Upload
hana-christiani-sembiring
View
91
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Disentri amuba, penatalaksanaan, prognosis, metronidazol, resistensi antibiotik, rehidrasi,
Citation preview
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari bab sebelumnya telah didapat beberapa informasi sebagai berikut :
Dari anamnesis ditemukan bahwa pasien datang dengan keluhan berak
cair diserta lendir dan darah sejak 1 minggu yang lalu. Berak cair warna kuning,
berampas, volume sedikit-sedikit yaitu ± 100cc tiap BAB, frekuensi >5 kali tiap
hari. Berak cair disertai nyeri perut terutama di daerah sekitar lumbal sinistra.
Tidak ada demam serta keluhan gastrointestinal yang lain. Dari hasil anemnesis
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gastroenteritis akut (diare
akut) et causa disentri.
Gastroenteritis akut (diare akut) adalah suatu keadaan dimana buang air
besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat)
lebih dari 3 kali per hari dapat atau tanpa disertai dengan lendir atau darah, yang
berlangsung kurang dari 14 hari. Sedangkan disentri adalah suatu istilah untuk
diare yang disertai dengan darah.
Berdasarkan etiologinya, disentri dibagi menjadi dua yaitu disentri
basiler dan disentri amoeba. Disentri basiller disebabkan oleh infeksi kuman
Shigella sp, Salmonella sp, Escherichia coli enteroinvasif (ETEC), dan
Campylobacter jejuni. Sedangkan disentro amoeba terutama disebabkan oleh
parasit Entamoeba hystolitica.
Gejala khas pada disentri basiller yaitu diare disertai darah, demam tinggi
(39.5-400C), mual-muntah, anoreksia, kram di perut, dan dapat disertai gejala
menyerupai esefalitis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk). Sedangkan
gejala khas pada disentri amoeba ditandai dengan diare disertai lendir dan darah,
frekuensi diare lebih sedikit dari disentri basiller (<10kali/hari), volume sedikit-
sedikit dengan gejala nyeri kolik. Dari hasil anemnesa dan pemeriksaan fisik pada
kasus ini, dapat dapat didiagnosis sementara sebagai disentri amoeba.
Untuk menentukan diagnosis pasti dari etiologi diare maka harus
dilakukan pemeriksaan feses lengkap. Pada pemeriksaan mikroskopis feses
disentri basiler biasanya akan ditemukan adanya eritrosit dan sel PMN .
Pemeriksaan ini harus dilanjutkan dengan biakan feses untuk menentukan etiologi
kuman penyebab. Sedangkan pada disentri amoeba, dapat ditemukan bentuk kista
dan tropozoit dari parasit Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di
dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus
hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan
bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10
mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat
dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien
mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit
patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun
luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri. Diameternya
lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm) dan mengandung
beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering
menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar
tubuh manusia.
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa.
Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung awab
terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh
manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam
sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus
besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.
Hasil pemeriksaan feses lengkap pada kasus ini ditemukan bahwa feses
mengandung kista Entamoeba disertai eritrosit (2-3), leukosit (3-4). Dari hasil
pemeriksaan ini maka pasien dapat didiagnosis sebagai disentri amoeba. Bentuk
kista Entamoeba adalah bentuk dorman dan bertanggung jawab terhadap proses
penularan. Kista Entamoeba hystolitica mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Bentuk memadat mendekati bulat, ukurn 10-20µm,
2. Kista matang memiliki 4 kista entamoeba,
3. Tidak dijumpai lagi eritrosist dalam sitoplasma,
4. Kista yang belum matang memiliki glikogen (chromatoidal bodies) berbentuk
cerutu, namun biasanya menghilang setelah kista matang.
Gambar 4.1 Kista Entamoeba hystolitica
Manifestasi klinis disentri amoeba dapat bermacam-macam antara lain
carrier (cyst passer), amoebiasis interstinal ringan (disentri amoeba ringan),
amobiasis intestinal sedang (disentri amoeba sedang), disentri amoeba berat, dan
disentri amoeba kronik. Berdasarkan klasifikasi di atas, pasien pada kasus ini
termasuk dalam amoebiasis intestinal ringan.
Pada amoebiasis intestinal ringan, timbulnya penyakit (onset penyakit)
perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut
ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan
tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat
sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan
tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,
tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang
tidak atau sedikit nyeri tekan.
Aspek paling penting dari penatalaksanaan gastroenteritis akut adalah
menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama fase akut akut,
pengobatan spesifik, dan simptomatis. Jumlah cairan yang hendak diberikan
sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan
dapat dihitung dengan memakai cara :
1. BJ plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml 0,001
2. Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
3. Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
(tabel 4.2) .
Skor Penilaian Dehidrasi (Metode Daldiono) KlinisRasa haus/muntah 1Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2Frekwensi Nadi> 120 x/menit 1Kesadaran apatis 1Kesadaran somnolen, sopor atau koma 2Frekuensi nafas > 30 x/menit 1Facies cholerica 2Voxcholerica 2Turgor kulit menurun 1Washer’s woman’s hand 1Ekstremitas dingin 1Sianosis 2Umur 50-60 tahun 1Umur> 60 tahun 2
Pada amoebiasis intestinal ringan pada kasus ini pasien dalam keadaan
dehidrasi ringan dimana pasien masih mengkompensasi defisit cairan dengan
pemberian oral. Pemberian cairan dan elektrolt intravena sebebarnya tidak
diperlukan. Pemberian cairan intravena diberikan pada kasus disentri amoeba
berat hingga kronik.
Pada pasien disentri amoeba ringan-sedang dapat ditemukan ulkus pada
mukosa usus besar yang dpat mencapai lapisan submukosa, dan dapat
mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan mengalami diare atu
disentri tetapi tidak berat sehingga tidak memerlukan infus cairan elektrolit atau
transfusi darah. Sebagai obat pilihan adalah metronidazol dengan dosis 3x750 mg
sehari selama 5-10 hari. Keluhan biasanya akan berkurang setelah pemakain
metronidazol 5-7 hari.
Pada pasien ini, diberikan infus metronidazaol 3x500 mg pada hari
perawatan ke III dan diberikan selama 10 hari. Berdasarkan tabel evaluasi pasien
Kebutuhan cairan = Skor 10% X KgBB X 1 liter 15
selama perawatan, setelah pemakaian metronidazol intravena 3x500 mg selama 10
hari, keluhan BAB cair pasien berkurang tetapi diare tetap masih berlendir dan
berdarah. Os juga mengeluh perutnya bertambah sakit terutama di daerah lumbal
sinistra yang menjalar hingga ke pinggang.
Pada kasus ini perlu dipikirkan adanya kemungkinan terjadi kolitis
ulseratif. Kolitis ulseratif termasuk dalam salah satu penyakit inflamasi usus atau
yang lebih dikenal dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD). IBD adalah
penyakit saluran cerna dengan penyebab pasti yang belum jelas hingga saat ini.
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah disertai nyeri abdomen
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan. Pada penyakit ringan, bisa
terdapat keluhan diare cair mengandung sedikit darah tanpa gejala sistemik.
Derajat penyakit kolitis dapat dibagi atas ringan, sedang, dan berat
berdasarkan frekuensi diare, ada tidaknya demam, derajat anemia dan laju endap
darah (klasifikasi Truelove). Pasien pada kasus ini termasuk dalam kolitis ulserati
ringan.
Mild Moderate Severe
Number of stools per day <4 4-6 >6
(n)
Temperature (0C) Afebrile Intermediate >37.8
Heart Rate (bite/minute) Normal Intermediate 90
Haemoglobin (g/dl) >11 10-11.5 <10.5
ESR (mm/h) <20 20-30 >30
Tabel 4.1 Klasifikasi Truelove and Witt’s: Derajat Penyakit Kolitis Ulseratifa
Diagnosis pasti dari penyakit kolitis ulseratif adalah melalui pemeriksaan
roentgen kolon meliputi foto polos abdomen, barium enema, dan ultrasonografi
serta ditunjang dengan pemeriksaan kolonoskopi dan histopatologi.
Penatalaksaan kolitis ulseratif adalah dengan pemberian sulfasalazin.
Penatalaksaan kolitis ulseratif ringan sampai sedang adalah dengan
pemeberian sulfasalazin. Sulfasalazin (salisilazosulfapiridin) merupakan
kombinasi sulfapirin dengan asam 5-aminosalisilat yang dihubungkan dengan
ikatan azo. Obat ini sukar diabsorbsi dari usus, dan rantai azo diputuskan oleh
flora bakteri dalam ileium bagian distal dan kolon untuk membebaskan 5-ASA. 5-
ASA ini mempunyai efek antiinflamasi (sumber utama dari efek obat ini).
Sulfasalazin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940-an untuk pengobatan
artritis reumatoid. Kemudian obat ini efektif untuk colitis ulseratif ringan-sedang
dan kolitis Crohn tetapi kurang efektif pada penyakit Crohn usus halus.
Dosis terapi adalah 3-4 g/hari dalam dosis terbagi. Dosis kecil biasanya 2
g/hari. Efek samping yang berhubungan dengan dosis seperti malaise, mual dan
sakit kepala ditemukan 20% pada penderita yang mendapat sulfasalazin 4 g/hari.
Efek samping dapat dicegah dengan cara memberikan dosis awal yang rendah dan
ditingkatkan secara perlahan- lahan untuk medapat dosis yang dikehendaki.
Kemungkinan terjadi kolitis ulseratif pada kasus ini tidak dapat ditegakkan
karena belum dilakukan pemeriksaan barium enema, kolonoskopi dan
histopatologi. Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 14 November
2010.