24
PENDAHULUAN Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Sembilan puluh persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah cidera. Penyebabnya tidak diketahui, namun penyakitnya agaknya berkaitan dengan hipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen dari uvea. Kondisi ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraokuler tanpa komplikasi terhadap katarak atau glaucoma. Oftalmia simpatika terjadi setelah salah satu mata terkena trauma tembus. Pada kasus yang jarang, luka tembus pada mata juga termasuk luka karena pembedahan. Mata yang cidera disebut “exciting eye ( mata terangsang )dan mata yang tidak cidera disebut “sympathizing eye (yang simpatik). Patogenesis oftalmia simpatika belum jelas, tetapi diduga adanya keterlibatan dari respon inflamasi autoimun terhadap melanosit yang dimediasi sel T. Gejala klinis kunci adalah gangguan penglihatan dan beberapa gejala inflamasi. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya 1

SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

PENDAHULUAN

Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang

menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata

tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Sembilan puluh

persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah cidera. Penyebabnya tidak diketahui,

namun penyakitnya agaknya berkaitan dengan hipersensitivitas terhadap beberapa

unsur dari sel-sel berpigmen dari uvea. Kondisi ini sangat jarang terjadi setelah bedah

intraokuler tanpa komplikasi terhadap katarak atau glaucoma.

Oftalmia simpatika terjadi setelah salah satu mata terkena trauma tembus.

Pada kasus yang jarang, luka tembus pada mata juga termasuk luka karena

pembedahan. Mata yang cidera disebut “exciting eye ( mata terangsang )” dan mata

yang tidak cidera disebut “sympathizing eye (yang simpatik)”.

Patogenesis oftalmia simpatika belum jelas, tetapi diduga adanya

keterlibatan dari respon inflamasi autoimun terhadap melanosit yang dimediasi sel T.

Gejala klinis kunci adalah gangguan penglihatan dan beberapa gejala inflamasi.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat trauma mata atau

pembedahan atau gambaran klinis yang ditemukan.

Tujuan penulisan Tinjauan Pustaka ini adalah untuk lebih mengetahui

tentang oftalmia simpatika dan bagaiman penanganannya.

1

Page 2: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

OFTALMIA SIMPATIKA

Definisi

Oftalmia simpatika merupakan penyakit mata autoimun dimana didapatkan

setelah trauma tembus pada satu mata yang akan menyebabkan inflamasi pada mata

yang tidak terluka. Mata yang cidera disebut “exciting eyes (terangsang) ” dan mata

yang tidak terluka disebut “sympathetic eyes (yang simpatik)”. Perlukaan mata akan

mengenai uvea, terutama pada badan silier, akan menyebabkan pengeluaran pigmen

uvea ke dalam peredaran darah. Pemicu formasi antibody yang menyebabkan uveitis

pada mata yang cidera secara progresiv menyebabkan hilangnya kemampuan

penglihatan. Gejalanya adalah pandangan kabur dan nyeri pada kedua mata.

Oftalmia simpatika telah diketahui sejak masa Hipokrates, lebih dari 2000

tahun yang lalu. Tulisan pertama tentang oftalmia simpatika diperkirakan 1000 tahun

yang lalu, yang berisi “mata kanan, ketika berpenyakit, akan menularkan pada mata

kiri”. Pada abad ke 16, Inggris menuliskan pada buku panduan oftalmologi, setelah

adanya trauma pada salah satu mata, “mata yang sehat akan dalam bahaya yang

besar”

Terminology oftalmia simpatika dukemukakan oleh William MacKezie

pada tahun 1840, yang menemukan 6 kasus trauma tembus pada satu mata akan

menyebabkan peradangan pada mata yang lain dalam 3 minggu sampai 1 tahun.

Epidemiologi

Kebanyakan kasus oftalmia simpatika diikuti oleh trauma bola mata pada

bagian uvea, terutama badan silier. Trauma karena kecelakaan diperkirakan mencapai

65% kasus, dan 25% karena luka operasi. Liddy dan Stuart melaporkan 0,19%

disebabkan oleh trauma tembus dan 0,007% karena pembedahan intraokuler.

Oftalmia simpatika lebih banyak terjadi karena trauma. Pada pasien tua juga memiliki

2

Page 3: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

risiko yang tinggi terkena karena pembedahan intraokuler lebih banyak dilakukan

pada pasien tua. Ras dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada penyakit ini.

Prosedur pembedahan yang paling sering menyebabkan oftalmia simpatika

adalah ekstrasi katarak (bila terjadi komplikasi), pembedahan iris (termasuk

iridektomi), perbaikan perlengketan retina, bedah vitreoretinal. Beberapa jenis

pembedahan lain yang dapat menyebabkan terjadinya oftalmia simpatika antara lain

parasintesis siklodialisis, keratektomi, dan risiko terjadi oftalmia simpatika meningkat

apabila pembedahan mata diikuti dengan pembedahan yang lain, terutama pada

segmen posterior bola mata. Kejadian ofalmia simpatika postvitrektomi diperkirakan

mencapai 0,01%.

Hanya sedikit kasus oftalmia simpatika yang disebabkan bukan karena

trauma pada mata.

Gambaran Klinis

Oftalmia simpatika dimulai setelah periode laten cidera mata. Secara umum,

65% kasus oftalmia simpatika terjadi setelah 2 minggu sampai 2 bulan setelah trauma

mata, dan 90% terjadi pada 1 tahun pertama setelah trauma mata. Oftalmia simpatika

juga pernah dilaporkan pernah terjadi 5 hari setelah trauma mata. Pencegahan utama

oftalmia simpatika adalah dengan melakukan enukleasi bola mata yang terkena

trauma (exciting eye), sebaiknya dilakukan secepatnya, paling lama 2 minggu setelah

trauma.

Pasien mengeluh tentang fotofobia, kemerahan, dan kaburnya penglihatan.

Jika ada riwayat trauma, cari parut tempat masuk ke mata. Dengan slit-lamp atau

kaca pembesar tampak KP dan kilauan dalam kamera anterior kedua mata. Mungkin

ada nodul iris. Sel-sel vitreus dan eksudat putih kekuningan di lapis dalam retina

( nodul Dalen-Fuchs) tampak di segmen posterior.

3

Page 4: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Diagnosis, terutama diagnosis awal, sangat penting dilakukan agar segera

dapat dilakukan pengobatan yang tepat dan agresif karena untuk menyelamatkan

penglihatan. Gejala klinis yang timbul pada penyakit ini antara lain:

perubahan kemampuan akomodasi

fotofobia

epifora

Tanda awal yang ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain :

derajat rendah, uveitis presisten yang berhubungan dengan granulomatosa

(mutton fat, merupakan nodul kecil berpigmen pada lapisan epitel pigmen

retina, dan uvea menipis)

presipitat keratik putih

pada iris terdapat nodul infiltrasi, sinekia anterior perifer, neovaskularisasi

iris, oklusi pupil, katarak, ablasi retina eksudatif, dan papilitis

penipisan iris difus atau iris noduler, lesi korioretinal putih kekuningan

(Dalen-Fuchs nodul)

penipisan dan infiltrasi koroid

Adanya Dalen-Fuchs nodul merupakan tanda klasik oftalmia simpatika,

nodul tersebut akan muncul di bagian mana saja dari fundus okuli tetapi yang paling

sering pada bagian pertengahan perifer. Merupakan lesi putih kekuningan, diameter

60 – 70 mikron, ditemukan pada ruangan subretinal pada satu dari tiga kasus.

4

Page 5: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Gambar 3. Mutton-fat. Mata dengan oftalmia simpatika memberikan gambaran

“mutton-fat” keratik presipitat ditandai dengan inflamasi intraocular granulomatosa.

Gambar 4. Berat, inflamasi granulomatosa bilateral

menyebabkan kebutaan pada kedua mata.

Gambar 5. Pemeriksaan funduskopi pada pasien oftalmia simpatika. Gambaran nodul

Dalen-Fuchs putih kekuninganpada pertengahan perifer.

5

Page 6: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Oftalmia simpatika dapat dibedakan dari uveitis granulomatosa lain karena

riwayat trauma atau bedah okuler dan lesinya bilateral, difus, dan (umumnya) akut,

bukannya unilateral, setempat, dan menahun.

Pathogenesis

Walaupun oftalmia simpatika belum diketahui secara pasti, para dokter

mempunyai dugaan yang dapat menjelaskan bagaimana trauma pada satu mata dapat

menyebabkan inflamasi pada kedua mata. Hipotesis seorang penulis pada abad 19

mengemukakan penyabaran inflamasi melalui saraf optic dan ciasma dari satu mata

ke mata yang lain, dugaan lain adanya keterlibatan saraf trigeminal sebagai rute

transmisi.

Mata yang cidera (terangsang) mula-mula meradang dan mata sebelahnya

(yang simpatik) meradang kemudian. Secara patologik, terdapat uveitis

granulomatosa difus. Sel-sel epiteloid, bersama sel raksasa dan limfosit, membentuk

tuberkel tanpa perkejuan. Dari traktus uvealis, proses radang itu menyebar ke nervus

optikus dank e pia dan araknoid sekitar nervus optikus.

Beberapa mekanisme tubuh yang diduga terlibat dalam terjadinya oftalmia

simpatika antara lain :

Teori reaksi hipersensitif

Dikemukakan pertama kali pada tahun 1903, diduga adanya pigmen uveal

sebagai antigen pemicu. Gambaran fagositosis melanin terlihat pada pemeriksaan

histopatologi yang memperkuat dugaan adanya keterlibatan pigmen, tetapi penelitian

ini masih lemah, dan melanin secara umum bersifat nonantigenik.

Penelitian pada awal tahun 1990, mendeskripsikan melanin uveal tak larut

dapat menyebabkan inflamasi terbatas pada uvea, dan akhirnya dilaporkan bahwa

kekambuhan spontan terjadi pada oftalmia simpatika. Antigen uveal atau retina atau

melanin yang lain mungkin dapat terlibat. Penemuan cidera uvea merupakan perkusor

6

Page 7: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

konstan dalam perkembangan oftalmia simpatika membuat uvea diduga menjadi

penyebab utama.

Jaringan uvea sendiri merupakan antigenic lemah, tetapi antigenitasnya

dapat meningkat apabila diikuti adanya racun stapilokokus. Presentase antibody

antiuvea tinggi pada pasien oftalmia simpatika, dan adanya mekanisme transformasi

penempelan limfosit perifer ditemukan mengikuti paparan homolog antigen

uveoretina.

Keterlibatan Autoimunitas

Berdasarkan pada klinis oftalmitis simpatika yang kemungkinan timbul

karena respon autoimun terhadap antigen yang berasal dari lapisan fotoreseptor. Sera

dari pasien dengan oftalmia simpatika menunjukkan derajat ringan sampai moderat

pada pengecatan segmen terluar dari fotoreseptor dengan menggunakan teknik

imunoperoksidase indirek. Ekstrak retina menunjukkan derajat antigenic tinggi dan

mudah menimbulkan retinouveitis. Antigen retina potensial antara lain adalah :

rodopsin, antigen retina soluble (S-antigen), interphotoreceptor retinoid binding

protein, dan recoverin.

Epitop spesifik yang merupakan protein retina yang lain, interstitinal

retinoid binding protein (IRBP), juga memiliki kemampuan dalam menimbulkan

uveitis. Penelitian imunohistokemikal yang lain menyebutkan bahwa, oftalmia

simpatika dapat dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas sel T tipe lambat yang

langsung pada antigen membrane permukaan bersamaan dengan fotoreseptor, sel

RPE, dan melanosit koroid.

Tidak ditemukannya limfatik pada mata memegang peranan penting dalam

kejadian oftalmia simfatika. Secara normal, antigen intraocular bersirkulasi ke dalam

darah dan limfa, melalui limfonodi local, yang akan menginduksi antibody pemblok

atau sel supresi pada limfa. Pada kasus trauma ocular penetrasi, antigen ini dibawa

langsung menuju limfnodi regional, sehingga terjadi inisiasi respon mediasi sel imun.

Hal tersebut merupakan kunci dalam terjadinya oftalmia simpatika yang disebabkan

7

Page 8: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

karena paparan antigen uveoretinal pada limfatik konjungtiva. Sebagai stimulasi,

bakteri (contoh : Propionibacterium acnes), virus, dan agen infeksi lain dapat

memasuki mata melalui luka, dan paparan tersebut dapat mempercepat proses

inflamasi.

Berhubungan dengan HLA

Oftalmia simpatika berhubungan dengan Human Leukosit Antigen (HLA). Sebagai

contoh, HLA-A11 pernah dilaporkan ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pada

pasien oftalmia simpatika. Lokus HLA klas II ( HLA-DR, HLA-DQ, HLA-DP)

muncul sebagai salah satu imun penting yang merespon sel T penolong, karena

molekul permukaan dikode oleh interaksi gen langsung dengan antigen dan dengan

reseptor sel T pada regulasi imun respon.

Peranan Antigen Bakteri

Walaupun berhubungan dengan trauma, paparan jaringan uvea, dan

gambaran proses inflamasi granulomatosa diduga merupakan proses yang infeksius,

belum pernah dilaporkan adanya organisme penyebab sampai sekarang. Salah satu

factor penyebab yang pernah dilaporkan adalah Microbacterium tuberculosis,

Bacillus subtilis, Rickettsia dan virus vitreus. Telah lam adiketahui bahawa oftalmia

simpatika sangat jarang disebabkan oleh endoftalmitis. Produk biologis bacteria

(contoh : dinding sel bakteri) yang ada pada luka, dapat menjadi imunostimulator dan

dapat memacu respon imun local. Walaupun jaringan uveal merupakan antigen

lemah, antigenitasnya dapat meningkatkan racun stapilokokus.

Hal tersebut memperkuat bahwa penyebab yang paling berperan adalah

trauma mata. Pertama terjadi drainase dari uvea atau antigen retina, atau keduanya,

terjadi melalui limfatik konjungtiva, merupakan suatu mekanisme abnormal. Kedua

sejumlah kecil pemicu, seperti dinding sel bakteri atau imunostimulator yang lain

yang memasuki mata melalui perforasi. Produk-produk tersebut akan menginduksi

respon imun local, yang akan menyebabkan mekanisme supresan tergantung pada

8

Page 9: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

status imun masing-masing individu. Fenomena tersebut merupakan respon inflamasi

yang akhirnya dikenal secara klinis sebagai oftalmia simpatika.

Gambaran Histopatologi

Gambaran histopatologi oftalmia simpatika pertama kali dideskripsikan oleh

Fuchs pada tahun 1905, terdiri dari difusa, uveitis granulomatosus dengan infiltrasi

limfositik massif dan sarang makrofag, sel epiteloid, sel raksasa multinukleasi pada

kedua mata, baik mata yang terangsang maupun maya yang simpatika. Inflamasinya

adalah nekrotisasi, dan sel epiteloid terlihat menutupi pigmen melanin.

Mata yang terangsang berbeda dengan mata yang simaptika hanya

berdasarkan bukti yang ditemukan dan komplikasi dari trauma dan pembedahan.

Nodul terdiri dari makrofag, sel epitel, dan sel epitel pigmen retina yang terjadi antara

membrane Bruch’s dan epitel pigmen retina (Nodul Dahlen-Fuchs). Eosinofil

mungkin ditemukan di uvea, terutama pada kasus awal. Proses inflamasi terjadi pada

bagian koriokapilaris dan retina, dan uvea posterior lebih sering terkena daripada

uvea anterior. Diagnosis patologis tergantung pada infiltrasi limfosit sel T

predominan pada uvea, fagositosis awal dari granula pigmen, dan adanya nodul

Dalen-Fuchs.

Gambar 6. Penebalan uvea, sel inflamasi pada kasus oftalmia simpatika

(pewarnaan hematoxylin-eosin)

9

Page 10: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Gambar 7. Infiltrate uvea, menunjukkan inflamsi granulose kronik yang terdiri dari

limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa multinukleasi (pewarnaan hematoxylin-eosin)

Infiltrate uvea terdiri dari sel T, memperkuat konsep dari reaksi imun sel-

mediasi (hipersensitivitas tipe lambat). Pada permulaan penyakit, sebagian besar sel T

adalah sub bagian penolong/penginduks, kurang dari 5% sampai 10% dari sel

bercirikan sel B, sel plasma, atau monosit. Pada keadaan kronis ditemukan dominan

Sel T supresor/sitotoksik. Perubahan sel T penolong pada fase akut menjadi sel T

supresor/sitotoksik juga terlihat pada penelitian terhadap uveitis autoimun.

Perubahan histopatologis yang sangat spesifik pada oftalmia simpatika

adalah nodul Dalen-Fuchs, yang merupakan kluster dari sel epitel antara epitel

pigmen retina (RPE) dan membrane Bruch’s. Lesi ini selalu berpigmentasi, terutama

pada penyakit kronis.

Metaplasi sel dari RPE, limfosit, dan sel raksasa biasanya ditemukan pada

struktur nodul. Pada tahap akhir oftalmia simpatika, degenerasi RPE merupakan

komponen terpenting nodul.

Reaksi zona granuloma terhadap lensa (phacoanaphylactic endophthalmitis,

phacoantigenicuveitis, lens-induced uveitis) sering ditemukan pada oftalmia

simpatika.

10

Page 11: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

Gambar 8. Perbesaran kuat nodul Dalen-Fuchs. Merupakan gambaran histopatologi

yang paling spesifik pada oftalmia simpatika, terdiri dari kluster sel epitel antara

epitel pigmen retina (RPE) dan membrane Bruch’s (pewarnaan hematoxylineosin).

Gambar 9. Reaksi zona granulomatosa pada lensa (phacoanaphylactic

endophthalmitis, phacoantigenicuveitis, lens-induced uveitis), biasanya ditemukan

pada oftalmia simpatika (pewarnaan hematoxylin-eosin).

Penataksanaan

Terapi oftalmia simpatika diberikan berdasarkan penyebab yang diduga.

Terapi medikasi yang diberikan terdiri dari agen anti-inflamasi sistemik, termasuk

kortikosteroid dan obat-obat-obatan imunomodulasi.

Enukleasi

Metode klasik pencegahan oftalmia simpatika adalah melakukan enukleasi

pada mata yang terluka sebelum penyakit tersebut berkembang ke mata yang satunya.

Enukleasi yang dilakukan pada mata yang terluka dalam 2 minggu setelah trauma,

merupakan pencegahan perkembangan oftalmia simpatika, tetapi hal tersebut bukan

11

Page 12: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

merupakan pencegahan absolute oftalmia simpatika. Oftalmia simpatika kadang

berkembang setelah dilakukan pembedahan.

Pengambilan isi bola mata (evisceration) bukanlah alternatif enukleasi.

Oftalmia simpatika dapat terjadi setelah dilakukan pengambilan isi bola mata,

kemungkinan merupakan akibat adanya sisa jaringan uveal pada saluran sclera.

Biasanya tidak dianjurkan untuk dialakukan kecuali pada pasien endoftalmitis atau

pada pasien yang memiliki keadaan umum yang buruk, yang tidak memungkinkan

melakukan enukleasi.

Apabila gejala pasti telah ditemukan pada mata yang sehat, dilakukan

enukleasi pada mata yang cidera, kecuali apabila didapatkan kebutaan dan nyeri,

maka enukleasi hanya memberi sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali, bahkan

tidak disarankan. Beberapa peneliti menyarankan, enukleasi dilakukan dalam 2

minggu setelah gejala oftalmia simpatika muncul akan membarikan prognosis visual

yang lebih baik. Apabila dilakukan enukleasi lebih dini akan memberikan tajam

penglihatan yang lebih baik dari 20/50 dan lebih sedikit terjadi kekambuhan daripada

yang dilakukan enukleasi terlambat. Enukleasi disarankan dilakukan pada mata yang

sudah tidak memiliki persepsi terhadap cahaya.

Kortikosteroid

Apabila oftalmia simpatika telah berkembang, lini pertama terapi sistemik

adalah kortikosteroid. Sebelum digunakannya kortikosteroid sebagai pilihan terapi,

prognosis visual sangatlah buruk, dan insidensi kebutaan mencapai 70%.

Dosis awal sebaiknya diberikan kortikosteroid dosis tinggi dan dilanjutnya

sampai 6 bulan setelah adanya perbaikan inflamasi. Pada dewasa, pada minggu

pertama diberikan dosis oral 100 – 200 mg prednisone. Dosis awal dapat diturunkan

kira-kira 5 mg/minggu, sampai respon inflamasi dapat dikendalikan, sebagai dosis

rumatan dapat diberikan 5-10 mg/hari. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid

harus diawasi tekanan darah dan level glukosa darah. Apabila didapatkan infeksi

12

Page 13: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

harus ditangani terlebih dahulu sebelum pemberian kortikosteroid. Walaupun terapi

kortikosteroid sangat efektif, tetapi kortikosteroid tidak dapat mencegah

perkembangan oftalmia simpatika. Dari beberapa penelitian, dilaporkan bahwa

oftalmia simpatika tetap berkembang walaupun telah diberikan terapi kortikosteroid

sistemik.

Agen imunosupresan

Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid sebagai terapi tunggal tidak

efektif (pada kasus oftalmia simpatika yang tidak biasa), atau pemberian

kortikosteroid dosis sangat tinggi dibutuhkan untuk mengontrol (pada kasus yang

tidak biasa). Selain itu, penggunaan kortikosteroid jangka panjang sebaiknya

dihindari pada pasien yang memiliki masalah kesehatan dan komplikasi oftalmologi

atau sistemik, seperti pada diabetes mellitus, glaucoma tak terkontrol, atau masalah

psikologis. Pada pasien seperti ini, terapi alternative dengan agen imunosupresan

efektif dalam menekan inflamasi, sehingga dapat dilakukan penurunan dosis

kortikosteroid.

Preparat yang direkomendasikan antara lain cyclosporine A ( 5 mg/kg/hari )

pada pasien usia muda sampai 40 tahun atau azathioprine ( 2 mg/kg/hari yang dibagi

dalam 3 dosis ) pada pasien usia tua. Karena mata dengan oftalmia simpatika

biasanya diinfiltrasi banyak sel T teraktivasi, cyclosporine, merupakan inhibitor poten

terhadap fungsi sel T, dapat menjadi agen terapi yang sangat efektif. Dosis yang

disarankan untuk kombinasi cyclosporine dan kortikosteroid adalah : cyclosporine A

( 3-5 mg/kg/hari) dan prednisone ( 15-20 mg/hari).

Tes fungsi ginjal ( urea nitrogen darah, kreatinin ) harus selalu dimonitor

pada pasien yang diterapi cyclosporine. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan

dosis tinggi, kerja cepat chlorambucil, karena cholarambucil dapat diabsorbsi traktus

gastrointestinal secara baik, memberi keuntungan apabila diberikan secara oral.

Dengan penggunaan chlorambucil, penggunaan kortikosteroid dapat sepenuhnya

13

Page 14: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

dihentikan, sedangkan apabila menggunakan cyclosporine tidak, kecuali jika dosis

cyclosporine harus diturunkan karena ginjal keracunan. Methotrexate merupakan

salah satu imunosupresan yang potensial dan emmberikan keuntungan apabila

digunakan sebagai dosis mingguan.

Prognosis

Oftalmia simpatika merupakan penyakit serius yang dapat menyebabkan

kemampuan visual yang sangat buruk tanpa adanya intervensi teraupetik, dapat

menyebabkan kebutaan pada dua mata. Apabila diagnosis awal dan terapi tepat,

pasien dengan oftalmia simpatika memiliki kesempatan untuk mempertahankan

kemampuan visualnya tetap baik. Apabila dilakukan enukleasi awal pada mata yang

terangsana dan diberikan terapi kortikosteroid, prognosis pasien oftalmia simpatika

lebih baik, kemampuan penglihatan dapat tetap dipertahankan.

14

Page 15: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

KESIMPULAN

Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang

menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata

tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Pada kasus

yang jarang, luka tembus pada mata juga termasuk luka karena pembedahan. Mata

yang cidera disebut “exciting eye ( mata terangsang )” dan mata yang tidak cidera

disebut “sympathizing eye (yang simpatik)”.

Pathogenesis terjadinya oftalmia simpatika belum diketahui secara jelas,

tetapi diduga terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: reaksi hipersensitivitas,

adanya reaksi autoimun, adanya hubungan dengan HLA, dan keterlibatan bakteri

dalam memicu terjadinya oftalmia simpatika.

Gejala utama yang dikeluhkan pasien antara lain: fotofobia, kemerahan, dan

kaburnya penglihatan. Jika ada riwayat trauma, cari parut tempat masuk ke mata.

Adanya nodul Delen-Fuchs merupakan gambaran histopatologi utama oftalmia

simpatika.

Penatalaksanaan pasien oftalmia simpatika adalah dengan melakukan

enukleasi pada mata terangsang, yang juga dapat merupakan tindakan pencegahan

terjadinya oftalmia simpatika. Selain itu terapi medikamentosa dapat diberikan

kortikosteroid dan imunomodulator memberikan hasil yang baik. Apabila mendapat

penanganan yang cepat dan tepat, pasien oftalmia simpatika masih memiliki daya

penglihatan yang cukup baik, tetapi bila terlambat dapat menyebabkan kebutaan.

15

Page 16: SIMPATIKA OFTALMIA AJENG

DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 2009, Sympathetic Ophthalmia, Wikipedia, http://www.wikipedia.org

Anonym, Sympathetic Ophthalmia, http://www.google.com

Chan, C., 2003. Sympathetic Ophthalmia, American Uveitis Society,

http://www.uveitissociety.org

Damico, M, D., Kiss, S., dan Young, L. H.,2005 Sympathetic Ophthalmic,

Informaworld. http://www.informaworld.com

Melinda, V., 2009, Uveitis, Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Ramadan, A., dan Nussenblatt, R. B., 1996. Sympathetic Ophthalmic, J of PubMed,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Reynard, M., Riffenburg, R.S., dan Maes, E. F., 1983, Effect of corticosteroid

treatment and enucleation on the visual prognosis of sympathetic

ophthalmia, Am J Ophthalmol, http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Ward, T. P., Symphathetic Ophthalmia http://www.google.com

Wijaya, N., 1993, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Jakarta

Vaughan, D., G., Asbury, T., dan Riordan-Eva, P., 1995, Oftalmologi Umum, ed

14th, Jakarta: Widya Medika

16