48
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri dari stage nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM. Gangguan tidur sering terjadi pada fase REM. 1 Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada pria, mulai dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi, sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur. 3 Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama. 3 Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua hingga tiga kali, 1

OSA - ISI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

vvv

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri dari stage nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM. Gangguan tidur sering terjadi pada fase REM.1 Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada pria, mulai dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi, sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.3

Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.3

Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua hingga tiga kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.1

Di Amerika sekitar 12 juta orang usia 3060 tahun menderita OSA dan setiap tahun 38.000 meninggal karena penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan gangguan pernapasan saat tidur. Sekitar 4050% penderita gagal jantung kongestif menderita OSA atau pernapasan cheynestokes dengan CSA. Gangguan ini menyebabkan progresifiti gagal jantung dan prognosis yang buruk. Beberapa faktor yang menyebabkan gangguan tidur termasuk alasan kesehatan dan penyakit psikis, penggunaan obat, gangguan irama sirkardian dan gangguan tidur lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

2. Bagaimana anatomi saluran nafas atas ?

3. Bagaiamana epidemiologi Obstructive Sleep Apnea (OSA)?

4. Bagaimana etiologi Obstructive Sleep Apnea (OSA)?

5. Bagaimana patafisologi Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

6. Apa manifestasi klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

7. Bagaimana diagnosis Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

8. Bagiaimana penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea (OSA)?

9. Bagaimana komplikasi Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

10. Bagaimana prognosis Obstructive Sleep Apnea (OSA) ?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama NREM ( nonrapid eye movement ) atau REM ( rapid eye movement ) sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.1,3

Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas. Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-paru.3,5,6

Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi sebagian sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum molle dan jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula dan otot di saluran napas bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian (hipopnea) atau total (apnea).1,3

2.2 Anatomi Saluran Nafas Atas

Gambar 2.2 : Saluran Nafas Atas Normal dan yang mengalami gangguan

2.3 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita.1,3

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.1,2,3

OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau individu dengan sindrom metabolik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular memiliki prevalensi OSA yang tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien dengan fibrilasi atrium yang membutuhkan tindakan kardioversi, 33% pasien dengan fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit jantung koroner, 50% pasien dengan stroke akut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik.1

2.4 Etiologi

Etiologi terjadinya OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi, contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai resiko utama terjadinya OSA. Angka prevalensi OSA pada orang yang sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala OSA20

Faktor risiko untuk terjadinya OSA :21-24

A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui :

1. Umur : prevalensi dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin : Resiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause.

3. Ukuran dan bentuk jalan napas :

a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).

b. Micrognathia (rahang yang kecil).

c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.

d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).

B. Faktor risiko penyakit : Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :

1. Emfisema dan asma.

2. Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).

3. Obstruksi nasal.

4. Hypothyroid, akromegali, amyloidosis, paralisis pita suara, sindroma post-

polio, kelainan neuromuskular, Marfan's syndrome dan Down syndrome .

C. Risiko gaya hidup :

1. Merokok

2. Obesiti : 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.

a. Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.

b. Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati dengan

menggunakan nasal CPAP .

Obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang.6,9,16,17,18 Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI.12 Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur.11,12

Penyakit berikut ini penyakit lain yang berhubungan dengan OSA pada anak:9

Pierre Robin anomaly

Crouzon syndrome

Treacher Collins syndrome

Kippel-feil syndrome

Beckwith-wiedemann syndrome

Apert syndrome

Prader willi syndrome

Morbid obesity

Marfan syndrome

Achondroplasia

Laryngomalacia

Mucopolysaccharidoses

Keadaan kelemahan neuromuscular, diantaranya Duchenne muscular dystrophy, Werdnig-Hoffman disease, late-onset spinal muscular atrophy, Guillain Barre syndrome, myotonic dystrophy, dan myotubular myopathy

Chiari malformation

Cerebral palsy

Anemia cikle cell

Gambar 2.4.1 kelainan yang menyebabkan OSA sesuai letak anatomis26

Gambar 2.4.2 anak dengan kelainan kraniofacial

2.5 Patofisiologi

Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang disebabkan oleh dinding faring yang collapse sewaktu tidur. Etiologi dan mekanisme collapse multifaktorial tetapi dikaitkan dengan interaksi saluran nafas atas yang sangat mudah collapse dengan relaksasi otot dilator faring yang terjadi sewaktu tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan kraniofasial seperti retrognathia menambah kecenderungan keruntuhan dengan peningkatan tekanan intraluminal pada jaringan disekeliling saluran napas atas. Tetapi gangguan structural saja pada saluran napas tidak cukup memadai untuk menyebabkan OSA. Pasien tanpa kelainan anatomi bisa menghidap OSA, ini karena kompleks jalan reflek dari saraf pusat ke faring yang mengawal tindakan otot dilator faring bisa gagal untuk mempertahankan patensi faring.1,3,7

Rata-rata dewasa sehat membutuhkan waktu 7 jam untuk tidur setiap malam. Walaupun demikian, ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang. Tidur normal dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia. Seseorang yang berusia muda cenderung tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan lansia. Waktu tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor ketuaan.

Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran elektrofisiologik sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur.13

Stadium tidur diukur dengan polisomnografi yang terdiri dari tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non-rapid eye movement (NREM). Tidur REM disebut juga tidur D atau bermimpi karena dihubungkan dengan bermimpi atau tidur paradoks karena EEG aktif selama fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat atau tidur S. Kedua stadium ini bergantian dalam satu siklus yang berlangsung antara 70 120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus NREM-REM yang terjadi setiap malam. Periode tidur REM I berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM makin panjang. Tidur NREM terdiri dari empat stadium yaitu stadium 1,2,3,4.13,14

a. Stadium Tidur Normal Pada Dewasa

Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat, aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.

Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.

Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.

Stadium 3 ditandai dengan 20-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.

Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur.

Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah atau hilang. Tekanan darah dan nafas meningkat. Pada tidur REM terdapat mimpi-mimpi. Fase ini menggunakan sekitar 20-25% waktu tidur. Latensi REM sekitar 70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi, gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek.

Sebagian tidur delta (NREM) terjadi pada separuh awal malam dan tidur REM pada separuh malam menjelang pagi. Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal dimensi psikologik dan fisiologik. Tidur REM dikaitkan dengan mimpi-mimpi sedangkan tidur NREM dengan pikiran abstrak. Fungsi otonom bervariasi pada tidur REM tetapi lambat atau menetap pada tidur NREM.

Tidur REM lebih dangkal, ditandai dengan gerakan bola mata cepat di bawah kelopak mata yang tertutup. Pada waktu REM, orang tidak lagi mendengkur, nafas menjadi tak teratur, aliran darah ke otak bertambah dan temperatur tubuh naik, disertai banyak gerakan tubuh. Gelombang 1istrik tampak seperti tingkat 1 dari tidur. Tiap proses tidur melewati 5 tahap ini dalam 1 siklus, dan tiap siklus berlangsung kira-kira 90 menit. Orang dewasa yang sehat bila sudah tertidur akan masuk ke dalam tingkat 1, diikuti tingkat 2,3 dan 4, kemudian kembali lagi ke tingkat 1 dan setelah 2 periode, siklus itu akan lengkap setelah diikuti oleh periode REM antara 5 sampai 15 menit. Putaran akan berlangsung 4-5 kali dengan penambahan periode REM pada tahap berikutnya, disertai pengu-rangan periode NREM (terutama pada tingkat 3 dan 4). Pada orang yang tidur selama 8 jam, akan menjalani 2 jam tidur REM dan 6 jam tidur NREM.15-19

Jadi, tidur dimulai pada stadium 1, masuk ke stadium 2, 3, dan 4. Kemudian kembali ke stadium 2 dan akhirnya masuk ke periode REM 1, biasanya berlangsung 70-90 menit setelah onset. Pergantian siklus dari NREM ke siklus REM biasanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM meningkat menjelang pagi.

b. Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:1

a.Obesitasb.Pembesaran tonsil

c.Posisi relatif rahang atas dan bawah

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.1

Gambar 2.5: Obstrruksi pada saluran nafas1

Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.1

Obstructive Sleep Apnea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).1

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.27,28

Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di hidung atau mulut selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai berkurangnya aliran udara sebesar 30% selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa desaturasi.29 Gastaut et al. menyatakan ada 3 jenis apnea:

1. Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding dada tetap ada.

2. Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada terhenti.

3. Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti dengan obstruksi.

Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di mana gerak pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.

Gambar 2.6. Tipe Apnea

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.

2.7 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif). Bahkan di negara-negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar individu dengan gejala OSA tetap tidak terdiagnosis. Contohnya di Amerika Serikat, pada sebuah survei yang dilakukan di masyarakat tahun 1997 dari 4925 orang dewasa sebanyak 82% pria dan 92% wanita kemungkinan menderita OSA sedang sampai berat yang belum terdiagnosis.

Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu tidur pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan mendengkur. OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine dihubungkan dengan apnea-hypopnea index (AHI) yaitu:

ringan (AHI 5-15)

sedang (AHI 15-30)

berat (AHI > 30)

Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan beratnya hipoksemi seperti berikut:

RDI SaO2 (%)

Mild 5-20 >85

Moderate 21-40 65-84

Severe >40 30 kali/ jam dan kepada semua pasien yang simptomatik dengan RDI 5-30 kali/jam. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan keefektifannya tergantubg pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien.8

Gambar 2.8.1: nasal Continuous Positive Airway Pressure

Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa. Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi).5

Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.3

Gambar 2.8.2: Mandibular Splint

b. Terapi Bedah

Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.3,5

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP.6

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.3

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.4

4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakanoleh sebagian besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringanberdekatan dengan setiap sisi akar dari uvula diikutidengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga memperpendekdan meningkatkan ukuran dan posisi uvulopalatalkompleks.3,6

5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior dan dinding orofaringeal, penurunan collaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi lain.3,6

6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunakdan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami'lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. prosedur ini dapat diulang beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.3,6

7. pemasangan implan Pillar pada palatum. `Implan Pillar atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.6

8. Trakeostomy- tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomy dilakukan dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomy adalah pasien dengan cor pulmunale, obesity hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain gagal.8

Gambar 2.8.3: Assessment and management of obstructive sleep apnea

2.9 Komplikasi

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:1-5

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi.

