110
Journal of Forestry Policy Analysis Vol.16 No.1, Mei 2019 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research, Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

p-ISSN 0216-0897 RISTEKDIKTI No. /E/KPT/2018 JURNAL

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Journal of Forestry Policy AnalysisVol.16 No.1, Mei 2019

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

Jurnal Analisis K

ebijakan Kehutanan Vol.16, N

o.1, Mei 2019 : 1-87

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267

Diterbitkan oleh (Published by):Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim(Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi(Research, Development and Innovation Agency)Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16118, IndonesiaTelepon (Phone) : +62-251-8633944 Email : [email protected]; [email protected] (Fax) : +62-251-8634924 Laman (web) : www. puspijak.org

Journal of Forestry Policy AnalysisVolume 16 Nomor 1, Mei Tahun 2019

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 1221/E/2016. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, pemikiran/tinjauan ilmiah mengenai kebijakan kehutanan atau bahan masukan bagi kebijakan kehutanan. Terbit pertama kali tahun 2004, terakreditasi tahun 2008 dengan nomor 124/Akred-LIPI/P2MBI/06/2008. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbit dengan frekuensi dua kali setahun (Mei dan November).

Journal of Forestry Policy Analysis is an accredited journal, based on decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 1221/E/2016. This Journal is a scientific publication reporting research finding and forestry policy review of forestry policy recommendation. First published in 2004, accredited by LIPI in 2008 with number 124/Akred-LIPI/P2MBI/06.2008. Journal of Forestry Policy Analysis publish two times annually (May and November).

Penanggung Jawab (Advisory Editor) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) :

Ketua (Editor in Chief) : Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (P3SEKPI)

Redaktur (Managing Editor) : Dana Apriyanto, S.Hut, M.Sc. M.T (P3SEKPI)

Initial Reviewer : Yanto Rochmayanto, S.Hut., M.Si (P3SEKPI)

Editor Bagian (Section Editors) : 1. Surati, S.Hut, M.Si (P3SEKPI)2. Fentie J Salaka, S.Hut,M.Si (P3SEKPI)3. Galih Kartika Sari, S.Hut.,M.Si (P3SEKPI)4. Fulki Hendrawan, S.Hut (P3SEKPI)

Mitra Bebestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)2. Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Kelembagaan Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)3. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo,M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi REDD+, Adaptasi Perubahan Iklim

dan Furniture Value Chain, CIFOR)4. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,M.Sc(Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)5. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Ekonomi dan Sumber Daya Hutan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri)6. Prof. Ir. Yonariza, M.Sc., Ph.D (Manajemen Sumber Daya Hutan, Universitas Andalas)7. Prof. Dr.Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. (Ekologi dan Manajemen Lanskap, Institut Pertanian Bogor)8. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, Kebijakan Publik, Perubahan Iklim

dan Konservasi Sumber Daya Alam, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan)9. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan,S.Hut, M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan)10. Prof. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat,M.Sc. (Politik Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)11. Frida Sidik, B.Sc., M.Sc., PhD. (Mangrove, Konservasi Sumber Daya Pesisir, Perubahan Iklim,

Kementerian Kelautan dan Perikanan)12. Dr. Nurul Laksmi Winarni (Climate Change Adaptation, Universitas Indonesia)13. Ir. Hunggul Yudhoyono, M.Sc (Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Litbang LHK Makasar)

Anggota Dewan Redaksi (Reviewers) : 1. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS (Konservasi Tanah dan Air, MKTI)2. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)3. Dr. Tuti Herawati,S.Hut,M.Si (Analisis Kebijakan, P3SEKPI)4. Dr. Virni Budi Arifanti, S.Hut.,M.Sc (Penginderaan Jauh Geografi dan Informasi, P3SEKPI)5. Ir. Ari Wibowo, M.Sc (Perlindungan Hutan, P3SEKPI)6. Dr. Fitri Nurfatriani,S.Hut,M.Si (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)7. Dr Gamin,A.Md.,S.Sos.,MP (Pemetaan dan Analisis untuk Konflik dan Spasial, Balai Diklat LHK

Kadipaten)8. R. Deden Djaenudin,S.Si,M.Si (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)9. Dr. Ir. Subarudi,M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)10. Dr. Ir. Niken Sakuntaladewi,M.Sc (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)

REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) :

Penyunying Bahasa (Copy Editors) : 1. Drs. Hariono (P3SEKPI)2. Drs. Sunaryanto (Pusdiklat SDM)

Penyunting Tata Letak (Layout Editor) : Suhardi Mardiansyah (Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi)

Administrasi Laman E-journal (Web Admin)

: Fulki Hendrawan, S.Hut (P3SEKPI)

Koreksi Naskah (Proofreader) : Prof. Dr.Ir. Djaban Tinambunan, MS.

Sekretariat (Secretariat) : 1. Drs. Hariono (P3SEKPI)2. Parulian Pangaribuan,S.Sos (P3SEKPI)3. Fulki Hendrawan, S.Hut (P3SEKPI)

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Journal of Forestry Policy AnalysisVol.16 No.1, Mei 2019

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Mitra Bebestari (Peer Reviewers) yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat pada edisi Vol. 16 No.1 Mei tahun 2019. Mitra Bebestari (Peer Reviewers) dimaksud adalah:

1. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc.2. Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S3. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc.5. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan,S.Hut, M.Si.6. Ir. Hunggul Yudhoyono, M.Sc.

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897Vol. 16 No.1, Mei 2019 e-ISSN 2502-6267

DAFTAR ISI (CONTENTS)

DECISIONS MAKING PROCESS IN ORGANIC STIMULANT INNOVATION ADOPTIONS USING STAKEHOLDERS ANALYSIS(Proses Pengambilan Keputusan dalam Adopsi Inovasi Stimulan Organik Melalui Analisis Peran Pemangku Kepentingan)Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti & Sukadaryati ................................. 1-10

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR(Effectiveness of Mangrove Management Policies to Support Climate Change Mitigation in East Kalimantan Province)Mimi Salminah & Iis Alviya .................................................................................. 11-29

ANALISIS EKONOMI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO: STUDI KASUS DI KABUPATEN MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN (Economic Analysis of Micro Hydro Power Plant Development: A Case Study in Muara Enim Regency, South Sumatra)Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso ..................................... 31-45

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN ALOKASI LAHAN 12,7 JUTA HA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL: STUDI KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA(Effectiveness of 12.7 Million Ha Land Allocation Policy for Social Forestry: Case Study of Nusa Tenggara Barat and Daerah Istimewa Yogyakarta Provinces)Fitri Nurfatriani & Iis Alviya ................................................................................. 47-66

REVITALISASI MATA PENCAHARIAN DI LAHAN GAMBUT: KERAJINAN ANYAMAN DARI PURUN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK USAHA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR (OKI), SUMATERA SELATAN(Livelihood Revitalization in Peatlands: Woven Crafts from Purun as a Sustainable Business Option in Ogan Komering Ilir (OKI) Regency, South Sumatra)Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani ............................................................................................................................ 67-87

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANANABSTRAK

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

Vol. 16 No.1, Mei 2019

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini bolehdiperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OSDCF) 630*92Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti & SukadaryatiProses Pengambilan Keputusan dalam Adopsi Inovasi Stimulan Organik Melalui Analisis Peran Pemangku Kepentingan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No. 1, hal. 1-10

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dan menganalisis hubungan antar pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan adopsi penggunaan stimulandi wilayah Perhutani. Analisisyang digunakan adalah ISM dan analisis hubungan antar pemangku kepentingan yang diklasifikasi dalamlima kategori, yaitu interaksi, kontinuitas, sinergitas, kekuatan dan keberadaan konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulan adalah Perhutani (Kuadran IV). Penyadap pinus berada pada Kuadran I. Akademisi, peneliti, Polisi hutan, Dinas Kehutanan dan KLHK berada pada Kuadran II. Hubungan interaksi, sinergitas dan kontinuitas antar pemangku kepentingan telah terjalin dengan baik kecuali pihak akademisi dan peneliti.

Kata kunci: Interpretative Structural Modelling (ISM), kebijakan, pemangku kepentingan, stimulan.

UDC (OSDCF) 630*901:116(594.47)Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi KunarsoAnalisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro: Studi Kasus di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No. 1, hal. 31-45

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis kelayakan pembangunan dan pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat untuk mendukung konservasi sumberdaya hutan. Analisis finansial dan ekonomi digunakan untuk mengetahui kelayakan pengembangan dan pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak tidak layak finansial. Pembangunan dan pengelolaan PLTMH secara finansial layak apabila menggunakan skema tarif listrik pascabayar Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk batas daya hingga 450 VA, dan layak secara ekonomis apabila menggunakan skema tarif listrik pascabayar PLN untuk batas daya hingga 1.300 VA. Pemanfaatan air untuk PLTMH meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat untuk melakukan konservasi sumberdaya hutan.

Kata kunci: Ekonomi, finansial, mikro hidro, Sumatera Selatan, Daerah Aliran Sungai (DAS).

UDC (OSDCF) 630*94:176.2(594.11)Mimi Salminah & Iis AlviyaEfektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim di Provinsi Kalimantan Timur

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No. 1, hal. 11-29

Tulisan ini mengkaji efektivitas implementasi kebijakan pengelolaan mangrove untuk menurunkan emisi di Kalimantan Timur dengan menggunakan teori Grindle. Hasil analisis menunjukkan bahwa masih terdapat ketidakefektifan dalam implementasi kebijakan tersebut karena belum adanya peraturan teknis yang menjelaskan lebih rinci kebijakan yang telah dikeluarkan, belum tersedianya data satu mangrove yang lengkap, serta belum banyak berkembangnya opsi pengelolaan tambak ramah lingkungan. Faktor lain yang berperan penting dalam implementasi kebijakan tersebut adalah koordinasi parapihak, sosialisasi, dan fasilitasi agar masyarakat mengembangkan tambak ramah lingkungan. Secara teori, efektivitas implementasi kebijakan dipengaruhi oleh kejelasan dan konsistensi isi dari kebijakan tersebut.

Kata kunci: Kebijakan pengelolaan mangrove, mitigasi perubahan iklim, efektivitas kebijakan, tata guna lahan.

UDC (OSDCF) 630*91(594.71+594.57)Fitri Nurfatriani & Iis AlviyaEfektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No. 1, hal. 47-66

Tulisan ini bertujuan untuk: (1) menentukan kriteria dan indikator prioritas dalam kebijakan alokasi lahan untuk perhutanan sosial, dan (2) menganalisis tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk perhutanan sosial. Pendekatan Pairwise Comparison-AHP dan metode skoring digunakan dalam penelitan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek lingkungan merupakan prioritas utama dalam kebijakan alokasi lahan untuk PS, diikuti dengan aspek ekonomi. Dari aspek lingkungan, kebijakan PS memiliki prioritas utama untuk mengatasi kasus perambahan di kawasan hutan; sementara dari aspek ekonomi, kebijakan tersebut prioritaskan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di dalam/sekitar hutan. Berdasarkan indeks efektivitas, kebijakan PS masuk dalam kategori cukup efektif dengan nilai 10,79.

Kata kunci: Perhutanan sosial, pairwise comparison, kriteria dan indikator, AHP, efektivitas kebijakan.

UDC (OSDCF) 630*90:114.444(594.47)Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy AndrianiRevitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: Kerajinan Anyaman dari Purun Sebagai Salah Satu Bentuk Usaha Berkelanjutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No. 1, hal. 67-87

Studi ini bertujuan menganalisis penghambat usaha anyaman purun secara berkelanjutan di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, beserta potensi pemasaran hijau dari produk tersebut. Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan dalam studi ini. Permasalahan yang teridentifikasi di antaranya terbatasnya akses dan pengetahuan pengrajin, ketidakstabilan persediaan bahan baku tanaman, keterbatasan akses pendanaan pengrajin, serta kualitas produk yang masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden bersedia untuk membayar lebih tinggi anyaman berlabel hijau dibandingkan dengan anyaman biasa. Selanjutnya, penyesuaian kebijakan, peningkatan kapasitas spesifik, dan strategi pemasaran yang inovatif dibutuhkan untuk mendukung keberlanjutan dari usaha anyaman purun.

Kata kunci: : Lahan gambut; mata pencaharian; pasar; produk anyaman; purun.

JOURNAL OF FORESTRY POLICY ANALYSIS

ABSTRACT p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

Vol. 16 No.1, Mei 2019

The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced withoutpermission or charge.

UDC (OSDCF) 630*92

Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti & Sukadaryati

Decisions Making Process in Organic Stimulant Innovation Adoptions using Stakeholders Analysis

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 16 No. 1, p. 1-10

This study aims to identify the involved stakeholders and to analyze the relationships among stakeholders in the policy of adopting stimulant innovation in Perhutani area. Analysis is performed by using ISM and stakeholder relationship are classified into five categories: interaction, continuity, synergy, strength, and the existence of conflicts. The results show that the stakeholders involved in the stimulants innovation adoption policy is Perhutani (Quadrant IV). The pine tappers are in Quadrant I. Academicians, researchers, forest rangers, forestry services officials and KLHK are in Quadrant II. Interaction, synergy and the relationship continuity among stakeholders ae well-established, except among the researchers and academicians.

Keywords: Interpretative Structural Modelling (ISM); policy; stakeholders; stimulant.

UDC (OSDCF) 630*901:116(594.47)

Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso

Economic Analysis of Micro Hydro Power Plant Development: A Case Study in Muara Enim Regency, South Sumatra

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 16 No. 1, p. 31-45

This paper investigates feasibility of development and management of self-help MHP to support forest conservations. Financial and economic analyses are applied to determine feasibility of development and management of MHP. The result indicates that construction and management of MHP in Danau Gerak village are not feasible. The development and management of MHP will be financially feasible when it implements postpaid tariff scheme of State Electricity Companyfor power limit up to 450 VA, and economically feasible when it applies postpaid tariff scheme for power limit up to 1,300 VA. Water utilization for MHP increases the collective awareness to conserve forest.

Keywords: Economic; financial; micro hydro; South Sumatra; watershed.

UDC (OSDCF) 630*94:176.2(594.11)

Mimi Salminah & Iis Alviya

Effectiveness of Mangrove Management Policies to Support Climate Change Mitigation in East Kalimantan Province

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 16 No. 1, p. 11-29

This paper analyses effectiveness of implementation of mangrove management-related policy to reduce emission in East Kalimantan using Grindle Theory. The results show that there is still ineffective practices in implementing the policy due to the absence of technical regulations determining the content of the issued policies, insufficient provision of one mangrove data, and of green fish pond management options. Moreover, coordination among related sectors, awareness raising programs, and facilitation for local coastal community to apply sustainable mangrove management play significant role in the policy implementation. In theory, effectiveness of policy implementation is affected by clarity and consistency of policy content.

Keywords: Mangrove management policy; climate change mitigation; policy effectiveness; land use.

UDC (OSDCF) 630*91(594.71+594.57)

Fitri Nurfatriani & Iis Alviya

Effectiveness of 12.7 Million Ha Land Allocation Policy for Social Forestry: Case Study of Nusa Tenggara Barat and Daerah Istimewa Yogyakarta Provinces

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 16 No. 1, p. 47-66

This paper aims to: determine criteria and indicators priority in land allocation policy for social forestry, and analyze the effectiveness of the policy. This study applies Pairwise Comparison-AHP and scoring approaches based on Social Forestry expert judgement. The results show that the environmental aspect is the top priority in the policy, followed by economic aspect. From the aspect of environment, the main priority is to overcome estate forest encroachment issues, while from economic, is as a source of income for communities surrounding the forest. Based on effectiveness index, this policy is categorized quite effective with value of 10.79.

Keywords: Social Forestry Policy, pairwise comparison, criteria and indicators, communities.

UDC (OSDCF) 630*90:114.444(594.47)Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani

Livelihood Revitalization in Peatlands: Woven Crafts from Purun as a Sustainable Business Option in Ogan Komering Ilir (OKI) Regency, South Sumatra

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 16 No.1, p. 67-87

This study aims to analyze the obstacles of sustainable purun weaving in OKI Regency, South Sumatra, and its 'green' marketing potential. Qualitative and quantitative methods are applied in this study. Identified challenges include the lack of market knowledge and connections, unstable supply of raw materials, lack of financial capitalization, and low product quality. Moreover, the market potential of green products is highly promising as more than 80% of respondents are willing to pay a higher price for the green products. Further, policy adjustment, specific capacity building, and innovative marketing strategies are required to support the business sustainability of purun weaving.

Keywords: Livelihood; market; peatland; purun; woven product.

DECISIONS MAKING PROCESS IN ORGANIC STIMULANT INNOVATION ADOPTIONS USING STAKEHOLDERS ANALYSIS

(Proses Pengambilan Keputusan dalam Adopsi Inovasi Stimulan OrganikMelalui Analisis Peran Pemangku Kepentingan)

Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti, & Sukadaryati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16610, West Java, IndonesiaE-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Diterima 2 Juli 2018, direvisi 13 Maret 2019, disetujui 20 Maret 2019

ABSTRACT

Wood vinegar-based stimulant is potential to be developed in Perhutani, therefore, the process of adoption is indispersable to be analyzed. This study aims at identifying the involved stakeholders and analysing the relationships among stakeholders in the policy of adopting stimulant innovation in Perhutani areas. Respondents are selected using a snowball sampling method. Stakeholder analysis is performed by using Interpretative Structural Modeling (ISM) while stakeholder relations analysis is carried out by classifying the relation into five categories: interaction, continuity, synergy, strength, and the presence or absence of conflicts. The results shows that the stakeholders involved in the stimulants innovation adoption policy are mostly in Quadrant IV or performs that Perhutani officials have legal authority in decision-making process. The pine tappers in Quadrant I implies that they have limited influence to stimulants innovation adoption policy but they have enormous interest in the management of pine forests. Academicians, researchers, forest rangers, forestry services officials and Ministry of Environment and Forestry officials are in Quadrant II. They play important role as intermediaries or facilitators and have considerable influence on decision-making process. Interaction, synergy and relationship continuity among stakeholders are well-established, except among researchers and academicians. Meanwhile, they could colaborate research with Perhutani.

Keywords: Interpretative Structural Modelling (ISM); policy; stakeholders; stimulant.

ABSTRAK

Adopsi stimulan berbahan dasar cuka kayu berpotensi untuk dikembangkan di Perhutani, oleh karena itu proses pengadopsian inovasi stimulan cuka kayu tersebut perlu dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dan menganalisis hubungan antar pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan adopsi penggunaan stimulan di wilayah Perhutani. Responden dipilih dengan menggunakan metode snowball sampling. Analisis pemangku kepentingan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM) sedangkan analisis hubungan antar pemangku kepentingan dilakukan dengan mengklasifikasikan hubungan tersebut dalam lima kategori, yaitu interaksi, kontinuitas, sinergitas, kekuatan, dan ada tidaknya konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulan sebagian besar berada pada Kuadran IV (Independent) yaitu pejabat Perhutani yang memiliki kewenangan hukum dalam proses pengambilan keputusan. Penyadap pinus berada pada Kuadran I (Autonomous), artinya bahwa mereka memiliki pengaruh terbatas terhadap kebijakan adopsi inovasi stimulan tetapi memiliki minat yang sangat besar dalam pengelolaan hutan pinus. Akademisi, peneliti, Polisi Hutan, Dinas Kehutanan, dan KLHK berada pada Kuadran II (Dependent). Mereka memainkan peran penting sebagai perantara atau fasilitator dan memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan. Hubungan interaksi, sinergitas, dan kontinuitas antar pemangku kepentingan telah terjalin dengan baik kecuali pihak akademisi dan peneliti. Akademisi dan peneliti bisa terlibat melalui kerjasama riset dengan Perhutani.

Kata kunci: Interpretative Structural Modelling (ISM); kebijakan; pemangku kepentingan; stimulan.

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.1-10 1

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

I. INTRODUCTIONThe increase of pine sap production is

carried out by applying stimulants. Various studies on pine tapping stimulation have been developed, such as an-organic stimulants based on strong acids (H2SO4) and other strong acids. Almost all of Perhutani areas use an-organic stimulants in pine tapping with different compositions depending on the height of the place. The effect of using an-organic stimulants can disrupt the health of trees and their tappers and would cause environmental pollution (Sainoi & Sdoodee, 2012).

The application of friendly environmental stimulant, such as wood vinegar, is essential to support sustainable pine forest management in sap production. Wood vinegar is produced from a carbonized and condensed lignocellulosic waste material. The main component of wood vinegar is acetic acid (CH3COOH) which is classified as weak acids (Darmaji, 2009; Pari & Nurhayati, 2009;Wijaya, 2010). Addition of acid substance in a pine-tapping process will reduce coagulated, thus it would increase sap production (Rodrigues, Azevedo, Sobreiro, Pelissari, & Fett-Neto, 2008; Reed et al., 2009; Rodrigues, Apel, Henrique, & Neto, 2011; Sharma & Lekha, 2013). Wood vinegar based stimulant is potential to be develop since it is easy to produce, cheap and friendly environmental.

The decision making process in adopting stimulant innovation in Perhutani area considers the following factors: economic, social, environment, and technology. Economic factor relates to financial income of pine tappers and perhutani, while social factor relates to the pine tappers acceptance to the stimulant. Environmental factor relates to the safety of the stimulant adoption for tappers, pine stands and surounding environment. Lastly, the technological factor associates with the easiness of the innovative technology.

Stakeholder analysis in adopting stimulant innovation process is necessary to determine which interests are the most probable to

accommodate in the program planning or in the decision making process. Recognizing the key role of stakeholders in order to implement the program is an important tool for policy-makers (Herawati, Widjayanto, Saharuddin, & Eriyatno, 2010). Stakeholders are all those who influence and or are influenced by policies, decisions, and actions within a system (Reed et al., 2009). In this study, the parties are Perhutani as pine forest managers, pine tapper as workers and other parties, such as academicians and researchers. On the other hand, stakeholders have different influences and interests (Reed et al., 2009). They have plurality point of view in policy interventions which would base their decisions (Ferreti, 2016). Differences of interest and influence among actors could be a source of conflicts because each actor would try hard to achieve their interests the power that to get its interests (Febriyano, 2014). Therefore, it is necessary to know the intensity of stakeholders in the decision making of adopting stimulant innovations in Perhutani by conducting stakeholder analysis from the aspects of influence, relationships, and interests.

This study aims to identify the involved stakeholders, their importance and roles and the relationships among stakeholders in the policy of adopting stimulant innovation in Perhutani area.

II. RESEARCH METHODSPrimary and secondary data was collected

in Perhutani regions from August to November 2016. Primary data was collected from the involved stakeholders. Secondary data in the form of reference data is taken from Perhutani and literature studies, and they are carried out to be the supplement of the primary data.

Data and information about the stakeholders in decision-making are collected using in-depth interview methods in accordance with the objectives that have been prepared. Identification of stakeholders, the importance, and the role as well as the relationships among stakeholders are conducted using

2

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10

snowball sampling method. This sampling method determines respondents based on the recommendations of the earlier stakeholders. The data and information are then processed and analyzed.

A. Identification of Stakeholders Identification of stakeholders is performed

by using Interpretative Structural Modeling (ISM) developed by Saxena, Sushil, & Vrat (1992). The steps taken on the ISM method are (Marimin, 2009) covers:1. Identifying and registering elements. The

elements in this study were stakeholders.2. Building contextual relationships among

elements.3. Preparing Structural Self Interaction

Matrix (SSIM). This matrix represents respondents perception of elements of intended relationship, with the symbol representing types of relationship between the two elements. The symbols were:a. V: relationship of elements Ei to Ej, not

vice versab. A: relationship of elements Ej to Ei, not

vice versac. X: interrelation between Ei and Ej, can

be otherwised. O: unrelated Ei and Ej

4. Compiling Reachability Matrix (RM), by converting SSIM symbol into binary matrix.

5. Clasifying elements at different levels of ISM structure. For this purpose, two devices are associated with each element Ei of the system; Reachability Set (Ri), is a set of all elements that can be reached from the element Ei, and Antecedent Set (Ai), is a set of all elements in which the element Ei can be achieved. In the first iteration, all of elements where Ri = Ri∩Ai, are level 1 elements. In subsequent iterations, the elements are identified as level elements in the previous iterations that are omitted, and the new elements are selected for the next levels using the same rules. Furthermore, all elements of the

system are grouped into different levels.6. Compiling Canonical matrix by grouping

the same elements.This resultant matrix has most of triangular elements with the highest and the lowest is 0 and 1.

7. Preparing Diagraph, the graph of the elements that are related to each other and at a hierarchy level.

8. Generating ISM by moving the entire number of elements with the description of the actual elements.

ISM methodology and techniques are divided into two parts: preparation of hierarchy and classification of sub-elements. Classification of sub-element refers to RM result which is fulfilled the transitivity rules to obtain the value of Driver-Power (DP) and the value of Dependence (D), in accordance with:1. Quadrant I; weak driver-weak dependent

variables (Autonomous) namely sub-element with DP value ≤ 0.5 X and D≤0.5 X; where X is the number of sub-elements. These sub-elements are generally unrelated to the system and may have few relationships although they may be strong.

2. Quadrant II; weak driver-strongly dependent variables (Dependent), ie sub-element with DP value ≤ 0.5 X and D> 0.5 X. Sub-elements in this sector are bound sub-elements.

3. Quadrant III; strong driver-strongly dependent variables (Linkage) ie sub-element with DP value > 0.5 X and D > 0.5 X. Sub-elements in this sector should be examined carefully because of the relationship between the sub-element is unstable. Any actions on the sub-element will have an impact on the other sub-elements and the effect of the feedback can magnify the impact.

4. Quadrant IV; strong driver-weak dependent variables (Independent) ie sub-element with DP value > 0.5 X and D ≤ 0.5 X. This sub-element is the remaining part of the system and it is called independent variable.

3

Decisions Making Process in Organic Stimulant Innovation ........(Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti &Sukadaryati)

B. Relationships Among Stakeholders Stakeholder relations to the policy of

adopting innovation stimulant in Perhutani are analyzed in order to identify relationships among various parties who have common interest. Analysis of relationships among stakeholders refers to relationship that is part of 4Rs framework analyst (Dubois, 1998). Identification of relationships among stakeholders comprises five categories, namely interaction, continuity, synergy, strength, and presence or absence of conflicts. Each category is given a weight value based on Table 1.

III. RESULTS AND DISCUSSION

A. Identification of StakeholdersA stakeholder is a person with an interest

or concern on the issues identified by certain considerations, i.e the importance and the influence they have (Harrison, Bosse, & Phillips, 2009; Frow & Payne, 2011). Based on the identification, the stakeholders involved or related to the stimulants adoption policy in Perhutani areas and their roles bases on the level of interest and influence which are presented in Table 2.

Based on Table 2, Perhutani and its staff are key factors that have legal authority in decision making of forest management. As a state-owned enterprise, Perhutani is also required

to generate profits for the company so that Perhutani must be able to achieve the targets set by the company. Therefore, Perhutani has the authority and responsibility for all planned program activities. The policy of stimulants adoption in pine tapping bases on SK No. 527/045.1/PROD/Dir datd on September 5th 2007, regarding recommendation for the use of un -organic stimulants, and SK No.220/045.9/PROSAR/Dir April 25th 2011 regarding the use of ETRAT stimulants on pine tapping. The policy on stimulant use is mentioned in a Decree issued by the Director of Perhutani in Jakarta.Based on interviews with Perhutani officials, it is known that the policy of using stimulants in pine tapping according to the decree mentioned above and the implementation will be submitted to the policies of each Unit.Therefore, the policy of stimulant used in each unit varies.

Pine tappers are parties directly affected by the adoption policy and have direct interest in the activity. They are beneficiaries of income from pine tapping business academicians, researchers, Forestry Services Officials to the Ministry of Enviroment and Forestry who have policy support roles. Researchers and academicians are responsible as scientists to contribute ideas to create new innovations and results that can be implemented. The Forestry Services Officials have roles in licensing, while the Ministry of Enviroment and Forestry has

4

Table 1 Description and weight of value of each relationship categoryTabel 1 Deskripsi dan bobot nilai masing-masing kategori hubungan

Score (Skor)

Relationship category (Kategori hubungan)

Relationship criteria (Kriteria hubungan)Interaction (Interaksi)

Continuity (Kontinuitas)

Synergy (Sinergitas)

Strength (Kekuatan)

Conflict (Konflik)

5 Excellent Exist Continuous Exist Strong None4 Good Exist Continuous Exist Sufficient None3 Fair Exist Continuous None Weak None2 Poor Exist None None Weak None1 No connection None None None Weak None0 Not identified - - - - --1 Potential conflict occurs Exist None None Weak Exist-2 Conflict often occurs Exist Continuous None Sufficient Exist

Source (Sumber): Dubois (1998).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10

a role in determining regulations governing plantation forest management, specifically the management of pine forests. However, in the field, it is technically determined by Pehutani.

Contextual relationships among stakeholders of their driving power and their dependence can be illustrated as in Figure 1. Further, it can be explained in Figure 1 that the stakeholders who play an important role in the stimulant adoption policy are mostly plotted in Quadrant IV (Independent) i.e. Perhutani officials who consit of: Deputy Head of Unit Perhutani (E1), Chief of Non-Timber Production Bureau (E2), Head of KPH (E3), Deputy Head of KPH (E4), and Chief of Non-Timber Forest Product Section (E5). The elements in this quadrant have a considerable driving power. This implies that the policies decided by stakeholders will

support the success of adapting stimulants. Perhutani has high interest and influence with regard to the authority and posseses the greatest responsibility as a manager that includes plannings, protection, utilization, and evaluation of the forest management work programs, particularly the management of pine forests in Java. This condition is often encountered in any natural resource management activities, wherein legally authorized managers always occupy positions as key stakeholders (Li, Ng, & Skitmore, 2012; Maguire, Potss, & Fletcher, 2012; Ichsan, Soekmadi, Adiwibowo, & Kusmana, 2017).

Chief of Forest Product Marketing Section (E6) and Head of BKPH (E7) are in Quadrant III (Lingkage). Stakeholders in Quadrant III have high driving power and intervention

5

Table 2 The role of parties based on the level of interest and influence on stimulant innovation adoption policiesTabel 2 Peranan para pihak berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh terhadap kebijakan adopsi inovasi

stimulansia

No. Stakeholders(Pemangku kepentingan)

Interest(Kepentingan)

Influence(Pengaruh)

Score(Nilai)

Level (Tingkatan) Score(Nilai)

Level (Tingkatan)

E1 Deputy Head of Unit Perhutani (Wakil Kepala Unit)

24 High (tinggi) 22 High (tinggi)

E2 Chief of Non Timber Production Bureau (Kepala Biro Produksi Bukan Kayu)

22 High (tinggi) 20 High (tinggi)

E3 Head of KPH (Kepala KPH) 20 High (tinggi) 18 High (tinggi)E4 Deputy Head of KPH (Wakil KPH) 19 High (tinggi) 17 High (tinggi)E5 Chief of Non Timber Forest Product

Section (Kepala Seksi Produksi Bukan Kayu)

16 Moderate (sedang) 15 Moderate (sedang)

E6 Chief of Marketing (Kepala Seksi Pemasaran)

14 Moderate (sedang) 12 Moderate (sedang)

E7 Head of BKPH (Kepala BPKH) 14 Moderate (sedang) 13 Moderate (sedang)E8 Head of RPH (Kepala RPH) 12 Moderate (sedang) 12 Moderate (sedang)E9 Forest Ranger (Polisi Hutan) 12 Moderate (sedang) 11 Low (rendah)E10 Tapping Foreman (Mandor Sadap) 12 Moderate (sedang) 11 Low (rendah)E11 Tappers (Penyadap) 22 High (tinggi) 10 Low (rendah)E12 Academics (Akademisi) 11 Low (rendah) 15 Low (rendah)E13 Researchers (Peneliti) 9 Low (rendah) 14 Moderate (sedang)E14 Forestry Services Official (Dinas

Kehutanan)10 Low (rendah) 17 High (tinggi)

E15 Ministry of Env. and Forestry (KLHK) 12 Moderate (sedang) 9 Low (rendah)

Decisions Making Process in Organic Stimulant Innovation ........(Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti &Sukadaryati)

in policy formulation of stimulant adoption. Both of the stakeholder elements are also closely linked to other elements. Head of RPH (E8), Forest Ranger (E9), Tapping foreman (E10), Academicians (E12), Researchers (E13), Officials in Forestry Services (E14) and Ministry of Environment and Forestry Officials (E15) are plotted in Quadrant II (Dependent). Stakeholders in Quadrant II are bonded, highly dependent on other stakeholders and have high influence. Their aspiration/intention is considered in pine forest management activities. However, they have relatively low interest towards regional management activities. These stakeholders could influence pine forest management policies by contributing criticism, problem-solving suggestions, and research results. However, those contributions merely stand as consideration and aspiration by Perhutani.

Pine tappers (E11) are in Quadrant I (Autonomous) which implies that stakeholders have low effect and are not associated with stimulant adoption policy but have great importance in the management of

pine forests. The high dependence of tappers in Perhutani is primarily concerned with economic interests to sustain their livelihood. Sundawati & Sanudin (2009) reveal that the high importance of community living around Lake Toba catchment area is due to their dependency to Lake Toba ecosystem as their livelihood source. The low impacts of stakeholders in the Quadrant I are due to the incapacity or exclusion of tappers in pine forest management policies, particularly in tapping pine. Tools and facilities of pine tapping, such as tapping devices, sap gutter, bucket for collecting sap and stimulant types, are provided by Perhutani. Perhutani, however, has a considerable interest of pine tappers to tap their pine trees. Therefore, an effective communication is essential which could be implemented through regular meetings for the sake of obtaining mutual agreements between Perhutani and pine tappers. Communication is mainly related to the economic impacts after adopting stimulant, whether positive impacts on increased revenue tapper or otherwise, as it also how to maintain the pine sap pricing

6

Source (sumber): primary data/processed 2018 (data primer/diolah, 2018)

Figure 1 Diagram of driving power and dependency relationship of stakeholder elements Gambar 1 Diagram hubungan kekuatan penggerak dan ketergantungan elemen pemangku kepentingan.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10

7

mechanism that can benefit both sides. Perhutani needs to listen to the inputs from tappers as a basis for determining stimulant adoption policies. Rangkuti (2009) states that communication becomes more important to produce balance in the perspective of information exchange through established institutional channels, supported by two-way communication, both vertical and horizontal.

Element Diagraph of stakeholder based on its driving power is illustrated in Figure 2. Hierarchical structure of the stakeholder element consisted of 10 levels. Deputy Head of Unit Perhutani (E1) is at level 10, who is a key element of successful stimulants adoption. This is in line with the results of Herawati et al. (2010) which state that the provincial and district levels of forestry services have a high influence and interest in the implementation

of the Community Plantation Forest (CPF) programs.Thus, they play a key role to the successful implementation of CPF program policy. Thefore, the highest level decision maker has a high influence in adopting the programs.

B. Relationships Among StakeholdersStakeholder relationships analysis is

conducted by identifying relationships among stakeholders based on five criteria, ie interaction, continuity, synergy, strength, and the presence or absence of conflicts.The results of stakeholder relationships analysis can be seen in Table 3. Table 3 shows that between Perhutani’s top management, tapping foreman and pine tappers, have good interaction, continuity and synergy relationship.Their legal power of Perhutani make it possible

Figure 2 Hierarchical structure of stakeholdersGambar 2 Struktur hirarki pemangku kepentingan.

