Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN
Studi atas Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas
dalam Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla 2014-2019
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Reno Meidi Fikri
NIM:11141120000054
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai fenomena yang terjadi di dalam koalisi
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla periode 2014-2019. Partai Amanat
Nasional, yang semula menjadi lawan politik Jokowi-JK pada pemilu 2014 dengan
mencalonkan Hatta Rajasa menjadi pendamping Prabowo Subianto, tiba-tiba
berpindah ke lain hati pada tahun 2015 pasca terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai
ketua umum PAN yang baru. PAN menyatakan mendukung pemerintah Jokowi-
JK. Langkah tersebut membuat jumlah kursi koalisi pendukung pemerintah menjadi
besar, setelah sebelumnya didahului PPP dan Partai Golkar bergabung ke dalam
barisan Jokowi-JK. Namun, seiring waktu PAN memiliki perbedaan sikap dari
mitra koalisi yang lain, pada puncak penolakkan PAN terhadap terbitnya Perppu
Ormas. Tentu saja harapan bergabung ke dalam koalisi seharusnya dibarengi
dengan memiliki sikap yang sama. Maka dalam penelitian ini di bahas lebih dalam
mengenai pandangan PAN terhadap Perppu Ormas sesungguhnya, serta mengapa
terjadi perbedaan pandangan antara PAN dan mitra koalisi yang lain terkait masalah
Perppu Ormas.
Peneliti menggunakan teori partai politik dan koalisi partai politik dalam
menganalisa masalah penelitian ini. Serta menggunakan pendekatan metode
penelitian kualiatif. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa, penolakan PAN
terhadap Perppu Ormas tidak memiliki alasan kuat. Hilangnya fungsi yudikatif dan
dominannya eksekutif dalam pembubaran ormas menjadi alasan kuat PAN. Selain
itu, asas contrarius actus yang tidak tepat digunakan menjadi alasan lain PAN.
Serta PAN merasa tidak ada kegentingan yang memaksa untuk pemerintah
mengeluarkan perppu. Banyaknya partai politik yang tergabung ke dalam koalisi
Jokowi-JK, maka semakin sulit dalam menyamakan pandangan antar mitra koalisi.
Kesamaan ideologi atau platform partai yang menjadi nomor dua dalam
menentukan mitra koalisi menambah kesulitan dalam menyamakan pandangan
antra mitra koalisi yang dibarengi kurang optimalnya komunikasi politik yang
dilakukan Jokowi maupun PDI-P selaku poros utama koalisi.
Kata kunci: Koalisi, partai politik, PAN, pemerintahan, Jokowi, JK
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir.
Shalawat serta salam tercurahkan selalu kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman.
Skripsi yang penulis beri judul Partai Politik dan Koalisi Pemerintahan (Studi
atas Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas dalam Pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla 2014-2019 disusun untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini belum sempurna dan masih
terdapat kekurangan di dalamnya, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak terkait skripsi ini. Penyusunan skripsi ini juga
tidak terlepas dari bantuan dan dorongan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Ali Munhanif, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, beserta seluruh staff dan jajarannya.
3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
4. Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.
Terima kasih telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran di
tengah kesibukannya.
6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis.
7. Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si, selaku anggota Fraksi PAN dan anggota Komisi
II DPR-RI yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menemui dan
diwawancarai oleh penulis.
8. Achmad Baidowi S.Sos, selaku anggota Fraksi PPP dan anggota Komisi II
DPR-RI yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menemui dan
diwawancara oleh penulis.
9. Orang tua dan adik tercinta yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada
penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Bude Nana dan keluarga yang telah memberikan membantu dan memberi
semangat kepada penulis semasa kuliah.
11. Bunda Dita dan Papi Henry, beserta Sasya, Zafran, Abiyyu, dan baby Zee, atas
semangat dan dorongan kepada penulis semasa kuliah.
12. Teman-teman Ilmu Politik B 2014, Barri, Guntur, Aufarmario, Hisyam, Mardy,
Milla, Anita, Randy, Alvin, Hammar, dan lainnya, Terimakasih atas kenangan
semasa kuliah.
vii
13. Sahabat Irzal, Kikoy, Padlan, Ical Marbun, dan sahabat-sahabati PMII
KOMFISIP angkatan 2013 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.
14. Sahabat Ruli, Rere, Tio, dan sahabat-sahabati PMII KOMFISIP angkatan 2012
lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas ilmu
dan pengalaman yang diberikan.
15. Sahabat-sahabati PMII KOMFISIP yang telah memberikan pelajaran berharga
untuk penulis.
16. Terima kasih khusus diberikan kepada Fitra dan Bang Chendy yang telah
memberikan nasihat dan bimbingan penulis dalm menyelesaikan skripsi ini.
Sulit tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan karunia-Nya dan
membalas kebaikan mereka atas bantuan yang telah diberikan. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat kekurangan
didalamnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk para pembaca.
Ciputat, 12 November 2019
Reno Meidi Fikri
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI .................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................ iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ..............................................................1
B. Pertanyaan Masalah ..............................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................6
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................7
E. Metode Penelitian ...............................................................10
F. Sistematika Penulisan .........................................................12
BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL
A. Partai Politik .......................................................................14
A.1 Definisi Partai Politik ...................................................14
A.2 Jenis-Jenis Partai Politik ..............................................17
B. Koalisi .................................................................................19
B.1 Definisi Koalisi Partai Politik ......................................19
B.2 Jenis Koalisi Partai Politik ...........................................20
BAB III PARTAI AMANAT NASIONAL DAN KOALISI PEMILU
2014
A. Perjalanan Partai Amanat Nasional (PAN) Periode
1999-2009 ...........................................................................24
B. Partai Amanat Nasional (PAN) pada Pemilu 2014 .............27
ix
C. PAN dan Koalisi Pemerinthan Joko Widodo-Jusuf Kalla ..32
C.1 Bergabungnya PAN ke dalam Koalisi .........................32
C.2 Sekilas Tentang Hak Angket dan RUU Pemilu ...........36
BAB IV PENOLAKAN PERPPU ORMAS OLEH PARTAI AMANAT
NASIONAL DALAM KOALISI JOKO WIDODO- JUSUF
KALLA
A. Alasan Pemerintah Menerbitkan Perppu ............................42
B. Pandangan PAN Terhadap Perppu Ormas ..........................47
C. Faktor Perbedaan Sikap PAN dengan Koalisi
Pendukung Pemerintahan Jokowi-JK .................................54
C.1 Faktor Kebijakan Internal PAN ...................................54
C.2 Faktor Bentuk Koalisi ..................................................56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................60
B. Saran .............................................................................62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................63
ix
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1 Peta Koalisi Partai Politik pada Pemilu Presiden 2014 ......30
Tabel III.C.1 Tabel Reshuffle Kabinet Kerja Jilid ke-II ..........................44
Tabel III.C.2.1 Paket RUU Pemilu pada Lima Isu Krusial .........................48
Tabel III.C.2.2 Tabel Sikap Partai Politik pada Sidang Paripurna RUU
Pemilu .................................................................................50
Tabel IV.B.1 Tabel Suara Fraksi Sidang Paripurna Pengesahan Perppu
Ormas ..................................................................................59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Dalam sistem presidensil yang berpijak pada multipartai, sering berhadapan
dengan problema pengambilan kebijakan yang memerlukan persetujuan legislatif.
Pemerintah sulit dalam mengamankan kebijakan apabila tidak memiliki suara
mayoritas di legislatif, karenanya koalisi menjadi perlu untuk mengamankan kebijakan
yang akan diambil oleh pemerintah. Sebetulnya koalisi banyak dijumpai ketika hasil
pemilu tidak dapat memberikan hasil partai mana yang memenangkan suara mayoritas
sekaligus mengontrol suara di parlemen.1
Menjadi menarik ketika asumsi tersebut kita gunakan dalam perjalanan
pemerintahan di Indonesia saat ini. Pemerintahan Jokowi-JK sendiri diisi dari PDI
Perjuangan sebagai partai pengusung, lalu ada Partai NasDem, Partai Hanura, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai
Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar sendiri masuk ke dalam koalisi partai
pendukung pemerintah pada saat setelah Joko Widodo-JK menjabat. Tepatnya ketika
Golkar selesai melakukan Rapimnas pada Januari 2016.2 Dan PAN yang sebelumnya
menjadi lawan politik Jokowi-JK beralih mendukung pemerintah setelah pergantian
1 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik (Bandung: Nusa Media.2014)
hlm.287 2“Partai Golkar Gabung Jokowi”. 26 Januari 2016 [berita on-line]; tersedia di
www.republika.co.id diakses pada 24 Oktober 2017
2
ketua umum dari Hatta Rajasa kepada Zulkifli Hasan, dan dideklarasikan setelah
Zulkifli Hasan bertemu dengan Jokowi.3
“Situasi minoritas”4 terjadi di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, karena
pemilu legislatif 2014 tidak memberikan hasil maksimal (dominan) pada satu partai
pun di parlemen. PDI Perjuangan sebagai partai asal Jokowi harus melancarkan koalisi
dengan partai lain, untuk mengamankan suara dalam mengusung Jokow-JK dan
tentunya mengamankan suara dalam parlemen (DPR).
Menarik bagi penulis ketika Partai Amanat Nasional sendiri yang telah
dikatakan sebelumnya menjadi lawan politik Jokowi dalam pemilu 2014 dengan
mengusung Prabowo-Hatta ketika itu. Beralih mendukung pemerintah pasca kongres
ke-VI tahun 2015 Partai Amanat Nasional dengan terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai
ketua umum terpilih. Satu tahun berselang dari terpilinya Jokowi-JK sebagai presiden
dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
PAN akhirnya mendapatkan satu kursi di kabinet Jokowi-JK, yaitu
menempatkan Asman Abnur sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) menggantikan Yuddy Chrisnandi sebelumnya di
kursi menteri tersebut.
3 “PAN Dukung Pemerintahan Jokowi-JK”. 2 September 2015 [berita on-line]; tersedia di
www.bbc.com diakses pada 24 Oktober 2017 4 Istilah yang digunakan oleh Katz dan Crotty ketika partai pemenang pemilu tidak
mendapatkan suara mayoritas. Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 287
3
Pada perkembangan pemerintahan selanjutnya. PAN yang telah berkomitmen
dan mendeklarasikan mendukung pemerintah, tampaknya lupa dengan posisinya.
Sejatinya mitra koalisi dapat dipastikan pandangannya akan sama dengan partai-partai
koalisi lain. Berbeda dengan PAN, yang beberapa kali berbeda pendapat.
Di antara perbedaan pendapat PAN dengan partai koalisi pemerintah, pertama,
adalah ketika pembahasan mengenai RUU Pemilu. Ketika itu terdapat lima paket yang
ditawarkan dari Panitia Khusus (PanSus) DPR-RI terkait RUU Pemilu. Seperti dikutip
langsung dari tempo.co,5 paket tersebut di antaranya adalah, paket A, presidential
threshold (20-25 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka),
alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (saint lague murni). Paket B,
presidential threshold (0 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu
(terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (kuota hare).
Paket C presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold (4
persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara
(kuota hare). Paket D presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold
(5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-8 kursi), metode konversi suara
(saint lague murni). Paket E, presidential threshold (20-25 persen), parliamentary
threshold (3,5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode
konversi suara (kuota hare).
5 “Pansus RUU Pemilu Sepakati 5 Opsi Paket untuk Diputuskan Besok”. 12 Juli 2017 [berita
on-line]; tersedia di nasional.tempo.co diakses pada 28 Desember 2017.
4
Pada perkembangannya, pilihan tersebut mengerucut pada pilihan paket A dan
B. PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, PKB, PPP dan Nasdem sebagai partai pemerintah
dengan tegas mendukung paket A. Sedangkan PAN, PKS, Gerindra, dan Demokrat
memilih paket B. PAN kemudian menjadi sorotan dalam pengambilan keputusan
tersebut, karena berbeda pandangan dengan pemerintah dan partai pendukung yang lain
dengan memilih paket A.
Langkah tersebut, menurut Zulkifli Hasan, ketua umum PAN, sudah
dikomunikasikan kepada Presiden Joko Widodo. Ia beralasan, perbedaan pandangan
tersebut “menyangkut mati hidup parpol…” kata Zulkifli Hasan yang dikutip dari
kompas.com.6 Walaupun berbeda pendapat, PAN, menurutnya tetap solid mendukung
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Perbedaan pendapat yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai Perppu
Ormas. Perppu Ormas sendiri sudah disahkan dalam rapat paripurna yang digelar di
DPR pada Selasa 24 Oktober 2017. Terdapat tiga arus dalam menyikapi Perppu Ormas.
PDIP, Hanura, NasDem, dan Golkar setuju terhadap pengesahan Perppu Ormas Nomor
2 Tahun 2017. Selanjutnya ada PKB, Demokrat, dan PPP yang setuju dengan
perubahan Perppu Ormas namun dengan catatan dilakukan revisi bila jadi disahkan
menjadi undang-undang. Yang ketiga adalah partai yang menolak terhadap Perppu
6 “Menurut Zulkifli, Jokowi Memahami Alasan PAN Pilih Sikap Berbeda dengan Koalisi”. 24
Juli 2017 [berita on-line]; tersedia di www.kompas.com diakses pada 28 Desember 2017.
5
Ormas yaitu Gerindra, PKS dan PAN.7 PAN menjadi partai pendukung pemerintah
satu-satunya yang menolak Perppu Ormas.
