23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare atau gastroenteritis merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan dalam transpor air dan elektrolit dalam usus. Hal ini terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi digesti, absorpsi dan sekresi (Harrison, 1995). Faktor yang turut menjadi penyebab adalah pembuangan limbah serta pengadaan air bersih yang tidak memadai, lingkungan yang penuh sesak serta kurangnya kebersihan perorangan, kemiskinan, kurangnya akses pada pelayanan kesehatan dan kurangnya pendidikan. Selain itu, faktor penyebab diare adalah tempat yang tercemar oleh kotoran hewan contohnya sapi sebagai akibat dari sistem pembuangan limbah yang jelek atau kebersihannya tidak memadai (Harrison, 1995). Kotoran sapi mengandung bakteri dari golongan enteroba k ter yang menggang g u kesehatan masyarakat. Akibat bakteri yang terkandung dalam kotoran tersebut, menyebabkan timbulnya diare pada sistem digesti vus manusia. Dengan keadaan tersebut, kotoran yang semula mengganggu kesehatan dan tidak bermanfaat, dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman ramah lingkungan (Pramono. 1987).

PEMBAHASAN PENGLING

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pengetahuan Lingkungan

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diare atau gastroenteritis merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja

yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan dalam transpor air dan

elektrolit dalam usus. Hal ini terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal

pada fungsi digesti, absorpsi dan sekresi (Harrison, 1995).

Faktor yang turut menjadi penyebab adalah pembuangan limbah serta

pengadaan air bersih yang tidak memadai, lingkungan yang penuh sesak serta

kurangnya kebersihan perorangan, kemiskinan, kurangnya akses pada pelayanan

kesehatan dan kurangnya pendidikan. Selain itu, faktor penyebab diare adalah

tempat yang tercemar oleh kotoran hewan contohnya sapi sebagai akibat dari

sistem pembuangan limbah yang jelek atau kebersihannya tidak memadai

(Harrison, 1995).

Kotoran sapi mengandung bakteri dari golongan enterobakter yang

mengganggu kesehatan masyarakat. Akibat bakteri yang terkandung dalam

kotoran tersebut, menyebabkan timbulnya diare pada sistem digestivus manusia.

Dengan keadaan tersebut, kotoran yang semula mengganggu kesehatan dan tidak

bermanfaat, dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman ramah lingkungan

(Pramono. 1987).

Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk dapat menurunkan peluang

terjadinya kontaminasi mikroba di lingkungan, karena mikroba patogen

(penyebab penyakit) dihancurkan (Engler et al, 2011). Proses pembuatan pupuk

dapat menurunkan bakteri E. Coli (Tulayakul et al, 2011) atau menghilangkan

bakteri Coliform (E. Coli) sampai 99% (Wahyuni, 2011), bahkan bisa

menghilangkan bakteri tersebut sampai 100% setelah waktu 33 hari proses digesti

di dalam digester (Kalloum et al, 2011). Oleh karena itu mengacu pada pendapat

para peneliti tersebut maka di dalam limbah kotoran sapi tidak mengandung

mikroba berbahaya karena sudah mati akibat di dalam proses pengolahan pupuk

saat dipanaskan. Suhu yang terbentuk akibat proses digesti anaerobik tersebut bisa

mencapai 55-700C, sehingga mikroorganisme yang tidak tahan panas akan mati

(Zalizar, 2013).

Oleh karena itu, untuk lebih mengetahui strategi masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan, pada makalah ini akan diteliti mengenai cara mengelola

dan memanfaatkan limbah kotoran Bos taurus sebagai pupuk tanaman ramah

lingkungan guna menekan penyebaran gastroenteritis di kota Batu. Penelitian

dilakukan di kota Batu dikarenakan mayoritas masyarakat Batu bermata

pencaharian sebagai petani dan peternak yang ikut mendukung dalam mengurangi

penyebaran diare dengan memproduksi pupuk tanaman dari kotoran Bos taurus.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah.

