4
Dr Ratna Megawangi: Pembangunan Karakter Kunci Perdamaian Rabu, 03 Desember 2008, 04:46 WIB Komentar : 0 A+ | Reset | A- Berbicara soal pemberdayaan wanita atau isu gender dewasa ini, tidak bisa dilepaskan dari sosok yang satu ini. Dr Ratna Megawangi, sedari awal mengikuti betul gerakan-gerakan wanita atau feminisme. Tapi, untuk yang satu ini (gerakan feminisme), ia mengaku berseberang dengan kebanyakan kaum wanita pejuang feminisme. Namun, bagi doktor lulusan School of Nutrition Tufts University, Massachussets, Amerika Serikat, bidang International Food and Nutrition Policy ini, gerakan feminisme yang berujung pada tuntutan persamaan antara laki-laki dan perempuan pada realitanya sulit dilakukan. "Ada hak-hak tertentu yang mengharuskan kaum wanita itu menjadi atau menjalani fungsinya sebagai kaum ibu. Dan ini adalah alami," ujar Megawangi usai menjadi pembicara dalam seminar internasional Empowering of Muslim Women for Development and Peace, di Jakarta, Sabtu pekan lalu. Menurut wanita kelahiran 24 Agustus 1958 dan istri Dr Sofyan Djalil ini, tuntutan yang tak berimbang dan terkesan mengesampingkan nilai-nilai yang semestinya dijalani kaum wanita, justru akan membuat peran wanita dalam pembangunan dan terciptanya perdamaian kontradiktif. Karena, jelas ibu dari Muhammad Rumi (19), Safitri Mutia (12,5), Syamaun Djalil (15) dan Muhammad Lutfi (5) ini, peran ibu sebagai pelopor dan peletak terpenting dari nilai-nilai keluarga bagi anak-

Pembangunan Karakter Kunci Perdamaian

Embed Size (px)

Citation preview

Dr Ratna Megawangi: Pembangunan Karakter Kunci PerdamaianRabu, 03 Desember 2008, 04:46 WIB

Komentar : 0

A+ | Reset | A-

Berbicara soal pemberdayaan wanita atau isu gender dewasa ini, tidak bisa dilepaskan dari sosok

yang satu ini. Dr Ratna Megawangi, sedari awal mengikuti betul gerakan-gerakan wanita atau

feminisme. Tapi, untuk yang satu ini (gerakan feminisme), ia mengaku berseberang dengan

kebanyakan kaum wanita pejuang feminisme. Namun, bagi doktor lulusan School of Nutrition Tufts

University, Massachussets, Amerika Serikat, bidang International Food and Nutrition Policy ini,

gerakan feminisme yang berujung pada tuntutan persamaan antara laki-laki dan perempuan pada

realitanya sulit dilakukan. "Ada hak-hak tertentu yang mengharuskan kaum wanita itu menjadi atau

menjalani fungsinya sebagai kaum ibu. Dan ini adalah alami," ujar Megawangi usai menjadi

pembicara dalam seminar internasional Empowering of Muslim Women for Development and Peace,

di Jakarta, Sabtu pekan lalu. Menurut wanita kelahiran 24 Agustus 1958 dan istri Dr Sofyan Djalil ini,

tuntutan yang tak berimbang dan terkesan mengesampingkan nilai-nilai yang semestinya dijalani

kaum wanita, justru akan membuat peran wanita dalam pembangunan dan terciptanya perdamaian

kontradiktif. Karena, jelas ibu dari Muhammad Rumi (19), Safitri Mutia (12,5), Syamaun Djalil (15)

dan Muhammad Lutfi (5) ini, peran ibu sebagai pelopor dan peletak terpenting dari nilai-nilai

keluarga bagi anak-anaknya, harus dapat menunjukkan dirinya sebagai teladan yang baik bagi

mereka. "Perdamaian akan terwujud bila ada basic value (nilai-nilai keluarga), dan itu akan tercapai

bila ibu berperan optimal sebagai pendidik anak-anak. Jadi nilai itu yang utama," ujar pengajar

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan penulis

buku Membiarkan Berbeda: Relasi Baru Hubungan Pria dan Wanita ini, sekitar persoalan

pemberdayaan kaum wanita dan kaitannya sebagai subjek penting terciptanya perdamaian dunia,

berikut wawancara Republika dengannya. Petikannya: Menurut Anda, apa yang menjadi problem

mendasar sekitar permasalahan wanita di era modern ini?

Begini. Kita sekarang ini kan ambivalen bila berbicara soal wanita. Ada semacam tuntutan wanita

untuk tampil di ruang publik, tapi sebenarnya kita lupa bahwa ada yang lebih penting dari itu, yakni

keluarga. Nah bicara tentang keluarga itu ada value-value (nilai-nilai) yang bertentangan dengan

hak. Nilai-nilai itu ya dalam hemat saya ada komitmen, prinsip, tanggung jawab, kasih sayang,

pengorbanan. Nah itu kan nilai-nilai keluarga. Seandainya itu yang dihidupkan, akan tercipta relasi

sosial yang bagus dalam kehidupan keluarga. Tapi itu nggak bisa equal (sama) antara laki-laki dan

perempuan. Nah, kita bicara tentang hak wanita, biasanya itu lebih kepada hak dunia publik.

Misalnya, bagaimana kaum wanita itu mampu beraktualisasi di dunia publik setara dengan kaum

laki-laki. Masalahnya, ini kalau ada anak-anak dalam keluarga. Sekarang, kaum perempuan

menghendaki bentuknya adalah joint responsibility (kerja sama dalam masalah tanggung jawab).

Jadi kaum laki-laki juga di rumah. Itu bagus dalam teorinya. Tapi dalam masyarakat dan dunia

nyata, itu kan tidak bisa. Apa kendalanya hingga tak bisa menerapkan hal itu?

Karena kebanyakan pekerjaan laki-laki itu sektor formal. Sektor formal itu kan menghendaki dia

harus keluar rumah dan ada jam-jam tertentu. Sementara kalau harus equality itu artinya laki-laki

juga harus ke pasar, masak, dan seterusnya. Secara realistis, itu nggak mungkin bisa dilakukan.

Akhirnya kaum perempuan yang mengalah mengasuh anak di rumah dan sebagainya. Inilah yang

kemudian dianggap sebagai tidak adil, padahal kenyataan (tanggung jawab) seperti itu amat

penting. Coba lihat kaum perempuan di Jepang. Kaum perempuan di sana yang tingkat income-nya

lebih baik dari kita, tapi tingkat partisipasinya bila dibanding dengan Indonesia, kita jauh lebih baik.

Partisipasi politik kaum wanita di Jepang misalnya, tak sampai tujuh persen, tapi mereka tak pernah

merasa ditindas. Sebaliknya, partisipasi politik kaum wanita di kita lebih besar, tapi mereka justru

merasa ditindas karena berbagai tuntutan tambahan dan lain sebagainya. Persoalannya juga, kaum

wanita ini kan banyak juga yang malu jadi ibu rumah tangga. Wanita akhirnya tidak puas jadi ibu

rumah tangga. Celakanya, kondisi ibu seperti ini yang kemudian berdampak tidak baik pada

perkembangan anak-anak di kemudian hari.  Dalam kaitannya dengan peran wanita bagi

pembangunan dan perdamaian, idealnya seperti apa bentuk peran itu?

Perdamaian itu tidak akan tercipta kalau tidak dimulai dari diri sendiri, keluarga, baru masyarakat.

Kenapa dunia jadi berantakan seperti ini, itu disebabkan tidak ada moral. Bayangkan coba, kalau

seluruh masyarakat Amerika menentang kebijakan pemimpinnya, George W Bush, niscaya orang ini

juga akan berhitung kembali, mungkin akan mengurungkan niatnya. Tapi kan tidak. Sebagian malah

mendukung, terutama yang di Kongres itu. Jadi mereka telah menjelma menjadi evil-evil baru bagi

manusia lainnya. Evil bagi Bush ya dirinya sendiri itu.

Nah ke depan hemat saya, bagaimana membuat peran perempuan jadi inspirasi dan sumber

kedamaian, tidak terlalu sulit kok. Yakni bagaimana mengajarkan anak-anak menjadi menusia-

manusia yang mempunyai toleransi, etika, bermoral, tanggung jawab, dan ramah. Itu yang

terpenting. Jadi harus dimulai dari basic values (nilai-nilai dasar) yang harus menjadi landasan

utama. Sehingga dengan begitu, kelak di masyarakat mereka pun tidak akan merusak, apalagi

bertindak kekerasan. Masalahnya itu kan, nilai-nilai itu yang tidak diambil sebagai modal dasar. Lihat

misalnya, masyarakat kita, masyarakat Muslim. 

Dianggap kalau sudah Islam lalu sudah beres. Padahal kebanyakan negara-negara Islam itu kan

terpuruk, tak terkecuali dalam soal etika/moral. Mengapa negara-negara Barat itu maju, karena

mereka beramal saleh pada Tuhannya. Dunia ini kan diwariskan pada orang-orang yang beriman

dan beramal saleh. Amal saleh itu kan kerja keras, kebaikan, kejujuran, disiplin, mau melakukan

sesuatu dengan serius. Nah orang Islam itu nggak. Padahal Nabi Muhammad sendiri kan diutus

untuk menyempurnakan etika/akhlak manusia. Ini ajaran mulia yang hilang dari umat Islam. Justru

orang-orang Barat yang mempraktikkan semua itu. Tapi bicara soal peran wanita dalam

menciptakan perdamaian kan lagi-lagi tersandung masalah kualitas. Apa sih sebenarnya faktor

ketertinggalan itu?

Karena pendidikan kita tidak dilakukan secara utuh. Artinya, basic family ditanamkan betul sejak

kecil hingga dewasa. Di sini, sekolah mempunyai peran penting. Pembangunan karakter (caracter

building) sangat ditekankan, dan itu tak akan tercapai kalau etika/moral tidak ditanamkan sejak dini.

Itu sebabnya, saya sangat yakin bila keluarga sakinah mawaddah wa rahmah akan tercapai kalau

ada nilai-nilai tadi. 

Bagaimana dengan kita? Selama ini, kita tidak dididik untuk memiliki karakter yang baik. Pendidikan

lebih ditekankan pada aspek-aspek yang tidak menyentuh pada pentingnya pembangunan karakter.

Akhlak memang diajarkan di sekolah. Tapi karakter kan tidak. Beda antara akhlak dengan karakter.

Itu pun (akhlak yang diajarkan) lebih pada ritual semata, bukan pada praktisnya. Dalam konteks

Islam, seperti apa sejatinya pandangan agama ini tentang peran-peran ideal wanita?

Sulit memang kalau ukurannya ideal atau bukan ideal. Tapi begini. Wanita itu kan ada masa-

masanya. Kemampuan wanita juga bermacam-macam. Yang ke politik ada, karir lainnya juga ada.

Itu karena pada dasarnya otak laki-laki dan perempuan itu sama. Tapi dalam hal-hal alami di mana

perempuan itu menjalankan fungsi-fungsi keibuan. Fungsi itu jangan dianggap sebagai sesuatu

yang jelek. Selama ini kan pandangan soal peran wanita sebagai ibu masih dipandang sebelah

mata, ya negatif-lah. Jadi ibu yang bangga, jadi ibu yang malu dan minder, atau apapunlah

istilahnya, akan berdampak pada anak. Islam kan mengajarkan soal kesetaraan. Tentu dalam

pengertiannya yang luas. Ada nilai-nilai tertentu yang melandasi pembagian hak dan kewajiban. Ini

yang menurut saya penting mendapatkan perhatian semua pihak. Tapi dalam pandangan Anda,

bagaimana strategi ideal memberdayakan kaum perempuan dewasa ini?

Saya yakin sekali fitrah manusia itu adalah berkarya. Jadi, sekarang bagaimana mengondusifkan  

lingkungannya agar ia dapat berkarya secara optimal. Sehingga kalau ada tekanan justru lari pada

kreativitas. Kalau dibantu terus kita malah akan jadi soft society, masyarakat lemah. Strategi itu

sifatnya sebagai kail, dan bukan ikannya. Tinggal sejauh mana kualitas mereka nantinya yang akan

mengembangkan kail itu. Penulis : hery sucipto   

REPUBLIKA - Jumat, 11 April 2003