Upload
atika-anggraini
View
32
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pengetahuan Lingkungan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare atau gastroenteritis merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja
yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan dalam transpor air dan
elektrolit dalam usus. Hal ini terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal
pada fungsi digesti, absorpsi dan sekresi (Harrison, 1995).
Faktor yang turut menjadi penyebab adalah pembuangan limbah serta
pengadaan air bersih yang tidak memadai, lingkungan yang penuh sesak serta
kurangnya kebersihan perorangan, kemiskinan, kurangnya akses pada pelayanan
kesehatan dan kurangnya pendidikan. Selain itu, faktor penyebab diare adalah
tempat yang tercemar oleh kotoran hewan contohnya sapi sebagai akibat dari
sistem pembuangan limbah yang jelek atau kebersihannya tidak memadai
(Harrison, 1995).
Kotoran sapi mengandung bakteri dari golongan enterobakter yang
mengganggu kesehatan masyarakat. Akibat bakteri yang terkandung dalam
kotoran tersebut, menyebabkan timbulnya diare pada sistem digestivus manusia.
Dengan keadaan tersebut, kotoran yang semula mengganggu kesehatan dan tidak
bermanfaat, dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman ramah lingkungan
(Pramono. 1987).
Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk dapat menurunkan peluang
terjadinya kontaminasi mikroba di lingkungan, karena mikroba patogen
(penyebab penyakit) dihancurkan (Engler et al, 2011). Proses pembuatan pupuk
dapat menurunkan bakteri E. Coli (Tulayakul et al, 2011) atau menghilangkan
bakteri Coliform (E. Coli) sampai 99% (Wahyuni, 2011), bahkan bisa
menghilangkan bakteri tersebut sampai 100% setelah waktu 33 hari proses digesti
di dalam digester (Kalloum et al, 2011). Oleh karena itu mengacu pada pendapat
para peneliti tersebut maka di dalam limbah kotoran sapi tidak mengandung
mikroba berbahaya karena sudah mati akibat di dalam proses pengolahan pupuk
saat dipanaskan. Suhu yang terbentuk akibat proses digesti anaerobik tersebut bisa
mencapai 55-700C, sehingga mikroorganisme yang tidak tahan panas akan mati
(Zalizar, 2013).
Oleh karena itu, untuk lebih mengetahui strategi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan, pada makalah ini akan diteliti mengenai cara mengelola
dan memanfaatkan limbah kotoran Bos taurus sebagai pupuk tanaman ramah
lingkungan guna menekan penyebaran gastroenteritis di kota Batu. Penelitian
dilakukan di kota Batu dikarenakan mayoritas masyarakat Batu bermata
pencaharian sebagai petani dan peternak yang ikut mendukung dalam mengurangi
penyebaran diare dengan memproduksi pupuk tanaman dari kotoran Bos taurus.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah.
1. Apa saja faktor penyebab menyebarnya diare pada masyarakat kota
Batu?
2. Bagaimana solusi yang paling efektif untuk menekan penyebaran diare
di kota Batu?
3. Bagaimana cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak)
sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu?
4. Siapa saja pihak yang berperan penting dalam mensosialisaikan
pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan pada masyarakat
kota Batu sendiri yang umumnya bermatapencaharian sebagai petani?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan di atas masalah kita melakukan penelitian dengan tujuan
sebagai berikut.
1. Untuk mengenali faktor penyebab menyebarnya diare pada masyarakat
kota Batu.
2. Untuk mengetahui solusi yang paling efektif untuk menekan
penyebaran diare di kota Batu.
3. Untuk mengetahui cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi
ternak) sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu.
4. Untuk mengetahui berbagai pihak yang berperan penting dalam
mensosialisaikan pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini kami dapat memperoleh manfaat sebagai
berikut.
1. Dapat mengenali faktor penyebab merajalelanya diare pada masyarakat
kota Batu.
2. Dapat mengetahui solusi yang paling efektif untuk menekan penyebaran
diare di kota Batu.
3. Dapat mengetahui cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak)
sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu.
4. Dapat mengetahui berbagai pihak yang berperan penting dalam
mensosialisaikan pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Faktor penyebab menyebarnya diare
Diare atau penyakit diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia
(bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus (to flow through), merupakan
keadaan abnormal pengeluaran tinja yang terlalu sering. Hal ini disebabkan
adanya perubahan-perubahan dalam transport air dan elektrolit dalam usus,
terutama pada keadaan-keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi
digesti, absorpsi dan sekresi. Diare sering didefinisikan sebagai berak lembek
cair sampai cair sebanyak ≥ 3 kali perhari. UKK Gasto-hepatologi IDAI
(2009) mendefinisikan diare sebagai peningkatan frekuensi buang air besar
dan berubah konsistensi menjadi lebih lunak atau bahkan cair.
