18
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 Pelanggaran terhadap hak....(Louise Theresia) 23-40 ISSN : 2085-4757 23 LATAR BELAKANG MASALAH Masyarakat mengandalkan air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk keluar dari kondisi pemiskinan. Banyak isu lingkungan yang tadinya berdiri sendiri sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana, sekarang bergeser menjadi isu pembangunan secara umum dan politik karena luasnya dampak yang ditimbulkan. Salah satu kelompok penerima dampak terbesar, jika kita bicara tentang lingkungan dan menurunnya fungsi layanan aset alam adalah perempuan. Perempuan dan pembedaan peran PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN AKIBAT PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Oleh : Louise Theresia Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya E-mail : [email protected] Abstrak: Perempuan Di dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup, perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan baik fisik maupun psikis, ketika berhadapan dengan korporasi dan negara didalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Sistem kapitalisme, bahkan menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tersubordinasi dengan pola penghancuran kekhasan perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya, dan mematikan potensi perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya. Berbagai kasus pelanggaran terhadap hak asasi perempuan yang disebabkan oleh konflik pengelolaan sumber daya alam, menjadi sebuah potret buram terhadap penegakan hak asasi perempuan di Indonesia. Kekerasan ekonomi saat ini juga semakin menjadikan perempuan sebagai salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang semakin termiskinkan oleh sebuah sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), impor beras, okupasi tanah-tanah untuk kepentingan perkebunan besar dan pertambangan, privatisasi air dan berbagai kebijakan Pemerintah, telah menjadikan perempuan sebagai kelas yang paling dimiskinkan. Ini menjadi indikasi buruknya kebijakan pemerintah, serta hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan penegakkan hukum yang buruk. Disisi lain menunjukkan urgensi untuk memberikan prioritas politik bagi penanganan persoalan penataan di bidang agraria dan sumber daya alam. Dalam banyak kasus ini adalah sengketa bahkan pelanggaran atas hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria, sda dan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi bahkan penguasa. Kata Kunci: Pelanggaran Hak Asasi, Perempuan, Pengelolaan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN AKIBAT PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

LOUISE THERESIA

Citation preview

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 23

LATAR BELAKANG MASALAH

Masyarakat mengandalkan air, lahan,

energi, keanekaragaman hayati dan

ekosistem yang sehat untuk menjamin

kelangsungan penghidupan mereka dan

asset alam sangat penting untuk keluar dari

kondisi pemiskinan. Banyak isu

lingkungan yang tadinya berdiri sendiri

sebagai isu lingkungan seperti perubahan

iklim dan bencana, sekarang bergeser

menjadi isu pembangunan secara umum

dan politik karena luasnya dampak yang

ditimbulkan. Salah satu kelompok

penerima dampak terbesar, jika kita bicara

tentang lingkungan dan menurunnya fungsi

layanan aset alam adalah perempuan.

Perempuan dan pembedaan peran

PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN AKIBAT

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

DAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Louise Theresia

Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

E-mail : [email protected]

Abstrak: Perempuan Di dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan

lingkungan hidup, perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan baik fisik maupun

psikis, ketika berhadapan dengan korporasi dan negara didalam memperjuangkan hak

atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Sistem kapitalisme, bahkan

menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tersubordinasi dengan pola

penghancuran kekhasan perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya, dan

mematikan potensi perempuan didalam mengelola sumber daya alamnya. Berbagai kasus

pelanggaran terhadap hak asasi perempuan yang disebabkan oleh konflik pengelolaan

sumber daya alam, menjadi sebuah potret buram terhadap penegakan hak asasi

perempuan di Indonesia. Kekerasan ekonomi saat ini juga semakin menjadikan

perempuan sebagai salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang semakin

termiskinkan oleh sebuah sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan

ekonomi. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), impor beras, okupasi tanah-tanah untuk

kepentingan perkebunan besar dan pertambangan, privatisasi air dan berbagai kebijakan

Pemerintah, telah menjadikan perempuan sebagai kelas yang paling dimiskinkan. Ini

menjadi indikasi buruknya kebijakan pemerintah, serta hukum yang tidak berpihak

kepada kepentingan rakyat dan penegakkan hukum yang buruk. Disisi lain menunjukkan

urgensi untuk memberikan prioritas politik bagi penanganan persoalan penataan di

bidang agraria dan sumber daya alam. Dalam banyak kasus ini adalah sengketa bahkan

pelanggaran atas hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria, sda dan lingkungan yang

dilakukan oleh korporasi bahkan penguasa.

Kata Kunci: Pelanggaran Hak Asasi, Perempuan, Pengelolaan, Sumber Daya Alam

dan Lingkungan Hidup

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 24

perempuan dalam masyarakat di Indonesia

membuat beban yang lebih bagi

perempuan. Perempuan sering mengalami

ketidakadilan akibat pembedaan gender

tersebut. Budaya politik patriarki

sepanjang sejarah amat menentukan

kehidupan perempuan. Sejak tahun 1960-

an, gerakan feminisme yang menggeliat di

berbagai belahan dunia, termasuk di

Indonesia pada dekade 1990-an, terus

menggugat dasar kebijakan negara yang

bias gender, mendorong peran, fungsi, dan

posisi perempuan secara lebih progresif,

serta memprotes berbagai kebijakan

konservatif negara dan stigma masyarakat

yang memarjinalisasi aspirasi, hak, dan

kepentingan perempuan. Kaum feminis

yang peduli pada pentingnya kesetaraan

gender dalam membangun watak bangsa,

menuntut perubahan yang progresif atas

posisi perempuan, seperti tercermin dalam

polemik isu poligami, isu kekerasan dalam

rumah tangga, isu hak-hak reproduksi

perempuan, atau isu peraturan daerah

tentang pelacuran. Menurut Julia Cleves

Mosse, gender merupakan seperangkat

peran yang memperlihatkan bahwa

manusia bersifat feminin atau maskulin.

Peran tersebut dapat berubah dan sangat

dipengaruhi oleh kelas sosial, usia dan

latar belakang etnis.1

Upaya untuk menjadikan manusia

indonesia yang produktif dan berkualitas

sebagai motifator dan dimisator lewat

komitmen nasional telah dinyatakan secara

resmi dengan memasukan upaya peranan

wanita dalam pembangunan yang

dituangkan dalam GBHN. Mulai dari saat

itu sampai kini telah nampak banyak

kemajuan-kemajuan yang telah dicapai

oleh wanita di Indonesia dalam upaya

1 Julia Cleves Mosse, 1996. Gender dan

Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal. 3-

4.

kemitraan kesejajaran antara wanita dan

pria dalam semua aspek pembangunan.

Peranan wanita dalam berbagai aspek

kehidupan di pedesaan tidak dapat

dipisahkan dari lingkungan dimana Ia

tinggal, ini dimungkinkan oleh faktor-

faktor penunjang yang mempengaruhi

berlangsungnya proses kehidupan,

Sumberdaya alam yang tersedia merukan

faktor primer penentu kelangsungan hidup

organisme. Aktifitas pengelolaan

lingkungan alam yamg ada akan

mengakibatkan terjadinya degradasi baik

menyangkut kualitas, maupun kuantitasnya

karena pada umumnya sumberdaya alam

yang ada memiliki keterbatasan. Air

merupakan salah satu dari sekian

sumberdaya alam yang dikelola manusia

dan sangat besar manfaatnya dalam

menopang kesenambungan hidup manusia

dan mahluk lain.