1. Apa saja faktor penyebab menyebarnya diare pada masyarakat kota

Batu?

2. Bagaimana solusi yang paling efektif untuk menekan penyebaran diare

di kota Batu?

3. Bagaimana cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak)

sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu?

4. Siapa saja pihak yang berperan penting dalam mensosialisaikan

pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan pada masyarakat

kota Batu sendiri yang umumnya bermatapencaharian sebagai petani?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan di atas masalah kita melakukan penelitian dengan tujuan

sebagai berikut.

1. Untuk mengenali faktor penyebab menyebarnya diare pada masyarakat

kota Batu.

2. Untuk mengetahui solusi yang paling efektif untuk menekan

penyebaran diare di kota Batu.

3. Untuk mengetahui cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi

ternak) sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu.

4. Untuk mengetahui berbagai pihak yang berperan penting dalam

mensosialisaikan pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini kami dapat memperoleh manfaat sebagai

berikut.

1. Dapat mengenali faktor penyebab merajalelanya diare pada masyarakat

kota Batu.

2. Dapat mengetahui solusi yang paling efektif untuk menekan penyebaran

diare di kota Batu.

3. Dapat mengetahui cara mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak)

sehingga mengurangi penyebaran diare di kota Batu.

4. Dapat mengetahui berbagai pihak yang berperan penting dalam

mensosialisaikan pengolahan pupuk tanaman yang ramah lingkungan.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Faktor penyebab menyebarnya diare

Diare atau penyakit diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia

(bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus (to flow through), merupakan

keadaan abnormal pengeluaran tinja yang terlalu sering. Hal ini disebabkan

adanya perubahan-perubahan dalam transport air dan elektrolit dalam usus,

terutama pada keadaan-keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi

digesti, absorpsi dan sekresi. Diare sering didefinisikan sebagai berak lembek

cair sampai cair sebanyak ≥ 3 kali perhari. UKK Gasto-hepatologi IDAI

(2009) mendefinisikan diare sebagai peningkatan frekuensi buang air besar

dan berubah konsistensi menjadi lebih lunak atau bahkan cair.

(Mansjoer.2000).

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis

lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembungan

tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.

Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta

berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui

makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare

(Sinthamurniwaty, 2006).

Pada kotoran sapi mengandung bakteri dari golongan enterobakter

yang mengganggu kesehatan masyarakat. Akibat bakteri yang terkandung

dalam kotoran tersebut, menyebabkan timbulnya diare pada sistem digesti

manusia (Pramono, 1987).

Secara umum bakteri yang terdapat di dalam kotoran sapi perah

mempunyai sifat yang heterotrop, yaitu bakteri yang memerlukan sumber

carbon dalam bentuk senyawa organic, Hal ini diduga karena di dalam kotoran

sapi perah terdapat bahan organikyang cukup besar. Bahwa setengah bahan

organik ditemukan kembali dalam kotoran yang dikeluarkan. Species bakteri

yang ditemukan adalah Vibrio cholera ogawa dan tak lain adalah bakteri

Escherichia coli, dimana kedua jenis bakteri ini dapat menyebabkan penyakit

pada hewan dan manusia. Dapat diidentifikasi bahwa bateri-bakteri tersebut

termasuk golongan Enterobacteriacea (Citrobacter, Enterobacter dan E. coli)

beberapa species ini bersifat patogenik dan dapat menyebabkan penyakit

gastroenteritis. (Zalizar, 2013)

2.2 Solusi efektif untuk menekan penyebaran diare

Diare adalah suatu keadaan yang ditandai dengan bertambahnya

frekuensi defekasi lebih dari tiga kali sehari yang disertai dengan perubahan

konsistensi tinja menjadi lebih cair, dengan/tanpa darah dan dengan/tanpa

lender (Rosari, 2013).