(Mansjoer.2000).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembungan
tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare
(Sinthamurniwaty, 2006).
Pada kotoran sapi mengandung bakteri dari golongan enterobakter
yang mengganggu kesehatan masyarakat. Akibat bakteri yang terkandung
dalam kotoran tersebut, menyebabkan timbulnya diare pada sistem digesti
manusia (Pramono, 1987).
Secara umum bakteri yang terdapat di dalam kotoran sapi perah
mempunyai sifat yang heterotrop, yaitu bakteri yang memerlukan sumber
carbon dalam bentuk senyawa organic, Hal ini diduga karena di dalam kotoran
sapi perah terdapat bahan organikyang cukup besar. Bahwa setengah bahan
organik ditemukan kembali dalam kotoran yang dikeluarkan. Species bakteri
yang ditemukan adalah Vibrio cholera ogawa dan tak lain adalah bakteri
Escherichia coli, dimana kedua jenis bakteri ini dapat menyebabkan penyakit
pada hewan dan manusia. Dapat diidentifikasi bahwa bateri-bakteri tersebut
termasuk golongan Enterobacteriacea (Citrobacter, Enterobacter dan E. coli)
beberapa species ini bersifat patogenik dan dapat menyebabkan penyakit
gastroenteritis. (Zalizar, 2013)
2.2 Solusi efektif untuk menekan penyebaran diare
Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan
konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan dengan/tanpa
lender (Rosari, 2013).
Diare salah satunya disebabkan oleh kondisi kebersihan lingkungan
yang kurang memadai. Apalagi di kawasan dekat peternakan hewan-hewan
ternak. Hewan ternak yang menghasilkan kotorannya setiap harinya membuat
suasana lingkungan tidak sedap dipandang, bau yang menyengat dan
menimbulkan sarang penyakit. Penyakit diare biasa menyerang kotoran hewan
itu sendiri bahkan manusia di sekitarnya (Suraatmaja, 2007).
Menurut Statistik Peternakan dalam Zalizar (2013) Indonesia
mempunyai potensi ternak yang cukup banyak antara lain hewan besar seperti
sapi potong dan sapi perah pada tahun 2011 populasinya mencapai 15.421.586
ekor. Mengingat ternak tersebut per ekor setiap hari dapat menghasilkan
kotoran ternak sampai lebih dari 10 kg.
Menurut Statistik Peternakan dalam Zalizar (2013) Di Indonesia pada
tahun 2011 sudah mencapai 15.421.586 ekor Apabila rata-rata per ekor
mengeluarkan kotoran sebanyak 10 kg /hari maka di negara kita dihasilkan
154215,860 ton kotoran sapi setiap hari. Jika kotoran sapi tersebut akan
dibuang ke selokan-selokan di depan rumah, selain bau juga akan mencemari
sungai-sungai (Zalizar, 2013 ).Oleh karena itu hendaknya diolah kembali
menjadi produk yang bernilai ekonomis yakni sebagai pupuk organik hasil
pengolahan limbah kotoran sapi (Kasworo, 2013).
Menurut Budiyanto dalam Kasworo (2013) Kotoran sapi
merupakan salah satu bahan potensial untuk membuat pupuk
organik. Kebutuhan pupuk organik akan meningkat seiring
dengan permintaan akan produk organik. Menurut Prawoto
dalam Kasworo (2013), hal ini disebabkan karena produk
organik rasanya lebih enak, lebih sehat, dan baik bagi
lingkungan. Lebih lanjut menurut Prawoto, pada Kasworo
(2013) , pangsa pasar dunia produk organik dalam 10 tahun
mendatang akan mencapai sekitar US $ 100 milyar. Lanjutnya
di Amerika Serikat, pada tahun 1997, pangsa pasar produk
organik sekitar US $ 3.5 milyar per tahun dan dalam tahun
2000 meningkat sekitar dua kali lipatnya. Dalam 10 tahun
terakhir, pasar organik naik 228 persen dan nilai
perdagangannya menembus 59,1 miliar. Lebih lanjut
dikatakan meski tahun 2012 Eropa masih akan terimbas
ekonomi namun pasar produk organik yang mengutamakan
kesehatan akan terus tumbuh dan juga pasar organik di AS,
Brasil, Rusia, India dan China. Nilai perdagangan produk
organik AS tahun 2011 mencapai 30 miliar dollar AS dan
diperkirakan sampai tahun 2015 pertumbuhan ratarata pasar
organik Amerika Utara sebesar 12 persen. Pertumbuhan
permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia
mencapai rata-rata 20% per tahun. Lanjutnya, data WTO
menunjukkan bahwa dalam tahun 2000-2004 perdagangan
produk pertanian organik telah mencapai nilai rata-rata 17,5
miliar dolar AS (Kasworo, 2013).
Satu ekor sapi setiap harinya menghasilkan kotoran
berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau
setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga akan
mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mempercepat
proses perbaikan lahan. Potensi jumlah kotoran sapi dapat
dilihat dari populasi sapi. Populasi sapi potong di Indonesia
diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi perah 350.000-400.000
ekor dan apabila satu ekor sapi rata-rata setiap hari
menghasilkan 7 kilogram kotoran kering maka kotoran
kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4
juta kilogram kering per hari. Keadan potensial inilah yang
menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada
kotoran ternak (Kasworo, 2013).
Limbah peternakan yang dihasilkan tidak lagi menjadi
beban biaya usaha akan tetapi menjadi hasil ikutan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin setara dengan
nilai ekonomi produk utama (daging) Menurut Sudiarto dalam
Kasworo (2013). Dengan begitu, usaha peternakan ke depan
harus dapat dibangun secara berkesinambungan sehingga
dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan
berkelanjutan, lanjut Sudiarto (2008). Menurut Nastiti (2008)
dalam Kasworo (2013) mengatakan penerapan teknologi
budidaya ternak yang ramah lingkungan dapat dilakukan
melalui pemanfaatan limbah pertanian yang diperkaya
nutrisinya serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk
organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak,
peternak dan perbaikan lingkungan. (Kasworo, 2013)
2.3 Cara mengelola limbah kotoran Bos taurus
Menurut Harlia dalam Zalizar (2013) di dalam kotoran ternak segar
dapat di temukan mikroba berbahaya. Kotoran sapi perah apabila tidak
ditangani dengan benar maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan
lingkungan terhadap manusia, oleh karena itu kotoran sapi perah sebaiknya
tidak dibiarkan bertumpuk atau dibuang ke sungai tetapi harus melalui
pengolahan agar bermanfaat bagi lingkungan. Kotoran sapi perah dapat diolah
menjadi sumber energi alternatif yaitu biogas, diolah menjadi kompos,
vermikompos dan pupuk organik cair untuk kepentingan .
Berikut adalah cara mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik
bagi tumbuhan yang ramah lingkungan (Lolitsopo, 2008) :
A. Bahan dan Peralatan
1. Kotoran sapi yang bercampur dengan urine (berasal dari kandang
kelompok)
2. Sekam atau “gerajen” (limbah gergajian kayu)
3. Kapur bubuk
4. Skop dan saringan
5. Karung plastic
6. Timbangan
B. Proses Pembuatan
1. Permanenan kompos: Dilakukan setelah ketebalan kotoran spai dan
urine di dalam kandang kelompok mencapai 25-30 cm.
Permanenan dilaksanakan sesuai dengan tujuan jenis kompos
organic yaitu kompos curah, kompos blok, kompos butiran dan
bokhasi.
2. Cara pembuatan kompos curah: kotoran yang dipanen dari kandang
diangin-anginkan di tempat teduh selama kurang lebih 2 bulan, lalu
kotoran sapi dihancurkan dan diayak dnegan ukuran lubang 0,4 x
0,5 cm, kemudian dikemas dala karung atau plastik.
3. Cara pembuatan kompos blok: kotoran yang baru dipanen (kondisi
masih basah), dicetak menggunakan alat pres manual sederhana
atau dengan menggunakan mesin pres batako dengan ukuran P= 20
x 10 x 6 cm.
