8
Pemetaan dan Pengembangan Decision Support System untuk Pemilihan Supplier Baterai pada PLTS di Indonesia 1 st Margaret Isabel Nahampun Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia [email protected] 2 nd Agus Darmawan Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia [email protected] AbstrakBaterai adalah sistem pendukung dalam panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Keberadaan baterai menjadi sangat penting sebagai penyimpan energi untuk dapat digunakan sewaktu-waktu. Tipe baterai yang umum digunakan di Indonesia adalah baterai litium dan asam timbal. Baterai litium memiliki harga yang lebih mahal namun memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan ringan baik digunakan untuk daerah perkotaan. Baterai lead acid yang lebih berat namun lebih murah dan jarang membutuhkan perawatan baik digunakan untuk daerah pelosok Indonesia. Besarnya potensi energi baru terbarukan terutama surya membuka pasar yang luas untuk baterai. Saat ini, sudah banyak industri Indonesia yang bergerak di bidang manufaktur baterai dan komponennya. Pemetaan industri baterai tersebut diperlukan untuk menggambarkan kondisi kemampuan manufaktur di Indonesia dan masalah yang dihadapi dalam menyambut perwujudan rencana pemerintah dalam peningkatan bauran energi nasional. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa seluruh manufaktur baterai berada di Pulau Jawa dan memiliki kesamaan tentang permasalahan yang dihadapi. Sistem pendukung keputusan diperlukan untuk membantu dalam pemilihan supplier serta alokasi jumlah komponen dan produk hingga ke lokasi pembangkit. Sistem tersebut dirancang dengan pendekatan model matematika sederhana dan diselesaikan dengan goal programming. Running model menunjukkan bahwa sistem pendukung keputusan tersebut dapat digunakan dalam pemilihan supplier dan bisa dikembangkan selanjutnya sesuai kebutuhan. Kata KunciEnergi Baru Terbarukan, Baterai, Pemilihan Supplier, Goal Programming, Sistem Pendukung Keputusan Indonesia adalah negara dengan konsumsi energi terbesar di ASEAN [1]. Pemenuhan energi tersebut didominasi oleh batubara. Pada tahun 2015, 20 dari 30 GW rancangan peningkatan kapasitas energi listrik di Indonesia berasal dari batubara [2]. Penggunaan energi fosil ini akan berdampak buruk bagi ekonomi, lingkungan, dan iklim. Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah salah satu solusi yang ditawarkan oleh berbagai negara di dunia. EBT dapat berasal dari surya, air, angin, geothermal, biomassa, dan energi laut. Potensi EBT di Indonesia sangat besar yakni hingga 442 GW [3]. Pembagian EBT tersebut ialah surya (207,8 GW), air (94,36 GW), angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (28,5 GW), dan energi laut 17,9 GW). Beberapa proyek pemerintah dalam mendukung EBT adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan yang berkapasitas 75 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang berkapasitas 5 MW [2]. Proyek lainnya yaitu proyek hybrid solar dan diesel di Nusa Penida, proyek Cirata di Terapung, dan proyek Saguling yang masih dalam tahap perencanaan. Bauran energi nasional untuk EBT pada tahun 2018 adalah sekitar 8,64 GW atau sekitar 14% dari total kapasitas energi (64,5 GW) [4]. Angka ini dinilai masih kurang untuk mencapai target tahun 2025 mendatang sebesar 115 GW sesuai PP No. 79 Tahun 2014. PLTS menjadi salah satu plant yang berpotensi besar untuk menyumbang kapasitas energi nasional. Sistem Photovoltaic (PV) dinilai dapat meningkatkan pemanfaatan potensi tersebut [5]. Sistem PV telah menjadi salah satu solusi untuk listrik di daerah pedalaman dan area off-grid [6, 7, 8] berpendapat salah satu alasan penduduk yang berada di daerah pelosok dan berpendapatan rendah memlilih PV adalah karena harga panel surya dan baterai yang turun. Naiknya harga bahan bakar juga menjadi salah faktor penyebabnya [9]. Dengan kapasitas dan potensi EBT yang begitu besar, storage atau penyimpan kemudian menjadi komponen yang sangat dibutuhkan. Energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik energi terbarukan yang intermittent seperti angin dan surya dapat disimpan ke dalam penyimpan untuk menyelaraskan antara supply dan demand [10]. Baterai adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menyimpan energi tersebut. Baterai sebagai salah satu pendukung EBT memiliki peranan yang penting dan sudah mulai digunakan di Indonesia, terutama pada solar panel. Jenis baterai yang paling sering digunakan untuk PV adalah baterai asam timbal [11] dan baterai litium [12]. Peran baterai yang begitu penting juga mendorong banyak perusahaan untuk mulai memasarkannya secara luas. Dengan pasar baterai yang semakin luas, industri yang bergerak di bidang manufaktur komponen penyusun baterai juga semakin berkembang. Pemetaan industri baterai ini dianggap penting RO-34 I. PENDAHULUAN

Pemetaan dan Pengembangan Decision Support System untuk ... SENTI 2020-OR (1)… · batubara. Pada tahun 2015, ... memfasilitasi pengguna dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Pemetaan dan Pengembangan Decision Support

    System untuk Pemilihan Supplier Baterai pada PLTS

    di Indonesia

    1st Margaret Isabel Nahampun

    Departemen Teknik Mesin dan Industri

    Universitas Gadjah Mada

    Yogyakarta, Indonesia

    [email protected]

    2nd Agus Darmawan

    Departemen Teknik Mesin dan Industri

    Universitas Gadjah Mada

    Yogyakarta, Indonesia

    [email protected]

    Abstrak—Baterai adalah sistem pendukung dalam panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Keberadaan

    baterai menjadi sangat penting sebagai penyimpan energi untuk

    dapat digunakan sewaktu-waktu. Tipe baterai yang umum

    digunakan di Indonesia adalah baterai litium dan asam timbal.

    Baterai litium memiliki harga yang lebih mahal namun memiliki

    tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan ringan baik digunakan

    untuk daerah perkotaan. Baterai lead acid yang lebih berat namun

    lebih murah dan jarang membutuhkan perawatan baik digunakan

    untuk daerah pelosok Indonesia.

    Besarnya potensi energi baru terbarukan terutama surya

    membuka pasar yang luas untuk baterai. Saat ini, sudah banyak

    industri Indonesia yang bergerak di bidang manufaktur baterai

    dan komponennya. Pemetaan industri baterai tersebut diperlukan

    untuk menggambarkan kondisi kemampuan manufaktur di

    Indonesia dan masalah yang dihadapi dalam menyambut

    perwujudan rencana pemerintah dalam peningkatan bauran

    energi nasional. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa seluruh

    manufaktur baterai berada di Pulau Jawa dan memiliki kesamaan

    tentang permasalahan yang dihadapi.

    Sistem pendukung keputusan diperlukan untuk membantu

    dalam pemilihan supplier serta alokasi jumlah komponen dan

    produk hingga ke lokasi pembangkit. Sistem tersebut dirancang

    dengan pendekatan model matematika sederhana dan

    diselesaikan dengan goal programming. Running model

    menunjukkan bahwa sistem pendukung keputusan tersebut dapat

    digunakan dalam pemilihan supplier dan bisa dikembangkan

    selanjutnya sesuai kebutuhan.

    Kata Kunci—Energi Baru Terbarukan, Baterai,

    Pemilihan Supplier, Goal Programming, Sistem Pendukung

    Keputusan

    Indonesia adalah negara dengan konsumsi energi terbesar di ASEAN [1]. Pemenuhan energi tersebut didominasi oleh batubara. Pada tahun 2015, 20 dari 30 GW rancangan peningkatan kapasitas energi listrik di Indonesia berasal dari batubara [2]. Penggunaan energi fosil ini akan berdampak buruk bagi ekonomi, lingkungan, dan iklim.

    Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah salah satu solusi yang ditawarkan oleh berbagai negara di dunia. EBT dapat berasal dari surya, air, angin, geothermal, biomassa, dan energi laut.

    Potensi EBT di Indonesia sangat besar yakni hingga 442 GW [3]. Pembagian EBT tersebut ialah surya (207,8 GW), air (94,36 GW), angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (28,5 GW), dan energi laut 17,9 GW). Beberapa proyek pemerintah dalam mendukung EBT adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan yang berkapasitas 75 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang berkapasitas 5 MW [2]. Proyek lainnya yaitu proyek hybrid solar dan diesel di Nusa Penida, proyek Cirata di Terapung, dan proyek Saguling yang masih dalam tahap perencanaan.

    Bauran energi nasional untuk EBT pada tahun 2018 adalah sekitar 8,64 GW atau sekitar 14% dari total kapasitas energi (64,5 GW) [4]. Angka ini dinilai masih kurang untuk mencapai target tahun 2025 mendatang sebesar 115 GW sesuai PP No. 79 Tahun 2014. PLTS menjadi salah satu plant yang berpotensi besar untuk menyumbang kapasitas energi nasional. Sistem Photovoltaic (PV) dinilai dapat meningkatkan pemanfaatan potensi tersebut [5].

    Sistem PV telah menjadi salah satu solusi untuk listrik di daerah pedalaman dan area off-grid [6, 7, 8] berpendapat salah satu alasan penduduk yang berada di daerah pelosok dan berpendapatan rendah memlilih PV adalah karena harga panel surya dan baterai yang turun. Naiknya harga bahan bakar juga menjadi salah faktor penyebabnya [9].

    Dengan kapasitas dan potensi EBT yang begitu besar, storage atau penyimpan kemudian menjadi komponen yang sangat dibutuhkan. Energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik energi terbarukan yang intermittent seperti angin dan surya dapat disimpan ke dalam penyimpan untuk menyelaraskan antara supply dan demand [10]. Baterai adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menyimpan energi tersebut.

    Baterai sebagai salah satu pendukung EBT memiliki peranan yang penting dan sudah mulai digunakan di Indonesia, terutama pada solar panel. Jenis baterai yang paling sering digunakan untuk PV adalah baterai asam timbal [11] dan baterai litium [12]. Peran baterai yang begitu penting juga mendorong banyak perusahaan untuk mulai memasarkannya secara luas. Dengan pasar baterai yang semakin luas, industri yang bergerak di bidang manufaktur komponen penyusun baterai juga semakin berkembang. Pemetaan industri baterai ini dianggap penting

    RO-34

    I. PENDAHULUAN

  • bagi pemerintah untuk mengetahui kemampuan dan kesiapan industri manufaktur baterai di masa depan.

    Dari peta industri baterai tersebut, dapat dilakukan pemilihan supplier baterai dan komponen untuk memenuhi permintaan pemerintah maupun stakeholder saat ingin membangun PLTS. Supplier yang terpilih bersifat stochastic karena dapat berubah-ubah tergantung kriteria yang diinginkan. Pemilihan supplier tersebut juga harus memperhatikan karakteristik rantai pasok baterai yang bersifat multi echelon. Aliran supply chain dimulai dari komponen baterai dari supplier kemudian diterima oleh supplier baterai dan dirakit menjadi baterai pack. Baterai pack tersebut kemudian dikirimkan ke lokasi PLTS terkait. Koordinasi terbatas pada rantai pasok tanpa memperhatikan kondisi dari echelon yang lain akan berdampak buruk [13].

    Kondisi yang stochastic dan multi echelon tersebut menjadikan proses pemilihan supplier menjadi lebih kompleks dimana decision maker harus mempertimbangkan banyak supplier, keinginan banyak stakeholder, pemenuhan terhadap regulasi yang ada dan lain-lain [14]. Decision Support System (DSS) adalah sistem komputer interaktif yang dapat memfasilitasi pengguna dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks [15]. Dengan DSS, pemerintah maupun stakeholder dapat menentukan keputusan dalam pemilihan supplier untuk proyek PLTS dengan lebih mudah sesuai kriteria yang diinginkan. Dengan support dari DSS, pemerintah juga akan dapat memetakan kemampuan industri dalam negeri dan permasalahannya secara lebih nyata.

    Energi adalah satu hal yang tidak dapat dilepas dari kehidupan manusia. Sifat energi yang dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya banyak dimanfaatkan. Bentuk energi diantaranya adalah energi angin, surya, potensial, kinetik, listrik, panas, cahaya, bunyi, kimia, fosil, dan nuklir. Energi fosil menjadi kontributor yang dominan dalam konsumsi energi dunia yaitu sebesar 79,76% pada tahun 2015 dari total konsumsi energi menurut data [16]. Angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil seperti minyak, batubara, dan gas alam terlepas dari konsekuensi penggunaannya terhadap lingkungan [17]. Namun demikian, tingkat konsumsi energi dari fosil tidak sebanding dengan ketersediaan fosil yang semakin lama semakin menurun.