Perempuan di Indonesia dirugikan

oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh

proses pembangunan. Kontrol terhadap

sumber daya alam yang menopang

kehidupan mereka sebagian besar masih

jauh dari jangkauan tangan mereka. Di

sebagian besar masyarakat, pembagian

peran selalu melihat jenis kelamin. Peran

gender bukan peran berdasarkan jenis

kelamin melainkan peran yang

dikonstruksi secara sosial. Peran gender

tersebut tidak perlu dipermasalahkan

sepanjang tidak melahirkan ketimpangan

atau ketidakadilan gender. Tetapi di dalam

masyarakat ternyata banyak dijumpai

berbagai bentuk ketimpangan atau

ketidakadilan gender. Dan ketimpangan

atau ketidakadilan gender itu, perempuan

selalu berada pada pihak yang dirugikan.2

2 Sri Hastuti Pupitasari, 2001. Hukum dan

Lingkungan Hidup di Indonesia; Pembangunan,

Resiko Ekologis dan Perspektif Gender, Program

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 25

Kesenjangan yang besar antara

tujuan dan kenyataan mengenai persamaan

hak atas sumber daya merupakan kondisi

sebagian perempuan Indonesia. Posisi

perempuan Indonesia yang tidak

menguntungkan dan terus berlangsungnya

perusakan sumber daya alam menandakan

bahwa Indonesia menghadapi jalan yang

panjang untuk memenuhi tujuan milenium

PBB tentang kesetaraan gender dan

keberlanjutan lingkungan. Mendorong

adanya persamaan peran perempuan dalam

pembuatan keputusan yang menyangkut

sumber daya alam adalah suatu cara agar

masyarakat sipil, baik di Indonesia maupun

di dunia dapat berhasil mewujudkan tujuan

yang saling terkait satu sama lain ini.

Menurut Oslan Purba dari Kontras dalam

satu konferensi pers menyatakan bahwa

sepanjang tahun 2008, Komnas HAM

menerima 4000 kasus pengaduan dan 60

persen diantaranya terkait konflik agraria

dan sumber daya alam.3

Mainstream pembangunan yang

bertumpu pada kepentingan modal dengan

dalil pertumbuhan ekonomi, menjadi

pemicu utama dari kehancuran ekologi dan

kebangkrutan yang terjadi di Indonesia.

Sistem kapitalisme telah menempatkan

sumber daya alam sebagai sebuah

komoditi yang bisa dieksploitasi sebebas-

bebasnya, tanpa pernah

mempertimbangkan daya dukung alam di

dalamnya. Selain potret kehancuran

ekologi, sistem kapitalisme juga telah

Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta, Hal. 32.

3 Lentera Diatas Bukit, E-Book Perempuan,

Kekerasan dan Konflik Agraria-SDA, Selasa 13

Oktober 2004. Lihat

(http://matanews.com/2009/07/06/otda-mengarah-

pada-pengrusakan-sda/). Diakses Pada Tanggal 13

September 2013.

melanggengkan sebuah model penjajahan

yang dinamakan sebagai eco-kolonialisme,

yakni sebuah penjajahan yang dilakukan

oleh negara-negara Utara melakukan

penjajahan ekonomi dan politik dengan

sejumlah kebijakan ekonomi dan

politiknya, untuk lepas tanggungjawab

terhadap utang ekologi, yang ditimbulkan

oleh industri yang meraka kembangkan di

negara miskin dan berkembang.

Perempuan desa yang bergantung

hidupnya pada sumber daya alam

kebanyakan menjadi korban dampak

negatif pembangunan. Perempuan yang

tinggal di sekitar proyek industri besar

seperti pertambangan dan instalasi minyak

atau gas alam menderita oleh punahnya

atau rusaknya tanah dan sumber daya

alam, seperti hutan, air, sedangkan ganti

rugi umumnya diberikan kepada laki-laki.

Dampak dari proyek berskala besar yang

biasanya membutuhkan tenaga kerja

dan/atau petugas keamanan yang diambil

dari tentara atau polisi, juga sering disertai

dengan meningkatnya kekerasan seksual

terhadap perempuan. Pada banyak

komunitas pedesaan perempuan lah yang

melakukan sebagian besar kegiatan

pertanian. Akan tetapi, ketika tanah berada

dibawah tekanan negara atau eksploitasi

perusahaan, seringkali perempuan

memiliki kontrol yang lebih rendah

dibandingkan dengan laki-laki dalam

pengambilan keputusan yang

mempengaruhi tanah dan sumber daya

alam mereka.

Berdasarkan latar belakang tersebut

diatas, maka penulis ingin mengangkat

permasalahan ini dengan judul “

Pelanggaran Terhadap Hak Asasi

Perempuan Akibat Pengelolaan Sumber

Daya Alam dan Lingkungan Hidup “

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 26

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar

belakang tersebut diatas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut

: Bagaimana Pelanggaran Terhadap Hak

Asasi Perempuan Akibat Pengelolaan

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup ?

PEMBAHASAN

Instrumen Hukum terhadap

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup.

Indonesia sebagai negara

berkembang yang sedang giat memacu

pertumbuhan ekonomi juga tidak terlepas

dari resiko degradasi lingkungan hidup.

Tetapi dengan seiring munculnya gagasan

pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup, maka

diikuti pula dengan diterbitkannya

instrumen hukum yang mengatur tentang

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup. Hal ini seperti yang

terdapat di dalam Pasal 1 angka (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan

bahwa : “ Konservasi sumber daya alam

hayati adalah pengelolaan sumber daya

alam hayati yang pemanfaatannya

dilakukan secara bijaksana untuk

menjamin kesinambungan, persediaannya,

dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas keanekaragaman

dan nilainya ”. Sedangkan Di dalam Pasal

1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

menyebutkan : “Perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup adalah

upaya sistematis dan terpadu yang

dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya

pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan dan penegakan

hukum ”. Di dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup tersebut adanya penguatan yang

terdapat dalam undang-undang ini yaitu

prinsip-prinsip perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang

didasarkan pada tata kelola pemerintahan

yang baik karena dalam setiap proses

perumusan dan penerapan instrumen

pencegahan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup serta

penanggulangan dan penegakan hukum

mewajibkan pengintegrasian aspek

transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan

keadilan serta keutuhan unsur-unsur

pengelolaan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan

dan penegakan hukum. Dalam Pasal 1

angka (18) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

menyebutkan bahwa : “ Konservasi

sumber daya alam adalah pengelolaan

sumber daya alam untuk menjamin

pemanfaatannya secara bijaksana serta

kesinambungan ketersediaannya dengan

tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai serta keanekaragamannya“

Ketentuan dari kedua pasal dengan

undang-undang yang berbeda tersebut

diatas memberikan penjelasan bahwa

sebagai upaya pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam maka

diperlukan upaya konservasi terhadap

sumber daya alam untuk menjamin

pemanfaatannya secara bijaksana serta

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 27

kesinambungan ketersediaannya dengan

tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai serta keanekaragamannya

dalam rangka menjaga kelestarian terhadap

fungsi lingkungan hidup.

Permasalahan Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup

Semua permasalahan pengelolaan

sumber daya alam berakar pada lemahnya

paradigma pembangunan selama ini yang

sangat sentralistik dan eksploitatif.

Kelemahan ini secara langsung

berpengaruh pada perilaku sektor swasta

dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Rendahnya kinerja sektor swasta dalam

pemanfaatan sumber daya alam yang

lestari dapat dilihat dengan jelas dari

terjadinya pemanfaatan yang berlebihan

(over exploitation), lemahnya dukungan

bagi upaya konservasi lahan, pembajakan

sumber-sumber daya alam, semakin

melebarnya konflik dalam pengelolaan

sumber daya alam dan peminggiran atau

marjinalisasi masyarakat adat dan lokal

serta kaum perempuan.