4. Cara pembuatan kompos butiran.
Bahan dan alat:
a. Kompos curah
b. Tepung tapioca 3-5% dari berat kering kompos
c. Air 8-10% dari berat kering kompos
d. Zat pewarna
e. Mesin butiran
Cara kerja:
a. Tepung tapioka yang telah dicampur dengan pewarna,
ditaburkan pada mesin butiran.
b. Kompos curah yang dihaluskan ditempatkan di atas lapisan
tepung tapioka.
c. Air disemprotkan melalui saluran yang ada pada mesin
butiran.
d. Mesin dihidupkan dengan gerakan memutar sehingga akan
terbentuk bulatan-bulatan butiran.
e. Dikemas dalam plastik.
5. Proses pembuatan bokhasi
Bahan :
a) Kotoran sapi yang telah ditiriskan
b) Sekam (10% dari bobot kotoran sapi)
c) Abu sekam (10% dari bobot kotoran sapi)
d) Dedak padi (5% dari bobot kotoran sapi)
e) Tetes + air (2 : 1000) atau 1 liter air + 2 cc tetes atau 1 liter
air + 6 sendok makan gula pasir
Cara membuat :
a. Campur kotoran sapi + sekam + abu sekam + dedak padi
sesuai takaran, kemudian diaduk hingga merata.
b. Tuang campuran tetes dan air ke dalam campuran no 1 dan
diaduk hingga merata sampai membentuk adonan dnegan
kadar air kurang lebih 40%.
c. Ditutup dengan karung goni atau tikar. Dalam kondisi
anaerob fermentasi akan berlangsung cepat sehingga suhu
bokhasi meningkat 35-400C. Bila suhu mencapai 500C,
maka bokhasi dilakukan pembalikan agar suhunya
menurun. Lama fermentasi antara 4-5 hari dan bokhasi
dianggap jadi.
Gambar 2.1 Cara pengolahan kotoran sapi yang bermanfaat
Beberapa alasan mengapa kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum
dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman antara lain adalah :
1) Proses penguraian bahan segar dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
2) Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsure
hara ke dalam tanah.
3) Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air
kecil.
4) Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, oleh karena itu
pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum
digunakan sebagai pupuk.
2.4 Pihak yang berperan dalam mensosialisaikan pengolahan pupuk
tanaman
Demi melancarkan suatu strategi yang mendukung lingkungan agar lebih
baik, diperlukan beberapa pihak yang ikut andil dalam mensosialisasikan
pengolahan pupuk tanaman ramah lingkungan, diantaranya adalah sebagai berikut
(Kasworo, 2013) :
1). Pemerintah
Sosialisasi penggunaan pupuk organik hasil pengolahan limbah
kotoran sapi ikut dilaksanakan oleh pemerintah dengan maksud memberikan
penjelasan mengenai konsep dasar, tujuan, sasaran, prinsip-prinsip,
kebijakan serta proses dan mekanisme dalam pengerjaan dan pembuatan unit
biogas.
Dalam hal ini pemerintah daerah memberikan penyuluhan
sehingga para peternak mampu memanfaatkan limbah kotoran sapi yang
tidak bernilai menjadi sumber ekonomis bagi masyarakat sekitar produksi.
Pengolahan limbah kotoran sapi ini berdampak pada berkurangnya
pencemaran lingkungan dan mampu menekan penyebaran diare pada
masyarakt sekitar daerah peternakan. Dengan penggunaan pupuk tanaman
yang ramah lingkungan, maka penyebaran diare akibat limbah kotoran sapi
yang menumpuk semkain berkurang.
2). Peternak/Masyarakt
Diharapkan peternak baik secara mandiri atau berkelompok
mampu mengelola kotoran sapi untuk dijadikan sumber pupuk tanaman
organik. Peternak mampu secara mandiri menularkan pengetahuan kepada
peternak di kampung lain untuk melakukan kegiatan serupa. Tersedianya
unit produksi pupuk tanaman mandiri di suatu daerah akan menjadikan
mudah masyarakat daerah tersebut mendapatkan sumber penghasilan bagi
masyarakat sekitar.
3). Petani
Diharapkan bagi para petani untuk ikut andil dalam mengkonsumsi
pupuk organik yang ramah lingkungan. Karena hal itu mampu membantu
mengurangi pencemaran tanah dan pencemaran air. Serta ikut dalam
mengurangi penyebaran diare pada masyarakat akibat bakteri-bakteri yang
ada pada limbah kotoran sapi.
