Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA
AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN
NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
ARIF PURWOKO
NIM : E. 1107010
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA
AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN
NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI
Disusun oleh :
ARIF PURWOKO
NIM : E.1107010
Disetujui untuk dipertahankan dihadpan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 19 Juli 2011
Pembimbing
RAHAYU SUBEKTI, S.H., M.Hum
NIP. 197111022006042001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG
MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI
DI KABUPATEN WONOGIRI
Disusun oleh :
ARIF PURWOKO
NIM : E. 1107010
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan
Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 28 Juli 2011
TIM PENGUJI
1. Pius Tri Wahyudi, S.H., M.Si. : ........................................................
NIP.195602121985031004
KETUA
2. Lego Kardjoko, S.H., M.H. : ........................................................
NIP.196106131986011011
SEKRETARIS
3. Rahayu Subekti, S.H., M.Hum. : ........................................................
NIP.196305191988031001
ANGGOTA
MENGETAHUI
Dekan
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
NIP. 1957023 198503 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
“Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup,
tetapi dari kesulitan-kesulitan yang berhasil di atasi
ketika berusaha meraih sukses.”
(Booker T Washington)
“Pengetahuan tidaklah cukup, maka kita harus mengamalkannya.
Niat tidaklah cukup, maka kita harus melakukannya. “
( Johann Wolfgang von Goethe )
“Untuk memahami hati dan pikiran seseorang,
jangan melihat apa yang dia raih,
lihatlah apa yang telah dia lakukan untuk menggapai cita-citanya.”
(Kahlil Gibran)
“Berusahalah untuk tidak menjadi manusia
yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.”
( Einstein )
“Manusia merencanakan, namun Tuhan yang menentukan.”
(Thomas A Kempis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Dengan segenap kerendahan hati, karya yang jauh dari kata sempurna ini,
Penulis persembahkan kepada :
ALLAH SWT
Sebagai pelindung dan semangat dalam penyelesaian
Penulisan Hukum ini.
Nabi Muhammad Saw
Sebagai Sang penyempurna Akhlak yang menjadi panutan Penulis
dalam menjalani hidup.
Istri saya Tercinta
Alvina Clarinta Novadia
Yang sudah mencintai penulis dan serta pengertiannya memberikan semangat
Kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Anakku Sayang
Rivana Safa Putri Purwaka
Seorang Putri yang sangat Cantik, dan sangat lucu
Kedua orangtua
H. Sumarno, SE & Sumarmi, SE
Yang selalu menyayangi dengan tulus, menjagaku,
memberikan motivasi semangat dan memberikan yang terbaik untukku.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perlindungan
kepada mereka berdua sepanjang segala masa, Amin.
Kedua Mertua Saya
dr.H. Pratikto Widodo, Sp.A & Dr.H. Rini Adiyani, SE, MM
Yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta
nasehat-nasehat yang bijak kepada saya.
Semoga Allah selalu memberikan barokah yang tiada henti kepada beliau.
Adik-Adik
Fajar Wisma Prihantoro & Alvano Febrianto
Sahabat-Sahabatku
Yang selalu ikhlas berbagi suka dan duka
Thank for all
Segenap Civitas Akademika FH UNS
VIVA JUSTISIA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Arif Purwoko, 2011. PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN
NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI. Fakultas Hukum UNS.
Masalah pokok dalam skripsi ini, menyangkut perkawinan beda agama.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran sekaligus memahami
pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai suatu kenyataan
yang tidak bisa dihindari. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, timbul beberapa masalah dalam melaksanakan
perkawinan beda agama antara perkawinan tersebut sah atau tidak sah menurut
hukum nasional.
Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan teknik analisis data
interaktif. Jenis penelitian yang digunakan penulis termasuk dalam jenis penelitian
empiris.
Perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas (expresis verbis) dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dapat menimbulkan
penafsiran, peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 belum mengatur maka masih dapat diberlakukan. Dari
penelitian penulis diperoleh hasil pembahasan mengenai pelaksanaan fungsi Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dalam perkawinan beda
agama sebagai pencatat perkawinan beda agama yang telah mendapatkan
Penetapan dari Pengadilan Negeri Wonogiri. Pencatatan perkawinan dilakukan
oleh petugas pencatat sipil sebagai instansi pelaksana yang mencatat perkawinan
pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan untuk
diberikan kepada masing-masing suami istri.
Penelitian hukum ini, dapat diketahui bahwa dalam perkawinan beda
agama adanya perbedaan penafsiran dari para pemimpin agama atau ulama,
sarjana, hakim, pejabat petugas pencatat perkawinan dan warga masyarakat
tentang boleh atau tidaknya perkawinan beda agama. Penelitian ini, hendaknya
dapat menjadi bahan penyempurnaan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama
di lingkungan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri
khususnya, dan pada umumnya di Catatan Sipil seluruh Indonesia.
Kata Kunci : Perkawinan, Beda Agama, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Arif Purwoko, 2011. LISTING OF DIFFERENT RELIGIOUS MARRIAGE
THAT GETS IN THE DISTRICT COURT SETTING WONOGIRI. Faculty
of Law UNS.
Central issue in this thesis, concerns the marriage of different religions.
This study is intended to provide an overview as well as to understand its
implementation in everyday community life as a reality that can not be
avoided.With the enactment of Law Number 1 of 1974 on marriage, some
problems arise in performing interfaith marriages between marriage is valid or
invalid according to national law.
The author conducted a study using a qualitative approach.Data
collected were analyzed using an interactive data analysis techniques.This type of
research that used the author included in this type of empirical research.
Interfaith marriages are not set explicitly (expresis verbis) of the
Marriage Law Number 1 of 1974 so that it can lead to interpretation, the old rules
along the Marriage Law Number 1 of 1974 has not been set then it can still be
applied.From the study authors obtained results of the discussion on the
implementation of the functions the Department of Population and Civil Wonogiri
in interfaith marriages as a marriage registrar of different religions that have
earned the determination of the Court Wonogiri.Registration of marriages
performed by civil registrar as the implementing agency that records marriages to
register marriage certificate and marriage certificate issued citations to be given to
each couple.
The study of this law, it is known that in the marriage of different
religions there is a difference of interpretation of religious leaders or clerics,
scholars, judges, officials and residents of the registrar of marriage allowed public
about whether or not the marriage of different religions.This study, should be a
material improvement in the implementation of interfaith marriages in the
Department of Population and Civil Wonogiri in particular, and in general in the
Civil throughout Indonesia.
Keywords: Marriage, Different Religions, Different Religions Marriages
Implementation.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena dengan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikanpenulisan hukum yang berjudul “PELAKSANAAN
PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT
PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI”.
Penulisan hukum ini membahas Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Yang Mendapat Penetapan Pengadilan Negeri Di Kabupaten Wonogiri, ditinjau
dari aspek hukum, yang membahas sebagai berikut :
1. Proses pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil
Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri setelah
berlakunya pasal 35 huruf a Undang-Undang nomor 23 tahun 2006
2. Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama yang telah mendapat
penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan ditetapkan di Kantor Catatan Sipil
Wonogiri
Saat ini belum banyak penulis atau peneliti yang mengungkapkan
Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Yang Mendapat Penetapan
Pengadilan Negeri Di Kabupaten Wonogiri. Hal ini karena terbatasnya informasi
yang mengkaji pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri. Oleh karena itu, dalam
penyusunan penulisan hukum ini, penulis berusaha untuk mengumpulkan
berbagai informasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri serta pelaku perkawinan beda agama. Sebagian besar masyarakat
(kalangan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat) juga banyak belum paham dan
bahkan tidak mengenal atau mengetahui tentang pelaksanaan pencatatan
perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil Wonogiri dalam perkawinan beda
agama. Walaupun dengan data dan informasi yang relatif terbatas, penulis tetap
berusaha menyelesaikan penulisan hukum ini sebagian informasi awal tentang
perkawinan beda agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak Hardjono, S.H., M.H. selaku Ketua Program Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
3. Ibu Rahayu Subekti, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
membimbing, mengarahkan, dan menerima kehadiran penulis untuk
berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini.
4. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Kepala Bagian Hukum
Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
5. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum. selaku Ketua Pengelola Penulisan
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan pengarahan kepada penulis dalam rangka
penyelesaiam penulisan hukum ini.
6. Diana Tantri, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selaku memberikan nasihat dan masukan akademis pada penulis.
