Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA INSTITUSI KEJAKSAAN NEGERI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Pada Program Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
Oleh:
SARIFUDIN DIFINUBUN
NIM : 0160104034
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AMBON
2020
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi dengan baik. Tak lupa shalawat dan salam dihaturkan kepada junjungan kita,
Nabi besar Muhammad Saw, beserta keluarga, para sahabat, dan seluruh umat
beliau yang senantiasa berada di jalan-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian, penulisan sampai rampungnya
skripsi ini, banyak mendapat tantangan, namun denganketabahan dan semangat
disertai oleh bimbingan, bantuan dan do’a dari berbagai pihak dan atas limpahan
rahmat Allah swt, sehingga memudahkan penulis dalam melaksanakan
penyusunan karya tulis ilmiah pada tinggkat srata 1 (satu), di lembaga pendidikan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
secara filofofis, prestasi bukanlah merupakan sebuah tujuan dari akhir
suatu perjuangan, tetapi merupakan langkah awal dalam mengimplementasikan
nilai-nilai atas makna perjuangan, dan hakekatnya dapat dimaknai melalui
serangkaian usaha dan proses menuju puncak prestasi, dimana wujud dari puncak
prestasi initidak terlepas dari campur tangan dan solidaritas hamba-hamba Allah
yang berhati mulia, maka untuk itu pula penulis dengan segala ketulusan hati
mengucapkan Terima Kasih yang tak terhingga kepada :
1. Rektor IAIN Ambon, Dr.Zainal Abidin Rahawarin,M.Si, dan Wakil-wakil
Rektor IAIN Ambon yang telah banyak membantu penulis selama penulis
menempuh studi di kampus IAIN Ambon.
2. Bapak Dr. Djumadi, MH, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam
IAIN Ambon, dan para Wakil Dekan I, II, dan III di lingkup Fakultas
Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon yang mohon maaf tidak dapat
disebut namanya satu persatu.
3. Ibu Fazia Rahawarin, SH, MH. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam
dan Bapak Syah Awaluddin Uar, SH, MH. selaku Sekertaris Jurusan Hukum
v
Pidana Islam yang telah memberikan bimbingan, nasehat, petunjuk, dan
saran, sehingga penulisan skripsi ini dapat saya selesaikan.
4. Bapak Dr. Husin Wattimena, M.Sidan Ismela Tuharea, MH. selaku
pembimbing I dan pembimbing II yang dengan penuh dedikasi, keiklasan,
dan kesabaran meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing,
memberikan masukan-masukan keilmuan yang sangat berharga hinggah saat
selesainya penyusun skripsi ini.serta memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh pegawai IAIN Ambon khususnya Fakultas
Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon yang pernah mengajar dan
membimbing Saya, yang tak bisa disebut namanya satu persatuyang telah
mendidik dan membina selama penulis menuntut ilmu di lembaga ini.
6. Kepala perpustakaan IAIN Ambon beserta staf yang telahtelah melayani dan
menyediakan referensi yang dibutuhkan selama dalam penulisan skripsi ini.
7. Terkhusus dan teristimewa penulis persembahkan kepada Ayahanda Abdul
Wahid Difinubundan IbundaSalma Difinibun tercinta, yang telah melahirkan,
menjaga, merawat, dan membesarkan dalam pengorbanan dengan segala
kasih sayangnya dan tetesan keringat mereka yang tulus. Semogah Allah
SWT selalu memberikan perlindunagan dan kesehatan kepada keduannya.
8. Kepada kakanda terkasih Yusuf Difinubun dan Ema Wahid Difinubun,
Selaku kakakdan penyemangat bagi penulis, oleh karena itu terimakasih atas
motivasi, dorongan, dan bantuan moril maupun materil yang telah kakanda
berikan kepada penulis selama ini yang senantiasa menjadi Kakak yang baik,
senyum tulus dan harapan kakak telah memotivasi penulis untuk
menyelesaikan studi sekaligus untuk menjadi kakak yang terbaik untuk
kalianyang selalu membuat penulis tetap ceria.