Keterlibatan Perempuan dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup

Dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam keterlibatan perempuan lebih banyak

terjadi pada tingkatan pelaksana saja.

Tetapi dalam tahap perencanaan, tahap

pemanfaatkan dan tahap kontrol sejauh ini

perempuan tidak dilibatkan. Padahal dalam

suatu pengelolaan sumber daya alam,

perempuan pada akhirnya selalu menjadi

korban, untuk itu seharusnya perempuan

juga dilibatkan dalam pengelolaan

Pengelolaan Sumber Daya sejak tahap

perencanaan hingga kontrol. Rata-rata

perempuan pedesaan bekerja hampir 12

jam per hari sementara laki-laki hanya 8-

10 jam per hari. Di banyak wilayah,

perempuan menghabiskan waktunya lebih

dari 5 jam per hari untuk mengumpulkan

kayu bakar dan air, serta 4 jam per hari

untuk menyediakan makanan. Di Afrika

dan Asia, perempuan bekerja sekitar 13

jam lebih banyak dari laki-laki per minggu.

Di Asia Tenggara, perempuan

menyediakan lebih dari 90 persen

tenaganya untuk pertanian padi. Namun

demikian, meskipun perempuan sudah

bekerja lebih panjang, perempuan tetap

tertinggal dalam partisipasi perencanaan

dan pemanfaatannya.4

Peran perempuan dalam

pengelolaan sumber daya alam, karena

perempuan menjadi korban maka

perempuan mempunyai arti penting dalam

mempengaruhi proses pembuatan

keputusan. Untuk itu diperlukan

kelompok-kelompok perempuan yang bisa

mempertanyakan, bisa menegosiasi

masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Misalnya kalau seorang Bupati ingin

memasukkan investor, maka proses

negosiasi Bupati dengan investor juga

harus mempertimbangkan keterlibatan

kelompok perempuan, karena kalau tidak,

ketika lingkungan rusak, perempuan yang

kena dampaknya. Perempuan yang

menjadi korban ini banyak terjadi,

misalnya kasus-kasus keguguran, karena

air yang sudah kena limbah, perempuan

itukan tidak punya hak atas tanah, kalau

hutan ditebang segala macam akhirnya

perempuannya pergi ke kota dan menjadi

miskin.

Setidaknya, ada tiga hal penting

mengapa menggunakan konsep

4 Yanti Muchtar, Artikel Dalam Pengelolaan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Keterlibatan Perempuan Masih Sebatas Pelaksana, Yayasan Jurnal Perempuan , Hal. 1

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 28

pengelolaan sumber daya alam yang

partisipatif dan berperspektif keadilan

gender; Pertama untuk memastikan bahwa

semua stakeholders, khususnya kaum

marginal dan miskin yang mayoritas

adalah perempuan, terlibat dalam

pengelolaan sumber daya alam, Kedua

meminimalisir isu-isu krusial berkenaan

dengan desentralisasi seperti feminisasi

kemiskinan yang semakin akut (termasuk

perdagangan perempuan), semakin

rendahnya kesehatan perempuan

khususnya kesehatan reproduksi dan

Ketiga sebagai upaya membangun

kelompok-kelompok perempuan yang kuat

sebagai bagian dari kekuatan masyarakat

sipil untuk memperjuangkan keadilan

sosial dan keadilan gender.5

Vandana Shiva, seorang tokoh

ecofeminist, yang mempunyai ilustrasi

menarik tentang feminitas dalam

pembangunan lingkungan hidup dengan

mengatakan : kini kita tahu, kerusakan

alam dan penyingkiran kaum perempuan

ke pinggir adalah buah dari sebagian

besar program dan proyek pembangunan

yang melanggar integritas kaum

perempuan dan merusak produktifitas

alam. Kaum perempuan, sebagai korban

penindasan bentuk-bentuk pembangunan

patriarkhi mulai melawan untuk

melindungi alam dan menjaga

kelangsungan hidup mereka. Gagasan ini

di samping merupakan gugatan atas

dominannya konsep patriarki dalam

pembangunan juga merupakan reaksi atas

gerakan feminisme yang justru

menampilkan “maskulinitas”.6

5 Yanti Muchtar, Ibid, Hal. 1-2

6 Lihat Vandana Shiva, 1988, Staying Alive,

Women, Ecology and Survival in India, Zid Book

Ltd, U.K, dan telah diterjemahkan ke dalam edisi

bahasa Indonesia oleh Hira Jhamtani, 1997, dengan

judul, Bebas dari Pembangunan; Perempuan,

Kekerasan Terhadap Perempuan dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup

Dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-

Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “

Setiap orang berhak mempunyai hak milik

pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh

siapapun”. Lebih lanjut Pasal 28J ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

bahwa Pembatasan hak asasi itu

hanya dapat dilakukan dengan undang-

undang. Selengkapnya Pasal 28J ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi

sebagai berikut : “ Dalam menjalankan hak

dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin

pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis ”.

Berbagai tindakan kekerasan sampai

saat ini masih dialami oleh kaum

perempuan, meskipun Indonesia telah

meratifikasi konvensi perempuan dalam

CEDAW yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Wanita (Convention On The

Elimination Of All Forms Of

Discrimination Against Women) dan

lahirnya Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

serta deklarasi penghapusan kekerasan

terhadap perempuan. Kekerasan terhadap

perempuan saat ini tidak hanya dilakukan

Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Yayasan

Obor, Jakarta, Hal. 19.

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 29

dalam tingkatan rumah tangga. Dengan

berbagai polanya yang tersistematis sistem

kapitalisme telah menciptakan sebuah pola

kekerasan dalam bentuk yang berbeda, dan

diadopsi oleh aktor-aktor baik state

maupun non-state untuk melanggengkan

bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan terus

berlangsung di negeri ini, mulai dari

rumahnya, sawah dan ladagnya, di tempat-

tempat pengungsian baik sebagai korban

bencana maupun konflik. Di dalam

pengelolaan sumber daya alam dan

pengelolaan lingkungan hidup, perempuan

kerap kali menjadi korban kekerasan baik

fisik maupun psikis, ketika berhadapan

dengan korporasi dan negara didalam

memperjuangkan hak atas lingkungan

hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

Sistem kapitalisme, bahkan menempatkan

perempuan sebagai kelompok yang

tersubordinasi dengan pola penghancuran

kekhasan perempuan didalam mengelola

sumber daya alamnya, dan mematikan

potensi perempuan didalam mengelola

sumber daya alamnya. Mereka adalah

perempuan dengan akses pendidikan yang

paling rendah. Mereka adalah kelompok

yang paling membutuhkan, dan yang

paling potensial bertindak sebagai agen

perubahan.7 Berbagai kasus pelanggaran

terhadap hak asasi perempuan yang

disebabkan oleh konflik pengelolaan

sumber daya alam, menjadi sebuah potret

buram terhadap penegakan hak asasi

perempuan di Indonesia. Kekerasan

ekonomi saat ini juga semakin menjadikan

perempuan sebagai salah satu kelompok

7 Jurnal Perempuan 26 Oktober 2004, lewat

website Kalyanamitra www.kalyanamitra.or.id/;

Jakarta Post 22 April 2004. Lihat pula DTE 56

pada dampak pertambangan terhadap perempuan -

kasus Indonesia. Diakses Pada Tanggal 13

September 2013.

rentan dalam masyarakat yang semakin

termiskinkan oleh sebuah sistem

pembangunan yang bertumpu pada

kepentingan ekonomi. Kenaikan Bahan

Bakar Minyak (BBM), impor beras,

okupasi tanah-tanah untuk kepentingan

perkebunan besar dan pertambangan,

privatisasi air dan berbagai kebijakan

Pemerintah, telah menjadikan perempuan

sebagai kelas yang paling dimiskinkan. Ini

menjadi indikasi buruknya kebijakan

pemerintah, serta hukum yang tidak

berpihak kepada kepentingan rakyat dan

penegakkan hukum yang buruk. Disisi lain

menunjukkan urgensi untuk memberikan

prioritas politik bagi penanganan persoalan

penataan di bidang agraria dan sumber

daya alam. Dalam banyak kasus ini adalah

sengketa bahkan pelanggaran atas hak-hak

rakyat atas sumber-sumber agraria, sda dan

lingkungan yang dilakukan oleh korporasi

bahkan penguasa. Salah satu contoh

pelanggaran Hak Asasi Manusia

khususnya terhadap perempuan yaitu

pertambangan batubara yang dilakukan

oleh PT. Kaltim Prima Coal di Kalimantan

Timur dimana pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang berupa perampasan tanah

yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima

Coal telah melanggar hak-hak rakyat.

Berdasarkan konvensi-konvensi

Internasional, hak-hak rakyat merupakan

keharusan untuk dilindungi. Beberapa hak

asasi perempuan yang dilanggar

diantaranya :

1. Hak perempuan untuk tidak

didiskriminasikan;

2. Hak untuk menentukan nasibnya

sendiri;

3. Hak Bebas untuk mengatur kekeyaan

dan sumber alam dan tidak boleh

direnggut sarana penghidupannya;

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 30

4. Hak atas kepemilikan;

5. Hak masyarakat adat;

6. Hak untuk bebas dari kelaparan;

7. Hak untuk hidup secara layak, baik

pangan, pakaian, perumahan, dan

kesehatan;

8. Hak setiap anak untuk mendapatkan

standar kehidupan yang layak bagi

perkembangan fisik, mental, spiritual,

moral dan sosial anak.8

Seperti halnya yang terjadi pada

kasus PT. SAI (Semen Andalas Indonesia)

Aceh , dimana dalam proses konsultasi

AMDAL perusahaan, perempuan tidak

dilibatkan sehingga banyak pengalaman

dan pengetahuan perempuan tidak pernah

disampaikan, selain di Aceh situasi

tersebut juga terjadi di PT. Petro China di

Bojonegoro, PT. Semen Tonasa dan di

Makassar. Begitu juga yang terjadi di

perempuan pesisir, dimana proyek-proyek

yang dilakukan oleh perusahaan atas izin

pemerintah mengakibatkan perempuan

mengalami ketidakadilan, hal ini juga

karena perempuan tidak dilibatkan dalam

pembuatan dan perencanaan pembangunan

proyek tersebut, bahkan perempuan tidak

diminta persetujuan adanya proyek

tersebut, dan masih banyak lagi kasus-

kasus diskriminasi dan kekerasan yang

terjadi pada perempuan akibat pola

pembangunan dan pengelolaan

sumberdaya alam yang menghilangkan

akses dan kontrol perempuan atas

sumberdaya alamnya. Meskipun

demikian, perempuan Indonesia yang

selama ini menjadi korban eksploitasi

sumber daya alam dari korporasi dan

8 Haris Retno Susmiyati, 2003, Perempuan di

Pertambangan, Yayasan Jurnal Perempuan,

Jakarta, Hal. 25.

negara, telah bangkit melawan untuk

sebuah perjuangan melawan ketidakadilan.

Merebut kedaulatan rakyat atas lingkungan

hidup dan sumber-sumber kehidupan

rakyat, yang selama ini telah dirampas oleh

kekuatan investasi. Dibanyak tempat

antara lain di Papua, Porsea, Bulukumba,

Rampa, Bengkalis, Aceh, Bojong dan

masih banyak lagi tempat-tempat lainnya,

peran perempuan begitu besar untuk terus

bergerak dan melawan semua kebijakan

pemerintah yang tidak berpihak kepada

rakyat miskin dan lingkungan hidup.

Perlawanan perempuan ini telah

menunjukkan kepada kita semua, bahwa

perempuan mempunyai kekuatan yang

cukup besar untuk melakukan perlawanan-

perlawanan kolektif dan dapat menjadi

inspirasi bagi perjuangan rakyat di

berbagai tempat lainnya. Mereka adalah

perempuan dengan akses pendidikan yang

paling rendah. Komisi Nasional

Perempuan menilai bahwa dari sedemikian

banyaknya konflik sumber daya alam

tersebut perempuan hampir selalu luput

dari perhatian atau nyaris tidak ada,

bahkan bisa dikatakan tidak ada

identifikasi kekerasan berbasis jender

dalam setiap kelas sosial, baik dalam

konteks pemecahan masalah hingga upaya

pemulihan, akibatnya pengungkapan

kekerasan yang dialami perempuan juga

luput dari upaya penyelesaiannya, padahal

perempuan adalah kelompok paling rentan

ketika konflik sumberdaya alam terjadi.

Selain itu Komnas Perempuan juga

mengidentifikasikan belum terdapat

kepekaan untuk melihat persoalan

perempuan dalam isu sumberdaya alam,

sehingga fakta dan penegakan hak asasi

perempuan dalam isu tersebut sering

terabaikan. Subordinasi masalah

perempuan yang dianggap sepele

dibanding persoalan sumber daya alam,

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 31

dan anggapan jika masalah sumberdaya

alam terselesaikan otomatis masalah

perempuan akan terselesaikan dengan

sendirinya. Aktivitas gerakan perempuan

masih dianggap parsial hanya memahami

isu kekerasan terhadap perempuan tapi

belum berhasil menyambungkan dengan

isu sumberdaya alam, juga minimnya

analisa struktural dari gerakan perempuan

sehingga fakta-fakta kekerasan terhadap

perempuan hanya dilihat sebagai fenomena

tunggal yang tidak terkait dengan kondisi

struktural dimana perempuan tersebut

berada.9 Sistem kapitalisme yang

menggunakan alat-alat kekuatannya seperti

TNC’s/MNC’s dan lembaga keuangan

internasional, bukan saja melakukan

kejahatan lingkungan dengan agenda eco-

kolonialismenya, tetapi juga melakukan

sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi

manusia, khususnya kelompok rentan

seperti masyarakat adat, perempuan dan

anak-anak. Perempuan dan anak-anak

menjadi korban yang paling besar harus

mengalami dampak dari ketidakadilan

ekologi ini. Perempuan bukan saja

dihadapkan pada sistem kapitalisme, tetapi

juga budaya patriarki dan feodalisme yang

menempatkan perempuan sebagai kelas

dua, kondisi inilah yang semakin

memperburuk posisi perempuan di dalam

kelas masyarakat. Kekerasan yang dialami

oleh perempuan dimulai dari pekarangan

rumahnya, sampai kekerasan yang

dilakukan oleh negara. Bukan saja

kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga

9 Studi “Meretas Jejak Kekerasan Terhadap

Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam : Pola Pengucilan, Pengabaian, Tantangan

dan Implikasinya. Sebuah Tawaran Dialog” .

Kajian ini dilakukan oleh KOMNAS

PEREMPUAN bekerjasama dengan Bina Desa,

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia., Rimbawan

Muda Indonesia, debt WATCH Indonesia,

Institute of Dayakologi, LBH Semarang.

kekerasan ekonomi yang diakibatkan oleh

sebuah sistem pasar yang tidak adil bagi

perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Pasar bebas dengan didukung oleh mesin

besarnya World Trade Organization

(WTO) melahirkan kebijakan-kebijakan

yang bersifat eksploitatif dan tidak adil.

Rusaknya lingkungan karena ketamakan

pasar bebas yang mengutamakan

keuntungan sesaat merupakan ekses dari

mitos besar globalisasi. Perubahan iklim

yang ekstrem di Asia dan kekeringan di

negara-negara Afrika merupakan mata

rantai akibat dari rusaknya lingkungan dan

terdegradasinya hutan yang digunakan

untuk mendukung industrialisasi pasar

bebas. Perubahan iklim yang ekstrem dan

kekeringan ini mengakibatkan rusaknya

mata pencaharian masyarakat negara

miskin dan berkembang yang lebih dari

separuhnya menggantungkan hidup pada

sektor pertanian. Hal ini tentu saja

berdampak pada hilangnya mata

penghidupan perempuan dan

keluarganya.10

Dalam konteks Indonesia,

kebijakan pasar bebas yang mendukung

kepentingan industri-industri besar

terwujud dalam kebijakan revolusi hijau di

sektor pertanian. Kebijakan revolutif ini

telah menciptakan ketergantungan petani

Indonesia yang sebagian besarnya adalah

perempuan pada produk-produk industri

yang merusak kemampuan dan

keseimbangan alam. Perempuan dan

keluarganya dijebak untuk semakin

tergantung pada produk-produk industri

pangan karena rusaknya pertanian mereka.

Hal ini berarti perempuan petani dan

keluarganya tidak lagi memiliki kedaulatan

10

Rini Yuni Astuti, Artikel Gerakan

Perempuan Melawan Tirani Patriarkh Baru,

Yayasan LKIS (Pusat Kajian dan

Transformasi Sosial), Yogyakarta, 26 Mei 2009.

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 32

untuk menentukan pola produksi dan

konsumsi pangan mereka.

Posisi perempuan selalu

terpinggirkan, fakta ini ini bukan

merupakan sebuah realita yang terjadi

dalam hitungan dekade saja. Akan tetapi,

hal ini telah terjadi sekian abad lamanya.

Rentannya posisi perempuan ini

diantaranya diakibatkan oleh kuatnya

dominasi budaya patriarki yang telah

mengakar di masyarakat, sehingga hal ini

membuat posisi perempuan semakin

lemah. Prinsip kesetaraan gender yang

akhir-akhir ini marak diusung oleh

beberapa kalangan ternyata masih belum

sepenuhnya mampu mengangkat

perempuan dari ketertindasan, eksploitasi

dan keterpurukan.

Demikian halnya yang terjadi pada

bumi kita ini. Apa yang terjadi pada

perempuan diatas merupakan gambaran

bahwa baik bumi dan perempuan

mendapatkan perlakuan yang kurang baik

sehingga mengakibatkan kerusakan dan

penindasan. Pada bumi, pembangunan

yang dijalankan cenderung tidak

memperhatikan faktor keberlangsungan

lingkungan hidup yang baik. Sebagai

akibatnya kerusakan lingkungan yang

terjadi semakin parah. Salah satu Peraturan

Pemerintah yang tidak memperhatikan rasa

keadilan kepada perempuan dalam

pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan adalah di tengah kondisi bahwa

pemerintah seolah tanpa beban

mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan

Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan

Pajak yang Berasal dari Penggunaan

Kawasan Hutan untuk Kepentingan

Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan

yang berlaku di Departemen Kehutanan

Republik Indonesia. Tarif sewa antara 120-

300 per meter2 per tahun untuk hutan

produksi. Melalui Peraturan Pemerintah

tersebut pemerintah mengizinkan

dilakukannya pembukaan hutan lindung

dan hutan produksi untuk kegiatan

perusahaan industri skala besar, misalnya

kegiatan pertambangan, kegiatan

perkebunan kelapa sawit di berbagai

daerah seperti di aceh, Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Papua maupun

beberapa daerah lain. Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak yang Berasal dari

Penggunaan Kawasan Hutan untuk

Kepentingan Pembangunan di Luar

Kegiatan Kehutanan memungkinkan

perusahaan tambang semakin leluasa

mengubah kawasan hutan lindung dan

hutan produksi menjadi kawasan tambang

skala besar, hanya dengan membayar sewa

Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta

perhektarnya. Lebih murah lagi untuk

tambang minyak dan gas , jaringan

telekomunikasi, instalasi air, jalan, stasiun

pemancar radio. Dengan harga tersebut

berarti dapat menyewa hutan lindung

Rp.120 sampai Rp.300 permeter persegi

per tahun (300/m2/tahun). Peraturan

Pemerintah ini akan makin

meluluhlantakan lebih dari 900 ribu hektar

hutan lindung di Indonesia yang akan

dilakukan oleh 13 Perusahaan. Selain itu

Peraturan Pemerintah ini juga berpotensi

untuk memuluskan jalan bagi 158

perusahaan tambang lainnya untuk

mengobrak-abrik 11,4 juta hektar hutan

lindung lainnya yang semuannya bisa

dilakukan dengan hanya membayar Rp.

300/m2. Selain itu, Peraturan Pemerintah

No. 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif

atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang Berasal dari Penggunaan Kawasan

Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di

Luar Kegiatan Kehutanan, telah

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 33

menimbulkan inkonsistensi terhadap

hukum yang ada. Misalnya bertentangan

dengan kebijakan pembangunan

berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang kehutanan, dan UU

No. 5 Tahun 1990 tentang

Keanekaragaman Hayati dan

Ekosistemnya dan Undang-Undang No. 7

Tahun 1984 tentang Ratifikasi Convention

on the Elimantion of all froms

Discrimination Against Women

(CEDAW). Pada Pasal 14 CEDAW

menyebutkan bahwa perempuan pedesaan

dijamin hak dan aksesnya dalam

pengelolaan sumber daya hutan. CEDAW

menegaskan bahwa kebijakan dan Hukum

Negara perlu mengatasi

ketidakseimbangan melalui langkah-

langkah korektif atau perbaikan dan

memastikan kesetaraan dalam kesempatan,

keterlibatan perempuan, askes dan

pemanfaatan untuk kehidupan perempuan

pedesaan dalam pengelolaan sumberdaya

hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 2

Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang Berasal dari Penggunaan Kawasan

Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di

Luar Kegiatan Kehutanan merupakan

upaya kearah perluasan pemanfataan hutan

lindung untuk kepentingan pertambangan

dan perkebunan sawit bagi kegiatan

industri yang semakin berpeluang

menghancurkan hubungan sosiologis

terhadap kehidupan perempuan. Begitu

banyak perempuan yang tinggal di

kawasan Hutan dan memperoleh akses

sumber-sumber ekonomi untuk

keberlanjutan hidup dan kehidupan anak

dan keluarganya. Dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan

untuk Kepentingan Pembangunan di Luar

Kegiatan Kehutanan, fakta sosial dan

keadilan menunjukkan bahwa Peraturan

Pemerintah tersebut telah memisahkan

perempuan dari alam dengan

menghabiskan hutan lindung untuk

kepenting industri melalui sewa menyewa

dan jual beli hutan yang dilakukan oleh

pemerintah. Penggundulan dan

pengambilalihan kawasan hutan telah

menyingkirkan perempuan dari sumber-

sumber kehidupannya, misalnya tanah, air,

flora-fauna, mineral, energi, organisme

kehidupan, atmosfir, dan iklim. Perempuan

tidak lagi bisa memungut hasil hutan

seperti rotan, kayu, bahkan berbagai jenis

tanaman obat yang penting bagi

keberlanjutan hidup. Perempuan

mengalami pembatasan akses dan kontrol

dalam pengelolaan sumberdaya hutan,

ketika Industri ekstraktif diberi peluang

untuk menguasai dan mengeksploitasi

Hutan. Perempuan menghadapi beban

hidup yang makin sulit, antara lain:

Pertama, harus memikirkan ekonomi

keluarga yang sebelumnya mereka peroleh

dari hutan, Kedua, hilangnya kearifan dan

pengetahuan lokal perempuan dalam

pengelolaan sumberdaya alam akibat

hutan-hutan mereka diambil alih untuk

kepentingan industry, Ketiga adalah

penghancuran dan pencemaran lingkungan

akibat kegiatan pertambangan berpeluang

menimbulkan ancaman kesehatan

reproduksi perempuan dan kesehatan anak-

anak yang tinggal area pertambangan dan

perkebunan sawit, dan keempat adalah

ancaman kekerasan pisik, psikis dan

ancaman kekerasan seksual dari pihak-

pihak yang mengamankan kegiatan

industri. Peraturan Pemerintah Nomor 2

Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang Berasal dari Penggunaan Kawasan

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 34

Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di

Luar Kegiatan Kehutanan, makin memberi

ruang terjadinya subordinasi perempuan,

diskriminasi dan ancaman kekerasan

sampai pemiskinan akibat ekploitasi hutan

secara sistematis. Artinya, Peraturan

Pemerintah ini semakin menegaskan

kontrol negara atas pikiran, tubuh dan serta

kehidupan perempuan. Hal ini menunjukan

bahwa Negara telah lalai

mengimplementasikan Convention on the

Elimantion of all froms Discrimination

Against Women (CEDAW) menjamin

perlindungan hak-hak perempuan pedesaan

dalam upaya pemenuhan keberlanjutan

hidup dan kehidupan perempuan.

Gender dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan Hidup

Gender merupakan konstruksi sosial

untuk melihat peran laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat. Gender

sebenarnya memfokuskan pada relasi

antara orang-orang dalam masyarakat

secara keseluruhan.11

Perbedaan laki-laki

dan perempuan sebenarnya hanya terdapat

pada peran-peran yang bersifat kodrati

seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan

menyusui yang tidak dapat dipertukarkan

antara laki-laki dan perempuan. Adapun

peran-peran lain yang tidak dapat

dipertukarkan antara laki-laki dan

perempuan harus dibagi secara seimbang

tanpa melihat jenis kelamin. Pembedaan

peran ini erat kaitannya dengan budaya

patriarki baik dalam artian sederhana,

maupun oleh perimpitan budaya patriarki

dengan kapitalisme, arus modal,

neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan

berbagai bentuk kekerasan. Upaya

11

R. W. Connel, 1996. Gender and Power,

Society, The Person and Sexual Polities, Polity

Press Oxford, British, Hal. 119.

mengatasi masalah ketidakadilan gender

harus dilihat sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dengan perlawanan terhadap

penghancuran kehidupan manusia.

Menurut Mansour Fakih mengatakan

bahwa ketidakadilan gender merupakan

sistem dan struktur di mana baik laki-laki

maupun perempuan menjadi korban dari

sistem tersebut. Ketidakadilan gender

dapat dilihat pada proses pemiskinan

ekonomi (marginalisasi), korban dari

anggapan tidak penting dalam

pengambilan keputusan (subordinasi),

korban dari pelabelan negatif, korban dari

kekerasan dan korban akibat beban kerja

yang lebih banyak dan lebih panjang.12

Beban tanggung jawab dalam pengelolaan

lingkungan hidup yang lebih berat kepada

perempuan merupakan wujud adanya

gejala ketidakadilan gender. Selama satu

dasawarsa, pemerintah Indonesia

melakukan eksploitasi sumber daya alam

demi alasan pertumbuhan perekonomian.

Sayangnya, paradigma ekonomi sentries

dalam pembangunan ini, telah

menghancurkan sumber-sumber kehidupan

rakyat, khususnya perempuan. Aktor dan

sistem yang mendorong kapitalisme turut

melanggengkan marjinalisasi terhadap

rakyat dan perempuan. Berbagai kebijakan

dan peraturan juga mendukung kerangka

ini, misalnya Undang-Undang otonomi

daerah yang melahirkan berbagai Peraturan

Daerah yang bias gender dan memisahkan

Sumber Daya Alam dari rakyat.

Instrumentasi hukum oleh kekuatan

ekonomi telah menjadikan rakyat terutama

perempuan sebagai kelompok rentan,

tetapi juga menjadi kelas yang paling

dimiskinkan. Di sektor industri ekstraktif

seperti kehutanan, perkebunan dan

12

Mansour Fakih, 1996. Analisis Gender dan

Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Hal. 12.

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 35

pertambangan, kepemilikan dikuasai oleh

modal dan industri skala besar, sementara

disisi yang lain rakyat, terutama

perempuan, semakin dijauhkan dari hutan

dan aset alam tempat mereka

menggantungkan penghidupan.

Kelangkaan air terus menerus menjadi

krisis rutin di Indonesia, bencana

kekeringan dan tingkat pencemaran

industri yang tinggi, mengakibatkan

perempuan semakin sulit untuk bisa

mengakses air bersih dan menjaga

ketahanan pangan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota,

perempuan semakin ditekan dengan

menjamurnya budaya konsumtif yang

didorong oleh industrialisasi pusat

perbelanjaan. Budaya ini kemudian

menghasilkan timbunan sampah,

pencemaran air tanah dan menciutnya

ruang terbuka hijau. Ditambah lagi dengan

ancamana solusi teknologi yang justru

berdampak buruk bagi kesehatan. 13

Ironisnya, ketika bencana ekologis

terus menerus terjadi karena kesalahan

pendekatan pembangunan, pemerintah pun

tidak mampu memberikan perlindungan

yang layak kepada jutaan perempuan yang

tinggal di berbagai wilayah yang rentan

terhadap bencana. Pemerintah melakukan

pengabaian hak rakyat, khususnya

perempuan, dalam pemenuhan hak-hak

dasarnya pada pasca bencana terutama

pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi

dan rekonstruksi. Selama ini, kerusakan

lingkungan dan aset alam belum

merefleksikan sisi pandang perempuan.

Budaya patriarki yang telah menggeser

kedaulatan perempuan dalam mengelola

dan menentukan pangan telah membuat

13

Gender Working Group WALHI Kalimantan

Timur, Peran Perempuan dalam Penyelamatan

Lingkungan Hidup: Gender dan Lingkungan

Hidup, Artikel, Minggu 22 Agustus 2009.

pandangan perempuan tentang kehidupan

menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-

laki, bahkan oleh perempuan sendiri.

Perempuan juga masih ditinggalkan dalam

proses pengambilan kebijakan. Jika

melihat bahwa persoalan lingkungan hidup

dan aset alam sebagai sebuah proses

politik, perempuan banyak ditinggalkan

dalam proses pengambilan keputusan

politik untuk dapat mengakses sumber-

sumber kehidupannya. Padahal,

perempuan menjadi garda terdepan dalam

upaya pelestarian lingkungan hidup

dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga

mengambil peran penting dalam mengelola

aset alam. Perempuan sebagai salah satu

potensi dalam menjaga lingkungan hidup,

sejauh ini tidak pernah di berikan ruang

dan peran keterlibatannya dalam

pengelolaan lingkungan. Perempuan sering

tidak dilibatkan dalam sebagian besar

kebijakan dan kontrol terhadap sumber

daya alam yang menopang kehidupan

mereka. Padahal pada target capaian

Mellenium Developmen Goals (MDG’s)

pada tahun 2015, mensyaratkan pentingnya

keterlibatan perempuan pada semua tujuan

yang akan di capai. Mengikutsertakan

perempuan dalam pengelolaan lingkungan

adalah agar perempuan memahami betapa

pentingnya lingkungan sehingga

perempuan akan menjaga, memelihara

lingkungan, dengan demikian perempuan

akan mempunyai andil besar untuk

menjaga, memelihara lingkungan dengan

baik dan juga dapat menjaga kebersihan

lingkungan dari lingkup yang paling kecil.

(Seminar Nasional Pengelolaan

Lingkungan Hidup Berwawasan Gender,

11 September 2007, P3G LPPM UNS

dengan KLH RI).14

Perempuan memiliki

14

Pelita Online (Media Penguatan Masyarakat

Sipil), Perempuan dan Lingkungan, diakses melalui

www.google.com, Tanggal 13 September 2013.

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 36

keterkaitan yang erat dengan lingkungan.

Dalam perannya sebagai pengelola rumah

tangga, mereka lebih banyak berinteraksi

dengan lingkungan dan sumber daya alam.

Dalam beberapa bahasan alam semesta

acapkali disimbolkan sebagai perempuan

atau ibu. Kearifan perempuan dalam

pengelolaaan lingkungan lebih banyak

memiliki makna positif. Sayangnya selama

ini peran tersebut sangatlah kurang.

Padahal dampak kerusakan lingkungan

lebih sering dirasakan oleh perempuan.

Contoh sederhana adalah ketersediaan air.

Berkurangnya ketersediaan air lebih

dirasakan kaum perempuan karena mereka

merupakan pemakai air terbesar dalam

rumah tangga. Ketidakadilan gender dalam

pengelolaan lingkungan hidup tampak

secara parsial dalam penelitian Sri Hastuti

Puspitasari di kota Yogyakarta pada tahun

2000. Di tingkat institusi pemerintahan

terendah atau kelurahan, ada beberapa

bidang pengelolaan lingkungan hidup yang

masih mencerminkan partisipasi bias

gender, seperti pada pemeliharaan

sanitasi/assainering dan penanggulangan

limbah dimana seluruh wilayah kelurahan,

kaum laki-laki selalu dilibatkan sementara

itu kaum perempuannya jarang dilibatkan.

Sedangkan pada pengelolaan sampah,

penataan dan perawatan taman rumah,

kaum perempuan selalu berpartisipasi.

Kemudian dalam tingkat pengambilan

keputusan juga jarang dilibatkan kecuali

apabila bidang tersebut dianggap relevan

dengan posisi domestik kaum perempuan

seperti pada pengelolaan sampah,

tamanisasi dan kerja bakti lingkungan.15

15

Sri Hastuti Puspitasari, 2000. Pengelolaan

Lingkungan Hidup Berwawasan Gender , Studi

Kasus Pada Peran Laki-laki dan Perempuan dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota

Yogyakarta, Yogyakarta.

Kondisi seperti ini tentu tidak

menguntungkan bagi pembangunan

lingkungan hidup yang berkelanjutan

sebab pembangunan lingkungan hidup

memerlukan sentuhan-sentuhan feminin

yang lebih mengedepankan aspek

perawatan, apabila sebagian besar kaum

perempuan berada pada wilayah domestik

(rumah tangga) sehingga posisinya

merupakan komunitas yang paling dekat

dengan masalah lingkungan sehari-hari.

Maka dari itu, perlu kiranya informasi

mengenai perlunya menjaga kualitas

lingkungan hidup dan bagaimana teknik

pengelolaannya harus didapatkan secara

adil gender, tidak membeda-bedakan

antara laki-laki dan perempuan. Perlunya

kaum perempuan tampil ke depan dalam

bidang pengelolaan lingkungan hidup

sebenarnya telah menjadi perhatian

kalangan feminis. Dalam kancah gerakan

feminisme, telah muncul gerakan

ecofeminisme, yang lahir sebagai reaksi

atas pembangunan yang berwajah

“maskulin” dimana pembangunan telah

diwarnai dengan sifat-sifat maskulin

seperti, dominasi, penundukan,

perampasan, percepatan, kekuatan dan

kadang kekerasan yang tidak saja

merugikan lingkungan sosial tetapi juga

lingkungan fisik dan biologis. Bahkan

“maskulinitas” pembangunan ini telah

menjauhkan kaum perempuan dari alam.

Gerakan ecofeminisme berpijak pada

konsep pembangunan holistik yang

sifatnya konstruktif, menghargai

keberagaman yang lebih mementingkan

aspek perawatan dan kelestarian. Konsep

ini menggeser konsep pembangunan yang

destruktif dan telah menghilangkan

keberagaman.16

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 37

Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 9

tahun 2000 tentang Pengarusutamaan

Gender di dalam Penbangunan Nasional

menginstruksikan setiap Kemenetrian dan

lembaga, tentunya termasuk Kementerian

Lingkungan Hidup, agar dapat

mengintegrasikan atau mengarustamaan

perspektif Gender di dalam kebijakan dan

program masing-masing dari tahap

perencanaan, penganggaraan, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi sehingga

kebutuhan, permasalahan dan aspirasi

perempuan dan laki-laki, dalam hal ini di

dalam bidang lingkungan dan

pembangunan berkelanjutan dapat

diakomodir dan dipenuhi.

KESIMPULAN

Identifikasi pelanggaran hak asasi

terhadap perempuan dalam konteks

pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup adalah dengan tidak

memberi beban kelangsungan hidup

keluarga pada kelompok perempuan.

Dalam konteks konflik, potensi konflik

sumber daya alam yang mengakibatkan

kekerasan terhadap kaum perempuan kerap

kali bisa terjadi. Di dalam pengelolaan

sumber daya alam dan pengelolaan

lingkungan hidup, perempuan kerap kali

menjadi korban kekerasan baik fisik

maupun psikis, ketika berhadapan dengan

korporasi dan negara didalam

memperjuangkan hak atas lingkungan

hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

16

Gerakan ecofeminisme yang paling populer

adalah gerakan “Chipko” di India dimana kaum

perempuan berpadu menyelamatkan hutan. Tentang

perspektif holistik penulis hanya mendapatkan

sedikit catatan dari Rajni Khotari dalam

pengantarnya untuk buku Vandana Shiva, Bebas

dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan

Perjuangan Hidup di India, 1997, yang diterbitkan

oleh Yayasan Obor, Jakarta.

Saat ini belum banyak dilibatkan

khususnya dalam pengambilan keputusan

dalam pengelolaan Sumber Daya Alam

(SDA) dan lingkungan. Akses perempuan

dalam pemanfaatan lingkungan masih

terbatas. perempuan mempunyai potensi

yang besar untuk memelihara atau

melestarikan dan mencegah pencemaran

atau perusakan lingkungan. Perempuan

memiliki andil besar dalam pengelolaan

lingkungan sehingga wawasannya harus

dibuka dalam bidang ini. bahwa

perempuan dapat melakukan dalam

melestarikan lingkungan, asal ada

kerjasama yang baik dalam konteks

kemitraan, kesetaraan dan keadilan gender.

Berbagai tindakan pelanggaran hak

asasi dan kekerasan sampai saat ini masih

dialami oleh kaum perempuan, meskipun

Indonesia telah meratifikasi konvensi

perempuan dalam CEDAW yang terdapat

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 tentang Pengesahan Konvensi

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita

(Convention On The Elimination Of All

Forms Of Discrimination Against Women)

dan lahirnya Undang-Undang Hak Asasi

Manusia Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia.

Salah satu contoh pelanggaran Hak

Asasi Manusia khususnya terhadap

perempuan yaitu pertambangan batubara

yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima

Coal di Kalimantan Timur dimana

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

berupa perampasan tanah yang dilakukan

oleh PT. Kaltim Prima Coal telah

melanggar hak-hak rakyat. Seperti yang

terjadi di kasus PT. SAI (Semen Andalas

Indonesia) Aceh, dimana dalam proses

konsultasi AMDAL perusahaan,

perempuan tidak dilibatkan sehingga

banyak pengalaman dan pengetahuan

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 38

perempuan tidak pernah disampaikan,

selain di Aceh situasi tersebut juga terjadi

di PT. Petro China Bojonegoro, PT. Semen

Tonasa Makassar. Hal juga yang terjadi di

perempuan pesisir, dimana proyek-proyek

yang dilakukan oleh perusahaan atas izin

pemerintah mengakibatkan perempuan

mengalami ketidak adilan, hal ini juga

karena perempuan tidak dilibatkan dalam

pembuatan, perencanaan maupun diminta

persetujuan terhadap pembangunan yang

yang memanfaatkan sumber daya alam

maupun lingkungan.

Perempuan juga perlu dilibatkan di

dalam pengambilan keputusan (control)

dan berpartisipasi secara aktif di dalam

perencanaan dan perumusan kebijakan

yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam

dan lingkungan termasuk di dalam

kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim mengingat perempuan yang paling

terkena dampaknya seperti contoh-contoh

diatas. Lebih jauh lagi perempuan harus

memiliki akses dan kontrol pada sumber-

sumber daya lingkungan tertentu seperti air

dan tanah yang merupakan domain utama

mereka di dalam keluarga.

SARAN

Sebagai bentuk penghargaan atas

perjuangan perempuan yang berjuang

mempertahankan hak-hak atas lingkungan

hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

1. Memberikan penghormatan terhadap

perjuangan yang dilakukan oleh

perempuan didalam memperjuangkan

hak atas lingkungan hidup dan sumber-

sumber kehidupan rakyat di berbagai

penjuru tanah air yang tertindas oleh

sistem kapitalisme.

2. Mendorong negara untuk memberikan

perlindungan terhadap hak asasi

perempuan didalam pengelolaan

sumber daya alam, pengelolaan

lingkungan hidup, dan penanganan

terhadap bencana dengan menjamin

pemenuhan hak-hak dasarnya antara

lain pangan, kesehatan, hunian

sementara, air bersih dan sanitasi,

sehingga menimbulkan bencana baru

berupa gizi buruk dan penurunan

kualitas kesehatan yang berdampak

padaa perempuan dan anak-anak.

3. Mendorong negara untuk menempuh

langkah-langkah yang cepat dan tepat

untuk menghapus semua bentuk

kekerasan yang dilakukan, baik oleh

state maupun non-state di dalam

pengelolaan sumber daya alam dan

pengelolaan lingkungan hidup.

DAFTAR RUJUKAN

Gerakan ecofeminisme yang paling populer

adalah gerakan “Chipko” di India

dimana kaum perempuan berpadu

menyelamatkan hutan. Tentang

perspektif holistik penulis hanya

mendapatkan sedikit catatan dari

Rajni Khotari dalam

pengantarnya untuk buku

Vandana Shiva, Bebas dari

Pembangunan: Perempuan,

Ekologi, dan Perjuangan Hidup

di India, yang diterbitkan oleh

Yayasan Obor, Jakarta, 1997.

Gender Working Group WALHI

Kalimantan Timur, Peran

Perempuan dalam Penyelamatan

Lingkungan Hidup: Gender dan

Lingkungan Hidup, Artikel,

Minggu 22 Agustus 2009.

Haris Retno Susmiyati, Perempuan di

Pertambangan, Yayasan Jurnal

Perempuan, Jakarta, 2003.

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 39

Julia Cleves Mosse, Gender dan

Pembangunan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1996.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan

Transformasi Sosial, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 1996.

R. W. Connel, Gender and Power, Society,

The Person and Sexual Polities,

Polity Press Oxford, British,

1996.

Rini Yuni Astuti, Artikel Gerakan

Perempuan Melawan Tirani

Patriarkh Baru, Yayasan LKIS

(Pusat Kajian dan Transformasi

Sosial), Yogyakarta, 26 Mei 2009.

Sri Hastuti Puspitasari, Pengelolaan

Lingkungan Hidup Berwawasan

Gender, Studi Kasus Pada Peran

Laki-laki dan Perempuan dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup

di Kota Yogyakarta, Yogyakarta,

2000.

Sri Hastuti Pupitasari, Hukum dan

Lingkungan Hidup di Indonesia;

Pembangunan, Resiko Ekologis

dan Perspektif Gender, Program

Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta,

2001.

Studi “Meretas Jejak Kekerasan Terhadap

Perempuan Dalam Pengelolaan

Sumber Daya Alam : Pola

Pengucilan, Pengabaian,

Tantangan dan Implikasinya.

Sebuah Tawaran Dialog” . Kajian

ini dilakukan oleh KOMNAS

PEREMPUAN bekerjasama

dengan Bina Desa, Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia.,

Rimbawan Muda Indonesia,

debtWATCH Indonesia, Institute

of Dayakologi, LBH Semarang.

Yanti Muchtar, Artikel Dalam

Pengelolaan Pengelolaan Sumber

Daya Alam: Keterlibatan

Perempuan Masih Sebatas

Pelaksana, Yayasan Jurnal

Perempuan

Lihat Vandana Shiva, 1988, Staying Alive,

Women, Ecology and Survival in

India, Zid Book Ltd, U.K, dan

telah diterjemahkan ke dalam

edisi bahasa Indonesia oleh Hira

Jhamtani, 1997, dengan judul,

Bebas dari Pembangunan;

Perempuan, Ekologi dan

Perjuangan Hidup di India,

Yayasan Obor, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

ke IV;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Wanita (Convention On The

Elimination Of All Forms Of

Discrimination Against Women);

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan;

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia;

Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 8, No 2, September 2013 “Pelanggaran terhadap hak”....(Louise Theresia) 23-40

ISSN : 2085-4757 40

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup;

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan

untuk Kepentingan Pembangunan di Luar

Kegiatan Kehutanan

Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000

tentang Pengarusutamaan Gender di dalam

Penbangunan Nasional.

Media Elektronik :

1. Jurnal Perempuan 26 Oktober 2004,

lewat website Kalyanamitra

www.kalyanamitra.or.id/; Jakarta Post 22

April 2004. Lihat pula DTE 56 pada

dampak pertambangan terhadap

perempuan - kasus Indonesia.

2. Lentera Diatas Bukit, E-Book Perempuan,

Kekerasan dan Konflik Agraria-SDA, Selasa

13 Oktober 2004. Lihat

(http://matanews.com/2009/07/06/otda-

mengarah-pada-pengrusakan-sda/)

3. Pelita Online (Media Penguatan

Masyarakat Sipil), Perempuan dan

Lingkungan, diakses melalui

www.google.com , tanggal 18 Oktober

2009.