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen beserta segenap karyawan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
8. Bapak Drs Soemarjoto, MM selaku Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Wonogiri yang sudah mengijinkan penulis untuk melakukan
penelitian.
9. Bapak Hariyanto,SE selaku Kepala Seksi Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri.
10. Bapak Bapak Danang, S.Sos selaku Kepala Bidang Pencatatan Sipil di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11. Keluarga besar, Bapak Ibuku tercinta yang tidak pernah untuk memberikan
doa, motivasi, kasih sayang, dan yang telah sudi membantu baik moril
maupun meteriil.
12. Sahabat serta teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
angkatan 2007 yang telah sudi dan ikhlas berbagi suka duka dan tukar
pikiran.
13. Dan semua pihak yang tidak kami sebutkan satu demi satu, yang telah
membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, dengan besar hati penulis mengharap segala kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi
penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Juli 2011
Penulis,
ARIF PURWOKO
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
ABSTRAK.................................................................................................. vi
ABSTRACT................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5
E. Metode Penelitian ................................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 13
A. Kerangka Teori ...................................................................................... 13
1. Pengertian Perkawinan ..................................................................... 13
2. Pengertian Perkawinan Beda Agama ............................................... 21
3. Pengertian Penetapan........................................................................ 29
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 40
A. Hasil Pembahasan……………………………………………………. 40
1. Deskripsi Dinas Kependudukn dan Catatan Sipil
kabupatenWonogiri............................................................................ 40
2. Proses Pencatatan perkawinan Beda Agama di Kantor Dinas
Catatan Sipil yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri
di Kabupaten Wonogiri setelah berlakunya Pasal 35 huruf a
Undang-Undang nomor 23 tahun 2006.............................................. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Keabsahan Akta Perkawinan............................................................. 47
BAB IV PENUTUP .................................................................................... 49
A. Kesimpulan ............................................................................................ 49
B. Saran ....................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah perilaku makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja hanya
terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan
hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk yang berakal, maka perkawinan
merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan
budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana
budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakarat
yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.
Budaya perkawinan dan aturannnya yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamanan
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya aturan
perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh adat budaya
masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama Hindhu,
Budha, Islam, Kristen, Katholik bahkan dipengaruhi oleh budaya perkawinan
Barat. Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan
nasional sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa di kalangan
masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara yang berbeda-
beda. Perbedaan dalam pelaksanan hukum perkawinan itu dapat
mempengaruhi cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, kekaryaan seseorang
dalam kehidupan masyarakat.
Berbahagialah bangsa Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang
Perkawinan Nasional, yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia yang
berbeda-beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
telah berdasarkan pada Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal
Ika. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum
perkawinan yang berlandaskan kesatuan namun kebinekaanya tetap masih
berlaku. Mengapa demikian dikarenakan yang berbeda-beda itu masih kuat
pengaruhnya. Oleh karenanya bila yang berbeda bertemu dalam ikatan
perkawinan (campuran), sedangkan salah satu pihak masih tetap
mempertahankan pegangannya, maka ada kalanya menimbulkan kesulitan
dalam penyelesaiannya, bahkan dapat berakibat terganggunya kerukunan umat
hidup berumah tangga.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapatkan pengakuan
dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu, selalu berbeda-beda
diantara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Mengenai hal ini, dapat
dilihat dari rumusan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, yang bersifat Nasional sejak tanggal 2 Januari 1974, maka sudah
tercapailah cita-cita masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mempunyai
sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan, tetapi apabila
diteliti Pasal demi Pasal dan penjelasan Undang-Undang tersebut serta
peraturan pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka tidak
ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah
perkawinan antara beda agama.
Sejak diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak melaksanakan
pencatatan Perkawinan terhadap mereka yang agamanya berbeda, dalam
pengertian tidak melaksanakan perkawinan secara agama apapun. Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencatatkan dari mereka yang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
melaksanakan perkawinan yang secara agama. Mengenai sahnya suatu
perkawinan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 pada Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi :“Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaann, sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974.
Agama sebagai Wahyu Tuhan mengandung kebenaran mutlak, yang
diyakini paling benar oleh para pemeluknya, sehingga agama dijadikan
sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik dalam melakukan hubungan
dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, termasuk didalamnya
masalah perkawinan. Mengingat Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa serta berbagai agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan
apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan beda
agama.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melaksanakan
pencatatan perkawinan yang berbeda agama melalui permohonan ke
Pengadilan Negeri setempat untuk ijin menikah bagi calon suami dan calon
istri dengan konsekuensi berbagai persyaratan Administrasi yang harus
diajukan sebelum Pengadilan Negeri mengabulkan. Ketentuan ini diatur dalam
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dalam
Pasal 35 yang berbunyi :“Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah
perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.
Pada kehidupan masyarakat di daerah khususnya perkawinan beda
agama menjadi problematika yang sangat jarang terjadi. Karena orang awam
berpandangan bahwa perkawinan beda agama di negara Indonesia ini
merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk mereka laksanakan. Sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kebanyakan nikah beda agama dilaksanakan para pihak diluar negeri. Akan
tetapi mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia.
Di lingkungan Kabupaten Wonogiri pelaksanaan nikah beda agama
terjadi tidak hanya sekali terjadi. Hal ini terjadi karena keberanian dari majelis
Hakim dalam mengadopsi Pasal demi Pasal yang digunakan guna memberikan
penetapan terhadap perkawinan beda agama.
Guna memperoleh kepastian terhadap kedudukan hukum perkawinan
beda agama, diperlukan adanya bukti yang autentik. Sifat bukti autentik
tersebut tetap dan dapat mejadi pedoman untuk membuktikan tentang
kedudukan hukum yang mendukung kepastian perkawinan beda agama
dengan adanya akta yang dikeluarkan oleh satu lembaga. Lembaga yang
berwenang mengeluarkan akta yang dimaksud, menurut Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 adalah Lembaga
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka
penulis mendapat insiprasi untuk menyusun penelitian hukum dengan judul :
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI
KABUPATEN WONOGIRI
B. Perumusan Masalah
Agar pembahasan menjadi terarah dan mendalam sesuai dengan
sasaran yang sudah ditentukan, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Proses pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang telah mendapat
penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri setelah berlakunya Pasal 35 huruf
a Undang-Undang nomor 23 tahun 2006?
2. Bagaimana Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama yang telah
mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan ditetapkan di
Kantor Catatan Sipil Wonogiri?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian tentu mempunyai tujuan yang jelas agar penelitian
tersebut dapat dicapai. Adapun tujuan obyektif dan tujuan subyektif yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui Proses pencatatan perkawinan beda agama di
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang telah
mendapat penetapan Pengadialan Negeri Wonogiri;
b. Untuk mengetahui Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama
yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan
ditetapkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Wonogiri.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap sebagai bahan utama
dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b. Untuk mengobservasi kesesuaian antara teori yang diperoleh dengan
fenomena dan permasalahan yang terjadi dalam praktek pencatatan
perkawinan beda agama;
c. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis pada
umumnya mengenai Hukum Administrasi Negara serta pada
khususnya dalam pencatatan perkawinan beda agama.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan
ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada
khususnya yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan beda
agama:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku
perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di
lapangan;
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wacana atau
referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu
hukum.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;
b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus
untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh;
c. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan atau berkaitan langsung dengan perkawinan beda
agama.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Metode
penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan untuk memecahkan suatu
permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang
mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Metode penelitian juga merupakan pedoman untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dari suatu obyek yang diteliti
dengan mengumpulkan, menyusun serta menginterprestasikan data-data yang
diperoleh (Soerjono Soekanto, 2006:43).
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa metode penelitian
(Soerjono Soekanto, 2006:5) yaitu :
a. Suatu pemikiran yang digunakan dalam penelitian;
b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
c. Cara tertentu untuk melakukan prosedur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Metode penelitian merupakan unsur yang sangat penting dalam
kegiatan penelitian agar data yang diperoleh benar-benar akurat dan teruji
keilmiahannya. Dalam penelitian hukum ini, metode penelitian yang akan
digunakan adalah :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis berpedoman pada judul dan
perumusan masalah yang sudah diuraikan, maka penelitian ini merupakan
penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris selalu diarahkan
kepada identifikasi (pengenalan) terhadap hukum nyata berlaku, yang
implisit berlaku (sepenuhnya), bukan eksplisit (jelas, tegas) seperti diatur
di dalam perundangan yang diuraikan dalam kepustakaan. Pendekatan
empiris, dimaksudkan sebagai usaha untuk mengkaji hukum dalam realitas
atau kenyataan dalam masyarakat.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya, terutama
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori teori-teori lama, atau di dalam rangka menyusun
teoriteori baru (Soerjono Soekanto, 2006:10).
Didalam penelitian deskriptif, ada sifat-sifat tertentu yang dapat
dipandang sebagai ciri, yaitu:
a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa
sekarang pada masa-masa yang aktual;
b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun kemudian dijelaskan dan
akhirnya dianalisa.
Pada penelitian deskriptif ini, penulis berusaha untuk
menggambarkan suatu keadaan, oleh karenanya penulis menggunakan
metode ini agar dapat mengetahui Proses pencatatan perkawinan beda
agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang
telah mendapat penetapan Pengadialan Negeri Wonogiri. Selain itu juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan menggunakan metode ini dapat mengetahui pelaksanaan yang
sebenarnya dan dalam pembuktiannya mudah untuk mencari
kebenarannya serta dapat mengetahui permasalahan yang bersifat aktual,
yang ada pada masa sekarang.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian oleh respoden baik
secara tertulis maupun lisan dari prilaku nyata dengan meneliti dan
mempelajari obyek penelitian secara utuh.
4. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul, maka penelitian ini mengambil lokasi di PN
Wonogiri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri. Penentuan lokasi ini berdasarkan pertimbangkan bahwa PN
Wonogiri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri memungkinkan untuk memberikan kebutuhan akan data data
dan informasi terkait permasalahan mengenai pencatatan perkawinan beda
agama.
5. Jenis Data
Agar memperoleh data yang valid, penulis mengunakan jenis data :
a. Data Primer
Data primer menurut merupakan data yang diperoleh secara
langsung dari sumber pertama melalui penelitian. Dalam penelitian ini
data yang diperoleh dari lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian
dengan cara wawancara langsung bersama Bapak Hariyanto,SE yang
menjabat sebagai Kepala Seksi Pencatatan Perkawinan dan Perceraian,
Bapak Danang, S.Sos selaku Kepala Bidang Pencatatan Sipil di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sejumlah fakta
atau dari keterangan yang dapat digunakan untuk mendukung data
primer. Dalam penelitian ini data diperoleh melalui beberapa dokumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
resmi berupa Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor
125/Pdt.P/2011/PN.Wng, literatur, peraturan perundang-undangan, dan
lain-lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data
Sumber data yang diambil dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga)
bagian yaitu:
a. Sumber Data Primer
Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sejumlah
keterangan atau fakta dari lapangan, dalam hal ini :
1) Narasumber penulis adalah Bapak Hariyanto yang menjabat
sebagai Kepala Seksi Pencatatan Sipil, dan Bapak Danang selaku
kepala bidang Perkawinan,Perceraian, dan Kematian, di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.
2) Para pihak (suami istri) yang terlibat langsung dalam perkawinan
beda agama di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri yaitu Nova Andriyanto dan Monika Sari
b. Sumber Data Sekunder
Merupakan data yang didapat dari :
1) Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor
125/Pdt.P/2011/PN.Wng
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahn 1974;
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan;
5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2010 tentang
Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang
Dierbitkan Oleh Negara Lain
6) Kompilasi Hukum Islam
c. Data Tersier
Data tersier ini diperoleh dari internet.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7. Teknik Pengumpulan Data
Dengan memperhatikan bagan diatas maka proses analisis data
dapat digambarkan bahwa pada saat pengumpulan data, peneliti dapat
membuat reduksi bagian deskripsi dan refleksi dari data yang
ada.Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan
penelitian. Alat pengumpul data (instrument) menentukan kualitas data,
dan kualitas data menentukan kualitas penelitian. Dalam penelitian ini,
teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai
berikut :
a. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan situasi formal maupun informal.
Penulis melakukan wawancara dengan menggunakan teknik
wawancara bebas terpimpin. Hal ini memungkinkan pengembangan
pertanyaan dan perhatian kepada persoalan yang relevan berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti dan mungkin baru muncul di
lapangan. Wawancara dilakukan dengan pihak terkait yaitu Bapak
Hariyanto yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pencatatan Sipil, dan
Bapak Danang selaku kepala bidang Perkawinan,Perceraian, dan
Kematian, di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Wonogiri.
b. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini penulis melakukan studi pustaka dengan
membaca, mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti. Adapun pustaka yang menjadi
acuan antara lain buku-buku literatur, Reduksi Data kamus, peraturan
perundang-undangan, maupun dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian hukum ini.
8. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data
interaktif (interaktif model of analisis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 1 :
Sumber : Heribertus Sutopo, 2002:96
Keterangan gambar :
a. Pengumpulan data adalah masa dimana penulis mencari data dan mencatat
semua data yang masuk;
b. Reduksi data (data reduction) adalah proses pemikiran, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan di lapangan;
c. Penyajian data (data display) adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan;
d. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing) adalah menyimpulkan apa yang
sudah diketahui pada awal.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran yang jelas dan mempermudah pemahaman
yang jelas mengenai seluruh isi penulisan hukum ini maka penulis sajikan
susunan sistematika skripsi sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Penarikan Kesimpulan
atau Verifikasi
Reduksi Data Penyajian Data
Pengumpulan
Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi hasil penelitian yang diperoleh peneliti dari lapangan
dan pembahasannya yang meliputi pelaksanaan fungsi Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dalam
pencatatan perkawinan beda agama, kendala dan solusinya dalam
pelaksanaan fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Wonogiri dalam pencatatan perkawinan beda agama.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang
menjadi obyek penelitian dan saran-saran yang ditujukan pada
pihak-pihak terkait dengan permasalahan pencatatan perkawinan
beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Perkawinan
a. Menurut Para Sarjana
Dalam hal ini akan dikemukakan pengertian perkawinan dari
para sarjana, yaitu :
1) Scholteen, mengemukakan perkawinan adalah :
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui
oleh Negara(Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin,
1975:14).
2) R.Subekti, mengemukakan perkawinan adalah :
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama (Soetojo
Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1975:14).
b. Menurut Peraturan Perundangan
1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini disatu pihak harus
dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang 1945, sedangkan dilain pihak harus
dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah
menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
Hukum Agama dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
a) Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b) Syarat-syarat perkawinan
Menurut Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan
dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan para pihak. Dengan perumusan
pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 ini maka berarti tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu sesuai
dengan UUD 1945. Hal ini, berlaku bagi golongan agama dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 (H Riduan Syahrani, 2004:63).
Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku oleh
lembaga yang berwenang yaitu Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama bagi pihak yang
beragama Islam.
Penelitian dan Pengumuman Pegawai pencatat yang
menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan
menurut undang-undang. Pemberitahuan tersebut dilakukan
secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang
tua atau wakilnya. Pemberitahuan itu, memuat nama, umur,
agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon
mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin maka disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (H
Ridwan Syahrani, 2004:76).
Setelah dipenuhi syarat-syarat pemberitahuan serta
tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang telah
ditetapkan oleh kantor pencatatan perkawinan pada suatu
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum
(Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai
pencatat dan memuat nama, umur, agama atau kepercayaan,
tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon
mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
sebelumnya maka disebutkan nama istri atau suaminya
terdahulu, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan
dilangsungkan. Pengumuman tersebut ialah untuk memberi
kesempatan kepada umum supaya mengetahui dan mengajukan
keberatan bagi pelaksanaan perkawinan apabila yang demikian
itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agama yang
bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan lainnya( H Riduan Syahrani, 2004:77).
Dalam tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman
yang dilakukan oleh pegawai pencatat tidak ada keberatan dari
pihak-pihak yang berkepentingan, maka pemberitahuan
kehendak
melangsungkan perkawinan dianggap memenuhi syarat-
syarat dan tidak ada halangan. Karena itu, pelaksanaan
perkawinan segera dapat dilakukan (H Riduan Syahrani,
2004:78).
Menurut kententuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dilangsungkan
setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatat. Tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama.
Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi (H Riduan Syahrani, 2004:79).
c) Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material (Sudikno Mertokusumo, 2001:62).
d) Sahnya perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dinyatakan bahwa sesuatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang
misalnya : kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat
keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan (Hilman Hadikusuma,2007:4).
e) Asas atau Prinsip dalam Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 ditentukan tentang asas-asas mengenai perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Adapun asas-asas atau prinsip dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini antara lain adalah sebagai
berikut :
(1) Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
(2) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami
istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara
calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih
rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan
laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu,
maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk
kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.
(3) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-
undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus
dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
(4) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami-istri.
Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri (Hilman
Hadikusuma, 2007:6).
2) Menurut Kompilasi Hukum Islam
a) Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah ( Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam ).
b) Tujuan Perkawinan
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk memenuhi ketentuan tersebut diatas, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan Hukum.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah
yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mnengenai
hal-hal yang berkenaan dengan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(2) Hilangnya Akta Nikah;
(3) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian;
(4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974;
Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah
ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak
yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
c) Rukun dan Syarat Perkawinan
(1) Rukun PerkawinanUntuk melaksanakan perkawinan
harus ada :
(a) Calon Suami;
(b) Calon Istri;
(c) Wali nikah;
(d) Dua orang saksi dan;
(e) Ijab dan Kabul.
(2) Syarat Perkawinan
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurangkurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon
mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6
ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita,
dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengantulisan,
lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti
selama tidak ada penolakan yang tegas.
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai
Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan
calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.Bila ternyata
perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat
dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna
wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Bagi calon suami dan calon istri yang akan
melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
3) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Pernikahan beda agama yang sudah dilegalkan oleh
Pengadilan Negeri, tidak berarti pasangan itu menikah di
Pengadilan Negeri. Wewenangnya hanya mengijinkan bukan
menikahkan pasangan beda agama, karena kapasitas pengadilan
bukan untuk keperluan tersebut. Bahwa faktor yang melegalkan
pasangan beda agama diantaranya, mengacu pada Pasal 35 huruf a
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Yang berbunyi, pencatatan perkawinan berlaku
pula perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam
penjelasan pasal ini disebutkan bahwa perkawinan yang ditetapkan
oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat
yang berbeda agama. Di samping itu, juga dimuat dalam Pasal 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun Pasal
28 B Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 (http//hukumonline.com, 30 Maret
2011, 15:15).
Selama ini, sebelum keluarnya Undang-Undang
Administrasi Kependudukan (Aminduk), pasangan beda agama
biasanya menikah di luar negeri untuk menghindari Undang-
Undang Perkawinan yang melarang pasangan beda agama
menikah. Tapi ada juga yang memakai cara penundukan sementara
pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai agama
laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
2. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama terdapat beberapa pendapat dari para
sarjana, yaitu :
a. Abdurrahman
Yang dimaksud dengan perkawinan antar agama adalah :
“Suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk
agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya.” (Abdurrahman dan H Riduan Syahrani, 1978:20)
Dari definisi di atas sangat jelas bahwa perkawinan tersebut
dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda agama. Didalam
Hukum Islam, terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda
agama yaitu menyatakan bahwa perkawinan beda agama dengan
golongan musyrik dilarang (haram). Pandangan kedua, dikenal adanya
perkawinan beda agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al-
Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh
mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya.
b. R. Soetojo Prawirohamidjojo.
Mengemukakan mengenai perkawinan antar agama adalah :
1) Pandangan agama Kristen Katholik dalam hal Perkawinan beda
agama antara penganut agama Islam dan penganut agama Kristen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adalah, bahwa gereja baik Katholik maupun Prostestan, tidak dapat
mengakui perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen
Katholik dengan akad nikah menurut Hukum Islam.
2) Pandangan agama Islam adalah bahwa seorang pria Islam boleh
mengawini wanita-wanita ahlul kitab (selain Islam) akan tetapi
tidak boleh sebaliknya, yaitu wanita Islam tidak boleh dikawini
oleh pria yang bukan Islam (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986:6).
Dalam pandangan ini dikenal adanya perkawinan beda
agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5
yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita
non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur masalah perkawinan beda agama tetapi secara tegas tidak
melarang pelaksanaan perkawinan bagi orang yang berbeda agama,
karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur masalah perkawinan beda agama sehingga dalam Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada definisi mengenai
perkawinan beda agama. “But what we have seen are Muslims: good Muslims
and bad Muslims; ugly Muslims and pretty Muslims; just Muslims and unjust
Muslims; Muslims who are oppressors, racists, bigots, misogynists, and criminals as
well as Muslims who are compassionate, liberators, seekers of an end to racism and
sexism and those who aspire for global justice and equity.” ( Revd Dr John
Azumah, Church & Society in Asia Today • Vol 13 No 2 • August
2010 )
Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara
disyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan
dilangsungkan. Keharusan pencatatan perkawinan merupakan syarat
formil atau syarat administrasi di banyak negara.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dinyatakan syarat sahnya perkawinan harus
berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Sehingga
perkawinan yang dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri
dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah di daftarkan di
lembaga pencatatan setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.
Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum
perkawinan kita juga mensyaratkan setiap warga negara Indonesia
yang melangsungkan perkawinan di luar negeri segera mendaftarkan
perkawinannya di lembaga pemerintah sekembalinya ke Indonesia.
Bila kita lihat Pasal 56 (1) UU Perkawinan dinyatakan
apabila terjadi perkawinan antar-warga negara Indonesia atau antar-
warga negara Indonesia dengan warga negara asing di mana
perkawinan tersebut dilangsungkan di luar negeri, maka perkawinan
tersebut dinyatakan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum
perkawinan negara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum perkawinan Indonesia. Kemudian berdasakan Pasal 56 (2) UU
Perkawinan menyatakan dalam waktu satu tahun setelah suami istri
tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Jadi, untuk dapat diakuinya suatu perkawinan warga negara
Indonesia di luar negeri, maka berdasarkan hukum perkawinan harus
memenuhi dua persyaratan terlebih dahulu yaitu;
1) perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum perkawinan negara
setempat dan perkawinan tersebut harus didaftarkan di lembaga
pencatatan untuk mendapat surat bukti perkawinan;
2) surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan ke Kantor
Pencatatan Perkawinan setempat selambat-lambatnya satu tahun
setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia.
Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka perkawinan
yang dilakukan oleh warga negara Indonesia tersebut adalah sah dan
sama kedudukannya dengan perkawinan yang dilakukan di wilayah
Indonesia. Sebaliknya, apabila kedua syarat tersebut tidak dipenuhi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
maka perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tidak diakui oleh
negara karena tidak sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku.
Dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya
tidak diatur secara jelas mengenai perkawinan beda agama.
Perkawinan antara mereka yang berbeda agama, harus memperhatikan
hukum agama masing-masing yang mengatur mungkin atau tidaknya
perkawinan tersebut dilangsungkan. Oleh karena itu, pola pengaturan
yang dilakukan oleh UU Perkawinan ialah menyerahkan kepada
hukum agama untuk menegakkan larangan perkawinan atau
menentukan kebolehan perkawinan tersebut, khususnya bagi mereka
yang berbeda agama. UU Perkawinan dalam hal ini cenderung untuk
menyerahkan pengaturannya pada hukum agama, bagaimana
menyikapi perkawinan antara mereka yang berbeda agama tersebut.
Namun demikian, UU Perkawinan secara implisit
mengaturnya, dan hal ini dapat terlihat dalam UU Perkawinan yang
mengatur hal yang berkaitan dengan perkawinan antara pasangan yang
berbeda agama, yaitu: Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan
yang menyatakan bahwa: "dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Berdasarkan pasal 8 Undang-undang Perkawinan mengenai
larangan perkawinan dimana dalam butir f pada pasal tersebut
dinyatakan sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang
yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin ( Grace Gunawan, 20 Juni 2011, 9:55 )
Adapun Syarat-Syarat melangsungkan perkawinan diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6
sampai dengan Pasal 7. Didalam ketentuan tersebut ditentukan dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
syarat untuk melangsungkan syarat-syarat Intern yaitu syarat yang
menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat
Intern itu antara lain perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai.
1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
2) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
4) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) dalam pasal ini.
5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan
istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai
pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak
berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan
hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.
Untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, perlu
ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Dengan berlakunya
Undang-Undang no 1 tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang
dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933
Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6).
Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam perlaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :
1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Nikah, Talak dan Rujuk;
2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang
memuat :
a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami
terdahulu;
b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan
(Sudikno Mertokusumo, 2001:62).
Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 telah terjadi Unifikasi di lapangan hukum perkawinan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 66
menyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang
ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesia 1933 Nomor 74), Peraturan
Perkawinan Campuran ( Regeling Op de Gemengde Huwelijken
Staatsblad 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Akan tetapi, Unifikasi ini tidak bertahan lama dikarenakan
pada tahun 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang
didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hukum
perkawinan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
menutup kemungkinan bagi terjadinya perkawinan beda agama di
kalangan penduduk negara Indonesia dan masalah perkawinan beda
agama ini dapat dijumpai pengaturannnya dalam bagian ketiga Bab
XII, Ketentuan-Ketentuan lain.
Dari perumusan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 57 telah dipersempit pengertian perkawinan beda agama
dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga
negara Republik Indonesia dengan agama yang berbeda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian
terhadap kedudukan hukum perkawinan diperlukan adanya bukti-bukti
autentik. Adapun bukti-bukti autentik perkawinan berupa Akta
perkawinan yang berhak mengeluarkan adalah Lembaga Catatan Sipil
menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (Victor M.Situmorang &
Cormentyna Sitanggang , 1991:9).
Munculnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, walaupun tujuan undang-undang ini baik bagi semua warga
negara mengenai sahnya suatu perkawinan menurut hukum Negara,
memberikan perlindungan bagi semua Warga Negara Indonesia (WNI)
memperoleh perlindungan melalui pencatatan perkawinannya sesuai
dengan agama yang dipeluk masing-masing warga negara.
Pencatatan Sipil merupakan proses pencatatan peristiwa
penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari
dokumen kependudukan meliputi : ( Prosedur dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, 2009 : 3 )
1) Biodata Penduduk
2) KK ( Kartu Keluarga )
3) KTP ( Kartu Tanda Penduduk )
4) Surat keterangan kependudukan
a) Surat Keterangan Pindah
b) Surat Keterangan Pindah Keluar Negeri
c) Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri
d) Surat Keterangan Tempat Tinggal
e) Surat KeteranganTinggal Sementara
f) Surat Keterangan Kelahiran
g) Surat Keterangan Lahir Mati
h) Surat Keterangan Kematian
i) Surat Keterangan Perkawinan
j) Surat Keterangan Perceraian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
k) Surat Keterangan Pengganti Tanpa Identitas
l) Surat Keterangan Pencatatan Sipil
5) Akta Pencatanan Sipil
Dari segi Hukum Administrasi Negara bahwa pengeluaran
akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara
dari suatu lembaga yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan
administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan
sipil dari peristiwaperistiwa yang dilaporkan pada lembaga catatan
sipil, yang pada prinsipnya memenuhi sifat kongkrit, individual,
formal dan final (Victor M. Situmorang & Cormentyna Sitanggang,
1991:13)
3. Pengertian Penetapan
Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh
seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt.Istilah
ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh
Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti
AM. Donner,H.D. van Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de
vader van het modern beschikkingsbegrip,”,(bapak dari konsep
beschikking modern ).( Ridwan, H.R. 2006: 150 )
Di Indonesia istilah Beshikking diperkenalkan pertama kali oleh
WF. Prins. Ada yang menerjemahkan istilah beshikking ini dengan
“ketetapan”, seperti E.Utercht, Bagir Manan, Sjachran Basah, dan lain lain
, dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins dan SF. Marbun, dan lain lain.
Meskipun penggunaaan istilah keputusan dianggap lebih tepat,
namun dalam buku Ridwan HR, akan digunakan istilah ketetapan dengan
pertimbangan untuk membedakan dengan penerjemahan “besluit”
(keputusan) yang sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai
keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan
perundang-undangan.
a. Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, Ketetapan
yaitu: suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang beraku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
b. Pasal 2 UU Administrasi Belanda (AwB) dan Pasal 1 angka 3 UU No.
5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang
perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN : Pernyataan
kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat,
pemerintah daerah, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau
kewenangan dari hukum tata Negara atau hukum administrasi, yang
dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran
hubungan hukum yang ada, atau menciptakan hubungan hukum baru,
yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan,
penghapusan, atau penciptaan.
Berdasarkan pengertian ketetapan di atas, ketetapan hanya bisa
di terbitkan oleh organ pemerintah berdasarkan pada kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang (asas legalitas). Tanpa dasar kewenangan
tersebut, pemerintah atau tata usaha Negara tidak dapat membuat dan
menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah. Organ
pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk mebuat ketetapan
tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Keputusan Administratif merupakan suatu pengertian yang
sangat umum dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk
keputusan-keputusan yang sangat berbeda. Namun demikian keputusan
administratif juga mengandung ciri-ciri yang sama, karena akhirnya dalam
teori hanya ada satu pengertian “Keputusan Administratif”. Adalah
penting untuk mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian
keputusan administratif, karena perlu untuk dapat mengenal dalam praktek
keputusan-keputusan/tindakan-tindakan tertentu sebagai keputusan
administrative. Dan hal itu diperlukan, karena hukum positif mengikatkan
akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan-keputusan tersebut, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
suatu penyelesaian hukum melalui hakim tertentu. Sifat norma hukum
keputusan adalah individual-konkrit. (Marbun,S.F. dan Moh.Mahfud MD,
1997:135 )
a) Definisi Ketetapan
Beberapa sarjana telah membuat definisi tentang ketetapan
yang agak berlainan satu dengan yang lain :
1) Menurut W.F. Prins dan Kosim Adi Sapoetra adalah susatu tindak
hukum sepihak di bidang pemerintahan dilakukan oleh alat
penguasa berdasarkan kewenangan khusus.
2) E.Utrecht menyatakan ketetapan adalah
suatu perbuatan berdasrkan hukum public yang bersegi satu, ialah
yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan sesuatu
kekuasaan istimewa.
3) Van Vollenhoven berpendapat bahwa
penetapan/keputusan yang bersifat legislative yang mempunyai arti
berlainan. (Utrecht E dan Moh. Saleh Djindang, 1990:94)
b) Unsur-Unsur Ketetapan
Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam
beshikking menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
1) Penetapan tersebut tertulis
2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3) Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.
4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Bersifat konkrit, individual dan final.
6) Menimbulkan akibat hukum
7) Bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986, ketetapan
memiliki definisi yang mengandung unsur-unsur dalam KTUN yaitu
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Penetapan Tertulis
Secara teoritis, hubungan hukum public senantiasa
bersegi satu (tindakan hukum administrasi adalah tindakan hukum
sepihak). Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda halnya
dengan hubungan hukum dalam bidang perdata yang selalu bersifat
dua pihak karena dalam hukum perdata disamping ada kesamaan
kedudukan juga ada asas otonomi berupa kebebasan pihak yang
bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum atau tidak serta
menentukan apa isi hubungan hukum itu. (Riduan
Syahrani.1985:44)
Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkret
dan pemerintah memiliki motivasi dan keinginan untuk
menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang
untuk mengambil tindakan hokum sepihak dalam bentuk ketetapan
yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam
bentuk tertulis.
2) Dikeluarkan oleh Pemerintah
Hampir semua organ kenegeraan dan pemerintahan
berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Tetapi
ketetapan yang dimaksudkan disini hanyalah ketetapan yang
dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi negara. Ketetapan
yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk
dalam pengertiann beschikking berdasarkan hukum administrasi.
(Ridwan, HR.2006:155)
3) Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku
Pembuatan dan penetapan ketetapan harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus
didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan.
4) Bersifat Konkret, Individual, dan Final
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(a) Ketetapan memiliki sifat norma hukum yang individual-
konkrit dari rangkaian norma hukum yang bersifat umum-
abstrak.
(b) KTUN bersifat Konkrit berarti objek yang diputuskan dalam
KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud,tertentu atau dapat
ditentukan. Dalam hal apa dan kepada siapa keputusan itu
dikeluarkan,harus secara jelas disebutkan dalam keputusan.
Atau dalam rumusan lain,objek dan subjek dalam keputusan
harus disebut secara tegas.
(c) KTUN bersifat individual artinya tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.
Kalau yang dituju lebih dari seorang,tiap-tiap nama orang
yang terkena disebutkan. Tindakan Tata Usaha dalam
menyatakan kehendaknya- dengan maksud terjadi perubahan
pada lapangan hukum publik yang bersifat umum,seharusnya
dituangkan dalam bentuk Peraturan (regeling).
(d) KTUN bersifat final berarti sudah definitif sehingga dapat
menimbukan akibat hukum. Ketetapan yang masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain
belum bersifat final sehingga belum dapat menimbulkan
suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.
(Ridwan, HR.2006:159-160)
5) Menimbulkan Akibat Hukum
Ketetapan merupakan wujud konkrit dari tindakan hukum
pemerintahan. Secara teoritis, tindakan hukum berarti tindakan-
tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat
hukum tertentu. Dengan demikian, tindakan hukum pemerintahan
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh organ
pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu
khususnya dibidang pemerintahan atau administrasi negara.
(Ridwan, HR.2006:160)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Seseorang atau Badan Hukum Perdata
Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.
Berdasarkan hukum keperdataan, seseorang atau badan hukum
yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada dalam
pengampuan atau perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat
dikualifikasi sebagai subjek hukum. Ketetapan sebagai wujud dari
tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan ditujukan
pada subjek hukum yang berupa seseorang atau badan hukum
perdata yang memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan
hukum. (Ridwan, HR.2006:162)
c. Macam-Macam Ketetapan
Dalam buku-buku hukum administrasi berbahasa Indonesia,
dapat dibaca beberapa pengelompokan keputusan. E.Utrecht
menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirjo
menyebutnya “penetapan”. Pengelompokkan tersebut antara lain oleh:
E.Utrecht dan Prajudi Atmosudirjo.
Pertama-tama disini diketengahkan dulu pengelompkkan
E.Utrecht membedakan keputusan atas:
1) Ketetapan Deklaratur dan ketetapan konstitutif
Ketetapan deklaratur yaitu keterangan yang tidak
mengubah hak dan kewajiban yang telah ada tetapi sekedar
menyatakan hak dan kewajiban tersebut. Ketetapan konstitutif
adalah membuat hukum. (Ridwan, HR.2006:163-164)
2) Ketetapan Enmalig (Kilat) dan Ketetapan yang Tetap
(Permanen)
Menurut W F Prins, ada empat macam ketetapan kilat:
(a) ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi ketetapan lama.
(b) Suatu ketetapan negatif.
(c) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan.
(d) Suatu pernyataan pelaksanaan.
3) Ketetapan Positif dan Negatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ketetapan positif menimbulkan hak atau kewajiban bagi
yang dikenai ketetapan. Sedangkan ketetapan negatif tidak
menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada.
Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak
berkuasa,pernyataan tidak diterima atau suatu penolakan.
(Ridwan, HR.2006:167)
Penetapan positif terdiri atas lima golongan yaitu:
(a) Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya.
(b) Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu
objek saja
(c) Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum
(d) Yang memberikan beban (kewajiban)
(e) Yang memberikan keuntungan. Penetapan yang memberikan
keuntungan adalah: dispensasi, izin, lisensi dan konsesi.
2) Ketetapan Deklaratur dan ketetapan konstitutif
Ketetapan deklaratur hanya menyatakan bahwa
hukumnya demikian. Ketetapan konstitutif adalah membuat
hukum.
4) Dispensasi, izin, Lisensi dan konsesi
Prof. van der Pot mengadakan pembagian dalam tiga
pengertian : dispensasi-izin-konsesi. Yang dimaksud dengan
“dispensasi” adalah keputusan administrasi negara yang
membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang
menolak perbuatan itu.
Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang
suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asalsaja
diadakan secara yang ditentukan masing-masing hal konkrit maka
keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin (vergunning).
Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa
suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diadakan oleh suatu subjek hukum partikelir, tetapi dengan turut
campur dari pihak pemerintah. Suatu keputusan administrasi
negara yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan
perbuatan tersebut, membuat suatu konsensi ( concessive).
Sedangkan Prajudi Atmosudirdjo membedakan dua
macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan
penetapan positif (permintaan dikabulkan). Penetapan negatif
hanya berlaku satu kali saja, sehingga permintaannya boleh
diulangi lagi.
d. Syarat-Syarat Pembuatan Ketetapan
Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan
ketetapan ini mencakup syarat-syarat material dan syarat formal.
1) Syarat Material terdiri dari:
(a) Organ Pemerintahan yang membuat ketetapan harus
berwenang.
(b) Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan
yuridis.
(c) Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tetrtentu.
(d) Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar
peraturan lainnya, serta isi dan tujuannya harus sesuai dengan
isi dan tujuan peraturan dasarnya.
2) Syarat Formil terdiri dari:
(a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya
ketetapan harus dipenuhi.
(b) Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya ketetapan itu.
(c) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu
harus dipenuhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(d) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu
harus diperhatikan. (Ridwan, HR.2006:169-170)
Keputusan dan ketetapan merupakan fenomena kenegaraan dan
pemerintahan. Hampir semua organ pemerintahan berwenang untuk
mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Dalam praktik kita mengenal
ketetapan atau keputusan yang di keluarkan oleh organ-organ
kenegaraan seperti ketetapan atau keputusan MPR, keputusan Ketua
DPR, keputusan presiden atau kepala Negara, keputusan hakim
(rechtterlijke beschikking), dan sebagainya. Meskipun demikian,
ketetapan atau keputusan yang dimaksud dalam tulisan ini hanyalah
ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi
Negara(wilayah eksekutif). Ketetapan oleh organ-organ kenegaraan
tidak termasuk dalam pengertian ketetapan(beschikking) berdasarkan
hukum administrasi.
Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau
ketetapan tata usaha Negara (KTUN) harus memperhatikan beberapa
persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut
hukum(rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk
dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat
materiil dan syarat formil. Ketetapan yang telah memenuhi syarat
materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut hukum
dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.
B. Kerangka Pemikiran
Negara Republik Indonesia yang berbentuk kepulauan ini,
menciptakan Bangsa Indonesia yang sangat heterogen dan terdiri dari berbagai
suku, ras dan agama yang membutuhkan interaksi antara anggota masyarakat
yang satu dengan masyarakat lainnya, sehingga dari interaksi tersebut
bukanlah suatu hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar suku, antar ras
dan bahkan perkawinan beda agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Adanya kemajuan teknologi modern dalam abad informasi dewasa ini,
telah mendorong banyaknya perubahan di berbagai bidang kehidupan dan
membawa kesempatan yang lebih besar terjadinya interaksi antar anggota
masyarakat dari luar golongannya. Hal tersebut, sedikit atau banyak ikut
menjadi pendorong dan melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama.
Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan
hukum, maka dalam hal ini perkawinan diatur dalam Pancasila dan Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Pancasila, dimana sila
yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkaitan dianggap
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi
juga unsur batin atau rohani. Sedangkan, dalam Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku nasional sejak tanggal 2 Januari 1974,
apabila diteliti pasal demi pasal dan penjelasan Undang-Undang tersebut serta
peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka
tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas masalah perkawinan
beda agama.
Kedudukan hukum perkawinan beda agama diatur menurut hokum
agamanya masing-masing. Dalam hukum agama Islam perkawinan antar
orang yang berbeda agama tidak dibolehkan. Dalam pelaksanaan perkawinan
tersebut dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing. Pelaksanaan
perkawinan ini mengalami kendala-kendala yang tidak terlalu memberatkan
apalagi sampai membatalkan pelaksanaan perkawinan tersebut.
Adapun kerangka pemikiran dari penulisan hukum (skripsi) ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
PP No 12 Th 2010
UU No.23 Th. 2006
UU No. 1 Th. 1974
Perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa Bangsa
Indonesia yang sangat heterogen tersebut mempunyai peranan penting dalam
terjadinya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama seringkali
menimbulkan permasalahan dalam hal kedudukan hukum perkawinannya.
Kedudukan hukum perkawinan disini, diatur oleh masing-masing agama
yang dianut oleh kedua mempelai. Dimana, dari keenam agama yang diakui di
Indonesia yaitu Islam, Katholik, Kristen, Hindu,Budha, aliran kepercayaan hanya
agama Kristen Katholik-lah yang memperbolehkan adanya perkawinan berbeda
agama diantara umatnya dengan cara dispensasi dari gereja masing-masing dan
janji untuk tetap teguh dalam ajaran agamanya.
Perkawinan Beda Agama
Penetapan Pengadilan Negeri
Pencatatan Perkawinan
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan dan
Penulisan pada Buku Register Perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Wonogiri
Keberadaan Catatan Sipil sejak penjajahan Belanda, yang telah
lama melembaga dengan sebutan ”Burgerlijk Stand”. Setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya istilah Burgerlijk Stand diubah
menjadi Catatan Sipil yang merupakan statu lembaga yang bertujuan
mengadakan pendaftaran, pencatatan, serta pembukuan yang selengkap-
lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang
sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran anak, pengakuan dan
pengesahan anak, perkawinan, perceraian juga kematian.
Pengalihan Lembaga Pemerintah Belanda tersebut didasarkan pada
Pasal 2 aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
segala badan negara dan Peraturan yang ada masih berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD 1945.
Pada mulanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten
Wonogiri berbentuk kantor yang bernama Kantor Catatan Sipil Wonogiri.
Kantor Catatan Sipil ini hanya membidangi satu tugas saja, yaitu tugas di
bidang Pencatatan Sipil.
a. Alur Pendaftaran Pernikahan Beda Agama di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri
Alur Pendaftaran Pernikahan Beda Agama di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri diatur dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 3 :
Alur Pelaksanaan Pencatan Pernikahan Beda Agama
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri
Melihat dari Alur Pendaftaran Pelaksanaan Pernikahan Beda Agama di
Dinas Kependdukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri Pemohon harus
melalui semua tahapan sebagai proses administrasi kelengkapan persyaratan
Pemohon Mengambil dan
Mengisi Formulir di
Loket Pelayanan
Membayar Retribusi
pada Kasir dan
Pemberian Nomor
Akta
Penelitian
Data, Konsep
Ketikan oleh
Petugas
Pencatatan Ke Dalam
Buku Register Dan
Penandatanganan
Buku register Oleh
Pemohon Para Saksi
Pemberian
Paraf
Kutipan akta
Oleh Kepala
Sub. Din
Penyerahan
Kutipan Akta
Kepada
pemohon
Penanda
Tanganan
Kutipan Akta
dan Buku
register oleh
kepala Dinas
Pengetikan
Kutipan Akta
Oleh Petugas
Penelitian Berkas
Persyaratan Oleh
Petugas dan
Pembubuhan Paraf
Menyerahkan
Formulir dan
Persyaratan Kepada
Petugas di Loket
Pelayanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
untuk memperoleh Kutipan Akta Perkawinan yang sebelumnya sudah
mendapatkan Penetapan dari Pengadilan Negeri Kabupaten Wonogiri.
2. Proses pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil
Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri
setelah berlakunya Pasal 35 huruf a Undang-Undang nomor 23 tahun
2006.
Hasil penelitian penulis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Wonogiri dan Pengadilan Negeri Wonogiri, ada tiga pasal yang
dapat dijadikan dalam menentukan sah atau tidaknya perkawinan antara
orang-orang yang berbeda agama yaitu :
a Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing- masing agama dan kepercayaannya”. Dengan Penjelasan ”Dengan
perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-
undang ini”
b Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan ”bahwa yang dimaksud dengan
Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” dengan penjelasan ”Yang
dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah
perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama”
c Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa “Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan
perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”.
Dari ketentuan 3 (tiga) pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa
disamping ada larangan-larangan yang disebutkan dalam Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1975, juga ada larangan-larangan yang bersumber
dari hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Oleh karena dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan
pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975, tidak terdapat adanya
larangan terhadap perkawinan berbeda agama, maka yang menentukan ada
atau tidaknya larangan terhadap perkawinan yang berbeda agama adalah
hukum agama dan kepercayaannya itu sendiri. ”Have referenced the Qur’an
and included some hadith in their justifications for of interfaith dialogue IFD
between Muslim and Christians, this defense has limited interaction with the
Islamic discourse of IFD. Ironically although declaring the ties between peace
and IFD, both political science and religious discourses of peace building
remain general with little examination of the Islamic legitimization of IFD
specifically in hostile or violent environments. Social, rather than religious,
considerations of potential obstacles to IFD in contexts of violence are
presented” ( Laura Elizabeth Provencher, 2010:9-10 )
Dari hasil wawancara penulis dengan Kepala Seksi Perkawinan dan
Perceraian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri,
Bapak Hariyanto, pada hari Jum’at, 10 Juni 2011 Jam 09.00 diperoleh contoh
kejadian perkawinan beda agama di wilayah Kabupaten Wonogiri.
Pada dasarnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten
Wonogiri yang bertugas untuk mencatat perkawinan hanya bersifat pasif
dalam arti tidak memberikan penolakan pencatatan perkawinan yang berbeda
agama akan tetapi memberikan saran agar para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan sebelumnya mengajukan permohonan ijin
perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri Wonogiri. Konsursium Catatan
Sipil selama ini menganut pandangan bahwa perkawinan tidak boleh dilarang
karena perbedaan asal usul, ras, agama atau keturunan. Pencatatan Perkawinan
itu dengan alasan pemohon perkawinan beda agama diwajibkan menyertakan
surat penetapan pengadilan terlebih dahulu, sebagaimana tersebut dalam
ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Juncto
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, perkawinan tersebut dapat dicatatkan setelah mendapat
penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri.
Para pihak yang mencatatkan perkawinan beda agama ke Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri sebelumnya harus ada
kesepakatan bahwa perkawinan tersebut harus dilangsungkan berdasarkan satu
agama, dalam hal ini penulis mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan
perkawinan beda agama pasangan calon suami-istri yang bernama : Nova
Andriyanto dan Monikasari, perkawinan mereka didasarkan pada agama
Kristen, karena mereka telah sepakat bahwa perkawinan antara Nova
Andriyanto dan Monikasari dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil adalah mencatat perkawinan yang beragama selain Islam. Pelaksanaan
perkawinan bagi mereka yang berbeda agama di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Wonogiri harus ada penundukan diri ke salah satu ketentuan hukum
agama pihak yang lainnya dan mengenai kepastian hukum penundukan diri ke
salah satu hukum agama berdasarkan penetapan dari Pengadilan Negeri
Wonogiri.
Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama tidak
menimbulkan masalah yang pelik di Pengadilan Negeri Wonogiri, hal ini
dikarenakan dalam memberikan dispensasi perkawinan bagi mereka yang
berbeda agama mengaku, menyebutkan bahwa perbedaan agama, bangsa, atau
ras itu bukan merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan.
Kenyataan ini dengan terjadi dengan dikabulkannya permohonan dispensasi
perkawinan beda agama yang diajukan oleh pihak yang akan melangsungkan
perkawinan oleh Pengadilan Negeri Wonogiri dalam Nomor perkara
No.125/Pdt.P/ 2011/PN.Wng tanggal 18 Februari 2011.
Para pihak yang terlibat dalam permohonan dispensasi perkawinan
beda agama adalah :
Pihak mempelai laki- laki:
a. Nama mempelai : Nova Andriyanto
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri , 23 November 1982
Agama : Kristen
Pekerjaaan : PNS
Tempat Tinggal : Banaran Rt 1 RW 11, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri
b. Nama Ayah : Tukiman Rudiyanto
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 5 Mei 1952
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Banaran Rt 1 RW 11, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri
c. Nama Ibu : Sri Sulasmi
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 10 Maret 1956
Agama : Kristen
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Banaran Rt 1 RW 11, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri
Pihak mempelai wanita :
a. Nama mempelai : Monika Sari
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 4 Mei 1987
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jatirejo Rt 02 RW 12, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri.
b. Nama Ayah : Suratmoko
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 22 Juli 1959
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jatirejo Rt 02 RW 12, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri.
c. Nama Ibu : Enik Dwi Ismiyarti
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 29 Mei 1967
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jatirejo Rt 02 RW 12, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri.
Para Saksi :
a. Nama : Soekasno Hadi Soeprapto
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 2 Mei 1940
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Banaran Rt 3 RW 10, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri
b. Nama : Sartono
Tempat / Tanggal lahir : Wonogiri, 31 Januari 1953
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl Pahlawan no 15 jatirejo Kecamatan
Wonogiri, Kabupaten Wonogiri
Perkawinan beda agama antara calon mempelai Nova Andriyanto dan
Monika Sari agar sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku maka syarat-syarat dan tata cara perkawinan yang berlaku harus
dipenuhi. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
akan melangsungkan perkawinan diatur dalam Undang- Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
bahwa ”Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Perkawinan, pencatatan, perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan
pengadilan”.
Hal ini berarti dengan dikeluarkan Penetapan ijin menikah dari
Pengadilan Negeri Wonogiri, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
menindak lanjuti atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 bahwa Lembaga Kependudukan dan Catatan Sipil
yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Akta Perkawinan.
3. Keabsahan Akta Perkawinan
Dalam penerapannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 2
ayat 1 disampaikan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang
merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh
karena dengan mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak
dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada masing-masing
agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan
mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.
Akibat yang ditimbulkan dari adanya perkawinan beda agama tidak
memiliki dasar hukum yang kuat untuk menentukan keputusan dan penetapan
baik dalam hal harta benda, anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama
dan selanjutnya akan menyisakan permasalahan ketika ada sengketa dalam
penentuan waris. Hal ini terjadi karena setiap menentukan dan atau menetapkan
hal-hal yang berhubungan dengan akibat perkawinan selalu berhubungan dengan
sah tidaknya perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama secara jelas tidak
dapat dianggap sah karena tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan yang
dipersyaratkan dalam perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ketetapan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, juga akan melahirkan
prinsip praduga rechtmatig bahwa, setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh
pemerintah atau administrasi Negara dianggap sah menurut hukum. Asas praduga
rechmatig ini membawa konsekuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan
oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada
pembatalan(vernietiging) dari pengadilan. Disamping itu dalam asas-asas umum
pemerintahan yang layak (AAUPL) mengenai asas kepastian hukum juga
berkehendak sama dengan prinsip praduga rechtmatig, bahwa dalam banyak
keadaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik
kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan.
Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah.
Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah
tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses
pengadilan.
Meskipun diasumsikan bahwa setiap ketetapan yang telah dikeluarkan
dianggap sah menurut hukum, didalam praktiknya hampir semua surat ketetapan
memiliki klausula pengaman yang pada umumnya berbunyi: apabila dikemudian
hari terdapat kekeliruan atau kekurangan maka surat keputusan ini dapat ditinjau
kembali,. Rumusan klausula seperti ini disatu sisi bertentangan dengan asas
kepastian hukum dan disisi lain, bertentangan dengan prinsip praduga rechmatig.
Dengan kata lain klausula pengaman itu merupakan suatu hal yang keliru sebab
dapat menggoyahkan sendi-sendi kepastian hukum
Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Wonogiri, hanya
bersifat dispensasi untuk melakukan perkawinan. Didalam isi penetapannya
bahwa masing-masing para pihak yang melaksanakan perkawinan beda agama
tersebut mengesampingkan agamanya, berarti disini para pihak tidak memenuhi
syarat materiel dari
Dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, bahwa ”Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan, perkawinan dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
setelah adanya penetapan pengadilan”. Hal ini berarti dengan dikeluarkan
Penetapan ijin menikah dari Pengadilan Negeri Wonogiri, maka Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil menindak lanjuti atas Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 bahwa Lembaga
Kependudukan dan Catatan Sipil yang mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan Akta Perkawinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah menguraikan dan membahas beberapa hal pada bab-bab
sebelumnya, maka dalam bab IV ini penulis akan menyampaikan kesimpulan dan
saran.
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Pelaksanaan Pernikahan Beda Agama di Kabupaten Wonogiri ini harus
melalui tahap permohonan ijin ke Pengadilan Negeri Wonogiri yang
nantinya akan dikeluarkan Penetapan, kemudian berkas penetapan di bawa
ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri untuk
mencatat perkawinan beda agama tersebut. Pencatatan perkawinan
dilakukan oleh petugas pencatat sipil sebagai instansi pelaksana atau
UPTD instansi pelaksana yang mencatat pada register akta perkawinan
dan menerbitkan kutipan akta perkawinan untuk diberikan kepada masing-
masing suami istri tersebut. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak
boleh menolak untuk permohonan pencatatan perkawinan yang telah
memenuhi syarat formil dan syarat materiil perkawinan. Dasar
pertimbangannya, apabila calon mempelai berbeda agama maka petugas
pencatat perkawinan akan mengeluarkan Rekes (surat keterangan), untuk
selanjutnya agar mendapat Penetapan dari Pengadilan Negeri sesuai
dengan ketentuan pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan jucto pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1974 tentang
Administrasi Kependudukan.
2. Keabsahan atas akta perkawinan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2006 bahwa dalam Pencatatan, perkawinan dilakukan setelah
adanya penetapan Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan Akta Perkawinan adalah Dinas Kependudukan dan catatan
Sipil Kabupaten Wonogiri dan sah secara Hukum Nasional ( Negara
Kesatuan Republik Indonesia ).Dalam penerapannya Undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama
merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan
persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh
karena dengan mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada masing-
masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka
dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk
dipersatukan. Akibat yang ditimbulkan dari adanya perkawinan beda
agama tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menentukan
keputusan dan penetapan baik dalam hal harta benda, anak yang dihasilkan
dari perkawinan beda agama dan selanjutnya akan menyisakan
permasalahan ketika ada sengketa dalam penentuan waris. Hal ini terjadi
karena setiap menentukan dan atau menetapkan hal-hal yang berhubungan
dengan akibat perkawinan selalu berhubungan dengan sah tidaknya
perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama secara jelas tidak dapat
dianggap sah karena tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan yang
dipersyaratkan dalam perkawinan.
B. Saran
1. Demi adanya kepastian hukum dan terciptanya keadilan dalam
masyarakat, pemerintah harus segera mengadakan penyempurnaan
terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, agar
masalah perkawinan berbeda agama dapat teratasi. Diperlukan
pembentukan peraturan khusus yang mengatur tentang perkawinan beda
agama. Perlu adanya petunjuk pelaksanaan dari instansi-instansi yang
berwenang misalnya : Makamah Agung, Departemen Kehakiman,
Departemen Agama, dan Departemen Dalam Negeri tentang perkawinan
beda agama. Dengan adanya peraturan khusus atau petunjuk pelaksanaan,
tidak akan timbul lagi perbedaan penafsiran yang pada gilirannya dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menciptakan kepastian hukum tentang pelaksanaan perkawinan beda
agama.
2. Secara psikologis perkawinan beda agama dapat menimbulkan
pertentangan batin antara suami, istri dan anak-anaknya dalam kehidupan
rumah tangga dikemudian harinya, jadi sebelum, melakukan perkawinan
beda agama sebaiknya dipertimbangkan kembali secara matang
kemungkinan masalah-masalah yang akan ditimbulkan misalnya : masalah
cara mendidik anak-anak kelak, masalah status hukum bagi anak, dan
masalah pembagian harta warisan (hukum waris) serta perceraian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono.1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Grace Gunawan . Kapan Perkawinan Itu Dikatakan Sah. <http://hukum
online.co.id> ( 20 Juni 2011 pukul 09.55).
H. Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.
Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret Press.
J.C.T Simorangkir. 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Marbun,S.F. dan Moh.Mahfud MD, 1997, Peradilan Administrasi dan Upaya
Administratif di Indonesia, Yogyakarta, , Liberty .
Laura Elizabeth Provencher. 2010. A Critical Analysis Of The Islamic Discourse
Of Interfaith Dialogue. Department Of Near Eastern Studies The University
Of Arizona
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahn 1974 tentang perkawinan;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2010 tentang Pedoman
Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Dierbitkan Oleh Negara
Lain;
R. Soetojo Prawirohamijojo& Asis Safioedin. 1975. Hukum Orang dan Keluarga.
Bandung: Alumni.
R. Subekti & R. Tjitrosoedibjo. 1978. Kamus Hukum. Jakarta: Padnya Paramita.
Revd Dr John Azumah. 2010. Church & Society in Asia Today • Vol 13 No 2.
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Rafa Grafindo
Persada.
Soejono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Sudikno Mertokusumo. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis
(BW).Yogyakarta: Sinar Grafika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Susanto. Status Perkawinan Beda Agama. http://www.unair.ac.id. (21 Juni 2011
pukul 18.19).
Undang-Undang Dasar 1945, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
Utrecht ,E. dan Moh. Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, Jakarta, PT Ichtiar Baru,Anggota IKAPI.
_______ 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi). Jakarta:
Padnya Paramita.