Pa to Genesis

Embed Size (px)

Citation preview

Mekanisme imunitas normal Aktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respon imunitas. Th dapat teraktivsi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag-TCR (T Cell Receptor) dengan kompleks Antigen-molekul MHC klas II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagai antigen presenting cells (APCs) yang teraktivasi antigen. Sinyal kedua berasal dari sitokin IL-1 yang dihasilkan oleh APC yang teraktivsi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang TH mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (sitokin T limfosit atau TC) dan sel limfosit B. IL2 jugsa akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel TH lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berproliferasi. Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs dengan sel TH semula.2 Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc dapat dibedakan dengan TH karena Tc mempunyai molekul CD8 dan akan mengenal antigen asing melalui molekul MHC class I. Seperti sel TH, sel TC juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitop benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bias berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel TH tersebut.Tangan ketiga dari imunitas seluler dilakukan oleh sel NK (Natural Killer), yaitu sel limfosit dengan granular kasar dengan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara nonspesifik menghancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang dilapisi oleh antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).2 Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell differentiation factor) dan BCGF (B cell growth factor) yang diproduksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit B, Maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibody.2 Imunopatogenesis HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau TH (T Helper), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. TH mempunyai peran sentral dalam mengatur system imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, TH akan merangsang baik respon imun humoral maupun respon imun seluler, sehingga seluruh system imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah system imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi

gangguan jumlah maupun fungsi TH yang menyebabkan hamper keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.2 infeksi biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh yang berasal dari orang yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Jalan penularan yang paling diketahui diseluruh dunia, yaitu persetubuhan. Penggunaan jarum suntik bekas yang tercemar oleh HIV pada orang orang yang menggunakan obat obatan melalui intravena, dan penggunaan darah atau produknya untuk tujuan pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi. Rute lain yang penting dalam penularan HIV yaitu berasal dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya. Ibu ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika mereka melahirkan atau melalui pemberian ASI.1 Dua sampai delapan minggu setelah mendapatkan infeksi (gambar 7-15) 80% individu mengalami viremia akut. Gejala yang timbul seperti dialami penderita influenza, yaitu mencakup demam tinggi, sakit tenggorokan, sakit kepala dan pembengkakan kelenjar getah bening. Gejala ini mengingatkan kita akan infeksi retrovirus akut. Sindroma ini akan mereda dengan sendirinya dalam waktu 1-4 minggu. Selama fase akut ini terjadi suatu letupan replikasi virus, khususnya berlangsung pada sel-sel TCD4+ dalam usus, yang diikuti dengan penurunan jumlah sel-sel TCD4+ dalam peredaran darah dengan jelas. Pada saat ini, sebagian besar individu terbangkit respon spesifik oleh sel-sel TCD8+ secara kuat terhadap HIV. Respon tersebut dimanifestasikan dalam pembunuhan sel-sel yang terinfeksi virus, kemudian diikuti oleh produksi antibody spesifik anti HIV. Sel-sel TCD8+ dipahami menjadi penting dalam pengendalian viremia primer. Akibatnya lonjakan kadar virus dalam darah segera menurun dengan disertai peningkatan jumlah sel TCD4+ tetapi tdak mencapai jumlah normal. Garis dasar kadar virus dalam darah yang menetap setelah redanya gejala akut, kini dianggap sebagai indicator yang paling baik dalam memperkirakan prognosis penyakit pasien bersangkutan.1 Menyusul infeksi primer, berlangsung fase latensi klinik (tanpa gejala atau gejala ringan) yang tetap disertai berlanjutnya replikasi virus HIV, sementara sel-sel TCD4+ secara gradual menurun dalam fungsi dan jumlahnya. Terdapat 3 mekanisme utama yang diperkirakan ikut bertanggung jawab dalam penurunan jumlah-jumlah sel-sel TCD4+, selama infeksi virus, yaitu: 1. Efek langsung virus dalam sitoplasma sel T inang 2. Sel yang terinfeksi menjadi lebih peka terhadap induksi apoptosis 3. Pelenyapan sel-sel TCD4+ yang terinfeksi oleh sel TCD8+ yang mengenai peptide virus yang dipaparkan oleh molekul MHC kelas 1.

Dalam tahap dini penyakit HIV-1, mikroba oportunistik yang khas menghindar dari sistem imun selular terganggu adalah: candida sp., dan Mycobakterium tuberculosis, yang akan bermanifestasi diselaput lender mulut dan penyakit tuberculosis pada penderita AIDS. Dikemudian hari para pasien sering menderita penyakit akibat aktivasi virus varicella zoster yang laten berasal dari kasus cacar air sebelumnya. Penderita AIDS sangat umum akan mengalami perkembangan limfoma sel B yang diinduksi oleh EBV, Sarcoma Kaposi, Kanker sel endotel yang diduga karena efek sitokin yang disekresikan dalam respon terhadap infeksi HIV dan virus herpes yang baru (HHV-8) yang terdapat dalam tumor. Infeksi bersama hepatitis C dan infeksi HIV sangat umum ditemukan, dan kondisi ini akan mempercepat perkembangan Infeksi virus HIV. Pneumonia yang disebabkan oleh fungus Pnemositis carinii merupakan kejadian biasa yang dialami oleh pasien AIDS dan sering berakhir fatal sebelum diberikan pengobatan anti jamur yang efektif.Dalam tahap-tahap terakhir dari penyakit AIDS, jenis pathogen yang mencolok menyebabkan infeksi, yaitu Mycobacterium dan cytomegalovirus. Infeksi system pernapasan merupakan penyebab utama kematian penderita AIDS.1 Rentang waktu dan perkembangan dari infeksi HIV menjadi penyakit AIDS sangat bervariasi. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh variasi genetic dan virusnya, dan/ atau kondisi individu bersangkutan. Tipe HLA dari inang dapat sangat penting. Kondisi homozigot dari HLA kelas I dikaitkan dengan lebih cepatnya laju perkembangan penyakit, mungkin karena kurangnya keanekaragaman respons limfosit T terhadap infeksi. Tipe HLA tertentu dikaitkan dengan prognosis yang bermacam-macam. HLA-B57 dan HLA-B27 dikaitkan dengan perkembangan yang lebih lambat, sedang HLA-B53 dikaitkan dengan perkembangan yang lebih cepat. Ditemukan juga individu-individu yang resisten terhadap infeksi HIV karena mereka mengalami mutasi dalam reseptor khemokin CCR5 yang berfungsi sebagai ko-reseptor untuk HIV.1 Mekanisme utama inefektivitas HIV, melalui perlekatan selubung glikoprotein virus (gp 120) pada molekul CD4 yang bertindak sebagai reseptor dengan afinitas sangat tinggi pada permukaan sel-sel inang. Molekul-molekul CD4 sangat banyak terdapat pada permukaan sel T terutama pada sel-sel TH. Namun sel-sel seperti monosit atau makrofag dapat diinfeksi oleh HIV oleh karena terjadinya fagositosis kompleks virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang dimiliki sel bersangkutan.Pada umumnya telah dibuktikan dengan kuat bahwa molekul CD4 berperan sangat penting dalam pathogenesis AIDS,dan disamping itu molekul CD4 berperan pula dalam sitolisis oleh infeksi HIV. Kerusakan sel oleh HIV tergantung kepada molekul CD4

yang ada pada permukaan sel tersebut, sedang sel yang paling banyak memiliki molekul CD4 adalah limfosit CD4+. Walaupun kematian sel dapat disebabkan oleh infeksi HIV, tetapi individu yang baru diinfeksi belum menunjukan gejala penurunan jumlah sel CD4+ , lagipula dalam darah penyandang HIV sulit ditemukan sel yang terinfeksi virus. Kesulitan ini disebabkan karena pada awal-awal infeksi biasanya hanya terdapat sebuah sel yang mengandung virus antara 104-105 sel limfosit.1 Mekanisme merosotnya jumlah sel-sel CD4+ misalnya dapat disebabkan karena: 1) HIV dapat menyerang, membunuh ataupun melumpuhkan sel-sel CD4+ yang sangat dibutuhkan untuk pemekaran cadangan limfoid CD4+. 2) Merosotnya jumlah sel-sel CD4+ dapat pula disebabkan oleh adanya sekresi substansi toksik terhadap sel-sel CD4+, yang diinduksi oleh HIV terhadap sel CD4+ tertentu. 3) Telah dibuktikan pula bahwa protein selubung virus (gp120) yang berada pada permukaan sel inang yang telah diinfeksi HIV akan berikatan dengan molekul CD4 pada sel-sel tubuh yang tidak diinfeksi, sehingga akan mengakibatkan berfusinya membrane sel inang yang tidak terinfeksi dengan membrane sel yang sudah terinfeksi sehingga terbentuklah sinsitium atau sel datia tersebut diikuti oleh sitolisis yang mengakibatkan kematian sel dlam waktu yang sangat pendek. 4) Molekul-molekul gp 120 yang bebas dalam peredaran darah yang menyandang HIV, apabila molekul tersebut bereaksi dengan molekul CD4 pada sel-sel inang yang tidak terinfeksi akan membawa fenomena autoimunitas dengan maksud melenyapkan sel-sel CD4+ yang mengikat molekul gp120 bebas.

Defisiensi imun pada penderita AIDS bukan disebabkan oleh merosotnya jumlah limfosit TH (CD4+) saja, namun juga oleh gangguan fungsi sel tersebut. Gangguan kemampuan respon imun disebabkan oleh adanya gangguan fungsi sel-sel CD4+ untuk menanggapi antigen. Gangguan fungsi tanpa adanya infeksi sel-sel CD4+ yang jelas, dapat disebabkan oleh hambatan pada respin spesifik sel CD4+ oleh HIV atau protein selubungnya (gp120). Dengan berikatannya HIV atau molekul gp120-nya dengan molekul CD4+ dari sel bersangkutan, maka interaksi sel CD4+ dengan sel makrofag dengan perantara molekul CD4 dengan molekul MHC II dari sel penyaji antigen (APC/makrofag) akan terhambat. Sedang interaksi tersebut sangat penting untuk

aktivasi sel CD4+ bersangkutan oleh antigen yang disajikan. Bahkan infeksi sel-sel CD4+ oleh HIV tanpa kerusakan dapat mengganggu pula ekspresi molekul CD4 pada permukaan selnya, sehingga akan mengganggu pula interaksinya dengan molekul MHC II dari sel penyaji antigen. HIV mampu menginfeksi pula sel-sel makrofag/monosit serta kerabatnya melalui beberapa mekanisme, seperti fagositosis virus (virus bebas atau telah terikat oleh antibody), atau melalui ikatan dengan molekul CD4 yang tidak terlalu banyak terdapat pada permukaannya. Kerusakan monosit oleh HIV tidaklah separah sel-sel CD4+. Terinfeksinya sel-sel monosit oleh HIV, merupakan wadah HIV sehingga virus dapat disebarkan ke seluruh bagian tubuh penderita. Kerusakan pada sel-sel CD4+ akan membawa gangguan system imun baik terhadap respon imun selular maupun respon imun humoral sehingga terjadi devisiensi imun secara umum. Akibatnya penderita AIDS akan tidak berdaya terhadap infeksi oportunistik dan keganasan tertentu, selain itu penyebaran virus ke seluruh tubuh tidak dapat dibendung sehingga selanjutnya kerusakan sel-sel T CD4+ makin bertambah parah.