Upload
syamsu-rizali
View
456
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA TINDAKAN HEMODIALISA
DI RUANG PERAWATAN HEMODIALISA
RSUD ULIN BANJARMASIN
Tanggal 27 – 29 September 2012
Oleh :
SYAMSU RIZALI
NIM I1B108626
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tindakan Hemodialisa di Ruang Perawatan
Hemodialisa RSU Ulin Banjarmasin
Disusun oleh : Syamsu Rizali
NIM. I 1B108626
Dengan ini telah disetujui pembuatannya oleh Pembimbing Lahan dan Pembimbing
Akademik sebagai penugasan individu dalam Stase Keperawatan Medikal Bedah Program
Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Tahun 2012
Banjarmasin, 2012
Menyetujui
Pembimbing Akademik
_______________________
Pembimbing Lahan
______________________
1
ASUHAN KEPERAWATAN
TINDAKAN HEMODIALISA
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Hemodialisa adalah menggerakkan cairan dari partikel-pertikel lewat membran semi
permiabel yang mempunyai pengobatan yang bisa membantu mengembalikan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal, mengendalikan asam dan basa, dan
membuang zat-zat toksis dari tubuh. ( Long, C.B. : 381).
Hemodialise adlah pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semi permiable ( alat dialysis) ke dalam dialisat. ( Tisher, C. C, dkk .1997)
Hemodialisa adalah difusi pertikel larut dari satu kempartemen cairan ke
kompatemen lain melewatai membran semipermeabel ( Hudak, M. C. 1996 : 39).
Dialisa adalah suatu proses pembuangan zat terlarut dan cairan dari darah melewati
membran semipermiabel, berdasarkan prinsip difusi osmosis dan aultrafiltrasi (
engram, B. 1998 : 164).
Hemodialisa adlah lintasan darah melalui sel;ang dari luar tubuh ke ginjal buatan
dimana pembuangan kelebihan zat terlarut can cairan terjadi ( Engram. B. 1998 :
164)
B. Tujuan
Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih
kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialysis.
Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan kematian.
Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Peritoneal
dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk dialysis yang lain.
C. Proses
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi
tersebut.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran
semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal
pada membran).
2
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau
bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat
molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga
sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein
plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran.
Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang
membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.
Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta
tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah
dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan
tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam
darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
3
D. Indikasi
1. Penyakit dalam (Medikal)
- ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal
mempertahankan RFT normal.
- CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup
- Snake bite
- Keracunan
- Malaria falciparum fulminant
- Leptospirosis
2. Ginekologi
- APH
- PPH
- Septic abortion
3. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa
- Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
- Serum kreatinin > 2 mg%/hari
- Hiperkalemia
- Overload cairan yang parah
- Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
Pada CRF:
- BUN > 200 mg%
- Creatinin > 8 mg%
- Hiperkalemia
4
- Asidosis metabolik yang parah
- Uremic encepalopati
- Overload cairan
- Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi
E. Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa
1. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya
memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki
akses temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak
diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe
dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane
olehpompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik”
cairan keluar darah.
5
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan
dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain
dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable
terhadap air.
F. Peralatan
1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen
darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe
membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor
ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya
untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
2. Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari
serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan
bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri
terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada
pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan
reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan
oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis,
namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3. Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system
pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua
system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta
pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa
darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi
suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan,
udaara, dan kebocoran darah.
6
G. Prosedur Hemodialisa
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system
sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur
arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar
(diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV.
Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna,
atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.
7
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran
“arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai
darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum:
jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau
tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep
selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi,
darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang
diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk memperbaiki
tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke
sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah.
Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung
peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam
kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa.
Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang
mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada
kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan
melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan
obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang
diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang
postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan
mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas
sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam
perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk
membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
8
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis
karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib
untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.
H. Prosedur Tnidakan
1. Perawatan sebelum hemodialisa
- Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
- Kran air dibuka
- Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang
atau saluran pembuangan
- Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
- Hidupkan mesin
- Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
- Matikan mesin hemodialisis
- Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
- Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis
- Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
- Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
9
- Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas
dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
- Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
- Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan
tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..
- Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc
- Hubungkan set infus ke slang arteri
- Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
- Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di
atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.
- Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
- Buka klem dari infus set ABL, VBL
- Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian
naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
- Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
- Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari
dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih
dari 200 mmHg).
- Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc
yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
- Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
- Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
- Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit
untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
- Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan
“outlet” di bawah.
- Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap
untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.
3. Persiapan pasien
- Menimbang berat badan
- Mengatur posisi pasien
- Observasi keadaan umum
- Observasi tanda-tanda vital
10
- Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
Dengan interval A-V shunt / fistula simino
Dengan external A-V shunt / schungula
Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
I. Interpretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan
yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil
segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan
kreatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah
dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.
J. Komplikasi
Komplikasi Teknis
1. Pemulihan cairan tidak sempurna
Cairan yang keluar harus berbanding /lebih banyak dari gairan yang dimasukkan
kemasan preparat dialysis komersial berisi 1000 – 2000 lm cairan bila sete;ah
beberapa kali pertukaran volume yang dikeluarkan kurang ( sampai 500 ml lebih )
dari jumlah yang dimasukkan,harus evaluasi tanda – tanda retensi cairan meliputi
distensi abdomen / keluhan begah. Indikasi yang paling akurat tentang jumlah
cairan yang terkumpul kembali adalah berat badan,bila cairan keluar dengan
lambat,ujung kateter mungkin terbenam dalam omentum / tersumbat fibrin.
2. Kebocoran disekitar kateter
Kebocoran superficial setelah operasi dapat dikontrol dengan penjahitan ekstra
dan mengurangi jumlah dialisat yang dimasukkan dalam peritoneal.Peningkatan
tekanan intra abdomen juga menyebabkan kebocoran dialisat,oleh karena itu
harus dihindari terjadinya muntah kontinyu, batuk, dan gerakan selama periode
awal pasca operasi.
3. Cairan peritoneal bersemu darah
Warna ini ditemukan pada awal aliran keluar tetapi harus bersih setelah beberapa
waktu.Perdarahan banyak setiap waktu merupakan indikasi masalah yang serius
dan harus diselidiki dengan cepat.
11
Komplikasi Fisiologis
1. Hipotensi
Penyebab : terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan,
obat-obatan anti hipertensi.
2. Mual dan muntah
Penyebab : gangguan GI, ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
3. Sakit kepala
Penyebab : tekanan darah tinggi, ketakutan.
4. Demam disertai menggigil.
Penyebab : reaksi fibrogen, reaksi transfuse, kontaminasi bakteri pada sirkulasi
darah.
5. Nyeri dada.
Penyebab : minum obat jantung tidak teratur, program HD yang terlalu cepat.
6. Gatal-gatal
Penyebab : jadwal dialysis yang tidak teratur, sedang.sesudah transfuse kulit
kering.
7. Perdarahan amino setelah dialysis.
Penyebab : tempat tusukan membesar, masa pembekuan darah lama, dosis
heparin berlebihan, tekanan darah tinggi, penekanan, tekanan tidak tepat.
8. Kram otot
Penyebab : penarikan cairan dibawah BB standar. Penarikan cairan terlalu cepat
(UFR meningkat) cairan dialisat dengan Na rendah BB naik > 1kg. Posisi tidur
berubah terlalu cepat.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Sebelum dialisa
a. Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alas an perawatan di rumah
sakit.
- Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan.
- Fistula tersumbat bekuan.
- Pembuatan fistula.
12
b. Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang diijinkan,
obat-obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa, jumlah haluaran
urin.
c. Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa
desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi dan
bunyi desiran menandakan fistulatersumbat.
d. Kaji terhadap manifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan tentang
dialisa :
- Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan pada tindakan
dialisa terakhir.
- Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas
dengan kerja fisik maksimal.
- Kelelahan dan kelemahan menetap.
- Hipertensi berat
- Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium.
- Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.
