Upload
votram
View
252
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
NILAI DAN NORMA SOSIAL TENTANG PERISTIWA AL-IFK
DALAM Q.S AL-NŪR
SKRIPSI
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
Lailatul Hikmah
NIM: 11140340000120
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
PEDOMAN TRASLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin
1. Tidak dilambangkan
2. B
3. T
4. ṡ
5. J
6. ḥ
7. Kh
8. D
9. Ż
10. R
11. Z
12. S
13. Sy
14. ṣ
15. ḍ
vi
16. ṭ
17. ẓ
18. ‘
19. g
20. f
21. q
22. k
23. l
24. m
25. n
26. w
27. h
28. ’
29. y
2. Vokal Pendek
= a kataba
= i su’ila
= u yażhabu
vii
3. Vokal Panjang
…= qᾱla
= qīla
= yaqūla
4. Diftong
= ai kaifa
= au ḥaula
viii
ABSTRAK
Lailatul Hikmah
Nilai dan Norma Sosial Tentang Peristiwa al-Ifk dalam Q.S al-Nūr
Nilai merupakan suatu kepercayaan dalam menilai pantas atau tidaknya
perbuatan seseorang. Sedangkan norma merupakan aturan-aturan dalam
kehidupan sosial secara kolektif yang mengandung berbagai sanksi moral atau
fisik bagi seseorang yang melakukan pelanggaran atas nilai-nilai sosial. Dengan
demikian, nilai dan norma merupakan dua hal yang saling berkaitan.
Q.S al-Nūr merupakan salah satu surat yang keberadaan berfungsi sebagai
sebagai obat atas problem sosial yang kerap terjadi di masyarakat. Sehingga,
kandungan ayat-ayatnya banyak memuat tentang norma-norma Allah manusia. Di
antara norma tersebut adalah aturan Allah Swt tentang larangan berzina, menuduh
zina, menyampaikan berita bohong, dan lain sebagainya.
Banyaknya norma-norma yang Allah Swt jelaskan di dalam Q.S al-Nūr
merupakan bentuk rahmat-Nya kepada manusia, sebagai wujud bahwa penciptaan
mereka tidak mengandung kesia-siaan. Namun, penilitian ini hanya bertujuan
untuk mengetahui nilai dan norma sosial tentang ḥadīṣ ifk yang terkandung di
dalam Q.S al-Nūr. Hal ini dilatar belakangi oleh mudahnya mengakses dan
menyampaikan sebuah berita, berdampak pula pada kesewenang-wenangan
beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan berita
bohong.
Dengan menggunakan metode maudū’ī bi al-sūrah dan dengan pendekatan
kualitatif, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai dan norma sosial tentang
ḥadīṣ ifk yang terkamdung di dalam Q.S al-Nūr adalah 1) Nilai Moral yakni
pertama, menjauhi hal-hal yang menimbulkan fitnah. Kedua, selektif dalam
menyampaikan berita. Ketiga, ḥusn al-ẓᾱn terhadap sesama. Keempat, saling
memaafkan. Kelima, berlapang dada. 2) Norma Hukum yakni pertama,
melakukan tabayyun. Kedua, bersikap adil dalam menetapkan hukum. Ketiga,
hukuman yang diberikan hanya memberikan efek jerah.
Kata Kunci: Nilai, Norma, Sosial, Ifk, Q.S al-Nūr
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan hanya bagi Allah Swt yang
telah memberikan rahmatNya berupa kesehatan jasmani dan rohani, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir S1 ini. Shalawat dan salam semoga tetap
terhaturkan kepada sang revolusioner Nabi Muhammad Saw, semoga kelak di
akhirat kita bisa berkumpul dan bersua dengannya. Tidak lupa, ucapan
terimakasih juga penulis ucapkan kepada segenap keluarga, para guru, teman dan
sahabat seperjuangan.
Hiruk-pikuk kota metropolitan telah mewarnai kehidupan penulis selama
kurang lebih empat tahun. Karenanya, makna kehidupan sedikit banyak telah
penulis pahami. Pertanyaan-pertanyaan yang dulu kerap kali menghampiri, kini
sedikit banyak telah penulis temukan jawaban dan esensinya. Oleh sebab itu,
penulis sangat berterimakasih kepada kedua orang tua penulis, yakni Mamak
Karmu’ah, Bapak Moh. Aly, dan Ibu Nur Khoiriyah yang tidak henti-hentinya
memberikan dukungan secara materi dan moril. Selain itu, salam ta’dzim dan
hormat saya terhadap pihak-pihak terkait lainnya, semoga ilmu yang telah mereka
sampaikan bermanfaat bagi penulis pribadi dan masyarakat pada umumnya.
Ucapan tersebut penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Prof. Dr. Mansri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
beserta seluruh staf dekanat.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku sekertarisnya,
beserta seluruh civitas akademik fakultas.
4. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Syarifuddin, MA selaku Dosen Pembimbing
Skripsi. Bapak Eva Nugraha, MA selaku Dosen Penguji Proposal, dan
Bapak Kusmana selaku Dosen Pembimbing Akademik, Bapak Dr. Abd.
x
Moqsit Ghazali, MA dan Bapak Dr. Arrazy Hasyim, MA yang banyak
memberikan arahan, ilmu, dan pengetahuan kepada penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah menghantarkan kami menuju samudera ilmu pengetahuan.
6. Seluruh angkatan IAT 2014, Bacang LPM Institut, Formala Jabodetabek,
Ikawarda Jabodetabek, Monash Institute Ciputat, HMI Cabang Ciputat,
Formaci, dan INC yang telah menjadi krayon dalam mewarnai pemikiran,
kehidupan, bahkan pengalaman penulis.
7. Segenap Keluarga Besar Ponpes Darus Sa’adah, terkhusus Ibu Dr. Faizah
Ali Syibromalisi, MA, para asᾱtiẓ, dan mahasantrinya yang telah
membantu penulis untuk kembali bangkit menjadi sosok yang bijaksana,
sabar, dan berpendirian terhadap syari’at Allah Swt tidak mudah
diombang-ambing kemajuan.
8. Segenap Keluarga Besar Madrasah Mu’allimin Mu’allimat dan Ponpes
Nūr al-Anwᾱr yang meski tidak dalam satu tempat belajar, namun ilmu
dan bimbingannya senantiasa mengalir pada diri penulis.
9. Kepada seluruh pihak yang membantu terselesainya tugas akhir ini dan
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis hanya bisa berterimakasih dan berdoa semoga amal
ibadah, dukungan, bimbingan, dan segenap perhatian serta motivasinya,
senantiasa dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang Ia ridhoi dan sesuai
dengan harapan masing-masing.
Jakarta, 13 September 2018
Lailatul Hikmah
xi
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................... v
ABSTRAK .............................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB I: PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
E. Metode Penelitian.................................................................................... 8
F. Kajian Pustaka ........................................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 17
BAB II: KAJIAN TENTANG NILAI DAN NORMA SOSIAL ........................ 18
A. Pengertian Nilai dan Norma Sosial ....................................................... 18
B. Fungsi dan Tujuan Nilai dan Norma Sosial .......................................... 22
C. Macam-macan Nilai dan Norma Sosial ................................................ 23
D. Sumber-Sumber Nilai dan Norma Sosial .............................................. 28
BAB III: PERISTIWA AL-IFK DALAM Q.S AL-NŪR .................................... 30
A. Peristiwa al-Ifk ....................................................................................... 30
xii
B. Penilaian Masyarakat Tentang Peristiwa al-Ifk...................................... 33
a. Penilaian Baik .................................................................................. 34
b. Penilaian Buruk ................................................................................ 35
C. Dampak Peristiwa al-Ifk ......................................................................... 36
a. Dampak Pada Objek al-Ifk ............................................................... 36
b. Dampak Pada Keluarga al-Ifk .......................................................... 37
D. Rahmat Allah Swt Bagi Hamba-Nya ..................................................... 39
a. Petunjuk Al-Qur’an .......................................................................... 39
b. Memberikan Ampunan Kepada Para Penyebar al-Ifk yang
Bertaubat .......................................................................................... 40
BAB IV: NILAI DAN NORMA SOSIAL TENTANG PERISTIWA AL-IFK 42
A. Norma Moral .......................................................................................... 42
a. Menjauhi Hal-hal yang Menimbulkan Fitnah .................................. 42
b. Selektif Dalam Menyampaikan Berita ............................................. 43
c. Ḥusn al-ẓᾱn Terhadap Sesama ......................................................... 46
d. Saling Memaafkan ........................................................................... 48
e. Berlapang Dada ................................................................................ 50
B. Norma Hukum ........................................................................................ 51
a. Melakukan Tabayyun ....................................................................... 51
b. Bersikap Adil dalam Menetapkan Hukum ....................................... 52
c. Hukuman Hanya Memberikan Efek Jerah ....................................... 54
1. Bagi Penyebar al-Ifk ................................................................... 54
2. Bagi Objek al-Ifk ........................................................................ 55
BAB V: PENUTUP ................................................................................................ 57
A. Kesimpulan ............................................................................................ 57
B. Saran ....................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Norma merupakan seperangkat aturan atau tata cara bagaimana
seharusnya manusia hidup dengan orang lain di sekitarnya....”1 Keberadaan
norma sangat terkait dengan adanya nilai, karena “...Nilai merupakan suatu
tipe kepercayaan seseorang dalam bertindak dan menilai pantas atau tidak
suatu tindakan tersebut....”2
Dengan kata lain, “...Nilai merupakan kumpulan dari ukuran-ukuran,
orientasi, dan teladan luhur yang selaras dengan akidah yang diyakini
seseorang, serta tidak bertentangan dengan perilaku masyarakat. Sedangkan
ukuran dari adanya nilai, tercemin dalam perilaku, aktivitas, dan pengalaman-
pengalamannya....”3 Dari sini terlihat jelas bahwa antara nilai dan norma,
keduanya satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan antara satu dengan
lainnya. Kemudian dari keduanya, muncul sebuah ilmu yang menjelaskan
tentang hal tersebut, yakni dikenal dengan sebutan, etika.
Etika merupakan “...Suatu ilmu yang menjelaskan tentang baik dan
buruk terhadap sesama manusia, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang seharusnya dicapai, serta
1J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika
Normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 13 2Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.
62 3Muhammad Ali Musharfi, Mendidik Anak Agar Cerdas dan Berbakti (Surakarta: Ziyad
Visi Media, 2009), h. 95
2
menunjukkan jalan yang seharusnya mereka perbuat....”4 Hal ini
menunjukkan bahwa ruang lingkup pembahasan etika, hanya dalam sebuah
pergaulan; bukan personal.5
Oleh sebab itu, etika tidak mempersoalkan apa dan siapa manusia itu,
namun tentang bagaimana manusia itu seharusnya berbuat dan bertindak.6
Sedangkan Franz Magnis-Suseno mendefinisikan etika sebagai filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar terhadap ajaran-ajaran dan pandangan moral.7
Sedangkan kata, sosial menurut KBBI adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan masyarakat. Sehingga yang dimaksud dengan norma
sosial adalah seperangkat kaidah atau aturan-aturan yang dipakai sebagai
tolok ukur menilai dalam masyarakat.8
Sejauh ini, telah banyak kajian yang telah membahas nilai dan norma
yang terkadung di dalam al-Qur’an. Banyaknya kajian yang menjadikan al-
Qur’an sebagai objek penelitian, disebabkan oleh keyakinan masyarakat
muslim; khususnya – yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah kitab suci9
yang dihadirkan sebagai petunjuk,10
dan keotentikannya berlaku sepanjang
zaman.11
4Yatim Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 7
5K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 8
6Yatim Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 7
7Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 14 8Bertens, Etika, h. 117
9M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 5 10
Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Q.S al-Imrᾱn: 138 bahwasannya salah satu
fungsi al-Qur’an adalah sebagai kitab hidayah {138للمتقين } للناس وهدى وموعظة هذا بيان “(Al-Qur’an)
ini adalah penerang bagi seluruh manusia dan petunjuk bagi orang-orang bertakwa.” Lihat: Al-
3
Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah skripsi Khorida al-
Islᾱmiyah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah
ayat 30-39 (2015).12
Dengan penyelarasan terhadap pendapat Hasan
Langgulung yang menjelaskan bahwa proses pendidikan Islam mencakup
lima kelompok yaitu: nilai perseorangan, keluarga, sosial, negara, dan agama.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Q.S al-Baqarah: 30-39
terindikasi 9 nilai pendidikan yaitu, keimanan; berupa kekafiran yang dapat
membawa seseorang untuk menghuni neraka selama-lamanya, syari’ah;
berupa pengaruh kemaksiatan dapat menyebabkan kesengsaraan dan
terhalang dari kasih sayang Allah Swt, akhlak; berupa kewajiban bertanya
bagi orang yang tidak tahu kepada orang yang lebih tahu, tidak boleh
menghardik orang yang bertanya, peringatan terhadap sikap sombong dan
dengki, dan nilai pendidikan ibadah; yang menunjukkan kemuliaan ilmu
pengetahuan dan keutamaan orang berilmu di atas orang bodoh, mengakui
ketidak mampuannya dan kekurangan dirinya, dan kewajiban bertaubat dari
perbuatan dosa.
