Upload
tranlien
View
222
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to
Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5924), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai
rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan
Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud …
2
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko
atau Rumah Kantor.
5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan
dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat,
atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang.
6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian
yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah
horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat.
7. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut
bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal
sekaligus untuk tujuan komersial antara lain pertokoan,
perkantoran, atau gudang.
8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit
konsumsi yang terdiri atas:
a. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak,
yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak;
b. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun,
yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan
c. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Toko
atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun
Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut
KP Ruko atau KP Rukan.
9. Pembiayaan …
3
9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah
Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas:
a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Tapak, yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak;
b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Susun, yang selanjutnya disebut PP Rusun; dan
c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi
beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang
selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan.
10. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan
yang disepakati.
11. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau
pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
12. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad
MMQ adalah Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset
(barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.
13. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad
IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau
jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
14. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
15. Rasio …
4
15. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah
angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian
Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini.
16. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV
adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat
diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada
saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini.
17. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disebut KKB atau PKB adalah Kredit atau Pembiayaan yang
diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor.
18. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase
tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga kendaraan
bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau
nasabah.
19. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBU
adalah Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan bulanan bank umum.
20. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya
disingkat LSMK BUS UUS adalah Laporan Stabilitas Moneter
dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter
dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
II. PERHITUNGAN KREDIT, PERHITUNGAN PEMBIAYAAN, NILAI
AGUNAN, DAN PENILAIAN AGUNAN
A. Perhitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk Bank Umum
Bank Umum wajib melakukan perhitungan Kredit dan nilai
agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Kredit …
5
1. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima
oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian
Kredit; dan
2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank Umum atau penilai
independen terhadap Properti yang menjadi agunan.
B. Perhitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib melakukan
perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan
Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan, yaitu:
a. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad
Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok
Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah
sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan;
b. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka
kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan; dan
c. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan
deposit sebagaimana tercantum dalam akad
Pembiayaan.
2. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang
dilakukan penilai intern Bank Umum Syariah atau Unit
Usaha Syariah, atau penilai independen terhadap Properti
yang menjadi agunan.
C. Tata Cara Penilaian Agunan
1. Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud pada
butir A. 2 dan butir B. 2 ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) …
6
rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran
yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai
independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di
atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka
nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan
oleh penilai independen.
2. Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
angka 1 mengacu pada metode dan prinsip-prinsip yang
berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan
oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
3. Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
III. RASIO LTV UNTUK KP DAN RASIO FTV UNTUK PP
Bank yang memberikan KP atau PP wajib memenuhi ketentuan
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
A. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
1. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas
pertama ditetapkan sebagai berikut:
a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
b. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan
c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%
(sembilan puluh persen).
2. Rasio …
7
2. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua
ditetapkan sebagai berikut:
a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen);
b. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
d. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen);
e. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
dan
f. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen).
3. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas ketiga
dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:
a. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
b. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
c. KP …
8
c. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
d. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen);
e. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
f. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen).
4. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%
(sembilan puluh persen);
b. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%
(sembilan puluh persen); dan
c. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan
puluh persen).
5. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen);
b. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90%
(sembilan puluh persen);
c. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan …
9
(delapan puluh lima persen);
d. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan
puluh lima persen);
e. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan
f. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen).
6. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
a. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen);
b. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen);
c. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen);
d. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh
dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
e. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
f. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen).
7. Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai
dengan angka 6 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan …
10
persyaratan sebagai berikut:
a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio
Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara
bersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan
b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP
bermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurang
dari 5% (lima persen).
8. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada angka 7 maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen);
2) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen).
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
2) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) …
11
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen);
3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen);
4) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen);
5) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen); dan
6) KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen).
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh
persen);
2) KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
3) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi sebesar 60% (enam puluh persen);
4) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling
tinggi …
12
tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen);
5) KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen); dan
6) KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen).
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai
berikut:
1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
2) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
85% (delapan puluh lima persen); dan
3) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
90% (sembilan puluh persen).
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai
berikut:
1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
2) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
3) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
75% (tujuh puluh lima persen);
4) PP …
13
4) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
80% (delapan puluh persen);
5) PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
6) PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen).
f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 65% (enam puluh lima persen);
2) PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 70% (tujuh puluh persen);
3) PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
65% (enam puluh lima persen);
4) PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar
70% (tujuh puluh persen);
5) PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
6) PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 70%
(tujuh puluh persen).
9. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk
pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP dan PP kepada
debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau
nasabah antara lain debitur atau nasabah yang
merupakan …
14
merupakan karyawan Bank yang bersangkutan.
10. Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP
sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3,
angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 8, Bank wajib
memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima
debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang
sama maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad
PP; dan
b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP
yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali
dari KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah.
B. Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah
1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau
rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam butir A.7.a dilakukan
sebagai berikut:
a. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit
dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan Kredit
dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D),
dan macet (M) kepada pihak ketiga bukan Bank
setelah dikurangi dengan Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai (CKPN) Kredit bermasalah terhadap
total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah
dikurangi dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN) Kredit bermasalah.
Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah
sebagai berikut:
(Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit
kualitas M) - CKPN Kredit bermasalah
x 100% Total Kredit - CKPN Kredit bermasalah
b. Perhitungan …
15
b. Perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dari total
Pembiayaan dilakukan dengan membagi hasil
penjumlahan Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) kepada
pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi dengan
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Pembiayaan bermasalah terhadap total Pembiayaan
kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi
dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Pembiayaan bermasalah.
Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah
adalah sebagai berikut:
(Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas
D + Pembiayaan kualitas M) – CKPN
Pembiayaan bermasalah x 100%
Total Pembiayaan – CKPN Pembiayaan
bermasalah
2. Perhitungan rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio
PP bermasalah dari total PP sebagaimana dimaksud dalam
butir A.7.b dilakukan sebagai berikut:
a. Perhitungan rasio KP bermasalah dari total KP
dilakukan dengan membagi hasil penjumlahan KP
dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D),
dan macet (M) terhadap total KP.
Formula perhitungan rasio KP bermasalah adalah
sebagai berikut:
KP kualitas KL + KP kualitas D + KP kualitas M
x 100% Total KP
b. Perhitungan …
16
b. Perhitungan rasio PP bermasalah dari total PP
dilakukan sebagai berikut:
1) Membagi hasil penjumlahan PP dengan kualitas
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M)
terhadap total PP.
2) Pembiayaan yang diperhitungkan sebagaimana
dalam angka 1) adalah pembiayaan yang
menggunakan Akad Murabahah, Akad Istishna’,
Akad MMQ, dan Akad IMBT.
Formula perhitungan rasio PP bermasalah adalah
sebagai berikut:
PP kualitas KL + PP kualitas D + PP kualitas M
x 100% Total PP
3. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah,
perhitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio KP
bermasalah bagi Bank Umum dilakukan secara terpisah
dengan perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan
rasio PP bermasalah bagi Unit Usaha Syariah.
C. Sumber Data, Nilai yang digunakan, dan Laporan Lain
1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah
dan perhitungan rasio KP bermasalah atau rasio PP
bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK BUS
UUS periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian
Kredit atau akad Pembiayaan ditandatangani.
2. Nilai Kredit bermasalah berasal dari LBU form 11 (Daftar
Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan
nilai dalam bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan
debitur (Kolom IV) dengan sandi pihak ketiga bukan bank
dengan kualitas (Kolom XVII) kurang lancar (KL), diragukan
(D), dan macet (M).
3. Nilai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Kredit
bermasalah untuk Bank Umum berasal dari LBU form 11
(Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil
penjumlahan …
17
penjumlahan nilai dari Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai (CKPN) (Kolom XXVIII.1.a dan XXVIII.1.b) untuk
golongan debitur (Kolom IV) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank dengan kualitas (Kolom XVII) kurang lancar
(KL), diragukan (D), dan macet (M) .
4. Nilai total Kredit berasal dari LBU form 11 (Daftar Rincian
Kredit Yang Diberikan) yaitu hasil penjumlahan nilai dalam
bulan laporan (Kolom XXIV) untuk golongan debitur (Kolom
IV) dengan sandi pihak ketiga bukan bank.
5. Nilai Pembiayaan bermasalah berasal dari LSMK BUS UUS
untuk golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak
ketiga bukan bank yaitu penjumlahan dari:
a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar
Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;
b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar
Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;
c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII B) pada form 12
(Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;
d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13
(Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;
e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII
B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan /
amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian
penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan
ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV
B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa)
untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) +
Tunggakan Pokok;
dan
f. jumlah bulan laporan (Kolom XI B) pada form 18
(Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam;
dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan
macet (M).
6. Nilai …
18
6. Nilai Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Pembiayaan bermasalah untuk Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah berasal dari LSMK BUS UUS untuk
golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu penjumlahan dari:
a. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom
XXVI) pada form 10 (Daftar Rincian Piutang
Murabahah) untuk Akad Murabahah;
b. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom
XXV) pada form 11 (Daftar Rincian Piutang Istishna’)
untuk Akad Istishna’;
c. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom
XXIII) pada form 12 (Daftar Rincian Piutang Qardh)
untuk Akad Qardh;
d. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom
XXVII) pada form 13 (Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk
akad bagi hasil; dan
e. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) (Kolom
XXVIII) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan
Sewa) untuk akad sewa;
dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan
macet (M).
7. Nilai total Pembiayaan berasal dari LSMK BUS UUS untuk
golongan nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu penjumlahan dari:
a. saldo harga pokok (Kolom XIX) pada form 10 (Daftar
Rincian Piutang Murabahah) untuk Akad Murabahah;
b. saldo harga pokok (Kolom XVIII) pada form 11 (Daftar
Rincian Piutang Istishna’) untuk Akad Istishna’;
c. jumlah bulan laporan (Kolom XVIII B) pada form 12
(Daftar Rincian Piutang Qardh) untuk Akad Qardh;
d. jumlah bulan laporan (Kolom XXI B) pada form 13
(Daftar Rincian Bagi Hasil) untuk akad bagi hasil;
e. hasil penjumlahan dari harga perolehan (Kolom XVII
B. 3) dikurangi dengan akumulasi penyusutan /
amortisasi …
19
amortisasi (Kolom XXII) dan cadangan kerugian
penurunan nilai aset Ijarah (Kolom XXIII) dan
ditambahkan dengan tunggakan pokok (Kolom XXIV
B) pada form 14 (Daftar Rincian Pembiayaan Sewa)
untuk akad sewa, dengan formula sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/Amortisasi +
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Ijarah) +
Tunggakan Pokok;
dan
f. jumlah bulan laporan (Kolom XI B) pada form 18
(Daftar Rincian Pembiayaan Salam) untuk akad salam.
8. Dalam hal LBU dan LSMK BUS UUS belum dapat
memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung
rasio KP bermasalah dan rasio PP bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, Bank wajib menyampaikan
laporan lain berupa laporan KP dan KKB serta laporan PP
kepada Bank Indonesia melalui media email sampai
dengan batas waktu yang ditetapkan.
9. Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada angka 8, akan disampaikan
Bank Indonesia melalui surat pemberitahuan.
10. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka
8 diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Periode penyampaian laporan:
1) Untuk laporan bulan berjalan diserahkan paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
2) Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka
Bank menyampaikan laporan pada hari kerja
berikutnya;
b. Laporan KP dan KKB serta laporan PP menggunakan
format standar dan petunjuk pengisian untuk laporan
tersebut mengacu pada Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini;
c. Laporan …
20
c. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b
menggunakan template yang telah disediakan dalam
situs web Bank Indonesia;
d. Laporan KP dan KKB atau laporan PP disampaikan
kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan. Untuk Bank yang berkantor
pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia, laporan KP dan KKB atau laporan PP juga
ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat;
e. Bank mengirimkan laporan KP dan KKB atau laporan
PP kepada Bank Indonesia melalui email setiap bulan
dengan subjek email disamakan dengan nama file
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini;
f. Penyampaian laporan KP dan KKB atau laporan PP
kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan tembusan
kepada Kantor Perwakilan dilakukan melalui email
sesuai dengan daftar alamat email penyampaian
laporan KP dan KKB atau laporan PP sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini;
g. Dalam hal penyampaian laporan KP dan KKB atau
laporan PP melalui email tidak dapat dilakukan, Bank
menyampaikan laporan dalam bentuk soft copy dan
hard copy kepada:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
Untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, tembusan laporan
KP …
21
KP dan KKB atau laporan PP dalam bentuk soft copy
dan hard copy juga disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
h. Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam huruf g mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam huruf a; dan
i. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai
nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan laporan KP dan
KKB atau laporan PP, serta alamat email pengirim
laporan, termasuk apabila terdapat perubahannya
kepada:
1) Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan;
2) Untuk Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, nama
petugas dan penanggungjawab serta alamat email
pengirim laporan yang ditunjuk Bank juga
ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat.
