21
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata dan merupakan kasus gawat darurat. Trauma pada mata dapat ringan sampai berat dan memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengganggu fungsi penglihatan serta mengakibatkan kebutaan. 1 Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral yang spesifik akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh trauma perforasi pada mata atau bedah intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah pada mata yang di sebelahnya. Referensi pertama mengenai Oftalmia Simpatika ialah pernyataan dari Agathias 1000 SM dalam literaturnya “The Anthology comlied from Constantius Cephalis” yang menyatakan: “Mata kanan, bila terkena penyakit, sering 1

Oftalmia Simpatika

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mata

Citation preview

Page 1: Oftalmia Simpatika

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti

rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks

memejam atau mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar.

Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata

dan rongga orbita. Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang

menimbulkan perlukaan mata dan merupakan kasus gawat darurat. Trauma pada

mata dapat ringan sampai berat dan memerlukan perawatan yang tepat untuk

mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengganggu fungsi

penglihatan serta mengakibatkan kebutaan.1

Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral

yang spesifik akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh trauma

perforasi pada mata atau bedah intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah

pada mata yang di sebelahnya. Referensi pertama mengenai Oftalmia Simpatika

ialah pernyataan dari Agathias 1000 SM dalam literaturnya “The Anthology

comlied from Constantius Cephalis” yang menyatakan: “Mata kanan, bila terkena

penyakit, sering menyakiti mata sebelah kiri”, kemudian Hippocrates menemukan

gejala klinis dari Oftalmia Simpatika dan pada abad ke-16, Bartisch menulis

dalam buku Textbook of Ophtalmology lama yang berasal dari Jerman, bahwa

setelah cedera pada satu mata, maka mata yang lainnya yang baik, menjadi

terkena bahaya. Istilah Oftalmia Simpatika dicetuskan oleh William MacKenzie

pada 1840. Dia mempresentasikan dua kasus trauma tembus pada satu mata

dengan perkembangan peradangan pada mata sebelahnya. Pada 1905, Ernest

Fuchs menggambarkan temuan mikroskopik klasik pada Simpatik Oftalmia, sejak

itu penyakit ini menjadi mudah diketahui.2

1

Page 2: Oftalmia Simpatika

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari atau

mengetahui defenisi, etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, diagnosis,

pengobatan, komplikasi dan prognosis dari Oftalmia Simpatika.

2

Page 3: Oftalmia Simpatika

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral yang

spesifik akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh luka perforasi

pada mata atau bedah intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah pada mata

yang disebelahnya. Oftalmia Simpatika adalah suatu kondisi pada mata yang

jarang terjadi, dimana pada mata yang semula sehat (sympathising eye), terjadi

suatu peradangan pada jaringan uvea setelah cedera penetrasi pada salah satu mata

(exciting eye) oleh karena trauma atau pembedahan. Gejala-gejala dari peradangan

pada mata yang tidak mengalami trauma akan terlihat biasanya dalam waktu 2

minggu setelah cedera, tetapi dapat juga berkembang dari hari sampai beberapa

tahun kemudian.2,3

Peradangan pada mata muncul dalam bentuk panuveitis granulomatosa

yang bilateral. Biasanya exciting eye ini tidak pernah sembuh total dan tetap

meradang paska trauma, baik trauma tembus akibat kecelakaan ataupun trauma

karena terapi pembedahan mata. Peradangan yang berlanjut pada exciting eye

tampak berkurang dengan penggunan steroid tetapi pada prinsipnya proses

peradangan jaringan uvea masih tetap jalan terus. Tanda awal dari mata yang

bersimpati adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di

belakang lensa. Gejala ini akan diikuti oleh iridosiklitis subakut, serbukan sel

radang dalam vitreous dan eksudat putih kekuningan pada jaringan di bawah

retina.3,4

2.2. Epidemiologi

Seabad yang lalu, dilaporkan insiden SO adalah sekitar 2% setelah cedera

pada satu mata. Pada tahun 1980-an, satu atau dua dari 1000 tauma tembus okular

dilaporkan menyebabkan Oftalmia Simpatika. Pada tahun 2000, sekumpulan

peneliti dari Inggris dan Republik Irlandia mengestimasi bahwa kira-kira tiga dari

sepuluh juta kasus cedera penetrasi atau operasi mengakibatkan Oftalmia

3

Page 4: Oftalmia Simpatika

Simpatika. Hal ini jelas menunjukkan insiden Oftalmia Simpatika adalah teramat

rendah.5

2.3. Etiologi

Belum diketahui secara pasti penyebab dari simpatik oftalmia, namun

sering dihubungkan dengan beberapa faktor predisposisi yaitu:6

1. Selalu mengikuti suatu trauma tembus (gambar 2.1).

2. Cenderung terjadi oleh luka yang mengenai daerah siliaris bola mata

(dangerous zone)

3. Luka yang inkarserata pada iris, silia, badan silia dan kapsul lensa lebih

rentan

4. Lebih sering pada anak-anak dibandingkan orang dewasa

5. Tidak terjadi apabila timbul supurasi pus yang nyata di mata yang

mengalami trauma (exciting eye).

Gambar 2.1 Trauma tembus pada mata

Oftalmia Simpatika dapat terjadi pada mata yang tidak mengalami cedera

meskipun setelah bertahun trauma penetrasi atau operasi intraokular pada mata

yang cedera, terutama bila terdapat iritasi kronik. Jaringan pada mata yang cedera

(traktus uveal, lensa, dan retina bertindak sebagai antigen dan mencetus gangguan

autoimun pada mata yang tidak cedera).4

4

Page 5: Oftalmia Simpatika

2.4. Patofisiologi7,8

Berbagai macam teori telah dicetuskan, namun yang paling diterima

adalah teori alergi, yang menyebutkan bahwa pigmen yang berasal dari uvea mata

yang mengalami trauma bertindak sebagai alergen yang memicu terjadinya uveitis

pada mata yang sebelahnya.

Setelah luka penetrasi pada mata atau prosedur operasi, antigen okular

akan berpindah ke dalam mata di dekat bagian belakang blood retinal barrier

sehingga menjadi terdeteksi terhadap imunitas sistemik. Mata tidak mempunyai

sistem limfatik yang menghalangi antigen okular untuk mencetuskan respon imun

lokal. Sebaliknya, antigen precenting cells (APC) perifer, seperti makrofag dan

sel dendritik, akan memfagositosis antigen okular yang terpapar di daerah luka.

Komponen protein diproses menjadi peptida antigenik untuk presentasi HLA class

II kepada CD4+ helper T cells di nodus limfa perifer atau spleen.

Mata yang mengalami luka penetrasi akan menggangu blood retinal

barrier yang mengakibatkan antigen okular masuk ke dalam lingkungan sistemik.

APC perifer seperti makrofag dan sel dendritik, yang dirangsang oleh kerusakan

jaringan dibawa ke daerah yang rusak dimana mereka akan memfagositosis

antigen ocular.

APC perifer tadi akan memproses protein yang difagositosis menjadi

antigen peptida yang akan dipaparkan reseptor HLA class II dimana nantinya akan

dideteksi oleh antigen-specific CD4+ helper T cells. Secara normal tidak ada

CD4+ helper T cells yang mengenali peptida protein okular melihat autareactive

T cell akan dihapuskan di thymus. Namun, dalam hal tertentu, autareactive T cell

dapat terlepas dari thymus atau peptida tadi dapat menyerupai peptida yang sama

yang dijumpai sebelumnya melalui infeksi dengan patogen (molecular mimicry). ,

Autareactive T cell yang respon terhadap peptida antigenik ocular, akan

berkembang secara klonal dan bermigrasi ke bagian yang mengalami inflamasi.

HLA class II seperti DRB1*0404, DRB1*0405 dan DQA1*03 mempunyai

hubungan dengan simpatetik oftalmia yang menandakan mekanisme autoimun

CD4+ helper T cells.

5

Page 6: Oftalmia Simpatika

Sel-sel imun yang teraktivasi akan mengupregulasi reseptor permukaan sel

yang memperbolehkan mereka untuk melakukan ekstravasasi dari sirkulasi darah

masuk ke dalam jaringan yang mengalami inflamasi. Sel endotelial vaskular juga

mengupregulasi ligand untuk reseptor tersebut agar mempermudah proses ini bila

dirangsang oleh sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-1 dan TNF-alfa. CD4 helper T

cells yang autoreaktif mempenetrasi blood-retinal barrier pada mata yang rusak

dimana ia mendeteksi antigen okular imunogenik dan mencetuskan respon imun

pro-inflamatorik. Pelepasan sitokin akan membawa lagi sel imun dan akan

meningkatkan respon imun pada mata dan menyebabkan kerusakan yang immune-

mediated. Kemudian, infiltrasi CD4 helper T cells yang autoreaktif dapat

merangsang inflamasi pada mata yang tidak rusak (sympathising eye),

kemungkinan kerusakan disebabkan oleh reseptor membran pada sel endotelial

vaskular lokal yang diakibatkan oleh ransangan sitokin sistemik.

CD4 helper T cells yang autoreaktif akan memfiltrasi sel yang tidak rusak

(sympathising eye) dan mencetuskan respon imun terhadap antigen okular

imunogenik yang sebelumnya dideteksi oleh mata yang cedera. Hal ini mungkin

disebabkan oleh sitokin (IL-1 dan TNF-alfa) yang dipicu oleh upregulasi reseptor

permukaan sel endotelial vaskular pada mata yang tidak cedera “sympathising

eye” yang meransang ekstravasasi sel imun perifer. Sel T yang teraktivasi juga

akan mensekresikan sitokin yang akan membawa sel-sel imun tambahan seperti

APC yang akan menerima antigen okular dan meransang T sel autoreaktif yang

baru. Kerusakan akibat imun ini tidak hanya dapat menyebabkan kebutaan pada

symphathetic eye sehingga terapi harus dimulai secepatnya.

Pada Oftalmia Simpatika, terjadi agregasi nodul limfosit, sel plasma, sel

epitel, dan sel raksasa di sekitar sistem uvea. Proliferasi dari pigmen epitelium

(iris, badan siliar, dan koroid) yang diikuti dengan invasi dari limfosit dan sel

epiteloid membentuk suatu nodul yang disebut dengan Dalen-fuchs’ nodules

(gambar 2.2) yang dapat dilihat pada lapisan koroid. Oleh karena reaksi yang

terjadi pada simpatik oftalmia, maka akan terbentuk suatu deposit di lapisan

kornea yang disebut dengan mutton-fat keratic precipitates (gambar 2.3). Retina

menunjukkan suatu infiltrasi seluler perivaskular (simpatetik perivaskulitis).

6

Page 7: Oftalmia Simpatika

Gambar 2.2 Dalen-fuchs’ nodules Gambar 2.3 mutton-fat keratic precipitates

2.5. Gambaran Klinis1-4,6,7,10

Gejala awal yang dialami adalah seperti gangguan akomodasi dan

fotofobia, lalu, akan timbul gangguan visus dan nyeri. Gambaran klinis Oftalmia

Simpatika dibagi menjadi dua, yaitu pada mata yang mengalami trauma (exciting

eye), dan mata yang lain yang semula sehat (sympathising eye).

1. Exciting Eye (mata yang mengalami trauma)

Terlihat tanda-tanda uveitis, yang meliputi kongesti siliar, lakrimasi, dan

nyeri tekan, serta pada pemeriksaan kornea akan terlihat suatu gambaran

keratik presipitat dibagian endotel kornea.

2. Sympathising Eye (mata yang semula sehat)

Gejala biasanya muncul dalam jangka waktu 4 sampai 8 minggu setelah

trauma pada mata yang lain. Pernah dilaporkan terjadinya Oftalmia

Simpatika dalam waktu 9 hari setelah terjadinya trauma. Mata yang

mengalami Oftalmia Simpatika akan bermanifestasi dalam bentuk

iridosiklitis akut, namun kadang dapat berkembang menjadi neuroretinitis

dan koroiditis. Gambaran klinis dari iridosiklitis pada sympathising eye

dibagi menjadi 2 tahap, yaitu :

a. Stadium Prodormal

Pada stadium ini akan didapatkan keluhan antara lain : sensitif

terhadap cahaya (fotofobia), gangguan sementara dalam melihat objek

yang dekat karena melemahnya kemampuan mata untuk

berakomodasi. Pada pemeriksaan mata ditemukan kongesti siliar yang

sedang, nyeri tekan pada bola mata, Keratik presipitat pada kornea

7

Page 8: Oftalmia Simpatika

dengan jumlah yang sedikit, serta pada funduskopi tampak kekeruhan

pada badan kaca dan edema diskus.

b. Stadium Lanjut

Pada stadium ini, gejala yang muncul menyerupai gejala yang terdapat

pada iridosiklitis akut.

Gejala klinis antara lain injeksi yang bergabung seperti sel dan protein di kamera

okuli anterior dan korpus vitreous, edema papiler dan retina, dan inflamasi

granulomatosa pada koroid.

2.6. Diagnosa

Tidak ada tes yang khusus untuk mengidentifikasi Oftalmia Simpatika.

Namun riwayat trauma pada mata dan operasi dikombinasi dengan penemuan

inflamasi pada kedua mata menjadikan diagnosis simpatik oftalmia adalah

mungkin. Riwayat lengkap berserta pemeriksaan oftalmologi yang teliti seperti

pemeriksaan visus, tekanan mata, pemeriksaan inflamasi di mata. Tes khusus

seperti fluorescein angiography, ERG, EOG, indocyanine green angiography,

atau ultrasonografi mungkin dilakukan. Pemeriksaan darah rutin, foto toraks

mungkin dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang akan menimbulkan

manifestasi yang serupa seperti Oftalmia Simpatika seperti Vogt-Koyanagi-

Harada disease, sarcoidosis, intraocular lymphoma, and the white dot

syndromes.5,9

2.7. Diagnosa Banding10

1. Vogt-Koyanagi Harada Syndrome

Salah satu bentuk uveitis granulomatosa yang jarang terjadi. Dengan

gambaran klinis: uveitis yang mengenai semua jaringan uvea,kelainan

pada kulit, dan terdapat gejala saraf pusat.

8

Page 9: Oftalmia Simpatika

2. Sarcoidosis

Penyakit yang mengenai jaringan lymphoid dimana memiliki gejala nyeri

pada bola mata, fotophobia, mata merah, uveitis granulomatosa atau dapat

terjadi non garanulomatosa, terbentuk mutton fat keratic precipitate,

terdapat Busacca nodules pada stroma iris dan Koeppe nodules pada

pinggir pupil.

3. Penyakit Bechet

Merupakan kelainan multisistem idiopatik yang memiliki gambaran klinis

sistemik dan uveitis. Sering diasosiasikan dengan adanya hipersensitivitas

dan ekspresi dari HLA. Gambaran klinis yang paling sering adalah ulkus

oral, ulkus genital, lesi pada kulit, lesi pada mata, tes pathergy positif.

Sedangkan pada mata sendiri, dapat terjadi panuveitis nongranulomatosa

bilateral yang berat.

2.8. Penatalaksanaan

1. Profilaksis

Eviserasi dan enukleasi merupakan pilihan sebagai tindakan profilaksis

simpatik oftalmia. Terdapat perdebatan antara pemilihan teknik mana yang

lebih baik dilakukan pada pasien dengan resiko terjadinya simpatik

oftalmia. Beberapa berpendapat bahwa apabila mata terkena trauma yang

kuat sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi penglihatan total maka

sebaiknya dilakukan enukleasi pada mata tersebut. Beberapa juga

berpendapat bahwa apabila dilakukan eviserasi saja pada mata, tindakan

ini tidak akan sepenuhnya menghilangkan resiko simpatik oftalmia pada

mata yang lain walaupun eviserasi menghasilkan tampilan kosmetik yang

lebih baik sehingga dua hal ini menimbulkan perdebatan.11

Pada saat sekarang ini telah diketahui bahwa autoimmune genetic

disorder merupakan hal yang berperan dalam timbulnya simpatik oftalmia,

sehingga tidak hanya trauma yang menjadi faktor penting tetapi keadaan

genetik seseorang juga sangat berpengaruh, hal inilah yang menjadi

pertimbangan dalam memilih tindakan yang akan dilakukan.11

9

Page 10: Oftalmia Simpatika

Pada kenyataannya, kedua teapi ini membawa hasil yang sama

baiknya, tetapi pemilihan terapi pada simpatik oftalmia sebaiknya juga

mempertimbangkan nilai estetika tidak hanya nilai kuratif. Dengan

pertimbangan inilah dianggap bahwa eviserasi merupakan pilihan yang

lebih baik pada pasien yang berpotensi untuk timbul simpatik oftalmia

paska trauma, kecuali didapati hal yang menjadi indikasi dilakukan

enukleasi seperti berikut:11

a. Mata terkena trauma penetrasi yang hebat

b. Terdapat jaringan uvea yang prolaps

c. Epifora dan injeksi perikorneal yang tetap ada setelah 14 tahun dan

tanpa perbaikan

d. Adanya benda asing

Eviserasi pada mata yang rusak dapat menghindari timbulnya

simpatik oftalmia jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah

cedera atau operasi, tetapi jika hal ini menetap, atau selama 2 minggu tidak

terdapat perubahan dan timbul keluhan yang semakin berat pada mata

yang sebelumnya sehat, enukleasi sebaiknya dilakukan karena ini

menunjukkan proses inflamasi masih terus berlangsung pada mata yang

rusak.11

2. Simptomatis

Pemberian kortikosteroid secara sistemik kemudian diteruskan dengan

pemberian kortikosteroid dosis maintenance dengan tapering off.

Pemberian preparat ini dapat menekan inflamasi namun pada pemakaian

jangka panjang bisa menyebabkan kenaikan drainase yang bisa

menimbulkan katarak posterior. Pemakaian secara topikal bisa menaikkan

tekanan intraokular sehingga dapat menyebabkan terjadinya glaukoma

sekunder.9

Pengobatan Oftalmia Simpatika meliputi obat sikloplegia, steroid

tipikal, dan prednison tablet. Dosis kortikosteroid awal 1-1,5 mg/kg/hari

atau maksimal 60 mg. Setelah kondisi terkontrol, dosis dapat diturunkan

10

Page 11: Oftalmia Simpatika

(tapering off) sampai dosis maintainance (10 mg) selama sekurang-

kurangnya 3 bulan dimana kesuksesan terapi harus dievaluasi. Jika sukses,

terapi akan diteruskan dengan dosis 10mg/hari. Obat-obat imunosupresif

seperti siklosporin, methotrexate, azathioprine, mycophenolate atau

siklofosfamid digunakan bila kortikosteroid menjadi tidak efektif

mengontrol inflamasi atau bila dosis prednison yang diperlukan untuk

mensupresi inflamasi lebih tinggi dari 10mg/hari.2,9

Enukleasi pada mata yang rusak dapat mencegah Oftalmia

Simpatika jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah cedera atau

operasi. Setelah 14 hari, enukleasi harus dilakukan jika mata tersebut tidak

mempunyai potensi untuk sembuh, karena mata ini akan memberat

inflamasi pada mata yang sehat. Jika simpatik oftalmia terjadi, terdapat

bukti dimana perkembangan klinis dapat dihalang jika mata yang cedera

dilakukan enukleasi dalam 2 minggu bermulanya penyakit. Hal ini harus

dilakukan jika mata yang cedera memiliki penglihatan yang masih baik

atau jika kondisi talah berlangsung lebih dari 2 minggu.9

2.9. Komplikasi

Oftalmia Simpatika memiliki gambaran klinis yang kronis dan dapat

mengakibatkan komplikasi uveitis yang berat seperti glaukoma sekunder, katarak

sekunder, retinal detachment, penyusutan bola mata, dan yang paling parah dapat

menyebabkan kebutaan.4

2.10. Prognosis

Penyakit ini mempunyai prognosis yang buruk jika tidak segera dilakukan

pengobatan dimana dapat terjadi penurunan penglihatan yang tajam hingga

terjadinya kebutaan. Tetapi ketika dilakukan pengobatan yang tepat serta

diagnosis yang tepat maka pasien dapat mempunyai kesempatan untuk sembuh

dan tidak terjadi penurunan visus.9,11

11

Page 12: Oftalmia Simpatika

BAB 3

KESIMPULAN

Oftalmia Simpatika merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi akan

menyebabkan respon terhadap uvea di kedua mata. Hal ini terjadi karena

meskipun trauma hanya merusak pada satu mata, respon inflamasi yang terjadi

pada simpatik oftalmia dapat mengakibatkan mata yang lain ikut terlibat dalam

proses. Oftalmia Simpatika dapat terjadi setelah adanya trauma atau riwayat

pembedahan pada mata yang berlawanan, hal ini diperberat apabila pada trauma

terjadi perforasi yang mengakibatkan timbulnya perlengketan terhadap jaringan

disekitarnya.

Mata yang cedera atau “exciting eye” akan tetap mengalami inflamasi

berat sampai beberapa minggu atau tahun, sedangkan mata yang tidak cedera atau

“sympathising eye” akan ikut terkena. Inflamasi pada sympathising eye biasanya

diawali di bagian korpus siliaris dan menyebar ke anterior dan posterior, yang

kemudian akan membentuk granulamatosa.

Anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi yang cepat dan tepat

meningkatkan prognosa baik pada kasus ini. Pengobatan yang cepat berupa

eviserasi pada mata yang kehilangan fungsi penglihatan perlu dilakukan untuk

mengeliminasi antigen, sehingga mata yang lainnya tidak mengalami penurunan

fungsi.

12

Page 13: Oftalmia Simpatika

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Trauma Mata. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Balai Penerbit

FKUI: Jakarta. 2005. Hal 177, 259

2. Eva P.R & Whitcher J.P. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17th

Edition. McGraw-Hill Companies. 2007.

3. Galloway P.H, Galloway N.R, & Browning A.C. Common Eye Disease and

Their Management. 3rd ed. Springer-Verlag. 2006.p132-133, 143-144.

4. Lang G.K. Ophtalmology: A Short Textbook. Georg Thieme Verlag. 2000

Stuttgart, Germany. p214-215.

5. Chan C.C. Sympathetic Ophthalmia. American Uveitis Society. 2002.

Diunduh dari http://www.uveitissociety.org/pages/disease/so.html (Diakses

17 November 2011)

6. Khurana A.K. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age International

(P) Ltd., Publishers. 2007. p413-414

7. Ward T.P. Sympathetic Ophthalmia. Uniformed Services University of the

Health Sciences. Bethesda, Maryland. 1999. P265-279

8. Emiko Furusato et all. Inflamatory cytokine and chemokine expression in

sympathetic ophthalmic : a pilot study. National Institute of Health. 2011.

Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3140018/pdf/

nihms308723.pdf (Diakses 17 November 2011)

9. Langston D.P. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 6th ed. Chichago :

Lippincott Williams & Wilkins. 2008. p242-243.

13

Page 14: Oftalmia Simpatika

10. Tien Y.W, Li W.V. Topic 8 : Sympathetic Ophthalmia. In : Tien Y.W, Li

W.V. The Ophthalmology Examinations Review. Singapore : World

Scientific. 2001. p350-353

11. Manandhar A., Sympathetic Ophthalmia: Enucleation or Evisceration?.

Tilganga Institute of Ophthalmology Nepal. 2011. Diunduh dari :

http://www.nepjol.info/index.php/NEPJOPH/article/view/5274/4384 (Diakses

17 November 2011)

14