4). Mahasiswa
Mahasiswa dalam hal ini juga melakukan fungsi sebagai salah satu
pihak yang berperan cukup aktif, dikarenakan mahasiswa melakukan
berbagai penyuluhan dan transformasi ilmu pengetahuan mereka kepada
masyarakat. Selain itu pelatihan pembuatan pupuk tanaman juga dilakukan
oleh mahasiswa, pelatihan ini dilakukan bertahap selama 2 kali dalam satu
bulan atau lebih. Mahasiswa dinilai aktif untuk ikut mensosialisaikan
pengolahan limbah kotoran sapi sebagai pupuk organik yang mana
mahasiswa turun langsung ke daerah yang akan mendapat sosialisasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
mengenai studi kasus tentang penyebaran kasus diare yang disebabkan
oleh kotoran Bos Taurus pada masyarakat di kota Batu dan cara
mengolah kotoran sebagai pupuk tanaman yang ramah lingkungan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Kami mengamati dan wawancarai narasumber di Dusun Toyomerto Desa
Pesanggrahan Kota Batu, Jawa timur. Kami pergi ke tempat penelitian
sebanyak dua kali. Awalnya pada 13 September 2014, data dikumpulkan
dengan mencari fenomena dan lingkungan. Kedua, 20 September 2014
kami mengadakan wawancara di sana sebagai pendukung hasil dari
penelitian yang kami lakukan melalui beberapa pertanyaan.
3.3 Subyek Penelitian
Kami fokus dalam mencari fenomena penyebaran diare akibat dari limbah
kotoran Bos taurus yang menumpuk dan juga cara mengolah limbah
kotoran Bos Taurus menjadi pupuk tanaman yang ramah lingkungan.
Kami melakukan dengan mencari data penyebaran diare. Dan kami
mewawancarai beberapa orang (lima orang perwakilan) sebagai
narasumber kami disana.
3.4 Populasi, sampel dan teknik sampling
Banyak populasi jumlah peternakan yang ada di Desa Pesanggrahan ada 5
peternakan dan jumlah sampel yang digunakan ada 1 peternakan sebagai
wakil dari jumlah populasi tersebut. Teknik sampling yang digunakan
adalah cluster sampling (area sampling), yakni dari jumlah populasi yang
ada 5 peternakan sapi dan sampel yang digunakan ada 1 peternakan
sebagai uji sampel penelitian ini. Sampel yang kami gunakan dalam
penelitian ini merupakan peternakan yang diolah oleh Ketua kelompok
KUD Batu di Jawa Timur.
3.5 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi di
tempat penelitian. Wawancara yang kami lakukan adalah mengenai cara
mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak) dalam usaha
mengurangi penyebaran diare di kota Batu. Sedangkan untuk data yang
kami observasi adalah mengenai faktor penyebab menyebarnya diare
pada masyarakat kota Batu, solusi efektif untuk menekan penyebaran
diare di kota Batu dan berbagai pihak yang berperan penting dalam
mensosialisasikan pengolahan pupuk tanaman ramah lingkungan. Dalam
pengamatan, kami mengumpulkan data melalui wawancara dengan 2
orang di sekitar wilayah Desa Pesanggrahan Dusun Toyomerto Kota
Batu, Jawa timur dan observasi kami lakukan satu kelompok terhadap
kondisi wilayah tersebut.
3.6 Analisis data
Data yang kami kumpulkan setelah penelitian yang kami lakukan, kami
analisis dalam bentuk presentase sebagai berikut.
A. Faktor Penyebab Terjadinya Diare
DAFTAR RUJUKAN
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kasworo, Ananto. 2013. Daur Ulang Kotoran Ternak. Magelang: FMIPA UI
Press.
Lolitsopo. 2008. Kompos Organik Kotoran sapi. Pasuruan : Agro Inovasi Potong
Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus
FKUI Jakarta
Rosari, Alania. 2013. Hubungan diare dengan status Gizi. Padang: Jurnal
Kesehatan Andalas.
Sinthamurniwaty.2006.Faktor-faktor Resiko Keadian Diare Akut Pada Balita.
Semarang : UNDIP
Sudiarto, Bambang. 2008. Pengolahan Limbah Peternakan Terpadu: Seminar
NAsional Teknologi Peternakan dan Veterin. Bandung: Universitas Padjajaran.
Suraatmaja S. 2007. Kapita seSlekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung
Seto.
Pramono, Utami S, 1987. Diagnostika Penyakit Bacterial Pada Hewan. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Zalizar, Lili. 2013. Potensi Produksi Dan Ekonomi Biogas Serta Implikasinya
Pada Kesehatan Manusia, Ternak Dan Lingkungan. Malang: Internasional
Biologi.