D. Kewajiban Administratif
Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank
wajib:
1. Memperlakukan debitur dan suami atau istrinya, atau
nasabah dan suami atau istrinya menjadi 1 (satu) debitur
atau nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta
yang dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan
atau dilegalisir oleh notaris;
2. Meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah
yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP
dan/atau PP yang masih berjalan (outstanding) termasuk
informasi mengenai Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau
Pembiayaan yang tidak lancar, KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) yang disertai Kredit tambahan
(top …
22
(top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit
atau Pembiayaan yang tidak lancar, dan/atau yang sedang
dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank
yang sama maupun pada Bank yang lain; dan
3. Menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan
apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud
dalam angka 2.
E. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV untuk KP atau
Rasio FTV untuk PP
Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau
Rasio FTV untuk PP tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
IV. RASIO LTV UNTUK KREDIT TAMBAHAN (TOP UP) ATAU RASIO FTV
UNTUK PEMBIAYAAN BARU BERDASARKAN PROPERTI YANG
MASIH MENJADI AGUNAN DARI KP ATAU PP SEBELUMNYA DAN KP
ATAU PP YANG DIAMBIL ALIH (TAKE OVER)
A. Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan
Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP
Sebelumnya
Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi
agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi
ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai
berikut:
1. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum menggunakan
Rasio LTV KP yang sama sepanjang KP tersebut memiliki
kualitas lancar;
2. Pemberian Pembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah
atau Unit Usaha Syariah yang merupakan tambahan dari
pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP
sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut
memiliki …
23
memiliki agunan sama dan Pembiayaan sebelumnya
memiliki kualitas lancar;
3. Rasio LTV KP yang sama sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dan Rasio FTV PP sebelumnya sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 mengacu pada Rasio LTV KP atau
Rasio FTV PP yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit atau
Pembiayaan awal sebagaimana dimaksud dalam butir III.
A;
4. Dalam hal KP tidak memenuhi kualitas lancar
sebagaimana dimaksud pada angka 1 atau PP tidak
memenuhi kualitas lancar sebagaimana dimaksud pada
angka 2 maka Kredit tambahan (top up) menggunakan
Rasio LTV KP sebagaimana Kredit baru, atau Pembiayaan
baru yang merupakan tambahan dari pembiayaan
sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebagaimana
Pembiayaan baru;
5. Yang dimaksud dengan diperlakukan sebagai Kredit atau
Pembiayaan baru adalah tambahan Kredit atau
Pembiayaan tersebut diperhitungkan sebagai fasilitas KP
atau PP yang berikutnya dengan penentuan urutan
fasilitas sebagaimana butir III.A.10;
6. Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up)
sebagaimana dimaksud pada angka 4 maka dalam
menetapkan Rasio LTV untuk Kredit selanjutnya, Bank
memperhitungkan Kredit awal dan Kredit tambahan (top
up) dimaksud sebagai 2 (dua) fasilitas;
7. Rasio LTV untuk KP dalam rangka Kredit tambahan (top
up) atau Rasio FTV untuk PP dalam rangka Pembiayaan
baru sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka
3, angka 4, dan angka 6 mengacu pada Rasio LTV atau
Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1
sampai dengan butir III.A.6 dan butir III.A.8;
8. Jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru
yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah
baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang
menggunakan …
24
menggunakan agunan yang sama;
9. Mekanisme Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan
baru sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan
angka 4 mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh
otoritas yang berwenang.
B. KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over)
Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil
alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP
atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan
sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau
2. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain,
dengan tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan
baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih
(take over) KP atau PP dari Bank lain mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf A.
3. Mekanisme pengambilalihan Kredit atau Pembiayaan (take
over) sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2
mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang.
C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV untuk Kredit
Tambahan (Top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan Baru dan
Pengambilalihan KP atau PP (Take Over)
Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit
tambahan (top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan
pengambilalihan KP atau PP (take over), tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. KP …
25
V. KP ATAU PP UNTUK PEMILIKAN PROPERTI YANG BELUM
TERSEDIA SECARA UTUH
A. Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum
Tersedia Secara Utuh
1. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau PP
sampai dengan urutan fasilitas kedua dengan
penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.10;
b. Terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan
pengembang yang paling kurang memuat
kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan
Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan
debitur atau nasabah; dan
c. Terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang
kepada Bank baik yang berasal dari pengembang
sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang apabila
Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat
diserahterimakan sesuai perjanjian, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak,
bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau
dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit atau
Pembiayaan;
2) dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit atau
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam angka
1) adalah dana yang ditahan di Bank atas nama
pengembang yang digunakan untuk
menyelesaikan pembangunan Properti;
3) Jaminan …
26
3) Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat
berbentuk corporate guarantee, stand by letter of
credit, atau bank guarantee;
4) nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang
dan/atau pihak lain paling kurang sebesar selisih
antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan
pencairan yang telah dilakukan oleh Bank; dan
5) Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan
dapat dieksekusi dalam hal pengembang tidak
dapat menyelesaikan kewajibannya, yang paling
kurang tertuang dalam perjanjian kerjasama
antara pengembang dengan Bank.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 juga
berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.
B. Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang
Belum Tersedia Secara Utuh
1. Dalam hal Bank memberikan KP atau PP sebagaimana
dimaksud dalam huruf A maka Bank wajib melakukan
pencairan KP atau PP secara bertahap sesuai
perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.
2. Tahapan pencairan KP atau PP sebagaimana dimaksud
pada angka 1, diatur sebagai berikut:
a. Untuk KP atau PP untuk Rumah Tapak, Rumah Toko
atau Rumah Kantor, ditetapkan paling tinggi sebesar:
1) 40% (empat puluh persen) dari plafon setelah
penyelesaian fondasi;
2) 80% (delapan puluh persen) dari plafon setelah
penyelesaian tutup atap;
3) 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah
penandatanganan Berita Acara Serah Terima
(BAST); dan
4) 100% (seratus persen) dari plafon setelah
penandatanganan Berita Acara Serah Terima
(BAST) …
27
(BAST) yang telah dilengkapi dengan Akta Jual
Beli (AJB) dan Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (APHT) atau Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
b. Untuk KP atau PP untuk Rumah Susun, ditetapkan
paling tinggi sebesar:
1) 40% (empat puluh persen) dari plafon setelah
penyelesaian fondasi;
2) 70% (tujuh puluh persen) dari plafon setelah
penyelesaian tutup atap;
3) 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah
penandatanganan Berita Acara Serah Terima
(BAST); dan
4) 100% (seratus puluh persen) dari plafon setelah
penandatanganan Berita Acara Serah Terima
(BAST) yang dilengkapi dengan Akta Jual Beli
(AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggunan
(APHT) atau Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT).
3. Untuk tahapan pencairan KP Rusun atau PP Rusun, Bank
dapat melakukan pencairan tambahan diantara
penyelesaian fondasi dan sebelum penyelesaian tutup atap
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.1) dan butir 2.b.2)
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan.
4. Besaran persentase pencairan tambahan sebagaimana
dimaksud pada angka 3 diserahkan kepada Bank sesuai
dengan kebijakan manajemen risiko Bank dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian.
5. Pencairan bertahap sebagaimana dimaksud pada angka 1
didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan
Properti yang berasal dari:
a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern
Bank; atau
b. penilai independen.
6. Bank …
28
6. Bank harus memiliki pedoman internal terkait spesifikasi
teknis penyelesaian fondasi dan tutup atap baik untuk
Rumah Tapak, Rumah Toko atau Rumah Kantor, dan
Rumah Susun, sebagaimana dimaksud pada angka 2
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
7. Penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana
dimaksud pada angka 3 diatur sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah), didasarkan atas laporan perkembangan
pembangunan Properti yang berasal dari:
1) pengembang dengan verifikasi dari penilai intern
Bank; atau
2) penilai independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di
atas Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),
didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan
Properti yang berasal dari penilai independen.
C. Contoh Perhitungan dan Penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV
untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh
Contoh perhitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VI. UANG MUKA DALAM RANGKA KKB ATAU PKB
A. Uang Muka KKB atau PKB
1. Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) merupakan …
29
1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan
oleh pihak berwenang; atau
2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum
yang memiliki izin usaha tertentu yang
dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan
untuk mendukung kegiatan operasional dari
usaha yang dimilikinya; dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 25%
(dua puluh lima persen).
2. Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio
Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara
bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan
b. rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB
bermasalah dari total PKB secara bruto (gross) kurang
dari 5% (lima persen).
3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan
oleh pihak berwenang; atau
2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum
yang memiliki izin usaha tertentu yang
dikeluarkan …
30
dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan
untuk mendukung kegiatan operasional dari
usaha yang dimilikinya; dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 30%
(tiga puluh persen).
B. Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk
pemenuhan Uang Muka dalam rangka KKB dan PKB kepada
debitur atau nasabah. Termasuk pengertian debitur atau
nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan
karyawan Bank yang bersangkutan.
C. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB
Bermasalah
1. Perhitungan rasio Kredit bermasalah dilakukan dengan
membagi hasil penjumlahan Kredit dengan kualitas kurang
lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) kepada pihak
ketiga bukan Bank terhadap total Kredit kepada pihak
ketiga bukan Bank.
Formula perhitungan rasio Kredit bermasalah adalah
sebagai berikut:
Kredit kualitas KL + Kredit kualitas D + Kredit
kualitas M
x 100%
Total Kredit
2. Perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah dilakukan
dengan membagi hasil penjumlahan Pembiayaan dengan
kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M)
kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank.
Formula …
31
Formula perhitungan rasio Pembiayaan bermasalah adalah
sebagai berikut:
Pembiayaan kualitas KL + Pembiayaan kualitas D +
Pembiayaan kualitas M
x 100% Total Pembiayaan
3. Perhitungan rasio KKB bermasalah dari total KKB
dilakukan dengan membagi jumlah KKB dengan kualitas
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap
total KKB.
Formula perhitungan rasio KKB bermasalah adalah sebagai
berikut:
KKB kualitas KL + KKB kualitas D + KKB kualitas M
x 100% Total KKB
4. Perhitungan rasio PKB bermasalah dari total PKB
dilakukan dengan membagi jumlah PKB dengan kualitas
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) terhadap
total PKB.
Formula perhitungan rasio PKB bermasalah adalah sebagai
berikut:
PKB kualitas KL + PKB kualitas D + PKB kualitas M x 100%
Total PKB
D. Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan
1. Penetapan masing-masing komponen dalam perhitungan
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah
dan perhitungan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB
bermasalah dilakukan berdasarkan:
a. LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan
sebelum tanggal perjanjian Kredit atau akad
Pembiayaan ditandatangani; atau
b. Laporan lain berupa laporan KP dan KKB, dalam hal
LBU belum dapat menyediakan komponen
perhitungan rasio KKB bermasalah.
2. Laporan …
32
2. Laporan KP dan KKB sebagaimana dimaksud dalam butir
1.b wajib disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penyampaian laporan KP dan KKB mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir
III.C.10.
b. Penyampaian laporan KP dan KKB dilakukan sampai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
c. Penetapan batas waktu penghentian penyampaian
laporan KP dan KKB, disampaikan oleh Bank
Indonesia melalui surat pemberitahuan.
3. Perhitungan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
butir III.C.2 dan butir III.C.4.
4. Perhitungan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total
Pembiayaan mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.C.5 dan butir III.C.7.
5. Nilai PKB bermasalah dan PKB untuk Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Nilai PKB bermasalah berasal dari hasil penjumlahan
angka dalam:
1) form 10 untuk Akad Murabahah, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga
pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi
(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan
002900 untuk kualitas (Kolom XXIV) kurang
lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);
2) form 11 untuk Akad Istishna’, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga
pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi
(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan
002900 …
33
002900 untuk kualitas (Kolom XXIII) kurang
lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M) ;
3) form 12 untuk Akad Qardh, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah
bulan laporan (Kolom XVIII B) dengan sektor
ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900 untuk kualitas (Kolom XXI)
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);
4) form 13 untuk akad bagi hasil, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah
bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor
ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900 untuk kualitas (Kolom XXV)
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M);
dan
5) form 14 untuk akad sewa, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan dari harga
perolehan (Kolom XVII B.3) dikurangi dengan
akumulasi penyusutan/amortisasi (Kolom XXII)
dan cadangan kerugian penurunan nilai aset
ijarah (Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan
tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan
formula sebagai berikut:
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/
Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok
Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor
ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor
002100, 002200, 002300, dan 002900 untuk
kualitas (Kolom XXVI) kurang lancar (KL),
diragukan (D), dan macet (M).