    Di Indonesia, konsumsi listrik terus meningkat rata-rata 6% setiap tahunnya, dari 123,4 TWh di 2008 menjadi 203 TWh di 2015 [1]. Electrification rate di Indonesia juga meningkat dari 68% di tahun 2010 menjadi 88,3% tahun 2015 [18]. Namun persebaran listrik yang dirasakan oleh masyarakat tidak merata [1]. Pemerataan electrification rate Indonesia dapat dimulai dengan menerapkan EBT oleh pemerintah khususnya surya di daerah bagian timur, mengingat Indonesia sebagai daerah katulistiwa menerima sinar matahari rata-rata 4,73 – 5,77 kWh/m2/hari [19]. Namun sayangnya, salah satu penghambat kemajuan EBT khususnya surya di Indonesia adalah pemerintah dan stakeholders [5].

    [20] memaparkan barrier penghambat berkembangnya EBT di Indonesia khususnya solar ialah dari bidang socio technical, manajemen, ekonomi, dan regulasi. Regulasi dianggap sebagai faktor yang paling penting karena berpengaruh langsung

    terhadap pasar dan investasi. Pembangunan sistem PV grid skala besar adalah salah satu pilihan untuk meningkatkan perkembangan energi solar di Indonesia secara signifikan, namun pemerintah tidak dapat afford akibat nilai investasi yang besar [5]. Nilai investasi yang besar dan konsumsi energi nasional oleh rumah tangga sebesar 36% menyebabkan pemerintah lebih menargetkan ke PV rooftop di rumah tangga [21]. Baterai akan memainkan peran yang penting [22] pada keberlanjutan renewable energy.

    Selain sumber daya dan tenaga kerja yang dimiliki, rantai pasok dinilai memegang peranan penting bagi keberhasilan perusahaan. Rantai pasok yang efektif adalah perwujudan dari kemampuan perusahaan yang menjadikannya kompetitif di pasar saat ini [23]. Karakteristik rantai pasok juga dianggap penting untuk dapat menilai sudut pandang dalam penilaian dan strategi yang digunakan.

    Pemilihan supplier termasuk langkah yang crucial untuk keberlangsungan rantai pasok. [24] berpendapat bahwa pemilihan supplier adalah langkah yang paling penting dalam proses purchasing dan merupakan dasar dalam berbagai aktivitas. [25] juga menyatakan bahwa hal terpenting dalam Supply Chain Management (SCM) adalah pemilihan supplier karena membangun hubungan yang stabil antara pembeli dan supplier. [26, 27] menekankan bahwa kriteria kualitatif serta kuantitatif pada pemilihan supplier akan mempengaruhi performa dari rantai pasok secara keseluruhan.

    Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam memilih supplier yang dikenal sebagai langkah strategis dalam rantai pasok [28]. Untuk kasus yang berbeda mungkin membutuhkan pendekatan yang berbeda. [26] berpendapat VIKOR set yang merupakan perpaduan dari 2-tuple linguistic representation dan soft set akan memberikan hasil yang lebih baik terhadap kasus yang memiliki informasi yang tidak lengkap dibanding metode lain. AHP (Analytic Hierarcy Process) Sort II akan lebih baik digunakan pada situasi yang tidak jelas dibanding metode fuzzy yang lain [25]. Masalah yang multi objektif dapat menggunakan metode goal programming [29]. Gabungan beberapa metode juga sering dilakukan seperti penggunaan goal programming dan fuzzy [30, 31, 32].

    Dalam pemilihan supplier, karakteristik supplier yang biasa dinilai adalah dari kapasitas, harga, dan kualitas produk [14]. Selain faktor tersebut, [33] menambahkan service, resiko, dan kemampuan yang dimiliki sebagai kriteria pemilihan supplier. [34] juga menilai supplier dari teknologi inovasi dan delivery perusahaan.

    Sistem perancangan keputusan sering dibutuhkan sebagai support untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Aplikasi sistem perancangan keputusan sangat luas diantaranya pengambilan keputusan lingkungan dan dampaknya pada society [35], perencanaan sekunder pabrik kayu [36], analisis resiko pada rantai pasok [37] optimasi plant bionergi [38] hingga perencanaan produksi agrikultur [39, 15]. Perancangan DSS berbeda-beda tergantung tipe masalah yang diselesaikan dan pendekatan serta tool yang digunakan. [14] merancang DSS pada supply chain bionergi dengan melibatkan beberapa kriteria dan beberapa stakeholder menggunakan framework dan model. DSS pada satisfaction supply chain oleh

    RO-35

    II. TINJAUAN PUSTAKA

  • [40] melibatkan multi objektif menggunakan framework dan model skenario.

    A. Objek

    Objek yang diteliti adalah jaringan rantai pasok baterai litium dan lead acid sebagai sistem pendukung PLTS. Jaringan rantai pasok terdiri dari supplier komponen baterai, supplier baterai, dan konsumen. Rantai pasok termasuk multi echelon dimana pemetaan akan dimulai dari supplier komponen yang menyuplai barang ke perusahaan baterai, dan kemudian dari perusahaan baterai menuju lokasi provinsi baterai akan dikirimkan.

    B. Data

    Data komponen penyusun baterai. Daftar perusahaan manufaktur baterai dan lokasi

    (latitude dan longitude).

    Data nilai TKDN industri baterai. Data biaya pengiriman antar provinsi

    C. Tahapan

    Studi Pustaka. Dilakukan untuk mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan rantai pasok, baterai, dan metode-metode penyelesaian yang sering dilakukan dalam pemilihan supplier.

    Pengambilan Data Awal. Pada tahap ini mulai dilakukan pengambilan data yang berhubungan dengan penelitian. Pengambilan data tersebut menjadi data awal untuk tahap selanjutnya.

    Focus Group Discusiion dan Interview. Sebagai sarana peneliti untuk mengetahui keadaan industri dan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri EBT di Indonesia. Melibatkan Kementerian Perindustrian, PT. Indonesia Power, perusahaan manufaktur baterai, dan tim dari peneliti.

    Site Visit. Data yang ada kemudian diverifikasi dengan cara site visit langsung ke beberapa perusahaan menufaktur oleh tim.

    Webinar dan Assesment Online. Setelah itu dilakukan webinar online antara pihak stakeholder dan yang terlibat. Pada saat webinar tersebut, juga dilakukan kick off platform EBT yang ditujukan agar diisi oleh perusahaan untuk penjaringan data lanjut.

    Pemetaan Perusahaan. Dilakukan pemetaan industri manufaktur baterai pack untuk PLTS di Indonesia dan analisis masalah yang dihadapi oleh industri.

    Pemodelan Pemilihan Supplier. Dilakukan perancangan model awal antara produk dan pihak-pihak yang terkait serta data-data yang dibutuhkan yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah pemilihan supplier.

    Perancangan Decision Support System (DSS). Perancangan DSS dimulai dari klasifikasi masalah, evaluasi alternatif, dan penerapan solusi. Platform yang digunakan ialah Microsoft Excel.

    Verifikasi Model. Verifikasi model memastikan bahwa model dan DSS yang dirancang dapat running dengan baik. Verifikasi DSS dilakukan dengan contoh kasus.

    Analisis Hasil.

    A. Pemetaan Industri Baterai

    Terdapat 16 perusahaan lokal Indonesia yang memiliki pengalaman dan mampu untuk memproduksi baterai pack litium dan baterai modul lead acid yang dibutuhkan dalam PLTS. Sembilan perusahaan memproduksi baterai litium (oranye) dan 5 perusahaan memproduksi baterai asam timbal (biru) sementara 2 perusahaan lainnya memproduksi kedua jenis baterai (biru muda). Seluruh industri terletak di Pulau Jawa dengan persebaran di Jawa Barat (50%), Jawa Timur (25%), Banten (19%), dan Jakarta (6%) seperti pada Gambar 1.

    Gambar 1. Persebaran Industri Baterai di Indonesia

    Komponen – komponen yang berperan dalam manufaktur baterai dapat dilihat pada Gambar 2 untuk baterai litium dan Gambar 3 untuk baterai lead acid.

    Gambar 2. Komponen Baterai Litium

    Gambar 3. Komponen Baterai Lead Acid

    B. Permasalahan Industri Baterai di Indonesia

    Terdapat beberapa masalah yang umum dihadapi oleh industri manufaktur baterai pack di Indonesia, yaitu:

    1) Keterbatasan bahan baku dan teknologi Komponen utama penyusun baterai pack litium yaitu sel

    baterai litium tidak dapat diproduksi di Indonesia. Hal ini diakibatkan karena belum adanya pabrik penghasil bahan baku litium di Indonesia, maupun teknologi untuk manufaktur sel baterai. Mayoritas BMS part yang diperlukan dalam baterai juga merupakan barang impor dari Cina. Hal ini karena teknologi di Indonesia dianggap belum mampu untuk membuat BMS part secara massal.

    2) Persaingan dengan baterai impor Baterai yang beredar di Indonesia masih banyak merupakan

    barang impor dan mayoritas berasal dari Cina. Baterai impor

    RO-36

    III. METODOLOGI

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

  • tersebut bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah dengan kualitas yang memenuhi spesifikasi. Konsumen akan lebih memilih baterai tersebut dibandingkan baterai lokal Indonesia yang lebih mahal meskipun dengan kualitas yang lebih bagus.

    3) Demand yang masih minim Di Indonesia, Peraturan Pemerintah mengenai KEN yaitu PP

    No. 79 Tahun 2014 dinilai masih baru sehingga pembangunan infrastuktur masih sedikit. Demand akan baterai sebagai sistem pendukung EBT tergantung pada ketersediaan akan solar panel pada PLTS dan permintaan pasar. Pemanfaatan 3% dari potensi energi solar sebesar 207,8 GW pada tahun 2018 dinilai sangat rendah [5]. Proyek EBT yang masih sedikit dan pemanfaatan panel surya yang sedikit mempengaruhi langsung terhadap kebutuhan akan baterai.

    4) Regulasi Pemerintah Peraturan pemerintah yang dimaksud ialah tentang pajak

    komponen, nilai TKDN, dan nilai jual batubara. Peraturan pajak komponen mengakibatkan biaya untuk produksi baterai lokal akan lebih mahal daripada mengimpor baterai langsung. Peraturan pemerintah tentang nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) diatur menurut Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 05/M-IND/PER/2/2017. Peraturan ini membatasi pemasaran industri lokal Indonesia, akibat syarat minimal TKDN yang biasanya ada di proyek pemerintah. Batas TKDN untuk baterai ialah minimal 40%. Dari 16 perusahaan manufaktur baterai, 13 perusahaan memiliki sertifikat TKDN. Berdasarkan perbandingan nilai TKDN yang terdaftar di situs kemenperin, nilai TKDN untuk baterai lead acid dinilai sudah baik karena keseluruhan nilai >40%. Standar deviasi pada baterai lead acid tersebut adalah 0,0823. Nilai ini menunjukkan komponen lokal yang ada pada baterai lead acid yang tersebar di Indonesia hampir sama. Pada baterai litium terdapat 7 jenis baterai yang kurang dari 40% diantaranya bernilai 16,94%, 17,59%, 22,24%, dan 27,59%. Sehingga kemampuan lokal beberapa industri Indonesia dalam manufaktur baterai litium masih belum optimal. Kebijakan Pemerintah No. 78/K/30/MEM/2019 juga dianggap membatasi impact dari renewable energy di Indonesia karena harga jual batubara menjadi murah [19]. Harga jual batubara adalah sekitae $0,06/kWh, sementara energi listrik dari PLTS adalah $0,15 kWh [41].

    C. Pemodelan Rantai Pasok Industri Baterai di Indonesia

    Pemilihan supplier baterai pada PLTS dapat dimodelkan multi echelon seperti pada Gambar 4. Produk baterai yang dilambangkan dengan i terdiri dari 2 jenis yaitu baterai litium dan baterai lead acid. Supplier produk (S) merupakan industri yang bergerak dalam manufaktur baterai pack setelah melakukan assembly komponen (j) yang dikirim dari supplier komponen (T). Baterai pack tersebut kemudian dikirim dari lokasi S ke lokasi PLTS (Z) yang diinginkan.

