M.,Ag selaku Dekan
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan
Bandar Lampung yang senantiasa tanggap terhadap
kesulitan-kesulitan mahasiswa.
2. Bapak Drs. H. Chaidir Nasution, M.H dan Drs. Henry
Iwansyah, M.A., masing-masing selaku Pembimbing I
dan Pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktu dalam membimbing, mengarahkan dan
memotivasi hingga skripsi ini selesai.
3. Bapak dan Ibu Dosen, serta para Staf Karyawan Fakultas
Syari’ah.
4. Pemimpin dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Universitas yang telah memberikan informasi, data,
referensi dan lain-lain.
5. Para sahabat seperjuangan yang senantiasa memberikan
semangat dan waktunya dalam hal berdiskusi khususnya
x
kepada Bayak Djakasuria, Dirta Sanjaya Agung Putra
dan Irfan Ahadis untuk terus mendorong agar segera
terselesaikannya skripsi ini. Semoga waktu dan kebaikan
kalian diberikan ganjaran yang terbaik dari Allah SWT.
6. Seluruh teman-teman Siyasah angkatan 2013 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung yang telah saling mendukung di hari-hari
penyusunan skripsi ini, khususnya Idham Nurcholis dan
Sahal Mustofa yang sudah mengikhlaskan waktunya
membantu dan memberikan motivasi sejak masa
perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini, semoga
Allah SWT membalas kebaikan kalian dengan sebaik-
baiknya balasan.
7. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Syariah dan Hukum UIN Raden Intan
Lampung yang senantiasa memberikan curahan fikiran,
pengalaman dan referensi agar penulisan skripsi ini
berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan penulis, sangat
bahagia rasanya dapat mengenal kalian semua dan
menjadi bagian keluarga besar Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Komisariat Syariah dan Hukum UIN Raden
Intan Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, hal itu tidak lain disebabkan karena keterbatasan
kemampuan, waktu, dan data yang dimiliki. Untuk itu kiranya
para pembaca dapat memberikan masukan dan saran-saran, guna
melengkapi penulisan ini.
Akhirnya, diharapkan betapapun kecilnya karya tulis
(skripsi) ini dapat menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, .................2017
Penulis,
Muhammad Aulia Rachman
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................... i
ABSTRAK ............................................................................ ii
PERSETUJUAN .................................................................. iii
PENGESAHAN ................................................................... iv
MOTTO ................................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP .............................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ............................................. 1
B. Alasan Memilih Judul ..................................... 2
C. Latar Belakang Masalah .................................. 3
D. Rumusan Masalah ........................................... 7
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ................... 7
F. Metode Penelitian ............................................ 8
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fiqh Siyasah ................................... 11
B. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah .......................... 14
C. Prinsip Siyasah tentang Bernegara dan
Bermasyarakat
1. Menurut Al – Qur’an ............................... 16
2. Menurut Hadist ......................................... 25
D. Teori Fiqh Siyasah tentang Agama dan
Negara Modern ............................................... 28
1. Teori Sekuleristik ...................................... 30
2. Teori Teokrasi ........................................... 33
3. Teori Integrasi .......................................... 39
xii
BAB III : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AHMAD
SYAFII MAARIF TENTANG ISLAM
DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN
KEMANUSIAAN
A. Riwayat Hidup Ahmad Syafii Maarif ............. 47
B. Karya – karya Ahmad Syafii Maarif ............... 54
C. Kondisi Sosial – Politik pada Masa Ahmad
Syafii Maarif dan Kepemimpinan Beliau di
Muhammadiyah ............................................... 57
D. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
Tentang Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan ............................................ 61
1. Islam dan Nusantara .................................. 61
2. Islam dan Kemanusiaan............................. 70
3. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan ............................................ 73
BAB IV : ANALISIS
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam
dalamBingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Perspektif Fiqh Siyasah ........................................ 79
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................... 87
B. Saran ................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya terlebih
dahulu penulis akan menegaskan arti dan maksud dari istilah-
istilah yang terdapat pada judul ini. Adanya penegasan tersebut
diharapkan tidak akan menimbulkan pemahaman yang berbeda
dengan apa yang penulis maksudkan, sebab judul adalah
kerangka dalam berfikir dan bertindak dalam suatu penelitian
ilmiah. Hal ini untuk menghindari penafsiran yang berbeda di
kalangan pembaca suatu karya imiah, maka perlu adanya suatu
penjelasan dengan memberi arti beberapa istilah yang
terkandung di dalam judul skripsi ini. Penelitian yang akan
penulis lakukan ini berjudul: "PEMIKIRAN AHMAD SYAFII
MAARIF TENTANG ISLAM DALAM BINGKAI
KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN DALAM
PERSPEKTIF FIQH SIYASAH". Judul tersebut terdiri dari
beberapa pokok pembahasan dalam kajian yang penulis buat
yakni:
1. Pemikiran sendiri berarti kegiatan akal manusia untuk
mencermati suatu pengetahuan yang telah ada, untuk
mendapatkan atau mengeluarkan pengetahuan yang baru.1
2. Ahmad Syafii Maarif adalah seorang adalah seorang
ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Ia pernah
menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah,
Presiden World Conference on Religion for Peace
(WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal
sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen
kebangsaan yang tinggi.
3. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan adalah sebuah buku yang berisi gagasan reflektif sejarah
1 Jamaluddin, Berfikir Apa dan Bagaimana, Surabaya Indah, 1989.
hlm.26
2
inklusif dari seorang cendekiawan muslim dan guru
bangsa, Ahmad Syafii Maarif. 2
4. Perspektif merupakan suatu sudut pandang dalam
melihat realita yang ada sehingga perspektif memiliki
cakupan ruang yang begitu luas.
5. Fiqh Siyasah adalah adalah suatu konsep Fiqh yang
berguna untuk mengatur hukum ketatanegaraan dalam
bangsa dan negara yang bertujuan untuk mencapai
kemaslahatan dan mencegah kemudharatan dengan nilai –
nilai Islami.3
Berdasarkan penjelasan istilah-istilah yang terdapat dalam
judul, maka dapat diambil suatu pemahaman, bahwa yang
dimaksud dengan "PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
TENTANG ISLAM DALAM BINGKAI
KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN DALAM
PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ", adalah pandangan dari fiqh
siyasah terhadap Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam
dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan terkait
perkembangan Islam di Indonesia selama ini.
B. Alasan Memilih Judul
Adapun yang menjadi tujuan peneliti untuk membahas
judul tersebut ialah:
Alasan Objektif :
1. Ingin lebih menguasai Konsep pemikiran Ahmad Syafii
Maarif tentang Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan selama ini.
2 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung : Mizan, 2015) cover belakang. 3 Shobir Thoimah, Dirosatu Fi Nidhomih Islam, Dar Al-Ajil, Beirut.
Hlm. 178.
3
2. Untuk mengkaji lebih dalam tentang Konsep Islam
dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan yang
dikaji melalui perspektif fiqh siyasah.
Alasan Subjektif :
1. Pembahasan ini sangat relevan dengan disiplin ilmu
pengetahuan yang penulis pelajari di Fakultas Syariah
Jurusan Siyasah.
2. Tersedianya literatur yang menunjang sebagai referensi
kajian dalam usaha menyelesaikan karya ilmiah ini.
C. Latar Belakang Masalah
Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya
umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu harus
ditempatkan dalam satu nafas sehingga Islam yang
dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka,
inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah
besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang
beragam. 4
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya di mana Islam
sering disalah pahami dengan cara diasingkan dari fakta budaya
dan sosial lingkungannya.5 Sehingga mengakibatkan Islam
menjadi ahistoris dan gamang menghadapi perubahan, atau juga
gagal dalam mengemban misinya menuntun peradaban, konsep
Islam dan integrasi dengan nilai – nilai keindonesiaan masih
dipermasalahkan oleh beberapa pihak seolah Pancasila belum
dapat memberikan ruang yang cukup bagi Islam, keindonesiaan
4 Ahmad Syafii Maarif, Op.cit.hlm. 17
5 Charles Kurzman, ―Pengantar Islam Liberal dan Kontekss dan
Kontekss Islaminya‖. Dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal
Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu- isu Global, terj. Bahrul Ulum dan
Heri Junaidi (Jakarta, Paramadina, 2003), hlm. xlv-lx.
4
dan nilai – nilai kemanusiaan untuk berkembang dan menuntun
ke arah peradaban yang gemilang.
Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia, wacana mengenai kebangsaan, kemanusiaan dan
kemajuan peradaban menjadi tema yang banyak
diperbincangkan oleh para akademisi, pegiat humanis dan
cendikiawan muslim tanah air. Hal ini menjadi suatu
keniscayaan mengingat Indonesia memiliki keragaman budaya,
ras, dan agama yang merupakan suatu konstruksi berdirinya
Negara Republik Indonesia.
Furnivaal, seorang sejarawan asal Inggris merasa
pesimis dengan masyarakat plural di Indonesia. Ia bahkan
meramalkan bahwa masyarakat Indonesia yang plural akan
mengalami kegagalan karena potensi konflik yang besar.6
Pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat
majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common
will). 7
Hal ini bisa kita lihat dari konflik yang terjadi berakar
dari tidak adanya kata sepakat dari pelaku konflik di Indonesia
yang selalu saja mengklaim golongan, suku, agama yang mereka
adalah yang paling benar. Klaim kebenaran (truth claim) dengan
cara membabi buta ini merusak kerukunan dan kedamaian
sebagai kehendak (tujuan) utama dan bersama di Indonesia.
Salah satu konflik yang banyak yang terjadi di Indonesia adalah
konflik yang bernuansakan agama.8
6 M. Dawam Rahardjo dalam Kata Pengantar, Budhy Munawar
Rachman, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Islam progresif dan
perkebambangan diskursusnya (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2010) hlm. LI. 7 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo, 1995)
hlm. 29. 8 Dari tahun ke tahun konflik dan kekerasan atas nama agama masih
terus terjadi di Indonesia. Data-data ini dapat dilihat dalam laporan The
Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan
Beragama dan Toleransi TWI 2011 (Jakarta, 2011).
5
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, dikenal dengan Buya
Syafii Maarif, adalah seorang cendekiawan muslim yang
concern dalam bidang politik Islam. Ia berlatar belakang
pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian
melanjutkan kesarjanaannya dalam bidang sejarah. Salah satu
buku beliau yaitu Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan
Kemanusiaan karya Ahmad Syafii Maarif adalah sebuah
masterpiece yang memberikan sumbangan sangat berharga bagi
bangsa Indonesia untuk memahami keislaman dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan.
Ahmad Syafii Maarif menggambarkan situasi bumi
Nusantara yang mulai memicu konflik di era modern, penyebab
utamanya bukan karena perbedaan agama, melainkan lebih
banyak dipicu oleh perbedaan kepentingan politik dan ekonomi,
karena dipelopori oleh para provokator tidak bertanggungjawab,
parokial, dan berniat buruk. Mereka ini cenderung menyukai
konflik dan gemar mengeruk keuntungan dari kondisi keruh.
Sebagiannya lagi, kondisi buruk tersebut dipicu oleh adanya
sikap pongah sekelompok penganut ajaran Islam tertentu, yang
menganggap kelompok lain sebagai Islam cacat.
Dalam buku ini Ahmad Syafii Maarif mencari formulasi
solusional terhadap permasalahan, tantangan, serta hambatan
yang dialami bangsa Indonesia, terkait Islam dan kebangsaan.
Untuk tujuan itu, Buya telah berhasil mendeteksi adanya tiga
kisaran sumber problema bangsa ini, sekaligus menemukan
kunci pemecahannya. Kunci tersebut rupanya terletak pada isu
keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Berbagai problema
yang telah dan mungkin timbul akibat pergesekan sosial, yang
dilatari oleh persoalan yang mengatasnamakan agama, politik,
ekonomi atau berbagai corak kepentingan lainnya, diyakini
dapat dengan mudah diselesaikan bila mampu menyelaraskan
tiga poros tersebut, sebagai bentuk keharmonisan antara
perbedaan untuk membangun sebuah peradaban yang gemilang.
Hal ini sejalan dengan perintah Al-Quran pada Surat Al –
Hujurat ayat 13 yaitu :
6
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Fiqh siyasah salah satu ilmu dalam rumpun Fiqh telah
memberikan beberapa prinsip terkait hubungan dalam bernegara
dan bermasyarakat agar nilai-nilai Islam dapat menuntun ke arah
peradaban yang lebih gemilang, di mana prinsip – prinsip
tersebut digali melalui Al – Qur‘an dan Hadist. Termasuk
mengenai beberapa prinsip kajian fiqh siyasah pula membahas
tentang Pemikiran Politik Islam yang diwakili para pemikir
muslim dari era klasik hingga kontemporer yang membahas
mengenai negara, bangsa, kemanusiaan dan masyarakat.
Pemikiran dari para pemikir muslim ini pula yang nantinya
memberikan warna dengan 3 model konsepsi bernegara dan
bermasyarakat dalam Islam yaitu model sekuleristik, teokrasi,
dan integrasi.
Mengingat pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan yang
bersifat persuasif agar para kader bangsa dapat merawat
Indonesia melalui nilai – nilai Islam yang memanusiaakan dan
merawat kebangsaan, maka dari itu penulis berusaha melihat
perspektif fiqh siyasah terkait hal tersebut melalui prinsip –
prinsip fiqh siyasah dan pemikiran politik terkait negara, bangsa,
dan kemanusiaan dari para pemikir muslim.
7
Atas dasar hal – hal sebagaimana dipaparkan di atas
penulis mengangkat judul ini untuk dijadikan skripsi mengenai
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan perspektif fiqh siyasah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam
dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan ?
2. Bagaimana perspektif Fiqh Siyasah terhadap konsep Islam
dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan pemikiran
Ahmad Syafii Maarif ?
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian.
a. Untuk mengetahui pandangan Ahmad Syafii Maarif
mengenai konsep Islam dalam bingkai keindonesiaan
dan kemanusiaan.
b. Untuk mengetahui perspektif fiqh siyasah terhadap
konsep Islam dalam bingkai keindonesiaan dan
kemanusiaan pemikiran Ahmad Syafii Maarif.
2. Kegunaan penelitian
a. Kegunaan secara teoritis sebagai sumbangan ilmu
pengetahuan kepada pembaca untuk mengetahui lebih
rinci pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam
dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dalam
kajian Fiqih Siyasah.
b. Kegunaan praktis yaitu untuk memperluas wawasan
bagi penulis, untuk memenuhi syarat akademik dalam
menyelesaikan studi di Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Raden Intan Lampung.
8
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka
(Library Research), yaitu serangkaian kegiatan yang
berkenan dengan metode pengumpulan data pustaka,
membaca, dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian9. Dalam penelitian ini data yang akan dibaca
dan dicatat adalah buku-buku hasil karya Syafii Maarif
sebagai rujukan utama serta menggunakan buku-buku
karya ilmuan sosial-keagamaan lain yang bertamakan
keindonesiaan, kemanusiaan dan keagamaan sebagai
rujukan tambahan untuk memahami pandangan Syafii
Maarif tentang Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis-
faktual karena yang diteliti adalah pemikiran seorang
tokoh.10
2. Data dan Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian pustaka
adalah subjek data diperoleh. Data dan sumber data
yang diperlukan dalam penulisan ini dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu:
a. Data Primer
Merupakan literatur yang langsung
berhubungan dengan Al – Qur‘an dan hadist terkait
Prinsip – Prinsip Siyasah kemudian karya ilmiah
Syafii Maarif terkait esai dan buku Islam dalam
bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan.
9 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2004), hlm. 3. 10
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), hlm. 136.
9
b. Data Sekunder
Yaitu sumber data yang berupa buku, koran, karya
tulis, majalah, bulletin, dan artikel-artikel yang
dapat mendukung dalam penulisan penelitian ini
yang kaitanya dengan pemikiran Islam klasik
hingga kontemporer, Indonesia dan kemanusiaan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
dengan mengadakan penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang
dipecahkan. Dalam penelitian yang berkaitan dengan
permasalahan ini penulis menggunakan penelaahan
yang dalam hal ini penelitian lakukan dengan meneliti
sumber-sumber data tertulis, yaitu: buku Islam dalam
bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, pemikiran
politik Islam, buku-buku Fqih Siyasah, artikel, makalah
seminar, dan tulisan lain yang dapat dijadikan referensi
dalam penelitian ini.