2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.1

Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:1,3

1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi barorefleks.1

OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1

Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres oksidatif.

Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.

Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.1,3

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.1

Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.1

3.0. Prognosis

Prognosis jangka pendek, dalam kaitannya dengan gejala seperti kantuk di siang hari dan mendengkur, berkisar dari baik sampai sangat baik dengan penggunaan rutin CPAP. Beberapa penelitian, termasuk studi placebo-terkontrol, telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam ukuran fungsi kognitif dan status kesehatan umum (Misalnya, yang diukur oleh survey kesehatan Medical Outcome Study Short-Form 36) setelah 4-8 minggu pengobatan dengan CPAP. Namun, penelitian belum dilakukan pada populasi besar atau lebih dari satu periode pengobatan 4 sampai 8 minggu.

Prognosis jangka panjang tidak diketahui karena tidak ada penelitian pengobatan acak menyelidiki efek CPAP untuk mencegah perkembangan gejala sisa kardiovaskular telah dilakukan.10

BAB III

KESIMPULAN

1. Obstructive sleep apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan gejala utama mendengkur.

2. OSA terjadi karena lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.

3. Gejala dari OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari.

4. Diagnosis OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine.

5. Komplikasi dari OSA adalah hipertensi, serangan jantung dan stroke.

Terapi OSA adalah terapi non bedah dan terapi bedah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.

2. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep Apnea in Adult.

3. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.

4. Hormann, Karl. Verse, Thomas. Sleep Disordered Breathing. Surgery for Sleep Disordered Breathing. 2005; 1-10.

5. Antariksa, Budhi. Patogenesis, Diagnosti dan Patogenesis OSA (Obstructive sleep Apnea). Dept pulmonologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta.

6. Prasenohadi. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Dept Pulmunologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta.

7. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A. Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea and Sleep Disorders ; 250-261.

8. Anil K Lalwani, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd Edition, Lange Current Series, 536-542.

9. Medscape Journal. Childhood Sleep Apnea. Available : http://emedicine.medscape.com/article/1004104-overview#showall. Diakses pada tanggal 11 Desember 2014

10. Medscape Journal. Obstructive Sleep Apnea. Available :http://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#aw2aab6b2b6aa diakses pada tanggal 11 Desember 2014

11. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296.

12. Deegan PC, McNicholas WT. Pathophysiology of obstructive sleep apnoea. Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 28-62.

13. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100 years. Am J Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6.

14. Saimak T., 2009. Sleep Apnea. Available : http://www.emedicinehealth.com/obstructive_and_central_sleep_apnea/article_em.htm . Diakses pada tanggal 11 Desember 2014

15. Mary Gribbin, All in a night's sleep in New Scientist inside science, number 35, & July 1990.

16. Maquet P. The role of sleep in learning and memory, in Sience vol. 294, 2 Nov, 2001, page 1048-1051.

17. Rechtschaffen, A., and Kales, A.(eds): A Manual of Standardized Termino-logy, Techniques, and Scoring Sys-tem for Sleep Stages in Human Sub-jects. Los Angeles, Brain Informati-on Service/Brain Research Institute, UCLA,l968.

18. Siegel, J. M. The REM sleep-memory Con-solidation Hypothesis, in Sciene vol 294, 2 Nov, 2001, page 1058-1063.

19. Theodore L.Baker;Phd, Introduction to sleep and sleep disorder, in Symposium on sleep Apneu Disorder, The Medica clinics of north America, Nov,1965, page 1123-1149.

20. Dixon JB, Schachter LM, OBrien PE. Sleep disturbance and obesity. Arch Intern Med 2001;161:102-6

21. Jordan AS, White DP, Fogel RB. Recent advances in understanding the pathogenesis of obstructive sleep apnea. Current opinion pulmonary medicine 2003;1-3

22. Guthrie EW. Sleep apnea: Patient information. US Pharm 2006;7:53-7.

23. Obstructive sleep apnea and snoring. [Copyright c 2003 Pulmonary & Sleep Center of the Valley].

24. Craig A Hukins. Obstructive sleep apnea management update review: Neuropsychiatric Disease and Treatment 2006:2(3) 30926

25. Pang KP. Snoringthe Silent Killer. Medical Digest 2005

26. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2000.

27. Dincer HE, O'Neill W. Deleterious effects of sleep-disordered breathing on the heart and vascular system. Respiration 2006; 73: 124-30.

28. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea. Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343 4.

29. Meoli AL,Casey KR, Clark RW, Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults.Sleep 2001;24:469-70

33