Upload
kezia-natania
View
34
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pbl
Citation preview
Malpraktek
Problem Based Learning Blok 27
Oleh:
Richard Antonius
102010035
C1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
September, 2013
Malpraktek
Richard Antonius
Mahasiswa Angkatan 2010
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email: [email protected]
___________________________________________________________________________
Pendahuluan
Kesehatan adalah hal yang sangat sangat penting bagi setiap orang. Dengan tubuh
yang orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal,
sehingga dapat pula menyelesaikan pekerjaan dan karya mereka dengan maksimal. Oleh
karena itu setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan
seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat
sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan
kesehatan yang tersedia.
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,
melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang
memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang
berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang
ditetapkan oleh organisasi profesinya.
Perhatian masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan
masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung
dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek
belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dokter.
Oleh karena itu, dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang pengertian
malpraktek, syarat-syarat malpraktek, undang-undang di Indonesia tentang malpraktek dan
syarat kelalaian bagi seorang dokter.
Pengertian Malpraktek
Malpraktek medic adalah kelalaian seorang dokter untuk menggunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim digunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama, yang dimaksud dengan kelalaian disini
adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-
hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan
sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut, kelalaian diartikan pula
dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medic.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (criminal),
kelainan mennunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang
sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko
yang bisa meyebabkan orang lain terluka atau mati. Sehingga harus bertanggung jawab
terhadap tuntutan criminal oleh Negara.
Jadi permasalahan malpraktek menjadi hal yang sangat umum karena berkait dengan
banyak hal. Malpraktek sendiri memiliki arti harafiah, kegagalan melakukan tugas.
Kegagalan tersebut dapat disebabkan berbagai macam factor :
1. Adanya unsur kelalaian.
Kelalaian sendiri bukan merupakan pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Oleh karena itu kelalaian dimaksudkan didalam
malpraktek ini adalah kelalaian berat (culpa lata) yang menimbulkan kerugian materi bahkan
nyawa seseorang.
Tolak ukur culpa lata adalah :
- Bertentangan dengan hukum.
- Akibatnya dapat dibayangkan.
- Akibatnya dapat dihindari.
- Perbuatannya dapat dipermasalahkan.
Jadi malpraktek erat hubungannya dengan kelalaian ini.
2. Adanya unsur kesalahan bertindak.
Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam
melakukan observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama.
Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk didalam kategori tindakan melawan
hukum. Ketidaktelitian ini menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien
sehingga menimbulkan akibat hukum.
3. Adanya unsur pelanggaran kaidah profesi ataupun hukum.
Pelanggaran kaidah profesi ini terjadi pada saat seorang dokter atau petugas kesehatan
melakukan tindakan diluar batas wewenangnya. Misalnya perawat tidak boleh memberikan
diagnosis dan obat karena hal tersebut merupakan tugas dan wewenang dokter. Sebaliknya
dokter tidak boleh memberikan obat secara langsung kepada pasien kecuali dalam kondisi
darurat ataupun jika tempat praktiknya ada didaerah terpencil dimana tidak terdapat apotek.
4. Adanya kesengajaan untuk melakukan tindakan yang merugikan.
Tidakan kesengajaan terjadi ketika seorang dokter atau petugas kesehatan lainnya
melakukan hal-hal diluar apa yang seharusnya dilakukan hanya karena alasan untuk
mendapatkan keuntungan semata. Misalnya dokter memiliki kerja sama dengan pabrik
farmasi tertentu yang berjanji akan memberika komisi untuk setiap obat yang diresepkan
dokter tersebut. Atas dasar perjanjian itulah maka dokter memberikan obat-obatan yang tidak
perlu kepada pasiennya hanya untuk mengejar komisi.
Macam-macam Kelalaian
Di dalam kepustakaan hukum kedokteran terdapat banyak sekali berbagai macam kelalaian
dalam melakukan tindakan profesi medis dalam arti luas. Beberapa contoh yang sering terjadi
adalah:
Kelalaian tidak merujuk
Lalai tidak konsultasi dengan Dokter terdahulu
Lalai tidak merujuk pasien ke Rumah Sakit dengan peralatan/tenaga yang terlatih
Tidak mendeteksi adanya infeksi
Lalai tidak memberi surat rujukan
Instruksi per telepon
Tidak bisa dihubungi per telepon
Lalai karena kurang pengalaman
Kelalaian jelas sehingga beralihnya beban pembuktian
Jenis-Jenis Malpraktek
Berpijak pada hakekat malpraktek adalah praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat
dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala
sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara
garis besar malpraktek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical
malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan
malpraktek yuridiksi (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yuridiksi dibagi menjadi
tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice)
dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence
in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or
omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat
langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/tergugat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional
misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is
liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang
tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan
pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik).
Dan Junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter
untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat
standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. Malpraktik perdata (civil malpractice)
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang
dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens
rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalam kapasitasnya sebagai
seorang ahli.
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
- Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
- Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)
Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.
Undang-undang Kedokteran
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk
mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada
pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter
untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat
kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah
dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia
dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter
tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta
menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004
juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran
serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang
penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik
kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik
dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan
memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit.
Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila
berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi
standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi
ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan
mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan
tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak
untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin
profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi
pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang
berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak
seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang
papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada
mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.
Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan,
bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran
terbentuk.
UU Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila
peraturan pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah ketentuan
tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan tokoh
masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter /
dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI.
Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan
tentang Surat Ijin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan
Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan
berbagai standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi,
standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa
peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti peraturan tentang
penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter
spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis, penataan layanan kesehatan non
medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana
kesehatan lainnya, dan lain-lainSS
Aturan Hukum Positif Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Malpraktik
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 – 360 KUHP Pidana
· Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
· Pasal 360 KUHP
(1). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pembuktian Malpraktek
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D
yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan
oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Kriteria dan Unsur Malpraktek
Dokter atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika :
1. Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang sudah berlaku umum
dikalangan profesi kesehatan.
2. Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.
3. Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan dengan ketidak hati-hatian.
4. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran,
maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian
karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut :
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim digunakan.
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4. Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Kerugian ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari pasien dengan
diberlakukannya doktrin les ipsa liquitur, yang berarti faktanya telah berbicara. Misalnya
terdapatnya kain kassa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga menimbulkan
komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak
adanya kelalaian dalam dirinya. Namun tetap saja ada elemen yuridis yang harus dipenuhi
untuk menyatakan telah terjadi malpraktek yaitu :
1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat. Tidak berbuat disini adalah
mengabaikan pasien dengan alasn tertentu seperti tidak ada biaya atau tidak ada
penjaminannya.
2. Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan manajemen kesehatan.
3. Dilakukan terhadap pasien.
4. Dilakukan secara melanggar hukum, kepatuhan, kesusilaan atau prinsip profesi lainnya.
5. Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).
6. Mengakibatkan, salah tndak, ras sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian
lainnya.
Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal
praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya bukan perjanjian akan berhasil.
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan
bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini
dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain
sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada
pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para
tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan
dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara
tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab
dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis
mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan
penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga
medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang
menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis
bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini
ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga
tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi,
plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang.
Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para
korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat
mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan
masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit
jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum
perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga
daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi
sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh
persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke
Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak
pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi,
maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang
canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan
pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih
tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta
memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal
pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-
peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang
terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian
peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa
ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan
kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu
adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian,
perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal
yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus
belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan
canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan
adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga
perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga
kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat
bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk
mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan
saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan
dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta
perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja
mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan
Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan
peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
Kesimpulan
Daftar Pustaka