83
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI NIM: 11160480000098 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M

PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN

ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI

NIM: 11160480000098

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 2: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

i

PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN

ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI

NIM: 11160480000098

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 3: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

ii

PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN

ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI

NIM: 11160480000098

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 101

Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H.

NUPN. 9920112862

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 4: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM

PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016” telah diujikan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 November 2020.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Januari 2021

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 101

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)

NIP. 19670203 201411 1 101

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (…………….)

NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)

NIP. 19670203 201411 1 101

4. Pembimbing II : Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H. (…………….)

NUPN. 9920112862

5. Penguji I : Dr. Abdul Halim, M.Ag. (…………….)

NIP. 19670608 199403 1 005

6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (…………….)

NIDN. 2021088601

Page 5: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Muhamad Guntar Hariyudi

NIM : 11160480000098

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Batu I/34, RT.007/RW.001, Kelurahan Pejaten Timur,

Kecamatan Pasar Minggu

E-Mail : [email protected]

No. Kontak : 0859-2120-0310

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Januari 2021

Muhamad Guntar Hariyudi

Page 6: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

v

ABSTRAK

MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI, NIM 11160480000098,

“PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN

ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan

Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”. Konsentrasi Hukum Bisnis,

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta 1441 H/2020 M.

Penelitian ini bertujuan agar orang memahami penyebab sulitnya pelaksanaan

eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia. Sedangkan Negara Indonesia

telah mengakui putusan arbitrase asing melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 1990 dengan pemberian kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

sebagai pelaksana eksekusi di lapangan. Dalam hal ini dilihat melalui Putusan

Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yuridis

normatif pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum primer

dan sekunder. Sumber hukum primer merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 1990. Adapun sumber hukum

sekunder merujuk kepada buku karya Cut Memi berjudul Arbitrase Komersial

Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan Pengadilan Negeri.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung

Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional

karena dianggap mengintervensi sistem hukum di Indonesia dan telah melanggar

ketertiban umum. Asas ketertiban umum yang dimaksud dalam hal ini adalah

pelanggaran hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia yang dapat

membahayakan kepentingan Indonesia dan melanggar kedaulatan Negara Republik

Indonesia.

Kata Kunci : Arbitrase Internasional/Asing, Asas Ketertiban Umum,

Eksekusi Lihat skripsi yang teknis

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

2. Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2016

Page 7: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

vi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang

tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi

Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai

akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti

dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PELAKSANAAN ASAS

KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN ARBITRASE

INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung

Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”.

Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah Swt

dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para

pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas

pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,

M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi

ini.

3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. dan Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy.,

M.H. Pembimbing Skripsi. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. Dosen

Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran

dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

vii

4. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-

buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.

5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Ir. Rudi Zainuddin dan Ibu Yulistiana S.E.

dan juga kepada adik peneliti Selina Juwita Putri dan Aqila Jelita Putri yang selalu

memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a,

bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga menyelesaikan

gelar sarjana ini.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang

setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini

dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, …………………..

Muhamad Guntar Hariyudi

NIM. 11160480000098

Page 9: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

viii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah …………........ 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………... 6

D. Metode Penelitian ………………………………………………... 7

E. Sistematika Pembahasan .………………………………………..10

BAB II TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN ARBITRASE

INTERNASIONAL

A. Kerangka Konseptual …………………………………………… 13

1. Pengertian Arbitrase Internasional ………………………….. 13

2. Perjanjian Arbitrase ………………………………………… 14

3. Asas-Asas Pelaksanaan Arbitrase Internasional ……………. 16

4. Pengaturan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di

Indonesia ……………………………………………………. 18

5. Pengertian Umum Asas Ketertiban Umum di Indonesia ……. 21

B. Kerangka Teori …………………………………………………. 24

1. Doktrin Competence-Competence …………………………… 24

2. Teori Kepastian Hukum ……………………………………... 25

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………… 27

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67 PK/Pdt.Sus-

Arbt/2016

A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Arbitrase Internasional

…………………………………………………………………... 30

1. Duduk Masalah Sengketa …………………………………… 30

Page 10: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

ix

2. Putusan Arbitrase Internasional …………………………….. 35

B. Penetapan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat ……………………………………………………. 36

1. Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) … 36

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010 ……... 37

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

………………………………………………………………. 38

4. Putusah Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung …. 38

BAB IV KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM

PENETAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI

INDONESIA

A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional/Asing dalam Putusan

Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 …………. 41

1. Bertentangan dengan Asas Ketertiban Umum ……………… 41

2. Tidak adanya Itikad Baik Para Pihak ……………………….. 51

B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-

Arbt/2016 ……………………………………………………….. 56

1. Pertimbangan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ......... 56

2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Tingkat Kasasi

………………………………………………………………. 59

3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan

Kembali ……………………………………………………... 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………... 67

B. Rekomendasi …………………………………………………… 68

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 69

Page 11: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan globalisasi yang pesat saat ini telah membawa percepatan

dalam dunia bisnis. Perkembangan tersebut mendorong Negara Indonesia dalam

melakukan interaksi dengan pihak luar atau negara lain. Dalam menjalankan

hubungan bisnisnya dengan negara lain tentunya Negara Indonesia tidak terlepas

dari sebuah perjanjian internasional.

Perjanjian internasional menurut Boer Muana adalah instrumen yuridis yang

menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional

lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana pembuatannya diatur oleh

hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat bagi para

pihak yang membuatnya.1 Dalam sebuah perjanjian internasional biasanya para

pihak melakukan langkah antisipatif dengan memilih forum (choice of forum)

dan/atau menyelesaikan masalah tersebut baik secara litigasi maupun non litigasi.

Secara konvensional, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi adalah

penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di dalam pengadilan, dalam proses litigasi

menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain.2 Sedangkan,

penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa

di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

peniliaian ahli.

1 Boer Muana, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, (Bandung: PT. Alumni, 2008), h. 82.

2 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor:

Ghalias Indonesia, 2004), h. 2.

Page 12: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

2

Dalam penyelesaian sengketa para pelaku bisnis lebih memilih

menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan jalur non litigasi karena beberapa

alasan yang diantaranya, sifatnya yang tertutup, dan cepatnya waktu penyelesaian

sengketa. Sehingga untuk menanggapi hal tersebut diperlukan sebuah alternatif

penyelesaian sengketa yang lebih efisien, efektif, dan cepat dalam menghadapi

cepatnya perkembangan perdagangan seperti penyelesaian non-litigasi melalui

arbitrase.

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan

pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase,

baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional,

demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanen maupun sementara

(adhoc). Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan arbitrase

adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.

Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa khususnya oleh pihak

asing karena. Pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem tata

hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan

setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat usur

asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan

negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala

internasional. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa

melalui jalur formal lembaga peradilan memakan waktu yang lama.3

3 Erman Rajagukguk, “Keputusan Arbitrase Asing mulai dapat dilaksanakan di Indonesia”,

Suara Pembaharuan, 7 Juni 1990, h. 11, sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, Arbitrase,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 4.

Page 13: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

3

Dalam perjanjian perdagangan internasional klausul arbitrase internasional

menjadi hal yang biasa dalam aktivitas bisnis. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal

1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa bahwa Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa

klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para

pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa. Dalam penyelesaian sengketanya para pihak dapat

menyelesaikannya melalui lembaga arbitrase internasional seperti Singapore

Internasional Arbitration Center (SIAC), London Court of International Arbitration

(LCIA), International Chamber of Commerce (ICC), dan lain-lain. Pemerintah

Indonesia menanggapi hal tersebut dengan meratifikasi Konvensi New York 1958

tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri yang disahkan

dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang mengesahkan Convention on the

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.

Namun bukan berarti dalam pelaksanaannya putusan arbitrase internasional

berjalan mudah tanpa adanya halangan. Karena apabila Putusan Arbitrase

Internasional tidak mendapatkan/ditolak oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai

kewenangan pelaksanaan putusan tersebut, maka putusan tersebut tidak memiliki

kekuatan eksekusi. Adapun syarat putusan arbitrase internasional yang dapat

dilakukan eksekusinya di Indonesia diatur pertama kali di dalam Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia yang kemudian dituangkan di

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Syarat-syarat tersebut sebagaimana Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diantaralain seperti asas

resiprositas, dan asas ketertiban umum. Sampai saat ini asas ketertiban umum belum

memiliki sebuah batasan tentang apa yang disebut dengan ketertiban umum, hal ini

Page 14: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

4

kemudian dapat mengenyampingkan putusan arbitrase internasional. Karena di

dalam perjanjian arbitrase internasional para pihak memiliki kehendak yang berbeda

sebab para pihak berasal dari negara yang berbeda, serta sistem hukum yang

berbeda. Hal inilah yang kemudian membuat ketertiban umum menimbulkan

ketidakpastian hukum untuk pihak asing. Karena dalam praktiknya ketertiban umum

menjadi hak diskresi hakim di indonesia dalam memutus sebuah perkara.

Dalam hal ini penerapan Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dilihat pada kasus PT. Astro

Nusantara Internasional BV, dkk melawan PT Ayunda Prima Mitra, dkk (Putusan

Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016), yang dinyatakan oleh PN

Jakarta Pusat mendapatkan penetapan non exequatur (ditolak) karena bertentangan

dengan asas ketertiban umum yang diperkuat pada Putusan Mahkamah Agung

dalam tingkat Kasasi.

Berdasarkan hal di atas dapat dinilai asas ketertiban umum di indonesia

menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional

yang menimbulkan ketidak pastian hukum bagi pihak yang mengajukan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional di indonesia. Ketidakpastian tersebut

timbul karena ketertiban umum dapat diketahui batasannya melalui putusan hakim.

Penolakan putusan arbitrase di Indonesia ini justru akan menghambat masuknya

investor asing untuk berinvestasi di Indonesia yang akan berdampak pada

perekonomian Negara Indonesia. Sedangkan sebagai suatu negara yang masih akan

terus melakukan pembangunan, tentunya saat ini Negara Indonesia membutuhkan

banyak dana dan dukungan dari pihak lain atau negara lain.4

4 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari: Reglement Acara Perdata (Rv), Peraturan

Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNICITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan

PERMA No. 1 Tahun 1990, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 4.

