Upload
trinhcong
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA
(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)
Oleh:
Arif SugihartoArif SugihartoArif SugihartoArif Sugiharto NIM: 0032118695
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMAJURUSAN PERBANDINGAN AGAMAJURUSAN PERBANDINGAN AGAMAJURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFATFAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFATFAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFATFAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTAAKARTAAKARTAAKARTA
1429H./ 2008 M.1429H./ 2008 M.1429H./ 2008 M.1429H./ 2008 M.
PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANAPARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA
(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)(Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Arif Sugiharto NIM: 0032118695
Di bawah Bimbingan
Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA. NIP. 150240753
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./ 2008 M
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Andriyani, Istriku,
Tanpa dia, penulis akan menjadi seseorang yang “tidak ada.” Ibu Siti Aminah, Mertuaku
Kedua orangtuaku Saudara-saudara kandungku Seluruh keluargaku Hikmah kehidupan ada di mana-mana, termasuk di dalam keluarga Radhar Panca Dahana, Sebagai inspirator tangguh yang patut penulis tiru Semua ummat manusia yang mencintai dan menghargai setiap perbedaan dan warna kehidupan
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA
DAHANA (DITINJAU DARI BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA)
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th.I) pada jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Masri Mansoer, MA Maulana, MA
NIP. 150244493 NIP. 150293221 Penguji I Penguji II Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Ida Rosyidah, MA NIP. 150241817 NIP. 150242267
Pembimbing,
Drs. Nanang Tahqiq, MA
NIP. 150248753
a = ا
b = ب
t = ت
ts = ث
j = ج
h = ح
kh = خ
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
sh = ص
dl = ض
th = ط
zh = ظ
‘ = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
w = ؤ
� = h
’ = ء
y = ئ
Untuk Madd dan Diftong
� = â aw = َأْو
û = وأ
ay = يأ
î = يإ
KATA PENGANTAR
Sembah dan sujud hamba kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan
seluruh ummat manusia yang mengatur alam ini dengan penuh cinta dan kasih.
Dan penulis yakin atas cinta kasih-Nya, penulis dapat merampungkan tugas akhir
skripsi ini. Salam penghormatan kepada manusia istimewa yang telah
mengorbankan hidupnya untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi
ini, Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. H. M Amin
Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku
Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Bapak Drs. Maulana, MA, selaku Sekretaris
Jurusan Perbandingan Agama yang dengan baik hati telah memberikan semangat
untuk menyelesaikan skrips ini. Dan seluruh dosen-dosen di Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, khususnya di jurusan Perbandingan Agama yang telah mengajari
penulis dengan penuh antusiasme sehingga penulis mampu melihat realitas
kehidupan beragama dengan sesungguhnya.
Bapak Drs. Nanang Tahqiq, MA, selaku dosen pembimbing. Banyak
pesan dan kesan positif serta penuh makna ketika penulis menjalani bimbingan
dengan beliau. Beliau adalah figur yang sabar dan detail dalam melakukan
bimbingan skripsi, sehingga mampu memberikan masukan yang sangat amat
berharga bagi penulis.
Kepada seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakulas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang
baik. Juga penulis tidak lupa haturkan terima kasih kepada beberapa institusi yang
telah menyediakan ‘waktunya’ untuk memberikan pinjaman bahan-bahan skripsi
ini, seperti Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), terutama Mbak Miskola yang
dengan ramah membantu penulis dalam mendapatkan dokumentasi siaran diskusi
Radhar Panca Dahana. Kepada perpustakaan Freedom Institute, perpustakaan HB.
Jassin, perpustakaan Wahid Institute dan perpustakaan Imam Jama.
Persembahan terbesar dan terima kasih tak terhingga untuk yang paling
utama penulis haturkan kepada Andriyani, istri tercinta yang telah memberikan
dukungan tanpa batas kepada penulis. Istri yang dengan tulus mengorbankan
apapun demi sang suami. Tidak lupa kepada Ibu mertua, Siti Aminah yang selalu
memberikan nasihat-nasihat baik kepada kami. Juga kepada keluarga tercinta
Papa dan Mamaku, Omah, Emak dan Saudara dan saudari kandungku atas semua
dorongan dan doa.
Ucapan terima kasih terbesar juga penulis haturkan kepada Abang Radhar
Panca Dahana dan keluarga yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
diwawancarai di tengah-tengah kesibukannya. Selain bahan-bahan skripsi yang
diberikan, penulis juga mendapatkan banyak hal bermanfaat dari setiap obrolan
dan diskusi dengan Abang Radhar. Bagi penulis, Abang Radhar memang seorang
inspirator tangguh. Dua kata kunci yang akan selalu penulis ingat dari Abang
Radhar: “independensi dan idealisme.”
Terima kasih juga kepada Komunitas Teater Syahid UIN Jakarta, yang
penulis anggap sebagai keluarga kedua yang telah bersedia menampung segala
kegelisahan penulis sebagai manusia muda dan mewujudkan kegelisahan itu
dalam bentuk berkesenian yang mampu membuka potensi yang ada dalam diri
penulis. Kita akan selalu mengingat: “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-
kata” (mengutip sajak Rendra). Dan marilah kita terus dan terus berkarya. Tidak
lupa, penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman pekerja seni di Ciputat
atas pergaulan dan obrolan yang bermakna.
Terima kasih kepada Mas Klutuk yang kini menjabat redaktur politik di
harian Nonstop dan rekan-rekan yang pernah berjuang bersama melawan
pemerintahan tiranik di negeri ini yang tergabung dalam komunitas pergerakan
kampus, khususnya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta (Kamjak) UIN Jakarta.
“Hanya ada satu kata: LAWAN!” (mengutip sajak Wiji Tukul). Terima kasih atas
dukungan semangatnya.
Terima kasih kepada ‘guru-guru’ dan rekan-rekan yang kini berkarya di
CSRC (Centre for Study of Religion and Culture) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah bersedia melibatkan penulis dalam berbagai kegiatan
akademiknya, khususnya kepada Pak Chaider S. Buallim, Pak Irfan, Mas Ridwan,
Ibu Karlina, Teh Sri. Dan juga kepada rekan-rekan SCRC lainnya, yang telah
menerima penulis dengan kehangatan dan kebersamaan dalam setiap kegiatan
ilmiahnya. Pak Idris, Gus Sholah dan Mas Dlirin “ Saya tidak akan pernah
melupakan keceriaan kita dalam bekerja.”
Terima kasih penulis haturkan juga kepada rekan-rekan wartawan dan para
pekerja di Tabloid Gema Olahraga (GO), harian Indo Pos dan Tabloid Wanita
Indonesia. Kebersamaan kita memang singkat, namun banyak petuah dan ilmu
yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam melanjutkan hidup ini. “Jangan lupa:
cover both side.”
Terima kasih selanjutnya adalah kepada Pondok Pesantren Tarbiyatul
Falah di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, tempat penulis menimba berbagai ilmu
(agama dan kemasyarakatan) selama kurun waktu enam tahun. Dari sinilah awal
penulis mengenal kehidupan sesungguhnya dan mengenal kasih sayang yang tulus
dan murni dari orang-orang yang penulis anggap sebagai orang tua dan keluarga,
yakni kepada Ajengan Asep Yusuf Afandi dan Ibu Idah, Ajengan Fauzi dan Ibu
Euis, Pak Mumuh dan Ibu Anis serta seluruh keluarga besar pondok pesantren.
Tidak lupa kepada keluarga besar Pak Abbas dan Mamih, Mamah Nining,
Mamah Martin dan Mamah Yayan yang telah berkenan rumah tinggalnya
dijadikan tempat ’peristirahatan’ oleh para santri untuk melepas lelah setelah
berjibaku dengan rutinitas pondok dan tentunya ’melepas’ kelaparan perut kami.
Sampai kapanpun penulis tidak akan pernah lupa apa yang telah keluarga Pak
Abbas berikan kepada kami dari mulai perhatian dan kasih sayang hingga hal-hal
yang bersifat materiil. Dan terakhir kepada teman-teman di desa Sadammukti dan
keluarganya, Ipang, Blank, Kaka dan Ade, yang telah menerima kehadiran penulis
dengan kehangatan dan rasa persaudaraan yang kental. “Saya pasti akan selalu
kembali.”
Guru spiritual Kang Ajuy dan keluarga yang telah memberikan bimbingan
ruhani kepada penulis. Banyak petuah dari beliau yang kini penulis jadikan
pegangan dalam mengarungi hidup ini. Dan tidak lupa kepada tiga punggawa
perkumpulan spiritual Sukabumi, Asep Cepot, Bang Idris dan Dedet. “Ingat kita
selalu bersama dan tidak akan pernah pecah.”
Juga kepada para sahabat yang akan selalu mewarnai kehidupan penulis,
Mas Hafid Embek (guru), Ustadz Farid (editor), Aris (pengusaha), Nuril
(mahasiwa), Amir Coleng (calon politisi) beserta keluarga, Edi Klenk (seniman),
Ainurahman (pekerja pers), teman-teman perkumpulan guru sufi di Depok, Anwar
Cablak the best friend, teman-teman di komunitas Lombok, Lestari Sunyek, Riadi,
Akieb dan Oji Lalu, Fator dan seluruh rekan-rekan di jurusan Perbandingan
Agama angkatan 2000.
Dan terakhir penulis berterima kasih adalah kepada orang-orang yang
pernah menjalin persahabatan dengan penulis di berbagai komunitas dan wilayah
pekerjaan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu karena adanya
keterbatasan. Yang terpenting adalah persahabatan yang telah terjalin di antara
kita tidak pernah terputus.
Ciputat, 2 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
D. Studi Kepustakaan................................................................................ 12
E. Metode Penelitian................................................................................. 13
F. Sistematika Penulisan........................................................................... 15
BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA
A. Pengertian Teologi secara Umum ......................................................... 16
B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia .................................................. 21
C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indoneisa ............................. 22
D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia ................................................ 31
1. Teologi Tradisional ........................................................................ 31
2. Teologi Rasional............................................................................. 34
3. Teologi Neo-Modernisme............................................................... 37
4. Teologi Substansialis ...................................................................... 41
BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA
A. Riwayat Hidup............................................................................. 45
B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik........... 49
C. Aktivitas Radhar Panca Dahana ................................................... 51
D. Karya-karya Radhar Panca Dahana.............................................. 53
Bab IV PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA:
PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA
A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana .................................. 55
B. Pandangan Radhar Panca Dahana Tentang Tuhan........................... 63
1. Keesaan Tuhan ......................................................................... 63
2. Tuhan dalam Tafsiran Angka .................................................... 66
C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia......................... 69
1. Manusia sebagai Homo-Religius............................................... 69
2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman........................ 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. 86
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal abad ke-20 pemahaman masyarakat Muslim Indonesia
terhadap agamanya telah mengalami transformasi secara massif. Kebanyakan
ummat Islam terutama sarjana Muslim terdidik Barat secara berani dan
bertanggung jawab kembali menelaah dan mempertanyakan pemahaman dan
keyakinan beragama yang mereka anut selama ini, yang dalam hal ini terkait
dengan doktrinal Islam yang prinsipil, seperti tawhîd, Kitab Suci dan kenabian.1
Dalam produk pemahaman yang baru masyarakat Muslim terdidik Barat
itu tidak mau asal menerima dan menggunakan dogma-dogma agama tradisional
(konservatif) tanpa proses penelahaan kritis. Dan telaah kritis mereka dilakukan
dengan menggerakkan berbagai disiplin keilmuan (multidisipliner) secara
komprehensif. Penelahaan kritis tersebut dilakukan sebagai penegasan bahwa
tidak ada pertentangan antara keyakinan agama yang dianut dengan proses
kehidupan yang tengah mereka jalani di era modern.2 Sehingga ummat Islam
dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya yang bisa
berdampak kepada kemajuan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan.
Gagasan-gagasan pembaharuan yang disuarakan oleh sarjana keislaman
itu, secara perlahan-lahan mengikis hegemoni dan dominasi pemahaman
tradisional atas keyakinan agama yang pada umumnya bersandar kepada pendapat
aliran dalam madzhab fiqh ditambah sikap taqlid buta atas setiap fatwa-fatwa
1Baca Prof Howard M Federspiel dalam Kata Pengantar pada buku, Fauzan Saleh,
Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004), h. 5-9.
2Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 7.
yang disuarakan oleh para agamawan. Paradigma kebanyakan individu Muslim
yang terpenjara oleh pemahaman-pemahaman tradisional seperti itu dinilai
sebagai pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia.3
Dari persoalan kebuntuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam
Indonesia yang kemudian memunculkan usaha-usaha pembaharuan dalam bidang
teologis sebagai persoalan dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Muslim Indonesia, lahirlah beragam corak atau bentuk-bentuk
berteologi (Islam) di Indonesia.
Kemunculan beragam corak atau bentuk berteologi di Indonesia tersebut
adalah sebagai respon atas situasi dan kondisi kebekuan dan kemunduran yang
dialami ummat Islam dalam banyak bidang antara lain ekonomi, sains dan
teknologi, politik dan kebudayaan. Namun demikian, kelahiran teologi-teologi
yang dianggap sebagai pembaharuan itu tidak otomatis menghilangkan corak
teologi tradisional-klasik (Asy‘ariyyah) atau dalam istilah kontemporer
dinamakan dengan teologi formalis-normatif-tradisional.4 Sebagian besar
masyarakat Muslim Indonesia hingga sekarang masih banyak menganut aliran
teologi tersebut.
Bentuk teologi pembaharuan di Indonesia pada umumnya didasari atau
dipengaruhi oleh dua teologi besar, yaitu teologi rasional yang diusung oleh
Harun Nasution dan teologi neo-modernisme yang disuarakan oleh Nurcholish
Madjid (Cak Nur).5 Kendati demikian, ada juga corak teologi yang selama ini
3Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h.
62-65. 4Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49. 5Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 27-28.
kurang terdengar, namun memiliki pengaruh besar secara diam-diam yakni teologi
kultural yang salah satunya digerakkan oleh Abdurahman Wahid (Gusdur).6
Lebih menarik lagi, dalam fenomena masyarakat Muslim kekinian,
pemikiran tentang pembaharuan teologis yang berkembang di Indonesia tidak
hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir
arus utama (mainstream), yang dalam kategori ini adalah para sarjana Muslim
didikan Barat yang dulu pernah mengecap pendidikan tradisional Islam (pesantren
atau madrasah yang mengajarkan bahasa Arab, fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân dan ‘ulûm
al-Hadîst) atau mereka yang pernah hidup di seputar lingkungan dan kalangan
pesantren, melainkan juga oleh mereka kalangan masyarakat perkotaan, sekular-
rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional7 (sarjana Muslim
sekular). Dengan demikian mereka diyakini tidak begitu menguasai ilmu-ilmu
tradisional Islam. Oleh William Liddle, individu-individu tersebut diberi nama
6Penamaan berbagai corak teologi Islam di Indonesia sangat beragam sekali tetapi setiap
satu istilah tidak begitu ketat dan mengikat, dan terkadang dipertukarkan maka penamaan istilah tersebut tidak baku atau mutlak. Dalam berbagai literatur dapat ditemukan istilah dari bentuk-bentuk teologi, antara lain teologi transformatif, teologi rasional, teologi pembangunan, teologi kultural dan teologi substansialis. Untuk mengetahui istilah dari bentuk-bentuk teologi, baca antara lain buku Teologi Pembangunan, ed. M. Masyhur Amin (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, ed. Mark R Woodward, terj. Yuliani Lipoto (Bandung: Mizan, 1998) Azyumardi Azra Konteks Berteologi Islam di Indonesia:
Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999) dan buku Greg Barton, Gagasan Islam Liberal:
Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Dalam penulisan ini penulis hanya akan menggunakan beberapa bentuk teologi yang banyak mendominasi atau berpengaruh dan telah banyak dikaji oleh kalangan akademisi, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis.
7Islam di Indonesia dianut oleh dua lapisan struktur masyarakat, yaitu masyarakat pedesaan yang dikenal dengan rakyat jelata dan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang berada pada posisi sosial-ekomoni yang lebih baik. Baca: Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 39-40. Menurut penulis, pemahaman atas kedua lapisan masyarakat terhadap agama tidak sama. Masyarakat pedesaan (tradisional) pada umumnya masih menganut sistem hierarkis keagamaan di mana mereka sangat loyal terhadap para pemuka agamanya. Sedangkan masyarakat perkotaan dan terdidik lebih independen dalam metode memahami agamanya.
dengan sebutan Islam substansialis.8 Sedangkan bila menggunakan kerangka teori
Azyumardi Azra, kelompok ini bisa dikategorikan sebagai Muslim subaltern9.
Kebanyakan mereka adalah individu-individu yang menggeluti satu bidang
tertentu, misalnya politik, kesenian, sastra, ekonomi, lembaga swadaya
masyarakat dan lain sebagainya. Mereka tidak mau bidang-bidang tersebut
tergerus hancur oleh sebab persoalan doktrinal Islam (teologis).
Para Muslim substansialis subaltern ini meyakini persoalan teologis dalam
Islam yang pada umumnya masih bersandar kepada paradigma tradisional-
normatif dan dianggap dapat membuntukan ruang gerak atau bidang yang mereka
geluti (politik, ekonomi, seni dan budaya) di mana di ruang atau bidang itulah
mereka bisa mencurahkan segala potensi kemanusiaan yang telah diberikan
Tuhan. Namun di sisi lain mereka juga cenderung menolak para pemikir arus
utama yang beraliran moderat-liberal (sarjana Islam berpendidikan Barat), karena
mereka dianggap belum mampu menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh
golongan Muslim subaltern ini terkait dengan bidang yang mereka geluti.
Untuk mencegah terjadinya kemunduran dan pereduksian makna terhadap
bidang-bidang yang mereka geluti, tidak sedikit yang kemudian para individu
8Kelompok substansialis tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian
keislaman, seperti Muhammadiyah, Sunnî dan non-Sunnî. Berbeda dengan kelompok pemikir arus utama yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren, baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neomodernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,
Abdurrahman Wahidan dan Ahmad Wahib, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina, 1999), h. 34-35. Tentang kelompok substansialis secara lebih dalam akan dibahas pada bab 2.
9Berasal dari kata Latin subalternus. Sub berarti di bawah dan altern berarti yang lain. Dalam perkembangannya teori-teori tentang subaltern memunculkan sejumlah literatur historis tentang pengalaman orang-orang yang termarjinalkan, yang dalam konteks ini oleh pemikiran yang menjadi mainstream (ulama, cendekiawan Islam dan lain sebagainya), baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember 2003, h. 8, Dawam Rahardjo, “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembaharuan:
Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 105-113 dan Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group,” dalam M. Masyhur Amin, ed. Teologi
Pembaharuan, h. 114-132.
tersebut melakukan usaha-usaha yang antara lain mengeluarkan gagasan-gagasan
personal-alternatif keislaman yang lebih kontekstual sebagai landasan berpijak
mereka dalam menjalankan aktivitas mereka. Tidak seperti kebanyakan pemikir
arus utama yang menggunakan metode kombinasi modern-tradisional dalam
memahami dan menafsir Islam, mereka para Muslim substansialis subaltern
memahami Islam dengan metode empiris ditambah dengan menggunakan
latarbelakang keilmuan yang sekular.10
Dari konteks inilah besar keinginan penulis untuk menempatkan
paradigma keberislaman Radhar Panca Dahana (selanjutnya disingkat RPD)
dalam objek kajian keislaman di mana penulis akan menempatkan RPD sebagai
Muslim subaltern11 yang memiliki cara pandang alternatif keislaman, dalam hal
10Kasus seperti ini terjadi di Indonesia di mana HB Jassin, seorang sastrawan Indonesia,
yang hanya memiliki latar belakang pendidikan sekular (kesusasteraan) di Barat (Belanda dan Amerika) mampu menelurkan sebuah karya yang dianggap monumental, yaitu Al-Qur`an Bacaan
Mulia (ABM) sebagai karya terjemahan dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) sebagai penemuan model penyusunan mushhaf al-Qur`ân. Dalam penerjemahan ABM, Jassin hanya mempelajari bahasa Arab ketika mengajar sekaligus menjadi Mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, baca Abdul Hafid, “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`ân,” Skripsi (Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: 2005), h. 3. Alasan Jassin melahirkan karya ABM dan ABP adalah, antara lain, karena terjemahan al-Qur’ân yang ada sekarang cenderung ditulis dalam bahasa prosa yang lebih mengutamakan kandungannya saja yang pada akhirnya cenderung kaku, baca Abdul Hafidh, “Estetika Puitis al-Qur’ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB Jassin Memahami al-Qur`an,” h. 3
11Peta pemikiran Islam di Indonesia tidak selalu monolitik dan tunggal, dalam arti hanya didominasi oleh kalangan sarjana keislaman atau para agamawan yang kemudian menjadi arus utama pemikiran dalam Islam. Dalam realitasnya ditemukan beragam corak pemikiran dari orang-orang atau kelompok yang tidak menggunakan metode normatif-tradisional (Hadîst, ‘ulûm al-
Qur’ân, ‘ulûm al-Hadîst, fiqh dan lain sebagainya) dalam memahami Islam (al-Qur’ân) sebagai agama yang dianutnya. Melainkan dengan, misalnya, ijtihâd personal yang bukan tidak sering dipengaruhi konteks sosio-historis dan kultural tertentu, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Penulis dalam konteks ini menempatkan RPD sebagai kategori Muslim subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga dikategorikan sebagai Muslim pinggiran, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Bahwa selama ini yang bisa menjadi arus utama pemikiran dalam keilmuan Islam adalah pandangan mereka yang menguasai bahan dasar Islam yaitu bahasa Arab, serta mendalami ilmu-ilmu keislaman secara formal dan berkesinambungan. Sedangkan mereka, yang tergolong masyarakat tidak berpendidikan Islam tradisional, tetapi berpendidikan sekular (Barat) dianggap sebagai Muslim pinggiran (termarjinalkan) yang pemikiran dan pemahaman keagamaan mereka dipandang telah menyimpang dan sesat serta tidak layak untuk dimunculkan sebagai objek penelitian untuk
ini adalah tentang Tuhan dan manusia, dan ditinjau dari bentuk berteologi di
Indonesia, untuk mengetahui bentuk berteologi macam apa pemikiran yang
digagas RPD tersebut.