9. Kepada teman-teman angkatan 2016Jurusan Hukum Pidana Islam yang tak
sempat penulis sebutkan namanya, yang telah memberikan motivasi dan
sumbangsih pemikiran hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
10. Kepada Sahabatku Ahmad Saleh, S.H. dan Siti Afuza Rahayaan serta
Kekasih Penyemangatku Latifa sTehuayo yang telah memberikan banyak
vi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI …………………………………..iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. viii
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN…………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Dan BatasanMasalah......................................................... 14
C. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian ..................................... 15
D. Pengertian Judul ................................................................................. 16
E. PenelitanTerdahulu ............................................................................ 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan UmumTentangTindakPidana .............................................. 23
B. Tinjauan UmumTentang Tindak Pidana Korupsi .............................. 29
C. Tinjauan UmumTentang Kejaksaan .................................................. 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian................................................................................... 45
B. Metode Penelitian .............................................................................. 45
C. Sumber Data....................................................................................... 46
D. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 46
E. Teknik Analisis Data.......................................................................... 47
BAB IV HASIL DAN ANALISIS
A. OptimalisasiPenegakanHukumTindakPidanaKorupsi ......................... 48
B. Kendalayang dihadapiKejaksaanNegeriDalamOptimalisasi
TindakPidanaKorupsi ........................................................................... 54
viii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 62
B. Saran ..................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
ABSTRAK
Nama : SarifudinDifinubun
Nim : 0160104034
Judul : Optimalisasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Pada
Institusi Kejaksaan Negeri
Skripsi ini berkenaan dengan permasalahan Bagaimana optimalisasi
peneggakan hokum tindak pidana korupsi, dan Kendalaapasaja yang dihadapi
kejaksaan dalam optimalisasi tindak pidana korupsi. Serta permasalahan tentang
peneggakan tindak pidana korupsi pada institusi kejaksaan negeri yang tak
kunjung selesai, sebagaimana yang kita ketahui korupsia dalah perbuatan atau
tindakan yang merugikan keuangaan negara.dan korupsi merupakan salah satu
tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah Negara, pejabat Negara
ataupun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat
Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka yaitu pada
buku-bukumaupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan optimalisasi
penegakan hokum tindak pidana korupsi pada institusi kejaksaan negeri. Metode
pengumpulan data yaitu studi keperpustakaan baik berupa undang-undang,
dokumen-dokumen dan sebagainya untuk menguatkan kesempurnaan data atau
bahan yang diteliti, dengan mengunakan analisisbuku-bukudanteori-teori, yaitu
dengan cara mendeskripsikan dan menguraikan data lapangan yang tersusun
secara terperinci dan sistematis, sehingga akan mempermudah penulis dalam
menarik kesimpulan berdasarkan data yang valid.
Dari hasil penelitian yang diperoleh, Berdasarkan analisis data tersebut
diperoleh hasil sebagai berikut: Peranan Intelijen Kejaksaan Negeri dalam
pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi yaitu melakukan kegiatan intelijen
yustisial/penyelidikan untuk mencari dan mengumpulkan data atau keterangan
tentang benar atau tidak tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Selain
melakukan penyelidikan,intelijen juga berperan sebagai Tim Pengawal dan
Pengawasan Pemerintahan dan Pembangunan daerah (TP4D) berdasarkan
Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi. KendalaKejaksaanNegeriyaituKurangnya personil,
profesionalitas yang harus ditingkatkan dan kendala dibidang kordinasi dengan
lembaga terkait yang mendukung berjalannya penanganan dan penyelesaian
perkara tindak pidana korupsi, serta terbatasnya keterbukaan masyarakat atau
menutupi informasi terkait.
x
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
A. Transliterasi
1. Konsonan
Huruf-huruf Arab ditransliterasi ke dalam huruf Latin sebagai berikut :
b : ب z: ز f:ف
t :ت s: س q :ق
ts:ث sy: ش k:ك
j:ج sh: ص l:ل
h:حdh:ض m:م
kh:خ th:ط n:ن
d:دdz:ظ w : و
dz:ذ ‘: أ h :ه
r:رg:غ y:ي
Hamzah ( ء ) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apapun. Jika hamzah tersebut terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda ( „)
2. Vokal dan Diftong
xi
a. Vokal atau bunyi (a), (i), dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai
berikut :
pendek panjang
fathah a ā
kasrah i ī
dhummah u ū
b. Diftong yang sering dijumpai dalam tmransliterasi ialah (ay) dan(aw),
misalnya bayn( بين ) dan qawl ( قول ).
3. Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda
4. Kata sandang al- (alif lām ma’rifah) ditulis dengan huruf kecil, kecualijika
terletak di awal kalimat. Dalam hal ini kata tersebut ditulis dengan huruf besar
(Al-), contohnya :
Menurut pendapat al-Zuhaili, kaedah tersebut….
Al-Zuhaili berpendapat bahwa kaedah tersebut….
5. Tā’ marbuthah( ة ) ditransliterasi dengan t, tetapi jika tā’ marbuthah terletak
di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan huruf “h”. contohnya :Al-
risālat al-mudarrisah
6. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah istilah arab yang belum
menjadi bagian dari perbendaharaan Bahasa Indonesia. Adapun istilah yang
sudah menjadi bagian dari perbendaharaan Bahasa Indonesia, atau sudah sering
ditulis dalam Bahasa Indonesia, tidak ditulis lagi menurut cara transliterasi di
xii
atas, misalnya perkataan Alquran (dari Al-Qur’an), dan sunnah.Bila istilah itu
menjadi bagian dari teks yang harus ditransliterasi secara utuh, misalnya :
Fiy Dzilāl al-Qur’ān;
Al-Sunnah qabl al-tadwīn;
Al-‘Ibarat bi ‘umum al-lafzh lā bi khushūsh al-sabab
7. Lafzh al-jalalah ( االله ) yang didahului partikel seperti huruf jar dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudhāf ilayh (frasa nominal) ditransliterasi
tanpa huruf hamzah. Contohnya : dinullāh, billāh
Adapun tā’ marbuthah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf t. contohnya :hum fiy rahmatillā
B. Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah :
1. Swt. = Subhānah wa ta’ālā
2. Saw. = Shalla Allāh ‘alayhi wa sallam
3. R.a. = Radhy Allah anh
4. H. = Hijriah
5. M. = Masehi
6. H.R… = Hadits Riwayat
7. w. = wafat
8. Q.S. (…) : 5 = Quran, Surah…, ayat 5.s
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini telah Dinyatakan dengan tegas
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
bahwa “Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum “(rechstaat)”, tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).1 Jadi jelas bahwa cita-cita Negara
hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara
yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukanlah hukum
yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan, yang dapat menuju atau
mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah
hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat.Dalam negara
hukum (Rechtstaat), negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap
individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan
kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Penegakan hukum di Indonesia
selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde
baru hingga demokrasi. Khusus dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyidikanterhadap tindak pidana tersebut. Lembaga- lembaga tersebut diantaranya
lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disebut KPK).
1Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
2
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan
tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang
untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah
disebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis
dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary
crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra
ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan
merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa.
Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai
bencana alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir dan bencana yang lain,
bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya
tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi
merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.2
Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara
akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.
Hal ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu
melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para
pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk
mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal
salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati
2Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 69.
3
dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang
pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan
dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka.
Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan: “Dampak negatif dari
keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat
pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati
hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat
tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan
menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda
pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur dimusim hujan, mulai dari
lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada
gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi
peranan lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja
Pemerintah.”3
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari
masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan
terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti Harkrisnowo
menyatakan: Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus
tersebut sama-sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya,
setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi
terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan
korupsi tersebut, “dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan
3Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi
Yudisial dan Keadilan Sosial, Komisi Yudisial, Hlm. 116
4
atau sarana yang ada padanya karena jabatannya”, sedangkan pelaku tindak pidana
jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai
akses kemana-mana, juga tidak memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang
tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu, tetapi Negara,
justru karena invisibility inilah maka publik kebanyakan tidak merasakan bahwa
korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara
langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding
dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah
karena kasat matanya tindak pidana jalanan.4
Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan reformasi.
Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa berhasil
menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara
waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut
adalah:
a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;
b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM)
dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);
d) Mewujudkan kebebasan pers; dan
4Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.
5
e) Mewujudkan kehidupan demokrasi.5
Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang kekuasaan
pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum
maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan
kehidupan bangsa dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai
salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.
Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana
terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum
dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat
diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara
konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan
pengertian penegakan hukum pidana.6
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan
bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana
dikatakan olehnya sebagai berikut: Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya
identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya
suatu proses menegakkan hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan
kehakiman” karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan
“kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang
5Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6 6Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157
6
hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan
istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem
Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan
Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).7
Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana,
seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor
yang terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum
dan faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan
pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum.
Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan
karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana
terhadap tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai tempat penelitian mengacu pada
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kejaksaan, khususnya Pasal
30 ayat (1) huruf d menyatakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang
7Muladi, 1995,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, Hlm. 20.
7
pidanasalah satunya adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan Undang-Undang.8
Untuk itu perlu pengkajian secara jurudis normatif tentang kewenangan
kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, eksistensi dari pasal
30 ayat (1) huruf d undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I
yaitu mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu yaitu
tindak pidana korupsi.
Dalam KUHAP, kewenangan penyidikan jatuh ketangan Kepolisian Republik
Indonesia. Pasal 6 KUHAP menyebutkan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, ini berarti bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal didalam
KUHAP. Akan tetapi dalam aturan peralihan pasal 284 ayat (2) KUHAP meyebutkan
dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau di nyatakan tidak berlaku
lagi.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan
khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Drt tahun 1955 dan Undang-
undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagaimana agar tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam peraturan
pemerintah Nomor 27 tahun 1983 dalam pasal 17 secara tegas menyebutkan
8Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
8
kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih
lengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut : “Penyidik menurut ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan
Pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-
undangan.9
Pasal inilah yang menjadi acuan untuk memberikan kewenangan kejaksaan
bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam pasal tersebut sebenarnya
ada pembatasan yaitu dengan adanya redaksi kata “sementara”. Kenyataannya
setelah sekian banyak ketentuan mengenai undang-undang tindak pidana korupsi
mulai dari Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tidak ada penyebutan secara tegas
tentang apakah kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Dengan adanya redaksi kata “sementara” itu timbulah berbagai macam
penafsiran apakah kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak Sistem
peradilan pidana (Criminal Justice System) sebagai suatu sistem dalam masyarakat
untuk menanggulangi masalah dimaknai sebagai upaya untuk mengendalikan atau
membatasi kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Komponen-komponenyang bekerja dalam sistem ini meliputi
Kepolisian,Kejaksaan,Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen
ini diharapkan dapat bekerjasama sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang
kita kenal kenal dengan integrated criminal justice system.
9Sahuri Lasmadi, Dosen S1,S2,S3 Fakultas Hukum Universitas Jambi.
9
Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk
dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang
berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut.
Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK).
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan
tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang
untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana
telah di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi
logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra
ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan
sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang
luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa.
Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana
alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya
mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak
tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan
hak sosial masyarakat Indonesia.10
10
Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 69.
10
Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara
akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.
Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu
melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para
pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk
mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam
hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra
hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat,
tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law
akan dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos
belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan:
“ Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi
sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam
menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus
korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan
ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka,
resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di
musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin
proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi
dan mengurangi peranan lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan
terhadap kinerja pemerintah.”11
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan
dari masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai
kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti
Harkrisnowo menyatakan: “Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua
11
Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi
Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116
11
golongan kasus tersebut sama-sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda.
Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban.”
Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses
untuk melakukan korupsi tersebut, “…dengan menyalah gunakan kewenangan,
kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya…”,
Sedangkan pelaku tindak pidana jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari
strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memilki tingkat
pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata
dan bukan individu, tetapi Negara, justru karena invisibility inilah maka publik
kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang
membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak
pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian
persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya tindak pidana
jalanan.12
Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan
reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa
berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32
tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi
Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan
tersebut adalah:
12
Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L I P I. Hlm. 67.
12
a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;
b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);
d) Mewujudkan kebebasan pers; dan
e) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 13
Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang
kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan
hukum maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan
kehidupan bangsa dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai
salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.
Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana
terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum
dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat
diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara
konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama
dengan pengertian penegakan hukum pidana.14
13
Sekretariat Jenderal MPR. 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR RI. Jakarta. Hlm. 6 14
Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni Bandung, Hlm. 157
13
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan
bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana
dikatakan olehnya sebagai berikut:
“Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem
penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses
menegakkan hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman”
karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan “kekuasaan/kewenangan
menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah
dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau
Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan
Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman
di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).15
Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana,
seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor
yang terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum
dan faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan
pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum
dan budaya hukum.
Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan
karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana
15
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, Hlm. 20.
14
terhadap tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.
Pemilihan institut Kejaksaan negeri dilatarbelakangi oleh minimnya
penanganan kasus tindak pidana korupsi yang berhasil disidik selama ini. Dibuktikan
dengan data pra-survey yang menyebutkan sejak beberapa tahun belakangan ini
kejaksaan negeri menangani kasus korupsi pada taraf penyidikan dalam perjalananya
telah dilakukan namun masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat.
Berdasarkan uraian dan hal-hal yang telah di kemukan di atas, maka penulis
mengadakan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut mengenai optimalisasi
penegakan hukum tindak pidana korupsi pada institut kejaksaan negeri, karena
dinilai kejaksaan masih belum terlalu optimal dalam menangani kejahatan korupsi
yang terjadi, maka sebagai dasar penyusunan penulisan hukum dengan judul
“OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA INSTITUSI KEJAKSAAN NEGERI”.
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
a) Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas,maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
penafsiran :
a. Bagaimana optimalisasi penegakan hukum tindak pidana korupsi?
b. Bagaimana kendala yang dihadapi kejaksaan negeri dalam optimalisasi tindak
pidana korupsi?
15
b) Batasan Masalah
Untuk menguraikan secara sistematis agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
menguraikan permasalahan yang harus dipecahkan, maka peneliti membatasi
penulisan ini hanya menyangkut tentang optimalisasi penegakan hukum tindak
pidana korupsi pada institusi kejaksaan negeri.
C. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:.
1. Untuk mengetahui bagaimana optimalisasi penegakan hukum tindak pidana
korupsi.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi kejaksaan negeri dalam upaya
optimalisasi tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Kegunaan teoritis
a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi penulisan
skripsi lanjutan dan sebagai perbandingan maupun tujuan lain yang relevan.
b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
tentangoptimalisasi penegakan hukum tindak pidana korupsi pada institusi
kejaksaan negeri.
16
2. Kegunaan Praktis
Penulisan skripsi ini nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
praktisi maupun akademisi dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan
optimalisasi penegakan hukum tindak pidana korupsi pada institut kejaksaan
negeri.
D. Pengertian Judul
Optimalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah tertinggi, paling
baik, sempurna, terbaik, paling menguntungkan, Mengoptimalkan berarti menjadikan
sempurna, menjadikan paling tinggi, menjadikan maksimal, Optimalisasi berarti
mengoptimalkan16
Optimalisasi adalah proses pencarian solusi yang terbaik, tidak selalu
keuntungan yang paling tinggi yang bisa dicapai jika tujuan mengoptimalkan adalah
memaksimumkan keuntungan, atau tidak selalu biaya yang paling kecil yang bisa
ditekan jika tujuan mengoptimalkan adalah meminimumkan biaya.17
Ada tiga elemen
permasalahan optimalisasi yang harus diidentifikasi, yaitu tujuan, alternatif
keputusan, dan sumberdaya yang dibatasi.
Penegakan Hukumorang memaknaipengertian/definisi "Penegakan Hukum"
sebagai tindakan represif penegak hukum mulai dari penangkapan pelaku
kejahatan oleh Polhut, Polisi, disidik oleh Penyidik (PPNS) sampai diputus
pengadilan,arti penegakan hukum demikian benar tetapi sempit, karena jika
demikian penegakan hukum hanyalah milik penegak hukum semata.
16
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, 2015, h. 562 17
Hotniar Siringoringo, Pemograman Linear: Seri Teknik Riset Operasi, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2005, h.4
17
Dalam peraturan perundang-undangan bidang konservasi bahwa mengangkut
satwa liar wajib diliput dengan surat angkut. Jika seseorang mengangkut satwa liar
dengan diliput surat angkut tumbuhan dan satwa liar yang sah maka orang tersebut
sudah dapat dikatakan menegakkan hukum, karena telah mengamalkan ketentuan
hukum. Dengan demikia arti penegakan hukum lebih tepat adalah: "Pelaksanaan
ketentuan hukum dalam kehidupan nyata.
"Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,SH. Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.18
Tindak pidana pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan
hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah
dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
18
http://blogmhariyanto. blogspot.com/2009/09/penegakan-hukum-pelaku-tindak pidana.
Html. Diakses pada tgl 4 sepetmber 2020.pkl. 18.45 Wit
18
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istilah Tindak Pidana atau
Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1. STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa pidana;
2. STRAFBARE HANDLUNG diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang
digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman;
3. CRIMINAL ACT diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata,
yaitu straf, baar dan feit.Yang masing-masing memiliki arti :
a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum,
b. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh,
c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan
yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Korupsi merupakan Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau
corruptus yang berasal dari kata corrumpere (Webster Student Dictionary : 1960).19
Arti harfiah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah. (The Lexicon Webster Dictionary,
1978).
19
Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bandung : Bina Cipta, 1963, huruf c, terjemahan Bina
Cipta.
19
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan
”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya”.20
Korupsi secara yuridis dilukiskan dengan berbagai variasi
di berbagai Negara, namun secara umum masih ada titik persamaan pengertiannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah
kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Institut Kejaksaan Negeri Republik Indonesia adalah lembaga negara yang
melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Sebagai badan
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh
Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan
Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara
khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang
utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU
No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga
penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini,
Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di
20
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976
20
bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).21
E. Penelitian Terdahulu
Resky Nur Amalia, Angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas Hassanudin
Makassar dengan judul, “PERANAN INTELEJEN KEJAKSAAN DALAM
PENGUNGKAPAN DUGAAN DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Kejaksaan
Negeri Makassar)Adapun rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah peranan
Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar dalam pengungkapan dugaan tindak pidana
korupsi?, dan Apa yang menghambat Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar dalam
pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi? Dengan Tujuan Penelitian Untuk
mengetahui peranan Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar dalam pengungkapan
dugaan tindak pidana korupsi. serta Untuk mengetahui apa yang menghambat
Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar dalam pengungkapan dugaan tindak pidana
korupsi.
Persamaan yang ditulis oleh Resky Nur Amalia dengan penulis adalah sama-
sama meneliti tentang penegakan tindak pidana korupsi pada tingkat kejaksaan,
adapun perbedaannya skripsi yang penulis tulis adalah Resky Nur Amalia lebih
melihat penegakkan tindak pidana korupsi pada rana inlejen kejaksaan, sedangkan
penulis melihat dari segi optimalisasi penegakkan hokum pada kejaksaan negeri.
Josua M.Sirait, Angkatan 2011 Fakultas hukum Universitas pembangunan
nasional veteran Jawa Timur dengan judul “UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
21
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=1di akses pada tgl.4 september 2020
pkl. 19.50 Wit
21
DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI SURABAYA, Adapun rumusan
masalahnya adalah Apakah faktor yang melatarbelakangi meningkatnya kasus
korupsi di Pengadilan tindak pidana korupsi Surabaya?, dan Apa pertimbangan
hakim dalam memberikan sanksi bagi pelaku korupsi sebagai upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi? Dengan Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi seseorang melakukan tindak pidana korupsi, dan Untuk mengetahui
upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi
khususnya di Surabaya.
Persamaan yang ditulis oleh Josua M.Sirait dengan penulis adalah sama-
sama meneliti tentang peneggakan tindak pidana korupsi pada tingkat kejaksaan,
adapun perbedaannya skripsi yang penulis tulis adalah Josua M.Sirait lebih melihat
penegakkan tindak pidana korupsi pada upaya tindak pidana korupsi pada tingkat
kejaksaan, sedangkan penulis melihat dari segi optimalisasi penegakkan hokum pada
kejaksaan negeri.
Lita Ratna pada tahun 2016 melakukan penelitian tentang “Optimalisasi
Peran Kejaksaan Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”Pemilihan judul
dilatar belakangi oleh fakta penanganan kasus tindak pidana korupsi di Kota Malang,
khususnya pada Kejaksaan Negeri Malang. Patut dipertanyakan mengapa usaha
Kejaksaan dalam memberantas korupsi terkesan kurang serius, apakah memang tidak
ada praktik kecurangan atau aparat penegak hukum sengaja tidak perduli. Ironis
dibandingkan dengan apa yang terjadi, praktik korupsi jelas terlihat dari berbagai
sendi kehidupan di Kota Malang. Berdasarkan hal tersebut, karya tulis ini
mengangkat rumusan masalah tentang bagaimana peran Kejaksaan dalam proses
22
penyidikan tindak pidana korupsi dan kendala apa yang dihadapi serta upaya yang
dilakukan Kejaksaan Negeri Malang dalam memberantas tindak pidana korupsi
khususnya di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Malang.22
Abrar Lafi Naim pada 2018 melakukan penelitian tentang “Peran
Kejaksaan Dalam Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di
Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)” Skripsi ini membahas tentang “Peran
Kejaksaan Dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten
Takalar (Tahun 2014-2016)”, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan
hukum tentang peran lembaga kejaksaan dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi
dan mengetahui efektifitas lembaga kejaksaan negeri takalar dalam pemeriksaan
tindak pidana korupsi.23
Jurnal yang ditulis Hotma Hutadjulu pada 2013 “Optimalisasi Peran
Kejaksaan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Era Otonomi Daerah”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana implementasi
kewenangan Kejaksaan dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi,
bagaimana prosedur penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
kejaksaan, serta mengetahui hambatan apa yang dihadapi Kejaksaan dalam
pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.24
22
Skripsi Lita Ratna, 2016. 23
Skripsi Abrar Lafi Naim, 2018. 24
Vol.I/No.5/Oktober-Desember /2013
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif dengan sifat penelitian Deskriptif Analistis, yang pada dasarnya
menggambarkan permasalahan-permasalahan yang menjadi obyek penelitian
berdasarkan data yang di peroleh pada saat penelitian ini dilaksanakan. Dalam hal ini
menurut pendapat Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan data yang diteliti, yang artinya mempertegas hipotesa, yang dapat
membantu teori-teori lama atau dalam rangka menyusun teori-teori baru. Kegiatan
penelitian ini dipergunakan tipologi penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
mempergunakan data sekunder.37
Data sekunder ini untuk mencari konsepsi-
konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
B. Metode Pendekatan
Yuridis Normatif. Yuridis Normatif, yaitu hukum dikonsepsikan sebagai
norma, kaidah, asas, dogma, ataupun dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
kata lain dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum, dengan tujuan
untuk menemukan hukum dalam kenyataanya (in-concreto).
37
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,2010, hlm. 9
45
1
C. Sumber Data
Penelitian Kepustakaan, yaitu dimulai dengan pengumpulan data serta
teori-teori dan pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis
Terhadap Optimalisasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Pada Institut
Kejaksaan Negeri, sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat
diperoleh.38
Dalam hal ini sumber data terbagi menjadi tiga sumber, yaitu:
a) Bahan Hukum Primer, yang meliputi sejumlah peraturan perundang-
undangan. Undang-undang 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
undang-undang tipikor dan Undang-Undang lain yang berkaitan erat dengan
judul penelitian ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-
buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.39
c) Bahan Hukum Tersier,bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder
yaitu kamus hukum dan lain-lain.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang di gunakan dalam Penelitian Ini adalah
metode kepustakaan yaitu untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-
pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
38
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian , Suatu Pendekatan Praktis,Rineka
Cipta,Jakarta, 1993, hlm.120 39
Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003,
hal 74.
2
permasalahan, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-
Undang Tipikor, dan sejumlah undang-undang lain yang saling berkaitan.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini mempergunakan metode analisis data yuridis kualitatif, yaitu
sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang terkumpul.
Yuridis, mengingat bahwa penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-
undangan yang ada sebagai norma hukum normatif. Kualitatif, lebih peka
dandapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.40
40
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif, Cet. 22, Remaja Rosda
Karya,Bandung, 2006, hlm. 9.
17
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Kendala yang dialami oleh Intelijen Kejaksaan Negeri dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi yaitu, pertama dalam hal pemanggilan saksi
kedua, pengumpulan alat bukti, dan adanya ketakutan pihak yang dimintai
keterangan atas intervensi instansi terkait. Sedangkan upaya dalam
penanggulangannya adalah dengan perpanjangan waktu dalam proses
pemanggilan saksi dan pengumpulan alat bukti terkait perkara, serta dengan
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap pihak yang dimintai
keterangan atas intervensi yang dilakukan oleh intansi terkait.
2. Terbatasnya anggaran dana yang diberikan oleh Pemerintah daerah kepada
Kejaksaan Negeri yang dapat dirasakan dalam pengungkapan dugaan tindak
pidana korupsi karena banyaknya kasus yang perlu diselesaikan oleh Intelijen
Kejaksaan sementara dananya sangat terbatas sehingga hal itu menjadi salah
satu faktor penghambat dalam pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi.
B. SARAN
Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang telah penulis lakukan dalam
permasalahan atau kendala yang timbul, maka penulis mencoba memberikan
saran-saran, bagi semua pihak khususnya intel jaksa di Kejaksaan Negeri dalam
rangka melakukan penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai
berikut :
62
18
1. Perlunya pengaturan yang lebih lanjut mengenai kewenangan intelijen
kejaksaan terutama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
2. Perlunya peningkatan intel jaksa dengan penambahan kemampuan khusus
tertentu terutama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi seperti
pendidikan dan pelatihan.
3. Peningkatan kesediaan sarana dan pra-sarana yang dapat menunjang
kinerja Intelijen Kejaksaan Negeri.
4. Diperlukan Kerjasama antara pemerintah, instansi penegak hukum lainnya
dan peran serta masyarakat dalam mendukung pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dalam hal kendala yang timbul pada saat dilakukan upaya kordinasi
dengan instansi lain yang berkaitan dengan penanganan perkara tindak pidana
korupsi tahap penyidikan sebagaimana disampaikan Kepala Seksi Tindak
Pidana Khusus.
19
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI Kementerian, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surakarta: Pustaka Al
Hanan, 2009.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta Rineka Cipta, 2001.
Amiruddin, Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002.
Atmasasmita, Romli. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi
Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. 2008
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1992
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta Penerbit: Rineka Cipta, 2010.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Cet. I, Edisi V, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2003
Dirdjosisworo, Soedjono. “pengantar ilmu hukum” Jakarta: Rajawali Pers.2014
Dwiyatmi, Sri Harini. “Pengantar Hukum Indonesia” (Bogor: Ghaliah Indonesia.
2013).
20
Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bina Cipta huruf c, terjemahan Bina Cipta,
Bandung : 1963
Hardi Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1995
Harkrisnowo, Harkristuti. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L I P I, 2009
Hotniar Siringoringo, Pemograman Linear Seri Teknik Riset Operasi,
Yogyakarta: Graha Ilmu,2005.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif, Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2006
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang, 1995.
Nyoman Sarekat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana. Citra Aditya Bakti. 2008.
Salahudin, Kitab Undang-Undan Hukum Pidana, Acara Pidana dan Perdata
Jakarta: Visi Media. 2008
Santoso, Indra, Kamus Praktis Bahasa Indonesia ,Surabaya: Pustaka Dua
Surabaya, t.th
Sekretariat Jenderal MPR. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta 2003.
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka
Cipta, Jakarta, 1993
21
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, 2015
Wirjono Projodikono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Ibandung, Bandung:
Sumur, 2004.
Undang-undang
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang RI No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Sumber Online
http://blogmhariyanto. blogspot.com/2009/09/penegakan-hukum-pelaku-tindak pidana.
Html
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=
https://www.google.com/search?q=kendala+yang+di+alami+kejaksaan+saat+men
angani+kasus+korupsi&oq=kendala+yang+di+alami+kejaksaan&aqs=chro
me.1.69i57j69i59.31796j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8 Di Kutip Pada
WIT 10:38 16 November 2020.
Skripsi Nyimas Lolantari, Unniversitas Brawijaya Kediri Fakultas Hukum. Di
Kutip Pada WIT 10:38 16 November 2020.