2
Pemeriksaan Penyakit Kornea Untuk dapat memperoleh gambaran yang komperehensif mengenai proses patologi yang terjadi pada kornea, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan berikut: Anamnesis (Gejala) Melalui anamnesis, dikumpulkan data mengenai riwayat trauma, mengingat keberadaan benda asing dan abrasi merupakan penyebab yang cukup sering pada penyakit kornea. Di samping itu, ditanyakan pula mengenai riwayat penyakit kornea sebelumnya, misalnya pada keratitis akibat infeksi herpes simpleks. Riwayat imunodefisiensi maupun penggunaan obat obatan topikal, terutama kortikosteroid, juga penting untuk ditanyakan karena dapat menjadi faktor predisposisi bagi pertumbuhan bakteri, jamur, maupun virus. Karena kornea memegang peranan sebagai salah satu media refraksi, adanya lesi kornea umumnya menurunkan ketajaman penglihatan, terutama untuk lesi yang berada di bagian tengah kornea, sehingga pandangan menjadi buram seringkali menjadi salah satu keluhan yang muncul. Pada kornea, terdapat serabut saraf yang dapat menghantarkan nyeri. Oleh karenanya, setiap lesi pada kornea umumnya akan menimbulkan nyeri maupun fotofobia. Rasa nyeri akan bertambah buruk dengan adanya pergerakan dari kelopak mata. Fotofobia pada penyakit kornea muncul sebagai akibat dari rasa nyeri pada kontraksi iris yang mengalami inflamasi. Dapat pula ditemukan adanya dilatasi pembuluh darah iris sebagai respons terhadap iritasi pada ujung saraf korneal. Gambaran keluhan sebagaimana disebutkan di atas dapat saja tidak ditemukan pada kasus tertentu, misalnya fotofobia pada kasus keratitis herpetikus sebagai akibat dari hipestesia yang menjadi salah satu bagian dari perjalanan penyakitnya. 2,3,4 Pemeriksaan Kornea (Tanda) Hal yang harus dievaluasi dari kornea adalah transparansi (adanya opasitas stroma dan epitelium menunjukkan scarring atau infiltrasi) dan luster pada permukaan (absensi menunjukkan defek epitel atau lesi kornea superfisial). 5 Pemeriksaan kornea hendaknya dilakukan dalam pencahayaan yang memadai, dapat pula dilakukan setelah pemberian agen anestetik lokal. Umumnya, seorang oftalmologis akan menggunakan slit lamp dalam pemeriksaan. 2 Adapun pulasan dengan satu tetes larutan fluorescein atau rose bengal 1%, dengan sifatnya yang umumnya tidak diabsorbsi oleh epitelium, dapat memperjelas gambaran lesi epitel superfisial yang sulit terlihat pada pemeriksaan biasa, mulai dari keratitis pungtata superfisial hingga erosi kornea. 2-5 Pencahayaan dengan cobalt blue filter akan mempertegas efek floresensi.

Pemeriksaan Penyakit Kornea.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemeriksaan Penyakit Kornea.pdf

Pemeriksaan Penyakit Kornea

Untuk dapat memperoleh gambaran yang komperehensif mengenai proses patologi yang terjadi

pada kornea, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan berikut:

Anamnesis (Gejala)

Melalui anamnesis, dikumpulkan data mengenai riwayat trauma, mengingat keberadaan benda

asing dan abrasi merupakan penyebab yang cukup sering pada penyakit kornea. Di samping

itu, ditanyakan pula mengenai riwayat penyakit kornea sebelumnya, misalnya pada keratitis

akibat infeksi herpes simpleks. Riwayat imunodefisiensi maupun penggunaan obat – obatan

topikal, terutama kortikosteroid, juga penting untuk ditanyakan karena dapat menjadi faktor

predisposisi bagi pertumbuhan bakteri, jamur, maupun virus.

Karena kornea memegang peranan sebagai salah satu media refraksi, adanya lesi kornea

umumnya menurunkan ketajaman penglihatan, terutama untuk lesi yang berada di bagian

tengah kornea, sehingga pandangan menjadi buram seringkali menjadi salah satu keluhan yang

muncul.

Pada kornea, terdapat serabut saraf yang dapat menghantarkan nyeri. Oleh karenanya, setiap

lesi pada kornea umumnya akan menimbulkan nyeri maupun fotofobia. Rasa nyeri akan

bertambah buruk dengan adanya pergerakan dari kelopak mata. Fotofobia pada penyakit

kornea muncul sebagai akibat dari rasa nyeri pada kontraksi iris yang mengalami inflamasi.

Dapat pula ditemukan adanya dilatasi pembuluh darah iris sebagai respons terhadap iritasi pada

ujung saraf korneal.

Gambaran keluhan sebagaimana disebutkan di atas dapat saja tidak ditemukan pada kasus

tertentu, misalnya fotofobia pada kasus keratitis herpetikus sebagai akibat dari hipestesia yang

menjadi salah satu bagian dari perjalanan penyakitnya.2,3,4

Pemeriksaan Kornea (Tanda)

Hal yang harus dievaluasi dari kornea adalah transparansi (adanya opasitas stroma dan

epitelium menunjukkan scarring atau infiltrasi) dan luster pada permukaan (absensi

menunjukkan defek epitel atau lesi kornea superfisial).5

Pemeriksaan kornea hendaknya dilakukan dalam pencahayaan yang memadai, dapat pula

dilakukan setelah pemberian agen anestetik lokal. Umumnya, seorang oftalmologis akan

menggunakan slit lamp dalam pemeriksaan.2

Adapun pulasan dengan satu tetes larutan fluorescein atau rose bengal 1%, dengan sifatnya

yang umumnya tidak diabsorbsi oleh epitelium, dapat memperjelas gambaran lesi epitel

superfisial yang sulit terlihat pada pemeriksaan biasa, mulai dari keratitis pungtata superfisial

hingga erosi kornea.2-5 Pencahayaan dengan cobalt blue filter akan mempertegas efek

floresensi.

Page 2: Pemeriksaan Penyakit Kornea.pdf

Topografi permukaan kornea secara kasar dapat dievaluasi menggunakan keratoskop /

Placido’s disk. Akan tetapi, hasil yang lebih akurat dapat diperoleh melalui pemeriksaan

topografi kornea yang terkomputerisasi (videokeratoskopi).

Sensitivitas kornea secara sederhana dapat dinilai dengan cotton swab. Dalam hal ini, secara

kasar dinilai adanya infeksi viral atau neuropati fasialis atau trigeminalis. Densitas epitelium

kornea secara kasar dapat dinilai menggunakan slit lamp atau teknik mikroskop spekular untuk

keperluan kuantifikasi. Ukuran kornea dapat diukur menggunakan penggaris sederhana atau

keratometer Wessely.5

Pemeriksaan Laboratorium 2

Pemeriksaan laboratorium pada penyakit kornea ditujukan untuk dapat mengidentifikasi

organisme penyebab dan memberikan terapi yang sesuai terutama pada ulserasi supuratif.

Spesimen dapat diambil dari kerokan kornea yang kemudian diberikan pewarnaan gram

ataupun giemsa. Selain kerokan kornea, spesimen juga dapat diambil dari kontaks lens pasien

ataupun larutan kontak lens tersebut.

Pemeriksaan dengan PCR dapat dilakukan untuk dapat mengidentifikasi virus, acanthamoeba

dan jamur dengan cepat. Pemeriksaan melalui kultur, biasanya dilakukan pada semua kasus

infeksi bakteri dan fungi pada kunjungan pertama. Kultur acanthamoeba atau virus dapat

dikerjakan bergantung pada gambaran klinis dan tidak adanya respon terapi infeksi bakteri.

Diagnosis Morfologik Lesi Kornea 2

A. Keratitis Epitelial

Epitel kornea terlibat pada sebagian besat konjungtivitis dan keratitis. Perubahan-

perubahan epithelial bervariasi dari edema sederhana dan vakuolisasi, hingga erosi,

formasi filament dan keratinisasi parsial. Lesinya pun berbeda-beda dari tiap kornea.

Variasi ini memiliki signifikasi diagnostik yang penting.

B. Keratitis Subepitelial

Keratitis subepitelial biasanya disebabkan secara sekunder oleh keratitis epitelial

C. Keratitis Stromal

Pada keratitis stroma, terdapat respon stroma kornea terhadap penyakit yang

ditunjukkan dengan akumulasi dari sel radang, edema yang menyebabkan penebalan

kornea, opaksifikasi atau parut, nekrosis dan vaskularisasi. Pola dari respon pada

keratitis stroma ini tidak spesifik untuk setiap penyebabnya sehingga diperlukan

informasi klinis lainnya untuk mengidentifikasi secara jelas.

D. Keratitis Endotelial

Terjadi disfungsi dari endotel kornea yang menyebabkan edema kornea mengenai

stroma terlebih dahulu dan kemudian epitel. Penemuan sel radang berupa persipitat

keratic pada endothelium tidak selalu merupakan indikasi dari penyakit endoteliat

akrena manifestasi dari dari anterior uveitis tidak sellaui diikuti oleh keratitis stroma.