Diare salah satunya disebabkan oleh kondisi kebersihan lingkungan

yang kurang memadai. Apalagi di kawasan dekat peternakan hewan-hewan

ternak. Hewan ternak yang menghasilkan kotorannya setiap harinya membuat

suasana lingkungan tidak sedap dipandang, bau yang menyengat dan

menimbulkan sarang penyakit. Penyakit diare biasa menyerang kotoran hewan

itu sendiri bahkan manusia di sekitarnya (Suraatmaja, 2007).

Menurut Statistik Peternakan dalam Zalizar (2013) Indonesia

mempunyai potensi ternak yang cukup banyak antara lain hewan besar seperti

sapi potong dan sapi perah pada tahun 2011 populasinya mencapai 15.421.586

ekor. Mengingat ternak tersebut per ekor setiap hari dapat menghasilkan

kotoran ternak sampai lebih dari 10 kg.

Menurut Statistik Peternakan dalam Zalizar (2013) Di Indonesia pada

tahun 2011 sudah mencapai 15.421.586 ekor Apabila rata-rata per ekor

mengeluarkan kotoran sebanyak 10 kg /hari maka di negara kita dihasilkan

154215,860 ton kotoran sapi setiap hari. Jika kotoran sapi tersebut akan

dibuang ke selokan-selokan di depan rumah, selain bau juga akan mencemari

sungai-sungai (Zalizar, 2013 ).Oleh karena itu hendaknya diolah kembali

menjadi produk yang bernilai ekonomis yakni sebagai pupuk organik hasil

pengolahan limbah kotoran sapi (Kasworo, 2013).

Menurut Budiyanto dalam Kasworo (2013) Kotoran sapi

merupakan salah satu bahan potensial untuk membuat pupuk

organik. Kebutuhan pupuk organik akan meningkat seiring

dengan permintaan akan produk organik. Menurut Prawoto

dalam Kasworo (2013), hal ini disebabkan karena produk

organik rasanya lebih enak, lebih sehat, dan baik bagi

lingkungan. Lebih lanjut menurut Prawoto, pada Kasworo

(2013) , pangsa pasar dunia produk organik dalam 10 tahun

mendatang akan mencapai sekitar US $ 100 milyar. Lanjutnya

di Amerika Serikat, pada tahun 1997, pangsa pasar produk

organik sekitar US $ 3.5 milyar per tahun dan dalam tahun

2000 meningkat sekitar dua kali lipatnya. Dalam 10 tahun

terakhir, pasar organik naik 228 persen dan nilai

perdagangannya menembus 59,1 miliar. Lebih lanjut

dikatakan meski tahun 2012 Eropa masih akan terimbas

ekonomi namun pasar produk organik yang mengutamakan

kesehatan akan terus tumbuh dan juga pasar organik di AS,

Brasil, Rusia, India dan China. Nilai perdagangan produk

organik AS tahun 2011 mencapai 30 miliar dollar AS dan

diperkirakan sampai tahun 2015 pertumbuhan ratarata pasar

organik Amerika Utara sebesar 12 persen. Pertumbuhan

permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia

mencapai rata-rata 20% per tahun. Lanjutnya, data WTO

menunjukkan bahwa dalam tahun 2000-2004 perdagangan

produk pertanian organik telah mencapai nilai rata-rata 17,5

miliar dolar AS (Kasworo, 2013).

Satu ekor sapi setiap harinya menghasilkan kotoran

berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau

setara dengan 1,5-2 ton pupuk organik sehingga akan

mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mempercepat

proses perbaikan lahan. Potensi jumlah kotoran sapi dapat

dilihat dari populasi sapi. Populasi sapi potong di Indonesia

diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi perah 350.000-400.000

ekor dan apabila satu ekor sapi rata-rata setiap hari

menghasilkan 7 kilogram kotoran kering maka kotoran

kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4

juta kilogram kering per hari. Keadan potensial inilah yang

menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada

kotoran ternak (Kasworo, 2013).