PAN yang berpandangan bahwa tidak adanya kegentingan yang memaksa
pemerintah perlu mengeluarkan sebuat perppu. Ditambah, pasca diterbitkannya
perppu, ormas yang dibubarkan hanya HTI saja. Sehingga langkah tersebut dianggap
tidak tepat. Selain itu, hilangnya fungsi peradilan di perppu yang baru ini turut menjadi
alasan PAN menolak. Tahap pembuktian di Pengadilan Negeri sampai putusan di
Mahkamah Agung yang dihapus dalam perppu ini, dianggap PAN langkah yang tidak
demokratis.
Perppu ini turut menambahkan asas contrarius actus, yang menurut pemerintah
perlu digunakan. Pemerintah yang mengeluarkan izin atau status badan hukum suatu
ormas, dianggap turut mencabut izin atau status badah hukum tersebut apabila
dikemudian hari terjadi pelanggaran. Hal inilah yang menjadi keberatan PAN dalam
perppu. Karena fungsi dan tugas ini seharusnya diberikan kepada yudikatif, seperi yang
tertera di undang-undang yang lama, UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
Hal diatas merupakan salah satu alasan PAN menolak hadirnya Perppu Ormas.
Seperti yang diketahui, sikap yang demikian juga terlihat dari penolakan disahkannya
Perppu Ormas ini menjadi undang-undang pada rapat paripurna yang sudah disinggung
7 “Sah! Perppu Ormas resmi jadi UU”. 24 Oktober 2017 [berita on-line]; tersedia di
www.news.detik.com diakses pada 27 Desember 2017.
6
diawal. Masih ada beberapa keberatan PAN yang akan penulis jelaskan pada bab-bab
selanjutnya.
Berdasarkan pemaparan penulis, menunjukkan inkonsistensi PAN sebagai
partai yang berkoalisi dengan pemerintah dan menyatakan mendukung terhadap
kebijakan pemerintah, namun faktanya, khususnya dalam kasus Perppu Ormas PAN
menolak. Karena itu, penulis merasa tertarik untuk menelaah lebih mendalam terkait
sikap PAN yang menolak Perppu Ormas di dalam koalisi pendukung pemerintah.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, penulis merasa perlu melakukan
pembatasan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan PAN terhadap Perppu Ormas?
2. Mengapa terjadi perbedaan pandangan antara PAN dengan pemerintah
sebagai koalisi dalam masalah Perppu Ormas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pandangan PAN terhadap Perppu
Ormas. Karena beberapa kali PAN sempat berbeda dengan pemerintah dalam
memberikan suara ataupun pandangannya terhadap suatu isu, dan puncaknya pada
sikap menolak PAN terhadap Perppu Ormas. Penelitian ini juga ingin menggali latar
belakang penolakan PAN dengan pemerintah sebagai koalisi dalam masalah Perppu
Ormas.
7
Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan atau pembanding
untuk studi ilmu politik, khususnya dalam studi Partai Politik dan Koalisi Pemerintahan
terkait dengan sikap PAN yang bersebrangan dengan partai-partai lain dalam koalisi
pendukung pemerintah mengenai Perppu Ormas.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini selain diharapkan mampu mengasah penulis dalam menganalisa
mengenai masalah yang diteliti. Diharapkan juga bagi pembaca dapat dijadikan
referensi tambahan atau pembanding terkait masalah posisi PAN dalam koalisi
pemerintahan Jokowi-JK.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa referensi yang membantu penulis dalam penelitian ini.
Beberapa pustaka yang dijadikan penulis sebagai referensi atau pembanding dalam
penelitian studi atas penolakan PAN terhadap Perppu Ormas dalam pemerintah Joko
Widodo-Jusuf Kalla 2014-2019 di antaranya:
8
Pertama, karya R. Widya Setiabudi Sumadinata.8 Jurnal yang menyoroti
tentang dinamika koalisi-koalisi partai politik di Indonesia pada Pemilu 2014 dengan
pendekatan logika Fuzzy. Temuan dari jurnal ini menampilkan ideologi partai politik
tidak dapat dijadikan “preferensi koalisi partai politik secara absolut”. Karena dalam
hal pendanaan partai politik tetap mengandalkan wakilnya di eksekutif ataupun
legislatif.
Kedua, karya Ratnia Solihah.9 Dalam jurnal ini menemukan tidak adanya
konfllik internal yang berkepanjangan setelah diselenggarakannya pemilihan ketua
umum baru Partai Amanat Nasional (PAN) dengan terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai
ketua umum baru. Namun setelah terpilihnya Zulkifli Hasan menimbulkan dinamika
politik internal baru yang menghasilkan kebijakan dan strategi partai yang berubah.
Mulai dari komunikasi politiknya, pengkaderannya, dan pemilihan kepengurusan.
Salah satunya yang menarik adalah perubahan komunikasi politik PAN, yang
menyatakan mendukung pemerintah.
Ketiga, karya M. Faishal Amuniddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan.10
Jurnal ini menginvestigasi mengenai hubungan antara pragmatisme politik dengan
perubahan partai politik yang adaptif dalam pemilu maupun dalam parlemen pasca
8 R. Widya Setiabudi Sumadinata, “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia
Menjelang dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”. Jurnal Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober
2016): 183 - 188 9 Ratnia Solihah, “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik Partai Amanat
Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”, Jurnal Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober 2016): 116 - 123 10 M. Faishal Aminuddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme
Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik Vol.
1 No. 1 (Agustus 2015):39-74
9
pemilu, yang kemudian menghadirkan jenis partai baru yaitu, Match-All Party. Jurnal
ini menganalisa lebih lanjut mengenai bagaimana sebuah partai politik mampu
mempertahankan citra partai terhadap konstituen dan pola interaksi partai politik di
pemerintahan dan parlemen. Kemunculan spesies baru partai politik ini juga untuk
upaya menciptakan tipologi partai politik di Indonesia yang sesuai.
Keempat, karya Asrinaldi A.11 Dalam jurnal ini menjelaskan mengenai akibat
yang terjadi dari model koalisi sistem parlementer yang digunakan dalam sistem
presidensial. Perdebatan mengenai program pemerintah bukan lagi mengenai aspirasi
masyarakat, namun hanya menunjukan sikap bersebrangan dengan pemerintah dalam
hal ini oposisi. Partai oposisi juga dilibatkan oleh partai pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari perdebatan di level legislatif.
Koalisi yang dibentuk hanya mementingkan kepentingan politik.
Kelima, karya Erika Sita Prasasti.12 Skripsi yang meneliti fenomena koalisi
pemerintahan SBY periode 2009-2014 ini, penulis melihat Partai Golkar dan PKS yang
seharusnya satu suara dan satu pandangan dengan partai lain dalam koalisi SBY,
namun yang terjadi sebaliknya. Golkar dan PKS kerap kali berbeda pandangan dengan
11 Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan
Sistem Presidensial di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol 10 No.2 (Desember 2013):63-77 12 Erika Sita Prasasti, “Partai Politik dan Koalisi: Studi atas Perbedaan Sikap Partai Golongan
Karya (Golkar) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Koalisi Pendukung Pemerintah SBY
Periode 2009-2014”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta.
2017)
10
pemerintah ketika itu. Penelitian ini dilakukan dengan cara studi literatur dan
wawancara.
Berdasarkan hasil dari literature review di atas, penulis mencoba memposisikan
penelitian ini untuk mengelaborasi lebih jauh dari beberapa jurnal di atas terkait
masalah PAN dalam koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terkait skripsi yang ditulis oleh
Erika Sita Prasasti, penulis mencoba menganalisis berdasarkan perspektif yang serupa
tetapi dengan kasus yang berbeda.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sehingga penulis dapat
mengeksplorasi lebih jauh dari suatu peristiwa, kasus, atau keyakinan dan sikap dari
objek penelitian.13 Dalam hal penelitian ini, penulis dapat mengetahui lebih lanjut
mengenai pandangan PAN mengenai Perppu Ormas sampai latar belakang terjadinya
perbedaan pendapat antara PAN dan pemerintah dalam masalah Perppu Ormas.
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan studi pustaka, dimana penulis menggunakan buku-
buku yang berkaitan dengan penelitian, disamping menggunakan jurnal ilmiah, artikel-
artikel terkait objek penelitian untuk mendapatkan data sekunder dan menggunakan
13 Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S (Jakarta:
Kencana.2007) hlm.92
11
teknik wawancara kepada narasumber yang dapat menjelaskan mengenai masalah
objek penelitian sebagai data primer. Adapun yang penulis wawancara yaitu, Abdul
Hakam Naja selaku anggota DPR-RI Fraksi PAN agar mendapatkan informasi lebih
akurat mengenai pandangan PAN mengenai Perppu Ormas. Selain itu, penulis
mewawancarai Achmad Baidowi selaku anggota DPR-RI Fraksi PPP untuk
mendapatkan pandangan dari partai pendukung pemerintah.
3. Teknik Analisis Data
Dalam menjelaskan data hasil penelitian, penulis menggunakan teknik analisis
interaktif oleh Miles dan Huberman,14 yaitu analisis data dilakukan bersamaan dengan
proses pengumpulan data penelitian. Dalam teknik ini terdapat tiga komponen: reduksi
data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian data. Pada komponen pertama,
penulis mencoba mereduksi atau menyimpan data-data yang didapat selama penelitian
yang tidak termasuk yang akan dianalisis.
Komponen selanjutnya adalah penyajian data, penulis mencoba
mengorganisasikan atau mengelompokan data yang satu dengan yang lain, sehingga
data yang diperoleh dapat dilibatkan dalam penelitian. Data-data di sini akan berbentuk
kelompok-kelompok yang saling berkaitan.
Komponen terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan. Kesimpulan
kadang sudah tergambar sejak awal, tapi kesimpulan akhir harus dirumuskan dengan
14 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKis.2008) hlm. 104-106
12
menyelesaikan seluruh data yang dianalisis. Sehingga penulis harus meruncingkan
bahkan merevisi kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada untuk sampai pada
kesimpulan akhir.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan hasil penelitian ini, penulis membaginya dalam lima bab dan
dibagi lagi ke dalam beberapa sub bab, yaitu:
Pada Bab I, penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian
dan dasar-dasar pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan. Koalisi besar yang
dibangun oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentu ingin mengamankan suara
di parlemen untuk memuluskan kebijakan pemerintah, salah satunya pengesahan
Perppu tentang Ormas menjadi undang-undang yang memicu pro dan kontra di
parlemen. Penolakan bukan hanya keluar dari partai oposisi, namun PAN yang baru
bergabung ke dalam koalisi tahun 2015 menjadi satu-satunya partai pemerintah yang
menolak. Hal tersebut tentu bertolakbelakang dari tujuan berkoalisi.
Pada Bab II, penulis menjelaskan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
Penulis menggunakan teori partai politik dan koalisi untuk menjelaskan sejauh mana
PAN mampu menerapkan visi, misi, serta kebijakan partai di dalam parlemen maupun
di dalam koalisi pendukung pemerintah, serta penulis menjelaskan bentuk koalisi yang
ingin dibangun Joko Widodo-Jusuf Kalla.
13
Pada Bab III, penulis mengawali dengan membahas mengenai sejarah singkat
Partai Amanat Nasional, serta kontribusi wakil-wakil PAN dalam kabinet
pemerintahan sejak Abdurrahman Wahid sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Bab ini
juga menjelaskan dinamika PAN pada pemilu 2014 dalam memilih mitra koalisi
pemilu serta keputusan untuk masuk ke dalam barisan pendukung pemerintah Joko
Widodo-Jusuf Kalla, hingga perbedaan pandangan dalam Hak Angket KPK dan RUU
Pemilu, sebelum penulis menjelaskan penolakan PAN terhadap Perppu Ormas pada
bab selanjutnya.
Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian dari dinamika koalisi
pendukung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan adanya penolakan PAN
terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas hingga menolaknya pada proses pengesahan
di DPR. Turut juga penulis menjelaskan mengenai faktor apa yang membuat PAN
menolak adanya Perppu Ormas. Penulis turut menjelaskan mengenai keterkaitan
antara partai politik dan bentuk koalisi yang dibangun berdasarkan teori yang sudah
dipilih.
Pada Bab V, penulis memiliki kesimpulan atas pembahasan yang sudah
dilakukan mulai dari Bab I sampai Bab IV, bahwa dengan banyaknya partai politik
yang berada di dalam koalisi sangat membuka kemungkinan adanya penolakan PAN
terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Penolakan yang PAN lakukan
memiliki dasar mulai dari aspek rasionalitas sampai aspek hukum atau konstitusi.
14
BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL
A. Partai Politik
A.1 Definisi Partai Politik
Dalam pemerintahan yang modern, partai politik sebagai mesin politik yang
terorganisasi untuk memenangkan pemilu dan berhak untuk mengatur dalam
pemerintahan, partai politik modern lahir sekitar awal abad ke-19. Andrew Heywood
menyebut partai politik sebagai “alat terhebat” dalam demokrasi, sekalipun dalam
pemerintah yang tirani dan represif, partai politik menjadi alat yang vital sebagai
penyambung antara negara dan civil society, antara pemerintah dan interest group di
masyarakat.1
Heywood juga menyebutkan, partai politik banyak ditemukan di negara-negara
dengan berbagai sistem kepartaian, baik dalam otoritarian atau demokratis. Mereka
mencari kekuasaan bisa dalam bentuk pemilu sampai revolusi. Partai politik hadir
membawa atau menawarkan suatu ideologi, baik ideologi kiri, kanan atau tengah, atau
menolak segala bentuk ideologi yang ada. Dalam proses pembangunan partai politik
yang demikian di suatu negara, yang dibarengi dengan mengimplementasikan sistem
kepartaian adalah tanda sebagai modernisasi politik.2
1 Andrew Heywood, Politics, Ed. 3rd (New York: Palgrave Macmillan. 2007) hlm. 271 2 Ibid, hlm. 272
15
Sulit untuk mendefinisikan kata partai politik itu sendiri secara tepat, namun
seiring waktu banyak ilmuwan politik yang mendefiniskan partai politik walaupun
lebih bersifat normatif. Beberapa ilmuwan politik yang biasa dipakai untuk rujukan
mengenai definisi partai politik, misalnya Edmund Burk yang dikutip langsung oleh
Richard S. Katz dan Willian Crotty, yang menilai partai politik adalah “kumpulan
orang yang bersatu untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui usaha
bersama mereka, berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang mereka semua
sepakati”. Burk menekankan pada kepentingan yang berdasarkan kebijakan partai. 3
Masih dalam buku yang sama, Anthony Downs misalnya mendefinisikan partai
politik dalam arti luas yaitu:
“Koalisi orang-orang yang berusaha menguasai aparat pemeritahan dengan cara
yang sah. Yang kita maksud dengan koalisi adalah sekelompok individu yang
memiliki tujuan tertentu yang sama dan saling bekerja sama untuk
mencapainya. Yang kita maksud dengan aparat pemerintahan adalah perangkat
fisik, hukum, dan kelembagaan yang digunakan pemerintah untuk
melaksanakan peran khusus dalam pembagian kerja. Yang kita maksud dengan
cara sah adalah pengaruh yang melembaga atau sah”.4
Dalam pengertian Downs, ia melihat partai politik sebagai alat politik yang sah
untuk berkuasa di pemerintahan dengan cara berkoalisi dan menguasai aparat
pemerintahan.
Lain lagi dengan Sigmund Neumann yang dikutip langsung oleh Miriam
Budiardjo, mengatakan
3 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 4 4 Ibid, hlm. 4
16
“Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan, atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda”.
Neumann memandang partai politik memiliki tujuan utama yaitu kekuasaan
dengan cara berkompetisi dengan lawan politik lain yang berbeda pandangan.5
Dalam undang-undang kita sendiri juga telah disebutkan dalam UU No.2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik, yang mendefinisikan partai politik sebagai
“Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
Teori yang sudah penulis jabarkan penting digunakan sebagai dasar penelitian
dalam melihat partai sebagai mesin politik yang sah untuk mendapatkan kekuasaan,
sebagaimana Downs dan Neumann yang menitikberatkan pada penguasaan
pemerintahan. Dalam konteks penelitian ini, penulis juga dapat melihat sejauh mana
PAN mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip di dalam partainya ke dalam bentuk
kebijakan ataupun sikapnya dalam berkuasa. Sebagaimana Burk dan Downs yang
menyebut partai politik sebagai kumpulan/kelompok individu yang memiliki tujuan
tertentu.
5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.2013) hlm.
404
17
A.2 Jenis-Jenis Partai Politik
Partai politik dalam teorinya memiliki beberapa jenis atau model untuk
memudahkan para penulis dalam mengklasifikasikan partai politik yang ada. Jika
melihat hubungan partai politik dengan pemilihnya, partai politik dapat
diklasifikasikan berdasarkan karakteristik sosiologis atau basis pemilih dan klasifikasi
dengan melihat seberapa kuat daya tarik elektoral partai di masyarakat. Sedangkan jika
dilihat dari internal partai politik itu sendiri, partai politik dapat diklasifikasi
berdasarkan kelas keanggotaan atau kepemimpinan yang ada di dalam partai politik
dan juga klasifikasi berdasarkan ideologi yang dijadikan dasar oleh partai politik.6
Partai politik dalam mengklasifikasikannya tidak dapat dilihat dari satu karakter
saja. Karena partai politik juga memiliki karakter atau atribut lain. Penulis dalam
melihat klasifikasi partai politik kali ini, mengambil klasifikasi jenis atau model partai
politik yang di ulas oleh Richard S. Katz dan William Crotty. Karena mereka dalam
memilah partai politik, memerhatikan dan merangkum unsur-unsur yang terdapat di
dalam partai politik, seperti asal-usul partai, dimensi elektoral, ideologi, dan
organisasional.
Terdapat lima jenis atau model partai politik yang di rangkum oleh Katz dan
Crotty. Pertama, partai elit, yang lahir ketika masa demokrasi yang hak pilihnya
terbatas kepada segelintir individu dan terbentuk di dalam parlemen. Kedua, partai
massa, yang pembentukannya sudah secara eksternal dan segmen pemilih yang lebih
6 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 414
18
luas dengan integrasi kelompok sosial yang sudah ada dan menginginkan adanya
distribusi kekuasaan untuk masyarakat lebih luas. Ideologi juga sangat penting dalam
partai jenis ini. Ketiga, partai catch-all, partai modern yang lahir di eropa ini tidak
memiliki nilai ideologi yang sangat kuat. Sehingga partai ini memiliki konstituen atau
basis pemilih lintas kelas sosial-ekonomi untuk menarik pemilih yang lebih luas
dengan hubungan yang longgar dengan konstituen, memikirkan untung-rugi elit partai
dan anggota, dan partai yang padat modal.7
Keempat, partai kartel, yaitu evolusi dari partai politik catch-all yang ingin
mempertahankan posisinya di jabatan-jabatan penting. Mereka melakukan konsensus
atau kesepakatan terhadap isu-isu kebijakan penting di pemerintahan. Lahirlah
karetelisasi atau kolusi di pemerintahan, partai politik, dan kelompok kepentingan.
Tujuannya untuk mendapatkan modal dengan timbal balik berupa pemilih. Kelima,
Partai Perusahaan-Bisnis. Terdapat dua jenis dalam Partai Perusahaan ini, pertama,
partai yang secara langsung terafiliasi oleh suatu usaha bisnis yang sudah ada
sebelumnya, yang kedua adalah partai baru yang dibentuk khusus untuk usaha di
politik.8
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis melihat Partai Amanat Nasional yang
menjadi subjek penelitian ini awalnya termasuk ke dalam partai massa. Pada awalnya
PAN sangat kental dengan basis Muhammadiyah. Amien Rais yang menjadi Ketua
umum pertama sekaligus pendiri partai ini, saat itu merupakan Ketua umum Pimpinan
7 Katz dan Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 416-423 8 Ibid, hlm. 424-427
19
Pusat Muhammadiyah. Mendirikan partai untuk sarana warga Muhammadiyah juga
turut didorong oleh internal PP Muhammadiyah itu sendiri. Namun, pada
perkambangannya PAN berubah menjadi Partai catch-all, partai modern yang ditandai
dengan mulainya membuka diri atau inklusif bagi lintas kelas sosial-ekonomi, padat
modal, dan pentingnya manajemen partai.
B. Koalisi
B.1 Definisi Koalisi Partai Politik
Dalam negara demokrasi yang menganut sistem multipartai, yaitu terdapat tiga
atau lebih partai politik yang berada di parlemen dalam bersaing untuk mendapatkan
kekuasaan yang sah, tidak asing lagi dengan kata koalisi. Suatu keadaan dimana partai
politik menggabungkan kekuatannya untuk melawan partai pengusung pemerintah
maupun sebaliknya, melawan partai-partai oposisi.
Terdapat ilmuwan politik yang memiliki definisi mengenai apa itu koalisi. salah
satunya adalah W. Phillips Shively. Menurutnya koalisi partai politik adalah:
A tactical combination of varied groups, constructed so that the groups will in
combination be large enough to command power that they can then share among
themselves. (menyebut koalisi partai politik adalah kombinasi dari berbagai kelompok
kepentingan yang dibentuk sehingga menjadi kombinasi kelompok yang besar untuk
menguasai kekuasaan yang dimanfaatkan untuk kelompoknya sendiri.)9
Dalam perspetif Shively, koalisi dibentuk semata-mata hanya untuk
mengumpulkan kekuatan dalam parlemen sehingga memperoleh kekuatan yang lebih.
Sedangkan menurut Andrew Heywood koalisi adalah:
9 Shively, Power & Choice, hlm. 1
20
A coalitions is a grouping of rival political actors brought together either through the
perception of a common threat or through the recognition that their goals cannot be
achieved by working separately (koalisi adalah sekelompok rival politik yang bersatu
dan menyamakan persepsi/pandangan dan tujuan yang tidak dapat dicapai dalam
bekerja secara terpisah)10
Indonesia dengan sistem multipartai ekstrem, dengan 10 partai politik berada
di parlemen saat ini (periode 2014-2019). Mengakibatkan tidak ada satu partai politik
pun yang berhasil meraup suara parlemen dominan. Sehingga partai politik perlu
melancarkan strategi koalisi dalam mengamankan kepentingannya di parlemen
maupun di kabinet.
Koalisi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla Periode 2014-2019 memiliki
jumlah yang besar. Tentu menarik bagi penulis ketika teori Heywood untuk melihat
sejauh mana koalisi yang dibangun Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu bersatu dan
menyamakan persepsi atau pandangan partai. Karena, terlihat dalam beberapa
kebijakan PAN mengambil sikap yang berbeda. Salah satunya adalah penolakan PAN
terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas yang juga menolak untuk disahkan menjadi
undang-undang.
B.2 Jenis Koalisi Partai Politik
Koalisi partai politik dapat dilihat bentuk atau jenisnya mulai dari basis
pembentukan, tujuan, atau jumlah partai yang ada di dalam koalisi tersebut. Lijphart
10 Heywood, Politics, hlm. 288
21
misalnya, dalam bukunya menyebutkan setidaknya ada enam jenis koalisi partai politik
yang biasanya terbentuk berdasarkan dua pijakan.11
Pertama, koalisi yang sangat mempertimbangkan jumlah suara dan jumlah
partai politik yang ada di dalamnya. Minimal winning coalitions, minimum size
coalitions, dan coalitions with the smallest number of parties merupakan jenis koalisi
dari pijakan pertama ini.12 Partai politik sangat mempertimbangkan jumlah suara dari
masing-masing partai untuk kemudian menjadi bagian dari mitra koalisi agar dapat
memaksimalkan kekuatan politik yang dimilikinya.
Perbedaan antara minimal winning dan minimum size coalitions, kalau dalam
minimal winning partai politik besar berkumpul untuk berkoalisi dengan suara
minimal, sehingga pendistribusian kekuatan dalam kabinet nantinya akan secara
maksimal dimanfaatkan oleh para mitra koalisi.13 Sedangkan dalam minimum size,
partai dengan suara besar menimbang pembentukan koalisi partai politik yang
11 Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81 12 Minimal winning coalitions memiliki premis dasar sebagai jenis pembentukan koalisi yang
ramping. Ketika partai-partai dengan suara besar berkoalisi namun belum meraih suara mayoritas,
mereka akan memilih partai dengan suara kecil untuk mendapatkan status mayoritas di parlemen.
Konsep ini Lijphart kutip dari William H. Riker. Selanjutnya, hampir sama dengan minimal winning
coalitions, namun pada jenis koalisi minimum size coalitions, partai politik yang memiliki suara besar
ingin membentuk koalisi namun tetap memaksimalkan kekuatannya di kabinet nanti. Partai tersebut
harus menimbang pembentukan koalisi partai politik yang beranggotakan sejumlah partai politik kecil
untuk mencapai ambang batas suara mayoritas. Jenis coalitions with the smallest number of parties
dikemukakan oleh Michael Leiserson. Ia berpendapat terdapat kriteria atau faktor tambahan yang
mendasari adanya persetujuan untuk membentuk koalisi minimal winning. Teori yang Ia kemukakan
ialah “bargaining proposition” atau adanya usulan tawar-menawar. Karena negosiasi dan tawar-
menawar mengenai formasi koalisi, akan lebih mudah tercapai, dan koalisi akan lebih mudah di pegang
kendali, dan semua dapat merasakan sama rata, ketika anggota koalisinya hanya beberapa. Arend
Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81-83 13 Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, hlm.181
22
beranggotakan sejumlah partai politik kecil untuk mencapai ambang batas suara
mayoritas.14
Kedua, partai tidak semata-mata memandang jumlah suara yang didapat partai
lain, namun variabel seperti berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologi sampai
pada preferensi kebijakan dari masing-masing partai politik yang ada turut menjadi
dasar pengambilan keputusan untuk memilih mitra koalisi. Minimal range coalitions,
minimal connected winning coalitions, dan policy-viable coalitions adalah jenis koalisi
yang Lijphart masukkan ke dalam pijakan kedua ini.15
Syamsuddin Haris membagi jenis koalisi lebih sederhana lagi, pertama,
“koalisi pemenangan minimal”, yaitu pemerintahan yang mendapatkan dukungan
mayoritas sederhana di parlemen. Kedua, jenis “koalisi minoritas”, koalisi
pemerintahan dari partai-partai kecil yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas
sedaerhana di parlemen. Ketiga, jenis “koalisi besar”, yaitu koalisi pemerintahan yang
mendapatkan dukungan suara mayoritas mutlak di parlemen.16
14A. Bakir Ihsan “Rekonstruksi dan Revitalisasi Koalisi Dalam Sistem Quasi Presidensial”, E-
Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011): 32 15 Minimal range coalitions memiliki definisi sebagai jenis koalisi yang mempertimbangkan
cakupan atau jarak ideologi tertentu dan preferensi kebijakan partai calon mitra koalisi ketika partai
politik ingin membentuk koalisi. Minimal connected winning coalitions hampir sama dengan Minimal
range, namun dalam jenis ini selain mempertimbangkan ideologi yang dekat dengan partai, mereka juga
turut mempertimbangkan jumlah suara yang hampir setara dengan partainya. Sedangkan dalam jenis
Policy-viable coalitions, partai politik akan mencari mitra koalisi dengan karakter ideologi yang serupa
dengan partainya dan jenis ini sangat memaksimalkan kekuatan politik di parlemen ketimbang kabinet.
Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 83-84 16 Syamsuddin Haris, “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia: Faktor-Faktor
Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono” E-Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011):3
23
Berdasarkan penjelasan teori di atas, keadaan koalisi pada saat awal pencalonan
Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014 belum sama sekali mencapai kondisi
minimal winning coalition. Karena kalau dilihat dari jumlah suara di parlemen ketika
terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla, Koalisi Indonesia Hebat belum mendapatkan
50% lebih suara, tepatnya hanya mencapai 37% suara di DPR. Namun ketika partai
koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla bertambah 3 partai politik, Joko Widodo-Jusuf Kalla
langsung mendapatkan 69,75% suara di parlemen. Termasuk di dalamnya Partai
Amanat Nasional yang menjadi subjek utama penelitian skripsi ini dengan suara
sebesar 7,59%. Menjadikan suara pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi
oversized.
Keadaan berbanding terbalik di PAN, yang saat itu mengusung Prabowo-Hatta
Rajasa. Minimal winning coalition sudah jauh terlampaui, yaitu dengan 63% suara di
DPR. Kalau koalisi PAN ketika itu mampu bertahan sampai pemilu berikutnya. PAN,
Gerindra, dan mitra koalisi yang lain akan menjadi partai oposisi pemerintah dengan
membentuk koalisi besar yang mendapat suara mutlak di DPR.
24
BAB III
PARTAI AMANAT NASIONAL DAN KOALISI JOKOWI-JK PADA PEMILU
2014
A. Perjalanan Politik Partai Amanat Nasional (PAN) Periode 1999-2009
Partai Amanat Nasional setelah berdiri pada 23 Agustus 1998, setahun
setelahnya langsung ambil bagian dalam kontestasi pemilihan umum pada 1999. PAN
berhasil mendapatkan suara sebanyak 7.528.936 suara atau sebanyak 7,11% dan
mendapatkan kursi parlemen sebanyak 34 kursi atau 7,36%.1 Dalam konstestasi pemilu
pertamanya ini, PAN berada di urutan kelima dalam perolehan suara Pemilu 1999.
Setelah menjadi salah satu partai yang berhasil dalam pemilu 1999 dan
menempatkan Ketua Umum PAN Amein Rais sebagai Ketua MPR ketika itu,
perjalanan partai ini tidaklah mulus. Pada tahun 2001 misalnya, dengan keluarnya
beberapa fungsionaris partai yang berbeda pandangan politik dengan keputusan yang
diambil partai memberikan warna sendiri dalam perjalanan PAN dalam menghadapi
Pemilu 2004.
Pada pemilu 2004, partai berlambang matahari ini mendapatkan suara sebanyak
7.313.305 suara atau 6,45%, dan berhak mendapatkan 53 kursi atau setara 9,64% di
1 Bestian Nainggolan dkk, Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi
Kuasa (Jakarta: Kompas.2016) hlm. 398
25
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).2 Perolehan ini turun sekitar 215,631 suara dari
pemilu 1999. Namun mendapat peningkatan kursi karena terdapat penuruan jumlah
peserta partai politik yang ikut dalam pemilu. Pada pemilu 2004 ini Partai Amanat
Nasional berada di urutan ketujuh.
Pemilu 2009 merupakan pemilu yang ketiga yang telah diikuti oleh Partai
Amanat Nasional. Pada perjalanannya menuju pemilu tahun 2009, PAN mulai
membuka diri bagi figur-figur dari luar internal partai untuk menjadi anggotanya,
termasuk menjadi calon legislatif dari partai ini. Salah satunya adalah dengan
menerima anggota dari kalangan selebritas yang ingin masuk ke dunia politik. Langkah
yang demikian dirasa cukup efektif dalam menjaga eksistensi PAN dalam perpolitikan
di Indonesia. PAN pada keikutsertaannya kali ini mendapatkan 6.254.580 suara atau
setara 6%. PAN berhak mendapatkan 46 kursi di DPR atau 8,2% suara dari total kursi
di DPR.3 Sehingga pada pemilu 2009, menempatkan PAN berada di urutan kelima.
Dalam hal perjalanan politik di pemerintahan atau kabinet Indonesia, PAN
sudah masuk ke dalam barisan pembantu presiden atau menteri sejak masa Kabinet
Persatuan Nasional periode Oktober 1999-20 Agustus 2001, tepatnya pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu PAN menempatkan Yahya
Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo sebagai Menteri
Keuangan, Hasballah M. Saad sebagai Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia,
2 Ibid, Bestian Nainggolan dkk, Partai Politik Indonesia 1999-2019, hlm.368 3 Ibid, hlm.281
26
dan Al-Hilal Hamdi sebagai Menteri Negara Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.4 Pada
masa periode 21 Agustus 2000-23 Juni 2001 dalam pemerintahan yang sama, menteri
berlatar-belakang PAN berkurang satu, lalu Mahfud MD masuk menjadi Menteri
Pertahanan. Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur, PAN hanya
mendapatkan satu posisi menteri, yaitu Hatta Rajasa sebagai Menteri Riset dan
Teknologi.
Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I saat Presiden SBY
memimpin,5 partai berlambang matahari tersebut mendapat 2 kursi menteri ketika awal
pemerintahan berjalan. Yaitu menempatkan Hatta Radjasa sebagai Menteri
Perhubungan, dan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Saat SBY
melakukan perombakan kedua Kabinet Indonesia Bersatu, Hatta Radjasa
menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara.
Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, PAN menempatkan tiga wakilnya
di kabinet SBY. Hatta Radjasa kembali masuk ke dalam kabinet sebagai Menteri
Perekonomian, lalu Zulkifli Hasan terpilih sebagai Menteri Kehutanan, dan Patrialis
Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya pada masa perombakan kedua
di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II,6 Azwar Abubakar masuk menjadi Menteri Negara
4 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Graha
Ilmu.2013) hlm. 114 5 Ibid, hlm. 119 6 Ibid, hlm. 128
27
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Patrialis Akbar tidak
lagi menjadi menteri di Kabinet SBY.
B. Partai Amanat Nasional (PAN) pada Pemilu 2014
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan setidaknya ada dua belas
partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 2014, yaitu Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI) awalnya tidak lolos dalam verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU-RI,
namun setelah menang gugatan di PTUN, berhasil menjadi peserta Pemilu 2014.
Dalam komunikasi politiknya menuju pemilu 2014, PAN tidak menutup
kemungkinan untuk berkoalisi dengan partai politik mana saja, tidak terkecuali PDI-P.
Namun, Hatta Rajasa selaku ketua umum sendiri enggan mengomentari rencana koalisi
tersebut lebih jauh. Karena, menurutnya, PAN masih ingin berkonsentrasi untuk
menghadapi pileg (pemilu legislatif) terlebih dahulu. Termasuk kemungkinan dirinya
diusung menjadi calon wakil presiden mendampingi Gubernur DKI Jakarta Joko
28
Widodo yang sudah diumumkan oleh PDI Perjuangan menjadi calon presiden yang
diusung partai tersebut.7
Satu bulan sebelum penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dimulai, tepatnya
pada Sabtu 19 April 2014, Wakil Ketua umum PAN Drajad Wibowo saat bertemu
wartawan mengungkapkan sudah melakukan komunikasi politik untuk mencari mitra
koalisi dalam menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden 19 Juli nanti. “Kami
saat ini sudah berkomunikasi internal dengan empat partai lainnya yang memiliki
ideologi campuran seperti nasionalis namun ada juga yang islami.” Dilansir dari
merdeka.com. Ia menambahkan, PAN ingin menambah 2 partai politik ke dalam
koalisi tersebut sehingga berjumlah 6 partai politik, yang kemudian diberi nama Koalisi
Indonesia Raya.
Partai Amanat Nasional sendiri dalam gelaran pemilihan umum legislatif pada
9 Mei 2014, memperoleh suara sebesar 9.481.621 atau 7,59% suara nasional dan
menempati peringkat 6 dalam jumlah suara atau mendapatkan 49 kursi di DPR-RI.
Lima besar dapil (daerah pemilihan) penyumbang suara terbanyak ke partai berasal
dari daerah DI Yogyakarta dengan suara sebanyak 355.787 suara, kedua adalah dapil
Lampung I sebanyak 276.424 suara, yang ketiga adalah dapil Sulawesi Tenggara
sebanyak 271.231 suara, keempat adalah dapil Jawa Timur VI dengan suara sebanyak
246.975 suara, dan yang terakhir dapil Jawa Barat XI.8
7 “PAN Siap Koalisi dengan Semua Partai”. Beritasatu.com, 20 Maret 2014. 8 Data KPU-RI dapat diakses di kpu.go.id
29
Pasca pemilihan umum untuk anggota legislatif atau DPR selesai
diselenggarakan pada 9 Mei, partai politik yang sebelumnya berfokus untuk
memenangkan partainya di pileg, segera melakukan komunikasi terhadap partai
lainnya guna membentuk mitra koalisi untuk menghadapi pemilihan umum presiden
dan wakil presiden. Gerindra, melakukan penggalangan dukungan untuk membentuk
“Koalisi Tenda Besar” seperti yang diutarakan Refrizal anggota Majelis Syuro PKS.9
Koalisi tersebut rencananya beranggotakan PKS, Gerindra, Golkar, dan Harura.
Kemungkinan koalisi tersebut akan bertambah dua partai lainnya, yaitu PPP dan PAN.
Koalisi tersebut kedepannya mensinyalkan akan dibentuk secara permanen, entah saat
memenangkan pilpres dan membentuk pemerintahan, atau menjadi oposisi bersama
ketika kalah dalam pemilihan umum nantinya.
Sinyal yang diberikan sebelum pileg 9 mei tersebut nampaknya mulai mendapat
titik terang. PAN yang semula sudah disebut akan bergabung dengan Gerindra untuk
berkoalisi dalam pesta demokrasi ini, akhirnya resmi mengumumkan dalam Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) PAN di Jakarta bergabung dengan partai Gerindra sebagai
koalisi, dan resmi mengusung ketua umum PAN Hatta Rajasa sebagai bakal calon
wakil presiden mendampingi Prabowo sebagai bakal calon presiden dari Partai
Gerindra.
9 “Koalisi Tenda Besar Gerindra: Golkar, PKS, Hanura, PPP dan PAN”. 7 mei 2013 [berita
online] tersedia di www.liputan6.com diakses pada 23 September 2019
30
Setelah dinamika politik yang ada di kubu koalisi Prabowo, akhirnya Partai
Gerindra dan mitra koalisi yang lain resmi mengusung pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden Prabowo-Hatta yang peresmian dan penandatanganannya
dilakukan di Rumah Polonia, Jakarta Timur pada Selasa, 20 Mei 2014, yang saat itu
pula adalah hari terakhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden oleh KPU-RI.
Rombongan Prabowo-Hatta kemudian berjalan kaki dari Masjid Sunda Kelapa menuju
KPU-RI untuk mendaftarkan secara resmi sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Prabowo-Hatta datang bersama rombongan koalisi pengusung mulai dari Partai
Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tidak
ketinggalan hadir politisi senior PAN Amien Rais, serta para ketua umum dari masing-
masing partai politik pengusung.10
Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Partai Gerindra, Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), dan Partai Golkar memiliki jumlah kursi di parlemen yang cukup banyak, yaitu
292 kursi, hanya Partai Bulan Bintang yang tidak memiliki kursi pada pileg 2014.
Belakangan Partai Demokrat bergabung ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang
membuat suara di parlemen untuk KMP bertambah 61 kursi menjadi 353 kursi atau
63% suara di parlemen. Sudah jauh berada di atas Koalisi Indonesia Hebat yang
10 “Prabowo-Hatta Resmi Daftar ke KPU”. 20 Mei 2014, [berita online] tersedia di
www.nasional.kompas.com diakses pada 23 September 2019
31
mengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan total 207 kursi atau 37% dari
keseluruhan kursi di DPR. Berikut tabel perbandingan antara Prabowo-Hatta dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla:
Tabel III.B.1
Peta Koalisi Partai Politik pada Pemilu 201411
Nomor
Urut
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden
Partai Politik
Pendukung
Perolehan Kursi di DPR-RI
1. Joko Widodo-Jusuf Kalla PDI Perjuangan,
PKB,
Nasdem,Hanura
PDI Perjuangan 109 kursi
PKB 47 kursi
Nasdem 35 kursi
Hanura 16 kursi
Total 207 kursi (37%)
2. Prabowo-Hatta Partai Gerindra,
PAN,PKS,PPP,
Golkar,PBB,
Partai Demokrat
Golkar 91 kursi
Gerindra 73 kursi
Demokrat 61 kursi
PAN 49 kursi
PKS 40 kursi
PPP 39 Kursi
PBB 0 kursi
Total 353 kursi (63%)
Berdasarkan tabel di atas, sudah jelas apabila Prabowo-Hatta terpilih pada
pemilu 2014 akan terbentuknya pemerintah yang mayorias. Pemerintahan yang partai
politik pengusungnya mendapatkan suara mayoritas di parlemen. PAN yang menjadi
bahan penelitian ini, mendapatkan posisi yang amat penting di dalam koalisi. Ketua
11 “Koalisi Merah Putih Hingga Lima Tahun”. 15 Juli 2014, [berita online] tersedia di
www.republika.co.id diakses pada 23 September 2019
32
Umum PAN Hatta Rajasa didaulat menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo
Subianto sebagai calon presiden.
C. PAN dan Koalisi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
C.1 Bergabungnya PAN ke dalam Koalisi
Pemenang Pemilu 2014 jatuh kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019. Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang telah terbentuk mengalami “situasi minoritas”,12 yaitu saat
pemilu legislatif 2014 kemarin tidak memberikan hasil maksimal (dominan) pada satu
partai pun di parlemen, termasuk kepada PDIP sebagai partai asal Jokowi yang harus
melancarkan koalisi dengan partai lain karena hanya mendapatkan 18,95%. Penjajakan
koalisi pasca pemilu kepada partai lain harus dilakukan oleh pemerintah dan PDI-P.
Langkah tersebut harus diambil demi mengamankan suara dalam parlemen (DPR) jika
ingin kebijakan yang diambil oleh pemerintah kedepan tidak mendapat hambatan yang
besar di parlemen.
Demi tujuan tersebut, PDI Perjuangan setidaknya membentuk minimal winning
coalition13 atau setidaknya mendapatkan suara 50%+1 untuk mendapatkan suara
mayoritas sederhana di parlemen sehingga dapat memaksimalkan keuntungan yang
12 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 287 13 Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81
33
sudah diperoleh. Sebagaimana Shively menyebutkan bahwa koalisi tidak lain adalah
untuk menguasai kekuasaan yang dapat dimanfaatkan untuk kelompoknya sendiri.14
Joko Widodo pada 26 Oktober 2014 mengumumkan susunan kabinetnya
kepada publik di Istana Negara, dengan susunan 41% atau 14 menteri dalam kabinetnya
berasal dari partai politik, sedangkan sisanya 59% atau 20 menteri berasal dari
kalangan profesional. PDIP menempatkan 4 wakilnya duduk sebagai menteri,
sedangkan PKB sebanyak 4 nama, 3 nama dari Nasdem, 2 nama dari Hanura, dan 1
nama dari PPP. Hadirnya Lukman Hakim Saifuddin yang berasal dari PPP di dalam
kabinet, sangat berbanding terbalik dengan sikap partainya ketika pemilu 2014, yang
lebih memilih menjadi lawan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dilain pihak, pasca pemilu 2014 beberapa partai politik mulai memasuki masa
akhir kepengurusan partai, yaitu PPP, Golkar dan PAN. Momen ini adalah saat yang
tepat untuk pemerintah dalam melakukan penjajakan koalisi kepada partai-partai
tersebut. Partai Amanat Nasional sendiri menggelar Kongres Nasional PAN ke IV pada
28 Februari 2015 sampai 2 Maret 2015, di Nusa Dua, Bali.
Kongres ke-IV PAN menghasilkan Zulkifli Hasan terpilih sebagai ketua umum
baru PAN periode 2015-2020. Banyak perubahan yang dilakukan Zulkifli Hasan
sebagai Ketua Umum PAN yang baru terpilih kemarin. Salah satunya adalah manufer
dan komunikasi politik kepada partai lain, tidak terkecuali kepada PDI Perjuangan
14 W. Phillips Shively, Power & Choice, hlm. 1
34
selaku partai pengusung pemerintah kala itu. Karena, kabar mengejutkan datang dari
istana, ketika Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan usai bertemu dengan Presiden Joko
Widodo di Istana Merdeka, mengumumkan bahwa PAN pada hari itu, Rabu 2
September 2015, resmi bergabung dengan pemerintah. Zulkifli menuturkan “kita
sepakat menyatakan pada Bapak Presiden, PAN bergabung dengan pemerintah untuk
mensukseskan seluruh program pemerintah”.15 Zulkifli hadir tidak sendirian, Ia datang
bersama Ketua MPP PAN Soetrisno Bachir dan Sekjen PAN Eddy Soeparno.
Satu tahun berselang, tepatnya pada 27 Juli 2016, PAN akhirnya mendapatkan
jatah menteri. Jokowi melakukan reshuffle jilid ke-II, presiden melakukan perombakan
terhadap 13 posisi menteri dan satu badan. Wakil dari PAN, Asman Abnur masuk
menggantikan Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi. Partai Golkar yang ikut masuk ke dalam barisan pendukung
Jokowi-JK mendapatkan jatah menteri, Airlangga Hartarto masuk menggantikan Saleh
Husein sebagai Menteri Perindustrian. Menariknya, dua menteri Hanura yang semula
berada di kabinet digantikan oleh partai pendukung baru, walaupun Wiranto pendiri
partai Hanura dan ketua umum pertama masuk menjadi Menkopolhukam. Berikut tabel
lengkap mengenai reshuffle jilid ke-II Kabinet Kerja Jokowi-JK:
15 “PAN Resmi Jadi Partai Pendukung Pemerintah Jokowi”. 2 September 2015, [berita online]
tersedia di nasional.sindonews.com diakses pada 23 September 2019.
35
Tabel.III.C.I
Tabel Reshuffle Kabinet Kerja Jilid Ke-II16
Nama Kementerian/Badan Posisi Sebelumnya Posisi Selanjutnya
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan Budi Karya Sumadi Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (Kepala
BPN)
Sofyan Djalil Bambang Brodjonegoro
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro Sri Mulyani
Menteri Agraria dan Tata
Ruang
Ferry Mursidan Baldan
(Nasdem)
Sofyan Djalil
Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral
Sudirman Said Archandra Tahar
Menteri Perindustrian Saleh Husen (Hanura) Herlangga Hartarto (Golkar)
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
Anies Baswedan Muhajir Effendy
Menteri Desa dan Pembangunan
Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
Marwan Jafar (PKB) Eko Putro Sanjojo
Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, Reformasi, dan Birokrasi Yuddy Chrisnandi (Hanura) Asman Abnur (PAN)
Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan HAM
Luhut Binsar Pandjaitan
(PDIP)
Wiranto (Hanura)
Menteri Koordinator Kemaritiman
dan Sumber Daya Rizal Ramli Luhut Binsar Pandjaitan
(PDIP)
Menteri Perdagangan Thomas Lembong Enggartiasto Lukita Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani Thomas Lembong
Wakil Menteri Perindustrian - Franky Sibarani
Peta politik di parlemen akhirnya berubah drastis seiring bertambahnya partai
pendukung pemerintah Jokowi-JK. Pemerintahan yang semula berjalan dalam keadaan
minoritas di parlemen, berubah menjadi oversized atau gemuk.
Setiap partai politik yang bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah
mendapatkan jatah menteri minimal satu posisi, termasuk PAN yang mendapatkan
16 “Melihat 4 “Reshuffle” Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK”. 15 Agustus 2018, [berita online]
tersedia di www.nasional.kompas.com diakses pada 12 Juni 2019
36
posisi Menteri PAN/RB. Namun, setelah berjalannya pemerintahan, PAN memiliki
sikap yang berbeda dengan mitra koalisi yang lain. Hak Angket KPK menjadi pintu
pertama perbedaan sikap tersebut. PAN menolak adanya penggunaan hak angket
terhadap KPK. Tidak sampai disitu, PAN kembali memiliki pandangan yang berbeda
dengan mitra koalisi yang lain pada isu kebijakan strategis terkait pilihan paket dalam
Rancangan Undang-undang Pemilu. Terakhir, PAN dengan tegas melakukan
penolakan terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas hingga menolaknya dalam rapat
pengesahan menjadi undang-undang di DPR. Masalah Perppu Ormas ini akan
dijelaskan oleh penulis pada bab berikutnya.
C.2 Sekilas Tentang Hak Angket dan RUU Pemilu
DPR pada 28 April 2017 resmi menggunakan hak angket kepada KPK lewat
sidang paripurna DPR. Usulan yang berasal dari Komisi III DPR itu memiliki beberapa
alasan mengapa DPR perlu menggulirkan hak angket kepada KPK. Penolakan
dibukanya rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani oleh KPK dan adanya Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK tahun 2015 tentang ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dalam tata kelola anggaran menjadi alasan perlunya
menggunakan hak angket terhadap KPK.
Sidang paripurna tersebut sebetulnya diwarnai walkout oleh enam fraksi, yaitu
Fraksi PKS, Demokrat, PPP, PKB, PAN, dan Gerindra, dan hanya disetujui oleh 4
fraksi di DPR, Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, dan Nasdem. PAN tidak
37
sendiran dalam menolak adanya hak angket KPK, ditemani oleh PPP dan PKB sebagai
partai pendukung pemerintah yang memiliki perbedaan pandangan dengan partai
pendukung pemerintah lainnya terkait bergulirnya hak angket.
Sikap PAN lambat laun berubah. Pemicunya diduga karena nama Amien Rais,
pendiri partai belambang matahari itu, disebut dalam sidang dugaan korupsi alat
kesehatan dengan terdakwa eks Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Setelah kasus
eks menteri kesehatan ini bergulir, PAN mulai berubah pikiran untuk mengirimkan
anggota fraksi ke Pansus Hak Angket KPK. Setelah Zulkifli Hasan dikatakan akan
menimbang untuk mengirimkan nama anggota untuk masuk ke dalam Pansus.
Akhirnya di konfirmasi oleh Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Susanto, mengonfirmasi
tiga nama tersebut, yaitu Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap, Anggota Komisi
III Daeng Muhammad, dan Muslim Ayub.17 Alasannya, Zulkifli Hasan ingin PAN
mengawasi Pansus dari dalam agar tidak terjadi pelemahan di tubuh KPK, sehingga
Pansus Hak Angket KPK memang betul-betul ingin memperbaiki KPK dan bukan
merevisi UU KPK dan melemakan wewenang KPK.
Dalam kasus ini, PAN sudah mengawali perbedaan pandangannya dengan
pemerintah. Walaupun, bukan hanya PAN sendiri yang berbeda dengan partai
pendukung pemerintah, masih ada PPP dan PKB yang sempat menolak hadirnya
Pansus Hak Angket, yang merasa disetujui dengan sepihak oleh Wakil Ketua DPR
17 “Ini Tiga Nama Anggota Fraksi PAN yang Duduk Dalam Pansus Angket KPK”. 7 Juni 2017,
[berita online] tersedia di www.tribunnews.com diakses pada 28 Mei 2019
38
Fahri Hamzah sewaktu rapat paripurna. “Kenakalan” PAN tidak sampai pada
penolakan awal Pansus dibentuk, saat sidang paripurna dengan agenda memperpanjang
masa kerja Pansus Hak Angket, PAN bersama Fraksi Gerindra, dan PKS, memilih
untuk walkout dari ruang sidang karena Fahri Hamzah, selaku ketua sidang, mengambil
keputusan yang lagi-lagi sepihak untuk memperpanjang masa kerja Pansus. Selain itu
pada saat rapat, Fahri Hamzah juga tidak menggubris usulan Fraksi PAN untuk per
fraksi menyikapi laporan sementara dari Pansus Hak Angket.18
Setelah masalah Hak Angket KPK yang sangat menyita perhatian publik, DPR
kembali dihadapkan masalah Racangan Undang-undang Pemilu. RUU yang sudah di
bahas sejak tahun 2016 itu, merupakan penggabungan dari 3 UU yang sudah ada
sebelumnya. Yaitu UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggaraan Pemilu.19
Penggabungan itu dikarenakan Pemilu 2019 nantinya akan dilaksanakan secara
serentak di Indonesia, yaitu Pileg untuk memilih calon anggota DPR-RI, DPD-RI, dan
DPRD, lalu ada pilpres untuk memilih presiden dan wakil presiden Indonesia periode
2019-2024. Kebijakan adanya pemilu serentak ini merupakan hasil dari putusan MK
nomor 14/PUU-XI/2013, setelah sebelumnya adanya permohonan oleh Koalisi
Masyarakat Sipil yang dikomandoi oleh Effendi Gazali terhadap UU No.42 Tahun
2008.
18 “PKS, Gerindra, dan PAN “Walk Out” dari Paripurna Perpanjangan Pansus Angket”. 26
September 2017, kompas.com [berita online] tersedia di www.nasional.kompas.com diakses pada 28
Oktober 2019 19
“DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?” 20 Juli 2017,
kumparan.com [berita online] tersedia di www.kumparan.com diakses pada 28 Mei 2019
39
Rancangan Undang-undang Pemilu sendiri memiliki isu yang krusial,
khususnya bagi partai politik peserta pemilu 2019 nanti, yaitu mengenai sistem pemilu
legislatif, alokasi besaran kursi per daerah pemilihan, metode konvensi suara menjadi
kursi, parlementary threshold, dan presidential threshold. Dari kelima isu tersebut, ada
isu krusial yang membuat parpol saling silang pendapat. Isu tersebut adalah
presidential threshold, atau ambang batas untuk partai politik atau gabungan partai
politik untuk mengajukan atau mencalonkan capres-cawapresnya.20
Tabel III.C.2.121
Paket RUU Pemilu pada Lima Isu Krusial
Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E
Presidentaial
Threshold
20 atau 25 % 0% 10 atau
15%
10 atau 15% 20 atau
25%
Parliamentary
Threshold
4% 4% 4% 5% 3,5%
Sistem
Pemilu
Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka
Dapil
Magnitude
3-10 3-10 3-10 3-8 3-10
Metode
Konver Suara
Sainte Lague
Murni
Kuota Hare Kuota Hare Sainte Lague
Murni
Kuota Hare
DPR mengesahkan RUU Pemilu dalam rapat paripurna yang berakhir pada
Jumat, 21 Juli 2017, dini hari. Pengesahan RUU Pemilu akhirnya diambil melalui jalur
voting karena lobi yang sebelumnya dilakukan, tidak menemukan jalan terang. Yandri
20 “DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?” 20 Juli 2017,
kumparan.com [berita online] tersedia di www.kumparan.com diakses pada 28 Mei 2019 21 “Revisi UU Pemilu Alot, DPR Terbelah Tiga Kubu”. 20 Juli 2017, sindonews.com [berita
online] tersedia di www.nasional.sindonews.com diakses pada 28 Mei 2019
40
Susanto mewakili Fraksi PAN membacakan sikap terakhir fraksi terkait RUU Pemilu.
Ia menjelaskan Fraksi PAN melihat karena tidak adanya kata mufakat dalam forum
lobi, maka fraksinya menolak untuk mengikuti voting dan tidak bertanggung jawab
terhadap keputusan yang akan diambil terkait paket RUU Pemilu dan memutuskan
walkout dari ruangan rapat paripurna.22
Langkah PAN tersebut diikuti oleh Gerindra, Demokrat dan PKS yang
memiliki sikap fraksi yang sama. Melihat kecenderungan forum akan mengambil
voting sebagai langkah terakhir, kedua partai tersebut memutuskan untuk menolak
mengikuti voting dan memilih untuk walk out dari sidang paripurna.23
Tabel.III.C.2.2
Tabel Partai Politik pada Sidang Paripuna RUU Pemilu
Sikap Kursi di DPR
Fraksi PDI Perjuangan Paket A 109
Fraksi Partai Golkar Paket A 91
Fraksi Partai Nasdem Paket A 35
Fraksi Partai Hanura Paket A 16
Fraksi PKB Paket A 47
Fraksi PPP Paket A 39
Fraksi Partai Gerindra Walk out 91
Fraksi Partai Demokrat Walk out 61
Fraksi PKS Walk out 40
Fraksi PAN Walk out 49
Total 337 241
22 “PAN dan Tiga Fraksi Oposisi Kompak Walkout Voting Revisi UU Pemilu”. 21 Juli 2017,
[berita online] tersedia di www.merdeka.com diakses pada 28 Mei 2019. 23 Ibid.
41
Rapat paripurna hanya menyisakan enam fraksi, setelah empat partai politik
walk out atau tidak bersedia mengikuti voting. Ketua DPR Setya Novanto akhirnya
mengesahkan RUU Pemilu Jumat, dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu beserta
paket A dengan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25%. Berdasarkan
empat fraksi yang walk out, Fraksi PAN satu-satunya partai pendukung pemerintah
yang memilih jalan berbeda dengan koalisi pemerintah yang lain.
42
BAB IV
PENOLAKAN PERPPU ORMAS OLEH PARTAI AMANAT NASIONAL
DALAM KOALISI JOKO WIDODO-JUSUF KALLA
A. Alasan Pemerintah Menerbitkan Perppu
Belum usai pengesahan RUU Pemilu oleh DPR, masih di bulan yang sama,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2
Tahun 2017 untuk menggantikan UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Penerbitan Perppu tersebut diumumkan secara resmi oleh
Menkopolhukam Wiranto dalam jumpa pers di kantornya pada 12 Juli 2017.1 Ia
menjelaskan perppu tersebut ditekan presiden pada 10 Juli 2017 atau dua hari
sebelumnya. Wiranto membeberkan alasan pemerintah mengeluarkan Perppu karena
banyaknya ormas di Indonesia yang perlu dibina, khususnya ormas yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945
Pemerintah melihat UU 17/2013 tentang Ormas sudah tidak lagi mampu
menjadi sarana pencegahan ideologi yang bertentangan dengan dasar negara tersebut.
Sehingga pemerintah menilai adanya kekosongan hukum yang tidak dapat teratasi
dengan membuat undang-undang yang baru karena akan memakan waktu yang lama.
Wiranto mengatakan “UU Tahun 2013 tentang Ormas telah tidak lagi memadai sebagai
1 “Pemerintah Resmi Terbitkan Perppu 2/2017 soal Ormas”. 12 Juli 2017, [berita online]
tersedia di www.news.detik.com diakses pada 9 Oktober 2019
43
sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945, baik dari aspek substansif terkait dengan norma, larangan dan saksi, serta
prosedur hukum.”2 Alasan lain adalah tidak adanya asas hukum administratif
contrarius actus, atau asas hukum mengenai lembaga yang mengeluarkan izin atau
memberikan pengesahan terhadap ormas yang sekaligus berwenang mencabut izin atau
peraturan tersebut.3
Pembelaan terhadap perlunya pemerintah mengeluarkan perppu turut
diutarakan oleh Mahduf MD selaku anggota dewan pengarah Unit Kerja Presiden
Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Menurutnya, kelompok atau organisasi
radikal sekarang ini sudah masif dan lebih terstruktur dengan baik. Kelompok tersebut
memiliki tujuan ingin mengganti dasar negara dan konstitusi dengan cara yang tidak
sesuai prosedur yang legal. Kelompok-kelompok tersebutlah yang ingin dilawan
pemerintah. Dengan Perppu Ormas ini, pemerintah ingin memangkas mekanisme yang
sudah diatur di UU Ormas yang lama.4
Penulis menemui Achmad Baidowi, selaku anggota Komisi II dari Fraksi PPP
untuk meminta penjelasan lebih jauh mengenai Perppu Ormas. Baidowi
mengungkapkan ketidaksetujuannya yang menyebut Perppu Ormas akan mengebiri
2 “Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas”. 12 Juli 2017, [berita online] tersedia di
www.news.detik.com diakses pada 9 Oktober 2019. 3 Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasassri, dan Oemar Moechtar, Pengantar Hukum Indonesia
(Surabaya: Airlangga University Press, 2007) hlm. 133 4 “Mahfud MD Jelaskan Soal Perppu Ormas”. 22 Agustus 2017, [berita online] tersedua di
www.tribunnews.com diakses ada 9 Oktober 2019
44
kebebasan berorganisasi. Ia mengatakan itu hanya ketakutan sesaat saja. Ormas harus
senantiasa merujuk pada aturan hukum. Ormas yang nyatanya melanggar dasar negara
sudah sepatutnya dibubarkan. Ia mengambil contoh HTI yang dibubarkan dengan
Perppu Ormas, karena menurutnya HTI memiliki pemahaman ingin mendirikan negara
khilafah.5
Wakil Sekjen PPP itu menjelaskan, lahirnya perppu ini karena ada organisasi
yang tidak sesuai Pancasila. Tetapi sulit dibubarkan oleh pemerintah kalau
menggunakan undang-undang yang lama. Walaupun ia mengatakan, kesepatakan awal
PPP menerima perppu disahkan menjadi undang-undang, namun harus segera
dilakukan revisi khususnya dalam ranah pengadilan. Ia ingin tetap muaranya di
pengadilan. Dalam undang-undang yang lama memang, ketika pemerintah ingin
membubarkan suatu ormas harus melewati pengadilan baru kemudian pemerintah
mengeksekusi putusan. Namun, Baidowi merasa ini terlalu lama dan tidak sesuai aturan
yang benar.
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 memang, untuk penjatuhan
sanksi administratif terhadap suatu ormas saja perlu beberapa mekanisme sebelum
sanksi pembubaran dijatuhkan. Pemerintah dalam Pasal 61 UU No.17 Tahun 2013
setidaknya harus melalui empat mekanisme sanksi administratif, yaitu peringatan
5 Wawancara dengan Achmad Baidowi, F-PPP Komisi II DPR-RI, 19 Maret 2019
45
tertulis, pengentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementera kegiatan dan/atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.6
Pemerintah dapat mengeluarkan surat peringatan tertulis sampai tiga kali, dan
dalam setiap surat peringatan masing-masing berlaku dalam waktu paling lama 30 hari
baru kemudian surat peringatan kedua boleh diberikan, begitu juga dengan surat
peringatan ketiga yang dapat dilayangkan setelah 30 hari. Setelah proses peringatan
tidak diindahkan oleh ormas dan penghentian bantuan dan/atau hibah sudah dilakukan
pemerintah, selanjutnya pemerintah harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung
maksimal 14 hari sebelum kemudian dapat memberhentikan kegiatan sementara ormas
yang melanggar. Proses ini baru sampai pada penghentian sementara kegiatan ormas
selama enam bulan.
Dalam proses penghentian dan pencabutan badan hukum yang berkekuatan
hukum tetap kepada suatu ormas mulai dari pengadilan negeri sampai tahap kasasi
diterima oleh MA atau tidak, memakan waktu sampai 200 hari jika melihat ketentuan
durasi maksimum dari masing-masing proses.7 Masalah waktu inilah yang menjadi
salah satu alasan pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang.
6 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. 7 Jika melihat Pasal 66 sampai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Maka, pemerintah merasa perlu penyederhanaan proses penghentian dan
pencabutan badah hukum ormas.
46
Pasal 61 dalam Perppu Ormas lebih disederhanakan lagi tahapan-tahapan untuk
pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum suatu ormas. Dalam
perppu tertulis hanya ada tiga tahapan sanksi yaitu, peringatan tertulis, penghentian
kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum. Pemerintah juga memotong durasi surat peringatan tertulis yang sebelumnya
tiga kali dan dilakukan bertahap selama 30 hari, dalam perppu ini di Pasal 62 peringatan
tertulis hanya dilakukan satu kali dalam waktu 7 hari dan apabila ormas tersebut tidak
mengindahkan peringatan yang diberikan, maka akan langsung dijatuhkan sanksi
penghentian kegiatan. Maka dari segi waktu dibutuhkan kurang dari satu bulan untuk
pemerintah dapat membubarkan suatu ormas.8
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini menghapus fungsi peradilan dalam tahapan
pembubaran suatu ormas. Pasal 70 sampai Pasal 80 mengenai tahapan dari Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung dihapus dalam Perppu ini. Ormas yang telah dibubarkan
berhak untuk menuntut surat keputusan pembubaran ormasnya di pengadilan sesudah
dibubarkan.
Penulis berkesimpulan, pemerintah mengeluarkan Perppu tentang Ormas ini
dengan sejumlah alasan, yaitu:
8 Sri Yunanto, Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia: Studi Tentang
Ideologi dan Gerakan Politik HTI Dalam Perspektif Empat Konsensus Bangsa Indonesia (Jakarta:
Intitute for Peace and Security.2017) hlm. 151
47
1. Ormas radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah
mengkhawatirkan.
2. UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah tidak
mampu menjadi sarana pencegahan.
3. Tidak adanya azas hukum administratif contrarius actus di dalam undang-
undang yang lama.
4. Sebagaimana isi Pasal 22 UUD 1945 dan terjemahan Pasal 22 UUD 1945
oleh MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, pemerintah merasa
sudah ada kegentingan yang memaksa untuk segera dikeluarkannya perppu
ketimbang merevisi atau membuat undang-undang yang baru.
B. Pandangan PAN Terhadap Perppu Ormas
Langkah pemerintah untuk menerbitkan Perppu Ormas dikritik banyak
kalangan, tidak terkecuali dari partai politik di parlemen. PAN yang sudah menyatakan
dukungannya terhadap pemerintah, menyayangkan keluarnya perppu ini karena perppu
ini dianggap belum menjadi solusi terhadap permasalahan ormas yang bermasalah.
Yandri Susanto, Ketua DPP PAN, menilai pemerintah seharusnya menjadi pembina
bukan menjadi pembubar. Karena sudah menjadi tugas pemerintah untuk membina
ormas yang dianggap bermasalah.9
9 “6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”. 13 Juli 2017,
[berita online] tersedia di www.news.detik.com diakses pada 28 Mei 2019
48
Sikap PAN yang demikian juga diikui oleh oposisi, Didik Mukrianto Sekretaris
Fraksi Demokrat menyebutkan, fraksinya akan melakukan kajian terlebih dahulu,
Demokrat tidak ingin perppu ini berpotensi memunculkan abuse of power serta
tindakan yang akan membrangus kebebasan dan demokrasi yang sudah di bangun di
Indonesia.10 Wakil Ketua Dewan Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid pun mendukung
apabila ada pihak yang ingin mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,
karena menilai perppu ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
Keluarnya Perppu Ormas ini juga tidak lepas kaitannya dengan ormas yang
sudah ada di Indonesia cukup lama, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang sudah
menjadi rahasia umum menolak demokrasi dan menginginkan berdirinya khilafah di
Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan PAN untuk menolak
hadirnya perppu. Hakam Naja menganalogikan seperti ‘membunuh nyamuk dengan
meriam’.11 Mengeluarkan perppu hanya untuk ‘membunuh’ satu ormas.
PAN, menurutnya, mengedepankan rasionalitas atau akal sehat untuk melihat
apa penyebab keluarnya suatu perppu. Tidak ada alasan yang masuk akal yang diterima
PAN ketika pemerintah ingin mengeluarkan Perppu Ormas. Masalah HTI atau FPI,
menurutnya bukanlah suatu masalah yang harus ditangani dengan mengeluarkan
10 “6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”. 13 Juli 2017,
www.detik.com diakses pada 28 Mei 2019 11 Wawancara Abdul Hakam Naja, F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019
49
perppu. Masalah yang ada di depan mata seperti OPM dan gerakan separatis lainnya
yang seharusnya mendapat atensi lebih dari pemerintah.
Masalah mekanisme yang sempat disinggung Mahfud MD, menurut Hakam
Naja juga merupakan suatu kesalahan. Undang-undang yang lama menurutnya sudah
baik. Ormas dibubarkan oleh putusan pengadilan bukan oleh eksekutif. Eksekutif
memberikan saran jika ingin membubarkan ormas. Cara yang demikianlah yang
menurut Hakam negara demokrasi lakukan. UUD 1945 pun sudah mengatur mengenai
kebebasan berserikat atau berorganisasi dan berpendapat dimuka umum. Sehingga,
menurutnya, pemerintah seharusnya mengusulkan revisi besar-besaran terhadap
undang-undang yang lama, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 dibanding
mengeluarkan perppu.
Masalah azas contrarius actus juga disinggung Hakam Naja saat wawancara
dilakukan. Menurutnya penarapan azas tersebut baik jika diimplementasikan kepada
aspek administrasi. Namun dalam ormas, bukan hanya mencakup administrasi, tetapi
eksistensi sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk
berorganisasi. Hak tersebut melekat dalam setiap individu. Ia menyamakan seperti hak
politik, hak memilih dan juga dipilih. Ia beralasan, pemerintah juga merupakan produk
hasil dari pemilihan, oleh sebab itu dikhawatirkan akan ada konflik kepentingan. “Jika
menjadi lawan politik akan dicabut, kalau dia mendukung tidak akan dicabut” ujar
Hakam Naja. Ia juga menyayangkan seakan-akan ada langkah eksekutif mengambil
alih tugas yang harusnya dilakukan oleh yudikatif. Karena menurutnya, “kita boleh
50
tidak suka dengan HTI, namun kita tidak boleh sewenang-wenang. Pemerintah harus
setara di depan hukum. Kalau sekarang terlihat, jadi lebih tinggi”.12
Alasan-alasan yang demikian, sehingga menurutnya masalah kegentingan yang
memaksa yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan perppu ini sudah tidak tepat.
Kegentingan yang memaksa contohnya seperti perang dimana pemerintah harus cepat
dalam mengalokasikan APBN, atau seperti bencana besar seperti Tsunami Aceh yang
perlu tindakan cepat dari pemerintah sehingga dapat digolongkan ke dalam
kegentingan yang memaksa.
Dalam analisa penulis, pasal-pasal atau dasar dari Perppu Ormas yang menjadi
keberatan PAN di antaranya:
1. Pasal yang Bermasalah
Perppu Nomor 2 Tahun 2013 menghapus Pasal 70 sampai Pasal 80 yang berisi
tugas dan fungsi peradilan dari tahap Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung
dalam proses pembubaran suatu ormas. Keputusan yang demikian bukan salah satu ciri
negara demokratis yang menjaga kebebasan berserikat/berorganisasi yang
bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Ambiguitas atau multi tafsir pada Pasal 82A BAB XVIIA Ketentuan Pidana.
Yang didalamnya terdapat kalimat “setiap orang yang menjadi anggota/atau pengurus
Ormas yang dengan sengaja secara langsung atau tidak langsung….” dapat dipidana
12 Wawancara Abdul Hakam Naja F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019
51
karena melakukan pelanggaran. Masa hukumnya bervariasi, Pasal 82A ayat 1 apabila
melanggar ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana antara 6
bulan sampai 1 tahun, sedangkan dalam Pasal 82A ayat 2 apabila melanggar ketentuan
dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana mulai dari 5 tahun
sampai 20 tahun bahkan dapat dikenakan pidana seumur hidup.
Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya multi tafsir, apakah seluruh anggota
suatu ormas akan terkena pidana dari kegiatan ormas yang dianggap melanggar, atau
hanya aktor intelektual yang menjadi bagian dari suatu ormas yang akan terkena
pidana. Serta, dikhawatirkannya tafsir tunggal terhadap Pancasila juga turut ditakutkan
oleh PAN.
2. Asas Contrarius Actus
Dimasukkannya asas contrarius actus yang dijadikan dasar perppu tidak tepat
jika diterapkan kepada ormas, lebih tepat diterapkan dalam urusan administrasi seperti
SIM atau KTP. Karena didalam ormas, bukan hanya menyangkut hal administrasi dari
ormas tersebut, tetapi ada hak konstitusional warga negara didalamnya, dimana hanya
pengadilanlah yang berwenang mencabut hak tersebut.
Asas ini dahulu digunakan oleh Mahkamah Agung untuk menguji peraturan
dibawah undang-undang hanya berwenang untuk menyatakan tidak sah, namun untuk
52
pencabutan dan pembatalan aturan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pembentuk
aturan tersebut.13
3. Tidak ada Kegentingan yang Memaksa
Dasar suatu perppu dikeluarkan adalah Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan
apabila ada kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang. Hal tersebut kemudian diterjemahan oleh MK
dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam Permohonan Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
MK menimbang terbitnya suatu perppu apabila adanya keadaan yang mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, namun
undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, sehingga kekosongan hukum
tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa
karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu memastikan untuk diselesaikan.14 Pasca dikeluarkannya Perppu Ormas,
hanya ada satu ormas yang dibubarkan oleh pemerintah, yaitu HTI. Sehingga
13 Miftahul Huda, “Kamus Hukum,” Majalah Konstitusi No. 34, November 2009, 78. 14 Termuat dalam Pertimbangan Hukum MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam
Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
53
kegentingan yang memaksa sudah tidak rasional menurut PAN. Adanya revisi terhadap
undang-undang lama lebih tepat dilakukan pemerintah dibandingkan mengeluarkan
sebuah perppu.
Pemerintah telah menyerahkan perppu ormas kepada DPR untuk dibahas dalam
satu kali masa sidang. DPR akan membahas apakah disetujui atau tidak disetujui,
apabila tidak menerima, UU No.7 Tahun 2013 akan kembali berlaku. Komisi II yang
berwenang membahas ini, akan mengundang berbagai pihak untuk dimintai pendapat
mengenai perppu ormas.
Rapat paripurna DPR dengan agenda pembahasan Perppu No.2 Tahun 2017
dilakukan pada 24 Oktober 2017. Rapat yang dipimpin oleh Fadli Zon ini mendapatkan
banyak interupsi dan perdebatan antar anggota dewan. PDI Perjuangan, Nasdem,
Golkar, dan Hanura masih tetap tegas mendukung pengesahan perppu menjadi undang-
undang jika dilihat dari pandangan fraksi. PKB, PPP, dan Demokrat akhinya menerima
pengesahan perppu menjadi undang-undang walaupun dengan catatan pemerintah
harus tetap merevisi beberapa pasal didalamnya. Gerindra, PKS, dan PAN pun tetap
pada pendiriannya yaitu menolak kehadiran perppu ormas untuk disahkan menjadi
undang-undang.
Voting pun menjadi jalan terakhir DPR untuk menentukan apakah perppu
tersebut disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang. Melalui mekanisme
pemunguntan suara per fraksi, tidak dilakukan secara perorangan. Seperti yang sudah
dapat ditebak. Tujuh fraksi menerima Perppu No.2 Tahun 2017 disahkan menjadi
54
undang-undang, sedangkan tiga fraksi lainnya menolak untuk disahkan. PAN tetap
pada posisinya, yaitu menolak Perppu Nomor 3 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan untuk disahkan menjadi undang-undang. Berikut tabel suara
pengesahan perppu ormas berdasarkan kehadiran anggota15:
Tabel IV.B.1
Tabel Suara Fraksi Sidang Paripurna Pengesahan Perppu Ormas
Setuju Tidak
Setuju
Total
PDI Perjuangan 106 Partai Gerindra 62
Partai Golkar 70 PKS 24
Partai Nasdem 23 PAN 35
Partai Hanura 15
PKB* 32
PPP* 23
Partai Demokrat* 42
Total 311 121 432
*Menerima dengan catatan revisi.
C. Faktor Perbedaan Sikap PAN dengan Koalisi Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla
C.1 Faktor Kebijakan Internal PAN
Faktor internal PAN, tepatnya pilihan rasional dari PAN menjadi faktor utama
dalam penolakkannya terhadap Perppu Ormas. Aspek hukum yang menjadi masalah
PAN dalam Perppu Ormas adalah kewenangan pemerintah memberikan penilaian
subjektif terhadap aktivitas ormas yang dianggap melanggar Pancasila. Pembubaran
15 “Tolak Perppu Ormas Menjadi UU, Ini Alasan Gerindra”. 24 Oktober 2017, okezone.com
[berita online] tersedia di www.news.okezone.com diakses pada 28 Mei 2019
55
tanpa melalui pengadilan juga memberikan jalan pintas pemerintah untuk
membubarkan suatu ormas tanpa melewati pembuktian kesalahan ataupun lewat surat
peringatan. Andi Yulianis Paris, politikus PAN, beralasan partainya menolak Perppu
Ormas karena mencegah Presiden Joko Widodo dari pelanggaran terhadap UUD 1945.
Andi tidak ingin presiden melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang isinya menjamin
hak untuk hidup dan kemerdekaan pikiran serta kebebasan dari sikap diskriminatif.16
Menurutnya ini juga berpotensi untuk melanggar HAM karena memberikan
kewenangan yang absolut terhadap pemerintah untuk memberikan penilaian subjektif
dan memerikan sanki terhadap ormas yang dianggap melanggar.
Muhammadiyah dan ormas-ormas lain yang menentang adanya perppu ormas
juga menjadi alasan PAN berbeda pandangan mitra koalisi yang lain. PP
Muhammadiyah yang menolak perppu ormas karena menilai UU No.17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sebelumya sudah ada masih relevan dan
mengkhawatirkan adanya abuse of power karena kewenangan pembubaran ormas
mutlak berada di tangan pemerintah.17 Massa Muhammadiyah dan massa umat Islam
masih menjadi pensuplai kader dan suara di tubuh PAN. PAN tentunya tidak ingin
kehilangan popularitas di pendukungnya seperti kata Bingham Powell. Partai politik
16 “PAN Beralasan Menolak Perppu Ormas Justru karena Mendukung Jokowi”. 24 Oktober
2017, tempo.co [berita online] tersedia di www.nasional.tempo.co diakses pada 22 Oktober 2019 17 “Perppu Ormas: NU Mendukung, Muhammadiyah Menolak”. 18 Oktober 2017, tempo.co
[berita online] tersedia di www.nasional.tempo.co diakses pada 24 Oktober 2019
56
sulit untuk memilih, apakah mempetimbangkan kepetingan koalisi atau popularitas
partai untuk pemilihan mendatang.18
C.2 Faktor Bentuk Koalisi
Pemerintahan Jokowi pada mulanya memang menghasilkan pemerintahan yang
minoritas, atau tidak mendapat cukup dukungan partai politik di parlemen. Jokowi-JK
hanya diusung oleh empat partai politik, yakni PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB,
dan Partai Hanura. Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu partai politik
pendukung Prabowo-Hatta memilih untuk merapat ke koalisi Jokowi-JK. PPP, Partai
Golkar, dan PAN berhasil menjadi kekuatan tambahan di parlemen dan menjadikan
koalisi Jokowi-JK menjadi koalisi besar atau oversized coalition.
Koalisi besar yang sudah tergabung menurut penulis merupakan koalisi yang
bersifat pragmatis dengan mengesampingkan kesamaan ideologi masing-masing
partai, dan bertujuan untuk saling memanfaatkan sumber daya kekuasaan di eksekutif.
PAN secara terus terang ingin mengoptimalkan perannya untuk bangsa dengan menjadi
bagian eksekutif. Hal tersebut dikonformasi oleh Hakam Naja yang menyebutkan
keputusan tersebut merupakan salah satu amanat Kongres PAN yang lalu. Hal tersebut
seperti yang dikatakan Moury, bahwa koalisi yang dibangun oleh elit partai, dalam hal
18 Bingham Powell Jr. Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence,
(Massachusetts: Harvard University Press, 1982), hlm. 74 lihat juga Asrinaldi A, “Koalisi Model
Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal
Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68
57
ini PAN, adalah terkait pilihan rasional elit dalam memaksimalkan sumber daya politik
yang mereka miliki.19
Koalisi pendukung Jokowi-JK tidak memiliki sesuatu untuk mengikat para
mitra koalisi yang sudah bergabung. Selain itu, komunikasi antar mitra koalisi juga
menurut penulis kurang dibangun oleh Jokowi maupun PDI Perjuangan. Masalah Hak
Angket KPK yang berasal dari inisiatif partai-partai pendukung pemerintah, pada
awalnya ditolak oleh sesama mitra koalisi. PPP, PKB, dan PAN menolak usulan adanya
hak angket untuk KPK pada waktu itu. Walaupun pada akhirnya partai-partai tersebut
bergabung ke dalam Pansus, ini sudah menjadi bentuk nyata kurangnya komunikasi
terhadap mitra koalisi.
Masalah komunikasi lagi-lagi terjadi di dalam koalisi pendukung Jokowi-JK.
Masalah Perppu Ormas yang ditolak Fraksi PAN di DPR menjadi satu-satunya fraksi
pendukung pemerintah yang berbeda pandangannya. PAN menilai tidak adanya
kegentingan yang memaksa sehingga presiden harus mengeluarkan sebuah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang maupun alasan rasional lainnya. Hakam Naja
menilai, kegentingan yang memaksa dalam hal ini misalnya, bencana besar seperti
tsunami Aceh dahulu, atau saat perang pemerintah membutuhkan APBN sehingga
19 Catherine Moury, Coalition Government and Party Mandate: How Coalition Agreement
Constrain Minesterial Action, (London: Routledge, 2013) dalam Asrinaldi A, “Koalisi Model
Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal
Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68
58
presiden bisa mengeluarkan perppu.20 Dan terkait waktu, ia menginginkan pemerintah
bersabar untuk mengusulkan perubahan total atau revisi UU Ormas.
Bentuk koalisi yang besar atau oversized coalition juga menyangkut visi
bersama yang harus dibangun setelah pemilu dalam membentuk pemerintahan, yang
membuat mitra koalisi berusaha menyesuaikan visinya dengan partai yang menjadi
poros utama partai. Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB dan termasuk PAN harus
menyesuaikan program yang telah dirancang kepada PDI Perjuangan selaku poros
utama koalisi. Visi bersama yang seharusnya dibangun dan dirumuskan sebelum
pemerintahan terbentuk, justru dilakukan setelah kemanangan dalam membentuk
pemerintahan.
Koalisi yang hanya mementingkan jangka pendek dan temporer seperti ini,
memiliki konsekuensi yaitu lemahnya ikatan dan solidaritas mitra koalisi sehingga
dukungan partai politik terhadap pemerintah hanya ditentukan oleh “mood politik”
partai politik mitra koalisi.21 Apakah harus dihadapkan dengan kebijakan yang
membuat kecewa partai atau sedang berhubungan baik dengan pemerintah.
Koalisi yang temporer atau sementara juga diamini oleh Hakam Naja ketika
diwawancara oleh penulis. Ia beralasan ketika berbeda pilihan pada RUU Pemilu, itu
20 Wawancara Abdul Hakam Naja, F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019 21 Istilah ini digunakan oleh Syamsuddin Haris untuk menggambarkan Partai Golkar dan PKS
ketika SBY menjadi presiden. Golkar dan PKS sempat mendorong adanya hak angket dalam skandal
Bank Century. Penulis meminjam istilah ini untuk menggambarkan hubungan koalisi PAN dan Jokowi-
JK. Syamsudin Haris, Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.2014) hlm. 108
59
semata-mata tidak mau mengorbankan partai untuk koalisi yang bersifat temporer ini.
Ia juga tidak ingin mengorbankan partai hanya untuk jabatan menteri dan PAN berbeda
pandangan mengenai sistem politik di Indonesia.
Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik di Indonesia
menggambarkan kecenderungan pembentukkan koalisi yang bersifat instan yang
berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek. Lemahnya koalisi yang dibangun
turut diakibatkan tidak sepenuh hatinya dukungan dari partai politik anggota koalisi,
dan memandang koalisi yang dibangun hanya untuk sementara.22
Koalisi yang berdasarkan platform atau ideologi anggota koalisi harus didorong
untuk terciptanya koalisi yang permanen. Koalisi yang bertujuan policy seeking
(mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai) lalu diikat oleh kesamaan tujuan
dan kebijakan.23 Sehingga koalisi yang bersifat solid diperlukan agar koalisi yang
dibentuk tidak semata-mata untuk transaksi politik antar elit di pemerintahan dan partai
politik untuk menjaga dukungan partai politik terhadap pemerintah dengan kompensasi
menteri di kabinet dapat terhindarkan.24
22 Asrinladi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan
Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 69 23 Lili Romli, “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi”, Jurnal Politica
Vol. 8 No.2 November 2017: 103 24 Beverly Evangelista, “Eksistensi Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia
Menurut UUD 1945”, Jurnal Ius Vol II No.5 (Agustus 2014): 340
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas tentu mempunyai alasan tersendiri.
Faktor internal PAN, khususnya pilihan rasional yang PAN ambil dalam memandang
perppu ormas menjadi faktor utama dalam masalah ini. Aspek hukum dan tidak adanya
kegentingan yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkan suatu perppu menjadi
pertimbangan PAN untuk menolak adanya Perppu Ormas.
Dihapusnya fungsi peradilan dalam proses pembubaran suatu ormas menjadi
titik krusial penolakan PAN terhadap perppu ini. Peran eksekutif yang sangat dominan
dalam pembubaran ormas, dikhawatirkan dapat memicu kesewenang-wenangan
pemerintah dan dapat digunakan untuk menjegal lawan politiknya dikemudian hari.
Ditambah, pasca dikeluarkannya perppu ini hanya satu ormas saja yang dibubarkan,
yaitu HTI. Sehingga kegetingan yang memaksa tersebut, tidaklah rasional dan tidak
terbukti. Asas contrarius actus yang ditambahkan kedalam perppu ini juga dinilai tidak
tepat implementasinya terhadap masalah keormasan.
Sehingga, pada kesimpulannya PAN sebetulnya berharap pemerintah
melakukan revisi total terhadap undang-undang yang lama, Undang-undang No.17
Tahun 2013, agar masalah seperti waktu yang terlalu lama dalam membubarkan ormas
61
dan menghindari wewenang eksekutif yang terlalu besar dapat dihindari dengan
dibahas bersama DPR.
Pada kasus ini membuktikan kesamaan ideologi yang dikesampingkan dalam
membentuk suatu koalisi turut andil dalam ketidakstabilan jalannya pemerintahan.
Kepentingan jangka pendek untuk mendapatkan suara dan mengoptimalkan sumber
daya kekuasaan yang ada masih menjadi dasar partai politik bergabung dalam koalisi.
Tidak adanya suatu pengikat di dalam koalisi Jokow-JK juga turut menjadi
faktor ketidakharmonisan antara PAN dan mitra koalisi yang lain. Visi bersama yang
seharusnya dibangun antar mitra koalisi parpol nampaknya belum maksimal dalam
menjaga koalisi agar tetap solid. Serta, komunikasi yang baik seharusnya dibangun
Jokowi maupun PDIP sebagai poros utama untuk mencegah perbedaan pandangan di
dalam koalisi.
Faktor internal PAN seperti pilihan menyangkut keengganan mengambil resiko
dengan pilihan menolak adanya Perppu Ormas untuk menjaga popularitas partai dalam
pemilihan mendatang membuat PAN terpaksa membuat keputusan berbeda dengan
koalisi yang lain daripada harus mengorbankan kepentingan partai pada pemilu
mendatang.
62
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti memiliki saran sebagai berikut:
1. Akademis
Penelitian selanjutnya diharapkan mampu membahas dan mendalami masalah
seputar sistem multipartai ekstrem yang diterapkan di Indonesia. Ketika sistem
presidensial dikombinasikan dengan multipartai ekstrem, koalisi besar yang harus
dibangun untuk mengamankan suara saat pemilu presiden ataupun suara di parlemen,
membuat koalisi yang dibangun akan rapuh. Melakukan perbandingan secara
mendalam mengenai masalah tersebut dirasa peneliti juga penting untuk dibuat agar
mengetahui fenomena yang terjadi di Indonesia apakah dialami oleh negara yang
menganut serupa dengan Indonesia.
2. Praktis
Peneliti berharap agar kedepannya partai politik yang berada di Indonesia lebih
sederhana dari segi jumlah. Karena dengan begitu tidak adanya kepentingan yang
terlalu banyak dari partai politik di pemerintah yang berjalan dan akan lebih stabil
dengan jumlah partai yang lebih sedikit. Partai politik juga memiliki kemungkinan
mendapatkan kursi mayoritas di parlemen sehingga dapat terwujud kestabilan di
pemerintahan. Partai politik juga diharapkan membentuk koalisi yang lebih stabil
dengan memikirkan aspek kesamaan ideologi.
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Ambardhi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013.
Cole, Alexandra. Perbandingan Partai Politik: Sistem dan Organisasi dalam Ilmu
Politik dalam Paradigma Abad ke-21. Jakarta: Kencana, 2013.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S.
Jakarta: Kencana, 2007.
Heywood, Andrew. Politics, Ed. 3rd. New York: Palgrave Macmillan, 2007.
Katz, Richard S., William Croty. Handbook Partai Politik. Bandung: Nusa Media,
2014.
Lijphart, Arend. Pattern of Democracy: Governmant Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. Michigan: Yale University, 2012.
Nainggolan, Bestian. dkk. Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan
Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: Kompas, 2016.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Lkis, 2008.
Shively, W. Phillips. Power & Choice: An Introduction to Political Science. New
York: McGraw-Hill, 2007.
Sudjarwo dan Basrowi. Manajemen Penelitian Sosial. Bandung: CV. Mandar
Maju, 2009.
Hajati, Sri, Poespasassri, Ellyne Dwi, dan Moechtar, Oemar. Pengantar Hukum
Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
Yunanto, Sri. Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia: Studi
Tentang Ideologi dan Gerakan Politik HTI Dalam Perspektif Empat
Konsensus Bangsa Indonesia. Jakarta: Intitute for Peace and Security, 2017
Haris, Syamsudin. Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
64
Jurnal Ilmiah
Aminuddin, M. Faishal dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party:
Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia
Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik Vol. 1, No. 1, (Agustus 2015):39-74.
Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan
Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10, No.2 (Desember 2013):63-77.
Asrinladi, A. “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan
Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68.
Haris, Syamsuddin. “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia:
Faktor-Faktor Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono” Jurnal
Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011):3.
Ihsan, A. Bakir. “Rekonstruksi dan Revitalisasi Koalisi dalam Sistem Quasi
Presidensial.” Jurnal Penelitian Politik LIPI: Menggugat Politik Parlemen,
Vol. 8, No.1 (2011): 31-43.
Jr, Bingham Powell. Contemporary Democracies: Participation, Stabilty and
Violence. Massachusetts: Harvard University Press, 1982. dalam Asrinladi A,
“Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan
Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No.2
(Desember 2013): 68
Moury, Catherine. Coalition Government and Party Mandate: How Coalition
Agreement Constrain Minesterial Action. London: Routledge. 2013. dalam
Asrinladi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan
Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik
Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68.
Ratna Solihah, “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik Partai
Amanat Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”. Jurnal Wacana Politik,
Vol 1 No.2 (Oktober 2016):116-123.
Solihah, Ratnia. “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik
Partai Amanat Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”. Jurnal Wacana
Politik Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016):166-123.
Sumadinata, R. Widya Setiabudi. “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di
Indonesia Menjelang dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”. Jurnal
Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober 2016):183-188.
Romli, Lili. “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi”,
Jurnal Politica Vol. 8 No.2 (November 2017): 103
65
Evangelista, Beverly. “Eksistensi Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil
di Indonesia Menurut UUD 1945”, Jurnal Ius Vol II No.5 (Agustus 2014):
340
Skripsi
Prasasti, Erika Sita. “Partai Politik dan Koalisi: Studi atas Perbedaan Sikap Partai
Golongan Karya (Golkar) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan
Koalisi Pendukung Pemerintah SBY Periode 2009-2014”, Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta. 2017
Dokumen
Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
Majalah
Huda, Miftahul “Kamus Hukum,” Majalah Konstitusi No. 34, November 2009, 78.
Internet
“6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”.
https://news.detik.com. 13 Juli 2017
“DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?”.
https://kumparan.com. 20 Juli 2017.
“Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas”. https://news.detik.com. 12 Juli
2017.
“Ini Tiga Nama Anggota Fraksi PAN yang Duduk Dalam Pansus Angket KPK”.
http://www.tribunnews.com. 7 Juni 2017.
“Koalisi Merah Putih Hingga Lima Tahun”. https://www.republika.co.id. 15 Juli
2014.
“Koalisi Tenda Besar Gerindra: Golkar, PKS, Hanura, PPP dan PAN”.
https://www.liputan6.com. 7 Mei 2013.
66
“KWI, PGI, dan PP Dukung Perppu Ormas Disahkan Jadi UU”.
https://news.detik.com. 18 Oktober 2017.
“Mahfud MD Jelaskan Soal Perppu Ormas”. https://www.tribunnews.com. 22
Agustus 2017.
“Menurut Zulkifli, Jokowi Memahami Alasan PAN Pilih Sikap Berbeda dengan
Koalisi”. https://nasional.kompas.com. 24 Juli 2017.
“PAN Beralasan Menolak Perppu Ormas Justru karena Mendukung Jokowi”.
https://nasional.tempo.co. 24 Oktober 2017.
“PAN Gabung Koalisi Jokowi”. http://www.bbc.com. 2 September 2015.
“PAN Resmi Jadi Partai Pendukung Pemerintah Jokowi”.
https://nasional.sindonews.com. 2 September 2015.
“Pansus RUU Pemilu Sepakati 5 Opsi Paket untuk Diputuskan Besok”.
https://nasional.tempo.co. 12 Juli 2017.
“Partai Golkar Gabung Jokowi”. http://www.republika.co.id. 26 Januari 2016.
“Pemerintah Resmi Terbitkan Perppu 2/2017 soal Ormas”. https://news.detik.com.
12 Juli 2017.
“Prabowo-Hatta Resmi Daftar ke KPU”. https://nasional.kompas.com. 20 Mei
2014
“Sah! Perppu Ormas resmi jadi UU”. https://news.detik.com/. 27 Desember 2017
“Tolak Perppu Ormas Menjadi UU, Ini Alasan Gerindra”.
https://news.okezone.com. 24 Oktober 2017.
“PAN Siap Koalisi dengan Semua Partai”. https://beritasatu.com. 20 Maret 2014.
“DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?”.
https://kumparan.com. 20 Juli 2017.
“Revisi UU Pemilu Alot, DPR Terbelah Tiga Kubu”.
https://nasional.sindonews.com. 20 Juli 2017.
“PAN dan Tiga Fraksi Oposisi Kompak Walkout Voting Revisi UU Pemilu.
https://www.merdeka.com. 21 Juli 2017
Wawancara
Wawancara dengan Abdul Hakam Naja. Fraksi PAN Komisi II DPR-RI. 5
September 2019.
67
Wawancara dengan Achmad Baidowi. Fraksi PPP Komisi II DPR-RI. 19 Maret
2019.