Decisions Making Process in Organic Stimulant Innovation ........(Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti &Sukadaryati)

8

to manage pine forest areas with activities and programs involving forest communities. Community living around Perhutani area work as pine tappers for their livelihoods. Perhutani nevertheless obtain labour to collect sap pine from their area. Moreover, by involving community in forest management activities, Perhutani has performed social aspects of forest management. As the community are benefitted from the forest, they would secure the forest area, thus lessening conflicts with Perhutani.

Good relationship between Perhutani with academicians and researchers is inevitable to support innovation adoption. Academicians

and researchers can be involved through collaborative research with Perhutani. These stakeholders can influence pine forest management policies, by providing criticism, solutions to problems, the results of studies, even though, are only limited to being considered and heard by Perhutani. However, sometimes it needed by Perhutani to adopt innovation due to certain considerations.

Improper relationship between Forest service officials and Perhutani sometimes occurs in the empowerment of communities as workers. This condition can be overcome by coordinating forest management between the two parties. Nurfitriani, Darusman,

Table 3 Matrix of stakeholder relationship in stimulant adoption policies Tabel 3 Matriks Hubungan antar pemangku kepentingan dalam kebijakan adopsi stimulan

Stakeholders(Pemangku kepentingan)

Dep

uty

Hea

d of

Uni

t Per

huta

ni (W

akil

Kep

ala

Uni

t)

Chi

ef o

f N

on T

imbe

r Pro

duct

ion

Bur

eau

(Kep

ala

Biro

Pro

duks

i Buk

an K

ayu)

Hea

d of

KPH

(Kep

ala

KPH

)

Dep

uty

Hea

d of

KPH

KPH

(Wak

il K

PH)

Chi

ef o

f Non

Tim

ber F

ores

t Pro

duct

Se

ctio

n (K

epal

a Se

ksi P

rodu

ksi B

ukan

K

ayu

)

Chi

ef o

f Mar

ketin

g (K

epal

a Se

ksi

Pem

asar

an)

Hea

d of

BK

PHB

KPH

(Kep

ala

BPK

H)

Hea

d of

RPH

(Kep

ala

RPH

)

Fore

st R

ange

r (Po

lisi H

utan

)

Tapp

ing

Fore

man

(Man

dor s

adap

)

Tapp

ers (

Peny

adap

)

Aca

dem

icia

ns (A

kade

mis

i)

Res

earc

hers

(Pen

eliti

)

Fore

stry

Ser

vice

Offi

cial

s (D

inas

K

ehut

anan

)

Min

istry

of E

nv. a

nd F

ores

try (K

LHK

)

Deputy Head of Unit Perhutani (Wakil Kepala Unit)

5 5 5 4 4 4 4 3 3 3 2 2 2 4

Chief of Non Timber Production Bureau (Kepala Biro Produksi Bukan Kayu)

5 5 4 4 4 4 3 3 3 2 2 2 4

Head of KPH (Kepala KPH) 5 4 4 4 4 3 3 3 2 2 2 4Deputy Head of KPH (Wakil KPH) 5 4 4 4 3 3 3 2 2 2 4Chief of Non Timber Forest Product Section (Kepala Seksi Produksi Bukan Kayu)

4 4 4 3 3 3 2 2 2 4

Chief of Marketing (Kepala Seksi Pemasaran)

4 4 3 3 3 2 2 2 4

Head of BKPH (Kepala BPKH) 4 3 3 3 2 2 2 4Head of RPH (Kepala RPH) 3 3 3 2 2 2 4Forest Ranger (Polisi Hutan) 4 3 1 1 1 1Tapping Foreman (Mandor Sadap) 4 1 1 1 1Tappers (Penyadap) 1 2 1 1Academicians (Akademisi) 3 2 4Researchers (Peneliti) 2 4Forestry Service Officials (Dinas Kehutanan)

4

Ministry of Env. and Forestry (KLHK)

Source (sumber): primary data/processed, 2018 (data primer/diolah, 2018).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10

9

Nurrochmat, & Yustika (2015) state that strategy to optimize the potential conflicting stakeholder arrangements could be implemented through enhancing coalition, collaboration and stakeholder coordination.

In composing and implementing technical policies in pine forest management, Perhutani should continuously interact and synergize with Ministry of Environment and Forestry. Further, Perhutani should conduct an extended technical coordination with forestry service officials.

IV. CONCLUSION AND RECOMMENDATION

A. ConclusionPerhutani officials are mostly plotted in

Quadrant IV (Independent) because they posses legal authority in decision-making process. Perhutani involves in stimulants adoption policy. Pine tappers are directly affected to stimulants adoption policies and have enormous importance in the pine forests management. All parties who did not have direct interest in stimulants adoption policies but have concern are academicians, researchers, forest rangers, forestry service officials, and Ministry of Environment and Forestry officials. They play their important roles as intermediaries or facilitators who would influence decision making process.

Stimulants adoption policy is a top down policy. The position of Perhutani officials correspond with their influence and authority in decision making process.

Stakeholders relations which are in accordance to five categories are continuos interaction and continuous synergy with the absence of academicians and researchers. Thus, it is expected that conflicts would not be existed. To avoid conflicts in forest management area, coordination between Perhutani and forest service officials is indispensable.

B. RecommendationPerhutani should be listening to the

aspirations of stakeholders involved in stimulant adoption, because it is very useful for the policy-making process. For this reason, communication between Perhutani and other stakeholders must be established through the establishment of communication forums.

Perhutani as a decision maker in stimulant adoption policy should not only limits himself in formulating the policy but should also perform in monitoring and evaluating the implementation.

REFERENCES

Darmaji, P. (2009). Teknologi asap cair dan aplikasinya pada pangan dan hasil pertanian (Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam bidang teknologi pangan dan hasil pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Dubois, O. (1998). Capacity to manage role changes in forestry. London: International Institute for Environment Development.

Febriyano, I. G. (2014). Politik ekologi pengelolaan mangrove di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung (Disertasi Pascasarjana). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ferreti, V. (2016). From stakeholders analysis to cognitive mapping and multi-attribute value theory: an integrated approach for policy support. European Journal of Operational Research, 253(2), 524–541.

Frow, P., & Payne, A. (2011). A stakeholder perspective of the value proposition concept. European Journal of Marketing, 45(1/2), 223–240.

Harrison, J. S., Bosse, D. A., & Phillips, R. A. (2009). Managing for stakeholders, stakeholder utility functions, and competitive advantage. Strategic Management Journal, 31(1), 8–74.

Herawati, T., Widjayanto, N., Saharuddin, & Eriyatno. (2010). Analisis respon pemangku kepentingan di daerah terhadap kebijakan hutan tanaman rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(1), 13–25.

Ichsan, A. C., Soekmadi, R., Adiwibowo, S., & Kusmana, C. (2017). Peran pemangku kepentingan dalam pelaksanaan model desa konservasi di Taman Nasional Gunung Rinjani. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 47–59.

Decisions Making Process in Organic Stimulant Innovation ........(Wa Ode Muliastuty Arsyad, Esti Rini Satiti &Sukadaryati)

10

Li, T., S., T., & Skitmore, M. (2012). Conflict or consensus : an investigation of stakeholder concerns during the participation process of major infrastructure and construction projects in Hong Kong. Habitat International, 36(2), 333–342.

Maguire, B., Potss, J., & Fletcher, S. (2012). The role of stakeholders in the marine planning process-stakeholder analysis within the solent, United Kingdom. Marine Policy, 36(1), 246–257.

Marimin, M. (2009). Teori dan aplikasi sistem pakar dalam teknologi manajerial. Bogor: IPB Press.

Nurfitriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D. R., & Yustika, A. E. (2015). Analisis pemangku kepentingan dalam transformasi kebijakan fiskal hijau(stakeholder analysis in green fiscal policy transformation). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(2), 105–124.

Pari, G., & Nurhayati, T. (2009). Cuka kayu dari tusam dan limbah campuran industri penggergajian kayu untuk kesehatan tanaman dan obat. Bogor.

Rangkuti, P.A. (2009). Strategi komunikasi membangun kemandirian pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 39–45.

Reed, M. S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubacek, K., Morris, J., Stringer, L. C. (2009). Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 90(5), 1933–1949.

Rodrigues, K. C. S., Apel, M. A., Henrique, A. T., & Neto, F. A. G. (2011). Efficient oleoresin biomass production in pines using low cost metal containing stimulant paste. Journal Crops and Product, 35(10), 4442–4448.

Rodrigues, K. C. S., Azevedo, P. C. N., Sobreiro, L. E., Pelissari, P., & Fett-Neto, A. G. (2008). Oleoresin yield of Pinus elliottii plantations in subtropical cLimate: effect of tree diameter, wound shape and concentration of active adjuvants in resin stimulating paste. Journal Crops and Product, 27(3), 322–327.

Sainoi, T., & Sdoodee, S. (2012) The impact of ethylene gas aplication on young tapping rubber trees. Journal of Agriculture Technology,8(4), 1497–1507.

Saxena, J. P., Sushil, & Vrat, P. (1992). Hierarchy and classification of program plan elements using interpretive structural modeling : a case study of energy conservation in the Indian Cement Industry. Systems Practice, 5(6), 651–652.

Sharma, K. R., & Lekha, C. (2013). Tapping of Pinus roxburghii (chir pine) for oleoresin in Himachal Pradesh, India, 2(3), 51–55.

Sundawati, L., & Sanudin, S. (2009). Analisis Pemangku Kepentingan dalam Upaya Pemulihan Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 15(3), 102–110.

Wijaya, M. (2010). Pirolisis limbah kayu dan bambu yang ramah lingkungan untuk menghasilkan asam asetat. Institut Pertanian Bogor.

Verhagen, K. (1996). Pengembangan keswadayaan : Pengalaman LSM di tiga negara. Cimanggis: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara (PUSPA SWARA).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 1-10

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Effectiveness of Mangrove Management Policies to Support Climate Change Mitigation

in East Kalimantan Province) Mimi Salminah & Iis Alviya

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16118, Indonesia.

E-mail: [email protected], [email protected]

Diterima 21 September 2018, direvisi 27 Februari 2019, disetujui 2 April 2019

ABSTRACT

As a climate change mitigation action, East Kalimantan Province has targeted emission reduction from mangrove forest. Mangrove-related policies at national and local levels have been issued before and after the program execution. It is necessary to measure the effectiveness of the policies to identify potential challenges in its implementation, particularly from policy aspect. This analysis is required to support the Government in achieving the emission reduction target, so it would obtain payment compensation from World Bank by 2024. Effectiveness of the policies is analysed using Grindle Theory combined with climate change mitigation principles in mangrove management. The results show that there is still ineffectivences in implementing climate change mitigation on mangrove management including requirements for technical regulations determining the content of the issued policies, provision of one mangrove and land use data, and of green fish pond management options. Moreover, coordination among related sectors, raising awareness programs, and facilitation for local coastal community to apply sustainable mangrove management play significant role in the effectiveness of the implementation. In theory, the effectiveness of policy implementation is affected by clarity of policy content, both in conceptual and practical terms, through coordination and communication within related actors, both authorities and affected actors.

Keywords: Mangrove management policy; climate change mitigation; policy effectiveness; land use.

ABSTRAK

Sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur menargetkan penurunan emisi dari hutan mangrove. Kebijakan terkait pengelolaan mangrove, baik di tingkat nasional maupun Provinsi Kaltim telah banyak dikeluarkan sebelum dan sesudah program perubahan iklim dideklarasikan. Diperlukan kajian untuk mengukur efektivitas kebijakan tersebut sehingga dapat diketahui potensi kendala upaya mitigasi perubahan iklim dilihat dari aspek kebijakannya. Kajian ini diperlukan agar pemerintah Provinsi Kaltim dapat mencapai target penurunan emisi dan mendapat kompensasi pembayaran dari World Bank pada tahun 2024. Efektivitas kebijakan dianalisis menggunakan pendekatan teori Grindle yang dikombinasikan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove. Hasil analisis menunjukkan masih terdapat ketidakefektifan dalam pelaksanaan mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan mangrove, di antaranya adalah belum adanya peraturan teknis sebagai peraturan lanjutan yang menjelaskan isi kebijakan nasional yang telah dikeluarkan, penyediaan satu data mangrove dan tata guna lahan, serta penyediaan opsi pengelolaan mangrove ramah lingkungan. Selain itu, diperlukan koordinasi antar sektor terkait, sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat pesisir dalam pemanfaatan mangrove secara berkelanjutan khususnya untuk tambak. Secara konseptual, kajian ini menunjukkan bahwa keberhasilan suatu kebijakan juga dipengaruhi oleh kejelasan isi kebijakan, baik yang bersifat konsep maupun praktis, serta proses koordinasi dan komunikasi antar pihak, baik yang berwenang maupun yang terkena dampak kebijakan.

Kata kunci: Kebijakan pengelolaan mangrove; mitigasi perubahan iklim; efektivitas kebijakan; tata guna lahan.

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.11-29 11

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

12

I. PENDAHULUANMeskipun luas hutan mangrove hanya

sekitar 3,7% luas tutupan hutan di Indonesia tetapi mangrove memiliki peran penting dalam upaya pengendalian perubahan iklim (PI). Luas hutan mangrove dunia hanya sekitar 1% dari luas hutan tropis tetapi kontribusi penyerapan karbonnya tiga kali lebih tinggi daripada hutan tropis (Bhomia, Kauffman, & McFadden, 2016). Kandungan karbon hutan mangrove wilayah Indo-Pacific mencapai 1.023 MgC ha−1 (Donato, Kauffman, & Murdiyarso, 2011), sedangkan hutan mangrove Indonesia sendiri memiliki cadangan karbon sekitar 1.083±378 MgC ha−1 atau 3,14 PgC (Murdiyarso et al., 2015).

Selain itu, mangrove juga memiliki beragam manfaat ekonomi di antaranya berperan sebagai sumber produksi kayu dan perikanan, penyedia berbagai jasa lingkungan, serta memiliki potensi ekoturisme (Karlina, Kusmana, Marimin, & Bismark, 2016; Kuenzer, Bluemel, Gebhardt, Quoc, & Dech, 2011; Masood, Afsar, Zamir, & Kazmi, 2015). Sebagai contoh, penelitian (Prasetiyo, Zulfikar, Shinta, & Zulkarnain, 2016) menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove Pulau Untung Jawa mencapai sekitar Rp 7,9 miliar per tahun yang terdiri dari nilai guna langsung dan tidak langsung.

Ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove di Indonesia semakin tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Data Kementerian Kehutanan tahun 2000 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki luas hutan mangrove sekitar 7,7 juta ha. Dari luasan tersebut hanya 30,7% dalam kondisi baik. Pada tahun 2009, menurut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan (Bakosurtanal yang sekarang telah berubah menjadi Badan Informasi Geospasial), hutan mangrove yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 3,2 juta ha atau terjadi penurunan sekitar 4,5 juta ha dalam waktu 9 tahun (Eddy, Ridho, Iskandar, & Mulyana, 2016). Data terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017 menunjukkan bahwa luas hutan

mangrove adalah 3,5 juta ha yang terdiri dari 2,2 juta ha dalam kawasan dan 1,3 juta ha di luar kawasan (KLHK, 2017). Beberapa faktor penyebab rusaknya hutan mangrove di Indonesia adalah konversi hutan bakau menjadi tambak, perkebunan kelapa sawit, pertanian, tambak garam, pemukiman, industri, logging, penambangan, dan bencana alam. Dari berbagai faktor tersebut, penyebab utama kerusakan mangrove adalah konversi mangrove untuk tambak ikan dan udang yang berkembang pesat pada periode tahun 1997-2005 dan menghasilkan pembangunan tambak aktif seluas 0,65 miliar ha (Kauffman et al., 2017; Murdiyarso et al., 2015). Temuan tersebut memperkuat penelitian (Giri et al., 2008) yang menyimpulkan bahwa sekitar 40% luasan mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan selama 3 dekade akibat konversi untuk pengembangan budidaya perairan. Kerusakan tersebut setara dengan tingkat emisi sebesar 0,07-0,21 Pg CO2e per tahun (Murdiyarso et al., 2015).

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berperan penting dalam upaya konservasi mangrove di Indonesia. Sebelum era otonomi, Provinsi Kaltim merupakan provinsi kedua setelah Irian Jaya yang memiliki total luas mangrove terluas di Indonesia. Meskipun demikian, berdasarkan rasio luas ekosistem mangrove terhadap luas wilayah, Provinsi Kaltim memiliki rasio tertinggi yaitu sekitar 3,8%. Sementara itu, data deforestasi Provinsi Kaltim dan Kalimantan Utara tahun 2017 menunjukkan deforestasi hutan mangrove primer seluas 5.142 ha, terbesar dibandingkan provinsi lainnya.

Selain itu, Provinsi Kaltim merupakan satu-satunya provinsi percontohan program Reduced Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) sebagai upaya mitigasi perubahan iklim sejak tahun 2016. Program tersebut dibiayai oleh Forest Carbon Partnership Facility - Carbon Fund (FCPF-CF) World Bank. World Bank akan memberikan insentif positif apabila Provinsi Kaltim berhasil menurunkan emisinya pada

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

13

periode tahun 2020- 2024, di mana penurunan emisi dari pengelolaan mangrove menjadi salah satu targetnya.

Sampai saat ini, terdapat berbagai kebijakan terkait pengelolaan mangrove, baik berupa peraturan maupun program di tingkat nasional maupun provinsi. Meskipun demikian, penelitian kebijakan pengelolaan mangrove khususnya dalam konteks mitigasi perubahan iklim masih sedikit dibandingkan dengan aspek biofisiknya (Mwangi et al., 2017). Beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti Friess et al. (2016), Lugina, Alviya, Indartik, & Pribadi (2017), dan Mwangi et al. (2017) mengidentifikasi beberapa isu dalam kebijakan terkait pengelolaan mangrove, di antaranya adalah adanya konflik dan ketidakjelasan tujuan kebijakan, kurangnya koordinasi antar pihak yang berwenang, serta sulitnya pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan. Selain itu, terdapat tumpang tindih kepentingan yang menciptakan ambiguitas kepemilikan hutan mangrove, menyulitkan pengelolaan serta mengarah pada konflik (Eddy et al., 2016; Walters et al., 2008). Oleh karena itu, untuk mengukur keberhasilan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengelolaan mangrove berkelanjutan, diperlukan analisis lebih lanjut terhadap kebijakan pengelolaan mangrove yang ada, apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan efektif untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, baik di tingkat nasional maupun provinsi, yang dalam hal ini mengambil kasus di Provinsi Kaltim. Hasil kajian dapat memberikan gambaran bottleneck upaya mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan mangrove dilihat dari aspek kebijakan serta memberikan rekomendasi solusinya. Secara khusus, kajian ini diperlukan untuk membantu pemerintah Provinsi Kaltim mencapai target penurunan emisi sehingga mendapat insentif positif dari World Bank yang akan diberikan

pada tahun 2023 (tahap pertama) dan tahun 2025 (tahap kedua).

II. METODE PENELITIAN

A. Kerangka PikirKebijakan merupakan suatu alat yang

digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, KLHK sebagai national focal point program mitigasi perubahan iklim telah menetapkan empat strategi utama di sektor kehutanan yaitu pencegahan deforestasi 0,325 juta ha per tahun, rehabilitasi 12 juta ha lahan kritis, restorasi 2 juta ha gambut serta penerapan sustainable forest management. Untuk mendukung strategi mitigasi perubahan iklim tersebut, kebijakan pengelolaan mangrove, baik di tingkat pusat maupun daerah harus berorientasi pada pencegahan deforestasi mangrove akibat konversi menjadi penggunaan lain khususnya tambak yang merupakan penyebab utama kerusakan mangrove. Hal ini sejalan dengan temuan Murdiyarso et al. (2015) yang mengemukakan bahwa pencegahan deforestasi mangrove di Indonesia mampu mengurangi emisi sekitar 10-30% per tahun dari sektor kehutanan. Selain itu, upaya mitigasi juga dilakukan melalui rehabilitasi ekosistem mangrove yang sudah rusak seperti bekas tambak yang sudah tidak aktif lagi.

Terdapat dua sektor kunci dalam pengelolaan ekosistem mangrove, yaitu sektor kehutanan serta sektor perikanan dan kelautan. Sektor kehutanan memiliki kewenangan mengelola mangrove yang masuk ke dalam kawasan hutan, sedangkan mangrove di luar kawasan hutan berada di bawah kewenangan sektor perikanan dan kelautan. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan mangrove yang ada pada umumnya dipengaruhi oleh kepentingan dan kewenangan kedua sektor tersebut. Sementara itu, pihak yang paling terkena dampak dari kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

14

perubahan iklim adalah para petani tambak. Efektivitas berbagai kebijakan terkait

pengelolaan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dianalisis menggunakan pendekatan teori implementasi kebijakan Grindle (1980), serta diselaraskan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove, yaitu pencegahan konversi mangrove menjadi tambak serta rehabilitasi mangrove. Langkah pertama pengukuran efektivitas kebijakan adalah menganalisis apakah isi kebijakan tersebut sesuai dengan konteks mitigasi perubahan iklim. Apabila kebijakan tersebut sesuai konteks mitigasi perubahan iklim, kemudian efektivitas kebijakan untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dianalisis lebih lanjut menggunakan pendekatan teori Grindle. Teori Grindle menyatakan bahwa efektivitas pelaksanaan kebijakan sangat bergantung pada isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (contex of implementation). Kebijakan yang efektif harus memperhatikan beberapa variabel di antaranya yaitu:

1) Kepentingan para pihak terkaitPihak yang paling relevan dengan

pengelolaan mangrove adalah sektor kehutanan yang mengedepankan aspek kelestarian ekologi, sektor perikanan yang memiliki kepentingan peningkatan produktivitas perikanan, serta masyarakat yang berorientasi pada peningkatan pendapatan. 2) Manfaat yang akan didapatkan

Terdapat dua kategori manfaat utama yaitu ekonomi dan ekologi. Kepentingan para pihak dan manfaat ekologi, ekonomi diukur melalui kontribusi kegiatan pengelolaan mangrove terhadap pendapatan daerah dan masyarakat, serta penerapan aspek kelestarian dalam pengelolaan mangrove.3) Skala perubahan/target yang ingin dicapai

dari kebijakanVariabel perubahan yang diukur adalah

perubahan budaya pengelolaan mangrove

oleh masyarakat atau perubahan ekosistem mangrove secara fisik. 4) Kejelasan pelaksana kebijakan

Kebijakan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau masyarakat. 5) Tingkat kepatuhan dan respon para pihak

yang terlibatTingkat kepatuhan diukur dengan menilai

perubahan perilaku stakeholder mengikuti apa yang diharapkan dari suatu kebijakan.

B. Pengumpulan DataReview berbagai literatur, dokumen

peraturan dan kebijakan lain terkait pengelolaan mangrove di level nasional dan Provinsi Kaltim dilakukan untuk mengkaji orientasi kebijakan serta variabel efektivitas kebijakan dalam teori Grindle. Selain itu, data dan informasi tentang kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat nasional dan provinsi serta kondisi pengelolaan mangrove di tingkat tapak dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para pihak/instansi yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Wawancara juga ditujukan untuk mengkonfirmasi kepentingan antar sektor terhadap pengelolaan mangrove, proses interaksi dan koordinasi yang dilakukan antar sektor dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan mangrove, serta untuk mengkonfirmasi temuan dari review dokumen. Perkembangan kondisi pengelolaan mangrove di tingkat tapak dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan referensi berbagai literatur hasil penelitian di lokasi kajian.

Wawancara difokuskan pada sektor kehutanan serta sektor kelautan dan perikanan, yang merupakan dua sektor kunci dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Pihak yang diwawancara adalah KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Bappeda Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

15

dan Perikanan Kabupaten Kutai Kertanegara, serta Non Government Organisations (NGO) nasional dan lokal yang terkait pengelolaan mangrove.

C. Analisis DataKombinasi analisis konten dan analisis

deskriptif kualitatif digunakan untuk dapat menyimpulkan apakah isi dan konteks implementasi kebijakan terkait pengelolaan mangrove sudah sesuai dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove serta memperhatikan variabel efektivitas kebijakan dalam teori Grindle. Analisis konten adalah suatu metode untuk menganalisis data kualitatif yang fokus pada subjek dan konteks dalam menekankan variasi, seperti kesamaan dan perbedaan antara bagian-bagian dalam teks. Analisis ini dapat digunakan pada berbagai tingkat abstraksi dan interpretasi (Graneheim, Lindgren, & Lundman, 2017). Dasar epistemologis dari analisis ini adalah bahwa data dan interpretasi adalah kreasi orang yang diwawancarai dan pewawancara, dan interpretasi selama fase analisis adalah kreasi para peneliti dan teks (Sandelowski, 2011). Dengan demikian teks diartikan menyiratkan lebih dari satu makna tunggal.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Nasional Terkait Pengelolaan Mangrove

Kebijakan nasional pengelolaan mangrove merujuk pada Undang-Undang (UU) No. 27/2007 yang telah diubah menjadi UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut membolehkan penebangan mangrove pada kawasan yang telah dialokasikan untuk budidaya perikanan sepanjang memenuhi kaidah-kaidah konservasi. Meskipun membolehkan penebangan mangrove, tetapi UU tersebut melarang konversi ekosistem mangrove di zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan

fungsi ekologis pesisir. Kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 73/2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tingkat Nasional. Dalam Perpres No. 73/2015 ini diatur tata cara pelaksanaan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tingkat nasional yang bertujuan agar pelaksanaan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional menjadi harmoni, sinergi, terpadu, dan berkelanjutan.

Kebijakan nasional mangrove juga mengacu pada Perpres No. 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Perpres tersebut mengatur arah kebijakan, asas, visi, misi, dan sasaran pengelolaan ekosistem mangrove. Salah satu misinya adalah melakukan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove pada kawasan lindung dan budidaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatkan nilai manfaat sumberdaya mangrove dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang bijak.

Selain itu, kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove memiliki keterkaitan dengan berbagai regulasi lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 2017, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengeluarkan peraturan tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional sebagai tindak lanjut Perpres No. 73/2012. Peraturan tersebut menargetkan pemulihan mangrove 3,49 juta ha pada tahun 2045 serta mengamanahkan KLHK, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta KKP untuk menyusun kriteria ekosistem mangrove sebagai kawasan lindung/konservasi atau kawasan budidaya/ pemanfaatan, serta untuk menyusun norma, prosedur, standar, dan kriteria (NPSK) mekanisme konversi mangrove. Kesesuaian kebijakan nasional pengelolaan dengan konteks mitigasi perubahan iklim tersaji dalam Tabel 1.

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

16

Sistem pengelolaan mangrove dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pesisir dan perikanan karena mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir dan menjadi sumber produksi perikanan. Kebijakan lain yang memengaruhi adalah kebijakan tata ruang yang

menjadi pedoman utama, apakah mangrove menjadi kawasan pemanfaatan (budidaya) atau kawasan konservasi. Kejelasan penetapan kawasan tersebut memengaruhi sistem pengelolaan mangrove yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kebijakan terkait

Tabel 1 Kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat nasionalTable 1 Mangrove management policies at national level

Kebijakan/program(Policies/programs)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)1. UU No. 27 tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diubah melalui UU No. 1 tahun 2014

a.Melarang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove dalam pemanfaatan wilayah pesisir

b.Melarang konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir

-

2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Penetapan kawasan pantai berhutan bakau (Rhizophora sp.) sebagai kawasan lindung nasional

-

3. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

- Mendukung reboisasi hutan bakau untuk meningkatkan sumberdaya perikanan

4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Pelarangan pemanfaatan kayu bakau dan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah, mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem bakau dalam sistem zonasi mangrove

-

5. Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

- Melakukan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove pada kawasan lindung dan kawasan budidaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat

6. Perpres No.73 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tingkat Nasional

Koordinasi satu pintu pengelolaan wilayah pesisir di bawah KKP

-

7. Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No. 4 tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional

KLHK, KKP, Kemendagri harus menetapkan NPSK konversi mangrove

Target pemulihan mangrove 3,49 juta ha pada tahun 2045

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

17

kehutanan tidak mengatur secara spesifik hutan mangrove. Dalam kebijakan kehutanan, pengelolaan hutan mangrove mengikuti status fungsi hutan mengrove itu sendiri. Misalnya, hutan mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi maka kebijakan yang berlaku adalah kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang mengatur teknik penebangan yang lestari. Sementara itu penebangan tidak diperbolehkan di hutan mangrove yang termasuk fungsi lindung dan konservasi.

Tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh kebijakan nasional terkait pengelolaan

mangrove sudah selaras dengan prinsip mitigasi perubahan iklim, baik pencegahan konversi maupun mendukung upaya rehabilitasi mangrove. Meskipun demikian, keselarasan kebijakan pengelolaan mangrove dengan konteks mitigasi perubahan iklim belum menjamin efektivitas pelaksanaannya di tingkat tapak. Efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut dianalisis menggunakan teori Grindle sebagaimana tersaji dalam Tabel 2.

Analisis efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat nasional yang mengacu

Tabel 2. Efektivitas kebijakan nasional pengelolaan mangrove berdasarkan teori GrindleTable 2. Effectiveness of Mangrove management policies at national level referring to Grindle Theory

Kebijakan/program(Policies/programs)

Efektivitas kebijakan menurut Teori Grindle(Effectiveness of the policy referring to Grindle Theory)

Kepentingan para pihak

(Stakeholder interests)

Kejelasan manfaat

(Clarity of benefits)

Kejelasan skala/target perubahan(Clarity of scale/target

of the changes)

Kejelasan pelaksana kebijakan(Clarity of policy

implementor)

Tingkat kepatuhan/res-pon para pihak(Compliance

level/response of stakeholders)

1. UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, diubah melalui UU No. 1 tahun 2014

V V - V -

2. UU No. 26 ahun 2007 tentang Penataan Ruang

V V - V -

3. UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan

V V - - -

4. PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

V V V V -

5. Perpres No. 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

V V V V -

6. Perpres No.73 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tingkat Nasional

V V V V -

7. Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No. 4 tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional

V V - V -

Keterangan (Remarks): V: Memenuhi persyaratan (Comply with the theory); -: Tidak memenuhi persyaratan (Not comply).

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

18

pada teori Grindle menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh kebijakan telah mengakomodir kepentingan para pihak, baik untuk tujuan perlindungan mangrove, peningkatan produksi perikanan, maupun kepentingan pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan prinsip mitigasi perubahan iklim di mana kepentingan sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu bagian penting. Sidik, Supriyanto, Krisnawati, & Muttaqin (2018) dan Primavera & Esteban (2008) mengemukakan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim di sektor pengelolaan mangrove yang hanya mengedepankan konservasi berisiko menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Maknanya, membuka akses masyarakat terhadap pemanfaatan mangrove menjadi penting dalam kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung mitigasi perubahan iklim.

Namun demikian, kejelasan manfaat bagi para pihak terkait tidak selalu diikuti oleh kejelasan skala perubahan yang ditargetkan dari kebijakan-kebijakan tersebut. Ketidakjelasan kaidah konservasi dalam pemanfaatan mangrove mengakibatkan target konservasi mangrove sulit tercapai. Sampai saat ini, teknologi konservasi dalam pemanfaatan mangrove belum banyak dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap sistem silvofishery, salah satu teknik pengelolaan tambak ramah lingkungan, masih rendah. Hal ini disebabkan selain kurangnya sosialisasi, silvofishery membutuhkan tambahan biaya investasi awal serta proses klasterisasi tambak (Bosma, Nguyen, Siahainenia, Tran, & Tran, 2014).

Ketidakjelasan target kebijakan juga dipicu oleh belum selesainya penyusunan satu peta mangrove serta masih diperlukannya peraturan teknis sebagai penjelasan dari regulasi yang telah dikeluarkan. Kebijakan di tingkat nasional yang merekonsiliasi kepentingan konservasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat melalui “syarat kaidah konservasi” perlu ditindaklanjuti

dengan peraturan yang lebih teknis. Sebagai contoh, pentingnya kriteria kawasan lindung dan budidaya ekosistem mangrove, kebijakan satu peta mangrove serta prosedur konversi mangrove perlu ditetapkan dalam peraturan teknis, misalnya peraturan menteri. Sampai saat ini peraturan-peraturan teknis sebagai tindak lanjut dari kebijakan nasional yang telah digariskan belum tersedia sehingga risiko kerusakan mangrove masih tinggi. Selain itu, tim koordinasi pengelolaan mangrove yang seharusnya diketuai oleh Menteri LHK dan beranggotakan lintas sektor sesuai dengan amanat Perpres No. 73 tahun 2012 belum terbentuk. Dikeluarkannya Perpres No. 73 tahun 2015 menimbulkan ketumpang-tindihan kewenangan antara KLHK dan KKP terkait koordinasi pengelolaan mangrove yang masuk ke dalam wilayah pesisir.

Isu penting lain dalam kebijakan pengelolaan mangrove terkait teori Grindle adalah ketidakjelasan pelaksana kebijakan kegiatan reboisasi sebagaimana tertera dalam UU No. 31/2004. Selain itu, tingginya kepentingan ekonomi masyarakat terhadap mangrove sering menyebabkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan konservasi yang ditetapkan dalam kebijakan pengelolaan mangrove menjadi rendah. Hal tersebut diperparah dengan ketidakjelasan penetapan zona perlindungan dan pemanfaatan. Wibowo, Boesono, & Aditomo (2012) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir kurang memahami arti sistem zonasi di mana masyarakat masih berkeinginan untuk memanfaatkan zona lindung untuk usaha perikanan.

Kebijakan penetapan mangrove jenis bakau sebagai kawasan lindung, sementera jenis bukan bakau dapat berfungsi sebagai areal budidaya sejalan dengan konsep buffer zone. Buffer zone dikembangkan di sekeliling area yang akan dilindungi untuk mengurangi tekanan masyarakat sekitar terhadap area yang dilindungi tersebut (Mehring & Stoll-Kleemann, 2011). Dengan demikian, penetapan bakau sebagai zona lindung diharapkan dapat

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

19

menjadi pelindung bagi zona dalam menuju lautan, sedangkan zona yang dekat daratan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menerapkan kaidah kelestarian. Hanya saja, kebijakan ini perlu didukung oleh kejelasan peta zonasi mangrove sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Ketidakjelasan kawasan lindung atau budidaya di tingkat tapak sering menyebabkan terjadinya saling klaim pengelolaan mangrove khususnya antara KLHK, KKP dan masyarakat setempat.

Uraian di atas menggambarkan bahwa pada dasarnya kebijakan nasional pengelolaan mangrove yang ada telah sesuai tujuan mitigasi perubahan iklim. Hanya saja, kebijakan nasional pengelolaan mangrove untuk mitigasi perubahan iklim menjadi kurang efektif akibat adanya ketidakjelasan kaidah dan opsi konservasi sebagaimana tertera dalam narasi kebijakan, adanya tumpang tindih kebijakan, serta belum adanya peraturan teknis sebagai tindak lanjut dari kebijakan yang telah ditetapkan untuk panduan pelaksanaan di tingkat tapak.