Limbah peternakan yang dihasilkan tidak lagi menjadi

beban biaya usaha akan tetapi menjadi hasil ikutan yang

memiliki nilai ekonomi tinggi dan bila mungkin setara dengan

nilai ekonomi produk utama (daging) Menurut Sudiarto dalam

Kasworo (2013). Dengan begitu, usaha peternakan ke depan

harus dapat dibangun secara berkesinambungan sehingga

dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar dan

berkelanjutan, lanjut Sudiarto (2008). Menurut Nastiti (2008)

dalam Kasworo (2013) mengatakan penerapan teknologi

budidaya ternak yang ramah lingkungan dapat dilakukan

melalui pemanfaatan limbah pertanian yang diperkaya

nutrisinya serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk

organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak,

peternak dan perbaikan lingkungan. (Kasworo, 2013)

2.3 Cara mengelola limbah kotoran Bos taurus

Menurut Harlia dalam Zalizar (2013) di dalam kotoran ternak segar

dapat di temukan mikroba berbahaya. Kotoran sapi perah apabila tidak

ditangani dengan benar maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan

lingkungan terhadap manusia, oleh karena itu kotoran sapi perah sebaiknya

tidak dibiarkan bertumpuk atau dibuang ke sungai tetapi harus melalui

pengolahan agar bermanfaat bagi lingkungan. Kotoran sapi perah dapat diolah

menjadi sumber energi alternatif yaitu biogas, diolah menjadi kompos,

vermikompos dan pupuk organik cair untuk kepentingan .

Berikut adalah cara mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik

bagi tumbuhan yang ramah lingkungan (Lolitsopo, 2008) :

A. Bahan dan Peralatan

1. Kotoran sapi yang bercampur dengan urine (berasal dari kandang

kelompok)

2. Sekam atau “gerajen” (limbah gergajian kayu)

3. Kapur bubuk

4. Skop dan saringan

5. Karung plastic

6. Timbangan

B. Proses Pembuatan

1. Permanenan kompos: Dilakukan setelah ketebalan kotoran spai dan

urine di dalam kandang kelompok mencapai 25-30 cm.

Permanenan dilaksanakan sesuai dengan tujuan jenis kompos

organic yaitu kompos curah, kompos blok, kompos butiran dan

bokhasi.

2. Cara pembuatan kompos curah: kotoran yang dipanen dari kandang

diangin-anginkan di tempat teduh selama kurang lebih 2 bulan, lalu

kotoran sapi dihancurkan dan diayak dnegan ukuran lubang 0,4 x

0,5 cm, kemudian dikemas dala karung atau plastik.

3. Cara pembuatan kompos blok: kotoran yang baru dipanen (kondisi

masih basah), dicetak menggunakan alat pres manual sederhana

atau dengan menggunakan mesin pres batako dengan ukuran P= 20

x 10 x 6 cm.

4. Cara pembuatan kompos butiran.

Bahan dan alat:

a. Kompos curah

b. Tepung tapioca 3-5% dari berat kering kompos

c. Air 8-10% dari berat kering kompos

d. Zat pewarna

e. Mesin butiran

Cara kerja:

a. Tepung tapioka yang telah dicampur dengan pewarna,

ditaburkan pada mesin butiran.

b. Kompos curah yang dihaluskan ditempatkan di atas lapisan

tepung tapioka.

c. Air disemprotkan melalui saluran yang ada pada mesin

butiran.

d. Mesin dihidupkan dengan gerakan memutar sehingga akan

terbentuk bulatan-bulatan butiran.

e. Dikemas dalam plastik.

5. Proses pembuatan bokhasi

Bahan :

a) Kotoran sapi yang telah ditiriskan

b) Sekam (10% dari bobot kotoran sapi)

c) Abu sekam (10% dari bobot kotoran sapi)

d) Dedak padi (5% dari bobot kotoran sapi)

e) Tetes + air (2 : 1000) atau 1 liter air + 2 cc tetes atau 1 liter

air + 6 sendok makan gula pasir

Cara membuat :

a. Campur kotoran sapi + sekam + abu sekam + dedak padi

sesuai takaran, kemudian diaduk hingga merata.

b. Tuang campuran tetes dan air ke dalam campuran no 1 dan

diaduk hingga merata sampai membentuk adonan dnegan

kadar air kurang lebih 40%.

c. Ditutup dengan karung goni atau tikar. Dalam kondisi

anaerob fermentasi akan berlangsung cepat sehingga suhu

bokhasi meningkat 35-400C. Bila suhu mencapai 500C,

maka bokhasi dilakukan pembalikan agar suhunya

menurun. Lama fermentasi antara 4-5 hari dan bokhasi

dianggap jadi.

Gambar 2.1 Cara pengolahan kotoran sapi yang bermanfaat

Beberapa alasan mengapa kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum

dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman antara lain adalah :

1) Proses penguraian bahan segar dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

2) Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsure

hara ke dalam tanah.

3) Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air

kecil.

4) Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, oleh karena itu

pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum

digunakan sebagai pupuk.

2.4 Pihak yang berperan dalam mensosialisaikan pengolahan pupuk

tanaman

Demi melancarkan suatu strategi yang mendukung lingkungan agar lebih

baik, diperlukan beberapa pihak yang ikut andil dalam mensosialisasikan

pengolahan pupuk tanaman ramah lingkungan, diantaranya adalah sebagai berikut

(Kasworo, 2013) :

1). Pemerintah

Sosialisasi penggunaan pupuk organik hasil pengolahan limbah

kotoran sapi ikut dilaksanakan oleh pemerintah dengan maksud memberikan

penjelasan mengenai konsep dasar, tujuan, sasaran, prinsip-prinsip,

kebijakan serta proses dan mekanisme dalam pengerjaan dan pembuatan unit

biogas.

Dalam hal ini pemerintah daerah memberikan penyuluhan

sehingga para peternak mampu memanfaatkan limbah kotoran sapi yang

tidak bernilai menjadi sumber ekonomis bagi masyarakat sekitar produksi.

Pengolahan limbah kotoran sapi ini berdampak pada berkurangnya

pencemaran lingkungan dan mampu menekan penyebaran diare pada

masyarakt sekitar daerah peternakan. Dengan penggunaan pupuk tanaman

yang ramah lingkungan, maka penyebaran diare akibat limbah kotoran sapi

yang menumpuk semkain berkurang.

2). Peternak/Masyarakt

Diharapkan peternak baik secara mandiri atau berkelompok

mampu mengelola kotoran sapi untuk dijadikan sumber pupuk tanaman

organik. Peternak mampu secara mandiri menularkan pengetahuan kepada

peternak di kampung lain untuk melakukan kegiatan serupa. Tersedianya

unit produksi pupuk tanaman mandiri di suatu daerah akan menjadikan

mudah masyarakat daerah tersebut mendapatkan sumber penghasilan bagi

masyarakat sekitar.

3). Petani

Diharapkan bagi para petani untuk ikut andil dalam mengkonsumsi

pupuk organik yang ramah lingkungan. Karena hal itu mampu membantu

mengurangi pencemaran tanah dan pencemaran air. Serta ikut dalam

mengurangi penyebaran diare pada masyarakat akibat bakteri-bakteri yang

ada pada limbah kotoran sapi.

4). Mahasiswa

Mahasiswa dalam hal ini juga melakukan fungsi sebagai salah satu

pihak yang berperan cukup aktif, dikarenakan mahasiswa melakukan

berbagai penyuluhan dan transformasi ilmu pengetahuan mereka kepada

masyarakat. Selain itu pelatihan pembuatan pupuk tanaman juga dilakukan

oleh mahasiswa, pelatihan ini dilakukan bertahap selama 2 kali dalam satu

bulan atau lebih. Mahasiswa dinilai aktif untuk ikut mensosialisaikan

pengolahan limbah kotoran sapi sebagai pupuk organik yang mana

mahasiswa turun langsung ke daerah yang akan mendapat sosialisasi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif

mengenai studi kasus tentang penyebaran kasus diare yang disebabkan

oleh kotoran Bos Taurus pada masyarakat di kota Batu dan cara

mengolah kotoran sebagai pupuk tanaman yang ramah lingkungan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Kami mengamati dan wawancarai narasumber di Dusun Toyomerto Desa

Pesanggrahan Kota Batu, Jawa timur. Kami pergi ke tempat penelitian

sebanyak dua kali. Awalnya pada 13 September 2014, data dikumpulkan

dengan mencari fenomena dan lingkungan. Kedua, 20 September 2014

kami mengadakan wawancara di sana sebagai pendukung hasil dari

penelitian yang kami lakukan melalui beberapa pertanyaan.