RPD adalah seorang pemikir,12 yang berlatarbelakang sebagai seorang
sastrawan,13 dan seniman14 Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat.15
Sesuai dengan latarbelakangnya, sebagai seorang sastrawan, seniman kemudian
ditambah sekolah di jurusan sosiologi di Barat, banyak hal yang disorot RPD studi keislaman. Padahal bukan tidak mungkin kritik konstruktif atas pemahaman agama yang telah mapan bisa muncul dari pandangan mereka. Selain itu, wacana keilmuan sekular yang digunakan RPD dalam memahami agama (Islam) setidaknya bisa memberikan pandangan dan saluran alternatif bagi seorang Muslim dalam merespon dan memperlakukan peradaban modern demi sebuah kemajuan Islam. Dengan mengkaji paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim subaltern, skrispsi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari subaltern studies yang mengekplorasi dan mengetengahkan tema keagamaan dari seseorang tokoh yang memiliki pemahaman splinter (orang yang berbeda dengan pemikiran arus utama) atas agama yang dianutnya. Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya (al-Qur’ân) tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada hasil pemikiran pemikir-pemikir agama yang telah ada dan atau menggunakan disiplin keilmuan sekular (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) yang dimilikinya. Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.” Penulis tidak menggunakan teori Clifford Geertz, untuk memetakan RPD masuk ke dalam kelompok Muslim Abangan dan tidak juga sebagai Muslim sekular. Karena teori Abangan sudah tidak tepat untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan agama, karena klasifikasi tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Abuddin Nata menegaskan, “Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyai adalah suatu penggolongan sosial,” baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001), h. 183-184. Selain itu, istilah Abangan cenderung denotatif yang isinya merendahkan derajat bagi mereka yang tidak taat dalam menjalankan ibadah, baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, h. 184. Dalam hal ini RPD adalah Muslim taat beribadah, tetapi tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Sedangkan, kenapa penulis tidak menggunakan Muslim sekular adalah untuk menghindari anggapan bahwa RPD adalah orang menutup diri dari agama serta menafikan perannya dalam kehidupan ini. RPD tetap berpandangan bahwa fungsi dan peran sangat vital dalam kehidupan agama, meskipun hanya sebatas peran spiritualisme, baca RadharPanca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007, h.106.
12Fokus terbesar dalam hidupnya adalah antara lain dicurahkan untuk bidang pemikiran. Ada tiga bidang yang menjadi sorotan RPD, yaitu sosio-kultural (dalam hal ini termasuk agama), kesenian dan sastra. Penulis dalam hal ini hanya akan mengelompokan dan memfokuskan kepada pemikiran RPD dalam bidang keagamaan (Islam) yang meliputi pandangannya tentang Tuhan dan manusia.
13Sebagai sastrawan RPD banyak menelurkan karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi dan prosa yang tema-temanya sangat aktual dengan situasi kekinian dan problema yang dialami manusia modern. Kumpulan puisinya yang berjudul Lalu Batu dan Lalu Waktu dinilai oleh berbagai kalangan penikmat sastra sebagai karya fenomenal. RPD juga telah menulis sebuah buku sastra dengan judul Kebenaran dan Dusta
dalam Sastra (Yogyakarta: Lkis, 2004). 14RPD juga seorang pekerja seni. Sejak duduk di SMP RPD telah menggeluti dunia seni teater di
berbagai paguyuban teater baik sebagai pemain, penulis naskah dan sutradara. Pementasan teater yang ia bawakan selalu aktual dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern, seperti tema pencaharian identitas individu di tengah dunia yang materialis dan modern.
15Ia adalah seorang sarjana strata dua (S-2) jurusan Sosiologi lulusan EHESS (Ecole des hautes ettuedes en Sciences) Prancis. Dalam jurusan sosiologi yang dijalani ini ia juga mengkaji agama, tentu dengan menggunakan pendekatan yang bukan normatif-tradisional.
dalam pemikiran, namun dalam skripsi ini penulis hanya akan menggali pemikiran
RPD yang termuat dalam karya-karya tulisannya dalam bidang keagamaan (Islam)
dengan fokus menggali pandangannya seputar Tuhan dan manusia.
RPD memiliki ciri khas dalam melahirkan gagasan-gagasan dalam bidang
keagamaan. Meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Barat, ia tidak
otomatis berpihak kepada paradigma Barat, yang menurut RPD terlalu
mengeliminir metabolisme spiritual yang ada di dalam jiwa manusia, dalam
menilai agama.
Dalam masalah keyakinan dan paham keagamaan, bagi RPD, setiap
manusia tidak boleh terikat dan bergantung pada suatu monopoli dan otoritas
kebenaran ilmu pengetahun, peradaban dan dogma-dogma agama yang
menghegemonik sebagai pilihan hidup,16 lebih-lebih mengikuti satu paham dan
keyakinan seseorang, yang dilihatnya sebagai suatu hasil penafsiran atau
interpretasi terhadap segala sesuatu. Setiap Muslim, bagi RPD harus mampu dan
berhak menafsir sekaligus membentuk keyakinan Islamnya dan tauhidnya masing-
masing sesuai dengan kapasitas intelektual, psikologis dan mental.
Dalam konteks agama Islam di Indonesia, RPD berusaha mengubah
wacana hegemoni paradigmatik intelektual global yang telah masuk dan
membentuk nalar kritis intelektual Muslim Indonesia, yakni dengan cara
melakukan perubahan paradigmatik-ideologis.17
Usaha-usaha dasar untuk melakukan perubahan paradigmatik-ideologis
yang ditawarkan oleh RPD antara lain adalah dengan mengubah cara pandang
16Wawancara penulis dengan RPD pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00
WIB di kediaman RPD di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten. 17 Radhar Panca Dahana, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia,
(Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004), cet. I., h. viii.
(persepsi) individu-individu Muslim terhadap dogma agama (fatwa atau tafsir
agamawan atau ulama). Bagi sebagian masyarakat Muslim apa yang berasal dari
tafsiran seorang agamawan atau ulama adalah sesuatu yang juga dianggap berasal
dari Tuhan yang absolut dan maha sempurna.
Sedangkan menurut RPD dogma agama (Islam) yang berasal dari
agamawan dan ulama tersebut adalah ajaran yang belum tentu murni berasal dari
Tuhan, bisa saja tafsiran atas dogma itu adalah kesepakatan antara manusia
dengan manusia maupun manusia dengan budaya lokalnya yang berlangsung
ketika dogma itu dirumuskan.18 Dalam kasus Islam ditemukan seorang ulama
berijtihad dalam menentukan sebuah hukum fiqh, tidak terlepas dari pengalaman
empiris ulama tersebut terhadap realitas sosial-kultural-geografis yang ada di
sekitarnya.19
Dogma yang ilahiah menurut RPD adalah dogma yang tidak menutup
potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya
justru akan memberikan ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia
untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepada manusia.20
Antara lain atas dasar hal-hal di atas, RPD berpandangan bahwa ajaran-
ajaran Tuhan dalam setiap agama sebenarnya adalah ajaran kemanusiaan. Dalam
artian, keterlibatan manusia di dalam hukum-hukum Tuhan dalam hal memahami
dan menafsir adalah sebuah keniscayaan. Ini tercermin dari konsep Tuhan dalam
18“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007. 19Dengan perbedaan budaya yang dihadapi oleh para imam madzhab fiqh, serta
mempertimbangkan faktor sosial budaya, maka ditemukan perbedaan-perbedaan bentuk hukum yang ada pada mereka, meski itu dalam satu kasus. Bahkan seorang imam bisa berubah istilah atau metode yang dipakai dalam menentukan produk hukum tatkala ia pindah dari satu daerah ke daerah lain. Baca, Azyumardi azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, cet. I., h. 12.
20“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’” http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
Islam yang menurut RPD diwakili oleh 99 atau yang biasa disebut asmâ’ al-
husnâ. Kenapa 99? Karena Islam bukan dan tidak akan menjadi agama yang telah
mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam
tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus
disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah
manusia. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah
berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak
perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang
menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang
artinya Xristos atau sempurna.21
Dalam pandangannya tentang manusia, RPD menilai bahwa manusia
dalam pergumulannya dengan peradaban modern kian terseret keluar dari pusat
lingkaran eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial
mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga
dunia menjelaskan dirinya sendiri”22
Problem eksistensial itu akan melahirkan kerinduan manusia untuk
mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya yang paling amat purba: yaitu
mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. Dalam
penjelasannya yang lebih lanjut, RPD menyimpulkan bahwa sebenarnya sudah
menjadi kodrat bahwa sebenarnya manusia adalah homo-religius.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut penulis ingin menguraikan satu bentuk
penulisan tentang paradigma keberislaman RPD yang dalam hal ini mengkaji
pandangannya tentang Tuhan dan manusia yang ditinjau dari bentuk berteologi
21Radhar Panca Dahana, “2008” Gatra 7 Januari 2008, h. 106 22Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2003), h. 55.
Islam di Indonesia ke dalam satu penulisan skripsi dengan judul Paradigma
Keberislaman Radhar Panca Dahana (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di
Indonesia).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Keberislaman RPD adalah hal masih sangat umum sekali. Untuk itu
penulis membatasi pembahasan masalah hanya pada seputar pandangan RPD
tentang Tuhan dalam Islam dan manusia. Untuk menyamakan variabel penelitian
dengan paradigma keberislaman RPD, dalam pembahasan bentuk berteologi pun
penulis hanya akan membahas seputar pandangan Tuhan dan manusia menurut
masing-masing aliran teologi tersebut.
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penulisan skrispsi ini
adalah isi pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta mencari bentuk
paradigma keberislaman RPD yang ditinjau dari konteks berteologi di Indonesia.
C. Tujuan penulisan
Ada beberapa tujuan dari penulisan karya ilmiah ini. Pertama
memperkenalkan isi pemahaman keberislaman RPD dalam hal ini yang terkait
dengan kajian tentang Tuhan dan manusia. RPD tergolong sebagai Muslim
subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus
utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga bisa
dikategorikan sebagai Muslim ‘pinggiran.’
Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan
Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan
intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan terdidik dalam ilmu-ilmu
Islam tradisional. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa
selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya tidak dengan
menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk
kepada metode non-tradisional (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain)
dan atau merujuk kepada hasil pemikiran para pemuka ataupun pemikir-pemikir
agama (baik yang dianggap menyimpang maupun yang tidak). Oleh karenanya
“Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah
tunggal dan monolitik.”23
Untuk itu yang kedua penulis bermaksud memperkaya diskursus keilmuan
Islam dengan mengkaji pemikiran orang-orang, dalam hal ini RPD, yang selama
ini menjadi margin of history dalam kajian keislaman. Dalam hal ini penulis
berharap, para sarjana Islam tidak hanya terpaku untuk meneliti para tokoh-tokoh
Muslim yang menjadi arus utama pemikiran Islam, tetapi juga meneliti orang-
orang yang selama ini dianggap sebagai Muslim pinggiran yang memiliki
pemahaman splinter atas Islam, dengan catatan ia telah memiliki karya-karya
tertulis untuk, setidaknya, menjadi petunjuk atas bentuk paham keagamaan yang
ia anut. Karena dalam realitas historis, sosiologis dan kultural, Islam tidak akan
pernah menjadi tunggal dan monolitik.
Sisi positif yang bisa diharapkan dari meneliti para Muslim subaltern
adalah munculnya kritik konstruktif dan solusif atas kebuntuan pemahaman akan
agama (Islam), dalam ruang lingkup dan bidang tertentu, dalam rangka merespon
dan memperlakukan peradaban mutakhir ini.
23 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h.9.
Dan bukan tidak mungkin bahwa fenomena paradigma keberislaman yang
digagas RPD ini mewakili pandangan sejumlah orang yang beridentitas Muslim
dengan kemiripan latarbelakang sosio-kultural.
Ketiga, tidak ada pemikiran yang terlahir secara sempurna dan terklaim
sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks RPD, apa yang dilahirkannya tentu
memiliki kekurangan dan kelebihan, untuk itu apa yang dituangkan RPD dalam
penulisan karya ilmiah ini seyogyanya dapat dikaji secara lebih kritis dan
proporsional dengan menggunakan berbagai sudut pandang.
D. Studi Kepustakaan
Memperkenalkan bentuk paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim
substansialis subaltern yang memfokuskan pemikirannya tentang Tuhan dan
manusia sebagai homo-religius yang ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia
dalam bentuk penulisan karya skripsi adalah hal baru dan belum pernah ada
sebelumnya. Walalupun demikian, bentuk pemahaman dan gagasan RPD tentang
agama secara umum dan singkat bisa dibaca dalam wawancara RPD dengan
Jaringan Islam Liberal (JIL) pada situs
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 dengan judul “Radhar
Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi….’” Dalam wawancara
tersebut, RPD menjelaskan tentang definisi agama secara fenomenologis-historis,
Tuhan dan dogma serta semiotika.
Selain itu, gagasan keberagamaan RPD juga tertuang dalam
wawancaranya dengan koran Jurnal Nasional edisi 013, Miggu IV-April 2007
dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana.” Selain menguraikan
tentang makna hidup, dalam wawancara itu RPD juga menguraikan tentang
Tuhan.
Sekalipun berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penulisan skripsi ini adalah
bentuk pendalaman dan perluasan dari isi gagasan dan pemahaman keberislaman
RPD yang memfokuskan kepada pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia.
E. Metode Penelitian
Karya penulisan skripsi ini menggunakan dua metodologi penelitian, yaitu
metode pengumpulan data dan metode pembahasan. Untuk metode pertama,
penulis mengumpulkan data-data, literatur dan rujukan melalui studi kepustakaan
(library research) dan studi lapangan (field research) dengan mewawancarai nara
sumber secara langsung. Data-data dalam skripsi ini terbagai dua, yakni, data
primer yang mengulas tentang pengertian, sejarah kemunculan dan bentuk teologi
di Indonesia dan tulisan-tulisan RPD yang terdapat di dalam buku Inikah Kita:
Mozaik Manusia Indonesia, Menjadi Manusia Indonesia, dan yang terdapat di
dalam majalah Gatra24
dengan judul “Keberagaman yang Teperdaya” dan “2008.”
Selanjutnya dari data-data primer tersebut, penulis akan memilah dan memilih
pembahasan yang mengulas tentang Tuhan dan manusia.
Penulis menyadari bahwa data-data primer yang ada di dalam buku
maupun majalah tersebut belum mencukupi untuk menjelaskan pandangannya
seputar Tuhan dan manusia dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk lebih
menegaskan lagi tentang pandangan-pandangan RPD, maka penulis harus
mengambil data-data yang ada di dalam wawancara RPD dengan berbagai media
24Masing-masing dimuat pada 3 Oktober 2007 dan 7 Januari 2008.
cetak maupun internet. Pertama wawancara RPD dengan Burhanuddin dari
Jaringan Islam Liberal di situs www.islamlib.com dengan judul “Semua Orang
Merindukan Tuhan, Tapi….” Kedua wawancara RPD dengan koran Jurnal
Nasional25 dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” ketiga
wawancara RPD dengan majalah Alkisah26 dengan judul “Radhar Panca Dahana:
‘Saya adalah Karyawan Allah’,” dan terakhir wawancara khusus penulis dengan
RPD27
Sedangkan untuk data sekunder penulis menggunakan rujukan pendukung
yang bersumber dari buku dan tulisan lain yang termuat dalam jurnal, majalah,
koran sebagainya. Selain itu, data sekunder dari tulisan-tulisan lain baik yang
berasal dari dalam maupun luar negeri yang masih terkait dengan pembahasan
tetap akan penulis gunakan dalam pembahasan ini.
Setelah data-data yang diperlukan dianggap lengkap, penulis melakukan
pembahasan dengan cara deskriptif-analitis-personal, yaitu menjelaskan,
menguraikan dan memaparkan masalah beserta aspek pentingnya dengan
menggunakan nalar penulis. Untuk lebih memperdalam analisis, penulis
menggunakan pendekatan hermeneutik, yang terbagi dalam dua metode. Pertama,
hermeneutika kecurigaaan (interpretation as excercise of suspention) atau
penafsiran sebagai latiahan kecurigaan. Kedua, penafsiran sebagai upaya untuk
mencari kembali makna (interpretation as recollection of meaning).
25
Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu, IV April 2007. 26
Alkisah No. 4 / 1-14 September 2003. 27Wawancara yang langsung terfokus kepada bahasan pokok skripsi dilakukan pada dua
kali pertemuan. Pertama pada tanggal 11 November 2007, wawancara ini khusus membahas tentang pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta agama secara umum. Wawancara kedua pada tanggal 25 November 2008 yang mengetengahkan sejarah singkat RPD sebagai seorang Muslim, yang bergelut di dunia seni teater, sastra dan penulisan.
Adapun untuk teknik penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk pada
buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang disusun oleh tim
penyusun dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2006 ditambah arahan dari pembimbing untuk
melengkapi pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan, skripsi ini disusun sesuai dengan
alur pembahasan yang komprehensif dan sistematis yang bersandar kepada bab-
bab dan sistematika penulisan yang dapat dilihat di dalam daftar isi.
BAB II
BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA
A. Pengertian Teologi secara Umum
Istilah teologi28 di dunia Islam lebih dikenal dengan ‘ilm al-kalâm,29 yang
secara harfiah adalah pembicaraan yang membahas kredo Muslim yang sangat
prinsip seperti ketauhidan, kenabian dan eskatologis.30 Menurut Ahmad Hanafi
penggunaan istilah ‘ilm al-kalâm adalah untuk membahas kredo dasar Islam,
karena pertama, persoalan terpenting yang menjadi fokus pembahasan adalah
firman Tuhan (kalâm Allah). Kedua dasar ‘ilm al-kalâm adalah dalil-dalil pikiran
yang dijelaskan melalui pembicaraan-pembicaraan, dan ketiga untuk membedakan
antara logika dalam filsafat.31
Sedikit berbeda dengan Ahmad Hanafi, menurut Harun Nasution, teologi
adalah ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Dalam istilah Arab teologi
memiliki banyak sebutan, yakni ushûl al-dîn (ilmu yang mempelajari dasar-dasar
agama), ‘aqâ’îd (keyakinan dasar), ‘ilm al-tawhîd (keesaan atau monoteisme) dan
terakhir adalah ‘ilm al-kalâm.
28Secara etimologis teologi berasal dari kata Yunani, theo berarti Tuhan dan logos berarti
akal, pikiran, ucapan dan pembicaraan. Dari konteks itu teologi mempunyai pengertian ilmu atau pembahasan tentang Tuhan, Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 114. Istilah teologi yang dipakai sekarang sebenarnya telah lama ada. Istilah ini digunakan oleh para pemikir (intelektual) keagamaan di Yunani untuk menjelaskan soal-soal keagamaan (Tuhan dan dewa-dewa). Istilah teologi bisa juga bisa digunakan untuk menguraikan tradisi masyarakat yang tidak bertuhan (ateistik) ataupun kepada tradisi non-theistik, seperti Hindu, Budha dan Tao, baca David Tracy, “Theology: Comparative Theology,” dalam Mircea Eliade, et.al., The Encyclopedi of Religion, vol. 13., (New York: Macmillan Library refference, 1993), print number 10, h. 446.
29Terminologi ‘ilm al-kalâm kali pertama digunakan pada masa pemerintahan rezim ‘Abbâsiyyah, tepatnya ketika khalifah al-Makmûn menjabat. Sebelumnya, pembahasan masalah kepercayaan dalam Islam menggunakan istilah, antara lain al-fiqh fî al-dîn dan al-fiqh al-Akbar, baca Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. 12., h. 4
30Parviz Morewegde, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia
Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., (Bandung: Mizan, 2001), h.14. 31Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), h. 5
‘Ilm al-kalâm, kata Harun Nasution, memiliki dua pengertian, yaitu bila
kata kalâm yang dimaksud merujuk kepada sabda Tuhan, maka pengertian teologi
dalam Islam adalah persoalan sabda Tuhan (al-Qur’ân), namun jika istilah al-
kalâm merujuk kepada kata-kata manusia, maka pembahasan ‘ilm al-kalâm adalah
pendapat atau jalan pikiran dari manusia yang berpendapat itu.32
Harun Nasution juga menyatakan teologi adalah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang fundamental dalam setiap agama, terutama masalah Tuhan.
Teologi akan memberikan keyakinan yang kuat pada sesorang tentang ajaran
agama yang dianutnya, dengan tujuan agar keyakinanya tidak mengalami
ambiguitas dan skeptis atas tantangan dan perubahan Zaman.33
Secara umum teologi mengandung,
“Pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, bukti ontologis dan kosmologis keberadaan Tuhan; ketiga, kosmologis hubungan antara Tuhan dan dunia; keempat, etika teodisi perintah Tuhan dalam kaitan dengan kehendak bebas, determinisme, nasib, kebaikan, keburukan, hukuman dan ganjaran; kelima aspek pragmatis dari bahasa agama dan fungsi khusus dari fakultas imajinasi yang secara istimewa terdapat pada para nabi, mistikus dan para pewaris nabi; keenam hubungan antara penalaran dan wahyu; dan ketujuh aspek politik dari penarapan hukum Tuhan ilahi dalam masyarakat.34
32Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta
UI Press, 1972), cet. II., h. ix. 33Harun Nasution, Teologi Islam, h iv 34Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14.
Di dalam Islam, persoalan teologi lahir35 karena politik, terutama
perdebatan mengenai siapakah yang berhak menjadi pemimpin ummat Islam
terutama sesudah ‘Umar ibn Khaththâb wafat. Di sini terdapat beberapa kubu
yang berambisi menduduki rezim kekuasan Islam, yaitu antara lain kubu ‘Ustmân
ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abû Thâlib serta tidak ketinggalan beberapa kubu lainnya
yang juga mengklaim lebih berhak untuk menduduki rezim pemerintahan, seperti
kubu ‘Â’isyah.36
35Kelahiran teologi Islam memang telah disepakati banyak intelektual adalah karena
alasan politik, namun demikian, ada beberapa tokoh yang tidak mengamini secara eksplisit bahwa politiklah faktor pemicu dominan bagi kelahiran teologi. Seperti Nurcholish Majdid atau yang biasa disapa Cak Nur, menegaskan persoalan kelahiran teologi karena sebab skisme (perpecahan) di dalam tubuh ummat Islam yang berpuncak pada tewasnya ‘Ustmân ibn ‘Affân, dan bukan menyatakannya langsung dengan istilah sebab politis. Justru karena sebab skisme dalam Islam inilah yang kemudian menumbuhkembangkan ummat Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan keagamaan. ‘Ilm al-kalâm, yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai pembicaraan nalar yang menggunakan logika, pada awalnya adalah untuk keperluan penalaran logis bagi orang-orang yang mendukung dan melakukan pembunuhan terhadap ‘Ustmân ibn ‘Affân, menurut para pendukung dan pelaku pembunuhan, mengapa ‘Ustmân layak dibunuh karena ia telah berbuat dosa besar dengan menjalani pemerintahan dengan tidak adil, sedankan dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran adalah perbuatan menentang Tuhan, maka ‘Ustmân wajib dibunuh, baca Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernenan (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. 2., h. 203. Sementara itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, kelahiran teologi yang berfungsi untuk menunjang kepercayaan-kepercayaan prinsipil di dalam Islam secara tradisional adalah oleh ‘Alî ibn Abû Thâlib. Karya ‘Alî, al-Nahj al-Balâghah, kata Nasr adalah karya pertama yang dapat membuktikan keesaan Tuhan yang mengikuti di belakang al-Qur’ân dan Hadîst, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), cet. 2., h. 18. Berbeda dengan Cak Nur dan Nasr, Fazlur Rahman, meskipun secara samar ia tetap mengakui bahwa persoalan politik merupakan pemicu bagi kelahiran teologi Islam, namun persoalan politis, kata Rahman tidak bisa dijadikan sebagai faktor pemicu yang dominan bagi kelahiran teologi Islam. Kata dia, kelahiran teologi juga dimunculkan oleh sebab pergolakan-pergolakan pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’ân dan Hadîst pada masa ‘Ustmân dan ‘Alî. Pergolakan pemahaman atas kedua sumber hukum Islam itu bertambah dalam dan luas ketika daulat Umayyah berkuasa. Pergolakan pemahaman atas al-Qur’ân dan Hadîst dipicu oleh pertanyaan “apakah seorang Muslim dapat disebut sebagai Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau, apakah iman dalam hati saja sudah cukup atau haruskan ia dinyatakan dalam perbuatan.” Hal ini yang kemudian, menurut Rahman, bisa disebut sebagai salah satu pemicu utama kelahiran teologi Islam, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung; Pustaka, 1994), cet. 2., h.117.
36Harun Nasution, Teologi Islam, h. 3-4. ‘Â’isyah adalah salah satu istri Nabi Muhammad yang menentang pengangkatan ‘Alî ibn Abû Thâlib sebagai khalifah selepas ‘Ustmân ibn ‘Affân. ‘Â’isyah berusaha keras menolak pengangkatan itu dengan menyokong Thalhah dan Zubayr. Kubu ‘A’isyah dapat ditumpas ‘Alî dalam pertempuran di Irak pada tahun 656, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 4.
Dari persoalan politis di kalangan ummat Islam yang tidak bisa
didamaikan, lahirlah aliran-aliran yang awalnya memperdebatkan mekanisme
arbitrase antara kubu ‘Alî dan Mu‘awiyah37 yang menurut sebagian mereka tidak
sah, karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan (al-Qur’ân). Perdebatan ini
kemudian mengalir ke ranah siapa yang kafir dan yang mukmin serta siapa yang
berdosa dan tidak.
Saling menuduh kesalahan (kafir-dosa) dan saling mengklaim kebenaran
(mukmin-pahala) antar golongan Muslim, membuat masing-masing kubu yang
bertikai membentuk aliran-aliran teologi yang masing-masing memiliki isi
pandangan yang berbeda tentang persoalan-persoalan keyakinan dasar keislaman
yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh mereka dalam menjalankan aktivitas
keseharian (politik, ibadah, ekonomi dan lain sebagainya).
37‘Alî merupakan adik sepupu dan menantu Nabi Muhammad, yang diangkat
sebagai khalîfah setelah ‘Ustmân wafat. Namun, oleh pihak-pihak pendukung ‘Ustmân, ‘Alî dicurigai ikut terlibat dalam pembunuhan ‘Ustmân melalui anak angkatnya Muhammad ibn Abû Bakr. Karena ketidakpuasan terhadap kepemimpinan ‘Alî, banyak pihak, terutama para pendukung ‘Ustmân dari kubu Mu‘awiyah (keluarga dekat ‘Ustmân yang juga gubernur Damaskus) melakukan pemberontakan, meskipun pada akhirnya para kubu pemberontak ini kalah dalam peperangan Shiffîn. Karena terdesak kalah, lobi-lobi politik pun dilancarkan oleh kubu Mu‘awiyah yang dalam hal ini diwakili oleh ‘Amr ibn al-‘Âsh untuk melakukan arbitrase, sementara pihak ‘Alî diwakili oleh Mûsâ al-Asy‘arî. Dalam arbitrase tersebut dimufakati bahwa kedua kubu akan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan. Namun, karena kelicikan ‘Amr ibn al-‘Âsh, hanya Mûsâ al-Asy‘arî yang menyatakan penjatuhan terhadap ‘Alî, sedangkan ‘Amr mengamini apa yang dinyatakan Mûsâ, sehingga secara de facto, jatuhlah ‘Alî sebagai khalîfah, yang kemudian digantikan oleh Mu‘awiyah ibn Abû Sufyân, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 6-7.
Menurut catatan sejarah, terdapat aliran-aliran teologi penting di dalam
Islam yang mempengaruhi pola pikir keberagamaan individu Muslim. Aliran itu
adalah Khawârij,38 Murji‘ah,39 Mu‘tazilah,40 Asy‘ariyyah41 dan Mâtûrîdiyah.42
Hingga kini hanya Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah yang keduanya biasa disebut
38Kelompok Khawârij, pada mulanya terdiri orang-orang yang patuh terhadap
‘Alî. Namun, setelah proses arbitrase tersebut, mereka memandang ‘Alî telah berbuat salah dan berbuat dosa besar, sehingga orang-orang yang pada mulanya patuh kepada ‘Alî, mulai memisahkan diri atau keluar dari barisan (Khawârij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar). Setelah memisahkan diri dari kelompok ‘Alî, kaum ini memilih ‘Abdullâh ibn Abû Wahb al-Rasyîdî sebagai imâm mereka. Terlalu sulit untuk menyimpulkan paham-paham teologis yang dianut kubu ini, karena dalam perkembangan, kelompok Khawârij terpecah menjadi 18 subsekte, namun bila merujuk kepada awal perkembangannya, kelompok ini hanya menerima dua khalîfah, yakni Abû Bakr dan ‘Umar ibn Khaththâb sebagai yang masih Muslim, sedangkan para pemimpin berikutnya dianggap kafir, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 13-14. Baca juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 205
39Berbeda dengan kelompok Khawârij yang setelah proses arbitrase justru memusuhi ‘Alî, kelompok Murji‘ah merupakan penyokong-penyokong yang tetap setia kepada ‘Alî. Dalam perkembangannya Murji‘ah lebih dikenal dengan nama Syî‘ah. Golongan ini dibagi menjadi dua golongan besar, yakni golongan moderat dan ekstrem. Menurut salah satu paham golongan moderat, orang Islam yang berdosa tetap Mukmin, tetapi akan tetap dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Yang termasuk ke dalam golongan moderat adalah al-Hasan ibn Muhammad, Abû Hanîfah dan Abû Yûsuf. Sementara itu golongan ekstrem memiliki pandangan antara lain, orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak akan menjadi kafir, karena tempat iman dan kekufuran hanya di dalam hati, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 24-28.
40Mu‘tazilah merupakan ajaran sistemik pertama dari lingkungan ulama tradisional yang didirikan oleh Wâshil ibn ‘Athâ’ pada abad ke-2 Hijriah. Kelompok ini mengusung paham rasionalis dan pentingnya kehendak bebas manusia, baca Seyyed Hossein Nasr, Islam Intelektual, h. 20. selanjutnya tentang aliran Mu‘tazilah dapat dibaca juga pada sub bab “Teologi Rasional” pada bab ini.
41Pendiri aliran ini, Abû al-Hasan al-Asy‘arî, semula merupakan pengikut aliran Mu‘tazilah. Namun tanpa alasan yang begitu jelas, hanya lewat mimpi saja, al-Asy‘arî meninggalkan aliran Mu‘tazilah. Pembentukan aliran ini pada abad ke-3 merupakan reaksi kelompok rasionalis Mu‘tazilah yang oleh khalîfah pada saat itu, yakni al-Ma’mûn, dijadikan sebagai landasan wajib bagi ummat Islam dalam berpikir, baca Seyyed Hossein Nasr, Islam Intelektual, h. 25. Kelompok Asy‘ariyyah yang juga dinamakan dengan aliran Sunnî klasik ini merupakan pelopor aliran ketidakpastian. Mereka yakin bahwa serangkaian peristiwa yang terjadi di alam dunia ini merupakan kehendak Tuhan. Kubu ini juga menolak etika rasionalis dan berpendapat bahwa manusia tidak mampu memahami logika kebaikan dan keburukan, sebab keduanya berasal dari Tuhan, Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 19.
42Selain Asy‘ariyyah, kelompok yang diberi nama dengan sebutan Sunnî klasik adalah kelompok Mâtûrîdiyyah yang tahun kelahirannya hampir sama dengan kelompok Asy‘ariyyah. Aliran ini diketuai oleh Abû Manshûr Muhammad al-Mâtûrîdî dari daerah Samarkand di Transoxiana. Isi paham ini hampir serupa dengan Asy‘ariyyah dalam pandangan pokoknya, namun dalam hal-hal penting tertentu mereka sangat berbeda. Misalnya, dalam hal perbuatan manusia, Mâtûrîdiyyah sebagaimana Asy‘ariyyah berpendapat bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan, namun Mâtûrîdiyyah berpandangan bahwa perbuatan jahat tidaklah diiringi oleh ridha Tuhan, Fazlur Rahman, Islam, h. 128.
sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah43
yang masih memiliki
wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui
kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai
timbul kembali, terutama di kalangan cerdik-cendekia Muslim yang
berpendidikan Barat.44
B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia
Sebenarnya pengertian teologi Islam di Indonesia adalah sama dengan
pengertian teologi secara umum, yaitu membahas tentang konsep Tuhan,
kenabian, perintah Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak bebas, nasib,
kebaikan, keburukan, wahyu dan nalar, Hari Akhir dan lain sebagainya.45 Namun,
pengertian teologi Islam di Indonesia lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan
pembaruan pemikiran dalam rangka merespon perubahan zaman yang umumnya
dilakukan oleh intelektual muda berpendidikan modern (baik di dunia Timur atau
Barat). Para intelektual muda tersebut mencoba merumuskan landasan teologis,
yang selama ini dianggap formalis, legalistis dan normatif, untuk membuat
penyesuaian antara Islam dan realitas sosial-budaya Indonesia.46
Pengertian teologi di Indonesia terutama yang disuarakan oleh gerakan
pembaharuan Islam adalah persoalan yang terkait dengan pembaharuan pemikiran
43Dalam lapangan teologi Islam, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah adalah aliran yang
terdiri dari kelompok Sunnî Klasik, yakni Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah. Kata-kata al-Sunnah dan al-Jamâ‘ah sendiri telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan Arab jauh sebelum kelompok Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah muncul. Kata al-sunnah berarti kelompok ini percaya terhadap hadîst shahîh tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Sedangkan kata al-Jamâ‘ah berarti paham ini dianut oleh mayoritas ummat Islam, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 65.
44Harun Nasution, Teologi Islam, h. 11. 45Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14. 46Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, vol. , (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve), h. 346.
Islam yaitu pandangan seputar pandangan bagaimana keislaman dan
keindonesiaan dapat bersinergi.47 Namun perumusan pandangan berteologi di
Indonesia tidak selalu merujuk kepada kalâm Tuhan (al-Qur’ân) sebagai fokus
perbincangan, tetapi juga pemikiran (ijtihâd) dari para agamawan dan intelektual
Muslim baik yang klasik maupun kontemporer. Secara spesifik, dalam kajian
Islam modern di Indonesia, persoalan pemikiran pembaharuan Islam (teologis)
dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.
Mengenai latar belakang kemunculan bentuk atau corak teologi di Indonesia akan
didalami pada pembahasan berikutnya.
C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia
Kemunculan aliran teologi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Persia dan Arab pada sekitar abad
ke-12 atau 13 di Nusantara ini.48 Namun, di sisi lain faktor eksternal berupa
pengaruh kondisi sosio-historis dan kultural tertentu49 juga merupakan faktor
penting dalam kemunculan corak berteologi di Indonesia.
Secara historis aliran teologi yang kali pertama muncul di Indonesia sejak
awal abad ke-12 adalah teologi Asy‘ariyyah. Ini terlihat dari para pedagang
47Jamhari, "Islam di Indonesia," h. 347. 48Tidak ada yang dapat memastikan kedatangan Islam ke Nusantara untuk kali pertama,
namun abad ke-12 dan 13 adalah abad yang cenderung dipilih oleh para sejarahwan bagi kedatangan Islam ke Nusantara ini. Selain itu, para ahli sejarah juga berdebat dalam kesimpulan tentang cara bagaimana Islam datang ke negeri ini. Sebagian ahli sejarah menegaskan bahwa Islam tiba di Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari benua India. Namun, para ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia. Untuk kajian lebih lanjut tentang kedatangan Islam ke Nusantara dan melalui medium apa Islam datang, dapat dibaca di Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam
Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2005), edisi revisi, cet. Ke-2., h. 2-19. 49 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltren,” Gatra 6 Desember 2003,
h. 8.
Muslim, baik itu dari benua India maupun Arabia yang masuk ke Indonesia
kebanyakan beraliran madzhab Syâfi‘î dan sebagian lagi adalah Hanafî50. Menurut
Harun Nasution, teologi Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah umumnya banyak dianut
oleh individu Muslim yang menganut Madzhab Syâfi‘î dan Hanafî.51
Sejak abad ke-12 di bumi Nusantara ini sudah terjadi gerakan Islamisasi di
Nusantara yang dilakukan oleh gerakan teologi Asy‘ariyyah.52 Namun gerakan ini
tidak sepenuhnya berhasil. Ini dikarenakan, meskipun sebagian masyarakat
Nusantara khususnya Jawa telah menganut Islam pada abad ke-14,53 mereka telah
menganut teologi yang dinamakan oleh Fauzan Saleh, sebagai teologi pra-Islam.
Teologi ini sangat dipengaruhi oleh orientasi mistik keyakinan Jawa kuno.
Berbeda dengan teologi Asy‘ariyyah yang meyakini Tuhan adalah transenden,
teologi pra-Islam berkeyakinan bahwa Tuhan adalah imanen.54
Meskipun mendapatkan ganjalan dari keberadaan teologi pra-Islam dalam
penyebarannya, sejak saat itu teologi yang mengusung pemurnian Islam ini
semakin berkembang luas di Indonesia. Dan kemudian menemukan titik awal
perkembangan yang pesat sejak abad ke-17, atau tepatnya ketika sebagian muslim
Indonesia yang belajar dari Timur Tengah, terutama Arab (Makkah dan Madînah)
pulang ke Indonesia.55
Pada abad ke-18 terkait dengan datangnya kolonialisme Belanda, muncul
teologi jihad yang diprakarsai oleh gerakan tasawuf yang dalam hal ini dipelopori
oleh Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Gerakan teologi jihad mencapai
50Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 4. 51Harun Nasution, Teologi Islam, h.13 52Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1999), cet. 1., h. 45. 53Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia
Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63-64. 54Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 66-67 55Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 47.
puncaknya pada tahun 1888 ketika dua aliran tarekat yakni Naqsybandiyyah dan
Qâdiriyyah melakukan pemberontakan di Cilegon, Banten melawan Belanda.
Sekitar abad ke-19 teologi jihad juga terlihat pada gerakan Pangeran Diponegoro
di Jawa dan di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum Padri. Teologi jihad
paska penjajahan Belanda, pada akhirnya diarahkan sasarannya kepada ummat
Islam sendiri. Teologi tersebut diyakini berafiliasi dengan gerakan Wahhâbî di
Arab Saudi yang mengusung pemurnian kembali (repurifikasi) Islam sebagaimana
yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.56
Proses repurifikasi Islam pada abad ke-19 yang dilakukan oleh gerakan
teologi jihad dan sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama
di Makkah dan Madînah, lebih menekankan aspek formal-ritual ketimbang
hakikat Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak abad ke-12 teologi
Asy‘ariyyah telah mendominasi paradigma keislaman kebanyakan ummat Islam
Nusantara dan memulai titik perkembangan yang amat pesat sejak abad ke-17.
Dominasi teologi Asy‘ariyyah yang dikategorikan sebagai aliran
tradisionalisme57 yang menganut paham predestinasi58 terus berlanjut hingga
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagian dari kalangan penganut
teologi tradisionalisme ini mulai masuk ke ranah politik-kenegaraan. Tujuannya
56Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 44-49. Teologi Asy‘ariyyah
kemudian mendapat kritik dari kalangan ummat Islam Indonesi karena sifatnya yang cenderung mengikuti bentuk teologi Jabâriyyah dalam masalah takdir (predestination). Teologi Asy‘ariyyah dianggap bertanggung jawab atas lemahnya etos sosial ekonomi ummat Islam Indonesia yang cenderung menyandarkan segala bentuk kehidupan pada kekuasaan Tuhan. Manusia tidak lebih berperan sebagai wayang yang diatur oleh dalangnya. Pergeseran cara pandang ummat Islam Indonesia terhadap teologi Asy‘ariyyah ini terlihat sejak abad ke-18.
57Penggunaan kata tradisionalisme atas teologi Asy‘ariyyah, dikarenakan kebanyakan dari mereka adalah masih terikat kuat dengan pemikiran ulama ahli tawhîd, fiqh, Hadîst, tasawuf dan tafsîr yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49.
58Penganut paham ini meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa dan tidak mampu berkehendak atas sesuatu apapun, melainkan atas kuasa dan kehendak Tuhan, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107.
adalah agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam yang berazaskan kepada al-
Qur‘ân dan Hadist,59 salah satu alasannya adalah karena mayoritas penduduk
Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya oleh kalangan intelektual, mereka
diidentifikasi menjadi golongan teologi formalis-legalistis, teologi normatif dan
teologi ortodoks.60
Dalam peta pemikiran Islam kekinian, nama teologi Asy‘ariyyah memang
telah hampir redup dalam perbincangan akademis. Kini oleh sebagian intelektual
Muslim, golongan yang menyerupai teologi Asy‘ariyyah, karena memiliki paham
seperti predestinasi, teosentris,61 fatalistis, skriptualis dan fiqh oriented,62
dikategorikan sebagai aliran teologi tradisionalisme, formalistis-legalistis,63
normatif,64 ortodoks65 bahkan konservatisme.66 Selanjutnya untuk
59Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. 60Teologi yang mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyariatkan
di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 25.
61Paham yang meyakini bahwa segala sesuatu kejadian atau perubahan hanya berpusat pada Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak apapun untuk mengubah diri dan keadaannya, baca Zamakhsyari Dhofier, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 42.
62Pemahaman keagamaan yang hanya bersandar kepada fatwa-fatwa yang terdapat di dalam empat madzhab fiqh. Pemahaman keagamaan ini diyakini sebagai salah satu pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65.
63Golongan ini juga memfokuskan diri pada perjuangan untuk menjadi Islam sebagai ideologi negara, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Penekanan paham keagamaan ini juga terletak pada ketaatan formal dan hukum agama. Dan setiap ekspresi keagaman harus diwujudkan secara eksplisit, seperti pembentukan bank-bank Islam, asuransi Islam dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka cenderung mengadopsi tradisi-tradisi Arab yang dianggap sebagai warisan Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot dan lain-lain, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi
di Indonesia, h. 9. 64Paham Islam yang berangkat dari teks yang tertulis di dalam kitab suci. Paham ini
sangat meyakini bahwa keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia dapat ditemukan solusinya di dalam kitab suci dan Hadîst. Mereka sangat menolak usaha penafsiran yang dilakukan oleh kalangan Muslim liberal, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9-10.
65Istilah ortodoks sendiri merupakan pinjaman dari istilah dalam lembaga keagamaan dalam tradisi Kristen yang berwenang untuk merumuskan suatu doktrin sebagai kebenaran resmi. Secara umum pengertian tentang ortodoks adalah keyakinan yang benar dan keimanan yang murni sesuai dengan ajaran dan arahan dari pemilik kewenangan mutlak, baca Fauzan Saleh, Teologi
Pembaharuan, h. 77-78. Aliran teologi ortodoks ini mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyari‘atkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak
mengidentifikasi teologi yang identik dengan paham ajaran Asy‘ariyyah penulis
akan menggunakan istilah yang telah dipakai oleh Harun Nasution dan Fachry
Ali, yaitu dengan teologi tradisional.67
Azyumardi Azra menilai tidak tepat jika ada anggapan yang berpendapat
bahwa teologi Asy‘ariyyah tidak mendorong terjadinya dinamika perubahan
dalam masyarakat Islam Indonesia dan justru mendorongnya ke arah kemunduran.
Meskipun bila dilihat secara teoritis, tuduhan itu sangat mendasar sekali
dikarenakan adanya peningkatan aktivisme yang cukup menonjol di kalangan
Muslim, baik dalam bidang politik, ritual keagamaan, budaya dan ekonomi yang
landasan aktivitasnya belum tentu berafiliasi ke dalam teologi Asy‘ariyyah.68
Sebagian kalangan, terutama masyarakat Muslim terdidik modern, mulai
resah dengan dominasi dan hegemoni teologi tradisional yang telah mendarah
daging dalam keyakinan dan pemikiran ummat Islam kebanyakan, sehingga
membuat ummat Islam Indonesia mengalami kebuntuan dan kemunduran dalam
berbagai bidang.
Pernyataan mereka didasari oleh sebuah pandangan bahwa persoalan
teologis dalam masyarakat Islam merupakan soal yang sangat amat sensitif,
karena meyangkut masalah keyakinan beragama, dan juga faktor determinan
dalam progresifitas ummat Islam Indonesia, karena pendirian teologis merupakan
upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur keyakinan, selain, tentunya
keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama. Oleh sebagian peneliti keagamaan, sebutan ortodoksi Indonesia bisa melekat pada kelompok yang digolongkan tradisionalis maupun modernis, yang dalam hal ini oleh M. Howard Federspiel adalah kelompok Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 24-25.
66Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 67Istilah tradisionalisme berasal dari kata tradisi yang berarti segala sesuatu, baik itu
kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang, Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 1088. 68Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46.
sebagai rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan-tindakan sosial dan program
pembangunan yang telah direncanakan.69
Kalangan sarjana Muslim menilai dengan pemahaman beragama yang
masih didominasi dan dihegemoni oleh pemahaman tradisionalisme akan
membuntukan jalan pembangunan Indonesia, yang mengakibatkan
keterbelakangan ummat Islam dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik
serta sains dan teknologi.
Dalam abad modern ini, ummat Islam Indonesia dihadapi oleh dua
problem besar, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.70 Teologi tradisional
yang masih menganut paham tradisionalisme-teosentris-skripturalis diyakini tidak
akan mampu menemukan kesesuaian di antara dua problem besar itu. Sebab
mereka masih terkunci oleh pemahaman sempit bahwa modernisasi di Indonesia
akan meminggirkan peran agama dan merusak nilai-nilai yang ada di dalamnya.71
Dengan kerangka tersebut beberapa pemikir Muslim Indonesia mulai
berbicara untuk merumuskan sebuah teologi baru yang kondusif dan dapat
menopang modernisasi dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Dalam ide
mereka, para pemikir itu mengharapkan adanya teologi yang lebih kontekstual
dengan perkembangan situasi modern.72
Meskipun gerakan pembaharuan Islam Indonesia telah muncul sejak awal
abad ke-20, namun awal 1970 adalah periode penting bagi perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Greg Barton, Indonesia mengalami
69Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer”
dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 84. 70Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru,” h. 74. 71Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 347. 72Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 46.
kebangkitan yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan dalam
pemikiran keagamaan. Dikatakannya, bahwa kebangkitan ini juga bukan petanda
bahwa Islam akan kembali ke zaman 1950 di mana kelompok Islam tertentu
menginginkan azas Islam sebagai ideologi negara. Islam yang bangkit pada tahun
1970 adalah Islam kontekstual dan substansial, yang memiliki ciri moderat, liberal
dan progresif.73
Gerakan yang dimotori oleh para intelektual menyerukan tentang
pembaharuan pemikiran Islam itu oleh Barton diidentifikasi sebagai gerakan neo-
modernisme. Mereka yang dikategorikan masuk ke dalam gerakan ini adalah
pemikir-pemikir yang memiliki pengaruh kuat atas setiap gagasan pembaharuan
pemikiran Islam yang keluar dari masyarakat Islam Indonesia. Mereka adalah
Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib.
Menurut Barton, sebenarnya banyak tokoh-tokoh Islam, selain yang telah
disebutkan di atas, dapat digolongkan ke dalam komunitas pemikir neo-
modernisme, seperti, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F.
Mas’udi. Tetapi mereka ini lebih memilih untuk tidak menggunakan istilah neo-
modernisme, yang awalnya dipopulerkan oleh media massa di luar keinginan
mereka sendiri.74
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan Barton, ada tokoh Islam lainnya
yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hal pemikiran di kalangan masyarakat
Muslim Indonesia, yakni Harun Nasution. Karena dalam karyanya, ia banyak
73Greg Bartoh, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 3-4.
74Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 8-11.
memaparkan teologi Mu‘tazilah dan tokoh-tokoh kontemporer yang beraliran
Mu‘tazilah, seperti Muhammad ‘Abduh,75 maka Harun oleh sebagian intelektual
Islam kerap digolongkan sebagai Muslim berteologi rasional. 76
Berbeda dengan kelompok rasional yang oleh Fachry Ali digolongkan ke
dalam kelompok modernisme Islam yang cenderung terfokus ke dalam perdebatan
sektarian, seperti Muhammadiah, Persatuan Islam, Sunnî dan non- Sunnî, gerakan
neo-modernisme lebih bersifat kultural, karenanya gerakan neo-modernisme
disebut sebagai gerakan yang bersifat moderat, karena ia mampu memadukan
antara paham modernisme Islam dengan tradisionalisme.
Azyumardi Azra berpandangan bahwa penggolongan terhadap bentuk-
bentuk teologi ini adalah penyederhanaan dari berbagai corak berteologi di
Indonesia, yang masih sangat mungkin sekali belum pernah tercatat dalam kajian
sejarah. Penggolongan ini hanya mencoba menangkap pandangan teologis terkuat
di dalam penggolongan itu. Dalam artian, dalam setiap bentuk itu sangat mungkin
terdapat unsur-unsur bentuk teologi yang lain yang dapat digolongkan kembali.77
Perlu penulis tekankan juga bahwa mengapa penggolongan ini turut
menyertakan terma teologi karena pemikiran-pemikiran yang akan diuraikan
dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir para tokoh Islam terhadap realitas
kehidupan dengan menggunakan perspektif ketuhanan.
75Dalam dua bukunya, seperti Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) dan Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987) yang hingga kini masih dicetak ulang, Harun terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah yang lebih rasional untuk masyarakat muslim Indonesia, yang menurut peninjauan Harun masih terpenjara oleh paham teologi Asy‘ariyyah yang mengusung paham fatalistis. Dan paham ini menurut Harun tidak sesuai dengan iklim perubahan maupun pembangunan di negara Indonesia, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350.
76Fauzan Saleh memetakan diskursus teologi Islam mutakhir Indonesia tetap dipengaruhi oleh dua pemikiran besar, yaitu pemikiran Harun Nasution yang dikenal dengan teologi rasional Mu‘tazilah dan Nurcholish Madjid dengan neomodernisme, baca Fauzan Saleh, Teologi
Pembaharuan, h. 260-384. 77Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h.51.
Gerakan pembaharuan teologis yang terjadi di Indonesia sudah barang
tentu berpengaruh terhadap pola pikir kebanyakan Muslim Indonesia, baik yang
berpendidikan tradisional Islam sekaligus sekular maupun Muslim yang hanya
berlatarbelakang berpendidikan sekular saja. Fenomena pembaharuan ini juga
menjadi pembenaran bagi setiap Muslim untuk mengembangkan agama yang
tidak normatif dan legalistik, tetapi lebih pada aspek substantif sehingga
instrumen yang digunakan untuk memahami Islam menjadi terbuka.78
Oleh karenanya tidak mengherankan, bila ada fenomena dalam masyarakat
Muslim kekinian bahwa ide-ide keislaman (teologis) yang berkembang di
Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai
pemikir-pemikir arus utama (mainstream) yang bila dalam konteks penulisan ini
adalah yang dikategorikan oleh Greg Barton sebagai pengusung gerakan neo-
Modernisme, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid dan lain sebagainya,
melainkan juga oleh kalangan masyarakat sekular-rasional dan tidak terdidik
dalam ilmu-ilmu tradisional Islam (Muslim atau sarjana sekuler). Oleh William
Liddle, kelompok ini diberi nama dengan sebutan Islam substansialis, meskipun
kelompok ini tetap bisa digolongkan ke dalam gerakan neo-modernisme. Namun
karena mereka memiliki ciri khas tersendiri dari kelompok neo-modernisme,
maka dipilihkan istilah lain untuk menggolongkan kelompok tersebut.79
Berdasarkan uraian di atas, bentuk-bentuk teologi yang akan penulis bahas
pada penjelasan berikut adalah teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-
modernisme dan teologi substansialis. Dalam penulisan berikut, penulis akan
78Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 354. 79Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 33-34
menjelaskan ciri-ciri dan isi pandangan tentang Tuhan dan manusia dari masing-
masing teologi tersebut.
D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia
1. Teologi Tradisional
Teologi tradisional menurut Harun Nasution adalah nama lain dari teologi
Asy‘ariyyah80 atau Sunnî klasik di Indonesia81 yang menurut sejarahnya telah ada
sejak kedatangan Islam di Indonesia sejak abad ke-12. Namun menurut Fachry Ali
istilah tradisional tetap dapat digunakan tidak hanya untuk mengidentifikasi
teologi Asy‘ariyyah di Indonesia tetapi juga kelompok-kelompok Islam yang
masih terikat kuat dengan pemahaman keagamaan pada abad ke-7 dan 13 yang
diyakini sebagai sesuatu yang murni dan sesuai dengan tuntunan Islam yang
benar. 82
Teologi tradisional ini banyak dianut oleh masyarakat pedesaan, di mana
kehidupan, tingkah laku dan cara berpikir masyarakatnya masih sangat sederhana.
Di Indonesia, yang menjadi basis perkembangan dan juga pendukung paham ini
umumnya adalah kelompok kiai yang mendirikan pesantren.83
80Teologi Asy‘ariyyah, lahir pada tahun yang disebut oleh Harun Nasution sebagai
zaman Islam klasik (650-1250), baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 115. Teologi Asy’ariyyah merupakan aliran tandingan dari teologi Mu‘tazilah yang didirikan oleh orang yang awalnya penganut Mu’tazilah, yakni Abû al-Hasan al- Asy‘arî. Al-Asy‘arî menilai bahwa pandangan keagamaan teologi Mu‘tazilah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang sebenarnya dalam Islam, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 66.
81Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 52. Aliran ini didirikan oleh Abû Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Sebelum mendirikan Asy‘ariyyah, ia adalah seorang penganut teologi Mu‘tazilah. Tanpa sebab yang jelas, ia menyatakan keluar dan membentuk aliran teologi baru, yang kemudian dinamakan Asy‘ariyyah, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 67. Seperti telah dijelaskan di atas, teologi ini menganut paham predestinasi dan fatalistis.
82Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 83Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49.
Dalam metode pengambilan keputusan yang terkait dengan soal
pemahaman keagamaan, mereka masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran ulama
tawhîd, fiqh, tafsir dan Hadîst yang hidup antara abad ke-7 hingga 13.84
Wahyu al-Qur’ân bagi aliran teologi ini merupakan dogma yang harus
diterima apa adanya dan mereka menolak keras usaha-usaha penafsiran yang
dilakukan oleh sebagian ummat Muslim. Dengan istilah lain mereka adalah
kelompok skripturalis.85
Paham keagamaan ini cenderung mengabsolutkan teks tanpa memahami
masalah yang menjadi latar belakang munculnya teks tersebut (asbâb al-nuzûl
dalam al-Qur’ân, dan asbâb al-wurûd dalam al-Hadîst), baik yang bersifat sosio-
kultural dan psikologis.86
Umumnya aliran teologi tradisional memandang akal manusia tidak bisa
mengetahui baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik. Hal itu hanya dapat
diketahui lewat wahyu Tuhan. Teologi ini sangat bergantung kepada wahyu dan
banyak berpegang pada arti lafzhi atau harfiah (membaca yang tersurat).87 Oleh
karenanya, menurut Harun Nasution mereka sangat sulit dalam menyesuaikan diri
dengan perkembangan modern.88
Dalam paham tentang al-kasb (perbuatan), teologi ini lebih dekat kepada
paham Jabbâriyyah atau fatalisme (paham kekuasan mutlak pada Tuhan). Faham
fatalisme dalam teologi tradisional, menurut Harun Nasution didasari oleh firman
84Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 49. 85Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2002), cet. 2., h.29. 86 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. vi. 87Harun Nasution, Islam Ditinjua dari Segala Aspeknya Jilid 2, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1987), h.42. 88Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Saiful Mujani, ed., (Bandung: Mizan, 1995), h. 9
Tuhan yang artinya, “Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu,
kecuali telah ditentukan di dalam kitab sebelum ia Kami wujudkan (QS:
57:22).”89 Al-Qur’ân sendiri, Harun menandaskan memang sebenarnya
mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalisme atau
Jabbâriyyah maupun Qadariyyah (free act) yang dapat dijadikan sandaran bagi
keyakinan ummat Islam.90
Tuhan bagi teologi fatalis ini adalah pemilik kekuasaan mutlak pada
mahkluk (manusia). Tidak ada kekuasaan pada manusia dan semua tindakan
manusia telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan.
Manusia hanya berkewajiban taat dan tunduk kepada aturan-aturan yang
telah ditentukan Tuhan. Tidak ada daya kreatifitas manusia untuk menentukan
arah hidupnya, karena Tuhan telah menentukan nasib bagi hamba-hamba-Nya.
Dengan demikian manusia tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya, ia
terpenjara dalam takdir Tuhan.91
Dalam dunia modern, misi yang paling bisa dilihat dari kelompok ini
adalah repurifikasi Islam. Individu Muslim yang setuju atas misi ini menilai
bahwa akomodasi baru Islam atas kenyataan sosial-budaya dianggap tidak terlalu
banyak berhasil. Perumusan akomadasi modernisme atas agama dinilai hanya
berpengaruh pada sebagian kaum elit dan urban. Hal itu pada gilirannya
membawa sebagian cendekiawan Muslim untuk kembali kepada doktrin Islam
yang diyakini sebagai respon yang lebih tepat atas perubahan zaman ini.92
89Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112 90Harun Nasution, Islam Rasional, h. 111 91 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Segala Aspeknya, h. 40. 92Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 14-15.
Menurut teologi ini Islam yang paling ideal adalah Islam yang ada pada
masa awal Islam, yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat
terutama yang empat (Khulafâ’ al-Râsyidîn).93 Gejala repurifikasi Islam inilah
yang diyakini dapat memunculkan ajaran fundamentalisme Islam (hal yang terkait
dengan kekerasan atas nama agama).94
2. Teologi Rasional
Dari sisi historis, aliran rasionalis di dunia Islam ditemukan pada
kelompok teologi Mu‘tazilah.95 Dikatakan sebagai teologi rasionalis karena
penganut aliran teologi ini mengganggap akal atau nalar manusia akan sampai
pada pengetahuan tentang Tuhan, walaupun wahyu belum diturunkan.96 Bagi
mereka kebaikan dan kejahatan bukanlah hasil-samping dari irrasionalitas dan
buta dari keimanan sebagaimana yang diterapkan oleh sebagian teodisi
deterministik. Sebaliknya manusia memiliki kehendak bebas, dapat menguraikan
gambaran rasional tentang kebaikan dan kejahatan dan manusia bertanggung
jawab atas perbuatannya. Nalar manusia menurut aliran Mu‘tazilah selaras dengan
wahyu.97
93Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, h. 32 94Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h.15. 95Aliran teologi Mu‘tazilah muncul pada abad ke-2 Hijriah di kota Bashrah atau sama
pada tahun yang disebut sebagai zaman Islam klasik, yang didirikan oleh Wâshil ibn ‘Athâ'. Ajaran pokok yang dibahas dalam teologi Mu‘tazilah adalah tawhîd, al-‘Adl, al-Wa‘d wa al-wa‘îd
(janji dan ancaman), al-manzilah bayna manzilatayn (tempat di antara dua tempat), Amr ma‘rûf
nahy munkar, Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. I., h. 43-46.
96Ada empat permasalahan yang dibahas dalam teologi terkait dengan masalah akal. Pertama masalah apakah akal mampu mengetahui Tuhan. Kedua, bersyukur kepada Tuhan. Ketiga, mengetahui baik dan buruk. Keempat, berkewajiban menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 79-94.
97Parviz Morewedge, “Teologi,” h. 16.
Teologi rasional menemukan titik awal perkembangan yang cukup
signifikan di Indonesia bersamaan dengan gerakan pembaharuan dalam Islam di
Indonesia sekitar tahun 1970.98 Meskipun gerakan pembaharuan Islam
kontemporer di mulai sejak awal abad ke-20, namun para peneliti keagamaan
memandang bahwa pengusung aliran teologi rasional di Indonesia adalah Harun
Nasution.99 Pemikiran Harun Nasution sendiri juga tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh tokoh pembaharu Islam di Mesir, yakni Muhammad ‘Abduh.100 Para
tokoh pembaharu ini, termasuk juga ‘Abduh mendorong umat Islam untuk
melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali doktrin-doktrin Islam
dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pikiran-pikiran modern.
Menurut para tokoh ini, Islam merupakan satu-satunya agama yang meletakkan
akal pada posisi cukup baik dan menganjurkan penerapan temuan-temuan
ilmiah.101
Semangat pembaharuan pemikiran Islam sangat mendapatkan perhatian
dari ummat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, menurut
Fachry Ali, masyarakat perkotaan, terutama yang berlatar belakang pendidikan
98Baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350. 99Beberapa buku secara eksplisit menyebutkan bahwa pemikiran Harun Nasution
merupakan pemikiran Islam yang berhaluan rasional, seperti dalam buku Abdul Halim, ed., Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005). Pada judul buku lain, disebutkan Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., (Bandung: Mizan, 1995). Harun menurut Jamhari memang terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah di Indonesia. Menurut Harun, ada kesesuaian beberapa aspek aliran teologi Mu‘tazilah dengan usaha manusia Indonesia dalam mengembangkan masyarakatnya, baca Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350.
100Dalam bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), Harun menilai bahwa pembaharuan pemikiran Islam yang digagas Muhammad ‘Abduh sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran di Indonesia, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press,1987), h. 1. Muhammad ‘Abduh menurut Harun adalah penganut teologi rasional Mu‘tazilah yang berpandangan jalan untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata, tetapi juga akal. Akal manusia sangat selaras dengan wahyu dalam mengenal Tuhan, Harun Nasution, Muhammad ‘Abduh, h. 43.
101Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63.
sarjana lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar. Kelompok pembaharu ini
diidentifikasi oleh Fachry Ali sebagai kelompok modernisme dalam Islam.102
Kemunculan teologi rasional di Indonesia merupakan respon terhadap
kejumudan (kemandekan berpikir) ummat Islam kebanyakan, di mana mereka
terperosok ke dalam kehidupan mistisisme berlebihan103 dan terpenjara oleh
paradigma tradisional (fatalisme dan fiqh oriented).104 Untuk meningkatkan
produktivitas masyarakat Indonesia, menurut Harun, ummat Islam harus
mengadopsi teologi sunnatullah105 yang bersifat rasional, filosofis dan ilmiah.
Teologi rasionalis ini bersifat terbuka terhadap segala perubahan dan
cenderung melihat Islam sebagai agama yang dinamis dan sejalan dengan akal,
dengan demikian al-Qur’ân ditafsir berdasarkan kontekstualisasi terhadap kondisi
dan permasalahan yang dihadapi. Menurut Harun Nasution, al-Qur’ân
diwahyukan dalam bentuk yang sangat umum tanpa penjelasan terperinci tentang
pelaksanaannya. Karena al-Qur’ân bersifat umum dan tidak memberi panduan
terperinci, maka penafsiran isinya merupakan keharusan.106
Ijtihad harus digalakkan dalam setiap wacana keislaman. Pemikiran yang
menegaskan bahwa pintu ijtihad telah ditutup itu tidak dibenarkan. Maka tawaran
yang diajukan adalah kontekstualisasi ajaran Islam sebagai cara untuk
102Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 63. 103Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 62. 104Moeslim Abdurrahman, Islam Transfomatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. Ke-
3., h. 62. 105Teologi sunnatullah berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 Masehi). Teologi
ini memiliki ciri mendudukkan akal pada posisi yang tinggi, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’ân dan Hadîst yang sedikit sekali jumlahnya, percaya akan keberadaan sunnatullah dan kausalitas, megambil arti metaforis dari teks wahyu dan adanya dinamika dalam sikap dan berpikir, baca Harun Nasution, Islam Rasional, h. 112.
106Jamhari, “Teologi,” h. 350.
menyelesaikan permasalahan zaman yang dihadapi ummat Islam dalam segala
aspek, seperti sosiol ekonomi, politik dan budaya.
Dalam paham tentang al-kasb (perbuatan), teologi rasional memiliki
pandangan berbeda dengan teologi tradisional yang menganut paham fatalisme.
Teologi rasional menganut paham Qadariyyah, yakni dalam menentukan
kehendak berbuat apapun, manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih.
Petunjuk Tuhan hanya dapat diperoleh setelah manusia melakukan usaha yang
maksimal, tanpa usaha apapun, petunjuk Tuhan tidak akan pernah diberikan.107
Manusia dalam paham teologi ini dipandang sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki kebebasan dalam melakukan aktifitasnya. Dengan kebebasannya itu
manusia bertanggung jawab terhadap Tuhan.
3. Teologi Neo-Modernisme
Neo-modernisme108 awalnya diidentifikasi sebagai gerakan pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia pada tahun 1970-an yang muncul sebagai tanggapan
pemikiran Islam terhadap tekanan, tantangan serta peluang-peluang modernitas.109
Berbeda dengan semangat gerakan modernis yang masih menuntut tentang
107Jamhari, “Teologi,” h. 350 108Kelahiran kelompok teologi neo-modernisme tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
Fazlur Rahman, seorang ilmuwan agama Amerika asal Pakistan, sebagai orang yang pertama kali mencetuskan paham neo-modernisme Islam. Menurut Rahman, neo-modernisme merupakan respon terhadap kemunculan neo-revivalisme yang diakibatkan oleh kelemahan modernisme klasik yang sangat berorientasi kepada Barat. Neo-revivalis dianggap gagal oleh Rahman dalam melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, mereka hanya berusaha untuk membedakan Islam dari Barat, tetapi tetap menggunakan metodologi Barat secara menyeluruh, baca Taufik Adnan Amal, ed., Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Vi., h.19-20 109Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 5.
keterlibatan partai politik Islam di dalam negara, neo-modernisme mengusung
semangat pemisahan antara agama dan negara.110
Kemunculan neo-modernisme juga diyakini dilatarbelakangi salah satunya
oleh gerakan modernisme Islam yang lahir di awal abad ke-20 yang menurut
gerakan ini gagal dalam mempertahankan kesegaran pemikiran pembaharuannya,
karena terlalu sibuk dalam mengurusi lembaga-lembaga pembaharuan yang
bersifat sektarian, sehingga mengikis potensi intelektual.111 Sementara di pihak
lain tradisionalisme Islam yang amat kaya pemikiran klasik sangat berorientasi
kepada masa lalu dan sangat selektif dalam menerima gagasan-gagasan
modernisasi. Akibatnya dinamika pemikiran di kalangan ini berjalan sangat
lambat dalam merespon peradaban modern.112
Dengan latar belakang yang semacam inilah, pola pemikiran neo-
modernisme muncul, yakni untuk menjembatani kedua aliran konvensional
tersebut atau untuk mengakomodasikan dua kutub pemikiran sekaligus:
tradisonalisme dan modernisme113 (rasional).
Neo-modernisme Islam merupakan orientasi teologis yang memahami
teks-teks dan tradisi Islam dalam perspektif ganda etika sosial dan kesalehan
personal dan pada saat yang sama pemikiran mereka tidak menonjolkan
perbedaan-perbedaan sektarian dalam masyarakat Islam dan konsep negara Islam,
dengan kata lain usaha-usaha kelompok noe-modernisme Islam Indonesia
terhadap pembaharuan pemikiran keislaman adalah sebuah gerakan kultural.114
110Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 5 111Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 175. 112Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 176. 113Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h 176-177. 114Mark R. Woodward, “Pendahuluan: Indonesia, Islam, dan Orientalisme: Sebuah
Wacana yang Melintas, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam, h. 16.
Komunitas neo-modernisme ini mencoba menawarkan pendekatan baru
pada konsep ijtihâd. Dalam usaha ijtihâd mereka, kelompok ini memadukan
antara ilmu kesarjanaan Islam klasik (bahasa Arab, tafsir, Hadîst, ushul fiqh dan
lain-lain) dengan metode-metode analitik modern (Barat).115 Secara umum,
teologi neo-modernisme dapat disebut sebagai suatu gerakan pemikiran yang
mengombinasikan keyakinan yang progresif dan liberal dengan keimanan yang
kokoh.116
Adapun tokoh-tokoh yang masuk ke dalam kelompok neo-modernisme
yang dikenal bersifat moderat, liberal dan progresif, seperti yang dipaparkan
dalam buku Greg Barton adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan
Effendi, dan Ahmad Wahib. Kendati demikian, beberapa tokoh lainnya dapat juga
dimasukkan ke dalam kelompok ini, seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F
Mas‘udi, namun mereka tidak menggunakan istilah tersebut untuk menamakan
arus pemikiran yang mereka kembangkan.117
Ciri pemikiran utama yang dibawa oleh teologi ini adalah atas dasar watak
inklusifisme Islam di mana pada hakikatnya Islam selalu sejalan dengan semangat
kemanusiaan yang universal. Islam adalah sistem yang menguntungkan semua
orang termasuk mereka yang bukan Muslim. Inklusifisme Islam merupakan fitrah
bagi manusia itu sendiri.118
Pandangan teologi neo-modernisme hanya meyakini pemutlakan
trasendensi semata-mata kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian melahirkan
desakraliasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah serta nilai
115Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 12 116Fauzan Saleh, Teologi Pembaharun, h. 324. 117Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 11 118Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 180.
yang bersangkutan kepadanya: bahwa selain Tuhan yang Esa tidak ada yang tidak
bisa disentuh lewat pemikiran manusia.119 Ini sangat relevan dengan sebuah
kesimpulan yang menegaskan bahwa Islam adalah ajaran kemanusiaan yang
universal.
Pada konteks manusia teologi neo-modernisme berpandangan bahwa
manusia sebagai yang diciptakan dalam keadaan fitrah (suci) dan benar. Manusia
senantiasa merindukan kebenaran, karena manusia diciptakan dalam fitrah yang
tidak bisa berubah. Dalam diri manusia ada sesuatu yang bersifat perenial (abadi),
yakni kerinduan pada kebenaran abadi yang tidak lain adalah agama yang lurus.
Dari kesadaran itu timbul, bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini
terlepas dari beragama apapun, pada hakikatnya ia adalah terlahir secara suci dan
benar. Dengan sifat primordial manusia yang demikian universal ini maka terlahir
sikap yang inklusif terhadap realitas kehidupan.120
4. Teologi Substansialis
Genderang perubahan pemikiran keislaman yang ditabuh oleh para
pemikir arus utama (mainstream) pada tahun 1970-an tidak hanya berpengaruh
kepada masyarakat di kalangan tertentu saja, tetapi juga turut menjadi stimulan
kepada masyarakat umum dalam merespon setiap perubahan paradigma
119Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. xii, h. 23.
120Nurcholish Madjid “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. xiii-xiv.
keislaman (teologis) yang banyak dipengaruhi konteks situasi dan kondisi historis
tertentu yang dihadapi kaum Muslim Indonesia.
Pada gilirannya stimulasi itu mendorong masyarakat umum, yang dalam
hal ini adalah para pemikir, cendekiawan untuk memberikan respon-respon
tertentu yang kelihatannya tidak selaras dengan keyakinan dan pemikiran yang
mereka anut selama ini.
Mereka adalah kelompok yang tidak terpaut dengan warna-warni
kelompok sektarian keislaman yang oleh William Liddle digolongkan sebagai
kelompok substansialis. Berbeda dengan kelompok neo-modernisme yang
memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang
terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental,
kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional
keislaman, seperti pesantren. Mereka hanya terdidik lewat keilmuan sekular.121
Greg Barton berpandangan tidaklah tepat untuk menempatkan neo-
modernisme sebagai bagian dari substansialis. Lebih tepat, kata Barton,
substansialisme maupun neo-modernisme adalah dua cara pendekatan dalam
menggambarkan kelompok yang sama.122
Kelompok yang berorientasi teologis substansialis ini memiliki gagasan-
gagasan kunci dalam melahirkan gagasan teologisnya, seperti yang diutarakan
Greg Barton dengan mengutip Fachry Ali:
“Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada bentuk. Kedua pesan al-Qur’ân dan Hadîst walau abadi esensinya dan universal artinya dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi Muslim sesuai dengan situasi masanya. Ketiga karena mustahil bagi siapapun untuk mendapat kepastian dalam memahami kehendak dan suruhan Tuhan. Ummat Muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-Muslim,
121Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34-35. 122Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 35
terakhir, Muslim substansialis menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari negara bangsa Indonesia,”123
Paradigma pemahaman keislaman (teologis) yang dianut oleh kelompok
substansialis lebih mementingkan substansi atau isi ketimbang label atau simbol-
simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam bidang
kemasyarakatan mereka cenderung concern pada pengembangan dan penerapan
nilai-nilai Islam secara implisit saja.124
Dalam kesehariannya individu-invididu yang tergolong kepada kelompok
berorientasi teologis substansialis adalah mereka yang langsung terjun ke dalam
masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan, baik itu seni dan budaya, hukum,
politik dan lain sebagainya. Salah satu tokoh yang digolongkan ke dalam
kelompok teologi substansialisme adalah Dawam Rahardjo.125
Hasil pemikiran keislaman mereka yang acapkali diterima dengan sinisme
oleh para agamawan dan masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus HB.
Jassin,126 menjadikan pemikiran keislaman mereka menjadi termarjinalkan.
123Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 34.
124Azyumardi Azra, Konteks Berteologi Islam di Indonesia, h. 9 125
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 33-35 dan Jamhari, “Teologi,” h.
352.
126Sebagai seorang sastrawan yang hanya mengandalkan pendidikan sekular (sastra), dua karya monumental HB Jassin, yakni Al-Qur’ân Bacaan Mulia (ABM) dan Al-Qur’ân Berwajah
Puisi (ABP) tidak mendapatkan apresiasi yang positif di sebagian besar agamawan, intelektual dan masyarakat umum ketika itu (tahun 1993). Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika itu, karya yang ditelurkan oleh HB. Jassin dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Dan oleh menteri agama pada saat itu, Munawir Sjadzali, karya Jassin dianggap menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam, sehingga menteri agama harus menarik dukungannya terhadap usaha Jassin untuk menerbitkan karyanya itu, baca Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer,” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru
Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, h. 61-62.
Dalam konteks itu, mereka bisa dimasukkan sebagai Muslim subaltren127 atau
pinggiran (periphery).
Dalam konteks diskursus keislaman, jika sebuah penafsiran tentang al-
Qur’ân telah melewati batas-batas yang telah disepakati, seperti tidak melalui
Hadîst maupun hasil ijmâ’ ulama, maka penafsiran kelompok ini sering disebut
dengan pemahaman agama yang splinter.128 Dalam konteks ini, splinter dapat
dimaknai sebagai suatu pemahaman keislaman (teologis) yang tidak dilahirkan
melalui metode normatif-tradisional, melainkan dengan latarbelakang keilmuan
sekular atau berdasarkan pengalaman empiris. Dalam melahirkan gagasan,
mereka cenderung terpengaruh oleh situasi historis dan kondisi tertentu (mental,
psikologis, dan intelektual).
Sesuai dengan ciri latarbelakang dan metode dalam merumuskan
pemikiran keislaman, RPD, tokoh yang akan penulis bahas dalam penulisan ini,
adalah tokoh yang termasuk ke dalam kelompok Muslim subaltern. Karena
pemikiran keislaman RPD tidak didasari metode normatif-tradisional yang
dipadu dengan ilmu keislaman modern, maka dalam konteks keislaman,
pemahaman keislaman RPD dapat cenderung kuat dikategorikan sebagai
127Pengertian subaltern pada awalnya berasal dari kajian tentang Muslim-Muslim yang
tertindas dan termarjinalkan karena pemikiran keagamaan mereka dianggap bertentangan dengan pemikiran arus utama atau yang masih memegang doktrinal Islam secara utuh, dalam hal ini adalah institusi agama yang diakui oleh negara. Mereka kerap mendapatkan perlakuan represif oleh kelompok mainstream yang menggandeng kekuasaan politik ketika itu, baca Azyumardi Azra “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern” Gatra 6 Desember 2003, h. 8. Penulis menggolongkan para Muslim yang tidak terdidik ilmu-ilmu tradisional Islam dan hanya berpendidikan sekular ke dalam subaltern yang termarjinalkan. Muslim-Muslim yang tidak memiliki latarbelakang keilmuan tradisional Islam dan kemodernan Barat, tidak akan pernah mendapatkan tempat utama dalam pemikiran keislaman mereka. Malahan pemikiran kelompok subaltern yang juga disebut sebagai Muslim pinggiran ini kerap dipandang menyimpang dengan berbagai alasan. Menurut Azyumardi Azra, “kaum splinter dan pinggiran dalam agama manapun hampir tidak mendapatkan tempat dalam sejarah,” baca Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” h. 8.
128Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2006, h. 8.
pemahaman splinter. Lebih dalam tentang RPD dan pemikirannya, penulis akan
membahasnya pada bab 3 dan 4.
BAB III
BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA
A. Riwayat Hidup
Radhar Panca Dahana lahir di Jakarta 26 Maret 1965,129 di daerah Radio
Dalam, Jakarta Selatan. Bapaknya bernama Radsomo merupakan pegawai
pemerintahan di departemen Perindustrian, sedangkan ibunya, Suharti hanyalah
seorang ibu rumah tangga. RPD memiliki tujuh saudara dan RPD adalah anak
kelima.
Walaupun terlahir dari keluarga beragama Islam, RPD tidak terlalu dekat
dengan “lingkungan” agama. Dari kecil RPD oleh Radsomo tidak ditekankan
untuk mendalami tentang pendidikan Islam tradisional (belajar bahasa Arab,
mengkaji ilmu fiqh dan lain-lain) secara khusus (dimasukkan ke pesantren atau
madrasah). Namun oleh kedua orang tuanya RPD tetap diajari baca tulis al-Qur’ân
dan tentang tatacara ibadah ritual pokok, seperti puasa, shalat.
Sejak masa anak-anak, kedua orang tua RPD juga tidak begitu
memerintahkan secara tegas kepada anak-anaknya untuk menunaikan ritus-ritus
keagamaan, seperti shalat dan puasa, walaupun itu tetap diajarkan oleh kedua
orang tuanya. Bagi kedua orangtuanya, cara berislam tidak hanya difokuskan
dengan melaksanakan ritus-ritus agama, tetapi lebih ditekankan kepada integritas
pribadi, seperti kejujuran, tata krama, toleransi, inklusifitas dan kerja keras.
Pelaksanaan ritus keagamaan oleh penganut agama adalah masalah yang sangat
personal, dan tidak perlu diperbincangkan dan diperdebatkan.
129“Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IV-
april 2007, h. 7.
Saat RPD masih kecil, orang tuanya lebih banyak memerintahkannya
untuk serius mendalami ilmu-ilmu yang ada di sekolah formal, walaupun pada
akhirnya RPD tetap membangkang atas perintah ayahnya itu. RDP lebih memilih
jalur seni teater dan sebagai penulis.
Potensinya sebagai penulis mulai terlihat saat RPD berumur 10 tahun,
kelas lima SD, di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Blok D Gandaria. Cerpennya
yang berjudul “Tamu tak Diundang” diterbitkan oleh, Kompas.130
RPD bersyukur bahwa ia dibesarkan di lingkungan di mana dia diarahkan,
baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh sahabat-sahabat yang pernah hidup
bersamanya, pada satu pemahaman tentang agama bahwa agama harus imanen di
dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik. RPD akan merasakan kesia-siaan dan
ketidakmanfaatan dari agama, jika agama hanya menjadi satu retorika, dengan
demikian agama hanya berhenti pada tataran retorika dan tidak menjadi trembling.
RPD bukan tidak mau mendalami agama secara formal, namun dia tidak
mau pada suatu saat nanti menggunakan agama (Islam) yang secara murni
merupakan sebuah keyakinan sebagai sumber pembelaan atas perilaku
keduniawiannya. Ia melihat telah terjadi reduksi terhadap premis-premis dasar
dalam agama (Islam), seperti, bahwa Islam adalah Arab, Muhammad adalah wakil
Tuhan yang segala perkataannya sama sucinya dengan al-Qur’ân itu sendiri dan
lain sebagainya.
Islam dalam pandangan RPD adalah persoalan personal, yang tidak perlu
dibicarakan kepada publik, misalnya tentang bagaimana seseorang itu beribadah,
kapan, di mana, bacaan-bacaan dalam ritus-ritus keagamaan dan lain sebagainya.
130 Jurnal Nasional, Edisi 0131, Minggu IV April 2007, h. 7.
Sedari masa remaja atau ketika duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama (SMP), RPD mengaku telah mengenal dan bersentuhan dengan beberapa
pemikiran yang ia baca dari buku-buku yang dikoleksi oleh pamannya, termasuk
buku-buku yang berkaitan dengan studi keagamaan dan keislaman. Menurut
penuturan RPD, beberapa buku yang telah ia baca antara lain buku tentang
Jalâluddîn Rûmî, Max Weber, Karl Marx, al-Ghazâlî, falsafah Islam, sekulerisme
Islam di Turki, Mohammed Arkoun, Muhammad Iqbal, falsafah Yunani dan lain
sebagainya. Keranjingan membaca RPD ini ditulari dari orang tua dan
keluarganya yang memang terkenal kutu buku.
Ketika remaja hingga dewasa RPD banyak menghabiskan waktu bersama
para seniman dan sastrawan, antara lain W.S Rendra, Noorca Massardi (Pemimpin
Redaksi Majalah Jakarta Jakarta), Seno Gumira Adjidarma dan Alex Komang.
Penulis meyakini bahwa pergaulannya dengan para seniman dan sastrawan
tersebut turut membentuk pola pikir keberagamaan RPD.
Dalam perjalanan hidupnya, tahun 2001 merupakan momen terpenting dan
bersejarah bagi RPD dalam memahami makna hidup, termasuk soal
keberagamaannya. Pada tahun itu, RPD telah divonis mengalami penyakit gagal
ginjal kronis yang harus memaksanya melakukan cuci darah sebanyak tiga kali
seminggu. Dari peristiwa ini, banyak pemahaman RPD tentang makna hidup dan
keberagamaan yang mengalami perubahan ke arah yang lebih religius di mana ia
merasa bahwa sebagai manusia dirinya akan selalu bertaut kepada Tuhan sebagai
sumber ontologisnya.131
Pemikiran-pemikiran RPD yang kritis dan segar dalam berbagai bidang
pemikiran, terutama dalam bidang seni dan budaya, yang termuat di banyak media
terkemuka di Indonesia, mendapat respon positif dan simpati dari para intelektual.
Tak ayal, sejak masih duduk di bangku kuliah, RPD sudah sering diundang
sebagai pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar yang terkadang lawan
bicara RPD dalam seminar itu adalah profesor-profesor yang menguasai di
bidangnya.
Hingga sekarang, RPD tetap aktif menghadiri forum-forum diskusi dan
seminar, yang tajuknya hingga ke persoalan agama. Seperti dalam Soegeng
Sarjadi Forum132 di mana RPD dan tokoh-tokoh intelektual agama seperti
Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Yudi Latif
(Deputi Rektor Paramadina), Mudji Soetrisno (dosen Driyakarya), pernah duduk
satu meja, dengan berbagai tema pembicaraan antara lain: "Manusia Makhluk
Termulya," dalam edisi Puasa Ramadhan 2006, "Ilmu Pengetahuan, Manusia dan
Agama," (edisi Isrâ’ Mi‘râj 2007) dan "Kurban dalam ‘Îd al-Adlhâ" (edisi ‘Îd al-
Qurbân 2007).
RPD pun mengaku bergaul cukup akrab dengan para intelektual Islam,
antara lain dengan Komaruddin Hidayat. Pergaulannya dengan Komaruddin
131“Radhar Panca Dahana: Cuci Darah Membuatnya Paham Makna Hidup,”
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0604/03/152312.htm diakses pada 10
Agustus 2008 jam 14.00 WIB. 132Soegeng Sarjadi Forum adalah sebuah forum diskusi yang digelar oleh lembaga
Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang mengetengahkan berbagai tema-tema aktual di masyarakat dengan berbagai pembicara yang berkompeten di bidangnya. Acara ini sendiri disiarkan melalui televisi kabel MQTV. Dokumentasi siaran di mana RPD menjadi pembicara dapat dilihat dalam dokumentasi siaran yang penulis miliki.
Hidayat membuat RPD dan para penulis lainnya dipercaya untuk mengerjakan
sebuah esai yang kemudian akan dijadikan sebuah buku.
B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik
RPD kecil tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan agama secara
formal seperti di pesantren atau di madrasah. Ini adalah keinginan orang tuanya
yang tidak mau pada suatu saat nanti RPD menjadikan agama hanya menjadi
suatu kajian ilmiah atau retorika belaka, tetapi tidak imanen di dalam diri. Namun
seperti dikemukan di atas, sebagai seorang Muslim, orang tua RPD tetap
memberitahu tentang tradisi-tradisi ibadah keislaman dan menjelaskan kepada
RPD bahwa makna, fungsi dan peran di balik ibadah itu adalah untuk
kemanusiaan dan bukan untuk Tuhan atau ibadah itu sendiri. Esensi ibadah dapat
diraih ketika seseorang telah berbuat jujur, bermoral dan beretika baik dalam
pergaulan masyarakat, kata orang tuanya kepada RPD seperti dituturkan RPD
sendiri kepada penulis.
Bangku sekolah dasar (SD) RPD jalani di SDN 4 Blok D Gandaria (1971-
1977). Setelah itu ia melanjutkan ke SMPN 68 Cilandak (1977-1979). Masa SMA
RPD dihabiskan di tiga sekolah yang berlainan, yakni SMA II Jakarta (1980-
1982), SMA 46 Jakarta (1982-1983) dan SMA Gita Kirtti (Giki-SMA Kristes di
Bogor) (1983-1986). Di tempat terakhir inilah ia menamatkan sekolah menengah
tingkat atas.133
133 Playboy, edisi Juli 2006, h.144.
Aktivitas RPD ketika masa SMA lebih banyak dicurahkan ke dalam dunia
seni teater dan penulisan, apalagi ketika itu ia telah diangkat oleh harian Kompas
menjadi wartawan freelance dan redaktur di majalah Jakarta Jakarta dengan
penghasilan yang cukup lumayan.134 Kesibukannya sebagai penulis dan wartawan
menyebabkan sekolahnya pun menjadi kacau balau.
Tamat dari SMA RPD melanjutkan pendidikannya ke Universitas
Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) jurusan Sosiologi. Ia
dinyatakan lulus pada tahun 1994. Di jurusan ini pula ia sempat bersentuhan
dengan agama dengan mengkaji agama dan aspek-aspek di dalamnya, seperti
dogma, doktrin, ritus, nabi-nabi dalam agama dan lain sebagainya dalam diskusi-
diskusi kelas, tentu kajiannnya itu dalam sudut pandang sosiologis.
Berkat pergaulan yang luas dan tulisan-tulisan yang sering dimuat di
berbagai media cetak, membuat namanya semakin dikenal di masyarakat luas,
terutama para seniman dan budayawan, baik di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Berkat itu pula RPD secara tiba-tiba ditawarkan oleh kedutaan Prancis
untuk meneruskan kuliahnya di negeri berikon fashion itu secara gratis. Di sana ia
sempat mendalami bahasa Prancis di Centre Linguistique Apliquee (1997-1998).
Setelah dirasa cukup menguasai bahasa Prancis RPD melamar sebagai mahasiswa
strata 2 (S-2) di Ecole des hautes ettueds en Sciences atau disingkat EHESS. Dan
ia berhasil "menembus benteng" EHESS yang menurut kalangan mahasiswa
Prancis terkenal sebagai institut yang paling sulit dalam memberikan ujian masuk
terhadap calon-calon mahasiswanya. Di sana RPD bertemu dengan ilmuwan-
ilmuwan sosiologi terkenal seperti Jaqques Derrida dan Bourdouex. RPD
134 Playboy, edisi Juli 2006, h.142.
mengaku ketika di EHESS, selain pernah diajar langsung oleh Derrida, RPD juga
kerap menemuinya untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk tentang agama
beserta persoalan di dalamnya.
Ketika RPD mendapatkan kesempatan dari kedutaan Prancis untuk
melanjutkan studinya ke jenjang S-3 di tempat yang sama, RPD sempat meminta
Derrida untuk menjadi pembimbing disertasinya, tetapi karena kesibukannya,
Derrida dengan berat hati menolak permohonan RPD. Karena alasan penolakan
Derrida tersebut lalu RPD memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
C. Aktivitas Radhar Panca Dahana
Dalam suatu wawancara dengan wartawan majalah Islam, RPD pernah
bilang bahwa ia adalah karyawan Allah. Alasan, bahwa selama ini apa yang
diperbuat dalam berbagai aktivitasnya adalah bekerja untuk Dia (Tuhan).135
Selama pekerjaan yang seseorang lakukan baik di rumah maupun di luar rumah
adalah aktualisasi diri dengan mengoptimalkan potensi kemanusiaan dalam
dirinya, maka itu bagi RPD sama saja sudah menjalankan sebuah syariah.
Saat sekarang ini RPD masih tercatat sebagai pengurus rubrik
“Humaniora-Teroka” di harian Kompas dan menjadi kolumnis tetap pada rubrik
“Perspektif” di majalah Gatra. Tulisannya, setidaknya setiap dua minggu sekali
bisa kita baca di media-media termuka, seperti Media Indonesia, Republika,
Koran Tempo, majalah Tempo, majalah Gatra dan lain-lain yang mengetengahkan
berbagai hal.
135Baca “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah,’” Alkisah no. 4 / 1-14
September 2004.
Pada tahun 2002-2007 RPD diminta untuk mengajar di Universitas
Indonesia, pada mata kuliah sosiologi kontemporer di Fakultas Ilmu-Ilmu
Sosial dan Politik.
Pada tahun 2006-2007 RPD sempat menjadi pembicara berkala pada
diskusi reguler pada Soegeng Sarjadi Forum yang kebanyakan temanya berkaitan
dengan keagamaan. Di salah satu forum ini pula, seperti diceritakan di atas, RPD
banyak bersentuhan dengan intelektual-intelektual agama.
Masih pada kegiatan yang sama, RPD juga aktif menghadiri undangan
sebagai pembicara di berbagai forum seminar dan diskusi di berbagai propinsi.
RPD mengaku bahwa ia kerap bertemu dengan tokoh-tokoh Islam di daerah yang
dikunjunginya dan sering terlibat diskusi-diskusi informal dengan mereka.
Dari ide-ide pemikirannya dalam berbagai bidang, terutama menyangkut
sosio-kultural di mana agama juga kerap menjadi sorotannya, yang selalu segar
dan cerdas RPD pernah mendapat penghargaan dari stasiun televisi Jepang NHK
(1996) dan Universitas Paramadina (2005) sebagai seniman sekaligus intelektual.
Menurut NHK RPD merupakan pemikir sekaligus seniman masa depan yang
dimiliki oleh Asia.136 Terakhir RPD mendapatkan penghargaan "Medali Frix de le
Francophonie 2007" bersama Gunawan Muhammad dari 15 negara berbahasa
Prancis. Menurut tim penilai, RPD dinilai sebagai seseorang yang selalu berjuang
untuk kebebasan berpendapat dalam berbagai bidang pemikiran. Untuk yang satu
ini, RPD memang selalu menyuarakan independensi diri dalam melahirkan setiap
pemikiran, tak terkecuali dalam bidang agama. Bagi RPD tidak ada yang bisa
136“Radhar Panca Dahana, Meski Berbaring Tetap Tegak,” http://
www.antara.co.id/arc/2007/7/9/ radhar-panca- dahana-meski-berbaring-tetap-tegak/ diakses pada tanggal 14 September 2007 jam 15.00
menyeret manusia ke dalam satu lubang hegemonik pemikiran dan kepercayaan
beragama.
Dalam kegiatan yang lain RDP juga tetap aktif di bidang seni sastra137 dan
seni teater.138
137 RPD juga seorang penulis syair puisi yang ternama. Karya puisinya yang berjudul Lalu Batu ia pernah pentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 10-11 April 2003 dan ini diliput oleh kebanyakan media cetak. Baca "Di Panggung Radhar Terus Hidup," Kompas 11 April 2003, h. 9. Selain karya puisi RPD juga telah menulis sebuah buku tentang sastra dengan judul Dusta
dan Kebenaran dalam Sastra (Yogyakarta: Penerbit Tera, 2004) 138 Kali terakhir RPD sebagai sutradara sekaligus pemain mementaskan sebuah lakon teater bersama teater Kosong dengan judul 1 hari 11 Mata di Kepala, baca "Bahasa 'Baru' Teater Radhar," Tempo 22 Juli 2007, h.7. Selain itu di bidang seni RPD juga memiliki beberapa gagasan, selain gagasan-gagasannya yang telah dijelaskan di atas. Ide-ide RPD sebagai budayawan tentang berkesenian juga patut mendapat perhatian. Apa makna berkesenian bagi RPD? Di tengah desakan dunia yang kini diukur dengan ukuran-ukuran material-praksis, bagi RPD kesenian adalah oase kreatif dan sebagai kerja mental manusia, sedangkan dunia mental adalah setengah dari kemanusian. Mental-mental manusia yang jujur, yang toleran dan menghargai kemanusian itu sendiri, bagi RPD bisa ditempa melalui berkesenian. Karena di dalam seni ada adab budaya dan adab wacana yang mampu mengintegrasikan dan mengembangkan dimensi artistik, emosional dan rasional kemanusiaan, baca Rahdar Panca Dahana, “Seni Oke, Politik Eko!,” artikel diakses pada tanggal 17 September 2007 jam 14.00, http://www.kompas.com/kompas -cetak/0509/15/humaniora/2049656.htm. Bagi RPD, kehidupan ini tidak melulu diukur dari seberapa banyak penghasilan atau gaji yang diterimanya setiap bulan, baca “Radhar Panca Dahana, Perjalanan dari Kosong Menjadi Ada,” Bali Post, 3 September 1995, h.10. Tetapi sebagai manusia yang diberikan banyak potensi oleh Tuhan, setiap individu wajib menumbuhkembangkan potensinya itu sebagai rasa syukur yang wujudnya bermacam-macam, baca: “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah,” Alkisah, No.4 / 1-14 September 2003, h. 64-65. RPD dalam hal itu memilih kesenian. Baginya berkesenian adalah perwujudan oleh manusia dalam mengisi dan menumbuhkembang potensi immateril di dalam jiwa manusia, baca Radhar Panca Dahana, “Jika Seni Menjadi Industri,” Republika, 16 Mei 1997, h. 11. RPD bersikeras menolak pandangan dalam paradigma pembangunan yang bertujuan praktis dan materialis, sehingga menyudutkan posisi kesenian sebagai wadah ekspresi yang tidak memiliki peran dalam pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur sebuah bangsa, bahwa kesenian adalah kesia-siaan, baca Radhar Panca Dahana, “Jika Seni Menjadi Industri.” Menurut RPD kesenian merupakan produk kebudayaan yang vital, yang membuat sebuah bangsa terbentuk dan bertahan. Selain itu kesenian atau seni dapat berperan sebagai jalan untuk mendapatkan jatidiri setiap individu dan membuka jalan atas hubungan individu atau kelompok dengan dunia luar, baca Radhar Panca Dahana, “Presiden Negeri Simbol,” diakses pada tanggal 17 September jam 14.30, http://www.kompas.com/kompas -cetak/0409/16/humaniora/1271939.htm. Kesenian adalah jembatan bagi dunia mental-material dan ideal-praksis, yang dapat menyeimbangkan metabolisme manusia yang terdiri dari fisik, kognisi dan spiritualitas.. Tidak ada peradaban advance yang muncul tanpa menjungjung peran, posisi dan fungsi seni. Karena itu seni harus ditempatkan sejajar dengan agama dan pendidikan dalam menempa mental manusia. Yang terpenting adalah mensterilkan seni dari kooptasi politik dan pasar. Dengan pengaruh politik dan pasar yang kapitalistis, kebebasan yang menjadi ruh seni akan tereduksi, sehingga peran, posisi dan fungsi seni sebagai kerja mental manusia tidak akan optimal, baca Radhar, “Seni Oke, Politik Eko!” Dalam wawancara dengan penulis, RPD menegaskan bahwa posisi kesenian dalam pembentukan satu manusia atau bangsa harus disejajarkan sama kuatnya dengan posisi agama dan pendidikan. Sama halnya dengan pada agama, RPD meyakini bahwa manusia juga dapat memperoleh kepuasaan-kepuasaan religiusitas dalam aktivitas berkesenian. Ini jika kesenian dilakoni dengan
D. Karya-Karya Radhar Panca Dahana
Fokus pemikiran RPD terbagi kepada tiga bidang, yakni sastra, seni
dan sosial-budaya (agama). Dalam menjabarkan karya-karya RPD penulis
hanya akan memuat seputar karya-karya pemikiran RPD yang bersinggungan
dengan karya penulisan skripsi ini
a. Jejak Postmodernism: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (2004).
Refleksi kritis tentang cara intelektual Indonesia di berbagai bidang kajian
dalam menghadapi atau mengadopsi pemikiran-pemikiran oksidental
terutama dalam perkembangan pemikiran mutakhir: postmodernisme.
Dalam karyanya tersebut, RPD membuatkan peta para intelektual Islam
Indonesia, yang pola pemikirannya telah dipengaruhi oleh
postmodernisme, sehingga mengubah cara pandang mereka atas Tuhan
dan agama.
b. Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2006). Sebuah usaha RPD untuk
mengeksposisikan realitas psikologis, mental dan kultural manusia
Indonesia saat ini dan sebuah rintisan hipotetikal tentang apa dan siapa
manusia Indonesia.
c. Menjadi Indonesia Indonesia (2002). Satu kumpulan esai tentang
pencaharian kenyataan identifikasi manusia Indonesia lewat penelusuran
sejarah dan lain-lain. Dalam karyanya ini, RPD juga menyoroti tentang
sekelompok manusia yang tergabung dalam berbagai organisasi
keagamaan yang terkukung oleh elitisme agama. Selain itu, masih dalam
bukunya ini, RPD juga menegaskan tentang manusia yang pada
penuh kesadaran, disiplin dan 'konsentrasi' tinggi, wawancara penulis dengan RPD dikediamannya pada 25 November 2007.
hakikatnya adalah homo-religious. Religiusitas manusia, tidak hanya
dimonopoli oleh mereka yang beragama.
BAB IV
PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA:
PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA
A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana
Radhar Panca Dahana (selanjutnya disebut RPD) adalah seorang
pemikir yang berlatarbelakang sebagai seorang sastrawan139 dan seniman
Muslim yang hanya mengenyam pendidikan sekular. Oleh karena itu,
dalam merumuskan diskursus keislaman, RPD tidak menggunakan
metode normatif-tradisional, seperti bertumpu pada tafsir, Hadîst, fiqh
dan sebagainya, melainkan merujuk kepada pemikiran-pemikiran non
keagamaan di mana pemikiran tersebut dianggap mampu mengatasi soal-
soal keagamaan. Untuk alasan itulah RPD menggunakan disiplin keilmuan
antropologi, sosiologi, seni dan budaya.
Sebagaimana pemikir yang lain, adalah sebuah kekeliruan untuk
membayangkan bahwa pemikiran RPD lahir dari sebuah kekosongan (ex-
nihilo) atau tidak diwariskan dan dibentuk dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya.140 Tidak seperti kebanyakan tokoh-tokoh pemikir yang
pemikirannya dipengaruhi secara kuat dari lingkungan rumah dan
keluarga, tidak demikian dengan RPD. Pengaruh intelektual RPD,
menurut pengakuan RPD, tidak didapatkan dari keluarga, melainkan dari
139Sebagai seorang sastrawan RPD mengungkapkan pemikirannya dengan menggunakan
istilah-istilah yang sangat ambivalen dan metaforis dan hal ini memang dimungkinkan dalam dunia sastra. Istilah-istilah yang mengandung ambivalensi memaksa penulis untuk menerjemahkan kembali istilah-istilah tersebut ke dalam bahasa yang baku, bahasa ilmu pengetahuan. RPD sendiri terkadang tidak memiliki banyak kata baku. Berbeda dengan dunia ilmu pengetahuan di mana konsep-konsep disusun dengan menyingkirkan sebanyak mungkin konotasi dan ambivalensi sehingga tercapai sebuah kata atau istilah denotatif, dalam dunia sastra konotasi justru dimungkinkan dan ambivalensi justru diaktifkan untuk menghidupkan watak simbol sastra, baca Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esei-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), cet. I., h. 8.
140Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 71.
berbagai buku141 yang diintegrasikan dengan pengalaman kehidupan RPD
sendiri.142
Secara intelektual, pemikiran RPD tidak bisa dilepaskan dari sosok
Jacques Derrida yang pernah menjadi dosen RPD di EHESS, Prancis dan
RPD pernah terlibat diskusi intens dengan Derrida. Ketika Derrida wafat
pada 8 Oktober 2004 lalu, RPD sempat membuatkan tulisan kenangan
yang berjudul “Salam dari Derrida, Jacques”143
141Lebih jelasnya dapat dilihat di Bab III skripsi ini tentang biografi RPD. 142Uraian tentang latarbelakang yang diyakini mempengaruhi pola pemikiran
keberislaman RPD, penulis peroleh dari hasil pertemuan (wawancara) yang intensif dengan RPD selama kurun waktu 5 bulan (November 2007 hingga April 2008).
143Dengan mengutip pernyataan Presiden Prancis ketika itu, Jacques Chirac, RPD memuji Derrida, “Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar, satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” baca Radhar Panca Dahana, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo, 24 Oktober 2004, h.156.
Senada dengan ide dekonstruksionisme144 Derrida, dalam setiap
tulisannya, RPD memang selalu mengajak setiap individu untuk dengan
berani menelaah atau merekonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya
tentang dunia, peradaban, manusia dan dirinya sendiri.145 RPD meyakini
bahwa dengan melakukan dekonstruksi seorang individu mampu
menguak makna dan membuka interpretasi teks dan fenomena peradaban
yang tidak terbatas.
144Konsep dekonstruksionisme yang diusung Derrida merupakan metode filsafat untuk
membaca sebuah teks yang di dalamnya terdapat realitas. Metode dekonstruksi digunakan Derrida untuk menguak asumsi-asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang tersurat. Dengan kata lain, Derrida berupaya menampilkan tekstualitas laten di balik teks-teks (realitas). Derrida meyakini bahwa di setiap teks yang ada bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain yang terisi oleh jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tidak jelas. Strategi dekonstruksi Derrida terdiri dari tiga langkah, pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya, dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat,”
(Jakarta: Kanisius, 2006), cet. ke-6., h. 44-46. Sebagai cara membaca teks, dekonstruksi berbeda dari cara baca biasa. Dekonstruksi merupakan analisis hermeneutika yang hendak mencari makna sebuah teks. Dekonstruksi ingin memperlihatkan ketidakutuhan atau kegagalan tiap teks untuk menutup diri, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, h. 46. Dalam soal agama, Derrida tidak pernah membahasnya secara eksplisit. Hanya saja hal yang terkait dengan itu Derrida pernah menyoal tentang geist, geistig, gieslich (jiwa, spiritual dan spiritualitas). Dan Derrida menggeledah hal itu dengan menggunakan perspektif linguistik yang juga merupakan bagian dari teori dekonstruksionismenya. Dengan metode dekonstruksi, suatu istilah atau bentuk perwujudan spiritual atau spiritualitas harus mampu dipisahkan dari perwujudan awalnya atau dari makna awal yang dimunculkan baik oleh siapa dan apa. Artinya, setiap teks harus dipisahkan dari penulisnya atau dalam hal ini makna spiritual dari penciptanya, agar seseorang selalu menemukan penafsiran yang lebih murni. Bagi Derrida menampakkan yang esensial dari sebuah teks (realitas) adalah hal yang final, baca Jacques Derrida, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah
Spiritual, terj. Firmansyah Agus, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), h. 67-72. Derrida juga menolak penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan hal-hal yang magis (ontoteologi) secara tertulis, seperti, Sein (Ada), Eriegenis (kebenaran Sang Ada adalah suatu peristiwa) dan alètheia (Kebenaran adalah ketaktersembunyian), baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan
Bagi Filsafat, h. 74-75. “Tak akan ada lagi nama unik, bahkan bila nama itu nama sang Ada. Dan kita tidak perlu bernostalgia,” kata Derrida, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat, h. 49. Menurutnya, penggunaan kata-kata itu hanyalah sekadar mencari kepuasan dari ketertutupan filosofis yang tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tradisi ontoteologi yang telah ada. Setiap makna dari suatu teks (dan mungkin termasuk agama) harus mampu dibongkar dengan memutuskan hubungan total dengan makna tradisionalnya. Artinya, setiap orang harus bicara dalam berbagai bahasa dan membuat teks sekaligus, baca I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, h. 49. Dengan demikian penulis memandang bahwa agama dalam perspektif Derrida adalah hal yang harus dilihat sebagai teks tanpa melibatkan Tuhan sebagai sumber agama. Yang ada adalah agama sebagai teks dan subjek yang membaca teks. Dengan begitu, seseorang bebas mengeksplorasi suatu teks agama untuk mendapatkan sebuah pemahaman atau keyakinan, tentunya dengan metodologi yang telah mumpuni.
145Radhar Panca Dahana, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo 24 Oktober 2004, h.156.
Selain itu pengalaman hidup RPD di tengah-tengah masyarakat
Eropa memang tidak diragukan lagi membekas dalam pemikiran RPD
sehingga memperluas kemampuan intelektualnya dalam melihat
fenomena dalam masyarakat.146
RPD menegaskan bahwa pergulatan panjang masyarakat Eropa
dalam membangun nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pergaulan sosial
membuat masyarakat Eropa lebih memiliki nilai-nilai Islami ketimbang
masyarakat Islam itu sendiri. Hanya saja, kata RPD, kebanyakan
masyarakat Eropa secara pribadi tidak memiliki dasar intelektual yang
kuat untuk menjelaskan dan merumuskan perilaku kemanusiaannya
apakah telah sesuai dengan nilai-nilai religius. Tetapi, kenyataan yang
RPD amati adalah kebanyakan masyarakat Eropa tidak pernah
menggunakan alasan-alasan agama untuk melandasi tindak-tanduknya.
Kesan tersebut RPD ungkapkan lewat tulisannya,
”Di negara Barat terjadi, banyak perilaku religius, tetapi mereka karena
tidak memiliki basic agama yang kuat, mereka tidak bisa menjelaskan perilaku
mereka. Namun apa yang mereka lakoni dalam nilai-nilai kehidupan jauh lebih
Islami. Silahkan tanya Gus Dur atau Cak Nur. Yang mereka junjung adalah nilai-
nilai kemanusiaan yang universal, yang sebenarnya adalah Islam. Di Indonesia
sebaliknya, mereka tahu pengetahuan tentang Islam, tetapi perilakunya jauh dari
Islam.”147
Adapun dalam hal keberagamaannya, RPD selalu bersumber dari
realitas keagamaan yang ada di Indonesia. Bagaimana, misalnya,
fenomena persentuhan agama (dogma dan doktrin) dengan problem
146Perjalanannya mengelilingi beberapa negara di Eropa (Belanda, Belgia, Prancis dan
Jerman) RPD rangkum dalam 5 tulisan serial di harian Media Indonesia. Kelima tulisan itu adalah ”Catatan Perjalanan Eropa (1): Harga Kesenian yang Dihargai,” Media Indonesia Sabtu 19 April 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (2): Mencari Manusia di Puncak Kapitalisme,” Sabtu 26 April 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (3): Dunia Kubus Seorang Frans Malschaert, Sabtu 10 Mei 1997, ”Catatan Perjalanan Eropa (4): Boneka Menangis di Paris,” Sabtu 17 Mei 1997 dan ”Catatan Perjalanan Eropa (5): Menghalau Galau Para Perantu,” Sabtu 24 Mei 1997. Secara garis besar, tulisan RPD tersebut mengungkapkan kekagumannya terhadap peradaban masyarakat Eropa yang memiliki tingkat kedisiplinan dalam bermasyarakat dan berpikir. Seharusnya, kata RPD dalam wawancaranya dengan penulis, kemajuan itu seharusnya dialami juga oleh masyarakat Islam, sebab kemajuan peradaban Eropa terinspirasi dari para pemikir Muslim. Dalam menjelaskan seluk-beluk peradaban modern Eropa dalam tulisannya itu, RPD sempat mengutip beberapa tokoh besar dunia, seperti Goethe, Umberto Eco dan Frans Malschaert. Tokoh-tokoh tersebut juga diyakini membawa pengaruh dalam pemikiran RPD dalam melihat realitas keagamaan.
147Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
kemasyarakatan, agama dan para elitnya yang menurut RPD sangat
berpeluang mereduksi kesucian agama yang telah diturunkan Tuhan.
Sebelum penjabaran lebih lanjut tentang dogma agama menurut RPD,
sebaiknya disimak definisi agama oleh RPD berikut ini:
”Agama buat saya adalah bentuk aturan-aturan yang diberikan pada saya sejak
kecil. Aturan itu menetapkan batas-batas kapan atau di mana saya harus berhenti
melakukan sesuatu. Mungkin ada reward atau pahala bagi yang menaati aturan itu....
Namun dalam agama, punishment itu mungkin berasal dari masyarakat. Kalau saya shalat
atau ngaji dengan sembarangan, saya akan dimaki-maki orang. Tapi kalau saya
melakukan hal luar biasa, reward-nya mungkin tak akan langsung didapat. Itulah
pengertian saya tentang agama sebagai kenyataan sosial. Secara individual,
pengertiannya tentu lain lagi. Pemahaman keagamaan itu harus ditelusuri pelan-pelan
berdasarkan pengalaman pribadi-pribadi, tidak hanya dari ajaran-ajaran.”148
Ajaran-ajaran (dogma) dalam agama secara keseluruhan, kata RPD,
telah mengalami distorsi oleh pemahaman individu ataupun kelompok
tertentu dan akibat bercampur dengan beragam kepentingan. Agama sejak
awal keberadaaannya hingga sekarang, bagi RPD adalah agama yang
bukan an sich agama ilahi, melainkan agama yang selalu bercampur
dengan kepentingan sosiologis dan politis (pragmatis-sekular). Oleh
karenanya seorang penganut beragama, harus secara kritis menelaah
ulang dogma tersebut. Dan penelaahan ini tidak terkait soal keraguan
tentang Tuhan. Berikut pernyataan RPD:
”...Mempertanyakan dogma-dogma itu tidak ada kaitannya dengan
mempertanyakan Tuhan, sebab belum tentu dogma-dogma itu Tuhan yang bikin.
Kebanyakan dogma justru dibikin oleh kita-kita sendiri dan terkadang ia sudah
bercampur-baur dengan dogma dari agama lain, tradisi, kebiasaan, hukum adat,
hukum formal, hukum kolonial dan macam-macam. Dogma tak jarang campuran
dari itu semua. Di situ misalnya bisa bermain kepentingan-kepentingan kaum
feodal.”149
148“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
149“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’” http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.
Berdasarkan pandangan ini, RPD melihat keberislaman dalam dua
hal, yaitu Islam yang tidak terlepas dari ‘kepentingan’ para elit agama yang
memunculkan elitisme agama. Dan kedua, adalah ritus-ritus agama yang
secara normatif hanya merupakan satu perangkat yang belakangan ini
juga telah kehilangan makna di hutan belantara bernama agama. Padahal
keberislaman (atau keberagamaan pada umumnya) bukanlah sikap sekali
jadi, melainkan usaha terus-menerus, proses menuju kebaikan
(kebenaran). Untuk itulah RPD mengajukan dekonstruksionisme,
sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dan dekonstruksionisme ini
untuk mengembalikan semangat inti agama, yakni spiritualisme.
Agama (Islam) dilihat RPD sebagai suatu wilayah yang telah banyak
terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan para elite agamanya. Dalam kasus ini
RPD memandang misalnya keberislaman di dalam tubuh NU, dalam mana sebuah
restu dari ulama khâsh sangat menentukan suatu karir seseorang baik dalam
bidang politik maupun yang lainnya.150
Bagi RPD ini mencerminkan bahwa agama yang ada selalu tidak bisa
terlepas dari kepanjangan tangan para elitnya; dia tidak hanya terpengaruh, tetapi
juga telah dikontrol oleh para elit agama yang ada. Ini diperparah lagi dengan
kecenderungan tegaknya konsep kekuasaan ulama sebagai pewaris para nabi yang
dibarengi dengan kecenderungan mistis.
Bagi RPD konsep keberislaman seperti ini harus ditelaah ulang dengan
sebuah metodologi pembongkaran, yang mesti dilakukan oleh para insider-nya.
Kenapa harus dimotori oleh para insider-nya; agar tidak ada penangkalan secara
mentah dan massif dari para pemeluk agama atau organisasi agama itu sendiri
terhadap ide-ide dekonstruktif. Untuk ini RPD sangat mengapresisasi usaha-usaha
yang dilakukan oleh misalnya salah satu intelektual Islam, Ulil Abshar Abdalla.
150Radhar panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2001), h. 56.
Alasan harus insider melakukan usaha-usaha dekonstruktif terhadap
konsep keberagamaan, asumsi atau tafsir tradisional yang mengecoh, karena sosok
insider merupakan bagian dari nilai-nilai dasar dan tradisional yang ada dalam
(organisasi) agama itu sendiri. Tanpa ada pendekatan yang bersifat emosional,
pembongkaran terhadap nilai tradisional yang menurut RPD sudah tidak bisa
dipisahkan lagi dengan dogma yang ada dalam agama, akan mengalami reaksi dan
pertentangan.
”Betapa berharga usaha pembongkaran asumsi atau tafsir tradisional yang telah
sekian lama mengecoh ummat itu, tampaknya tak akan berhasil kecuali usaha itu sendiri
dibongkar atau didekonstruksi kembali melalui nilai-nilai dasar dan tradisional yang
bersembunyi di baliknya.... Oleh karena itu, dari beberapa hal di bawah inilah, upaya
besar menciptakan ummat atau santri (pada tingkat individu) yang mandiri dapat
dimulai.”151
Elit agama telah berubah bentuk menjadi satu paham ekslusif (elitisme)
dan menempatkan mereka sebagai satu sandaran mutlak bagi payung hukum dan
untuk mengukur kualitas keberagamaan seseorang. Padahal elitisme yang
dipelihara dan dilanggengkan secara terus menerus tersebut akan melahirkan
asumsi rancu bahwa pemimpin ummat tidak dapat bersalah. Bagaimanapun,
elitisme agama dimunculkan dari konsep keberagamaan yang telah terkooptasi
dengan asumsi-asumsi keliru yang bersumber dari nilai-nilai tradisional agama
yang tidak terlepas dari kecenderungan mistis.
Sebagai konsekuensi sosial dan psikologis dari elitisme agama adalah
terampas hak individu beragama dalam menegakkan kemandirian dan
keberdayaan ummat. Sementara manusia yang bebas dan dapat mengaktualisasi
diri akan terkubur di bawah bayang-bayang elit dan konsep keberagamaan yang
151Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 37.
mereka lahirkan. Selain itu pula, ritus-ritus agama pun akan dijadikan etalase atau
formalitas untuk meneguhkan posisi sosial, politik dan ekonomi.
Agama dan ritus menurut RPD adalah satu mata uang dengan dua sisi
yang berbeda, dan memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam keseharian.
Akan tetapi, bagi RPD menguatnya peran dan fungsi agama tersebut, tidak bisa
dimaknai semata-mata sebagai kelahiran kekuatan fisik, dalam bentuk penerapan
hukum-hukum agama. Melainkan, kata RPD, ”agama akan kembali dalam bentuk
dan perannya yang paling purba yaitu sebagai spiritualisme yang memberi rasa
nyaman, tanpa harus diikuti oleh loyalitas komunal atau ritus-ritus keagamaan.”152
Dalam pemaparan di atas, terdapat pandangan secara implisit oleh RPD
bahwa ritus-ritus keagamaan hanyalah sebuah performa yang telah disepakati
secara komunal baik oleh para agamawan dan pemeluknya. Adapun inti dari
semua agama, termasuk Islam, adalah spiritualisme. Maka, masyarakat yang telah
berhasil mengeliminasi formalisme agama dalam paradigma keberagamaannya,
akan mampu menghindar dari perbedaan-perbedaan simbolis-formalistis
beragama yang umumnya terbentuk dan menguat karena pengaruh tradisi,
kebiasaan atau kepentingan tertentu. Dengan demikian, RPD memprediksikan
agama-agama di dunia akan menuju ketunggalan. Atau paling tidak nama agama
tradisional akan tetap ada namun paham keagamaannya akan sama sekali baru,
lebih tidak menyoal perbedaan antara satu agama dan agama lainnya, tetapi
mendahulukan spiritualisme.
Walaupun demikian, spiritualisme ini tidak akan tumbuh kecuali
masing-masing pemeluk agama memiliki konsep utuh dalam persoalan
Tuhan. Ini menjadi pengalaman RPD saat ia melihat, misalnya, dunia yang
152Radhar Panca Dahana, ”Keberagaman yang Teperdaya” Gatra, 3 Oktober 2007, h. 106.
semakin kacau dan mengalami disorder di mana banyak manusia yang
bersikap tiranik dan otoriter kepada manusia lain, atas nama Tuhan, dan
di sisi lain hal demikian tetap dibiarkan terjadi oleh Tuhan. ‘Gugatan’ RPD
kepada Tuhan bertambah tajam setelah mencuatnya kasus Imam
Khomeini, pemimpin revolusi Iran pada tahun 1979, yang diperlakukan
tidak adil oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika dengan cara
menghentikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Iran ketika itu. Di satu
sisi Iran bersikap dengan mengatasnamakan Tuhan dalam mengubah
format negara, seperti membungkam perbedaan dan menawarkan satu
solusi saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pandangan
sesuai para iman (klerikal). Tapi, di sisi lain Tuhan yang mereka agungkan
membiarkan Amerika menghancurkan masyarakat Iran.
Kejadian-kejadian kemanusiaan itu, pada akhirnya melahirkan
sebuah kesimpulan dalam pemikiran RPD bahwa manusia tidak bisa
hanya mengandalkan Tuhan dalam mengubah nasibnya atau keadaannya
menjadi lebih baik. Tetapi, manusialah yang harus memiliki daya dan
usaha kuat sendiri dalam mengubah nasibnya. Tuhan, menurut RPD
memang memiliki takdir, tetapi takdir Tuhan terhadap manusia akan
menyesuaikan dengan usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
B. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Tuhan
1. Keesaan Tuhan
Proses pengetahuan manusia tentang Tuhan diawali dengan
kecenderungan manusia sebagai homo-recitatus153 (insan-pembaca)
sekaligus homo-religius (insan-beragama). Membaca adalah modal dasar
manusia untuk mengenal dan memfamiliarisasi sesuatu yang tidak dikenal
sebelumnya, termasuk dalam mengenal dan mengetahui sesuatu yang
153Membaca menurut RPD adalah esensi keberadaan manusia. Membaca
merupakan kegiatan instinktif yang kemudian menjadi bekal natural dalam perkembangan hidup. Dengan membaca, seorang individu akan tersadar bahwa di seputar kehidupannya terdapat tanda-tanda yang terepresentasikan dalam simbol, gambar, ikon, huruf, terukir maupun tercetak, yang harus mampu dibacanya. Membaca sangat urgen maka, tak mengherankan bila seorang buta huruf yang menjadi nabi penutup dalam Islam, mendapatkan tugas keilahian pertamanya dengan seruan; “bacalah,” baca Radhar Panca Dahana, Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah Esei-Esei, (Depok: Koekoesan, 2008), h. xiii-xiv.
tidak dikenal sebelumnya, termasuk dalam mengenal dan mengetahui
kekuatan yang ada di luar kekuatan diri manusia.154
Manusia dituntut untuk membaca (menelaah) fenomena di balik
fenomena. Pada akhirnya pembacaan terhadap fenomena di balik
fenomena tersebut berujung pada pembacaan manusia yang paling dalam
dan paling esensial, yaitu pembacaan tentang eksistensi Tuhan.
Menurut RPD sudah menjadi kecenderungan dasariah manusia
apakah itu melalui proses internal (psikologis, mental dan spiritual) untuk
meyakini keberadaan ketunggalan Tuhan. Kecenderungan dasariah
manusia ini, kata RPD dibentuk oleh proses pembacaan (pengamatan)
manusia kepada alamnya, seperti gunung, langit, gua-gua, sungai dan
sebagainya.
Pada awalnya, pembacaan dan pengenalan manusia terhadap
eksistensi Tuhan tidak langsung tertuju kepada bentuk ketunggalan
(tawhîd), tetapi melalui kepercayaan awal, yang meyakini adanya banyak
kekuatan (Tuhan) atau politeisme. Saat itu dan barangkali hingga
sekarang, setiap manusia memiliki persepsi tentang kekuatan di luar diri
manusia itu, sehingga setiap manusia meyakini Tuhannya masing-masing.
”Pada dasarnya orang memiliki satu kebutuhan atau dorongan untuk
mengetahui ada kekuatan lain di luar realitas manusia. Dari dulu orang sudah
tahu bahwa pasti ada sesuatu di balik gunung atau gua. Ada satu kekuatan yang
sifatnya supranatural. Manusia selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan
kekuatan itu. Munculnya kebudayaan itu karena dorongan untuk mendapatkan
satu bentuk interaksi dengan kekuatan itu. Jadi kalau ditemukan gambar-
gambar yang aneh di dalam gua-gua itu adalah fantasi mereka tentang kekuatan
di luar diri manusia. Mereka melihat fenomena kekuatan di banyak tempat, ada
di langit, gua sungai dan sebagainya. Di situlah muncul panteistik yang menjadi
kepercayaan awal manusia.”155
Pada dasarnya keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang didapat oleh
individu kebanyakan pada saat sekarang hanya pengenalan secara kognitif
melalui dogma dan doktrin agama. Keesaan Tuhan, hanya dapat didalami
154Wawancara penulis dengan RPD 11 November 2007.
155Wawancara penulis dengan RPD 11 November 2007.
melalui pendalaman yang bersifat pribadi dan transendental dan hanya
orang-orang tertentu saja yang dapat meraih pengalaman tersebut.
Bentuk keesaaan Tuhan, menurut RPD, sebenarnya muncul dari
imajinasi manusia itu sendiri. Manusia secara personal tidak pernah
mampu untuk mengetahui kebenaran Tuhan yang tunggal secara
langsung.
Keesaan Tuhan, kata RPD adalah realitas yang memang menjadi
kebenaran, untuk itu realitas itu harus dibahasakan melalui satu aturan,
yang tidak lain adalah agama. Meskipun pada hakikatnya instink
ketuhanan dimiliki oleh setiap manusia,156 tetapi menurut RPD tidak
semua individu memiliki instink keesaan. Hal itu hanya bisa didapatkan
ketika ada penghayatan dan pendalaman dari seorang individu.
Bagi orang yang telah meraih pendalaman dan pengalaman
ketuhanan yang paling esensial, maka seharusnya konflik antar agama
bisa dieliminir. Kalau ditelaah lebih dalam, sebenarnya yang selama ini
menjadi pemicu konflik antar agama hanya konflik tentang simbol, seperti
nama Tuhan yang sebenarnya merupakan bagian dari dunia simbol
kebudayaan.
Secara historis, RPD mendapatkan pengenalan dan pengetahuan
tentang Tuhan melalui pengajaran dari bangku sekolah dasar. Pada
awalnya, RPD memahami Tuhan secara taqlid, secara fatalistis dan
menempatkan Tuhan sebagai ancaman yang menakutkan. ”Ketika kecil
kita selalu mendapatkan kata-kata dari guru: ’awas berdusta pada Tuhan.
Kamu akan disiksa,’”157
Terlihat jelas, dalam pemikiran ketuhanan di atas, RPD
menempatkan kajian antropologi sebagai dasar pijakan untuk
menggeledah soal ketuhanan. Meskipun, secara eksplisit disiplin
antropolologi sendiri tidak pernah membicarakan tentang keesaan, namun
demikian, kesadaran tentang adanya kekuatan di luar manusia yang
156Bahwa manusia diciptakan dengan sejenis sifat dan watak dasar yang
membuatnya siap menerima agama. Pada diri manusia selalu ada dorongan dan kecenderungan pada ketuhanan, baca Mahmud Rajabi, Horison Manusia, terj. Yusuf Anas, (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 131.
157Wawancara penulis dengan RPD 11 November 2007.
menurut RPD melalui medium pengamatan dari alam merupakan salah
satu pemikiran yang keluar dari para ahli antropologi.158 Dan pandangan
ini diperkuat dalam gagasan RPD yang lain bahwa sebenarnya penamaan
Tuhan hanyalah produk simbol kebudayaan manusia. Dan gagasan itu
sama dengan pemikiran antropologi yang menempatkan agama sebagai
bagian sistem simbol kebudayaan manusia.159
2. Tuhan dalam Tafsiran Angka
Konsep Tuhan sebagai agama kemanusiaan dalam Islam, menurut
pandangan RPD diwakili oleh 99 yang disebut asmâ’ al-husnâ. Kenapa 99?,
karena Islam bukan dan tidak akan akan menjadi agama yang telah mencapai
kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam tafsiran
RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus
disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah
manusia.160
”...99 nama dan sifat Tuhan dalam Islam, 9 malaikat yang dikenal, mesti
digenapkan atau disempurnakan oleh 1 (satu) yang tak lain adalah manusia. Manusia
yang membuat semuanya menjadi dunia, kesempurnaan ciptaanNya. Soal tinggal,
siapkah kita jadi pelengkap dunia sempurna? Kita tunggu jawabnya.”161
Tuhan dalam agama Islam menuntut agar hukum-hukum-Nya yang telah
diturunkan ke muka bumi harus melibatkan manusia dalam hal menafsir,
mengkaji, mencari tahu apa-apa saja fungsi, peran, maksud dan tujuan dari
hukum-hukum yang telah diturunkan oleh-Nya.
158Clifford Geerzt, Kebudayaan dan Agama, terj. Fransisco Budi Hardiman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), cet. I., h. 6. 159Baca Clifford Geerzt, Kebudayaan dan Agama, h. 5. 160Radhar Panca Dahana, “2008”, Gatra, 7 Januari 2008, h. 106 161Radhar Panca Dahana, “2008,” Gatra, h. 106
Inilah yang kemudian memberikan kesimpulan kepada RPD bahwa
sebenarnya Islam adalah agama kemanusiaan. Agama yang bertujuan untuk
mengangkat setiap aspek yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu potensi
pemikiran.
Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah
berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak
perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang
menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang
artinya Xristos atau sempurna.
Pemahaman ’99’ ini pada awalnya bersumber dari kegemaran RPD sejak
masa kecil membaca komik dari berbagai genre: cerita robotik Jepang, cerita
manusia-manusia super dari Amerika hingga cerita-cerita keagamaan dari
berbagai agama. Dalam komik yang bercerita tentang keagamaan RPD
menemukan bahwa dalam sifat Tuhan yang terangkum dalam 99, kebanyakan
Muslim mengidentifikasi Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan atau dimulai
dengan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri, seperti melihat, mendengar,
memegang dan lain sebagainya.
RPD berpandangan, salah satu contohnya, pemaknaan terhadap sifat-sifat
Tuhan hendaknya tidak direduksi menjadi pemaknaan fisik dan batin yang berlaku
pada manusia yang selalu memiliki keterbatasan, melainkan bagaimana
memaknai, keseluruhan sifat-sifat Tuhan yang terhimpun dalam 99 itu menyatu
dengan visi kemanusiaan. Pada dasarnya kata RPD, visi ketuhanan dalam
berbagai agama bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Ketika ditanyakan tentang latarbelakang penemuan pemikiran nama-nama
Tuhan dalam Islam yang berjumlah 99, seperti inilah jawaban RPD, ”Itu (berasal)
dari pemikiran lama. Dari berbagai sudut. Itu sifatnya menjalin. Bisa berasal dari
komik-komik yang menggambarkan tentang Tuhan Sulaymân, Ibrâhîm, Yesus
(‘Îsâ), itu juga berpengaruh. Tetapi bagaimana jalan pengaruhnya, itu berjalan di
luar kesadaran, dalam spontanitas dan itu berkelindan.”162
Fakta menunjukkan bahwa komik merupakan latarbelakang penemuan
RPD tentang pemikiran ’99’. Pengenalan ’99’ melalui komik-komik yang memuat
tentang cerita-cerita kemukjizatan Tuhan tersebut menyeret RPD untuk
menggeledah lebih jauh tentang pemaknaan ’99’ yang menurut RPD selama ini
lebih dimaknai secara superfisial oleh kebanyakan Muslim, lewat hitung-hitungan
matematika yang dimulai dari angka 10 yang dipercaya di seluruh bagian dunia
melambangkan keadaan yang positif. Selain dianggap sebagai isyarat
kesempurnaan, angka 10 ”...dipercaya banyak agama tangga pertama menuju
perkalian-perkalian bulat berikutnya (100, dst).”163
Dari hitungan itu kemudian RPD menautkan bahwa ’99’ dalam Islam
harus digenapkan agar sempurna (mencapai angka 100) oleh manusia. ”Manusia
membuat semuanya menjadi dunia, kesempurnaan ciptaanNya. Soalnya tinggal,
siapkah kita jadi pelengkap dunia sempurna? Kita tunggu jawabnya,”164
Pemaparan ini menjawab persoalan tentang mengapa seorang RPD secara
tiba-tiba berbicara tentang 99, yakni bahwa dalam setiap pemikirannya tentang
keberislaman, RPD selalu berusaha untuk melakukan upaya humanisasi agama
(Islam). Setiap simbol-simbol Islam selalu harus dapat dihubungkan dengan
162Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007. 163Radhar Panca Dahana, ”2008,” Gatra, h. 106. 164Radhar Panca Dahana, ”2008,” Gatra, h. 106.
fungsi dan perannya secara sosiologis. Dalam artian, Tuhan dan agama tidak hadir
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kemanusiaan. Tinggal bagaimana setiap
individu, kata RPD, membuat dasar filosofis dan keyakinan yang kuat untuk
memaknai ketuhanan dalam agamanya dan segala simbol-simbol yang melekat
kepadaNya.
C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia
1. Manusia sebagai Homo-Religius
Manusia dalam pergumulannya dengan peradaban kian terseret dari pusat
lingkaran luar eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial
mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga
dunia menjelaskan dirinya sendiri”165
Dalam peradaban modern, manusia yang pada awalnya kehilangan
kesadaran akan kembali mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya semula:
yaitu mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia.
RPD dalam hal ini meyakini bahwa pada dasarnya, semua semesta dicipta
karena cahaya yang ghaib (Tuhan), ”Keberadaan manusia, bermula dari kehendak
dan cinta yang berproses melalui jasa renik (partikel biologi yang kecil),
tumbuhan dan hewan yang akhirnya menjadi manusia di puncaknya.”166
Dengan demikian, sudah menjadi kodrat bahwa di setiap sel di dalam
tubuh manusia akhirnya mendedikasikan diri pada yang telah menciptakannya.
165Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 55. 166Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56.
Manusia secara kodrat akan mencari pusat dedikasinya dan itu ada pada
Penciptanya sendiri, yaitu Tuhan.167
Di sini terbuka suatu pengertian bahwa di setiap jiwa manusia, entah ada
dalam kesadaran akal maupun tidak, sudah mengakar rasa religius, atau kerinduan
kepada Tuhan. Perjalanan menuju Tuhan akan selalu menjadi nafas dari semua
gerak hidupnya.
Lebih dalam RPD memaparkan, sebagai berikut:
”Tuhan adalah pertautan bagi manusia, sebab manusia salah satu atau mungkin
satu-satunya makhluk yang selalu menderita ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan itu
bisa diterjemahkah sebagai kegalauan, kebimbangan, kekacauan-situasi khaotik, sebab
manusia dihinggapi oleh satu hal dalam hidupnya yaitu masalah. Masalah inhern dalam
hidup atau masalah adalah hidup itu sendiri. Tapi manusia juga diwarisi sifat ketuhanan,
sebutlah sebagai kebolehan (jâ’îz). Maka manusia punya pilihan dan ini sekaligus
menciptakan problemasi dalam diri manusia.”168
Tetapi manusia diberi akal, yang menjadi dasar bagi pilihan-pilihannya. Ini
menyebabkan dunia manusia selalu tergerak menciptakan keseimbangan. Karena
itu manusia butuh tempat untuk bertaut.
Ide manusia tentang keseimbangan itu muncul dari ide tentang Tuhan. Ide
tentang Tuhan menurunkan keseimbangan-keseimbangan dari tingkat paling
mikro sampai paling makro. Di tingkat diri manusia secara psikologis, fisik,
mental, intelektual hingga di tingkat kelompok dan tingkat nasional.169
167Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56 168“Pergulatan Hidup Rahdar Panca Dahana,” Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu
IV-April 2007 h. 7. 169“Pergulatan Hidup Rahdar Panca Dahana,” Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu
IV-April 2007 h. 7.
Pemahaman religiusitas di sini, bagi RPD tidak selalu dikaitkan dengan
pengertian yang agamawi (dengan melakukan ritus-ritus keagamaan) atau
penganut agama formal tertentu.
Di sini RPD ingin menegaskan bahwa manusia bertuhan, bukan hanya
monopoli orang-orang yang mengikat diri kepada agama secara formal. Namun,
hal itu juga dimiliki oleh manusia ateis sekalipun, karena dalam setiap sel manusia
selalu ada cahaya Tuhan yang akan selalu menyeret manusia kepada
ketertundukan kepada Tuhan, kepada yang ghaib.170
Soal perangkat formal seperti yang ada di dalam berbagai agama, itu
hanya soal pilihan. Ada manusia yang merasa cocok untuk menggunakan
perangkat formal (ritus agama) sebagai media menuju Tuhan,171 namun ada juga
sebagian manusia yang telah memiliki perangkatnya sendiri. Oleh karena itu, satu
hal yang menjadi titik tekan dalam penjabaran ini bahwa, persoalan beragama atau
tidak, status sosial dan profesi tidak akan melenyapkan iman dan religiusitas di
dalam diri manusia. Pada dasarnya semua manusia adalah homo-religius.
Pemahaman RPD tentang homo-religius ini terpengaruh pemikiran filsuf
Denmark, Soren Kierkeegard172 yang terkenal dengan konsep filsafat
eksistensialis religius. Menurut Soren Kierkegaard manusia akan selalu memiliki
pertautan dengan Tuhan, karena Diri (eksistensi manusia) berasal dari Tuhan.
170Radhar Panca Dahana, Menjadi Manusia Indonesia, h. 56. 171Radhar Panca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra, h. 106. 172Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813. Ia merupakan
pengusung filsafat eksistensialisme (Diri) religius yang diyakini berpengaruh terhadap para filsuf besar, seperti Martin Heidegger, Karl Jasper dan Jean-Paul Sartre, baca Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), h. 24-31. Lebih lanjut Kierkegaard menjelaskan, dan ini berkaitan dengan konsep filsafat eksistesialisme religius yang diusungnya, bahwa ada tiga wilayah eksistensi atau tahap dan bentuk pemenuhan hidup manusia: pertama manusia akan melalui kehidupan estetis atau yang penuh dengan keindahan, kedua kehidupan etis dan ketiga kehidupan religius, baca Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 85-86.
Untuk memahami Diri, kata Kierkegaard seseorang mesti mengalami perjalanan
masing-masing dengan cinta yang berakhir pada keindahan keabadian abadi
(Tuhan).173
Di samping itu, kegemaran RPD dalam membaca dan menulis sastra
membawanya berkenalan dengan karya-karya Muhammad Iqbal, yang RPD kenal
sebagai seorang sastrawan religius asal Pakistan yang konsep ketuhanan dan
kemanusiaanya kurang lebih sama dengan Soren Kierkegaard.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemikiran-pemikiran
para filsuf Barat dan tokoh-tokoh sastra juga sedikit banyak mempengaruhi pola
pemikiran keberagamaan RPD.
2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman
Perubahan paradigmatik ummat Islam Indonesia dalam memandang
perubahan zaman yang ada di sekitarnya memunculkan beragam ekspresi
keberislaman. RPD berpandangan bahwa ekspresi keberislaman yang lebih murni
dan kontekstual adalah keberislaman yang diterapkan oleh manusia semesta;
manusia yang mampu membumi dengan nilai-nilai yang ada di lingkungannya.
Manusia semesta bukanlah termasuk kelompok-kelompok dalam Islam
yang melahirkan konflik, karena berbeda paham dan aliran.174 Justru, manusia
semesta merupakan individu-individu yang secara cerdas mengakomodir setiap
norma maupun keyakinan yang plural.
”Islam bukanlah kelompok-kelompok yang justru rawan konflik. Tatkala Islam
telah berada dalam sekat-sekat madzhab, maka dogma-dogma yang ada dalam Islam akan
mengalami pergeseran pada nilai fungsionalnya. Islam justru akan ditafsir berdasarkan
173“Dari Skandinavia ke Dunia Maya,” Tempo 20 April 2008, h.77. 174Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, Islam hanya akan menjadi media meraih
kepentingan yang pragmatis dan materialis. Akhirnya ummat Islam hanya mengurusi
kepentingan-kepentingan sekular.”175
Tentang tatacara berislam, manusia semesta akan mampu mengambil
bentuk kepada hal yang paling personal dengan mempertimbangkan keadaan
mental, psikologis dan intelektual dari individu itu sendiri. Sedangkan dalam
lingkungan sosial, manusia semesta akan membentuk keberislaman sesuai dengan
norma-norma dan adat yang berlaku dan yang menjadi kesepakatan antara
individu maupun kelompok.
Terkait dengan peradaban yang ada di sekitarnya, manusia semesta tidak
akan mengambil tatacara berislam dari sebuah kultur yang pernamen atau berasal
dari satu etnis, seperti Arab saja, melainkan bersandar kepada kultur lokal yang
menjadi realitas mutakhir manusia itu berada.
Keberislaman yang diterapkan oleh manusia semesta ini mampu
mengeliminir persoalan-persoalan sara dan rasial. Para individu yang telah
menjadi manusia semesta telah meyakini bahwa dalam wilayah sosial mereka
tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai primordial yang menjadi
asal-muasalnya, baik itu agama, etnis, strata sosial maupun ras.
Landasan keberislaman manusia semesta, menurut RPD, akan melahirkan
sikap saling menghormati antar penganut paham atau aliran dalam satu atau
berbeda agama. Persoalan-persoalan yang dinilai sangat prinsip seperti kitab suci,
kenabian dan aturan-aturan agama tidak akan mampu menghalangi manusia
semesta untuk menghormati keyakinan yang dianut oleh manusia lainnya. Hal ini
juga berhubungan dengan keyakinan manusia semesta bahwa sesungguhnya
175Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
agama hanyalah sebuah perangkat formal yang berisikan tentang simbol-simbol
kebudayaan yang tidak mesti dipertentangkan dan apalagi dijadikan sebagai
pemicu berkonflik.176
Apa yang diusung oleh RPD tentang konsep manusia semesta tentu
didorong oleh pemahaman RPD tentang universalisme Islam. Bahwa apa yang
telah menjadi standar moral dan etika dalam Islam sebenarnya juga berlaku di
mana-mana. Contohnya, konsep filantropi atau yang dalam Islam disebut dengan
zakat, sedekah, wakaf dan lain-lain. Negeri Barat pun, kata RPD, menganut
semangat filantropi itu untuk membantu saudara atau tetangga mereka yang
tengah didera kesulitan hidup. Dan justru, menurut RPD yang pernah mengelilingi
Eropa, semangat berderma lebih terlihat di negeri yang bukan mayoritas Muslim.
”Maksud universalisme adalah bahwa Islam itu adalah universal karena ia
berlaku untuk semua. Dalam pengertian bahwa apa yang menjadi standar moral dan etika
dalam Islam sebenarnya berlaku di mana-mana dan semua orang mengakui itu. Seperti
berderma atau berzakat. Itu bukan sesuatu yang asing di mana-mana. Orang beribadah di
masjid, memberi salam, menerima tamu dengan hangat, itu hal yang universal. Artinya,
kalau kita mempratikkan Islam dengan sungguh-sungguh, kita tidak akan terasing.”177
Contoh lainnya adalah memberi salam dan menerima tamu dengan ramah
merupakan nilai-nilai Islam yang juga dianut oleh masyarakat kebanyakan baik di
Timur maupun di Barat. Artinya, kalau orang telah mempraktikkan Islam dengan
sungguh-sungguh, maka ia tidak akan terasing di manapun, karena setiap adab
yang baik (Islami) selalu ada di manapun juga.
176Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007. 177Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
Menurut RPD, orang yang sering melakukan ritus-ritus formal keagamaan
belum dapat dikatakan Islam, tetapi bagaimana perilaku dia setelah melakukan
ritus formal itulah yang menjadi ukuran keislamannya.178
”Orang yang banyak beribadah formal belum menunjukkan Islam. Tetapi,
bagaimana perilaku dia setelah selesai melakukan shalat atau beribadah itu yang menjadi
ukuran. Islam harus dinilai dari bagaimana perilaku mereka dalam keseharian. Sedangkan
untuk ibadah adalah urusan pribadi masing-masing. Kekuatan ritus yang dijalankan
seseorang tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Tuhan dan manusianya. Yang
terpenting adalah bagaimana nilai-nilai ritus itu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-
hari.”179
Konsep manusia semesta dalam konteks keberislaman merupakan
cerminan RPD sebagai individu yang lingkungan kehidupannya selalu dikelilingi
oleh masyarakat yang plural baik dari budaya, intelektual, suku dan agama. Sedari
kecil hingga sekarang RPD memang cukup terbuka dalam pergaulan tanpa
memilih dan memilah latarbelakangnya. RPD pun sangat enggan untuk
mengidentifikasi dirinya ke dalam satu bentuk golongan, ras, dan suku yang
rawan konflik yang pada akhirnya akan membawa dampak buruk terhadap
perilaku dan pemikirannya, seperti kultus individu dan sakralisasi yang membabi
buta terhadap suatu lembaga atau organisasi keagamaan.
Untuk hal ini RPD menjelaskan dalam sebuah ungkapan,
”Dalam pergaulannya dengan penganut agama lain, manusia semesta akan
mampu saling bertukar aura yang menciptakan respek antara satu penganut agama, suku
atau ras dengan penganut lainnya. Pada tingkatan sosial, manusia semesta sudah tidak
lagi terhalangi oleh hal-hal yang berbentuk sara yang justru memicu lahirnya konflik dan
bisa membatasi potensi kemanusiaan yang dimilikinya, seperti kitab suci, nabi-nabi
maupun simbol-simbol keagamaan hingga kesukuan. Jadi, manusia semesta akan selalu
178Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007. 179Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
bergaul dengan tata aturan yang berlaku pada lingkungannya, tanpa harus
mengidentifikasi dirinya kepada agama, etnis, ras dan strata sosial.”180
Kehidupan yang dijalani RPD bersama dengan masyarakat yang plural itu
membawa RPD kepada suatu pemikiran bahwa hendaknya setiap manusia dapat
membumi dengan lingkungan ia berada dan konsep itu ada dalam pemikiran
manusia semesta.
180Wawancara penulis dengan RPD pada 11 November 2007.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara historis, pergaulan Radhar Panca Dahana (RPD) dengan komunitas
penggiat seni dan sastra merupakan titik awal penting bagi perjalanan
pemikirannya dalam memandang segala hal, termasuk soal keberislaman.
Sedangkan, secara intelektual, kegemaran RPD membaca buku-buku biografi,
filsafat dan sastra di tambah latarbelakangnya yang berpendidikan sosiologi
membawanya banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran filosofis yang
berpengaruh kepada setiap pemikirannya yang sangat kuat dalam setiap
pengunaan kata-kata untuk melukiskan pandangannya. Terkadang kata-kata yang
digunakan RPD mengandung banyak ambivalensi dan konotatif, sehingga sangat
sulit untuk diterjemahkan dengan bahasa yang denotatif dan baku, terutama bila
menyangkut pandangannya seputar keberislaman (Tuhan dan manusia).
Pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia sebagai satu gagasan
kosmologis yang saling terkait, sangat memiliki watak inklusifisme di mana
Tuhan merupakan sumber ontologis semua manusia, karenanya semua manusia
adalah homo-religius atau manusia yang selalu menyadari pertautannya dengan
Tuhan. Gagasan ini cenderung serupa dengan gagasan inklusifisme sebagai watak
dasar gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia yang menilai bahwa semua
manusia senantiasa merindukan kebenaran abadi.
Selain itu, pemahaman ketuhanan RPD juga sejalan dengan semangat
kemanusiaan yang universal yang dianut oleh kelompok neo-modernisme, yang
hanya meyakini pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, yang
kemudian mendesakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan.
Tuhan adalah penguasa mutlak bagi manusia, tetapi Tuhan telah sedari
awal memberikan pilihan kepada ummat manusia untuk mengimani atau
mengingkari. Kemutlakan hanyalah milik Tuhan dan itu hanya dalam konteks
eksistensi keesaanNya, selain itu tidak ada hal yang perlu dimutlakkan atau
dianggap sebagai kebenaran abadi.
Sesuai dengan ciri-ciri yang melekat pada latarbelakang, maupun
pemikirannya, paradigma keberislaman RPD memang cenderung kuat
dapat digolongkan ke dalam kelompok Muslim substansialis. Dalam hal
latarbelakang pendidikan, kelompok substansialis dihuni oleh individu
Muslim yang tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional
keislaman maupun pendidikan keislaman modern.
Gagasan-gagasan keislaman RPD dan substansialis juga memiliki
beberapa kesamaan, antara lain memiliki keyakinan dan pandangan
bahwa substansi keimanan dan praktik adalah lebih penting daripada
bentuk dan setiap generasi Muslim dapat menafsir pesan al-Qur’ân dan
Hadîst, baik secara langsung atau melalui terjemahan yang telah ada,
sesuai dengan situasi masanya.
Dalam aktivitas kesehariannya, antara para kelompok Muslim
substansialis dengan RPD juga sama, yaitu individu-individu yang
langsung terjun ke dalam masyarakat lewat organisasi kemasyarakatan.
Dan RPD adalah salah satu penggiat seni dan budaya yang tergabung
dalam kelompok Federasi Teater Indonesia (FTI).
Jadi, penulis hampir tidak melihat perbedaan dengan ciri-ciri
kelompok yang berorientasi teologis substansialis, sebagaimana yang
dijabarkan oleh Fachry Ali dan William Liddle, dengan apa yang ada pada
diri RPD, baik dalam latarbelakang pendidikan dan semangat dasar dalam
melahirkan gagasan keislamannya.
Meskipun apa yang menjadi hasil pemikiran keislaman (teologis)
RPD cenderung berorientasi kepada kelompok-kelompok teologi yang
lain, seperti teologi rasional maupun neo-modernisme, namun secara ciri-
ciri materialis, RPD adalah Muslim subaltern yang masuk ke dalam
golongan teologi substansialis.
Perbedaan antara RPD dengan kelompok neo-modernisme kemudian
adalah soal metode pendekatan yang hanya mengandalkan keilmuan sekular dan
melalui metode empiris yang bersifat personal. Namun semangat dasar gagasan
keberislaman RPD, serupa dengan gagasan pembaharuan teologi yang digagas
baik oleh kelompok modernis (rasional), neo-modernis, maupun kelompok
teologis substansialis, yaitu gagasan teologis harus selalu kontekstual dengan
perkembangan situasi modern dan setiap gagasan yang terlahir merupakan produk
pemikiran yang sifatnya tentatif dan dinamis.
B. Saran-saran.
Khazanah pemikiran kontemporer keislaman sebaiknya tidak hanya
diramaikan oleh para pemikir arus utama saja, yang dalam hal ini adalah mereka
para Muslim yang terdidik Barat yang dulu pernah menimba ilmu-ilmu Islam
tradisional maupun mereka yang berasal dari pesantren dan perguruan tinggi
Islam, tetapi juga oleh para intelektual sekular yang hanya berpendidikan
keilmuan sekular.
Manfaatnya adalah agar para intelektual berpendidikan sekular tersebut
dapat memberikan kritik konstruktif terhadap pemahaman keagamaan yang
cenderung membuntukan kemajuan bangsa di mana ‘posisi luar’ mereka dalam
menelaah agama akan lebih cenderung objektif, karena biasanya para intelektual
itu lebih melihat agama sebagai sesuatu yang sifatnya personal dan bukan
kesepakatan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Abdullah, Taufik, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam
Kontemporer” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi,
Bandung: Mizan, 1996
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet.
3.
Ali , Fachry dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986
Amal, Taufik Adnan, ed., Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur
Rahman, Bandung: Mizan, 1994, cet. vi
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam,
Jakarta: Paramadina, 1999.
____, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada, 2005, edisi
revisi, cet. Ke-2.
Barton, Greg Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj.
Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999.
Dahana, Radhar Panca, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Yogyakarta: Lkis,
2004.
______, Menjadi Manusia Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2003.
______, Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah Esei-Esei, Depok: Koekoesan,
2008.
______, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia,
Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004, cet. I.
______, Wawancara penulis dengan Radhar Panca Dahana pada tanggal 11
November 2007 pukul 19.00-22.00 WIB di kediamannya di perumahan
Villa Pamulang, Tangerang, Banten.
Derrida, Jacques, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual,
terj. Firmansyah Agus, Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Dhofier, Zamakhsyari, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur
Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam,
Yogyakarta: LKPSM NU, 1989.
Federspiel, Prof Howard M., dalam Kata Pengantar dalam Fauzan Saleh, Teologi
Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004
Hafid, Abdul “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB.
Jassin Memahami al-Qur`an,” Skripsi, Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2005.
Halim, Abdul, ed., Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan
Praksis Harun Nasution , Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet.
12.
Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, vol. V, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve.
Kleden, Ignas, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan
Budaya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004, cet. I.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan Jakarta:
Paramadina, 1992, cet. 2.
_____, “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta:
Kompas, 2001.
Morewegde, Parviz, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford:
Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., Bandung: Mizan, 2001.
Mursyid, Hasbullah, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur
Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam,
Yogyakarta: LKPSM NU, 1989.
Nasr, Seyyed Hossein dan Chittick, William C., Islam Intelektual: Teologi,
Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial, Depok: Perenial Press, 2001, cet.
2.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
UI Press,1987.
_______, Islam Ditinjua dari Segala Aspek Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1987.
_______, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Saiful Mujani, ed., Bandung: Mizan, 1995.
_______, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI
Press, 1972, cet. II.
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia Jakarta: Raja
Grafindo Pustaka, 2001.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
Rajabi, Mahmud, Horison Manusia, terj. Yusuf Anas, Jakarta: al-Huda, 2006.
Rahardjo, Dawam “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur
Amin, ed., Teologi Pembaharuan: Paradigma Baru Pemikiran Islam,
Yogyakarta: LKPSM NU, 1989).
_______, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish
Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1999, cet. xii.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung; Pustaka, 1994, cet. 2.
Saleh, Fauzan, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta:
Kanisius, 2006, cet. ke-6.
Tjaya, Thomas Hidya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2004.
Woodward, Mark R., “Pendahuluan: Indonesia, Islam, dan Orientalisme: Sebuah
Wacana yang Melintas, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam:
Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi,
Bandung: Mizan, 1996.
Koran, Majalah dan Internet
Azra, Azyumardi "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember
2003.
Alkisah, No. 4 / 1-14 September 2004, “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah
Karyawan Allah.’”
Bali Post, 3 September 1995, “Radhar Panca Dahana, Perjalanan dari Kosong
Menjadi Ada.”
Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IV-april 2007, “Pergulatan Hidup Radhar
Panca Dahana.”
Dahana, Radhar Panca, “Seni Oke, Politik Eko!,”
http://www.kompas.com/kompas -
cetak/0509/15/humaniora/2049656.htm. artikel diakses pada tanggal 17
September 2007 jam 14.00.
______, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007
______, “Jika Seni Menjadi Industri,” Republika, 16 Mei 1997.
______, “Presiden Negeri Simbol http://www.kompas.com/kompas -
cetak/0409/16/humaniora/1271939.htm. ,” diakses pada tanggal 17
September jam 14.30.
______, “2008” Gatra 7 Januari 2008
______, “Salam dari Derrida, Jacques,” Tempo, 24 Oktober 2004.
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (1): Harga Kesenian yang Dihargai,”
Media Indonesia, 19 April 1997,
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (2): Mencari Manusia di Puncak
Kapitalisme,” 26 April 1997,
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (3): Dunia Kubus Seorang Frans
Malschaert,” 10 Mei 1997,
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (4): Boneka Menangis di Paris,” 17 Mei
1997
______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (5): Menghalau Galau Para Perantau,” 24
Mei 1997.
http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus
2007.“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan,
Tapi…’”
Kompas 11 April 2003, "Di Panggung Radhar Terus Hidup."
Playboy, edisi Juli 2006, “Dalam Maut dan Puisi.”
Tempo, 20 April 2008, “Dari Skandinavia ke Dunia Maya.”
Tempo 22 Juli 2007, "Bahasa 'Baru' Teater Radhar."