Analisis lanjutan berdasarkan teori Grindle juga menunjukkan bahwa pada dasarnya konten seluruh kebijakan terkait pengelolaan mangrove sudah efektif, hanya UU No. 31/2004 saja yang tidak menjelaskan secara tegas pelaksana kegiatan reboisasi hutan bakau sebagai upaya meningkatkan sumberdaya perikanan. Dari sisi konteks implementasi, ketidakefektivan kebijakan terjadi karena beberapa hal, di antaranya tingkat kepatuhan masyarakat pesisir yang masih rendah serta kurangnya sosialisasi terkait hal tersebut kepada petani tambak yang merupakan pihak paling terkena dampak kebijakan. Hal ini menyebabkan perubahan yang diharapkan sulit dicapai.

B. Kebijakan Pengelolaan Mangrove Antar Sektor TerkaitAdanya Perpres No. 73/2012 dan

Perpres No. 73/2015 menegaskan perlunya sinkronisasi kebijakan yang dikeluarkan oleh

KKP dan KHLK sebagai dua institusi yang berwenang dalam koordinasi pengelolaan mangrove. Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Perekonomian No. 4/2017 kemudian menegaskan kembali perlunya koordinasi antar sektor yang terkait dengan pengelolaan mangrove khususnya KLHK, KKP, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN). Kementerian ATR/BPN berperan dalam penentuan kawasan lindung dan budidaya, sedangkan KLHK dan KKP memegang peran penting dalam pengelolaan mangrove di tingkat tapak, khususnya terkait pengelolaan kawasan hutan dan pemberdayaan masyarakat. Orientasi kebijakan pengelolaan mangrove di kedua sektor tersebut akan memengaruhi kelestarian hutan mangrove di Indonesia.

Masalahnya adalah ketidakjelasan batas mangrove yang merupakan kawasan hutan dan di luar kawasan hutan menjadikan area kewenangan kedua kementerian tersebut juga menjadi tidak jelas. Salah satu pemicu ketidakjelasan kewenangan pengelolaan mangrove adalah belum selesainya penyusunan satu peta mangrove yang dijadikan referensi bersama. Selain itu, perbedaan orientasi pengelolaan mangrove kedua sektor tersebut sering menyebabkan tujuan kelestraian mangrove sulit terwujud. Pengelolaan mangrove yang melibatkan berbagai sektor khususnya perikanan, kehutanan, lingkungan, dan daerah tertinggal menyebabkan berbagai kebijakan yang ada sulit untuk dilaksanakan di tingkat tapak (Bosma, Sidik, van-Zwieten, Aditya, & Visser, 2012).

Untuk mendukung mitigasi perubahan iklim di sektor pengelolaan mangrove, KLHK memprioritaskan program dan alokasi anggaran setiap tahun untuk kegiatan rehabilitasi mangrove. Anggaran kegiatan rehabilitasi mangrove juga bersumber dari dana rehabilitasi yang dibebankan kepada pemegang izin pinjam pakai kawasan melalui Permen LHK No. 50/2016. Untuk periode tahun 2015-2019, KLHK menganggarkan

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

20

Rp21.250.000.000 untuk rehabilitasi pantai dan mangrove.

Upaya rehabilitasi mangrove di kawasan hutan memberikan dampak positif terhadap upaya penurunan deforestasi di kawasan hutan mangrove. Data statistik LHK tahun 2015 menunjukkan penurunan angka deforestasi hutan mangrove di Provinsi Kaltim pada tahun 2013-2014. Kebijakan lain sektor kehutanan yang mendukung mitigasi perubahan iklim adalah diberlakukannya moratorium izin konversi hutan primer termasuk hutan mangrove primer sejak tahun 2011. Selain itu, KLHK juga sedang menyusun satu peta mangrove, di mana Jawa sudah mulai disusun pada tahun 2013, Sumatera pada tahun 2014, Sulawesi pada tahun 2015, serta Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2016. Peta satu mangrove untuk seluruh wilayah diharapkan selesai pada tahun 2019.

Di sisi lain, kebijakan pengalokasian tanah objek reforma agraria (TORA) seluas 4,1 juta ha yang diharapkan mampu menyelesaikan

konflik tenure dengan masyarakat terkait pengelolaan hutan, berisiko mengancam kelestarian hutan mangrove. Beberapa objek TORA berada di hutan mangrove dan berisiko berubah fungsi menjadi lahan budidaya perikanan dan pertanian. Kebijakan dan program pengelolaan mangrove di sektor kehutanan diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan mangrove di sektor kehutanan sudah mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, kecuali program TORA yang menjadi prioritas pemerintahan 2014-2019. Berdasarkan Keputusan Menteri LHK No. SK.180/2017 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Objek Reforma Agraria seluas kurang lebih 379.227 ha hutan yang sudah berupa tambak dan sawah rakyat akan dilepas menjadi hak masyarakat tanpa ada ketentuan agar masyarakat mengembangkan pola agroforestri. Untuk menjaga fungsi ekosistem hutan khususnya mangrove, Pemerintah

Tabel 3 Kebijakan pengelolaan mangrove sektor kehutanan Table 3 Mangrove management policies at forestry sector

Kebijakan/program(Policies/programs)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)1. Instruksi Presiden

No. 10/2011 tentang Penundaan Penerbitan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

a. Tidak ada izin baru untuk konversi hutan mangrove primer

b. Konversi hutan hanya dibolehkan untuk kepentingan yang bersifat strategis

-

2. Konservasi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) mangrove

Penetapan mangrove di luar kawasan hutan sebagai KEE

-

3. Program Rehabilitasi dan Reboisasi Mangrove KLHK

- Rehabilitasi hutan mangrove/pantai/rawa/ gambut seluas 31.675 ha pada periode 2010-2014

4. Permen LHK No. 50/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

- Penggunaan dana rehabilitasi yang bersumber dari pemegang izin pinjam pakai kawasan untuk rehabilitasi mangrove

5. Program TORA Tidak selaras Tidak selaras

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

21

perlu memberikan panduan pemanfaatan lahan mangrove objek TORA melalui pengembangan silvofishery.

Program rehabilitasi lahan dan hutan mangrove memiliki kejelasan pelaksana, target yang ingin dicapai serta sumberdaya yang dialokasikan. Tantangan utama efektivitas kebijakan di sektor kehutanan merujuk teori Grindle adalah menyediakan opsi pengelolaan mangrove yang ramah lingkungan serta sistem insentif khususnya untuk menggantikan nilai ekonomi KEE, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, serta perlunya pendampingan masyarakat untuk mempraktikkan opsi tersebut. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang ada. Penyediaan opsi lokasi lain selain hutan mangrove untuk objek TORA oleh Pemda juga dapat menjadi salah satu solusi untuk mencegah konversi hutan mangrove.

Sementara itu, kepentingan ekonomi di sektor perikanan khususnya target produksi perikanan budidaya tambak merupakan salah satu hal yang berpotensi menghambat pelaksanaan upaya mitigasi perubahan iklim. KKP telah menargetkan perluasan 60.000 ha tambak udang selama periode 2015-2019 yang terdiri dari 10.000 ha tambak intensif, 20.000 ha tambak semi-intensif, dan 30.000 ha tambak tradisional. Ekspor perikanan tahun 2014 pun didominasi oleh ekspor komoditas udang yang dibudidayakan di tambak masyarakat.

Dengan demikian, kepentingan ekonomi sektor perikanan menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem mangrove. Program dan kebijakan pengelolaan mangrove di sektor perikanan disajikan dalam Tabel 4.

Program perluasan tambak dan peningkatan target produksi di sektor perikanan merupakan salah satu penyebab tingkat deforestasi mangrove di areal budaya lebih tinggi dibandingkan di kawasan hutan. Hal itu juga dapat menyebabkan tingkat perambahan mangrove menjadi tinggi akibat perpindahan tambak yang tidak aktif setelah 20 tahun. Data statistik KLHK tahun 2015 menunjukkan bahwa deforestasi mangrove di APL seluas 595.4 ha, sedangkan di kawasan hutan lebih kecil yaitu seluas 458.6 ha pada periode tahun 2013-3014. Sebagian besar deforestasi mangrove di kawasan hutan terjadi akibat perambahan oleh masyarakat untuk pengembangan tambak udang atau ikan (Murdiyarso et al., 2015).

C. Kebijakan Pengelolaan Mangrove di Provinsi Kaltim

Kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat nasional menjadi dasar bagi pengelolaan mangrove di tingkat provinsi. Meskipun demikian, berdasarkan UU tentang Pemda, pemda memiliki kewenangan untuk menentukan pemanfaatan mangrove. Sebelum menjadi provinsi percontohan REDD+, Pemda Kaltim telah mendeklarasikan

Tabel 4 Kebijakan pengelolaan mangrove sektor perikananTable 4 Mangrove management policies at fishery sector

Kebijakan/program(Policies/programs)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)1. Penghentian program rehabilitasi

dan reboisasi mangrove KKPTidak selaras Tidak selaras

2. Target perluasan tambak KKP 2015-2019

Tidak selaras Tidak selaras

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

22

komitmen Green Kaltim pada tahun 2010 yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim No. 22/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau. Pergub tersebut mengamanatkan pembangunan di setiap sektor harus mendukung prinsip pembangunan rendah emisi, atau dengan kata lain mendukung mitigasi perubahan iklim. Untuk mendukung pembangunan rendah emisi di sektor mangrove, Pemda Kaltim telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagaimana digambarkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 10 kebijakan yang diuraikan terkait pengelolan mangrove, beberapa di antaranya tidak mendukung aksi mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove. Kebijakan tersebut tidak secara jelas menetapkan perlindungan ekosistem mangrove sebagai program prioritas dalam upaya penurunan emisi di Provinsi Kaltim. Upaya rehabilitasi mangrove hanya dilakukan di lokasi-lokasi tertentu, tidak menyeluruh pada semua area yang memiliki ekosistem mangrove yang terdegradasi. Selain itu, Sungai Mahakam yang merupakan sentra mangrove di Kaltim dialokasikan untuk pengembangan sistem pengelolaan sumber daya air, termasuk tambak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan mangrove tidak menjadi

pertimbangan prioritas dalam isu perubahan iklim di Provinsi Katim meskipun telah mengusung Kaltim Hijau dalam target pembangunannya.

Berdasarkan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K) Provinsi Kaltim tahun 2014-2034, luas hutan mangrove di Kaltim adalah 360.819,26 ha yang tersebar di tujuh kabupaten/kota, yaitu Berau (22,35%), Kutai Timur (8,39%), Bontang (0,56%), Kutai Kartanegara (36%), Balikpapan (0,52%), Penajam Paser Utara (17,28%), dan Paser (15%). Sebagian besar ekosistem mangrove di Kutai Kartanegara tersebar di kawasan Delta Mahakam yang sebagian wilayahnya masuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta Mahakam. Namun demikian sekitar 75% ekosistem mangrove di Provinsi Kaltim dalam kondisi terdegradasi dengan skala kerusakan bervariasi (Dianawati, 2014). Program pengembangan tambak telah menghambat upaya perlindungan ekosistem mangrove. Hal ini diperparah ketika tata batas mangrove yang termasuk kawasan hutan dengan areal penggunaan lain belum jelas, sehingga penyediaan satu peta integratif yang menjadi pegangan bagi seluruh sektor merupakan hal penting.

Sebelum tahun 2010, Pemda Kaltim lebih

Tabel 5 Kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat Provinsi KaltimTable 5 Mangrove management policies at East Kalimantan Province

Kebijakan(Policies)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)1. Perda Provinsi Kaltim No.

07/2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil

Sistem zonasi untuk zona konservasi, zona pemanfaatan, zona tertentu, dan alur dapat menekan angka konversi mangrove

-

2. Perda Provinsi Kaltim No. 7/2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kaltim tahun 2013-2018

- Rehabilitasi mangrove yang tidak lagi menjadi program prioritas tahun 2018 tidak selaras dengan mitigasi perubahan iklim

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

23

Kebijakan(Policies)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)3. Perda Provinsi Kaltim No.

15/2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kaltim Tahun 2005-2025

Prioritas pengembangan jaringan tambak, sementara konservasi mangrove tidak menjadi prioritas tidak selaras dengan mitigasi perubahan iklim

-

4. Perda No. 1/2016 tentang RTRW Kaltim tahun 2016-2036

Penetapan konservasi mangrove hanya di Delta Mahakam, Teluk Balikpapan, Kepulauan Derawan, dan Kepulauan Balabalagan, sedangkan pengembangan tambak diizinkan di seluruh kabupaten pesisir kecuali Balikpapan bertentangan dengan mitigasi perubahan iklim

-

5. Pergub Kaltim No. 13/2016 tentang Rencana Strategi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Kaltim Tahun 2016-2036

Pengembangan daerah perlindungan laut untuk konservasi mangrove selaras dengan mitigasi perubahan iklim

-

6. Pergub No. 22/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau

a. Berkontribusi dalam rencana pembangunan nasional terkait penurunan emisi nasional sebesar 26% sampai dengan 2020

b. Mengurangi terjadinya pencemaran dan perusakan kualitas ekosistem darat, air, dan udara di Kaltim

Mendukung mitigasi perubahan iklim namun tidak secara jelas memasukkan konservasi mangrove dalam pelaksanaan Kaltim Hijau

7. Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP) untuk jangka waktu 20 tahun (2011-2030)

Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai berbasis partisipasi masyarakat lokal terutama di Teluk Balikpapan, Bontang, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Penajam Paser Utara.

Mendukung mitigasi perubahan iklim, tetapi sayangnya Kabupaten Berau yang memiliki luas mangrove kedua terbesar di Kaltim dan Kabupaten Paser tidak menjadi prioritas.

8. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi REDD+ Kaltim (kebijakan dan strategi pengurusan kawasan berdasarkan kabupaten/kota di Kalimantan Timur selama jangka waktu 20 tahun (2011-2030)

a. Menghentikanan perizinan pembukaan lahan tambak pada kawasan mangrove yang berhutan

b. Mendorong perubahan tambak tradisional ke tambak silvofishery

c. Perlu Pergub tentang peta yang komprehensif

d. Forum multi fihak pengelolaan mangrove

e. Peningkatan kesejahteraan nelayan

a. Mendukung mitigasi PI. b. Kejelasan target,

pelaksana, target output, kelembagaan dan sumberdaya

c. Perlu mengintegrasikan SRAP ke dalam rencana kegiatan masing-masing sektor/dinas

9. Visi Kaltim Hijau 2030 Tidak secara langsung menyebutkan pengelolaan mangrove, namun secara implisit tertuang dalam pembangunan ekonomi rendah karbon dengan me-ngurangi risiko lingkungan & kerusak-an ekologi yang menjadi salah satu target indikator ekonomi makro di 2030.

Mendukung mitigasi PI secara umum, namun tidak secara jelas memasukkan konservasi mangrove sebagai salah satu upaya mencapai target, serta kejelasan pelaksana program.

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

24

memprioritaskan pengembangan tambak dibandingkan konservasi atau rehabilitasi mangrove. Hal tersebut terlihat dari Perda No. 15/2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2005-2025. Bahkan menurut (Bosma et al., 2012), di Delta Mahakam sebagai wilayah yang memiliki hutan mangrove terluas di Kaltim, konversi mangrove menjadi tambak udang sudah dimulai sejak tahun 1990. Setelah deklarasi pembangunan Green Kaltim pada tahun 2010, kebijakan Pemda Kaltim lebih memperhatikan kelestarian mangrove. Sayangnya, kebijakan tersebut belum menyeluruh. Berdasarkan RTRW tahun 2016, Pemda Kaltim mengembangkan program rehabilitasi mangrove hanya di lima kabupaten/kota pesisir, sedangkan Kabupaten Berau dan Kabupaten Paser tidak diprioritaskan untuk perlindungan ekosistem mangrove. Sebaliknya, program pengembangan tambak ditargetkan di seluruh kabupaten pesisir yang memiliki ekosistem mangrove.

Untuk kebijakan yang sudah mendukung mitigasi perubahan iklim, analisis lanjutan berdasarkan teori Grindle menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan tersebut masih perlu ditingkatkan. Misalnya, medorong perubahan tambak tradisional ke silvofishery dan pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi wilayah pesisir memerlukan mekanisme sosialisasi

dan pendampingan masyarakat yang intensif serta penyediaan insentif konservasi bagi masyarakat. Efektivitas kebijakan tingkat Provinsi Kaltim berdasarkan teori Grindle ditampilkan dalam Tabel 6.

Pembangunan wilayah ekosistem mangrove di Provinsi Kaltim juga tertuang dalam Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K) tahun 2016-2036 yang disusun oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim dan disahkan melalui Pergub No. 13/2016 tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tahun 2016-2036. Dokumen rencana strategis tersebut memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran, dan strategi, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. Rencana strategis ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terpadu dan berkelanjutan menuju masyarakat Kaltim yang adil dan sejahtera dengan kegiatan sebagaimana tersaji pada Tabel 7.

Rencana kegiatan dalam pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 7 menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan mangrove dititik-beratkan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Kegiatan yang bersifat konservasi atau perlindungan mangrove relatif lebih sedikit. Kegiatan

Kebijakan(Policies)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove

(Support to climate change mitigation in mangrove management)Pencegahan konversi mangrove

(Prevention of mangrove conversion)Rehabilitasi mangrove

(Mangrove rehabilitation)10. Master Plan Perubahan Iklim

Kalimantan Timur tahun 2015 – 2035

• Penyelamatan dan perluasan mangrove dan hutan pantai berbasis masyarakat lokal menjadi kebijakan umum dan strategi pengurusan kawasan hutan di Balikpapan, Bontang, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, dan Penajam Paser Utara,

Mendukung mitigasi PI dan sudah memasukkan kegiatan konservasi mangrove sebagai strategi pengurusan kawasan hutan. Sayangnya kebijakan itu tidak diberlakukan pada semua daerah yang memiliki hutan mangrove.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

25

pengelolaan mangrove yang terkait dengan ekonomi masyarakat lokal sebagian besar berupa pemanfaatan mangrove untuk tambak dan sebagian lainnya untuk pengembangan wisata dan pembangunan sarana prasarana transportasi, pertambangan, dan industri. Meskipun pengembangan ekonominya diarahkan menjadi ekonomi hijau sebagaimana komitmen green Kaltim, ancaman degradasi mangrove akibat aktivitas pengembangan budidaya perikanan perlu diperhitungkan dengan serius. Sampai saat

ini, silvofishery dan silvoagroforestry (sawah pasang surut) yang diharapkan menjadi “win- win solution” dalam pengelolaan mangrove menuju pembangunan ekonomi hijau belum banyak dikembangkan di tingkat tapak, khususnya tambak masyarakat.

Untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah disusun, khususnya merekonsiliasi kepentingan ekonomi dan ekologi dalam rangka mendukung komitmen green Kaltim, diperlukan komunikasi dan koordinasi intensif antar sektor untuk menyelaraskan

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

Tabel 6 Efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove di Provinsi Kaltim berdasarkan teori GrindleTable 6 Effectiveness of mangrove management policies at East Kalimantan Province referring to Grindle

theory

Kebijakan/program(Policies/programs)

Efektivitas kebijakan menurut Teori Grindle(Effectiveness of the policy referring to Grindle Theory)

Kepentingan para pihak

(Stakeholder interests)

Kejelasan manfaat

(Clarity of benefits)

Kejelasan skala/target perubahan(Clarity of scale/

target of the changes)

Kejelasan pelaksana kebijakan(Clarity of policy

implementor)

Tingkat kepatuhan/ respon para

pihak(Compliance

level/response of

stakeholders)1. Perda Provinsi Kaltim No.

07/2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil

V V V V -

2. Pergub Kaltim No. 13/2016 tentang Rencana Strategi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Prov Kaltim Tahun 2016- 2036

V V V V -

3. Rencana Kehutanan Tingkat Propinsi (RKTP) untuk jangka waktu 20 tahun (2011-2030)

V V - V V

4. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Implementasi REDD+ Kaltim (Kebijakan dan Strategi Pengurusan Kawasan berdasarkan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur selama Jangka Waktu 20 tahun (2011-2030)

V V V V -

Keterangan (Remarks): V: Memenuhi persyaratan (Comply with the theory); -: Tidak memenuhi persyaratan (Not comply).

26

target dan program masing-masing sektor. Hal ini sangat penting mengingat tujuan perlindungan mangrove sering bertentangan dengan program perluasan tambak di sektor kelautan dan perikanan. Sebagai contoh adalah program peningkatan hasil perikanan dan perluasan tambak akan berdampak pada peningkatan konversi hutan mangrove.

Uraian di atas dapat dimaknai bahwa masih terdapat ketidakefektifan dalam kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Masih ditargetkannya perluasan tambak dan produksi perikanan di seluruh kabupaten pesisir, sedangkan konservasi mangrove hanya di beberapa kabupaten saja menunjukkan bahwa

Tabel 7 Isu strategis dan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim pada periode 2016-2036

Table 7 Strategic issues and activities of coastal area management conducted by Marine and Fishery Service in East Kalimantan Province over period of 2016-2036

Isu strategis(Strategic issues)

Kegiatan(Activities)

1. Degradasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

a. Melibatkan masyarakat pesisir dalam perlindungan dan konservasi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun

b. Menekan sekecil mungkin sumber-sumber pencemaran yang masuk ke perairan pesisir

c. Pengembangan daerah perlindungan laut/kawasan konservasi laut untuk konservasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun

2. Pembangunan ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

a. Pengaturan kegiatan reklamasi pantai untuk kegiatan industrib. Pengaturan wilayah penangkapan ikan tradisional di wilayah pesisirc. Meningkatkan koordinasi dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecild. Melakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan masyarakat pesisir untuk

peningkatan ekonomi rumah tanggae. Mengembangkan alternative livelihoods masyarakat pesisirf. Memfasilitasi kerjasama masyarakat dan pihak swasta dengan prinsip mutual

benefit

3. Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

a. Melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait dalam upaya pengawasan dan pengendalian pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

b. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

c. Mengoptimalkan peran petugas pengawasan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

d. Menyusun rencana pengelolaan untuk rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

4. Mitigasi bencana dan perubahan iklim

a. Meningkatkan kapasitas, respon, dan kesiap-siagaan masyarakat terhadap bencana pesisir

b. Mengidentifikasi jenis dan daerah rawan bencana pesisirc. Kampanye mitigasi bencana melalui pendidikan formald. Menyusun pedoman mitigasi bencanae. Membangun komitmen, kesepahaman, dan kerjasama yang kuat megenai peran

dan tanggung jawab institusi di luar lingkungan Pemerintah Provinsi Kaltim dalam mitigasi bencana

f. Menyusun peraturan daerah yang diperlukan untuk menunjang upaya mitigasi dan penanggulangan bencana secara efektif

g. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk mitigasi bencana peisisir dan perubahan iklim

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

27

tujuan perlindungan ekosistem mangrove dalam kebijakan nasional belum didukung penuh oleh kebijakan yang lebih teknis di level provinsi, khususnya Kaltim.

Selain keperluan mendesak untuk menyusun RZWP-3-K sebagai panduan pemanfaatan mangrove, sosialisasi teknik pemanfaatan tambak ramah lingkungan serta insentif konservasi memegang peran penting untuk keberhasilan upaya mitigasi perubahan iklim di Kaltim. Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat pesisir, khususnya petani tambak terhadap kebijakan mitigasi perubahan iklim, diperlukan pendampingan masyarakat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kehutanan atau KPHP sebagai pengelola mangrove di tingkat tapak.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanMasih terdapat tantangan dalam

implementasi kebijakan pengelolaan mangrove dilihat dari konteks mitigasi perubahan iklim serta konten kebijakan dan konteks implementasi teori Grindle. Tantangan tersebut bersifat praktikal maupun konseptual. Tantangan kebijakan di tingkat nasional adalah perlunya satu data mangrove yang menegaskan penetapan zonasi mangrove, serta perlunya peraturan teknis sebagai penjabaran kebijakan nasional yang ada. Peraturan teknis merupakan prasyarat penting untuk mempermudah implementasi kebijakan nasional di tingkat provinsi serta untuk menghindari perbedaan interpretasi kebijakan oleh para pihak. Selain itu, kejelasan pelaksana kebijakan khususnya reboisasi mangrove di sektor kelautan dan perikanan perlu dipertegas, mengingat kepentingan sektor tersebut terhadap peningkatan produksi perikanan sangat tinggi.

Secara spesifik, tantangan kebijakan di Provinsi Kaltim adalah kejelasan kebijakan rehabilitasi mangrove di seluruh kabupaten pesisir serta koordinasi antar sektor. Selain itu, pemberian insentif konservasi mangrove

bagi masyarakat serta sosialisasi dan pendampingan masyarakat pesisir untuk mengembangkan pemanfaatan mangrove ramah lingkungan yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat terhadap implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pengembangan teknik-teknik silvofishery menjadi kunci bagi keberhasilan upaya mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove.

Secara konseptual tantangan sebuah kebijakan adalah koordinasi dan komunikasi parapihak, baik yang berwenang maupun yang terkena dampak kebijakan. Selain itu kejelasan isi kebijakan, baik yang bersifat konsep maupun teknis menjadi syarat penting untuk efektivitas implementasi sebuah kebijakan.

B. SaranUntuk mencapai target mitigasi perubahan

iklim dalam pengelolaan mangrove diperlukan pembenahan beberapa hal di antaranya:1. KLHK perlu segera melakukan percepatan

penyusunan satu peta mangrove, penyusunan mekanisme konversi mangrove, serta berkoordinasi dengan KKP dan BPN guna menyusun kriteria ekosistem mangrove untuk kawasan lindung atau budidaya.

2. KKP perlu melaksanakan kembali program reboisasi mangrove sebagai implementasi UU No. 31/2004.

3. Pemda Kaltim dan KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak perlu segera melakukan pengembangan dan sosialisasi opsi pengelolaan tambak ramah lingkungan yang efisien dari sisi biaya, sekaligus melakukan pendampingan terhadap petani tambak.

4. Perlu peningkatan koordinasi dan komunikasi antar sektor terkait, baik di tingkat nasional maupun provinsi.

5. KLHK dan Pemda perlu merumuskan mekanisme penyediaan sistem insentif konservasi bagi petani tambak.

6. Penelitian lanjutan terkait proses

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

28

koordinasi dan komunikasi antar sektor serta pengembangan opsi pemanfaatan tambak ramah lingkungan yang mudah dan murah.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Kegiatan penelitian ini didanai oleh program FCPF World Bank. Penulis memberikan apresiasi kepada para narasumber yang telah bersedia diwawancara dan membantu menyediakan data dan informasi. Apresiasi juga diberikan kepada para reviewer yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan tulisan ini.

REFERENCES

Bhomia, R. K., Kauffman, J. B., & McFadden, T. N. (2016). Ecosystem carbon stocks of mangrove forests along the Pacific and Caribbean coasts of Honduras. Wetlands Ecology Management, 24, 187-201. doi://10.1007/s11273-016-9483-1.

Bosma, R. H., Nguyen, T. H., Siahainenia, A. J., Tran, H. T., & Tran, H. N. (2014). Shrimp-based livelihoods in mangrove silvo-aquaculture farming systems. Reviews in Aquaculture, 6, 1-18.

Bosma, R. H., Sidik, A. S., van-Zwieten, P., Aditya, A., & Visser, L. (2012). Challenges of a transition to a sustainably managed shrimp culture agro-ecosystem in the Mahakam delta, East Kalimantan, Indonesia. Wetlands Ecology Management, 20, 89-99.

Dianawati, L. (2014). Kajian peran lembaga dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara terpadu di Delta Mahakam. (Thesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Donato, D. C., Kauffman, J. B., & Murdiyarso, D. (2011). Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 4, 293-297.

Eddy, S., Ridho, M. R., Iskandar, I., & Mulyana, A. (2016). Community-based mangrove forests conservation for sustainable fisheries. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(3), S42-S47.

Friess, D. A., Thompson, B. S., Brown, B., Amir, A. A., Cameron, C., Koldewey, H. J., . . . Sidik, F. (2016). Policy challenges and approaches

for the conservation of mangrove forests in Southeast Asia. Conservation Biology, 30(5), 933-949. doi://10.1111/cobi.12784.

Giri, C., Zhu, Z., Tieszen, L. L., Singh, A., Gillette, S., & Kelmelis, J. A. (2008). Mangrove forest distributions and dynamics (1975-2005) of the tsunami affected region of Asia. Journal of Biogeography, 35(3), 101-111.

Graneheim, U. H., Lindgren, B. M., & Lundman, B. (2017). Methodological challenges in qualitative content analysis: A discussion paper. Nurse Education Today, 56, 29-34.

Grindle, M. (1980). Politics and policy implementation in the third world. Lincoln, United Kingdom: Princeton University Press.

Karlina, E., Kusmana, C., Marimin, & Bismark, M. (2016). Analisis keberlanjutan pengelolaan hutan lindung mangrove di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Analisis Kebijakan, 13(3), 201-219.

Kauffman, J. B., Arifanti, V. B., Trejo, H. H., Garcoa, M. C. J., Norfolk, J., Cifuentes, M., . . . Murdiyarso, D. (2017). The Jumbo carbon footprint of a shrimp: carbon losses from mangrove deforestation. Frontiers in Ecology and the Environment. doi:10.1002/fee.1482

KLHK. (2017). Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Konferensi Internasional Ekosistem mangrove berkelanjutan “International Conference on Sustainable Mangrove Ecosystems”. Bali.

Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., & Dech, S. (2011). Remote sensing of mangrove ecosystems: A review. Remote Sensing, 3, 878-928.

Lugina, M., Alviya, I., Indartik, & Pribadi, M. A. (2017). Strategi keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 61-77.

Masood, H., Afsar, S., Zamir, U. B., & Kazmi, J. H. (2015). Application of comparative remote sensing techniques for monitoring mangroves in Indus Delta, Sindh, Pakistan. Biological Forum-An International Journal, 7(1), 783-792.

Mehring, M., & Stoll-Kleemann, S. (2011). How effective is the buffer zone? Linking institutional processes with satellite images from a case study in the Lore Lindu Forest Biosphere Reserve, Indonesia. Ecology and Society, 16(4), 3. doi://10.5751/ES-04349-160403.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

29

C., . . . Kurnianto, S. (2015). The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change, 5, 1089-1092. Mwangi, E., Mshale, B., Banjade, M. R., Herawati, T., Lisnawati, N., & Lawry, S. (2017). Mangrove governance and tenure: Insights for policy and practice from selected sites in Indonesia, Tanzania and a global review. Paper presented at the Annual World Bank Land and Poverty Conference, Washington, DC.

Prasetiyo, D. E., Zulfikar, F., Shinta, & Zulkarnain, I. (2016). Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu: Studi Konservasi Berbasis Green Economy. Omni-Akuatika, 12(1), 48-54.

Primavera, J., & Esteban, J. (2008). A review of mangrove rehabilitation in the Philippines: successes, failures and future prospects. Wetland Ecology Management, 16(3), 173-253.

Sandelowski, M. (2011). When a cigar is not just a cigar: alternative takes on data and data analysis. Res. Nurs. Health, 34(4), 342-352.

Sidik, F., Supriyanto, B., Krisnawati, H., & Muttaqin, M. Z. (2018). Mangrove conservation for climate change mitigation in Indonesia. Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 9(5). doi://10.1002/wcc.529.

Walters, B. B., Ronnback, P., Kovacs, J. M., Crona, B., Hussain, S. A., Badola, R., . . . Dahdouh-Guebas, F. (2008). Ethnobiology, socio-economics and management of mangrove forests: a review. Aquatic Botany, 89(220-236).

Wibowo, B. A., Boesono, H., & Aditomo, A. B. (2012). Analisis kebijakan terhadap aktivitas penangkapan ikan nelayan Karimun Jawa Kabupaten Jepara. Jurnal Saintek Perikanan, 8(1), 37-45.

Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

30

ANALISIS EKONOMI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKRO HIDRO: STUDI KASUS DI KABUPATEN MUARA

ENIM, SUMATERA SELATAN (Economic Analysis of Micro Hydro Power Plant Development: A Case Study in Muara

Enim Regency, South Sumatra) Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5, Punti Kayu, Palembang, 30153, Indonesia;

e-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

Diterima 18 September 2017, direvisi 29 April 2019, disetujui 30 April 2019

ABSTRACT

Micro Hydro Powerplant (MHP) is one form of water utilization in upper Musi watershed to generate electricity. This paper aims to analyse the feasibility of the development and management of self-help MHP to support forest resource conservations. Financial and economic analysis are applied to determine the feasibility of the development and management of the self-help MHP. The result indicates that the construction and management of the self-help MHP in the research area are not feasible, so that they do not guarantee the sustainability of the MHP in the long term period. Development and management of MHP will be financially feasible when it uses postpaid electricity tariff scheme of State Electricity Company (SEC) for power limit up to 450 VA, and economically feasible if it uses postpaid electricity tariff scheme for power limit (SEC) up to 1,300 VA. It is necessary to increase the capacity of the community both technical and economic aspects in the management of MHP for the sustainability of electricity supply from the MHP. Water utilization for the MHP increases the collective awareness to conserve forest resources.

Keywords: Economic; financial; micro hydro; South Sumatra; watershed.

ABSTRAK

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) merupakan salah satu bentuk pemanfaatan air di hulu DAS Musi untuk menghasilkan listrik. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis kelayakan pembangunan dan pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat untuk mendukung konservasi sumberdaya hutan. Analisis finansial dan ekonomi digunakan untuk mengetahui kelayakan pengembangan dan pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak, Kecamatan Semende Darat Ulu tidak layak finansial. Pembangunan dan pengelolaan PLTMH secara finansial layak apabila menggunakan skema tarif listrik pascabayar Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk batas daya hingga 450 VA, dan layak secara ekonomis apabila menggunakan skema tarif listrik pascabayar PLN untuk batas daya hingga 1.300 VA. Diperlukan peningkatan kemampuan masyarakat, baik aspek teknis maupun ekonomis dalam pengelolaan PLTMH untuk keberlanjutan pasokan listrik dari PLTMH. Pemanfaatan air untuk PLTMH meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat untuk melakukan konservasi sumberdaya hutan.

Kata kunci: Ekonomi; finansial; mikro hidro; Sumatera Selatan; Daerah Aliran Sungai (DAS).

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.31-45 31

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31- 45p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

32

I. PENDAHULUANHutan menghasilkan barang dan jasa

yang memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat yang dihasilkan oleh hutan bersifat tangible dan intangible. Manfaat tangible dari hutan terdiri dari kayu dan hasil hutan non-kayu yang secara tradisional memiliki harga pasar, umumnya diperdagangkan sebagai komoditas. Manfaat intangible terkait dengan fungsi ekologis hutan seperti daerah aliran sungai, tanah dan perlindungan banjir, siklus nutrien, keanekaragaman hayati, dan lain-lain yang umumnya undervalued dan tidak diperdagangkan di pasar konvensional (Costanza et al., 1998; Nurfatriani, 2006; Bahruni, Suhendang, Darusman, & Alikodra, 2007; Deegen & Seegers, 2011; Ulya, Warsito, Andayani, & Gunawan, 2014).

Hutan yang berada di hulu daerah aliran sungai (DAS) berperan sebagai pengatur tata air dan penghasil air bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Costanza et al., 1998; Nurfatriani & Handoyo, 2007; Ulya et al., 2014). Air yang dihasilkan dari hutan di hulu DAS dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti memasak, mandi, cuci, kakus (MCK), irigasi pertanian, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

PLTMH adalah pembangkit listrik skala kecil dengan output kurang dari 100 kilowatt (KW) yang memanfaatkan aliran air (irigasi, sungai atau air terjun) di pedesaan sebagai sumber tenaga (Ardhau, 2009; Gippner, Dhakal, & Sovacool, 2013). Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.64/MenhutII/2013 tentang Pemanfaatan Air dan Energi Air di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dinyatakan bahwa PLTMH adalah pembangkit listrik dengan menggunakan energi air yang menghasilkan tenaga listrik dengan daya kurang dari 1.000 kilowatt. PLTMH merupakan alternatif sumber energi listrik yang potensial untuk dikembangkan karena

ketersediaannya di daerah hulu DAS. PLTMH merupakan teknologi yang sudah mapan dan diimplementasikan sebagai sumber listrik perdesaan di seluruh dunia (Ardhau, 2009; North, 2010; Nouni, Mullick, & Kandpal, 2009). PLTMH di Nepal digunakan sebagai penyedia listrik untuk daerah terpencil yang sebagian besar merupakan daerah miskin. PLTMH juga dapat berperan sebagai sarana yang ideal untuk mendukung pembangunan perdesaan berkelanjutan (Gippner, Dhakal, & Sovacool, 2013).

PLTMH merupakan sumber energi terbarukan karena air secara terus-menerus mengisi ulang melalui siklus hidrologi bumi (Kaldellis, 2007; Kaldellis, Vlachou, & Korbakis, 2005; Panwar, Kaushik, & Kothari, 2011). PLTMH juga dikenal sebagai sumber energi bersih yang bebas polusi dan ramah lingkungan (Ardhau, 2009). Girma (2016) menyatakan bahwa di Ethiopia, pembangunan PLTMH mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida sebesar 96.685,45 kg/tahun, sulfur dioksida sebesar 4,1917 kg/tahun, dan nitrogen dioksida sebesar 20.500 kg/tahun (dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil).

PLTMH mempunyai profil tekno-ekonomi yang bagus (Ardhau, 2009; Girma, 2016; Kaldellis, 2007; Kaldellis et al., 2005; Suarda, 2009; Subekti & Sudibyo, 2011). Kaldellis et al. (2005) dan Kaldellis (2007) menyatakan bahwa pembangunan dan operasionalisasi PLTMH sebagai sumber energi listrik di Yunani mempunyai prospek finansial yang menarik dan ramah lingkungan, dan menjadi solusi kekurangan energi listrik. PLTMH juga tergolong energi yang murah. Aprianti (2009) menyatakan bahwa pembangunan PLTMH membutuhkan biaya sekitar Rp15.000.000,00 untuk setiap 1.000 watt. Ardhau (2009) menyatakan bahwa di India biaya energi listrik dari PLTH adalah US$1.505 per KW. Biaya ini lebih murah dari energi alternatif lainnya seperti pembangkit listrik tenaga angin (US$10.065 per KW) dan tenaga matahari (US$25.200 per KW). PLTMH juga lebih

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

33

murah bila dibandingkan dengan panas bumi dan nuklir untuk menghasilkan listrik. Murni, Whale, Urmee, Davis, & Harries (2012) menyatakan bahwa di Kayan Mentarang, listrik yang dihasilkan dari PLTMH lebih murah daripada listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga surya maupun angin. Listrik dari tenaga surya lebih mahal dibandingkan dari PLTMH karena harga alat sistem pembangkit listrik tenaga surya lebih mahal daripada peralatan untuk PLTMH. Selain murah, pengerjaan pembangunan PLTMH dapat dilakukan masyarakat secara swadaya dan bergotong royong. Gippner et al. (2013) menyatakan bahwa di Nepal, kehadiran PLTMH menghemat pengeluaran energi di tingkat rumah tangga dengan cara menurunkan konsumsi minyak tanah rata-rata sebesar 21 liter per bulan, serta ribuan liter solar yang sebelumnya digunakan untuk pertukangan perdesaan dan pengolahan pertanian.

Sumatera Selatan memiliki pembangkit listrik mikro hidro, panas bumi, tenaga diesel, dan pembangkit listrik tenaga gas yang tidak terdistribusi secara merata di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Rasio elektrifikasi Sumatera Selatan adalah 71% dan rasio desa berlistrik adalah 88%. Sekitar 376 desa dari 3.186 desa yang ada di Sumatera Selatan belum dialiri listrik. Desa tanpa aliran listrik sebagian besar berada di wilayah pegunungan di hulu DAS dan daerah perbatasan (Noerdin, 2014). Sementara, hulu sungai memiliki potensi untuk menghasilkan listrik tenaga air. Potensi PLTMH di Provinsi Sumatera Selatan adalah sekitar 13,47 MW (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, 2006; Subekti & Sudibyo, 2011). LIPI (2009) memperkirakan bahwa potensi tenaga air yang ada mampu untuk menghasilkan 75.000 MW listrik, sedangkan pemanfaatannya baru sekitar 2,5% dari potensi yang ada.

Mikro hidro di Indonesia mempunyai prospek yang bagus untuk dikembangkan sebagai sumber energi listrik. Namun demikian, pengembangan mikro hidro di

Indonesia terkendala pada tidak adanya kebijakan yang komprehensif dan skema pendanaan yang sesuai yang dapat menarik investor swasta dalam program mikro hidro (Sitompul, 2013).

PLTMH memiliki kaitan yang erat dengan keberadaan hutan karena air merupakan salah satu nilai guna (use value) yang berasal dari hutan. PLTMH memanfaatkan hasil infiltrasi air di hutan yang muncul ke permukaan tanah sebagai mata air yang mengalir ke sungai atau saluran irigasi sebagai penggerak turbin PLTMH untuk menghasilkan listrik. Memperhatikan hubungan antara hutan dan siklus hidrologi, PLTMH tidak dapat dipisahkan dengan hutan sebagai penghasil air.

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan analisis finansial dan ekonomi pembangunan dan pengelolaan PLTMH skala kecil oleh masyarakat dengan studi kasus di Desa Danau Gerak, yang berada di hulu DAS Musi. Masyarakat Desa Danau Gerak memperoleh listrik dari PLTMH. Penelitian ini penting dilakukan karena hasil analisis diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan PLTMH sebagai sumber energi yang murah, bersih, dan terbarukan, serta mendukung konservasi sumberdaya hutan.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan WaktuPenelitan dilakukan di Desa Danau Gerak,

Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai bulan Februari 2016.

Desa Danau Gerak dipilih sebagai lokasi penelitian karena PLTMH menjadi satu-satunya penghasil listrik bagi masyarakat selama bertahun-tahun. Salah satu manfaat air sebagai penghasil energi listrik mendorong masyarakat untuk menjaga hutan di hulu mata air.

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

34

PLTMH di Desa Danau Gerak memanfaatkan saluran irigasi (bahasa lokal: siring), yaitu siring Pelakat dan siring Budur. Terdapat tujuh turbin PLTMH swadaya masyarakat yang memanfaatkan saluran irigasi siring Pelakat, sedangkan tiga turbin PLTMH lainnya memanfaatkan aliran air siring Budur.

B. Pengumpulan DataData primer meliputi biaya dan manfaat

pembangunan dan pengelolaan PLTMH. Data biaya yang dikumpulkan terdiri dari biaya pembangunan, operasional, dan pemeliharaan PLTMH. Data terkait manfaat yang dikumpulkan terdiri dari data pendapatan dan biaya yang terkait dengan pembangunan dan pengelolaan PLTMH. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat Desa Danau Gerak yang merupakan anggota kelompok yang mengelola PLTMH. Metode

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling.

Responden awal diminta untuk mencalonkan orang lain dengan kriteria yang sama sebagai responden selanjutnya. Demikian selanjutnya hingga diperoleh semua data penelitian yang diperlukan untuk analisis data (Atkinson & Flint, 2001; Sang & Birnie, 2008). Data sekunder berupa informasi mengenai sejarah pengelolaan air di Desa Danau Gerak. Data sekunder diperoleh dari pengelola siring dan tokoh masyarakat dengan metode wawancara mendalam (indepth interview).

C. Analisis DataData yang diperoleh dari lapangan

selanjutnya dianalisis dengan analisis finansial dan ekonomi. Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui manfaat pembangunan dan pengelolaan PLTMH dari

Sumber (Source): Analisis citra landsat 8 liputan tanggal 18 April 2015, Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 50.000, dan Peta Fungsi Kawasan Hutan (SK No. 866/Menhut/II/2014) (Analysis of landsat image coverage on April 18th 2015, Indonesia Topographic Map scale of 1:50,000 and Forest Area Function Map (SK. No. 866/Menhut/II/2014)

Gambar 1 Peta lokasi penelitianFigure 1 Map of research location.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

35

sudut pandang entitas pemilik usaha, dalam hal ini adalah kelompok masyarakat pengelola PLTMH. Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui manfaat kegiatan pembangunan dan pengelolaan PLTMH bagi masyarakat luas (Gregersen & Contreras, 1979).

Kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan pembangunan dan pengelolaan PLTMH adalah nilai manfaat bersih sekarang (Net Present Value, NPV) (Ondrej, 2014), rasio antara biaya dan manfaat (Benefit Cost Ratio, BCR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Gregersen & Contreras, 1979; Ulya, 2014). Formulasinya adalah sebagai berikut:

di mana :

Bt =manfaat yang diperoleh pada waktu -t (Rp)C t=biaya yang dikeluarkan pada waktu -t (Rp) t =tahun r =discount rate

Kriteria kelayakan yang digunakan adalah apabila nilai NPV lebih besar dari nol, BCR lebih besar dari satu, dan IRR yang merupakan tingkat diskonto di mana nilai sekarang bersih dari biaya (arus kas negatif) investasi sama dengan nilai sekarang bersih dari manfaat (arus kas positif) investasi (Gregersen & Contreras, 1979; Ulya, 2014).

Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial dan ekonomi adalah:1. Jangka waktu analisis adalah 10 tahun;2. Tingkat suku bunga yang digunakan

adalah 12%, yang merupakan tingkat suku bunga pinjaman saat kegiatan penelitian dilakukan;

3. Kapasitas PLTMH adalah 3.000 watt dan terdistribusi merata di setiap kelompok;

4. Waktu operasional harian PLTMH adalah

12 jam (jam enam sore sampai jam enam pagi), dan beroperasi sepanjang tahun; dan

5. Biaya penggunaan air dari saluran irigasi adalah Rp1.000.000,00 dibayar sekali di awal operasional PLTMH kepada lembaga pengelola irigasi (siring).Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk

dua skema pendanaan operasional yang berlaku di kelompok-kelompok pengelola PLTMH di Desa Danau Gerak, yaitu:1. Pendanaan operasional PLTMH dengan

iuran bulanan tetap (Skema A); dan 2. Pendanaan operasional PLTMH dengan

iuran insidentil (Skema B).Kedua skema (A dan B) selanjutnya

dianalisis dengan analisis finansial dan ekonomi yang mengacu pada model tarif yang diberlakukan oleh PLN untuk mengetahui keberlanjutan PLTMH dari aspek ekonomi. Terdapat dua skenario alternatif, yaitu:1. Skenario I: analisis dengan skema tarif

listrik PLN bersubsidi; dan2. Skenario II: analisis dengan skema tarif

listrik PLN pada harga keekonomianPembedaan analisis berdasarkan skema

pendanaan operasional dilakukan untuk mengetahui hubungan antara skema pendanaan operasional dengan kelayakan secara finansial dan keberlanjutan PLTMH (Gregersen & Contreras, 1979; Murni et al., 2012; Purwanto, 2011).

Pada analisis finansial, nilai manfaat finansial diperoleh dari perkalian antara output fisik dengan harga per unit output. Manfaat finansial PLTMH dihitung pada harga output yang berupa jumlah listrik yang dihasilkan (watt) dengan harga listrik apabila masyarakat harus membayar penggunaan listrik PLN. Biaya finansial merupakan jumlah keseluruhan biaya input yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan operasional PLTMH.

Analisis ekonomi dilakukan dengan tahapan yang tidak berbeda dengan analisis finansial. Harga listrik yang digunakan dalam analisis ekonomi untuk menghitung

( )∑

= +-

=n

tttt

rCBNPV

0 1

( )

( )∑

=

=

+

+= n

tt

n

tt

t

rCt

rB

BCR

0

0

1

1

(1)

(2)

(3)

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

36

manfaat ekonomi adalah harga ekonomi listrik. Upah tenaga kerja yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Muara Enim, yang besarannya mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Selatan (Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 675/KPTS/ DISNAKERTRANS/2014).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan PLTMH di Desa Danau GerakDesa Danau Gerak merupakan salah

satu desa di Sumatera Selatan yang belum mendapat pelayanan listrik PLN sampai bulan Desember 2015. Masyarakat di Desa Danau Gerak pada awalnya menggunakan lampu minyak untuk penerangan. Mulai tahun 1980-an sebagian penduduk Desa Danau Gerak mulai membangun PLTMH untuk memperoleh listrik.

Ide untuk membangun PLTMH muncul setelah melihat contoh di desa lain dengan

kondisi yang sama, yaitu mempunyai aliran air atau saluran irigasi dengan beda ketinggian. Turbin yang digunakan untuk PLTMH pada awalnya berupa turbin besar yang terbuat dari kayu dengan diameter sekitar 2 meter. Pada tahun 2003, masyarakat mulai beralih ke turbin crosflow D200 (diameter rotor 200 mm) yang lebih efisien dibandingkan dengan turbin tradisional (Nugroho & Salatta, 2015) dan umum digunakan di Indonesia (Gambar 2). Adanya turbin yang lebih efisien dan tersedia di pasar mendorong masyarakat untuk membangun PLTMH skala kecil.

PLTMH dibangun dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat secara berkelompok. Terdapat 10 kelompok yang mengelola 10 unit PLTMH dengan kapasitas listrik yang dihasilkan per unit sebesar 3 KW untuk 10 sampai 11 rumah.

Kelompok pengelola PLTMH masing-masing memiliki kepengurusan yang terdiri dari ketua, bendahara, dan datuk. Datuk bertugas mengoperasikan turbin (membuka dan menutup pintu air), mengawasi kebersihan

Sumber (Source): Foto oleh Nur Arifatul Ulya, 2015 (Photo by Nur Arifatul Ulya, 2015).

Gambar 2 PLTMH di Desa Danau GerakFigure 2 MHP in Danau Gerak village.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

37

turbin dan saluran air, serta melakukan perbaikan kerusakan ringan. Perbaikan kerusakan berat dilakukan secara gotong royong oleh seluruh anggota kelompok.

Terdapat dua skema pendanaan operasional PLTMH di Desa Danau Gerak, yaitu dengan iuran bulanan tetap dan dengan iuran insidentil. Pada kelompok dengan iuran bulanan tetap, seluruh biaya operasional

berasal dari iuran bulanan yang jumlahnya tetap. Kelompok dengan iuran insidentil membiayai operasional dan pemeliharaan dengan cara mengumpulkan iuran pada saat diperlukan saja sehingga besarnya bervariasi sesuai kebutuhan (Tabel 1). Rincian biaya dan manfaat pada kedua skema disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 1. Komponen biaya dan manfaat PLTMH di Desa Danau GerakTable 1. Cost and benefit components of MHP in Danau Gerak village

Uraian (Description) Iuran bulanan tetap (Fixed mothly dues)

Iuran insidentil (Incidental dues)

Pendapatan (Income)- Iuran awal (Initial fee) √ √- Iuran bulanan (Monthly dues) √- Iuran insidentil (Incidental dues) √

Biaya (Cost)- Bahan dan alat: pembangunan, pengelolaan, operasional

(Materials and equipments: development, management, operational)

√ √

- Tenaga kerja: pembangunan, pengelolaan, operasional (Labor: development, management, operational)

√ √

- Biaya penggunaan air irigasi/siring (Fee of water irrigation usage)

√ √

Sumber (Source): Data penelitian (Research data).Keterangan (Remarks): √= iuran (dues)

Tabel 2. Rincian biaya dan manfaat PLTMH di Desa Danau Gerak dengan iuran bulanan tetapTable 2. Cost and benefit components of MHP in Danau Gerak village with fixed monthly dues

No. Uraian (Description) Volume Harga (Amount) (Rp)I. Pendapatan (Income)

Iuran awal (Initial fee) 10 rumah 1.500.000,00Iuran per bulan (Monthly dues) 10 rumah 60.000,00

II. Biaya (Cost)A. Bahan dan alat (Material and equipment)

- Pipa paralon (Paralon pipe) 8 inch 4 batang 800.000,00- Turbin (Turbine) 1 buah 8.000.000,00- Dinamo (Dynamo) 3.000 watt 1 buah 2.000.000,00- Kabel induk (Main cable) 200 meter 10.000,00- Bambu (Bamboo) 5 batang 10.000,00- Seng (Zinc sheet) 2 keping 30.000,00- Kayu kaso (Rafter wood) 1 batang 40.000,00- Kayu panjang (Long wood) 1 batang 60.000,00- Fan belt 1 buah 90.000,00- Gemuk (Vet) 1 kaleng 20.000,00- Coal dinamis (Dynamic coal) 4 paket 25.000,00

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

Beberapa studi (Ardhau, 2009; Murni et al., 2012; Octaviani, 2012; Purwanto & Afifah, 2016) menunjukkan bahwa operasional dan pemeliharaan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan PLTMH. Sementara masyarakat di Desa Danau Gerak mengelola PLTMH dengan pola sederhana, padahal untuk keberlanjutan

pasokan listrik dari PLTMH diperlukan pengetahuan teknis maupun ekonomi yang memadai. Teknologi yang digunakan oleh PLTMH tidak rumit, tetapi membutuhkan penanganan khusus agar dapat beroperasi dengan baik untuk jangka waktu panjang. Girma (2016) menyatakan bahwa ketiadaan keahlian aspek teknis dan rendahnya tarif jasa

No. Uraian (Description) Volume Harga (Amount) (Rp)- Kuningan (Brass) 1 buah 150.000,00

B. Tenaga kerja (Labor)- Pembuatan PLTMH (Development of MHP) 70 HOK 35.000,00- Operasional (Operational) 22,8 HOK 35.000,00

C. Biaya penggunaan air irigasi (Fee of irrigation water usage)

1 Paket 1.000.000,00

Sumber (Source): Data penelitian (Research data).

Tabel 3 Rincian biaya dan manfaat PLTMH di Desa Danau Gerak dengan iuran insidentalTable 3 Cost and benefit components of MHP in Danau Gerak village with incidental dues

No. Uraian (Description) Volume Harga (Amount) (Rp)I. Pendapatan (Income)

Iuran awal (Initial fee) 10 rumah 1.750.000,00II. Biaya (Cost)A. Bahan dan alat (Material and equipment)

- Pipa paralon (Paralon pipe) 8 inch 4 batang 1.000.000,00- Turbin (Turbine) 1 buah 6.000.000,00- Dinamo (Dynamo) 3.000 watt 1 buah 1.500.000,00- Kabel induk (Main cable) 1.000 meter 10.000,00- Bambu (Bamboo) 20 batang 10.000,00- Seng (Zinc sheet) 5 keping 30.000,00- Kayu kaso (Rafter wood) 1 batang 40.000,00- Kayu panjang (Long wood) 1 batang 200.000,00- Cat (Paint) 1 kaleng 25.000,00- Fan belt 4 buah 90.000,00- Gemuk (Vet) 2,5 kaleng 40.000,00- Coal dinamis (Dynamic coal) 4 paket 25.000,00- Kuningan (Brass) 1 buah 150.000,00

B. Tenaga kerja (labor)- Pembuatan PLTMH (development of MHP) 180 HOK 35.000,00- Pembersihan turbin (turbine cleaning) 44 HOK 35.000,00- Operasional harian (daily operational) 45,6 HOK 35.000,00

C. Biaya penggunaan air irigasi (fee of irrigation water usage)

1 Paket 1.000.000,00

Sumber (Source): Data penelitian (Research data).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

listrik dari PLTMH merupakan hambatan bagi pengembangan PLTMH di Ethiopia.

Skema pendanaan untuk operasional PLTMH yang berlaku di lokasi penelitian saat ini diragukan mampu menjamin keberlanjutan PLTMH setelah habis masa pakai alat. Gregersen & Contreras (1979) dan Liapis & Kantianis (2015) menyatakan bahwa dalam kerangka analisis finansial dan ekonomi, barang modal seperti mesin (dalam hal ini turbin PLTMH) mempunyai masa pakai atau waktu di mana barang modal yang lama tidak lagi dapat berfungsi seperti semula dalam menghasilkan manfaat. Mengacu pada kerangka analisis finansial dan ekonomi, untuk menjamin keberlanjutan manfaat PLTMH, diperlukan penyisihan pendapatan dengan besaran sesuai dengan nilai barang modal (turbin PLTMH). Hasil penyisihan (depresiasi) ini selanjutnya digunakan untuk membeli turbin baru pada periode selanjutnya, setelah masa pakai turbin habis. Sementara hasil wawancara dengan masyarakat yang merupakan anggota kelompok pengelola PLTMH memberikan informasi bahwa untuk mendapatkan PLTMH baru ketika masa pakai PLTMH habis adalah dengan mengumpulkan iuran lagi seperti pada saat pertama kali dilaksanakan pembangunan PLTMH. Selain itu, pemeliharaan yang diberikan pada turbin PLTMH sangat sederhana karena mereka beranggapan bahwa bagian peralatan yang rusak dapat diganti komponennya melalui iuran yang dikumpulkan. Dengan demikian, pengetahuan masyarakat terutama dalam hal aspek ekonomis untuk mendukung keberlanjutan PLTMH sebagai pemasok listrik perlu ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas masyarakat adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang analisis usaha dan teknis dalam konteks keberlanjutan PLTMH.

Peningkatan kapasitas masyarakat seyogianya diarahkan pada upaya pemanfaatan PLTMH tidak hanya sekedar untuk listrik penerangan, melainkan untuk pengembangan ekonomi pedesaan melalui productive use of

energy (PUE). PUE diartikan sebagai kegiatan di bidang pertanian, komersial, dan industri yang menggunakan jasa energi sebagai input utama untuk menghasilkan barang atau penyediaan jasa (Mayer-Tasch, 2013). Gippner et al. (2013) menginformasikan bahwa di Nepal, masyarakat dilatih untuk menggunakan listrik yang dihasilkan oleh PLTMH untuk berbagai aktivitas produktif. Anggota masyarakat awalnya dilatih dengan beberapa aktivitas ekonomi produktif dalam rangka memanfaatkan listrik yang dihasilkan oleh PLTMH seperti pembuatan dupa, menjahit, beternak babi, membuat sabun cuci, penggergajian kayu skala kecil, ukiran kayu, dan lukisan Thanka. Anggota masyarakat selanjutnya memilih aktivitas ekonomi produktif yang diminati saja.

Listrik yang dihasilkan oleh PLTMH di Desa Danau Gerak diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif seperti penggilingan padi dan pengolahan kopi (Kabupaten Muara Enim merupakan salah satu penghasil kopi utama di Sumatera Selatan). Mengingat terbatasnya kapasitas PLTMH, maka aktivitas pemanfaatan listrik dari PLTMH untuk penggilingan padi dan pengolahan kopi dilakukan pada waktu tertentu saja. Pemanfaatan listrik untuk penggilingan padi dan pengolahan kopi dilakukan pada siang hari setelah musim panen. Mesin penggilingan padi dan pengolahan kopi dapat dikelola oleh kelompok PLTMH, berpeluang memberikan pendapatan bagi kelompok. Pendanaan diperoleh dari pengelolaan PLTMH diharapkan mampu menjadi sumber dana bergulir untuk pembangunan perekonomian masyarakat di desa.

Akses masyarakat terhadap listrik yang dapat diandalkan dan terjangkau merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, terutama bagi masyarakat di daerah perdesaan. PLTMH merupakan cara sederhana dan efektif bagi masyarakat untuk mengembangkan aktivitas ekonomi rumah tangga dan meningkatkan taraf hidup.

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

40

B. Analisis Finansial dan Ekonomi PLTMH di Desa Danau GerakHasil analisis finansial pembangunan dan

pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat di Desa Danau Gerak disajikan pada Tabel 4.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pembangunan dan pengelolaan PLTMH secara swadaya oleh masyarakat di Desa Danau Gerak menurut kaidah analisis usaha dinyatakan tidak layak. Hal ini ditunjukkan oleh nilai manfaat finansial bersih sekarang (Financial Net Present Value/FNPV) negatif, nilai perbandingan antara biaya dan manfaat finansial (Financial Benefit Cost Ratio/FBCR) kurang dari satu dan nilai harapan Financial Rate of Return (FRR) lebih kecil dari tingkat suku bunga yang merupakan oportunitas kapital dari kegiatan pembangunan PLTMH. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan PLTMH oleh masyarakat pada saat ini belum mempertimbangkan kaidah-kaidah kelayakan usaha maupun biaya dan manfaat finansial dari suatu kegiatan sebagai salah satu indikator keberlanjutan pengelolaan.

Analisis skenario I dan skenario II dilakukan untuk mengetahui bentuk pengelolaan yang layak secara finansial maupun ekonomi untuk keberlanjutan PLTMH. Skema pembiayaan yang diacu pada skenario I dan skenario II adalah skema tarif PLN dengan sistem pasca bayar, yaitu dengan sistem biaya beban yang dibayar rutin setiap bulan dan biaya penggunaan daya listrik.

Skenario I merupakan analisis finansial yang mengacu pada standar beban dan daya listrik PLN untuk rumah tangga dengan

batas daya sampai dengan 450 VA (Permen ESDM No. 31 tahun 2014). Harga ini diacu karena rata-rata daya listrik yang diperoleh untuk setiap rumah tangga pengguna listrik dari PLTMH di Desa Danau Gerak adalah 250 VA (< 450 VA). Hasil analisis finansial pembangunan dan pengelolaan PLTMH swadaya di Desa Danau Gerak untuk skenario I disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa pembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak dengan skenario I layak untuk diusahakan. PLTMH swadaya masyarakat di Desa Danau Gerak layak untuk diusahakan apabila pengelolaan dilakukan dengan menggunakan skema tarif seperti skema listrik pasca bayar PLN untuk batas daya sampai dengan 450 VA (Biaya beban Rp11.000,00, tarif 0-30 KWh = Rp169,00, tarif > 30-60 KWh = Rp360,00, dan tarif > 60 KWh = Rp495,00). Skenario II merupakan analisis ekonomi untuk pembangunan dan pengelolaan PLTMH swadaya di Desa Danau Gerak. Pada skenario II, baik untuk skema A maupun skema B pembiayaan operasional diubah dengan sistem biaya beban dan biaya penggunaan daya listrik sebagai sumber pendapatan. Standar beban dan daya listrik mengacu pada standar tarif listrik PLN untuk rumah tangga dengan batas daya sampai dengan 1.300 VA (Permen ESDM No. 31 tahun 2014), yang dianggap sebagai harga keekonomian. Pengelolaan PLTMH layak secara ekonomi apabila meggunakan skema biaya beban dan biaya pemakaian daya listrik pada tarif keekonomian (Tabel 6).

Tabel 4 Analisis finansial pembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak pada tingkat suku bunga 12%

Table 4 Financial analysis of development and management of MHP in Danau Gerak village on the interest rate of 12%

No. Pendanaan operasional (Operational funding) FNPV (Rp) FBCR FRR (%)1. Skema A (Scheme A) -13.389.000,00 0,58 55,002. Skema B (Scheme B) -10.140.000,00 0,83 0,01

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

41

Informasi mengenai kelayakan usaha pembangunan dan pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat di Desa Danau Gerak penting dalam rangka keberlanjutan pasokan energi listrik dari PLTMH. Hasil analisis finansial dan ekonomi yang disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan bahwa keberlanjutan PLTMH akan lebih mungkin tercapai apabila pendapatan yang diperoleh dari iuran dibayarkan secara rutin dapat menutupi semua biaya yang diperlukan untuk pengelolaan. Oleh karena itu perlu ditetapkan besaran tarif listrik seperti skema listrik pasca bayar PLN untuk batas daya sampai 450 VA sehingga total pendapatan yang diharapkan mampu menutupi biaya modal maupun operasional.

Gippner et al. (2013) menyatakan bahwa di Ethiopia, salah satu penjelasan di balik kesuksesan pengelolaan PLTMH adalah dengan menempatkan kelebihan pendapatan kembali ke dalam operasional dan pemeliharaan. Beberapa manajemen PLTMH juga menyiapkan koperasi untuk mengelola dana yang dikumpulkan dari tarif penggunaan listrik PLTMH. Dana ini selanjutnya digunakan sebagai sumber dana keuangan

mikro bagi anggota masyarakat.Pengelolaan PLTMH swadaya masyarakat

di Desa Danau Gerak dapat mengadopsi skema pengelolaan seperti yang dikemukakan oleh Gippner et al. (2013). Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengubah skema tarif. Keberlanjutan PLTMH memerlukan tarif listrik yang mampu menutupi biaya operasi dan pemeliharaan sesuai dengan kriteria teknis. Selanjutnya dana yang diperoleh dikelola oleh lembaga usaha (misalnya koperasi) untuk selanjutnya dikelola sebagai sumber keuangan mikro untuk usaha masyarakat. Penggunaan listrik yang dihasilkan oleh PLTMH juga didorong untuk mendukung aktivitas ekonomi produktif. Demikian seterusnya sehingga pengembangan PLTMH mampu memberikan dampak pengganda bagi perekonomian masyarakat.

C. Konservasi Sumberdaya Hutan dan PLTMH

Istilah 'konservasi' terdiri dari kata con (bersama) dan servare (simpan/selamatkan) yang dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan atau menggunakan

Tabel 5 Analisis finansialpembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak pada tingkat suku bunga 12% untuk skenario I

Table 5 Financial analysis of development and management of the MHP in Danau Gerak village on the interest rate of 12% for scenario I

No. Pendanaan operasional (Operational funding) FNPV (Rp) FBCR FRR (%)1. Skema A (Scheme A) 88.659.000,00 3,16 12,002. Skema B (Scheme B) 82.944.000,00 2,33 53,3

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis).

Tabel 6 Analisis ekonomi pembangunan dan pengelolaan PLTMH di Desa Danau Gerak pada tingkat suku bunga 12% untuk skenario II

Table 6 Economic analysis of development and management of the MHP in Danau Gerak village on the interest rate of 12% for scenario I

No. Pendanaan operasional (Operational funding) ENPV (Rp) EBCR EIRR (%)1. Skema A (Scheme A) 9.901.000,00 1,31 11,992. Skema B (Scheme B) 17.244.000,00 1,54 139,1

Sumber (Source): Analisis data primer (Primary data analysis).

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

42

secara bijaksana. Saat ini konservasi dapat diterjemahkan sebagai penggunaan sumberdaya alam secara bijaksana atau pengelolaan untuk pemanfaatan berkelanjutan (Iswandono, Zuhud, Hikmat, & Kosmaryandi, 2015).

Hutan merupakan lingkungan budaya yang secara keseluruhan menjadi pondasi kehidupan yang menopang sumberdaya hutan. Budaya terbentuk dari hubungan timbal-balik secara kontiniu antara masyarakat dengan lingkungan dan sumberdaya hutan (Iswandono et al., 2015). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan selama hidupnya beradaptasi dengan karakteristik lingkungan alam sekitarnya. Masyarakat Desa Danau Gerak awalnya membangun saluran irigasi untuk memenuhi kebutuhan air untuk pertanian. Saluran irigasi dibuat dari sungai yang berhulu di hutan ke areal persawahan. Interaksi antara masyarakat dengan pertanian sawah, air, dan hutan selama ratusan tahun memberikan pengetahuan yang membentuk budaya masyarakat.

Interaksi tersebut di atas menjadikan masyarakat Desa Danau Gerak yang merupakan rumpun suku Semende memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga (konservasi) hutan sebagai hulu air. Kesadaran ini sudah menjadi suatu mekanisme sosial yang berjalan di dalam kehidupan masyarakat Semende. Martin, Suharjito, Darusman, Sunito, & Winarno (2016) menyatakan bahwa hubungan sawah-hutan menjadi pengetahuan ekologi tradisional yang mampu mendorong konservasi hutan yang merupakan hulu air.

Pengembangan PLTMH sebagai sumber energi listrik di wilayah hulu DAS sebenarnya tidak cukup hanya dipandang sebagai suatu penerapan teknologi tepatguna saja, tetapi juga memiliki makna sebagai suatu bentuk diversifikasi produk jasa lingkungan air yang berasal dari hutan. Air yang mengalir melalui saluran irigasi di Desa Danau Gerak awalnya hanya ditujukan untuk irigasi sawah dan sumber air rumah tangga saja, saat ini juga dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Keberadaan PLTMH menjadikan pemanfaatan

air semakin beragam dan manfaat air semakin dirasakan oleh masyarakat.

Diversifikasi pemanfaatan air di Desa Danau Gerak seperti dikemukakan di atas mampu meningkatkan hubungan positif antara masyarakat dengan hutan sebagai sumber air (ulu ayek). Hal ini diwujudkan dengan adanya aksi kolektif masyarakat desa untuk menjaga hutan sebagai sumber air melalui kelompok pengelola saluran irigasi (siring). Masyarakat Desa Danau Gerak menjaga hutan sebagai sumber air dengan menetapkan aturan-aturan tertulis yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat pengguna air, baik yang tergabung dalam kelompok pengelola air irigasi (siring) maupun yang tidak tergabung dalam kelompok siring. Aturan tersebut antara lain adalah adanya larangan untuk menebang pohon di hutan yang merupakan hulu air (DAS) dan di sekitar saluran irigasi. Selain, itu juga ada kegiatan gotong royong untuk menjaga dan memperbaiki siring apabila terjadi kerusakan. Masyarakat Desa Danau Gerak menjadikan konservasi sumberdaya hutan sebagai aturan dalam pengelolaan siring.

Pada masa lalu sebelum jumlah penduduk desa semakin banyak dan kebun belum terlalu luas, sumber air irigasi tidak hanya berasal dari hutan saja, melainkan juga berasal dari pohon-pohon di sekitar desa. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya kebun, dapat dikatakan bahwa hutan adalah sumber air siring. Kesadaran akan pentingnya hutan sebagai sumber air dan meningkatnya manfaat air meningkatkan hubungan positif masyarakat Desa Danau Gerak dengan hutan. Peningkatan hubungan positif masyarakat dengan hutan mendorong peningkatan kepedulian pada kondisi hutan di hulu DAS sehingga masyarakat secara swadaya menjadikan konservasi sumberdaya hutan sebagai bagian dari budaya. Secara nyata di lapangan, hal ini terlihat dalam bentuk penyertaan konservasi hutan yang berfungsi sebagai hulu DAS (ulu ayek) sebagai bagian dari aturan pengelolaan siring

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

43

di tingkat desa. Aturan tersebut diwujudkan dalam kegiatan gotong royong dalam rangka pemeliharaan dan perbaikan siring, pelarangan penebangan pohon di sekitar siring dan mata air, dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggar aturan yang sudah melembaga pada masyarakat desa.

Manfaat yang berupa ketersediaan energi listrik dari PLTMH sebenarnya dapat dianggap sebagai insentif ekonomi bagi masyarakat yang menjaga hutan sebagai hulu air. Keberadaan berbagai manfaat insentif yang bersumber dari keberadaan air (antara lain listrik dari PLTMH) juga berperan dalam mendorong masyarakat melakukan tindakan konservasi sumberdaya hutan. Schaafsma et al. (2014) menyatakan bahwa tanpa manfaat atau insentif ekonomi yang layak maka masyarakat tidak akan melakukan tindakan yang mengarah pada konservasi sumberdaya hutan.

Interaksi masyarakat di Desa Danau Gerak dengan hutan sebagai hulu air melahirkan pengetahuan ekologis tradisional yang menjadi mekanisme sosial. Pengetahuan ekologis tradisional masyarakat Desa Danau Gerak dalam kaitannya dengan hutan dan air yang diintegrasikan dengan manajemen modern diharapkan dapat menjadi dasar pengelolaan hutan di hulu DAS. Rist, Shaanker, & Ghazoul (2010) menyatakan bahwa pengetahuan ekologi tradisional yang diintegrasikan dalam manajemen adalah metode yang efisien dalam hal waktu dan biaya pengelolaan konservasi dan juga solusi masalah sosial.

Penggunaan pengetahuan ekologi tradisional sangat relevan dalam perencanaan konservasi dan penilaian sumberdaya dengan alasan efisiensi, peningkatan, dan keterlibatan masyarakat (Iswandono et al., 2015). Pelibatan masyarakat beserta pengetahuannya yang sudah menjadi mekanisme sosial dan sebagai penerima manfaat langsung dari keberadaan hutan (antara lain dengan adanya listrik dari PLTMH) diharapkan akan menjadikan konservasi sumberdaya hutan di hulu DAS menjadi melembaga dan lestari.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanSkema pembangunan dan pengelolaan

PLTMH swadaya masyarakat yang saat ini sedang berjalan di Desa Danau Gerak berdasarkan hasil analisis usaha tidak mampu menjamin kelestarian dalam jangka panjang. Masyarakat Desa Danau Gerak perlu ditingkatkan pengetahuannya, baik secara teknis maupun ekonomis untuk keberlanjutan PLTMH dan pasokan listrik.

PLTMH swadaya masyarakat di Desa Danau Gerak layak untuk diusahakan minimal dengan menggunakan skema tarif listrik pascabayar PLN untuk batas daya sampai dengan 450 VA. Pembangunan dan pengelolaan PLTMH dengan menggunakan skema biaya beban dan biaya pemakaian daya listrik pada tarif keekonomian layak untuk diusahakan. Skema tarif PLN untuk batas daya 450 VA, masyarakat mampu membayar dan ada harapan keberlanjutan PLTMH, sehingga tidak perlu penerapan tarif keekonomian karena masyarakat tidak mampu membayar tarif skema keekonomian.

Diversifikasi pemanfaatan air di kawasan hulu DAS mendorong peningkatan hubungan positif masyarakat dengan hutan sehingga meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat di sekitar hutan untuk menjaga dan berperan dalam konservasi hutan. Konservasi sumberdaya hutan dengan pelibatan masyarakat penerima manfaat langsung dari keberadaan hutan sebagai sumber air diharapkan dapat melembaga dan lestari.

B. SaranPLTMH merupakan alternatif sumber

energi terbarukan yang mendukung konservasi sumberdaya hutan di hulu DAS. Dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan PLTMH seperti tekno-ekonomi, kemampuannya menghasilkan energi terbarukan, kondisi geografis wilayah, dan rasio elektrifikasi di perdesaan Sumatera Selatan, maka sepatutnya pemerintah pusat

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

44

maupun daerah mendukung pengembangan PLTMH sebagai penyedia pasokan listrik di hulu DAS melalui kebijakan energi terbarukan yang komprehensif.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian pada tahun 2015 dan 2016 serta dewan redaksi dan editor yang telah membantu menyempurnakan naskah ini.

REFERENCES

Aprianti, A. (2009). Energi mikrohidro masih jadi andalan. Retrieved January 6, 2016, from http: //www.energi.lipi.go.id

Ardhau, S. P. (2009). Economic analysis and application of small micro/hydro power plants. In International Conference on Renewable Energies and Power Quality (ICREPQ’09) (p. 8). Valencia: European Association for the Development of Renewable Energies, Environment and Power Quality.

Atkinson, R., & Flint, J. (2001). Accessing hard to reach populations for research: Snowball research strategies. Social Research Update. https: //doi.org/Available at: http://sru.soc.surrey.ac.uk /SRU33.html (Accessed: December 2014)

Bahruni, Suhendang, E., Darusman, D., & Alikodra, H. (2007). Pendekatan sistem dalam pendugaan nilai ekonomi total ekosistem hutan: Nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 4(3), 369–378.

Costanza, R., D’Arge, R., de Groot, R., Farber, S., Grasso, M., Hannon, B., … van den Belt, M. (1998). The value of the world’s ecosystem services and natural capital. Nature, 387(6630), 253–260. https: //doi.org/10.1038/387253a0.

Deegen, P., & Seegers, C. (2011). Establishing sustainability theory within classical forest science: the role of Cameralism and classical political economy. In J. G. Backhaue (Ed.), Physiocracy. Springer, Antiphysiocracy and Pfeiffer (pp. 155–168). New York: Springer.

https://doi.org /10.1007/978-1-4419-7497-6_11.

Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia. (2006). Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP-PEN) 2005-2025. Retrieved January 6, 2016, from http://www.esdm.go.id/assets/admin /file/pub/Blueprint_PEN_tgl_10_Nop_2007.pdf.

Gippner, O., Dhakal, S., & Sovacool, B. K. (2013). Microhydro electrification and climate change adaptation in Nepal: socioeconomic lessons from the Rural Energy Development Program (REDP). Mitig Adapt Strateg Glob Change, 18, 407–427. https://doi.org/10.1007/s11027-012-9367-5.

Girma, Z. (2016). Techno-economic feasibility of small scale hydropower in Ethiopia: The case of the Kulfo River, in Southern Ethiopia. Journal of Renewable Energy, 1–12. https://doi.org /http://dx.doi.org/10.1155/2016/8037892.

Gregersen, H. M., & Contreras, A. H. (1979). Economic analysis of forestry project. Rome: Food and Agricuture Organizationof The United Nations.

Iswandono, E., Zuhud, A., Hikmat, A., & Kosmaryandi, N. (2015). Integrating local culture into forest conservation: A case study of the Manggarai Tribe in Ruteng Mountains, Indonesia. JMHT, 21(August), 55–64. https://doi.org/10.7226/jtfm.21.2.55.

Kaldellis, J. K. (2007). The contribution of small hydro power stations to the electricity generation in Greece: Technical and economic considerations. Energy Policy, 35, 2187–2196. https://doi.org /10.1016/j.enpol.2006.06.021.

Kaldellis, J. K., Vlachou, D. S., & Korbakis, G. (2005). Techno-economic evaluation of small hydro power plants in Greece: a complete sensitivity analysis. Energy Policy, 33, 1969–1985. https://doi.org /10.1016/j.enpol.2004.03.018.

Liapis, K. J., & Kantianis, D. D. (2015). Depreciation methods and life-cycle costing (LCC) methodology. Procedia Economics and Finance, 19(15), 314–324. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(15)00032-5.

LIPI. (2009). PLTMH-Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Retrieved June 22, 2016, from http: //www.energi.lipi.go.id.

Martin, E., Suhardjito, D., Darusman, D., Sunito, S., & Winarno, B. (2016). Tunggu Tubang and Ulu-Ayek: Social mechanism of sustainable protected forest management. JMHT, 22(2), 85–93. https://doi.org /10.7226/jtfm.22.2.85.

Mayer-Tasch, L. (2013). Promoting productive use of energy in the framework of energy access programmes. Addis Abeba: GIZ.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 31-45

45

Murni, S., Whale, J., Urmee, T., Davis, J., & Harries, D. (2012). The role of micro hydro power systems in remote rural electrification: a case study in the Bawan Valley, Borneo. In Procedia Engineering (Vol. 49, pp. 189–196). https://doi.org/10.1016 /j.proeng.2012.10.127.

Noerdin, A. (2014, October). Gubernur peringati hari listrik nasional ke-69. Retrieved January 6, 2016, from http://www.alexnoerdin.info/index.php/berita /index/1/2014/10/27/599.

North, P. (2010). Eco-localisation as aprogressive response to peak oil and climate change – a sympathetic critique. Geoforum, 41, 585–594.

Nouni, M., Mullick, S., & Kandpal, T. (2009). Providing electricity access to remote areas in India: Niche areas for decentralized electricity supply. Renewable Energy, 34(2), 430–434.

Nugroho, H. Y. S. ., & Salatta, M. K. (2015). PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro): Panduan lengkap membuat sumber energi terbarukan secara swadaya). Yogyakarta.: CV. Andi Offset.

Nurfatriani, F. (2006). Konsep nilai ekonomi total dan metode penilaian sumberdaya hutan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 3(1), 1–16.

Nurfatriani, F., & Handoyo. (2007). Nilai ekonomi manfaat hidrologis hutan di DAS Brantas Hulu untuk pemanfaatan non-komersial. Info Sosial Ekonomi, 7(3), 193–214.

Octaviani, A. (2012). Analisis ekonomi pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Retrieved January 18, 2017, from http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60691/1/H12aao.pdf.

Ondrej, Z. (2014). Net present value approach: method for economic assessment of innovation projects. In 19th International Scientific Conference; Economics and Management 2014, ICEM 2014, 23-25 April 2014, Riga, Latvia (Vol. 156, pp. 506–512). https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.230.

Panwar, N. L., Kaushik, S. C., & Kothari, S. (2011). Role of renewable energy sources in environmental protection: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews. https://doi.org/10.1016 /j.rser.2010.11.037.

Purwanto. (2011). Analisis finansial dan ekonomi pembangkit listrik mikrohidro di beberapa lokasi, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 8(4), 251–264.

Purwanto, W. W., & Afifah, N. (2016). Assessing the impact of techno socioeconomic factors on sustainability indicators of microhydro power projects in Indonesia: A comparative study. Renewable Energy, 93, 312–322. https://doi.org /10.1016/j.renene.2016.02.071.

Rist, L., Shaanker, R. U., & Ghazoul, J. (2010). The Use of Traditional Ecological Knowledge in Forest Management: an Example from India. Ecology And Society, 15(1), 3.

Sang, N., & Birnie, R. (2008). Spatial sampling and public opinion in environmental management: A case study of the Ythan catchment. Land Use Policy, 25(1), 30–42. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2007.02.005.

Schaafsma, M., Morse-Jones, S., Posen, P., Swetnam, R. D., Balmford, A., Bateman, I. J., … Turner, R. K. (2014). The importance of local forest benefits: Economic valuation of non-timber forest products in the eastern Arc mountains in Tanzania. Global Environmental Change, 24(1), 295–305. https: //doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2013.08.018.

Sitompul, R. F. (2013). Analisis kebijakan dan aspek regulasi dalam pengembangan mikrohidro di Indonesia. Jakarta: LIPI.

Suarda, M. (2009). Kajian teknis dan ekonomis potensi pembangkit listrik tenaga mikro-hidro di Bali. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Cakram, 3(2), 184–193.

Subekti, R. A., & Sudibyo, H. (2011). Kajian potensi dan tekno ekonomi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di wilayah sulawesi. Retrieved March 10, 2016, from http://lipi.go.id/publikasi/kajian-potensi-dan-tekno-ekonomi-pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-pltmh-di-wilayah-sulawesi/11351

Ulya, N. A. (2014). Penilaian kawasan hutan rawa gambut berdasarkan nilai ekonomi total (Studi kasus di Merang Kepayang Sumatera Selatan). Universitas Gadjah Mada.

Ulya, N. A., Warsito, S. P., Andayani, W., & Gunawan, T. (2014). Nilai ekonomi air untuk rumah tangga dan transportasi- Studi kasus di desa-desa sekitar hutan rawa gambut Merang Kepayang, Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 21(2), 232–238.

Analisis Ekonomi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro ........(Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, & Adi Kunarso)

46

47

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN ALOKASI LAHAN 12,7 JUTA HA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL: STUDI KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA

BARAT DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Effectiveness of 12.7 Million Ha Land Allocation Policy for Social Forestry: Case Study

of Nusa Tenggara Barat and Daerah Istimewa Yogyakarta Provinces) Fitri Nurfatriani & Iis Alviya

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan IklimJl. Gunung Batu No.5 Bogor

E-mail: [email protected] dan [email protected]

Diterima 22 Mei 2018, direvisi 14 Mei 2019, disetujui 20 Mei 2019

ABSTRACT

The policy of 12.7 million ha land allocation for Social Forestry has been released since 2014. Social forestry policy places communities as the main actors in forest management. This policy is expected to be a solution to the problems of forest degradation, poverty, and land tenure conflicts. This paper aims to: (1) determine criteria and indicators priority in land allocation policy for social forestry, and (2) analyze the effectiveness of land allocation policy for social forestry. This study uses Pairwise Comparison-AHP and scoring approaches. The results show that the environmental aspect is the top priority in land allocation policy for social forestry, followed by economic and institutional aspects. From environmental aspect, the main priority is to overcome estate forest encroachment issues, while from economic, the priorty of this policy is as a source of income for the communities who live in/around the forest. The priority of institutional aspects is finding the way of how social forestry can create market network for social forestry commercial products. In terms of social aspects, social forestry is prioritized to overcome tenure conflicts between communities and government. Based on effectiveness index, social forestry land allocation policy is categorized quite effective with the value of 10.79.

Keywords: Social Forestry Policy; pairwise comparison; criteria and indicators; communities.

ABSTRAK

Kebijakan alokasi lahan Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta ha telah dikeluarkan sejak tahun 2014. Kebijakan PS memposisikan masyarakat sebagai ujung tombak dalam pengelolaan hutan. Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi atas permasalahan kerusakan hutan, kemiskinan, dan konflik tenurial. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) menentukan kriteria dan indikator prioritas berdasarkan kriteria dan indikator yang telah dibangun dalam kebijakan alokasi lahan untuk perhutanan sosial, dan (2) menganalisis tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk perhutanan sosial. Pendekatan Pairwise Comparison-AHP dan metode skoring digunakan dalam penelitan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek lingkungan merupakan prioritas utama dalam kebijakan alokasi lahan untuk PS, diikuti dengan aspek ekonomi dan kelembagaan sebagai prioritas kedua dan ketiga. Dari aspek lingkungan, kebijakan alokasi lahan untuk PS memiliki prioritas utama untuk mengatasi kasus perambahan kawasan hutan. Dari aspek ekonomi, kebijakan tersebut prioritas utamanya adalah sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dari aspek kelembagaan, prioritasnya adalah bagaimana PS dapat menciptakan jaringan pemasaran untuk produk-produk komersial PS. Sementara dari aspek sosial, PS diprioritaskan sebagai resolusi konflik permasalahan tenurial antara masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan indeks efektivitas, kebijakan alokasi lahan untuk PS masuk dalam kategori cukup efektif dengan nilai 10,79.

Kata kunci: Perhutanan sosial; pairwise comparison; kriteria dan indikator; AHP; efektivitas kebijakan.

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1. 47-66

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

48

I. PENDAHULUANPerhutanan Sosial (PS) diatur dalam

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 83 tahun 2016. PS didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan, baik di hutan negara maupun hutan hak/milik yang melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Skema PS menurut Permen LHK No. 83/2016 berupa Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan. Dengan terbitnya peraturan PS diharapkan kepastian hukum akan hak akses masyarakat terhadap hutan menjadi lebih kuat dengan mempertimbangkan peran masyarakat sebagai ujung tombak pengelola hutan di tingkat tapak. Di samping itu kebijakan PS ini diharapkan dapat memperbaiki kebijakan pengelolaan hutan sebelumnya yang lebih banyak memberikan hak kelola hutan kepada korporasi sehingga menyebabkan posisi masyarakat termarjinalkan dan berada dalam kemiskinan (Sunderlin & Atmadja, 2004).

Model pengelolaan hutan dalam PS diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi terjadinya konflik lahan. Menurut Sunderlin & Atmadja (2004), sumber konflik dalam pengelolaan kawasan hutan salah satunya disebabkan oleh adanya klaim akan lahan dari negara dan masyarakat. Konflik yang terjadi di masyarakat sekitar hutan didominasi oleh langkanya sumber lahan garapan bagi masyarakat (Brockhaus, Obidzinski, Dermawan, Laumonier, & Luttrell, 2012; Luttrell, Resosudarmo, Muharrom, Brockhaus, & Seymour, 2014; Resosudarmo, Admadja, Ekaputri, Intarini, & Indriatmoko, 2014). Permasalahan tersebut menyebabkan deforestasi, termarjinalkannya hak-hak masyarakat, dan kemiskinan. Selanjutnya Kim et al. (2016) menyatakan bahwa untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang efektif harus mempertimbangkan partisipasi masyarakat.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat muncul sebagai salah satu pendekatan untuk pengelolaan sumberdaya hutan yang bertujuan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat setempat serta memperbaiki kondisi sumberdaya alam tempat mereka bergantung (Gbedomon et al., 2016; Mahanty, Suich, & Tacconi, 2013; Suich, Lugina, Muttaqin, Alviya, & Sari, 2016). Selain itu Angelsen (2008) menyatakan bahwa pengelolaan hutan dengan pelibatan masyarakat juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pengguna jasa hutan dan meningkatkan kualitas hutan melalui pengelolaan yang berkelanjutan, juga tata kelola kehutanan melalui institusi pengelola sumberdaya alam yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan di tingkat tapak (Moktan, Norbu, & Choden, 2016).

Di Indonesia, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan juga sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 2001 telah muncul kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dirintis oleh Perum Perhutani sejak tahun 1972 di seluruh kawasan hutan konsesi Perum Perhutani di Jawa atau sekitar 60% luas Pulau Jawa (Wunder, 2008).

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan alokasi lahan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program PS seluas 12,7 juta ha. Target PS ini merupakan komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Di samping itu kebijakan ini juga sebagai dukungan nyata KLHK dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan sekitar kawasan hutan, penyelesaian konflik tenurial, dan dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk menjaga kawasan hutan yang dikelolanya. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dibukanya akses bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Implementasi

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

49

kebijakan yang diharapkan dapat merestorasi fungsi hutan belum bisa mengakomodir permasalahan dalam pengelolaan hutan (Ritonga, Mardhiansyah, & Kausar, 2014).

Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan PS telah tercapai yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjaga kelestarian hutan, maka diperlukan penilaian efektivitas kebijakan alokasi lahan PS seluas 12,7 juta ha dengan menggunakan kriteria dan indikator yang telah ditentukan. Kriteria yang digunakan untuk penilaian alokasi lahan PS adalah kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan yang kemudian diturunkan menjadi beberapa indikator. Kriteria ini dipilih berdasarkan pada teori pembangunan berkelanjutan di mana titik berat pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengintegrasikan tiga aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup dalam kegiatan pembangunan yang berkesinambungan dengan memerhatikan kepentingan dan kebutuhan generasi yang akan datang (Cooper, & Vargas, 2004; Giddings, Hopwood, & O'Brien, 2002). Selanjutnya kriteria dan indikator ditetapkan berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) dengan pakar PS dan peneliti.

Hasil penilaian efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk PS ini akan menjadi bahan masukan untuk mempercepat realisasi program perhutanan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk perhutanan sosial berdasarkan kriteria sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan.

II. METODE PENELITIANA. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian tersaji pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa kebijakan alokasi lahan 12,7 juta ha melalui program PS merupakan prioritas nasional dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat sebagai aktor dalam pengelolan hutan. Namun demikian, dalam praktiknya banyak permasalahan dalam implementasi kebijakan PS di tingkat tapak. Dalam teori analisis kebijakan menurut Dunn (2003) serta Patton & Savicky (1993), tahapan penyusunan kebijakan terdiri atas penetapan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,

Gambar 1 Kerangka penelitianFigure 1 Research logical framework.

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

50

dan evaluasi kebijakan untuk melihat efektivitas kebijakan dalam menyelesaikan masalah. Kebijakan PS sebagai salah satu kebijakan publik perlu dikaji sejauh mana tingkat efektivitasnya sebagai bahan untuk rekomendasi percepatan pencapaian target alokasi lahan untuk PS. Dengan demikian diperlukan evaluasi kebijakan PS untuk menilai tingkat efektivitas kebijakan tersebut dengan menggunakan kriteria dan indikator tertentu. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji efektivikasi kebijakan alokasi lahan PS menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan makna dari data yang disajikan, baik yang berasal dari narasumber maupun data sekunder. Sedangkan pendekatan kuantitatif bedasarkan pada teori pengambilan keputusan untuk mengetahui prioritas kriteria yang diambil dan mengukur seberapa besar kinerja implementasi dari kriteria tersebut di lapangan (Saaty, 1993).

Metode analytical hierarchy process (AHP) digunakan untuk menentukan skala prioritas dari kriteria dan indikator yang digunakan, dan selanjutnya untuk menilai kinerja implementasi masing-masing indikator digunakan penilaian berdasarkan expert judgement dan diolah dengan menggunakan skala Likert. Pendekatan ini serupa dengan penilaian kelestarian hutan yang telah dilakukan oleh Mendoza dan Prabhu (2000) yang mengestimasi kepentingan (bobot) relatif dari berbagai faktor menggunakan AHP, ranking dengan meng-urutkan menurut tingkat kepentingannya dan rating yaitu menentukan derajat relatif dari setiap indikator.

Kriteria yang digunakan adalah kriteria sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan dengan menggunakan indikator-indikator yang diturunkan dari kriteria tersebut. Tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk PS diukur berdasarkan penilaian implementasi indikator-indikator dari setiap kriteria di lapangan (Tabel 2). Kriteria dan indikator

ditetapkan berdasarkan hasil FGD antara tim peneliti dengan para pakar sebagai narasumber penelitian. Kebijakan alokasi PS dikatakan efektif jika hasil penilaian kriteria ekonomi kebijakan alokasi lahan untuk PS dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan produktivitas lahan, serta menciptakan alternatif mata pencaharian baru; berdasarkan kriteria sosial budaya, kebijakan PS mempertimbangkan kearifan lokal, melibatkan partisipasi masyarakat, dan menjadi alternatif resolusi konflik; berdasarkan kriteria lingkungan, kebijakan PS dapat menjaga ketersediaan air, dapat mencegah kebakaran hutan dan lahan, dan mengurangi perambahan hutan; berdasarkan kriteria kelembagaan, kebijakan PS dapat menjadi panduan dalam pengelolaan lahan masyarakat, meningkatkan akses informasi dan transfer teknologi, serta menyediakan lembaga pemasaran dan lembaga pembiayaan.

Pendekatan ini digunakan agar dapat dihasilkan penilaian yang terukur secara komprehensif berdasarkan keempat kriteria tersebut. Hasil penilaian efektivitas kebijakan PS akan menjadi dasar untuk menyusun rekomendasi kebijakan agar implementasi kebijakan PS dapat berjalan optimal.

B. Metode Pengumpulan Data dan Analisis DataMetode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri atas: (1) wawancara mendalam semi terstruktur, (2) pengisian kuesioner, (3) studi literatur, dan (4) FGD atau diskusi kelompok. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan pengisian kuesioner dilakukan terhadap narasumber kunci yaitu para praktisi dan pengambil kebijakan yang terlibat langsung dalam program PS. Narasumber dipilih dengan metode purposive sampling yaitu para ahli, tokoh yang berkompeten, berpengalaman dan memiliki kewenangan dalam program PS, dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan terkait dengan tujuan penelitian (Tabel 1).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

51

Dalam penelitian ini terdapat 20 narasumber yang terdiri atas praktisi di tingkat pusat 8 orang, praktisi PS di Provinsi DI Yogyakarta 6 orang, dan praktisi PS di Provinsi NTB 6 orang. Sementara itu pengumpulan data melalui FGD dilakukan dengan mengundang para stakeholder yang terkait dalam kebijakan PS.

Analisis data dilakukan dengan dua tahapan. Tahap 1 adalah analisis untuk menentukan kriteria dan indikator prioritas

dalam kebijakan alokasi lahan untuk PS yang digunakan untuk mengkaji efektivitas kebijakan tersebut. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan analytic hierarchy process (AHP) menggunakan software expert choice versi 11. Dengan metode ini, kriteria dan indikator yang digunakan dimasukkan dalam struktur hirarki sebagaimana pada Gambar 2.

Rumusan kritera yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari paradigma pembangunan berkelanjutan menurut

Tabel 1 Daftar responden penelitian Table 1 Respondents of the research

No.Responden (Respondents)

Pemerintah Pusat(Central Government)

Pemerintah Daerah NTB(Local Government of NTB)

Pemerintah Daerah Yogyakarta(Local Government of Yogyakarta)

Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial/PKPS (1 narasumber)

KPH Rinjani Barat (2 narasumber)

Dishut Provinsi DI Yogyakarta (2 narasumber)

Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat/BUPSHA (3 narasumber)

Dishut Provinsi NTB (2 narasumber)

KPH Yogyakarta (2 narasumber)

Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (2 narasumber)

Pokja PS (2 narasumber) HKm Kalibiru (2 narasumber)

Balai Pemantapan Kawasan Hutan/BPKH (2 narasumber)Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial/PKPS (1 narasumber)

Gambar 2 Struktur hirarki kriteria dan indikator penelitianFigure 2 The hierarchy structure of research criteria and indicators.

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

52

Bank Dunia yaitu yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Masing-masing kriteria terdiri atas beberapa indikator yang harus diperhatikan dalam upaya mencapai pengalokasian area PS yang efektif. Penentuan kriteria dan indikator dirumuskan oleh peneliti berdasarkan hasil diskusi dengan para ahli bidang keilmuan; selanjutnya kiriteria dan indikator tersebut disusun dalam bentuk matrik perbandingan berpasangan untuk dilakukan penilaian tingkat kepentingan atau prioritas dengan menggunakan skala fundamental dalam AHP (Tabel 2). Skala prioritas ditentukan berdasarkan nilai rasio inkonsistensi (Inconsistency Ratio/IR). Jika nilai IR di bawah 10%, maka kriteria dan indikator yang digunakan layak untuk dipertimbangkan. Uraian kriteria dan indikator dalam struktur hirarki dijelaskan pada Tabel 3.

Tahap 2 adalah analisis untuk menentukan tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan PS dengan menggunakan formula:Di mana:

SE = skor efektivitasw = bobot s = skor (bernilai 1–5)c = kriteria ke-ci = indikator ke-i.

Analisis ini dilakukan menggunakan skoring berdasarkan expert judgement terhadap kinerja kriteria dan indikator dari hasil pembobotan pada Tahap 1. Skoring dilakukan dengan menggunakan skala Likert (1-5). Indeks efektivitas dibagi menjadi lima kelas yaitu tidak efektif, kurang efektif, cukup efektif, efektif, dan sangat efektif.

Tabel 2 Skala fundamental dalam AHPTable 2 Fundamental scale of AHP

Bobot(Scoring)

Definisi(Definition)

Penjelasan dalam matrik perbandingan berpasangan(Explanation of pairwise comparison matrices)

1 Sama pentingnya (Equally important)

Aktivitas A sama pentingnya dengan aktivitas B untuk mencapai tujuan(A as important as B)

3 Sedikit lebih penting (Just a little more important)

Aktivitas A sedikit lebih penting dibandingkan dengan aktivitas B untuk mencapai tujuan (A is slightly important than B)

5 Lebih penting (More important) Aktivitas A lebih penting dibandingkan dengan aktivitas B untuk mencapai tujuan(A is more important than B)

7 Sangat lebih penting (Far more important)

Aktivitas A sangat lebih penting dibandingkan dengan aktivitas B untuk mencapai tujuan (A is far more important than B)

9 Mutlak lebih penting (Absolutely more important)

Aktivitas A mutlak lebih penting dibandingkan dengan aktivitas B untuk mencapai tujuan (A is absolutely more important than B)

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai keputusan yang berdekatan (Scores between two adjacent values)

Bila kompromi dibutuhkan (When a compromise is needed)

Berbalikan (Reversed)

Jika aktivitas B mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas A (When B is more important than A)

Sumber (Source): (Saaty, 1993).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

53

C. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan di Jakarta,

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta adalah penyusun kebijakan terkait PS melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan

Lingkungan (Ditjen PSKL), Provinsi NTB merupakan wilayah yang memiliki skema Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) cukup besar dengan 90 KUPS dan Yogyakarta dengan 43 KUPS (Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (Direktorat BUPSHA, 2017) juga sebagai wilayah yang telah menginisiasi pola kelola PS untuk pemanfaatan hasil hutan kayu, non kayu, dan

Tabel 3 Uraian kriteria dan indikator dalam struktur hirarki penelitianTable 3 Description of criteria and indicators in the research hierarchy structure

Kriteria(Criteria)

Indikator(Indicators)

Uraian(Description)

Ekonomi (Economy) Tenaga kerja (Labor) Peningkatan penyerapan tenaga kerja melalui kegiatan PS (SF can increase employment)

Pendapatan (Income) Peningkatan tambahan pendapatan dari kegiatan PS (SF can add community income)

Produktivitas lahan (Land productivity)

Terjadi peningkatan produktivitas lahan (SF can increase land productivity)

Alternatif mata pencaharian (Alternative livelihood)

Kegiatan PS menciptakan alternatif mata pencaharian baru, baik on farm maupun off farm (SF creates new sources of livelihood alternative, both on farm and off farm)

Sosial budaya (Socio-cultural)

Kearifan lokal (Local wisdom) Kegiatan PS mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat (SF considers the local wisdom)

Partisipasi (Participation) Kegiatan PS melibatkan partisipasi masyarakat (SF involves community participation)

Resolusi konflik (Conflict resolution)

Kegiatan PS merupakan salah satu alternatif resolusi konflik (SF is one of conflict resolutions)

Lingkungan (Environment)

Pengaturan tata air (Water management)

Kegiatan PS dapat menjaga ketersediaan air (SF activities can maintain water availability)

Pencegahan kebakaran (Fire prevention)

Implementasi PS telah menggunakan teknik pembukaan lahan tanpa bakar (SF implementation uses no burn-land clearing technique)

Perambahan (Encroachment) Kegiatan PS dapat mengurangi tingkat perambahan kawasan hutan (SF can reduce forest encroachment)

Kelembagaan (Institutional)

Regulasi (Regulation) Kegiatan PS bias menjadi panduan dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat (SF can be a basis for community land management)

Akses informasi (Information access)

Kegiatan PS meningkatkan akses informasi dan transfer teknologi (SF can improve the access towards information and technology)

Pemasaran (Marketing) Ketersediaan lembaga pemasaran (SF creates marketing access)

Pembiayaan (Finance) Ketersediaanl embaga pembiayaan (SF creates finance agency)

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

jasa lingkungan. Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga November 2017.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kriteria dan Indikator Prioritas dalam Alokasi Perhutanan Sosial yang OptimalHasil analisis AHP menunjukkan bahwa

bobot nilai yang diberikan oleh para responden memiliki nilai rasio inkonsistensi (Inconsistency Ratio/IR) di bawah 10% atau di bawah nilai inkonsistensi rasio yang diperbolehkan untuk turut dipertimbangkan dalam penilaian penentuan prioritas untuk mencapai tujuan.

Dalam penelitian ini hasil analisis akan disajikan dalam dua sub yaitu: (a) analisis keseluruhan yang merupakan gabungan penilaian dari seluruh narasumber (pusat dan daerah) dalam merepresentasikan persepsi terkait dengan alokasi PS yang optimal secara nasional, dan (b) analisis responden per wilayah penelitian yang merepresentasikan persepsi terkait dengan alokasi PS yang optimal di tingkat subnasional.

1. Analisis KeseluruhanBerdasarkan hasil analisis dari seluruh

narasumber sebagaimana tersaji pada Tabel 1, urutan tiga kriteria tertinggi yang menjadi prioritas dalam alokasi lahan untuk PS yang optimal secara berturut-turut adalah aspek lingkungan, ekonomi, dan kelembagaan dengan bobot yang relatif berdekatan sebagaimana tersaji pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis AHP untuk narasumber di tingkat pusat, NTB dan DIY, aspek lingkungan menjadi prioritas utama kebijakan PS. Hal tersebut karena mayoritas dari narasumber adalah pengambil kebijakan di urusan kehutanan sehingga lebih berorientasi kepada aspek lingkungan. Di samping itu manfaat lingkungan merupakan manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari tujuan PS menurut narasumber. Dari hasil wawancara mendalam dengan narasumber, aspek lingkungan menjadi prioritas utama mengingat tekanan terhadap sumberdaya hutan saat ini seperti kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, sehingga dengan mengalokasikan lahan untuk program PS dan memberikan akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan diharapkan akan mengurangi tekanan teradap hutan dengan pendekatan sosial ekonomi.

Selanjutnya secara detail skala prioritas indikator dari masing-masing kriteria tersaji pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa dalam aspek lingkungan, menurut narasumber, kebijakan alokasi PS seluas 12,7 juta ha prioritas utamanya adalah untuk mengurangi perambahan di kawasan hutan sehingga kondisi hutan menjadi lebih baik dan fungsi hutan sebagai pengatur tata air tetap terjaga dengan baik di tingkat nasional.

Hal tersebut sangat mendasar mengingat secara umum di Indonesia tingginya tingkat kerusakan kawasan hutan disebabkan oleh perambahan hutan oleh masyarakat. Ini disebabkan pada kebijakan sebelumnya, ruang kelola masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat kecil sehingga menjadi faktor penyebab meningkatnya konflik lahan. Masyarakat sekitar hutan atau yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya hutan dan lahan kurang mendapat perhatian sehingga tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar hutan semakin meningkat yang memicu perambahan kawasan hutan.

Sementara itu dari aspek ekonomi, kebijakan PS dengan skema-skemanya

Tabel 4 Skala prioritas criteria dalam alokasi lahan untuk PS yang optimal

Table 4 Criteria priority scale in optimal land social forestry allocation

Kriteria (Criteria) Bobot (Weight)Lingkungan (Environmental) 0.280Ekonomi (Economy) 0.273Kelembagaan (Institutional) 0.270Sosial budaya (Socio-cultural) 0.177

54

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

merupakan suatu alat untuk meningkatkan pendapatan bagi masyarakat, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hal tersebut mendukung kebijakan nasional dan menjadikan PS sebagai kebijakan pemerataan ekonomi khususnya bagi 9.800 desa yang masuk dalam PIAPS dari 25.000 desa yang berada di dalam/sekitar kawasan hutan dengan 10 juta jiwa (dari 48 juta jiwa) penduduk yang masih tergolong miskin.

Dari aspek kelembagaan (Tabel 5), secara umum, para narasumber, baik pusat maupun daerah merepresentasikan bahwa ketersediaan lembaga pemasaran dan ketersedian akses informasi dan transfer teknologi menjadi prioritas utama yang harus dipertimbangkan dalam implementasi PS di tingkat tapak di seluruh wilayah di Indonesia. Skema PS seperti HTR, HKm, HD, dan kemitraan kehutanan memerlukan prospek pasar yang jelas agar keberlanjutan program PS dapat terus berjalan secara efektif. Hal tersebut juga harus didukung dengan tersedianya kemudahan akses informasi dan teknologi bagi masyarakat pelaku PS yang dapat

diwujudkan dengan pemberian akses terhadap masyarakat, baik dalam bentuk penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan.