3.3 Subyek Penelitian

Kami fokus dalam mencari fenomena penyebaran diare akibat dari limbah

kotoran Bos taurus yang menumpuk dan juga cara mengolah limbah

kotoran Bos Taurus menjadi pupuk tanaman yang ramah lingkungan.

Kami melakukan dengan mencari data penyebaran diare. Dan kami

mewawancarai beberapa orang (lima orang perwakilan) sebagai

narasumber kami disana.

3.4 Populasi, sampel dan teknik sampling

Banyak populasi jumlah peternakan yang ada di Desa Pesanggrahan ada 5

peternakan dan jumlah sampel yang digunakan ada 1 peternakan sebagai

wakil dari jumlah populasi tersebut. Teknik sampling yang digunakan

adalah cluster sampling (area sampling), yakni dari jumlah populasi yang

ada 5 peternakan sapi dan sampel yang digunakan ada 1 peternakan

sebagai uji sampel penelitian ini. Sampel yang kami gunakan dalam

penelitian ini merupakan peternakan yang diolah oleh Ketua kelompok

KUD Batu di Jawa Timur.

3.5 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi di

tempat penelitian. Wawancara yang kami lakukan adalah mengenai cara

mengelola limbah kotoran Bos taurus (sapi ternak) dalam usaha

mengurangi penyebaran diare di kota Batu. Sedangkan untuk data yang

kami observasi adalah mengenai faktor penyebab menyebarnya diare

pada masyarakat kota Batu, solusi efektif untuk menekan penyebaran

diare di kota Batu dan berbagai pihak yang berperan penting dalam

mensosialisasikan pengolahan pupuk tanaman ramah lingkungan. Dalam

pengamatan, kami mengumpulkan data melalui wawancara dengan 2

orang di sekitar wilayah Desa Pesanggrahan Dusun Toyomerto Kota

Batu, Jawa timur dan observasi kami lakukan satu kelompok terhadap

kondisi wilayah tersebut.

3.6 Analisis data

Data yang kami kumpulkan setelah penelitian yang kami lakukan, kami

analisis dalam bentuk presentase sebagai berikut.

A. Faktor Penyebab Terjadinya Diare

B. Jumlah warga desa yang terjangkit diare

C. Presentasi Pemanfaatan Limbah Kotoran Bos taurus

DAFTAR RUJUKAN

Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Kasworo, Ananto. 2013. Daur Ulang Kotoran Ternak. Magelang: FMIPA UI

Press.

Lolitsopo. 2008. Kompos Organik Kotoran sapi. Pasuruan : Agro Inovasi Potong

Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus

FKUI Jakarta

Rosari, Alania. 2013. Hubungan diare dengan status Gizi. Padang: Jurnal

Kesehatan Andalas.

Sinthamurniwaty.2006.Faktor-faktor Resiko Keadian Diare Akut Pada Balita.

Semarang : UNDIP

Sudiarto, Bambang. 2008. Pengolahan Limbah Peternakan Terpadu: Seminar

NAsional Teknologi Peternakan dan Veterin. Bandung: Universitas Padjajaran.

Suraatmaja S. 2007. Kapita seSlekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung

Seto.

Pramono, Utami S, 1987. Diagnostika Penyakit Bacterial Pada Hewan. Bogor:

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Zalizar, Lili. 2013. Potensi Produksi Dan Ekonomi Biogas Serta Implikasinya

Pada Kesehatan Manusia, Ternak Dan Lingkungan. Malang: Internasional

Biologi.