Page 15: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

5

Berdasarkan latar belakang uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji

dan membahas permasalahan tersebut yang dituangkan dalam bentuk penulisan

skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM

DALAM PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa masalah yang dapat

diidentifikasikan yang terkait dengan tema yang diteliti, antara lain:

a. Pengaruh pemilihan dasar hukum dalam penyelesaian arbitrase internasional

terhadap eksekusi putusan arbitrase internasional/asing.

b. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam menolak pelaksanaan putusan

arbitrase internasional/asing.

c. Pembatalan putusan arbitrase internasional/asing oleh pengadilan negeri di

Indonesia.

d. Multitafsir definisi asas ketertiban umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase

internasional/asing di Indonesia.

e. Pertimbangan pelanggaran ketertiban umum dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak

meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya

lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Disini peneliti hanya akan

membahas terkait persyaratan penetapan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional/asing yakni asas ketertiban umum dari segi normatif serta

Page 16: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

6

peanfsiran hakim dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di

Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Masalah utama dari penelitian ini adalah adanya penolakan penetapan

putusan arbitrase internasional yang sering terjadi karena pertimbangan

melanggar ketertiban umum oleh hakim. Seperti didalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 sedangkan didalam kasus yang serupa

mendapatkan penetapan exequatur (diterima) oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Daft. No. 125/2011 Eks.Jo.No. SIAC ARB 102/10/MXM.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah yang

diangkat adalah kepastian hukum dalam asas ketertiban umum dalam

pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia menurut Pasal 66 huruf

c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti

membahas rumusan masalah yang dituangkan dalam dua pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan asas ketertiban umum dalam penetapan putusan

arbitrase asing di Indonesia?

b. Bagaimana penafsiran tentang ketertiban umum dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab seluruh pertanyaan masalah di atas, maka tujuan

penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Page 17: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

7

a. Untuk mengetahui dan menganalisa kepastian hukum pada asas ketertiban

hukum yang berlaku di Indonesia dalam pelaksanaan putusan arbitrase

internasional di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pertimbangan dan peanfsiran hakim mengenai asas

ketertiban umum di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya maupun dalam

bidang hukum alternatif penyelesaian sengketa pada khususnya dengan

mempelajari literatur hukum yang ada serta perkembangan hukum yang

timbul di tengah-tengah masyarakat.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat

agar masyarakat memiliki pengetahuan lebih terkait dengan ketertiban

umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

2) Bagi Peneliti

Merupakan upaya pengembangan pengetahuan hukum alternatif

penyelesaian sengketa khususnya pelaksanaan putusan arbitrase

internasional di Indonesia melalui pertimbangan asas ketertiban umum

oleh hakim.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, digunakan metode pengumpulan

data sebagai berikut:

Page 18: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

8

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dikategorikan sebagai penelitian yang

bersifat Normatif Yurdis. Penelitian Normatif atau biasa disebut Dogmatika

Hukum adalah cara kerjanya sebuah ilmu, artinya apa dan bagaimana metodenya,

akan ditentukan oleh apa yang dicari oleh ilmu itu, atau dengan kata lain apa visi

dan misi dari ilmu yang bersangkutan, dan terkait padanya apa yang menjadi

persoalan pokok atau persoalan inti dalam ilmu tersebut.5 Pada penelitian hukum

jenis ini, hukum dikonsepkan seabagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan atau putusan pengadilan maupun sumber hukum lainnya

yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas.6

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah

pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach).7 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-

aturan yang berkaitan dengan Penetepan Putusan Arbitrase Internasional antara

PT. Astro Nusantara Internasional B.V. dengan PT. Ayunda Prima Mitra, yakni

Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

3. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama, yaitu bahan-bahan hukum seperti norma, peraturan dasar, peraturan

5 Bernard Arif Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan

Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2009), h. 142. 6 Amiruddin dan Zainal Arifin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004), h.13. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h. 136.

Page 19: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

9

perundang-undangan, hukum adat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer

yang digunakan terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

3) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitration

Awards (Konvensi New York Tahun 1958).

4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

5) Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC

Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) Tanggal 07 Mei 2009.

6) Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010.

7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian lainnya yang berwujud laporan, yaitu

bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

rancangan perundang-undangan, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi

kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk

mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan

Page 20: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

10

ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan peraturan perundang-undangan

di berbagai perpustakaan umum dan universitas.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari suatu analisis,

klasifikasi, disimpulkan lalu di intepretasi. Penelitian ini melakukan pengolahan

bahan hukum dengan menginterpretasi apa yang tertulis dalam literatur dan

sumber tertulis lainnya.

6. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang bersifat deskriptif

kualitatif yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang

bersifat khusus dan berdasarkan kepada data yang bersifat umum. Dan karenanya

penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statutory approach)

maka dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan pada penelitian ini digunakan dengan

melakukan pola pikir deduktif. Pola piker deduktif adalah pola pikir yang

menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum

mengenai topik penelitian.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab yang

digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti dari permasalahan yang

diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar Belakang,

Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Page 21: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

11

Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan

Sistematika Penelitian.

BAB II : TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PUTUSAN

ARBITRASE INTERNASIONAL

Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan

konsep dasar dan kerangka teori serta kerangka konseptual

mengenai tinjauan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional. Pada bab ini juga dibahas tinjauan kajian

terdahulu yang relevan dengan tema penelitian dengan

menganalisi persamaan dan perbedaan studi-studi terdahulu.

BAB III : PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67

PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

Bab ini berisikan data penelitian yang merupakan data yang

berkenaan dengan objek yang diteliti yaitu urgensi terhadap

penafsiran asas ketertiban umum di Indonesia. Data yang

dimaksud adalah penetapan putusan arbitrase internasional

oleh pengadilan negeri Jakarta pusat dan Putusan Mahakamah

Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

BAB IV : KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM

DALAM PENETAPAN PUTUSAN ARBITRASE

INTERNASIONAL DI INDONESIA

Bab ini merupakan analisis permasalahan yang akan

membahas dan menjawab permasalahan pada penelitian ini

diantaranya mengenai kepastian hukum dalam asas ketertiban

Page 22: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

12

umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di

Indonesia.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang

kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil

penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah

diterapkan dan pertanyaan penelitian yang akan lahir setelah

pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.

Page 23: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

13

BAB II

TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN ARBITRASE INTERNASIONAL

A. Kerangka Konseptual

1. Pengertian Arbitrase Internasional

Istilah arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan

untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1 Definisi arbitrase diatur

di dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan bahwa

pengertian yuridis dari Arbitrase, yakni “Arbitrase adalah cara penyelesaian

suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Dalam

pelaksanaannya Arbitrase dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni Arbitrase Nasional

dan Arbitrase Internasional.

Dalam menentukan perbedaan dari Arbitrase Nasional dan Arbitrase

Internasional dapat dilihat pada ketentuan Pasal I Konvensi New York 1958

(Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards),

yakni

“This Convention shall apply to the recognition and enforcement of

arbitral awards made in the territory of a State other than the State where the

recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out of

differences between persons, whether physical or legal. It shall also apply to

arbitral awards not considered as domestic awards in the State where their

recognition and enforcement are sought.”

Dari Pasal tersebut dapat diartikan bahwa Arbitrase Nasional adalah

setiap putusan yang diambil di dalam wilayah Republik Indonesia merupakan

Arbitrase Nasional. Suatu arbitrase dianggap “Internasional” apabila para pihak

pada saat dibuatnya perjanjian, yang bersangkutan mempunyai tempat usaha

1 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 36.

Page 24: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

14

mereka (place of business) di negara-negara yang berbeda.2 Dapat disimpulkan

bahwa perbedaan yang terletak antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase

Internasional terletak pada faktor wilayah (territory). Setiap putusan arbitrase

yang diambil di luar wilayah Repuplik Indonesia otomatis diklasifikasi putusan

arbitrase asing.3

Jika di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur di dalam

PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada

PERMA Nomor 1 Tahun 1990 mengenal istilah Putusan Arbitrase Asing,

sedangkan pada Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa menggunakan istilah Putusan Arbitrase Internasional.

Namun walaupun menggunakan istilah yang berbeda, keduanya memiliki

pengertian yang sama yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga

arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau

putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan

hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase

Internasional/Asing.

2. Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam

perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga

bergantung pada ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian arbitrase

2 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia,

(Bandung: PT Eresco, 1989), h. 3. 3 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan

Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,

PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 298.

Page 25: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

15

tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya

mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan

perselisihan yang terjadi antara para pihak yang berjanji.4

Perjanjian arbitrase yang biasa disebut dengan klausula arbitrase

merupakan tambahan yang diletakan pada perjanjian pokok sehingga disebut

sebagai perjanjian aksesori. Sifatnya yang hanya sebagai perjanjian tambahan

dari perjanjian pokok membuat klasula arbitrase tidak berpengaruh terhadap

pemenuhan perjanjian pokok. Artinya dalam hal perjanjian pokok tersebut

berakhir atau batal, maka klausula atau pasal mengenai arbitrase tidak menjadi

serta-merta batal.

Di dalam Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dikenal 2 (dua) bentuk perjanjian arbitrase, yaitu pactum

de compromittendo dan akta kompromis yang penjelasannya adalah sebagai

berikut.

a. Pactum de Compromittendo

Bentuk klausul ini diatur dalam pasal 2 Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam klausula

arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat

kesepakatan akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui

forum arbitrase.5 Dalam pembuatan perjanjian ini para pihak belum

dihadapkan dengan sengketa yang akan diselesaikan. Dapat dikatakan bahwa

klausula arbitrase ini dibuat untuk mengantisipasi permasalahan atau

persengketaan yang akan muncul dikemudian hari.

b. Akta Kompromis

4 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,

(Jakarta: Kencana, 2015), h. 99. 5 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, …. h.

107.

Page 26: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

16

Berbeda dengan bentuk pactum de compromittendo, akta kompromis

diatur dalam Pasal 9 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari Pasal 9 tersebut diketahui bahwa akta

kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbul perselisihan

antara para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan

persetujuan arbitrase.6

3. Asas-Asas Pelaksanaan Arbitrase Internasional

a. Asas Personalitas

Pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing pada dasarnya

ditentukan oleh negara yang menjadi tempat pelaksaan putusan arbitrase

tersebut. Hal ini dapat dibenarkan jika dilihat dati segi Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 1981 dan Pasal III Konvensi New York 1958 yang di

dalamnya tersirat adanya asas ius sanguiis atau “asas personalitas” yang

menentukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional/asing

dijalankan menurut tata cara hukum acara yang berlaku di negara dimana

eksekusi dimohon.7

b. Asas Executorial Kracht

Putusan arbitrase internasional/asing dianggap memiliki kekuatan

hukum yang tetap. Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 1990 jo. Pasal 68 ayat (1)

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, dengan tegas mengakui bahwa setiap putusan arbitrase yang

diajukan permintaan pengakuan dan eksekusinya di Indonesia dianggap

sebagai putusan arbitrase internasional/asing yang berkekuatan hukum tetap.

Berarti setiap putusan arbitrase internasioanal/asing yang diajukan permintaan

6 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 40. 7 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional, …. h. 75.

Page 27: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

17

eksekusinya di Indonesia harus diakui keabsahaanya (recognize), dan harus

dijalankan eksekusinya (enforcement).8

c. Asas Resiprositas

Asas resiprositas pada dasarnya merupakan prinsip saling harga-

menghargai dalam hubungan antar negara. Di dalam Pasal 3 ayat (1) Perma

Nomor 1 Tahun 1990 dijelaskan bahwa syarat putusan arbitrase asing dapat

dilaksanakan di Indonesia adalah putusan yang dijatuhkan oleh Badan

Arbitrase atau Arbiter perorangan di suatu Negara yang bersama dengan

Negara Indonesia terikat dalam sebuah konvensi internasional atau perjanjian

bilateral maupun multilateral.

d. Asas Pembatasan

Dalam pengakuan dan pelaksanaannya hanya meliputi bidang

persengketaan hukum tertentu, seperti Negara Indonesia yang hanya terbatas

dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Asas pembatasan ini juga tercermin

di dalam Pasal 66 huruf (b) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa arbitrase

internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia

termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Batasan mengenai yang

dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan,” yaitu kegiatan-

kegiatan antara lain bidang, perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman

modal, industri, hak kekayaan intelektual.9

e. Asas Ketertiban Umum atau Public Order

Asas ketertiban umum atau public order merupakan pegangan utama

di setiap negara termasuk dalam pelaksanaan putusan arbitrase

8 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan

Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,

PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 34. 9 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, …. h.

107.

Page 28: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

18

internasional/asing yang dilaksanakan di Indonesia. Di dalam sebuah negara

arti dari ketertiban umum sendiri memiliki makna yang berbeda. Secara

umum, batasan pengertian mengenai definisi dari ketertiban umum adalah

sesuatu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum pada suatu

lingkungan (negara), apabila di dalamnya terkandung sesuatu hal atau

keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem

hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.10

4. Pengaturan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

a. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan

dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesai pada tanggal 5 Agustus

1981 melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan aksesinya di daftar

di Sekretaris Jendral PBB pada tanggal 7 Oktober 1981.11 Dalam menentukan

suatu putusan arbitrase asing dapat atau tidak dapat dilaksanakan di Indonesia,

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pertimbangan yang

merujuk kepada syarat-syarat yang diatur pada Pasal 3 Peraturan ini. Secara

umum, pasal ini merupakan guide lines dalam peraturan ini untuk

melaksanakan putusan arbitrase asing.12 Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Putusan itu dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter

perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun

bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi

internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Pelaksanaannya didasarkan atas dasar asas timbal balik (resiprositas).

10 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan

Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,

PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 39. 11 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002),

h. 119. 12 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, …. h. 125.

Page 29: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

19

2) Putusan-putusan arbitrase asing diatas hanyalah terbatas pada putusan-

putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang

lingkup hukum dagang.

3) Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanya dapat dilaksanakan di

Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan

ketertiban umum.

4) Suatu putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia

setelah memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung RI.

Di dalam permohonannya untuk memperoleh exequatur pemohon

harus menyerahkan berkas-berkas seperti yang disebutkan pada Pasal 5 Ayat

(4) peraturan ini, yang diantaranya:

1) Asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi

tersebut sesuai dengan ketentuan perihal otentikasi dokumen-dokumen

asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang

berlaku di Indonesia.

2) Asli perjanjian atau turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan

Arbitrase Asing yang telah diotentikasi sesuai dengan ketentuan perihal

otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah resminya, sesuai

ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

3) Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara di mana

putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan, yang menyatakan bahwa

negara pemohon terikat secara bilateral dengan negara Indonesia ataupun

terikat secara bersama-sama dengan negara Indonesia dalam suatu

konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan

Arbitrase Asing.

b. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Menurut Undang-Undang

Nomot 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pengaturan tentang arbitrase internasional di Indonesia terdapat pada

Pasal 65 hingga Pasal 69 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

Page 30: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

20

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disebutkan bahwa putusan arbitrase

internasional tersebut hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum

Republik Indonesia jika putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis arbitrase

Indonesia terkait dengan perjanjian bilateral dan/atau perjanjian multilateral

tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.13 Putusan

arbitrase internasional harus didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase

internasional, kecuali putusan arbitrase internasional yang menyangkut

kepentingan dan/atau Negara Republik Indonesia sebagai subjek perkara

maka Mahkamah agung yang mempunyai kewenangan tersebut.

Berdasarkan Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase

internasional dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Republik

Indonesia, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada

perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan

dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

2) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a

terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk

dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

3) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a

hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak

bertentangan dengan ketertiban umum.

4) Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negerti Jakarta Pusat.

13 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 72.

Page 31: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

21

5. Pengertian Umum Asas Ketertiban Umum di Indonesia

Asas ketertiban umum merupakan salah satu asas yang harus diperhatikan

dan sangat penting khususnya dalam ruang lingkup hukum perdata internasional.

Asas ini dikenal dalam setiap sistem hukum, baik common law maupun civil law.

Dalam sistem hukum common law asas ketertiban umum dikenal dengan istilah

public policy, sedangkan dalam sistem hukum civil law dikenal dengan istilah

ordre public, salah satunya di Perancis. Disamping itu masih banyak istilah lain

tentang asas ketertiban umum seperti dalam Bahasa Belanda openbare orde,

vorbehaltklausel dalam Bahasa Jerman, ordine publico dalam Bahasa Itali dan

orden publico dalam Bahasa Spayol.14

Black’s Law Dictionary mendefinisikan asas ketertiban umum sebagai

berikut:

Broadly, principles and standards regarded by the legislature or by the

courts as being of fundamental concern to the state and the whole society.

Courts sometimes use the term to justify their decisions, as when

declaring a contract void because it is “contrary to public policy” also

termed policy of the law.

Definisi tersebut mencoba menjelaskan bahwa asas ketertiban umum awalnya

merupakan asas yang dikenal dalam ruang lingkup hukum perjanjian atau hukum

kontrak. Asas ketertiban umum menjadi batasan dalam berlakunya asas

kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang telah dianut oleh setiap sistem

hukum baik common law maupun civil law.15

Ketertiban umum juga dibagi menjadi dua yakni; a.) ketertiban umum intern

adalah ketentuan-ketentuan yang hanya membatasi perseorangan; sedangkan b.)

14 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku IV, (Bandung: Penerbit

Alumni, 1989), h. 3. 15 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),

h. 41.

Page 32: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

22

ketertiban umum ekstern adalah kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi

kesejahteraan negara dalam keseluruhannya.16

Indonesia mengenal asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam

Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak tidak terlepas dari isi perjanjian dan dalam

penerapannya tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian

terlepas dari adanya kebebasan para pihak dalam menentukan sendiri bentuk dan

isi dari perjanjian yang dibuat. Di Indonesia syarat sahnya perjanjian diatur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:

Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2) Cakap untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu hal tertentu

4) Suatu sebab yang halal

Syarat yang terakhir inilah yang akan di batasi kembali oleh asas

ketertiban umum. Terdapat beberapa unsur mengenai “suatu sebab yang halal”

ini diantaranya perjanjian tanpa causa (Pasal 1335 KUH Perdata), sebab yang

halal (Pasal 1336 KUH Perdata) dan yang paling berkaitan dengan ketertiban

umum adalah mengenai sebab yang terlarang yang diatur dalam Pasal 1337 KUH

Perdata.17

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mengatur tentang asas ketertiban umum

pada Pasal 66. Hal ini mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan eksekusi

16 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,

(Bandung, PT. Karya Kita, 2003), h. 81. 17 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2001), h. 80.

Page 33: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

23

putusan arbitrase internasional, namun pasal tersebut tidak menjelaskan apa yang

dimaksud tentang ketertiban umum secara spesifik. Maka dalam hal ini terlihat

besarnya peran hakim dalam penentuan substansi ketertiban umum. Jadi,

kewenangan menilai suatu putusan arbitrase internasional apakah dianggap

bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, termasuk dalam kewenangan

hakim (kewenangan diskresioner).

Untuk mempermudah menafsirkan apa yang dimaksud dengan ketertiban

umum M. Yahya Harahap mencoba memberikan ruang lingkup terhadap

ketertiban umum yang diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Penafsiran sempit, menurut penafsiran sempit arti dan lingkup ketertiban

umum:

1) Hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja;

2) Dengan demikian yang dimaksud dengan pelanggar/bertentangan dengan

ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan saja;

3) Oleh karena itu, putusan arbitrase yang bertentangan/melanggar ketertiban

umum, ialah putusan yang melanggar/bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan Indonesia.

b. Penafsiran luas. Penafsiran luas tidak membatasi lingkup dan makna

ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja:

1) Tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan

tumbuh dalam kesadaran masyarakat;

2) Termasuk ke dalamnnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan umum

(general justice principle);

3) Oleh karena itu, putusan arbitrase asing yang melanggar/bertentangan

dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang hidup dalam kesadaran dan

pergaulan lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan

keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Page 34: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

24

Berdasarkan pemaparan diatas maka ketertiban umum dapat diartikan

sebagai bertentangan dengan undang-undang dan/atau hukum positif yang

berada di Indonesia, hal ini diperkuat dengan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor

001/Pdt/Arb.Int/1999 Perkara antara E.D. &F. Man Sugar Ltd v. Yani Haryanto.

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memberikan eksekusi terhadap

putusan Arbitrase London karena berdasarkan peraturan perundang-undangan

Indonesia yang berhak melakukan impor gula hanya Bulog sesuai dengan

Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 dan Keputusan Presiden Nomor 39

Tahun 1978 sehingga PN Jakarta Pusat memutuskan bahwa putusan Arbitrase

London bertentangan dengan ketertiban umum.

B. Kerangka Teori

1. Doktrin Competence-Competence

Sejalan dengan perkembangan masyarakat, berkembang pula juga

penyelesaian sengketa yang lebih modern yang dinamakan dengan arbitrase,

yang prinsip-prinsip dasarnya diambil dari kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikan

dalam masyarakat di berbagai negara. Para pihak sepakat membuat Gentlement

Agreement guna memilih orang-orang netral untuk menyelesaikan sengketa

mereka di bidang privat (commercial matter) dan mereka sepakat untuk tunduk

pada perjanjian tersebut.18 Perjanjian yang dimaksud adalah klausul arbitrase.

Dalam perkembangan lebih lanjut, doktrin competence-competence ini

telah dijadikan sebagai prinsip dasar dalam modern law arbitration yang

menentukan bahwa pengadilan arbitrase berwenang untuk menentukan

yurisdiksi atau kompetensinya sendiri, oleh karena itu sudah semestinya bahwa

lembaga pertama yang menyatakan bahwa arbitrase itu berwenang adalah

arbitrase bukan pengadilan.

18 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan

Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 42.

Page 35: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

25

Namun Husseyn Umar menegaskan bahwa dengan kewenangan arbitrase

seperti demikian, bukan berarti bahwa pengadilan sama sekali tidak berperan

penting dalam hal arbitrase.19 Pembatasan kewenangan itu terdapat dalam Pasal

61 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yang mengatakan, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan

arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”

Berdasarkan doktrin competence-competence arbitrase berwenang untuk

menentukan yurisdiksinya sendiri, bukan berarti kewenangan itu juga mencakup

sampai ke tahap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.

Doktrin competence-competence ini tidak diatur secara eksplisit dalam

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, namun doktrin ini diatur pada Pasal 18 Rules and Procedures BANI

yang berisi poin-poin sebagai berikut. “Majelis berhak menyatakan keberatan

atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang

berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat

alasan untuk itu.”

Dengan tidak adanya aturan tentang competence-competence dalam

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa menyebabkan terjadinya rechtsvacuum sehingga dapat dijadikan celah

bagi Pengadilan Negeri untuk tetap menyatakan berwenang dalam menentukan

keabsahan dari suatu klausul arbitrase.

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan

adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

19 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan

Pengadilan Negeri, …. h. 43.

Page 36: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

26

wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya

bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.20

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.21

Kepastian hukum memiliki keterkaitan dengan positivisme hukum.

Benang merah yang menghubungkan asas kepastian hukum dengan positivisme

adalah pada tujuan memberi kejelasan terhadap hukum positif. Hukum dalam

aliran yang positivistic mengaharuskan adanya “keteraturan” (regularity) dan

“kepastian” (certainty) guna menyokong bekerjanya sistem hukum dengan baik

dan lancar. Sehingga tujuan kepastian hukum mutlak untuk dicapai agar dapat

melindungi kepentingan umum (yang mencakup juga kepentingan pribadi)

dengan fungsi sebagai motor utama penegak keadilan dalam masyarakat (order),

menegakkan kepercayaan warga negara kepada penguasa (pemerintah), dan

menegakkan wibawa penguasa dihadapan pandangan warga negara.22

Sejalan dengan hal di atas, dalam pembentukan aturan hukum, terbangun

asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas

tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini

awalnya diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul

”einführung in die rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan bahwa di dalam

20 Dominikus Rato, Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan, dan Memahami

Hukum), (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h. 59. 21 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),

h. 23. 22 A. Ridwan Halim, Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), h.

166.

Page 37: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

27

hukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar, yakni: (1) Keadilan (Gerechtigkeit); (2)

Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan (3) Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).23

Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam suatu pelaksanaan putusan

arbitrase internasional sesuai Pasal 66 huruf c Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa tidak memberikan definisi atau arti yang pasti tentang

ketertiban umum kepada pemohon untuk melakukan pelaksanaan putusan

arbitrase internasional. Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian

sengketa seharusnya memberikan kepastian hukum kepada pihak yang terikat di

dalam perjanjian arbitrasenya mengingat Arbitrase yang memiliki sifat putusan

final dan binding.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk kepada skripsi, buku, maupun

jurnal terdahulu, dengan mencari apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dalam

rumusan masalah yang dikaji dalam rujukan dengan yang dikaji oleh penulis,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Skripsi ditulis oleh Atiek Af’idata24

Skripsi ini membahas mengenai prosedur dalam pembatalan putusan

arbitrase internasional oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait

hukum acara arbitrase asing. Prosedur pembatalan putusan arbitrase di Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa menyatakan pelaksanaan beracara yang tumpang tindih antara putusan

arbitrase lokal atau internasional.

23 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), h. 19. 24 Atiek Af’idata, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Pututsan No.

613/K/Pdt.Sus/2012 Mahkamah Agung), (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah, 2014)

Page 38: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

28

Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas mengenai putusan

arbitrase internasional di Indonesia. Di dalam skripsi di atas, menjelaskan

prosedur pembatalan, sedangkan penelitian peneliti membahas persyaratan yang

harus dipenuhi sebuah putusan arbitrase internasional/asing agar mendapatkan

kekuatan eksekutorial di Indonesia.

2. Buku Karya Cut Memi25

Buku ini berisi penjelasan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri

dalam mengadili sengketa dengan klausul arbitrase, buku ini mencoba

mengungkapkan alasan-alasan mengapa pengadilan negeri memutus perkara

yang sudah ditangani oleh lembaga arbitrase dengan mengkaji kebenaran dari

pertimbangan hukum hakim dalam beberapa perkara yang ada di Indonesia.

Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas mengenai

pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Sedangkan dalam penelitian peneliti

tidak membahas tentang kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili perkara

dengan klausul arbitrase, namun secara khusus memfokuskan penelitian pada

asas ketertiban umum yang menjadi persyaratan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional/asing di Indonesia.

3. Artikel dalam Jurnal oleh Mutiara Hikmah26

Jurnal ini membahas mengenai syarat-syarat pelaksanaan putusan

arbitrase internasional/asing sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

di Indonesia melalui Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) dalam Putusan

Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP.

25 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional: Penerapan Klausul dalam Putusan

Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017) 26 Mutiara Hikmah, Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia

Network PLC, Jurnal Yudisial, April 2012, Vol. 5, No. 1.

Page 39: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

29

Persamaan peneliti dan jurnal yang ditulis oleh Mutiara Hikmah adalah

keduanya sama-sama membahas mengenai putusan pelaksanaan arbitrase

internasional di Indonesia oleh Astro All Asia Network Plc oleh lembaga

peradilan di Indonesia. Sedangkan perbedaan antara penelitian penulis dan jurnal

di atas terletak pada objek penelitiannya yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor

67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 yang merupakan hasil putusan peninjauan kembali dari

kasus ini. Peneliti dalam hal ini juga memfokuskan kepada pertimbangan

penolakan dengan menggunakan asas ketertiban umum di dalam putusan ini.

Page 40: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

30

BAB III

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Arbitrase Internasional

1. Duduk Masalah Sengketa

Perkara permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada tingkat

peninjauan kembali dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-

Arbt/2016 terdapat kasus posisi sebagai berikut:1

a. Identitas Para Pihak

Perkara proses kasasi pada permohonan pelaksanaan putusan arbitrase

asing terjadi antara:

1) ASTRO NUSANTARA INTERNASIONAL BV (Perseroan Terbatas yang

berkedudukan di Belanda);

2) ASTRO NUSANTARA HOLDING BV (Perseroan Terbatas yang

berkedudukan di Belanda);

3) ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V (Pesereoan Terbatas yang

berkedudukan di Belanda);

4) ASTRO MULTIMEDIA N.V (Perseroan Terbatas yang berkedudukan di

Belanda);

5) ASTRO OVERSEAS LIMITED (Perseroan Terbatas yang berkedudukan

di Bermuda);

6) ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (Perseroan Terbatas yang

berkedudukan di Inggris);

7) MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEM SDN BHD (Perseroan

Terbatas yang berkedudukan di Malaysia);

1 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 1.

Page 41: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

31

8) ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORK FZ-LLC (Perseroan Terbatas

yang berkedudukan di Uni Emirates Arab).

Kemudian disebut sebagai Astro Group, sebagai para Pemohon Arbitrase.

Melawan:

1) PT. AYUNDA PRIMA MITRA (PT APM), (Perseroan Terbatas yang

berkedudukan di Indonesia);

2) PT. FIRST MEDIA TBK (Perseroan Terbatas yang berkedudukan di

Indonesia)

3) PT. DIRECT VISION (PT DV), (Perseroan Terbatas yang berkedudukan

di Indonesia).

Selanjutnya disebut sebagai para termohon dalam Singapore Internasional

Arbitrase Centre (SIAC)2

b. Duduk Perkara

Salah satu kasus yang menggunakan ketertiban umum sebagai dasar

untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah kasus

Astro Nusantara International BV. v PT. Ayunda Primamitra sebagaimana

telah diputus oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada 1 September 2016.

Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Singapura, yang

memerintahkan PT. Ayunda Primamitra (yang selanjutnya disebut PT APM)

untuk tidak melanjutkan proses perkara yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan karena perkara tersebut merupakan yurisdiksi arbitrase untuk

menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para pihak.3

Para pemohon yang kemudian disebut sebagai “Astro Group”

merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertelevisian. Pada tanggal 1

2 Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 3 Diangsa Wagian, M. Yazid Fathoni, Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah

Melalui Arbitrase Internasional dan Berbagai Permasalahannya, Jurnal IUS Universitas Nahdlatul

Wathan Mataram-NTB Vol. 2, No. 6, Desember 2014, h. 583.

Page 42: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

32

September 2009, Astro Group mendaftarkan Putusan Arbitrase Internasional

berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 062 of 2008 (ARB062/08/JL) ke Panitera

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimintakan pelaksanaan putusannya.

Permohonan yang dimintakan merupakan hasil dari Permohonan Arbitrase

sesuai Notice of Arbitration tertanggal 6 Oktober 2008 yang isinya adalah

menuntut pembayaran restitusi dan/atau kuantum merit (quantum merit)

sebesar kurang lebis US$ 245 juta kepada PT. Ayunda Primamitra, dan PT.

Direct Vision berikut ganti rugi atas Gugatan Perdata yang berlangsung di

Indonesia.

Permohonan Arbitrase berdasarkan kepada Subscription and

Shareholders Agreement (selanjutnya disebut SSA) pada tanggal 11 Maret

2005, dimana Astro Multimedia Corporation N.V. dan Astro Multimedia N.V.

dengan PT. APM sepakat dalam waktu dua tahun sejak SSA ditandatangani,

Astro All Asia Networks Plc Ltd akan turut menjadi pemegang saham di PT.

Direct Vision (yang selanjutnya disebut PT. DV) dengan cara mengambil alih

kepemilikan saham Silver Concord Holding Limited. Yang kepemilikan

sahamnya menjadi 51% (lima puluh satu per seratus) saham PT. DV menjadi

milik Astro All Asia Networks Plc Ltd dan 49% (empat puluh sembilan per

seraturs) saham sisanya dimiliki oleh PT. APM.

Pada tanggal 16 Maret 2005, Pemerintah Indonesia mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran

Swasta sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2002 tentang Penyiaran. Yang pada intinya mengatur bahwa modal yang

berasal dari modal asing baik melalui investasi langsung pada lembaga

penyiaran swasta yang berbentuk PT tertutup maupun melalui pasar modal

pada lembaga penyiaran swasta yang berbentuk PT terbuka hanya dibatasi

sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh total saham.

Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Swasta, membuat PT. DV menyesuaikan ijin

Page 43: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

33

penyelenggaraan penyiaran berdasarkan batas waktu lima tahun sejak

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Swasta. PT. APM dan Pihak Astro membicarakan lebih

lanjut tentang rencana restrukturisasi PT. DV agar dapat memnuhi ketentuan

peraturan pemerintah yang kemudian disetujui oleh Badan Koordinasi

Penanaman Modal, bahwa hingga tahun 2010 Pemegang Saham Astro

diperbolehkan memiliki 51% (lima puluh satu per serratus) saham.

Hingga 7 Mei 2007 Pihak Astro sudah mengeluarkan biaya sekitar

US$ 107,6 juta dalam bentuk pendanaan awal dan penyediaan jasa. Namun

hingga Agustus 2007, masih belum ada kata sepakat antara Para Pihak

sehingga Para Pihak mulai memikirkan untuk mengakhiri SSA. Pihak Astro

menyatakan tidak akan melanjutkan memberi dukungan berupa dana maupun

jasa pada PT. DV. Dan pada bulan Juli dan Agustus 2008 Pihak Astro

menerbitkan dan mengirimkan tagihan kepada PT. DV atas jasa dan dana yang

telah diberikan Pihak Astro.

PT. DV justru menyatakan bahwa Pihak Astro berkewajiban untuk

pemberian dana dan jasa pada PT. DV. Sehingga PT. APM mengajukan

Gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

pada tanggal 4 Agustus 208 yang kemudian ditarik kembali. Tanggal 3

September 2008, PT. APM kembali mengajukan gugatan perdata pada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register perkara nomor:

1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel. gugatan didasarkan atas perbuatan melawan

hukum berkenaan dengan pendanaan dan pengaturan PT. DV dengan petitum

pada Astro All Asia Networks Plc Ltd, Measat Broadcast Networks Systems

Sdn Bhd, All Asia Multimedia Networks Fz-Llc untuk meneruskan membayar

US$ 1,62 miliar atas pencemaran nama baik PT APM. Tanggal 13 Mei 2009

dikeluarkan putusan sela.

Dilain pihak pada tanggal 6 Oktober 2008, Pihak Astro mengajukan

gugatan wanprestasi pada SIAC melawan PT. APM, PT. First Media Tbk.,

Page 44: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

34

dan PT. DV sebagai Para Tergugat. Pengajuan perkara ini didasarkan pada

Pasal 17.4 SSA tentang prosedur penyelesaian sengketa berbunyi sebagai

berikut:

If the Parties in dispute are unable to resolve the subject matter of

dispute amicably within thirty (30) days, then any Party in dispute may

commence binding arbitration through the Singapore International

Arbitration Centre (SIAC) and in accordance except as herin stated,

with all the rules of SIAC. The arbitration shall take place at the

Singapore International Arbitration Centre and the award of the

arbitrators shall be final and binding upon the Parties………

Terjemahan bebas dari penulis: Jika para Pihak yang berperkara tidak

dapat menyelesaikan perkara mereka secara mufakat dalam waktu tiga puluh

hari, maka semua pihak yang berperkara dapat memulai proses arbitrase pada

SIAC sesuai dengan Rules of SIAC, kecuali ditentukan lain pada Perjanjian

ini. Pemeriksaan Arbitrase, termasuk pengambilan putusan, dilaksanakan di

SIAC, dan putusan arbitrase adalah final dan mengikat terhadap para Pihak.

Pada tanggal 1 September 2009 Pihak Astro kemudian mendaftarkan

Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor: 062

Tahun 2008 (ARB062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada

tanggal 2 September 2009 dilain pihak PT. DV mengajukan permohonan

pembatalan atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No. 062 Tahun 2008

tertanggal 7 Mei 2009 (ARB062/008/JL) dengan Nomor Register

177/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Pst dan pihak PT APM dengan Nomor Register

178/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Pst.4 Kemudian PT. DV dan PT. APM mencabut

permohonannya. Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2009 Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa

permohonan yang diajukan oleh Pihak Astro melalui Penetapan Putusan

Arbitrase SIAC No.062 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan pada 7 Mei

2009, tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).

4 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 8.

Page 45: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

35

Pihak Astro kemudian mengajukan Permohonan Kasasi pada tanggal

16 November 2009. Yang melahirkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 01

K/Pdt.Sus/2010 dengan isi menguatkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Dan kembali dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 67

PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.

2. Putusan Arbitrase Internasional

Pada 7 Mei 2009, SIAC mengeluarkan putusan SIAC Nomor 062 Tahun

2008 terkait permasalahan pendahuluan mengenai kewenangan mengadili,

putusan provisi, penghentian gugatan dan penggabungan gugatan (Award on

Preliminary Issues of Jurisdiction, Interim Anti Suit Injunction and Joinder). Isi

Putusan:

i. Forthwith discontinue the Indonesian Proceedings (Case No.

1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) in so far as they concern C.6 (Astro All Asia

Network plc), C.7 (Measat Broadcast Network System Sdn Bhd), C.8 (All Asia

Multimedia Networks Fz-Llc) and Mr. Marshall:

ii. Take no further steps in the Indonesian Proceedings save to discontinue them

as set out in (i) in so far as they concern C.6, C.7, C.8, and Mr. Marshall;

iii. Be prohibited from bringing any further proceedings against C.6, C.7, C.8,

and Mr. Marshall in so far as they relate to the joint venture relationship other

than by way of arbitration pursuant to clause 17.4 of the SSA until further

Order.

Terjemahan bebas dari penulis:

1. Menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus No.

1100/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel) sepanjang berkaitan dengan Astro All Asia

Networks plc, Measat Broadcast Network Systems Sdn Bhd, All Asia

Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall;

2. Tidak mengambil lankah lebih lanjut dalam peradilan di Indonesia, kecuali

untuk menghentikan pemeriksaan seperti tertuang dalam angka 1 sepanjang

berkaitan dengan Astro All Asia Networks plc, Measat Broadcast Network

Systems Sdn Bhd, All Asia Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall;

Page 46: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

36

3. Dilarang membawa proses peradilan lebih lanjut terhadap Astro All Asia

Networks plc, Measat Broadcast Network Systems Sdn Bhd, All Asia

Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall sejauh mereka berkaitan

dengan hubungan usaha patungan kecuali melalui arbitrase berdasarkan Pasal

17.4 dari SSA hingga putusan lebih lanjut.

B. Penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Putusan Mahkamah

Agung

1. Penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pada tanggal 28 Oktober 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

mengeluarkan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan

SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, yang isi

putusannya adalah:5

a. Menimbang, bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL) tersebut diatas adalah

melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah menginterfensi

pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka

Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak dapat dijalankan (Non

Eksekutorial);

b. Menimbang, bahwa setelah diteliti dan dipelajari permasalahan dalam berkas

perkara Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC No. 062

of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei 2009 adalah

ternyata Putusan Arbitrase Internasional tersebut bukan merupakan putusan

akhir/final;

5 Salinan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor:

062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, h. 4.

Page 47: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

37

c. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

berpendapat, maka untuk mencegah kekeliruan yang timbul di kemudian hari,

apabila permohonan eksekuatur tersebut tetap dilaksanakan, maka Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat memandang perlu untuk menyatakan bahwa putusan

Arbitrase SIAC No.062 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07

Mei 2009, tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).

2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pst.Sus/2010

Pada tanggal 24 Februari 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010 terkait kasasi yang diajukan

pemohon atas Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan

SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, yang isi

putusannya adalah:6

1. Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum:

a. Dari segi hukum acara:

1) Walaupun Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur pihak III

boleh memberikan bantahan selama proses pendaftaran untuk

memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,

namun asas hukum acara yang berlaku di Indonesia memberi hak

kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan hak-

haknya yang dilanggar atau terancam dalam asas “Poin’t de Interest

Poin’t de action” memberikan hak kepada pihak yang bersangkutan

dengan putusan arbitrase tersebut untuk memberikan sanggahan atas

kemungkinan eksekusi yang akan merugikan dirinya.

b. Dari segi hukum materiil:

1) Bahwa penolakan pemberian eksekuator oleh Judex Facti adalah sudah

benar dan tepat karena:

6 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 36.

Page 48: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

38

2) Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses

peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignty dari Negara

Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat

mencampuri proses hukum yang seadng berjalan di Indonesia.

3) Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia;

4) Materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan

termasuk dalam bidang perdagangan tetapi dalam hukum acara.

3. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-

Arbt/2016

a. Menimbang, bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan,

karena di dalam putusan Judex Juris tidak terdapat kekhilafan Hakim atau

suatu kekeliruan yang nyata, dengan pertimbangan asas hukum acara perdata

yang berlaku di Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan

hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara,

tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain.

b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung

berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan

oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Astro Nusantara International

BV, dan kawan-kawan, tidak beralasan, sehingga harus ditolak

c. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Para

Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Para Pemohon Peninjauan

Kembali harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan

peninjauan kembali.

4. Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 67 PK/Pdt.Sus-

Arbt/2016 serta Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 01

K/Pdt.Sus/2010 dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam

Page 49: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

39

Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor:

062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL)

Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat

Peninjauan Kembali melalui H. Suwardi, S.H., M.H. sebagai ketua Majelis

Hakim yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 1 September

2016 menghasilakan putusan sebagai berikut:

a. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan

Kembali Astro Grup.

b. Menghukum Para Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya

perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali yang ditetapkan sejumlah Rp.

2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat

Kasasi melalui Dr. Harifin A. Tumpa, S.H, M.H sebagai ketua Majelis Hakim

yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 24 Februari 2010

menghasilkan putusan sebagai berikut:

a. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. ASTRO

NUSANTRARA INTERNASIONAL B.V, 2. ASTRO NUSANTARA

HOLDING B.V, 3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V., 4.

ASTRO MULTIMEDIA N.V., 5. ASTRO OVERSEAS LIMITED, 6.

ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC, 7. MEASAT BROADCAST

NETWORK SYSTEM SDN BHD, 8. ALL ASIA MULTIMEDIA

NETWORK FZ-LLC;

b. Menghukum para Pemohon Kasasi/para Pemohon untuk membayar biaya

perkara dalam tingkat kasasi ini senilai Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Maka dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi

memperkuat putusan Judex Facti dalam Penetapan Putusan Arbitrase

Page 50: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

40

Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008

(ARB062/08/JL), yaitu:

Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

melalui H. Syahrial Sidik, S.H., M.H. sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat pada tanggal 28 Oktober 2009 menghasilkan putusan sebagai berikut:

a. Menyatakan permohonan Pemohon tersebut diatas tidak dikabulkan;

b. Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC

Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei

2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan);

c. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengiripkan

turunan penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara.

Page 51: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

41

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN

PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

Pada penelitian ini peneliti menemukan beberapa alasan yang menjadikan

putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia sulit untuk mendapatkan kekuatan

eksekusi, yang mana diantaranya adalah:

1. Bertentangan dengan Asas Ketertiban Umum

Asas ketertiban umum sebagai alasan penolakan pelaksanaan eksekusi

putusan arbitrase internasional sampai saat ini belum memiliki definisi yang pasti

atau jelas. Bahkan, dalam Pasal V ayat (2) huruf (b) Konvensi New York 1958

yang menyatakan, “the recognition of enforcement of the award would be

contrary to the public policy of that country.” Tidak memberikan definisi

terhadap asas ketertiban umum. Hal ini, karena manifestasi dari asas ketertiban

umum dapat bervariasi antara satu jurisdiksi dengan jurisdiksi lainnya. Maka,

definisi dari asas ketertiban umum merupakan konsep yang ditentukan oleh

masing-masing negara anggota Konvensi New York 1958.

Konvensi New York 1958 yang kemudian diratifikasi Negara Indonesia

melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 yang pelaksanaannya diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing juga mengatur tentang syarat-syarat yang

harus dipenuhi agar putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan pada Pasal 3,

yang terdiri dari asas resiprositas, asas ruang lingkup hukum perdagangan, asas

ketertiban umum, dan memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung. Pasal 3

ayat (3) yang mengatur tentang ketertiban umum tidak menjelaskan definisi dari

Page 52: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

42

ketertiban umum itu, melainkan hal ini dijelaskan pada Pasal 4 ayat (2) yang

menyatakan: “Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing

itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh system hukum

dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).”

Pada tanggal 12 Agustus 1999 diundangkannya Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pengaturan secara khusus (lex specialis) mengatur tentang arbitrase di Indonesia

pun tidak memberikan titik terang tentang definisi dari asas ketertiban umum,

yang pada Undang-Undang ini diatur pada Pasal 66 huruf (c). Hal ini terlihat

pada bagian penjelasan yang mengatakan bahwa Pasal 66 huruf (c) dianggap

jelas, namun nyatanya justru tidak memberikan kepastian hukum, karena

menyerahkan kewenangan penafsiran kepada hakim untuk

menginterpretasikannya.

Namun peneliti menilai bahwa peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang arbitrase di Indonesia, terutama dalam pelaksanaan putusan

arbitrase asing di Indonesia menjadikan arbitrase sebagai sebuah sarana

penyelesaian sengketa yang tidak memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam hal penegakan hukum,

dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah perlindungan hukum terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.1 Kepastian hukum

tidak terbatas oleh perbedaan negara, karena kepastian hukum merupakan hak

dan kepentingan suatu subjek hukum yang terdapat dalam suatu negara maupun

subjek hukum dari negara lain.

1 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan

Antinomi Nilai, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 92.

Page 53: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

43

Kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana

dikutip oleh Sidharta yang relevan atas permasalahan di atas, yaitu bahwa

kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:2

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu

menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum; dan

e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Dalam hal ini maka hakim diberikan hak diskresi terhadap dirinya untuk

mempertimbangkan asas ketertiban umum untuk menerima atau menolak

pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan

“bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Para hakim dianggap tahu

hukum (ius curianovit), dan hakim bukan hanya sekedar corong dari undang-

undang (la Bouche de la Loi).

Istilah lain diskresi yaitu freies ermessen, kata frei berarti bebas, lepas,

tidak terikat, dan merdeka, serta ermessen yang berarti mempertimbangkan,

menilai, menduga, dan memperkirakan. Jika melihat dari pengertian etimologi

yang ada, istilah freies ermessen atau diskresi mengandung arti kemerdekaan

2 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika

Aditama, 2006), h. 85.

Page 54: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

44

atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian, dan perkiraan.

Tentunya pertimbangan, penilaian, dan perkiraan tersebut dibuat oleh seseorang

atau suatu jabatan dalam hubungan dengan suatu keadaan, situasi, hal atau

masalah tertentu.3 Diskresi dapat menjadi sebuah sarana untuk mengisi

kekosongan aturan dalam sebuah mekanisme terntentu, namun disisi lain juga

dapat menjadi biang malapetaka jika digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai.

Hakim dalam menafirkan asas ketertiban umum haruslah melihat pada

hukum yang berlaku seiring dengan perkembangan jaman. Hal ini sejalan dengan

faham hukum progresif sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Raharjo, bahwa

hukum hendaknya mengikuti perkembangan jaman dengan segala dasar di

dalamnya. Maka tidaklah haram bagi hakim untuk menyimpangi undang-

undang, jika keadilan dapat diperoleh dengan jalan menyimpangi tersebut dan

justru keadilan akan muncul jika aturan undang-undang diterapkan.4 Maka

menurut peneliti penting untuk menggali bagaimana asas ketertiban umum yang

berlaku dan hidup di Indonesia.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 asas

ketertiban umum menjadi alasan hakim untuk menolak pelaksanaan putusan

arbitrase internasional/asing tersebut. Terlihat bahwa hakim memperkuat Judex

Juris dan Judex Factie pada Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 01

K/Pdt.Sus/2010 dan Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:

Putusan Arbitrase Internasional berdasaran Nomor : 32 Tahun 2009 bahwa Astro

Group tidak memenuhi persyaratan pada Pasal 66 huruf c Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni tidak

bertentangan dengan ketertiban umum.

3 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Pemerintah, Asas-Asas Hukum

Pemerintah yang Baik, (Jakarta: Erlangga,2010), h. 70. 4 Darmoko Yuti Witanto, Arya Putra, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan

Keadilan Substatif dalam Perkara-Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2013), h. 123.

Page 55: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

45

Keputusan tersebut mempertegas bahwa putusan arbitrase tersebut untuk

menghentikan proses peradilan di Indonesia adalah melanggar asas Souvereignty

dari Negara Republik Indonesia, karena tidak ada sesuatu kekuatan asing pun

yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini

jelas melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia.5

Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara

perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang

berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang

berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain.6 Hal tersebut

sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Pada putusan ini peneliti menemukan bahwa yang dimaksud dengan

bertentangan dengan asas ketertiban umum apabila bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta telah melanggar kedaulatan

negara dan kedaulatan hukum Negara Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan

ruang lingkup ketertiban umum yang diklasifikasikan menjadi dua oleh M.

Yahya Harahap; a.) Penafsiran sempit yang berarti ketertiban umum hanya

terbatas pada ketentuan hukum positif yang ada; dan b.) Penafsiran luas dimana

ketertiban umum adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan

tumbuh dalam kesadaran masyarakat.

Maka dalam menggali definisi asas ketertiban umum lebih lanjut, peneliti

juga akan melihat putusan-putusan hakim yang menolak pelaksanaan putusan

arbitrase internasional/asing di Indonesia yang dianggap bertentangan dengan

ketertiban umum. Dalam hal ini diantaranya adalah sengketa bisnis antara

5 Salinana Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 37. 6 Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, h. 16.

Page 56: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

46

Bankers Trust dan Mayora Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development

dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan

sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd dan Yani Haryanto dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91.

Sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd melawan Yani Haryanto

pada intinya terjadi karena perjanjian (irrevocable letter of credit) yang

disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982, dalam perjanjian ini Yani

Haryanto sepakat untuk membeli 300.000 ton gula dari E.D. & F Man Sugar Ltd

dimana keseluruhan gula akan diterima Yani pada tahun 1983/1984. Para pihak

sepakat untuk menggunakan lembaga arbitrase di London dan mendasarkan

kepada hukum Inggris jika suatu saat terjadi sengketa.

Namun harga gula pasir di Indonesia mengalami penurunan harga pada

tahun 1982/1983 yang membuat yani membatalkan perjanjian yang telah

disepakati di awal secara sepihak. Sayangnya F Man telah membeli gula pasir

dari pihak ketiga demi memenuhi prestasi yang timbul karena perjanjian tersebut.

Pada bulan Juni 1984 karena merasa dirugikan maka F Man mengajukan gugatan

Arbitrase ke London Court of Arbitration untuk menuntut kerugian sebesar US$

146,300,000 karena wanprestasi yang dilakukan oleh Yani yang tuntutan tersebut

dikabulkan oleh pengadilan London, kemudian Yani melakukan banding dengan

alasan tidak paham dengan Bahasa yang digunakan yang kemudian ditolak oleh

Pengadilan Tinggi Inggris.

Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang

disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun

sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$

5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan

perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun

1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan

Page 57: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

47

Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.

Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.

Sementara itu F Man mengajukan permohonan eksekuatur atas putusan

arbitrase asing yang dikeluarkan oleh London Court of Arbitration, dan

berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91

mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, namun Pegadilan Negeri

Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda terlebih dahulu pelaksanaan tersebut

dengan alasan masih berlanjutnya proses kasasi di Mahkamah Agung Republik

Indonesia tentang pembatalan perjanjian oleh Yani.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pdt/1990 dan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1203 K/Pdt/1990 memberikan putusan yang

sama dengan menyatakan bahwa perjanjian antara F Man dan Yani batal demi

hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan ini kemudian

memberikan dampak pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.

Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang dikoreksi dan menjatuhkan putusan menolak eksekusi

putusan arbitrase London tersebut dengan pertimbangan hukum bahwa

mengingat perjanjian tersebut telah batal demi hukum yang menjadikan putusan

ini yang telah mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebelumnnya

menjadi tidak relevan lagi.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 dapat

kita lihat hakim menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing

dengan alasan bertentangan dengan asas ketertiban umum. Hal ini didasarkan

pada Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan dasar perjanjian arbitrase

tersebut batal demi hukum karena mengandung sebab yang tidak halal. Dimana

isi perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun

1971 dan Nomor 39 Tahun 1978. Maka perjanjian ini telah melanggar Pasal 1320

KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata

menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Pertama,

adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, kecakapan

Page 58: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

48

para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, suatu hal tertentu; Keempat,

suatu sebab (causa) yang halal. Dengan demikian pada kasus ini yang dianggap

bertentangan dengan ketertiban umum adalah pelanggaran hukum dan peraturan

yang berlaku di Indonesia.7

Selanjutnya pada sengketa bisnis antara Bankers Trust dan Mayora

Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000. Perkara ini diawali dari

ditandatanganinya Perjanjian International Swaps and Derivatives Association

(ISDA) Master Agreement pada tanggal 25 April 1997 antara PT. Mayora dan

PT. BTI. Seiring dengan berjalannya waktu PT. Mayora tidak dapat memenuhi

prestasi sesuai dengan perjanjian, maka PT. BTI kemudian menggugat PT.

Mayora ke hadapan lebaga The London Court of International Arbitration di

London Inggris. Lembaga arbitrase ini akhirnya memutuskan berdasarkan

Putusan Nomor 8119 tertanggal 8 Agustus 1999 dan 19 Agustus 1999,

menyatakan bahwa pihak PT. Mayora bersalah karena lalai dalam melakukan

pembayaran kepada PT. BTI dan oleh karena itu PT. BTI berhak atas ganti rugi

berdasarkan Pasal 11 Master Agreement dan terhadap biaya-biaya yang telah

dikeluarkan.

Disaat yang sama, PT. Mayora mengajukan gugatan yang berisi

permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar perjanjian ISDA

Master Agreement yang telah dibuat kedua belah pihak dapat dibatalkan dengan

alasan karena menurut pihak Penggugat (PT. Mayora), penggugat tidak

menandatangani ISDA Master Agreement tanpa schedule pada tanggal 25 April

1997 sebagaimana yang tertera dalam perjanjian, melainkan ditandatangani pada

18 Agustus 1997 sehingga perjanjian tersebut dianggap cacat secara hukum.8

7 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 2003), h. 330. 8 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan

Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 67.

Page 59: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

49

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menolak eksepsi yang

diberikan oleh PT. BTI dengan menimbang, bahwa para pihak harus

menundukkan diri pada English Court di London atau pada yurisdiksi

noneksklusif dari Pengadilan Negara bagian New York, tetapi di bagian akhir

dari Pasal 13 (b) (iii) itu terdapat pula klausul yang disepakati oleh masing-

masing pihak di dalam perjanjian tersebut, yang bunyinya sebagai berikut.

“Perjanjian ini tidak akan merintangi salah satu pihak untuk mengajukan gugatan

pada yurisdiksi lain (bagian luar, jika perjanjian ini dinyatakan tunduk pada

Hukum Inggris, Negara dari pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 1 (3) Civil Jurisdiction dan Act of 1982 atau pada

perubahan-perubahannya yang dibuat terhadapnya) juga pengajuan pada satu

atau lebih yurisdiksi tidak akan merintangi pengajuan gugatan pada yurisdiksi

lain.”

Akhirnya, pada tanggal 5 Oktober 1999 hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan telah memutuskan perkara ini dengan memenangkan pihak PT. Mayora

dan membatalkan perjanjian antara PT. Mayora dan PT. BTI. Akibatnya

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarakan penetapan yang menolak

permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase London yang bersangkutan

di Indonesia. Pihak BTI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung

Republik Indonesia. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 04

K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh

pihak PT BTI dengan pertimbangan hukum “Bahwa oleh karena itu maka

permohonan exequatur harus ditolak, karena bertentangan dengan tertib hukum

yang berlaku, khususnya tertib beracara. Pemohon exequatur seharusnya

mengetahui bahwa hubungan hukum yang menjadi dasar putusan arbitrase

internasional tidak dapat dibenarkan karena pemohon sendiri sebagai pihak

dalam perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.”

Putusan Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 pun menolak pelaksanaan

eksekusi putusan arbitrase internasional/asing dikarenakan adanya hubungan

Page 60: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

50

hukum yang masih menjadi sengketa dalam perkara yang diputus Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan Nomor: 489/Pdt.G/1998. Hal ini dianggap melanggar

sistem hukum di Indonesia, yakni tertib hukum beracara di Indonesia.

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1990

“Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata

bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistem hukum dan

masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).

Dari beberapa putusan yang menolak eksekusi putusan arbitrase

internasional dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum, peniliti

menarik kesimpulan bahwa sesuatu hal dianggap bertentangan dengan ketertiban

umum apabila bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum

dan masyarakat di Indonesia, bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia, dan telah melanggar kedaulatan negara dan

kedaualatan hukum Negara Republik Indonesia. Maka Negara Republik

Indonesia adalah negara yang menganut paham ketertiban umum secara sempit.

Dr. Tineke Louise Tuegeh Longdong menyatakan bahwa terdapat negara yang

lebih mementingkan ketertiban umum intern, yang beranggapan bahwa

perjanjian luar negeri yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum intern negara tersebut.9

Beberapa putusan diatas juga menandakan bahwa asas ketertiban umum

dapat berbeda pemahaman dan artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang,

tempat, dan subjek yang berbeda.10 Kesimpulan peneliti ini dipertegas oleh Frans

Winarta di dalam Report on the Public Policy Exeption in the New York

Convention dengan mengatakan Pengadilan cenderung mengklasifikasikan

pelanggaran ketertiban umum ke dalam tiga kategori: 1) pelanggaran hukum dan

9 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,

(Bandung: PT. Karya Kita, 2003), h. 234. 10 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya,

(Jakarta: Kencana, 2015), h. 420.

Page 61: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

51

peraturan yang berlaku di Indonesia; 2) bahaya bagi kepentingan Indonesia,

termasuk ekonominya; dan 3) pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia.11

2. Tidak adanya Itikad Baik Para Pihak

Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada

dasarnya memiliki banyak kelebihan sebagai sarana penyelesaian sengketa,

namun dalam hal ini ternyata arbitrase masih memiliki kekurangan seperti, para

pihak yang tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase internnasional

tersebut yang mengharuskan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri, serta

permasalahan pelaksanaan dan pengakuan keputusan arbitrase

internasional/asing.

Maka apabila para pihak tidak beritikad baik untuk melaksanakan putusan

arbitrase tersebut dibutuhkan penetapan eksekusi sebuah putusan arbitrase

internasional/asing melalui Pengadilan Negeri di Indonesia. Dalam hal ini Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberikan kewenangan untuk menolak dan

menerima pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Hal ini telah jelas

dinyatakan di dalam Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni, “Yang berwenang menangani

masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.

Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diketahui prosedur eksekusi

putusan arbitrase internasional di Indonesia, diantaranya melalui tahap:12

a. Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan

Permohonan pelaksanaan putusan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya

kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Pasal 67 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999).

11 IBA Subcommittee on Recognition and Enforcement of Arbitral Awards: Report on the

Public Policy Exception in the New York Convention, October 2015, h. 9. 12 Prasetyo Budi Sunarso, Sugijono, Emi Zulaika, Pelaksanaan Arbitrase Internasional di

Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, h. 9.

Page 62: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

52

b. Tahap permohonan pelaksanaan putusan, berkas permohonan meliputi:

1) Permohonan pelaksanaan eksekusi oleh arbiter atau kuasanya;

2) Lembar asli atau Salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai

kekuatan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan

resminya dalam Bahasa Indonesia;

3) Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan

Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen

asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;

4) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara

tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang

menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara

bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal

pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. (Pasal 67

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

c. Tahap perintah pelaksanaan oleh Ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur),

dengan tahapan sebagai berikut:

1) Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas permohonan

eksekusi kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk

memperoleh eksekuatur (Pasal 5 Ayat (2) Perma 1/1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing);

2) Putusan Eksekuatur diberikan oleh Mahkamah Agung dan pelaksanaan

selanjutnya diserahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi.

d. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase:

1) Tata cara peyitaan dan pelaksanaan putusan mengikuti tata cara

sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 69 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);

Page 63: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

53

2) Pelaksanaan eksekusi selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan

Negeri yang secara relative berwenang melaksanakannya. (Pasal 69 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

pihak pemohon yaitu Astro Group telah memenuhi berkas-berkas sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 67 ayat (2) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun Putusan Arbitrase yang

didaftarkan tidak mendapatkan perintah eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat karena dinilai tidak sesuai dengan salah satu persyaratan pengakuan

pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

Peneliti dalam melihat bahwa penolakan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional/asing dalam putusan ini tidak terlepas dari tidak adanya itikad baik

dari pihak termohon. Hal ini dapat dilihat Ketika termohon melakukan gugatan

perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan

para pihak telah menyetujui Subscription and Shareholders Agreement (SSA)

yang di dalamnya mengatur klausul arbitrase.

Padahal sudah sangat jelas dijelaskan pada Pasal 3 jo. Pasal 11 Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase maka hal ini telah menghapus

kewenangan pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa yang ada.

Selanjutnya pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.

Ex’r/Arb.Int/Pdt/91. Pihak termohon Yani Haryanto setelah dinyatakan kalah

pada putusan arbitrase internasional/asing, justru melakukan upaya pembatalan

perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional/asing.

Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang

disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun

sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$

Page 64: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

54

5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan

perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun

1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan

Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.

Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.

Tidak adanya itikad baik pihak termohon terlihat jelas pada penggalan

kronologi di atas. Dimana para pihak setuju untuk menandatangani perjanjian

(irrevocable letter of credit) yang disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982,

namun ketika termohon dinyatakan bersalah dan harus mengganti sejumlah uang

pada putusan London Court of Arbitration. Termohon justru meminta

pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian tersebut bertentangan dengan

Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 dan Nomor 39 Tahun 1978.

Dari beberapa kasus di atas dapat dilihat bahwa tidak adanya itikad baik

para pihak dalam menjalankan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase

merupakan ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan

menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para

pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan

peradilan.13 Namun salah satu pihak justru mengajukan penyelesaian ke badan

peradilan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nili Cohen mengenai

itikad baik sebagai pembatasan kebebasan berkontrak yang setidaknya didasari

oleh dua hal, yaitu: a) semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana itikad

baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat

13 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv), Peraturan

Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNICITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan

PERMA No. 1 Tahun 1990, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 62.

Page 65: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

55

dibuatnya kontrak; b) semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan

(misbruik van omstandigheden atau undue influenze).14

Jika memang pihak termohon memiliki itikad baik, terdapat beberapa

upaya yang dapat dilakukan oleh termohon dalam membatalkan putusan arbitrase

internasional/asing, maupun membatalkan perjanjian yang menjadi dasar

putusan itu sendiri.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase berkaitan dengan hukum dari

negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan atau disebut lex arbitri sebagaimana

diatur dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 yang pada

pokoknya menegaskan bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional hanya

dapat diajukan di pengadilan di negara mana dan berdasarkan hukum negara

mana putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan.15 Sebagai contoh lex

arbitri untuk membatalkan sebuah putusan arbitrase internasional/asing di

Indonesia terdapat pada Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal ini kemudian banyak

dijadikan landasan dalam pengajuan pembatalan putusan arbitrase internasional

di Indonesia.

Lex arbitri adalah hukum yang berkaitan dengan arbitrase, dari negara

mana tempat arbitrase diselenggarakan. Lex arbitri ini menentukan beberapa hal,

seperti apakah perjanjian arbitrase sah; apakah sengketa tertentu dapat

diselesaikan melelui arbitrase; apakah pengadilan akan memberikan upaya

hukum provisional/sementara; apakah harus ada putusan yang berdasarkan

pertimbangan yang beralasan; apakah keputusan arbitrase dapat ditinjau kembali

mengenai materi atau dasar-dasar lainnya.16 Dari penjelasan di atas peneliti

14 Luh Nila Winarni, Prinsip Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Kontrak,

(Bali: Udayana University Press, 2016), h. 41. 15 Yuanita Permatasari, Kewenangan Pengadilan Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional Di Indonesia, Jurnal Privat Law, Juli-Desember 2017, Vol. V, No. 2, h. 29. 16 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2001), h. 51-52.

Page 66: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

56

berpendapat bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional bukanlah

wewenang dari pengadilan negeri di Indonesia selama dasar hukum yang

digunakan dalam pembuatan perjanjiannya adalah hukum yang berada di luar

wilayah negara Republik Indonesia. Berbeda halnya dengan kewenangan

pengadilan negeri untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional

sebagai bentuk dari kedaulatan sebuah negara yang diatur secara khusus di

bagian arbitrase internasional pada Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016

Berangkat dari serangkaian pemahaman sebagaimana yang telah peneliti

paparkan di atas, maka dapat peneliti jabarkan hal substansial dalam analisis

penelitian ini, yaitu:

Analisis Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 67

PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 Juncto Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomot 01

K/Pdt.Sus/2010 dan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) Tanggal 07 Mei 2009

1. Analisis Pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Guna keperluan penelitian agar lebih menyeluruh maka kiranya dalam hal

ini peneliti akan menganalisis hal-hal yang menjadi pertimbangan Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penetapan permohonan pelaksanaan

eksekusi putusan arbitrase internasional oleh Astro Grup sebagai pemohon.

a. Menimbang permohonan yang diajukan pada intinya berisi:

1) Karena di dalam Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan

SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062 / 08 / JL) melebihi kewenangan

yang sudah ditetapkan yaitu menginterfensi pelaksanaan proses peradilan

di Indonesia untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus No.

1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) dan tidak mengambil langkah lebih lanjut

dalam proses peradilan di Indonesia.

Page 67: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

57

Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang pada intinya,

yakni:

1) Perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa akan dan timbul dalam perjanjian ke Pengadilan

Negeri;

2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak mencampuri dalam suatu

penyelesaian sengketa yang telah diperjanjikan untuk diselesaikan

melalui arbitrase.

Adapun pihak pemohon Astro Group dan termohon PT. Ayunda

Prima Mitra, PT. First Media, Tbk, dan PT. Direct Vision telah terikat pada

Perjanjian Subscription and Shareholders Agreement (SSA) yang memiliki

klausula arbitrase pada Pasal 17.4 mengenai prosedur penyelesaian

sengketa berbunyi sebagai berikut:

If the Parties in dispute are unable to resolve the subject matter of dispute

amicably within thirty (30) days, then any Party in dispute may commence

binding arbitration through the Singapore International Arbitration

Centre (SIAC) and in accordance except as herein stated, with all the rules

of SIAC. The arbitration shall take place at the Singapore International

Arbitration Centre and the award of the arbitrators shall be final and

binding upon the Parties.

(Terjemahan bebas dari penulis: Jika para pihak yang berperkara tidak

dapat menyelesaikan perkara mereka secara mufakat dalam waktu tiga

puluh hari, maka semua pihak yang berperkara dapat memulai proses

arbitrase pada SIAC sesuai dengan Rules of SIAC, kecuali ditentukan lain

pada Perjanjian ini. Pemeriksaan Arbitrase, termasuk pengambilan pada

putusan, dilaksanakan di SIAC, dan putusan arbitrase adalah final dan

mengikat terhadap para Pihak.)

Peneliti menilai bahwa pertimbangan yang dilakukan Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keliru, disamping karena para pihak telah

sepakat untuk menyelesaikan perkara yang akan timbul di arbitrase, para

Page 68: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

58

pihak juga diperkuat asas pacta sunt servanda yang tercermin dalam Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata. Dengan asas ini hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana

layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan

intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.17

2) Karena Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC

No.062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) bukan merupakan putusan

akhir/final.

Berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf (e) New York Convention: “The

award has not yet become binding on the parties or has been set aside or

suspended by a competent authority of the country in which, or under the

law of which, that award was made.” Suatu putusan yang belum

mengikat/binding di bidang arbitrase, pada dasarnya merujuk kepada

ketentuan rules yang menjadi sumber proses penyelesaian yang disepakati.

Dimana dalam putusan ini adalah peraturan SIAC, maka Putusan Arbitrase

ini dinyatakan bersifat akhir dan mengikat (final and binding) bagi para

pihak yang mengikatkan diri di dalamnya.

Karena para Pemohon telah melampirkan dokumen-dokumen

pendukung yang diajukan oleh Pemohon Eksekuatur seperti:

1) Klarifikasi dari tribunal arbitrase bahwa Putusan SIAC Arbitration

No.062/08 bukan putusan sela (interim) namun merupakan putusan

akhir.

2) Bahwa Putusan SIAC Arbitration No. 062/08 masuk dalam lingkup

sengketa dagang karena berisi hukuman atas pelanggaran klausula non

17 Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Praktik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,

2015), h. 10.

Page 69: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

59

litigation (larangan membawa perselisihan ke Pengadilan) yang diatur

dalam Pasal 17.4 SSA, suatu perjanjian yang mengatur mengenai usaha

patungan (Joint Venture).

3) Kemudian juga diklarifikasikan bahwa Putusan SIAC Arbitration No.

062/08 tersebut tidak memerintahkan Pengadilan Indonesia untuk

menghentikan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun

memerintahkan agar termohon di dalam arbitrase yaitu PT Ayunda

Prima Mitra untuk menghentikan gugatannya terhadap Pemohon yang

mana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 jo. Pasal 11

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa jo. Pasal 134 HIR sehingga tidak bertentangan

dengan tertib hukum di Indonesia.

Dari dokumen-dokumen pendukung di atas maka dapat dikatakan

bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan SIAC merupakan putusan

akhir/final karena telah sesuai dengan Keppres No. 34 Tahun 1981 yang

telah diatur dalam Pasal 2 PERMA Nomor 1 Tahun 1990 yang

menjelaskan: “Yang dimaksud dengan Putusan Arbitrase Asing adalah

putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter

perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan

suatu Badan Arbitrase ataupun Arbitre perorangan yang menurut ketentuan

hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase

Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34

Tahun 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus

1981.”

2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi adalah:

Adapun pertimbangannya sebagai berikut:18

18 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 36-37.

Page 70: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

60

1) Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung

berpendapat sebagai berikut:

Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh karena:

1. Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum:

1. Dari segi hukum acara:

- Walaupun Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur pihak

III boleh memberikan bantahan selama proses pendaftaran untuk

memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,

namun asas hukum acara yang berlaku di Indonesia memberi hak

kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan

hak-haknya yang dilanggar atau terancam dalam Azas “Poin’t de

Interest Poin’t de action” memberikan hak kepada pihak yang

bersangkutan dengan putusan arbitrase tersebut untuk memberikan

sanggahan atas kemungkinan eksekusi yang akan merugikan dirinya.

- Tindakan eksekuator oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 66 huruf d Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 adalah langkah awal untuk dilaksanakannya (eksekusi)

putusan arbitrase internasional sehingga pihak Termohon eksekusi

putusan arbitrase SIAC mempunyai kepentingan atas Permohonan

eksekuator oleh Pemohon;

Adapun peneliti setuju dengan alasan pemohon bahwa judex facti (Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) telah keliru dengan mempertimbangkan surat

dan permohonan yang diajukan oleh pihak lain selain pihak pemohon eksekuatur

dalam mengeluarkan penetapan non eksekuatur. Proses pemeriksaan dalam

sebuah permohonan pada dasarnya dilakukan secara ex-parte yang berarti

bersifat, hanya mendengat keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan

dengan permohonan, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon,

dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Dalam prosesnya permohonan

Page 71: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

61

tidak ditegakkan asas mendengar jawaban atau bantahan pihak lawan/asas audi

et alteram partem.

Proses tersebut nyatanya juga diterangkan di dalam Pasal 59 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

berbunyi: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri

atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”

Namun walaupun Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur tentang

penolakan oleh pihak termohon namun penolakan dari pihak termohon dapat

dilakukan berdasarkan Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 dengan

membuktikan alasan-alasan pernolakan tersebut. Alasan penolakan pelaksanaan

suatu keputusan arbitrase internasional, yang antara lain:19

1) Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut

hukum nasionalnya tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur

perjanjian tersebut dibuat, apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang

berlaku;

2) Pihak terhadap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang

sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak

dapat mengajukan kasusnya;

3) Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk

diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang

berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan; atau

4) Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan

persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat

arbitrase berlangsung; atau

19 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,

(Jakarta: Kencana, 2015), h. 394-395.

Page 72: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

62

5) Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan

atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan

dibuat.

Namun jika dilihat dari alasan penolakan termohon sebagaimana yang

dijelaskan oleh pemohon yang antara lain:

- Bahwa sengketa dalam perkara arbitrase tersebut di atas oleh para

pemohon/penggugat baru didaftarkan pada SIAC tanggal 6 Oktober 2008

sedangkan sebelumnya termohon PT Ayunda Prima Mitras sudah

mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap para

pemohon/penggugat di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada

tanggal 2 september 2008 Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL.

- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),

bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana

ditentukan dalam pasal 66 ayat b Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),

adalah intervensi terhadap berlakunya tertib hukum acara Perdata di

Indonesia, yaitu dapat dilihat dalam amarnya yang berbunyi “Segera

menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus

No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) sepanjang berkaitan dengan C6, C7, C8

dan Mr Ralp Marshall.

Dari alasan para termohon diatas dapat disimpulkan bahwa pemohon

tidak berhak untuk melakukan penolakan atas putusan arbitrase internasional di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini dikarenakan, alasan termohon untuk

menolak putusan arbitrase internasional tersebut tidak memenuhi syarat-syarat

yang ada dalam Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958.

2. Dari segi hukum materil:

- Bahwa penolakan pemberian eksekuator oleh Judex Facti adalah

sudah benar dan tepat karena:

Page 73: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

63

- Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk mengehentikan

proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignty

dari Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun

yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di

Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum;

- Materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan

termasuk bidang perdagangan tetapi termasuk dalam hukum acara;

Pada kasus perdata yang digugat oleh termohon dalam gugatannya pada

dasarnya merupakan gugatan wansprestasi bukan perbuatan melawan hukum,

karena isi dari gugatannya adalah permasalahan pemberian modal dari Astro

Grup yang ada di dalam perjanjian SSA. Menurut subekti, wanprestasi (kealpaan

atau kelalaian) seorang debitur dapat berupa empat macam:20

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;

2) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Maka yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa adalah SIAC

sebagaimaa telah tertuang pada klausula arbitrase di Pasal 17.4 SSA yang

disepakati oleh kedua pihak. Menurut Jerzy Jakubowski, yang menjadi dasar

arbitrase adalah authority (kewenangan, bukan kekuasaan). Kewenangan

arbitrase tersebut lahir karena adanya penerimaan, kepercayaan dan apresiasi

para pihak terhadap arbitrase.21

Maka jelaslah menurut peniliti bahwa apa yang dilakukan Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mempertimbangkan permohonan

penolakan putusan arbitrase internasional tersebut merupakan kekeliruan dan

tidak dapat dibenarkan.

20 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), h. 45. 21 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,

2000), h. 52.

Page 74: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

64

3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali

adalah:

Menimbang, bahwa salah satu amar Putusan Arbitrase Internasional

berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 62 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputus

tanggal 7 Mei 2009 adalah segera menghentikan proses peradilan di Indonesia

(kasus Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) sepanjang berkaitan dengan c.6,

C.7, C.8 dan Mr Marshall;

Bahwa sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku di

Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan hanya dapat

dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara, tidak dapat

dihentikan secara paksa oleh pihak lain;

Hakim dalam menimbang putusan diatas melihat kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dimana syarat ketertiban umum

diatur dalam Pasal 66 huruf (c), yang mengatur bahwa “Putusan Arbitrase

Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di

Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban

umum”. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia lebih mementingkan ketertiban

umum intern. Negara seperti ini berpendapat bahwa perjanjian dengan luar negeri

yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

umum intern yang berlaku.22

Definisi ketertiban umum yang ditafsirkan oleh hakim terletak dalam

Putusan Penetapan Arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang merujuk pada

definisi ketertiban umum dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

yang menyatakan exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase

22 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,

(Bandung; PT. Karya Kita, 2003), h. 234.

Page 75: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

65

Asing itu ternyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem

hukum dan masyarakat di Indonesia.23

Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara

perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang

berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang

berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain. Hal tersebut

sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Jika berkaca dari putusan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus antara

Scherk (Jerman) melawan Alberto-Culver (Amerika Serikat). Pada perjanjian

dagang internasional menyangkut saham-saham yang disepakati, kedua pihak

akan menyelesaikan sengketa di International Chamber of Commerce di Paris.

Akan tetapi Alberto justru membawa sengketa tersebut ke Pengadilan District

Illionis, dengan dalil sales of securities tidak termasuk dalam ruang lingkup

arbitrase (securities exchange Act 1933). Pihak Scherk keberatan karena proses

arbitrase sedang berjalan di Paris-Perancis.

Alberto dikuatkan oleh putusan pengadilan banding, namun Mahkamah

Agung Amerika Serikat berpendapat lain dengan berpendapat bahwa perjanjian

tersebut merupakan perjanjian internasional dan penolakan untuk

memberlakukan arbitrase internasional adalah perbuatan picik pengadilan suatu

negara, yang membuat frustrasi tujuan-tujuan internasional. Mahkamah Agung

Amerika Serikat juga menegaskan bahwa tujuan Konvensi New York 1958

adalah untuk mendorong pengakuan dan pelaksanaan perjanjian arbitrase

internasional, dengan menjalankan perjanjian arbitrase dan keputusan arbitrase

di negara-negara penandatangan.

23 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990

Page 76: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

66

Dari kasus diatas dapat dilihat walaupun asas ketertiban umum di

Amerika Serikat tidak memperbolehkan penyelesaian arbitrase terhadap

sengketa penjualan saham-saham. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat

mengenyampingkan hal tersebut dengan pertimbangan untuk kepentingan

perdangan internasional dan mengatakan “… we can not trade and commerce in

world markets and in international markets exclusively on our terms, governed

by our laws and resolved in our courts.”24

Karena apabila penolakan terus dilakukan dengan dasar asas ketertiban

umum yang belum memiliki definisi yang pasti di Indonesia, maka negara

Indonesia tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang

terikat dalam putusan arbitrase internasional. Menurut Apeldoorn, kepastian

hukum mempunyai dua segi:25

1) Mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal

yang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui

apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai

perkara.

2) Kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para

pihak terhadap kesewenangan hakim.

Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa ketertiban umum berbeda dari satu

negara dengan negara lainnya sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal V

ayat (2) Konvensi New York 1958. Karena ketertiban umum (public policy) itu

berbeda-beda dari negara yang satu ke negara yang lain dan juga dari waktu ke

waktu.26

24 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,

2000), h. 61 dan 88. 25 L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka

Berfikir, (Bandung: PT. Revika Aditama, 2006), h. 82-83. 26 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,

(Bandung; PT. Karya Kita), h. 233.

Page 77: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji pada

setiap sub bab pembahasan, maka kemudian peneliti dapat memberikan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Asas ketertiban umum sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan Putusan

Arbitrase Internasional/Asing di Indonesia telah dilaksanakan sebagaimana

mestinya, hal ini terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67

PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 04

K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.

Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang menggunakan asas ketertiban umum sebagai alasan

penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia.

Bahwa putusan arbitrase yang dianggap melanggar ketertiban umum

dikategorikan pelanggaran hukum dan pelanggaran peraturan yang berlaku di

Indonesia yang dapat membahayakan kepentingan Indonesia dan melanggar

kedaulatan Indonesia.

2. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 hakim

menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing karena bertentangan

dengan asas ketertiban umum. Dengan pertimbangan hukum melihat kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni Pasal 66 huruf

c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Maka Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan

Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) yang memerintahkan

termohon untuk menghentikan proses hukum yang berlangsung di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan dianggap telah melebihi kewenangannya dalam memutus

perkara dan telah melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Page 78: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

68

B. Rekomendasi

Berdasar pada permasalahan yang telah peneliti paparkan di atas, maka

peneliti mencoba memberi beberapa rekomendasi berupa:

1. Mengenai syarat penolakan pelaksanaan eksekusi yang dalam hal ini adalah asas

ketertiban umum harus diberikan definisi yang jelas dan spesifik dalam sebuah

peraturan perundang-undangan, agar Pengadilan Negeri sebagai otoritas yang

memiliki wewenang dapat memberikan kepastian hukum terhadap para pihak

yang mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase.

2. Diharapkan adanya pemisahan peraturan perundang-undangan berupa Undang-

Undang antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase Internasional. Hal ini ditujukan

untuk memperjelas kewenangan pengadilan di Indonesia dalam menetapkan dan

membatalkan sebuah putusan arbitrase di Indonesia.

Page 79: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

69

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adolf, Huala. 2002. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Amiruddin dan Zainal Arifin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1989. Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku IV. Bandung:

Penerbit Alumni.

Gautama, Sudargo. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di

Indonesia. Bandung: PT Eresco.

Halim, A. Ridwan. 1987. Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv),

Peraturan Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment

Disputes, UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan PERMA No. 1 Tahun 1990.

Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2006. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika.

Manullang, E. Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas.

Page 80: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

70

Margono, Suyud. 2004. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.

Bogor: Ghalias Indonesia.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Memi, Cut. 2017. Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam

Putusan Pengadilan Negeri. Jakarta: Sinar Grafika.

Muana, Boer. 2008. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam

Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni.

Nugroho, Susanti Adi. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan

Hukumnya. Jakarta: Kencana.

Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra

Pratama.

Rato, Dominikus. 2010. Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan, dan

Memahami Hukum). Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Salim. 2015. Hukum Kontrak: Teori dan Praktik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar

Grafika.

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir.

Bandung: Refika Aditama.

Sibuea, Hotma P. 2010. Asas Negara Hukum, Peraturan Pemerintah, Asas-Asas

Hukum Pemerintah yang Baik. Jakarta: Erlangga.

Page 81: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

71

Sidharta, Bernard Arif. 2009. “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian

Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan

Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.

Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Subekti dan Tjitrosudibio. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:

Pradnya Paramita.

Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.

Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Tuegeh Longdong, Tineke Louise. 2003. Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New

York 1958. Bandung: PT. Karya Kita.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Arbitrase. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Winarni, Luh Nila. 2016. Prinsip Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan

Kontrak. Bali: Udayana University Press.

Winarta, Frans Hendra. 2013. Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra. 2013. Diskresi Hakim sebuah Instrumen

Menegakkan Keadilan Substatif dalam Perkara-Perkara Pidana. Bandung:

Alfabeta Bandung.

Page 82: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

72

JURNAL

“IBA Subcommittee on Recognition and Enforcement of Arbitral Awards: Report on

the Public Policy Exception in the New York Convention”. October 2015.

Hikmah, Mutiara. “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All

Asia Network PLC”. Jurnal Yudisial, April 2012, Vol. 5, No. 1.

Permatasari, Yuanita. “Kewenangan Pengadilan Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional Di Indonesia”. Jurnal Privat Law, Juli-Desember 2017, Vol. V,

No. 2.

Sunarso, Prasetyo Budi, dkk. “Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia”.

Fakultas Hukum Universitas Jember.

Wagian, Diangsa dan M. Yazid Fathoni. “Penyelesaian Sengketa Kontraktual

Pemerintah Melalui Arbitrase Internasional dan Berbagai Permasalahannya”.

Jurnal IUS Universitas Nahdlatul Wathan Mataram-NTB Vol. 2, No. 6,

Desember 2014.

SKRIPSI

Af’idata, Atiek. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Pututsan No.

613/K/Pdt.Sus/2012 Mahkamah Agung)”. Skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Page 83: PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN …

73

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Putusan Arbitrase Asing

Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016