39
No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5924), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud …

No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016

S U R A T E D A R A N

Kepada

SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH

DAN UNIT USAHA SYARIAH

DI INDONESIA

Perihal: Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to

Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk

Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio

Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk

Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2016 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5924), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai

rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, rasio Financing to Value untuk

Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan

Kendaraan Bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai

berikut:

I. KETENTUAN UMUM

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:

1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk

kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan

Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana

dimaksud …

Page 2: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

2

dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai

perbankan syariah.

2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang yang mengatur mengenai perbankan.

3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.

4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko

atau Rumah Kantor.

5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat

tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan

dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat,

atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang

berwenang.

6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang

dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian

yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah

horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang

masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat.

7. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut

bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal

sekaligus untuk tujuan komersial antara lain pertokoan,

perkantoran, atau gudang.

8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit

konsumsi yang terdiri atas:

a. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah

Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak,

yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak;

b. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah

Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun,

yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan

c. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Toko

atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun

Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut

KP Ruko atau KP Rukan.

9. Pembiayaan …

Page 3: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

3

9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah

Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas:

a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah

Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah

Tapak, yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak;

b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah

Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah

Susun, yang selanjutnya disebut PP Rusun; dan

c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah

Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi

beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang

selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan.

10. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan

menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan

yang disepakati.

11. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk

pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan

persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau

pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).

12. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad

MMQ adalah Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset

(barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang

disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.

13. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad

IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka

memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau

jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan

kepemilikan barang.

14. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah

dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana

yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

15. Rasio …

Page 4: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

4

15. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah

angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank

terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian

Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini.

16. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV

adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat

diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada

saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini.

17. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya

disebut KKB atau PKB adalah Kredit atau Pembiayaan yang

diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor.

18. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase

tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga kendaraan

bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau

nasabah.

19. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBU

adalah Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai

laporan bulanan bank umum.

20. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya

disingkat LSMK BUS UUS adalah Laporan Stabilitas Moneter

dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit

Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank

Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter

dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit

usaha syariah.

II. PERHITUNGAN KREDIT, PERHITUNGAN PEMBIAYAAN, NILAI

AGUNAN, DAN PENILAIAN AGUNAN

A. Perhitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk Bank Umum

Bank Umum wajib melakukan perhitungan Kredit dan nilai

agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP dengan

ketentuan sebagai berikut:

1. Kredit …

Page 5: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

5

1. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima

oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian

Kredit; dan

2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang

dilakukan penilai intern Bank Umum atau penilai

independen terhadap Properti yang menjadi agunan.

B. Perhitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah

Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib melakukan

perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan

Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang

digunakan, yaitu:

a. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad

Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok

Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah

sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan;

b. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan

berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka

kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam

akad Pembiayaan; dan

c. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan

berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan

deposit sebagaimana tercantum dalam akad

Pembiayaan.

2. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang

dilakukan penilai intern Bank Umum Syariah atau Unit

Usaha Syariah, atau penilai independen terhadap Properti

yang menjadi agunan.

C. Tata Cara Penilaian Agunan

1. Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud pada

butir A. 2 dan butir B. 2 ditetapkan sebagai berikut:

a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon

sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah) …

Page 6: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

6

rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran

yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai

independen; dan

b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di

atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka

nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan

oleh penilai independen.

2. Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada

angka 1 mengacu pada metode dan prinsip-prinsip yang

berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan

oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.

3. Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam

Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Surat Edaran Bank Indonesia ini.

III. RASIO LTV UNTUK KP DAN RASIO FTV UNTUK PP

Bank yang memberikan KP atau PP wajib memenuhi ketentuan

Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:

A. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP

1. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan

Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas

pertama ditetapkan sebagai berikut:

a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas

bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)

paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen);

b. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di

atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan

c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2

(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%

(sembilan puluh persen).

2. Rasio …

Page 7: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

7

2. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan

Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua

ditetapkan sebagai berikut:

a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas

bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)

paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen);

b. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas

bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai

dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 85% (delapan puluh lima persen);

c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di

atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 80% (delapan puluh persen);

d. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2

(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%

(delapan puluh lima persen);

e. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)

paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen);

dan

f. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan

paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen).

3. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan

Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas ketiga

dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:

a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas

bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)

paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);

b. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas

bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai

dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 80% (delapan puluh persen);

c. KP …

Page 8: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

8

c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di

atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);

d. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2

(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%

(delapan puluh persen);

e. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)

paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

f. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan

paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen).

4. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad

IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:

a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%

(sembilan puluh persen);

b. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh

puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%

(sembilan puluh persen); dan

c. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh

dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh

meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan

puluh persen).

5. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad

IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:

a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%

(delapan puluh lima persen);

b. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua

puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh

puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%

(sembilan puluh persen);

c. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh

puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%

(delapan …

Page 9: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

9

(delapan puluh lima persen);

d. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh

dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh

meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan

puluh lima persen);

e. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan

21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi

sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan

f. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 85%

(delapan puluh lima persen).

6. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad

IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan

sebagai berikut:

a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%

(delapan puluh persen);

b. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua

puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh

puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%

(delapan puluh lima persen);

c. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh

puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%

(delapan puluh persen);

d. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh

dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh

meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan

puluh persen);

e. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan

21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi

sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

f. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80%

(delapan puluh persen).

7. Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV

untuk PP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai

dengan angka 6 berlaku bagi Bank yang memenuhi

persyaratan …

Page 10: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

10

persyaratan sebagai berikut:

a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio

Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara

bersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan

b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP

bermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurang

dari 5% (lima persen).

8. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud pada angka 7 maka Bank wajib memenuhi

ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP

sebagai berikut:

a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP

berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’

untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:

1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan

luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter

persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh

persen);

2) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai

dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen).

b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP

berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’

untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:

1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan

luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter

persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh

persen);

2) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan

luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter

persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter

persegi) …

Page 11: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

11

persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh

persen);

3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen);

4) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai

dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen);

5) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter

persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh

persen); dan

6) KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP

Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh

persen).

c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP

berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’

untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan

sebagai berikut:

1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan

luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter

persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh

persen);

2) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan

luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter

persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter

persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh

persen);

3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi sebesar 60% (enam puluh persen);

4) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai

dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling

tinggi …

Page 12: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

12

tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen);

5) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan

sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter

persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh

persen); dan

6) KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP

Rukan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh

persen).

d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan

Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai

berikut:

1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas

70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 85% (delapan puluh lima persen);

2) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

85% (delapan puluh lima persen); dan

3) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua

puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

90% (sembilan puluh persen).

e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan

Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai

berikut:

1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas

70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);

2) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2

(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan

70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 80% (delapan puluh persen);

3) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

75% (tujuh puluh lima persen);

4) PP …

Page 13: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

13

4) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua

puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

80% (delapan puluh persen);

5) PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan

21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi

sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

6) PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80%

(delapan puluh persen).

f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan

Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya

ditetapkan sebagai berikut:

1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas

70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 65% (enam puluh lima persen);

2) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2

(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan

70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi

sebesar 70% (tujuh puluh persen);

3) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

65% (enam puluh lima persen);

4) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua

puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2

(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar

70% (tujuh puluh persen);

5) PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan

21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi

sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan

6) PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 70%

(tujuh puluh persen).

9. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk

pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP dan PP kepada

debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau

nasabah antara lain debitur atau nasabah yang

merupakan …

Page 14: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

14

merupakan karyawan Bank yang bersangkutan.

10. Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP

sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3,

angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 8, Bank wajib

memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima

debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang

sama maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai

berikut:

a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad

PP; dan

b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP

yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali

dari KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah.

B. Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan

Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah

1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau

rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan

sebagaimana dimaksud dalam butir A.7.a dilakukan

sebagai berikut:

a. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit

dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan Kredit

dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D),

dan macet (M) kepada pihak ketiga bukan Bank

setelah dikurangi dengan Cadangan Kerugian

Penurunan Nilai (CKPN) Kredit bermasalah terhadap

total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah

dikurangi dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai

(CKPN) Kredit bermasalah.

Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah

sebagai berikut:

(Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit

kualitas M) - CKPN Kredit bermasalah

x 100% Total Kredit - CKPN Kredit bermasalah

b. Perhitungan …

Page 15: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

15

b. Perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dari total

Pembiayaan dilakukan dengan membagi hasil

penjumlahan Pembiayaan dengan kualitas kurang

lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) kepada

pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi dengan

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)

Pembiayaan bermasalah terhadap total Pembiayaan

kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi

dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)

Pembiayaan bermasalah.

Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah

adalah sebagai berikut:

(Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas

D + Pembiayaan kualitas M) – CKPN

Pembiayaan bermasalah x 100%

Total Pembiayaan – CKPN Pembiayaan

bermasalah

2. Perhitungan rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio

PP bermasalah dari total PP sebagaimana dimaksud dalam

butir A.7.b dilakukan sebagai berikut:

a. Perhitungan rasio KP bermasalah dari total KP

dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan KP

dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D),

dan macet (M) terhadap total KP.

Formula perhitungan rasio KP bermasalah adalah

sebagai berikut:

KP kualitas KL + KP kualitas D + KP kualitas M

x 100% Total KP

b. Perhitungan …

Page 16: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

16

b. Perhitungan rasio PP bermasalah dari total PP

dilakukan sebagai berikut:

1) Membagi hasil penjumlahan PP dengan kualitas

kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M)

terhadap total PP.

2) Pembiayaan yang diperhitungkan sebagaimana

dalam angka 1) adalah pembiayaan yang

menggunakan Akad Murabahah, Akad Istishna’,

Akad MMQ, dan Akad IMBT.

Formula perhitungan rasio PP bermasalah adalah

sebagai berikut:

PP kualitas KL + PP kualitas D + PP kualitas M

x 100% Total PP

3. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah,

perhitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio KP

bermasalah bagi Bank Umum dilakukan secara terpisah

dengan perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan

rasio PP bermasalah bagi Unit Usaha Syariah.

C. Sumber Data, Nilai yang digunakan, dan Laporan Lain

1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan

rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah

dan perhitungan rasio KP bermasalah atau rasio PP

bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK BUS

UUS periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian

Kredit atau akad Pembiayaan ditandatangani.

2. Nilai Kredit bermasalah berasal dari LBU form 11 (Daftar

Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan

nilai dalam bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan

debitur (Kolom IV) dengan sandi pihak ketiga bukan bank

dengan kualitas (Kolom XVII) kurang lancar (KL), diragukan

(D), dan macet (M).

3. Nilai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Kredit

bermasalah untuk Bank Umum berasal dari LBU form 11

(Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil

penjumlahan …

Page 17: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

17

penjumlahan nilai dari Cadangan Kerugian Penurunan

Nilai (CKPN) (Kolom XXVIII.1.a dan XXVIII.1.b) untuk

golongan debitur (Kolom IV) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank dengan kualitas (Kolom XVII) kurang lancar

(KL), diragukan (D), dan macet (M) .

4. Nilai total Kredit berasal dari LBU form 11 (Daftar Rincian

Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai dalam

bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur (Kolom

IV) dengan sandi pihak ketiga bukan bank.

5. Nilai Pembiayaan bermasalah berasal dari LSMK BUS UUS

untuk golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak

ketiga bukan bank yaitu penjumlahan dari:

a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar

Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;

b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar

Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;

c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII B) pada form 12

(Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;

d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13

(Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;

e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII

B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan /

amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian

penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan

ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV

B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa)

untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut:

Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) +

Tunggakan Pokok;

dan

f. jumlah bulan laporan (Kolom XI B) pada form 18

(Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam;

dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan

macet (M).

6. Nilai …

Page 18: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

18

6. Nilai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)

Pembiayaan bermasalah untuk Bank Umum Syariah dan

Unit Usaha Syariah berasal dari LSMK BUS UUS untuk

golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu penjumlahan dari:

a. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom

XXVI) pada form 10 (Daftar Rincian Piutang

Murabahah) untuk Akad Murabahah;

b. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom

XXV) pada form 11 (Daftar Rincian Piutang Istishna’)

untuk Akad Istishna’;

c. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom

XXIII) pada form 12 (Daftar Rincian Piutang Qardh)

untuk Akad Qardh;

d. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom

XXVII) pada form 13 (Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk

akad bagi hasil; dan

e. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom

XXVIII) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan

Sewa) untuk akad sewa;

dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan

macet (M).

7. Nilai total Pembiayaan berasal dari LSMK BUS UUS untuk

golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu penjumlahan dari:

a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar

Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;

b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar

Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;

c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII B) pada form 12

(Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;

d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13

(Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;

e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII

B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan /

amortisasi …

Page 19: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

19

amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian

penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan

ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV

B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa)

untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut:

Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) +

Tunggakan Pokok;

dan

f. jumlah bulan laporan (Kolom XI B) pada form 18

(Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam.

8. Dalam hal LBU dan LSMK BUS UUS belum dapat

memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung

rasio KP bermasalah dan rasio PP bermasalah sebagaimana

dimaksud dalam angka 1, Bank wajib menyampaikan

laporan lain berupa laporan KP dan KKB serta laporan PP

kepada Bank Indonesia melalui media email sampai

dengan batas waktu yang ditetapkan.

9. Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan

sebagaimana dimaksud pada angka 8, akan disampaikan

Bank Indonesia melalui surat pemberitahuan.

10. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka

8 diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Periode penyampaian laporan:

1) Untuk laporan bulan berjalan diserahkan paling

lambat tanggal 20 bulan berikutnya;

2) Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka

Bank menyampaikan laporan pada hari kerja

berikutnya;

b. Laporan KP dan KKB serta laporan PP menggunakan

format standar dan petunjuk pengisian untuk laporan

tersebut mengacu pada Lampiran II yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank

Indonesia ini;

c. Laporan …

Page 20: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

20

c. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b

menggunakan template yang telah disediakan dalam

situs web Bank Indonesia;

d. Laporan KP dan KKB atau laporan PP disampaikan

kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan

dan Kepatuhan Laporan. Untuk Bank yang berkantor

pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank

Indonesia, laporan KP dan KKB atau laporan PP juga

ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank

Indonesia setempat;

e. Bank mengirimkan laporan KP dan KKB atau laporan

PP kepada Bank Indonesia melalui email setiap bulan

dengan subjek email disamakan dengan nama file

sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat

Edaran Bank Indonesia ini;

f. Penyampaian laporan KP dan KKB atau laporan PP

kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan tembusan

kepada Kantor Perwakilan dilakukan melalui email

sesuai dengan daftar alamat email penyampaian

laporan KP dan KKB atau laporan PP sebagaimana

tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia

ini;

g. Dalam hal penyampaian laporan KP dan KKB atau

laporan PP melalui email tidak dapat dilakukan, Bank

menyampaikan laporan dalam bentuk soft copy dan

hard copy kepada:

Bank Indonesia

c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan

Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1

Jalan M. H. Thamrin No. 2

Jakarta 10350.

Untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah

kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, tembusan laporan

KP …

Page 21: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

21

KP dan KKB atau laporan PP dalam bentuk soft copy

dan hard copy juga disampaikan kepada Kantor

Perwakilan Bank Indonesia setempat;

h. Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana

dimaksud dalam huruf g mengikuti ketentuan

sebagaimana diatur dalam huruf a; dan

i. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai

nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk

untuk menyusun dan menyampaikan laporan KP dan

KKB atau laporan PP, serta alamat email pengirim

laporan, termasuk apabila terdapat perubahannya

kepada:

1) Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan

Kepatuhan Laporan;

2) Untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah

kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, nama

petugas dan penanggungjawab serta alamat email

pengirim laporan yang ditunjuk Bank juga

ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank

Indonesia setempat.

D. Kewajiban Administratif

Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank

wajib:

1. Memperlakukan debitur dan suami atau istrinya, atau

nasabah dan suami atau istrinya menjadi 1 (satu) debitur

atau nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta

yang dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan

atau dilegalisir oleh notaris;

2. Meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah

yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP

dan/atau PP yang masih berjalan (outstanding) termasuk

informasi mengenai Kredit tambahan (top up) atau

Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau

Pembiayaan yang tidak lancar, KP atau PP dengan

mengambil alih (take over) yang disertai Kredit tambahan

(top …

Page 22: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

22

(top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit

atau Pembiayaan yang tidak lancar, dan/atau yang sedang

dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank

yang sama maupun pada Bank yang lain; dan

3. Menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan

apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia

menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud

dalam angka 2.

E. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV untuk KP atau

Rasio FTV untuk PP

Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau

Rasio FTV untuk PP tercantum dalam Lampiran IV yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank

Indonesia ini.

IV. RASIO LTV UNTUK KREDIT TAMBAHAN (TOP UP) ATAU RASIO FTV

UNTUK PEMBIAYAAN BARU BERDASARKAN PROPERTI YANG

MASIH MENJADI AGUNAN DARI KP ATAU PP SEBELUMNYA DAN KP

ATAU PP YANG DIAMBIL ALIH (TAKE OVER)

A. Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan

Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP

Sebelumnya

Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau

Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi

agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi

ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai

berikut:

1. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum menggunakan

Rasio LTV KP yang sama sepanjang KP tersebut memiliki

kualitas lancar;

2. Pemberian Pembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah

atau Unit Usaha Syariah yang merupakan tambahan dari

pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP

sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut

memiliki …

Page 23: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

23

memiliki agunan sama dan Pembiayaan sebelumnya

memiliki kualitas lancar;

3. Rasio LTV KP yang sama sebagaimana dimaksud dalam

angka 1 dan Rasio FTV PP sebelumnya sebagaimana

dimaksud dalam angka 2 mengacu pada Rasio LTV KP atau

Rasio FTV PP yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit atau

Pembiayaan awal sebagaimana dimaksud dalam butir III.

A;

4. Dalam hal KP tidak memenuhi kualitas lancar

sebagaimana dimaksud pada angka 1 atau PP tidak

memenuhi kualitas lancar sebagaimana dimaksud pada

angka 2 maka Kredit tambahan (top up) menggunakan

Rasio LTV KP sebagaimana Kredit baru, atau Pembiayaan

baru yang merupakan tambahan dari pembiayaan

sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebagaimana

Pembiayaan baru;

5. Yang dimaksud dengan diperlakukan sebagai Kredit atau

Pembiayaan baru adalah tambahan Kredit atau

Pembiayaan tersebut diperhitungkan sebagai fasilitas KP

atau PP yang berikutnya dengan penentuan urutan

fasilitas sebagaimana butir III.A.10;

6. Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up)

sebagaimana dimaksud pada angka 4 maka dalam

menetapkan Rasio LTV untuk Kredit selanjutnya, Bank

memperhitungkan Kredit awal dan Kredit tambahan (top

up) dimaksud sebagai 2 (dua) fasilitas;

7. Rasio LTV untuk KP dalam rangka Kredit tambahan (top

up) atau Rasio FTV untuk PP dalam rangka Pembiayaan

baru sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka

3, angka 4, dan angka 6 mengacu pada Rasio LTV atau

Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1

sampai dengan butir III.A.6 dan butir III.A.8;

8. Jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru

yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah

baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang

menggunakan …

Page 24: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

24

menggunakan agunan yang sama;

9. Mekanisme Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan

baru sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan

angka 4 mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh

otoritas yang berwenang.

B. KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over)

Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil

alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib

memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP

atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan

sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau

2. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan

mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain,

dengan tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan

baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih

(take over) KP atau PP dari Bank lain mengacu pada

ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf A.

3. Mekanisme pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (take

over) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2

mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas

yang berwenang.

C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV untuk Kredit

Tambahan (Top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan Baru dan

Pengambilalihan KP atau PP (Take Over)

Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit

tambahan (top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan

pengambilalihan KP atau PP (take over), tercantum dalam

Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Surat Edaran Bank Indonesia ini.

V. KP …

Page 25: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

25

V. KP ATAU PP UNTUK PEMILIKAN PROPERTI YANG BELUM

TERSEDIA SECARA UTUH

A. Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum

Tersedia Secara Utuh

1. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan

Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank wajib

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau PP

sampai dengan urutan fasilitas kedua dengan

penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan

sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.10;

b. Terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan

pengembang yang paling kurang memuat

kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan

Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan

debitur atau nasabah; dan

c. Terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang

kepada Bank baik yang berasal dari pengembang

sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan kewajiban pengembang apabila

Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat

diserahterimakan sesuai perjanjian, dengan ketentuan

sebagai berikut:

1) jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada

Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak,

bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau

dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam

escrow account di Bank pemberi Kredit atau

Pembiayaan;

2) dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam

escrow account di Bank pemberi Kredit atau

Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka

1) adalah dana yang ditahan di Bank atas nama

pengembang yang digunakan untuk

menyelesaikan pembangunan Properti;

3) Jaminan …

Page 26: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

26

3) Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat

berbentuk corporate guarantee, stand by letter of

credit, atau bank guarantee;

4) nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang

dan/atau pihak lain paling kurang sebesar selisih

antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan

pencairan yang telah dilakukan oleh Bank; dan

5) Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan

dapat dieksekusi dalam hal pengembang tidak

dapat menyelesaikan kewajibannya, yang paling

kurang tertuang dalam perjanjian kerjasama

antara pengembang dengan Bank.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 juga

berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP dengan

mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain

sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.

B. Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang

Belum Tersedia Secara Utuh

1. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP sebagaimana

dimaksud dalam huruf A maka Bank wajib melakukan

pencairan KP atau PP secara bertahap sesuai

perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.

2. Tahapan pencairan KP atau PP sebagaimana dimaksud

pada angka 1, diatur sebagai berikut:

a. Untuk KP atau PP untuk Rumah Tapak, Rumah Toko

atau Rumah Kantor, ditetapkan paling tinggi sebesar:

1) 40% (empat puluh persen) dari plafon setelah

penyelesaian fondasi;

2) 80% (delapan puluh persen) dari plafon setelah

penyelesaian tutup atap;

3) 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah

penandatanganan Berita Acara Serah Terima

(BAST); dan

4) 100% (seratus persen) dari plafon setelah

penandatanganan Berita Acara Serah Terima

(BAST) …

Page 27: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

27

(BAST) yang telah dilengkapi dengan Akta Jual

Beli (AJB) dan Akta Pembebanan Hak

Tanggungan (APHT) atau Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

b. Untuk KP atau PP untuk Rumah Susun, ditetapkan

paling tinggi sebesar:

1) 40% (empat puluh persen) dari plafon setelah

penyelesaian fondasi;

2) 70% (tujuh puluh persen) dari plafon setelah

penyelesaian tutup atap;

3) 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah

penandatanganan Berita Acara Serah Terima

(BAST); dan

4) 100% (seratus puluh persen) dari plafon setelah

penandatanganan Berita Acara Serah Terima

(BAST) yang dilengkapi dengan Akta Jual Beli

(AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggunan

(APHT) atau Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT).

3. Untuk tahapan pencairan KP Rusun atau PP Rusun, Bank

dapat melakukan pencairan tambahan diantara

penyelesaian fondasi dan sebelum penyelesaian tutup atap

sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.1) dan butir 2.b.2)

berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan.

4. Besaran persentase pencairan tambahan sebagaimana

dimaksud pada angka 3 diserahkan kepada Bank sesuai

dengan kebijakan manajemen risiko Bank dengan tetap

memperhatikan prinsip kehati-hatian.

5. Pencairan bertahap sebagaimana dimaksud pada angka 1

didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan

Properti yang berasal dari:

a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern

Bank; atau

b. penilai independen.

6. Bank …

Page 28: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

28

6. Bank harus memiliki pedoman internal terkait spesifikasi

teknis penyelesaian fondasi dan tutup atap baik untuk

Rumah Tapak, Rumah Toko atau Rumah Kantor, dan

Rumah Susun, sebagaimana dimaksud pada angka 2

dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

7. Penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana

dimaksud pada angka 3 diatur sebagai berikut:

a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon

sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah), didasarkan atas laporan perkembangan

pembangunan Properti yang berasal dari:

1) pengembang dengan verifikasi dari penilai intern

Bank; atau

2) penilai independen; dan

b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di

atas Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),

didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan

Properti yang berasal dari penilai independen.

C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV

untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh

Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV

untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh

tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.

VI. UANG MUKA DALAM RANGKA KKB ATAU PKB

A. Uang Muka KKB atau PKB

1. Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi

ketentuan Uang Muka sebagai berikut:

a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling

rendah sebesar 20% (dua puluh persen);

b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau

lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling

rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) merupakan …

Page 29: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

29

1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk

angkutan orang atau barang yang dikeluarkan

oleh pihak berwenang; atau

2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum

yang memiliki izin usaha tertentu yang

dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan

untuk mendukung kegiatan operasional dari

usaha yang dimilikinya; dan

c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau

lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 25%

(dua puluh lima persen).

2. Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud

dalam angka 1 berlaku bagi Bank yang memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio

Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara

bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan

b. rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB

bermasalah dari total PKB secara bruto (gross) kurang

dari 5% (lima persen).

3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam angka 2 maka Bank wajib memenuhi

ketentuan Uang Muka sebagai berikut:

a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling

rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen);

b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau

lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling

rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk

angkutan orang atau barang yang dikeluarkan

oleh pihak berwenang; atau

2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum

yang memiliki izin usaha tertentu yang

dikeluarkan …

Page 30: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

30

dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan

untuk mendukung kegiatan operasional dari

usaha yang dimilikinya; dan

c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau

lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 30%

(tiga puluh persen).

B. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk

pemenuhan Uang Muka dalam rangka KKB dan PKB kepada

debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau

nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan

karyawan Bank yang bersangkutan.

C. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan

Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB

Bermasalah

1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dilakukan dengan

membagi hasil penjumlahan Kredit dengan kualitas kurang

lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) kepada pihak

ketiga bukan Bank terhadap total Kredit kepada pihak

ketiga bukan Bank.

Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah

sebagai berikut:

Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit

kualitas M

x 100%

Total Kredit

2. Perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dilakukan

dengan membagi hasil penjumlahan Pembiayaan dengan

kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M)

kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total

Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank.

Formula …

Page 31: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

31

Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah adalah

sebagai berikut:

Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas D +

Pembiayaan kualitas M

x 100% Total Pembiayaan

3. Perhitungan rasio KKB bermasalah dari total KKB

dilakukan dengan membagi jumlah KKB dengan kualitas

kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap

total KKB.

Formula perhitungan rasio KKB bermasalah adalah sebagai

berikut:

KKB kualitas KL + KKB kualitas D + KKB kualitas M

x 100% Total KKB

4. Perhitungan rasio PKB bermasalah dari total PKB

dilakukan dengan membagi jumlah PKB dengan kualitas

kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap

total PKB.

Formula perhitungan rasio PKB bermasalah adalah sebagai

berikut:

PKB kualitas KL + PKB kualitas D + PKB kualitas M x 100%

Total PKB

D. Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan

1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan

rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah

dan perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB

bermasalah dilakukan berdasarkan:

a. LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan

sebelum tanggal perjanjian Kredit atau akad

Pembiayaan ditandatangani; atau

b. Laporan lain berupa laporan KP dan KKB, dalam hal

LBU belum dapat menyediakan komponen

perhitungan rasio KKB bermasalah.

2. Laporan …

Page 32: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

32

2. Laporan KP dan KKB sebagaimana dimaksud dalam butir

1.b wajib disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Penyampaian laporan KP dan KKB mengacu pada

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir

III.C.10.

b. Penyampaian laporan KP dan KKB dilakukan sampai

dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

c. Penetapan batas waktu penghentian penyampaian

laporan KP dan KKB, disampaikan oleh Bank

Indonesia melalui surat pemberitahuan.

3. Perhitungan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit

mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

butir III.C.2 dan butir III.C.4.

4. Perhitungan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total

Pembiayaan mengacu pada ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam butir III.C.5 dan butir III.C.7.

5. Nilai PKB bermasalah dan PKB untuk Bank Umum Syariah

dan Unit Usaha Syariah diatur dengan ketentuan sebagai

berikut:

a. Nilai PKB bermasalah berasal dari hasil penjumlahan

angka dalam:

1) form 10 untuk Akad Murabahah, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga

pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi

(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan

002900 untuk kualitas (Kolom XXIV) kurang

lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);

2) form 11 untuk Akad Istishna’, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga

pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi

(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan

002900 …

Page 33: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

33

002900 untuk kualitas (Kolom XXIII) kurang

lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) ;

3) form 12 untuk Akad Qardh, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah

bulan laporan (Kolom XVIII B) dengan sektor

ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,

002300, dan 002900 untuk kualitas (Kolom XXI)

kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);

4) form 13 untuk akad bagi hasil, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah

bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor

ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,

002300, dan 002900 untuk kualitas (Kolom XXV)

kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);

dan

5) form 14 untuk akad sewa, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan dari harga

perolehan (Kolom XVII B.3) dikurangi dengan

akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII)

dan cadangan kerugian penurunan nilai aset

ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan

tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan

formula sebagai berikut:

Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/

Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai

Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok

Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor

ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor

002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk

kualitas (Kolom XXVI) kurang lancar (KL),

diragukan (D), dan macet (M).

b. Nilai …

Page 34: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

34

b. Nilai PKB berasal dari hasil penjumlahan angka

dalam:

1) form 10 untuk Akad Murabahah, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga

pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi (Kolom

XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900;

2) form 11 untuk Akad Istishna’, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga

pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi

(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan

002900;

3) form 12 untuk Akad Qardh, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah

bulan laporan (Kolom XVIII B) dengan sektor

ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,

002300, dan 002900;

4) form 13 untuk akad bagi hasil, pada golongan

nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga

bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah

bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor

ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,

002300, dan 002900; dan

5) form 14 untuk akad sewa, pada golongan nasabah

(Kolom II) dengan sandi pihak ketiga bukan bank

yaitu hasil penjumlahan dari harga perolehan

(Kolom XVII B.3) dikurangi dengan akumulasi

penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan

cadangan kerugian penurunan nilai aset ijarah

(Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan

tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula

sebagai berikut:

Harga …

Page 35: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

35

Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/

Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai

Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok

Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor

ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor

002100, 002200, 002300, dan 002900.

c. Sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900

sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b

mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan

sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan

unit usaha syariah, yaitu sebagai berikut:

Sandi Sektor Sektor

002100 Rumah Tangga untuk Pemilikan Mobil Roda Empat

002200 Rumah Tangga untuk Pemilikan Sepeda Bermotor

002300

Rumah Tangga untuk Pemilikan Truk dan

Kendaraan Bermotor Roda Enam atau lebih

002900

Rumah Tangga untuk Pemilikan Kendaraan

Bermotor lainnya

6. Contoh Perhitungan dan Penetapan Uang Muka KKB atau

PKB tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank

Indonesia ini.

VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI

A. Bank yang melanggar Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan ayat

(2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9

ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),

Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 18,

Pasal 19 ayat (4), dan/atau Pasal 20 dalam Peraturan Bank

Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value

untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk

Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau

Pembiayaan Kendaraan Bermotor dikenakan sanksi

administratif berupa teguran tertulis.

B. Bank …

Page 36: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

36

B. Bank yang melanggar Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 18,

dan Pasal 20 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit

Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,

dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan

Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana

dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban

membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon

Kredit yang diberikan dengan plafon Kredit yang seharusnya

atau plafon Pembiayaan yang diberikan dengan plafon

Pembiayaan yang seharusnya, dengan formula sebagai berikut:

1% x (plafon KP atau plafon PP yang diberikan – plafon KP atau

plafon PP yang seharusnya)

C. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit

Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,

dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan

Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana

dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban

membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau

Pembiayaan Uang Muka, dengan formula sebagai berikut:

1% x (plafon Kredit atau plafon Pembiayaan Uang Muka)

D. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 15 ayat (2) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit

Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,

dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan

Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana

dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban

membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon KP dan PP,

dengan formula sebagai berikut:

1% x (plafon KP atau PP)

E. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 24 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 …

Page 37: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

37

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit

Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,

dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan

Bermotor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%

(satu persen) per bulan dari plafon kredit untuk setiap Kredit

yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap

Pembiayaan yang melanggar ketentuan, dengan formula sebagai

berikut:

1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan;

atau

1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar

ketentuan.

Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode

paling lama 12 (dua belas) bulan.

F. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 24 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit

Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,

dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan

Bermotor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%

(satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit

yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap

Pembiayaan yang melanggar ketentuan, dengan formula sebagai

berikut:

1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan;

atau

1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar

ketentuan.

Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode

paling lama 12 (dua belas) bulan.

G. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud

pada huruf E dan huruf F tidak menghilangkan kewajiban Bank

untuk menyampaikan dan melaksanakan rencana perubahan

(action plan).

H. Bank …

Page 38: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

38

H. Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar

kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada

Bank Indonesia.

I. Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Bank,

maka surat pengenaan sanksi ditembuskan kepada Otoritas

Jasa Keuangan.

J. Contoh perhitungan sanksi kewajiban membayar tercantum

dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan

dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.

VIII. PENUTUP

Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 17/25/DKMP tanggal 12 Oktober

2015 perihal Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value

untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit

atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6

September 2016.

Agar …

Page 39: No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 SURATEDARAN

39

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman

Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita

Negara Republik Indonesia.

Demikian agar Saudara maklum.

BANK INDONESIA,

FILIANINGSIH HENDARTA

KEPALA DEPARTEMEN

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL