12
2 tranformational leadership wherein self-efficacy serve as mediator between transformational leadership and work engagement. Referring to SCT, this study examined the relationship between transformational leadership and work engagement through mediaton of self-efficacy. 191 Bethesda Hospital Nurses participated in this study. Data were collected from Work Engagement Scale, transformational leadership scale and self-efficacy scale. Data were tested using Regression Model. The result shows that self-efficacy doesn’t mediate the relationship between transformational leadership and work engagement (R=0,066 and F=0,827; p>0,05). However, result shows that self-efficacy and transformational leadership positively related to work engagement (R=0,366 and F=14,504; p≤0,05). Keywords: Work Engagement, Transformational Leadership, Self-efficacy. Rumah sakit memiliki peranan yang penting dalam menyediakan jasa di bidang kesehatan. Seperti industri jasa lainnya, rumah sakit seharusnya mengutamakan kepuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik. Namun, pada kenyataannya, kualitas pelayanan di beberapa rumah sakit masih jauh dari harapan. Berdasarkan hasil pemantauan Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pelayanan kesehatan terutama terhadap masyarakat kurang mampu pada tahun 1998-2012 masih buruk (Rizal, 2013). Selama kurun waktu tersebut, YPKKI menerima sekitar 700 pengaduan masyarakat perihal buruknya pelayanan kesehatan. Dengan melihat kenyataan ini, seharusnya manajemen rumah sakit lebih meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Rumah Sakit Bethesda memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada para pelanggan seperti yang tercantum pada misi rumah sakit yaitu “Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau, memuaskan customer dengan jejaring yang luas dan mampu berkembang dengan baik (Bethesda, 2013). Misi tersebut menjelaskan bahwa pelayanan diberikan kepada setiap orang tanpa EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KETERIKATAN KERJA galan dwi kuncoro Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Nurses participated in this study. Data were collected frometd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69400/potongan/S2-2014-322333-chapter1.pdf · Para ahli menyadari bahwa keterikatan

  • Upload
    vanphuc

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

2

tranformational leadership wherein self-efficacy serve as mediator between transformational leadership and work engagement. Referring to SCT, this study examined the relationship between transformational leadership and work engagement through mediaton of self-efficacy. 191 Bethesda Hospital Nurses participated in this study. Data were collected from Work Engagement Scale, transformational leadership scale and self-efficacy scale. Data were tested using Regression Model. The result shows that self-efficacy doesn’t mediate the relationship between transformational leadership and work engagement (R=0,066 and F=0,827; p>0,05). However, result shows that self-efficacy and transformational leadership positively related to work engagement (R=0,366 and F=14,504; p≤0,05). Keywords: Work Engagement, Transformational Leadership, Self-efficacy.

Rumah sakit memiliki peranan yang penting dalam menyediakan jasa di

bidang kesehatan. Seperti industri jasa lainnya, rumah sakit seharusnya

mengutamakan kepuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan yang terbaik.

Namun, pada kenyataannya, kualitas pelayanan di beberapa rumah sakit masih

jauh dari harapan. Berdasarkan hasil pemantauan Yayasan Perlindungan

Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pelayanan kesehatan terutama terhadap

masyarakat kurang mampu pada tahun 1998-2012 masih buruk (Rizal, 2013).

Selama kurun waktu tersebut, YPKKI menerima sekitar 700 pengaduan

masyarakat perihal buruknya pelayanan kesehatan. Dengan melihat kenyataan ini,

seharusnya manajemen rumah sakit lebih meningkatkan kualitas pelayanan

mereka.

Rumah Sakit Bethesda memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan yang

maksimal kepada para pelanggan seperti yang tercantum pada misi rumah sakit

yaitu “Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau, memuaskan customer

dengan jejaring yang luas dan mampu berkembang dengan baik (Bethesda, 2013).

Misi tersebut menjelaskan bahwa pelayanan diberikan kepada setiap orang tanpa

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

memandang latar belakang pasien. Dengan demikian, pelayanan prima adalah satu

kunci keberhasilan Rumah sakit Bethesda dalam upaya mencapai misi yang telah

ditetapkan.

Setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing. Salah satu bentuk

manifestasi dari budaya organisasi adalah nilai-nilai organisasi. Nilai-nilai yang

dianut organisasi merupakan inti dari budaya organisasi (Hofstede, Hofstede &

Minkov, 2010). Rumah Sakit Bethesda memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung

dalam falsafah rumah sakit yaitu memandang tinggi martabat setiap manusia

sebagai ciptaan Allah, memandang bahwa setiap manusia berhak memperoleh

derajat kesehatan yang baik dan memperdayakan sesama (Bethesda, 2013). Nilai-

nilai tersebut menunjukkan bahwa rumah sakit ini memberikan penghargaan yang

tinggi terhadap setiap orang, baik kepada para pasien maupun pada karyawan.

Nilai-nilai ini merupakan salah satu pertimbangan penulis ketika memilih Rumah

Sakit Bethesda sebagai tempat penelitian. Nilai-nilai yang dianut oleh suatu

organisasi seperti, penghargaan, kepedulian dan kepercayaan kepada para

karyawannya diyakini mampu memfasilitasi terciptanya kondisi positif di tempat

kerja dan memfasilitasi terbentuknya keterikatan kerja (work engagement) dari

para karyawan (Sarangi & Srivastava, 2012).

Perawat merupakan salah satu ujung tombak pelayanan rumah sakit

(Savitri, 2010). Perawat saat ini tidak hanya dituntut untuk berfokus pada fungsi

biologis pasien tetapi juga aspek psikososial pasien. Mereka diharapkan tidak

hanya terampil dan pintar saja namun juga harus mampu menjalin hubungan yang

baik dengan pasien (Holloway & Watson, 2002). Dengan tingginya harapan

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

pelanggan terhadap peran seorang perawat maka dibutuhkan para perawat yang

mau bekerja melampaui tuntutan pekerjaan agar visi dan misi rumah sakit tercapai

(Salanova, Lorente, Chambel & Martinez, 2011).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya kemauan para

perawat untuk bekerja melampaui tuntutan pekerjaan. Menurut Salanova dkk.

(2011), salah satu faktor tersebut adalah work engagement (keterikatan kerja).

Keterikatan kerja sebagai bagian dari gerakan psikologi positif (Shimazu,

Schaufeli, Kosugi, Suzuki, Nashiwa, Kato, Sakamoto, Irimajiri, Amano, Hirohata

& Goto, 2008), juga diyakini berhubungan dengan hasil kinerja organisasi seperti

employee retention, produktivitas, profitabilitas, kesetiaan pelanggan dan

keselamatan kerja (Markos & Sridevi, 2010), hal ini juga berkaitan erat dengan

kinerja individu seperti kepuasan kerja, keterlibatan kerja (Ram & Prabhakar,

2011) dan juga masalah kesehatan individu (Schaufeli & Bakker, 2004).

Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya tenaga

keperawatan. Rasio jumlah perawat dan pasien idealnya adalah 1 : 4000 (Jamadin,

2012). Lebih jauh Jamadin (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia satu perawat

bisa melayani 10.000 pasien atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa beban kerja

perawat dalam merawat pasien melebihi standard yang ada. Jika kondisi seperti

ini dibiarkan terus menerus maka perawat akan mengalami kelelahan fisik dan

psikis yang berkepanjangan. Kelelahan fisik dan psikis ini tentunya akan

menurunkan keterikatan kerja para perawat. Dengan demikian dibutuhkan

penelitian lebih lanjut mengenai keterikatan kerja pada perawat agar pihak

manajemen rumah sakit mampu menciptakan kondisi yang positif di tempat kerja.

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

Keterikatan kerja (work engagement) diartikan sebagai kondisi psikologis

yang positif berkaitan dengan pekerjan yang ditandai dengan adanya semangat

(vigor), pengabdian (dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli dkk.,

2002; Schaufeli, Bakker & Salanova, 2006). Batasan konsep keterikatan kerja

tersebut dapat dibedakan dengan beberapa konsep seperti, extra-role behavior,

keterlibatan kerja, komitmen organisasi dan kepuasan kerja (Leiter & Bakker,

2010). Keterikatan kerja berbeda dengan extra-role behavior, keterikatan kerja

lebih menekankan pada usaha kreatif sedangkan extra-role behavior lebih

menekankan pada usaha ekstra. Keterikatan kerja juga berbeda dengan

keterlibatan kerja, keterikatan kerja merupakan sebuah konsep yang lebih luas

dibandingkan keterlibatan kerja. Keterikatan kerja dapat dibedakan dengan

komitmen organisasi. Keterikatan kerja merupakan identifikasi karyawan terhadap

pekerjaannya sedangkan komitmen organisasi merupakan identifikasi karyawan

terhadap organisasi secara keseluruhan. Keterikatan kerja juga dapat dibedakan

dengan kepuasan kerja. Keterikatan kerja menggambarkan kondisi aktivasi

seperti, antusiasme, kewaspadaan dan kegembiraan sedangkan kepuasan kerja

menggambarkan kondisi jenuh seperti, kepuasan hati, ketenangan, relaksasi dan

ketentraman.

Keterikatan kerja memiliki dimensi semangat (vigor), pengabdian

(dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli dkk., 2002). Semangat

ditandai dengan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama bekerja,

keinginan untuk menginvestasikan upaya pada pekerjaan. Pengabdian ditandai

dengan perasaan bermakna, perasaan antusias, perasaan terinspirasi, perasaan

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

bangga dan perasaan tertantang. Kekusyukan ditandai dengan keadaan

berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa

waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya.

Para ahli menyadari bahwa keterikatan kerja adalah konsep yang penting

untuk dipahami, sehingga mereka berusaha untuk mengkaji konsep tersebut secara

lebih mendalam. Mereka melakukan penelitian untuk mengungkap faktor-faktor

yang berkaitan dengan keterikatan kerja. Berikut ini adalah beberapa hasil

penelitian mengenai faktor-faktor tersebut.

Tabel 1. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Keterikatan Kerja

Kühnel, Sonnentag

& Bledow (2011)

Koyuncu, Burke

& Fiksenbaum (2006)

Saks (2006)

1. Iklim psikologis

2. Kontrol terhadap

pekerjaan

1. Kontrol terhadap

pekerjaan,

2. Penghargaan,

3. Pengakuan

4. Kecocokan nilai

1. Persepsi terhadap

dukungan organisasi

2. Karakteristik

pekerjaan

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor

yang mempengaruhi keterikatan kerja. Pada penelitian ini, penulis mengacu pada

teori Social Cognitve Theory. Berdasarkan teori tersebut faktor-faktor yang

diyakini mempengaruhi keterikatan kerja (work engagement) adalah

kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dan efikasi diri

(self-efficacy) (Salanova, Lorente, Chambel & Martinez, 2011; Salanova,

Schaufeli, Xanthopoulou & Bakker, 2010).

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

Konsep kepemimpinan transformasional pada penelitian ini menggunakan

konsep dari Bass (1985). Kepemimpinan transformasional diartikan sebagai

kepemimpinan dimana pemimpin memiliki kharisma dan pengaruh untuk

membuat para pengikutnya melaksanakan lebih dari apa yang diharapkan pada

mereka di dalam pekerjaan (Avolio, Bass & Jung, 1999). Konsep kepemimpinan

transformasional dapat dibedakan dengan konsep kepemimpinan kharismatik dan

transaksional. Menurut Bass (1990), kepemimpinan transformasional meliputi

juga kepemimpinan kharismatik sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan

transformasional lebih luas dibandingkan kepemimpinan kharismatik.

Kepemimpinan transformasional juga berbeda dengan kepemimpinan

transaksional. Kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yaitu,

memiliki pengaruh yang diidealkan, memberi motivasi yang inspirasional,

memberi stimulasi intelektual dan memberi perhatian secara individual pada

bawahan (Bass & Riggio, 2006) sedangkan kepemimpinan transaksional memiliki

karakteristik yaitu, menekankan pada prinsip hadiah-hukuman (contingent

reward) dan pemimpin mengambil tindakan hanya ketika bawahan gagal

mencapai target (management by exception). Dengan demikian kepemimpinan

transformasional lebih menekankan pada prinsip pemberdayaan sedangkan

kepemimpinan transaksional lebih menekankan pada prinsip social exchange.

Kepemimpinan transformasional memiliki beberapa dimensi (Bass, 1985),

yaitu, pengaruh yang diidealkan, motivasi yang inspirasional, stimulasi intelektual

dan perhatian secara individual. Pemimpin yang memiliki pengaruh yang

diidealkan bertindak sebagai contoh yang diteladani oleh bawahannya. Pemimpin

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

yang memberikan motivasi yang inspirasional mampu memotivasi dan

menginspirasi bawahan dengan membuat pekerjaan lebih bermakna dan

menantang. Ia mampu membuat bawahan lebih mementingkan tujuan organisasi.

Stimulasi intelektual diartikan sebagai tindakan pemimpin untuk mendorong

pengikut agar lebih sensitif terhadap permasalahan dan menggunakan perspektif

baru untuk memandang permasalahan tersebut. Dimensi perhatian secara

individual meliputi tindakan pemimpin untuk memberikan perhatian khusus pada

kebutuhan masing-masing bawahan dengan bertindak sebagai mentor. Pemimpin

mampu menerima perbedaan-perbedaan individual.

Kepemimpinan transformasional diyakini memiliki hubungan positif

dengan keterikatan kerja. Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan

transformasional secara positif dan signifikan berhubungan dengan keterikatan

kerja (Raja, 2012; Koppula, 2008; Zhu, Avolio & Walumba, 2009; Vugt, Jepson,

Hart & Cremer, 2004). Dimensi-dimensi kepemimpinan transformasional

berhubungan secara positif dengan dimensi semangat dan pengabdian (Koppula,

2008). Ketika pemimpin tranformasional menguraikan visi, misi dan nilai

organisasi pada bawahan (pengaruh yang diidealkan), hal tersebut akan membuat

bawahan merasa diperhitungkan. Pada akhirnya mereka akan penuh energi dan

bersemangat untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka (dimensi semangat).

Pemimpin yang tranformasional juga mampu menghargai kebutuhan dan perasaan

dari bawahannya (dimensi perhatian secara individual). Hal ini membuat para

bawahan memperlihatkan dedikasi (dedication) pada pekerjaan (Bycio, Hackettt

& Allen, 1995; Harter, Schmidt & Keyes, 2003). Pemimpin transformasional

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

memberi motivasi yang inspirasional dengan menetapkan tujuan yang jelas.

Pemimpin seperti ini mampu membantu bawahan untuk memahami nilai dari

kontribusi mereka pada pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan

(Crabtree, 2003). Ketika karyawan memahami bahwa kontribusi mereka

membantu pencapaian tujuan organisasi, hal tersebut akan membuat karyawan

bangga dan semakin bersemangat untuk bekerja (dimensi dedikasi). Pemimpin

yang tranformasional mampu membuat para bawahan mencoba cara baru atau

menemukan solusi permasalahan yang inovatif (stimulasi intelektual). Dengan

mengambil tindakan ini, pemimpin mendorong bawahan untuk tetap terlibat,

termotivasi dan mengalami perasaan yang lebih positif di tempat kerja.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa selain kepemimpinan

transformasional, efikasi diri juga merupakan faktor yang mempengaruhi

keterikatan kerja. Efikasi diri merupakan bagian dari social cognitive theory

(Ashford & LeCroy, 2010; Lenz & Shortridge-Baggett, 2002). Efikasi diri

diartikan sebagai keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk

mengorganisasikan dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan

untuk mengelola situasi yang prospektif (Bandura, 1995). Efikasi diri tidak

dihubungkan dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang tetapi

dihubungkan dengan keyakinan seseorang mengenai apa yang bisa mereka

lakukan dengan kemampuan yang mereka miliki. Penjelasan di atas

menggambarkan efikasi diri tidak bersifat umum, tetapi berhubungan dengan

situasi yang spesifik. Mengacu pada teori SCT, efikasi diri pada penelitian ini

bersifat khusus yaitu efikasi diri perawat.

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

Efikasi diri berperan penting menentukan kesuksesan para perawat ketika

menjalani karir mereka. Menurut Kennedy (2013), efikasi diri pada perawat

digambarkan sebagai keyakinan diri perawat untuk memenuhi kompetensi

keperawatan yang diharapkan dari profesi mereka. Pengertian kompetensi

keperawatan di sini adalah pengetahuan, keterampilan dan penilaian yang

dibutuhkan oleh perawat untuk melaksanakan praktik keprofesian secara aman

dan etis pada situasi dan peran yang telah didesain. Keyakinan para perawat akan

kompetensi keprofesiannya diyakini dapat mendukung mereka mampu

melaksanakan tugas-tugas keperawatan dan menghadapi tantangan selama

menjalankan tugas tersebut.

Efikasi diri memiliki beberapa dimensi yaitu, tingkat kesulitan tugas, luas

bidang perilaku dan kekuatan (Bandura, 1997). Dimensi tingkat kesulitan tugas

berkaitan dengan pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki

berdasarkan perharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan

mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan

menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.

Luas bidang perilaku berkaitan dengan seberapa luas bidang perilaku yang

diyakini untuk berhasil dicapai oleh individu. Beberapa pengharapan terbatas pada

bidang perilaku khusus sedangkan beberapa pengharapan mungkin menyebar

pada berbagai bidang perilaku. Kekuatan berkaitan dengan keteguhan hati

terhadap keyakinan pada diri individu bahwa ia akan berhasil dalam menghadapi

suatu permasalahan. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustrasi, luka

dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu.

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

Perkembangan efikasi diri seseorang dipengaruhi oleh empat sumber

informasi penting yaitu, pencapaian kinerja, vicarious experience, persuasi verbal

dan informasi fisiologis (Bandura, 1995). Pencapaian kinerja berkaitan dengan

pengalaman sukses atau kegagalan yang dialami seseorang. Pengalaman sukses

akan meningkatkan efikasi diri sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi

diri. Vicarious experience (observasi terhadap orang lain) merupakan sumber

perkembangan efikasi diri. Orang lain dapat menjadi contoh dan memberikan

informasi tentang tingkat kesulitan dari suatu tingkah laku. Persuasi verbal adalah

sumber yang paling sering digunakan untuk mengembangkan efikasi diri, yaitu

dengan memberikan instruksi, sugesti dan nasihat seseorang dapat membantu

orang lain untuk sukses pada tugas yang sulit. Informasi fisiologis atau informasi

pada tubuh seseorang dapat mempengaruhi estimasinya terhadap kemampuan

untuk menampilkan tingkah laku spesifik. Dalam menilai kapasitas diri sendiri,

seseorang menggunakan informasi tentang situasi fisik dan emosional.

Efikasi diri berkaitan erat dengan keterikatan kerja (Xanthopoulou,

Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2009) dan kepemimpinan transformasional.

Penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan secara positif dan

signifikan dengan keterikatan kerja (Chaudhary, Rangnekar dan Barua, 2012;

Llorens, Schaufeli, Bakker & Salanova, 2007; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti

& Schaufeli, 2007). Di lain pihak, penelitian eksperimental dari Kirkpatrick &

Locke (1996) membuktikan kepemimpinan transformasional mampu

meningkatkan efikasi diri bawahan.

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

Efikasi diri menarik untuk diteliti karena memiliki potensi sebagai variabel

mediator. Penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri menjadi variabel mediator

hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja perorangan

(Walumba, Avolio & Zhu, 2008), kepuasan kerja (Liu, Siu & Shi, 2009) dan

positive affective well being (Nielsen & Munir, 2009) dan keterikatan kerja

(Salanova dkk, 2011). Walaupun demikian hasil penelitian lain membuktikan

bahwa efikasi diri tidak memediasi (Tims, Bakker dan Xanthopoulou, 2011)

namun memoderasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dan

keterikatan kerja (Raja, 2012). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, penulis

lebih meyakini bahwa efikasi diri memediasi kepemimpinan transformasional dan

keterikatan kerja.

Hubungan antara kepemimpinan tranformasional dan keterikatan kerja

yang dimediasi oleh efikasi diri dapat dijelaskan melalui social cognitive theory

(SCT). Menurut teori ini, pemimpin yang memiliki gaya transformasional

bertindak sebagai model atau contoh dengan memanifestasikan tingkah laku

positif di tempat kerja. Tindakan ini merupakan vicarious experience bagi

perkembangan efikasi diri bawahan (Sivanathan, Arnold, Turner & Barling,

2004). Selain itu, pemimpin seperti ini mampu menginspirasi para pengikut dan

mendesak mereka untuk berpikir kreatif ketika menghadapi suatu masalah. Hal ini

merupakan persuasi verbal bagi perkembangan efikasi diri bawahan. Ketika

pemimpin mampu meningkatkan efikasi diri bawahan melalui vicarious

experience dan persuasi verbal maka para pengikut akan merasa mampu untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing. Sweetman &

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

Luthans (2010) menjelaskan bahwa ketika individu yakin akan kompetensinya

untuk melaksanakan suatu tugas maka ia akan cenderung menjadi khusyuk dan

merasa penuh energi untuk menyelesaikan keseluruhan suatu tugas dibandingkan

terganggu/terdistraksi. Ia juga akan merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas

tersebut (dedikasi). Jadi, seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi pada

suatu pekerjaan tertentu merasa mampu mengerjakan tugas tersebut sehingga ia

akan cenderung menikmatinya dan pada akhirnya ia akan bersemangat dan sulit

dipisahkan dengan pekerjaan tersebut (engaged).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis: “Hubungan antara kepemimpinan transformasional dan

keterikatan kerja dimediasi oleh efikasi diri”.

Adapun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Metode Penelitian

Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Variabel tergantung (Outcome) : Keterikatan Kerja

Efikasi Diri

Keterikatan Kerja Kepemimpinan Transformasional

EFIKASI DIRI SEBAGAI MEDIATOR ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DANKETERIKATAN KERJAgalan dwi kuncoroUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/