4. Metode Analisa Data
Adapun metode analisa data yang penulis
gunakan adalah metode
deduktif dan induktif, yakni :
a. Deduktif, dipakai untuk mengambil kesimpulan
dari uraian yang bersifat umum kepada
pengertian khusus atau detail. Dengan harapan
keterangan – keterangan dari data yang diperoleh
dapat dispesifikasikan dan disimpulkan serta bisa
memperoleh gambaran utuh tentang Konsep
Islam dalam bingkai keindonesiaan dan
kemanusiaan.
b. Induktif, yaitu suatu cara pengenalisaan obyek
ilmiah tertentu dari ketentuan – ketentuan khusus
kemudian menarik kesimpulan umum. Dengan
10
metode ini akan dianalisa konsep pemikiran
Ahmad Syafii Maarif menganai Islam dalam
bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan
kemudian diambil kesimpulannya tentang
bagaimanakah pandangan dari fiqh siyasah
tentang konsep Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fiqh Siyasah
Kata fiqh siyasah yang dalam tulisan bahasa
Arabnya adalah ― السياسه الفقه ” berasal dari dua kata yaitu
kata fiqh ( الفقه) dan yang kedua adalah al-siyasi ( السياسهه) Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang
diambil dari ayat Al – Qur‘an, yang menyatakan :
...............
―kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami
banyak dari apa yang kamu bicarakan............‖.11
Secara
istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti mengerti
hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali
dari dalil-dalilnya secara terperinci.12
Sedangkan al-siyasi pula, secara bahasa berasal dari
― سياسههه – يسههه – سهها ” yang memiliki arti mengatur
( دبر/أمر ), seperti di dalam hadis:
كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤىم أي تتوىل أمورىم كما يفعل “ ”األمراء والوالة بالرعية
yang berarti: ―Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi
mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan
mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada
rakyatnya‖.
11
QS. Hud : 91 12
Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dâr al-
Fikr, 2001) vol. 1, 18.
12
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-
siyasi maka fiqh siyasah yang juga dikenal dengan
nama siyasah syar‘iyyah secara istilah memiliki berbagai
arti:
1. Menurut Imam Al-Bujairimi, fiqh siyasah adalah
memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur
dengan cara memerintah mereka dengan sebab
ketaatan mereka terhadap pemerintahan menuju
kemaslahatan.13
2. Menurut Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu’un al-
Islamiyyah bi al-Kuwait, fiqh siyasah adalah
memperbagus kehidupan manusia dengan
menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat
menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan
akan datang, serta mengatur permasalahan mereka.14
3. Menurut Imam Ibn ‗Abidin, fiqh siyasah adalah
kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya
kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia
maupun di akhirat. Siyasah berasal dari Nabi, baik
secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir,
maupun batin. Segi lahir, siyasah berasal dari para
sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara
batin, siyasah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi
bukan dari pemegang kekuasaan.15
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat
dua unsur penting di dalam fiqh siyasah yang saling
berhubungan secara timbal balik, yaitu yang pertama adalah
pihak yang mengatur dan yang kedua adalah pihak yang
13
Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Hasyiah al-
Bujairima ala al-Manhaj (Bulaq: Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.), vol. 2,
178. 14
Wuzarat al-Awqaf wa al-Syu‘un al-Islamiyyah bi al-Kuwait, Al-
Mausu'at al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol.
25, 295. 15
Ibn ‗Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar (Beirut:
Dar Ihya al-Turats al-‗Arabi, 1987), vol. 3, 147.
13
diatur.16
Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A.
Djazuli, menyatakan bahwa fiqh siyasah itu mirip dengan
ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro
bahwa dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara
yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.17
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh
siyasah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti
yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyasah tidak
hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga
pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan
(ishlah). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya
menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan.18
Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa
dalam menjalani politik di dalam hukum Islam haruslah
terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan
syariat Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan
pokok-pokok syariah yang kulli.
16
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.28. 17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan
Politik (Bandung: Eresco, 1971) hlm.6. 18
H. A. Djazuli, Op.Cit.hlm.28.
14
B. Ruang lingkup fiqh siyasah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. Ada
yang membagi menjadi lima bidang, ada yang membagi
menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini
tidaklah terlalu prinsipil. Menurut Imam Al-Mawardi,
seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyasah-nya
yaitu Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, maka dapat diambil
kesimpulan ruang lingkup fiqh siyasah adalah sebagai
berikut19
:
1. Siyasah Dusturiyyah
2. Siyasah Maliyyah
3. Siyasah Qadla‘iyyah
4. Siyasah Harbiyyah
5. Siyasah Idariyyah
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam
kitabnya yang berjudul al-Siyasah al-Syar‘iyyah, ruang
lingkup fiqh siyasah adalah sebagai berikut20
:
1. Siyasah Qadla‘iyyah
2. Siyasah Idariyyah
3. Siyasah Maliyyah
4. Siyasah Dauliyyah/ Siyasah Kharijiyyah
Sementara Abdul Wahab Khalaf lebih
mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian, yaitu21
:
1. Siyasah Qadla‘iyyah
2. Siyasah Dauliyyah
3. Siyasah Maliyyah
19
Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-
Wilayat al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Alamiyyah, 2006), 4;
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
hlm.13. 20
Ibid., hlm.13. 21
Ibid.
15
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M.
Hasbi, justru membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi
delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:22
1. Siyasah Dusturiyyah Syar‘iyyah (kebijaksanaan
tentang peraturan perundang-undangan)
2. Siyasah Tasyri‘iyyah Syar‘iyyah (kebijaksanaan
tetang penetapan hukum)
3. Siyasah Qadla`iyyah Syar‘iyyah (kebijaksanaan
peradilan)
4. Siyasah Maliyyah Syar‘iyyah (kebijaksanaan ekonomi
dan moneter)
5. Siyasah Idariyyah Syar‘iyyah (kebijaksanaan
administrasi negara)
6. Siyasah Dauliyyah/ Siyasah Kharijiyyah Syar‘iyyah
(kebijaksanaan hubungan luar negeri atau
internasional)
7. Siyasah Tanfidziyyah Syar‘iyyah (politik pelaksanaan
undang-undang)
8. Siyasah Harbiyyah Syar‘iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh
siyasah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok.
Pertama, politik perundang-undangan (Siyasah
Dusturiyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang
penetapan hukum (Tasyri’iyyah) oleh lembaga legislatif,
peradilan (Qadla’iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan
administrasi pemerintahan (Idariyyah) oleh birokrasi atau
eksekutif.23
Kedua, politik luar negeri (Siyasah Dauliyyah/
Siyasah Kharijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara warga negara yang muslim dengan yang
bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga
ada politik masalah peperangan (Siyasah Harbiyyah), yang
mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang,
pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan
22
H.A. Djazuli, Op.cit, hlm.30. 23
Muhammad Iqbal, Op.cit, hlm.13.
16
senjata.24
Ketiga, politik keuangan dan moneter (Siyasah
Maliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber
keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,
perdagangan internasional, kepentingan/ hak-hak publik,
pajak dan perbankan.25
C. Prinsip Siyasah Tentang Bernegara
1. Menurut Al – Qur’an
a. Prinsip Manusia Sebagai Umat yang Satu
................
Artinya : Manusia itu adalah umat yang
satu26
..........
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan,
dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
taqwa di antara kamu.27
24
Ibid., hlm. 14. 25
Ibid. 26
Q.S. Al-Baqarah : 213 27
Q.S. Al-Hujurat :13
17
b. Prinsip Kepemimpinan
..........
Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara
kamu.28
c. Prinsip Musyawarah
Musyawarah memegang peranan penting dalam
pengambilan keputusan urusan umat beriman. Bahkan
isyarat pentingnya musyawarah ini diapit oleh penjelasan
Al-Qur'an tentang orang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian hartanya sebagai orang yang
mematuhi seruan Allah. Ini menandakan bahwa
musyawarah merupakan prinsip penting dalam Islam yang
posisinya hanya setingkat di bawah kewajiban shalat.
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
salat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka.29
d. Prinsip Persatuan dan Persaudaraan
28
Q.S.An – Nisa :59 29
Q.S.Asy - Syu’ara:38
18
Artinya : Sesungguhnya orang orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.30
e. Prinsip Persamaan
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal.31
f. Prinsip Hidup Bertetangga / Hubungan antar Negara
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,
30
Q S.AI-Hujurat :10 31 Q.S. Al-Hujurat :13
19
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh.32
g. Prinsip Tolong-Menolong dan Membela yang Lemah
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan
(pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil
haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
32 Q.S.An – Nisa :36
20
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya.33
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.34
h. Prinsip Membela Negara
Artinya : Jika kamu tidak berangkat untuk berperang,
niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang
lain dan kamu tidak akan dapat memberi
33 Q.S.Al – Maidah :2 34 Q.S.At – Taubah :71
21
kemudaratan kepada-Nya sedikit pun. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.35
i. Prinsip Hak-hak Asasi
1) Hak untuk Hidup
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu alasan yang
benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya
(atau penguasa untuk menuntut si
pelaku), tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. 36
2) Hak atas Penghormatan dan Kehidupan Pribadi
35
Q.S.At – Taubah : 39 36
Q.S.A1 – Isra : 33
22
Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah
suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok olok) Iebih dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-
wanita (mengolok-olokkan) wanita-
wanita lain (karena) boleh jadi wanita-
wanita (yang diperolokkan) Iebih baik
dari wanita (yang mengolok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri (sesama mukmin) dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk.37
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing
37
Q.S.Al – Hujurat :11
23
sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah.38
3) Hak Berpendapat dan Berserikat
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.39
4) Hak Kebebasan Beragama, Toleransi atas Agama
dan Hubungan antar Pemeluk Agama
.....................
38
Q.S. AI –Hujurat :12 39
Q.S.An – Nisa : 59
24
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah........40
.............
Artinya : Dan janganlah kamu memaki-maki
sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan......41
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku, adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kamu
karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku
adil.42
40
Q.S.AI-Baqarah :256 41
Q.S.Al-An'am :108 42
Q.S Al – Mumtahanah :8
25
j. Prinsip Amal Makruf dan Nahi Munkar
.......................
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dan yang munkar dan beriman
kepada Allah....... 43
k. Prinsip dalam Menetapkan Para Pejabat atau
Pelaksana Suatu Urusan
.......................
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling baik untuk
kamu pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya (dapat diserahi amanat). 44
2. Menurut Hadist
a. Prinsip Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
ر راع والرجل راع كلكم راع وكلكم مسؤول عن راعيتو واألمي لده وكلكم راع على أىل ب يتو والمرأة راعية على ب يت زوجها وو
وكلكم مسؤول عن راعيتو
Artinya : Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan
bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya,
seorang kepala negara yang memimpin rakyat
bertanggung jawab atas mereka, dan seorang
43
Q.S.Ali – lmran :l10 44
Q.S.AI-Qashash :26
26
laki-laki adalah pemimpin penghuni rumahnya
dan bertanggung jawab atas mereka (Muttafaq
'alaih). 45
b. Prinsip Hubungan antara Pemimpin dan yang Dipimpin
Berdasarkan Persaudaraan Saling Mencintai
يصلون خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون عليهم وتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم ،وتلعنونهم عليكم، وشرار أئم
ويلعنونكم
Artinya : Pemimpin-pemimpin kamu yang baik adalah
pemimpin-pemimpin yang mencintai mereka
(rakyat) dan mereka mencintai kamu, mereka
mendoakan kamu dan kamu mendoakan mereka.
Sedangkan pemimpin-pemimpin kamu yang tidak
baik adalah para pemimpin yang kamu benci dan
mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka
dan mereka melaknat kamu (H.R. Ahmad). 46
c. Prinsip Kebebasan Berpendapat
لكم ثلثا، أن تعبدوه، ول تشركوا به شيئا، وأن إن هللا يرضى قوا تعتصموا بحبل هللا جميعا ول تفر
Artinya : Sesungguhnya Allah meridai bagi kamu tiga hal:
bahwa hendaklah kamu menyembah-Nya dan
jangan menyekutukan-Nya, bahwa kamu
berpegang kepada tali Allah dan jangan kamu
terpecah belah, dan bahwa kamu memberi
nasehat (kritik) terhadap orang-orang yang
menjadi pemimpin kamu (H.R.Muslim). 47
45
Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Al-Maktab Al-Islami, Jilid II, t.t,
hlm. 5 dan 54. 46
Ahmad Bin Hanbal, Musnad, Jilid VI, Hlm. 24. 47
Dikutip Dalam Ibn Taimiyah, Loc. Cit.
27
d. Prinsip dalam Mengangkat Para Pejabat Negara atau
Peiaksana Suatu Urusan
ع اعة إذا ضي كيف إضاعتها يا رسول : قال . ت األمانة فانتظر الس
اعة : هللا؟ قال إذا أسند األمر إلى غير أهله فانتظر الس
Artinya : Jika kamu menghilangkan amanat maka
tunggulah masa kehancuran, Ditanyakan:
"Bagaimana yang dimaksud
menghilangkannya?" Beliau menjawab, "Jika
suatu perkara diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya."48
e. Prinsip Persaudaraan
لتباغضوا، ولتحاسدوا، ولتدابرو، ولتقاطعوا، وكونواعبادهللا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلث إخوانا، ول
Artinya : Janganlah kamu saling membenci, saling
menghasut, dan saling membelakangi, tapi
jadilah kamu sebagai hamba Allah yang
bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim
memutuskan hubungan dengan saudaranya di
atas tiga hari (H.R. Bukhari). 49
Ayat-ayat dan hadis-hadis di atas tampak bahwa Al –
Qur‘an dan Sunnah Rasul tidak menentukan sistem dan
bentuk tertentu mengenai kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang harus diikuti umat Islam, melainkan dasar-
dasarnya saja. Tapi dari dasar dan prinsip-prinsip itu dapat
dikembangkan sistem sosial pemerintahan dan sistem
ekonomi sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, sistem dan
bentuk pemerintahan serta teknis pengelolaan diserahkan
kepada kehendak umat sesuai dengan masalah-masalah
48
Sebagaimana Dikutip Dalam Abdul Karim Zaidan, "Individu Dan
Negara Menurut Pandangan Islam" Dalam Hamidullah Dkk, Politik Islam,
Konsepsi Dan Dokumentasi, Terjernahan Jamaluddin Kafie,Cs, PT Bina
Ilmu,Surabaya, 1987, hlm. 170. 49
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jilid IE, Juz 8, hlm. 13.
28
kehidupan duniawi yang timbul pada tempat dan zaman
mereka.50
D. Teori Fiqh Siyasah Tentang Agama Dan Negara
Modern
Wacana seputar konsep negara Islam telah
melahirkan kontroversi dan polarisasi intelektual di
kalangan pemikir politik Islam. Apakah benar, misalnya
Rasulullah pernah mendirikan atau menganjurkan negara
Islam (Islamic state), bukan negara suku (clannish state)
seperti yang dikemukakan Ali Abdur Raziq. Apakah
institusionalisasi Islam dalam bentuk negara merupakan
kewajiban syariat ataukah semata-mata kebutuhan rasional
seperti yang diteorikan Ibnu Khaldun ?
Secara garis besar terdapat dua kekuatan dalam
memandang Islam dan negara. Pertama, kaum subtansialis,
yang memiliki pokok-pokok pandangan sebagai berikut :
1. Bahwa substansi atau kandungan iman dan amal lebih
penting daripada bentuknya.
2. Pesan-pesan Al-Qur'an dan hadis, yang bersifat abadi
dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus
ditafsirkan kembali oleh masing-masing generasi kaum
muslim sesuai dengan kondisi sosial pada masa mereka.
3. Mereka menerima struktur pemerintahan yang ada
sekarang sebagai bentuk negara yang final.
Kedua, kaum skripturalis, mereka berpandangan bahwa
pesan-pesan agama sebagian besarnya sudah jelas
termaktub di dalam Al-Qur'an dan hadis. Selanjutnya hanya
50
Suyuthi Pulungan, Fikih Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran,
Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014. hlm. 22
29
perlu diterapkan dalam kehidupan. Karena itu, mereka
cenderung lebih berorientasi kepada syariat.51
Dari kedua kelompok tersebut jelas bahwa di satu
pihak institusi negara Islam tidaklah perlu, yang terpenting
adalah komitmen penerapan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan berbangsa, ini dianut oleh kaum subtansialis. Di
pihak lain, kelompok skripturalis, yang berpandangan
bahwa pesan-pesan agama perlu adanya institusi yang
mengaturnya yaitu negara Islam, yang berorientasi pada
syariat.
Bila diamati dengan saksama, sesungguhnya kedua
kelompok tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama, yaitu sama-sama ingin mengartikulasikan pesan
agama dengan penuh komitmen dan integral (kaffah).
Tujuan yang sama inilah yang hendaknya dibangun dan
dikedepankan, berlomba-lomba dalam kebaikan dan
kebenaran. Terutama saat ini, dengan menjamurnya partai
politik Islam.
Azyumardi Azra melihat adanya tiga corak
kecenderungan baru, yaitu formalistik (menurut aturan
secara kaku) artinya melihat Islam sebagaimana aturan yang
ada tanpa melihat isi, substantifistik (hakikat, inti) artinya
memunculkan Islam dari sisi substansinya bukan sebagai
ajaran formalnya, dan sekularistik, artinya melihat agama
sebagai ajaran yang terpisah dengan urusan duniawi. Dari
tiga kecenderungan yang diajukannya, ia menganjurkan
Islam semestinya memakai pola substantifistik, artinya
memunculkan Islam dari sisi substansinya bukan sebagai
ajaran formalnya.52
Melihat hubungan agama dan negara sebagaimana
diungkapkan di atas, bahwa secara umum, ada tiga macam
51
Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, Terj. Chaniago, Mizan, Bandung, 2004, hlm. 285-
289. 52
Republika, 25 Mei 1999.
30
arus umum wacana (discourse) tentang hubungan agama
dan negara, yakni (1) pemikiran yang menghendaki
keterpisahan agama dari sistem kenegaraan, (2) wacana
yang melihat hubungan komplementer agama dan negara,
(3) wacana yang bercorak integratif.
1. Teori Sekuleristik
Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan
(disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara
atas agama. Konsep Ad-dunya al-akhirah, ad-din ad-
dawlah atau umur ad-dunya umur ad-din dikotomikan
secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini
menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling
tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu
dari negara.53
Pemrakarsa paradigma sekularistik salah
satunya, adalah Ali Abdul Al-Raziq 54
seorang
cendekiawan Muslim dari Mesir.
Dalam bukunya, Al-Islam wa Ushul al-Hukm,
Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekadar agama
dan tidak mencakup urusan negara, Islam tidak
mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan
kekhalifahan, kekhalifahan termasuk kekhalifahan al-
Khulafa' ar-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik
keagamaan atau keislaman tetapi sebuah sistem yang
duniawi. Ali Abdul Al-Raziq sendiri menjelaskan
pokok pandangannya bahwa, Nabi Muhammad SAW
itu hanyalah seorang Rasul yang bertugas
menyampaikan seruan agama. Beliau semata-mata
53
Muhammad Albahy, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan
Fakta, Alih bahasa: Hadi Mulyo, Ramadhani, Solo, 1988, hlm. 10. 54
la adalah seorang hakim di Mesir sejak tahun 1330 H (1915 M.),
dan aktifis politik (dalam Hizb al-Ummah, salah satu organisasi politik
radikal saat itu, ia menjabat sebagai wakil Ketua). Pada tahun 1925 M., ia
menerbitkan bukunya yang sangat kontroversial, yaitu al-Islam wa Ushul al-
Hukm. Akibat buku ini, jabatan hakim yang disandangnya dicopot oleh
Majelis Ulama Tertinggi Mesir. Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1992,
hlm. 102 – 103
31
mengabdi kepada agama tanpa disertaai kecenderungan
terhadap kekuasaan maupun kedudukan sebagai raja.
Nabi bukanlah seorang penguasa maupun
pemegang kuasa tertinggi dalam pemerintahan negara.
Beliau tidak pernah mendirikan suatu negara dalam
pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.
Sebagaimana halnya dengan para Nabi yang telah
mendahuluinya, Muhammad SAW hanyalah seorang
Rasul. Beliau bukanlah seorang raja, pendiri suatu
negara, maupun penganjur berdirinya suatu
pemerintahan politik seperti itu.55
Pemikiran tersebut
berangkat dari pemahaman Ali Abdul Al-Raziq bahwa
Nabi Muhammad Saw adalah semata-mata utusan
(Allah) untuk mendakwahkan agama murni tanpa
bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak
mempunyai kekuasaan duniawi, negara, ataupun
pemerintahan.
Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti
politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia
adalah nabi semata sebagaimana halnya nabi-nabi
sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara, dan
tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan
duniawi. 56
Atas dasar itu, kehidupan kemasyarakatan
yang dibebankan kepada Nabi Muhammad maka hal itu
bukan termasuk dari tugas risalahnya. Karena itu,
setelah beliau wafat, tidak seorang pun yang dapat
menggantikan tugas risalah itu. Abu Bakar muncul
hanya sebagai pemimpin yang bersifat duniawi (profan)
atau pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan
pemerintahan. Dengan demikian, menurut paradigma
ini, hukum Islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan
diberlakukan dalam suatu wilayah politik tertentu.
55
Ali 'Abd ar-Raziq, Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Terj.
Afif Mohammad, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 99. 56
Munawir Sjadzali, op. cit., hlm. 143 – 144.
32
Hukum Islam tidak dapat dijadikan hukum positif,
kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.
Negara sekular di sini adalah pemisahan agama dan
negara sehingga negara tidak menjadikan agama
sebagai instrumen politik tertentu. Karenanya, tidak ada
ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui
legislasi negara. Agama adalah urusan pemeluknya
masing-masing yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
negara.
Ketentuan agama yang menuntut keterlibatan
publik (intern pemeluk agama) tidak perlu meminjam
tangan negara untuk memaksakan pemberlakuannya,
namun cukup diatur sendiri oleh pemeluk agama yang
bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan,
sebuah negara dapat dikatakan sekular jika negara
tersebut tidak menjadikan kitab suci sebagai dasar
konstitusinya, dan tidak menjadikan hukum agama
sebagai hukum nasional. Atas dasar itu, semua agama
memiliki posisi yang sama, tidak ada yang
diistimewakan. Orang lain yang memiliki persamaan
pendapat dengan Ali Abdul Al-Raziq adalah Ahmad
Luthfi Al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah
dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaum
Muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan
pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.57
Program Ahmad Luthfi Al-Sayyid adalah
memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat
Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan
liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa
Ahmad Luthfi Al-Sayyid memusatkan perhatiannya
pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-
garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang
secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme
Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20.
57
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,Fiqh Siyasah, Erlangga,
Jakarta,2008,hlm 30
33
Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu
pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas
asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka
hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-
kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas
gagasan nasionalisme Mesir. Perlu juga disebutkan
bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan
umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi
Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari
orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya
tidak disatukan oleh hukum syari‘at, melainkan oleh
hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan
bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti
ditegaskan oleh Ahmad Luthfi Al-Sayyid, Islam
bukanlah dasar Nasionalisme.
2. Teori Teokrasi (Negara Agama)
Teori teokrasi memecahkan masalah dikotomi
tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama
dan negara. Agama Islam dan negara, dalam hal ini,
tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi
politik atau negara. Karenanya, menurut teori teokrasi
negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas
dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena
memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan
Tuhan. 58
Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan agama dari negara didukung pula oleh
pengalaman umat Islam di Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad.59
Terhadap paradigma
ini, penjelasan lebih tegas dikemukakan Bahtiar Effendy
yang mengemukakan bahwa pada ujung satu spektrum,
beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa Islam
58
Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani,
Logos, Jakarta, 2002, hlm. 58. 59
Kamaruzzaman, op. cit., hlm. xxxviii
34
harus menjadi dasar negara dan Syari'ah harus diterima
sebagai konstitusi negara, kemudian mengenai
kedaulatan politik ada di tangan Tuhan oleh karena itu
gagasan tentang negara-bangsa (nation-state)
bertentangan dengan konsep ummah yang tidak
mengenal batas-batas politik atau kedaerahan. Beberapa
tokoh pemikir lain seperti Rasyid Ridha, sebagai seorang
yang berkecenderungan tradisional begitu percaya
dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya
adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari
keturunan Quraisy dan Arab.
Rasyid Ridha tampaknya menutup mata terhadap
despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani
baginya merupakan pranata politik supra nasional yang
mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan
umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu
dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia
dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan
pemikiran Al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur‘an,
hadis, dan ijma‘ pun menghendakinya.60
Tentu saja ahlul al-hall wa al-‘aqd, sebagai
lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya
saja lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik
yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun
untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang
karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan
lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahlul
al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama
yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga
pemuka masyarakat dari berbagai bidang.
Berbeda dengan pemikir politik sebelumnya,
lembaga representatif itu dalam pandangannya juga
60
Sebagaimana ulasan Bassam Tibi dalam the Challenge of
Fundamentalisme yang diterjemahan dalam judul bahasa Indonesia, wacana
Fundamentalisme; Islam Politik dan Dunia Baru, (Cet. I; Tiara Wacana;
Yogyakarta, 2000). Hlm. 63
35
bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya
pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah, dan
menurunkannya jika dibutuhkan, sekalipun harus dengan
perang atau kekerasan demi kepentingan umum.
Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit
diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal
menganggapnya berada dalam posisi utopis dan
romantis, 61
bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil
memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan
dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.
Rasyid Ridha merupakan penghubung yang
penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan
gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang
dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan Al-Maududi.
Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah
Profesor Majid Khadduri disebut devine nomocracy
(negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir
Azhari nomokrasi Islam.62
Selanjutnya beliau mengakui prinsip syura
(musyawarah) dan aplikasi prinsip itu berbeda dengan
gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik
modern dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks
pandangan semacam ini, sistem politik modern di mana
banyak negara Islam yang baru merdeka telah
mendasarkan bangunan politiknya diletakkan dalam
posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.63
Di
antara mereka yang termasuk ke dalam kategori
pendukung alur pemikiran semacam ini adalah Syekh
61
Gamal al-Banna, relasi Agama dan Negara, (Cet.I; Mata Air
Publising: Jakarta, 2006), hlm. 32 62
Ibid, hlm. 37 63
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, hlm.12
36
Hasan Al-Bana, Sayyid Quthb, dan pemikir Pakistan Abu
A'la Al- Maududi dan Ali Al-Nadvy.64
Dengan demikian, dalam perspektif teokrasi,
pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai
hukum positif negara adalah hal yang niscaya,
sebagaimana dinyatakan Imam Khomeini yang dikutip
Marzuki dan Rumaidi, bahwa dalam negara Islam
wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada
seorang pun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh
berlaku hanyalah hukum dari Tuhan65
. Pernyataan
Khomeini ini diperkuat oleh pernyataan Abu A'la Al-
Maududi, salah seorang tokoh pendukung paradigma ini,
bahwa kedaulatan adalah milik Allah. Dia (Allah)
sendirilah yang menetapkan hukum. Tak seorang pun,
bahkan nabi pun tidak berhak memerintah atau menyuruh
orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan segala
sesuatu atas dasar hak atau kemauannya sendiri. Nabi
sendiri juga terikat kepada perintah- perintah Allah.66
Paradigma teokrasi ini yang kemudian melahirkan
paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan,
sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah (Islam
agama sekaligus negara). Sumber hukum positifnya
adalah sumber hukum agama. Masyarakat tidak bisa
membedakan mana aturan negara dan mana aturan
agama karena keduanya menyatu. Oleh karena itu, dalam
paham ini, rakyat yang menaati segala ketentuan negara
berarti ia taat kepada agama, sebaliknya, memberontak
dan melawan negara berarti melawan agama yang berarti
juga melawan Tuhan.
Negara dengan model demikian tentu saja sangat
potensial terjadinya otoritarianisme dan kesewenang-
64
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
pemikiran, UI Press, Jakarta, 1993, hlm.1 65
Din Syamsuddin, op. cit., hlm. 58 66
Marzuki dan Rumadi, op. cit., hlm. 24.
37
wenangan penguasa, karena rakyat tidak dapat
melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu
berlindung di balik agama. Karena sifatnya yang
demikian, maka para penulis barat, sejauh dikaitkan
dengan Islam, sering melihat negara agama tidak
compatible dengan demokrasi.
Demokrasi yang berangkat dari paham
antroposentris meniscayakan manusia menjadi pusat
segala sesuatu, termasuk pusat kedaulatan, sehingga
kepala negara harus tunduk pada kehendak dan kontrol
rakyat. Sedangkan negara agama yang berangkat dari
paham teosentris menjadikan Tuhan sebagai pusat segala
sesuatu. Kepala negara merupakan penjelmaan dari
Tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa
reserve. Atas nama Tuhan penguasa bisa berbuat apa
saja dan menabukan perlawanan rakyat.67
Negara teokrasi mengandung unsur pengertian
bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan, dan
konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan
(Syari‘ah). Sifat teokratis negara dalam pandangan
Syi'ah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak ulama
politik Syi'ah. Khomeini, umpamanya, menyatakan
bahwa dalam negara Islam wewenang menetapkan
hukum berada pada Tuhan. Tiada seorang pun berhak
menetapkan hukum dan yang boleh berlaku hanyalah
hukum dari Tuhan.
Kendati demikian, pemikir politik Iran kontemporer
menolak penisbatan Republik Islam Iran dengan negara
teokratis. Sistem kenegaraan Iran memang menyiratkan
watak demokratis, seperti ditunjukkan oleh penerapan
asas distribusi kekuasaan berdasarkan prinsip Trias
Politica, dan pemakaian istilah republik sebagai bentuk
dari negara itu sendiri. Paradigma penyatuan agama dan
negara juga menjadi anutan kelompok fundamentalisme
67
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara Kritik Atas
Politik Hukum Islam Di Indonesia, LKis, Yogyakarta, 2001, hlm. 25 – 26
38
Islam yang cenderung berorientasi nilai- nilai Islam yang
dianggapnya mendasar dan prinsipil.
Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas
Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek
kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini
ialah Al-Maududi yang memberikan pemahaman bahwa
syari'ah tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik atau antara agama dan negara.
Syari'ah adalah skema kehidupan yang sempurna
dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan; tidak ada
yang lebih dan tidak ada yang kurang. Negara Islam
yang berdasarkan syari'ah itu, dalam pandangan Al-
Maududi harus didasarkan pada tiga prinsip dasar, yaitu ;
bahwa ia mengakui kedaulatan Tuhan dengan menerima
otoritas Nabi Muhammad SAW, memiliki status wakil
Tuhan, dan menerapkan musyawarah. Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya
berada pada Tuhan.
Negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk
menerapkan hukum-hukum Tuhan, dalam statusnya
sebagai wakil Tuhan. Dalam perspektif demikian,
konsepsi Maududi tentang negara Islam bersifat
teokratis, terutama menyangkut konstitusi negara yang
harus berdasarkan Syari'ah. Tetapi Al-Maududi sendiri
menolak istilah tersebut dan lebih memilih istilah teo-
demokratis, karena konsepsinya mengandung unsur
demokratis, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk
memilih pemimpin negara.68
Teori teokrasi ini merefleksikan adanya
kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan
formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti
ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan
Syari'ah secara langsung sebagai konstitusi negara.
Dalam konteks negara-bangsa yang ada dewasa ini
68
Din Syamsuddin, op. cit., hlm. 59
39
seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia,
Aljazair dan Indonesia, model formal ini mempunyai
potensi untuk berbenturan dengan sistem politik
modern.69
Asumsinya ditegakkan di atas pemahaman
bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang
mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen
kehidupan manusia, termasuk di bidang praktik
kenegaraan.
Karenanya, umat Islam berkewajiban untuk
melaksanakan sistem politik Islami sebagaimana telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan empat Al-
Khulafa' al-Rasyidin. Pandangan ini menghendaki agar
negara menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu
fungsi lembaga politik dan keagamaan. Menurut teori
ini, penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak
berdasarkan kedaulatan rakyat melainkan merujuk
kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab
penyandang kedaulatan paling hakiki adalah Tuhan.
Pandangan ini mengilhami gerakan fundamentalisme.70
3. Teori Integrasi
Agama dan negara, menurut teori integrasi,
berhubungan secara simbiotik dan saling berintegrasi,
yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan
saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan
negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena
dengan agama, negara dapat berkembang dalam
bimbingan etika dan moral-spiritual.71
Aliran pemikiran ini menyadari, istilah negara
(dawlah) tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur'an.
69
Bahtiar Effendi, op. cit., hlm. 14 70
Fundamentalisme diartikan sebagai gerakan keagamaan yang
mengacu pada pemahaman dan praktik-praktik zaman salaf (zaman Nabi dan
sahabat). Lihat Zuly Qodir, Syari’ah Demokratik: Pemberlakuan Syari’ah
Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 35. 71
Din Syamsuddin, op. cit., hlm. 60.
40
Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam Al-Qur'an
yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada
kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-
ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada
pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas bahwa
Al-Qur'an bukanlah buku tentang ilmu politik.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa
pendapat seperti ini juga mengakui bahwa Al-Qur'an
mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat
etis mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia.
Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang
keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Untuk
itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang
negara berpegang kepada prinsip-prinsip seperti itu,
maka mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam.72
Dengan alur argumentasi semacam ini,
pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya
yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Bagi
mereka, yang terpenting adalah bahwa negara— karena
posisinya yang bisa menjadi instrumental dalam
merealisasikan ajaran-ajaran agama menjamin
tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian
halnya, maka tidak ada alasan teologis atau religius
untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai
kedaulatan rakyat, negara, bangsa sebagai unit teritorial
yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern
lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada
landasan yang kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi
yang bertentangan dengan sistem politik modern.73
Aliran dan model pemikiran yang kedua lebih
menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal
72
Bahtiar Effendi, op. cit., hlm. 13 73
Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah pemikir Mesir
Mohammad Husein Haykal dan pemikir Pakistan Fazlur Rahman dan
Qamaruddin Khan.
41
dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu
(dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan,
musyawarah, dari partisipasi yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam) kecenderungan itu
mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan
yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik
modern, di mana negara-bangsa merupakan salah satu
unsur utamanya.74
Tampaknya Al-Mawardi, seorang
teoritikus politik Islam terkemuka, bisa disebut sebagai
salah satu tokoh pendukung paradigma ini. Sebab dalam
karyanya yang masyhur, Al-Ahkam al- Sulthaniyyah, ia
menyatakan bahwa lembaga kepala negara dan
pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi
kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.75
Husein Heikal termasuk dalam paham kelompok
yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem
dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh umat.
Ia menyatakan sebagaimana dikutip Suyuthi Pulungan
bahwa, sesungguhnya Islam tidak menetapkan sistem
tertentu bagi pemerintahan, akan tetapi Ia meletakkan
kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan muamalah dalam
kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi
dasar untuk menetapkan sistem pemerintahan yang
berkembang sepanjang sejarah.76
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun
mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya
merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Dalam
kerangka hubungan simbiotik ini, Ibnu Taimiyah dalam
as-Siyasah asy-Syar'iyyah juga mengatakan,
sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan
74
Bahtiar Effendi, op. cit., hlm. 15 75
Imam Al-Mawardiy, Hukum Tatanegara dan Kepemimpinan
dalam Takaran Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin,
Gema Insani Press, Jakarta, 2000, hlm.15. 76
J.Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 295 – 296.
42
manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar,
sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa berdiri
tegak.77
la pun menganggap bahwa penegakan negara
merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai
salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada
Allah. Di dalam konsep ini, syari'ah (hukum Islam)
menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi
terhadap realitas politik. Demikian juga negara
mempunyai peranan yang besar untuk menegakkan
hukum Islam dalam porsinya yang benar.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang
egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan
kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi
berdasarkan gender atau kulit. Dari sisi lain, Fazlur
Rahman menjelaskan konsep syura (musyawarah). Syura
bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada
orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah
dan ahl halli wa al–‗alqd, tetapi nasehat timbal balik
melalui diskusi bersama.
Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur
Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi
pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata
bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada
sistem demokrasi itulah, Ia mengkritik para tokoh Islam
yang menentang demokrasi, seperti terhadap Al-
Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
Sebagaimana Fazlur Rahman, Arkoun juga
berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan
perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang
menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di
Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi
77
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, Pokok-Pokok Pedoman dalam
Bernegara, Terj. Henri Laoust, CV Diponegoro, Bandung, 1967, hlm. 162 –
210.
43
di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang
beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya,
Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem
kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang
dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan
sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada
terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi.78
Dari sini kemudian Ia lebih menyetujui negara
demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut
melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari
moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi
(yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.
Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep
itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang
hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut
adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena Ia
biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran
kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir
modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi
gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan
bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan
budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak
pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah
melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya
duniawi. 79
Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah
syura, ijtihad, dan penerapan syari‘at yang tujuannya,
bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang
bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga
78
Tema-tema pembaharuan Fazlur Rahman tesebar dalam tulisan-
tulisannya, baik jurnal, artikel maupun buku. Salah satunya lihat, Islamic
Modernism; Its Scope, Method and Alternatives, (vol. IV; IJMES:
Cambride), h. 321-335. lihat juga, Fazlurrahman, Islam dan Modernitas:
Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1995), h. 83 79 Ibid, hlm. 337
44
anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam
menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis
baik antar sesama muslim maupun dengan pemeluk
agama lain yang mendiami negara yang sama.
Dengan demikian, dalam teori integrasi ini masih
tampak adanya kehendak mengistimewakan penganut
agama mayoritas untuk memberlakukan hukum-hukum
agamanya di bawah legitimasi negara. Atau paling tidak,
karena sifatnya yang integratif dan simbiotik tersebut,
hukum-hukum agama masih mempunyai peluang untuk
mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah
tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama
dijadikan sebagai hukum negara.
Hal di atas bisa saja terjadi karena sifat integrasi
antara agama dan negara mempunyai tingkat dan kualitas
yang berbeda. Kualitas integrasi tersebut secara
sederhana dapat digambarkan dengan negara model
demikian sangat mendekati negara agama, bahkan bisa
dikatakan negara agama yang masih malu-malu untuk
menunjukkan jati dirinya. Dengan melihat model-model
tersebut, proses politik hukum Islam di Indonesia
mempunyai kecenderungan semakin meningkatnya
aspek agama yang masuk ke wilayah negara dengan
disahkannya ketentuan-ketentuan agama melalui proses
legislasi atau dikenal dengan Islamisasi hukum di
Indonesia.
Teori integrasi berpendirian bahwa agama dan
negara berhubungan secara simbiotik dan saling
berintegrasi. Dengan kata lain, terjalin hubungan timbal-
balik atau saling memerlukan. Dalam kerangka ini,
agama memerlukan negara karena dengan dukungan
negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara
membutuhkan agama karena agama menyediakan
seperangkat nilai dan etika untuk menuntun perjalanan
kehidupan bernegara. Teori ini berusaha keluar dari
belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan:
45
teokrasi dan sekularistik. Selanjutnya, teori integrasi
melahirkan gerakan modernisme dan neomodernisme
kedepannya.80
80
Menurut Harun Nasution, modernisme dalam masyarakat Barat
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah paham-
paham, adat istiadat, institusi- institusi lama, dan sebagainya, untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hlm.
11.
46
47
BAB III
BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF
A. Riwayat Singkat Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf
dan Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau
Sumpur Kudus "Makkah Darat", Sumatera Barat. Sumpur
Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam bahasa Minang)
adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum
elit negeri Minang, rakyat jelata pun tak lupa pula
menyebutnya.81
Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita
tinggi yang ingin diraih, tidak ada angan-angan untuk jadi apa
atau siapa, karena memang lingkungan nagari yang sempit dan
sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok
melebihi orang kampungnya.
Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah
―Buya‖ oleh orang yang dekat dengannya. Istilah Buya di
ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas menyandang
panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-
benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus
ilmuwan atau cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual
yang sangat tinggi. Namun Ahmad Syafii Maarif sendiri
mengatakan ―tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan
nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan‖.82
Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah
seorang terpandang di
kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi
kepala nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif
merupakan keluarga terhormat, ayahnya sebagai kepala suku
81
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku
(Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm. 3 82
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (editor),
Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif
Institute, 2005), hlm. 37
48
Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Malayu yang
dijabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk
dalam kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu
tentang berbagai masalah, tidak saja menyangkut masalah
ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Adapun
Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun,
sempat dua tahun menyusuinya.
Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari
awal tahun 1965 dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah.
Maarif menikah di rumah mertuanya (Sarialam dan Halifah)
yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah
upacara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii
Maarif sudah berumur 30 tahun. Ahmad Syafii Maarif memiliki
beberapa orang anak, anak pertamanya bernama Salman yang
lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun sayang,
Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan,
setelah sakit beberapa lama di Padang.
Dengan meninggalnya Salman, Syafii Maarif begitu
terpukul batinnya, sebagaimana diungkapkannya ―sungguh nak,
kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi
inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman
saja yang dapat menolong agar tidak terus berlarut dalam
suasana ketidakstabilan jiwa83
.
Anak selanjutnya adalah bernama Iwan yang lahir pada
November tahun 1968 dan ia wafat pada Oktober tahun 1973.
Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif adalah Mohammad Hafiz
yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada 25 Maret
1974. Dari ketiga anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya
yang hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif hidup dengan
anak semata wayangnya bernama Mohammad Hafiz dan
isterinya Hj Nurkhalifah.
Panggilan Ibu Hj.Nurkhalifh (isteri) terhadap Ahmad
Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak Oncu, sebuah kebiasaan
anak nagari Sumpur Kudus memanggil suaminya berdasarkan
83
Ibid, hlm.186
49
urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan dalam perjalanan
hidupnya, melalui suasana suka dan duka, perang dan damai,
hanya satu kata yang diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa
syukur itulah yang merupakan perekat rumah tangga yang
beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj. Nurkhalifah,
dan Mohammad Hafiz.84
Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii
Maarif), yang telah memberi pelajaran secara relatif demokratis,
dan liberal, di mana bertiga mempunyai suara equal dalam
menyampikan pendapat, dan kadang disertai adu argumen.
Ketika Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii
Maarif di Padang, orang tersebut mengatakan bahwa;
―…..ayahmu itu adalah gambaran pribadi orang Minang yang
seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter, sederhana, adil,
tegas, dan jujur…..‖ 85
tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi
Hafiz hidup di antara orang Minang selama setahun lebih di
Padang.
Kesimpulan yang didapatkan mungkin seorang Ahmad
Syafii Maarif adalah salah satu segelintir orang yang dari sekian
lapis generasi Minang yang bisa mempertahankan image orang
Minang yang semestinya, setelah generasinya yang melahirkan
pribadi seperti H. Agus Salim, Moh. Hatta, Buya Hamka dan
lainnya.
Di samping itu, dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad
Syafii Maarif kesan yang diutarakan Moh. Hafiz tentang
ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam fungsi, sebagai seorang
ayah dan sebagai seorang individu yang unik. Sebagai seorang
ayah, selama hidup di bawah naungan beliau, pelajaran paling
berharga Mohammad Hafiz adalah tentang tawakkal dan
kesederhanaan manusianya, terutama menghadapi kenakalan
seorang anak bernama Mohammad Hafiz, bahkan sampai
dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.
84
Ibid, hlm. 73 85
Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun
Ahmad Syafii Maarif:Cermin Untuk Semua, h.11
50
Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii
Maarif memberikan pelajaran bagaimana seharusnya ―hablum
minannas‖, berhubungan dengan individu-individu lain di muka
bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik serta
menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling
menghargai dan menghormati. Terkadang sedikit naif, sikap
agak berlawanan dengan sikap pandangan/opini Muhammad
Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik
terhadap orang.86
Ahmad Syafii Maarif memulai pendidikannya formalnya
di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus. Selanjutnya Ahmad
Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947.
Setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif
melanjutkan pendidikan di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun
1953.
Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di
Lintau, tetapi sebagian dilanjutkan di Yogjakarta dan
meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu‘alimin Yogyakarta.
Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah
yang dibayangkan. Karena ada beberapa alasan dari pihak
sekolah untuk menolak Ahmad Syafii Maarif masuk ke kelas
empat, yaitu; pertama, kelas empat sudah penuh, kedua, dari
seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran
di Yogya lebih tinggi dibandingkan dengan Mu‘alimin daerah
lain. Jadi Ahmad Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila
masuk ke kelas empat.
Awalnya Ahmad Syafii Maarif merasa syok, namum
Ahmad Syafii Maarif tidak bisa berbuat apa-apa dan kemudian
menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga. Semua itu
dihadapinya dengan tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas
tiga Mu‘alimin,87
sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli
1956. Ahmad Syafii Maarif "mendinamisasikan" dirinya, berkat
86
Abd. Rohim Ghazali, Op.Cit, h. 11 87
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit, hlm.. 106
51
M. Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada
tahun 1956, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di
Surakarta, tepatnya di Universitas Cokroaminoto Surakarta
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Namun baru
satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena hubungan
pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan
PRRI/Permesta 88
, akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan
untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad Syafii Maarif
menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.89
Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali
melanjutkan kuliah, karena sering tidak masuk kuliah karna
sering mengajar akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat
Sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah
sudah pernah dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang
cukup tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau
harus ditempuh sambil bekerja. 90
Gelar Sarjana (Drs)
diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada
Agustus 1968,91
dengan skripsi berjudul ―Gerakan Komunis di
88
PPRI adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,suatu
pemerintahan tandingan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara(dari
masyumi) sebagai Perdana Menteri, PPRI di proklamirkan di Padang, tanggal
15 Februari 1958. Pemberontakan ini menuntut otonomi regional, perbaikkan
Duumvirate Soekarno dan Hatta, Pembentukan Senat, Penggantian Kepala
Staf ABRI Jendral Nasution dan Stafnya, dan pembatasan aktivitas PKI.
Permesta adalah Perjuangan Semesta Alam, yang bergabung dengan PPRI
yang dipimpin oleh H. N. V.Sumual, Permesta diproklamirkan pada tanggal 2
Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahtiar Effendy, Islam Dan
Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, hlm.
97-98 89
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah
Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000), hlm.
172 90
Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h.
Xi 91
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah
Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, hlm. 172-173
52
Vietnam (1930-1954)‖, di bawah bimbingan Dharmono
Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara.
Untuk teman-teman seangkatannya, Ahmad Syafii
Maarif adalah lulusan pertama. Dalam pengembangan
akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke Amerika, ia
belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio
State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Di
Athens ia tinggal bersama teman- temannya dari Malaysia yang
juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang masih
serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30
tahun. Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii
Maarif di Athens belum ada perkembangan yang berarti, Syafii
Maarif masih terpasung dalam status quo.
Masih berkutat pada ajaran Maududi, Maryam Jameelah,
tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara
Islam. Iqbal, pemikir dan penyair dari pakistan pun telah Syafii
Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum singgah secara mantap di
otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif
dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA
(Muslim Students Association), yang masih merindukan
tegaknya sebuah negara Islam di suatu Negeri.92
Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman
dari Saudi Arabia, Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di
samping teman-teman dari Indonesia dan Malaysia. Dari segi
moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling
menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut dalam budaya
serba bebas ala Barat. Di Athens ia adalah salah seorang khatib
pada hari Jum‘at yang diselenggarakan di sebuah ruangan luas
di lingkungan kampus.
Teori-teori keislaman yang bertolak dari sikap anti asing
ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah
modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah
paradoks berlaku di sini. Para pendukung Maududi, Qutb, yang
mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di
92
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit, hlm..209
53
negerinya sendiri, karena berhadapan dengan penguasa yang
korup, otoritarian, dan ulama konservatif. Justru mereka
memilih hidup di barat yang dijadikan sasaran kritik itu.93
Menurut Syafii Maarif, di dunia ini tidak boleh memakai
kaca mata hitam. Di antara mahasiswa muslim yang datang dari
berbagai penjuru dunia, tidak sedikit yang menemukan Islam
setelah mereka belajar di Barat. Bahkan sebagian mereka
menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu
mereka mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di
Barat justru muncul kesadaran baru untuk mencapai Muslim
yang baik. Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang bersikap
lapang dada akan segala hal, jangan terlalu ekstrim atau anti
terhadap sesuatu, sebab Barat dan Timur itu milik Allah.
Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang
bisa saja menemukan kearifan itu di mana saja asal di cari
dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang terbuka
semata-mata karena rindu kepada kebenaran. Syafii Maarif pun
berkata Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas.
Bukan saja bersentuhan, tetapi malah wajib berupaya mengubah
realitas yang pengap menjadi sesuatu yang asri, adil, dan penuh
rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.94
Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan
Athens. Di Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen
Sejarah dengan tesis ―Islamic Politics Under Guided Democracy
in Indonesia‖ (1959-1965) dibawah bimbingan Prof. William H.
Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang
teramat baik terhadapnya.
Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana
tapak kaki melangkah sampai mencapai puncak prestasi
akademik, Ph.D (Doctor of Philosophy), dari negara yang
mengklaim dirinya sebagai "Bapak Demokrasi", Amerika
Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983) 95
93
Ibid, hlm. 213 94
Ibid, hlm..214 95
Ibid, hlm. Sampul
54
dalam usia 47 tahun. Tidak mudah bagi Maarif untuk
meneruskan belajar ke Universitas Chicago, sekalipun ia sudah
diterima untuk program Ph.D dalam Pemikiran Islam. Bantuan
sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi
Maarif untuk bisa belajar Islam ke kampus tersebut. Professor
Frederick turut membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari
Ford Foundation dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta.
Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, beasiswa itu
bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam
otakknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental
sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D
dalam bidang pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1983
dengan disertasi ―Islam as the Basic of State; A Study of the
Islamic Political Ideal as Reflected in the Constituent Assembly
Debates in Indonesia‖ dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur
Rahman.96
B. Karya-Karya Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif adalah seorang penulis yang
produktif, mulai belajar menulis semenjak masih sekolah di
Madrasah Mu‘allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1950-
an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di atas
setengah abad97
. Sebagian karangannya adalah mengenai Islam.
Tulisan-tulisannya diterbitkan pada artikel-artikel yang
bertebaran di media masa, seperti surat kabar (Mercusuar,
Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat), majalah (Panji
Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Islah, Gatra dan
Genta) dan jurnal (Informasi dan Mizan).98
Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan
melalui suara Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis,
tetapi umumnya menyangkut masalah agama, sejarah, dan
politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia pun
96
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam di
Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995) hlm.3 97
Ibid, hlm. 5 98
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara
(Jakarta: LP3ES, 2006), h.lm sampul akhir
55
pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
cabang Yogyakarta. Setelah sekian lama menjadi korektor,
posisi redaksi kemudian diberikan kepada Ahmad Syafii Maarif
sampai Ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau berangkat
ke Amerika Serikat pada Juli 1972.
Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penerbit
terkenal. Sampai kini, Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan
berbagai karya. Segudang ―produk pemikirannya‖, dan jejak
langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil dari sebuah
proses yang panjang, berliku, bahkan penuh duri. Kesulitan dan
tantangan hidup telah dibacakan sebagai peluang untuk bergerak
terus tanpa henti.
Puluhan buku telah lahir dari tangan beliau yang semula tidak
memiliki cita- cita yang besar dan muluk-muluk.
Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang
diembannya selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya
ke pusaran perkembangan politik, sosial, dan budaya secara
nasional dan internasional. Periode ini adalah titik-titik krusial
dalam transformasi republik ini, dan Ahmad Syafii Maarif di
antara anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-
karya Ahmad Syafii Maarif adalah:
1. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
(2009).
2. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim
(2006).
3. Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006).
4. Menggugah Nurani Bangsa (2005).
5. Mencari Autentitas dalam kegalauan (2004).
6. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan
Pemikiran Islam dan Politik (2000).
7. Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999).
8. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997).
9. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997).
10. Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1996).
56
11. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim
(Bandung: Mizan, 1995).
12. Membumikan Islam (1995).
13. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994).
14. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1994).
15. Islam dan Politik di Indonesia (1988).
16. Al-Qur‘an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985).
17. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante (1985).
18. Dinamika Islam (1984).
19. Islam, Mengapa Tidak? (1984).
20. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam
Aspirasi Umat Islam
Indonesia (1983).
21. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis
(1975).
Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif sampai saat ini
masih terus mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada
kolom Resonasi Republika (bergantian dengan penulis lainnya).
Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak hanya tentang
keislaman, namun juga mencakup tentang keindonesiaan dan
kemanusiaan.
Ahmad Syafii Maarif adalah satu dari sedikit
cendekiawan Muslim Indonesia yang secara serius memikirkan
nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii
Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk
mengatasinya, kepada semua anak bangsa.
Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif
ingin mengajak bangsa Indonesia khususnya, dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatannya hendaknya berdasarkan
pada Al-Qur‘an dan Hadits, politik harus dibangun sesuai
dengan moralitas Al-Qur‘an. Demikian juga dengan kegiatan
kehidupan di dunia ini, segala kegiatannya kendaknya
berlandaskan Al-Qur‘an dan Hadits Rasulullah saw, seperti
dalam ukhwah islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari
manapun berasal, tetapi terikat sesaudara seagama Islam, bukan
57
dengan masih mementingkan golongan dan budaya masing-
masing.
Kini, Di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj.
Nurkhalifah, sebagai sumber inspirasinya dan anak semata
wayangnya, Mohammad Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap
menikmati hari-harinya. Ahmad Syafii Maarif berharap di sisa
hidupnya, Ia mampu menghasilkan karya-karya besar tentang
Islam dan kemanusiaan.
Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak akan
memberikan sumbangan besar bagi peradaban. Kecintaan
Ahmad Syafii Maarif terhadap bangsa Indonesia pula yang
membuatnya menaruh harapan besar pada generasi muslim
Indonesia muda untuk terus berfikir progresif, idealis, dan
humanis dimana hal ini selalu beliau tuangkan dalam tulisan-
tulisannya.
C. Kondisi Sosial Politik Ahmad Syafii Maarif dan
Kepemimpinan Beliau di Muhammadiyah
Pembentukan Intelektual terjadi pada waktu Syafii
Maarif belajar Di Madrasah Mu‘allimin Muhammadiyah di
Balai Tangan, Lintau, selama menganggur selam tiga tahun
pasca Syafii Maarif. Dengan modal pendidikan Mu‘allimin,
Syafii Maarif telah berani berpidato di depan publik kampung
yang jumlahnya terbatas. Bahkan lebih dari itu, Syafii Maarif
sudah berani pula memberi ceramah di tempat- tempat lain.
Dengan bekal ilmu agama yang serba sedikit, sebagai
pemula, Syafii Maarif telah berani berdebat di masjid
menghadapi kaum elit Sumpur Kudus dengan semangat tinggi.
Topik perdebatan tidak melebihi masalah-masalah khilafiah di
tingkat kampung. Paham agama Muhammadiyah yang telah
dipompakan ke dalam otak dan hatinya sejak masih belajar di
Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus telah
58
menjadi modal Syafii Maarif untuk berkayuh lebih jauh, sampai
ke puncak karier akademiknya.99
Pertumbuhan Intelektual terjadi setelah meneruskan
pelajaran ke Madrasah Mu‘allimin Jogjakarta. Wawasan
semakin luas, tetapi nalurinya sebagai seorang ―Fundamentalis‖
belum berubah. Bahkan sampai Syafii Maarif belajar sejarah
pada Universitas Ohio di Athens, Amerika Serikat, paham
agamanya belum banyak mengalami perubahan. Cita-cita politik
Syafii Maarif tetap saja ingin menaklukan Indonesia agar
menjadi Negara Islam, padahal batang usianya ketika itu sudah
di atas 40 tahun.
Perkembangan Intelektual Syafii Maarif terjadi di
lingkungan Kampus Universitas Chicago. Syafii Maarif
mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual yang baru. Otak
dan hatinya mendapatkan ―virus‖ pencerahan. Menurut Syafii
Maarif, ini adalah perkembangan pemikiran keislaman dan
keindonesiaan. Peran Fazlur Rahman, dengan segala kritiknya
kepada sang guru, sungguh sangat besar. Strategi dan
pendekatan yang digunakannya agar Syafii Maarif menimbang
seluruh kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan Al-
Qur‘an sebagai sumber pokoknya.100
Pematangan Pemikiran Syafii Maarif terjadi setelah ia
kembali dari Chicago, Islam bagi Syafii Maarif adalah sumber
moral utama dan pertama. Al-Qur‘an adalah Kitab suci dengan
sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai
pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan
dalam berpolitik. Pasca Chicago pemikiran keindonesiaan dan
keagamaan Syafii Maarif telah lebur menjadi satu. Menurut
Syafii Maarif Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh
menang sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi
berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil
dan proporsional.101
99
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit, hlm. x 100
Ibid, hlm. xi 101
Ibid , hlm. 404
59
Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii
Maarif kemudian terpilih untuk memimpin Muhammadiyah
untuk periode 2000-2005. Selama kepemimpinan Ahmad Syafii
Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang belum
pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika
pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil
dan dikenal sebagai gerakan da‘wah, pendidikan, dan amal
usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif, Muhammadiyah
lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan
perkembangan dunia.
Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan
ruang pada lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah,
intensifnya hubungan antar umat beragama dan ormas Islam
lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan Moral
Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum
dialog dunia untuk memecahkan berbagai persoalan
kemanusiaan adalah di antara beberapa terobosan yang sangat
terasa signifikansinya.
Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah
yang mengambil jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat
pada politik praktis juga kembali ditegaskan. Hal itu terumuskan
lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak
mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat
tokoh-tokoh bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda
pada perebutan kekuasaan, Syafii Maarif justru tidak bergeming
dan tetap konsisten dengan perannya sebagai pemimpin umat
dan guru bangsa.
Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau selama ini,
bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan
pemikiran, sosial, dan da‘wah. Jadi, Muhammadiyah bukan
gerakan politik yang bisa dijadikan untuk dijadikan alat untuk
merebut kekuasaan.102
102
Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay,
Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, hlm. 116-117
60
Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam
menjalankan tugas sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan
sebanyak mungkin kegiatannya adalah:
1) Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih
berada di papan atas. Tapi bila parameter yang
digunakan adalah cita-cita Al-Qur‘an untuk menciptakan
sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral,
Muhammadiyah masih juga berada di awal jalan,
suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu
untuk bergerak ke sana merupakan tanggung jawab
semua kekuatan bangsa dengan pimpinan pemerintah
yang juga harus bermoral.103
2) Pada sisi lain Syafii Maarif menggambarkan bahwa isu-
isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah
sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran, sementara
jenis ijtihad di luar itu belum disentuh banyak oleh
Muhammadiyah. 104
3) Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah
menyebut dirinya sebagai gerakan Islam, gerakan
da‘wah amar ma‘ruf nahi munkar. Rumusan semacam
ini mengisaratkan tanggung jawab yang besar sekali,
sementara energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras
oleh kerja- kerja sosial kemasyarakatan.
4) Dalam berbagai forum Syafii Maarif sering mengatakan
bahwa di bidang pendidikan dan kesehatan,
Muhammadiyah hanyalah sebagai pembantu pemerintah,
tidak lebih dan tidak kurang.
5) Muhammadiyah belum mampu menawarkan sistem
alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan, maupun
dalam bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu
memerlukan perhatian khusus.
103
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit, hlm. 348 104
M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan
Realitas Sosial(Jakarta: Uhamka Press, 2005), hlm. 72
61
Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang
yang mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for
Culture and Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada
tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28 Februari
2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah
memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di
Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society,
legislative dan eksekutif serta mendorong proses resolusi
konflik, mediasi dan rekonsiliasi.105
Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari
politik praktis, Ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah lebih kurang tujuh tahun dan tidak pernah
terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik,
mencalonkan ataupun bergerak melalui partai politik.
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah
intelektual yang sangat berharga di Indonesia di mana beliau
terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang
bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap
perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan
moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi
bangsa Indonesia.
D. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
1. Islam dan Nusantara
Istilah Nusantara berasal dari dua kata: nusa dan
antara, dibaca Nusantara, huruf a dibuang satu, sebuah
kaidah yang umum dalam bahasa Indonesia. Nusa
(bahasa Sanskerta/bahasa Kawi) berarti pulau, tanah air.
Antara berarti jarak, sela, selang, di tengah-tengah dua
benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara
Benua Asia dan Australia,106
diapit oleh dua lautan,
105
Raja Juli Antono, Laporan Tahunan (Jakarta, Maarif Institute,
2000-2007), hlm. 4 106
J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994 hlm 63 dan 950
62
lautan India dan Pasifik. Dalam bahasa Jawa ngoko
antara dapat berarti: let, sela-selaning barang loro (jarak,
sela antara dua benda).107
Asal mula pemberian nama Indonesia, secara
etimologis Indonesia merujuk kepada bahasa latin Indus
yang berarti India dan Nesos dari bahasa Yunani kuno,
bermakna pulau. George S.W. Earl, etnolog Inggris,
tahun 1850 mengusulkan istilah Indunesians. Kemudian
muridnya, James Richardson Logan menggunakan
Indonesia sebagai sinonim dengan Indian Archipelago.
Kemudian sarjana Jerman dari Universitas Berlin, Adolf
Bastian mempopulerkan nama itu dalam buku
Indonesien oder die Inseln des Malayichen Archipels. 108
Ki Hajar Dewantara, sarjana Indonesia pertama
yang mempergunakan nama itu di ruang publik dengan
menobatkannya menjadi biro pers di negeri Belanda
dengan nama Indonesisch Pers-bureau tahun 1913. Tapi
sebagai nama sebuah bangsa baru muncul tahun 1920-an
di kalangan PI (Perhimpunan Indonesia) di Belanda.
Walaupun tidak semua sepakat dengan pemberian nama
itu, namun suara mayoritas dalam PI yang kemudian
menetapkannya sebagai nama bangsa yang muda itu. 109
Banyaknya jumlah pulau di Nusantara, yaitu lebih
dari 17.000, maka tidaklah salah jika ada pakar yang
menamakan Indonesia sebagai Benua Maritim, atau bisa
juga disebut Benua Kepulauan yang jaraknya antara
barat dan timur 5.110 Km, dari utara ke selatan 1.888
Km. Benua Maritim ini bertebaran pada kedua sisi
khatulistiwa antara 94° 15' dan 141°05' bujur timur dan
107
Widada, Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2001. hlm 540 108
Bernard.H.M Vlekke, NUSANTARA : A History Of The East
Indian Archipelago. Cambridge – Massachussetts : Harvard University Press,
1945, hlm.V 109
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung : Mizan, 2015) hlm.56.
63
dari 6°081 lintang utara ke °15' lintang selatan.110
Luas
seluruh daratan Nusantara 1.919.443 111
sedangkan luas
lautan mencapai 5.800.000 Km dengan panjang garis
pantai seluruhnya 81.000 Km.
Jika kita dapat bertahan sebagai sebuah bangsa dan
negara yang utuh dan berdaulat penuh dalam rentang
waktu yang tak terbatas, sungguh merupakan anugerah
Allah yang sangat tinggi nilainya. Ke arah itulah kita
akan melangkah dengan membuang egoisme sub-kultur,
parokialis kepongahan daerah, kepentingan sesaat, dan
pragmatisme politik yang tuna nilai. Harus senantiasa
diingat bahwa bangsa ini terlalu besar dan mahal untuk
dikorbankan bagi meraih tujuan-tujuan rendahan sesaat.
Tentu untuk mendekati cita-cita itu prinsip keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia jangan lagi disia-siakan,
sebagaimana ia telah tersia-siakan selama ini. Peribahasa
Melayu kuno berbunyi, raja adil, raja disembah, raja
zalim, raja disanggah. Raja di sini dalam konteks
demokrasi adalah sistem kekuasaan yang sudah
beroperasi lebih 60 tahun pasca Proklamasi.112
Sebelum kedatangan agama Hindu, Buddha dan
Islam datang ke Nusantara, bumi ini sudah didiami oleh
penganut berbagai agama dan kepercayaan animisme,
dinamisme. Agama Hindu, Budha dan mungkin
campuran antara keduanya telah beroperasi di berbagai
pulau Nusantara sejak abad ke-5 Masehi. Mula-mula
kegiatan Hindu terlihat di Kutai, di Jawa Barat mucul
kerajaan Tarumanagara pada permulaan dan pertengahan
abad ke-5M.113
Dalam perjalanan sejarah Nusantara, baik pada era
sriwijaya, Mataram Kuno, Majapahit, atau pada masa
110
Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakarta, 1975, hlm. 3 111
Christine Drake, National Integration In Indonesia : Patterns
And Policies. Honolulu : University Of Hawaii Press, 1989, hlm. 9 112
Ahmad Syafii Maarif, Loc.Cit. 113
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit. hlm.34
64
modern, kearifan lokal kurang diberi apresiasi, terlebih
jika politik kekuasaan yang dikembangkan dengan nafsu
sentralistik. Daerah yang letaknya jauh dari pusat, akan
di anak tirikan dengan kewajiban membayar upeti pada
pusat kekuasaan, hal ini mengakibatkan pemberontakan.
Sebuah fakta sejarah bahwa Nusantara yang amat
strategis letaknya ini menjadi lahan yang subur bagi
penyebar agama dan kepercayaan dari luar. Ditambah
lagi dengan kandungan buminya yang kaya untuk
menopang kehidupan manusia. Nusantara menjadi target
bangsa lain untuk bermacam kepentingan seperti agama,
ekonomi, perdagangan, kultur dan selanjutnya
penjajahan. Hindu dan Budha patut menjadi perhatian,
karena dua agama ini yang mewarnai Nusantara, selain
karena dua agama ini bercorak asia. Hal ini terlihat dari
kerajaan Majapahit yang Hindu mengalahkan Sriwijaya
yang Budha pada abad ke-14.114
Abad-abad berikutnya sampai abad 16, terutama
pulau Jawa dan Sumatera masih menjadi pusat-pusat
kegiatan Hindu dan Buddha, sementara pengaruh Islam
belum merata, sekalipun ada teori yang diungkapkan
dalam Seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia, di
Medan tahun 1963, mengatakan bahwa Islam telah
datang ke Nusantara pada abad ke-1 Hijriah/abad ke-7/8
Miladiah langsung dari Arabia. 115
Jikalau teori ini benar, ternyata Islam memerlukan
proses pergumulan sekitar lima abad sampai munculnya
kerajaan Muslim pertama di akhir abad ke-13 di Pasai.
Ada perbedaan antara Hindu dan Buddha, Hindu bersifat
elitis berdasarkan kasta, sedangkan Buddha lebih mirip
dengan Islam dalam tatanan sosial, bercorak egalitarian.
Dampak yang masih terasa sebagai warisan sejarah dari
kedua agama ini adalah peninggalan candi-candi raksasa
114
Ibid. 115
Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, Risalah
Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia. Medan, 1963, hlm 256.
65
yang tetap dipelihara sebagai cagar budaya yang sangat
berharga, meskipun pengikut Hindu dan Buddha
sekarang telah menjadi minoritas kecuali Hindu di
Bali.116
Islam sebagai pendatang baru telah menaklukkan
Nusantara sehingga dalam perjalanan waktu yang cukup
lama, telah menjadi agama yang dipeluk oleh sebagian
besar penduduk sampai sekarang. agama Hindu dan
Budha sangat berpengaruh di Nusantara selama berabad-
abad terutama elitnya, sementara penduduknya masih
tetap dalam animisme.
Melalui kedatangan Islam, peta sosio-religius
Nusantara mengalami perubahan drastis, elite dan
rakyatnya menjadi Muslim, setidaknya secara formal
demografis. Namun gesekan kemudian terjadi dengan
agama Kristen yang punya track record buruk dengan
Islam selain karena sama-sama agama misi, dan pernah
bertempur sejak abad ke-7 masehi melalui Perang salib.
Tetapi golongan minoritas seperti Kristen,
Katholik, Hindu, Buddha, dan Konfusianisme telah
hidup dengan damai berdampingan dengan saudara-
saudara mereka yang beragama Islam. Adapun kadang
muncul konflik di era modern, penyebab utamanya
bukan karena perbedaan agama, melainkan lebih banyak
dipicu oleh perbedaan kepentingan politik dan ekonomi,
diciptakan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab
dan berniat buruk.
Islam menawarkan posisi egalitarian bagi semua
manusia di depan Tuhan dan di depan sejarah, sebuah
doktrin yang tidak dikenal Hindu. Ini merupakan salah
satu faktor penyebab Islam muncul sebagai pemenang di
Nusantara dalam hal kuantitas. Watak pelaut saudagar
Nusantara juga turut andil dalam proses Islamisasi,
116
W.F. Wertheim, Indonesian Society In Transition : A Study Of
Social Change. The Hague: W. Van hoove publishers, 1969, hlm. 196
66
berdagang sambil berdakwah merupakan gejala umum di
nusantara kala itu.
Dalam Islam, orang merasa harga dirinya tidak
tersekat-sekat oleh kasta yang melecehkan martabat
manusia selama ratusan tahun. Namun dalam perjalanan
sejarah, banyak kelompok muslim yang menganggap
mereka lebih mulia dari yang lain, faktornya antara lain
karena darah atau menyandang atribut buatan lain. Di
kalangan bangsawan muncul perasaan sombong, merasa
lebih tinggi derajatnya dibanding masyarakat banyak,
padahal bisa saja mereka memiliki turunan dari bajak
laut yang kebetulan menang perang. Bahkan mungkin
saja raja Jawa sekarang tidak mustahil mengalir darah
Ken Arok yang merampok Ken Dedes dari Tunggul
Ametung.117
Jika dibandingkan kerajaan Hindu, sistem
kekuasaan Muslim jelas lebih longgar sekalipun masih
dalam sistem dinastik, sebuah penyimpangan yang
dimulai dari pengangkatan Yazid oleh Mu‘awiyah pada
680 Masehi. Pada satu sisi persamaan antara sistem
politik Hindu dengan sistem yang dijalankan oleh
kerajaan Muslim yakni sama-sama bercorak dinasti
minus kasta yang kental di Hindu. 118
Proses Islamisasi yang berkembang dengan sangat
cepat ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh dunia
perdagangan, namun juga keinginan masyarakat Jawa
untuk memiliki identitas dan nilai baru. Ditopang pula
dengan melemahnya majapahit secara politik, ekonomi
dan sosialnya tinggal mengikuti saja. Selain itu pasokan
senjata dari Turki Usmani yang menyuplai kerajaan
Aceh dalam memenangkan banyak pertempuran pada
abad ke-16. Ditambah lagi dengan kualitas keimanan
umat Islam yang merasa Tuhan senantiasa berpihak
117
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit. hlm.67-68 118
Ibid. hlm.72
67
padanya, sekalipun minoritas, hal ini menumbuhkan rasa
solidaritas dan kepercayaan diri umat Islam.
Pendapat Ricklefs yang dikutip maarif mengatakan
Islam disebarkan di Indonesia tidak hanya melalui
persuasi dan tekanan komersial, namun juga melalui
pedang. Merupakan perwujudan bahwa agama sering
tidak mampu untuk mengawal perilaku ekspansi politik
kekuasaan. Oleh karenanya orang harus hati-hati dalam
membedakan antara ekspansi politik kekuasaan dan
pengembangan agama.119
Islamisasi dipacu juga dengan kedatangan Barat
dan kegiatan Kristenisasi di Nusantara. Datangnya
bangsa Eropa ke bumi Nusantara yang mengusung misi
Gold, Glory, Gospel menyebabkan sejumlah besar
bangsawan Indonesia menjadi pemeluk Islam sebagai
langkah politik untuk menghadapi penetrasi Kristen.
Itulah sebabnya sekira penjajahan Barat tidak datang ke
Nusantara, belum tentu penduduk mayoritas Negara ini
adalah Muslim. Para bangsawan yang secara kultural
masih kental dengan Hindu melihat Islam sebagai
kekuatan pembebas. Dengan masuknya mereka ke dalam
barisan Islam yang dipelopori oleh para Kyai, guru
agama dan Dai, kelas bangsawan ini sementara aman
posisinya sampai mereka dan pemimpin agama
dikalahkan oleh Barat.120
Sama halnya dengan jasa Belanda yang
menempatkan Nusantara di bawah satu payung
administrasi kolonial secara paksa, proses ini juga
merupakan bentuk jasa secara tak langsung. Walaupun
penyatuan administrasi itu guna mempermudah mereka
dalam menguras harta kekayaan tanah jajahan. Sekalipun
Islam telah mucul sebagai pemenang dalam pergumulan
dengan agama-agama yang datang sebelumnya, secara
119
M.C. Ricklefs, A History Of Modern Indonesia. London And
Basingstoke : The Macmillan Press, 1982, hlm. 13 120
Ibid. hlm 82 - 83
68
kultural, apa yang sudah dicapai Islam lebih banyak pada
dataran formal dan kuantitatif. Pada sisi kualitatif, sisa-
sisa peninggalan lama pada sebagian orang di Nusantara
justru masih dipelihara. Apalagi Islam sebagai agama
datang ke sini pada umumnya tidak melalui kekuatan
pedang dan pemaksaan, mengikuti pola pendahulunya
Hindu dan Buddha, melalui perembesan damai, sehingga
sistem kepercayaan lama sebagian baru hilang di
permukaan. 121
Tetapi pada saat ekspansi kekuasaan, jalan
kekerasan tidak mustahil telah dilakukan. Orang tidak
boleh menutup mata jika kekerasan itu memang terjadi.
Di bawah permukaan, format sinkritisme yang berlapis-
lapis justru masih bertahan, terutama berupa animisme
dan dinamisme, kepercayaan asli yang sudah berakar
jauh sebelum kedatangan pengaruh India ke Nusantara.
Itulah sebabnya gerakan Islam puritan yang dimulai abad
ke-19 di Sumatera Barat menemui banyak kesulitan
kultural dalam menghadapi lapisan nilai-nilai lama yang
telah bertapak kukuh sebelumnya.
Puritanisme agresif yang tampak pada gerakan
paderi di Sumatera Barat telah semakin ditinggalkan,
diganti dengan pendekatan-pendekatan kultural yang
lebih mencerahkan dan persuasif. Muhammadiyah lahir
pada awal dasawarsa kedua abad ke-20 di Yogyakarta,
pusat kebudayaan Jawa, dan kemudian berkembang
dengan sangat cepat di Ranah Minang. Di samping
mengusung bendera puritanisme moderat, kegiatan
konkretnya di lapangan pendidikan dan kesehatan telah
mengukuhkan dirinya sebagai gerakan Islam yang
berorientasi amal yang terkemuka di bumi. Setidak-
tidaknya, pada tataran jumlah, hampir tidak ada gerakan
Islam yang bisa menandinginya.
121
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit. hlm.35
69
Gerakan Islam tradisi dalam NU (Nahdlatul
Ulama), lahir tahun 1926, yang semula ingin
membendung pengaruh puritanisme dan lebih
mengutamakan tradisi dan nilai-nilai lama, dalam
perkembangan belakangan bahkan semakin dekat dengan
Muhammadiyah, telah membuka diri secara lebar
terhadap pemikiran-pemikiran baru Islam.
Belakangan Muhammadiyah dan NU yang
mewakili arus besar Islam di Indonesia telah bahu-
membahu dalam mengibarkan panji-panji Islam terbuka,
modern, dan moderat, sebuah modal sosial yang sangat
strategis bagi kelangsungan Indonesia sebagai bangsa
yang plural pada masa-masa yang akan datang. Sudah
menjadi semacam aksioma, selama NU dan
Muhammmadiyah bergandengan tangan, bangsa ini tetap
merasa aman dari ancaman radikalisme ekstrem. Selain
itu, kiprah Muhammadiyah dan NU dalam ranah
pendidikan patut diapresiasi karena Belanda dalam
menyebarkan radius pengaruh mereka melalui
pendidikan dan pelayanan sosial kesehatan. Namun
berkat adanya lembaga pendidikan dan kesehatan yang
dimiliki Muhammadiyah, serta kekuatan kultural yang
berasal dari pesantren NU, pengaruh Belanda setidaknya
dapat ditangani.122
Sejarah yang baik selalu menuntut kejujuran
penulisnya, sesuatu yang tidak mudah karena manusia
itu bersifat nisbi dan sarat dengan kepentingan.123
Yang
selalu diminta adalah agar orang jangan menulis sejarah
tanpa fakta, betapapun fakta itu dapat merugikan dirinya
atau golongan manusia yang dikaguminya. Menulis
sejarah selalu menuntut integritas pribadi sejarawan
secara prima. Tanpa integritas, karya sejarah yang
dihasilkan pasti mengandung cacat akademik.
122
Ibid, hlm. 36-37 123
Ibid, hlm. 49
70
Proses penggunaan Bahasa Indonesia yang
merupakan cabang dari bahasa Melayu yang berasal dari
kepulauan Riau. Berawal dari Pemerintah Hindia
Belanda pada perkisaran abad yang lalu memilih bahasa
Melayu sebagai ―bahasa administrasi kekuasaannya
untuk mengoptimalkan efisiensi eksploitasi
kolonialnya‖. Selain itu, kualitas saudagar melayu dalam
berdakwah juga menjadikan bahasa ini semakin meluas
penggunaannya di bumi Nusantara. Berbeda dengan
bahasa Jawa yang kental akan kasta, karena memang
kelahirannya pada puluhan abad yang lalu kental dengan
sekat-sekat sosial. Sementara itu, bahasa melayu
cenderung egaliter dan pantas untuk digunakan sebagai
bahasa pemersatu wilayah yang multikultural ini.
2. Islam dan Kemanusiaan
Isu demokrasi terkait kemanusiaan, kemajemukan,
toleransi dan kebangsaan dibahas di sini oleh Ahmad
Syafii Maarif dimana beliau menyatakan Indonesia ke
depan harus menyatakan secara sadar bahwa sistem
demokrasi adalah pilihan satu-satuya, warga negara
Indonesia tidak boleh berpaling pada sistem yang lain.
Nabi yang mendapat wahyu tidak menunjukkan dirinya
lebih tinggi dari para sahabatnya jika sedang
bermusyawarah. Penampilan Nabi yang mulia di
tengah-tengah sahabatnya pastilah akan terus
mengilhami kultur egalitarianisme pada umat Islam.124
Masalah keragaman agama dan budaya tidak bisa
lepas dari prinsip kebebasan yang merupakan salah satu
pilar utama demokrasi. Tetapi di mata Al-Qur‘an
kebebasan bukan lah tanpa batas, yaitu dibatasi oleh
ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Manusia hanya
bebas dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
betul-betul bersifat ikhtiariah, yakni yang di dalamnya
Ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak
124
Musa Al – Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah,
Terjemahan. Ahmad Munif. Jakarta: Qalam, 1995, hlm. 36-37
71
melakukan. Oleh karena itu Ia pun bertanggung jawab
dalam hal -hal yang benar-benar Ia tidak terpaksa dalam
melakukan atau tidak melakukannya125
Dalam Islam jiwa kebangsaan yang sejati tidak
boleh bertentangan dengan kemanusiaan, melainkan
harus menjadi bentuk dan kemanusiaan yang nyata.
Oleh karena itu, kebangsaan ini tidak mengandung arti
permusuhan dengan bangsa lain, melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu
dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju
kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh
bangsa.126
Jalan yang terbaik dan sah bagi seorang muslim
dalam kehidupan bermasyarakat adalah
mengembangkan kultur toleransi. Karena Al-Qur‘an
menguatkan adanya eksistensi ke berbagai suku, bangsa,
agama, bahasa, dan sejarah. Semua ini hanya mungkin
hidup dalam harmonis, aman, dan damai jika di sana
kultur lapang dada dijadikan perekat utama. Paradigma
yang terdapat di dalam Al-Qur‘an, baik ayat-ayat
toleransi maupun reinterpretasi ayat-ayat yang
seringkali digunakan untuk tindakan toleransi.
Perbedaan dan keragaman dalam menafsirkan
ajaran agama adalah fakta yang harus diakui.
Masalahnya menjadi lebih penting jika diingatkan pula
bahwa bukan saja kekuatan masing-masing dimensi
keagamaan yaitu dimensi keyakinan, pengetahuan,
ritual, pengabdian dan pengalaman relegius pada setiap
kesatuan etnis kultural yang berbeda-beda, bahkan
besarnya ruang lingkup dan dalamnya pengaruh agama
dalam kehidupan sosial juga tidak sama.
Peradaban Islam yang dibangun di Indonesia tidak
boleh hanyut dan larut dalam unsur-unsur lokal yang
125
Ibid. Hlm. 143 126
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas, hlm. 30
72
negatif dan terbelakang dan juga tidak terseret oleh arus
global yang dapat mengundang malapetaka bagi Islam
Indonesia, seperti perilaku kekerasan atas nama agama
dan gaya hidup materialistik. Islam sebagai acuan moral
individu dan publik harus diberi posisi utama dalam
pergaulan antara manusia baik lokal, nasional dan
global.127
Khusus untuk menghadapi tantangan global
yang semakin dahsyat, Islam Indonesia perlu
melahirkan pasukan intelektual kelas satu. Pasukan ini
di samping memahami warisan pemikiran klasik Islam
dengan baik juga mengetahui perkembangan peradaban
kontemporer umat manusia.
Kesenjangan antara bentuk dan isi sudah lama
terlihat di semua bangsa muslim di dunia. Karena umat
Islam lebih terpaku oleh bentuk dengan mengabaikan
isi. Corak dan bentuk yang serba Islam akan menjadi
bumerang ketika bentuk-bentuk formal gagal
menampilkan nilai-nilai keislaman dengan kualitas
tinggi. Kesenjangan semacam ini berlaku karena orang
pada umumnya mengabaikan kualitas, inilah yang
dimaksud dengan pergumulan antara bentuk dan isi.
Islam mampu bertahan selama berabad-abad di
nusantara ini, dengan segala kekuatan dan
kelemahannya. Agar jumlah umat Islam ini tidak
menurun, masalah peningkatan kualitas harus lebih
diutamakan. Indonesia dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika adalah sebuah bangsa multi etnis, multi
iman, dan multi ekspresi kultural dan politik. Hal ini
jika dikelola dengan baik, cerdas, dan jujur pasti akan
merupakan sebuah kekayaan kultural. Hal inilah yang
menunjang masa depan Indonesia yang harus kita bela
dan perjuangkan.
Ketulusan adalah sifat dasar yang menyatu dengan
karakter manusia. Orang yang mengaku bijak tapi
127
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit. hlm.208
73
curang dalam berbuat adalah adalah pengakuan palsu.
Begitu juga seseorang yang memperdagangkan agama
atas nama Tuhan adalah orang yang sedang main api
tentang kebenaran dan sekaligus mengingkari konsep
ketulusan.
Peta peradaban global juga jauh dari selesai jika
ditinjau dari sistem kenabian yang sudah semakin
terlantar di tengah arus sekularisme/ateisme atau arus
fundamentalisme agama. Kenyataan yang terbentang di
depan kita pada permulaan abad ke–21 ini bukan
pemahaman moral dan kultural yang berlaku, melainkan
justru oleh si kuat atas si lemah dengan korban ribuan
manusia tak berdosa. Sasaran utamanya kali ini adalah
beberapa bangsa-bangsa muslim. Ilmu pengetahuan
tidak digunakan untuk memuliakan manusia, tetapi
malah untuk menghancurkannya.
3. Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan
Kemanusiaan
Dalam karya Ahmad Syafii Maarif ini Dengan
jelas memperlihatkan dan didukung oleh argumen-
argumen yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa
antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan tidak saja
bisa berjalan bersama dan seiring, tetapi ketiganya dapat
menyatu dan saling mengisi untuk membangun sebuah
taman sari yang khas Indonesia. Ketiga kekuatan nilai
itu mestilah saling melengkapi.
Di taman sari ini, watak universal Islam tampil
dalam wujud kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk
Nusantara, semua gerakan yang bercorak Islam harus
senantiasa mempertimbangkan dengan cermat dan
cerdas realitas sosio-historis Indonesia, demi keamanan,
kedamaian, dan kejayaan agama ini dalam mencapai
74
tujuan mulia yang harus pula ditempuh dengan cara-cara
yang mulia dan beradab. 128
Di luar koridor itu, Islam hanya akan berhenti pada
tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi
utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa
hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan
monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang
halus, elok, dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup
dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau
Islam Qur'ani yang selalu memberi inspirasi untuk
berbuat yang terbaik bagi semua makhluk. 129
Pesan Ahmad Syafii Maarif yang tersurat dalam
buku ini adalah agar para kader bangsa menjaga stamina
spiritual dan komitmen yang tulus untuk sebuah
Indonesia yang adil dan bermartabat. beliau
menginginkan terbentuknya sebuah Indonesia sebagai
perumahan, yang membuat betah bagi kehidupan
bersama sebagai bangsa dan negara.130
Kelalaian kita sejak Proklamasi adalah sikap yang
tidak serius dalam upaya memelihara dan menjaga
sesuatu yang tidak given ini, karena menyangka
semuanya sudah beres, semuanya sudah tertata.
Pandangan serba parokial inilah yang menjadi salah satu
sebab mengapa bangsa ini sering dihadapkan kepada
letupan-letupan sosial-politik yang menguras energi dan
perhatian, tidak jarang pula berdarah-darah.
Potensi untuk menjaga keutuhan bangsa ini di
kalangan NU dan Muhammadiyah sungguh luar biasa.
Perkara pimpinan yang lebih tua terkadang merasa tidak
nyaman dengan kiprah anak-anak muda ini, bukan
perkara aneh. Bukankah setiap terobosan pemikiran
128
Ibid. hlm.312 – 313. 129
Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought In
Islam. Lahore: Kashmiri Bazar, 1971, hlm. 148 130
Jakob Oetama, Berpikir Ulang Tentang Keindonesiaan. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 4
75
yang maju hampir pasti akan menimbulkan
keguncangan dan mungkin kecurigaan, tetapi secara
diam-diam diikuti dengan syarat landasan pemikiran
yang ditawarkan cukup kuat secara agama dan akal
sehat. 131
Ini terjadi pada umumnya karena masalah
kesenjangan bacaan, informasi, dan luas sempitnya
radius pergaulan. Anak-anak muda barangkali lebih
rakus dalam melalap bacaan-bacaan baru yang lebih
segar, sementara yang tua masih terpaku dengan
khazanah yang serba-klasik yang relevansinya belum
tentu sesuai dengan perkembangan baru. Gejala
semacam ini tampaknya seakan-akan telah menjadi
kecenderungan sejarah hampir di semua negeri Muslim.
Peradaban Islam tidak boleh dibiarkan seperti
kerakap di atas batu, mati tidak, hidup pun enggan.
Harus ada keberanian untuk melakukan terobosan
dengan berpijak atas dalil-dalil agama yang dipahami
secara benar dan cerdas, tekstual sekaligus kontekstual.
Penafsiran Islam klasik jangan dijadikan berhala,
sehingga hilang keberanian untuk menafsirkan Islam
dengan cara baru, segar, dan bertanggung jawab.
Tafsiran baru ini harus benar dalam perspektif ilmu,
tetapi tetap berada dalam parameter iman yang tulus.
Kemudian untuk semua gerakan Islam di
Indonesia, yang harus diingat selalu dan diperhitungkan
dengan hati-hati adalah agar benturan-benturan yang
berbau agama, etnis, dan kultural tidak boleh terjadi lagi
di masa yang akan datang. Ongkosnya terlalu mahal
yang harus dibayar, dan sampai batas-batas tertentu
telah merusak suasana taman sari Nusantara yang elok
itu. Indonesia sebagai bangsa dan negara yang belum
berusia satu abad, dengan pengalaman manis dan pahit
yang telah dilaluinya, harus pandai belajar secerdas
131
Ahmad Syafii Maarif, Op.Cit. hlm.318
76
mungkin dan memetik kearifan dari kelampauan penuh
rona dan pengalaman yang sangat berharga itu. 132
Karena kita telah memilih demokrasi sebagai
sistem politik yang sudah diperjuangkan sejak awal
pergerakan nasional pada abad yang lalu, maka
konsistensi kita dalam membelanya tidak boleh
kepalang tanggung, sekalipun sering sangat melelahkan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, demokrasi
di tangan para petualang politik bisa menjadi sumber
malapetaka dan kesengsaraan, seperti jelas terlihat
dalam politik luar negeri Amerika yang imperialistik di
bawah Presiden Bush (2001-2009) yang menghancurkan
bangsa-bangsa lain dengan berbagai dalih palsu. 133
Manusia tidak beriman pun harus dilindungi oleh
negara selama mereka patuh kepada konstitusi dan
hukum positif yang berlaku di Indonesia, ketentuan
serupa juga berlaku bagi mereka yang mengaku
beriman. Tidak ada hak negara untuk menghukum
seorang yang tak beriman, selama dia tidak melanggar
undang-undang. Beriman atau tak beriman adalah
pilihan bebas seseorang, asal semuanya itu dilakukan
dengan jujur dan penuh tanggung jawab serta tidak
eksklusif. Dalam perspektif ini, seorang yang berpindah
agama ke agama lain atau memilih tidak beragama
merupakan hak asasi manusia yang wajib dihormati.
Fikih klasik Islam yang menghukum mati orang murtad
harus ditinjau kembali, karena berlawanan dengan ruh
Al-Qur'an, sekalipun Allah marah kepada mereka yang
berganti iman.
Al-Qur'an haruslah dipahami secara holistik,
diikuti benang merah ajarannya, sehingga di depan mata
kita terlihat jelas bentangan sebuah pandangan dunia
yang elok, asri, dan diliputi rasa keadilan yang penuh
rahmat untuk semua makhluk, tanpa kecuali. Barangkaii
132
Ibid, hlm. 318 - 319 133
Ibid, hlm 319
77
dunia ideal semacam ini tidak mungkin diraih di muka
bumi, tetapi roda peradaban harus bergerak ke arah itu
tanpa merasa letih, sekalipun perjalanan dipenuhi onak
dan duri, Apa yang dinamakan perjuangan hidup adalah
menyingkirkan onak dan duri itu dengan sikap berani
yang penuh kearifan. Manakala umat Islam mampu
menampilkan rona kehidupan yang sarat dengan nilai-
nilai kemanusiaan, itulah hakikat dakwah yang
menghidupkan, dakwah yang sejati. 134
Menciptakan sebuah bangunan Islam dalam
bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu
tarikan napas lebih merupakan kerja dakwah dan
kebudayaan bukan sekedar kerja politik. Melalui
pendekatan dakwah dan kebudayaan, nilai-nilai dasar
Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan dapat dirancang
dengan lebih teliti, sabar, dan berdaya jangkau jauh. Jika
nilai-nilai dasar ini sudah kuat, maka pengaruhnya di
ranah politik juga akan terasa, yaitu tampilnya politik
yang berkeadaban, bukan politik kekuasaan yang
kerjanya menyikut kiri-kanan, tidak peduli orang lain
tersingkir dan tersungkur. Politik yang dibimbing oleh
nilai-nilai profetik pastilah akan bermuara pada
kedamaian dan keadilan, sekalipun para pelakunya
berbeda ideologi.
Di tangan para pemimpin dengan kualitas di atas,
persenyawaan antara Islam yang didukung oleh agama-
agama lain yang hidup di Tanah Air kita, dengan
keindonesiaan dan kemanusiaan, bangsa ini akan
menemukan jati dirinya yang sejati dan padu. Dengan
persenyawaan ini, Pancasila akan diberi fondasi spiritual
kenabian yang tahan banting. Sebuah Indonesia masa
depan yang utuh sungguh memerlukan dasar spiritual
kultural yang kukuh dalam upaya menopang harkat dan
134
Ibid, hlm. 322
78
martabat bangsa ini untuk masa yang panjang, tanpa
batas.135
135
Ibid, hlm.328
79
BAB IV
ANALISIS
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam
bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan perspektif Fiqh
Siyasah
Ahmad Syafii Maarif meyakini bahwa, hubungan Islam,
keindonesiaan dan kemanusiaan dengan hubungan budaya yang
tidak bisa dipisahkan. Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa
hubungan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan harus
ditempatkan dalam satu garis dan senafas. Islam lahir dan
berkembang di Indonesia sepenuhnya dalam darah dan daging
sejarah serta tidak dalam kevakuman budaya. Sebagai agama
sejarah, Islam telah, sedang, dan akan terus bergumul dengan
lingkungan yang senatiasa berubah. Karena tujuan Islam adalah
mengarahkan perubahan itu agar tidak tergelincir dari jalan lurus
esensi keislaman yaitu paradaban, kemanusiaan, dan keadilan.
Islam yang tidak berwatak keras dan kasar, teror, dan radikal
Realita negara kita yang sebagian besar penduduknya
adalah muslim maka sangat dibutuhkan suatu sumber dalam
membuat hukum yang bersendi Islam yang sumber tersebut
tidak lain adalah Al-Qur‘an dan hadist. Meskipun demikian,
teks-teks Al-Quran tidak dapat dipahami secara eksklusif akan
tetapi harus secara inklusif dan holistik. Dengan demikian posisi
fiqh siyasah sangat besar dalam membuat suatu aturan agar
peraturan tersebut dapat terealisasi baik dari segi ritual maupun
dari segi sosial kemasyarakatan dalam hal ini berbangsa dan
bernegara dengan tujuan mencapai kemaslahatan. Kemaslahatan
yang dimaksud adalah kemaslahatan dari segi bernegara dan
bermasyarakat.
Fiqh siyasah memberikan prinsip – prinsip yang dijadikan
sebagai indikator untuk menjalankan roda pemerintahan dalam
bernegara secara Islami yang diperoleh dari Al – Qur‘an dan
Hadist yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan di dunia
dan keselamatan di akhirat kelak. Prinsip – prinsip secara
80
implisit yang diperoleh dari fiqh siyasah secara keseluruhan
tertuju pada suatu tujuan negara dan bangsa dalam lingkup
masyarakat untuk merealisasikan tujuan Islam yang menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Peran Islam dan pemikir muslim yang ingin dikembangkan
di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif,
dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar
bangsa dan negara. Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang
beragam, sebuah Islam yang memberi keadilan, kenyamanan,
keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam
di Nusantara ini.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, daulat tuanku hampir selalu
mengalahkan daulat rakyat yang merupakan pengkhianatan dari
demokrasi yang sehat. Demokrasi mengamanahkan para pemain
yang jujur, bertanggung jawab, lapang dada, dan memiliki
integritas. Demi tegaknya sebuah sistem politik yang berpihak
sepenuhnya pada kepentingan dan kesejahteraan umum. Di sisi
masyarakat, timbul budaya kekerasan yang dipertontonkan
segolongan orang yang mengatasnamakan Islam. Hal ini
berimbas pada stigma negatif yang diterima Islam, tidak lagi
terlihat sebagai sumber rahmat, namun dipaksa oleh mereka
menjadi sumber malapetaka, sumber kekerasan, akibat tafsiran
yang salah dan ahistoris. Yang dilakukan mereka merupakan
tindakan yang gagap terhadap realita kontemporer, adalah benar
bahwa perbuatan yang mungkar harus dilawan, namun harus
didahului oleh perbuatan yang ma‘ruf.
Seharusnya kita mampu menyediakan alternatif yang lebih
baik jika sistem yang kita nilai sudah rusak. Hal ini hanya bisa
dilakukan oleh yang orang yang memiliki pikiran yang tulus
sabar dan cerdas. Bukan pekerjaan hura-hura dan demonstrasi
dengan pekik Allahu Akbar, tetapi harus dilakukan melalui kerja
yang serius dan terarah. Semua gerakan Islam di Indonesia harus
selalu mengingat dan memperhitungkan secara hati-hati agar
tidak terjadi lagi di masa depan benturan yang berbau agama,
etnis, dan kultural. Indonesia sebagai negara besar yang belum
81
berusia satu abad, memiliki pengalaman manis dan pahit yang
dilalui, harus pandai mengambil pelajaran untuk memetik
kearifan dari masa lalu. Karena kita telah memilih demokrasi
sebagai sistem politik yang diperjuangkan dan dipertahankan
sejak awal pergerakan nasional, kita harus membelanya dengan
total, sekalipun amat melelahkan. Namun harus diingat,
demokrasi di tangan orang yang salah dapat menjadi sumber
malapetaka dan kesengsaraan.
Berbicara mengenai Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan
berarti kita masuk ke dalam ranah yang luas. Peta masa depan
Indonesia yang hendak dibangun dan diciptakan harus menjamin
rasa kenyamanan dan keamanan melalui prinsip keadilan yang
berlaku secara merata, tanpa pandang bulu. Tanggung jawab
umat Islam Indonesia untuk menciptakan negara yang adil dan
berwajah ramah karena jumlah mayoritasnya dan juga karena
ajaran Islam memang menghendaki itu. Namun tanggung jawab
itu akan sia-sia jika kualitas umat Islam masih dibawah standar
dan kurang terdidik.
Menurut Maarif, manusia tidak beriman harus dilindungi
oleh negara selama mereka patuh kepada konstitusi dan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Ketentuan itu juga hendaknya
berlaku bagi mereka yang beriman. Al-Qur‘an harus dipahami
secara holistik, diikuti benang merah ajarannya, sehingga di
depan mata kita terlihat jelas pandangan dunia yang indah,
damai dan asri yang diliputi keadilan yang penuh rahmat untuk
semua makhluk. Manakala umat Islam mampu menampilkan
yang seperti itu, menampilkan rona kehidupan yang hidup dalam
nilai-nilai kemanusiaan, maka itulah hakikat dakwah yang sejati.
Maka demi upaya membumikan keindonesiaan dan
kemanusiaan kita, piagam jakarta tidak perlu lagi dilihat dari
perspektif legal formal, namun diambil ruhnya berupa tegaknya
keadilan yang merata bagi seluruh penghuni nusantara.
Pancasila harus membuka pintu selebar-lebarnya untuk
menerima sumber moral dari agama yang berkembang di
Indonesia dan Islam sebagai agama mayoritas dan ajarannya
bersifat holistik, harus berperan besar. Kelima sila dalam
82
pancasila tidaklah perlu dipersoalkan dalam Teologi Islam jika
dipahami secara arif dan bijak.
Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa akan menjadi
hampa jika keadilan dan kemakmuran untuk semua tidak
menjadi realitas di Tanah Air kita. Pengalaman masa lampau
ketika Islam dibenturkan dengan politik kekuasaan jangan
sampai terulang lagi, sebab akan menghasilkan hal yang sia-sia.
Islam yang harus ditawarkan adalah sebuah Islam yang bersedia
bergandengan tangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cara beragama yang benar harus terlihat secara konkret
dalam perilaku penganutnya yang jujur, ikhlas, dan lapang dada.
Segala perbedaan yang terlihat dalam sistem teologis masing-
masing agama jangan digunakan untuk merenggangkan kualitas
persaudaraan lintas umat, namun harus jadi sumber untuk
memperkaya pengalaman keagamaan bangsa ini.
Fiqh siyasah dalam hal ini menyikapi konsep Pemikiran
Ahmad Syafii Maarif terkait Islam dalam bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan sejalan dengan prinsip – prinsip siyasah
terkait manusia sebagai umat yang satu, musyawarah, persatuan
dan persaudaraan, persamaan, membela negara, keadilan, dan
hak-hak asasi.
Dilihat dari teori para pemikir muslim kontemporer
pemikiran Ahmad Syafii Maarif terkait Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan lebih kepada arah teori
pemikiran politik Islam integrasi hal ini terletak pada konsepsi
pemikiran Islam dan relasinya dengan negara dan masyarakat
yang dianut oleh pemikir seperti Husein Haikal, Fazlur Rahman
dan Mohammed Arkoun. Para pemikir tersebut menyatakan
bahwa menurut teori tersebut, kendati Islam tidak menunjukkan
preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam
terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan
bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas
memilih sistem mana pun yang terbaik.
83
Lebih lanjut mengenai hal tersebut, pemikiran Ahmad
Syafii Maarif terkait tipologi ini dapat terlihat dengan
argumentasi beliau yang menyatakan untuk lebih
mengedepankan konsepsi Islam kultural bukan struktural.
Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif menilai substansi Islam
dapat terejawentahkan bukan karena menganut model negara
Islam dengan sistem aristokrat tetapi Islam dapat termanifestasi
oleh perbuatan para muslim yang ada di Indonesia dengan
bersifat toleran, humanis, inklusif, dan selalu berfikiran terbuka
akan segala hal. Islam yang ingin ditunjukan di Indonesia bagi
beliau adalah Islam yang ramah dan merangkul seluruh kader
bangsa untuk berjalan ke arah Indonesia yang maju, berdaulat,
adil, dan makmur untuk seluruh warganya.
Gerakan ke arah itu sudah dimulai, tetapi masih
memerlukan visi yang lebih tajam lagi sehingga citra Islam yang
tampil adalah Islam yang mengayomi semua pihak. Jika
berbicara tentang Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan,
berarti telah memasuki suatu ranah yang dalam dan luas. Peta
masa depan Indonesia yang hendak dibangun dan ciptakan
haruslah demikian rupa, sehingga siapa pun yang hidup di
Nusantara ini benar-benar merasakan kenyamanan dan
keamanan, karena prinsip keadilan berlaku untuk semua, tidak
ada diskriminasi dengan pertimbangan dan alasan apa pun.
Mayoritas penduduk beragama Islam, tanggung jawab
merekalah untuk menciptakan sebuah Indonesia yang adil dan
berwajah ramah menjadi sangat besar pula sesuai dengan jumlah
mereka yang besar. Tetapi tanggung jawab itu akan sukar
dilaksanakan jika kualitas umat Islam masih di bawah standar,
miskin, kurang terdidik, dan sempit hati.
Menciptakan sebuah bangunan Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan napas lebih
merupakan kerja dakwah dan kebudayaan ketimbang kerja
politik. Melalui pendekatan dakwah dan kebudayaan, nilai-nilai
dasar Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan dapat dirancang
dengan lebih teliti, sabar, dan berdaya jangkau jauh. Jika nilai-
nilai dasar ini sudah kuat, maka pengaruhnya di ranah politik
84
juga akan terasa, yaitu tampilnya politik yang berkeadaban,
bukan politik kekuasaan yang kerjanya menyikut kiri-kanan,
tidak peduli orang lain tersingkir dan tersungkur. Politik yang
dibimbing oleh nilai-nilai profetik pastilah akan bermuara pada
kedamaian dan keadilan, sekalipun para pelakunya berbeda
ideologi.
Terkait hal-hal itu nantinya akan tercipta suatu peradaban
integratif antara pemahaman Islam muslim Indonesia dengan
pembangunanan peradaban di Indonesia yang saling
melengkapi, melindungi, dan mewujudkan cita-cita para The
Founding fathers bangsa Indonesia. Pengalaman keberhasilan
atau kegagalan kita selama sekian dasawarsa harus menjadi
landasan bangsa muslim di Indonesia untuk terus berkembang
ke arah yang lebih visioner dan progresif. Kita tidak saja
memerlukan otak-otak besar yang telah dan akan lahir dari
rahim bangsa ini, tetapi juga, dan mungkin malah yang paling
mendesak, punya hati nurani yang bersih, sebersih air Danau
Matano di Sorowako.
Otak cerdas telah banyak dilahirkan, tetapi hati yang cerdas
dan tulus masih perlu diperjuangkan. Bagaimana mengawinkan
antara otak dan hati, itulah sebenarnya yang perlu dilakukan
oleh seluruh sistem pendidikan kita di masa depan yang tidak
terlalu jauh. Kecerdasan otak dapat melahirkan para ilmuwan
dan teknolog besar. Tetapi itu belum cukup, harus didampingi
oleh kecerdasan hati yang akan membuahkan kearifan dan sikap
timbang rasa yang adil. Indonesia sebagai bangsa besar yang
heterogen dan plural sungguh memerlukan para pemimpin yang
cerdas dan arif itu. Kelemahan sistem pendidikan Indonesia
sejak merdeka terletak pada kurangnya perhatian terhadap
dimensi hati ini.
Arwah para pendiri bangsa dan negara ini akan tersenyum
ria di alam sana bilamana para penerusnya adalah mereka yang
cerdas, arif, dan berhati nurani yang peka. Tetapi arwah itu akan
menangis terisak dengan isakan yang dalam sekali, bilamana
para penerus yang datang kemudian sudah tidak hirau lagi
85
dengan nilai-nilai mulia yang sebenarnya terpahat kukuh dalam
jiwa bangsa ini sejak saat pembentukannya pada tahun 1920-an.
Ahmad Syafii Maarif optimis dalam menatap masa depan
Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dengan
syarat umat akan lebih mengutamakan kualitas dalam semua
dimensi kehidupan. Kesadaran yang mendalam untuk
memperbaiki kondisi umat ini perlu selalu dimiliki oleh para
pemimpin mereka, jika kita memang ingin melihat masa depan
Indonesia berpihak kepada Islam. Tetapi jika Islam itu menang
dalam perlombaan peradaban haruslah ditafsirkan sebagai Islam
yang memayungi semua orang.
86
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk
mengetahui pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat
beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan adalah suatu
pemikiran integratif antara Islam, keindonesiaan dan
kemanusiaan di mana ketiga hal tersebut dapat saling
berintegrasi satu sama lain untuk mewujudkan peradaban
Islam di Indonesia yang maju, progresif, ramah, terbuka,
dan inklusif. Pemikiran ini memiliki visi untuk
memberikan ruang pada agama Islam agar pemikiran
mengenai Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan dapat
diterima dan tidak perlu diperdebatkan lagi sehingga
Islam dapat berjalan sejalan dengan ketiga hal tersebut
sehingga bermanifestasi menjadi sebuah Islam yang
memayungi Keindonesiaan dan kemanusiaan sehingga
Islam di Indonesia lebih berkemajuan dan memberi rasa
keadilan, keamanan, dan perlindungan bagi seluruh
warganya.
2. Perspektif fiqh siyasah terhadap Pemikiran Ahmad
Syafii Maarif tentang Islam dalam bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan adalah terdapat
keserasian antara prinsip – prinsip fiqh siyasah dengan
pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam
bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan terkait
manusia sebagai umat yang satu, musyawarah, persatuan
dan persaudaraan, persamaan, membela negara, keadilan,
dan hak-hak asasi. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
terkait Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan lebih kepada arah tipologi pemikiran
politik Islam moderat seperti yang dianut oleh pemikir
88
politik Islam kontemporer seperti Husein Haikal, Fazlur
Rahman, dan Mohammed Arkoun.
B. Saran
Melihat keadaan bangsa Indonesia yang masih sangat
disibukan dengan perebutan kekuasaan dan aksi saling sikut
antar saudara seagama dan setanah air untuk memperoleh
jabatan, sangat disayangkan sekali mengingat para pendiri
bangsa kita sudah memberikan pondasi yang sangat kuat
untuk menatap masa depan Bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang berkebudayaan, berkeadilan, dan sarat akan
persatuan.
Pemikiran progresif Ahmad Syafii Maarif untuk
melakukan integrasi antar nilai – nilai Islam dengan
Keindonesiaan dan Kemanusaain haruslah dipahami sebagai
kerjasama antar kader bangsa untuk mewujudkan sebuah
bangsa Indonesia yang yang berdaulat, adil, dan makmur.
Optimisme Ahmad Syafii Maarif untuk mengembangkan
sebuah Islam yang terbuka, inklusif, adil, dan humanis harus
dijadikan contoh untuk para kader muslim muda yang
progresif untuk menjadi motivasi dalam mewujudkan bangsa
Indonesia yang terbuka untuk semua walau berbeda unsur
suku, agama, dan budaya.
Refleksi sejarah dalam buku Islam dalam bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan yang di dalamnya terdapat
banyak nilai – nilai terkait kebangsaan, keindonesiaan, dan
kemanusiaan di mana unsur politik dan pertentangan antara
kubu harus dipahami secara holistik agar menjadi evalusi
untuk menatap masa depan Indonesia kedepan yang lebih
cerah dengan dipayungi nilai – nilai Islam yang universal
dan humanis.
89
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. Mengapa Negara
Gagal. Elex media komputindo : Jakarta, 2015.
Alim,Muhammad, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam
Islam, LKIS, Yogyakarta, 2010.
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim
Modernist Organization Under Dutch Colonialism.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: 1989.
Alisjahbana, Sutan Takdir. Sejarah Kebudayaan Indonesia
Dilihat dari Segi Nilai-Nilai. Dian Rakyat, Jakarta:
1982.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara
Republik Indonesia (1945-1949). Gema Insani, Jakarta:
1997.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur
Rahman, UII Press, Yogyakarta, 2000.
Asshidiqie, Jimly, Hukum Tatanegara Dan Pilar – Pilar
Demokrasi, Cetakan Ke 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Baswedan, Anies, Merawat Tenun Kebangsaan Refleksi Ihwal
Kepemimpinan, Demokrasi Dan Pendidikan, Serambi,
Jakarta, 2015.
Castles, Francis G., et al., eds. The Oxford handbook of the
welfare state. OUP Oxford, 2012.
Djazuli, Atjep, Fiqh Siyasah: implementasi kemaslahatan umat
dalam rambu-rambu syari'ah, Cetakan Keempat,
Kencana, Jakarta, 2009.
Hakim, Abdul Aziz, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2011.
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, Cetakan Ke 2, Gema
Insani, Depok, 2016.
90
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam, Prenada Media Grup, Jakarta, 2014.
Ismail, Asep Usman, Al – Qur’an Dan Kesejahteraan Sosial,
Lentera Hati, Tangerang, 2012.
Jeffries, Vincent, and Clarence E. Tygart. The influence of
theology, denomination, and values upon the positions of
clergy on social issues. Journal for the Scientific Study
of Religion, 1974.
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara.
Nusamedia : Bandung, 2006.
Koslowski, Peter. Restructuring the Welfare State. Springer,
Berlin, Heidelberg, 1997.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Islam, Penerbit Mizan, cet 2,
Bandung, 1997.
Latif, Yudi. Negara paripurna: historisitas, rasionalitas, dan
aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
2015.
Latief, Hilman. "Fikih Kebinekaan, Pandangan Islam Indonesia
tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non
Muslim." Mizan, Bandung, 2015.
Maarif, Ahmad Syafii, Independensi Muhammadiyah Di
Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik,
Cidesindo, Jakarta, 2000.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan
kemanusiaan: sebuah refleksi sejarah. Edisi Kedua,
Mizan, Bandung, 2015.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai dasar
negara: studi tentang perdebatan dalam konstituante.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.
Maarif, Ahmad Syafii. Otobiografi Ahmad Syafii Maarif: titik-
titik risau di perjalananku. Ombak, Jakarta, 2006.
91
Maarif, Ahmad Syafii, Peta Bumi Intlektualisme Islam di
Indonesia, Mizan, Jakarta, 1995.
MD, Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ke 5, PT
Raja Grafindo, Jakarta, 2012.
Munroe, Trevor, An Introduction to Politics, Stephenson‘s Litho
Press, Jamaica , 2002
Murphy, Jeffrie G. Punishment and the moral emotions: Essays
in law, morality, and religion. OUP USA, 2012.
Musa, Muh. Yusuf, Politik dan Negara Dalam Islam, Terj. M.
Thalib, Pustaka Pelajar, Surabaya, 1990.
Nafis, Cholil, Kependudukan Perspektif Islam, Cetakan Ke 2,
Mitra Abadai Press, Jakarta, 2011.
Pulungan, J. Suyuthi, Fikih Siyasah, Penerbit Ombak,
Yogyakarta, 2014
Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik,
Fokus Media, Bandung, 2015.
Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik
untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara.
Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2006.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, Edisi Kelima, UI Press,Jakarta, 1990.
Stryker, Robin. Globalization and the welfare state,
International journal of sociology and social policy,
1998.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah & Undang-Undang Dasar
1945 NRI 1945: kajian perbandingan tentang dasar
hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk. Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Sukmana, Osman, Et.Al, Negara Kesejahteraan Dan Pelayanan
Sosial, Intrans Publishing, Jawa Timur, 2015.
Syah, Mudakir Iskandar, Hukum dan Keadilan, Grafindo Utama,
Jakarta, 1985.
92
Yasni, Z, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979.
Yunus, M. Yunan, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan
Realitas Sosial Uhamka Press, Jakarta: 2005.