    Asumsi dalam pemodelan ialah jarak dan dimensi produk sudah diwakilkan oleh lead time, delivery cost, dan berat produk. Dalam membangun model, dibutuhkan data spesifikasi perusahaan seperti produk yang dihasilkan, kapasitas produksi dan lokasi. Data lain yang dibutuhkan yaitu harga produk, delivery time, nilai TKDN, sertifikat sebagai tanda produk terstandarisasi, dan lokasi PLTS yang dituju.

    Gambar 4. Model Rantai Pasok

    D. Pengembangan Decision Support System

    Tipe DSS pada pemilihan supplier baterai adalah model driven DSS. Tahapan pengembangan DSS pada pemilihan supplier baterai terdiri dari 3 stage [39]:

    1) Klasifikasi masalah Masalah yang ingin diselesaikan yaitu mencakup alokasi dan

    pemilihan supplier dalam pembangunan PLTS. Pihak yang terlibat dalam model rantai pasok baterai adalah pelanggan dan industri solar panel yaitu Z, industri manufaktur baterai (S), industri komponen baterai (T). Rantai pasok tersebut mencakup multi supplier dan multi objektif dimana jumlah dan tujuan yang ingin dicapai oleh konsumen lebih dari satu. Tujuan yang ingin dicapai ialah harga paling murah, waktu pengiriman cepat, nilai TKDN tinggi, dan sertifikat kualitas yang terjamin. Konsep model DSS, hubungan antara tier perusaan baterai dan komponen serta data yang dibutuhkan dalam pemodelan dan DSS dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5. Konsep Model DSS

    Keputusan dalam memilih supplier tidak terlepas dari data mengenai spesifikasi kemampuan supplier dan karakteristik produk yang diproduksi. Assesment online telah dipersiapkan untuk menjaring data mengenai industri manufaktur baterai di Indonesia. Hubungan antara perusahaan produk dan komponen dengan jumlah komponen produk yang dibutuhkan untuk setiap unit produk perlu didefinisikan.

    2) Evaluasi Alternatif Pemilihan supplier pada baterai termasuk Multi Criteria

    Decision Making dan Multi Objective Decision Making. Metode yang biasa digunakan dalam pemilihan supplier adalah VIKOR [26], Linear Programming, Mixed Integer Linear Programming, Goal Programming [29], AHP Sort II [25] dan Fuzzy. Goal programming (GP) adalah salah pendekatan dalam pengambilan keputusan multi kriteria dan multi objektif yang banyak digunakan [42]. AHP dapat digunakan ketika supplier membutuhkan prioritas dan ranking [14].

    RO-37

  • 3) Pemilihan Alternatif Solusi dan Penerapan Pemilihan supplier menggunakan metode goal

    programming karena dapat mengakomodir multi objektif pelanggan dan melibatkan multi supplier, dan penggunaan yang mempertimbangkan deviasi antara tujuan dapat dimodelkan dengan lebih mudah pada DSS. Perancangan DSS dilakukan dengan menggunakan platform Mirosoft Excel.

    E. Pengembangan Model GP

    Perencanaan model dirancang sehingga:

    Supplier baterai dapat memenuhi demand. Supplier komponen dapat memenuhi kebutuhan baterai. Supply tidak melebihi kapasitas perusahaan.

    1) Parameter Set Notasi parameter yang digunakan dalam model:

    i = set produk i ∈ I j = set dari komponen j ∈ J s = set dari supplier produk s ∈ S z = set pelanggan z ∈ Z t = set dari supplier komponen t ∈ T 𝐷𝑖𝑧 = demand customer untuk produk i ke pelanggan z 𝑊𝑖𝑠 = berat produk i dari supplier s (kg) 𝑃𝑖𝑠 = harga produk i dari supplier s (Rp) 𝐶𝑖𝑠 = kapasitas produk i oleh supplier s 𝐿𝑖𝑠 = lead time produk i dari supplier s (hari) 𝑇𝑖𝑠 = TKDN produk i dari supplier s (%) 𝑆𝑖𝑠 = jumlah sertifikat uji produk i dari supplier s 𝑁𝐾𝑖𝑗 = jumlah komponen j untuk satu unit produk i

    𝑊𝐾𝑗𝑡= berat komponen j dari supplier t (kg)

    𝑃𝐾𝑗𝑡 = harga komponen j dari supplier t (Rp)

    𝐶𝐾𝑗𝑡 = kapasitas komponen j oleh supplier t

    𝐿𝐾𝑗𝑡 = lead time komponen j dari supplier t (hari)

    𝑅𝑠𝑧 = delivery cost produk i dari s ke z (Rp/kg) 𝑅𝐾𝑡𝑠 = delivery cost komponen j dari t ke s (Rp/kg) B𝑖𝑧 = budget yang pelanggan z untuk produk i (Rp) TN𝑖𝑧 = TKDN produk i yang diinginkan pelanggan z (%) SF𝑖𝑧 = jumlah sertifikat produk i yang diinginkan z LT𝑖𝑧 = lead time hingga produk i sampai ke lokasi z (hari)

    2) Variabel Keputusan Model matematika ini menggunakan variabel:

    𝑋𝑖𝑠𝑧 = {1, jika 𝑠𝑢𝑝𝑝𝑙𝑖𝑒𝑟 s mengirim produk i ke z

    0, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘

    𝑌𝑗𝑡𝑠 = {1, jika 𝑠𝑢𝑝𝑝𝑙𝑖𝑒𝑟 t mengirim komponen j ke s

    0, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘

    𝑄𝑖𝑠𝑧 = jumlah produk i dari supplier s ke z 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠 = jumlah komponen j dari supplier t ke s

    3) Fungsi Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi empat

    subgoal yaitu meminimalkan biaya yang meliputi purchasing cost dan biaya pengiriman, meminimalkan lead time barang sampai ke konsumen, memaksimalkan nilai TKDN produk, dan memaksimalkan kualitas produk berdasarkan jumlah sertifikat yang dimiliki. Keempat tujuan tersebut kemudian dijadikan

    menjadi satu fungsi tujuan yaitu minimasi standar deviasi antara subgoal. Deviasi pertama terjadi ketika biaya produk melebihi budget yang disediakan oleh pelanggan (d1+). Deviasi ketiga terjadi jika TKDN kurang dari syarat pelanggan dan begitu seterusnya. Dalam perhitungan deviasi, dilakukan standarisasi yakni diasumsikan nilai 1000000 pada d1+ setara dengan nilai 1 pada d2+, d3-, dan d4-. Hal ini karena rentang harga untuk total satu produk mencapai jutaan, sementara rentang untuk deviasi, lead time, dan sertifikasi hanya satuan dan puluhan. Persamaan tujuan dapat ditulis dengan:

    𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑖𝑧𝑒 𝑂 = 𝑑1+ + 𝑑2+ + 𝑑3− + 𝑑4− (1)

    4) Batasan Dalam penyelesaian model, terdapat beberapa batasan:

    a. Total biaya tidak melebihi budget.

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1 . 𝑄𝑖𝑠𝑧

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 . 𝑃𝑖𝑠 +

    ∑ ∑ ∑ 𝑌𝑗𝑡𝑠𝑆𝑠=1

    𝑇𝑡=1

    𝐽𝑗=1 . 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠 . 𝑃𝐾𝑗𝑡 +

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1 . 𝑄𝑖𝑠𝑧

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 . 𝑊𝑖𝑠. 𝑅𝑠𝑧 +

    ∑ ∑ ∑ 𝑌𝑗𝑡𝑠𝑆𝑠=1

    𝑇𝑡=1

    𝐽𝑗=1 . 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠 . 𝑊𝐾𝑗𝑡 . 𝑅𝐾𝑡𝑠 − 𝑑1

    + =

    𝐵𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼 𝑧 ∈ 𝑍 (2)

    b. Waktu pengiriman tidak melebihi lead time yang diinginkan.

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1 . 𝐿𝑖𝑠

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 +

    ∑ ∑ ∑ 𝑌𝑗𝑡𝑠𝑆𝑠=1

    𝑇𝑡=1

    𝐽𝑗=1 .𝐿𝑗𝑠

    ∑ ∑ ∑ 𝑌𝑗𝑡𝑠𝑆𝑠=1

    𝑇𝑡=1

    𝐽𝑗=1

    𝑑2+ = 𝐿𝑇𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑧 ∈ 𝑍 (3)

    c. TKDN tidak kurang dari syarat pelanggan.

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 .𝑇𝑖𝑠

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1

    + 𝑑3− = TN𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑧 ∈ 𝑍 (4)

    d. Jumlah sertifikat (BPPT/lainnya) yang dimiliki produk tidak kurang dari syarat pelanggan.

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 . 𝑆𝑖𝑠 + 𝑑4

    − = SF𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑧 ∈ 𝑍 (5)

    e. Jumlah produk yang dikirim supplier sama dengan demand di lokasi PLTS.

    ∑ ∑ ∑ 𝑋𝑖𝑠𝑧𝑍𝑧=1 . 𝑄𝑖𝑠𝑧

    𝑆𝑠=1

    𝐼𝑖=1 = 𝐷𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑧 ∈ 𝑍 (6)

    f. Jumlah komponen yang dikirim dari supplier komponen sama dengan demand dari perusahaan baterai. Jumlah komponen sesuai dengan BOM untuk satu unit produk dikali demand produk di tiap supplier.

    ∑ 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠𝑆𝑠=1 . 𝑌𝑗𝑡𝑠 = 𝑁𝐾𝑖𝑗𝐷𝑖𝑧 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑧 ∈ 𝑍, 𝑗 ∈ 𝐽 (7)

    g. Pertimbangan kapasitas produksi.

    ∑ 𝑄𝑖𝑠𝑧𝑆𝑠=1 ≤ 𝐶𝑖𝑠 , ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑠 ∈ 𝑆

    (8) ∑ 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠

    𝑆𝑠=1 ≤ 𝐶𝐾𝑗𝑡 , ∀ 𝑗 ∈ 𝐽, 𝑡 ∈ 𝑇 (9)

    h. Batasan bilangan biner.

    𝑋𝑖𝑠𝑧 = {0,1}, ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑠 ∈ 𝑆, 𝑧 ∈ 𝑍 (10)

    𝑌𝑗𝑡𝑠 = {0,1}, ∀ 𝑗 ∈ 𝐽, 𝑡 ∈ 𝑇, 𝑠 ∈ 𝑆 (11)

    i. Batasan non negatif.

    𝑄𝑖𝑠𝑧 ≥ 0, ∀ 𝑖 ∈ 𝐼, 𝑠 ∈ 𝑆, 𝑧 ∈ 𝑍 (12)

    RO-38

  • 𝑄𝐾𝑗𝑡𝑠 = {0,1}, ∀ 𝑗 ∈ 𝐽, 𝑡 ∈ 𝑇, 𝑠 ∈ 𝑆 (13)

    Total biaya ialah hasil dari biaya pembelian dari produk dan komponen serta biaya pengiriman dari lokasi supplier produk ke letak PLTS dan dari lokasi supplier komponen ke supplier produk. Waktu pengiriman dihitung dari rata-rata lead time komponen ketika dikirim ke supplier baterai dengan rata-rata lead time yang dibutuhkan perusahaan baterai untuk mengirim produknya ke lokasi PLTS. TKDN dan sertifikat pada persamaan adalah salah satu respon untuk pendayagunaan industri lokal di Indonesia.

    F. Pemodelan Decision Support System

    Pemodelan dilakukan pada dua platform Ms. Excel yang berbeda terlepas jika terdapat supplier yang sama untuk produk. Hal ini dikarenakan kedua produk baterai yakni baterai litium dan lead acid memiliki spesifikasi dan karakteristik yang berbeda serta kebutuhan akan komponen yang sangat jelas berbeda. Pemodelan pada Ms. Excel dilakukan dengan:

    1) Pembuatan database supplier Data yang dimaksud meliputi data perusahaan yang terlibat,

    2) Pembuatan database delivery cost Peneliti menggunakan ongkos kirim dari jasa pengiriman

    melalui JNE untuk 1 kg barang. Hal ini karena data melalui JNE lebih lengkap dari satu provinsi ke provinsi lain. Delivery cost dalam pemodelan diwakili dengan ibukota provinsi dari lokasi.

    3) Pembuatan model optimasi Pembuatan model optimasi dilakukan pada platform

    Microsoft Excel mengikuti mengikuti model matematis goal programming. Penyelesaian model menggunakan solver pada add in What’s Best.

    Gambar 6. Tampilan DSS Litium

    4) Running model Dalam pemilihan supplier, dilakukan dengan input (tabel

    biru) tujuan provinsi pengiriman baterai, jumlah yang ingin dikirim, budget yang dimiliki, nilai TKDN yang diinginkan, dan jumlah sertifikat yang dikehendaki terlebih dahulu. Setelah dilakukan running model, akan didapatkan alokasi dan supplier komponen dan supplier baterai yang tepat (tabel pink). Goal dari running model akan muncul di tabel abu-abu. Tampilan DSS dapat dilihat pada Gambar 6.

    5) Verifikasi Decision Support System Dalam verifikasi DSS, peneliti menggunakan contoh kasus.

    Misalnya pelanggan ingin memesan baterai litium sejumlah 30

    ke lokasi PLTS di Aceh, dengan batas waktu pengiriman 10 hari, budget sebesar Rp 80.000.000, batas minimal TKDN adalah 40, dan minimal memiliki satu sertifikat. Setelah dilakukan running model, didapatkan hasil terbaik globally optimal yaitu pelanggan memesan baterai litium dari PT A sebanyak 3 buah, dan dari PT C sebanyak 27 buah. Dari hasil optimasi, didapatkan bahwa masih tersisa Rp. 5.141.494 dari budget yang disediakan, pengiriman barang tepat 10 hari, TKDN rata-rata barang adalah 40,3 dan sertifikat produk sebanyak 1. Alokasi komponen baterai dapat dilihat pada Tabel I.

    Supplier PT A PT C Supplier PT A PT C

    Sel Baterai BMS Part

    PT B 225 25 PT F 3 27

    PT C 0 2000 Nickel Plate

    Enclosure Baterai PT I 3 27

    PT E 0 27 EVA Sponge

    PT K 3 0 PT C 0 27

    Cell Holder PT D 3 0

    PT A 225 0 Kabel

    PT C 0 2025 PT O 3 27

    Sheet Protector Terminal Blok

    PT A 3 0 PT O 3 27

    PT B 0 27 Packaging

    Heat Shrink Pelindung PT C 0 27

    PT B 0 27 PT D 3 0

    PT D 3 0

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat 16 perusahaan lokal Indonesia yang memiliki pengalaman dan mampu untuk memproduksi baterai yang dibutuhkan dalam PLTS. Perusahaan tersebut tersebar di di Jawa Barat (50%), Jawa Timur (25%), Banten (19%), dan Jakarta (6%). Kemampuan lokal industri Indonesia terhadap baterai dianggap mampu karena nilai TKDN perusahaan >40%. Namun, keterbatasan bahan baku dan teknologi menghambat perkembangan industri. Permasalahan lainnya ialah kurangnya demand akan baterai lokal akibat keberadaan baterai impor dan keterbatasan proyek EBT yang ada serta regulasi pemerintah yang dianggap masih membatasi perkembangan manufaktur baterai. DSS yang dirancang dapat digunakan untuk memilih supplier terkait pada PLTS. Hasil yang didapat juga dapat menunjukkan aliran rantai pasok dan kemampuan industri manufaktur di Indonesia. Hal ini dapat digunakan untuk membantu proyek pengembangan EBT maupun industri lokal selanjutnya dari pemerintah.

    RO-39

    TABEL I. ALOKASI KOMPONEN

    lokasi perusahaan, kapasitas produksi, jenis produk, nilai TKDN, sertifikat, berat barang, dan harga.

    V. KESIMPULAN

  • [1] McNeil, M. A., Karali, N., Letschert, V, “Forecasting Indonesia's electricity load through 2030 and peak demand reductions from appliance and lighting efficiency,” Energy for Sustainable Development, vol. 49, 2019, pp. 65-77.

    [2] Burke, P. J., Widnyana, J., Anjum, Z., Aisbett, E., Resosudarmo, B., Baldwin, K. G. H., “Overcoming barriers to solar and wind energy adoption in two asian giants: India and Indonesia,” Energy Policy, vol. 132, 2019, pp. 1216-1228.

    [3] DEN, Indonesia Energy Outlook 2019, Indonesia: ESDM, 2019.

    [4] ESDM, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia Final Edition, Indonesia: ESDM, 2018.

    [5] Hidayatno, A., Setiawan, A. D., Supartha, I. M. W., Moeis, A. O., Rahman, I., and Widiono, E., “Investigating policies on improving household rooftop photovoltaics adoption in Indonesia,” Renewable Energy, vol. 156, 2020, pp. 731-742.

    [6] Ayeng'o, S. P., Axelsen, H., Habershusz, D., Sauer, D. U., “A model for direct coupled PV systems with batteries depending on solar radiation, temperature, and number of serial connected PV cells,” Solar Energy, vol. 183, 2019, pp. 120-131.

    [7] Baurzhan, S., and Jenkins, G.P., “Off grid solar PV: Is it an affordable or appropriate solution for rural electrification in sub saharan African countries?,” Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 60, 2016, pp. 1405-1418.

    [8] Hassan, A. S., Cipcigan L., Jenkins, N., “Optimal battery storage operation for pv system with tarif incentives,” Applied Energy, vol. 203, 2017, pp. 422-441.

    [9] Al-Addous, M., Dalala, Z., Class, C. B., Alawneh, F., Al-Taani, H., “Performance analysis of off-grid pv system in the Jordan Valley,” Renewable Energy Reviews, vol. 113, 2017, pp. 930-941.

    [10] Sadeghi, S., “A study using the flow battery in combination with solar panel and solid oxide fuel cell for power generation,” Solar Energy, vol. 170, 2018, pp. 732-740.

    [11] Schiffer, J., Sauer, A. U., Bindner, H., Cronin, T., Lundsager, P., Kaiser, R., “Model prediction for ranking lead acid batteries according to expected lifetime in renewable energy systems and autonomous power-supply systems,” Journal of Power Sources, vol. 168, 2007, pp. 66-78.

    [12] Zhang, Y., and Wei, W., “Model construction and energy management system of lithium battery, PV generator, hydrogen production unit, and fuel cell in islanded AC microgrid,” International Journal of Hydrogen Energy, vol. 45, 2020, pp. 16381-16397.

    [13] Shaban A., Costantino, F., Di Gravio, G., Tronci, M., “A new efficient collaboration model for multi echelon supply chains,” Expert Systems with Application, vol. 128, 2019, pp. 54-66.

    [14] Scott, J., Ho, W., Dey, P. K., Talluri, S., “A decision support system for suplier allocation in stochastic, multi stakeholder, and multi criteria environments,” International Journal Production Economics, vol. 166, 2015, pp. 226-237.

    [15] Ali, M.F., Aziz, A.A., Sulong, S.H., “The role of decision support system in Smallholder rubber production: application, limitations, and future directions,” Computers and Electronics in Agriculture, vol. 173, 2020, pp. 105442.

    [16] World Bank, Fossil Fuel Energy Consumption (% of total), 2020, https://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.COMM.FO.ZS (online accesed 18th June 2020).

    [17] Bulut, U. and Inglesi-Lotz, R., “Which type of energy drove industrial growth in the US from 2000 to 2018 ?,” Energy Reports, vol. 5, 2019, pp. 425–430.

    [18] IEA, Reducing Emisions from Fossil Fired Generations: Indonesia, Malaysia, and Vietnam, 2016, Paris: IEA.

    [19] Setyawati, D., “Analysis of perception towards the rooftop photovoltaic solar system policy in Indonesia,” Energy Policy, vol. 144 (May), 2020, pp. 111569.

    [20] Karakaya, E., Sriwannawit, P., “Barriers to the adaption of photovotaic systems: the state of the art,” Renewable Sustain Energy, vol. 49, 2015, pp. 60-66.

    [21] Kurniawan, R., Sugiawan, Y., Managi, S., “Cleaner energy conversion and household emission decomposition analysis in Indonesia,” Journal Clean Production, vol. 201, 2018, pp. 334-342.

    [23] Shen, J., “An environmental supply chain network under uncertainty,” Physica A, 2019, pp. 123478.

    [24] Taherdoost, H. and Brard, A., “Analyzing the process of supplier selection criteria and methods,” Procedia Manufacturing, vol. 32, 2019, pp. 1024–1034.

    [25] Xu, Z., Qin, J., Liu, J., Martinez L., “Sustainable supplier selection based on AHP sort II in interval type-2 fuzzy environment,” Information Sciences, vol. 483, 2019, pp. 273–293.

    [26] Wen, T. C., Chang, K. H. and Lai, H. H., “Integrating the 2-tuple linguistic representation and soft set to solve supplier selection problems with incomplete information,” Engineering Applications of Artificial Intelligence, vol. 87 (October 2019), 2020, pp. 103248.

    [27] Konys, A., “Methods supporting supplier selection processes knowledge based approach,” Procedia Computer Science, vol. 159, 2019, pp. 1629–1641.

    [28] Choudhary, D. and Shankar, R., “A goal programming model for joint decision making of inventory lot size, supplier selection and carrier selection,” Computers and Industrial Engineering, 71(1), 2014, pp. 1–9.

    [29] Huang, Z., Yu, H., Chu, X., and Peng Z., “A goal programming based model system for community energy plan,” Energy, vol. 134, 2017, pp. 893–901.

    [30] Hocine, A., Kouaissah, N., Bettahar, S., Benbouziane, M., “Optimizing renewable energy portfolios under uncertainty: A multi segment fuzzy goal programming approach,” Renewable Energy, vol. 129, 2018, pp. 540-562.

    [31] Mirzaee, H., Naderi, B. and Pasandideh, S. H. R., “A preemptive fuzzy goal programming model for generalized supplier selection and order allocation with incremental discount,” Computers and Industrial Engineering, vol. 122 (April), 2018, pp. 292–302.

    [32] Javid, N., Khalili-Damghani, K., Makui, A., Abdi, F., “Multi objective flexibility complexity trade off problem in batch production systems using fuzzy goal programming,” Expert System With Applications, vol. 148, 2020, pp. 113266.

    [33] Asghari, M., “An integrated mathematical model for supplier selection,” Industrial Engineering and Management System, vol. 13 (1), 2014, pp. 29-42.

    [34] Ho, H. P., “The supplier selection problem of manufacturing company usiing the weighted multi choice goal programming and min max multi choice goal programming,” Applied Mathematical Modeling, vol. 75, 2019, pp. 819-836.

    [35] Walling, E., Vaneeckhaute, C., “Developing succesful environmental decision support systems: challenge and best practices,” Journal of Environmental Management, vol. 264 (April), 2020, pp. 110513.

    [36] Farrel, R. R., Maness, T. C, “A relational database approach to a linear programming based decision support system for production planning in secondary wood product manufacturing,” Decission Support System, vol. 40, 2005, pp. 183-196.

    [37] Fagundes, M. V. C., Teles, E. O., de Melo, S. A. B. V., Freires, F. G. M., “Decision making models and support systems for supply chain risk: literature mapping and future research agenda,” European Research, 2020, pp. 1-8.

    [38] Mattiussi, A., Rosano, M., Simeoni, P., “A decision support for sustainable energy supply combining multi objective anf multi-attribute analysis: An Australian case study,” Decision Support System, vol. 57, 2014, pp. 150-159.

    [39] Zhai, Z., Martinez, J. F., Beltran, V., Martinez, N. L., “Decision support system for agriculture 4.0: survey and challenges,” Computers and Electronic in Agriculture, vol. 170 (August 2019), 2020, pp. 105256.

    [40] Ishigaki, A., “Development of a decision support system of the cooperative supply chain in consideration of satisfaction of multi objective multi player,” Procedia Manufacturing, vol. 43 (2019), 2020, pp. 314-319.

    RO-40

    [22] Keck, F., Lenzen M., Vassalo A., and Li M., “The impact of battery energy storage for renewable energy power grids in Australia,” Energy, vol. 173, 2019, pp. 647–657.

    DAFTAR PUSTAKA

    https://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.COMM.FO.ZS

  • [41] Sugirianta, I. B. K., Giriantari, I. A. D., Kumara, I. N. S., “Analisa keekonomian tarif penjualan listrik pembangkit listrik tenaga surya 1 MWp Bangli dengan metode life cycle cost,” Maj. Ilmiah Teknik Elektro, vol. 15, 2016, pp. 121-126.

    [42] Aouni, B., Kettani, O., “Goal programming model: A glorious history and a promising future,” European Journal of Operational Research, vol. 133, 2001, pp. 225-231.

    RO-41

    OR FIX.pdf (p.233-349)