52
NGODO’ NANI HAMI duduk bersama kami KKN-PPM UGM 2015

Ngodo Nani Hami

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sebuah cerita tentang kehidupan di Desa Komodo. Desa yang mendunia karena hewan langkanya, desa yang terkenal dengan kekayaan lautnya, dan desa yang jarang terjamah oleh dunia luar. Dengan segala suka duka penuh cerita, Tim KKN PPM UGM Komodo 2015 mempersembahkan kepada seluruh masyarakat desa Komodo, semoga berkesan di sanubari.

Citation preview

Page 1: Ngodo Nani Hami

NGODO’ NANI HAMIduduk bersama kami

KKN-PPM UGM 2015

Page 2: Ngodo Nani Hami

Editorial

1

Page 3: Ngodo Nani Hami

Daftar Isi

2

editorial

1

prakata

2

legendasukukomodo

3

Kiling Hami

6

Pusi koHami

16

NcokiHami

30

Ngedengko Hami

42

desa kami kehidupankami

kesulitankami

harapankami

Page 4: Ngodo Nani Hami

Helo!Hami wana sikio..Dua bulan tinggal di desa membuat kami merasakan menjadi masyarakat asli Pulau

Komodo. Hidup di lingkungan Taman Nasional dengan segala kelebihan dan

kekurangannya, menggelitik jemari untuk menuliskan cerita yang tertangkap lensa

kamera, terekam dalam emosi permasalahan, hingga terduduk dalam suasana

perpisahan yang membuat kami berkaca-kaca sampai menitikkan air mata.

Dua bulan memang waktu yang singkat namun sangat mengesankan. Menjadi

bagian dari kesederhanaan masyarakat pesisir, menikmati pesona alam yang

sangat menyejukkan, merasakan matahari yang panas menyengat, membaur

dengan masyarakat, dan bermain dengan anak-anak adalah lembaran baru dalam

kehidupan kami. Kesulitan mendapatkan air bersih, jauhnya jarak yang harus

ditempuh untuk mandi dan mencuci, susahnya menemukan sayur dan buah,

terbatasnya listrik hingga langkanya sinyal adalah lika-liku kehidupan selama enam

puluh hari di sini.

Melalui lembaran dalam buku ini, kami ingin berbagi sedikit kisah hidup mereka

kepada dunia. Banyak hal yang masih perlu disoroti tentang seluk beluk desa

Komodo, bukan hanya satwanya maupun keindahan alamnya namun juga

masyarakatnya. Semoga dengan buku ini, banyak mata terbuka dan tangan

tergerak untuk membangun desa.

Tim Penulis

3

Page 5: Ngodo Nani Hami

Pada zaman dahulu hiduplah sekelompok orang di puncak Gunung Najo yang disebut

suku Najo. Suku Najo sehari-harinya hidup sebagai pemburu. Mereka hidup dengan damai.

Sementara itu, di Lautan timur Pulau Komodo terdapat empat orang Atawela yang sedang

berlayar tanpa tahu arah dan tujuan. Mereka terdiri dari 3 orang laki-laki yang bernama Dato,

Raja, Lasa dan 1 orang perempuan, anak dari Dato yang bernama Putri. Selain 4 orang itu, mereka

juga membawa hewan-hewan seperti kuda, monyet, dan sebagainya. Oleh karena tidak tahu

arah dan tujuan, mereka hanya mengikuti arah angin. Namun pada suatu ketika, kemudi mereka

patah dan mereka terombang-ambing di tengah lautan.

Tiba-tiba muncul ikan hiu berenang ke arah mereka membantu mendorong kapal

mereka ke arah darat. Mereka sangat berterima kasih kepada ikan hiu dan berjanji tidak akan

memakan dagingnya. Setelah mencapai daratan, jangkar mereka terputus sehingga kapal mereka

pecah. Pecahan kapal ini selanjutnya dikenal sebagai Wangka Wreck.

Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan melalui daratan sampai akhirnya mereka

melihat kepulan asap di balik gunung. Mereka meyakini ada kehidupan di sana. Dalam

perjalanan menuju ke gunung tersebut, mereka bertemu Umpu Najo, salah seorang penduduk di

kampung Najo. Umpu Najo pun mengajak mereka hidup bersama di kampung tersebut.

Singkat cerita, Umpu Najo dan Putri menikah. Mereka akhirnya memimpin Kampung

Najo. Di Kampung Najo, terdapat suatu tradisi di mana setiap ibu yang melahirkan akan dibelah

perutnya. Sehingga muncul lagu Pusi pusi anakne mati mati inane. Hal ini menyebabkan jumlah

penduduk semakin sedikit.

Legenda Kampung Komodo

4

Page 6: Ngodo Nani Hami

Hingga pada suatu hari, istri Umpu Najo mengandung. Seluruh

penduduk Najo sangat sedih. Di tengah kesedihan itu, datanglah anak buah kapal

dari Sumba menuju ke Sape. Mereka singgah di Pulau Komodo untuk mencari air.

Umpu Najo pun menceritakan kesedihannya. Orang Sumba tersebut kaget dan

mengatakan mereka mengajak seorang nenek dukun beranak. Umpu Najo

kemudian mengajak mereka ke kampung.

Ketika Nenek Sumba membantu kelahiran istri Umpu Najo, Umpu Najo

diajak berburu oleh rakyatnya. Hal ini bertujuan agar sang suami tidak melihat

kematian istrinya. Namun ternyata, nenek Sumba memberikan kehidupan baru

bagi Najo. Dengan bantuan tempurung kelapa yang diletakkan di bokong ibu

hamil, Istri Umpu Najo melahirkan dengan selamat. Anak laki-laki yang lahir itu

diberi nama Hamid. Sejak saat itu, penduduk di Kampung Najo mulai berkembang.

Setelah beberapa waktu, Hamid menikah denganEpa. Seperti keluarga

pada umumnya. Epa pun mengandung dan melahirkan. Tak disangka, kelahiran ini

dikaruniai hal yang sangat luar biasa. Lahirlah seorang pria yang diberi nama One

dan seekor kadal raksasa yang diberi nama Ora (Sebae). Semakin beranjak dewasa,

sang ibu mulai kesulitan mengurus makanan Ora (Sebae) yang harus makan

daging. Sampai akhirnya Ora (Sebae) sadar dan berpamitan dengan keluarganya

untuk hidup di hutan.

Ora (Sebae), si Kadal raksasa, saat ini dikenal sebagai Komodo. Sejak

saat itu, Komodo dan manusia hidup berdampingan di Pulau Komodo.

5

Page 7: Ngodo Nani Hami

Desa kami

Kiling Hami

Page 8: Ngodo Nani Hami

Perjalanan panjang mengapung di lautan selama lebih kurang empat jam

terbayar sudah. Mata dimanjakan oleh indahnya perpaduan langit, laut dan pulau-

pulau yang kering di musim kemarau. Terumbu karang indah terlihat dari

permukaan air, ikan berwarna-warni menari-nari cantik, lumba-lumba pemalu serta

burung-burung yang mencoba peruntungan menangkap ikan lengah menjadi

drama tanpa koma bagi para penikmat laut. Sepanjang lautan yang dilalui, sepanjang

itu pula decak kagum, puji syukur serta bangga hati menjadi bagian dari perjalanan

besar menyusuri salah satu kepingan terindah dari Indonesia.

Deburan ombak akhirnya mengalun lembut menggiring perahu ke tepian

dermaga kayu Pulau Komodo. Beberapa orang berkulit kecokelatan menanti di

ujung dermaga, melambaikan tangan kegirangan. Tanpa perlu basa basi mereka

menyambut riang, senyum lebar serta kesigapan menerima barang bawaan

menyempurnakan kehangatan senja dikala langit mulai memerah hangat.

Mai ri Lale Kiling Modo!

7

Page 9: Ngodo Nani Hami

Dermaga kayu sepanjang dua ratus meter mengantarkan kaki menuju

gapura kecil bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Wisata Komodo”. Suasana

semakin menghangat ketika anak-anak mulai datangn berlarian dengan senyum

polosnya. Singaramu? Lalebe? Ata abou? Ata abahete? Bahasa 'aneh' yang kami

yakini sebagai bahasa Komodo bergumul di kepala.

Inilah desa Komodo.

Terletak di Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Desa kecil

yang terdiri dari lima ratus rumah panggung yang berjejer di tepi timur pulau.

Terhampar luas di antara sekumpulan pulau indah di kepulauan Nusa Tenggara,

terkenal seantero dunia karena Varanus komodoensis, spesies langka yang

menjadikan pulau ini salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

8

Page 10: Ngodo Nani Hami

Lebih dari seribu tujuh ratus jiwa yang bermukim di Desa Komodo ini tersebar dalam empat dusun yang masing-masing terdiri dari dua rukun tetangga. Satu-

2satunya desa di Pulau Komodo ini memiliki luas 7000m ,hanya menempati seperlima dari luas Pulau Komodo. Terdapat dua dermaga yang bisa dijadikan pilihan untuk berlabuh. Dermaga satu terletak di Kampung Lama sementara Dermaga 2 terletak di Kampung Baru. Kampung Lama adalah lokasi awal kampung Komodo terbentuk. Kampung ini terbentang dari RT 1 sampai 4. Sementara Kampung Baru, dulunya adalah kebun.Konon, sejak diresmikan menjadi Taman Nasional, tahun 1980an, jumlah rumah Kampung Komodo dibatasi maksimal 200 rumah.Meskipun jumlah penduduk bertambah, jumlah rumah tidak boleh bertambah, yang dapat diubah hanyalah luas rumah. Namun, seiring perkembangan zaman, keputusan ini tidak dapa tditerapkanlagi.

“Melangkahkan kaki di Desa Komodo”

10

Page 11: Ngodo Nani Hami

Langit barat sudah mulai menghangat ketika kaki berpijak di tanah Komodo.

Pemandangan senja ini adalah pemandangan yang selalu disaksikan masyarakat

pulau sembari menikmati secangkir teh atau kopi hangat. Berkumpul bersama

kerabat sambil bercengkrama.

Matahari memang tenggelam di balik bukit. Namun langit kemerahan selalu

menyambut para pekerja yang pulang, badan-badan yang lelah dari bekerja menuju

ketenangan malam di pulau itu.

9

Page 12: Ngodo Nani Hami

Malam adalah saat mata dimanjakan oleh lautan bintang beserta

kelap-kelip lampu kapal di tepi dermaga.

Kadang air pasang, kadang surut. Ketika air pasang, saatnya para

nelayan menangkap cumi-cumi dengan bekal cahaya lampu dari

kapalnya.

11

Page 13: Ngodo Nani Hami

Siluet kapal selalu menghiasi pagi di dermaga.

dari peraduannya membuat setiap mata yang memandangnya berucap

syukur atas kehidupan baru hari ini. Kehangatan yang terpancar dari

merahnya sang surya seolah memeluk semua jiwa yang mulai bersiap

memulai aktivitas pagi hari. Dari mencari ikan, berjualan ikan, menjemur

ikan, membuat kue, anak-anak pergi ke sekolah, bahkan kambingpun mulai

berkeliaran mencari makan.

Langkah ayu matahari keluar

12

Page 14: Ngodo Nani Hami

Komodo di pagi hari selalu dihiasi dengan kepulan asap yang berasal dari

pembakaran ikan diselingi dengan aroma ikan asin yang mulai bersiap

dijemur. Sering kali tercium aroma ikan segar oleh mereka yang baru pulang

melaut.

Ibu-ibu menjadi tokoh utama di pagi hari. Tampak mereka sangat

sigap berjalan menuju sumur demi mencuci baju dan mencukupi kebutuhan

air keluarganya. Mereka dengan anggunnya berjalan tegak menyangga

beban berat di kepalanya. Bapak-bapak sebagian memiliki aktivitas di pagi

hari dengan membuat batang kayu menjadi patung bernilai seni tinggi.

Sebagiannya lagi memilih istirahat sebagai pengganti aktivitas melaut malam

harinya. Anak-anak berlarian kesumur sebelum bersiap ke sekolah. Beberapa

langsung menceburkan dirinya kelaut sebelum memakai seragam

sekolahnya. Tak pernah ketinggalan, mereka setiap pagi mengambil air laut

dan memasukkannya ke dalam botol demi menyiram lapangan sekolah yang

sangat berdebu.

13

Page 15: Ngodo Nani Hami

Pulau-pulau berbukit yang menyembul dari lautan

membawa aura purba yang mempesona. Batuan

karang yang menjadi pulau dan ditumbuhi rumput

kering menjadi ciri khas yang unik dari daerah ini.

Savana dimana-mana, diatas bukit, ditkelilingi

lautan membuat pesona wilayah ini semakin

diminati para wisatawan.

Jumlah wisatawan yang datang di Taman Nasional

ini cukup tinggi baik wisatawan lokal maupun

mancanegara. Wisatawan manca biasanya datang

untuk menikmati spesies langka, komodo,

sedangkan wisatawan lokal justru lebih banyak

mengeksplor daerah-daerah wisata seperti pantai

dan pulau-pulau dengan pemandangan eksotisnya

untuk berburu foto.

Pesona Wisata

Tempat yang menjadi tujuan favorit para

wisatawan seperti Gili Lawa, Pulau Padar,

Pink Beach, Pantai Namu, Loh Liang dan

Loh Buaya untuk melihat komodo, Manta

point, Pulau Rinca, Pulau Lasa dan yang

paling baru taman ubur-ubur di Karang

Sembilan.

14

Page 16: Ngodo Nani Hami

Masing-masing tempat wisata berbeda cara

pencapaiannya. Rata-rata menggunakan kapal

ewa yang didapat dari Labuan Bajo atau Pulau

Komodo sendiri. Wisata yang paling dekat dengan

desa adalah Loh Liang yang dapat dicapai 15 menit

oleh kapal dan 40 menit berjalan kaki menyusuri

pantai.

Pink beach masih berada di Pulau Komodo juga

dapat dicapai selama 30 menit dari Desa Komodo.

Pulau Lasa di depan desa juga aslah satu pantai

yang indah dan belum terkontaminasi manusia.

Pasir lembut serta batu-batu karang putih

menghiasi bibir pantai. Warna biru toska air juga

menjadi daya tarik sendiri.

15

Page 17: Ngodo Nani Hami

Kehidupan kami

Pusi ko Hami

Page 18: Ngodo Nani Hami

Bahagia dan bebas tanpa beban adalah yang dirasakan si bocah yang melompat ke laut dari busa terapung. Memang bahagia sesederhana itu baginya.

17

Page 19: Ngodo Nani Hami

“Bahagia adalah ketika guru selalu datang untuk mengajar kami.”

Anak-anak sekolah dasar di desa ini berbeda dengan di kota. Kelas satu belum

bisa membaca, belum bisa berbahasa Indonesia pula sehingga guru mengajar dengan

Bahasa Komodo. Lebih miris lagi, kelas enam pun masih ada yang belum lancar

membaca. Keterbatasan yang dimiliki siswa belum sepenuhnya bisa difasilitasi oleh

guru sekolah. Tidak setiap hari guru bisa datang mengajar. Banyak sekali jam kosong

ketika guru harus pergi ke Labuan Bajo untuk kuliah atau mengurus administrasi.

Tenaga pengajar dan buku-buku masih sangat dibutuhkan untuk mencerdaskan siswa-

siswi yang penuh semangat ini. Ya, sebenarnya semangat belajar mereka tinggi.

Fasilitas pendidikan di sini sangat minim. Hanya gedung Sekolah Dasar saja

yang dibilang cukup memadai. Gedung SMP hanya ada 3 ruang kelas sedangkan

seharusnya ada 4 ruang, sehingga satu kelas secara bergiliran belajar di bawah pohon

depan sekolah.

18

Page 20: Ngodo Nani Hami

SMA di Pulau Komodo baru berdiri dua tahun.

Gedung sekolah SMA masih menumpang di gedung SD,

tentunya setelah jam belajar SD usai. Siswa SMA mulai

sekolah di siang hari. Pada jam-jam matahari tepat di

ubun-ubun.

Mimpi siswa-siswi SMA adalah mendapatkan

fasilitas gedung sekolah yang layak. Mereka juga berharap

agar pemerintah dan yayasan segera membangun gedung

sekolah mereka di Desa Komodo.

“Inginnya sih, pemerintahmau membangun gedung sekolah kami.”

19

Page 21: Ngodo Nani Hami

Tidak seperti di kota, mereka

berjalan kaki ke sekolah hanya dengan

membawa sebuah buku dan sebuah

bolpoin. Jarang yang membawa tas ke

sekolah.

Buku pelajaran? Jangan ditanya.

Buku pelajaran hanya ada di sekolah,

tepatnya di ruang guru. Tidak ada

p e r p u s t a k a a n s e k o l a h , a p a l a g i

laboratorium. Bahkan mereka tidak tahu

apa itu laboratorium. Mereka terheran-

heran ketika mendengar cerita tentang

perpustakaan yang menyimpan banyak

buku pelajaran.

Terisolasinya mereka disini

membatasi mimpi-mimpi mereka untuk

terbang lebih tinggi.

20

Page 22: Ngodo Nani Hami

“Awas kena!”

Jumlah anak di desa cukup

banyak karena angka

kelahiran tinggi. Banyak

permainan yang mereka

mainkan dari pagi siang

hingga sore. Wajah-wajah

polos menghiasi seisi desa

dengan teriakan dan nyanyian

dari suara kecil mereka. 21

Page 23: Ngodo Nani Hami

Jumlah usia anak-anak yang tingi adalah

akibat dari angka kelahiran yang tinggi pula. Di mana-

mana bisa kita jumpai anak-anak. Tawa dan tangis

mereka memecah keheningan desa yang dikelilingi

laut ini.

Berbeda dengan anak di kota yang suka

bermain di dalam rumah, anak-anak disini sangat

senang dengan segala permainan tradisional yang

dimainkan di luar rumah. Tidak ada yang tidak

mainkan, bahkan kulit ban pun bisa menjadi suatu

yang menarik untuk bermain bagi mereka.

Lebih menarik lagi di saat hujan, semua

anak-anak keluar rumah berlarian di lapangan,

memulaskan tanah yang basah ke wajah mereka

sembari berteriak “Topeng!!!”.

22

Page 24: Ngodo Nani Hami

Sore hari bermain golon di dermaga bersama

k a w a n - k a w a n a d a l a h h a l y a n g m e n y e n a n g k a n .

Menggelindingkan bola sambil berlari serta menjaga agar bola

itu tetap lurus adalah suatu tantangan bagi mereka. Untuk

anak perempuan, bermain baco tak kalah menyenangkan.

Tiga atau empat orang berkerubung dengan lima buah batu

ditangan, kemudian permainan mirip bola bekel pun dimulai.

permainan ini sama seperti bola bekel tapi bahan yang

digunakan berbeda. tidak ada biji dan bola yang ada hanyalah

batu. Batu yang dilempar kemudian empat buah batu lain

sebagai biji yang diambili satu persatu.

23

Page 25: Ngodo Nani Hami

Byur! Selepas bermain di darat, tak asyik rasanya

bila tak mandi air laut melepas gerah. Ya, mandi

air laut sejak tengah hari hingga sore hari adalah

salah satu rutinitas yang mereka gemari. Seperti

hidup di dua dunia, anak-anak di desa Komodo

sangat lihai mengapung di lautan.

“Anak Komodo harus pintar berenang!”

a

24

Page 26: Ngodo Nani Hami

“Sore adalah waktu bermainbola dengan kawan.”

Tentu saja ketika matahari mulai condong ke barat adalah

waktu bermain yang menyenangkan. Permainan lapangan seperti

takraw, voli dan bola kaki menjadi olahraga andalan di desa. Hampir

semua orang bisa bermain vol, dari kalangan anak-anak, remaja, ibu-

ibu dan bapak-bapak. Jangan anggap sepele, ibu-ibu dengan kerudung

dan rok panjang di desa sangat pandai bermain voli!

Ada dua lapangan besar di desa, yaitu lapangan di depan

sekolah di Kampung Lama serta lapangan Api-api di dekat kebun di

Kampung Baru. Keduanya menjadi pusat keramaian setelah adzan asar

berkumandang, sekitar pukul setengah empat sore. 25

Page 27: Ngodo Nani Hami

“Dermaga menghubungkan mereka

dengan dunia luar.”

Kehidupan di Desa Komodo, seperti masyarakat pesisir pada

umumnya, didominasi oleh para nelayan. Namun, semenjak dinobatkan

menjadi salah satu Keajaiban Dunia Baru oleh UNESCO, mata pencaharian

penduduk mulai bergeser menjadi pmandu wisata, ranger komodo di taman

nasional , pemahat patung, dan penjual souvenir. Ada juga beberapa warga

menjadikan rumah mereka sebagai homestay sederhana bagi wisatawan.

Tak banyak jumlahnya, hanya ada lima sampai sepuluh bangunan

homestay yang ada disini. Harapannya akan lebih banyak dan lebih baik lagi

masyarakat yang mampu menyediakan jasa homestay demi tercapainya

desa ekowisata.

26

Page 28: Ngodo Nani Hami

Perubahan arah mata pencaharian penduduk

membuat pola kehidupan masyarakat di desa

ini juga berubah. Jika nelayan lebih banyak

menghabiskan waktunya pada malam hari di

laut untuk bekerja dan beristirahat di siang hari,

pengrajin dan penjual souvenir lebih banyak

menghabiskan waktunya di rumah untuk

bekerja, hanya sesekali mereka ke luar pulau

Jumlah pemahat patung di desa kurang lebih 60 orang. Satu

patung kecil bisa dihargai lima puluh hingga seratus ribu

rupiah. Sedangkan untuk patung-patung besar bisa mereja

jual sampai dua juta rupiah. Sayangnya, belum ada souvenir

shop di desa ini untuk secara langsung mengumpulkan

produk dan menjual kepada wisatawan secara langsung.

Biasanya mereka membawa kerajinan mereka ke Loh Liang. 27

Page 29: Ngodo Nani Hami

Profesi utama masyarakat desa masih sebagai nelayan. Hasil tangkapan biasa

mereka jual ke Labuan Bajo, Bima, Sape dan pulau-pulau lain. Potensi utama

adalah kerang mata tujuh. Biasanya kerang ini di sajikan di restoran besar.

Masyarakat biasa menjualnya ke Bali, Surabaya hingga Jakarta. Sebagian lagi

mereka jual ke desa. Untuk menjaga agar tidak busuk, mereka juga biasa

menggarami ikan dan cumi lalu di jemur agar bisa dijual dalam keadaaan

Ikan ketamba kering 30.000/kg

Ikan ketamba basah 15.000/kg

Cumi basah 20.000/kg

Cumi kering 50.000/kg

Teri 35.000/kg

Harga Ikan

28

Page 30: Ngodo Nani Hami

Mengupas Asam Asam adalah salah satu potensi hutan. Mengambil .buah

asam di hutan menjadi salah satu pekerjaan bagi para lelaki.

Sedangkan biasanya istri mereka mengupas asam untuk

kemudian di jemur lalu dijual ke Labuan Bajo, Bima, atau Sape.

Satu kilogram asam dengan kulitnya dijual dua puluh lima

ribu per karung dan sepuluh hingga lima belas ribu rupiah

untuk asam kupas.

29

Page 31: Ngodo Nani Hami

Kesulitan KamiNcoki Hami

Page 32: Ngodo Nani Hami

Air merupakan kebutuhan utama manusia. Kebutuhan air bersih

setiap orang minimal 60 liter sehari untuk mandi dua kali, buang air kecil dan

besar serta minum dan memasak. Sementara pemenuhan kebutuhan air di

desa Komodo masih sangat jauh dari standar.

Sebuah sumur dengan kedalaman sepuluh meter terpaksa harus

bekerja keras mengalirkan airnya ke lima ratus rumah di desa. Distribusi air

yang tersendat serta tidak merata ini terjadi karena jumlah sumur, pompa dan

reservoir yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan desa.

Air mengaliri rumah-rumah setiap empat hari sekali. Mereka

menampungnya dalam bak besar atau jerigen-jerigen yang berbaris di depan

keran umum. Tampungan air ini hanya cukup digunakan untuk minum dan

memasak. Kebutuhan mencuci dan mandi masih harus pergi ke sumur.

31

Page 33: Ngodo Nani Hami

Sumur, di siang hari, penuh dengan tawa canda khas ibu-ibu maupun remaja putri

yang sedang asyik menyikat bajunya. Dengan berlapiskan kain setinggi dada, mereka dengan

lincah mengambil air di sumur, menyikat, membilas sekaligus mengguyur badan mereka.

Suara air yang jatuh di tanah atau di badan terdengar begitu menyegarkan.

Di desa Komodo, kaum perempuan rata-rata berambut panjang. Mereka merawat

rambut mereka dengan menggunakan parutan kelapa sebagai pembersihnya. Ini adalah cara

yang sangat tradisional untuk merawat rambut.

32

Page 34: Ngodo Nani Hami

Hari saat mendapatkan jatah air

adalah hari yang paling membahagiakan

sekaligus paling melelahkan dalam satu

minggu. Setelah menunggu jerigen terisi

penuh dengan sabar, otot-otot lengan akan

bekerja keras memindahkan banyak jerigen

ukuran 20 liter ke atas gerobak untuk dibawa

pulang.

Pergi cuci dan pergi mandi ke

sumur adalah rutinitas yang dilakukan oleh

remaja putri desa Komodo sepulang sekolah.

Hal ini lazim dilakukan pada keluarga yang

memiliki anak perempuan yang sudah akil

balik. Jika tidak atau belum ada, ibu adalah

tokoh utama yang akan bergerak menuju

sumur. Di siang yang sangat terik mereka

dengan tegaknya menjunjung ember besar

yang penuh dengan cucian.

Pembagian air bersih tidak merata. Kadang warga haruspergi ke sumur untuk memenuhi kebutuhan air mereka.

33

Page 35: Ngodo Nani Hami

Jumlah sumur yang aktif di desa ada 6 buah. Satu sumur digunakan untuk distribusi

air bersih ke seluruh desa. Sedangkan sumur yang digunakan untuk mencuci dan pemandian

umum ada 3 buah.

Sistem distribusi air bersih ini menggunakan pompa kecil untuk menarik air dari

sumur. Dari situ air difiltrasi sebelum ditampung ke dalam bak reservoir 1 yang kemudian

difiltrasi yang kedua kali untuk ke reservoir 2 untuk kemudian dialirkan melalui pipa ke kran

umum air di seluruh dusun secara bergiliran. Ada tiga jalur untuk mengalirkan air ke masing-

masing dusun. Setiap jalur memiliki jadwal distribusi yang berbeda-beda. Sekarang aliran air

dapat dirasakan warga dalam waktu empat hari sekali. Harapannya air dapat mengalir ke

setiap desa setiap harinya atau mengalir ke rumah-rumah setiap hari untuk mencukupi

kebutuhan air bersih yang standar.

34

Page 36: Ngodo Nani Hami

“Malam adalah batas.”Seluruh aktivitas yang menggunakan listrik hanya bisa

dilakukan dari pukul 18.00 sampai 23.00. Setelah listrik

padam, cahaya digantikan oleh lampu emergency atau

teplok. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain

beristirahat, menunggu esok untuk memulai aktivitas

baru.

35

Page 37: Ngodo Nani Hami

Kehidupan listrik di desa Komodo disokong oleh sebuah generator yang dimiliki oleh

salah seorang warga. setiap rumah harus membayar Rp 4.000 per hari untuk menyalakan

lampu tanpa televisi. jika ingin menyalakan TV, maka harus menambah Rp 2.000 lagi per

harinya. Biaya ini sangat mahal jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan oleh

perusahaan listrik nasional.

Tempat umum, seperti dermaga dan jalan depan puskesmas pembantu diterangi

oleh lampu bertenaga surya bantuan salah satu yayasan sosial. Di sepanjang jalanan, tiang

listrik sudah terpasang, kabel-kabel sudah membentang menghubungkan tiang-tiang. Namun,

rangkaian listrik dari perusahaan listrik nasional masih belum terealisasikan sejak tahun 2013.

Tidak adanya listrik di siang hari membuat masyarakat, utamanya anak-anak, sangat

tertinggal tentang informasi umum dunia luar. Harus diakui, televisi dan radio merupakan

salah satu media pembelajaran yang sangat baik.

36

Page 38: Ngodo Nani Hami

Sampah di Desa Komodo merupakan permasalahan yang mendesak untuk segera diatasi

1. Masyarakat tidak dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya

2. Sudah ada 3 TPA, 4 TPS dan beberapa peralatan pengangkut sampah di desa Komodo

3. Meskipun begitu kurangnya kesadaran masyarakat mengenai kebersihan membuat permasalahan

ini sulit teratasi

4. Selain sampah hasil konsumsi dan produksi rumah tangga, terdapat banyak kambing masyarakat

yang dibiarkan berkeliaran, sehingga mengakibatkan kotoran kambing berserakan di banyak

tempat.

37

Page 39: Ngodo Nani Hami

Isu sampah merupakan permasalahan yang mempunyai berbagai faktor

penyebab yang berbeda-beda. Perbedaan masalah sampah di perkotaan dan desa tentu

berbeda, hal tersebut berlaku pula untuk Desa Komodo. Permasalahan sampah di Desa

Komodo tentu mendapatkan tantangan berbeda terutama karena desa berada di wilayah

kepulauan, yang mengakibatkan desa mempunyai keterbatasan akses transportasi.

Keterbatasan akses transportasi berdampak langsung terhadap pemenuhan

berbagai macam kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan menjaga kebersihan

lingkungan. Berbicara mengenai menjaga kebersihan tentu tak bisa dilepaskan dengan

pengelolaan sampah. Desa Komodo sendiri sesungguhnya telah mempunyai fasilitas

kebersihan yang memadai lengkap dengan sistem pengelolaannya, hanya saja kurangnya

kesadaran masyarakat membuat pengelolaan sampah tidak berjalan sesuai dengan

harapan.

38

Page 40: Ngodo Nani Hami

Jumlah kambing di desa hampir 300 ekor dan

dibiarkan berkeliaran.

39

Page 41: Ngodo Nani Hami

Meskipun nama desa diambil dari salah satu hewan langka di dunia, nyatanya

desa Komodo mempunyai fauna dominan lain yang berada di hampir setiap sudut

kampung, yakni kambing. Keberadaan kambing sebagai ternak di desa Komodo

merupakan salah satu kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu. Ternak kambing

menjadi salah satu jaminan ekonomi masyarakat desa ketika membutuhkan dana cepat.

Berternak kambing memberikan rasa aman bagi masyarakat ketika hasil laut sedang

tidak bersahabat.

Sayangnya, definisi berternak menurut masyarakat desa diartikan hanya

sebatas status kepemilikan, namun tidak diikuti dengan merawat sebagaimana

mestinya. Hal tersebut terlihat jelas ketika kambing di Desa Komodo dibiarkan saja

berkeliaran di wilayah kampung. Kambing tidak dikandang dan tidur di sembarang

tempat. Dampaknya terlihat jelas, kebersihan lingkungan menjadi sulit tercapai

terutama karena kotoran kambing.

Adanya kambing berkeliaran di kampung juga menjadikan masyarakat

sesungguhnya merugi, dari segi pariwisata misalnya, kepariwisataan di desa akan sulit

untuk berkembang ketika tidak adanya kebersihan di sepanjang lingkungan kampung.

Kotoran kambing juga berpotensi mengakibatkan berbagai permasalahan kesehatan

terutama diare. Permasalahan mengenai keberadaan kambing di Desa Komodo tidak

bisa dianggap remeh, sebagian besar masyarakat percaya bahwa selama tidak ada

pengelolaan kambing yang jelas maka selama itu pula desa tidak akan pernah

berkembang menjadi desa ekowisata bertaraf internasional.

Faktanya

1. Kambing dipercaya sebagai pengalih agar komodo tak menyerang anak manusia.

2. Biasanya warga menjual kambingnya kepada TNK untuk keperluan feeding dan shooting.

Harga seekor kambing sekitar satu juta rupiah.

3. Jumlah kambing di desa hampir 300 ekor dan akan terus bertambah.

4. Kambing di desa hidup bebas berkeliaran tanpa kandang

4. Kambing di desa menjadi omnivora karena rumput kemarau tidak cukup untuk dimakan.

5. Kotoran kambing berserakan di sepanjang jalan setapak dan kolong rumah.

40

Page 42: Ngodo Nani Hami

Tidaklah mudah bagi warga Desa

Komodo untuk mengonsumsi sayur.

Keringnya tanah Komodo membuat

berbagai tumbuhan tidak dapat

tumbuh. Dari 15 petak kebun yang

tersebar dari RT 4 hingga RT 8, hanyalah

satu petak kebun yang masih subur.

Jenis sayuran yang bisa didapat pun

tidak beragam. Di kebanyakan waktu,

hanya daun singkong dan cabai yang

bisa diambil. Jika beruntung, terkadang

dapat ditemukan kacang panjang atau

bayam. Bahkan di musim kemarau yang

panjang akan mengakibatkan tidak ada

sayuran yang bisa diambil dari kebun.

Oleh karena itulah, warga rutin

membeli sayuran dari Labuan Bajo. Jika

datang titipan pesanan sayuran dari

kapal ojek Labuan Bajo, warga akan

segera berbaris dengan antusias tinggi

demi mendapatkan asupan sayuran

dan atau buah.

“Ketika makan ikan menjadi hal yang biasa, dan

makan sayur menjadi yang tak biasa.”

41

Page 43: Ngodo Nani Hami

Harapan kami

Ngedeng ko Hami

Page 44: Ngodo Nani Hami

Pulau Komodo menyimpan seribu satu kisah yang tak henti diceritakan.

Hidup lima puluh lima hari bersama mereka menyimpan sejuta pengalaman baru

yang tak mungkin didapat di lain tempat. Kami menyelami, mendalami dan

mencoba memposisikan diri menjadi mereka. Hidup terlalu nyaman dan santai

disini. Pemandangan yang indah dan potensi alam mempesona memanjakan mata

dan jiwa. Ikan melimpah menjadi sumber makanan di desa yang sangat mudah

didapat. Lempar umpan, ikan didapat. Semudah itulah hidup. Semboyan santai

seperti dipantai mencerminkan keadaan masyarakat yang selalu santai menghadapi

hari demi harinya.

Bukan berarti hal itu menjadi tolak ukur kesuksesan masyarakat dan desa .

Justru dari hal itu banyak hal-hal yang menjadikanya bermunculan masalah baru.

Desa Komodo seharusnya bisa menjadi potensi wisata yang luar biasa. Bagaimana

dunia mampu melihat masyarakat yang hidup berdampingan dengan satwa liar

komodo. Bagaimana Desa Komodo ini menjadi daya tarik wisatawan dengan

menyuguhkan keunikan budaya, kuliner, souvenir, keramah tamahan, dan kesan

yang menyenangkan.

Kekayaan alam yang melimpah seharusnya tidak menjadikan masyarakat

desa terbuai sendiri, Justru karena itu adalah potensi wisata yang sangat besar,

masyarakat harus mampu mengelola dan meningkatkan mutu pariwisata itu. Dalam

hal ini untuk menjadi sebuah tujuan ekowisata, banyak hal yang perlu diperbaiki

dari sisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sosial, dan budaya untuk menjadikan

desa yang lebih baik. Menjadikan desa Komodo sebagai bagian dari New Seven

Wonder of Nature.

Desa Komodo yang lebih baik tentu menjadi harapan semua orang. Di

benak warga, desa Komodo impian sudah tergambar jelas dalam pikiran mereka.

Harapan, cita-cita dan doa tertuang dalam tulisan dan kata-kata yang indah. Terlihat

jelas mata mereka berbinar dan senyum mereka mengembang saat membayangkan

desa Komodo impian mereka.

“Tuhan, kami mohon, kabulkanlah permintaan mereka.”

43

Page 45: Ngodo Nani Hami

Karya: Rifaldi ([email protected])

44

Page 46: Ngodo Nani Hami

Karya: Ayu Safitri

45

Page 47: Ngodo Nani Hami

Kepada

Yth. Bapak Joko Widodo

Di Jakarta

Dengan hormat,

Bersama surat ini saya atas nama Justiani selaku siswi SMA Muhammadiyah Pulau

Komodo ingin menyampaikan beberapa harapan sekaligus menghimbau kepada bapak

tentang infrastruktur yang sangat-sangat berkurang di desa kami, salah satunya adalah

Gedung sekolah yang selama ini.

Kami selaku pelajar SMA Muhammadiyah P. Komodo masih menumpang pada gedung

sekolah SDN P Komodo. Sehubungan dengan ini saya juga sangat mengharapkan

penambahan beberapa fasilitas yang kami butuhkan seperti papan tulis, meja, bangku,

kursi dan beberapa peralatan olahraga.

Sehubungan dengan ini saya juga ajukan untuk merenovasi pustu karena pustu di desa

kami sudah tidak bertahan lama lagi. Karena dinding temboknya udah retak-retak

begitupun dengan lantainya sudah rusak sana-sini, dan saya juga sangat untuk beberapa

fasilitas untuk kebutuhan pasien. Karena fasilitas pustu di desa kami masih sangat minim

sekali oleh karena itu saya menghimbau kepada bapak agar apa yang saya ajukan dapat di

terima

Sekian dan terima kasih.

Tertanda, siswi SMA Muhammadiyah Pulau Komodo

Justiani

46

Page 48: Ngodo Nani Hami

Sedikit kata dariTokoh Masyarakat

47

Page 49: Ngodo Nani Hami

Suara langkah puluhan pasang kaki di dermaga kayu disertai roda-roda

koper yang bergulir membuat pagi yang syahdu menjadi sibuk. Langkah kaki kecil

anak-anak berlarian di antara puluhan tas yang akan diangkut ke dalam kapal.

Bapak-bapak dan ibu-ibu pun turut serta meriuhkan dermaga. Tidak ada yang

mampu menggambarkan suasana pagi itu. Lima puluh lima hari duduk bersama

mereka membuat kami merasakan hidup yang sangat berbeda. Perjalanan hidup

yang menyenangkan, menegangkan, menyakitkan, melelahkan dan mengharukan

menjadi cerita yang tak akan pernah habis untuk dibagikan kepada dunia.

Melihat desa Komodo dari kacamata wisatawan memang indah, namun

melihatnya dari kacamata warga lokal jauh lebih menyenangkan. Banyak cerita

kehidupan yang patut direnungkan. Banyak permasalahan pelik yang dapat

dijadikan pelajaran. Masih segar dalam ingatan rasa kaki pertama kali berpijak di

desa ini. Rasa yang menggebu-gebu pada awal kedatangan kemudian sempat

meleleh terpapar sengatan matahari dan mencuat lagi setelah diguyur hujan dan

angin.

Akhirnya sampailah pada lembaran terakhir di buku ini. Lembaran yang

akan menutup cerita perjalanan kami saat ini. Lembaran yang akan menjadi

pengantar cerita-cerita baru yang tak kalah seru dari Pulau Komodo. Lembaran

yang akan menemani kami pulang ke kampung halaman dengan sebuah

kebanggaan tersendiri dapat mengabdi sebentar di pulau yang tersohor di seluruh

penjuru dunia ini.

Sebagai penutup, kami berharap Desa Komodo yang kami sayangi

menjadi desa wisata berbasis lingkungan yang maju, bebas dari kemiskinan, bebas

dari sampah, bebas dari segala keterbatasan kebutuhan dasar hidup.

Tetaplah menjadi desa yang ramah, yang penuh gairah olahraga, yang

sangat kekeluargaan, dan penuh kasih sayang. Tetaplah menjadi Desa Komodo

yang kami kenal!

Lau ma hami!48

Page 50: Ngodo Nani Hami

Ketika dunia di bagian barat telah bergerak secepat kilat,Terang menyilaukan setiap insan

Gemercik air seperti buaianMembuat terlena karena terlalu nyaman

Sementara di dunia bagian timur masih tergopoh-gopoh Mengejar ketertinggalan

Pekatnya malam adalah temanTetesan air adalah anugerah

Ya, hidup yang masih serba susah

Duduklah bersama kami agar mengertiLihatlah lebih dekat

Seperti inilah desa, hidup, dan harapan kamiKini masa deepan cerah bukan lagi hanya mimpi

Setitik nusa di bagian tengah Indonesia haruslah diperjuangkanAgar pesonanya tersebar hingga ke ujung dunia

49

Page 51: Ngodo Nani Hami

TIM KKN UGM 2015WILAYAH NTT-01 KECAMATAN KOMODO

“Jangan Tanyakan Apa yang Sudah Negara Berikan Pada AndaTapi Tanyakan Apa yang Sudah Anda Berikan Pada Negara”

-John F Kennedy-

Page 52: Ngodo Nani Hami

KKN-PPM UGM 2015KOMODONTT-01

Buku ini bercerita tentang hasil tangkapan kamera dan cerita selama lima puluh lima

hari tim KKN terjun mengabdi di Desa Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.

Banyak cerita didalamnya termasuk kehidupan masyarakat serta masalah-masalah

pelik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Komodo. Dari masalah listrik, airm,

sampah hingga kotoran kambing.

Saeful