Penelitian lainnya berupa skripsi Wafᾱ’ Maulida Zahrᾱ’, Sikap Sosial
dalam Surat al-Hujurᾱt Ayat 11-13 dan Implikasinya Pada Pendidikan
Akhlak (2017).13
Skripsi ini merupakan respon Wafa’ dalam banyaknya
fenomena kasus yang menyimpang dari nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan
Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumᾱnatul ‘Alī; Seuntai Mutiara yang Maha Luhur (Bandung: CV
Penerbit J-Art, 2004), h. 67 11
Manna al-Qaṭᾱn, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Annur Rafiq El-Mazni (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 3 12
Khorida al-Islᾱmiyah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah
ayat 30-39, Skripsi S1UIN Malik Ibrahim Malang, 2015 13
Wafᾱ’ Maulida Zahrᾱ’, Sikap Sosial dalam Surat al-Hujurᾱt Ayat 11-13 dan
Implikasinya Pada Pendidikan Akhlak, Skripsi S1 IAIN Surakarta, 2017
4
salah satu penyebabnya adalah minimnya pengetahuan masyarakat terhadap
pemahaman ayat-ayat dalam al-Qur’an. Melalui analisis terhadap Q.S al-
Hujurᾱt serta penyelarasannya dengan teori sikap sosial; yakni sesuai dengan
kurikulum 201314
yang telah membagi kompetensi sikap menjadi dua yaitu:
pertama, sikap spiritual yang mencakup menghargai dan menghayati ajaran
yang dianut. Kedua, sikap sosial yang mencakup menghayati dan
mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun,
responsif, proaktif, dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial;
dan implikasinya terhadap pendidikan akhlak. Ia menyimpulkan bahwa ada
tujuh sikap sosial yang terkadung dalam surat tersebut yakni, sikap
kemuliaan, memaafkan, mendoakan orang lain, husn al-ẓᾱn, merahasiakan
aib orang lain, menjunjung tinggi hidup dalam perbedaan sesama manusia,
dan menggalang persatuan dan kesatuan. Implikasinya dapat diperoleh
melalui metode ceramah dan nasihat, keteladanan, latihan, dan dialog atau
debat.
Adanya penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an
dihadirkan bukan semata-mata hanya untuk kepentingan menghamba kepada
Allah Swt, namun mencakup segala esensi ilmu pengetahuan. Hal ini tertuang
dalam nilai dan norma-norma yang Allah Swt jelaskan di dalam kalam-Nya.15
14
Imas Kurniasih dan Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013: Konsep & Penerapan
(Surabaya: Kata Pena, 2014), h. 65 15
Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Q.S al-Nahl: 89
ن أنفسهم وجئنا بك ش ة شهيدا عليهم م لنا عليك الكتاب تبيانا لكل شىء وهدى ورحمة ويوم نبعث في كل أم هيدا على هآؤالء ونز
{89وبشرى للمسلمين }
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas
mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammmad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu
5
Fenomena ifk (berita bohong) pada ‘Āisyah dan di jelaskan dalam Q.S
al-Nūr merupakan salah satu norma yang Allah Swt tetapkan agar terhindar
dari bahayanya.16
Mudahnya mengakses beragam informasi saat ini,
berdampak pula pada merebaknya penyebaran hoax. Terbukti, hingga di
tahun 2018 Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo
menyebutkan, bahwa penyebaran tersebut mencapai hingga 800 ribu konten
pertahun.17
Sebagai surat ke-24 dan terdiri dari 64 ayat, Q.S al-Nūr adalah salah
satu surat yang banyak membahas tentang norma kemasyarakatan.18
Sayyid
Quṭb menyebutkan bahwa norma tersebut berlaku “…Sebagai penyinar hati
dan kehidupan manusia, yakni dengan adanya norma-norma yang terkandung
di dalamnya.…”19
Sejauh ini, telah banyak penelitian yang membahas tentang ifk. Di
antara penelitian-penelitian tersebut adalah Jurnal Inspirasi al-Qur’an dan
Hadis dalam Menyikapi Informasi Hoax, oleh Stepanus Sigit Pranoto. Tulisan
ini dilatar belakangi oleh perilaku narsistik yang menjadi lahan subur bagi
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” Lihat: Mannᾱ’ al-Qaṭṭᾱn,
Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 17 16
Bahaya yang ditimbulkan dari penyebaran berita hoax, bukan hanya dirasakan oleh
objeknya, namun juga keluarga dan orang-orang disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
ahli psikologi yang menyebutkan bahwa karakter umum berita hoax adalah pertama, informasinya
berantai dan biasanya menyertakan kalimat seperti ‘sebarkan ini ke semua orang yang anda tahu
jika tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi. Kedua, informasinya tidak mencantumkan tanggal
yang bisa diverifikasi. Ketiga, informasinya tidak disertai dengan tanggal kedaluwarsa, meskipun
hal itu tidak berdampak apapun, namun ketiadaannya dapat memicu keresahan. Keempat, tidak ada
organisasi yang mampu diidentifikasi yang dikutip sebagai sumber informasi. Lihat: Dedi Rianti
Rohadi, “Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax Di Media Sosial,” Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, V. 5, No. 1 (T.b., 2017), h. 66-68 17
Linda Juliawati, “Angka Penyebaran Hoax Capai 800 Ribu Konten, di Pilkada Terus
Meningkat,” IDN Times, diakses pada 14 Maret 2018. 18
Syaikh Muhammad ‘Alī al-Ṣᾱbunī, Ṣafwah al-Tafᾱsīr, terj. Yasin (Jakarta, Pustaka al-
Kautsar, 2011), v. 3. h. 589-590 19
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilᾱl al-Qur’an, terj. M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2009) v. viii, h. 848-849
6
penyebaran informasi hoax. Dengan menggunakan desain kualitatif dan
pendekatan kepustakaan, serta dalam penentuan ayatnya menggunakan kajian
tematik, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan al-Qur’an dan
ḥadīṣ menunjukkan bahwa untuk mencegah meluasnya hoax seseorang perlu
bersikap kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial, serta melakukan
tabayyun sebelum membagikan suatu informasi.20
Penelitian lainnya berupa Skripsi Ilham Syaifullah, Fenomena Hoax di
Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika. Skripsi ini mengidentifikasi
berita hoax, ditinjau dengan teori hermeneutika Hans G. Gadamer dan Paul
Ricoeur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
teori Aleanating Distanciation dan Belonging Experience, jika diterapkan
dalam fenomena hoax, maka pembaca akan memahami kejadian berdasarkan
informasi yang kita terima dengan pengalaman kita. Sedangkan pengalaman
kita bisa kita dapat dengan menganalisa kejadian tesebut berdasarkan sumber-
seumber lain yang lebih bisa dipercaya. Sedangkan jika menggunakan teori
fiksasi dan distansisi yang dikemukakan oleh Paul Riceour, maka yang terjadi
adalah si penerima dan pembaca berita akan memahami makna asli dibalik
penyebaran berita tersebut.21
Penelitian lainnya adalah Tesis Hadis Tentang Peristiwa Ifk (Perspektif
Sunni dan Syi’ah), oleh Said Mujahidin, 2016. Tesis ini membahas tentang
ḥadīṣ-ḥadīṣ ifk dari perspektif sunni (yang mengatakan bahwa ḥadīṣ tersebut
20
Stepanus Sigit Pranoto, “Inspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi Informasi
Hoax,” al-Quds; Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis, Vol. 2, No.1, 2018. 21
Ilham Syaifullah, Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika,
Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018
7
dituduhkan pada ‘Āisyah) dan syi’ah (yang mengatakan bahwa ḥadīṣ tersebut
dituduhkan pada Maria al-Qibtiyah), ditinjau dari kronologi sejarahnya.
Dengan metode takhrīj mutūn al-ḥadīṣ, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ḥadīṣ tersebut muncul pada empat kondisi yakni, pertama, pada tahun
5 H yang berkaitan dengan ‘Āisyah. Kedua, tahun ke-8 H yang berkaitan
dengan tuduhan kehamilan Maria Qibtiyah. Ketiga, pada masa al-Walid.
Keempat, tentang peristiwa ifk yang berkaitan dengan Aba Ja’far.22
Berdasarkan pemaparan di atas, tentu penting mengetahui norma yang
terkandung di dalam al-Qur’an, khususnya dalam menyikapi berita hoax. Hal
ini dikarenakan norma tentang peristiwa al-ifk yang terkadung dalam Q.S al-
Nūr, sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Berdasarkan latar
belakang di atas, penulis hendak mengkaji Q.S al-Nūr dengan menggunakan
kajian tematik dan mengambil judul, Nilai dan Norma Sosial Tentang
Peristiwa al-Ifk dalam Q.S al-Nūr.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi penelitian ini
pada ayat-ayat tentang ifk yang terkandung di dalam Q.S al-Nūr: 11-22. Hal
ini dikarenakan fenomena ifk yang dijelaskan dalam Q.S al-Nūr merupakan
fenomena yang terjadi di antara dua hamba Allah Swt yang agung, yakni Nabi
Muhammad Saw dan istrinya ‘Āisyah.23
Selain itu, konteks pembahasannya
22
Said Mujahidin, Hadis Tentang Peristiwa Ifk (Perspektif Sunni dan Syi’ah), Tesis S2
UIN Sunan Kalijaga, 2016 23
Suri tauladan Nabi Muhammad Saw tersebut dijelaskan di dalam Q.S al-Ahzᾱb: 21
8
pun kompleks hingga mencakup solusi dan kiat-kiatnya. Sehingga, rumusan
masalah dalam skripsi ini adalah “Bagaimana nilai dan norma sosial tentang
Peristiwa al-ifk yang terkandung dalam Q.S al-Nūr?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini, di antaranya:
1. Menunjukkan nilai dan norma sosial tentang peristiwa al-ifk yang
terkandung di dalam Q.S al-Nūr
2. Menguatkan pendapat Imam ‘Alī al-Ṣᾱbunī yang mengatakan bahwa
salah satu manfaat keberadaan surat al-Nūr adalah sebagai obat atas
problem sosial yang kerap terjadi di masyarakat
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah keilmuan, khususnya produk tafsir tematik, tafsir ijtimᾱ’ī, dan
‘ulūm al-Qur’an. Sedangkan secara praktik, hasil penelitian ini bisa
digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi para pengkaji al-Qur’an
dalam memahami kandungan nilai dan norma sosial dalam al-Qur’an.