b. Nilai …
34
b. Nilai PKB berasal dari hasil penjumlahan angka
dalam:
1) form 10 untuk Akad Murabahah, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga
pokok (Kolom XIX) dengan sektor ekonomi (Kolom
XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan 002900;
2) form 11 untuk Akad Istishna’, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan saldo harga
pokok (Kolom XVIII) dengan sektor ekonomi
(Kolom XIII) sandi 002100, 002200, 002300, dan
002900;
3) form 12 untuk Akad Qardh, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah
bulan laporan (Kolom XVIII B) dengan sektor
ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900;
4) form 13 untuk akad bagi hasil, pada golongan
nasabah (Kolom II) dengan sandi pihak ketiga
bukan bank yaitu hasil penjumlahan jumlah
bulan laporan (Kolom XXI B) dengan sektor
ekonomi (Kolom XIII) sandi 002100, 002200,
002300, dan 002900; dan
5) form 14 untuk akad sewa, pada golongan nasabah
(Kolom II) dengan sandi pihak ketiga bukan bank
yaitu hasil penjumlahan dari harga perolehan
(Kolom XVII B.3) dikurangi dengan akumulasi
penyusutan/amortisasi (Kolom XXII) dan
cadangan kerugian penurunan nilai aset ijarah
(Kolom XXIII) dan ditambahkan dengan
tunggakan pokok (Kolom XXIV B), dengan formula
sebagai berikut:
Harga …
35
Harga Perolehan - (Akumulasi Penyusutan/
Amortisasi + Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Aset Ijarah) + Tunggakan Pokok
Penjumlahan di atas dilakukan untuk sektor
ekonomi (Kolom XIII) dengan sandi sektor
002100, 002200, 002300, dan 002900.
c. Sandi sektor 002100, 002200, 002300, dan 002900
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan
unit usaha syariah, yaitu sebagai berikut:
Sandi Sektor Sektor
002100 Rumah Tangga untuk Pemilikan Mobil Roda Empat
002200 Rumah Tangga untuk Pemilikan Sepeda Bermotor
002300
Rumah Tangga untuk Pemilikan Truk dan
Kendaraan Bermotor Roda Enam atau lebih
002900
Rumah Tangga untuk Pemilikan Kendaraan
Bermotor lainnya
6. Contoh Perhitungan dan Penetapan Uang Muka KKB atau
PKB tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Bank yang melanggar Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9
ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 18,
Pasal 19 ayat (4), dan/atau Pasal 20 dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value
untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
B. Bank …
36
B. Bank yang melanggar Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 18,
dan Pasal 20 dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon
Kredit yang diberikan dengan plafon Kredit yang seharusnya
atau plafon Pembiayaan yang diberikan dengan plafon
Pembiayaan yang seharusnya, dengan formula sebagai berikut:
1% x (plafon KP atau plafon PP yang diberikan – plafon KP atau
plafon PP yang seharusnya)
C. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau
Pembiayaan Uang Muka, dengan formula sebagai berikut:
1% x (plafon Kredit atau plafon Pembiayaan Uang Muka)
D. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (2) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf A juga dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon KP dan PP,
dengan formula sebagai berikut:
1% x (plafon KP atau PP)
E. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 …
37
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari plafon kredit untuk setiap Kredit
yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap
Pembiayaan yang melanggar ketentuan, dengan formula sebagai
berikut:
1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan;
atau
1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar
ketentuan.
Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode
paling lama 12 (dua belas) bulan.
F. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,
dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit
yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap
Pembiayaan yang melanggar ketentuan, dengan formula sebagai
berikut:
1% x Plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan;
atau
1% x Plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar
ketentuan.
Sanksi tersebut dikenakan setiap akhir bulan untuk periode
paling lama 12 (dua belas) bulan.
G. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada huruf E dan huruf F tidak menghilangkan kewajiban Bank
untuk menyampaikan dan melaksanakan rencana perubahan
(action plan).
H. Bank …
38
H. Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar
kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada
Bank Indonesia.
I. Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Bank,
maka surat pengenaan sanksi ditembuskan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
J. Contoh perhitungan sanksi kewajiban membayar tercantum
dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VIII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/25/DKMP tanggal 12 Oktober
2015 perihal Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value
untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit
atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6
September 2016.
Agar …
39
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
FILIANINGSIH HENDARTA
KEPALA DEPARTEMEN
KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL