Pemantauan Kawasan Budidaya Dan Kesehatan Ikan Dan Lingkungan Di Selat Nenek, Kelurahan Temoyong - Batam

Embed Size (px)

Citation preview

  • PEMANTAUAN KAWASAN BUDIDAYA DAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DI TELUK MATA IKAN

    KECAMATAN NONGSA KOTA BATAM

    LAPORAN PERJALANAN DINAS

    Disusun Oleh :

    Romi Novriadi, S.Pd.Kim, M.Sc Dra. Endang Widiastuti

    Muhamad Sanuri, S.ST.Pi Andi

    KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

    BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2014

  • PEMANTAUAN KAWASAN BUDIDAYA DAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DI ELUK MATA IKAN KEVAMATAN NONGSA KOTA BATAM

    Romi Novriadi

    1, Endang Widiastuti

    2, Sanuri

    3 dan Andi

    4

    1) Pengendali Hama dan Penyakit Ikan Muda

    2) Perekayasa Muda 3) Calon Pengawas Perikanan Pertama 4) Calon Pengawas Perikanan Pertama

    A B S T R A K

    Kegiatan pemantauan kawasan budidaya dan penyakit ikan merupakan salah satu perangkat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi data hasil produksi dan informasi yang relevan tentang keragaan/dinamika penyakit tertentu pada suatu lokasi sebagai akibat dari fluktuasi beberapa parameter kualitas lingkungan budidaya. Dari hasil pemantauan yang dilakukan di wilayah Kampung Tua Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam diketahui bahwa kondisi kualitas air digolongkan sangat subur dan akan sangat berdampak kepada peningkatan produksi alga dan lumut. Sementara hasil analisa penyakit menunjukkan bahwa ikan budidaya telah terinfeksi oleh parasit Gyrodactilus sp dan Trichodina sp dan juga infeksi oleh bakteri Aeromonas sp. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa penurunan produksi budidaya selain disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan juga disebabkan oleh meningkatnya harga pakan hidup cacing sutera Tubifex sp dan pakan pellet untuk masa produksi serta harga jual ikan yang tidak menguntungkan pembudidaya.

    Kata kunci: Teluk Mata Ikan, Nongsa, Kualitas air, Gyrodactilus sp , Trichodina sp, Aeromonas sp

    A B S T R A C T

    Monitoring of aquaculture site and fish diseases are one of the tool that can be used to

    identify the production data and information about the current diseases characteristic at

    certain location as an impact of several environmental quality. From the results of monitoring activity conducted in the territory of the Teluk Mata Ikan, District of Nongsa, Batam was known

    that the water quality conditions was classified as very fertile and will greatly impact to the

    increasing pf algae and moss production. While from the diseases analysis indicated that the

    farmed fish has been infected by the parasite of Gyrodactilus sp and Trichodina sp. The farmed

    fish was also infected by Aeromonas sp. Based on the interview activity with the fish farmers

    showed that the decline in production mainly caused by the degradation of environmental quality

    and the rising of live food and commercial food price, especially for silk worms Tubifex sp and

    pellets during the production period, while the selling price is not profitable for the fish farmers.

    Key words: Teluk Mata Ikan, Nongsa, Water quality, Gyrodactilus sp , Trichodina sp, Aeromonas sp

  • I. Pendahuluan

    Memasuki Asean Free Trade Community (AEC) 2015, pembangunan industri budidaya perikanan (baca: akuakultur) dihadapkan pada beberapa tantangan berupa kepastian terwujudnya keamanan pangan (food safety) dan terjaganya kualitas produk hasil pengolahan yang dihasilkan (food security). Oleh karena itu sangan dibutuhkan sebuah sistem dan inovasi yang dapat menjamin keberlanjutan produksi perikanan yang bertujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan nasional namun juga dapat berperan sebagai penggerak ekonomi melalui kegiatan ekspor hasil produksi dan pengolahan perikanan. Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai upaya harus disiapkan dan sinergi antar komponen baik praktisi, akademisi, pengambil kebijakan dan masyarakat pembudidaya mutlak diperlukan.

    Kotamadya Batam yang ditetapkan sebagai kota administratif berdasarkan Peraturan

    Pemerintah No. 34 Tahun 1983 memiliki potensi dan letak geografis yang cukup strategis. Selain hanya berjarak sekitar 20 Km disebelah Barat Laut dengan Singapura, Kota Batam juga memiliki 329 pulau yang sebahagian besar dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sektor perikanan budidaya. Kondisi ini tentu saja sangat ideal untuk dimanfaatkan sebagai starting point untuk meningkatkan produksi dan memasarkan hasil produksi dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Namun, realita yang ada saat ini bahwa kontribusi sektor perikanan ke kas daerah kota Batam relatif kecil dan masih didominasi oleh sektor perikanan tangkap. Beberapa kendala yang dihadapi selain masih kurang beraninya sektor perbankan terlibat aktif dalam pembiayaan produksi usaha yang tergolong unpredictable risk ini, juga disebabkan oleh keterbatasan pasokan benih, mahalnya harga pakan, kurangnya penguasaan teknologi produksi dan mahalnya infrastruktur produksi akibat tidak tersentralisasinya investasi bidang perikanan di Kota Batam.

    Menindaklanjuti hal tersebut, maka Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam sebagai

    salah satu Unit Pelaksana Teknis yang memiliki tugas pokok dalam melaksanakan uji terap teknik dan kerja sama, produksi, pengujian laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan, serta bimbingan teknis perikanan budidaya laut, melakukan kegiatan pemantauan kawasan budidaya dan identifikasi kondisi kesehatan ikan dan lingkungan di wilayah administratif Kota Batam. Pemantauan kawasan budidaya dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang keragaan terkini hasil produksi budidaya pada suatu daerah serta melakukan pembinaan kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan hasil produksi. Sementara kegiatan pemantauan kesehatan ikan dan lingkungan memiliki tujuan untuk: (1) Memperoleh Informasi yang akurat tentang keragaan jenis patogen potensial di suatu daerah/kawasan selama periode tertentu; (2) Membuat pemetaan secara akurat tentang sebaran geografis jenis patogen potensial selama periode tertentu, sehingga berguna untuk berbagai upaya pengendaliannya baik secara teknis maupun non-teknis (zonasi), serta (3) Melakukan evaluasi (assessment) terhadap keberhasilan upaya pengendalian yang telah dilakukan masyarakat pembudidaya, sehingga dapat ditentukan strategi pengendalian penyakit tertentu yang lebih efisien dan aplikatif. Penulis sangat berharap kiranya laporan perjalanan dinas ini dapat menjadi acuan berharga dalam mengambil kebijakan untuk pembangunan sektor perikanan budidaya, khususnya di daerah Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam.

  • II. Metodologi Monitoring II.1 Waktu dan Tempat Monitoring pemantauan kawasan budidaya dan kesehatan ikan dan lingkungan ini

    dilakukan di Kampung Tua Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam pada hari Rabu Tanggal 17 September 2014

    II.2 Pengambilan contoh Metoda pengambilan contoh air dilakukan menurut metode gabungan tempat (integrated)

    berdasarkan SNI 6989.57:2008, sementara metoda pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive yang merupakan pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar/penyakit ke lingkungan laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012).

    II.3 Preparasi Sampel Dikarenakan jarak pemantauan dan waktu yang dibutuhkan untuk pemantauan rutin di

    kawasan BPBL Batam tidak terlalu jauh, tidak ada preparasi khusus untuk sampel air dan ikan yang diambil. Sampel air dimasukkan ke dalam botol plastik berwarna gelap untuk menghindari oksidasi dan sinar matahari langsung, sementara sampel ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan volume air dan oksigen terlarut yang cukup

    II.4 Analisa Sampel Analisa distribusi jenis penyakit dan kualitas lingkungan pada kegiatan monitoring ini

    dilakukan melalui tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan pengumpulan data yang diperoleh melalui informasi anamnesa dan bahan yang disampaikan oleh para pembudidaya ikan. Hasil analisa pre site kemudian diverifikasi dengan melakukan kunjungan lapangan (tahapan on site). Pada tahapan on site, analisa dilakukan untuk beberapa parameter kualitas air, diantaranya: (1) pH menggunakan pH meter, (2) oksigen terlarut menggunakan DO meter, (3) Kadar garam menggunakan refraktometer, (4) Suhu menggunakan thermometer dan (5) kecerahan dengan menggunakan Secchi disk

    Analisa post site dilakukan untuk analisa kualitas air lanjutan yang meliputi parameter

    Ammonia (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3), Posphat (PO4) dan turbiditas dengan menggunakan metode Spektrofotometri, Kolorimetri dan Turbidimetri. Tahapan analisa post site juga dilakukan untuk identifikasi bakteri secara konvensional dan identifikasi parasit untuk mengetahui infesitasi mikroorganisme patogen pada ikan hasil budidaya.

  • III. Hasil dan Pembahasan III.1 Hasil III.1.1 Gambaran Umum Kampung tua Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam

    Gambar 1. Wilayah Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam yang menjadi salah satu lokasi pemantauan rutin kawasan budidaya dan kesehatan ikan dan lingkungan BPBL Batam

    Kecamatan Nongsa merupakan salah satu wilayah administrasi Kota Batam yang terdiri dari 12 Kecamatan. Sebelum terbentuknya kecamatan Nongsa, wilayah ini merupakan bagian dari kecamatan Batam Timur dan sebahagian lagi berada di wilayah administrasi kecamatan Batam Barat. Dengan terbitnya Undang-undang No. 53 tahun 1999, maka wilayah Kota Batam lama yang terdiri atas 3 (tiga) Kecamatan, dimekarkan menjadi 8 (delapan ) Kecamatan. Realisasi Perda No. 2 Tahun 2005 tentang Pemekaran, Perubahan dan Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan Dalam daerah Kota Batam, menjadikan Nongsa sebuah kecamatan dengan 4 Kelurahan. Adapun kelurahan yang tergabung dalam Kecamatan Nongsa adalah: (1) Kelurahan Ngenang; (2) Kelurahan Kabil; (3) Kelurahan Batu Besar; dan (4) Kelurahan Sambau.

    Menurut data yang diperoleh dari Pemerintah Kota Batam (2014), diketahui bahwa Kecamatan Nongsa dikenal Sebagai salah satu pilar utama untuk kegiatan perekonomian perikanan melalui aktivitas Pelabuhan Perikanan yang menjadi tempat pemasaran bagi hasil produksi perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Lokasi strategis yang dimiliki dan berdekatan dengan pusat perkampungan nelayan tangkap dan budidaya yang tersebar di beberapa wilayah adminsitratif kota Batam menjadikan Pelabuhan Perikanan memiliki peran yang sangat penting dan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.

    Lokasi Monitoring

  • Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor perikanan di Kecamatan Nongsa adalah Kampung Tua Teluk Mata Ikan yang berlokasi di Kelurahan Sambau.

    Gambar 2. Gerbang selamat datang Kampung Tua Teluk Mata Ikan, Kelurahan Sambau

    Kampung Tua Teluk Mata Ikan merupakan satu dari 32 Kampung Tua yang tersebar di wilayah administratif Kota Batam. Lokasi ini diyakini sebagai wilayah pemukiman awal penduduk di Kota Batam. Sebahagian besar mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah pesisir Kampung Tua Teluk Mata Ikan adalah nelayan dengan aktivitasnya berupa penangkapan ikan, budidaya perikanan, pengolahan hasil ikan dan perdagangan. Berdasarkan hasil pengamatan, komposisi nelayan yang hidup di wilayah ini terdiri atas 2 strata, yakni: (1) Strata menengah, dimana nelayan selain memiliki perahu juga memiliki awak untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan dan (2) Strata bawah, dimana nelayan hanya

    berharap pada permintaan nelayan strata menengah dan tidak memiliki kemampuan untuk memiliki perahu sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun dari masyarakat, diketahui bahwa pada kurun waktu 1970-an, nelayan di wilayah ini hidup dalam kemakmuran karena seluruh hasil tangkapan baik Kerapu, Kakap maupun ikan karang lainnya langsung ke Singapura. Sehingga pada saat itu, nelayan di wilayah ini hanya mengenal mata uang dollar Singapura atau Ringgit Malaysia. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, wilayah ini sudah berubah menjadi wilayah prestisius dengan berbagai lokasi wisata yang dilengkapi dengan resort, lapangan golf tingkat dunia dan berbagai aktivitas wisata laut lainnya. Kondisi ini mengakibatkan para nelayan hanya bisa melaut di lokasi yang ditetapkan dengan wilayah penangkapan yang tentu saja tidak seluas sebelum daerah ini menjadi salah satu pusat wisata Kota Batam. Oleh karena itu, perikanan budidaya dapat dijadikan sebagai alternatif strategis dari kegiatan penangkapan ikan untuk tetap meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir kampung tua Teluk Mata Ikan.

    Lokasi Pemantauan

  • III.1.2 Hasil analisa Pre site di lokasi pemantauan Gambaran umum tentang karakteristik budidaya yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung Tua Teluk Mata Ikan disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3 berikut ini: A. Unit produksi milik Bp. Fabiamus

    ( A ) ( B ) Gambar 3. Lokasi budidaya milik Bp. Fabiamus yang terdiri atas (A) unit produksi lele dan (B) unit produksi gurame

    No Jenis identifikasi Hasil Identifikasi

    1 Nama Pemilik Fabiamus (HP: 081364332445)

    2 Lokasi Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam

    3 Luas budidaya 1. 8 unit kolam untuk produksi lele ukuran 1 x 8 m 2. 5 unit kolam untuk produksi gurami ukuran 4 x 8 m

    4 Tingkat teknologi Sederhana

    5 Asal Benih Mandiri dan dari pusat perbenihan Batam Center

    6 Padat tebar 3600 ekor/lubang

    7 Waktu tebar Umumnya penebaran benih dilakukan secara berkelanjutan setelah proses produksi pada siklus sebelumnya selesai dilakukan.

    8 Sejarah penyakit Umumnya terjadi pada ikan lele ukuran 1-2 cm setelah proses grading dilakukan. Stres akibat handling dan lingkungan menyebabkan tingkat mortalitas di tiap unit produksi meningkat satu hari setelah proses grading dilakukan

    9 Waktu serangan Sepanjang siklus produksi

    10 Upaya pengendalian penyakit

    Negatif

    11 Bobot serangan Ringan (mortality maksimum 20% per unit produksi)

    12 Pakan Pelet

    13 Biosekuriti Nihil dan belum memiliki sertifikat CBIB

    Tabel 1. Karakteristik budidaya di unit produksi milik Bp. Fabiamus

  • B. Unit produksi milik Bp. Mahmud A B Gambar 4. Aktivitas pemantauan di unit persiapan produksi gurame milik Bp. Andreas, (A) pemantauan kawasan budidaya dan analisa secra in situ untuk beberapa parameter kualitas air dan (B) Aktivitas sosialisasi cara budidaya ikan yang baik dan teknik pengelolaan kesehatan ikan selama proses produksi dilakukan

    No Jenis identifikasi Hasil Identifikasi

    1 Nama Pemilik Andreas

    2 Lokasi Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa, Kotamadya Batam

    3 Luas budidaya 8 unit kolam gurame ukuran 3 x 6 m

    4 Tingkat teknologi Sederhana

    5 Asal Benih Yogyakarta

    6 Padat tebar 4000 ekor / kolam untuk ikan Gurame Osphronemus gouramy

    7 Waktu tebar Dilakukan pada bulan Oktober

    8 Sejarah penyakit Negatif

    9 Waktu serangan Negatif

    10 Upaya pengendalian penyakit Negatif

    11 Bobot serangan Ringan (maksimum 10% di tiap unit produksi)

    12 Pakan Pelet

    13 Biosekuriti Nihil dan belum memiliki sertifikat CBIB

    Table 2. Karakteristik budidaya di unit produksi milik Bp. Andreas

  • III.1.3 Hasil Analisa Kualitas Air di lokasi monitoring

    Berdasarkan hasil pemantauan kesehatan lingkungan di kedua lokasi tersebut, data karakteristik kualitas air di kedua lokasi pemantauan disajikan pada Tabel 3 berikut ini

    PARAMETER PARAMETER

    SATUAN UNIT

    HASIL UJI TEST RESULT

    SPESIFIKASI METODE

    METHODE SPESIFICATION

    Pak Fabiamus (1)

    Pak Fabiamus (2)

    Pak Andreas

    pH*

    7.64 7.81 7.65 SNI 06-6989.11-2004

    (Insitu) Nitrat (NO3) mg/L 12.3 3.9

  • III.1.4 Hasil Identifikasi Penyakit Ikan

    Berdasarkan sampel ikan lele Clarias gariepinus yang diperoleh di lokasi pemantauan diperoleh data identifikasi penyakit yang disajikan pada Tabel 4 berikut

    No KODE SAMPEL SAMPLE CODE

    PARAMETER PARAMETERS

    HASIL UJI TEST RESULT

    SPESIFIKASI METODE METHODE SPESIFICATION

    1 Lele

    Clarias gariepinus

    Parasit* Gyrodactilus sp Trichodina sp

    IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)

    Bakteri Aeromonas sp Isolasi dan Identifikasi

    Konvensional

    Tabel 4. Hasil identifikasi penyakit pada ikan budidaya milik Bp. Fabiamus. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan tidak dilakukan di unit budidaya Bp. Andreas dikarenakan unit produksi masih dalam tahap persiapan.

    Gambar 6. Parasit Trichodina sp yang ditemukan pada ikan sampel Berdasarkan hasil kegiatan pemantauan kawasan budidaya di dua lokasi diketahui bahwa unit produksi budidaya ikan mengalami kemunduran sejak diperkenalkan pada awal tahun 2008. Hal ini terlihat dari kelompok budidaya ikan air tawar yang awalnya memiliki anggota sebanyak 5 (lima) orang dengan masing-masing memiliki unit produksi sendiri hanya tersisa 2 (dua) orang yang fokus saat ini fokus pada produksi Ikan Lele Clarias gariepinus dan Ikan Gurame Osphronemus gouramy. Kendala utama dalam melakukan produksi adalah harga pakan yang terus mengalami peningkatan. Tidak hanya pakan pellet komersil untuk perbesaran namun juga harga cacing sutera Tubifex sp untuk pakan selama fase larva yang bahkan dapat mencapai harga Rp. 80.000 90.000 per kilo gram.

  • Program bantuan yang diberikan Pemerintah Kota Batam baru satu kali dirasakan oleh pembudidaya pada saat awal pembentukan kelompok, berupa bantuan pakan yang dirasakan cukup membantu para pembudidaya dalam melakukan aktivitas produksi. Setelah paket bantuan dihentikan, ongkos produksi yang dikeluarkan oleh pembudidaya tidak sebanding dengan nilai jual komoditas ikan lele yang mereka hasilkan, terlebih setelah keran impor lele dibuka oleh Pemerintah Kota Batam untuk memenuhi permintaan pasar lokal yang mencapai 8 10 ton per hari. Aktivitas impor lele yang umumnya berasal dari Malaysia ini dapat dihentikan bila Pemerintah Daerah dapat fokus mencari solusi yang dapat berupa produksi pakan ikan secara mandiri di Kota Batam atau memberikan subsidi bagi para pembudidaya agar harga selisih nilai jual dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan perekonomian masyarakat. Aktivitas budidaya yang dilakukan di wilayah Kampung Tua Teluk Mata Ikan dapat dikategorikan sebagai aktivitas skala kecil dengan masing-masing pengelola hanya memiliki 5 8 unit produksi. Di masa lalu, wilayah ini juga memiliki aktivitas budidaya ikan laut dengan sistem Keramba Jaring Tancap, namun mengalami kemunduran akibat jumlah pakan yang dikeluarkan selama masa pemeliharaan tidak sebanding dengan nilai jual yang saat ini mengalami trend penurunan. Oleh karena itu, sejak awal tahun 2014, aktivitas budidaya ikan laut sudah tidak ada lagi di wilayah pemantauan. Kondisi ini dapat diatasi dengan sinergitas antara para pelaku usaha, pengambil kebijakan, akademisi dan praktisi untuk membangun wilayah spesifik perikanan budidaya atau Aquaculture Zone Marketing yang saling terintegrasi, sehingga permasalahan klasik tentang harga pakan dapat ditekan seminimal mungkin untuk dapat menghasilkan jumlah produksi yang seoptimal mungkin.

    ( A ) ( B ) Gambar 7. Hasil identifikasi pemantauan kawasan budidaya, (A) Jenis pakan yang digunakan selama proses produksi dan (B) Obat pemacu pertumbuhan yang digunakan selama fase produksi.

  • Dari hasil pemantauan kualitas air dan identifikasi penyakit lingkungan di lokasi pemantauan diketahui bahwa untuk parameter pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (Dissolved oxygen), suhu dan salinitas cukup optimal dalam mendukung produksi. Namun tingkat kesuburan media air pemeliharaan cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari konsentrasi Nitrat (NO3) yang berada pada kisaran 3.9 12.3 mg/l dan Nitrit (NO2) yang berada pada kisaran 3 27 mg/l. Sebuah pengecualian dilakukan untuk unit produksi Bp. Andreas yang memiliki konsentrasi dibawah batas deteksi dikarenakan media pemeliharaan yang diambil hanya berupa media persiapan tanpa adanya satu perlakuan dan belum ada organisme akuatik yang dibudidayakan. Konversi unsur Nitrogen ini juga terlihat dari Konsentrasi Ammonia (NH3) yang berada pada kisaran 1.36 1.52 mg/l. Parameter kekeruhan juga cukup tinggi dilokasi pemantauan yang berada pada kisaran 58.3 83.5 NTU (Normazine Turbidity Unit). Tingkat kekeruhan ini umumnya disebabkan oleh sistem air stagnan yang diterapkan oleh pembudidaya dan blooming lumut dan alga di media pemeliharaan. Tingkat kekeruhan dengan kisaran ini dapat menyebabkan kurangnya intensitas cahaya dan konsentrasi oksigen terlarut yang sebahagian besar diperoleh melalui proses difusi dan sangat dibutuhkan oleh ikan budidaya.

    ( A ) ( B ) Gambar 8. Sumber air yang digunakan di lokasi pemantauan, (A) Untuk unit produksi lele Bp. Fabiamus dan (B) Untuk lokasi produksi gurame Bp. Andreas Salah satu permasalahan yang dapat timbul selama proses produksi adalah sumber air yang tidak cukup layak untuk dijadikan sumber air produksi. Pada unit produksi Bp. Fabiamus, sumber air yang digunakan merupakan air tampungan yang juga bertindak sebagai saluran pembuangan sampah dari masyarakat yang tinggal disekitar air tampungan. Kondisi ini dapat berkontribusi dari meningkatnya konsentrasi Posfat (PO4) yang umumnya berasal dari sampah rumah tangga. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Ion fosfat dibutuhkan pada proses fotosintesis dan proses lainnya dalam tumbuhan (bentuk ATP

  • dan Nukleotid koenzim). Penyerapan dari fosfat dapat berlangsung terus walaupun dalam keadaan gelap. Berdasarkan Effendi (2003), perairan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan rendah yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 0.02 mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat 0.021 0.05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, memiliki kadar fosfat total 0.051 0.1 mg/liter. Berdasarkan hasil pemantauan, dimana konsentrasi Posfat berada pada konsentrasi 0.56 mg/l, maka perairan di lokasi pemantauan dikategorikan sebagai perairan yang sangat subur. Kondisi ini menyebabkan alga ataupun lumut dapat dengan mudah tumbuh subur di lokasi pemantauan. Dari hasil identifikasi penyakit ikan, diketahui bahwa sampel ikan lele Clarias gariepinus mengalami infeksi parasit Gyrodactilus sp dan Trichodina sp serta infeksi bakteri Aeromonas sp. Merujuk pada laporan Karantina Kota Batam (2010), parasit Gyrodactilus sp ini cukup mewabah pada komoditas ikan Mas Cyprinus sp yang dibudidayakan oleh Masyarakat Kota Batam. Hasil pemeriksaan parasit pada pemantauan periode pertama ditemukan prevalensi untuk parasit Gyrodactylus sp pada lendir sebesar 25 %, sementara pada periode kedua prevalensi parasit ini meningkat menjadi 75 % pada komoditas ikan Mas tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa parasit Gyrodactilus sp telah menjadi salah satu ancaman serius pada budidaya ikan di Kota Batam. Lebih jauh, menurut Novriadi et al (2014), parasit Gyrodactilus sp ini telah ditemukan pada beberapa lokasi pemantauan yang dilakukan oleh Laboratorium Penguji Balai Budidaya Laut Batam selama kurun waktu 2010 2013. Parasit Gyrodactilus sp merupakan parasit yang termasuk dalam Phylum Phylum Vermes, subphylum Platyhelmintes, kelas Trematoda, ordo Monogenea, family Gyrodactylidae, subfamily Gyrodactylinae dan genus Gyrodactilus. Parasit ini memiliki bentuk memanjang dengan kisaran 0,3 1 mm dan jangkar pada ujung posterior serta tidak memiliki bintik mata. Umumnya, parasit ini dapat menyerang berbagai komoditas ikan air tawar, payau dan laut pada bagian kulit luar dan insang. Infeksi parasit ini akan mengakibatkan pernafasan pada ikan menjadi meningkat, produksi lendir pada bagian epidermis juga meningkat dan kulit terlihat lebih pucat. Infeksi Gyrodactilus sp dapat memicu terjadinya infeksi sekunder baik oleh bakteri maupun virus melalui lubang yang dibuat pada bagian luar kulit ikan. Selain Gyrodactilus sp, infestasi Trichodina juga ditemukan pada ikan sampel. Menurut Margolis dan Arthur (1984), Trichodina adalah ektoparasit patogen dari golongan ciliata yang biasa menyerang ikan air tawar dan laut. Parasit ini menginfeksi berbagai jenis ikan inang dan distribusinya cukup luas secara geografis (Arthur dan Lom, 1984). Pada ikan-ikan air tawar, parasit ini umumnya ditemukan di kulit, sedangkan pada ikan-ikan air laut umumnya parasit ini ditemukan di insang (Lom, 1962). Serangan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan hiperplasia pada sisik dan kerusakan struktur pada insang (McArdl, 1984), yang pada akhirnya akan menyebabkan ikan yang terinfeksi oleh Trichodina akan mengalami kematian. Infeksi Trichodina diketahui sebagai penyebab kematian pada benih ikan mas (Cyprinus carpio) dan mujair (Oreochromis mossambicus) di Afrika Selatan (Van As et al. 1984), ikan rainbow trout (Salmo gairdneri) dan salmon (Salmo salar) di Inggris (McArdle 1984). Sementara di lokasi pemantauan, infeksi parasit ini menyebabkan kematian pada ikan Lele Clarias gariepinus.

  • Menurut Romi Novriadi (2014), Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari infestasi parasit ini adalah dengan menerapkan pola pendekatan prophylaksis melalui pemberian immunostimulan dan vitamin untuk memperkuat sistem imun, menerapkan sistem biosecurity dan selalu memperhitungkan posisi jaring pada unit perbesaran agar tidak terlalu dangkal pada saat surut untuk menghindari transmisi parasit. Disamping itu, kebersihan bak dan pengelolaan kualitas air yang baik dengan sistem filtrasi mekanik, biologi serta kimiawi yang dilengkapi dengan perlakuan UV ultraviolet dan ozon dapat mengurangi kemungkinan keberadaan parasit didalam media pemeliharaan. Sumber air yang tercemar dan digunakan oleh para pembudidaya untuk media pemeliharaan sangat rentan terhadap infeksi mikrrorganisme patogen. Berdasarkan hasil pemantauan diketahui bahwa infeksi Aeromonas sp telah teridentifikasi pada sampel ikan Lele Clarias gariepinus yang diperoleh dari lokasi pemantauan. Secara umum, morfologi bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, motil, koloni krem, bulat, tepi rata dan cembung. Serangan bakteri Aeromonas sp baru akan terlihat apabila ketahanan tubuh pada ikan menurun akibat stress yang dapat disebabkan oleh stress lingkungan akibat degradasi kualitas perairan, kekurangan pakan dan tingginya padat tebar ikan pada media pemeliharaan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), bahwa bakteri Aeromonas sp dapat menyerang ikan melalui kontak badan atau melalui air yang sudah tercemar. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan bahwa sumber air yang sudah tercemar sebelum digunakan meningkatkan kemungkinan ikan budidaya menjadi sangat rentan terserang infeksi bakteri ini.

    Gambar 9. Proses pengambilan air sebagai sumber untuk media pemeliharaan. Disamping tercemarnya sumber air, karakteristik tanah yang merupakan tanah bauksit menjadi faktor kekhawatiran lain dari keberlanjutan produksi budidaya perikanan di Kampung Tua Teluk Mata IKan. Solusi sistem filterisasi yang baik dan disertai dengan menghindari kontak air sumber dengan air asam atau air dengan pH < 5, akan meminimalisasi toksisitas alumina sebagai bahan penyusun utama bauksi ke ikan budidaya.

  • IV. Kesimpulan dan Saran IV.1 Kesimpulan

    1. Kualitas air media pemeliharaan dan sumber air yang digunakan oleh kelompok pembudidaya di Kampung Tua Teluk Mata Ikan, Kecamatan Nongsa digolongkan sebagai perairan dengan tingkat kesuburan yang sangat tinggi. Hal ini diketahui berdasarkan konsentrasi Nitrat (NO3), Nitrit (NO2) dan Posfat (PO4) yang dianalisa pada air sampel yang diambil dari lokasi budidaya.

    2. Komoditas ikan Lele Clarias gariepinus yang dibudidayakan teridentifikasi memiliki infestasi parasit Gyrodactilus sp dan Trichodina sp serta infeksi bakteri oleh Aeromonas sp.

    3. Masyarakat pembudidaya di lokasi pemantauan belum melaksanakan sistem Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)

    4. Ketersediaan modal dan pakan menjadi kendala utama dalam mempertahankan keberlanjutan produksi budidaya

    IV.2 Saran Sangat diperlukan perhatian dari Pemerintah Daerah untuk dapat mencarikan solusi untuk harga pakan yang semakin meningkat dan untuk menangani permasalahan degradasi lingkungan serta infeksi oleh mikroorganisme patogen pada ikan budidaya. Penyediaan pakan murah dan bantuan untuk sistem filterisasi yang baik akan sangat berguna untuk menjamin keberlanjutan produksi sebagai upaya mempertahankan keamanan pangan (food security) masyarakat Batam dan meningkatkan daya saing masyarakat pembudidaya kota Batam dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

  • Daftar Pustaka Arthur, J. R. and J. Lom. (1984). Trichodinid protozoa (Ciliophora: Peritrichida) from fresh water

    fishes of Rybinsk reservoir, USSR. J. Protozool. (31): 8291. Effendi, Hefni. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius Lom, J. (1962). Trichodinid ciliates from fishes of the Rumanian Black Sea Coast. Parasitology,

    52: 49-61. Margolis, L. and J. K. Arthur. (1984). Synopsis of the parasites of fishes of Canada. Fish. Res.

    Board Can. Bull., 199:1-269. McArdle, J. F. (1984). Trichodina as a cause of mortalities in cange reared rainbow trout (Salmo

    gairdneri) and salmon (Salmo salar). Bull. Eur. Ass. Fish. Pathol.,4(l): 3-6. NACA/FAO, (2000). Aquaculture Development Beyond 2000. The Bangkok Declaration and

    Strategy. Conference on Aquaculture in the Third Millenium. 20- 25 February 2000, Bangkok, Thailand. NACA Bangkok and FAO Rome. 27pp.

    Novriadi, R., Agustatik, S., Bahri, S., Sunantara, D dan Wijayanti, E. (2014). Distribusi patogen dan kualitas lingkungan pada budidaya perikanan laut di Provinsi Kepulauan Riau. Depik, 3(1): 83-90

    Novriadi, R (2014). Penyakit Pada Budidaya Ikan Laut. Disampaikan pada pertemuan Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan di Hotel Santika 17-18 Juli 2014, Bogor.

    Rimmer, M. and Sugama, K. (2005). Sustainable Marine Finfish Aquaculture in Indonesia and Australia. In A. Sudrajat, A. I. Azwar, L. E. Hadi, Haryanti, N. A. Giri and G. Sumiarsa (Eds). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta : 12-27

    Van As, J. G., L. Basson and J. Theron. (1984). An experimental evaluation of the use of formalin to control trichodiniasis and other ectoparasitic protozoan on fry of Cyprinus carpio L. and Oreochromis mossambicus (Peters). S. Afr. J. Wildl. Res., 13: 42-48.