E. Metode Penelitian
Ada tiga aspek metode penelitian yang penulis gunakan dalam
penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Metode Pengumpulan Data
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”
9
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan sebuah
penelitian yang fokus penelitiannya menggunakan data dan informasi
dengan berbagai macam literatur yang terdapat di perpustakaan seperti
kitab, buku, naskah, catatan kisah sejarah, dokumen dan lain-lain.24
Sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber primer dan
sekunder. Sumber primer penelitian ini adalah Q.S al-Nūr: 11-22, karena
di dalamnya menjelaskan tentang peristiwa al-ifk. Sedangkan data skunder
berupa kitab-kitab tafsir, seperti Tafsīr Ṣafwah al-Tafᾱsīr karya Imam ‘Alī
al-Ṣᾱbunī, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ karya M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Azhᾱr
karya Hamka, Tafsīr Ibn al-Kaṭīr, karya Ibn Kaṭīr dan Tafsīr fī Zilᾱl al-
Qur’an.
b. Metode Pembahasan
Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah metode tafsīr mauḍū’ī bi al-sūrah, yakni mengkaji
sebuah surat secara universal (tidak parsial), yang di dalamnya
dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya; serta kaitan antara satu
bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk
yang sempurna dan saling melengkapi.25
c. Metode Penulisan
24
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandarmaju, 1996), h. 33 25
‘Abdul Ḥayy al-Farmawi, Metode Tafsir Madū’ī, terj. Rosihon Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 42
10
Dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada
ketentuan yang tercantum di dalam Buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012.26
Sedangkan pedoman Transliterasi Arab-Latin, penulis
mengacu pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin; Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.27
F. Kajian Pustaka
Khorida al-Islᾱmiyah dalam skripsinya, Nilai-Nilai Pendidikan Islam
dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30-39 (2015),28
ia menjelaskan bahwa
dalam Q.S al-Baqarah: 30-39 terdapat 9 nilai pendidikan yang sangat
menonjol; di antaranya yaitu nilai pendidikan keimanan atau aqidah yaitu,
kekafiran dan mendustakan kebenaran yang dapat membawa seseorang untuk
menghuni neraka selama-lamanya. Nilai pendidikan syari’ah: pengaruh
kemaksiatan dapat menyebabkan kesengsaraan dan terhalang dari kasih
sayang Allah Swt. Nilai pendidikan akhlak: kewajiban bertanya bagi orang
yang tidak tahu kepada orang yang lebih tahu, tidak boleh menghardik orang
yang bertanya, peringatan terhadap sikap sombong dan dengki. Nilai
pendidikan ibadah: menunjukkan kemuliaan ilmu pengetahuan dan keutamaan
orang berilmu di atas orang bodoh, mengakui ketidak mampuannya dan
kekurangan dirinya, dan kewajiban bertaubat dari perbuatan dosa. Dalam
proses pengkajiannya, ia menggunakan pendapat Hasan Langgulung yang
26
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
(Jakarta: CeQDA, 2012) 27
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Pedoman Transliterasi Arab-Latin, nomor: 158 Tahun 1987 – nomor: 0543 b/u/1987 28
Khoridatul Islamiyah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah
ayat 30-39, Skripsi S1UIN Malik Ibrahim Malang, 2015
11
telah menjelaskan bahwa proses pendidikan Islam mencakup lima kelompok
yaitu: pertama, nilai-nilai perseorangan (al-akhlᾱq al-farẓiyah). Kedua, nilai
keluarga (al-akhlᾱq al-usᾱriyah). Ketiga, nilai-nilai sosial (al-akhlᾱq al-
ijtimᾱ’iyyah). Keempat, nilai-nilai negara (al-akhlᾱq al-daulah). Kelima, nilai-
nilai agama (al-akhlᾱq al-dīniyah). Dalam proses penyelesaiannya, ia
memahami kata atau simbol yang terindikasi ada kesesuaian dengan kelima
proses pendidikan Islam, kemudian dianalisa sehingga menghasilkan 9 nilai
pendidikan Islam dalam Q.S al-Baqᾱrah: 30-39.
Wafᾱ’ Maulida Zahrᾱ’ dalam skripsinya, Sikap Sosial dalam Surat al-
Hujurᾱt Ayat 11-13 dan Implikasinya Pada Pendidikan Akhlak (2017),29
skripsi ini merupakan respon Wafa’ dalam banyaknya fenomena kasus yang
menyimpang dari nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dan salah satu
penyebabnya adalah minimnya pengetahuan masyarkat terhadap pemahaman
ayat-ayat dalam al-Qur’an. Melalui analisis terhadap Q.S al-Hujurᾱt serta
penyelarasannya dengan teori sikap sosial; yakni sesuai dengan kurikulum
201330
yang telah membagi kompetensi sikap menjadi dua yaitu: pertama,
sikap spiritual yang mencakup menghargai dan menghayati ajaran yang
dianut. Kedua, sikap sosial yang mencakup menghayati dan mengamalkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, responsif, proaktif,
dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial; dan implikasinya
terhadap pendidikan akhlak. Melalui teori tersebut, ia menyimpulkan bahwa
ada tujuh sikap sosial yang terkandung dalam surat tersebut yakni, sikap
29
Wafa’ Maulida Zahro’, Sikap Sosial dalam Surat al-Hujurᾱt Ayat 11-13 dan
Implikasinya Pada Pendidikan Akhlak, Skripsi S1 IAIN Surakarta, 2017 30
Imas Kurniasih dan Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013: Konsep & Penerapan
(Surabaya: Kata pena, 2014), h. 65
12
kemuliaan, sikap memaafkan, sikap mendoakan orang lain, sikap ḥusn al-ẓᾱn,
sikap merahasiakan aib orang lain, sikap menjunjung tinggi hidup dalam
perbedaan sesama manusia, dan sikap menggalang persatuan dan kesatuan.
Implikasi tersebut dapat diperoleh melalui metode ceramah dan nasihat,
metode keteladanan, metode latihan, dan metode dialog atau debat.
Skripsi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an Surat al-Nūr
Ayat 58,59,60, dan 61, oleh Siti Aminah (2017),31
ia menjelaskan bahwa
uraian surat al-Nūr ini menyanggkut tentang pembinaan hidup bermasyarakat
serta keharusan adanya hubungan bersih antara anggota masyarakat; terlebih
antara laki-laki dan perempuan. Skripsi ini dibahas dengan menggunakan
metode mauḍū’ī atau tematik, berdasarkan asbᾱb al-nuzūl, melakukan
munᾱsabah antar ayat dan surat sebelum dan sesudahnya dan didekati dengan
menggunakan fenomenologi; berdasarkan hasil pengalaman pribadi atau
golongan. Metode penyelesaian yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi
ini, disesuaikan dengan pendapat Muhammad Daud Ali32
yang menyatakan
bahwa kandungan isi al-Qur’an memuat empat hal, yakni akidah, syariah,
akhlak, dan kisah-kisah yang dapat dijadikan sebagai ibrᾱh. Namun dari
keempat kandungan al-Qur’an tersebut, Aminah hanya berfokus pada nilai-
nilai pendidikan akhlak; khususnya yang harus diterapkan dalam rumah
tangga. Menurutnya, salah satu pendorong seseorang memiliki etika yang baik
dan benar adalah pola pengajaran dari orang tua yang sejak dini mendidik
dengan penuh penghargaan, kehormatan dan kebaikan hati sehingga hal
31
Siti Aminah, Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Al-Nūr Ayat
58,59,60, dan 61, Skripsi S1 IAIN Salatiga, 2017 32
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 97
13
tersebut pun berdampak pada pola etika mereka kepada orang lain;
sebagaimana yang terkandung di dalam Q.S al-Nūr: 58-61.
Skripsi Hoax dalam al-Qur’an oleh Salwa Sofia Wirdiyana, 2017.33
Dengan metode maudhu’ī bi al-Āyat, skripsi ini mengungkapkan pandangan
al-Qur’an tentang hoax dan mengungkap solusi agar terhidar dari hoax, yakni
dengan cara selektif dan kritis dalam menganggapi berita.
Skripsi Etika Komunikasi Lisan Menurut al-Qur’an: Kajian Tafsir
Tematik oleh Amir Mu’min Solihin, 2011.34
Skrispi ini membahas tentang
etika berkomunikasi yang dijelaskan di dalam al-Qur’an. Hasil skripsi ini
menunjukkan bahwa kata komunikasi banyak menggunakan kata qᾱlᾱ,
takallama, dll yang mengindikasikan bahwa komunikasi harus dilakukan
dengan baik, isi pembicaraannya benar, dan harus menggunakan kalimat yang
baik; tidak berkata bohong, merendahkan, serta larangan berkomunikasi
dengan manja bagi wanita dengan lawab jenis non muhrim.
Skripsi Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan
Hermeneutika oleh Ilham Syaifullah, 2018.35
Skripsi ini mengidentifikasi
berita hoax, ditinjau dengan teori hermeneutika Hans G. Gadamer dan Paul
Ricoeur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
teori Aleanating Distanciation dan Belonging Experience, jika diterapkan
dalam fenomena hoax, maka pembaca akan memahami kejadian berdasarkan
informasi yang kita terima dengan pengalaman kita. Sedangkan pengalaman
kita bisa kita dapat dengan menganalisa kejadian tesebut berdasarkan sumber-
33
Salwa Sofia Wirdiyana, Hoax dalam al-Qur’an, Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga, 2017 34
Amir Mu’min Solihin, Etika Komunikasi Lisan Menurut al-Qur’an: Kajian Tafsir
Tematik, Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 35
Ilham Syaifullah, Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika,
Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018
14
seumber lain yang lebih bisa dipercaya. Sedangkan jika menggunakan teori
fiksasi dan distansisi yang dikemukakan oleh Paul Riceour, maka yang terjadi
adalah si penerima dan pembaca berita akan memahami makna asli dibalik
penyebaran berita tersebut.
Tesis Hadis Tentang Peristiwa Ifk (Perspektif Sunni dan Syi’ah) oleh
Said Mujahidin, 2016.36
Tesis ini membahas tentang ḥadīṣ-ḥadīṣ ifk dari
perspektif sunni (yang mengatakan bahwa ḥadīṣ tersebut dituduhkan pada
‘Āisyah) dan syi’ah (yang mengatakan bahwa ḥadīṣ tersebut dituduhkan pada
Maria al-Qibtiyah), ditinjau dari kronologi sejarahnya. Dengan metode takhrīj
mutūn al-ḥadīṣ, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ḥadīṣ tersebut muncul
pada empat kondisi yakni, pertama, pada tahun 5 H yang berkaitan dengan
‘Āisyah. Kedua, tahun ke-8 H yang berkaitan dengan tuduhan kehamilan
Maria Qibtiyah. Ketiga, pada masa al-Walid. Keempat, tentang peristiwa ifk
yang berkaitan dengan Aba Ja’far.
Disertasi Konsepsi Etika Sosial dalam al-Qur’an, karya Nurul Fuadi
(2009).37
Disertasi ini membahas tentang etika sosial dalam al-Qur’an dengan
dilatar belakangi oleh semakin maraknya stratifikasi sosial yang berakibat
pada semakin menipisnya rasa kekeluargaan antar sesama manusia. Disertasi
ini menggunakan pendekatan tematik dengan menggunakan kata ‘adl, ihsan,
itᾱiẓ al-qurbᾱ, faḥsya, munkar dan al-bagyu beserta derivasinya. Analisis kata
tersebut didasarkan pada Q.S al-Nahl: 90 dan sesuai dengan tiga prinsip dasar
dalam beretika yang disebutkan oleh Franz, yakni bersikap baik, adil, dan
36
Said Mujahidin, Hadis Tentang Peristiwa Ifk (Perspektif Sunni dan Syi’ah), Tesis S2
UIN Sunan Kalijaga, 2016 37
Nurul Fuadi, Konsepsi Etika Sosial dalam al-Qur’an, Disertasi S3 UIN Sunan Kalijaga,
2009
15
hormat terhadap diri sendiri. Melalui kata-kata tersebut, disertasi ini mampu
mengungkap bagaimana etika yang harus dibangun baik dalam dalam
hubungan keluarga, sosial, masalah ekonomi, dan politik.
Jurnal PranotoInspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi
Informasi Hoax oleh Stepanus Sigit, 2018.38
Tulisan ini dilatar belakangi oleh
perilaku narsistik yang menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi hoax.
Dengan menggunakan desain kualitatif dan pendekatan kepustakaan, serta
dalam penentuan ayatnya menggunakan kajian tematik, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa berdasarkan al-Qur’an dan ḥadīṣ menunjukkan bahwa
untuk mencegah meluasnya hoax seseorang perlu bersikap kritis dan bijak
dalam menggunakan media sosial, serta melakukan tabayyun sebelum
membagikan suatu informasi.
Jurnal Kitab Suci dan Hoax: Pandangan al-Qur’an dalam Menyikapi
Berita Bohong oleh Luthfi Maulana, 2017.39
Tulisan ini menjawab kecaman-
kecaman yang Allah Swt sebutkan bagi para penyebar dan menjelaskan kiat-
kiat agar terhindar dari hoax, yakni selalu berkata benar dan melakukan
tabayyun terhadap beragam informasi.
Jurnal Etika Komunikasi Islam dalam Membendung Informasi Hoax di
Ranah Publik Maya oleh Ratna Istriyani dan Nur Huda Widiana, 2016.40
Tulisan ini menunjukkan prinsip-prinsip berkomunikasi agar terhindar dari
38
Stepanus Sigit Pranoto, “Inspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi Informasi
Hoax,” al-Quds; Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis, V. 2, No.1, 2018. 39
Luthfi Maulana, “Kitab Suci dan Hoax: Pandangan al-Qur’an dalam Menyikapi Berita
Bohong,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2 Desember 2017 40
Ratna Istriyani dan Nur Huda Widiana, “ Etika Komunikasi Islam dalam Membendung
Informasi Hoax di Ranah Publik Maya,” Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 36 (2) 2016.
16
hoax, yakni berdasarkan tuntunan dalam al-Qur’an dan al-Ḥadīṣ. Pertama,
prinsip keikhlasan, pahala dan dosa, kejujuran, kebersihan, berkata positif,
paket (hati, lisan, dan perbuatan), dua telinga dan satu mulut, pengawasan,
selektif dan validitas, saling mempengaruhi, keseimbangan berita, dan prinsip
privasi.
Jurnal Konsep Berita dalam al-Qur’an (Implikasinya dalam Sistem
Pemberitaan di Media Sosial) oleh Iftitah Jafar, 2017.41
Tulisan ini
menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an, terdapat bermacam-macam berita,
seperti berita umat terdahulu, berita kandungan ilmiah, dan berita gaib.
Tulisan ini juga menyebutkan bahwa fungsi media sosial adalah sebagai
silaturrahmi, media dan ajang bisnis, bertukar pikiran dan karya ilmiyah,
penyampaian pesan dakwah. Oleh sebab itu, implikasinya adalah sumber
berita harus jelas, tidak mengandung unsur SARA, dan sesuai dengan fakta.
Jurnal Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan
dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial oleh
Vibriza Juliswara, , 2017.42
Tulisan ini merupakan respon dari merebaknya
fenomena hoax. Kajian ini mencoba mengembangkan suatu model literasi
media kebhinekaan dalam menganalisis hoax di media sosial. Hasil
pengembangan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan model kajian
tersebut diasumsikan bagi para netizen akan mampu mengkontruksi muatan
positif dalam memanfaatkan media sosial
41
Iftitah Jafar, “Konsep Berita dalam al-Qur’an (Implikasinya dalam Sistem Pemberitaan
di Media Sosial),” Jurnalisa Vol. 03, No. 1, Mei 2017 42
Vibriza Juliswara, “Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan
dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial,” Jurnal Pemikiran Sosiologi,
Vol. 4, No. 2, Agustus 2017.
17
Jurnal Inspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi Informasi
Hoax oleh Stepanus Sigir Pranoto, 2018.43
Penelitian ini memperlihatkan
bahwa dalam upaya mencegah semakin meluasnya informasi hoax, seseorang
perlu bersikap kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial, serta
melakukan tabayyun sebelum membagikan suatu informasi
Dari hasil penelusuran tersebut, penulis tidak menemukan penelitian
yang sama dengan penelitian penulis. Oleh sebab itu, penulis hendak mengkaji
tentang nilai dan norma sosial tentang peristiwa al-ifk dalam Q.S al-Nūr.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan terhadap masalah pokok yang disebutkan di atas, dibagi
menjadi lima bab yang terdiri dari:
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang kajian pustaka nilai dan norma sosial yang terdiri
dari beberapa sub bab, yakni pengertian nilai dan norma sosial, fungsi dan
tujuannya, macam-macamnya dan sumber-sumber nilai dan norma sosial.
Bab III berisi tentang peristiwa al-ifk dalam Q.S al-Nūr. Dalam bab ini
terdiri dari empat sub bab, yakni pertama, peristiwa al-ifk. Kedua, penilaian
masyarakat tentang peristiwa al-ifk. Ketiga, dampak peristiwa peristiwa al-ifk.
Keempat, rahmat Allah Swt bagi hamba-Nya.
43
Stepanus Sigir Pranoto, “Inspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi Informasi
Hoax,” al-Quds: Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis Vol. 2, No. 2, 2018
18
BAB IV berisi tentang nilai dan norma sosial tentang peristiwa al-ifk.
Dalam bab ini terbagi menjadi dua sub bab, yakni pertama, norma moral.
Kedua, norma hukum.
Bab V Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penelitian
selanjutnya.
19
BAB II
KAJIAN TENTANG NILAI DAN NORMA SOSIAL
A. Pengertian Nilai dan Norma Sosial
1. Nilai
Nilai menurut KBBI adalah: a) harga (dalam arti taksiran harga), b)
harga uang jika dibandingkan dengan harga mata uang lainnya, c) angka
kepandaian; ponten, d) banyak sedikitnya isi, kadar; mutu, e) sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.1 Sehingga nilai
merupakan “...Ide-ide umum yang sangat kuat dipegang oleh orang-orang
tentang apa yang baik dan buruk.”2
Arthur W. Comb menyebutkan bahwa nilai adalah “...Kepercayaan-
kepercayaan yang digenalisir, yang berfungsi sebagai garis pembimbing
untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai.”3
Sedangkan Dardji Darmodihardjo menyebutkan bahwa, “...Nilai
merupakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia, baik secara
jasmanai maupun rohani.”4
Dengan kata lain, “...Nilai pada hakikatnya adalah mengarahkan
perilaku dan pertimbangan seseorang, namun ia tidak menghakimi apakah
perbuatan itu benar atau salah. Nilai sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan. Sehingga, sebuah perbuatan dikatakan sah (secara moral
1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 615 2Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi; Pengantar untuk Memahami
Konsep-konsep Dasar (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 65 3Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dam Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 121
4Dardji Darmodihardjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
h. 36
20
dapat diterima), jika selaras dengan nilai-nilai yang telah disepakati oleh
masyarakat.”5
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai
merupakan suatu kepercayaan masyarakat tentang hal-hal yang bersifat
baik dan buruk, yang hadir karena sebuah kebudayaan dan berfungsi
sebagai pembimbing dalam beperilaku sehari-hari.
2. Norma
Norma menurut KBBI adalah aturan-aturan atau ketentuan yang
mengikat warga atau kelompok di masyarakat, yang dijadikan sebagai
tolok ukur atau memperbandingkan sesuatu.6 Amin Nurdin menyebutkan
bahwa, “...Norma merupakan penerapan konkrit dari nilai-nilai kehidupan
sehari-hari.”7 Ia menjabarkan nilai-nilai secara terperinci ke dalam bentuk
aturan secara formal8 maupun informal.
9 Sehingga, nilai dan norma
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antara satu dengan
lainnya.10
5Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 119 6Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, h. 617 7Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi; Pengantar untuk Memahami
Konsep-konsep Dasar, h. 65 8Norma formal tertulis adalah “...Peraturan tertulis yang disusun dalam bentuk undang-
undang dasar, undang-undang, dan peraturan lainnya yang lebih konkret.” Lihat: Elly M. Setiadi
dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 129 9Norma informal yang tidak tertulis adalah “...Peraturan yang berupa perintah, anjuran,
dan larangan yang tetap terpelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
karena keberadaannya dianggap memiliki manfaat bagi terciptanya ketertiban sosial.” Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan
Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 129 10
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 129-130
21
Alvin L. Bertrand mendefinisikan norma sebagai “...Suatu standar-
standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat.
Keberadaannya disebutkan dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan,
dan adat istiadat atau hukum adat.” Menurutnya, keberadaan norma itu
hadir secara tidak sengaja. Ia hadir dalam proses yang panjang,
menumbuhkan beragam aturan yang kemudian disepakati bersama; dengan
tujuan agar terjalin keteraturan antar sesama.11
Banyak orang yang menganggap bahwa nilai dan norma itu sama,
padahal keduanya berbeda. Orientasi nilai lebih pada sikap seseorang atau
golongan dalam menilai benar atau salah, baik atau buruk, suka atau tidak
suka dan lain sebagainya. Sedangkan orientasi norma adalah “...Aturan-
aturan dalam kehidupan sosial secara kolektif yang mengandung berbagai
sanksi moral atau fisik bagi seseorang atau golongan yang melakukan
pelanggaran atas nilai-nilai sosial.12
Hal ini menunjukkan bahwa nilai dan norma adalah dua hal yang
saling berkaitan. Apabila nilai didefinisikan dengan kepercayaan
masyarakat tentang baik dan buruk, maka norma menjadi wadah untuk
penjabaran nilai. Keberadaan norma berfungsi menunjukkan batasan-
batasan dalam beretika yang dituangkan dalam bentuk formal maupun
informal.
11
Abdulsyani, Sosiologi; Sistematika, Teori, dan Terapani (Jakarta: Bumi Aksara, 2012),
h. 54-55 12
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 130-131
22
3. Sosial
Kata sosial menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan masyarakat.13
Masyarakat menurut M.J. Herskovits adalah
“...Kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti suatu cara
hidup tertentu.” Sedangkan Max Weber megartikan masyarakat sebagai
“...Struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan
nilai-nilai yang dominan pada warganya.”14
Lebih lanjut, Paul B. Horton mendefinisikan masyarakat adalah
“...Sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama cukup lama,
mendiami wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan
melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok tersebut.15
Dengan
demikian, masyarakat adalah manusia yang hidup bersama, bercampur
pada waktu yang cukup lama, menyadari akan kesatuan dan perbedaan,
serta mereka merupakan satu sistem yang hidup bersama.16
2. Fungsi dan Tujuan Nilai-Nilai dan Norma Sosial
Huky menyebutkan bahwa fungsi umum nilai sosial adalah:17
1) Nilai-nilai menyumbangkan seperangkat alat yang siap dipakai untuk
menetapkan harga sosial dari pribadi dan grup. Sehingga adanya
13
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, h. 855 14
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 35-36 15
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 36 16
Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 28 17
Abdulsyani, Sosiologi; Sistematika, Teori, dan Terapani, h. 53-54
23
memungkinkan sistem stratifikasi sosial secara menyeluruh, dan
membantu perseorangan dalam bersikap dan berperilaku.
2) Cara berpikir dan bertingkah laki secara ideal dalam sejumlah
masyarakat, diarahkan atau dibentuk oleh nilai
3) Sebagai penentu akhir bagi manusia dalam memenuhi peran sosialnya.
4) Sebagai alat pengawas dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu.
5) Sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok dan
masyarakat.
Sedangkan fungsi adanya norma sosial adalah sebagai alat kendali
terhadap batasan-batasan dalam tindakan masyarakat, sehingga dapat
diketahui apakah sebuah perbuatan itu dapat diterima atau tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku.18
Hal ini menunjukkan bahwa nilai dan
norma sosial, saling berkaitan. Keberadaan keduanya bertujuan agar
mampu mewujudkan cita-cita, yaitu kehidupan secara bersama-sama.19
3. Macam-macam Nilai dan Norma Sosial
Max Scheller menyebutkan, sebagaiman yang dikutip oleh Kelan
bahwa macam-macam nilai, terbagi menjadi 4 macam yaitu:
1) Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakkan atau tidak
mengenakkan; yang berkaitan dengan indra manusia, yang
menyebabkan manusia senang atau menderita.
2) Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan
18
Abdulsyani, Sosiologi; Sistematika, Teori, dan Terapani, h. 55 19
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 131
24
3) Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan
jasmani maupun lingkungan
4) Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.20
Sedangkan Natonagoro, sebagaimana yang dikutip oleh Elly dan
Usman membagi nilai menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani
manusia. Misalnya, nilai tentang baik dan buruk suatu benda, itu bisa
diukur dengan ukuran tertentu, seperti uang.
2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan aktivitas. Misalnya, pasir akan bernilai
ketika digunakan untuk membuat kontruksi bangunan, tetapi ketika
pasir berada di gurun pasir, ia menjadi tidak bernilai sebab di sana ia
tidak berguna.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebutuhan rohani manusia. Dalam hal ini, nilai kerohanian dibagi
menjadi 4, yaitu:
a. Nilai kebenaran yakni bersumber dari akal manusia. Misalnya,
sesuatu itu dianggap benar atau salah karena manusia mempunyai
kemampuan untuk memberikan penilaian.
b. Nilai keindahan yakni bersumber pada unsur perasaan. Misalnya
daya tarik suatu benda, sehingga nilai daya tarik atau pesona yang
melekat itulah yang dihargai.
20
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), h. 175
25
c. Nilai moral yakni bersumber pada unsur kehendak, terutama pada
tingkah laku manusia antara penilaian perbuatan yang anggap
baik atau buruk, mulia atau hina menurut tatanan yang berlaku
pada kelompok sosial tertentu.
d. Nilai keagamaan yakni bersumber dari kitab suci (wahyu Tuhan).
Ini merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak karena
bersumber dari pada keyakinan manusia kepada Tuhannya.21
Sedangkan macam-macam norma terbagi menjadi dua, yaitu
pertama, norma khusus. Kedua, norma umum. Norma khusus adalah
“...Norma yang hanya berlaku untuk mencapai tujuan tertentu atau
untuk kegiatan sementara dan terbatas.” Misalnya, aturan dalam
bermain sepak bola hanya berlaku pada hal itu saja. Sedangkan norma
umum adalah “...Norma yang berlaku untuk umum.” Dalam hal ini
terbagi menjadi tiga, yaitu: 22
a. Norma Hukum, yaitu “...Norma yang pelaksanaannya dapat
dituntut dan dipaksakan serta pelanggarannya ditindak dengan
pasti oleh penguasa sah dalam masyarakat.” Dalam hal ini, tidak
semua norma hukum sekaligus dapat mengikat secara moral dan
tidak semua norma moral dapat dijadikan norma hukum.
b. Norma moral “...Merupakan penentu apakah perbuatan seseorang
itu dianggap baik atau buruk dari sudut etis. Sehingga norma
moral tergolong sebagai norma tertinggi dan tidak bisa
21
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, h. 124-125 22
K. Bertens, Etika, h. 118-119
26
ditaklukkan pada norma lain. Apabila ada norma hukum atau
norma sopan santun yang tidak sesuai dengan norma moral, maka
harus dihapus. Begitupun pada norma khusus, ia harus tunduk
dengan norma moral.” Misalnya dalam bentuk positif, berupa
perintah untuk mengatakan yang benar. Sedangkan dalam bentuk
negatif, berupa larangan untuk berbohong, memfitnah, dan lain
sebagainya.
c. Norma sopan santun yaitu “...Norma yang hanya berlaku
berdasarkan kebiasaan dan atau konvensi saja, sehingga
prinsipnya mudah diubah.” Misalnya, etika dalam keluarga,
bertamu, dan lain sebagainya.
Namun, Yesmil Anwar dan Adang dalam bukunya, Sosiologi
untuk Universitas menambahkan satu bagian, yakni norma kebiasaan.
“...Ia merupakan sekumpulan peraturan sosial yang berisi petunjuk
atau peraturan yang dibuat secara sadar atau tidak tentang perilaku
yang diulang-ulang sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan
inidividu. Pelanggaran ini berakibat celaan, kritik, sampai pengucilan
secara batin.23
Sedangkan jenis-jenis norma sosial ditinjau dari sanksinya,
terbagi menjadi lima macam yaitu:
1) Tata cara; merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk
perbuatan sanksi yang ringan terhadap pelanggarannya. Misalnya,
23
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas (Bandung: PT Refika Aditama,
2013), h. 192
27
aturan memegang garpu dan sendok saat makan dan
penyimpangannya.
2) Kebiasaan; merupakan cara bertindak yang digemari oleh
masyarakat dan dilakukan berulang-ulang, mempunyai kekuatan
mengikat yang lebih besar dari tata cara. Misalnya, membuang
sampah pada tempatnya dan penyimpangannya: membuang
sampah sembarangan dan mendapat teguran bahkan digunjingkan
masyarakat.
3) Tata kelakuan; merupakan norma yang bersumber kepada filsafat,
ajaran agama dan ideologi yang dianut masyarakat. Tata kelakuan
di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak
melarang suatu perbuatan sehingga secara langsung ia merupakan
alat pengendali sosial agar anggota masyarakat menyesuaikan
tindakan-tindakan itu.
4) Adat; merupakan norma yang tidak tertulis namun kuat mengikat
sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat akan menderita
karena sanksi keras yang kadang secara tidak langsung seperti
pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat, atau harus memenuhi
persyaratan tertentu.
5) Hukum; merupakan norma yang bersifat formal dan berupa aturan
tertulis. Sanksinya tegas dan merupakan suatu rangkaian aturan
yang ditujukan kepada anggota masyarakat dan berisi ketentuan,
28
perintah, kewajiban dan larangan agar tercipta ketertiban dan
keadilan.24
4. Sumber-sumber Nilai dan Norma Sosial
Penentuan suatu tindakan dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas (nilai) harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Sehingga tidak
heran jika antara masyarakat satu dengan lainnya, berbeda tata nilainya.
Misalnya, masyarakat di perkotaan cenderung lebih menyukai persaingan
karena dapat memunculkan pembaharuan-pembaharuan. Berbeda dengan
masyarakat tradisional yang lebih cenderung menghindari persaingan karena
dapat mengganggu keharmonisan dan tradisi turun-temurun. 25
Sehingga, ciri-ciri nilai sosial adalah:
1) Terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar)
2) Merupakan kontruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antar masyarakat
3) Disebarkan di antara masyarakat (bukan bawaan dari lahir)
4) Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial
manusia
5) Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan lainnya
6) Dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial
7) Memiliki pengaruh yang berbeda antar warga masyarakat
8) Cendrung berkaitan satu sama lain.26
24
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, h. 193 25
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, h. 190 26
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, h. 191
29
Sedangkan norma dibangun atas nilai sosial dan diciptakan untuk
mempertahankan untuk mempertahankan nilai sosial. Norma akan
berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya,
sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-
perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalankan interaksi sosial. Selain itu,
keberadaan norma juga bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar
bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk.27
27
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas, h. 191
30
BAB III
PERISTIWA AL-IFK DALAM Q.S AL-NŪR
A. Peristiwa al-Ifk
Q.S al-Nūr merupakan surat yang dihadirkan untuk manusia,
sebagai “...Dasar agar terhindar dari perpecahan dan kehancuran, campur
baurnya nasab, lepas kontrol, dan hal-hal yang dapat menyebabkan
kemunduran seperti pergaulan bebas yang dapat menimbulkan kesia-siaan
nasab, hilangnya kehormatan dan harga diri...”1
Sehingga, persoalan-persoalan yang diangkat di dalam surat ini
adalah sanksi hukum perzinahan dan terpenuhi syaratnya, sanksi hukum
terhadap penuduh zina, cara memelihara akhlak dalam pergaulan,
dorongan untuk melaksanakan perkawinan bagi yang mampu, syarat
perolehan kekuasaan dan kemantapan hidup bermasyarakat, pendidikan
anak dan tata cara pergaulan serta kehidupan rumah tangga, dan uraian
tentang kewajiban berpartisipasi dalam kegiatan positif serta
penghormatan kepada Rasulullah Saw.2
Peristiwa al-ifk (berita bohong) yang menimpa ‘Āisyah–istri
Rasulullah Saw pun salah satu persoalan yang termaktub dalam surat ini.
Sebagaimana dalam Q.S al-Nūr: 11
1‘Alī al-Ṣabunī, Ṣafwah al-Tafᾱsīr, h. 589-590
2Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2009), h. 600
31
“(11). Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-
tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Siapapun di antara mereka yang mengambil bagian
yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab
yang besar.”
Kronologi turunnya ayat ini bermula ketika kepulangan Nabi Saw
dan para sahabatnya dari peperangan Bani Muṣṭᾱlᾱq.3 Sebagaimana pada
peperangan lainnya, sebelum keberangkatan beliau mengundi para istrinya
untuk ikut berperang dan pada saat itu, ‘Āisyah-lah yang bertugas
menemani Rasulullah. Dia kemudian diangkat dengan haudaj, semacam
tandu yang diletakkan di atas punggung unta oleh para sahabat.4
Sepulang dari peperangan tersebut, ketika sudah mendekati kota
Madinah, mereka istirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan
kembali. Pada saat hendak melanjutkan perjalanan tersebutlah, ‘Āisyah
menyadari bahwa kalung yang terbuat dari Azfᾱr putus. Ia kemudian
mencari ke tempat semula. Pada saat ia sudah menemukan kalungnya dan
hendak kembali ke rombongan, ‘Āisyah tidak mendapati mereka.
Rombongan tersebut telah berangkat dan tidak menyadari bahwa ‘Āisyah
tidak ada di dalam haudaj. Wajar para sahabat tidak menyadari
3M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 295
4Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 150
32
ketiadaannya, sebab pada masa itu, tubuh wanita sangat ringan karena
hanya makan sesuap makanan.5
Menyadari ketidakberadaan rombongan, ‘Āisyah kemudian
menunggu di tempat pemberangkatan; berharap mereka menyadari
ketertinggalannya dan menjemputnya. Pada saat menunggu, ia tertidur dan
di pagi hari ‘Āisyah ditemukan oleh seorang sahabat yang bernama
Ṣafwan ibn Al-Mu’ṭᾱṭal al-Sulamī. Mengetahui bahwa yang tertinggal
adalah ibunda kaum mukmin, Ṣafwan kemudian menundukkan untanya
dan mempersilahkan ‘Āisyah menaikinya.6
Sesampainya di Madinah, para sahabat melihat kejadian tersebut.
Fenomena ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk
menyudutkan Nabi Saw. Dengan didalangi oleh Ubay ibn Salul, mereka
menyebarkan berita bohong tentang ‘Āisyah. Mendapati perlakuan seperti
itu, Nabi merasa risau dan kemudian Allah Swt menurunkan ayat tersebut;
membantah kabar yang telah dibawah oleh Ubay ibn Salul.7
Kata االفك al-ifk diambil dari kata ألفكا al-afku yang berarti
keterbalikan, baik material, seperti akibat gempa yang menjungkirbalikkan
negeri, maupun immaterial, seperti keindahan bila dilukiskan dalam
bentuk keburukan atau sebaliknya. M. Quraish Shihab menyebutkan
5Jalᾱl al-Dīn al-Suyuṭī, Asbᾱb al-Nuzūl, terj. Tim Abd al-Hayy (Jakarta: Gema Insani,
2008), h. 394 6Jalᾱl al-Dīn al-Suyuṭī, Asbᾱb al-Nuzūl, h. 394
7Hamka, Tafsīr al-Azhar, h. 151-156
33
bahwa maksud dari frasa tersebut adalah kebohongan besar karena
kebohongan adalah pemutarbalikkan fakta.8
Dewasa ini, penyebaran berita bohong–yang biasanya dikenal
dengan istilah hoax semakin merajalela. Kemudahan dalam mengakses
dan menyebarkan sebuah berita, berdampak pula pada penyalahgunaan
beberapa oknum terhadap media sosial tersebut. Terbukti, di Indonesia–
khususnya; hingga di tahun 2018 Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik
(IKP), Kominfo menyebutkan bahwa penyebaran tersebut menyentuh
hingga 800 ribu konten pertahun.9
Oleh sebab itu, kehadiran nilai dan norma sosial yang terkadung di
dalam Q.S al-Nūr, diharapkan mampu menjadi ibrah bagi generasi saat ini
dan seterusnya. Sebab, dampak ngetif yang ditimbulkan dari peristiwa
tersebut sangat besar dan dapat menganggu kestabilan hidup
bermasyarakat.10
B. Penilaian Masyarakat Tentang Peristiwa al-Ifk
Tersebarnya peristiwa al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah, tentu
menimbulkan penilaian di kalangan masyarakat Madinah pada saat itu.
Sebagai sosok umm al-mikminīn, tentu berita tersebut tidak sepatutnya
disematkan padanya.11
Hal ini termaktub pada ayat ke-12
8M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 296
9Linda Juliawanti, “Angka Penyebaran Hoax Capai 800 Ribu Konten, di Pilkada Terus
Meningkat,” IDN Times, diaksees pada 14 Maret 2018 10
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 151-152 11
Ibn Kaṭīr, Tasīr Ibn al-Kaṭīr, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Aṭari (Jakarta:
Pustaka Imam asy-Syafi’ī, 2004), h. 22
34
“(12). Mengapa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan
tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu
mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu
berita) bohong yang nyata.”
Ayat di atas merupakan kecaman bagi orang-orang mukmin–
khususnya, tentang sikap mereka tatkala menanggapi berita al-ifk.
Sikapnya yang hanya terdiam, tidak membenarkan atau membantah kabar
tersebut dan bahkan ada membicarakan sambil bertanya-tanya terkait
kebenarannya.12
a. Penilaian Baik
Keimanan yang dimiliki oleh orang mukmin menjadi salah satu
tolok ukur dalam menilai peristiwa al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah.
Sebagai objek atas peristiwa al-ifk, ia yang notabenya sebagai umm al-
mukminīn adalah sosok yang lebih bersih secara rohani jika
dibandingkan dengan mukmin lainnya.13
Sifat itulah yang membuat
sebagian orang mukmin menilai bahwa peristiwa al-ifk yang terjadi
pada ‘Āisyah adalah dusta.
Usamah bin Zaid adalah salah satu sahabat Rasulullah Saw yang
mendustai peristiwa al-ifk. Abᾱb al-Nuzūl pada ayat ke-11
12
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱh, h. 299 13
Muḥammad ‘Ālī al-Ṣᾱbunī, Ṣafwah al-Tafᾱsīr, h. 559
35
menyebutkab bahwa, ketika Rasulullah Saw menanyakan pendapatnya
tentang peristiwa tersebut, ia berkata, “...Wahai Rasulullah Saw, ia
adalah adalah istri anda, dan kami tidak mengetahui kecuali kebaikan
pada dirinya.”14
Penilaian senada juga dilakukan oleh Barīrah–seorang budak
wanita yang senantiasa berkata jujur. “Tatkala Nabi Saw
memanggilnya dan berkata, ‘Hai Barīrah, apakah engkau melihat
sesuatu yang mencurigakan pada ‘Āisyah? Barīrah menjawab: ‘Demi
Allah Swt yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku
tidak pernah melihat sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah
seorang gadis belia yang pernah ketidudaran saat menjaga adonan roti
milik keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.”15
b. Penilaian Buruk
Meski keimanan menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai
peristiwa al-ifk, namun ada beberapa sahabat nabi yang tergerus dalam
penyebaran tersebut. Melesatnya kabar tersebut dari mulut ke mulut,
hingga menjadi sebuah rahasiaumum hingga jarang orang yang
berpikir tentang kebenarannya. Bahkan boleh jadi, orang yang semula
masih menimbang tentang keotentikan berita tersebut, menjadi ragu
karena orang-orang di kanan kirinya yang membicarajannya.16
‘Ālī bin Abī Ṭᾱlīb adalah salah satu sahabat nabi yang menilai
buruk tentang peristiwa al-ifk. Asbᾱb al-Nuzūl pada ayat ke-11
menunjukkan bahwa ketika Nabi Saw bertanya kepada ‘Ālī tentang
14
Jalᾱl al-Dīn, Asbᾱb al-Nuzūl, h. 395 15
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn al-Kaṭīr, h. 18 16
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, 151
36
‘Āisyah, ia menjawab, “Wahai Rasul, Allah Swt tidak mempersempit
wanita untukmu. Banyak wanita selainnya. Jika engkau bertanya pada
pembantunya, Barīrah tentukah ia akan menjawab yang sebenarnya.”
Sehingga, pernyataan ‘Ālī ini berdampak pada sikap ‘Āisyah ketika
pengangkatannya menjadi khalifah.17
C. Dampak Peristiwa al-Ifk
a. Dampak Pada Objek al-Ifk
Penyebaran peristiwa al-ifk yang terjadi kepada ‘Āisyah begitu
cepat hingga Rasululloh Saw. Sekembalinya ‘Āisyah dari Madinah, ia
jatuh sakit dan tidak mengetahui adanya berita tersebut. Hingga
kemudian, ia menaruh curiga atas kurangnya sikap kelemah lembutan
yang biasa beliau berikan. Pada saat itu, Nabi berkunjung kepada
‘Āisyah, mengucapkan salam dan hanya berkata, “Bagaimana
kabarmu? Sejurus kemudian, ketika ‘Āisyah mengetahui berita
tersebut ia kemudian meminta izin untuk mengunjungi orang tuanya
dan Nabi pun memperbolehkannya.18
Dampak yang dirasakan oleh ‘Āisyah selaku objek atas peristiwa
al-ifk semakin dahsyat ketika Nabi mengunjunginya seraya berkata
agar ia senantiasa bertawakkal dan bertaubat atas perbuatan yang tidak
pernah ia lakukan. Bahkan, pada saat itu kedua orang tuanya pun tidak
mampu memberikan tanggapan atas perkataan Nabi. Hingga
kemudian, setelah Allah Swt menurunkan ayat ke-11 yang berupa
17
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 298 18
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn Kaṭīr, h. 17
37
penolakan peristiwa al-ifk dan pembersihan nama baiknya, kedua
orang tua ‘Āisyah menyuruhnya untuk berterima kasih terhadap
Rasululloh. Namun dengan tegas beliau menjawab, “Saya tidak akan
berdiri untuk melakukan itu dan tidak ada yang akan saya puji selain
Allah Swt sebab Dialah yang telah menurunkan wahyu tentang
kesucianku.19
Fenomena di atas terlihat jelas bahwa dampak psikis yang ia alami
sangat dahsyat. Ia merasa risau dan terpojokkan dari lingkungan
sosialnya. Terbukti, ketika kedua orang tuanya menyuruhnya untuk
berterimakasih atas wahyu tentang kesucian dirinya yang diturunkun
kepada Nabi, ia menolak sebab hanya Allah Swt yang patut dipuji.
b. Dampak Pada Keluarga al-Ifk
Dampak atas peristiwa al-ifk, tidak hanya dirasakan oleh objek saja
namun juga pada keluarganya. Terbukti Asbᾱb al-Nuzūl pada ayat ke-
11 menyebutkan bahwa ketika berita al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah
sampai pada Rasululloh Saw, ia menjadi risau. Kondisi Nabi tersebut
disebutkan pada asbᾱb al-nuzūl ayat ke-11, yakni:20
“Setelah Rasulullah Saw berita tentang peristiwa al-ifk tersebar
hingga Rasulullah Saw, ia kemudian berpidato di depan para
sahabatnya dan berkata, “Wahai sekalian manusia! Mengapa
orang-orang telah menyakiti diriku dari hal isteriku? Dia dituduh
dengan tuduhan yang tidak-tidak? Demi Allah Swt, yang aku
ketahui tentang ahliku adalah baik belaka. Dan disebut-sebut pula
nama seorang laki-laki yang demi Allah dia pun saya kenal
seorang yang baik. Dia belum pernah masuk ke dalam rumahku,
kecuali bersamaku.”
19
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 155 20
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, 152
38
Pidato tersebut kemudian menimbulkan pertengkaran di antara para
sahabat dari bani ‘Aus–seperti Ussaid bin Ḥuẓair dan bani Khazrᾱz–
yakni Sa’ad bin Ubadah, yakni keduanya hendak mengajukan diri
untuk menyelasaikan hukuman bagi masing-masing dari golongan
yang terbukti. Peristiwa tersebut nyaris menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan, hingga kemudian Rasulullah Saw meminta pendapat
Usᾱmah bin Zaid, ‘Ālī bin Abī Ṭᾱlib dan Barīrah.21
Mendapati pendapat yang berbeda-beda, ia kemudian mendatangi
‘Āisyah seraya berkata, “ Hai ‘Āisyah, sudah banyak kata orang
tentang dirimu, bertakwalah saja engkau kepada Allah Swt. Kalau
benar-benar engkau telah berbuat salah sebagaimana yang dikatakn
orang-orang itu, bertaubatlah karena sesungguhnya Allah Swt Maha
menerima taubat.”22
Kegelisahan yang menimpa pada keluarga ‘Āisyah terkait dengan
peristiwa al-ifk tidak hanya dirasakan oleh Nabi Saw selaku suaminya.
Namun, ‘Abū Bakar dan Istrinya–selaku kedua orang tuanya pun
merasakan hal yang demikian. Asbᾱb al-nuzūl pada ayat ke-11 pun
menyebutkan sikap kedua orang tuanya ketika Rasulullah hadir
menemui ‘Āisyah seraya menyuruhnya bertakwa dan bertaubat jika
tuduhan tersebut benar. Di dalamnya dijelaskan bahwa:23
“Setelah Rasulullah Saw datang menemuiku dan menyuruhku
untuk bertakwa dan bertaubat atas kesalahanku, ‘Āisyah berkata:
‘Demi Allah Swt, Rasulullah Saw telah berkata demikian pula.
21
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 152-153 22
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 152-153 23
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 154
39
Sehingga tersenak air mataku, hingga tak ada perasaanku lagi.
Aku menunggu semoga kedua orang tuaku menyambut
perkataanku. Namun keduanya tidak menyahut hingga keduanya
kutegur. Kemudian mereka berdua menjawab, ‘Demi Allah kami
tidak tahu apa yang akan kami jawabkan kepada beliau.”
Sikap yang diambil oleh kedua orang tua ‘Āisyah merupakan
akibat dari kegelisahan yang mereka rasakan. Hal ini menunjukkan
bahwa dampak dari peristiwa al-ifk tidak hanya dirasakan bagi
objeknya, namun orang-orang disekitarnya.
D. Rahmat Allah Swt Bagi Hamba-Nya
a. Petunjuk al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci24
yang kebenarannya bersifat
abadi25
hingga akhir zaman. kandungannya tidak hanya memuat tentang
perintah dan larangan, janji dan ancaman bagi orang-orang mukallaf;26
namun al-Qur’an mengandung beragam mukjizat, baik dari aspek susunan
bahasanya, syari’atnya yang lembut dan sempurna, tidak adanya
pertentangan dengan ilmu pengetahuan, kesanggupannya memenuhi segala
kebutuhan manusia, pengaruhnya dalam hati pengikut dan musuhnya,
hingga mukjizat dalam hal-hal gaib, seperti berita tentang kemengangan
Romawi atas Persia, kemenangan Nabi pada Perang Badar, dan lain
sebagainya.27
24
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur’an, h. 5 25
Syaikh Manna al-Qaththan, Mannᾱ’ al-Qaṭᾱn, terj. Annur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Ilmu al-Qur’an, h. 3 26
Abu Yasid, Metodologi Penafsiran Teks; Memahami Ushul Fiqh Sebagai Epistemologi
Hukum (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 3-4 27
Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni, Al-Tibyᾱn fī ‘Ulūm al-Qur’an, terj. Muhammad
Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 1988), h. 136
40
Ia hadir sebagai kitab hidayah bagi seluruh umat manusia,
khususnya umat Islam.28
Salah satu bentuk hidayah-Nya berupa norma-
norma yang Allah Swt tetapkan dalam Q.S al-Nūr dalam menyikapi
peristiwa al-ifk. Peringatan Allah Swt dan penjelasan tentang fungsi ayat-
ayat-Nya termaktub pada ayat ke-17 dan 18
“(17). Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali
memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-
orang yang beriman. “(18). Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini merupakan peringatan Allah Swt kepada setiap mukmin
ketika mendapat sebuat berita. Peristiwa al-ifk yang Ia sebutkan di dalam
kalam-Nya, harus mereka jadikan sebagai pembelajaran bagi generasi-
generasi selanjutnya.29
b. Memberikan Ampunan Kepada Para Penyebar al-Ifk yang
Bertaubat
Rahmat Allah Swt lainnya, yang diberikan kepada hamba-Nya
yang sungguh-sungguh bertaubat atas keterlibatannya dalam peristiwa al-
28
Fungsi al-Qur’an sebagai hidayah tersebut dijelaskan di dalam Q.S al-‘Imrᾱn: 138
“(al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. 3:138) 29
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn Kaṭīr, h. 25
41
ifk diterima taubatnya dan dibersihkan nama baiknya. Sosok Misṭah yang
digambarkan dalam asbᾱb al-nuzūl ayat ke-11 merupakan bentuk konkrit
ampunan tersebut.
Ketika Abū Bakr mengetahui bahwa ia terlibat penyebaran
peristiwa al-ifk, ia yang awalnya dinafkai oleh Abū Bakar mendadak
bersumpah tidak akan memberikan nafkah lagi. Namun karena
kesungguhannya dalam bertaubat kepada Allah Swt, Abū Bakr kemudian
ditegur oleh Allah Swt–yakni pada ayat-22, dengan firman-Nya yang
menegaskan agar ia tidak mencegah untuk berbuat baik kepada siapapun.30
Demikianlah ampunan yang Allah Swt senantiasa berikan kepada
hamba-Nya. Bahkan, kemurnian hati seorang mukmin agar senantiasa
memaafkan siapapun yang menyakiti hatinya pun tergambar pada sosok
Abū Bakr. Tindakannya untuk bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun,
dan ia kemudian ia kembali memberikan nafkah adalah sikap yang patut
dijadikan sebagai panutan bagi generasi selanjutnya. Hal inilah yang
menjadi salah satu sebab stabilitas kerukunan dan kedamaian dalam
masyarakat.
30
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 310-311
42
BAB IV
NILAI DAN NORMA SOSIAL TENTANG PERISTIWA
AL-IFK
A. Norma Moral
a. Menjauhi Hal-hal yang Menimbulkan Fitnah
Peristiwa al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah–sebagaimana yang
dijelaskan pada Q.S al-Nūr: 111 patut dijadikan sebagai ibrah bagi
generasi selanjutnya. Asbᾱb al-nuzūl ayat tersebut menyebutkan bahwa
kembalinya ‘Āisyah dan Ṣafwan ibn al-Mu’ṭᾱṭal al-Sulamī secara
berduaan tersebutlah yang menjadi cela bagi orang-orang munafik dalam
menyebarkan berita al-ifk, yakni:2
“Tatkala ‘Āisyah tertinggal rombongannya, ia kemudian
menunggu di tempat semula (tempat beristirahat sebelumnya),
berharap rombongan tersebut menyadari ketidakberadaannya.
Ketika ia menunggu, ia tertidur dan pada saat itu Ṣafwan ibn al-
Mu’ṭᾱṭal al-Sulamī yang sedang mengiringi rombongan di
belakang, melihat sesosok hitam yang sedang tertidur. Menyadari
bahwa ia adalah ‘Āisyah, sepontan ia mengucapkan kalimat istirja’
dan kemudian menambatkan kendaraannya sembari
mempersilahkannya naik. Maka ketika sampai di rombongan,
orang-orang munafik mengomentari peristiwa tersebut–
1Q.S al-Nūr: 11
“(11). Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian
juga. Janganlah kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia baik bagi kalian.
Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Siapapun di antara
mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab
yang besar.”
2Ibn Kaṭīr, Tafsīr ibn al-Kaṭīr, h. 16
43
memprovokasi al-ifk, yakni didalangi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin
Salul.”
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa berduaan dengan lawan
jenis yang tidak satu mahram3 dapat menimbulkan fitnah. Sosok ‘Āisyah
yang notabenya umm al-mukmin–kredibilitasnya lebih baik dibanding
mukmin lainnya, pun mendapat stigma negatif yang tidak seharusnya
terjadi padanya apalagi mukmin lainnya.4 Sehingga ayat ini terkadung
salah satu norma sosial yakni menjauhi hal-hal yang menimbulkan fitnah,
seperti berduaan dengan lawan jenis yang tidak satu maḥram.
b. Selektif dalam Menyampaikan Berita
Menyaring dan menyampaikan sebuah berita secara selektif
merupakan salah satu keharusan yang harus diterapakan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Fenomena al-ifk yang terjadi kepada ‘Āisyah
merupakan bukti konkrit yang Allah Swt jelaskan tentang dampak negatif
yang ditimbulkan dari sebuah berita bohong, sangat dahsyat.
Asbᾱb al-Nuzūl pada ayat ke-11 menyebutkan bahwa “Tatkala
‘Āisyah dan Ṣafwan ibn al-Mu’ṭᾱṭal al-Sulamī sampai di rombongannya,
berita dari ahl al-ifki tersebar dengan cepat. Dari mulut ke mulut, mereka
menyebarkan bahwa ‘Āisyah dan Ṣafwan ibn al-Mu’ṭᾱṭal al-Sulamī telah
3Mahram adalah orang yang haram dinikahi karana sebab hubungan sedarah,
sepersusuan, dan ikatan pernikahan. Adapun yang termasuk kategori maḥram adalah suami, ayah,
mertua laki-laki, anaknya, anak tirinya, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-
laki dan perempuan, sesama wanita, hamba sahaya (ketika dunia masih mengakui perbudakan),
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai hasrat, dan anak laki-laki yang belum mengetahui daerah-
daerah yang menimbulkan syahwat. Lihat: Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 181-182 4Muḥammad ‘Ālī al-Ṣᾱbunī, Tafsīr Ṣafwah al-Tafᾱsīr, h. 599
44
berlaku serong, bersekongkol menghianati Rasulullah Saw, berjalan
berdua-duaan, dan lain sebagainya. Berita tersebut diatur sedemikian rupa
dari mulut ke mulut, hingga menjadi berita umum, hingga orang-orang
yang menerima berita tersebut tidak menyelidiki kebenarannya. Mereka
yang awalnya ragu dan mempertanyakan kebenarannya, pun menjadi
ragu.”5
Lebih lanjut, pada ayat ke-15 Allah Swt memberikan peringatan
kepada kaum mukmin tentang bahaya lisan, yakni:
“(15). (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari
mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak
kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh,
padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.”
Kata secara hakiki, berkmakna “...Alat yang berada di mulut
yang digunakan untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata. Sedangkan
secara majᾱzī, bermakna bahasa. Namun, M. Quraish Shihab menyebutkan
bahwa makna yang digunakan dalam ayat ini adalah makna secara
hakiki.”6
5Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 151
6M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 304
45
Lidah menjadi salah satu panca indra yang sangat berperan aktif
dalam menciptakan kehidupan yang harmonis terhadap sesama. Meski
mempunyai fungsi yang sama bagi setiap manusia, namun karakter lidah
ketika berbicara, berbeda-beda. Yakni, ada yang mampu mempertanggung
jawabkan ucapannya hal ini muncul akibat keyakinan mereka tentang
adanya balasan di akhirat sehingga mereka tidak mengggunakan dengan
sembarangan. Bahkan, ada juga yang sebaliknya.7
Demikianlah sebuah berita yang mengandung nilai provokasi. Ia
menyebar dengan sangat cepat tanpa mempertimbangkan maẓarᾱt yang
ditimbulkan. Ketika ‘Āisyah sampai di Madinah, ia terkena demam karena
penatnya perjalanan jauh. Berita al-ifk telah menyebar luas hingga
Rasululloh Saw, Abu Bakr dan istrinya–hingga membuat mereka risau,
namun ‘Āisyah belum tahu-menahu. Ketika ‘Āisyah mengetahui berita
tersebut, ia mengalami kesedihan yang begitu mendalam.8
Sehingga, untuk mendapati kebenaran berita tersebut, Rasululloh
Saw bertanya kepada para sahabatnya seperti ‘Ālī bin Abī Ṭᾱlīb, Zainab
binti Jaḥsy, dan sahabat lainnya. Kemudian Allah Swt menurunkan Q.S al-
Nūr: 11 untuk menampik berita al-ifk dan membersihkan nama ‘Āisyah.9
Penjelasan dari asbᾱb al-nuzūl ayat di atas menunjukkan bahwa
dampak negatif yang dirasakan oleh ‘Āisyah, Rasulullah Saw, Abū Bakr,
dan keluarga lainnya sangat dahsyat. Fenomena tersebut menunjukkan
salah satu norma moral yang harus diterapkan dalam mengambil dan
7Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 161
8Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 151-152
9M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 298
46
menyampikan sebuah berita adalah mencari kebenarannya secara selektif
terlebih dahulu, yakni dengan tidak tergesa-gesa dan tidak terprovokasi
dengan situasi maupun kondisi, agar tidak menimbulkan keresahan,
kekecewaan, dan dampak negatif lainnya.
c. Ḥusn al-Ẓᾱn Terhadap Sesama
Keimanan menjadi salah satu tangga dalam menilai dan menerima
sebuah berita yang sedang menimpa sesama saudara mukminnya.
Penagasan kata المؤمين dan المؤمنات pada ayat ke 12 merupakan salah satu
petunjuk Allah Swt, bahwa salah satu dampak dari sebuah keimanan
adalah senantiasa berbaik sangka terhadap sesama mukmin.10
Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt:
(12). Mengapa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tidak
berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu
mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu
berita) bohong yang nyata.”
‘Ālī al-Ṣᾱbunī menyebutkan bahwa. “…Karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh tiap-tiap orang mukmin dalam menyikapi adanya
hoax adalah dengan tidak membenarkan dan tidak menyalahkannya.
Cukuplah atas mereka bersikap ḥusn al-ẓᾱn (berbaik sangka) kepada
objek yang terkena isu tersebut.” Dalam fenomena ‘Āisyah, haruslah kita
10
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 300
47
kiaskan bahwa sebuah isu yang tidak layak bagi seorang mukmin biasa,
bagaimana mungkin terjadi kepada umm al-mukmīn yang notabenya
lebih bersih dari yang lainnya.11
Penjelasan ayat di atas menunjukkan bahwa norma moral lainnya
yang terkadung dalam Q.S al-Nūr tentang peritiwa al-ifk adalah ḥusn al-
ẓᾱn. Kendati norma yang terkandung demikian, namun sikap lahiriah
manusia yang selalu ingin tahu dan penasaran terhadap semua hal, dapat
berakibat pada langkah pengambilan dan penyampaian berita yang tidak
tepat. Sehingga pada Q.S al-Hujurᾱt: 12 Allah Swt memberikan
penegasan terkait bahaya sebuah prasangka.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
Ibn Kaṭīr menyebutkan bahwa ayat ini merupakan larangan Allah
Swt kepada hambaNya yang beriman dari banyak prasangka, yakni
11
Muhammad ‘Ālī al-Ṣᾱbūnī, Ṣafwah al-Tafᾱsīr, terj. Yasin, h. 599
48
melakukan tuduhan dan penghianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat
serta umat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya karena
itu termasuk perbuatan dosa.12
d. Saling Memaafkan
Mengetahui orang yang menyebarkan berita bohong tentang kita,
keluarga, atau orang terdekat lainnya, tentu dapat menimbulkan perasaan
tidak suka, marah, benci, kecewa, dan lain sebagainya. Terlebih, jika yang
menyebarkan adalah orang terdekat kita. Hal inilah yang terjadi pada Abū
Bakr ketika mengetahui bahwa salah satu penyebar peristiwa al-ifk adalah
Misṭah bin Uṫᾱṫᾱh.
Misṭah bin Uṫᾱṫah adalah keponakan Abū Bakr yang fakir, dan
diberikan nafkah oleh Abū Bakr. Setelah Allah Swt menurukan Q.S al-
Nūr: 11–yakni pembebasan atas ‘Āisyah dari peristiwa al-ifk, ia kemudian
bersumpah tidak memberi ia nafkah lagi.13
Kemudian Allah Swt
menurunkan ayat ke-22 yakni:
“(22) Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu
12
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn Kaṭīr, h. 487 13
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn al-Kaṭīr, h. 20
49
tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini merupakan gambaran kemurnian hati orang-orang
mukmin dan patut dijadikan acuhan bersikap bagi mereka.14
Bagaimana
tidak, penggunakan kata عفو yang berarti ‘meninggalkan sanksi terhadap
yang bersalah (memaafkan) menunjukkan bahwa setelah peristiwa al-ifk
tersebut, Abū Bakr mencabut dan melupakan tindakan yang dilakukan
keponakannya dan kembali memberikan nafkah seperti semula.15
Sedangkan M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa, “Tidak
ditemukan dalam al-Qur’an perintah meminta maaf, namun ayat-ayat yang
ditemukan adalah perintah untuk senantiasa memberi maaf.16
Ketiadaan
perintah meminta maaf, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan
meminta maaf, bahka ia wajib memintanya, tetapi lebih menuntut manusia
agar senantiasa berbudi luhur, yakni selalu memberikan maaf terhadap
sesama.”17
Sehingga, penggalan akhir surat tersebut dikhiri dengan
‘Apakah Kamu tidak Ingin Allah
Mengampunimu? Dan Allah Swt adalah Maha Pengampun dan Maha
14
Sayyid Quṭb, Tafsīr fI Zilᾱl al-Qur’an, h. 226 15
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 310-311 16
Hal ini sebagaimana dalam Q.S al-A’rᾱf: 199
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.” 17
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbᾱḥ, h. 311-312
50
Penyanyang.’ Hal ini menunjukkan bahwa memberi maaf terhadap
sesama, itu lebih baik baik orang-orang beriman.18
e. Berlapang Dada
Berlapang dada atas peristiwa yang menimpa seseorang merupakan
salah satu norma yang sangat di anjurkan. Penggunaan kata pada
ayat ke-22 berasal dari akar kata yang berarti ‘lembaran yang
terhampar.’ M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa ayat ini memberi
kesan bahwa “…Yang melakukannya membuka lembaran baru, putih,
belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu yang harus dihapus.”19
Peristiwa al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah dan sikap Abū Bakr
kepada para penyebar berita tersebut patut dijadikan ibrah bagi semua
orang. Meski ia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Misṭᾱh–keponakannya itu salah, bahkan ia pun bersumpah untuk tidak
memberikan nafkah kepadanya yang fakir. Namun ketika Misṭᾱh bertaubat
dan menyesali perbuatannya, ia memaafkan sepenuhnya, melupakan
segala perbuatan yang ia lakukan dan kembali memberikan nafkah seperti
sedia kala. Demikian sikap terpuji yang patut kita teladani sebagai orang
mukmin yang taat kepada Allah Swt.
18
Hamka, Tafsīr al-Azhar, h. 166 19
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 311
51
B. Norma Hukum
a. Melakukan Tabayyun
Tabayyun merupakan norma hukum yang Allah Swt sebutkan
dalam Q.S al-Nūr, yang tercermin pada ayat ke-13 yang mengharuskan
untuk mendatangkan empat orang saksi. Hal ini karena hoax bukan hal
yang remeh karena “...Menyentuh derajat paling tinggi dan kehormatan
yang paling suci, tidak mungkin dibiarkan namun harus ada pembuktian
dan persaksian.”20
“(13). Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang
membawa empat saksi? Oleh karena mereka tidak membawa saksi-
saksi tersebut, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah
orang-orang yang berdusta.”
Pernyataan Allah Swt agar mendatangkan empat orang saksi atas
tuduhan yang diberikan orang munafik kepada ‘Āisyah, harus diterapkan
pada kasus lainnya. Misalnya, di Indonesia yang menganut sistem
demokrasi.21
Kebebasan berpendapat acap kali disalah artikan untuk
20
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Zilᾱl al-Qur’an, v. viii, h. 224 21
Secara etimologi, “...Demokrasi (dari bahasa Yunani) berasal dari dua kata demos
(rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Sedangkan secara terminologi adalah
suatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Maksudnya, pemerintahan dari rakyat berarti
suatu pemerintahan yang sah dan mendapat pengakuan dan dukungan masyarakat melalui
mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Sedangkan pemerintahan oleh rakyat berarti suatu
pemerintahan yang menjalan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan pribadi atau golongan.
Begitupun dengan pemerintahan untuk rakyat adalah suatu kekuasaan yang diberikan oleh rakyat
52
menjatuhkan lawan. Perasaan dengki, benci dan dendam dalam batin
sering dipergunakan untuk menyinggung kehormatan orang lain dengan
mengatasnamakan demokrasi.22
Oleh sebab itu, tabayyun dianjurkan agar
tidak menciderai kehormatan sesama mukmin.
b. Bersikap Adil dalam Menetapkan Hukum
Bersikap adil dalam menentukan sebuah hukum, tidak didasarkan
pada syahwat, unsur kekerabatan, dan kedekatan sosial lainnya merupakan
salah satu norma hukum yang Allah Swt jelaskan pada ayat ke-22.23
“(22) Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini turun sebagai bentuk teguran kepada Abū Bakr. Sikapnya
ketika mengtahui Misṭah–keponakannya adalah penyebar peristiwa al-ifk,
dan sontak membuatnya bersumpah untuk tidak memberinya nafkah
kepada pemerintah harus dijalankan sesuai dengan kepentingan rakyat.” Lihat: A. Ubaedillah dan
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education); Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 66-
68 22
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 160 23
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 165
53
sangat mengandung emosional. Padahal itu merupakan salah satu bentuk
godaan setan, yakni mencarikan dalil agar seseorang enggan membantu
orang lain. Sebagaimana firman Allah Swt pada ayat ke-21:24
“(21) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-
langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Firman-Nya “langkah-langkah setan”
menggambarkan ketelitian rayuannya dalam menyesatkan manusia.
Langkah yang diambil setan pun selangkah demi selangkah.25
Sehingga
semakin lurus jalan yang diikuti oleh manusia, maka semakin gencar pula
setan menjerumuskannya. Oleh sebab itu, tempatkanlah Allah Swt sebagai
tujuan pertama dalam segala hal, karena hanya Dia-lah yang mampu
24
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 310 25
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbᾱḥ, h. 309
54
membimbing dan membersihkan pribadi manusia dari kekotoran
duniawi.26
c. Hukuman Hanya Memberikan Efek Jerah
1. Bagi Penyebar al-Ifk
Setiap perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan, tentu
akan mendapatkan hukuman. Pun bagi para penyebar peristiwa al-
ifk. Secara tegas Allah Swt menyebutkan hukumannya, yakni pada
ayat ke-13
“(13). Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang
membawa empat saksi? Oleh karena mereka tidak
membawa saksi-saksi tersebut, maka mereka itu dalam
pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta.”
Dihukumi sebagai seorang pendusta merupakan suatu
hukuman yang tidak menciderai secara jasmani, namun
menganggu secara psikologi. Bagaimana tidak, ketika sebuah
tuduhan itu tidak terbukti kebenarannya, maka secara sosial mereka
akan dikucilkan dan mendapat stigma negatif sebagai
pembohong.27
26
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 165 27
Hamka, Tafsīr al-Azhᾱr, h. 164-165
55
Di Indonesia, pun telah diatur sedemikian rupa bagi para
penyebar hoax, yakni dipidana penjara paling lama enam tahun dan
denda uang sebesar 1 miliyar rupiah.28
Kedua hukuman ini dapat
menimbulkan kerugian secara finansial dan psikologi, karena
kebebasan yang semula dapat dinikmati oleh pelaku penyebaran
hoax, kemudian dibatasi dan diawasi. Hal inilah yang menjadi
salah satu penganggu secara psikologi seseorang.29
2. Bagi Objek al-Ifk
Sebagai objek atas peristiwa al-ifk, meski terbukti atau tidak
kebenarannya, tentu memiliki dampak tersendiri bagi mereka.
Peristiwa al-ifk yang terjadi pada ‘Āisyah–umm al-muminīn, meski
dusta ia merasa dikucilkan ketika berita tersebut belum dibantah oleh
Allah Swt. Asbᾱb al-Nuzūl pada ayat ke-11 menyebutkan bahwa: 30
“Ketika berita itu menyebar, ada yang menyakini dan ada yang
menolak. Pada saat itu aku terus menangis, air mataku terus
berlinang tanpa henti dan aku tidak bisa tidur. Kedua orang
tuaku mengkhawatirkan tangisanku itu dapat membelah
jantung.”
28
Hal ini diatur dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008, pasal 45, ayat 32. Lihat: Aziz
Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 127 29
Keberadaan penjara berfungsi agar narapidana menyadari kesalahannya, memperbaiki
dirinya, tidak mengulangi, dan senantiasa menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab.
Secara psikologi, para narapidana yang dipenjara mengalami gangguang. Bagaimana tidak,
kebebesan dalam berperilaku dan beraktifitas sebelumnya, berubah drastis dengan aturan yang
ketat dan adanya batasan dalam bertemu orang-orang yang dicintai. Terlebih, jika tidak ada
dukungan dari pihak keluarganya; maka bisa menimbulkan tingkat stres yang berlebihan. Lihat:
Muhammad Riza dan Ike Herdiana, “Resiliensi Pada Narapidana Laki-laki di Lapas Klas 1
Medaeng,” Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 1, No. 03 (Desember, 2012), h. 142-143 30
Ibn Kaṭīr, Tafsīr Ibn Kaṭīr, h. 18
56
Kondisi yang dialami ‘Āisyah meski hanya berita dusta,
mengindkasikan keterpurukan. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu
berita belum terungkap faktanya, maka salah satu hukuman yang ia
alami adalah dikucilkan dan mendapat stigma negatif dari lingkungan
sosialnya. Pun jika berita itu terbukti dusta, maka perasaan tidak
nyaman terhadap lingkungan sosial pun tentap terganggu.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya,
maka penulis menyimpulkan bahwa nilai dan norma sosial tentang
peristiwa al-ifk yang terkandung di dalam Q.S al-Nūr: 11-22 adalah:
a. Norma Moral
Norma moral merupakan norma tertinggi karena suatu perbuatan
dianggap baik atau buruk; ditinjau dari sudut pandang etis, ditentukan
oleh norma ini. Adapun norma moral tentang ḥadīṣ ifk yang
terkandung di dalam Q.S al-Nūr adalah:
1. Menjauhi hal-hal yang menimbulkan fitnah, seperti berduaan
dengan lawan jenis yang tidak satu maḥrᾱm dan lain sebagainya.
2. Selektif dalam menyampaikan berita
3. Ḥusn al-ẓan terhadap sesama
4. Saling memaafkan
5. Berlapang dada
b. Norma Hukum
Tujuan adanya sebuah hukum adalah untuk memberikan efek
jera kepada tersangka. Sehingga, dalam menetapkan sebuah hukum,
seorang hakim tidak boleh gegabah. Adapun norma hukum tentang
peristiwa al-ifk yang terkadung di dalam Q.S al-Nūr adalah:
1. Melakukan tabayyun
58
2. Bersikap adil dalam menentukan sebuah hukum
3. Hukuman yang diberikan hanya bersifat memberikan efek jerah,
baik kepada penyebar berita bohong ataupun pelakunya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa pembahasan tentang Q.S al-Nūr belum
selasai. Penafsiran yang sesuai dengan konteks perkembangan pun harus
senantiasa dilakukan, tanpa harus menafikan penafsiran para ulama
terdahulu. Dengan metode penafsiran dan pendekatan yang baru seperti
pendekatan maqᾱsid, dan lain sebagainya, maka esensi dari makna yang
terkandung di dalam Q.S al-Nūr akan mampu diterima oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, penulis berharap agar penafsiran ayat ini tidak berhenti
sampai di sini, namun senantiasa dikembangkan dari zaman ke zaman.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatim. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006
Abdulsyani. Sosiologi; Sistematika, Teori, dan Terapani. Jakarta: Bumi Aksara,
2012
Ali Musharfi, Muhammad. Mendidik Anak Agar Cerdas dan Berbakti. Surakarta:
Ziyad Visi Media, 2009
‘Alī al-Ṣᾱbunī, Muhammad. Al-Tibyᾱn fī ‘Ulūm al-Qur’an, terj. Muhammad
Qodirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amani,
1988
_______. Ṣafwah al-Tafᾱsīr, terj. Yasin. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2011
Aminah, Siti. “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Al-Nūr
Ayat 58,59,60, dan 61.” Skripsi S1 Fakultas Ilmi Tarbiah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2017
Anwar, Abu. ‘Ulūm al-Qur’an; Sebuah Pengantar. Jakarta: Amzah, 2005
Anwar, Yesmil dan Adang. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika
Aditama, 2013
Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013
Darmodihardjo, Dardji. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta: Balai Pustaka,
1986
Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2008
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan).
Jakarta: Departemen Agama RI, 2009
60
Al-Farmawi, ‘Abdul Ḥayy. Metode Tafsir Madū’ī, terj. Rosihon Anwar. Bandung:
Pustaka Setia, 2002
Fuadi, Nurul. “Konsepsi Etika Sosial dalam al-Qur’an.” Disertasi S3 UIN Sunan
Kalijaga, 2009
Hamka. Tafsīr al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003
Islᾱmiyah, Khoridatul. “Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam al-Qur’an Surat al-
Baqarah ayat 30-39.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015
Istriyani, Ratna dan Huda Widiana, Nur. “ Etika Komunikasi Islam dalam
Membendung Informasi Hoax di Ranah Publik Maya,” Jurnal Ilmu
Dakwah, Vol. 36 (2), 2016
Jafar, Iftitah. “Konsep Berita dalam al-Qur’an (Implikasinya dalam Sistem
Pemberitaan di Media Sosial),” Jurnalisa Vol. 03, No. 1, Mei 2017
Juliawanti, Linda. “Angka Penyebarab Hoax Capai 800 Ribu Konten, di Pilkada
Terus Meningkat.” IDN Times, diakses pada 14 Maret 2018.
Juliswara, Vibriza. “Mengembangkan Model Literasi Media yang
Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di
Media Sosial,” Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 4, No. 2, Agustus 2017.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2002
Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandarmaju, 1996
Kaṭīr, Ibn. Tafsīr Ibn al-Kaṭīr, terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Aṭari.
Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’ī, 2004
Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin. Implementasi Kurikulum 2013: Konsep &
Penerapan. Surabaya: Kata Pena, 2014
61
Magnis Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius, 1987
Maulana, Luthfi. “Kitab Suci dan Hoax: Pandangan al-Qur’an dalam Menyikapi
Berita Bohong,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 2
Desember, 2017
Maulida Zahro’, Wafa’. “Sikap Sosial dalam Surat al-Hujurᾱt Ayat 11-13 dan
Implikasinya Pada Pendidikan Akhlak.” Skripsi S1 Fakultas Ilmi Tarbiah
dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017
Mujahidin, Said. “Hadis Tentang Peristiwa Ifk (Perspektif Sunni dan Syi’ah).”
Tesis S2 UIN Sunan Kalijaga, 2016
Mu’min Solihin, Amir. “Etika Komunikasi Lisan Menurut al-Qur’an: Kajian
Tafsir Tematik.” Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
M. Setiadi, Elly dan Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi; Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana, 2011
M. Setiadi, Elly. dkk. Ilmu Sosial dam Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006
M. Yusuf, Kadar. Studi al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2009
Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA, 2012
Nurdin, Amin dan Abrori,Ahmad. Mengerti Sosiologi; Pengantar untuk
Memahami Konsep-konsep Dasar. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006
Rianti Rohadi, Dedi. “Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax Di Media Sosial.”
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan V. 5, no. 1 T.b., 2017
62
Riza, Muhammad dan Herdiana, Ike. “Resiliensi Pada Narapidana Laki-laki di
Lapas Klas 1 Medaeng.” Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial I, no. 03
(Desember, 2012)
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat Ketentuan dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati, 2013
_______. Tafsīr al-Miṣbᾱḥ. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Sigit Pranoto, Stepanus. “Inspirasi al-Qur’an dan Hadis dalam Menyikapi
Informasi Hoax,” al-Quds; Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis. Vol. 2, No.1,
2018.
Sofia Wirdiyana, Salwa. “Hoax dalam al-Qur’an.” Skripsi S1 UIN Sunan
Kalijaga, 2017
Sudarminta, J. Etika Umum; Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori
Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013
Supardan, Dadang. Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural.
Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Al-Suyuṭī, Jalᾱl al-Dīn. Asbᾱb al-Nuzūl, terj. Tim Abd al-Hayy. Jakarta: Gema
Insani, 2008
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Syaifullah, Ilham. “Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan
Hermeneutika.” Skripsi S1 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018
Thoha, Chabib. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990
63
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic
Education); Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012
Al-Qaṭṭᾱn, Mannᾱ’. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Annur Rafiq El-Mazni.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Al-Jumᾱnatul ‘Alī; Seuntai Mutiara yang Maha
Luhur. Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004
Quṭb, Sayyid. Tafsīr Fī Ẓilᾱl al-Qur’an, terj. M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2009
Yasid, Abu. Metodologi Penafsiran Teks; Memahami Ushul Fiqh Sebagai
Epistemologi Hukum. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002