2. Sesudah dialisa
Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan cairan
selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan menggunakan
anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada resiko perdarahan dari
sisi akses dan terhadap perdarahan internal.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis
Intervensi :
a. Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis.
b. Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.
c. Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan.
d. Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi.
e. Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.
2. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan alas
an dialysis.
13
b. Kaji kesiapan untuk belajar.
c. Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar
termasuk alas an pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang b.d
kehilangan fungsi ginjal.
d. Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.
3. Ketidakberdayaan b.d perassan kurang kontrol,ketergantungan pada dialysis, sifat
kronis penyakit.
Intervensi :
a. Mendiskusikan perasaan pasien,meyakinkan bahwa perasaan tersebut
normal.
b. Beri dukungan pasien dan keluarga.
c. Bantu pasien untuk tetap terorientasi terhadap realitas,untuk tetap optimis
bahwa fungsi ginjal akan pulih normal bila keadaannya memungkinkan.
4. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder terhadap
penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli udara,ketidaktepatan
konsentarsi / suhu dialisat.
Intervensi :
a. Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.
b. Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia.
c. Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat, dan
periksa bunyi nafas bilateral.
d. Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.
e. Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama
dialisis.
14
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC,
Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan
Keperawatan untuk perencanaan dan
pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M.,
Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III, BP FKUI
Jakarta.
Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II,
Jakarta, EGC.
Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and
Treatment, first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los
Angeles
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care,
available on:www.Us.Elsevierhealth.com
IIOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition, Mosby Year Book, USA.
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA
Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year
Book. USA
Soeparman & Waspadji, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi 3,
FKUI, Jakarta
http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_hemodial_art.htm
15
LAPORAN PEDAHULUAN
SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)
A. Definisi
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik
dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat
bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu
angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk
diperoleh. (Price A. Sylvia, 2006)
Lupus Eritematos Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan
berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada
keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering
tidak terjadi bersamaan. (Mansjoer Arif, 2001)
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai
dengan peradangan dan pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit
kepala dan kandung pada bagian tubuh lainnya. (www.medicastrore.com)
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Systemic Lupus Eritematosus
(SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai system tubuh dengan
manifestasi klinis yang bervarisi.
B. Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
16
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem
pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan
menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya
dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor
lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:
Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita
oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita,
meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering
menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen)
mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang
pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi,
masih belum diketahui.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria
dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
17
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
a) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid
b) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan
kuinidin
c) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan
akan penyakit ini.
C. Patosisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
18
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. (Smeltzer and Suzane, 2001)
D. Manifestasi Klinis
Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang
lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel
ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang
menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani
dialisa atau pencangkokkan ginjal.
Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan
adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian
manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma
otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa
terjadi.
Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan
darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor
pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi
anemia akibat penyakit menahun.
19
Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan
tersebut.
Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut
sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan
suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai
terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk
mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
1. Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalen
si %
Antigen yang
Dikenali Clinical Utility
Antinuclear
antibodies
(ANA)
98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil
negative berulang menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-
stranded)
Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE
dan pada beberapa pasien berhubungan
dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan
vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks
protein pada 6
jenis U1 RNA
Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi
klinis; kebanyakan pasien juga memiliki
RNP; umum pada African American
dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks
protein pada U1
RNAγ
Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar
berkaitan dengan gejala yang overlap
dengan gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-
A)
30 Kompleks
Protein pada hY
Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan
sindrom Sicca, subcutaneous lupus
20
Antibody Prevalen
si %
Antigen yang
Dikenali Clinical Utility
RNA, terutama
60 kDa dan 52
kDa
subakut, dan lupus neonatus disertai
blok jantung congenital; berkaitan
dengan penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS-
B)
10 47-kDa protein
pada hY RNA
Biasanya terkait dengan anti-Ro;
berkaitan dengan menurunnya resiko
nephritis
Antihistone 70 Histones terkait
dengan DNA
(pada
nucleosome,
chromatin)
Lebih sering pada lupus akibat obat
daripada SLE.
Antiphospholi
pid
50 Phospholipids,β2
glycoprotein 1
cofactor,
prothrombin
Tiga tes tersedia –ELISA untuk
cardiolipin dan β2G1, sensitive
prothrombin time (DRVVT);
merupakan predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan trombositopenia.
Antierythrocyt
e
60 Membran
eritrosit
Diukur sebagai tes Coombs’ langsung;
terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan
perubahan
antigen
sitoplasmik pada
platelet.
Terkait dengan trombositopenia namun
sensitivitas dan spesifitas kurang baik;
secara klinis tidak terlalu berarti untuk
SLE
Antineuronal
(termasuk anti-
glutamate
receptor)
60 Neuronal dan
permukaan
antigen limfosit
Pada beberapa hasil positif terkait
dengan lupus CNS aktif.
Antiribosomal
P
20 Protein pada
ribosome
Pada beberapa hasil positif terkait
dengan depresi atau psikosis akibat
lupus CNS
21
Catatan: CNS = central nervous system,
CSF= cerebrospinal fluid,
DRVVT = dilute Russell viper venom time,
ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada
beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga
pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi
namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan
kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan
berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda
antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk
SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel
Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas
tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih
baik dengan nephritis
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan
pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari
kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus
memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam
sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan
untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b) Ruam kulit atau lesi yang khas
c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura
atau jantung
e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
22
f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
g) Biopsi ginjal
h) Pemeriksaan saraf.
F. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan,
dan sakit kepala
Penatalaksanaan untuk SLE derajat Ringan;
a) Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis)
hanya memerlukan sedikit pengobatan.
b) Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid
c) Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
d) Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
e) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
f) Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
g) Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata
2. Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis
lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat;
a) Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik,
penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf
pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
b) Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai
kelainan organ sasaran yang terkena.
c) Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
23
d) Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan
sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
3. Penatalaksanaan Umum :
a) Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
b) Hindari Merokok
c) Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d) Hindari stres dan trauma fisik
e) Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
f) Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
g) Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
4. Pengobatan Pada Keadaan Khusus
a) Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-
200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
b) Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu,
ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari
selama 5 hari berturut-turut
c) Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan
prednison 20-40 mg/hari
d) Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e) Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
f) Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
24
g) Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
h) Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison
pulse dosis selama 3 hari berturut-turut
G. Nursing Care Plan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI
Nyeri berhubungan
dengan proses
inflamasi dan
kerusakan jaringan
1. Melaporkan adanya
penurunan tingkat
nyeri
2. Melakukan
aktivitas sehari-hari
tanpa merasa nyeri
1. Kaji lokasi dan tingkat nyeri klien
untuk menentukan rencana tindakan
yang tepat
2. Berikan analgesic sesuai indikasi dan
pantau efek obat
3. Gunakan intervensi untuk
menurunkan nyeri non parmakologi
seperti tekhnik relaksasi napas dalam
Kelemahan
berhubungan dengan
proses penyakit
1. Mampu
melaksanakan
aktivitas utama
2. Mengungkapkan
adanya peningkatan
energi
1. Kaji tingkat energy klien untuk
merencanakan kegiatan harian klien
2. Bantu klien dalam melakukan
aktivitas untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari
3. Jelaskan tentang pentingnya
pengalihan energy yang digunakan
untuk meminimalkan jumlah energy
yang dikelauarkan saat beraktivitas
4. Libatkan keluarga dalam menyusun
rencana kegiatan untuk
meningkatkan kesadaran pasien
terhadap dukungan dan pengertian
keluarga terhadap penyakit pasien
5. Ajarkan pasien teknik meditasi
seperti yoga untuk menurunkan
tingkat stress
6. Dorong pasien untuk istirahat teratur
dan sesuai kebutuhan.
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan
perubahan dalam
penampilan fisik
1. Meningkatkan
perhatian dan
partisipasi dalam
perawatan diri
2. Mengungkapkan
pernyataan positif
tentang diri
1. Diskusikan dengan pasien harapan
yang realistis tentang perubahan
fisik untuk membantu pasien
membuat rencana dalam
memaksimalkan potensi fisik dan
meminimalkan masalah yang
mungkin muncul
25
DIAGNOSA
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI
2. Dorong pasien untuk meningkatkan
minat terhadap kebersihan dan
ajarka cara penggunaan kosmetik
secara kreatif karena aktivitas ini
dapat memperbaiki citra tubuh dan
rasa percaya diri pasien
3. Dorong pasien untuk mendiskusikan
perasaan dan hal positif pada diri
pasien untuk menurunkan rasa
isolasi dan gangguan citra tubuh
Kerusakan integritas
kulit berhubungan
sensitivitas cahaya,
ruam kulit, dan
alopecia
1. Membatasi
paparan langsung
sinar matahari
2. Tidak membuka
luka kulit
3. Strategi untuk
melindungi dari
alopecia
1. Kaji dan monitor lokasi dan
kemajuan dari ruam untuk
merencakan tindakan yang sesuai
2. Berikan terapi medikasi sesuai
indikasi untuk mengontrol maifestasi
kulit
3. Pertahankan kulit bersih dan kering
untuk mencegah infeksi sekunder
4. Diskusikan kebutuhan untuk
membatasi paparan sinar matahari
langsung dan gunakan krim atau
pakaian pelindung dari cahaya
matahari langsung saat berada di luar
ruangan
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan
kelemahan dan
kelelahan
1. Mengungkapkan
kepuasan akan pola
aktivitas
2. Mengukur tingkat
toleransi terhadap
aktivitas
1. Monitor tanda-tanda vital saat
ambulasi karena peningkatan nadi
dan pernafasan mengindikasikan
kebutuhan pasien untuk istirahat
2. Ukur tingkat aktivitas dan berikan
waktu istirahat diantara aktivitas
3. Dorong pasien untuk mengkaji
jadwal kegiatan untuk meningkatkan
rasa control dan kerjasama dalam
menentukan rencana kegiatan
4. Berikan istirahat bedrest menjelang
eksaserbasi untuk mengumpulkan
energy pada saat aktivitas
5. Berikan latihan ROM setiap 4 jam
untuk mencegah kontraktur otot
6. Dorong pasien untuk mengguakan
alat bantu untuk menghemat energy.
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
anorexia, kelemahan,
1. Mempertahankan
berat badan normal
2. Mempertahankan
jumlah dan kualitas
asupan makanan
1. Kaji makanan yang disukai pasien da
masukan kedalam rencana makan
pasien apabila memungkinkan untuk
mempertahan intake yang adekuat
2. Tawarkan makan sedikit tapi sering
26
DIAGNOSA
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI
dan efek medikasi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-
hari
3. Berikan perawatan oral hygiene
sebelum dan setelah makan untuk
meningkatkan kenyamanan dan
mencegah terjadinya perlukaan pada
oral
4. Pantau hasil laboratorium seperti Hb,
elektrolit, dan kadar protein karena
nilai yang rendah dapat
mengindikasikan intake yang tidak
adekuat
5. Anjurkan keluarga untuk membawa
makanan favorit pasien untuk
meningkatkan asupan makanan dan
sebagai wujud perhatian dan kasih
sayang terhadap pasien
27
REFERENSI
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Agung
Waluyo. Jakarta : EGC
Price, Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih
bahasa brahm. Jakarta : EGC
Lewis, Sharon Mantik. 2000. Medical Surgical Nursing 5th
Edition 2nd
Volume. United States
of America : Mosby, Inc.
Isbagio Hary, dkk. 2006. Lupus Eritematosus Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. FKUI :
Jakarta. 1214-1221
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
A. Charter, Michael. 2005. Lupus Eritematosus Sistemik. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit volume 2,edisi 6. EGC : Jakarta. 1392-1395. 1-6
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus
guidelines.Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96.
Van Vollenhoven RF, Engleman EG, McGuire JL. Dehydroepiandrosterone in systemic
lupuserythematosus:result of a double blind,placebo-controlled,randomized clinical
trial. Arthritis Rheum 1995;38:1826-31
Sidabutar, R.P. 1995. Lupus Eritematosus Sistemik dan Nefritis Lupus. Simposium Nasional
LES. Jakarta
www.medicastore.com