Sementara dari aspek sosial budaya, secara keseluruhan responden menyatakan bahwa kebijakan PS merupakan salah satu alternatif resolusi konflik. Hal tersebut didasari bahwa dari sekitar 25.000 desa yang berada di dalam/sekitar kawasan hutan yang tersebar di Indonesia, sekitar 71% menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan dan ada sekitar 10,2 juta orang miskin di dalamnya yang tidak memiliki akses legal ke kawasan hutan. Data (Badan Pusat Statistik, 2015) menunjukkan bahwa Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara memiliki jumlah penduduk di sekitar hutan yang terbesar dengan luasan kawasan hutan yang paling kecil dibandingkan dengan Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang memiliki luas kawasan hutan relatif jauh lebih besar (Tabel 6).

Tingginya kepadatan penduduk di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara serta terbatasnya lahan pertanian yang dimiliki

Tabel 5 Skala prioritas indikator pada masing-masing kriteriaTable 5 Indicators priority scale on each criterion

Kriteria(Criteria)

Indikator(Indicators)

Bobot(Weight)

Lingkungan (Environment) Perambahan (Encroachment) 0.418Pengaturan tata air (Water management) 0.391Pencegahan kebakaran (Fire prevention) 0.192

Ekonomi (Economy) Pendapatan (Income) 0.307Produktivitas lahan (Land productivity) 0.263Alternatif mata pencaharian (Source of livelihood alternative)

0.260

Tenaga kerja (Labor) 0.171Kelembagaan (Institutional) Pemasaran (Marketing) 0.292

Akses informasi (Information access) 0.287Pembiayaan (Finance) 0.225Regulasi (Regulation) 0.164

Sosial budaya (Socio-cultural) Resolusi konflik (Conflict resolution) 0.390Partisipasi (Partisipation) 0.309Kearifan lokal (Local wisdom) 0.301

55

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

56

petani menyebabkan terjadinya perambahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian oleh masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut diindikasikan menjadi salah satu penyebab terjadinya deforestasi. Kasus perambahan menjadi isu penting karena seringkali menimbulkan konflik. Dengan demikian kebijakan PS dijadikan salah satu upaya untuk mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan konflik lahan serta kerusakan lingkungan.

2. Analisis per Lokasi PenelitianBerdasarkan hasil analisis per lokasi

penelitian diperoleh persepsi yang berbeda sebagaiman tersaji pada Tabel 7.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa terdapat perbedaan persepsi antara narasumber di

tingkat pusat dan narasumber di tingkat tapakkhususnya para praktisi PS di DIY dan

NTB dalam merepresentasikan skala prioritas kriteria dalam alokasi lahan untuk PS. Resonden di tingkat pusat merepresentasikan bahwa aspek lingkungan merupakan kriteria prioritas yang utama dalam alokasi PS, diikuti oleh aspek kelembagaan dan aspek ekonomi sebagai prioritas kedua dan ketiga. Para praktisi PS di DIY merepresentasikan bahwa aspek ekonomi merupakan prioritas yang utama, diikuti secara berturut-turut oleh aspek lingkungan, kelembagaan, dan sosial budaya. Sementara para praktisi PS di NTB berpendapat bahwa aspek kelembagaan dan ekonomi merupakan dua prioritas yang utama, diikuti oleh aspek sosial budaya dan lingkungan.

Pada level pusat, aspek lingkungan dan kelembagaan merupakan dua prioritas utama dengan masing-masing urutan skala prioritas indikator sebagaimana Tabel 8.

Pada Tabel 8 terlihat bahwa menurut beberapa narasumber yang diwawancarai di tingkat pusat, indikator utama dari kriteria lingkungan adalah bahwa program PS menjadi salah satu alternatif upaya untuk mengurangi tingkat perambahan di kawasan hutan dan sekaligus sebagai upaya menghutankan kembali kawasan hutan secara bertahap karena hutan memiliki peranan penting sebagai pengatur tata air. Hal tersebut bertujuan agar ketersediaan air untuk masyarakat selalu tercukupi. Sementara dua urutan teratas indikator prioritas dari kriteria kelembagaan adalah akses informasi dan

Tabel 6 Perbandingan proporsi penduduk dan luas kawasan hutan di Indonesia

Table 6 Comparison of population proportions and forest area in Indonesia

Tabel 7 Skala prioritas criteria dalam alokasi lahan PS yang optimal menurut lokasi penelitianTable 7 Scale of criteria priority in optimal land social forestry allocation by research site

Kriteria (Criteria)Bobot (Weight)

Pusat (Center) DIY (DIY) NTB (NTB)Lingkungan (Environmental) 0.316 0.266 0.237Ekonomi (Economy) 0.266 0.284 0.258Kelembagaan (Institutional) 0.297 0.250 0.259Sosial budaya (Socio-cultural) 0.121 0.200 0.246Inconsistency 0.057 0.071 0.070

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

57

pemasaran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam program PS, pemerintah pusat sangat konsen dengan upaya peningkatan akses informasi dan transfer teknologi agar bisa terjangkau oleh masyarakat sekitar hutan. Bagi pusat, dalam program PS ini yang harus diperhatikan adalah ketersediaan lembaga pemasaran untuk produk-produk PS.

Persepsi terhadap skala prioritas dalam kebijakan PS akan sangat tergantung pada siapa narasumber pemberi informasi. Dalam penelitian ini, pemberi informasi di tingkat pusat adalah beberapa orang praktisi PS yang memiliki kewenangan serta tugas pokok dan fungsi (tupoksi) penting di KLHK dalam program pembangunan PS yang meliputi Direktorat PKPS dan BUPSHA, BPSKL, dan BPKH. Selain dilatarbelakangi tupoksi, persepsi narasumber juga akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang personal seperti sebagai konservasionis (conservationist) yang beriorientasi menjaga kelestarian hutan dengan cara mengatasi prambahan atau sebagai pelaku ekonomi yang berorientasi membangun kelembagaan dan jaringan pemasaran produk hasil hutan agar

program PS dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Untuk wilayah DIY (Tabel 8), tiga urutan kriteria prioritas dalam PS secara berturut-turut adalah aspek ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Tiga indikator prioritas dalam aspek ekonomi menurut para praktisi PS di DIY, pertama adalah program PS sebagai sumber tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan, kedua kegiatan PS dapat menciptakan alternatif mata pencaharian, baik on farm maupun off farm, dan ketiga kegiatan PS dapat meningkatkan produktivitas lahan. Hal ini dapat dijelaskan karena PS di DIY sudah dapat memberikan tambahan pendapatan. Salah satu skema PS yang berhasil di DIY adalah HKm Kali Biru di Kabupaten Kulon Progo. Hkm Kali Biru merupakan HKm yang mengembangkan potensi jasa lingkungan dan berhasil menjual jasa keindahan alam dengan pendapatan Rp267 juta/bulan untuk kesejahteraan anggotanya.

Berdasarkan aspek lingkungan menurut praktisi PS di DIY, program PS adalah sebagai upaya untuk mengurangi tingkat perambahan di kawasan hutan. Sementara

Tabel 8 Skala prioritas indikator pada masing-masing kriteria menurut lokasi penelitianTable 8 Indicators priority scale on each criterion by research site

Kriteria (Criteria) Indikator (Indicators)Bobot (Weight)

Pusat (Center)

DIY (DIY)

NTB (NTB)

Lingkungan (Environmental) Perambahan (Encroachment) 0.391 0.473 0.332Pengaturan tata air (Water management) 0.378 0.337 0.563Pencegahan kebakaran (Fire prevention) 0.231 0.190 0.105

Ekonomi (Economy) Pendapatan (Income) 0.295 0.310 0.324Produktivitas lahan (Land productivity) 0.244 0.233 0.386Alternatif mata pencaharian (Source of livelihood alternative)

0.264 0.291 0.169

Tenaga kerja (Labor) 0.197 0.167 0.121Kelembagaan (Institutional) Pemasaran (Marketing) 0.346 0.277 0.206

Akses informasi (Information access) 0.374 0.226 0.245Pembiayaan (Finance) 0.162 0.207 0.416Regulasi (Regulation) 0.118 0.215 0.134

Sosial budaya (Socio-cultural) Resolusi konflik (Conflict resolution) 0.409 0.315 0.547Partisipasi (Partisipation) 0.348 0.276 0.305Kearifan lokal (Local wisdom) 0.243 0.409 0.148

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

58

dari aspek kelembagaan, PS diharapkan lebih memperhatikan ketersediaan lembaga pemasaran untuk produk-produk PS. Selain itu kegiatan PS diharapkan bisa menjadi panduan dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat.

Sementara itu menurut para praktisi PS di NTB (Tabel 8), dua urutan kriteria prioritas dalam PS secara berturut-turut adalah aspek ekonomi dan kelembagaan. Indikator aspek ekonomi yang menjadi prioritas adalah bagaimana kegiatan PS dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Sedangkan indikator yang menjadi prioritas dari aspek kelembagaan adalah ketersediaan lembaga yang dapat memberikan fasilitas pembiayaan dalam usaha PS dan bagaimana PS dapat meningkatkan akses informasi dan transfer teknologi kepada para penggiat dan pelaksana PS di tingkat daerah.

Urutan skala prioritas terhadap seluruh indikator per wilayah terlihat bahwa menurut para praktisi PS di pusat, kebijakan PS utamanya adalah sebagai sarana untuk mengrangi kegiatan perambahan di kawasan hutan. Para praktisi PS di DIY berpendapat bahwa kebijakan PS utamanya adalah sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan, sementara para praktisi di NTB menyatakan bahwa kebijakan PS utamanya adalah sebagai resolusi konflik antara masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan dengan para pengelola hutan.

B. Penilaian Tingkat Efektivitas Alokasi Lahan Perhutanan SosialPenilaian tingkat efektivitas alokasi lahan

PS ini dilakukan berdasarkan pembobotanuntuk kriteria prioritas yang dilakukan

pada poin A. Selanjutnya dilakukan skoring terhadap indikator-indikator setiap kriteria yang dilakukan berdasarkan penilaian pakar (expert judgment). Menurut Kajanus, Leskinen, Kurttila, & Kangas (2012), expert judgment adalah cara yang paling sederhana dalam proses pemeringkatan kepentingan serta pemeringkatan atas pilihan alternatif strategi. Hasil pembobotan kriteria dan skor indikator dapat dilihat pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 terlihat bahwa bobot tingkat prioritas yang paling utama dari keempat kriteria yang digunakan adalah kriteria lingkungan, diikuti secara berurutan oleh kriteria ekonomi, kelembagaan, dan sosial budaya. Berdasarkan perhitungan matematis terhadap bobot dan skor pada setiap kriteria dan indikator diperoleh interval nilai indeks efektivitas kebijakan alokasi lahan PS yaitu berkisar antara 3,54 (tidak efektif) hingga 17,71 (sangat efektif). Indeks tersebut dibagi menjadi lima kelas yaitu tidak efektif, kurang efektif, cukup efektif, efektif, dan sangat efektif. Pembagian kelas tersebut ditentukan berdasarkan nilai standar dari hasil wawancara (Tabel 10).

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 10) penilaian tingkat efektivitas alokasi lahan PS dengan menggunakan kriteria dan indikator yang telah dibangun menunjukkan bahwa kebijakan alokasi lahan PS masuk dalam kategori cukup efektif dengan nilai 10,79. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian implementasi indikator-indikator dari setiap kriteria sosial, ekonomi, dan

Tabel 9 Tingkat efektivitas alokasi lahan perhutana sosialTable 9 The effectiveness of social forestry land allocation

Kriteria/indikator(Criteria/indicators)

Bobot(Weight)

Skor(Score)

Bobot x skor(Weight x score)

K-1 Ekonomi (Economy) 0.273I-1.1. Peningkatan penyerapan tenaga kerja melalui kegiatan PS

(Increase of employment through SF activities)3 0.819

I-1.2. Peningkatan tambahan pendapatan dari kegiatan PS (Increase of additional income through SF activities)

4 1.092

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

59

lingkungan, kebijakan alokasi lahan untuk PS masuk dalam kategori cukup efektif dari: i) sisi ekonomi, kebijakan alokasi lahan untuk PS cukup dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan produktivitas lahan serta menciptakan alternatif mata pencaharian baru; ii) sisi sosial budaya, kebijakan alokasi lahan untuk PS cukup mempertimbangkan kearifan lokal, melibatkan partisipasi masyarakat, dan menjadi alternatif resolusi konflik; iii) sisi lingkungan, kebijakan PS cukup dapat menjaga ketersediaan air, dapat mencegah

kebakaran hutan dan lahan, dan mengurangi perambahan hutan; serta iv) sisi kelembagaan, kebijakan PS cukup dapat menjadi panduan dalam pengelolaan lahan masyarakat, meningkatkan akses informasi dan transfer teknologi serta menyediakan lembaga pemasaran dan lembaga pembiayaan.

Pendekatan ini digunakan oleh Mendoza & Prabhu (2000) dalam mengukur indeks kelestarian hutan, yaitu dengan menentukan skor atau nilai performance dari kriteria dan principles yang diestimasi berdasarkan bobot dan skor dari indikator.

Kriteria/indikator(Criteria/indicators)

Bobot(Weight)

Skor(Score)

Bobot x skor(Weight x score)

I-1.3. Terjadi peningkatan produktivitas lahan (Increase of additional income through SF activities)

2 0.546

I-1.4. Kegiatan PS menciptakan alternatif mata pencaharian baru, baik on farm maupun off farm (SF creates new sources of livelihood alternative, both on farm and off farm)

4 1.092

K-2 Sosial budaya (Socio-cultural) 0.177I-2.1. Kegiatan PS mempertimbangkan kearifan lokal

masyarakat (SF considers the local wisdom)3 0.531

I-2.2. Kegiatan PS melibatkan partisipasi masyarakat (SF involves community participation)

4 0.708

I-2.3. Kegiatan PS merupakan salah satu alternatif resolusi konflik (SF is one of conflict resolutions)

3 0.531

K-3 Lingkungan (Environment) 0.28I-3.1. Kegiatan PS dapat menjaga ketersediaan air

(SF activities can maintain water availability)2 0.56

I-3.2. Implementasi PS telah menggunakan teknik pembukaan lahan tanpa bakar (SF implementation uses no burn-land clearing technique)

2 0.56

I-3.3. Kegiatan PS dapat menguragi tingkat perambahan kawasan hutan (SF can reduce forest encroachment)

4 1.12

K-4 Kelembagaan (Institutional) 0.27I-4.1. Kegiatan PS bisa menjadi panduan dalam pengelolaan

lahan oleh masyarakat (SF can be a basis for community land management)

3 0.81

I-4.2. Kegiatan PS meningkatkan akses informasi dan transfer teknologi (SF can improve the access towards information and technology)

3 0.81

I-4.3. Ketersediaan lembaga pemasaran (SF creates marketing access)

3 0.81

I-4.4. Ketersediaan lembaga pembiayaan (SF creates finance agency)

3 0.81

Jumlah (Total) 10.79

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

60

Salah satu output kebijakan alokasi lahan untuk PS yang dihasilkan di lapangan dapat kita lihat dari capaian luasan areal untuk PS sebesar 1.087.775,35 ha atau sekitar 8,6% per Oktober 2017. Capaian luasan tersebut terdiri atas HD 494.600,83 ha; HKm 256.346,67 ha; HTR 236.906,90 ha; Kemitraan 84.061,71 ha; HA 10.419,34 ha; dan IPHPS seluas 5.439,90 ha yang tersebar di 33 provinsi, 3.950 lokasi, 267.165 kepala keluarga (PKPS-KLHK, 2017). Walaupun menunjukkan persentase capaian yang masih sangat rendah dibandingkan dengan target alokasi lahan 12,7 juta ha di tahun 2019 (kebijakan terakhir diperbarui menjadi 4,38 juta ha pada tahun 2019)1, namun dalam tiga tahun terakhir (2014-2017) upaya pembangunan PS menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu seluas 638.671,26 ha dibandingkan pada periode tahun 2007–2014 yang hanya mencapai 449.104,09 ha (PKPS-KLHK, 2017).

Sejauh ini, pemerintah pusat melalui Ditjen PSKL telah menetapkan strategi percepatan PS yang terdiri atas: (1) penyederhanaan peraturan (prosedur), (2) penetapan PIAPS sebagai pengganti PAK, (3) membangun Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS),

1 Konferensi Tenurial 2017 tanggal 25-27 Oktober 2017 di Jakarta

dan (4) memberikan pelayanan secara online sebagai berikut:

1. Penyederhanaan Peraturan (Prosedur)Terkait dengan penyerderhanaan peraturan,

sebelumnya prosedur penyelenggaraan skema HKm, HD, HTR, dan Kemitraan diatur dalam peraturan masing-masing. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, kelima skema tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan serta prosedur pelaksanaan skema-skema tersebut menjadi lebih sederhana dibandingkan sebelumnya. Permen tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan turunannya yaitu Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) PSKL yang mengatur secara teknis seperti: pedoman verifikasi permohonan hak pengelolaan hutan desa (HD); permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (HKm); permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR); fasilitasi, pembentukan, dan tata cara kerja Pokja PPS; pelayanan online PS; dan lainnya.

Sementara untuk mengakomodir PS di wilayah kerja Perum Perhutani telah dikeluarkan Permen LHK No. 39/2017 tentang Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani pada bulan Juni 2017. Meskipun Permen LHK No. 39/2017 ini sempat diajukan uji materil ke Mahkamah Agung (MA) oleh beberapa kalangan, akan tetapi MA menolak gugatan tersebut karena Permen No. 39/2017 ini dinilai tidak bertentangan dengan undang-undang kehutanan dan PP No. 6/2007. Negara masih memiliki kewenangan memberikan ijin kelola kepada masyarakat di kawasan hutan Perum Perhutani. Secara umum Permen LHK No. 83/2016 menurut narasumber di lapangan cukup efektif dalam memangkas prosedur perijinan yang sebelumnya dlakukan oleh

Tabel 10 Indeks efektivitas alokasi lahan perhutanan sosial

Table 10 Effectiveness index of social forestry land allocation

No(No)

Indeks(Index)

Kategori(Category)

1. 3,54–,37 Tidak efektif (Ineffective)2. 6,38–9,21 Kurang efektif (Less

effective)3. 9,22–12,05 Cukup efektif (Quite

effective)4. 12, 05–14,88 Efektif (Quite effective)5. 14,89–17,71 Sangat efektif (Highly

effective)

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

61

kepala daerah melalui pengajuan Penetapan Areal Kerja (PAK) menjadi tanpa PAK dan dapat diusulkan oleh masyarakat langsung ke menteri dengan bantuan pendamping (Pokja PPS) seperti tersaji pada Gambar 3.

2. Penetapan PIAPS sebagai Pengganti PAKPIAPS adalah peta yang memuat areal

kawasan hutan negara yang dicadangkan dan ditetapkan untuk PS. Pemerintah juga telah menetapkan PIAPS seluas 12,7 juta ha melalui Surat Keputusan Menteri LHK No. SK.22/2017. Luas areal PS tersebut kemudian diperbarui menjadi 13,8 juta ha sebagaimana ditetapkan dalam SK Menteri LHK No. SK.4865/2017. Namun demikian, karena penetapan awal PIAPS dilakukan secara top down mengakibatkan di beberapa lokasi tertentu, seperti NTB, ditemukan lokasi PS dalam PIAPS yang berada di blok inti dalam peta RPHJP KPH yang telah disahkan.

Hal tersebut tidak sesuai dengan arah pembangunan KPH sehingga perlu dilakukan revisi PIAPS yang mengacu pada RPHJP KPH. Selain itu, menurut pemerintah daerah di lokasi penelitian, penentuan PIAPS oleh pusat juga hanya didasarkan pada lokasi yang tidak berijin dan kurang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan tempat praktik PS akan digalakkan. Akibatnya, terdapat lokasi PS dalam PIAPS menjadi tidak sesuai dengan tujuan dan target kebijakan PS yang sesungguhnya. Hal tersebut menyebabkan perlu dilakukan revisi terhadap PIAPS, sementara menurut pemerintah di tingkat lokal, proses revisi memerlukan waktu cukup lama yang membuat capaian implementasi PS mejadi lebih lambat.

Berdasarkan Permenhut P.83/2016, penetapan PIAPS dilakukan melalui harmonisasi peta yang dimiliki oleh KLHK dengan peta yang dimiliki oleh lembaga swadaya masyarakat dan sumber-sumber

Sumber (Source): Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial

Gambar 3 Perbedaan proses permohonan antara P.83/2016 dengan peraturan sebelumnyaFigure 3 Differences between P.83/216 and previous regulation in the application process.

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

62

lain dan konsultasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan parapihak terkait. PIAPS ditetapkan oleh Menteri dan direvisi setiap 6 bulan sekali oleh Direktur Jenderal yang membidangi Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan atas nama Menteri. Revisi PIAPS dapat dilakukan dengan memasukkan areal izin pemanfaatan atau izin penggunaan kawasan hutan yang berakhir masa berlakunya, atau izinnya dicabut atau yang arealnya diserahkan oleh pemegang izin kepada pemerintah, dan/atau areal Permohonan HPHD, IUPHKm atau IUPHHK-HTR yang berada di luar PIAPS. Sejauh ini syarat kriteria utama penetapan PIAPS yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah area yang bebas izin, tidak termasuk lokasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dekat dengan keberadaan masyarakat desa, secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat, dan secara sosial-politik masyarakat akan mendapatkan pengakuan atas lahan hutan dari status perambah menjadi legal. Sementara, faktor biofisik seperti kondisi tutupan hutan dan kedalaman gambut (pada lahan gambut) tidak turut menjadi pertimbangan.

Instansi pemerintah daerah NTB dan DIY yang mengurusi bidang kehutanan menyayangkan kebijakan pusat yang kurang melibatkan pemerintah daerah dalam penyusunan PIAPS. Akibatnya, terdapat beberapa kasus lokasi PS dalam PIAPS berbeda dengan dengan kondisi lapangan yang tertuang dalam peta RPHJP yang sudah disusun oleh KPH. Hal tersebut menunjukkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan program PS masih perlu ditingkatkan. Idealnya mengacu kepada kriteria paradigma pembangunan berkelanjutan, terdapat tiga kriteria utama (Cooper & Vargas, 2004; Giddings, Hopwood, & O'Brien, 2002) yang harus diperhitungkan dalam penetapan PIAPS, yaitu: faktor sosial, seperti adanya masyarakat yang tinggal di dalam/sekitar hutan dan tergantung pada kegiatan yang berbasis pada

sumberdaya hutan, sebagai solusi atas konflik penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat, dan lokasi PIAPS harus dekat dengan desa-desa di sekitar hutan (sebaran desa di dalam dan di pinggir hutan); faktor ekonomi, seperti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dapat menyerap tenaga kerja masyarakat, dan tersedianya komoditas yang dapat mendorong perekonomian masyarakat; faktor lingkungan, seperti kondisi hutan yang memerlukan rehabilitasi seperti lahan kosong, rusak, dan tidak produktif dan lahan yang bebas izin. Berdasarkan informasi dari narasumber Ditjen PSKL, permasalahan teknis dalam proses penyiapan alokasi lahan untuk PS yang paling besar (50%) adalah terjadinya perbedaan lokasi antara PIAPS dengan lokasi yang seharusnya atau yang diusulkan/dialokasikan olah daerah.

3. Peran Pokja PPSBerdasarkan hasil wawancara dengan

narasumber di daerah, hal yang mendasari dibentuknya Pokja PPS adalah karena adanya keterbatasan kapasitas masyarakat dan pemerintah terutama terkait dengan sumberdaya manusia dan dana. Mandat Pokja PPS tertuang dalam Permen LHK No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial yang menyatakan bahwa: “pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan fasilitasi dapat dibantu oleh Pokja PPS dan penyuluh kehutanan, instansi terkait, LSM, dan perguruan tinggai. Fasilitasi meliputi tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan RPHD, RKU, RKT bentuk-bentuk kegiatan kemitraan, pembiayaan, pascapanen, pengembangan usaha, dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2 dan 3). Dengan demikian Pokja PPS memiliki peran dalam membangun sinergitas program lintas sektor (kementerian/lembaga), sebagai media belajar parapihak pemangku kepentingan, dan agar program PS tepat sasaran. Secara rinci fungsi dan tugas Pokja PPS tertuang dalam Perdirjen

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

63

PSKL No. P.14/2016 yaitu: menyosialisasikan program PS kepada masyarakat dan pihak terkait, melakukan pencermatan PIAPS, memfasilitasi permohonan masyarakat setempat, memverifikasi usulan masyarakat di bawah koordinasi kepala UPT, mengembangkan jejaring kerja dan forum multipihak sebagai media koordinasi dan pembelajaran PS, membangun dan mengembangkan sinergitas program/antar sektor, memfasilitasi akses sistem pelayanan online Areal Kelola Perhutanan Sosial (AKPS).

Secara umum dibentuknya Pokja PPS adalah untuk berperan dalam membantu konsolidasi penyiapan dan pencermatan PIAPS, sosialisasi program PS kepada masyarakat setempat dan parapihak terkait, memfasilitasi penyiapan usulan permohonan masyarakat (kelembagaan, peta, koordinasi), membantu verifikasi terhadap usulan PS dan penanganan konflik lahan kawasan hutan, dan memfasilitasi konsolidasi pembentukan kelembagaan/kepengurusan Pokja PPS di berbagai provinsi. Berdasarkan SK Dirjen PSKL No. 23/2017 Pokja PPS telah dibentuk di 33 provinsi di Indonesia yang terdiri atas lembaga atau focal point terkait PS. Namun demikian, belum semua Pokja PPS telah berperan aktif. Sementara masyarakat sangat membutuhkan pendampingan dalam melaksanakan praktik PS di tingkat tapak.

4. AKPS/Pelayanan OnlineAKPS adalah sistem elektronik berbasis

web untuk memfasilitasi pengusul melakukan pengusulan kegiatan perhutanan sosial (HD, HKm, dan HTR) yang bertujuan untuk mempercepat proses pengusulan dan memudahkan proses pemantauan progres usulan PS. Namun demikian hingga saat ini pelayanan berbasis web tersebut belum berjalan secara optimal. Dari hasil wawancara dengan narasumber di daerah pada saat penelitian, mereka masih belum dapat menggunakan AKPS dalam pengusulan kegiatan PS.

Selain belum optimalnya pelaksanaan strategi yang dibangun oleh pemerintah pusat dalam upaya percepatan alokasi lahan PS, tingkat efektivitas kebijakan alokasi lahan untuk PS juga ditentukan oleh anggaran yang dialokasikan, baik melalui APBN maupun APBD. Sejauh ini anggaran belum signifikan dalam mendukung PS sebagai program prioritas nasional. Hal tersebut terlihat dari alokasi APBN untuk PS yang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan standar ideal masyarakat sipil (Rp830 miliar/tahun) (Gambar 4).

Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa pada tahun 2018 alokasi anggaran meningkat sekitar 106% dibadingkan anggaran tahun 2017. Namun untuk tahun 2019 alokasi anggaran untuk PS kembali menurun 42% menjadi sebesar Rp239,8 miliar dengan beban target realisasi PS yang lebih tinggi. Sementara hitungan ideal masyarakat sipil adalah sebesar Rp327 ribu/ha/tahun atau Rp830 miliar/tahun (Zakaria, 2018). Selain itu, di tingkat daerah, program PS juga belum menjadi prioritas daerah sehingga dana APBD tidak memberikan alokasi yang cukup untuk mendukung kegiatan PS.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis diketahui

bahwa aspek lingkungan merupakan prioritas utama dalam kebijakan alokasi lahan untuk PS, diikuti dengan aspek ekonomi dan kelembagaan sebagai prioritas kedua dan ketiga. Dari aspek lingkungan, kebijakan alokasi lahan untuk PS memiliki prioritas utama untuk mengatasi kasus perambahan kawasan hutan. Dari aspek ekonomi, prioritas utamanya adalah sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan; sementara dari aspek kelembagaan, prioritasnya adalah bagaimana PS dapat menciptakan jaringan pemasaran untuk produk-produk komersial yang dihasilkan PS. Dari aspek sosial, PS diprioritaskan sebagai

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

64

resolusi konflik permasalahan tenurial antara masyarakat dan pemerintah.

Kebijakan alokasi lahan untuk PS cukup efektif dilihat dari aspek sosial, kelembagaan, ekonomi, dan ekologi. Hal ini dapat diartikan bahwa infrastruktur kebijakan alokasi lahan untuk PS sudah tersedia, akan tetapi masih banyak kendala pada tataran implementasi. Kendala yang dihadapi adalah sebagai berikut:1. Kebijakan alokasi lahan untuk PS bersifat

top down meskipun ada ruang pelibatan daerah melalui revisi PIAPS;

2. Pengalokasian lahan untuk PS pada tahap awal belum mempertimbangkan kriteria sosial, kelembagaan, ekonomi, dan ekologi;

3. Terdapat ketidaksamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah terkait pemberian ijin hak kelola PS;

4. Terdapat perbedaan aspek prioritas antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan skema PS.

B. SaranRekomendasi kebijakan yang dapat

diusulkan untuk membantu peningkatan efektivitas kebijakan PS adalah sebagai berikut:1. KLHK perlu mendorong pemerintah

daerah untuk melakukan pengarus-

utamaan kebijakan PS dalam RPJMD dan APBD untuk mempermudah pendelegasian kewenangan dalam perijinan PS;

2. Pemerintah pusat, dalam hal ini KLHK, Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan penguatan peran dan kewenangan pemerintah daerah (KPH, Dinas, dan desa) sebagai pelaksana di tingkat tapak dari mulai perencanaan, implementasi sampai dengan monev. Penguatan dimulai dari penyediaan regulasi, pengalokasian anggaran sampai dengan peningkatan kapasitas;

3. Sinkronisasi program dan kegiatan dinas-dinas terkait pembangunan masyarakat pedesaan dengan program PS;

4. Meningkatkan komunikasi dan koordinasi sejak tahap perencanaan antara pemerintah pusat dan daerah (antara Balai/Ditjen PSKL dengan KPH/Dishut Provinsi);

5. Peningkatan dukungan sumberdaya bagi penyempurnaan perijinan online, anggaran, SDM di pusat maupun di daerah;

6. Pemerintah pusat, dalam hal ini KLHK dan Bappenas perlu meningkatkan penguatan peran dan kapasitas pendamping, termasuk Pokja PPS dalam hal penganggaran dan ketersediaan tenaga pendamping;

7. Kebijakan alokasi lahan untuk PS perlu mendasarkan pada penggunaan kriteria dan indikator sosial, ekonomi, dan ekologi sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini secara rinci sehingga implementasi kebijakan PS dapat berjalan dengan progresif, tepat sasaran, dan memberi kontribusi ekonomi yang optimal bagi masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Ucapan terima kasih disampaikan kepada para narasumber, baik di tingkat pusat yaitu Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial dan Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK, maupun di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan DI

Sumber (Source): Zakaria, 2018

Gambar 4 Tren Anggaran PSFigure 4 SF budget trend.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

65

Yogyakarta yaitu Dinas Kehutanan, Balai PSKL, BPKH, KPH Rinjani Barat dan lembaga GAIA. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim atas dukungan pendanaan dalam penelitian ini.

REFERENCES

Angelsen, A. (2008). Moving ahead with REDD+: Issues, options and implications. Bogor Indonesia: CIFOR.

Badan Pusat Statistik. (2015). Analisis rumah tangga sekitar kawasan hutan di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat statistik.

Bappeda Kabupaten Kampar. (2015). Pemetaan batas Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio. Bogor: Bappeda Kabupaten Kampar.

Brockhaus, M., Obidzinski, K., Dermawan, A., Laumonier, Y., & Luttrell, C. (2012). An overview of forest and land allocation policies in Indonesia: is the current framework sufficient to meet the needs of REDD+? Forest Policy and Economics, 18, 30-37.

Cooper, P.J., & Vargas, C. M. (2004). Implementing sustainable development from global policy to local action. Marylans: Rowman and Little Field Publisher Inc.

Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (Direktorat BUPSHA). (2017). Matriks Capaian Fasilitasi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Dunn, W.N. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Gbedomon, R. A., Floquet, A., Mongbo, R., Salako, V. K., Fandohan, A. B., Assogbadjo, A. E., & Kakai, R. G. (2016). Socio-economic and ecological outcomes of community based forest management: A case study from Tobe-Kpbidon forest in Benin, Western Africa. Forest Policy and Economics, 64, 46-55.

Giddings, B., Hopwood, B., & O’Brien, G. (2002). Environment, economy, and society: fitting them together into sustainable development. Sustainable Development, 10, 187-196.

Kajanus, M., Leskinen, P., Kurttila, M., & Kangas, J. (2012). Making use of MCDS methods in SWOT analysis - Lesson learnt in strategic natural resources management. Forest Policy and Economics, 20, 1-9.

Kim, Y. S., Bae, J. S., Fisher, L. A., Latifah, S., Afifi, M., Lee, S. M., & Kim, I. (2016). Indonesia's

forest management units: Effective intermediaries in REDD+ implementation. Forest Policy and Economics, 62, 69-77.

Luttrell, C., Resosudarmo, I. A. P., Muharrom, E., Brockhaus, M., & Seymour, F. (2014). The political context of REDD+ in Indonesia: Constituencies for change. Environmental Science & Policy, 35, 67-75.

Mahanty, S., Suich, H., & Tacconi, L. (2013). Acces and benefits in payments for environmental services and implications for REDD+: Lessons from seven PES schemes. Land Use Policy, 31, 38-47.

Mendoza, G.A., & Prabhu, R. (2000). Multiple criteria decision making approaches to assessing forest sustainability using criteria and indicators: a case study. Forest Ecology and Management, 131, 107-126.

Moktan, M. R., Norbu, L., & Choden, K. (2016). Can community forestry contribute to household income and sustainable forestry practices in rural area? A case study from Tshaoey and Zariphenum in Bhutan. Forest Policy and Economics, 62, 149-157.

Patton, C.V., & Savicky, D.S. (1993). Basic methods of policy analysis and planning. London: Prentice Hall.

PKPS-KLHK. (2017). Capaian realisasi perhutanan sosial. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Resosudarmo, I. A. P., Admadja, S., Ekaputri, A. D., Intarini, D. Y., & Indriatmoko, Y. (2014). Does tenure security lead to REDD+ project effectiveness? Reflections from five emerging sites in Indonesia. World Development, 55, 68-83.

Ritonga, A., Mardhiansyah, M., & Kausar. (2014). Identifikasi kearifan lokal masyarakat Hutan Larangan Adat Rumbio, Kabupaten Kampar terhadap perlindungan hutan. Jurnal Online Mahasiswa (Bidang kehutanan), 1(1),1-9.

Rochmayanto, Y. (2013). Analisis risiko kegagalan implementasi REDD+ di Provinsi Riau. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(2), 149-165.

Saaty, T.L. (1993). Pengambilan keputusan bagi para pemimpin, proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Suich, H., Lugina, M., Muttaqin, M. Z., Alviya, I., & Sari, G. K. (2016). Payments for ecosystem services in Indonesia. Oryx International Journal of Conservation, 1, 1-9.

Efektivitas Kebijakan Alokasi Lahan 12,7 Juta ha untuk Perhutanan Sosial: .........................(Fitri Nurfatriani & Iis Alviya)

66

Sunderlin, W. D., & Atmadja, S. (2004). Is REDD+ an idea whose time has come, or gone? CIFOR.

Wunder, S. (2008). Payments for environmental services and the poor: concepts and preliminary evidence. Environmental Development Economic, 13(3), 279-297.

Zakaria, R.Y. (2018). Pelembagaan perhutanan sosial sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia masa depan. Materi disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan oleh DPRD RI, Jakarta.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 47-66

67

REVITALISASI MATA PENCAHARIAN DI LAHAN GAMBUT: KERAJINAN ANYAMAN DARI PURUN SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK USAHA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR (OKI), SUMATERA SELATAN

(Livelihood Revitalization in Peatlands: Woven Crafts from Purun as a Sustainable Business Option in Ogan Komering Ilir (OKI) Regency, South Sumatra)

Bunga Karnisa Goib1, Nadia Fitriani1, Satrio Adi Wicaksono1, Muhammad Yazid2 & Dessy Andriani2

1World Resources Institute (WRI) Indonesia, Jalan Wijaya I No. 63, RT.8/RW.1, Petogogan, Kebayoran Baru, South Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12160, Indonesia.

Email: [email protected], [email protected]., [email protected] 2Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jalan Padang Selasa No. 1948, Bukit Besar, Ilir Barat I, Bukit Lama,

Ilir Bar. I, Kota Palembang, Sumatera Selatan 30139, Indonesia.Email: [email protected], [email protected]

Diterima 8 November 2018, direvisi 23 Mei 2019, disetujui 24 Mei 2019

ABSTRACT

This study is conducted to better understand the potential of purun weaving as a suitable business approach that could support peatland restoration in South Sumatra. It aims to analyze the obstacles of purun weaving and its market potential as green products. This study applies qualitative and quantitative methods, including in-depth interviews and surveys. The in-depth interviews invove local business actors in Pedamaran Sub-district, Ogan Komering Ilir Regency (i.e. harvesters, weavers, and traders) and the policy-makers. Online and intercept surveys are conducted to analyze current condition and market potential of purun handicrafts, especially as the example of green products. Identified challenges include lack of market knowledge and connections, unstable supply of raw materials, lack of financial capitalization, and low product quality. The market potential for green products, however, is highly promising, as more than 80% of respondents are willing to pay a higher price for these products. Gaps between existing production system and market potential could be narrowed down by adjusting policies for existing peat swamp areas, improving access to microfinance, and implementing specific capacity building for the weavers. Moreover, suitable marketing strategies are required to support the business sustainability of purun weaving.

Keywords: Livelihood; market; peatland; purun; woven product.

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk memahami potensi dari kegiatan menganyam purun sebagai usaha berkelanjutan yang dapat mendukung restorasi gambut di Sumatera Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan usaha anyaman purun dan potensi pasar anyaman sebagai produk hijau. Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif dan kuantitatif melalui wawancara mendalam dan survei. Wawancara mendalam dilakukan dengan para tokoh yang berperan dalam industri usaha anyaman purun (pengambil tanaman purun, penganyam, dan pedagang) di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan beserta para pengambil kebijakan. Survei daring dan intercept digunakan untuk uji kondisi dan peluang pasar terhadap produk anyaman purun, terutama jika diproyeksikan sebagai produk hijau. Permasalahan yang teridentifikasi terkait dengan usaha anyaman purun adalah terbatasnya akses dan pengetahuan pasar pengrajin, ketidakstabilan persediaan bahan baku tanaman purun, keterbatasan akses pendanaan pengrajin, serta kualitas produk yang masih rendah. Hasil uji potensi pasar menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden bersedia untuk membayar anyaman berlabel hijau lebih tinggi dibandingkan dengan anyaman biasa. Kesenjangan antara kondisi di lapangan dan uji pasar dapat diperkecil dengan mengembangkan penyesuaian kebijakan terhadap rawa gambut

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.67-87

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

I. PENDAHULUANKebakaran hutan dan lahan gambut pada

tahun 2015 di Indonesia telah menimbulkan dampak kerugian yang besar. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018) menunjukkan 2,6 juta hektar lahan terbakar pada tahun tersebut, 34% merupakan lahan gambut. Emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran tersebut diestimasi berjumlah 1,75 miliar metrik ton CO2 ekuivalen (GFED, 2015). Selain itu, kerugian finansial akibat kejadian tersebut telah diestimasi oleh (Glauber & Gunawan, 2015) sebesar 221 triliun rupiah.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, bahwa Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk untuk memfasilitasi dan mengoordinasikan restorasi lahan gambut di Indonesia seluas 2 juta hektar, yang kemudian mengidentifikasi bahwa luasan lahan gambut yang perlu direstorasi adalah 2,49 juta hektar. Provinsi prioritas untuk kegiatan tersebut sampai 2020 berada di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua. Pendekatan yang digunakan BRG untuk merestorasi lahan gambut adalah pembasahan, penanaman kembali, dan revitalisasi mata pencaharian. Revitalisasi mata pencaharian bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar atau pada lahan gambut, salah satunya dengan pemanfaatan komoditas gambut secara berkelanjutan (tanpa mengeringkan dan membakar lahan gambut). Salah satu contoh kegiatan tersebut adalah pemanfaatan tanaman purun di Sumatera Selatan.

Purun (Lepironia articulata) termasuk salah satu tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sering dijumpai di rawa gambut (Giesen, 2015). Purun biasa tumbuh di rawa dengan kedalaman air sampai dengan 0,8 meter. Tanaman purun berkembangbiak secara vegetatif melalui rhizoma. Tanaman ini termasuk dalam kelompok tanaman perenial dan membutuhkan waktu selama 7 bulan untuk mencapai bobot maksimalnya. Produktivitas biomassa tanaman ini dapat mencapai 8,2 ton per hektar per tahun. Selain itu, bagian batang tanaman purun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya adalah sebagai bahan baku anyaman (Brotonegoro, 2003).

Tanaman purun telah dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan anyaman oleh masyarakat yang tinggal di sekitar rawa gambut di Pedamaran, salah satu kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Pedamaran juga disebut sebagai kota tikar karena tingginya jumlah pengrajin, umumnya wanita, yang masih aktif menganyam hingga kini. Budaya menganyam purun juga telah mengakar serta diajarkan secara turun-temurun, terutama kepada anak perempuan.

Kerajinan anyaman tikar purun dimanfaatkan oleh masyarakat Pedamaran sebagai salah satu alternatif mata pencaharian. Para pengrajin memanfaatkan penghasilan dari menganyam tikar purun sebagai penghasilan tambahan di rumah tangganya, seperti untuk membeli bahan makanan, memberi uang saku anak, maupun memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pendapatan dari menganyam purun juga digunakan untuk berjaga-jaga, terutama ketika mereka sudah tidak bisa lagi bekerja

68

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

yang ada, meningkatkan akses pembiayaan mikro, serta melakukan pengembangan kapasitas spesifik terhadap para pengrajin. Sebagai tambahan, diperlukan strategi pemasaran yang sesuai untuk mendukung keberlanjutan usaha anyaman purun.

Kata kunci: Lahan gambut; mata pencaharian; pasar; produk anyaman; purun.

di perkebunan atau ketika pilihan mata pencaharian lain menjadi terbatas.

Meskipun perempuan menjadi aktor sentral dalam usaha kerajinan purun di Pedamaran, laki-laki juga dilibatkan dalam prosesnya, mulai dari pengambilan bahan baku hingga pascaproduksi dan pemasaran. Terkait pemasaran, tikar purun banyak dijual melalui perantara ke pasar-pasar tradisional di sekitar Sumatera Selatan. Selain digunakan sebagai alas duduk, tikar purun juga banyak dipakai oleh petani untuk menjemur hasil panen. Umumnya, jenis tikar yang diperjualbelikan adalah tikar sederhana dengan harga yang rendah.

Saat ini kerajinan berbahan baku purun masih dianggap sebagai produk inferior karena penggunaannya yang terbatas dan harganya yang murah. Sementara itu, pemanfaatan anyaman purun sebagai bahan baku untuk kerajinan berdayaguna dengan nilai jual lebih tinggi seperti tas, keranjang, dompet, dan lainnya belum dieksplorasi dan dimanfaatkan dengan baik.

Produk anyaman purun sebenarnya memiliki peluang untuk dikembangkan secara lebih baik lagi dengan berkembangnya industri kreatif di Indonesia. Berdasarkan Direktorat Riset dan Pengembangan Ekonomi Kreatif (2017), Produk Domestrik Bruto (PDB) Indonesia dari sektor ekonomi kreatif pada tahun 2015 mencapai 852 triliun rupiah, berkontribusi sebesar 7,38% terhadap perekonomian nasional. Dari angka tersebut, sub-sektor fashion dan kriya masing-masing memberikan kontribusi terbesar kedua dan ketiga, sebesar 18,5 % dan 15,7%.

Di Pedamaran, masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjaga lahan gambut karena lahan tersebut merupakan sumber berbagai mata pencaharian bagi masyarakat sekitar, termasuk para pengambil purun, penganyam purun, dan penjual tikar purun. Praktik pengambilan purun juga dilakukan dengan ramah lingkungan tanpa membakar, yaitu dengan menggunakan arit

atau tangan (bergantung dengan keadaan surut atau tidaknya rawa gambut). Dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dan lingkungan yang dihasilkan dari tanaman purun, kami mencoba melihat peluang pengembangan anyaman sebagai produk hijau. Sesuai dengan (Reinhardt, 1998), produk hijau didefinisikan sebagai “produk yang memberikan manfaat bagi lingkungan, atau yang menimbulkan biaya lingkungan lebih rendah dibandingkan produk sejenis”. Beberapa studi juga sudah menjelaskan tentang peluang pasar dari produk hijau yang semakin meningkat (Nielsen, 2015; WWF Indonesia & Nielsen, 2017).

Pengembangan pemanfaatan purun sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat di sekitar gambut membutuhkan pendekatan khusus. Selain peningkatan terhadap akses pasar, factor-faktor lain seperti pemanfaatan sumberdaya alam yang baik, ketahanan dalam menghadapi tekanan, serta pewarisan dan pengembangan ke generasi selanjutnya penting untuk diperhatikan sebagai penunjang keberlanjutan usaha (lihat Bebbington, 2002; ILO, 2004; Poulton, Dorward, Poulton, Kydd, & Dorward, 2006). Pendekatan yang tepat akan membuat masyarakat memperoleh pendapatan yang berkelanjutan dan layak dari lahan gambut, tanpa merusak lahan tersebut.

Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk menganalisis kondisi pasar saat ini dan peluang pasar produk kerajinan berbahan baku purun di Indonesia (dengan fokus provinsi di Sumatera Selatan dan DKI Jakarta) ke depannya dengan memproyeksikan purun sebagai produk hijau. Studi ini juga akan memberikan arahan kebijakan strategis terhadap pengembangan produk anyaman purun serta rekomendasi atas hambatan usaha yang ditemui sekarang.

Lebih khusus lagi, hasil studi ini diharapkan dapat memberi masukan kebijakan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten OKI terkait dengan pengembangan dan pelestarian anyaman purun. Selain itu,

69

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

hasil studi ini juga dapat digunakan oleh BRG sebagai masukan bagi panduan pelaksanaan kegiatan revitalisasi mata pencaharian masyarakat gambut di Kecamatan Pedamara, serta pengembangan model bisnis berbasis purun untuk kepentingan restorasi gambut.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan dari bulan Januari

hingga Mei 2018. Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI dipilih sebagai lokasi penelitian karena reputasinya sebagai wilayah utama penghasil tikar purun di Sumatera Selatan. Pengambilan data lapangan dilakukan di empat desa di Kecamatan Pedamaran, yakni Desa Menang Raya, Pedamaran I, Pedamaran V, dan Pedamaran VI di Kecamatan Pedamaran. Desa-desa tersebut dipilih karena dalam survei awal, desa-desa tersebut teridentifikasi sebagai desa dengan jumlah penganyam aktif yang lebih besar dibandingkan desa-desa lain. Sebanyak 2.000 penganyam aktif terdata di keempat desa tersebut (komunikasi pribadi dengan Goeshar Syarifudin, Ketua Purun Institute, 1 April 2018).

B. Kerangka TeoritisPembuatan instrumen survei kuantitatif

dilakukan mengikuti kerangka desain survei pemasaran (Malhotra, 2010). Kuesioner yang digunakan menangkap informasi mengenai pengetahuan terhadap produk anyaman, faktor yang mempengaruhi keputusan dalam membeli, sikap terhadap lingkungan, preferensi, dan kesediaan serta kemampuan membayar (Blare, Donovan, & del Pozo, 2017; Blend & Ravenswaay, 1998; Gan, Yen Wee, Ozanne, & Tzu-Hui, 2008; Haghjou, Hayati, Pishbahar, Mohammadrezaei, & Dashti, 2013; Hiramatsu, Kurisu, & Hanaki, 2016). Untuk mendapatkan informasi mengenai willingness to pay (WTP), responden dibiarkan mengisi jawaban secara terbuka. Metode ini sesuai untuk responden yang memiliki pengetahuan terbatas terhadap produk (Lipovetsky, Magnan, & Polzi, 2011). Selain itu, kami menggunakan Dilmann, Smyth, & Leah, (2014) & Malhotra (2010) sebagai acuan teknik sampling dan pembuatan survei kuantitatif secara umum. Survei yang digunakan adalah survei intercept dan daring. Survei intercept adalah survei yang dilakukan langsung di lapangan, pada umumnya di pusat

70

Sumber (Source): World Resources Institute Indonesia

Gambar 1 Lokasi Kecamatan PedamaranFigure 1 The location of Pedamaran Sub-District.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

71

perbelanjaan, rumah makan, dan di acara-acara tertentu (Winters, 2016).

Terkait jumlah responden Malhotra (2010) menyatakan bahwa penelitian mengenai identifikasi masalah pasar, seperti riset potensi pasar, setidaknya memerlukan 500 responden. Sementara itu, riset pasar yang bertujuan untuk menguji produk biasanya membutuhkan 200 responden (Malhotra, 2010). Bush & Grant (1995) juga melakukan riset identifikasi pasar dengan metode serupa dan memperoleh tingkat respon sebesar 74% untuk survei intercept dan responden berjumlah 410 orang. Metode random sampling biasanya membutuhkan jumlah responden yang lebih sedikit serta tingkat respon yang lebih rendah (Blare et al., 2017; Loureiro, McCluskey, & Mittelhammer, 2001; Wang & Sun, 2003).

C. Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data primer yang

digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam yang dilakukan di desa dan beberapa kota serta kabupaten kota yang telah disebutkan sebelumnya. Responden di desa-desa Kecamatan Pedamaran terdiri dari: 22 pengrajin purun, 4 pengambil purun, 2 pengumpul tikar purun, dan 4 penjual tikar purun. Responden dari sektor pengambil kebijakan berasal dari: 1) Dinas Perindustrian Sumatera Selatan; 2) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan; 3) Dinas UKM, Koperasi, dan Perindustrian Kabupaten OKI; 4) Dinas Perdagangan Kabupaten OKI; dan 5) Dinas Perdagangan Kabupaten OKI. Responden ahli terdiri dari satu orang perancang produk anyaman, satu orang pelaku bisnis anyaman, dan satu orang peneliti di bidang sosial, ekonomi, dan kebijakan hutan. Selain itu, wawancara penelitian dengan para ahli dan pengambil kebijakan dilakukan di Kota Palembang dan Kabupaten Kota Kayu Agung (Provinsi Sumatera Selatan), serta di Kota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta).

Pengambilan data dengan pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei intercept dan daring menggunakan teknik sampling non-probabilitas kuota dengan responden berjumlah 309 orang. Pengambilan data survei intercept dilakukan di Desa Kiram, Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada acara Jambore Gambut 2018 yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi prioritas restorasi gambut.1. Responden bukan merupakan pengrajin

anyaman purun; 2. Responden berdomisili di DKI Jakarta,

Sumatera Selatan, dan provinsi lain di Indonesia;

3. Responden berusia produktif, yakni15-64 tahun; dan

4. Responden laki-laki berjumlah 52% dan perempuan 48% dari total responden. Proporsi ini sesuai dengan proporsi jenis kelamin penduduk dalam tingkat nasional.Sebanyak 27,3% responden berdomisili

di Sumatera Selatan, 32% di DKI Jakarta, dan 40,6% di provinsi lainnya. Jumlah sampel Sumatera Selatan dan DKI Jakarta ditentukan hampir sama, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Sumatera Selatan merupakan provinsi asal kerajinan purun yang menjadi fokus dalam penelitian ini, sehingga kondisi dan peluang pasar pada tingkat lokal penting untuk diketahui. Kedua, DKI Jakarta merupakan ibu kota negara sekaligus kota industri di Indonesia sehingga DKI Jakarta merupakan provinsi dengan potensi pasar yang besar. Kuesioner survei intercept mengumpulkan informasi mengenai preferensi, kesediaan membayar produk anyaman, harga produk anyaman yang mampu dibayarkan, dan demografi responden.

D. Metode AnalisisData kualitatif dan kuantitatif dianalisis

secara terpisah. Hasil wawancara dianalisis dengan pendekatan kualitatif sesuai dengan Creswell (2007). Data kuantitatif dianalisis dengan metode deskriptif dan juga regresi logit. Regresi logit tersebut dilakukan untuk

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

72

mendapatkan perkiraan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk membayar produk berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Digunakan dua variabel dependen: 1) kesediaan responden untuk membayar tikar purun yang berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi; dan 2) kesediaan responden untuk membayar tas purun dengan harga yang lebih tinggi. Variabel dependen tersebut dianalisis terhadap beberapa variabel independen, yakni kesadaran responden terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan berbelanja (harga, kualitas, desain, dan merek), kesadaran terhadap lingkungan, dan karakteristik demografi responden (jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, lokasi tempat tinggal, dan pengeluaran).

Hasil dari analisis kualitatif dan kuantitatif selanjutnya digabungkan dalam bagian pembahasan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil1. Kondisi Umum

Masyarakat Pedamaran sejak turun-temurun telah memanfaatkan rawa gambut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Praktik pengambilan komoditas rawa gambut ini dilakukan secara manual tanpa proses pembakaran. Di antara aktivitas tersebut adalah menggunakan tanaman purun dan berbagai ikan sebagai bahan baku produk yang akan dijual kembali oleh masyarakat ke dalam atau luar Pedamaran.

Kegiatan menganyam purun menjadi tikar merupakan salah satu tradisi sekaligus mata pencaharian masyarakat di Pedamaran. Umumnya, para penganyam merupakan perempuan yang diajari menganyam oleh ibu dan nenek mereka sejak dini. Motivasi utama para responden adalah untuk membantu suami mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mereka juga mendapatkan beberapa manfaat tambahan seperti mengisi waktu luang, membuat lebih sehat, mengurangi stress, dan

dapat membeli kebutuhannya sendiri.Pemanfaatan purun sebagai mata

pencaharian warga Pedamaran tidak terlepas dari nilai budaya dan tradisi yang terkandung pada kegiatan menganyam purun. Budaya juga menjadi salah satu alasan mengapa mereka meneruskan kegiatan tersebut dari generasi ke generasi. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang responden bahwa anaknya harus diajari menganyam sebab menganyam merupakan tradisi turun-temurun. Pernyataan ini menunjukkan bahwa budaya menjadi salah satu faktor keberlanjutan dari pemanfaatan purun sebagai mata pencaharian di Pedamaran. Sebagai contoh, masyarakat Pedamaran menggunakan tikar purun sebagai alas duduk di rumah dan berbagai ritual adat (Lampiran). Tikar tersebut juga digunakan dalam acara adat tradisional seperti pernikahan, penguburan ari-ari bayi yang baru lahir, pemakaman, serta peresmian rumah baru.

Tanaman purun diambil dari Lebak atau Rawa Gambalan yang berjarak 2–3 jam dari desa menggunakan perahu getek. Tanaman tersebut kemudian dijual kepada penganyam dengan harga Rp7.000,00–10.000,00 per ikat, yang dapat dibuat menjadi 2–3 lembar tikar. Para responden penganyam di Kecamatan Pedamaran dapat membuat 1–3 lembar tikar standar yang dihargai Rp5.000,00–8.000,00 per lembarnya oleh para pengumpul, bergantung pada ukuran. Menurut responden penganyam, harga tikar ini masih terlalu rendah mengingat proses pembuatannya yang lama. Para responden pengumpul menyebutkan bahwa mereka dapat mengumpulkan 1–2 kodi tikar per hari yang kemudian dijual kepada pedagang tikar dengan keuntungan Rp5.000,00–10.000,00 per kodi.

Tikar di Pedamaran umumnya dijual ke luar daerah oleh para pedagang menggunakan transportasi darat. Terdapat dua jenis responden pedagang tikar di Pedamaran, yaitu yang menjual langsung ke pembeli dan ke pedagang lainnya. Tikar-tikar ini dijual bukan hanya di Sumatera Selatan, tetapi juga

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

di provinsi-provinsi lain di Sumatera. Tikar tersebut didistribusikan antara lain ke daerah Kecamatan Tugu Mulyo (Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan), Desa Lubuk Seberuk (Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten OKI, Provinsi Sumatera Selatan), Kota Lubuklinggau (Provinsi Sumatera Selatan), Kabupaten Empat Lawang (Provinsi Sumatera Selatan), Kota Pekanbaru (Provinsi Riau), dan Kota Curup (Provinsi Bengkulu). Para pedagang biasa menjual tikar purun dengan harga Rp7.500,00–20.000,00 per lembar.

Penduduk juga dapat membeli langsung tikar khusus (contoh: tikar untuk pernikahan) kepada para pengrajin. Tikar ini hanya dibuat berdasarkan pesanan. Harga satu set tikar pernikahan adat Pedamaran (yang terdiri dari 2 lembar tikar tiga warna untuk alas tidur pengantin dan 1 lembar tikar putih untuk prosesi pernikahan) berkisar antara Rp150.000,00–300.000,00. Harga satu set tikar ini lebih mahal dibandingkan dengan tikar biasa akibat tingkat kesulitan pembuatan tikar yang jauh lebih tinggi.

2. Permasalahan Usaha Anyaman Puruna. Ketersediaan Bahan Baku

Hasil wawancara dengan para responden menunjukkan bahwa bahan baku purun dewasa ini semakin sulit didapat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu luas lahan lebak yang semakin berkurang akibat dikonversi menjadi konsesi sawit, bencana banjir yang terjadi setiap tahun sejak tahun 2004 dengan intensitas banjir besar yang terjadi pada tahun 2004 dan 2018. Menurut para responden, bencana tersebut menyebabkan para pengambil purun tidak bisa pergi ke rawa gambut untuk memanen purun. Selain itu, bencana ini juga menyebabkan sawah-sawah di desa tersebut tidak dapat ditanami padi dan tanaman lainnya.

Menurut Umar Harun, dosen dan peneliti agronomi dari Universitas Sriwijaya (komunikasi pribadi, 3 April 2018), habitat tanaman purun di Kecamatan Pedamaran

memiliki luas indikatif sebesar 5.400 hektar pada tahun 2017. Kecamatan tersebut memiliki luas lahan habitat purun yang terbesar di Kabupaten OKI. Meskipun demikian, belum ada data sejenis dengan teknik pemetaan ilmiah pada tahun-tahun sebelumnya.

b. Akses Modal PengrajinPara pengrajin menggunakan tabungan

pribadi sebagai sumber modal untuk membeli bahan baku anyaman. Ketika dana yang dimiliki tidak mencukupi, mereka dapat berhutang kepada pengumpul tikar dengan sistem panjar. Sistem ini memungkinkan para pengrajin untuk membayar hutang mereka menggunakan tikar, tetapi dengan harga Rp 1.000,00 lebih murah per lembarnya.

Berdasarkan data (BPS, 2017), belum ada lembaga perbankan di desa-desa Kecamatan Pedamaran. Menurut para responden juga belum terdapat lembaga simpan-pinjam resmi yang dapat menjangkau para pengrajin dan pelaku usaha purun lainnya di desa. Salah seorang responden pengrajin menyatakan kesulitan untuk mendapatkan pinjaman modal di koperasi desa. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan Dinas Perindustrian dan Bappeda Sumatera Selatan, sebenarnya sudah terdapat beberapa program pemodalan dari bank, namun umumnya terhambat oleh kapasitas administrasi usaha para pelaku usaha kecil dan menengah.

c. Ketidakpastian Permintaan untuk Produk non-tikarSampai saat ini, produk anyaman

purun yang sudah memiliki permintaan tetap hanyalah tikar dengan kualitas inferior dan harga rendah. Produk lainnya (seperti tas, sandal, dan map) masih dibuat berdasarkan pesanan dari luar Pedamaran. Hal ini menyebabkan para pengrajin belum memproduksi produk anyaman lain (selain tikar) secara teratur. Namun, satu pengrajin di Pedamaran telah dapat membuat produk purun seperti tas, sandal, dan map (Lampiran), serta menjualnya sendiri. Pengrajin tersebut

73

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

merupakan salah satu binaan Dinas UKM, Koperasi, dan Industri Kabupaten OKI.

d. Kualitas dan Variasi ProdukPada umumnya, kualitas produk anyaman

purun yang dihasilkan oleh para pengrajin di Sumatera Selatan masih perlu ditingkatkan. Variasi, motif, dan ciri khas Sumatra Selatan belum tergambarkan pada produk anyaman purun. Dari segi kualitas, anyaman yang ada juga masih kasar dengan tingkat kerapihan relatif rendah. Menurut Ihsan Biantoro, ahli desainer anyaman (komunikasi pribadi, 22 Mei 2018), produk anyaman untuk ekspor ke negara lain harus memiliki kualitas yang tinggi, baik dari segi warna dan kerapihan produk. Sebagai contoh, produk anyaman yang sudah berhasil menembus pasar dan sesuai dengan kriteria tersebut adalah produk dengan merek Du’Anyam. Menimbang hal tersebut, jika ingin masuk ke pasar luar negeri (atau dalam negeri tetapi dengan segmentasi pasar yang lebih tinggi), kualitas produk anyaman purun harus ditingkatkan hingga memiliki kualitas yang setara dengan produk anyaman yang telah menembus pasar tersebut, termasuk memenuhi standar tidak terkontaminasi oleh hama.

e. Rendahnya Harga Produk dan Daya Tawar Pengrajin Pengrajin hanya mendapatkan pemasukan

40-66% dari harga pasar dan harga untuk satu lembar tikar standar masih sangat rendah. Daya tawar pengrajin yang rendah juga diakibatkan oleh peran pengumpul tikar sebagai penentu tunggal harga serta penghubung antara pengrajin dan pembeli tikar (Gambar 2).

f. Kapasitas Kelembagaan PemerintahSecara umum, ditemukan bahwa banyak

lembaga pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten (5 dari 6) memiliki peran yang relatif sama, yaitu pembinaan untuk sektor IKM (Tabel 1).

Hasil wawancara menunjukkan bahwa praktik sinergi dan koordinasi antar lembaga masih kurang baik sehingga terkadang masih terdapat tumpeng-tindih antara peran dan kegiatan. Selain itu, ditemukan bahwa implementasi program pengembangan kapasitas sektor IKM di lapangan sampai saat ini masih mengalami kendala anggaran biaya. Pengembangan industri IKM oleh pemerintah belum menjadi prioritas utama, berbeda dengan bidang lainnya, seperti infrastruktur

3. Kondisi, Potensi Pasar, dan Preferensi Masyarakat terhadap Produk Anyaman

Dalam bagian ini kami mengelaborasi analisis survei intercept dan daring mengenai kondisi dan potensi pasar serta preferensi masyarakat terhadap produk anyaman, termasuk perspektif responden yang tidak terlalu familiar dengan purun.

a. Faktor Dalam Membeli Produk AnyamanBerbeda dengan beberapa studi

(Govindasamy & Italia, 1999; Haghjou et al., 2013), responden laki-laki dan perempuan dalam studi ini terbukti memiliki perspektif yang serupa terhadap produk anyaman. Hasil riset menunjukkan bahwa 50% responden menyatakan pernah membeli tikar anyaman sebelumnya. Sekitar 46% menyatakan pernah membeli anyaman tas (Gambar 3). Hal ini

74

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 2 Rantai pasokan anyaman purunFigure 2 The supply chain of woven purun.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

mengindikasikan bahwa hanya setengah dari responden yang familiar terhadap produk anyaman. Sekitar 50% (30 orang) dari responden yang belum pernah membeli produk anyaman menyatakan bahwa ketidaktahuan terhadap ragam dan jenis produk anyaman menjadi alasan mereka belum pernah membeli produk tersebut. Pasar tradisional menjadi tempat yang paling banyak didatangi untuk membeli produk anyaman (Lampiran).

Kualitas dan desain produk merupakan faktor yang paling dianggap penting oleh responden ketika membeli produk anyaman.

Gambar 4 menjelaskan bahwa mayoritas responden (lebih dari 90%) menyatakan bahwa kedua faktor tersebut adalah penting atau sangat penting. Hal ini mengindikasikan bahwa responden mengutamakan kualitas dan desain produk di atas faktor lainnya. Sementara itu, faktor harga dipandang tidak terlalu signifikan oleh responden. Hanya sekitar 60% responden yang menganggap faktor ini penting atau sangat penting. Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari separuh responden memperhitungkan harga sebelum memutuskan untuk membeli suatu produk.

75

Tabel 1 Peran lembaga atau Dinas di Sumatera Selatan dalam pengembangan industri kecil dan menengah (IKM)Table 1 The role of local institutions and agencies in South Sumatra towards the development of small and

medium enterprises (SMEs)

Lembaga atau Dinas (Institution) Peran (Role)1. Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sumatera Selatan Pembinaan, pengembangan, serta pelestarian

kerajinan2. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera

SelatanPerencanaan dan pembinaan secara makro terhadap industri kecil dan menengah (IKM)

3. Dinas Perindustrian Sumatera Selatan Pembinaan, pembuat kebijakan, fasilitasi promosi, pemberian bantuan peralatan

4. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Selatan Pengembangan industri serta sumber daya manusia; pelestarian kebudayaan

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan

Pembinaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui penguatan teknologi

6. Dinas UKM, Koperasi, dan Perindustrian Kabupaten OKI

Pembinaan, fasilitasi promosi, pemberian bantuan peralatan

Sumber (Source): Data primer (Primary data).

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 3 Proporsi responden yang pernah membeli tikar dan tasFigure 3 The Proportion of respondents who have bought mats and bags.

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

76

Responden dalam studi ini juga tidak terlalu mementingkan merek. Hanya sebesar 20% responden yang menganggap merek sebagai sesuatu yang penting atau sangat penting.

b. Karakteristik Produk Anyaman Sebagian besar responden (lebih dari 90%)

menganggap bahwa kerapihan dan ketahanan produk anyaman merupakan faktor penting atau sangat penting yang mempengaruhi kualitas produk (Gambar 5). Temuan ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya bahwa responden sangat peduli terhadap kualitas produk yang dibeli.

Sekitar 80% responden lebih menyukai produk anyaman yang memiliki unsur etnik maupun yang terbuat dari bahan alami. Hal ini menunjukkan bahwa tambahan ornamen khas daerah memiliki peluang untuk

dikembangkan. Ini juga berarti bahwa selain sangat peduli terhadap mutu, responden juga memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap produk anyaman yang dibuat dari bahan alami.

Hanya sekitar 40% responden yang menganggap bahwa produk anyaman yang berwarna-warni lebih menarik. Sebagian besar responden (lebih dari 50%) lebih menyukai produk anyaman dengan warna bahan baku yang asli atau warna yang netral.

c. Kurva PermintaanDalam studi ini telah dikumpulkan

informasi mengenai kesediaan membayar responden terhadap dua jenis produk anyaman, yakni tikar dan tas. Tikar dipilih sebagai produk yang digunakan sebagai contoh karena produk ini adalah produk yang

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 4 Faktor yang mempengaruhi keputusan responden dalam membeli produk anyamanFigure 4 Factors that influence the respondents’ decision to buy the woven products.

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 5 Preferensi terhadap karakteristik produk anyamanFigure 5 The preference for woven product characteristics.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

77

paling banyak diusahakan oleh masyarakat di Pedamaran. Sedangkan tas dipilih sebagai salah satu produk yang merepresentasikan produk turunan tikar karena produk ini lebih umum untuk diproduksi dibandingkan jenis produk yang lain seperti dompet, sandal, atau kotak tisu. Tas juga merepresentasikan salah satu produk purun yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan tikar.

Hasil analisis WTP untuk kedua produk menunjukkan arah yang sama, yaitu semakin tinggi harga produk, semakin sedikit responden yang bersedia membayar untuk harga tersebut. Hal ini sesuai dengan teori permintaan (Mankiw, 2012).

Terkait permintaan responden terhadap tikar, sebanyak 55% responden bersedia

membayar tikar kurang dari atau sama dengan Rp150 ribu (Gambar 6). Dari jumlah tersebut, 26% responden bersedia membayar dalam rentang harga Rp1–50 ribu, 29% bersedia membayar Rp51–100 ribu, dan sekitar 13% bersedia membayar Rp101–150 ribu (Gambar 6). Sementara itu, sekitar 45% responden menghargai tikar purun lebih dari Rp150 ribu hingga lebih dari Rp1 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa responden memiliki tingkat WTP yang lebih tinggi dibandingkan harga pasaran tikar purun saat ini.

Adapun untuk kesediaan membayar tas purun, garis permintaan untuk tas memiliki arah serupa garis permintaan tikar (Gambar 6). Sebanyak 53% bersedia membayar tas kurang dari atau sama degan Rp150 ribu

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 6 Kesediaan membayar untuk tikar Figure 6 Willingness to pay for mats.

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 7 Kesediaan membayar untuk tasFigure 7 Willingness to pay for bags.

78

(Gambar 7). Dari jumlah tersebut, sebanyak 22% bersedia membayar Rp1–50 ribu, 32% mampu membayar Rp51–100 ribu, dan 21% mau membayar Rp101–150 ribu. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa responden memiliki WTP yang tidak jauh berbeda dengan harga pasar tas purun saat ini. Sementara itu, sebanyak 47% responden memiliki kemampuan untuk membayar tas purun dalam rentang Rp151 ribu hingga lebih dari Rp500 ribu. Berlawanan dengan asumsi sebelumnya, dalam studi ini, responden kurang menganggap tas sebagai produk turunan yang bernilai lebih tinggi daripada tikar karena willingness to pay responden bagi kedua produk tersebut tidak jauh berbeda.

Selain menganalisis kesediaan membayar, studi ini juga mengumpulkan informasi mengenai kesediaan responden untuk membayar produk berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Studi ini memproyeksikan tikar dan tas yang terbuat dari purun sebagai produk lingkungan.

Hasilnya, sebanyak 80% responden bersedia membayar tikar maupun tas berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi (Gambar 8). Sebagian besar responden (sekitar 50%) bersedia membayar tikar dan tas dengan harga 10% lebih tinggi. Sementara

itu, sebanyak 37% dan 28% responden bersedia membayar tikar dan tas dengan harga 20% lebih tinggi dari harga awal berturut-turut. Meski hanya sebagian kecil, persentase responden yang bersedia membayar tikar berlabel hijau (6%) rupanya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kesediaan responden untuk membayar tas hijau (4%) untuk kenaikan di atas 50% dari harga awal (Gambar 8). Hal ini mengindikasikan bahwa secara persentase, responden memiliki kesediaan yang lebih tinggi untuk membayar tikar berlabel hijau dibandingkan tas dengan jenis serupa.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Membayar Responden

Berikutnya, analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk membayar produk berlabel lingkungan lebih tinggi dari harga awal yang bersedia dibayarkan.

Hasil analisis menunjukkan adanya bukti yang lemah bahwa variabel kesadaran terhadap harga mempengaruhi keputusan responden (Tabel 2). Variabel ini bertanda positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar tas berlabel lingkungan, tetapi tidak

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 8 Proporsi responden yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk berlabel lingkunganFigure 8 The proportion of respondents who willing to pay higher for green labeled products.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

79

terhadap tikar. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang semakin memperhatikan harga, memiliki kecenderungan untuk bersedia membayar tas berlabel lingkungan lebih mahal. Kesadaran terhadap lingkungan juga terbukti memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar produk berlabel lingkungan, khususnya tas (Tabel 2).

Kami juga melakukan analisis regresi terpisah (tidak ditampilkan dalam tabel) antara willingness to pay terhadap variabel-variabel independen yang sama. Hasil analisis tersebut menunjukkan temuan yang serupa bahwa kesadaran terhadap lingkungan meningkatkan kemungkinan bagi responden untuk membayar produk berlabel lingkungan lebih mahal dari harga awalnya. Ini mengindikasikan bahwa responden yang sadar terhadap lingkungan

akan lebih mungkin untuk membayar produk berlabel hijau dengan harga yang lebih tinggi. Ditemukan juga bukti yang lemah bahwa kemungkinan responden yang sudah menikah untuk membayar produk berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi akan berkurang. Sedangkan umur memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kesediaan responden untuk membayar produk berlabel hijau dengan harga yang lebih tinggi dengan bukti yang lemah. Artinya, responden yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk bersedia membayar tas dengan harga yang lebih tinggi.

Tabel 2 Ringkasan regresi logisticTable 2 Summary of logistic regression

Variabel (Variable)Bersedia membayar lebih untuk tikar berlabel lingkungan (Willing to pay higher price for green label mats)

Bersedia membayar lebih untuk tas berlabel lingkungan (Willing to pay higher price for green label bags)

Kesadaran terhadap faktor harga(Price awareness)

0.397 (0.273) 0.610** (0.280)

Kesadaran terhadap kualitas(Quality awareness)

0.711 (0.438) 0.639 (0.556)

Kesadaran terhadap desain(Design awareness) 0.0378 (0.278) 0.286 (0.276)Kesadaraan terhadap merek(Brand awareness) 0.114 (0.340) 0.0809 (0.316)Kesadaraan terhadap lingkungan(Environmental awareness) 0.540** (0.263) 0.218 (0.283)Jika wanita (If woman) -0.242 (0.255) -0.0949 (0.255)Jika tinggal di perkotaan(If living in the urban area) -0.0242 (0.385) 0.103 (0.392)Jika menikah (If married) 0.171 (0.431) -0.798** (0.388)Tingkat pendidikan (Education) -0.0830 (0.140) 0.173 (0.160)Umur (Age) 0.0527 (0.188) 0.405** (0.166)Pengeluaran (Expenses) 0.0443 (0.0947) -0.0744 (0.0945)Jika tinggal di Jakarta(If living in Jakarta) -0.269 (0.306) 0.204 (0.296)Konstanta (Constant) -0.318 (0.736) -3.102*** (0.877)Observasi (Observations) 309 309

Sumber (Source): Data primer (Primary data)Keterangan (Remarks): **signifikan (significant) 5%, ***signifikan (significant) 1%.

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

80

B. PEMBAHASAN

1. Kesenjangan Antara Potensi Pasar dengan Kondisi Sebenarnya

Dari hasil analisis didapatkan kesenjangan antara potensi pasar untuk produk anyaman hijau dan kondisi sebenarnya dari usaha anyaman purun di Sumatera Selatan, yaitu:a. Ketidaksesuaian kualitas dan desain

produk;b. Ketidaksesuaian harga;c. Sistem pemasaran yang tidak efektif dan

terarah;d. Ketidakpastian ketersediaan bahan baku;

dane. Tumpang-tindih peran pemerintah.

Desain dan kualitas adalah faktor-faktor yang dianggap paling penting oleh responden dalam survei, sedangkan pada kondisi sebenarnya ditemukan bahwa kualitas dan desain produk anyaman purun masih dianggap inferior. Kami juga menemukan bukti empiris bahwa responden lebih mementingkan atribut ketahanan dan kerapihan dalam sebuah produk anyaman. Kedua atribut tersebut masih belum dimiliki oleh sebagian besar produk anyaman tikar dari Pedamaran. Harga produk anyaman (khususnya tikar) di pasar saat ini juga memiliki nilai di bawah kesediaan membayar responden, yakni sekitar 80–85% lebih rendah. Hal ini juga dipengaruhi oleh kualitas tikar yang masih rendah.

Selain itu, produk anyaman purun belum mendapatkan pemasaran dan pelabelan khusus untuk membedakan produk tersebut dengan produk sejenis lainnya. Ketidaktahuan terhadap ragam dan produk anyaman menjadi alasan terbesar responden tidak pernah membeli produk anyaman sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pemberian label khusus bagi produk anyaman purun dapat menjadi salah satu strategi pemasaran yang sesuai.

Hasil analisis kualitatif dalam studi ini menunjukkan bahwa ketidakpastian ketersediaan bahan baku semakin meningkat karena perubahan tipologi rawa gambut akibat konversi lahan dan banjir. Hal ini

mengindikasikan bahwa secara umum bahan baku anyaman masih tersedia, tetapi akses untuk mendapatkannya semakin sulit.

Terakhir, dari hasil studi ini juga ditemukan tumpang-tindih peran antar lembaga/dinas pemerintah daerah. Pada umumnya, lembaga/dinas tersebut mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan menganyam para pengrajin. Sebaiknya dilakukan koordinasi pembagian peran agar pengembangan kapasitas dapat terlaksana dengan lebih efektif dan tepat-guna.

2. Solusi untuk Mengatasi Kesenjangan dan Permasalahan Usaha Anyaman Purun

a. Pelatihan Spesifik untuk Para PengrajinPemerintah Sumatera Selatan dapat

bekerjasama dengan perusahaan swasta dan lembaga non-pemerintah (non government organization/NGO) untuk mengadakan pelatihan terkait dengan peningkatan kualitas produk, terutama pada unsur kerapihan anyaman yang menjadi faktor terpenting bagi para responden. Selain peningkatan kualitas produk, pelatihan terhadap manajemen usaha dan peningkatan akses teknologi perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan Nasir (1996) yang menyebutkan bahwa peningkatan keterampilan, akuisisi teknologi, dan kemampuan manajerial merupakan faktor terpenting dalam pelatihan wirausaha perempuan di area terpencil. Dalam mengadakan pelatihan-pelatihan tersebut, peran para lembaga terkait dapat dikoordinasikan secara spesifik sehingga tidak terjadi inefisiensi sumberdaya dan dana.

Pemerintah dapat berkolaborasi dengan desainer untuk meningkatkan variasi motif anyaman tanpa menghilangkan motif asli atau khas Sumatera Selatan. Hal tersebut penting sebagai usaha pelestarian budaya dan pembeda dari anyaman yang berasal dari provinsi lain. Hal tersebut juga didukung oleh Tung (2012) dan UNESCO (2005) yang menyatakan bahwa desainer dapat membantu meningkatkan industri kerajinan lokal dengan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

81

menghubungkan nilai tradisional produk dan selera pasar.

b. Peningkatan Akses Pasar dan Pendanaan PengrajinPeningkatan akses pasar pengrajin dapat

dilakukan dengan menghubungkan pengrajin (secara berkelompok) dan konsumen melalui aksi kolektif. Shiferaw, Hellin, & Muricho (2011) berpendapat bahwa produsen kecil yang tergabung dalam kelompok memiliki akses pasar yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak. Produsen kecil tersebut dapat memiliki informasi pasar yang dibutuhkan, akses terhadap teknologi, biaya masukan dan keluaran yang lebih rendah, serta peningkatan kekuatan penawaran (Stockbridge, Dorward, & Kydd, 2003; Thorp, Stewart, & Heyer, 2005). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan koperasi desa berpotensi untuk digunakan sebagai penghubung antara kelompok pengrajin dan pembeli. Namun, pelibatan lembaga tersebut sebagai pengganti peran pengumpul tikar memerlukan riset dan kajian strategi yang lebih dalam. Hal tersebut berkaitan dengan kemungkinan timbulnya biaya peluang dari para pengumpul tikar yang kehilangan pekerjaan sebagai penghubung pengrajin dengan pembeli.

Pemerintah dapat bekerjasama dengan perusahaan swasta dan NGO untuk menyediakan tempat khusus bagi BUMDes dan koperasi desa untuk menyalurkan produknya. Hasil dari studi ini (Lampiran) menunjukkan bahwa tempat yang biasa dikunjungi responden untuk membeli produk anyaman adalah pasar tradisional, toko khusus oleh-oleh, pasar kesenian, pusat perbelanjaan modern, serta toko online.

Dari hasil analisis, penyebab masih sulitnya didapatkan pinjaman dana dari lembaga simpan-pinjam resmi di Pedamaran adalah rendahnya akses lembaga keuangan resmi di desa dan kapasitas administrasi pengrajin. Berdasarkan Shinozaki (2012), rendahnya akses terhadap pembiayaan atau modal merupakan salah satu penghambat perkembangan Usaha Kecil dan Menengah

(UKM). Oleh karena itu, peningkatan akses modal pengrajin anyaman perlu dilakukan, salah satunya dengan mencari skema pembiayaan alternatif yang sesuai.

Beberapa alternatif pembiayaan yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi keuangan crowdfunding, di mana sistem peer-to-peer (P2P) lending merupakan salah satu bagian dari sistem tersebut (Adhikary & Kutsuna, 2015). Crowdfunding menggunakan teknologi platform daring sebagai perantara investor dengan pengusaha (Bruton, Khavul, Siegel, & Wright, 2015). Beberapa studi lain juga telah membahas potensi crowdfunding untuk usaha skala kecil dan bagi para perintis usaha (Adhikary & Kutsuna, 2015; Ibrahim & Verliyantina, 2012; Rossi, 2014; Schwienbacher & Larralde, 2010).

Beberapa contoh platform daring di Indonesia yang berpotensi sebagai media pembiayaan usaha purun adalah Amartha dan Mekar. Kedua platform daring P2P ini mengedepankan peminjaman kredit kepada pengusaha mikro perempuan yang tidak memiliki akses terhadap perbankan. Bahkan, ketika berhasil mendapatkan kredit dari Amartha, para peminjam akan dibekali oleh serangkaian pelatihan pengelolaan usaha (Amartha, 2018). Namun, platform daring ini masih belum memiliki jangkauan operasi di Sumatera.

Untuk meningkatkan kapasitas administrasi usaha, pemerintah juga dapat bekerjasama untuk melakukan pelatihan dengan sektor swasta di Kabupaten OKI dalam program corporate social responsibility (CSR).

c. Segmentasi Produk Anyaman Berbahan Baku PurunDari hasil studi yang telah dilakukan,

ditemukan bukti bahwa minat calon konsumen terhadap tikar lebih tinggi dibandingkan terhadap tas. Hal ini mengindikasikan bahwa tikar memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, segmentasi produk anyaman purun dapat diarahkan dan difokuskan pada tikar dan produk turunan

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

82

sejenis lainnya (contohnya taplak meja, alas piring, sekat, dan lain-lain).

Segmentasi produk hadir karena adanya perbedaan atribut dalam berbagai produk di pasar, akan tetapi perbedaan tersebut cenderung lebih stabil apabila dibandingkan dengan preferensi konsumen (Barnett, 1969). Segmentasi produk fokus pada pertanyaan “Apa saja karakteristik yang dibangun di dalam produk”, bukan mengenai “Untuk siapa produk tersebut dibuat” (Barnett, 1969). Hal ini menjadi relevan dalam studi ini karena persaingan yang ada dalam pasar produk anyaman. Penekanan terhadap karakteristik atau ciri khas menjadi hal yang penting.

Sementara itu, pengelompokan suatu produk juga tidak dimungkinkan untuk dilakukan hanya pada satu macam kategori saja. Arabie, Carroll, DeSarbo, & Wind (1981) menyatakan bahwa pengelompokan produk pada lebih dari satu kategori bisa dilakukan atau disebut overlapping clustering. Sebuah merek atau produk tertentu bisa berkompetisi dengan merek atau produk lain dalam kelompok yang berbeda. Ini mengindikasikan bahwa produk tikar berbahan baku purun bersaing tidak hanya dengan produk anyaman saja, tetapi juga produk-produk dalam kategori peralatan rumah tangga. Oleh karena itu, perbaikan mutu produk anyaman purun mutlak diperlukan, bahkan setelah segmentasi produk dilakukan.

d. Pemasaran Produk Anyaman sebagai Produk HijauProduk anyaman purun berpotensi untuk

dipasarkan sebagai produk hijau karena proses produksinya yang ramah lingkungan. Tanaman purun tumbuh secara alami di rawa gambut sehingga tidak diperlukan pengeringan dan pembakaran lahan dalam proses produksinya. Jika produk anyaman purun dikembangkan dengan lebih baik dan berkelanjutan, maka masyarakat akan memiliki indikasi untuk menjaga lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Potensi pemasaran produk berlabel

lingkungan terbukti ada dalam studi ini. Mayoritas responden bersedia membayar produk hijau dengan harga yang lebih tinggi dari harga awalnya. Selain itu, Nielsen (2015) dalam studi pasarnya menemukan adanya kenaikan permintaan terhadap produk dengan merek tertentu yang menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan (contohnya dengan pemasaran hijau). Ini mengindikasikan bahwa tren peningkatan permintaan terhadap produk ramah lingkungan akan terus berlanjut.

Secara umum, pemasaran hijau adalah serangkaian kegiatan untuk memfasilitasi proses pertukaran transformatif antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan perbaikan lingkungan, karena pada dasarnya manusia dan lingkungan adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan (Polonsky, 2011). Pemasaran hijau juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat serta sebagai media bagi individu yang peduli dengan lingkungan untuk berbuat sesuatu (Cherian & Jacob, 2012). Salah satu strategi dalam pemasaran hijau adalah dengan mempromosikan produk ramah lingkungan dengan label hijau yang informatif (D’Souza. Taghian, Peter, & Paretiatkos, 2006).

Kami juga melihat bahwa faktor kesadaran dan kepedulian konsumen terhadap lingkungan mempengaruhi keputusannya untuk membayar produk hijau dengan harga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan beberapa studi yang pernah dilakukan (Gan et al., 2008; Haghjou et al., 2013). Beberapa studi lainnya juga menyebutkan bahwa kesadaran dan kepedulian lingkungan berpengaruh positif terhadap pembelian produk ramah lingkungan (Boztepe, 2014; Royne, Levy, & Martinez, 2011; van Birgelen, Semeijn, & Keicher, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan produk berlabel ramah lingkungan ada dan semakin berkembang seiring dengan teredukasinya konsumen.

Untuk melaksanakan pemasaran hijau dan meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat, edukasi lingkungan tentang pentingnya penjagaan ekosistem gambut

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

83

perlu dilakukan. Edukasi dapat dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menyentuh emosi atau perasaan masyarakat. Sebagaimana disebutkan Pooley & O’Connor (2000), cara terbaik dalam edukasi lingkungan adalah melalui ranah afektif (perasaan) dan kognitif (kepercayaan).

e. Manajemen Bahan Baku dan Lahan GambutHasil analisis dalam studi ini

mengindikasikan bahwa fenomena banjir di lebak purun dan di desa diperparah dengan adanya konversi rawa gambut menjadi konsesi-konsesi sawit. Berdasarkan studi yang dilakukan Sumarga, Hein, Hooijer, & Vernimmen (2016), lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan sawit memiliki kemungkinan banjir yang lebih tingggi dibandingkan dengan sistem penanaman ramah gambut dalam jangka panjang. Dawson, Kechavarzi, Leeds-Harrison, & Burton (2010) dan Gebhardt, Fleige, & Horn (2010) juga menyatakan bahwa pengeringan (drainase) dapat mengakibatkan fenomena penurunan permukaan tanah pada lahan gambut.

Tata kelola lahan gambut dapat ditingkatkan dengan penjelasan batasan dan status wilayah antara konsesi sawit yang sudah ada dengan lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sinergi dan koordinasi dari pemerintah pusat (KLHK dan Badan Pertanahan Nasional) serta dinas di Kabupaten OKI perlu ditingkatkan, agar tidak terjadi tumpang-tindih regulasi dan izin lahan. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari konflik yang lebih jauh antar warga dan perusahaan.

Pengambilan bahan baku di lebak atau rawa gambut juga sebaiknya diatur oleh pemerintah, misalnya dengan mendata siapa saja para pengambil purun dan membagi lokasi pengambilan. Sebagaimana disampaikan oleh Edwin Martin, seorang peneliti madya bidang sosiologi kehutanan (komunikasi pribadi, 27 Maret 2018), ekstraksi bahan baku yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif

terhadap lahan gambut, seperti eksploitasi terhadap lahan dan peningkatan risiko kebakaran.

V. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan

Hasil analisis dari studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (80%) bersedia membayar harga produk berlabel lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Dari proporsi tersebut, sekitar 20% konsumen bersedia membayar tikar ataupun tas berlabel lingkungan dengan harga >30% lebih tinggi dari harga awalnya. Hasil ini mengindikasikan adanya potensi pasar bagi produk berlabel lingkungan sehingga pengembangan produk tikar purun sebagai produk hijau dapat dilakukan dengan penambahan premi harga yang sepadan. Selain itu, hasil survei menunjukkan bahwa secara umum, konsumen memiliki kesediaan untuk membayar tikar dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasarannya saat ini. Oleh karena itu, kenaikan harga produk bisa dilakukan. Akan tetapi, kenaikan harga tersebut juga perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dan desain tikar purun, terutama dari segi kerapihan dan ketahanan.

Aktivitas pemasaran produk juga perlu digalakkan, terutama untuk pemasaran di tempat-tempat lain di luar pasar tradisional. Hal ini dapat dilakukan dengan melebarkan tempat penjualan anyaman purun di toko khusus oleh-oleh, pasar kesenian, pusat perbelanjaan modern, dan situs daring (online). Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melalui pemasaran dan pelabelan sebagai produk ramah lingkungan atau produk hijau. Produk juga perlu ditingkatkan keterjangkauannya untuk mencapai pasar yang lebih luas.

Selain kegiatan pemasaran, beberapa hal perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pada usaha anyaman purun di Sumatera Selatan, misalnya pemberian pelatihan spesifik untuk para pengrajin, pencarian pembiayaan alternatif, serta manajemen ekstraksi bahan

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

84

baku dan perlindungan rawa gambut sebagai habitat tanaman purun. Hal tersebut dapat dilakukan bersama dengan perusahaan swasta dan organisasi non-pemerintah.

B. SaranSebagai tindak lanjut, riset lanjutan

dapat berfokus pada beberapa hal, seperti ketersediaan dan kapasitas bahan baku purun, material bahan baku, analisis kelembagaan pelaku usaha purun, tata ruang dan kelola rawa gambut, budaya menganyam purun, serta pengelompokan produk purun dalam beberapa kategori untuk memperkaya dan mempertajam analisis.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam proses pengambilan data penelitian. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eli Nur Nirmalasari, Dr. Edwin Martin, dan Julian Junaidi Polong atas masukan serta diskusinya terhadap studi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adhikary, B. K., & Kutsuna, K. (2015). Small business finance in Bangladesh: Can “ crowdfunding ” be an alternative? Review of Integrative Business & Economics Research, 4(4), 1–21. https://doi.org/ 10.4209/aaqr.2011.11.0221.

Amartha. (2018). Proses pembiayaan. Retrieved July 16, 2018 from https://amartha.com/id_ID/ pembiayaan/.

Arabie, P., Carroll, J. D., DeSarbo, W., & Wind, J. (1981). Overlapping clustering: A new method for product positioning. Journal of Marketing Research, 18(3), 310. https://doi.org/10.2307/ 3150972.

Barnett, N. L. (1969). Beyond market segmentation. Harvard Business Review, 47(1), 152–166.

Bebbington, A. (2002). Movements, modernizations, and markets: Indigenous organizations and agrarian strategies in Ecuador. Liberation Ecologies: Environment, Development, Social Movements (pp. 86–106). London and New York: Routledge.

Blare, T., Donovan, J., & del Pozo, C. (2017). Estimates of the willingness to pay for locally grown tree fruits in Cusco, Peru. Renewable Agriculture and Food Systems, 1–12. https://doi.org/10.1017/ S1742170517000333.

Blend, J., & Ravenswaay, E. van. (1998). Consumer demand for ecolabeled apples: Survey methods and descriptive results. Agricultural Economics. Staff Paper 98-20.

Boztepe, A. (2014). Green marketing and its impact on consumer behavior. International Journal of Innovative Technology & Adaptive Management, 1(5), 375–383.

BPS. (2017). Kecamatan Pedamaran dalam angka. Kabupaten Ogan Komering Ilir: Badan Pusat Statistik

Brotonegoro, S. (2003). Plant resources of South-East Asia. In M. Brink, & R.P. Escobin (Eds.). Leiden: Backhuys Publishers.

Bruton, G., Khavul, S., Siegel, D., & Wright, M. (2015). New financial alternatives in seeding entrepreneurship: Microfinance, crowdfunding, and peer-to-peer innovations. Entrepreneurship: Theory and Practice, 39(1), 9–26. https://doi.org/ 10.1111/etap.12143.

Bush, A. J., & Grant, E. S. (1995). The potential impact of recreational shoppers on mall intercept interviewing: An exploratory study. Journal of Marketing Theory and Practice, 3(4), 73–83. https://doi.org/10.1080/10696679.1995.11501707.

Cherian, J., & Jacob, J. (2012). Green marketing: A study of consumers’ attitude towards environment friendly products. Asian Social Science, 8(12), 117–126. https://doi.org/10.5539/ass.v8n12p117.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative enquiry & research design, choosing among five approaches (Vol. 2nd ed). California: SAGE Publications. https://doi.org/10.1016/j.aenj.2008.02.005.

D’Souza, C., Taghian, M., Peter, L., & Peretiatkos, R. (2006). Green products and corporate strategy: an empirical investigation. Asian Academy of Management Journal, 18(1), 3–19. https://doi.org/ 10.1675/1524-4695(2008)31.

Dawson, Q., Kechavarzi, C., Leeds-Harrison, P. B., & Burton, R. G. O. (2010). Subsidence and degradation of agricultural peatlands in the Fenlands of Norfolk, UK. Geoderma, 154(3–4), 181–187. https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2009.09.017.

Dilmann, D. A., Smyth, J. D., & Leah, M. C. (2014). Internet, phone, mail, and mixed-mode surveys: The tailored design method (4th Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

85

Direktorat Riset dan Pengembangan Ekonomi Kreatif. (2017). Data statistik dan hasil survei ekonomi kreatif. Retrieved May 30, 2018 from http://www.bekraf.go.id/downloadable/pdf_file/170475-data-statistik-dan-hasil-survei-ekonomi-kreatif.pdf.

Gan, C., Yen Wee, H., Ozanne, L., & Tzu-Hui, K. (2008). Consumers ’ purchasing behavior towards green products in New Zealand. Innovative Marketing, 4(1), 93–102.

Gebhardt, S., Fleige, H., & Horn, R. (2010). Shrinkage processes of a drained riparian peatland with subsidence morphology. Journal of Soils and Sediments, 10(3), 484–493.

GFED. (2015). Updates - global fire emissions database. Retrieved April 23, 2018 from http://www.globalfiredata.org/updates.html#2015_indonesia.

Giesen, Wim. (2015). Utilizing NTFPs to conserve Indonesia's peat swamp forests and reduce carbon emissions. Journal of Indonesian Natural History, 3. 10-19.

Glauber, A. J., & Gunawan, I. (2015). The cost of fire. An economic analysis of Indonesia’s 2015 fire crisis. The World Bank, 17(5), 403–408.

Govindasamy, R., & Italia, J. (1999). Predicting willingness-to-pay a premium for organically grown fresh produce. Journal of Extension, 30, 44–53. Retrieved April 20, 2018 from http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/27385/1/30020044.pdf.

Haghjou, M., Hayati, B., Pishbahar, E., Mohammadrezaei, R., & Dashti, G. (2013). Factors affecting consumers’ potential willingness to pay for organic food products in Iran: Case study of Tabriz. Journal of Agricultural Science and Technology, 15(2), 191–202.

Hiramatsu, A., Kurisu, K., & Hanaki, K. (2016). Environmental consciousness in daily activities measured by negative prompts. Sustainability (Switzerland), 8(1), 1–19. https://doi.org/10.3390/ su8010024.

Ibrahim, N., & Verliyantina. (2012). The model of crowdfunding to support small and micro businesses in Indonesia through a web-based platform. Procedia Economics and Finance, 4, 390–397. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/ S2212-5671(12)00353-X.

ILO. (2004). Supporting growth oriented women entrepreneurs in Ethiopia, Kenya & Tanzania.(Report).

Lipovetsky, S., Magnan, S., & Polzi, A. Z. (2011). Pricing models in marketing research. Intelligent Information Management, 3, 167–174. https:// doi.org/10.1016/S0927-0507(05)80034-9.

Loureiro, M. L., McCluskey, J. J., & Mittelhammer, R. C. (2001). Assessing consumer preferences for organic, Eco-labeled, and regular apples. Journal of Agricultural and Resource Economics, 26(2), 404–416. https://doi.org/10.2307/40987117.

Malhotra, N. K. (2010). Marketing research: An applied approach. (6th ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Mankiw, N. G. (2012). Principles of economics. (6th ed.). New Delhi: Cengage Learning.

Nair, T. S. (1996). Entrepreneurship training for women in the Indian rural sector: A review of approaches and strategies. Journal of Entrepreneurship, 5(1), 81–94. https://doi.org/10.1177/097135579600500105.

Nielsen. (2015). The sustainability imperative new insights on consumer expectations, (October), 1–19. Retrieved July 8, 2018, from https:// www.nielsen.com/content/dam/nielsenglobal/co/docs/Reports/2015/global-sustainability-report.pdf

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut (2016).

Polonsky, M. J. (2011). Transformative green marketing: Impediments and opportunities. Journal of Business Research, 64(12), 1311–1319. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2011.01.016.

Pooley, J. A., & O’Connor, M. M. (2000). Environmental education and attitudes: Emotions and beliefs are what is needed. Environment and Behavior, 32(5), 711–723. https://doi.org/10.1177/0013916500325007.

Poulton, C., Dorward, A., Poulton, C., Kydd, J., & Dorward, A. (2006). Overcoming market constraints on pro-poor agricultural growth in Sub-Saharan Africa. Development Policy Review, 24(August 2016), 243–277. https://doi.org/ 10.1111/j.1467-7679.2006.00324.x.

Reinhardt, F. L. (1998). Environmental product differentiation: Implications for corporate strategy. California Management Review, 40(41), 46.

Rossi, M. (2014). The new ways to raise capital: An exploratory study of crowdfunding. International Journal of Financial Research, 5(2), 8–18. https://doi.org/10.5430/ijfr.v5n2p8.

Royne, M. B., Levy, M., & Martinez, J. (2011). The public health implications of consumers’ environmental concern and their willingness to pay for an eco-friendly product. Journal of Consumer Affairs, 45(2), 329–343. https://doi.org/ 10.1111/j.1745-6606.2011.01205.x.

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

Schwienbacher, A., & Larralde, B. (2010). Crowdfunding of small entreprenurial ventures. In Handbook of Entreprenurial Finance. New York: Oxford University Press. Retrieved July 23, 2018 from https://apps.ict.illinois.edu/projects/ getfile.asp?id=3174.

Shiferaw, B., Hellin, J., & Muricho, G. (2011). Improving market access and agricultural productivity growth in Africa: What role for producer organizations and collective action institutions? Food Security, 3(4), 475–489. https://doi.org/10.1007/s12571-011-0153-0.

Shinozaki, S. (2012). A new regime of SME finance in emerging Asia: Empowering growth-oriented SMEs to build resilient national economies: Asian Development Bank (ADB), Manila Sugge (No. No. 104). ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration. Manila.

Stockbridge, B. M., Dorward, A., & Kydd, J. (2003). Farmer organisations: what are they and what do they do? In Briefing Paper (pp. 1–42). UK: Wye College, University of London.

Sumarga, Elham & Hein, Lars & Hooijer, Aljosja & Vernimmen, Ronald. (2016). Hydrological and economic effects of oil palm cultivation in Indonesian peatlands. Ecology and Society. 21(2):52. https://doi.org/10.5751/ES-08490-210252.

Thorp, Rosemary & Stewart, Frances & Heyer, Amrik. (2005). When and how far is group formation a route out of chronic poverty?” World. World Development. 33. 907-920. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2004.09.016..

Tung, F. W. (2012). Weaving with rush: Exploring craft-design collaborations in revitalizing a local craft. International Journal of Design, 6(3), 71–84.

UNESCO. (2005). Designers meet artisans: A Practical guide. New Delhi.

van Birgelen, M., Semeijn, J., & Keicher, M. (2009). Packaging and proenvironmental consumption Behavior: Investigating purchase and disposal decisions for beverages. Environment and Behavior, 41(1), 125–146. https://doi.org/ 10.1177/0013916507311140.

Wang, Q., & Sun, J. (2003). Consumer preference and demand for organic food: Evidence from a vermont survey. Paper Prepared for American Agricultural Economics Association Annual Meeting (July), 1–12. Retrieved April 22, 2018 from http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/ 22080/1/sp03wa02.pdf.

Winters, E. (2016). What is an intercept survey? https://doi.org/10.2307/2246769.

WWF Indonesia, & Nielsen, ?. (2017). Tren konsumsi dan produksi Indonesia: Produsen mampu sediakan produk ekolabel dan pasar siap membeli. Retrieved July 2, 2018 from https://www.wwf.or.id/?60462/Tren-Konsumsi-dan-Produksi-Indonesia-Produsen-Mampu-Sediakan-Produk-Ekolabel-dan-Pasar-Siap-Membeli.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 67-87

86

Lampiran (Appendix)

1. Tempat pembelian produk anyaman (The places to buy woven product)

Sumber (Source): Data primer (Primary data). Sumber (Source): World Resources Institute Indonesia.

2. Tikar purun konvensional di Pedamaran (Conventional purun mats in Pedamaran)

3. Sandal purun (Purun sandals)

Sumber (Source): World Resources Institute Indonesia.

4. Kegiatan menganyam purun di Pedamaran (Purun weaving activity in Pedamaran)

Sumber (Source): World Resources Institute Indonesia.

Revitalisasi Mata Pencaharian di Lahan Gambut: ........(Bunga Karnisa Goib, Nadia Fitriani, Satrio Adi Wicaksono, Muhammad Yazid & Dessy Andriani)

87

88

89

Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Penulis dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku.

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.

FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10

SISTEMATIKA PENULISANHasil penelitian:

JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. METODE PENELITIANIII. HASIL DAN PEMBAHASANIV. KESIMPULAN DAN SARANUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

Pemikiran/tinjauan ilmiah:JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. III., dst. Bab terakhir: KESIMPULAN & REKOMENDASIUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRANTubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan.

Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:I, II, III, dst. untuk BabA, B, C, dst. untuk Sub Bab1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Baba, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Baba), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab

Bab-bab inti naskah

PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS)

JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat, singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi.

IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan, nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya.

KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak

TEMPLATE JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN

JUDUL (Times New Roman, all caps, 14 pt, bold, centered)Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered)

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3

1Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; E-mail: [email protected]

2Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;E-mail: [email protected]

3Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;E-mail: [email protected]

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)*Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan

Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong enam spasi tunggal, 10 pt)

}(Times New Roman, 10 pt, ,

centered

I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: Latar belakang, berisi uraian permasalahan dan alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan diumuskan secara jelas, penjelasan ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitannya dengan pencapaian luaran yang telah ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika metode merupakan kutipan harus dicantumkan dalam referensi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang

benar. Judul, keterangan tabel dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini. Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata singkatnya.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah

dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam putih atau berwarna), masing-

masing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom.

Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab. Penulisan

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa TengahTable 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

No. Kabupaten (Regency) Tahun (Year) (ha) 2005 2006 2007

1 Wonogiri 25.100 25.643 36.359 2 Kendal 12.407 12.724 12.737 3 Banjarnegara 13.154 15.610 19.290 4 Purbalingga 13.027 14.117 14.143 5 Purworejo 20.771 23.186 20.567 6 Wonosobo 19.824 20.687 19.619 7 Pati 15.762 16.049 16.049 8 Banyumas 13.204 14.963 17.090 9 Boyolali 9.392 9.758 7.950 10 Sragen 17.064 17.220 18.049

Kabupaten lainnya 15.735 175.866 184.776 Jumlah (Total) 317.440 345.823 366.629

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.Figure 1. Area percentage of community forests in Central Java Province in 2011.(kosong dua spasi tunggal, 10 pt)

keterangan gambar menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 pt, center, dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah gambar.

FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Resolusi gambar disarankan paling sedikit 300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas meskipun diperbesar.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanKesimpulan memuat hasil yang telah

dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Kesimpulan bukan tulisan ulang pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan perampatan singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak berupa pointer).

Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)

B. SaranSaran berisi rekomendasi akademik

atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak-pihak yang telah membantu, baik berperan secara finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style.

Referensi terdiri dari acuan primer dan/atau acuan sekunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook) dan prosiding termasuk dalam sumber acuan sekunder.

Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10 tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu terbitan berkala ilmiah, dimana sumber acuan primer berbanding sumber lainnya adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri (self citation) yang terlalu banyak dapat mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah.

u vkax y

æ ö¶ ¶ ÷ç=- + ÷ç ÷ç ÷ç¶ ¶è ø

Daftar pustaka dicantumkan setelah uraian penulisan. Ukuran margin seperti pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka berada di tengah dan tidak dicetak miring/tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama pada kata pertama dan proper noun pada judul. Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet.

Penulisan sitasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley, Endnote.

LAMPIRAN

Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA Style:

Paper dalam jurnalArtikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis).

Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis). Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber

daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251- 264.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis). Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s

in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 2009(90), 16.

BukuBuku (1 penulis).

Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.

Buku (2-6 penulis). Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta:

Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.

Buku (lebih dari 6 penulis). Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam

Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya.

ProsidingKuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921).

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 November 2010. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

Kumpulan tulisan yang dieditBooth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-

group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.

Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan

dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesisSuyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani

I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda.Laporan Penelitian. Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi

sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished).

Artikel dari internet.:Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www.anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.

Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823.

Surat kabar.Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The

Washington Post. p.A3.

Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya.Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031.

Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut:• Karya dengan dua pengarang.

Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994)• Karya tiga sampai lima pengarang.

(Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain….Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued….

• Enam pengarang atau lebih.Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001)

• Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring. Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah Kabupaten Pesawaran 2013 ……. Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001).

• Organisasi sebagai pengarang. According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama: (Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000)

• Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama(Berndt, 2002; Harlow, 1983)

• Pengarang dengan nama akhir sama.Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998)

• Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama. Research by Berndt (1981a) illustrated that...

• Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung. Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102).

• Tahun tidak diketahui. Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring and APA," n.d.).

CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.

KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.

PENGAJUAN NASKAH

1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian

2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.

3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan secara obyektif dan tertulis.

4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI).

5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www.puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK.

Journal of Forestry Policy AnalysisVol.15 No.1, Mei 2018

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASINo. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

Jurnal Analisis K

ebijakan Kehutanan Vol.15, N

o.1, Mei 2018 : 1-112

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA