Upload
trinhthien
View
261
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ISSN : 2355-9284
NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Desain Interior “Sekolah Tinggi Desain Bali” Volume 4 Nomor 1 Juni 2017 merupakan
edisi keempat yang bertemakan “ Unsur Makro dan Mikro dalam Perancangan Interior”. Edisi ini
diawali dengan artikel yang berjudul tentang Signifikansi Losmen Puri sebagai Bangunan Cagar
Budaya di Kota Denpasar oleh Freddy Hendrawan, S.T., M.T. Artikel kedua dengan judul
Keberadaan Wallpaper sebagai Unsur Hiasan pada Elemen Pembentuk Ruang Dalam oleh
Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T. Artikel ketiga dari Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.
dengan judul Aplikasi Geographic Information System (GIS) dalam Menentukan Lokasi
Shopping Mall. Artikel keempat yaitu, Langgam Arsitektur dan Interior Museum Agung Bung
Karno, Denpasar Bali oleh Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T., artikel selanjutnya adalah, Re-
Konsepsi Desain Pengembangan Lansekap Alam Jatiluwih, Tabanan oleh I Dewa Gede Putra,
S.T., M.T., Pemenuhan Kebutuhan Ruangan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT)
Kabupaten Badung Untuk Meningkatkan Efektifitas Dalam Pelayanan Perizinan Dan Non
Perizinan Dalam Satu Pintu oleh I Kadek Pranajaya, S.T., M.T., I.A.I., dan artikel terakhir
berjudul Relasi antara Elemen Dekoratif Interior Berbasis Kain Tenun Gringsing Bali dengan
Pengguna Fasilitas Relaksasi oleh Putu Surya Triana Dewi, S.T., M.Ds.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Desain Bali atas motivasi dan
masukannya untuk kesempurnaan jurnal ini serta seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi
Desain Bali atas kekompakan dan semangatnya. Terakhir, kritik dan saran selanjutnya sangat
kami harapkan dan kepada semua yang telah membantu penerbitan jurnal ini dan para pembaca
yang budiman, kami ucapkan terimakasih.
Redaksi :
Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali
Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar
Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459
Website: http://www. std-bali.ac.id
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
ii
ISSN : 2355-9284
NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017
Pelindung dan Penanggung Jawab : Nyoman Suteja, Ak.
Kadek Sudrajat, S.Kom
Penasehat :
Dr. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, S.T., MA, Dipl.LMP
Ketua Dewan Redaksi :
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
Mitra Bestari :
Martin Morrell (Morrell Architects, Newcastle, NSW, Australia)
I Kadek Pranajaya, S.T., M.T., IAI
I Wayan Juliatmika, S.T., M.T.
Dewan Editor :
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
Ardina Susanti, S.T., M.T.
Redaktur Pelaksana :
A.A. Sg. Intan Pradnyanita, S.Sn., M.Sn.
Desain Cover :
Aditya Wahyu Ramadhan
Alamat Redaksi : Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali
Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar
Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459
Website: http://www. std-bali.ac.id
Jurnal ini diterbitkan sebagai media publikasi bagi karya-karya tulis dosen-dosen dan civitas akademika pada Program Studi
Desain Interior STD Bali. Selain itu juga sebagai wahana informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang seni,
desain interior dan arsitektur. Karya yang disajikan berupa hasil penelitian, tulisan ilimah populer, studi kepustakaan, review
buku maupun tulisan ilmiah terkait dalam lingkup desain interior. Dewan Redaksi menerima artikel terpilih untuk dimuat, dengan
frekuensi terbit secara berkala 2 (dua) kali setahun yaitu Juni dan Desember. Naskah yang dimuat merupakan pandangan dari
penulis dan Dewan Redaksi hanya menyunting naskah sesuai format dan aturan yang berlaku tanpa mengubah substansi naskah.
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
iii
ISSN : 2355-9284
NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017
PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH : 1. Kategori naskah ilmiah hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), ilmiah popular (aplikasi,
ulasan, opini) dan diskusi.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris diketik pada kertas ukuran A-4, spasi
Single, dengan batas atas, bawah, kanan dan kiri masing-masing 2,5 cm dari tepi kertas.
3. Batas panjang naskah/artikel maksimum 20 halaman dan untuk naskah diskusi maksimum 5 halaman.
4. Judul harus singkat, jelas tidak lebih dari 10 kata, cetak tebal, huruf kapital, huruf Times New Roman
16 pt, ditengah-tengah kertas. Untuk diskusi, judul mengacu pada naskah yang dibahas (nama penulis
naskah yang dibahas ditulis sebagai catatan kaki).
5. Nama penulis/pembahas ditulis lengkap tanpa gelar, di bawah judul, disertai institusi asal penulis dan
alamat email dibawah nama.
6. Harus ada kata kunci (keyword) dari naskah yang bersangkutan minimal 2 kata kunci. Daftar kata kunci
(keyword) diletakkan setelah abstrak.
7. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata, dicetak miring, 1 spasi.
Abstrak tidak perlu untuk naskah diskusi.
8. Judul bab ditulis di tengah-tengah ketikan, cetak tebal huruf capital, huruf Times New Roman 12 pt
9. Gambar, grafik, tabel dan foto harus disajikan dengan jelas. Tulisan dalam gambar, grafik, dan tabel
tidak boleh lebih kecil dari 6 point (tinggi huruf rata-rata 1,6 mm).
10. Nomor dan judul untuk gambar, grafik, tabel dan foto ditulis di tengah-tengah kertas dengan huruf
kapital di awal kata. Untuk nomor dan judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan untuk nomor dan
judul gambar, grafik dan foto diletakkan di bawah gambar, grafik dan foto yang bersangkutan.
11. Untuk segala bentuk kutipan, pada akhir kutipan diberi nomor kutipan sesuai dengan catatan kaki yang
berisi referensi kutipan (nama, judul, kota, penerbit, tahun dan halaman yang dikutip). Rumus-rumus
hendaknya ditulis sederhana mungkin untuk menghindari kesalahan pengetikan. Ukuran huruf dalam
rumus paling kecil 6 point (tinggi huruf ratarata 1,6 mm).
12. Definisi notasi dan satuan yang dipakai dalam rumus disatukan dalam daftar notasi. Daftar notasi
diletakkan sebelum daftar pustaka.
13. Kepustakaan diketik 1 spasi. Jarak antar judul 1,5 spasi dan diurutkan menurut abjad. Penulisannya
harus jelas dan lengkap dengan susunan : nama pengarang. tahun. judul. kota: penerbit. Judul dicetak
miring.
KETERANGAN UMUM :
1. Naskah yang dikirim sebanyak satu eksemplar dalam program pengolahan kata M.S. Word.dan naskah
bisa dikirimkan via email atau dalam bentuk CD ke alamat redaksi.
2. Naskah belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain.
3. Redaksi berhak menolak atau pengedit naskah yang diterima. Naskah yang tidak memenuhi kriteria
yang ditetapkan akan dikembalikan. Naskah diskusi yang ditolak akan diteruskan kepada penulis
naskah untuk ditanggapi.
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
iv
ISSN : 2355-9284
NEW MEDIA VOLUME 4 NOMOR 1 FEBRUARI 2017
DAFTAR ISI
COVER
PENGANTAR REDAKSI
i
TIM DEWAN REDAKSI
ii
PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH
iii
DAFTAR ISI
iv
KUMPULAN JURNAL
SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI SEBAGAI BANGUNAN CAGAR
BUDAYADI KOTA DENPASAR
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
1
KEBERADAAN WALLPAPER SEBAGAI UNSUR HIASAN PADA
ELEMEN PEMBENTUK RUANG DALAM
Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T.
15
APLIKASI GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) DALAM
MENENTUKAN LOKASI SHOPPING MALL
Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.
36
LANGGAM ARSITEKTUR DAN INTERIOR MUSEUM AGUNG BUNG
KARNO, DENPASAR BALI
Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T.
46
RE-KONSEPSI DESAIN PENGEMBANGAN LANSEKAP ALAM
JATILUWIH, TABANAN
I Dewa Gede Putra, S.T., M.T.
54
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
v
PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANGAN BADAN PELAYANAN
PERIZINAN TERPADU (BPPT) KABUPATEN BADUNG UNTUK
MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DALAM PELAYANAN PERIZINAN
DAN NON PERIZINAN DALAM SATU PINTU
I Kadek Pranajaya, S.T., M.T.
65
RELASI ANTARA ELEMEN DEKORATIF INTERIOR BERBASIS KAIN
TENUN GRINGSING BALI DENGAN PENGGUNA FASILITAS
RELAKSASI
(STUDI KASUS : SPA HOUSE OF MOM N JO BALI)
Putu Surya Triana Dewi, S.T., M.Ds.
79
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
1
SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI
SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA
DI KOTA DENPASAR
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: [email protected]
Abstrak
Adanya intervensi Belanda dalam membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan
membuat aturan tata ruang Kota Denpasar salah satunya menciptakan permukiman untuk
para pedagang, terutama para pedagang China. Dalam perkembangannya Kota Denpasar
menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat kemodernan dan mulai banyak didatangi oleh
wisatawan domestik dan mancanegara, sedangkan penginapan atau hotel yang ada di sekitar
wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali Hotel yang didirikan tahun 1927. Kemudian
dibangunlah penginapan yang dinamakan Losmen Puri pada tahun 1956 dan berlokasi di
Jalan Arjuna di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen ini memiliki gaya atau langgam
arsitektur Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan Bali Hotel. Bangunan ini pun memuat
beberapa signifikansi yang memberikan bukti sebagai bangunan bersejarah dan telah
melewati kurun waktu cukup panjang dalam eksistensinya sebagai bangunan publik dengan
fungsinya yang sesuai hingga saat ini. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai
bentuk signifikansi Losmen Puri sebagai bangunan Cagar Budaya di Kota Denpasar.
Sehingga nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah upaya yang tepat untuk melestarikan
bangunan Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah sesuai aturan pelestarian oleh pihak-
pihak yang berkompeten dan relevan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya.
Kata Kunci: cagar budaya, Kota Denpasar, Losmen Puri, sejarah
Abstract
The intervention of Netherland in build government’s buildings and creating the regulation of
Denpasar landuse has created a settlement for traders from China. The development of
Denpasar City has made this city became the centre of crowd and modernization, and also
became tourist destination locally and internationally. However, the facilities of homestay or
hotel around Denpasar City just only Bali Hotel that established in 1927. Furthermore, there
was built Losmen Puri in 1956 and located in Jalan Arjuna on Puri Anyar Jambe land. This
losmen has Colonial style architecture, similar with Bali Hotel style. The building has some
significance that has given prove as a historical building and has passed many decades in
existence as a public facility. In this research, will be analyzing the form of significant in
Losmen Puri building as Cultural Heritage in Denpasar City. Thus, it expects will be obtain
an effort in preserving Losmen Puri building based steps in preserving regulation by
competent and relevan stakeholders.
Keywords: cultural heritage, Denpasar City, Losmen Puri, history
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
2
PENDAHULUAN
Kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain
nilai atau norma, perilaku dan wujud fisik
seperti arsitektur. Sebagai bagian dari tradisi
yang diwariskan secara turun temurun,
kebudayaan memiliki peranan di dalam
mengidentifikasi sejarah perkembangan kota
dan arsitekturnya. Seperti halnya Kota
Denpasar memiliki bentuk kebudayaan yang
mampu menciptakan karakteristik sejarah
sebagai sebuah kota dan arsitekturnya yang
khas. Hal ini memiliki kaitan erat dengan
suatu tempat dan sejarah, karena suatu tempat
adalah sumber memori individu dan memori
kolektif. Dengan demikian suatu tempat atau
kota juga memberi kontribusi pada identitas
individu dan kolektif, karena karakter dan
kepribadian tempat atau kota itu sendiri yang
membedakannya dari tempat atau kota lain,
dan masyarakat yang tinggal di dalamnya
mempunyai rasa memiliki dan keterikatan
dengan tempat atau kota tersebut.
Latar belakang perkembangan kota Denpasar
(Bappeda, 2009) yang pada mulanya sebagai
pusat istana atau puri kemudian berkembang
sebagai pusat kota modern dapat dilihat
melalui ciri fisik, yaitu adanya bangunan-
bangunan tradisional seperti pura (bangunan
suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat
kediaman bagi bangsawan Bali) dan
bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk
kepentingan pemerintah, umum, maupun yang
dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat.
Adanya intervensi Belanda dalam membangun
bangunan-bangunan pemerintahan dan
membuat aturan tata ruang Kota Denpasar
salah satunya menciptakan permukiman untuk
para pedagang, terutama para pedagang China
yang secara historis telah mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda. Para
pedagang China yang sebelumnya berlokasi di
sebelah selatan Jro Dauh Kalangan atau sekitar
kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) sampai
sebagian kantor Walikota Denpasar sekarang,
kemudian dipindahkan ke sebelah barat yang
kemudian dikenal dengan nama Kampung
China atau Jalan Gajah Mada sekarang.
Bersamaan dengan itu pasar yang ada di
sebelah timur dari komplek pertokoan China
atau di sebelah selatan dari Puri Denpasar,
kemudian dipindahkan ke pasar dekat Tukad
Badung yang kemudian dikenal dengan nama
Pasar Badung. Pengaturan tata ruang dan
permukiman seperti itu menjadikan kampung
China semakin berkembang dan sejalan
dengan itu kampung Arab juga ikut
mengalami perkembangan sehingga akhirnya
menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat
kemodernan.
Kesempatan inilah yang digunakan oleh A.A
Ngurah Alit untuk membangun sebuah
penginapan atau losmen karena pada saat itu
Kota Denpasar mulai banyak didatangi oleh
wisatawan domestik dan mancanegara, dan
penginapan atau hotel yang ada di sekitar
wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali
Hotel yang didirikan tahun 1927. Penginapan
yang dinamakan Losmen Puri ini didirikan
pada tahun 1956 dan berlokasi di Jalan Arjuna
di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen
ini dibangun bukan oleh seorang arsitek, tetapi
oleh seorang tukang bangunan yang berasal
dari Bali. Gaya atau langgam arsitektur
Losmen Puri pun mengikuti langgam yang
sedang tren saat itu, yaitu langgam arsitektur
Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan
Bali Hotel.
Dalam perkembangannya, saat ini kondisi fisik
eksterior dan interior bangunan Losmen Puri
telah berumur lebih dari 55 tahun dan masih
terlihat keasliannya seperti pada awal saat
dibangun. Bangunan ini pun memuat beberapa
signifikansi yang memberikan bukti sebagai
bangunan bersejarah dan telah melewati kurun
waktu cukup panjang dalam eksistensinya
sebagai bangunan umum dengan fungsinya
yang sesuai hingga saat ini. Berdasarkan
kriteria-kriteria tersebut, maka bangunan
Losmen Puri ini dapat dikatakan sebagai
bangunan Cagar Budaya yang patut dijaga
kelestariannya sebagai upaya memberikan
bukti perjalanan sejarah perkembangan dan
arsitektur kota Denpasar. Pelestarian bangunan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
3
maupun arsitektur perkotaan merupakan salah
satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan
terpeliharanya bangunan kuno atau bersejarah
pada suatu kawasan akan memberikan ikatan
kesinambungan yang erat antara masa kini dan
masa lalu.
Berdasarkan UU. RI No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau
kebudayaan melalui proses penetapan. Selain
itu, yang dimaksud sebagai bangunan Cagar
Budaya adalah susunan binaan yang terbuat
dari benda alam atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding
dan atau tidak berdinding, dan beratap.
Terkait dengan lingkup Pelestarian Cagar
Budaya dalam UU. RI No. 11 Tahun 2010
yang meliputi Pelindungan, Pengembangan
dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di
air, keberadaan Losmen Puri hingga saat ini
memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam
menjaga keberlanjutannya sebagai objek
bersejarah. Oleh karena itu di dalam penelitian
ini akan dilakukan analisis pula mengenai
bentuk strategi pelestarian yang tepat pada
bangunan Losmen Puri sebagai bangunan
Cagar Budaya di kota Denpasar. Sehingga
nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah
upaya yang tepat untuk melestarikan bangunan
Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah
sesuai aturan pelestarian oleh pihak-pihak
yang berkompeten dan relevan dalam
pelestarian bangunan Cagar Budaya. Bahkan
dalam perkembangan berikutnya diharapkan
pula dapat menjadi sumbangan informasi
dalam mengidentifikasi bangunan atau benda-
benda Cagar Budaya di Kota Denpasar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi
langsung terhadap bangunan arsitektur dan
interior Losmen Puri di Kota Denpasar.
Analisa akan dilakukan secara deskriptif
dengan didasarkan pada tinjauan teori yang
relevan.
TINJAUAN TEORI
1. Definisi Pelestarian
Budiharjo dalam Prasetyowati (2008:216)
menyatakan bahwa konservasi merupakan
istilah yang menjadi payung dari semua
kegiatan pelestarian sesuai dengan
kesepakatan internasional yang telah
dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981.
Beberapa batasan pengertian tentang istilah-
istilah dasar yang disepakati dalam Piagam
Burra adalah Konservasi, Preservasi,
Restorasi, Rekonstruksi, Adaptasi, dan
Demolisi. Sedangkan istilah lain menurut
Fielden dalam Samodra (2008:1), Pelestarian
Pusaka merupakan upaya untuk mencegah
kerusakan dan mengatur dinamika
perubahannya. Hal tersebut mencakup semua
kegiatan yang memperpanjang umur kekayaan
kultural dan natural, sehingga dapat dinikmati
saat ini. Kesepakatan dunia untuk memelihara
kawasan lama salah satunya ada pada Venice
Charter tahun 1964, bagian satu Piagam
Charter yang memberikan panduan
terminologi konservasi sebagai berikut:
”Konsep bangunan bersejarah mencakup tidak
hanya dari satu bangunan tunggal akan tetapi
juga setting kota atau pedesaan dimana
ditemukan bukti bagian peradaban,
pembangunan yang signifikan dan kejadian
bersejarah”.
2. Lingkup Pelestarian
Menurut Shankland dalam Muchamad
(2004:96) kebendaan dalam kegiatan
pelestarian dapat dibedakan atas desa dan kota
kecil bersejarah, kawasan bersejarah dalam
kota besar, kota bersejarah, dan kelompok
bangunan bersejarah. Jika dilihat dari lingkup
konservasi dalam suatu kota, maka obyek dan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
4
lingkup pelestarian dapat digolongkan dalam
beberapa luasan, antara lain:
a. Satuan Areal, yaitu berupa sub kota atau
bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan
sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan
seperti ini bias terjadi pada suatu kota
yang mempunyai cirri-ciri atau nilai yang
khas.
b. Satuan Pandangan/View, yaitu suatu
satuan berupa aspek visual yang dapat
memberikan bayangan mental (image)
yang khas tentang suatyu lingkungan kota,
seperti path, edge, node, district, dan
landmark.
c. Satuan Fisik, yaitu satuan yang berwujud
bangunan, kelompok atau deretan
bangunan-bangunan, rangkaian bangunan
yang membentuk ruang umum atau
dinding jalan, dan apabila dikehendaki
lebih jauh lagi dapat diperinci pada unsur-
unsur bangunan, baik unsur fungsional,
struktur atau estetis ornamental.
Sedangkan secara umum, bentuk
konservasi meliputi kota dan desa, distrik,
lingkungan perumahan, garis cakrawala
wajah jalan dan bangunan.
3. Prinsip Konservasi
Menurut Prof. Eko Budihardjo dalam
Prasetyowati (2008:220), beberapa prinsip
konservasi yang perlu diperhatikan adalah:
a. Konservasi dilandasi atas penghargaan
terhadap keadaan semula dari suatu tempat
dan sesedikit mungkin melakukan
intervensi fisik bangunannya, supaya tidak
mengubah bukti-bukti sejarah yang
dimilikinya.
b. Maksud dari konservasi adalah untuk
menangkap kembali makna kultural dari
suatu tempat dan harus bisa menjamin
keamanan dan pemeliharaannya di masa
mendatang.
c. Konservasi suatu tempat harus
dipertimbangkan segenap aspek yang
berkaitan dengan makna kulturalnya tanpa
menekankan pada salah satu aspek saja
dan mengorbankan aspek yang lain.
d. Suatu bangunan atau suatu hasil karya
bersejarah harus tetap berada pada lokasi
historisnya. Pemindahan seluruh atau
sebagian dari suatu bangunan atau hasil
karya tidak diperkenankan kecuali bila hal
tersebut merupakan satu-satunya cara guna
menjamin kelestariannya.
e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar
visual yang cocok seperti bentuk, skala,
warna, tekstur, dan bahan pembangunan.
Setiap perubahan baru yang akan
berakibat negatif terhadap latar visual
tersebut harus dicegah.
f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai
untuk suatu tempat harus didasarkan atas
pemahaman terhadap makna kultural dan
kondisi fisik bangunannya.
4. Konsep Pelestarian
Menurut Bagoes P. Wiryomartono dalam
Musadad (2005:304), beberapa butir tentang
pelestarian bangunan lama antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Pelestarian bangunan-bangunan kuno di
Indonesia menuntut pemikiran kembali
hakikat keberadaannya di tengah
kehidupan komunitas sekarang. Dengan
demikian yang perlu dilestarikan bukan
hanya bangunannya saja tetapi keterkaitan
antara bangunan tersebut terhadap
kehidupan komunitas di sekelilingnya.
b. Sejarah bangunan hingga saat ini masih
merupakan sesuatu sumber penting bagi
pelestarian bangunan-bangunan lama.
Kelangsungan suatu bangunan mungkin
menantang sejarah apabila tidak mampu
menjawab masalah-masalah yang muncul
yang meliputi kehidupan ekonomi
komunitas, kebanggaan lokalitas dan
masalah-masalah sosial setempat.
c. Sejarah bangunan memiliki bobot
tersendiri untuk membangun struktur
makna edukatif yaitu relevansinya dengan
kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Dikatakan pula oleh Musadad (2005:304-305),
bahwa konservasi lingkungan dan bangunan
kuno tidak hanya penting dilihat dari segi
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
5
sosial budaya saja melainkan dari segi sosial
ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan
peningkatan pendapat dan perluasan lapangan
kerja. Misalnya pemanfaatan lingkungan
tradisional yang tertata baik sebagai objek
wisata atau revitalisasi bangunan kuno dengan
menambahkan fungsi baru yang bersifat
komersial. Nilai spesifik dari rona arsitektur
kota didasari oleh karakter perilaku perubahan
sosial budaya masyarakat kota yang dapat
dijadikan dasar dalam menentukan kriteria
spesifik untuk wilayah yang bersangkutan.
Demikian pula dengan bangunan yang
mempunyai peran terhadap kawasan dan dapat
menjadi orientasi terhadap kawasan sekitar.
5. Cagar Budaya
UU. RI No. 11 Tahun 2010 Bab I, pasal 1 juga
memaparkan bentuk pelestarian yang disebut
Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya,
dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau
di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan
atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Selain itu dalam Undang-undang ini juga
memuat beberapa hal dan ketentuan mengenai
Cagar Budaya, seperti benda, bangunan, atau
struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau
Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi
kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia
50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa.
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan
atau benda buatan manusia, baik bergerak
maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-
sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah
susunan binaan yang terbuat dari benda alam
atau benda buatan manusia untuk memenuhi
kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak
berdinding, dan beratap. Bangunan Cagar
Budaya dapat berunsur tunggal atau banyak,
dan atau berdiri bebas atau menyatu dengan
formasi alam.
Undang-undang tersebut dipertegas lagi
dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia
2003, yang bertekad untuk bersama-sama
melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa
Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-
2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai
berikut:
a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam,
pusaka budaya, dan pusaka saujana.
Pusaka alam adalah bentukan alam yang
istimewa. Pusaka budaya adalah hasil
cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa
dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air
Indonesia, dan dalam interaksinya dengan
budaya lain sepanjang sejarah
keberadaannya. Pusaka saujana adalah
gabungan pusaka alam dan budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu.
b. Pusaka budaya mencakup pusaka
berwujud dan pusaka tidak berwujud.
c. Pusaka yang diterima dari generasi-
generasi sebelumnya sangat penting
sebagai landasan dan modal awal bagi
pembangunan masyarakat Indonesia di
masa depan, karena itu harus dilestarikan
untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya dalam keadaan baik, tidak
berkurang nilainya, bahkan perlu
ditingkatkan untuk membentuk pusaka
masa mendatang.
d. Pelestarian adalah upaya pengelolaan
pusaka melalui kegiatan penelitian,
perencanaan, perlindungan, pemeliharaan,
pemanfaatan, pengawasan atau
pengembangan secara selektif untuk
menjaga kesinambungan, keserasian dan
daya dukungnya dalam menjawab
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
6
dinamika jaman untuk membangun
kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.
Hal yang sama juga dikemukakan dalam
Guidelines for Preparing Conservation Plan
(1994) bahwa penentuan apakah suatu
bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi
sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh
aspek-aspek non fisik yaitu:
a. Mempunyai nilai estetik yaitu
menunjukkan aspek desain dan arsitektur
suatu tempat.
b. Mempunyai nilai edukatif yaitu
menunjukkan gambaran kegiatan manusia
di masa lalu di tempat itu dan menyisakan
bukti-bukti yang asli. Dapat mencakup
teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat,
selera dan kegunaan sebagaimana halnya
juga teknik atau bahan-bahan tertentu.
c. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan
emosional kelompok masyarakat tertentu
terhadap aspek spiritual, tradisional, politis
atau suatu peristiwa.
d. Nilai historis yaitu asosiasi suatu
bangunan bersejarah dengan pelaku
sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu.
Mencakup analisis tentang aspek-aspek
yang tidak kasat mata (intangible aspects)
dari masa lalu bangunan tersebut.
6. Strategi Pelestarian
Pelestarian Cagar Budaya dalam UU. RI No.
11 Tahun 2010 meliputi Pelindungan,
Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar
Budaya di darat dan di air. Sedangkan di
dalam strategi Pelestarian Pusaka harus dapat
memelihara dan jika memungkinkan tetap
menjaga pesan dan nilai budaya objek
tersebut. Sedangkan persiapan prosedur untuk
melakukan konservasi menurut sumber yang
sama adalah melakukan inventarisasi terhadap
semua objek konservasi, melakukan tinjauan
awal terhadap kawasan dan melakukan
dokumentasi pada objek-objek tersebut
(Fielden dalam Samodra, 2008:1).
Dalam Piagam Burra strategi di dalam usaha
pelestarian dapat berupa (Prasetyowati,
2008:217) :
a. Konservasi adalah segenap proses
pengelolaan suatu tempat agar kandungan
makna kulturalnya terpelihara dengan baik
yang meliputi seluruh kegiatan
pemeliharaan sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat dapat pula mencakup
preservasi, restorasi, rekonstruksi,
adaptasi, dan revitalisasi.
b. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat
persis seperti keadaan semula tanpa ada
perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran.
c. Restorasi/rehabilitasi adalah
mengembalikan suatu tempat ke keadaan
semula dengan menghilangkan tambahan-
tambahan dan memasang komponen
semula tanpa menggunakan bahan baru.
d. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu
tempat semirip mungkin dengan keadaan
semula dengan menggunakan bahan lama
maupun bahan baru.
e. Adaptasi/revitalisasi adalah merubah
tempat agar dapat digunakan untuk fungsi
yang lebih sesuai. Yang dimaksud dengan
fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan
yang tidak menuntut perubahan drastis
atau yang hanya memerlukan sedikit
dampak minimal.
f. Demolisi adalah penghancuran atau
perombakan suatu bangunan yang sudah
rusak atau membahayakan.
Mengenai tingkat perubahan yang diakibatkan
oleh masing-masing kategori kegiatan tersebut
dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
7
Tabel 2.1 Tingkat Perubahan Kegiatan
Konservasi Bangunan
No
. Kegiatan
Tingkat Perubahan
Tidak
Ada Sedikit Banyak Total
1. Konservasi * * * *
2. Preservasi * - - -
3. Restorasi/
rehabilitasi - * * -
4. Rekonstruksi - - * *
5. Adaptasi/
revitalisasi - * - *
6. Demolisi - - - *
Sumber : Dobby, A dalam Prasetyowati, 2008.
Eko Budiharjo dalam Prasetyowati (2008
222-224) merumuskan tahapan dalam proses
konservasi, antara lain:
a. Tahap 1. Inventarisasi/ Pengumpulan Data
Pendataan dimulai dengan survey-survey
terhadap dokumen-dokumen Sesudah itu
dilakukan observasi dan wawancara di
lapangan kepada semua pihak yang terkait.
Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu
secara lengkap dan dianalisa agar dapat
disusun secara sistematis arti penting tempat
tersebut hingga inventarisasi kelompok-
kelompok bukti fisik dan menyusun urut-
urutan prioritas sesuai dengan artinya,
kelangkaannya, kualitas dan sebagainya.
b. Tahap 2. Penyusunan/ Pengolahan Data dan
Analisa
Dalam tahapan ini dilakukan terlebih dahulu
penyusunan/pengolahan data secara sistematis
untuk kemudian dilakukan analisa terhadap
setiap obyek konservasi. Dari seluruh data
yang diperoleh dilakukan kategorisasi atau
klasifikasi jenisjenis bangunan atau
lingkungan yang diteliti, mulai dari skala
makro sampai mikro.
c. Tahap 3. Pengkajian Makna Kultural
Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian
makna kultural dengan tolak ukur : estetika,
kejamakan, kelangkaan, peran sejarah,
pengaruh terhadap lingkungan dan
keistimewaan. Tidak tertutup pula
kemungkinan untuk penggunaan tolak ukur
lain seperti misalnya nilai-nilai sosial (kualitas
tempat/lingkungan yang menjadi pusat
kegiatan spiritual), nilai ilmiah (manfaat
tempat/lingkungan terhadap pengembangan
ilmu dan jasa informasi), nilai komersial (arti
penting suatu tempat/ lingkungan untuk
kegiatan yang menghasilkan uang).
d. Tahap 4. Penentuan Prioritas dan Peringkat
Dari hasil pengkajian makna kultural dengan
menggunakan pembobotan akan diperoleh
prioritas dan peringkat dari setiap obyek
penelitian. Hasil inilah yang akan dapat
digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
kebijakan konservasi dan strategi untuk
implementasinya (tahap 5 dan 6).
e. Tahap 5. Perumusan Kebijakan Konservasi
Alternatif kebijakan meliputi konservasi,
preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi,
adaptasi/revitalisasi dan
demolisi/penghancuran.
f. Tahap 6. Strategi Implementasi
g. Tahap 7. Program dan Perencanaan
h. Tahap 8. Pembiayaan dan Pelaksanaan di
Lapangan.
PEMBAHASAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Kota
Denpasar dengan dasar pertimbangan bahwa
terdapat bangunan bersejarah yang berumur
lebih dari 50 tahun di pusat kota dan memiliki
signifikansi sejarah, arsitektur dan ekonomi.
Lokasi penelitian ini berada tepat di Jalan
Arjuna dengan batas-batasnya adalah sebelah
utara Banjar Lelangon, sebelah timur Bali
Hotel dan Lapangan Puputan Badung, sebelah
selatan Bank BRI, dan sebelah barat Bank
BNI.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
8
Gambar 1. Lokasi Losmen Puri
Sumber: Google Earth, 2017
Salain (2011:74) menyatakan bahwa Kota
Denpasar kini adalah sebuah kota yang
terbentuk oleh karena waktu, pelaku dan
kekuasaan yang melapisinya. Menurutnya
sejarah, kota Denpasar dibagi menjadi tiga
babak, yaitu kerajaan (tradisi), penjajahan
(kolonial), dan kemerdekaan (kebebasan). Saat
kejayaan Puri Denpasar sirna karena konflik
dengan Pemerintah Kolonial ketika perang
Puputan Badung, mulai mengambil alih serta
menjadikan Puri Denpasar dengan fungsi baru
untuk mendukung simbol pemerintahannya
seperti kantor yang berada di sisi Selatan,
perumahan di sisi Timur dan Utara, serta sisi
Barat dibangun Bali Hotel.
Untuk mengembangkan kebijakannya pun
Pemerintah Kolonial berupaya
mengembangkan Kota Denpasar untuk
menjadi kota kolonial (colonial city). Dalam
hal ini diterapkannya sistem birokrasi Kolonial
dimana pemerintah kemudian membangun
kantor-kantor pemerintahan. Selain itu,
Pemerintah Kolonial berusaha membangun
berbagai sarana untuk kepentingan umum
seperti rumah sakit, pos polisi, sarana
pertanian, perdagangan dan sebagainya.
Keadaan yang demikian menuntut
pengembangan kota yang didasari atas
perencanaan pengembangan kota secara lebih
memadai baik dari segi sosial maupun fisik
kota. Dapat dilihat bahwa dari segi sosial
ekonomi diusahakan dengan membangun dan
memperbaiki sarana dan prasarana umum
untuk kemajuan masyarakat. Penempatan
berbagai perkantoran, rumah-rumah pejabat
pemerintah, pemukiman penduduk, kawasan
wisata merupakan bagian dari usaha
pemerintah kolonial untuk menata
perkembangan Kota Denpasar (Soenaryo
dalam Ardhana, 2004: 6).
Ardhana dalam Salain (2011:78) menyatakan
arsitektur kota menjadi simbol kekuasaan dari
Raja menuju Kolonial, umum disebut dengan
langgam Arsitektur Kolonial. Simbol-simbol
lainnya adalah penanda waktu berupa jam atau
lonceng yang dipasang di Pempatan Agung,
relokasi pasar menuju Tukad Badung,
membangun sekolah-sekolah dan tempat
budaya seperti Museum Bali pada tahun 1910
yang memadukan Arsitektur Tradisional Bali
(ATB) dengan sentuhan fungsi baru. Ardhana
(2004:7) juga menyatakan peranan puri
tampak masih dominan dalam perkembangan
kota Denpasar. Hal ini terlihat dengan
dominasi dari kalangan kaum bangsawan
terhadap penguasaan tanah maupun dalam
menerima cara produksi baru khususnya
bidang perdagangan. Masuknya cara produksi
baru menyebabkan masyarakat Denpasar
semakin terbuka pula keinginannya untuk
membuka usaha dagang yang sementara ini
hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri
(subsistence). Sebelum sektor perdagangan
masuk dapat dilihat berkembangnya industri
kerajinan tangan, menganyam, menenun,
mengukir, membuat alat rumah tangga,
memelihara ternak dan sebagainya. Salain
(2011:79) juga menyatakan bahwa pada
perkembangan selanjutnya karya arsitektur
menjadi ikon dari kota Denpasar, seperti
Museum Bali, Bali Hotel dan kawasan
pertokoan di sepanjang Jalan Gajah Mada
sebagai gambaran kampung China atau
Pecinan.
Jl.
Sumat
era
Jl.
Gajah
Mada
Losmen Puri
Jl.
Arjun
a Jl.
Vetera
n
Jl.
Kresn
a
Inna
Bali Hotel
BNI’46 BPD
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
9
Gambar 2. Bali Hotel
Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di
http://collectie.tropenmuseum.nl
Gambar 3. Jalan Gajah Mada Tahun 1949
Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di
http://collectie.tropenmuseum.nl
2. Objek Penelitian
Objek di dalam penelitian ini adalah bangunan
Losmen Puri yang telah berdiri sejak 1956 di
pusat Kota Denpasar ketika perkembangan
Jalan Gajah Mada sebagai kawasan
perdagangan. Bangunan bersejarah (Heritage
Building) yang telah berumur lebih dari 50
tahun ini dibangun oleh A.A. Ngurah Alit
sebagai upaya untuk memberikan fasilitas
umum untuk memenuhi kebutuhan akan
akomodasi penginapan bagi wisatawan yang
datang ke pusat kota Denpasar. Hingga saat ini
fungsi bangunan masih tetap sama, yaitu
sebagai bangunan penginapan.
Gambar 4. Tampak Depan Losmen Puri
Sumber : Dokumentasi 2016
Bangunan berlanggam kolonial yang
dipadukan dengan ATB ini dibangun di atas
tanah milik Puri Anyar Jambe. Walaupun
banyak intervensi dari berbagai pihak, baik
dari keluarga dalam puri maupun luar puri
untuk merenovasi dan mengembangkan
Losmen Puri, tetapi pemilik masih
berkeinginan untuk mempertahankan bentuk
dan fungsi bangunan seperti semula hingga
saat ini. Bangunan dengan luas + 2 are ini
terdiri dari dua lantai dengan menggunakan
material-material bangunan seperti batu bata,
tegel dan kayu jati.
Lingkungan sekitar Losmen Puri yang pada
saat ini dikelola oleh adik kandung A.A.
Ngurah Alit sebagian besar adalah kawasan
perdagangan, permukiman dan perkantoran.
Keberadaan bangunan di pusat Kota Denpasar
ini memberikan karakteristik visual bukti
sejarah terhadap perkembangan kawasan.
Selain itu bangunan ini juga tetap memberikan
dampak nilai komersial baik bagi bangunan itu
sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.
3. Signifikansi Bangunan Losmen Puri
Losmen Puri sebagai salah satu Heritage
Building di tengah Kota Denpasar memiliki
kemampuan untuk bertahan dalam
perkembangan dan perubahan kebudayaan
masyarakat yang semakin mengglobal.
Bangunan penginapan yang memiliki fungsi
sama hingga saat ini turut memberikan
sumbangan terhadap karakteristik visual kota
Denpasar dengan berbagai signifikansinya.
Jl. Gajah Mada
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
10
a. Nilai Historis
Berdasarkan informasi dari A.A. Ketut Oka
selaku salah satu kerabat pemilik Losmen Puri
yang mengatakan bahwa bangunan
penginapan ini dibangun pada saat Kota
Denpasar mulai mengalami perkembangan
terutama kawasan Jalan Gajah Mada sebagai
pusat perdagangan saat itu. Sekembalinya
A.A. Ketut Ngurah sebagai pendiri bangunan
ini dari sekolahnya di Jakarta, dan melihat
perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada
sebagai pusat perdagangan dimanfaatkan
dengan mendirikan bangunan penginapan
yang memang pada saat itu di sekitar wilayah
Kota Denpasar hanya terdapat Bali Hotel yang
berada di Jalan Veteran hingga saat ini. Ide
awal untuk membangun Losmen Puri di atas
tanah milik Puri ini sebelumnya ditentang oleh
adik A.A. Ketut Ngurah dan disarankan lebih
baik untuk mendirikan pabrik tahu. Tetapi
karena pertimbangan lokasi di tengah Kota
Denpasar dengan fasilitas pembuangan limbah
yang kurang memadai, maka ide untuk
mendirikan pabrik tahu tersebut diurungkan.
Bangunan penginapan yang didirikan tahun
1956 ini mendapat respon cukup positif oleh
wisatawan domestik khususnya yang berasal
dari Jawa ketika dibuka untuk pertama
kalinya. Selain itu Losmen Puri ini pun sering
dijadikan sebagai tempat untuk menginap bagi
para pegawai pemerintahan dan tentara dari
Jawa yang sedang berdinas ke Kota Denpasar
pada saat itu.
b. Nilai Arsitektur
Bangunan yang terletak di Jalan Arjuna ini
dibangun oleh tukang berasal dari Bali yang
memiliki kemampuan mengerjakan bangunan
dengan langgam yang sedang tren saat itu,
yaitu langgam Kolonial. Bentuk visual
arsitektur ruang luar dan ruang dalam tidak
mengalami perubahan hingga saat ini.
Perawatan dilakukan hanya dengan
membersihkan dan mengecat dinding.
Gambar 5. Ruang Dalam di Lantai Dasar
Sumber: Dokumentasi 2016
Gambar 6. Ruang Dalam di Lantai Satu
Sumber: Dokumentasi 2016
Gambar 7. Ruang Terbuka di Tengah Bangunan
Sumber: Dokumentasi 2016
Langgam arsitektur kolonial yang
dipadupadankan dengan art work berupa
patung tradisional Bali dan tugu pada
bangunan ini tidak mengalami perubahan
hingga saat ini. Tiga buah pilar yang terdapat
pada bagian depan bangunan memiliki
kemiripan dengan pilar yang terdapat pada
bangunan Bali Hotel. Demikian pula dengan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
11
jendela dan pintu yang berjeruji dan bersekat-
sekat, serta ventilasi kecil yang dan
memanjang semakin menguatkan langgam
arsitektur kolonial pada bangunan Losmen
Puri ini.
Gambar 8. Patung (Artwork) Tradisional Bali
Sumber: Dokumentasi 2016
Gambar 9. Pilar di Bagian Luar Bangunan
Sumber: Dokumentasi 2016
Perpaduan warna merah dan krem ini masih
dipertahankan hingga saat ini. Tetapi fungsi
bagian bangunan di bagian utara yang dulunya
merupakan ruang kamar tidur Losmen Puri
telah berubah fungsi menjadi warung menjual
makanan khas Bali. Halaman di depan losmen
ini dulunya cukup luas dan dalam
perkembangannya mulai termakan oleh badan
jalan, sehingga semakin menyempit.
Gambar 10. Warung (atas) dan Halaman pada
Losmen Puri (bawah)
Sumber: Dokumentasi 2016
Denah bangunan berbentuk persegi panjang ini
memiliki fasilitas antara lain ruang kamar tidur
berjumlah 18 buah, kamar mandi dua buah,
lobby dan sebuah gudang. Struktur dan
material dinding bangunan berlantai dua ini
menggunakan bata, material lantai satu
menggunakan beberapa tegel dan lantai dua
menggunakan kombinasi papan kayu jati dan
plesteran semen, dan langit-langit
menggunakan anyaman bedek yang difinis cat.
Sebagian besar furnitur termasuk daun pintu,
engsel, stop kontak pada ruangan di dalam
bangunan ini masih digunakan dan dalam
kondisi yang baik hingga saat ini.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
12
Gambar 11. Material Lantai, Dinding, dan Ceiling
pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016
Gambar 12. Stop Kontak, Gagang Pintu dan
Ventilasi pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016
Gambar 13. Furnitur pada Losmen Puri
Sumber: Dokumentasi 2016
c. Nilai Ekonomi
Sebelum Losmen Puri ini dibangun,
lingkungan di sekitarnya sebagian besar masih
berupa tanah kosong yang dimiliki oleh Puri.
Seiring dibangunnya bangunan penginapan ini,
fasilitas-fasilitas perdagangan mulai
berkembang berbarengan dengan kawasan
perdagangan Jalan Gajah Mada. Tanah yang
dibangun saran perdagangan ini adalah tanah
yang telah dijual oleh pihak puri, dan sebagian
ada juga tanah yang dipinjam oleh pihak
pemerintah dan digunakan sebagai pos
penjagaan. Harga sewa ketika awal dibukanya
Losmen Puri ini adalah sebesar Rp. 50,- dan
hingga saat ini berkembang menjadi Rp.
50.000,- per harinya. Penyewa losmen pada
saat ini sebagian besar adalah pedagang
berasal dari Jawa yang telah berlangganan dan
turun temurun mengetahui bangunan ini sejak
dahulu.
4. Bentuk Pelestarian Bangunan Losmen Puri
sebagai Bangunan Cagar Budaya Saat Ini
Kondisi fisik bangunan Losmen Puri saat ini
masih dapat dipertahankan oleh pemiliknya
dan tidak ada keinginan sedikit pun untuk
merubah bentuk maupun fungsinya, walaupun
intervensi untuk merubah bentuk dan fungsi
bangunan ini sering dilontarkan oleh pihak
keluarga dalam maupun luar Puri Anyar
Jambe ini.
Bentuk pelestarian yang telah dilakukan oleh
pihak internal bangunan Losmen Puri yang
telah berumur lebih dari 55 tahun ini adalah
dengan menjaga fungsi dan bentuk bangunan,
bahkan furnitur ruang dalam bangunan. Selain
itu dilakukan pula perawatan rutin setahun
sekali dengan mengecat kembali dinding dan
plafond dengan warna yang sama seperti awal
bangunan ini berdiri.
Perubahan fungsi hanya terjadi pada bagian
utara bangunan yang dijadikan sebagai warung
makanan khas Bali sebagai fasilitas tambahan
dari bangunan losmen ini. Lingkungan di
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
13
sekitar Losmen Puri ini dikatakan cukup
banyak mengalami perkembangan dan
perubahan. Mulai banyak berdiri bangunan-
bangunan tinggi dan ruang terbuka semakin
hilang.
Dari pihak eksternal, sebagian masyarakat
banjar Lelangon cukup memiliki kesadaran
untuk mendukung keberadaan Losmen Puri ini
agar dapat bertahan dengan kondisi fisik
seperti pada awal bangunan ini berdiri.
Berdasarkan informasi dikatakan pula bahwa
Losmen Puri ini telah diinventarisasi oleh
pihak Pemerintah Kota Denpasar sebagai
benda Cagar Budaya. Tetapi tahapan
bangunan ini sebagai benda cagar budaya
hanya sebatas inventarisasi dan belum ada
tahap atau tanggapan terhadap bentuk
pelestariannya.
5. Strategi Pelestarian Bangunan Losmen Puri
sebagai Bangunan Cagar Budaya
Strategi di dalam pelestarian bangunan
Losmen Puri yang telah memenuhi persyaratan
sebagain benda Cagar Budaya adalah sesuai
dengan signifikansi dan kondisi fisik bangunan
yang masih terjaga keasliannya hingga saat ini
adalah preservasi, yaitu mempertahankan
bentuk dan fungsi bangunan Losmen Puri ini
dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan
dan mencegah adanya kehancuran. Perubahan
fungsi yang terjadi pada bagian utara
bangunan ini dapat menjadi nilai tambah
dalam memperkaya dan melestarikan budaya
Bali dalam lingkup kuliner.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam
menerapkan strategi ini juga sangat dituntut
untuk aktif. Karena jika hanya proses
pelestarian hanya dilakukan melalui
inventarisasi dan tidak dilakukan pengawasan
terhadap kondisi bangunan ini secara intensif
sangat memungkinkan terjadi intervensi yang
mampu menghilangkan salah benda cagar
budaya Kota Denpasar. Pengesahan Perda
tentang benda cagar budaya juga sangat
dinanti dan diperlukan sebagai upaya
mengatur secara hukum eksistensi benda cagar
budaya, khususnya keberadaan Losmen Puri
ini oleh pemilik, masyarakat dan pemerintah
Kota Denpasar.
Simpulan
Pelestarian bangunan bersejarah merupakan
suatu pendekatan yang strategis di dalam
pembangunan kota karena pelestarian
menjamin kesinambungan nilai-nilai
kehidupan dalam proses pembangunan yang
dilakukan oleh aktor pembangunan
(stakeholder). Upaya pelestarian yang telah
dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya
mempunyai tujuan yang sama, yaitu
pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-
nilai budaya dan proses-proses yang pernah
terjadi pada masa lalu. Pelestarian pun harus
dilakukan dengan melakukan identifikasi dan
analisa terhadap objek oleh pihak-pihak yang
berkompeten sebagai upaya menentukan jenis
pelestarian yang tepat untuk dilakukan
sehingga prinsip dan tujuan pelestarian dapat
tercapai.
Saran
Pentingnya peran serta semua komponen di
dalam suatu kota, khususnya Kota Denpasar
dalam melakukan pelestarian terutama
memberikan pemahaman terhadap definisi
sebuah pelestarian terhadap benda cagar
budaya. Oleh karena itu, diperlukan lebih
banyak lagi kajian mengenai pelestarian benda
cagar budaya dan realisasinya terkait
perkembangan sebuah kota.
Daftar Pustaka
Ardhana. 2004. Denpasar: Perkembangan
Dari Kota Kolonial Hingga Kota Wisata.
Dalam: Prosiding Konferensi International I
Sejarah Kota (The First International
Conference on Urban History), Universitas
Airlangga, Surabaya, 23-25 Agustus 2004.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Bappedda. 2009. Penelusuran Sejarah Kota
Denpasar. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
14
International Council of Monuments and Sites.
1999. Burra Charter. Australia: Autralia
ICOMOS Inc.
Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003.
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata RI.
Muchamad, Bani Noor, Ira Mentayani. 2004.
Model Pelestarian Arsitektur Berbasis
Teknologi Informasi, Studi Kasus: Arsitektur
Tradisional Suku Banjar. Dalam: Dimensi
Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Arsitektur,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Volume 32 Nomor 2, Desember 2004.
Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Musadad. 2005. pengelolaan Stasiun Jebres
dan Kwasannya dalam Upaya Pelestarian
Sumber Daya Arkeologi. Dalam: Jurnal
Humanika Program Studi Arkelologi, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Nomor
18, Volume 2, April 2005. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Pemerintah Republik Indonesia.
2010. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Jakarta.
Salain, Putu Rumawan. 2011. “Arsitektur
Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di
Kota Denpasar (Perspektif Kajian Budaya)”
(tesis). Denpasar: Program Studi Kajian
Budaya. Universitas Udayana.
Samodra, F.X. Teddy Badai. 2008. Tanggap
Lingkungan Pelestarian Pusaka Tampang
Arsitektur Kolonial. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan
dalam Mewujudkan Arsitektur Kota Tropis.
Semarang : Universitas Diponegoro.
Sumber Website:
Anonim. 1971. De entree van het Balihotel.
Available from: URL:
http://collectie.tropenmuseum.nl
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
15
KEBERADAAN WALLPAPER SEBAGAI UNSUR HIASAN PADA
ELEMEN PEMBENTUK RUANG DALAM
Nyoman Ratih Prajnyani Salain, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain Bali
Email : [email protected]
Abstrak
Ruangan interior terdiri atas empat elemen pembentuk ruang, yaitu: plafond, dinding, lantai,
dan bukaan ruang. Masing-masing elemen tersebut umumnya dijadikan sebagai media
kreativitas oleh sang desainer demi mendapatkan kenyamanan baik secara visual maupun
fungsional dengan selalu mengindahkan prinsip-prinsip desain interior. Dewasa ini,
penggunaan wallpaper sebagai unsur hiasan pada elemen dinding bukanlah hal yang asing,
baik bagi kalangan desainer interior maupun bagi masyarakat awam. Penggunaan wallpaper
juga tidak dibatasi oleh fungsi ruang yang akan didesain. Selain hunian rumah tinggal,
wallpaper juga banyak dijumpai pada interior-interior dengan fungsi sebagai public facilities
diantaranya ada café/ restoran, hotel, rumah sakit, perkantoran, sekolah, dll. Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya keberadaan awal wallpaper dijadikan
sebagai unsur hiasan pada elemen pembentuk ruang, berikut pengertian, jenis-jenis, dan motif
wallpaper dalam konsep langgam interior. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif karena makalah ini menggambarkan keberadaan wallpaper
dalam dunia interior dengan cara mengumpulkan data-data yang bersifat kualitatif seperti
kajian pustaka mengenai sejarah desain interior, wallpaper, desain interior, foto beserta
gambar-gambar yang terkait dengan wallpaper dan desain interior.
Kata Kunci : wallpaper, desain interior, elemen pembentuk ruang
Abstract
Room interior consist of four room forming elements, they are : ceiling, wall, floor and room
aperture. Each of them is used as media of creativity of the designer, in order to find
comfortability visually as well as functionally, by always considering the principle of interior
design.
Recently, wallpaper as decoration aspect on the wall element is commonly used, both by the
interior designers and also by the common people. Its use is not limited by the function of the
room being designed. Beside in the residential home, wallpaper can be also found in public
facilities, such as cafe/restaurants, hotels, hospitals, offices, schools, etc.
This paper is aimed to know the former existence of wallpaper which is used as decoration
aspect of room forming element, including its definition, types and motifs on the concept of
interior style.
The method used in this research is descriptive-quantitative method, because this paper
describes the existence of wallpaper in the interior world by submitting the qualitative data,
such as : literature study about interior design history, wallpaper, interior design, pictures
and photos which have relationship with wallpaper and interior design.
Key words: wallpaper, interior design, room forming element
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
16
PENDAHULUAN
Dunia desain telah banyak mengalami
perkembangan terutama pada bidang seni
arsitektural dan seni interior. Hal ini
dikarenakan, adanya keterkaitan dengan
perkembangan di bidang teknologi.
Dahulu, manusia mendirikan hunian
dengan tujuan untuk melindungi dirinya
dari alam, cuaca, hewan buas, ataupun
serangan sesama manusia. Keberadaan
fisik dari hunian hanya akan dipandang
dari faktor keamanan saja bukan dari faktor
kenyamanan dan keindahan. Namun,
seiring berjalannya waktu, manusia mulai
berpikir bahwa selain faktor keamanan,
faktor kenyamanan dan keindahan juga
dibutuhkan di dalam menjalani kehidupan.
Keberadaan fisik hunian yang sebelumnya
hanya terdiri dari atap, tiang dan lantai
panggung yang seadanya saat itu, secara
berangsur-angsur mengalami
perkembangan dengan ditambahkannya
dinding dengan tujuan memberikan
kenyamanan thermal serta memberikan
privasi bagi penghuninya. Ruang dalam
pun, mulai mendapatkan sentuhan
keindahan yang tadinya diawali dari faktor
kepercayaan manusia saat itu dengan
menghadirkan sosok patung/ arca, relief,
lukisan dinding sebagai alat pemujaan.
Hal inilah yang dijadikan landasan
berkembangnya desain interior di dalam
suatu bangunan. Perkembangan tersebut
dapat dilihat pada masing-masing elemen
dasar interior yang terdiri dari : plafond,
dinding, dan lantai (Wicaksono dan
Tisnawati, 2014: 11). Ketiga elemen
tersebut dijadikan sebagai media
kreativitas seni oleh sang desainer di dalam
mewujudkan ruang dalam sesuai dengan
konsep desainnya.
Wallpaper merupakan salah satu hiasan
dinding yang kini marak diaplikasikan
pada elemen dinding. Penggunaan
wallpaper merupakan salah satu alternatif
hiasan dinding, selain dari menggunakan
permainan warna pada cat dinding. Ada
banyak kelebihan dari menggunakan
wallpaper yang pertama adalah dari faktor
kebersihan. Bahan wallpaper mudah
dibersihkan jika dibandingkan dengan
dinding yang hanya dilapisi cat saja.
Kemunculan Wallpaper masih
diperdebatkan. Terdapat dua versi yang
akan dibahas nantinya, pertama kali
muncul di Cina pada tahun 200 SM dan
versi yang kedua pada jaman Renaisans di
Perancis (Foresta Deco; 2012; Sejarah
Wallpaper Dinding;
http://www.forestadeco.com/index.php/ne
ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari
2017).
Kajian Pustaka pada penelitian ini akan
diawali dengan pengertian desain interior,
prinsip dasar desain interior jenis konsep
interior, sejarah munculnya wallpaper,
definisi dan jenis wallpaper, serta cara
menghitung kebutuhan wallpaper pada
dinding. Untuk pembahasannya akan
menelaah implementasi dari wallpaper
berdasarkan konsep-konsep interior yang
ada. Hal tersebut bertujuan untuk
mewujudkan keselarasan antara motif
wallpaper yang dipilih dengan konsep
interior yang diterapkan.
TUJUAN DAN METODE
PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui implementasi yang
sesuai dan selaras antara pemilihan motif
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
17
wallpaper dengan jenis konsep interior
yang diterapkan.
Metode Penelitian
Menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif karena penelitian ini
menggambarkan keberadaan wallpaper
dalam dunia interior dengan cara
mengumpulkan data-data yang bersifat
kualitatif seperti kajian pustaka mengenai
sejarah desain interior, wallpaper, desain
interior, foto beserta gambar-gambar yang
terkait dengan wallpaper dan desain
interior.
KAJIAN PUSTAKA
Kajian Pustaka pada penelitian ini akan
membahas mengenai definisi Desain
Interior, Prinsip Dasar Desain Interior,
Jenis Konsep Interior, Sejarah Desain
Interior dan Keberadaan Wallpaper,
Definisi dan Jenis Wallpaper, serta Cara
Menghitung Kebutuhan Wallpaper.
Referensi-referensi yang didapatkan dari
kajian pustaka tersebut diharapkan dapat
membantu di dalam menyelesaikan
pembahasan pada penelitian ini.
DEFINISI DESAIN INTERIOR
Saat ini, pengertian mengenai desain
interior sangatlah beragam. Hal ini
dikarenakan oleh banyaknya ahli-ahli
desain interior yang bermunculan sembari
membawa teorinya masing-masing.
Namun, dari sekian banyaknya pengertian
mengenai desain interior sesungguhnya
memiliki makna pokok yang sama hanya
dengan membahasakannya yang berbeda-
beda.
Desain interior atau perancangan interior
adalah salah satu cabang dari ilmu rancang
bangun atau arsitektur yang
perkembangannya cukup pesat
(Wicaksono, 2014: 3). Hal ini disebabkan
oleh adanya kebutuhan manusia untuk
memenuhi gaya hidup dalam
memanfaatkan fungsi ruang di dalam
melakukan aktivitas. Sedangkan menurut
D.K. Ching, “merencanakan, menata dan
merancang ruang-ruang interior dalam
bangunan; Tatanan fisik diatas dapat
memenuhi kebutuhan dasar kita akan
sarana untuk bernaung dan berlindung;
menentukan langkah sekaligus mengatur
bentuk aktivitas kita; memelihara aspirasi
kita dan mengekspresikan ide-ide yang
menyertai segala tindakan kita,
mempengaruhi penampilan, perasaan dan
kepribadian kita” (Kirarai; 2012; Desain
Interior; http://annisa-
po.blogspot.co.id/2012/07/desain-
interior.html; diakses tanggal 20 Januari
2017).
Dari kedua definisi diatas dapat ditarik
kesimpulan mengenai pengertian Desain
interior adalah, suatu ilmu pengetahuan
yang memiliki keterkaitan dengan ilmu
konstruksi dan seni merancang bangunan
(arsitektur) namun dalam konteks
perencanaan, penataan, dan perancangan
ruang dalam dengan tujuan memberikan
kenyamanan dari faktor fungsi maupun
faktor estetis bagi manusia yang
melakukan aktivitas di dalamnya.
PRINSIP DASAR DESAIN INTERIOR
Di dalam mendesain suatu ruang dalam,
seorang desainer diharapkan dapat
menerapkan prinsip-prinsip dasar
perancangan desain interior. Masing-
masing bagian dari prinsip-prinsip dasar
tersebut berguna untuk menghasilkan suatu
karya yang fungsional dan nyaman dari
segi fisik maupun psikis.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
18
Menurut Petitevirus dalam artikelnya yang
berjudul Sejarah, Pengertian dan 7 Prinsip
Desain Interior (sumber
http://petitevirus.wordpress.com diakses
tanggal 20 Januari 2017) mengemukakan
bahwa terdapat 7 prinsip dasar interior
yaitu:
Unity and Harmony
Suatu ruangan dianggap sebagai suatu
kesatuan dengan yang mana segala elemen
pembentuk ruang saling melengkapi dan
berkesinambungan sehingga tercipta
komposisi yang harmonis dan seimbang
Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan
adalah tidak berat sebelah di salah satu sisi
baik itu sisi kanan, kiri, atas, ataupun
bawah. Keseimbangan terdiri atas 3 jenis
yaitu:
Keseimbangan Simetris
Keseimbangan yang terjadi apabila
‘berat’ visual dari masing-masing
elemen dasar desain sama/ rata baik
dari segi horizontal maupun segi
vertikal. Umumnya pada keseimbangan
simetris, menggunakan bentuk/ jenis
elemen yang sama sehingga terkesan
mudah ketika menciptakan suatu karya
seni. Namun, meskipun dipandang
lebih mudah ternyata keseimbangan
simetris cukup sulit untuk
membangkitkan emosi bagi penikmat
visualnya, karena berkesan jenuh dan
kaku. Keseimbangan simetris dapat
pula disebut sebagai keseimbangan
formal.
Keseimbangan Asimetris
Keseimbangan ini merupakan jenis
keseimbangan yang ‘berat’ visualnya
tidak merata pada bagian sisi-sisinya.
Meskipun tidak merata dan tidak
beraturan, namun penikmat visual
dapat tetap memandang sebagai sesuatu
yang seimbang. Hal ini dikarenakan
adanya permainan visual seperti; skala,
kontras, dan warna. Sehingga,
meskipun adanya perbedaan jenis
elemen namun keseimbangan visual
dapat tercapai. Keseimbangan asimetris
lebih dapat menggugah emosi penikmat
visualnya karena bersifat lebih dinamis.
Keseimbangan asimetris kerap disebut
sebagai keseimbangan informal.
Gambar 3.1 Ilustrasi Keseimbangan Simetris
Sumber: Nugroho, 2015:237
Gambar 3.2 Ilustrasi
Keseimbangan Asimetris
Sumber: Nugroho, 2015:237
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
19
Keseimbangan Radial (terpusat)
Keseimbangan ini terjadi apabila
elemen-elemen ditata dengan arah
terpusat atau mengarah ke satu titik
pusat.
Focal Point
Merupakan aksen atau daya tarik dalam
suatu ruangan. Penikmat visual jika
memasuki ruangan, pandangannya akan
langsung menuju sumber daya tarik
tersebut. Misalkan, penggunaan cat dinding
yang berbeda atau wallpaper hanya pada
salah satu dinding, memasang lukisan
besar dengan warna yang mencolok, dll.
Focal point dapat diwujudkan dengan
beberapa cara, yaitu: menggunakan skala
ukuran yang lebih besar dari elemen di
sekitarnya dan penggunaan warna yang
berbeda (mencolok) dari lingkungan di
sekitarnya. Selain dari faktor ukuran dan
warna, focal point juga dapat diwujudkan
dengan mengkomposisikan bentuk yang
berbeda (kontras) dengan bentuk yang ada
di sekitarnya.
Ritme
Ritme atau irama merupakan pola
pengulangan visual. Dapat juga diartikan
sebagai pengulangan garis, bentuk, wujud,
atau warna secara teratur atau harmonis.
Pengulangan berfungsi sebagai suatu alat
untuk mengorganisasi bentuk dan ruang di
dalam arsitektur.
Irama terdiri atas 3 jenis, yaitu :
Repetisi, pengulangan yang bersifat
monoton karena adanya kesamaan
segala bentuk unsur-unsur rupa.
Transisi, pengulangan dengan
perubahan-perubahan dekat atau
variasi-variasi dekat pada satu atau
beberapa unsur rupa. Sifat yang
dihasilkan harmonis
Oposisi, pengulangan dengan
perbedaan pada satu atau beberapa
unsur rupa yang digunakan. Sifat yang
dihasilkan kontras. Penerapan gradasi
merupakan kiat-kiat yang perlu
dilakukan untuk menjembatani kontras
Gambar.3 Ilustrasi
Keseimbangan Radial
Sumber: Nugroho, 2015:237
Gambar.4 Contoh Repetisi dan Transisi pada
Irama
Sumber: Nugroho, 2015:186
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
20
Detail
Detail mengandung makna yang luas
namun membutuhkan kecermatan tinggi.
Sebagai contoh menentukan sakelar, tata
cahaya, letak vegetasi di dalam ruang,
dekorasi korden, bahan kain pelapis sofa,
dll. Fungsi detail ini adalah untuk
mendukung nuansa konsep interior yang
ingin ditimbulkan
Skala dan Proporsi
Skala dan proporsi merupakan dua prinsip
yang sistem kerjanya beriringan karena
berhubungan dengan bentuk dan ukuran.
Sequence
Merupakan urutan peristiwa yang dialami.
Seorang desainer harus mampu merancang
dan menata urutan ruang dalam menjadi
suatu peristiwa/ pengalaman yang
mengesankan.
ELEMEN PEMBENTUK RUANG
Ruangan interior terbentuk atas empat
elemen dasar, yaitu : lantai, dinding,
plafond, dan bukaan ruang. Wicaksono dan
Tisnawati dalam bukunya yang berjudul
Teori Interior (2014: 11) mengungkapkan
bagian-bagian dari elemen dasar
pembentuk ruang, yaitu:
Lantai
Lantai merupakan bidang bawah/ alas dari
suatu ruang dalam bangunan dan berfungsi
untuk penggunanya di dalam beraktivitas.
Umumnya lantai terdiri dari beberapa
sublantai sebagai pendukung dan penutup
lantai yang melapisi permukaan sehingga
memmberikan kenyamanan sirkulasi
pergerakan aktivitas pengguna ruang. Pada
bangunan modern fungsi sub lantai adalah
untuk meletakkan kebel listrik, pipa, dan
berbagai utilitas yang dibangun di tempat
(built in).
Dinding
Dinding merupakan struktur vertikal yang
membatasi dan melindungi suatu area.
Umumnya dinding dirancang untuk
menggambarkan bentuk sebuah bangunan,
mendukung super struktur, memisahkan
ruang dalam bangunan, serta melindungi
ruang di udara terbuka. Tujuan utama dari
dinding bangunan adalah mendukung atap
dan plafond. Dewasa ini, dinding bangunan
biasanya akan memiliki elemen structural,
isolasi, dan elemen finishing untuk
permukaan.
Gambar.5 Contoh Oposisi
pada Irama
Sumber: Nugroho, 2015:197
Gambar.6 Contoh Penerapan Gradasi
Sumber: Nugroho, 2015:194
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
21
Plafond
Plafond merupakan bidang atas interior
yang meliputi batas atas sebuah ruangan.
Umumnya plafond bukanlah elemen
struktural melainkan hanya sebatas bidang
yang berfungsi untuk menyembunyikan
bagian bawah struktur lantai atas atau atap.
Sebuah plafond berbentuk cekung, barel
melengkung atau bulat biasanya didesain
untuk nilai visual dan akustik.
Bukaan Ruang
Bukaan ruang umumnya memmiliki
berbagai bentuk dan ukuran yang sengaja
dirancang dan diaplikaskan pada tiga
bidang dimensional di atas (lantai, dinding,
plafond). Contoh: adanya bak control yang
diaplikasikan pada bidang lantai, pintu dan
jendela yang diaplikasikan pada bidang
dinding, dan manhole juga drop ceiling
dengan berbagai tujuannya yang
diaplikasikan pada bidang plafond.
1.1 JENIS KONSEP INTERIOR
Konsep dasar interior adalah dasar
pemikiran desainer yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan atau
problematika desain. Dapat dikatakan
bahwa konsep adalah gagasan yang
memadukan berbagai unsur dalam
suatu kesatuan (Wicaksono, 2014:44).
Sesungguhnya ada banyak jenis konsep
interior yang digunakan di dunia,
namun pada penelitian ini jenis konsep
yang dikemukakan hanyalah yang
akhir-akhir ini sangat digemari oleh
masyarakat. Konsep interior tersebut
adalah, Rustik, Klasik, Modern
Minimalis, Futuristik, dan Ekletik.
Menurut Wicaksono dan Tisnawati
(2014:44), pengertian masing-masing
konsep interior tersebut adalah:
1.1.1 Konsep Rustik
Konsep rustik berbasis pada kesadaran
terhadap lingkungan dengan
menggunakan bahan-bahan material
dari alam seperti kayu, bamboo,
ataupun bebatuan. Finishing atau
sentuhan akhir material biasanya
dibiarkan apa adanya tanpa proses
lebih jauh (tidak dicat, dibiarkan
dengan warna aslinya) seperti bata
diekspos, tempelan batu alam,dll.
Desain rustik merupakan desain yang
membawa suasana alam masuk ke
dalam ruangan. Sebagai contoh:
Penggunaan material kayu yang
permukaannya masih kasar, dipadukan
dengan penggunaan warna-warna alami
seperti cokelat dan krem, akan dapat
menghasilkan suasana hutan di dalam
ruangan.
Gambar.7 Elemen Pembentuk
Ruang Dalam
Sumber: Wicaksono, 2014:13
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
22
1.1.2 Konsep Klasik
Konsep interior klasik berasal dari
Yunani dan Romawi yang bertumpu
pada susunan, keseimbangan, dan
harmonisasi yang sempurna. Untuk
membedakan konsep klasik dengan
konsep yang lainnya, perlu dipahami
ada beberapa titik fokus (focal point)
yang dijadikan ide pokok di dalam
merancang dengan konsep klasik.
Focal point tersebut adalah: Adanya
tungku api unggun, meja besar dan
tangga yang megah. Kelebihan dari
konsep klasik ini adalah kesan elegan
dan mewah.
1.1.3 Konsep Modern Minimalis
Konsep modern minimalis lebih
mengutamakan fungsi dan
efektivitas penggunaan sehingga
mengakibatkan hampir atau bahkan
tidak ditemukannya ornamen
hiasan pada desain. Konsep ini
diawali oleh adanya keterbatasan
lahan, meningkatnya harga lahan,
serta bertambahnya jumlah
penduduk menuntut sebuah desain
yang mampu menampung segala
aktivitas dalam ruang tanpa
membutuhkan luasan ruang yang
maksimal dan furniture yang
berlebihan. Aspek fungsionalitas
dan efektivitas menjadi prioritas
dalam konsep ini.
1.1.4 Konsep Futuristik
Konsep futuristik ini berangkat dari
imajinasi dan pemahaman desainer
tentang ruangan dan obyek-obyek
masa depan (future). Material yang
digunakan berupa material logam/
kombinasi dan model yang
biasanya digunakan untuk pesawat
ulang-alik. Umumnya jenis konsep
ini diminati oleh klien dengan
kemampuan ekonomi tak terbatas
karena terkait dengan penggunaan
bahan material (logam/ kombinasi)
yang mahal sebagai finishing akhir.
Gambar 8. Ruang Tamu dengan Konsep Rustic
Sumber: https://id.pinterest.com/coachlunz/living-
room/ (Akses tanggal 22 Januari)
Gambar 9. Ruang Tamu dengan Konsep Klasik
Sumber: http://ruangtamu.net/model-lampu-
hias-ruang-tamu-yang-bagus/ (Akses tanggal 22
Januari 2017)
Gambar 10. Ruang Tamu dengan Konsep
Modern Minimalis
Sumber: http://www.rumah-
minimalis.web.id/2014/07/gambar-
interior-rumah-minimalis-modern.html
(Akses tanggal 22 Januari 2017)
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
23
1.1.5 Konsep Eklektik
Merupakan konsep yang menggabungkan
dua atau lebih konsep/ gaya penataan
interior. Konsep ini dapat digunakan jika
sang desainer tidak dapat menentukan satu
gaya yang tepat sebagai konsepnya.
Eklektisme adalah mencampurkan
beberapa gaya furniture dari berbagai
sumber gaya dan satuan waktu. Namun,
untuk mewujudkan tampilan yang
harmonis ruangan eklektik harus disusun
dengan mengelompokkan antar bagian
furniture tidak dicampurkan dalam suatu
ruangan. Konsep ini membutuhkan
kecermatan optimal dari desainernya agar
tidak terjadi tumpang tindih/
kesemrawutan, karena pekerjaan
mencampurkan dua konsep bahkan lebih
bukanlah pekerjaan yang mudah.
1.2 SEJARAH DESAIN INTERIOR
DAN KEBERADAAN
WALLPAPER
Sejarah lahirnya desain interior hingga
sekarang belum dapat diuraikan dengan
jelas terperinci tahun berapa munculnya
dan dimanakah diawali kelahirannya. Di
dalam beberapa sumber bacaan, sering
diungkapkan bahwa desain interior lahir
melalui cara yang sangat alamiah dan
natural. Bahkan, telah ada ketika
periodisasi arsitektur dan interior
prasejarah. Dikemukakan bahwa manusia
jaman itu hidupnya masih bersifat
nomaden (berpindah-pindah). Istilah
hunian yang mereka tempati ketika itu
adalah shelter semacam pondok yang
fungsinya untuk melindungi mereka dari
alam, cuaca, hewan buas, dan serangan
manusia lainnya. Selain shelter, gua juga
dijadikan hunian yang nyaman bagi
manusia ketika itu. Saat mereka merasa
hidupnya terancam, mereka akan pindah
dan segera mendirikan shelter atau mencari
gua lainnya yang lebih aman menurut
mereka. Kepercayaan yang mereka anut
ketika itu sangatlah kuat, yaitu yakin akan
adanya para dewa dan leluhur. Mereka
sungguh yakin jika hujan deras, angin
Gambar 11. Ruang Makan dengan Konsep
Futuristik
Sumber: http://blog.styleestate.com/style-
estate-blog/futuristic-interior-design.html
(Akses tanggal 22 Januari 2017)
Gambar 12. Ruang Tamu dengan Konsep Eklektik
Sumber:
http://desainrumahtips.blogspot.co.id/2013/08/rum
ah-megah-dengan-interior-eklektik.html (Akses
tanggal 22 Januari 2017
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
24
kencang, dan kemarau berkepanjangan
terjadi karena para dewa ataupun leluhur
sedang murka. Pemujaan-pemujaan yang
mereka lakukan semata-mata untuk
melindungi diri dari bahaya-bahaya
tersebut.
Selain pemujaan yang berwujud ritual,
mereka juga mengkreasikan atau
menciptakan bentuk layaknya patung-
patung yang dianggap sebagai transformasi
dari dewa yang dipuja. Sebagai wadah
pemujaan kepada dewa dan para leluhur,
mereka pun mulai menciptakan bentukan
layaknya meja sebagai sarana pelengkap
ritual pemujaan. Hal-hal tersebutlah yang
konon dijadikan titik awal lahirnya desain
interior, karena masing-masing hunian
sudah mulai menghias rumahnya dengan
keberadaan patung-patung dan furniture,
meskipun tujuan awalnya hanyalah untuk
ritual pemujaan. Salah satu wujud
penghargaan mereka terhadap alam juga
dapat dilihat dari peninggalan di dalam
gua-gua purba, yaitu adanya lukisan yang
menggambarkan hewan-hewan serta
keberadaan alam di sekitarnya. Lukisan di
dinding gua juga merupakan titik awal
lahirnya desain interior, khususnya
memberikan unsur hiasan pada elemen
dinding yang kini umumnya dilakukan
dengan memberikan lukisan, bermain
warna cat dinding, memasang wallpaper,
memberikan stiker bergambar, atau bahkan
melukis dinding langsung yang kini
disebut sebagai seni mural.
Berdasarkan atas keterangan di atas maka
dapat dipahami bahwa keberadaan
wallpaper sesungguhnya erat kaitannya
dengan proses lahirnya desain interior.
Sama halnya dengan sejarah desain
interior, sejarah keberadaan wallpaper juga
tidak dapat dijelaskan secara terperinci.
Terdapat dua versi mengenai sejarah
keberadaan wallpaper, versi yang pertama
adalah sekitar tahun 200 SM orang-orang
di Cina telah mulai menghias dindingnya
dengan kertas (hal ini terkait dengan
penemuan kertas pertama terdapat di Cina).
Mereka telah terbiasa merekatkan kertas
nasi pada dinding rumah. Akan tetapi,
keadaan tersebut tidak bisa disamakan
Gambar 13. Lukisan di dinding Gua
Lascaux, Perancis (30.000-15.000SM)
Sumber: repository.binus.ac.id/2009-
2/content/W0512/W051285383.ppt (Akses tanggal 19 Januari 2017)
Gambar 14. Lukisan di dinding Gua
Chauvet, Perancis (25.000-17.000SM)
Sumber: repository.binus.ac.id/2009-
2/content/W0512/W051285383.ppt (Akses tanggal 19 Januari 2017)
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
25
dengan keadaan wallpaper yang ada di
jaman sekarang. Setidaknya dengan
keberadaan tersebut dapat memberikan
inspirasi bagi manusia modern di dalam
menciptakan wallpaper yang ada seperti
sekarang. Versi yang kedua, tentang
sejarah keberadaan wallpaper adalah pada
jaman Renaisans di Perancis. Ketika itu
kerajaan seringkali menggunakan
permadani untuk menghias dinding
istananya. Hal ini dapat menyebabkan
kesan sejuk dan nyaman bagi ruangan.
Namun, karena harga permadani yang
relatif mahal maka hanya dapat digunakan
oleh kaum bangsawan saja. Sedangkan
bagi kalangan masyarakat biasa yang ingin
menghias dinding rumahnya namun tidak
mampu untuk membeli permadani, mereka
mengakalinya dengan merekatkan kertas
hias dengan motif yang menyerupai seperti
permadani (Foresta Deco; 2012; Sejarah
Wallpaper Dinding;
http://www.forestadeco.com/index.php/ne
ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari
2017).
Sejarah keberadaan wallpaper berlanjut
sekitar tahun 1785 oleh Christophe-
Philippe Oberkampf dari Perancis, yang
berhasil membuat mesin cetak untuk
wallpaper dinding. Penggunaan wallpaper
ini banyak ditemukan di Inggris.
Kemudian, diteruskan oleh Louis Robert
yang menciptakan wallpaper gulungan
tanpa putus. Selanjutnya, wallpaper
kemudian diproduksi secara massal di Kota
Philadelphia, Amerika pada abad ke-18.
Saat itu, kota Philadelphia dikenal sebagai
kota industri dan penghasil wallpaper.
Motif gaya Perancis masih digunakan dan
mendominasi kala itu permadani (Foresta
Deco; 2012; Sejarah Wallpaper Dinding;
http://www.forestadeco.com/index.php/ne
ws/index/2650; diakses tanggal 17 Januari
2017).
1.3 DEFINISI DAN JENIS
WALLPAPER
Pengertian wallpaper adalah sejenis bahan
yang berfungsi untuk menutupi dan
menghias dinding bagian dalam rumah,
kantor, bangunan lainnya yang merupakan
salah satu unsur dari dekorasi interior.
Biasanya wallpaper dijual dalam bentuk
roll (gulungan) dan direkatkan di dinding
dengan menggunakan lem khusus
wallpaper (Edwin Wallpaper & Fibre
Glass; 2013; Definisi Wallpaper Dinding;
https://fibrewall.wordpress.com/2013/09/1
1/definisi-wallpaper-dinding/; diakses
tanggal diakses tanggal 17 Januari 2017).
Masih dalam sumber yang sama
diungkapkan, teknik yang digunakan di
dalam mencetak wallpaper adalah
pencetakan permukaan, dicetak gravure,
sutra sablon, percekatan rotary, dan digital
printing. Wallpaper dicetak dalam
gulungan panjang dengan motif berulang-
ulang, sehingga ketika dipotong dari
gulungan yang sama dapat ditempel di
samping pola lainnya sehingga pola
tersebut dapat dilanjutkan kembali.
Macam dan jenis ragam wallpaper yang
dikutip dari Imelda Akmal dalam Seri
Rumah Ide pada Kompas.com dengan
judul "Wallpaper & Cutting Sticker"
(http://properti.kompas.com/read/2012/03/
28/16234723/Yuk.Mengenal.Ragam.Bahan
.Wallpaper; diakses tanggal 24 Januari
2017) adalah,
Paper
Wallpaper jenis kertas ini merupakan
jenis wallpaper yang pertama kali
ditemukan. Kelemahan dari jenis
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
26
wallpaper ini cukup banyak yaitu,
rentan sobek (terutama pada saat
pemasangan), mudah kotor, dan cepat
rusak saat dibersihkan. Kelebihannya
terletak pada kualitas detail serta
variasi motifnya. Wallpaper jenis paper
ini sesuai digunakan pada ruang
dengan aktivitas yang rendah seperti
ruang tidur.
Heavy Duty Paper
Sesuai dengan namanya, jenis
wallpaper ini tergolong cukup kuat,
dikembangkan pada abad ke-19 dengan
nama Lincrusta dan Anaglypta. Hingga
saat ini jenis Anaglypta masih
diproduksi dengan karakter tebal,
terdapat lapisan linen di bagian
belakang, serta ada yang terbuat dari
campuran bubur kayu dan katun.
Kelebihan dari jenis ini adalah dapat
diberi motif timbul (emboss) dan
merupakan jenis wallpaper pertama
yang dapat dicuci. Kemudian Heavy
duty paper juga bisa dicat sehingga tak
perlu ganti wallpaper baru.
Fiberglass Weaves
Sesuai dengan namanya, jenis
wallpaper ini terbuat dari serat
fiberglass yang ditenun atau dianyam
sehingga menjadi lembaran wallpaper
pada umumnya. Kelebihan dari jenis
adalah, tahan api, tidak membusuk atau
berjamur, serta tahan lama. Karena
keistimewaan tersebut, wallpaper ini
sesuai diaplikasikan di area lembab
seperti pada kamar mandi.
Vynil Paper
Vynil Paper merupakan jenis wallpaper
yang paling kerap digunakan karena
bahan ini tidak mudah rusak, tidak
mudah lembab atau dengan kata lain
keawetannya bisa diandalkan. Selain
dapat digunakan pada ruang duduk,
kamar tidur, ruang kerja dan ruang
makan, bahan ini juga aman untuk
kamar mandi dan dapur.
Textile Paper
Layaknya tekstil atau kain, wallpaper
jenis ini memiliki karakter warna,
motif, tekstur, dan jenis bahan yang
sangat banyak, seperti katun, linen,
tenunan bahan sintetik, sutra, bahkan
kain goni, dan serat alam. Untuk
memasang textile paper memerlukan
tenaga ahli berpengalaman karena
sebelum direkatkan perlu dialasi kertas
alas khusus.
Flock
Wallpaper jenis flock ini terdiri atas
dua pilihan yaitu flocked on paper dan
flocked on textile. Flock merupakan
bahan yang terbuat dari serat wol, yang
dapat menimbulkan efek beludru pada
permukaan wallpaper. Flock banyak
digemari karena dianggap memiliki
kombinasi gaya Victoria, retro
sekaligus kontemporer.
Efek beludru pada wallpaper ini
menyebabkan warna permukaannya
berubah-ubah, tergantung dari efek
pencahayaan dan dari sudut pandang
pengamat. Kesan yang dapat dihasilkan
elegan dan mewah.
Foils
Wallpaper jenis Foils ini merupakan
jenis wallpaper dengan efek kilap yang
didapatkan dari foil atau kertas timah
yang dipakai pada permukaannya.
Disarankan penggunaan jenis
wallpaper ini pada permukaan dinding
yang halus karena bahannya tipis dan
mudah robek.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
27
Natural fibers
Jenis wallpaper yang terbuat dari serat
alam, seperti serat daun bamboo, dan
kelapa. Mengaplikasikan wallpaper
jenis ini merupakan alternatif yang
tepat untuk menghadirkan suasana
alam/ natural dalam ruang.
1.4 CARA MENGHITUNG
KEBUTUHAN WALLPAPER
Di dalam mengaplikasikan wallpaper
pada dinding, sebaiknya luas
permukaan dinding yang hendak
dilapisi harus dihitung dulu agar tidak
terjadi kekurangan bahkan kelebihan di
dalam membeli wallpaper. Wallpaper
dijual dalam bentuk gulungan atau roll.
Lebar roll umumnya 50 cm dan 93 cm.
Sedangkan panjangnya berkisar 5 m,
10 m, dan 17,5 m. Untuk mengetahui
perkiraan jumlah gulungan yang harus
dibeli, dapat dihitung dengan cara:
Namun, bila ingin mengaplikasikan
wallpaper pada seluruh dinding ruang,
maka cara perhitungannya adalah:
Kemudian, setelah mengetahui luas
dinding yang akan dilapisi, untuk
mengetahui jumlah gulungan
wallpaper yang diperlukan adalah
dengan cara membagi luas dinding
dengan luas lembaran wallpaper.
Sedangkan untuk mendapatkan luas
wallpaper, cukup mengalikan panjang
dan lebarnya saja.
Sebagai contoh:
Terdapat ruangan dengan luas
bidang dinding yang ingin
diaplikasikan dengan wallpaper
adalah 56 m²
Luas bidang wallpaper 1 roll
= panjang wallpaper x lebar
wallpaper
= 10m x 0,50 m
= 5 m2.
Bahan yang dibutuhkan
= Luas bidang dinding / luas bidang
1 roll
= 56 m2 / 5 m2
= 11, 20 dibulatkan menjadi 12 roll
Maka jumlah wallpaper yang
dibutuhkan sebanyak 12 roll.
Namun untuk menghindari
kekurangan bahan pada saat
pemasangan akibat pemotongan,
sebaiknya anda siapkan 10 persen
dari volume yang ada.
= 12 + (12 x 10%) = 12 + 1,2 =
13,2 dibulatkan menjadi 14 roll.
(Architectaria; 2009; Cara Menghitung
Kebutuhan Wallpaper; Sumber:
http://architectaria.com/interior-desain-
tips-dekorasi-dinding-ruangan-dengan-
wallpaper.html; diakses tanggal 19
Januari 2017)
2. MENGAPLIKASIKAN
WALLPAPER BERDASARKAN
ATAS KONSEP INTERIOR
Adanya beragam konsep desain interior
menyebabkan beragam pula warna,
gambar, dan motif dari wallpaper yang
dijual di pasaran. masing-masing motif
memiliki keterkaitan yang harmonis
Luas dinding satu sisi = (panjang x
tinggi) – (luas jendela atau pintu).
Luas dinding satu ruangan = (keliling
ruangan x tinggi ruangan) – (luas bidang
jendela atau pintu)
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
28
dengan konsep interior yang ada.
Bahasan ini akan membahas mengenai
hubungan antara konsep interior
dengan aplikasi wallpaper pada
ruangan.
2.1 APLIKASI WALLPAPER PADA
KONSEP RUSTIC
Sesuai dengan pengertian konsep
Rustic yang berbasis terhadap
lingkungan yaitu menggunakan bahan-
bahan material dari alam seperti kayu,
bambu, ataupun bebatuan maka bentuk
motif dan warna pada desain wallpaper
juga mengikuti dan menyesuaikan.
Motif wallpaper dapat berupa motif
bebatuan, dedaunan, susunan kayu, dll
dengan jenis warna mengikuti warna
aslinya. Sehingga dengan
mengaplikasikan wallpaper tersebut
dapat mendukung kesan rustic yang
ditonjolkan oleh sang desainer.
Pada gambar 15 dapat dilihat bahwa
wallpaper yang diaplikasikan
menggunakan motif pasangan bata
untuk mendukung konsep interior yang
dipilih yaitu konsep Rustic.
Perwujudan dari konsep tersebut dapat
dilihat dari jenis penggunaan warna
yang dipilih yaitu nuansa coklat selain
karena fungsi dari ruangan tersebut
yang berfungsi untuk menjual kudapan
coklat. Jenis material lantai juga
menggunakan lantai parquet (kayu)
untuk menambah kesan hangat dan
nyaman pada ruangan tersebut.
Wallpaper diaplikasikan hanya pada
salah satu dinding untuk menghindari
kesan jenuh dan monoton.
Contoh wallpaper pada konsep Rustic
yang kedua adalah sebuah foto living
room dengan background dindingnya
diaplikasikan wallpaper bermotif
bebatuan disertai dengan tanaman
merambat. Kesan yang dapat
ditimbulkan dari ruangan tersebut
adalah seakan-akan sedang berada di
alam luar (bebas). Terlebih lagi fungsi
ruangan sebagai living room yang
merupakan ruangan untuk menerima
tamu, kesan nyaman, bebas, tenang,
dan akrab sungguh terasa. Tamu yang
datang pun akan merasa betah untuk
menghabiskan waktu pada ruangan ini.
Gambar 15. Chocolate Lounge di Golden
Rabbit Jimbaran design by Novita Dewi
Sumber: Novita Dewi,2016
Gambar 16. Living Room
berkonsep Rustic
Sumber:
http://wallpaperbagus.co.id/arti
cle/view/58-interior-gaya-
rustic-desain
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
29
2.2 APLIKASI WALLPAPER PADA
KONSEP KLASIK
Wallpaper pada konsep klasik
umumnya menggunakan motif floral
dengan tipikal dedaunan dan bunga
yang khas. Warna yang digunakan
bermacam-macam, namun seringkali
bernuansa emas, krem, beige, cokelat,
dan merah. Berikut merupakan salah
satu contoh motif wallpaper yang kerap
digunakan oleh desainer-desainer
kebanyakan untuk mendukung konsep
klasik pada interior.
Gambar di atas menunjukkan warna
wallpaper bernuansa beige keemasan
dengan motif bunga dan dan sulur-
sulur yang khas gaya klasik. Pemilihan
warna wallpaper umumnya
menyesuaikan dengan cat dinding pada
sisi-sisi dinding di sekitarnya serta
furniture yang terdapat pada ruangan
tersebut. Jika ingin mewujudkan
suasana yang menyatu dan harmonis
menggunakan wallpaper dengan warna
yang selaras dengan lingkungan dan
furniture di sekitarnya. Sebaliknya jika
ingin mewujudkan suasana yang
kontras ataupun ingin menciptakan
prinsip focal point papa ruangan maka
sebaiknya menggunakan warna
wallpaper yang berlawanan atau
kontras.
Contoh interior dengan konsep klasik
di atas menggunakan wallpaper dengan
motif floral bunga dan pepohonan
bernuansa warna biru dan putih.
Menimbulkan kesan harmonis karena
motif wallpapernya sama dengan kain
penutup sofa. Perpaduan warna yang
digunakan memberikan kesan sejuk.
Terdapat sofa berwarna hijau pucat di
sisi tengah dan tirai dengan warna yang
sama sebagai aksen di dalam ruang.
Gambar 17. Motif dan Warna
Wallpaper pada Interior Berkonsep
Klasik
Sumber:
http://koleksiwallpaper.com/index.php/
wallpaper/wallpaper-glitter-motif-
polos/lp01-2056-4-33.html
Gambar 18. Living Room dengan
Wallpaper Bergaya Klasik
Sumber:
https://id.pinterest.com/elenidecor/wall
paper/
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
30
2.3 APLIKASI WALLPAPER PADA
KONSEP MODERN MINIMALIS
Wallpaper yang seringkali digunakan
pada konsep modern minimalis ini
adalah wallpaper dengan motif
geometri dengan tidak lebih dari dua
atau 3 warna. Pola geometri ini
berguna untuk mengisi ‘kekosongan’
ruang minimalis. Selain geometri pola
garis dengan perbedaan warna juga
kerap diaplikasikan pada ruangan
dengan konsep modern minimalis.
Pola geometri pada wallpaper diatas
menggunakan pola berulang dan dua
warna yaitu silver dan abu-abu. Warna
tersebut disesuaikan dengan furniture
di dalam ruang sehingga menimbulkan
kesan harmonis. Konsep modern
minimalis dapat dilihat dari pemilihan
bentuk dan warna furniture serta motif
wallpaper yang saling mendukung satu
sama lainnya. Pemasangan wallpaper
dengan motif geometri pola berulang
sebaiknya diaplikasikan pada
permukaan dinding yang halus hindari
permukaan dinding yang bergelombang
karena nantinya berpengaruh pada pola
geometri di wallpaper akan terlihat
seperti bergeser.
Contoh aplikasi wallpaper pada konsep
modern minimalis kedua terdapat di
salah satu klinik Happy Dentist di
Level 21. Motif yang digunakan pola
geometri dengan jenis warna putih
mengarah ke warna krem nampak
serasi dengan sisi dinding di
sebelahnya yang menggunakan cat
dinding warna off white. Terkait
dengan fungsinya sebagai klinik
pemeriksaan gigi, warna yang
digunakan bernuansa putih dengan
tujuan mewujudkan kesan bersih,
hygienis, dan nyaman.
2.4 APLIKASI WALLPAPER PADA
KONSEP FUTURISTIK
Pada ruangan dengan konsep futuristik,
seringkali dijumpai wallpapernya
bermotif abstrak ataupun bernuansa
masa depan, galaksi, antariksa, dll.
Selain bermotif, wallpaper polosan
dengan tampilan glossy juga kerap
diaplikasikan. Hal tersebut untuk
menunjang konsep futuristik yang
bentuk funiturenya cukup aneh dan
praktis. Warna metal sering digunakan
pada konsep ini agar kesan futuristik
lebih terlihat.
Gambar 19. Wallpaper pada Bed room
dengan Konsep Modern Minimalis
Sumber:
https://id.pinterest.com/pin/25403123520451
5774/
Gambar 20. Wallpaper pola geometri pada
Happy Dentist di Level 21 Denpasar, design
by: Sri Wijayanthi
Sumber: Sri Wijayanthi, 2017
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
31
Pada contoh gambar di atas, wallpaper
yang digunakan tanpa motif, hanyalah
permainan warna yang disesuaikan
dengan warna sisi dinding lainnya dan
lantai. Hal ini dikarenakan oleh konsep
futuristic yang menitikberatkan
gambaran masa depan, kecanggihan
teknologi yang serba praktis dan
modern, minim hiasan dan ornamen.
2.5 APLIKASI WALLPAPER PADA
KONSEP EKLEKTIK
Kombinasi dua konsep atau lebih di
dalam satu ruangan merupakan kata
kunci dari konsep eklektik ini. Seperti
yang terlihat pada gambar di atas
terdapat dua konsep yang nampak jelas
yaitu konsep retro (vintage) dan konsep
yang kedua adalah konsep modern. Hal
tersebut dikarenakan oleh adanya
penggunaan furniture yang masih
bergaya vintage namun difinishing
dengan warna-warna muda berkesan
modern. Motif dan warna wallpaper
juga merupakan faktor pendukung yang
kuat, dengan pola geometri berulang
dan jenis warna tosca, berhasil
digabungkan dengan konsep desain
furniture yang vintage.
Pada contoh yang kedua, konsep
eklektik terdiri atas Konsep Klasik dan
Konsep Modern. Konsep Klasik dapat
dilihat pada pemilihan kursi makan
dengan sedikit ornamen di bagian
sandaran dan motif floral pada
wallpaper. Sedangkan konsep modern
terletak pada desain ruangnya, desain
Gambar 21. Wallpaper pada living room
dengan Konsep Futuristik
Sumber:
https://www.imaniadesain.com/tema-atau-
konsep-desain-interior-terbaik
Gambar 22. Wallpaper pada living room
dengan Konsep Eklektik
Sumber:
http://www.jambidesign.com/2015/10/gamba
r-desain-ruang-tamu-bergaya.html
Gambar 23. Wallpaper pada
Dining Room dengan Konsep
Eklektik di Semarang, design by:
Risca.
Sumber: Risca, 2017
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
32
bukaan, desain meja makan dan
pemilihan nuansa warna pada ruangan.
3. MENGAPLIKASIKAN
WALLPAPER BERDASARKAN
TATA LETAK DALAM RUANG
Mengaplikasikan wallpaper pada
dinding adalah hal yang lumrah pada
desain interior. Kini ada beberapa
tempat alternatif untuk memasang
wallpaper selain dinding, yaitu:
Pada Pintu
memasang wallpaper di pintu dapat
dilakukan jika pemberian cat warna
cerah dipandang masih kurang. Warna
dan motif diusahakan tetap harmonis
dengan nuansa interior keseluruhan
dalam bangunan.
Pada Plafond
Sama halnya dengan pemasangan
wallpaper pada pintu, pemasangan
pada plafond bertujuan untuk
memberikan kesan kreatif yang tinggi
dalam menyamankan visual pengamat.
Gambar 24. Pintu dengan aplikasi
Wallpaper
Sumber:
http://majalahasri.com/alternatif-
tempat-memasang-wallpaper-selain-
di-dinding/
Gambar 25. Plafond dipasangkan
Wallpaper yang sama dengan
dindingnya,
Sumber:
http://majalahasri.com/alternatif-
tempat-memasang-wallpaper-selain-di-
dinding/
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
33
Pada Frame
Merupakan wallpaper yang dipasang
pada bingkai besar dengan tujuan
menciptakan aksen focal point pada
ruangan ataupun dapat dijadikan
sebagai artwork
KESIMPULAN
Pemaparan mengenai keberadaan
wallpaper sebagai unsur hiasan pada
elemen pembentuk ruang diuraikan
melalui kajian pustaka yang
menjelaskan tentang definisi Desain
Interior, Prinsip Dasar Desain Interior,
Elemen Pembentuk Ruang, Jenis
Konsep Interior, Sejarah Desain
Interior dan Keberadaan Wallpaper,
Definisi dan Jenis Wallpaper, serta
Cara Menghitung Kebutuhan
Wallpaper. Kemudian pada
pembahasan, diuraikan tentang
Mengaplikasikan Wallpaper
Berdasarkan Atas Konsep Interior dan
Mengaplikasikan Wallpaper
Berdasarkan Tata Letak Ruang Dalam.
Pada kajian pustaka disebutkan bahwa
Desain interior atau perancangan
interior adalah salah satu cabang dari
ilmu rancang bangun atau arsitektur
yang perkembangannya cukup pesat
(Wicaksono, 2014: 3). Desain Interior
memiliki prinsip-prinsip dasar yang
dijadikan acuan dasar di dalam
merancang dan menghasilkan hasil
karya seni. Prinsip-prinsip dasar
tersebut adalah, Unity dan Harmony,
Keseimbangan, Focal Point, Ritme,
Detail, Skala dan Proporsi, serta
Sequence.
Pada ruang interior terdiri dari elemen-
elemen pembentuk ruang yaitu, lantai,
dinding, plafond dan bukaan ruang.
Keempat elemen tersebut merupakan
media bagi para desainer untuk
mengeksplorasikan kemampuannya di
dalam merancang sehingga dapat
menghasilkan suatu ruang dalam yang
fungsional, estetis, nyaman dan sesuai
dengan konsep desain yang disepakati.
Menyebutkan kata konsep, desain
interior memiliki beragam jenis konsep
yang dikenal di dunia. Namun hanya
beberapa saja yang digemari oleh
masyarakat. Menurut Wicaksono dan
Tisnawati, (2014:44) konsep- konsep
tersebut adalah,Konsep Rustik, Konsep
Klasik, Konsep Modern Minimalis,
Konsep Futuristik, dan Konsep
Eklektik.
Kehadiran Wallpaper pada dunia
interior terkait dengan munculnya
sejarah desain interior. Desain interior
Gambar 26. Wallpaper dipasang pada
Frame
Sumber: http://majalahasri.com/alternatif-
tempat-memasang-wallpaper-selain-di-
dinding/
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
34
lahir secara alamiah dari pola hidup
manusia gua (purba) yang memiliki
kepercayaan terhadap roh leluhur dan
dewa serta bentuk penghargaan mereka
terhadap alam dan isinya. Manusia
purba memiliki ritual pemujaan yang
mana menggunakan patung, arca, meja
sajian sebagai sarana mereka di dalam
melakukan pemujaan. Dan mereka
mengabadikan keindahan alam beserta
isinya dalam bentuk lukisan dinding
gua ataupun lukisan dinding pada
shelter mereka masing-masing.
Begitulah perkembangan munculnya
desain interior di dunia.
Sama halnya dengan desain interior,
keberadaan wallpaper juga terjadi
secara alamiah. Hanya saja hingga
sekarang masih terjadi perdebatan
apakah di Cina atau di Perancis yang
mengawali keberadaan Wallpaper
Wallpaper merupakan sejenis bahan
yang berfungsi untuk menutupi dan
menghias dinding bagian dalam rumah,
kantor, bangunan lainnya yang
merupakan salah satu unsur dari
dekorasi interior. Biasanya wallpaper
dijual dalam bentuk roll (gulungan)
dan direkatkan di dinding dengan
menggunakan lem khusus wallpaper
(Edwin Wallpaper & Fibre Glass;
2013; Definisi Wallpaper Dinding;
https://fibrewall.wordpress.com/2013/0
9/11/definisi-wallpaper-dinding/;
diakses tanggal 17 Januari 2017).
Dengan jenis- jenis wallpaper sebagai
berikut: Paper, Heavy Duty Paper,
Fiberglass Weaves, Vynil Paper,
Textile Paper, Flock, Foils, dan
Naturalfibers.
Pemasangan wallpaper sebaiknya
menyesuaikan antar motif dan warna
dengan konsep interior yang
digunakan. Pada Konsep Rustic, motif
yang sesuai digunakan adalah
bebatuan, kayu, pepohonan dengan
warna-warna alam; Konsep Klasik
umumnya menggunakan wallpaper
bermotif floral yang tipikal dedaunan
dan bunganya khas; Konsep Modern
Minimalis kerap menggunakan motif
geometri dengan tujuan mengisi
‘kekosongan’ ruang bertema minimalis
modern; Konsep Futuristik, wallpaper
yang digunakan umumnya
menggunakan gambar-gambar bertema
masa depan, abstrak, ataupun antariksa.
Namun, tidak jarang juga hanya
menggunakan permainan warna dan
permukaan yang glossy; Untuk Konsep
Eklektik, motif wallpapernya bersifat
liberal, yang artinya tergantung pada
konsep-konsep apa saja yang
digabungkan. Motif wallpaper pun
dapat bercorak floral, alam, bebatuan,
geometri, dll.
Selain di dinding, wallpaper dapat
dipasang pada pintu, plafond, dan
dipasang pada frame sebagai artwork
pada ruang dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, S. (2015). Manajemen
Warna dan Desain. Yogyakarta: CV.
Andi Offset
Wicaksono, A.A. dan Tisnawati, E.
(2014). Teori Interior. Jakarta: Griya
Kreasi (Penebar Swadaya Grup)
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
35
Akmal, Imelda. (2013, 28 Maret)
Wallpaper & Cutting Sticker. Kompas
[online]. Tersedia:
http://properti.kompas.com/read/2012/0
3/28/16234723/Yuk.Mengenal.Ragam.
Bahan.Wallpaper. [24 Januari 2017]
Architectaria. (2009). Cara
Menghitung Kebutuhan Wallpaper;
Sumber. [online]. Tersedia:
http://architectaria.com/interior-desain-
tips-dekorasi-dinding-ruangan-dengan-
wallpaper.html [19 Januari 2017]
Deco, Foresta. (2012). Sejarah
Wallpaper Dinding. [online]. Tersedia:
http://www.forestadeco.com/index.php/
news/index/2650. [17 Januari 2017]
Kirarai. (2012). Desain Interior. [online].
Tersedia: http://annisa-
po.blogspot.co.id/2012/07/desain-
interior.html. [20 Januari 2017]
Wallpaper, Edwin. dan Glass, Fibre
(2013). Definisi Wallpaper Dinding
[online] Tersedia:
https://fibrewall.wordpress.com/2013/09/1
1/definisi-wallpaper-dinding/. [17 Januari
2017]
Petitevirus . Sejarah, Pengertian dan 7
Prinsip Desain Interior. [online] Tersedia:
http://petitevirus.wordpress.com [20
Januari 2017]
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
36
Aplikasi Geographic Information System (GIS) Dalam
Menentukan Lokasi Shopping Mall
Tri Widianti Natalia, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Komputer Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Gaya hidup modern membawa pengaruh pada fenomena pertumbuhan Shopping Mall di
perkotaan. Hal ini membuat pengembang mall berusaha untuk memastikan lokasi yang
strategis sebagai daya tarik bagi konsumen. Untuk memastikan bahwa lokasi strategis itu
merupakan lokasi yang potensial untuk mendirikan Shopping Mall, diperlukan analisis yang
tepat dan pasti. Geographic Information System (GIS) yang merupakan pemrograman
matematika, menjadi aplikasi yang tepat untuk memecahkan masalah lokasi berdasarkan data
spasial dan non-spasial dari Shopping Mall dan demografi perkotaan. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengetahui bagaimana aplikasi GIS dalam menentukan lokasi yang optimal untuk
mendirikan Shopping Mall pada kawasan perkotaan. Metode yang digunakan adalah analisis
kualitatif dengan mengkaji beberapa jurnal sejenis. Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa Aplikasi GIS bersama Analisis Spasial, dan Microsoft Excel dapat diaplikasikan untuk
menentukan lokasi potensial Shopping Mall dengan berdasarkan query yang diinginkan oleh
pengembang Mall. Data spasial dan non-spasial dari Shopping Mall dan demografi perkotaan
yang merupakan fitur atribut dalam layer, dapat bergabung untuk membentuk informasi
dalam menentukan lokasi potensial untuk mendirikan Shopping Mall.
Kata Kunci : GIS, Data spasial–non spasial, Lokasi, Shopping Mall
ABSTRACT
Modern lifestyle had an impact on growth phenomena Shopping Mall in urban areas. This
makes the mall developers are trying to Ensure a strategic location as an attraction for
consumers. To Ensure that the strategic location it is a potential location for establishing
Shopping Mall, it needs proper analysis and surely. Geographic Information System (GIS) is
a mathematical programming roomates, be the right application to solve problems based on
the location of the data is spatial and non-spatial Shopping Mall and urban demographics.
The purpose of this research is to know how the application of GIS to Determine the optimal
location for establishing Shopping Mall in urban areas. The method used is qualitative
analysis by reviewing similar journals. The results of this study revealed that the joint GIS
Spatial Analysis Applications, and Microsoft Excel can be applied to Determine potential
locations Shopping Mall with a query based on desired by the developer Mall. Data spatial
and non-spatial Shopping Mall and urban demographics is a feature in the layer attributes,
can combine to form the information in determining potential sites for establishing Shopping
Mall.
Keywords : GIS, spatial data-non-spatial, location, Shopping Mall
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
37
I. PENDAHULUAN
Gaya hidup modern merubah perilaku
berbelanja yang awalnya berbelanja di
tempat perbelanjaan sederhana yang dekat,
menjadi ke area perbelanjaan yang cukup
besar yang jauh dari tempat tinggalnya.
Hal ini karena pusat perbelanjaan besar
menyediakan berbagai barang (misalnya
supermarket dan butik) dan jasa (misalnya
salon, bank, tempat makan, bioskop),
sebagai tempat modernisasi dan memiliki
kebersihan untuk menarik pembeli. Karena
itu, keberadaan pusat perbelanjaan besar
adalah simbol kualitas hidup yang tinggi
bagi sebuah daerah. Shim dan Eastlick -
(1998) menyatakan bahwa konsumen
mengunjungi Shopping Mall sebagai
aktualisasi diri dan nilai-nilai afiliasi
sosial. Hal ini didukung oleh penelitian
Holbrook dan Hirschman (1984) yang
menyatakan bahwa sebagian konsumen
yang mengunjungi Shopping Mall adalah
untuk kegiatan hedonik.
Gaya hidup modern tersebut membuat
pertumbuhan ritel di dunia termasuk di
Indonesia menjadi semakin modern,
berkonsolidasi dan semakin kuat dalam
daya beli konsumen. Konsumen semakin
memiliki pengetahuan tentang berbelanja.
Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan
modern, menuntut pengembang mall
mengembangkan strategi marketingnya
dalam memajukan bisnisnya dan harus
mampu memastikan bahwa Shopping Mall
yang didirikannya tepat sasaran atau sesuai
dengan segmentasi pasar yang dituju.
Kegagalan dan keberhasilan berdirinya
Shopping Mall dipengaruhi oleh
keberadaan atribut mall yang
mempengaruhi respon konsumen (Lazarus,
1991). Salah saatu dari keberadaan atribut
Mall tersebut adalah lokasi. Menurut
Mendes dan Themido (2004) salah satu
keputusan yang paling penting bagi
pengembang untuk mendirikan retail
adalah kemudahan aksesbilitas retail untuk
dapat dikunjungi, sebuah ritel dapat
berhasil atau gagal semata-mata
berdasarkan lokasi.
Untuk mencapai keberhasilan berdirinya
Shopping Mall dengan biaya rendah, tetapi
tetap menjaga kualitas layanan. Diperlukan
persiapan awal yang didahului oleh analisis
bisnis, potensi pasar dan lokasi outlet ritel.
Salah satunya dengan GIS yang
menggunakan pemetaan teknologi
elektronik dalam memproduksi peta multi-
layer dan interaktif sehingga query
ditetapkan sebagai solusi optimal untuk
menentukan lokasi potensial. GIS
menggabungkan data spasial dan non-
spasial untuk membangun informasi peta
tematik yang menggambarkan berbagai
informasi yang berkaitan dengan
demografis, populasi, perumahan dan
kegiatan ekonomi. Kemudian
divisualisasikan dan dengan mudah dapat
dianalisis oleh para pembuat keputusan.
Oleh karena itu, GIS diprediksi mampu
melakukan proses analisis untuk
menentukan lokasi Shopping Mall yang
potensial dan optimal. Tujuan dari makalah
ini adalah untuk memecahkan masalah
multidisiplin dalam menentukan lokasi
Shopping Mall yang memiliki potensi
bisnis yang baik di kawasan perkotaan,
dengan pendekatan algoritma dengan
dukungan dari Geographic Information
System (GIS).
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
38
Gambar 1. Integrasi data dalam layer fitur
dan atribut
Sumber : Hefriansyarizki (2013)
II. METODE
Penelitian ini menggunakan jenis metode
kualitatif (Creswell, 2008) dengan kategori
sifat penelitian explanatory (Groat &
Wang, 2002). Metode pengumpulan data
melalui pencarian beberapa penelitian
sejenis yang mengkaji mengenai aplikasi
GIS dalam menentukan lokasi Shopping
Mall. Penelitian ini menggunakan analisis
data kualitatif melalui kajian pustaka
secara mendalam terhadap beberapa
penelitian sejenis. Kajian pustaka tersebut
dianalisis berdasarkan kemampuan dan
langkah-langkah aplikasi GIS dalam
memecahkan masalah lokasi yang
potensial untuk mendirikan Shopping Mall.
III. KAJIAN PUSTAKA
3.1 Aplikasi Geographic Information
System (GIS)
Sejak 1970-an Sistem Informasi Geografis
(GIS) telah berkembang dalam beberapa
bidang penelitian seperti bidang Geografi,
Teknik Sipil, Ilmu Komputer, Perencanaan
Landscape, Arsitektur dan Ilmu
Lingkungan. GIS dapat mendukung
berbagai query spasial yang dapat
digunakan untuk mendukung studi lokasi.
GIS akan memainkan peran penting dalam
model dan aplikasi lokasi pembangunan di
masa depan (Church. RL. 2002).
Geographic InformationSystem (GIS)
merupakan sistem perpetaan yang dinamis
dengan kemampuan proses data spasial dan
penyortiran dengan berbasis komputer.
Sistem perpetaan pada GIS dapat dikontrol
oleh penggunanya dengan memberikan
keluluasaan untuk menyusun dan
menampilkan peta sesuai keinginannya.
GIS dapat memberikan informasi yang
diharapkan melalui peta dengan
pemrosesan data spasial non-spasial dan
kemampuan menyortir (query).
GIS dapat melakukan beberapa fungsi,
diantaranya dapat memetakan objek pada
permukaan bumi (misalnya pola aktivitas
seismik untuk melihat gempa bumi),
memetakan kuantitas (misalnya untuk
menemukan tempat yang paling dan yang
tidak memenuhi kriteria untuk mengambil
keputusan), memetakan kepadatan
(misalnya melihat kepadatan penduduk
pada suatu wilayah), mengetahui isi
(misalnya melihat layanan apa saja yang
terdapat dalam radius 2 kilometer dari
pusat kota) dan untuk perubahan peta
(misalnya melihat perubahan dan
pertumbuhan suatu daerah dengan
mengagunakan data time-series).
Presentasi data pada MapInfo
menggunakan tiga tipe simbol data,
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
39
diantaranya: poligon, garis dan titik.
Benda-benda ini dapat digunakan untuk
menyajikan nilai-nilai data spasial.
Aplikasi GIS bersama Analisis Spasial,
dan Microsoft Excel dapat diaplikasikan
untuk menentukan lokasi potensial
Shopping Mall. Karena Sistem Informasi
Geografis (GIS) merupakan perangkat
lunak yang mampu menyimpan,
mengambil, menganalisis, memvisualisasi
dan memetakan data spasial dan non-
spasial. GIS menggunakan pemetaan
teknologi elektronik dalam memproduksi
peta multi-layer dan interaktif, sehingga
query ditetapkan sebagai solusi optimal
untuk menentukan lokasi potensial. GIS
menggabungkan data spasial dan non-
spasial untuk membangun informasi peta
tematik dengan menggambarkan berbagai
informasi yang berkaitan dengan
demografis, populasi, perumahan dan
kegiatan ekonomi, yang kemudian
divisualisasikan dan dengan mudah dapat
dianalisis oleh para pembuat keputusan.
3.2 Pemilihan Lokasi Shopping Mall
Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan
modern di perkotaan, membuat
pengembang mall memastikan lokasi yang
strategis untuk berdirinya Shopping Mall
agar berhasil dan menarik banyak
pengunjung. Menurut Mendes dan
Themido (2004) salah satu keputusan yang
paling penting bagi pengembang untuk
mendirikan retail adalah kemudahan
aksesbilitas retail untuk dapat dikunjungi.
Sebuah ritel dapat berhasil atau gagal
semata-mata berdasarkan lokasi. Borger,
aloy dan Voster, Cindy (2011) menyatakan
bahwa aksesbilitas menggunakan mobil
dan transportasi umum, jarak jalan utama
terhadap Shopping Mall dan jenis lalu
lintas yang diperbolehkan beroperasi akan
mempengaruhi preferensi konsumen dalam
mengunjungi Shopping Mall. Atribut
tersebut merupakan faktor yang sangat
berkaitan erat dengan perilaku konsumen.
Sehingga dalam menentukan lokasi
Shopping Mall perlu mempertimbangkan
beberapa faktor.
Tabel 1. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi Shopping Mall.
Kepadatan
penduduk
Kepadatan penduduk menjadi salah satu indikator besarnya potensi pasar, apakah
Shopping Mall dapat dikunjungi oleh semua lapusan masyarakat.
Penghasilan Jika kepadatan penduduk tidak linear dengan daya beli masyarakatnya, berarti
lokasi itu tidak tepat sebagai tempat/pusat perbelanjaan. Karena itu, perlu
mencermati bagaimana penghasilan penduduk di area Shopping Mall berdiri.
Jumlah usaha Lokasi yang dipilih merupakan pusat shopping (pusat shopping) atau sentra
perdagangan. kemungkinan ada kecenderungan masyarakat mengunjungi area
pusat perbelanjaan yang menawarkan semua kebutuhan yang dapat mewadahi
aktivitas berbelanjanya.
Zona Ada beberapa tipe tempat yang bisa dipilih, seperti pada area sentra bisnis, industri,
perumahan, pinggir jalan dan sebagainya.
Jumlah Traffic Berapa banyak kendaraan yang lalu lalang di lokasi yang akan dipilih setiap
harinya, sejauh mana lokasi mudah diakses.
Pusat keramaian Sejauh mana konsumen yang lalu lalang dapat melihat bangunan Shopping Mall.
Kompetisi Sejauh mana jarak antara Shopping Mall yang akan didirikan dengan dengan
Shopping Mall lainnya yang nantinya akan berkompetisi dalam menarik konsumen.
Appearance Menampilkan image yang terbaik di lingkungan lokasi. seperti memilih lokasi
yang bersih, harga sewa dan berada pada zona pangsa pasar yang akan tuju.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
40
Selain faktor diatas, ada beberapa kategori
dan kriteria yang akan sangat
mempengaruhi pemilihan lokasi Shopping
Mall. Yu, Ling (2006) membuat kategori
dan kriteria untuk pemilihan lokasi
Shopping Mall yang dapat diaplikasikan
pada fitur dan atribut GIS.
Tabel 2. Kategori dan kriteria untuk pemilihan lokasi Shopping Mall.
Transportasi
untuk pembeli Akses oleh semua transportasi lokal
Kedekatan dengan kereta api
Kedekatan dengan jalan raya utama
Kedekatan dengan dermaga
Total biaya
awal Biaya lahan dan investasi bangunan
Biaya Konstruksi
Biaya persiapan lokasi
Biaya berulang dan non - berulang lainnya ( misalnya , pajak , utilitas , asuransi)
Pertimbngan
lingkungan Polusi suara di sekitar lokasi
Polusi udara di sekitar lokasi
Kedekatan dengan layanan pendukung ( misalnya , kebakaran, polisi , layanan
medis .
Potensi
pembangunan
berkelanjutan
Dukungan terus menerus dari warga setempat
Kemampuan untuk memperluas atau memodifikasi fasilitas
Potensial pesaing di masa depan
Transportasi
untuk pemasok Akses oleh semua transportasi lokal
Kedekatan dengan kereta api
Kedekatan dengan jalan raya utama
Kedekatan dengan dermaga
Kemampuan
investor Pengalaman bisnis dalam investasi pusat perbelanjaan
Sumber daya keuangan
Kompetensi Manajemen
Manfaat
investasi Return on investment
Keunggulan kompetitif
Dari beberapa kajian pustaka, dapat
disimpulkan bahwa masalah lokasi
merupakan cara bagaimana menentukan
jumlah dan alokasi obyek dalam jaringan
jalan yang strategis. Untuk membuat
keputusan mengenai di mana Shopping
Mall akan diletakkan untuk tujuan tertentu,
diperlukan proses yang sangat kompleks
dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.
Karena keputusan untuk menentukan
lokasi tersebut merujuk pada pemanfaatan
bangunan selama periode yang cukup lama
dan tentunya akan berkaiatan dengan
sumber dana keuangan. Masalah lokasi
ritel di daerah perkotaan telah menjadi
topik yang menarik dalam dekade terakhir.
Pada abad kedua puluh, melalui
perkembangan teknologi komputer telah
berkembang beberapa algoritma untuk
memecahkan masalah lokasi berdasarkan
pemrograman matematika.
IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Aplikasi GIS dalam menentukan lokasi
potensial untuk Shopping Mall
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
41
Gambar 2. Contoh iIntegrasi data
Sumber : Yu, Ling (2006)
Gambar 3. Data Spasial dan non-spasial
Sumber : Agustawan (2011)
Gambar 4. Perbedaan simbol dan warna
Sumber : UNDP-Tim Teknis Nasional (2007)
Pemilihan lokasi Shopping Mall dengan
pendekatan GIS terdiri dari beberapa
langkah, dengan memanfaatkan peta dan
data primer untuk menghasilkan peta
digital pada layer yang berbeda (interaksi
antar distribusi layer untuk membuat
keputusan). Berikut beberapa langkah
aplikasi GIS dalam menentukan lokasi
potensial Shopping Mall.
Pertama, menentukan tujuan dari
penggunaan GIS, yakni untuk memilih
lokasi terbaik dan potensial untuk
dibangunnya Shopping Mall. Oleh karena
itu, diperlukan referensi berupa informasi
geografis eksplisit dan implisit (fisik dan
non-fisik). Secara khusus, peta digital
diperlukan untuk menguraikan potensi
setiap daerah pada sebuah kota untuk
mencari lokasi Mall.
Kedua, menentukan fitur geografis apa
yang diperlukan. Seperti data spasial (fisik)
misalnya jalan, batas kabupaten, danau,
jalan raya, lokasi pusat perbelanjaan,
bangunan fasilitas, aksesbilitas,
transportasi dan permukiman. Setelah itu
menentukan data tabular (non-fisik) seperti
profil demografi, ekonomi, sosial, data
pemukiman. Data spasial dan data non-
spasial kemudian diubah menjadi data
geodemographic melalui operasi join. Data
primer mengenai perilaku pembeli dan
profil demografis yang diperoleh dengan
cara survei dimasukkan sebagai layer fitur.
Sehubungan dengan model data, analisis
ini menggunakan model data vektor untuk
membangun peta rute, menemukan
konsumen mal dan merangkum profil
demografis dari setiap daerah dalam
sebuah kota.
Ketiga, menentukan atribut apa yang
diperlukan dari sebuah fitur. Misalnya,
atribut yang terhubung dengan rute seperti
nama, nomor rute, ketinggian, volume lalu
lintas, kebutuhan belanja dan pendapatan
rumah tangga yang diperlukan untuk
menentukan layer atribut. Dalam hal ini,
jarak diukur dalam kilometer untuk setiap
rute. Selain itu, untuk semua data dapat
diintegrasikan dan dimanipulasi untuk
menentukan lokasi yang potensial.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
42
Gambar 5. Thiessen (Voronoi)
Sumber : Pearson, Jesse (2007)
Keempat, untuk menghindari kekacauan,
peta pada setiap layer dibuat berbeda dan
dapat dibedakan satu sama lain. Hal ini
dapat dicapai dengan simbolisasi melalui
warna yang berbeda, sehingga fitur
dikelompokkan sesuai dengan nilai atribut.
Misalnya, layer menggunakan warna yang
berbeda untuk mewakili wilayah
kecamatan. Layer jalan, jalan raya dan rel
kereta api menggunakan ketebalan, warna
dan jenis garis yang berbeda. Layer seperti
lokasi fasilitas umum, lokasi Shopping
Mall yang ada disajikan dengan
menggunakan point dan label.
Kelima, sebuah Thiessen (Voronoi)
poligon diciptakan untuk mendefinisikan
masing-masing bidang pengaruh pada
setiap lokasi Shopping Mall. Proses
membuat Thiessen (Voronoi) diantaranya
dengan mengubah layer titik lokasi
Shopping Mall yang ada di kota menjadi
jaringan tidak teratur Triangulasi (TIN),
yang kemudian dituangkan ke dalam
bisectors tegak lurus untuk setiap tepi
segitiga. Lokasi-lokasi di mana bisectors
yang berpotongan menentukan lokasi
poligon simpul Thiessen.
Selanjutnya, analisis spasial digunakan
untuk membuat serangkaian data set
jaringan. Dari layer data demografi,
menciptakan beberapa poligon yang
kemudian diubah menjadi grid mewakili
usia rata-rata, rata-rata pendapatan
keluarga, rata-rata pendapatan rumah
tangga, persen populasi dengan gelar
sarjana atau lebih tinggi, keadaan sosial
dan lain-lain. Grid ini diciptakan untuk
tujuan input data yang akan digunakan
dalam perhitungan raster untuk
menentukan demografi dari target pasar
untuk mencari lokasi Shopping Mall yang
potensial.
Sel grid (squares) meliputi beberapa
daerah pada peta. Setiap sel memiliki node
yang terletak di pusatnya. Sebuah sel dapat
diberi nilai dan warna yang mewakili
nilainya. Jika ada beberapa sel di antara
dua lokasi yang dikenal (antara titik atau
kontur), maka dibuat perubahan warna
yang mengindikasikan adanya perubahan
nilai parameter. Untuk menyajikan
perubahan dalam beberapa kuantitas antara
lokasi yang dikenal, maka perlu
menerapkan beberapa teknik untuk
memperkirakan nilai-nilai. Diantaranya
melalui interpolasi dengan metode Inverse
Distance Weighted (IDW).
Gambar 6. Formasi Grid
Sumber : Trubint, Nikola dkk (2006)
Gambar 8. Interpolasi data titik dengan metode IDW
Sumber : Wijayanto, Andri dkk (2009)
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
43
Gambar 9. Layer data spasial dan non-
spasial
Sumber : Agustawan (2011)
Agregasi poin dalam peta dibutuhkan
dalam penerapan metode IDW. Agregasi
adalah proses matematis untuk mengurangi
jumlah titik pada peta dan dilakukan dalam
kasus-kasus ketika sebagian besar poin
dikelompokkan pada beberapa lokasi.
Untuk mempersingkat waktu perhitungan
,nilai-nilai semua titik dari suatu daerah
dalam radius tertentu dijumlahkan, dan
satu titik diatur untuk mewakili daerah
tersebut (Gambar 6 ). Misalnya, radius 50
m telah digunakan untuk daerah pusat dan
150 m untuk bagian-bagian yang tersisa.
Setelah menyelesaikan prosedur agregasi,
dilakukan proses interpolasi dengan
metode Inverse Distance Weighted (IDW).
Metode ini memperkirakan nilai setiap sel
sebagai jumlah rata-rata koefisien titik
berat dalam cakupan radius tertentu.
Misalnya Sebuah radius 300 m telah
digunakan untuk zona pusat Kota dan
radius 500 m untuk bagian-bagian yang
tersisa. Dalam menjumlahkan nilai
koefisien bobot digunakan fungsi
eksponensial dengan eksponen.
Setelah data disimpan di lokasi yang
relevan, analisis dapat dilakukan untuk
menentukan lokasi potensial untuk
Shopping Mall. Analisis dapat dilakukan
berdasarkan penekanan terhadap query
yang berbeda, dengan cara
menghubungkan semua data layer secara
bersama-sama dalam sebuah sistem, atau
hanya menghubungkan beberapa atribut
yang dianggap lebih penting. Misalnya
overlap dari beberapa layer yang mewakili
atribut pendapatan rata-rata rumah tangga
pada daerah yang memiliki jarak 500 -
1500 m dari lokasi Shopping Mall.
Melalui database geografis, pengguna
dapat memperoleh informasi yang
diperlukan untuk membuat keputusan
mengenai lokasi yang potensial. Atribut
dalam layer dapat bergabung untuk
membentuk informasi yang diperlukan
dalam menentukan lokasi potensial untuk
mendirikan Shopping Mall.
Aplikasi GIS dalam menentukan lokasi
potensial untuk Shopping mall menurut
Trubint, Nikola dkk (2006) menunjukan
bahwa nilai-nilai bobot dari setiap zona
lokasi potensial akan menurun seiring
dengan peningkatan jarak (semakin jauh)
dari pusat Kota. Hal ini karena lokasi yang
nyaman dan aksesbilitas yang dekat
menjadi salah satu atribut penting yang
akan memepengaruhi preferensi konsumen
dalam mengunjungi Shopping Mall. Hasil
ini sejalan dengan penelitian Jackson,
Vanessa dkk (2011) yang menyatakan
bahwa generasi Builder sangat
memperhatikan lokasi yang nyaman saat
akan mengunjungi Shopping Mall.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
44
V. KESIMPULAN
Keputusan terpenting dalam
mengembangkan Shopping Mall adalah
pemilihan lokasi. Karena lokasi sebagai
salah satu daya tarik bagi konsumen untuk
mengunjungi Mall yang dipilihnya.
Keputusan untuk menentukan lokasi
potensial untuk Shopping Mall merupakan
proses yang sangat komplek dan
memerlukan tanggung jawab yang tinggi.
Karena berkaiatan dengan pemanfaatan
bangunan selama periode yang cukup lama
dan tentunya akan berkaiatan dengan
sumber dana keuangan.
Aplikasi GIS bersama Analisis Spatial, dan
Microsoft Excel dapat diaplikasikan untuk
menentukan lokasi potensial Shopping
Mall. Karena Sistem Informasi Geografis
(GIS) yang merupakan perangkat lunak
yang mampu menyimpan, mengambil,
menganalisis, memvisualisasi dan
memetakan data spasial dan non-spasial
dari lingkungan Shopping Mall. GIS
mampu memproduksi peta multi-layer dan
interaktif dari fitur atribut Shopping Mall
dan demografi perkotaan, sehingga query
dapat ditetapkan sebagai solusi optimal
untuk menentukan lokasi potensial untuk
Shopping Mall. Lokasi potensial hasil dari
analisis GIS dapat diprediksi secara tepat
dan pasti dengan perhitungan algoritma
berdasarkan pemrograman matematika.
VI. DAFTAR PUSTAKA
1. Agustawan. (2011). Sistem Informasi
Geografis sebagai Mengintegrasikan
Teknologi: Konteks,
Konsep,dan Definisi. Diakses pada 2
Oktober, 2013 dari World Wide
Web:http://agustawan.wordpress.com/2
011/09/20/sistem-informasi-geografis-
sebagai-mengintegrasikan-teknologi-
konteks-konsep-dan-definisi/.
2. Ardiyanti, Rizki. (2010). Cara memilih
lokasi usaha yang tepat. Diakses pada 2
Oktober, 2013 dari World Wide Web:
http://rizkiardiyanti.blogspot.com/2010/
10/cara-memilih-lokasi-usaha-yang-
tepat.html.
3. Azenismail. (2013). Tugas Sistem
Informasi Geografis Web GIS dan
Mobile GIS. Diakses pada 2 Oktober,
2013 dari World Wide Web:
http://azenismail.wordpress.com/2013/0
4/28/tugas-sistem-informasi-geografis-
web-gis-dan-mobile-gis/.
4. Bennison, D. and T. Hernandez. 2000.
The art and science or retail location
decisions. International Journal of
Retail & Distribution Management,
Vol. 28, No. 8, pp. 357-367.
5. Borgers, Aloys dan Vosters, Cindy.
(2011). Assessing preferencer for mega
shopping centres : a conjoint
measurement approach. Journal of
Retailing and Consumer Service Vol
18, pp 322-332.
6. Church, R.L (2002). Geographical
information system and location
science. Computer and Operation
Research Vol 29, pp 541-562.
7. Hefriansyarizky. 2013. Tugas SISDL
Minggu 1. Diakses pada 2 Oktober,
2013 dari World Wide Web:
http://hefriansyarizky.wordpress.com/2
013/03/16/tugas-sisdl-minggu-1/.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
45
8. Hidayat, Andi. (2010). Komponen/
unsurkelengkapan peta. Diakses pada 2
Oktober, 2013 dari World Wide Web:
http://andimanwno.wordpress.com/201
0/07/02/komponenunsur-kelengkapan-
peta/.
9. Holbrook, M.B., Chestnut, R.W., Oliva,
T.A., Greenleaf, E.A., 1984. Play as a
consumption experience: the roles of
emotion, performance, and personality
in the enjoyment of games. Journal of
Consumer Research Vol 11, pp 728–
739.
10. Jackson, Vanessa; Stoel, Leslie dan
Brantley, Aquia. 2011. Mall attributes
and shopping value: Differences by
gender and generational cohort.
Journal of Retailing and Consumer
Services Vol 18, pp 1–9.
11. Lazarus, R.S., 1991. Progress on a
cognitive-motivational-relational
theory of emotion. American
Psychologist Vol 46, pp 819–834.
12. Mendes, A. B. and I.H. Themido. 2004.
Multi-outlet retail site location
assessment. International Transactions
in Operational Research. Vol 11, pp. 1-
18.
13. Pearson, Jesse. 2007. A Comparative
Business Site-Location Feasibility
Analysis using Geographic Information
Systems and the Gravity Model.
Resource Analysis Vol 9, pp 10 .
14. Shim, S and Eastlick, M.A. 1998. The
hierarchical influence of personal
values on mall shopping attitude and
behavior. Journal of Retailing. Vol 74,
No 91, 139-60.
15. Trubint, Nikola ; Ostojić, Ljubomir ;
Bojović, Nebojša. 2006. Determining
An Optmal Retail Location By Using
GIS. Yugoslav Journal of Operations
Research. Vol 16, Number 2, pp 253-
264.
16. UNDP - Tim Teknis Nasional. 2007.
Modul Pelatihan ArcGIS Dasar.
17. Wijayanto, Andri., Lukman, azhari.,
Kristiono. 2009. GIS Engineering
Aplication Series. Modul Pegangan
Pelatihan Comlabs USDI-ITB.
18. Yu, Ling. 2006. A systematic Approach
to Location Selection For Shoppng
Mall Projects. The thesis submitted in
partial fulfillment of the Requirements
for the Degree of Doctor of Philosophy.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
46
LANGGAM ARSITEKTUR DAN INTERIOR
MUSEUM AGUNG BUNG KARNO, DENPASAR BALI
Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Benturan antara tradisi dan modernisme dalam perkembangan jaman secara tidak langsung
mempengaruhi bentukan arsitektur dan interior bangunan, tidak terkecuali bangunan publik.
Bagaimana kehadiran langgam arsitektur tradisional Bali diterapkan pada interior ruang
publik. Hal inilah yang menjadi permasalahan yang akan penulis bahas pada tulisan ilmiah
ini.
Langgam Arsitektur tradisonal Bali terwujud pada ornamentasi, konsepsi yang
melatarbelakangi, dan dominasi penggunaan material alami. Penggunaan langgam interior
tradisional Bali sudah selayaknya menjadi ciri khas bangunan atau ruang publik yang ada di
Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal Bali yang
terdapat pada bentukan desain interior, merupakan salah satu upaya pelestarian budaya lokal
Bali.
Langgam Arsitektur dan Interior Museum Bung Karno, sebagai salah satu ruang publik di
Kota Denpasar secara umum sudah berupaya menunjukkan langgam Arsitektur tradisional
Bali, namun belum sepenuhnya terwujud secara optimal. Dominasi material bata dan material
batu hitam, serta permainan pola susun batu bata memberi nilai estetika pada museum ini.
Kata Kunci: langgam, tradisi, modern, ruang publik.
ABSTRACT
Conflicts between tradition and modernism in changing times indirectly affect the formation
of architecture and interior of the building, one of which is public buildings. How the
presence of traditional Balinese architectural style applied to the interior public spaces. This
is the problem that the author will discuss in this journal.
Balinese traditional architecture styles manifested in ornamentation, the conception, and the
dominance of the use of natural materials. The use of traditional Balinese style interiors are
appropriately characterizes the building or public space in the city of Denpasar, the capital
of Bali province. The application of the local genius of Bali contained in interior design, is
one of the efforts to preserve the culture of Bali.
Architecture and Interior style of Museum Bung Karno, as one of the public space in the city
of Denpasar in general has attempted to show the style of traditional Balinese architecture,
but has not been fully realized optimally. The dominance of brick material and black stone
material, as well as brick stacking patterns give an aesthetic value in this museum.
Keywords: style, tradition, modern, public space.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
47
PENDAHULUAN
Peranan ruang publik adalah sebagai
sebuah wadah untuk aktifitas dan kegiatan
sosial masyarakat dalam berinteraksi baik
untuk tujuan individu maupun tujuan
kelompok. Terdapat sejumlah ruang publik
di Kota Denpasar, yang dibangun sesuai
dengan fungsinya dalam mengakomodasi
kegiatan dan kepentingan masyarakat
umum. Bagi yang berkepentingan dengan
urusan pemerintahan, ruang publik cukup
ramai dikunjungi, namun adakalanya
ruang publik seperti museum dan
perpustakaan masih kurang menarik
dikunjungi bagi sebagian masyarakat.
Dalam kaitannya dengan Kota Denpasar
sebagai daerah tujuan wisata, ruang publik
juga berperan cukup penting bagi
kehadiran wisatawan baik wisatawan
domestic maupun wisatawan mancanegara.
Wisatawan tentu ingin tahu lebih banyak
tentang Bali, salah satunya dengan
mengunjungi museum atau monumen.
Yang menjadi pokok bahasan dalam
tulisan ilmiah ini adalah langgam
arsitektur dan interior Museum Bung
Karno, sebagai salah satu ruang publik di
Kota Denpasar. Benturan antara tradisi dan
modernism dalam perkembangan jaman
secara tidak langsung mempengaruhi
bentukan arsitektur dan interior bangunan,
tidak terkecuali bangunan publik.
Bagaimana kehadiran langgam arsitektur
tradisional Bali diterapkan pada arsitektur
dan interior Museum Bung Karno. Hal
inilah yang menjadi permasalahan yang
akan penulis bahas pada tulisan ilmiah ini.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka
menambah wawasan tentang penggunaan
langgam arsitektur tradisional Bali, pada
Museum Bung Karno sebagai salah satu
ruang publik di Kota Denpasar. Secara
tidak langsung, penelitian ini dilakukan
dalam mendukung Denpasar sebagai kota
kreatif yang berwawasan budaya.
METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, wawancara tidak
terstruktur, dan dokumentasi. Metode
analisis data yang digunakan pada
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Studi kasus pada penelitian ini Museum
Bung Karno. Pemilihan bangunan ini
adalah dengan pertimbangan sebagai salah
satu publik facilities yang memiliki fungsi
penting bagi masyarakat sekaligus sebagai
objek tujuan wisata di Bali. Museum ini
berlokasi di seputar kawasan civic center,
tepatnya di Jl Raya Puputan, Renon.
PEMBAHASAN (Langgam Arsitektur
dan Interior Museum Bung Karno)
Langgam menurut Priyotomo, (t.t:16)
adalah rupa atau wujud, aturan dan
perlengkapan yang khas dari suatu
masa/zaman pada tempat tertentu.
Langgam interior terlihat pada rupa dan
wujud interior sebuah bangunan. Langgam
ditentukan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
48
Gbr. 1 & 2 Eksterior Museum
Bung Karno
Sumber: Dokumentasi Penulis
Dilihat dari tampak depan bangunan ini,
terdapat sebuah patung bung karno sedang
membacakan teks proklamasi. Terdapat
juga patung berbentuk candi. Dinding
ditutupi dengan batu putih palimanan, batu
andesit dan bata merah. Bangunan ini
merupakan bangunan berlantai 5 sesuai
dengan dasar Negara yakni Pancasila.
Landscape pada ruang terbuka yang berada
di bagian depan bangunan ditata dengan
dua buah patung hewan yakni harimau dan
beruang madu yang menggunakan kulit
asli dari hewan tersebut. Terdapat pula
mobil berplat RI 1, yang mana merupakan
kendaraan milik Bung Karno saat menjadi
Presiden pertama RI.
Saat memasuki lantai 1 museum ini,
penulis merasakan kejutan dengan melihat
foto-foto koleksi Bung Karno yang
banyak, serta pajangan sebuah sepeda
jengki. Ada juga patung harimau yang
rupanya terbuat dari kulit harimau asli
yang diawetkan. Selanjutnya memasuki
ruang di dalamnya, pandangan penulis
tertuju pada pajangan foto dan lukisan
tokoh Bung Karno yang sangat banyak,
menutupi hampir seluruh bidang dinding
ruangan. Lukisan-lukisan tersebut
menggambarkan perjalanan Bung Karno
semasa hidupnya semenjak berada di
kandungan Ibu, semasa kecil, dewasa,
begitupula semasa perjuangan RI. Di
tengah ruangan terdapat beberapa meja
yang digunakan oleh pemilik yayasan
pengelola museum ini, untuk berdiskusi
dengan kawan-kawan.
Gbr. 3 & 4 Interior Lantai 1 Museum Bung
Karno
Sumber: Dokumentasi Penulis
Memasuki ruangan di paling tengah,
terdapat perpustakaan yang terdiri dari
dokumen, buku, dan naskah-naskah
koleksi Bung Karno. Area ini merupakan
area paling privat karena terdapat ruang
suci, terdapat dua area persembahan, yakni
bagi Guru Bung Karno dan bagi Nyi Roro
Kidul.
Menuju ke lantai 2 bangunan ini, penulis
menaiki tangga yang berada di luar
bangunan (di bagian depan bangunan).
Memasuki ruangan ini, kembali penulis
terpesona dengan suasana museum yang
sangat terasa, dengan kehadiran vespa
kuno, jas hitam yang digantung, wastafel
tahun 1930. Pada interiornya, detail-detail
dinding ruangan yang diolah sedemikian
rupa, dengan pola susun maju mundur batu
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
49
bata merah, diatur agar pas dan tepat
dengan penempatan benda-benda yang
dipajang. Perancang seolah-olah sudah
merencanakan penempatan benda-benda
pajangan dengan tepat saat bangunan ini
dikerjakan.
Gbr. 6, 7 & 8 Interior Lantai 2
Museum Bung Karno
Sumber: Dokumentasi Penulis
Di area tengah ruangan, diletakkan benda-
benda yang berukuran cukup besar, seperti
peti kuno dari kayu besi, dan kursi tamu
kuno. Di dinding sisi selatan, dinding
didesain dengan pola maju mundur batu
bata, sehingga pas untuk menempatkan
pajangan beberapa jenis wayang. Pola
maju mundur batu bata ini juga sekaligus
memberikan nilai estetika tersendiri,
sehingga menambah keindahan ruangan.
Point of interest pada ruangan ini adalah
dinding belakang ruangan yang full
didesain menjadi sebuah benda layaknya
sebuah kertas, lengkap dengan tulisan
tangan asli. Benda ini rupanya replika dari
naskah Bung Karno. Adapun tulisan
tangan ini diukir oleh seniman yang
membuatnya.
Gbr. 9 Replika naskah koleksi Bung Karno
Sumber: Dokumentasi Penulis
Di ruang yang berada paling dalam,
terdapat kamar suci dan beberapa pusaka
milik Bung Karno, seperti keris dan benda-
benda sakral lainnya. Terdapat pula mesin
jahit Ibu Fatmawati saat menjahit bendera
merah putih yang pertama kali digunakan
saat proklamasi kemerdekaan RI tahun
1945.
Di ruangan belakang terdapat ruang
service yakni sebuah toilet, lift, dan juga
tangga menuju lantai 3. Void ruangan ini
dibuat sangat tinggi, menghubungkan
lantai 2 dengan lantai 3 dan lantai 4 .
Gbr. 10 Lift
Sumber: Dokumentasi Penulis
Ruangan lantai 3 adalah ruang pertemuan
formal yang umumnya dihadiri oleh para
tokoh pejabat dan orang besar. Di ruangan
lantai 4 terdapat beberapa kamar tidur
yang diperuntukkan bagi keluarga (anak-
anak) Bung Karno jika sedang berada di
Bali. Terdapat pula ruang kerja, ruang
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
50
tamu, dan kamar tidur Bung Karno.
Furniture seperti meja kerja, dipan dan
lemari adalah asli milik beliau. Begitupula
meja kerja dilengkapi mesin ketik saat
membuat teks proklamasi RI. Terdapat
pula meja rias milik Ibu Fatmawati.
Gbr. 11, 12, & 13 Koleksi Bung Karno di
ruangan lantai 4
Sumber: Dokumentasi Penulis
Pada ruang yang paling dalam, terdapat
miniature permandian di Tirta Empul.
Tirta Empul merupakan permandian
umum, berada di Pura Tirta Empul,
tepatnya di bawah istana Presiden di
Tampak Siring, Gianyar.
Dinding-dinding di lorong sebagian besar
terdapat repro naskah-naskah milik Bung
Karno yang ditulis di atas batu dan
kemudian dipajang di dinding. Desain ini
cukup inspiratif dan menjadi elemen
dekorasi yang menarik.
Gbr. 14 Replika naskah koleksi Bung Karno
pada batu
Sumber: Dokumentasi Penulis
Sungguh terkagum-kagum penulis saat
menikmati benda-benda yang dipajang di
museum ini. Pola penataan sudah cukup
baik, hanya saja terlalu banyak benda yang
dipajang, membuat seolah-olah ruangan ini
penuh sesak. Walaupun sirkulasi
pengunjung sudah cukup baik, namun
akan terasa cukup sesak, jika pengunjung
yang datang dalam jumlah banyak.
Gbr. 15 Ornamen pilar pada
Museum Bung Karno
Sumber: Dokumentasi Penulis
Beberapa ornamen menghiasi ruang
interior museum ini, salah satunya adalah
ornamen pada pilar. Minimnya ornamen
dan dekorasi yang menunjukkan langgam
tradisional Bali pada bangunan ini,
rupanya tidak serta merta menghilangkan
ciri khas bangunan Bali. Dinding
bangunan baik pada eksterior maupun
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
51
interior, yang secara keseluruhan tertutupi
oleh batu bata merah, telah memberi kesan
sebuah bangunan berlanggam tradisional
Bali. Kehadiran pola maju mundur dan
pola tidur berdiri pada batu bata merah ini,
telah memberi aksen sekaligus menambah
nilai estetika pada ruangan. Warna merah
alami dari penggunaan batu bata,
memberikan kesan natural, kokoh, dan
abadi (tidak kehilangan jaman dan tidak
kuno). Pola lantai didesain dengan motif
kotak-kotak, permainan material antara
batu bata, batu andesit, batu putih
palimanan dan marmer.
Peran Museum Bung Karno ini sangatlah
penting bagi masyarakat. Dapat dijadikan
referensi untuk mengenal lebih dalam
tentang tokoh nasionalis Indonesia yang
dikagumi oleh dunia.
Bagaimana langgam arsitektur dan
interior Museum Bung Karno
Langgam tradisonal Bali terwujud pada
ornamentasi, konsepsi yang
melatarbelakangi, dominasi penggunaan
material alami. Penggunaan langgam
arsitektur dan interior tradisional Bali
sudah selayaknya menjadi ciri khas
bangunan umum atau ruang publik yang
ada di Kota Denpasar sebagai ibukota
Propinsi Bali. Hal ini menunjukkan nilai-
nilai kearifan lokal Bali yang terdapat pada
bentukan desain interior, dalam upaya
pelestarian budaya local Bali.
Langgam ditentukan berdasarkan beberapa
kriteria pembanding, diantaranya: wujud
dan rupa, ornamen dan dekorasi, material,
dan masa/tahun.
Tabel 1. Langgam arsitektur dan interior Museum Bung Karno
NO ITEM
PEMBANDING
MUSEUM BUNG KARNO
1 Wujud Rectangular
2 Ornamen dan
dekorasi `
Pepalihan dan ornamen dibuat
dengan cara menyusun kreatif batu
bata.
Kesan geometric dan kaku namun
gagah dan gendut.
Pola susun dan maju mundur
peletakan batu bata pada dinding
menjadi elemen estetika.
Terdapat ornamen pada pilar.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
52
3 Material Lantai : granit, batu bata, batu
andesit, batu putih palimanan.
Dinding : batu bata merah
expose.
Plafond: bata merah expose.
4 Masa/tahun 2010 keatas
5 Langgam Langgam tradisional Bali yang simple minim ornamen. Merupakan
inkulturasi dengan kebudayaan Majapahit, cirinya: penggunaan bata
merah expose pada seluruh dinding, permainan pola susun bata merah.
6 Penggunaan
langgam
Arsitektur dan
interior tradisional
Bali
Cukup baik
Sumber: Analisa Penulis, 2016.
Berdasarkan uraian pada tabel di atas,
dapat penulis kemukakan bahwa langgam
arsitektur dan interior Museum Bung
Karno, secara umum sudah berupaya
menunjukkan langgam tradisional Bali,
namun belum sepenuhnya terwujud secara
optimal dan maksimal. Terlihat dari
wujud, warna, ornamen dan dekorasi, serta
material yang digunakan. Pengaruh
kebudayaan Majapahit sangat kuat, dengan
cirinya yang nampak, yakni: penggunaan
bata merah expose pada sebagian besar
elemen ruangan terutama pada dinding,
kemudian permainan pola susun bata
merah sehingga menjadi motif tertentu.
Beberapa contoh bangunan lain yang
menggunakan langgam seperti ini dapat
dilihat pada beberapa bangunan kuno yang
masih ajeg hingga kini, beberapa
diantaranya adalah Puri Denpasar, Puri
Kesiman, Bale Banjar Gerenceng, dan
Pura Maospahit.
Penerapan langgam Arsitektur tradisional
Bali juga berperan dalam upaya pelestarian
arsitektur tradisional Bali yang berkarakter
dan beridentitas. Interior yang terwujud
disesuaikan dengan idealisme perancang,
konsep yang ingin diusung, serta
disesuaikan dengan trend yang
berlangsung pada masa/waktu
dirancangnya bangunan tersebut. Sesuai
dengan periodisasi bangunan-bangunan itu
dibangun, bentukan yang terwujud pada
interiornya adalah menyesuaikan dengan
trend yang berlangsung saat itu. Hal ini
tentunya sebanding dengan teori
kebudayaan yang senantiasa akan berubah
sesuai dengan perkembangan jaman.
Sesuai juga dengan salah satu jargon yang
ada di teori perubahan yakni “perubahan
itu abadi”. Perubahan tetap saja dapat
terjadi, namun alangkah baiknya tetap
memperhatikan prinsip-prinsip dan nilai-
nilai kearifan lokal dan tradisional yang
menjadi identitas lokal setempat.
Kesimpulan
Langgam arsitektur dan interior Museum
Bung Karno secara umum sudah berupaya
menunjukkan langgam Arsitektur
tradisional Bali, namun belum sepenuhnya
terwujud secara optimal dan maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari wujud, warna,
ornamen dan dekorasi, serta material yang
digunakan. Terlihat dari wujud, warna,
ornamen dan dekorasi, serta material yang
digunakan. Pengaruh kebudayaan
Majapahit sangat kuat, dengan cirinya
yang nampak, yakni: penggunaan bata
merah expose pada sebagian besar elemen
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
53
ruangan terutama pada dinding, kemudian
permainan pola susun bata merah sehingga
menjadi motif tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sachari. 2007. Budaya Visual
Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Budiharjo, Eko. 1989. Jati Diri Arsitektur
Indonesia. Bandung: Alumni.
Maryono, Irawan, dkk. 1985. Pencerminan
Nilai Budaya dalam Arsitektur di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Prijotomo, Josef. tt. Apa dan Bagaimana
Tipologi. Jurusan Arsitektur FTSP: ITS
Surabaya.
Sari, Nurul wulan. 2010. Ragam gaya
Interior sesuai kepribadian. Jakarta: Griya
Kreasi.
Winarta, I Gusti Nyoman. 1986. Beberapa
Contoh Pola Seni Hias Bali.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
54
Re-Konsepsi Desain Pengembangan Lansekap Alam
Jatiluwih, Tabanan
Oleh:
I Dewa Gede Putra, ST.,MT
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email : [email protected]
ABSTRAK
Lansekap alam Jatiluwih merupakan warisan lansekap atau bentang alam terbaik yang
Kabupaten Tabanan Bali. Keunikan permukiman dan subak pada daerah ini menjadi
penggerak tumbuhnya aktifitas yang berimplikasi terhadap pendapatan dari sektor
pariwisata. Bentang alam yang dimiliki sekaligus merupakan representasi dari budaya
yang berkembang dan dijaga hingga kini oleh masyarakat setempat dalam wujud
pemanfaatan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Permasalahan kesediaan sarana
akomodasi pariwisata, parkir dan akssesibilatas merupakan permasalahan klasik yang
belum terlihat ada pemecahan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan,
Lansekap alam Jatiluwih sangat potensial untuk dikembangakan dan merupakan
referensi bagi pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian dan budaya.
Pelestarian dan pengembangan yang berkelanjutan pada kawasan ini harus ditangani
secara serius, baik dari masyarakat setempat ataupun pemerintah untuk memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat sekitar.
Kata Kunci : Jatiluwih, rekonsepsi, desain pengembangan, pembangunan
berkelanjutan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
55
1. PENDAHULUAN
Lansekap alam Jatiluwih merupakan
warisan lansekap atau bentang alam
terbaik yang dimiliki Bali, khususnya
Tabanan. Eksistensi permukiman dan
subak pada daerah ini menjadi penggerak
tumbuhnya aktifitas yang berimplikasi
terhadap pendapat dari sektor pariwisata.
Peranan dalam eksistensi lingkungan
kawasan ini yang berada pada daerah hulu
merupakan peran lain dari kawasan
Lansekap Alam Jatiluwih ini dari isu
lingkungan. Keberadaan subak dan segala
aktifitas pertanian dan perkebunanyang
terdapat di dalamnya merupakan
representasi nilai lokal masyarakat yang
tidak hanya diterima oleh masyarakat lokal
tapi juga diakui oleh masyarakat dunia.
Melalui Unesco bukti itu bisa dilihat jelas,
sehingga ditetapkan sebagai Warisan
Budaya Dunia 2012, dengan konsepsi
subaknya yang eksis, terus ada upaya
pembenahan dan pengembangan oleh
masyarakat dan pemerintah. Masyarakat
Desa Jatiluwih masih sangat kuat di dalam
mempertahankan tradisi-tradisi yang
diwariskan oleh leluhur mereka. Pertanian
dengan sistem terasering dan subak masih
menjadi amanah leluhur yang tetap eksis
sampai sekarang. Budaya pertanian
menjadikan masyarakat Desa Jatiluwih
tetap menghormati alam lingkungannya
dan tetap menghormati budayanya,
sehingga secara implisit dapat dilihat
bahwa konsep Tri Hita Karana menjiwai
setiap gerak langkah masyarakat Desa
Jatiluwih untuk tetap menjaga
kelestariannya dan keberlanjutannya.
(Agus, MP, 2012)
Konservasi lahan pada area sekitar
lansekap alam Jatiluwih menjadi
tantangan. Permasalahan kesediaan sarana
akomodasi pariwisata, parkir dan
akssesibilatas juga merupakan
permasalahan klasik yang belum terlihat
ada pemecahan. Ini tentu menyebabkan
pengembangan kawasan yang lebih
bersifat alamiah dan sporasis oleh
masyarakat lokal. Sehingga diperlukan
perhatian pemerintah dalam menetapkan
pola dan tata ruang yang menguatkan
Jatiluwih sebagai sebuah lansekap alam
dan budaya. Dalam konteks pembangunan
pembangunan berkelanjutan, Lansekap
alam Jatiluwih sangat potensial untuk
dikembangakan dan merupakan referensi
bagi pengembangan pariwisata yang
berbasis pertanian dan budaya. Untuk itu
upaya pelestarian dan pengembangan yang
berkelanjutan pada kawasan ini harus
ditangani secara serius, baik dari
masyarakat setempat ataupun pemerintah.
Re-konsepsi pengembangan lansekap alam
Jatiluwih, Tabanan diperlukan sebagai
usulan pengembangan dan usaha dalam
melestarikan lingkungan lansekap alam
Jatiluwih dari segi lingkungan, budaya,
dan ekonomi. Metode penelitian
menggunakan metode kualitatif dengan
melakukan survey ke lapangan dan
melakukan dokumentasi di spot-spot
tertentu. Analisa dilakukan dengan
identifikasi potensi dan permasalahan dan
dilanjutkan tahapan usulan desain sesuai
dengan karakterisitik lokasi.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
56
2. TINJAUAN TEORI
Pemahaman Mengenai Lansekap
Lansekap merupakan suatu bentang alam
dengan berbagai karakteristik yang
terdefinisi secara harmoni menurut seluruh
indra manusia (Simonds,2006 ). Definisi
umum ini membuat pengertian lanskap
dapat terdiferensiasi menurut skala
tertentu, mulai dari skala mikro sebatas
taman kantong sampai skala makro dalam
tataran regional dan universal. Lansekap
dalam arti lain juga merupakan wajah atau
karakter lahan dari permukaan bumi baik
itu alami maupun buatan, yang merupakan
total dari lingkungan hidup manusia
beserta makhluk hidup lainnya. Lanskap
memiliki beberapa sub antara lain: kota
(town-scape), jalan (street-scape),
lapangan golf dan sejenisnya (lawn-scape),
sungai (river-scape), atap bangunan (roof-
scape), pantai dan pemandangan laut
lainnya (sea-scape), area industri
(industrial-scape), pemukiman (residential-
scape), pedesaan (rural-scape), daerah
(regional-scape), dan lainnya. ( Fauza,
2010)
Lansekap dalam konteks lingkungan
Jatiluwih dapat digolongkan ke dalam
lansekap alam dan budaya karena, peranan
kondisi alam yang dominan dan aspek
manusia pada lingkungan ini juga berperan
penting dalam penciptaan lingkungan
pertanian yang unik.
Kebijakan Terkait Kawasan Jatiluwih
(RDTR Kawasan Pelestarian Budaya
Jatiluwih)
Berdasarkan kriteria Keppres No.32 tahun
1990, kawasan lindung di Desa Jatiluwih
terdiri dari kawasan yang memberikan
perlindungan di bawahnya (seperti hutan
lindung dan daerah resapan air) dan
kawasan perlindungan setempat (seperti
kawasan sempadan sungai, kawasan
sempadan jurang, kawasan sekitar mata air
dan kawasan radius kesucian pura).
Kawasan budidaya merupakan kawasan
yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan berdasarkan kendala
dan potensi yang ada di kawasan
perencanaan baik dari sumber daya alam,
sumber daya manusia maupun sumber
daya buatan. Kawasan budidaya di Desa
Jatiluwih meliputi kawasan budidaya
pertanian, kawasan budidaya permukiman
dan kawasan budidaya pariwisata.
Kawasan pertanian terdiri dari pertanian
lahan basah, pertanian lahan kering,
perkebunan dan peternakan. Sedangkan
kawasan permukiman terdiri dari fungsi-
fungsi untuk kegiatan perumahan dan
fasilitas penunjangnya seperti fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
peribadatan, fasilitas olah raga, fasilitas
ekonomi (perdagangan/jasa, industri kecil),
fasilitas pemerintahan dan transportasi
(jaringan jalan dan moda angkutan-
umum). Sedangkan kawasan budidaya
pariwisata meliputi kawasan yang
dibudidayakan sebagai fasilitas utama dan
penunjang pariwisata.
Pengelolaan Tata Lingkungan dan Tata
Bangunan
Tata lingkungan bertujuan untuk mengatur
peruntukan elemen – elemen ruang agar
dapat tercipta suasana lingkungan yang
mendukung fungsi kawasan. Rencana tata
lingkungan di Desa Jatiluwih diarahkan
sebagai berikut:1)Kawasan hutan sebagai
daerah yang memberikan perlindungan di
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
57
bawahnya harus tetap dipertahankan dan
meiarang adanya kegiatan budidaya di
kawasan ini, sehingga kelestarian
lingkungan dapat terjaga. 2) Kawasan
pertanian lahan basah dengan irigasi teknis
harus tetap dipertahankan dan
mengarahkan pengembangan kegiatan
budidaya pada lahan-lahan diluarnya atau
lahan kering tidak produktif. Hal ini
mengingat lahan sawah terasering dan
sistem subak merupakan warisan budaya
yang harus tetap dijaga kelestarianr ya dan
juga menjaga image Tabanan sebagai
lumbung beras. 3) Menjaga keilestarian
lingkungan alam dan budaya setempat.4)
Garis sempadan sungai dan daerah sekitar
mata air serta sempadan jurang harus tetap
dipertahankan sebagai daerah perlindungan
setempat dengan tidak memperkenankan
adanya bangunan. 5)Jalur hijau yang telah
ditetapkan dengan perda di sepanjang jalan
Gunungsaridesa - Jatiluwih dan radius
kesucian Pura Petali tetap dipertahankan.
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Letak Geografis dan Administratif
Kawasan Desa Tradisional Jatiluwih
terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan. Secara administratif, kawasan
permukiman tradisional Jatiluwih ini
mencakup 4 (empat) buah desa yaitu Desa
Jatiluwih, Desa Wongaya Gede, Desa
Tengkudak dan Desa Mengesta. Lokasi
empat desa ini merupakan satu kesatuaan
kawasan yang terletak di kaki Gunung
Batukaru dan secara adat merupakan
wilayah pengempon Pura Luhur Batukaru
dan pura-pura lain di kawasan G.
Batukaru. Jatiluwih adalah sebuah desa
pegunungan yang terletak di lembah kaki
Gunung Batukaru dengan ketinggian 850
meter di atas permukaan laut. Desa
Jatiluwih berada di daerah kecamatan
Penebel, kabupaten Tabanan berjarak
sekitar 20 km di sebelah utara kota
Tabanan atau berjarak sekitar 38 km dari
kota Denpasar. Untuk mencapai kawasan
ini harus melalui jalan yang cukup sempit
dan menanjak. Desa Jatiluwih menjadi
daerah kawasan wisata yang dimiliki
kabupaten Tabanan karena memiliki tanah
perkebunan dan persawahan yang berteras-
teras sehingga akan terlihat pemandangan
sawah yang indah.
Kondisi Existing dan Fungsi Jatiluwih
sebagai Lansekap Alam
Sosial Budaya
Desa Pekraman Jatiluwih merupakan suatu
wilayah yang pernah ditetapkan sebagai
tempat untuk menanamkan nilai-nilai
ajaran agama dan budaya oleh para Rsi dan
para Raja jaman dahulu seperti yang
tertuang dalam Bhuwana Tattwa Maharsi
Markandya, terbukti dengan berdirinya
Pura Khayangan Jagat Petali dan Pura Rsi
Bhujangga, maka kedua desa ini
merupakan desa sebagai benteng
pertahanan di bidang spritual khususnya
agama dan budaya Hindu. Disamping hal
tersebut, bahwa kedua desa pekraman yang
terletak di kaki gunung Batukaru, sebagai
desa berpola agraris masih
mempertahankan tradisi-tradisi yang ada,
seperti lembaga-lembaga Subak dan
sekeha-sekeha yang menopang kelestarian
budaya Bali dan budaya Indonesia pada
umumnya.
Keadaan yang demikian perlu
dipertahankan dan segera mendapatkan
penanganan karena dengan perkembangan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
58
sepuluh tahun belakangan ini, desa
pekraman Jatiluwih menjadi masyarakat
desa transisi diantara masyarakat agraris
tradisional dan masyarakat modern. Ini
terbukti dengan pertumbuhan sistem
informasi, teknologi, pengetahuan, desakan
industri pariwisata dan tuntutan ekonomi
masyarakat yang cenderung berpikir ke
arah ekonomi komersial, maka tidak
mungkin membendung arus perubahan-
perubahan terhadap tradisi budaya yang
telah ada. Sehingga hal ini menyebabkan
terjadinya perubahan terhadap tata cara
berbahasa, pergeseran mata pencaharian,
penggunaan teknologi modern, perubahan
struktur organisasi sosial, penyerapan
sistem pengetahuan yang baru, pergeseran
sistem religi dan kesenian, yang akhirnya
bisa bermuara pada perubahan sikap
mental dan kultural. Hal ini pula akan
mengakibatkan terjadinya pergeseran,
persengketaan atau perbenturan terhadap
nilai-nilai dan norma-norma yang telah
ada.
Potensi Lansekap Alam Jatiluwih
Sawah Berterasering
Areal persawahan di Desa Jatiluwih seluas
303,40 hektar dengan tekstur tanah berasal
dari pelapukan Gunung Batukaru yang
sangat subur dan sangat sesuai untuk
daerah pertanian. Daerahnya berbukit-
bukit, sehingga persawahan berbentuk
terasering. Dengan latar belakang
pegunungan, hamparan pemandangan
sawah yang luas dan terasering yang
berliku-liku menjadi daya tarik yang
sangat mempesona, sehingga Jatiluwih
terkenal sebagai salah satu daya tarik
wisata alam. Keindahan akan lebih
menarik sewaktu sawah sudah siap akan
ditanami (nyarang), sekitar bulan Januari-
Pebruari dan Juli-Agustus (dua musim
tanam). Dalam kondisi ini, pematang
sawah yang dirapikan dan petak sawah
yang saling susun sangat mempesona.
Satwa bangau dan itik dengan beberapa
pohon nyiur, pondok petani, bedugul,
sanggah cucuk, serta ulun carik berdiri di
tengah-tengah sawah menambah keasrian.
Keindahan alam, kesejukan, dan kealamian
Jatiluwih menjadikan daerah ini sangat
baik untuk kegiatan tracking. Wisatawan
yang melaksanakan kegiatan tracking ini
sangat menikmati suasana alamiah Desa
Jatiluwih. Di samping itu, kegiatan
tracking ini digunakan wisatawan untuk
mengenal tumbuh-tumbuhan khas daerah
pegunungan yang langsung diabadikan
dengan kamera dan ada yang direkam serta
untuk mengenal binatang-binatang yang
hidup di sekitar
Salah Satu Titik Pengamatan Keindahan
Persawahan Jatiluwih
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
59
Salah Satu Titik Pengamatan Keindahan
Persawahan Jatiluwih
areal persawahan yang memberikan
ketenangan, kenikmatan tersendiri, dan
rasa untuk lebih mencintai alam. Setiap
harinya, ada saja wisatawan yang
mengadakan kegiatan tracking. Mereka
langsung diantar oleh guide masing-
masing dan ditemani salah satu penduduk
lokal sebagai penunjuk jalan. Jalur-jalur
trekking yang ada di Desa Jatiluwih ada
beberapa jalur, akan tetapi yang paling
sering digunakan adalah dua jalur tracking,
yaitu: Jatiluwih - Besikalung dan Umakayu
(Gunung Sari) - Tamblingan.
Selain kegiatan trekking, terdapat pula
kegiatan bersepeda (cycling). Wisatawan
akan menikmati pemandangan alami,
suasana pedesaan yang kental, serta
kesegaran udara pedesaan. Di samping
tujuan berwisata, kegiatan cycling ini baik
untuk terapi jantung dan paru-paru. Untuk
di daerah Jatiluwih, jalur cycling yang
biasa digunakan adalah mulai dari Bedugul
kemudian menuju Besikalung dan akhirnya
finish di Jatiluwih
Permasalahan Lansekap di Jatiluwih
Keindahan bentang alam persawahan di
tempat ini bukan hanya diminati oleh
wisatawan domestik dan manca negara,
tetapi juga bagi para anggota tim panitia
pemilihan warisan alam dan budaya
international. Fakta yang terjadi di
lapangan, warga desa setempat dan pemilik
sawah tersebut belum mendapatkan hasil
dan keuntungan dari kegiatan wisata yang
dilakukan di daerahnya. Operator-operator
tour yang menjual paket wisata seperti
sightseeing, cycling dan trekking di Desa
Wisata Jatiluwih secara langsung
membawa pemandu wisata (tour guide),
keperluan makanan dan minuman dan
peralatan kegiatan wisata tersebut dari
kantornya masing-masing sehingga
masyarakat lokal sama sekali tidak
mendapatkan keuntungan dan sebaliknya
masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa
sampah dan jejak kaki para wisatawan
saja. (Astika, 2010)
Permasalahan sosial tersebut
tmempengaruhi pengembangan Lansekap
Alam Jatiluwih dalam konteks ekonomi
dan dan pariwisata.
Aksesibilitas
Permasalahan lain yang dapat dilihat di
kawasan wisata Jatiluwih adalah dari segi
akses. Mengingat akses sangat penting dan
merupakan sarana utama untuk mencapai
lokasi maka aksesibilitas menuju kawasan
seharusnya dijaga dengan baik. Kawasan
wisata Jatiluwih adalah kawasan yang
terletak di daerah pegunungan yang
berbukit-bukit. Kondisi jalan yang tidak
memadai, merupakan permasalahan yang
patut disorot dan segera ditindaklanjuti.
Untuk memperlancar akses wisatawan
dibutuhkan kondisi jalan yang baik dan
nyaman untuk dilalui. Sebagian besar
kondisi jalan di kawasan desa tradisional
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
60
Jatiluwih tergolong tidak memadai karena
kondisi perkerasan aspal pada jalan sudah
tidak layak lagi. Hal ini akan sangat
menyulitkan pengguna jalan baik itu
penduduk sekitar maupun wisatawan yang
datang. Jalan yang rusak dapat
menghambat mobilisasi pengguna jalan
sehingga menyebabkan terjadi
keterlambatan dan ketidaknyamanan. Hal
ini tidak hanya merugikan pariwisata
Jatiluwih, tetapi akan merugikan
perekonomian masyarakat sekitar karena
mobilitas merupakan faktor penting dalam
penunjang perekonomian.
Parkir
Faktor penunjang aksesibilitas adalah
sarana parkir. Keberadaan sarana parkir
sangatlah penting untuk menampung
kendaraan-kendaraan yang singgah dan
berhenti di kawasan Jatiluwih. Namun
kondisi di lapangan menunjukkan tidak
tersedianya sarana parkir di kawasan
Jatiluwih sehingga kendaraan-kendaraan
yang singgah dan berhenti menggunakan
bahu jalan sebagai parkir. Hal ini tentu
sangat mengganggu mobilisasi pengguna
jalan yang kehilangan kelancaran dalam
berkendara. Disamping memakan bahu
jalan dan sebagian badan jalan, parkir tepi
jalan di kawasan Jatiluwih ini juga sangat
mengganggu dari segi estetika. Image
kawasan wisata Jatiluwih yang sudah
terkenal di pelosok luar negeri akan
kehilangan citranya.
Re-konsepsi Lansekap Alam Jatiluwih
Penataan Sirkulasi Parkir
Penataan kawasan sirkulasi parkir menjadi
salah satu elemen penting dalam
menunjang kegiatan pariwisata di kawasan
Jatiluwih. Hal ini penting melihat bahwa
saat ini kesan yang tersampaikan kepada
pengunjung adalah kurang terurusnya
kawasan parkir. Para pengguna kendaraan
seakan dibiarkan untuk memanfaatkan
badan jalan untuk dijadikan lahan parkir.
Hal ini selain mengakibatkan jalur
sirkulasi menjadi terganggu, juga
mengakibatkan kesan yang tidak teratur.
Karena pada saat jumlah pengunjung dan
kendaraan meningkat, terkadang sampai
mengakibatkan kemacetan yang cukup
panjang. Image kawasan wisata Jatiluwih
yang sudah terkenal di pelosok luar negeri
akan kehilangan citranya karena
pemandangan parkir tepi jalan yang
semrawut sehingga kawasan menjadi tidak
indah lagi.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
61
Solusi yang dapat dilakukan antara lain
adalah menyediakan lahan parkir yang
memadai untuk menunjang kegiatan
pariwisata. Jika melihat eksisting kawasan
sekitar pusat dimana kegiatan pariwisata
yang paling tinggi, ada beberapa titik yang
dapat dimanfaatkan sebagai lahan parkir.
Namun karena kurangnya perhatian
penaatan yang baik yang pihak terkait,
lahan tersebut seakan tidak dapat
dimaksimalkan sebagai lahan parkir.
Untuk itulah penataan lahan parkir perlu
dilakukan untuk mengurangi dampak
negatif yang ditimbulkan akibat
keterbatasan lahan parkir. Jika melihat
lahan parkir yang ada, mengatasi
keseluruhan masalah mungkin sulit untuk
dilakukan. Namun untuk meminimalisir
dampak yang ditimbulkan, hal ini dapat
dijadikan sebagai sebuah solusi.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa
penataan kawasan parkir dilakukan dengan
memaksimalkan lahan yang ada.
Penambahan planter box dilakukan untuk
mengurangi kesan kaku pada kawasan
parkir. Selain tentunya berfungsi sebagai
peneduh. Sedangkan disisi lainnya
ditambahkan bale bengong sebagai tempat
untuk beristirahat dan menikmati
pemandangan yang mengarah ke
persawahan.
Eksisting Lahan Parkir
Konsep Penataan Lahan Parkir
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
62
Re-konsepsi dalam Kerangka
Pembangunan Berkelanjutan
Penjagaan lingkungan Kawasan
Lingkungan Lansekap Alam Jatiluwih
dengan peningkatan sarana sanitasi dan
persamapahan lingkungan. Mengingat
peranan wilayah hulu ini sebagai pemasok
kebutuhan aor untuk daerah setempat dan
daerah hilirnya terutama di Kecamatan
Penebel Kabupaten Tabanan. Pengeloaan
kualitas lingkungan selain peningkatan
infrastruktur juga pelestarian lingkungan
pertanian dengan mengurangi penggunaan
bahan-bahan kimia pada kawasan
pertanian dan perkebunan.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
kawasan Lansekap Alam Jatiluwih dalan
sektor pariwisata. Kontribusi agen-agen
perjalanan wisata terhadap desa Jatiluwih
dengan peningkatan tiket masuk namun
disertai juga dengan peningkatan kualitas
layanan. Dengan mengoptimalkan potensi
masyarakat setempat.
Penguatan eksistensi subak dengan
memberikan dukungan penuh terhadap
masyarakat pelaku. Pemerintah dalam hal
ini mempunyai peranan penting dalam
penyediaaan anggaran untuk kegiatan
sosial budaya masyarakat. Misal,
pemberian insentif bagi subak dengan
kondisi terbaik, sehingga menjadi pemacu
utntuk dilestarikan.
Selain kerangka aspek dalam
pembangunan berkelanjutan tersebut,
pelebitan masyarakat dalam segala
keputusan yang diambil oleh pemerintah
atau pemerhati terkait adalah keterlibatan
masyarakat setempat sebagai pelaku,
penggerak segala aktifitas mencakup
lingkungan, ekonomi dan sosial budaya.
Pentingnya pelibatan masyarakat karena
beberapa alasan berikut, (Wingert dalam
Mashud: 2006):1) Masyarakat yang
potensial dikorbankan atau terkorbankan
oleh suatu proyek pembangunan memiliki
Konsep Penataan Sirkulasi, Parkir, dan
Area untuk Menikmati Pemandangan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
63
hak untuk dikonsultasikan (right to be
consulted). 2) Merupakan strategi untuk
mendapatkan dukungan masyarakt (public
support). bila masyarakat merasa memiliki
akses terhadap pengambilan keputusan dan
kepedulian masyarakat kepada pada tiap
tingkatan pengambilan keputusan
didokumentasikan dengan baik, maka
keputusan tersebut akan memiliki
kredibilitas. 3) Sebagai alat untuk
mendapatkan masukan berupa informasi
dalam proses pengambilan keputusan;
sebab pemerintah dirancang untuk
melayani masyarakat, sehingga pandangan
dan preferensi dari masyarakat tersebut
adalah masukan yang bernilai guna
mewujudkan keputusan yang responsif.
4)Sebagai suatu cara untuk mengurangi
atau meredakan konflik melalui usaha
pencapaian konsensus dari pendapat-
pendapat yang ada. Sebab, bertukar pikiran
dengan masyarakat dapat menigkatkan
pengertian dan toleransi serta mengurangi
rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan
kerancuan (biasess). 5) Sebagai upaya
untuk "mengobati" masalah-masalah
psikologis masyarakat seperti halnya
perasaan ketidak berdayaan (sense of
powerlessness), tidak percaya diri dan
perasaan bahwa diri mereka bukan
komponen penting dalam masyarakat.
4. PENUTUP
Keberlanjutan dan penataan pada kawasan
lansekap alam Jatiluwih mutlak diperlukan
sebagai upaya perbaikan kondisi yang
belum optimal dan juga penjagaan
terhadap kulitas ruang dan lansekap yang
sudah terjaga. Dengan penekanan
pengembangan pada aspek lingkungan,
ekonomi serta sosial budaya di harapkan
ada pula sinergi antara pemerintah dan
masyarakat sehingga kelestarian dapat
terjaga dan pengembangan yang
mengabaikan aspek-aspek pembangunan
berkelanjutan diminimalisisr bahkan
ditiadakan. Kawasan lansekap Jatiluwih
wajib dijaga kualitas lingkunganya oleh
segenap masyarakat, utamanya pemerintah
dan masyarakat setempat. Terlebih dunia
telah mengakui bahwa sistem subak yang
ada disana merupakan warisan bagi dunia.
Sehingga pengembangan Jatiluwih ke
depan diharapkan mencerminkan kearifan
masyarakat Bali secara umum dalam
mengelola alam dan budaya yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Karyono, Tri Harso, Arsitektur Kota
Tropis Dunia Ketiga, 2005, Tehaka
Arkita, Jakarta
Raka Dalem, AA Gde, Filosofi Tri Hita
Karana dalam Industri Pariwisata, dalam
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit
Unud bekerja sama dengan PPLH
Universitas Udayana, Denpasar
Rumawan Salain, I Putu, Peran Kearifan
Lokal dalam Penataan Ruang di Bali,
dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit
Unud bekerja sama dengan PPLH
Universitas Udayana, Denpasar
Wiana, I Ketut, Konsep Hindu tentang
Pelestarian Lingkungan Hidup, dalam
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, 2007, UPT Penerbit
Unud bekerja sama dengan PPLH
Universitas Udayana, Denpasar
Materi Mata Kuliah Teori & Praktek
Perencanaan, 2011, PMA Unud, Syamsul
Alam P
Tugas Mata Kuliah Lansekap Arsitektur, I
Dewa Gede.Putra & Komang Aditya
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
64
Abryawan , Program Pascasarjana,
Universitas Udayana. 2013
Perpustakaan Kementrian Pekerjaan
Umum,
http://pustaka.pu.go.id/new/resensi-buku-
detail.asp?id=300 diakses 20 Desember
2011
Garis Besar Pedoman Ekowisata
Indonesia, www.ekowisata.info, diakses 25
Desember 2013.
Agus Muriawan Putra, 2012, Peningkatan
Pendapatan Masyarakat Jatiluwih Melalui
Pengembangan Cinderamata Lokal
Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana
Mashud, Mustain, Makalah Pendidikan
dan Pelatihan (Diklat) Penataan Ruang
Kota yang diselenggarakan oleh Fakultas
Teknis Sipil dan Perencanaan ITS tanggal
24 Agustus 2006 di FTSP-ITS Surabaya.
Buletin Konservasi, (http://dhony-
syach.blogspot.com/2011/08/tinjauan-
black-box-pengelolaan.html), diakses 25
Desember 2011
(http://they-
astika.blogspot.com/2011/10/dampak-
positif-negatif-pariwisata.html)
(http://fauzajaib.wordpress.com/2010/08/1
1/apa-yang-saya-ketahui-tentang-
arsitektur-lanskap/)
(http://www.scribd.com/doc/8623922/33/F
-Jenis-Jenis-Landscape-H-R-Bintarto )
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
65
PEMENUHAN KEBUTUHAN RUANGAN BADAN PELAYANAN
PERIZINAN TERPADU (BPPT) KABUPATEN BADUNG UNTUK
MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DALAM PELAYANAN
PERIZINAN DAN NON PERIZINAN DALAM SATU PINTU
I Kadek Pranajaya
Staf Pengajar Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: [email protected]
Abstrak
Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan
proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk
pelayanan melalui satu pintu. Gedung Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung berfungsi untuk mengantisipasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur
pemerintah khususnya pelayanan di bidang perizinan dan non perizinan masih dirasakan
belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Gedung ini juga memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang
dilaksanakan pada 1 (satu) pintu, dengan mekanisme, persyaratan, biaya, dan waktu yang
transparan untuk kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai tujuan
pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau serta
mampu meningkatkan hak- hak masyarakat dalam pelayanan publikserta terwujudnya
penerapan good governance. Ruangan yang tersedia saat ini dalam penyelenggaraan
pelayanan terpadu satu pintu sudah sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan oleh
pemerintah dan sesuai dengan harapan masyarakat. Ruangan yang tersedia difungsikan
untuk meningkatkan kinerja pemerintah Kabupaten Badung di dalam memberikan
pelayanan publik yang baik kepada masyarakat secara terpadu dalam satu pintu
Kata Kunci: Pemenuhan Kebutuhan Ruangan, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan
Efektifitas Pelayanan Perizinan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
66
1.1. PENDAHULUAN
1.1.1. Latar Belakang
Pelayanan publik adalah segala bentuk
jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang
publik maupun jasa publik yang pada
prinsipnya menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di
Pusat, di Daerah, dan di lingkungan
Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pada era globalisasi saat ini
pemerintahan berkewajiban melakukan
peningkatan kinerja birokrasi dalam
memberikan pelayanan publik yang baik
kepada masyarakat dengan metode dan
prosedur yang tepat, transparansi dan
akuntabilitas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat tersebut, Pemerintah
Kabupaten Badung melalui Perda Nomor
4 Tahun 2013 membentuk Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu yang
memberikan informasi dan pelayanan
perizinan untuk memberikan kepuasan
dan kemudahan bagi masyarakat. Gedung
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
berada di Kawasan Puspem Badung
sebagai wujud penerapan good
governance dan memberikan pelayanan
yang cepat, mudah, murah, transparan,
pasti, dan terjangkau yang dilaksanakan
secara terpadu dalam satu pintu.
Pembangunan gedung ini berfungsi juga
untuk mengantisipasi
penyelenggaraan pelayanan publik oleh
aparatur pemerintah khususnya pelayanan
di bidang perizinan dan non perizinan
masih dirasakan belum sesuai dengan
yang diharapkan oleh masyarakat.
Tulisan ini adalah untuk mengetahui
apakah ruangan-ruangan tersedia saat ini
di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung telah sesuai dengan
standart dan persyaratan yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam memberikan
pelayanan perizinan dan non perizinan 1
(satu) pintu, dengan mekanisme,
persyaratan, biaya, dan waktu yang
transparan sehingga tercapai tujuan
pelayanan publik yang cepat, tepat,
murah, mudah, transparan, pasti dan
terjangkau, serta mampu meningkatkan
hak- hak masyarakat dalam pelayanan
publik.
1.1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil
dari tulisan ini adalah
1. Apakah persyaratan dan standar
ruangan yang dibutuhkan dalam
penyelenggaraan pelayanan Perizinan
satu pintu?
2. Apakah ruangan yang tersedia di
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung telah sesuai
dengan ketentuan yang
dipersyaratkan oleh pemerintah?
1.1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui persyaratan dan
standar ruangan yang dibutuhkan
dalam penyelenggaraan pelayanan
Perizinan satu pintu
2. Untuk mengetahui ruangan yang
telah tersedia di Badan Pelayanan
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
67
Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung
Manfaat Penelitian
1. Secara akademik, agar dapat
memperkaya dan menambah
wawasan mengenai persyaratan dan
standar ruangan yang dibutuhkan
dalam pedoman penyelenggaraan
pelayanan Perizinan satu pintu
2. Secara aplikasi studi, agar dapat
memberikan masukan bagi
pemerintah, masyarakat dan
perencana dalam membuat sebuah
perencanaan Gedung Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di
Kabupaten/Kota
1.1.4. Metode Penelitian
Pengumpulan data primer dilakukan
melalui keterlibatan penulis dalam
membuat perencanaan Gedung Badan
Pelayanan Perizinan Satu Pintu
Kabupaten Badung sehingga sangat
memudahkan penulis dalam mengkaji
realita yang ada. Pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui studi
literatur dan peraturan yang terkait.
1.2. Tinjauan Literatur
Menurut Undang-Undang Nomor 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa dan/atau pelayanan
administratif yang diselenggarakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang publik maupun jasa publik
yang pada prinsipnya menjadi
tanggungjawab dan dilaksanakan oleh
instansi pemerintah di pusat, di daerah,
dan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,
dalam upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelak-
sanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Ratminto & Winarsih, 2005).
Pelayanan publik bertujuan untuk
kesejahteraan masyarakat yang
diselengggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Menurut wikipedia pelayanan
publik adalah istilah untuk layanan yang
disediakan oleh pemerintah kepada warga
negaranya, baik secara langsung (melalui
sektor publik) atau dengan membiayai
pemberian layanan swasta.
Penyelenggaraan pelayanan harus
memenuhi beberapa prinsip antara lain:
a. Kesederhanaan, yakni prosedur
pelayanan publik tidak berbelit-belit,
mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan.
b. Kejelasan, mencakup hal-hal sebagai
berikut:
- Persyaratan teknis dan administratif
pelayanan publik.
- Unit kerja/pejabat yang berwenang
dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan dan
penyelesaian
keluhan/persoalan/sengketa dalam
pelaksanaan pelayanan publik.
- Rincian biaya pelayanan publik dan
tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu. Pelaksanaan
pelayanan publik dapat diselesaikan
dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
68
d. Akurasi, maksudnya adalah produk
pelayanan publik diterima dengan
benar, tepat dan sah.
e. Keamanan, proses dan produk
pelayanan publik memberikan rasa
aman dan kepastian hukum.
f. Tanggung jawab, pimpinan
penyelenggara pelayanan publik atau
pejabat yang ditunjuk bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pelayanan
dan penyelesaian keluhan/persoalan
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana,
tersedianya sarana dan prasarana kerja,
peralatan kerja dan pendukung lainnya
yang memadai termasuk penyediaan
sarana teknologi telekomunikasi dan
informatika (telematika).
h. Kemudahan akses, yakni tempat dan
lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh
masyarakat dan dapat memanfaatkan
teknologi telekomunikasi dan
informatika.
i. Kedisiplinan, kesopanan dan
keramahan, yakni pemberi pelayanan
harus bersikap disiplin, sopan dan
santun, ramah, serta memberikan
pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan, lingkungan pelayanan
harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih, rapi,
lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi dengan fasilitas pendukung
pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat
ibadah dan lain- lain.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang
selanjutnya disingkat PTSP adalah
pelayanan secara terintegrasi dalam satu
kesatuan proses dimulai dari tahap
permohonan sampai dengan tahap
penyelesaian produk pelayanan melalui
satu pintu.
Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri
Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu adalah meningkatkan kualitas
layanan publik dan memberikan akses
yang lebih luas kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik. Sasaran
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu adalah terwujudnya pelayanan
publik yang cepat, murah, mudah,
transparan, pasti dan terjangkau dan
meningkatnya hak-hak masyarakat
terhadap pelayanan publik.
Penyederhanaan penyelenggaraan
pelayanan mencakup :
a. Pelayanan atas permohonan perizinan
dan non perizinan dilakukan oleh
PPTSP;
b. percepatan waktu proses penyelesaian
pelayanan tidak melebihi standar
waktu yang telahditetapkan dalam
peraturan daerah;
c. kepastian biaya pelayanan tidak
melebi hi dari ketentuan yang telah
ditetapkan dalam peraturandaerah;
d. kejelasan prosedur pelayanan dapat
ditelusuri dan diketahui setiap tahapan
proses pemberian perizinan dan non
perizinan sesuai dengan urutan
prosedurnya;
e. mengurangi berkas kelengkapan
permohonan perizinan yang sama
untuk dua atau Lebih permohonan
perizinan;
f. pembebasan biaya perizinan bagi
Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM)yang ingin memulai usaha
baru sesuai dengan peraturan yang
berlaku; dan pemberian hak kepada
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
69
masyarakat untuk memperoleh
informasi dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pelayanan
Perizinan adalah segala bentuk
persetujuan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah yang
memiliki kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
sedangkan non perizinan adalah segala
bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas
fiskal, dan informasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pembentukan perangkat
daerah yang menyelenggarakan
pelayanan terpadu satu pintu wajib
berpedoman pada peraturan
perundangundangan yang mengatur
mengenai pembentukan organisasi
perangkat daerah dan harus memiliki
sarana dan prasarana yang berkaitan
dengan mekanisme pelayanan seperti
loket/ruang pengajuan permohonan dan
informasi, tempat/ruang pemrosesan
berkas, tempat/ruang
pembayaran,tempat/ruang penyerahan
dokumen dan tempat/ruang penanganan
pengaduan.
Lingkup tugas PPTSP meliputi
pemberian pelayanan atas semua bentuk
pelayanan perizinan dan non perizinan
yang menjadi kewenangan Kabupaten /
Kota. Pelayanan Perizinan Terpadu Satu
Pintu mengelola administrasi perizinan
dan non perizinan dengan mengacu pada
prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi,
dan keamanan berkas. Perangkat Daerah
yang secara teknis terkait dengan PPTSP
berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk melakukan pembinaan teknis dan
pengawasan atas pengelolaan perizinan
dan non perizinan sesuai dengan bidang
tugasnya.
Pengolahan dokumen persyaratan
perizinan dan non perizinan mulai dari
tahap permohonan sampai dengan
terbitnya dokumen dilakukan secara
terpadu satu pintu. Proses
penyelenggaraan pelayanan perizinan
dilakukan untuk satu jenis perizinan
tertentu atau perizinan parallel. PPTSP
wajib menyediakan dan menyebarkan
informasi berkaitan dengan jenis
pelayanan dan persyaratan teknis,
mekanisne, penelusuran posisi dokumen
pada setiap proses, biaya dan waktu
perizinan dan non perizinan, serta tata
Cara pengaduan, yang dilakukan secara
jelas melalui berbagai media yang mudah
diakses dan diketahui oleh masyarakat.
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
wajib menyediakan sarana pengaduan
dengan menggunakan media yang
disesuaikan dengan kondisi daerahnya
yang memilik tujuan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum
kepada masyarakat, memperpendek
proses pelayanan, mewujudkan proses
pelayanan yang cepat, mudah, murah,
transparan, pasti dan terjangkau.
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
dilaksanakan dengan prinsip keterpaduan,
ekonomis, koordinasi; pendelegasian atau
pelimpahan wewenang, akuntabilitas; dan
aksesibilitas.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Nomor 4 Tahun 2013 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Kabupaten Badung
memuat susunan organisasi Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung terdiri dari Kepala Badan, Bagian
Tata Usaha (Sub Bagian Umum, Sub
Bagian Kepegawaian,Sub Bagian
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
70
Keuangan), Bidang Bina Program dan
Informasi, Bidang Pelayanan Perizinan
Pemerintahan dan Pembangunan, Bidang
Pelayanan Perizinan Ekonomi,
kesejahteraan Rakyat dan Non Perizinan,
Bidang Pengaduan Monitoring dan
Evaluasi, Tim Teknis dan Kelompok
Jabatan Fungsional.
1.3. Pembahasan
1.3.1. Tinjauan Umum Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung
Gedung Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Badung berada di
lokasi kawasan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Badung, dibangun di atas
lahan seluas 16.935,523 m2
. Adapun
batas-batas site yang telah ditentukan
yaitu sebelah utara: tempat parkir Gedung
DPRD, sebelah timur: Gedung Kantor
Pendidikan, Sosial dan Budaya sebelah
Selatan: Persawahan dan sebelah Barat:
lahan losong (Rencana Pembangunan
Rumah Dinas)
LOKASI
Gedung
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
71
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung menyelenggarakan
pelayanan perizinan dan non perizinan
yang proses pengelolaannya mulai dari
tahap permohonan sampai ke tahap
terbitnya dokumen dilakukan secara
terpadu dalam satu pintu dan satu tempat.
Dalam rangka meningkatkan proses
pelayanan perizinan dan non perizinan
serta mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi telah
didukung oleh sistem birokrasi dalam
pelayanan perizinan dan non perizinan
yang efektif dan efisien dan telah
ditetapkannya Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2013
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Badung.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung memiliki Visi
terwujudnya pelayanan prima
berdasarkan Tri Hita Karana dan
memiliki Misi, meningkatkan sumber
daya manusia yang berkualitas, jujur, dan
bertanggung jawab, meningkatkan mutu
pelayanan melalui administrasi yang
lancar, cepat, tepat dan transparan,
memberikan kepastian hukum perizinan
dan non perizinan di Kabupaten Badung
serta mengembangkan sistem informasi
pelayanan berbasis teknologi informasi
dan komunikasi (e-government).
Perizinan adalah pemberian legalitas
kepada orang atau pelaku usaha/kegiatan
tertentu, baik dalam bentuk izin maupun
tanda daftar usaha sedangkan Non
Perizinan adalah pemberian legalitas
kepada orang atau pelaku usaha /
kegiatan tertentu, selain dalam bentuk
izin maupun tanda daftar usaha, antara
lain sertifikat, rekomendasi, surat
persetujuan, dan sejenisnya.
Tugas Pokok adalah melaksanakan
koordinasi dan menyelenggarakan
pelayanan, administrasi, integrasi,
singkronisasi, simplikasi, keamanan dan
kepastian. Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Badung memiliki
fungsi melaksanakan penyusunan
program, penyelenggaraan pelayanan
administrasi perizinan dan non perizinan,
pelaksanaan koordinasi proses pelayanan
perizinan, menerima pengaduan,
monitoring dan evaluasi terhadap
pelayanan perizinan dan non perizinan,
melaksanakan pelayanan teknis
administrasi badan dan pelaksanaan tugas
lain yang diberikan oleh Bupati sesuai
tugas pokok dan fungsinya
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
72
Pendelegasian wewenang pelayanan
perizinan dan non perizinan oleh Bupati
Badung meliputi :
a) menetapkan mekanisme perizinan
mulai dari permohonan sampai dengan
penyerahan izin / non izin kepada
pemohon sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b) menetapkan kelengkapan persyaratan
berkaitan dengan kegiatan administrasi
perizinan dan non perizinan;
c) menandatangani perizinan dan non
perizinan atas nama Bupati;
d) memberikan kelancaran pelayanan
perizinan dan non perizinan dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat;
dan
e) melakukan pemungutan retribusi
terkait pelayanan perizinan dan non
perizinan yang diberikan sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan.
Kepala Badan menandatangani perizinan
dan non perizinan dapat melakukan
koordinasi dan konsultasi dengan instansi
terkait.
I. Lantai Basement
1. Parkir Sepeda Motor
2. Parkir Mobil
3. Ruang Genzet
4. Ruang LVMDP
5. Ground Tank
6. Ruang Pompa
7. Ruang Teknisi
8. Toilet
Area basement merupakan area Parkir
mobil dan sepeda serta dilengkapi
fasilitas ruang MEP dan publik area
Sumber: http://bppt.badungkab.go.id/hal-struktur-organisasi.html
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
73
1.3.2. Tinjauan Kebutuhan Ruangan
Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Badung
Lantai 2 1. Ruang Kepala Badan :
- Ruang Tamu
- Ruang Sekpri - Ruang Rapat Kecil - Toilet
2. Bagian Tata Usaha a. Ruang Kabag Tata Usaha :
- Ruang Tamu - Ruang Rapat Kecil - Ruang Sekretaris - Ruang Kerja
b. Sub Bagian Umum : - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Umum - Ruang Staff
c. Sub Bagian Kepegawaian: - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Kepegawaian - Ruang Staff
d. Sub Bagian Keuangan - Ruang Tamu - Ruang Kasubag. Keuangan
Orientasi bangunan adalah ke dalam dengan
membuat inner plaza sebagai penerjemahan
konsep natah pada Arsitektur Tradisional Bali
yang umum dipakai untuk menyatakan suatu
halaman di tengah-tengah suatu rumah yang
dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Konsep
Natah ini dibuat merupakan keselarasan dengan
bangunan yang telah terbangun di Kawasan
Puspem Badung.
Secara filosofis, natah merupakan media
pertemuan antar unsur akasa (langit) yang bersifat
purusa (jantan) dan unsur pretiwi (bumi) yang
bersifat pradana (betina). Setiap pertemuan kedua
unsur ini menghasilkan cakal bikal suatu bibit
kehidupan yang baik.
Lantai 1
1. Kanopi
2. Ruang Tunggu/Lobby
3. Ruang Informasi
4. Loket Penerimaan Berkas Perijinan
5. Loket Penerimaan berkas Non
Perijinan
6. Customer Service dan Helping
Desk
7. Loket Pembayaran/ Bank
8. Loket Pengambilan Berkas
9. Ruang Informasi dan data
10. Ruang Advice Planning dan ITR
11. Ruang Pengaduan
12. Ruang Tunggu
13. Ruang Bermain anak
14. Komputer Data dan Brosur
15. Meja Tulis dan Form Perijinan
16. Toilet
17. Pantry
Sumber Gambar: PT. Narada Karya
Sumber Gambar: PT. Narada Karya
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
74
Beberapa ruangan yang tersedia di
Gedung Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Badung telah
memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan
oleh pemerintah.
Di lantai 1 sudah tersedia beberapa sarana
prasarana yang berkaitan dengan
mekanisme pelayanan perizinan seperti
loket informasi, loket penerimaan berkas
Perizinan dan non Perizinan,
tempat/ruang pemrosesan berkas,
tempat/ruang pembayaran/bank,
tempat/ruang penyerahan dokumen,
customer service dan helping desk dan
tempat/ruang penanganan pengaduan.
Lantai 3
1. Ruang Kepala Bidang
Pelayanan Program dan
dan Informasi
- R. Staff
2. Ruang Kepala Bidang
Pelayanan Pengaduan dan
Evaluasi
- R. Staff
3. Klinik Gambar
4. Ruang Tim Teknis
5. Ruang Arsip Besar
6. Ruang Rapat Bersama
7. Ruang tunggu
8. Toilet & Janitor
9. R. Control
10. Pantry
Sumber Gambar: PT. Narada Karya
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
75
Loket Perizinan Loket Non Perizinan
Meja tulis dan Formulir Persyaratn Ijin Ruang Informasi
Customer Service dan Helping Desk
Loket Pembayaran/ Bank
Ruang Pengaduan
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
76
Proses pelayanan perizinan terpadu di
Kabupaten Badung telah mengacu pada
prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi,
dan keamanan berkas dengan penyediaan
beberapa ruangan yang telah
direncanakan sebelumnya dengan proses
pelayanan terpadu satu pintu dari proses
informasi, tahap permohonan sampai
dengan tahap penyelesaian produk sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan
dengan mekanisme proses perizinan
dengan pemohon memperoleh informasi
pada petugas informasi, pemohon
mengajukan dokumen permohonan
selanjutnya melakukan vertifikasi sesuai
ketentuan yang berlaku. Setelah dokumen
permohonan dinyatakan lengkap dan
benar, kemudian mengajukan kepada
Kepala Bidang serta memberikan resi
tanda terima berkas kepada pemohon.
Langkah selanjutnya Kepala Bidang
menugaskan Tim Teknis melakukan
peninjauan lapangan dan Tim teknis
membuat kajian-kajian/analisis hasil
peninjauan lapangan dilaporkan kepada
Kepala Bidang. Kepala Bidang
menindaklanjuti hasil kajian/analisis
kepada Kepala Badan dan selajutnya
Kepala Badan menugaskan untuk
membuat surat izin/surat penolakan izin.
Kepala Bidang menugaskan tim teknis
untuk menyampaikan kepada pemohon
pembayaran penerbitan surat izin sesuai
ketentuan berlaku. Kepala Badan
menandatangani surat izin/surat
penolakan izin serta memerintahkan
distribusi surat kepada pemohon. Kepala
Bidang memerintahkan petugas khusus
untuk meregister surat izin/surat
penolakan Izin dan menyerahkan kepada
pemohon (khusus untuk Surat Izin harus
melampirkan bukti pembayaran).
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung telah menyediakan
dan menyebarkan informasi berkaitan
dengan jenis pelayanan dan persyaratan
teknis, mekanisne, penelusuran posisi
Ruang Informasi
Ruang Pengaduan
Toilet yang bersih
Alur Pengurusan Izin dan Non Perizinan
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung
Sumber: http://bppt.badungkab.go.id/hal-mekanisme-izin.html
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
77
dokumen pada setiap proses, biaya dan
waktu perizinan dan non perizinan, serta
tata cara pengaduan, yang dilakukan
secara jelas melalui berbagai media yang
mudah diakses dan diketahui oleh
masyarakat baik melalui web maupun
yang telah terpampang di Gedung.
Saat ini proses perizinan dan non
perizinan di Kabupaten Badung sangat
sederhana, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat dengan
mekanisme satu pintu dengan kejelasan
persyaratan teknis dan administratif dan
pejabat terkait telah memberikan
pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan/sengketa dengan
menyediakan ruang pengaduan.
Pelaksanaan pelayanan publik dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan dengan produk
pelayanan publik diterima dengan benar,
tepat dan sah.
Kelengkapan sarana dan prasarana telah
tersedia dengan peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai
termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika
(telematika). Kemudahan akses dengan
keberadaan gedung dengan lokasi yang
memadai, mudah dijangkau oleh
masyarakat dan dapat memanfaatkan
teknologi telekomunikasi dan
informatika. Pelayanan pegawai juga
sangat sopan dan santun, ramah, serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
Selain itu kenyamanan juga terasa di
Web BPPT Kabupaten Badung
Informasi Perizinan yang terpampang di dinding
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
78
gedung tersebut dengan lingkungan
pelayanan harus tertib, teratur, disediakan
ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi,
lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi dengan fasilitas pendukung
pelayanan lainnya yang cukup seperti
parkir, toilet, tempat bermain anak dan
lain-lain. Inner Plaza yang berada di
tengah-tengah bagunan lantai 1 (satu)
sebagai sirkulasi udara sehingga
bangunan area loket pelayanan perizinan
dan non perizinan serta loket
pengambilan berkas di lantai 1 tanpa
menggunakan AC.
1.4. Simpulan
1. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung telah memenuhi
persyaratan dan standar ruangan yang
dibutuhkan dalam pedoman
penyelenggaraan pelayanan perizinan
satu pintu yang dikeluarkan oleh
pemerintah
2. Ruangan-ruangan yang disediakan di
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung saat ini telah
meningkatkan kualitas layanan publik
dan memberikan akses yang lebih
luas kepada masyarakat
1.5. Daftar Pustaka
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 63 Tahun
2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
(LKjIP) Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu kabupaten Badung, 2015
Isnalita & Wiwik Supratiwi, Model
Pelayanan Investasi Terpadu Satu
Pintu, Jurnal Akuntansi Keperilakuan
Indonesia, Program Studi Magister
Akuntansi Pasca Sarjana UPN
Veteran, 2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24
Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu
Ratminto & Winarsih. 2005. Manajemen
Pelayanan, Jogjakarta: Pustaka
Belajar.
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 97 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggraan Pelayanan terpadu
Satu pintu
Peraturan Bupati Badung Nomor 32
Tahun 2013, tentang Pendelegasian
Wewenang Pelayanan Perizinan dan
Non Perizinan Kepada Kepala Badan
Pelayanan Perizinan terpadu,
Kabupaten Badung
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
79
Relasi antara Elemen Dekoratif Interior Berbasis Kain Tenun
Gringsing Bali dengan Pengguna Fasilitas Relaksasi
(Studi Kasus : Spa House of Mom n Jo Bali)
Putu Surya Triana Dewi
1, Pribadi Widodo
2, & Achmad Haldani
3
1Dosen Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain Bali, Jalan Tukad Batanghari No. 29,
Denpasar, Bali, Indonesia 2KK Manusia dan Ruang Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Jalan
Ganesa No. 10, Bandung 40132, Indonesia. 3KK Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa
No. 10, Bandung 40132, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak. Bali tersohor akan destinasi wisata spa-nya, namun sayangnya peranan unsur-unsur visual
pembentuk atmosfer ruang spa di Bali belum optimal meningkatkan kondisi relaks pengguna.
Upaya pencapaian relaksasi pada fasilitas spa lebih dititikberatkan pada ‘servis’ dibanding
aspek lainnya. Penelitian ini berupaya mengkolaborasikan unsur tradisi Bali ke dalam interior
spa modern untuk menghasilkan respon positif terhadap pencapaian relaksasi pengguna spa.
Unsur tradisi Bali yang digunakan adalah kain tenun Gringsing Bali yang memiliki motif
dasar tapak dara, simbol keseimbangan alam semesta. Secara mitologi Bali khususnya
Tenganan Pegringsingan, kain Gringsing tersebut dijadikan sebuah reminder bahwa hidup itu
harus seimbang; seperti halnya pesan yang tersirat pada selembar kain Gringsing. Perasaan
relaks tidak akan tercapai apabila tidak terjadi keseimbangan antara kebugaran sukma dan
raga. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ruang treatment spa yang menggunakan elemen
dekoratif Gringsing lebih berhasil meningkatkan perasaan rileks pengguna secara signifikan
dibandingkan ruang treatment spa tanpa elemen dekoratif Gringsing. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa elemen interior berbasis kain Gringsing relevan jika diaplikasikan pada
fasilitas relaksasi spa.
Kata kunci: Kain Gringsing, Interior Spa, Relaksasi, Sugestif.
Abstract
Bali was famous for its spa destination, but unfortunately the visual elements of many spa in
Bali has not been optimally improve the user relaxed state. Efforts to achieve relaxation in
the spa facilities more focused on 'services' than other aspects. This research tried to
collaborate on elements of Balinese tradition into a modern spa interior to produce a positive
response of relaxation achievement as well as efforts to prove that traditional artifacts
capable of generating relax feels when applied into spa room. Elements of tradition that is
used is Gringsing textile
which has a basic motif of tapak dara, a symbol of the balance of the universe. In the
mythology of Bali especially Tenganan Pegringsingan, Gringsing textile was used as a
reminder that life must be balanced; as well as between the lines on a piece of Gringsing. A
relaxed state can’t be achieved if there is no balance between body and spirit.The experiment
results showed that the spa room which uses Gringsing as decorative elements more
successful in increasing feelings of relaxation significantly compared to the spa room without
Gringsing elements. It concluded that the interior elements based Gringsing textile relevant
when applied to relaxation facilities.
Keywords: Gringsing Textile, Spa Interior, Relaxation, Suggestive.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
80
1. PENDAHULUAN
Saat ini spa sudah menjadi gaya hidup
masyarakat kota, salah satu alternatif
untuk kebutuhan relaksasi masa kini. Spa
di Bali telah tumbuh menjadi fasilitas
publik yang banyak diminati masyarakat
konsumen. Di Indonesia, keminatan ini
mayoritas disebabkan oleh ‘servis’ yang
diberikan spa kepada pengguna, bukan
oleh lingkungan fisik ruang interior.
Padahal fasilitas relaksasi haruslah
didukung oleh desain yang bersifat
membantu pemulihan penggunanya;
banyak unsur desain pada interior yang
bisa dimanfaatkan dalam proses
penciptaan ketenangan dan relaksasi [1].
Beranjak dari latar belakang tersebut,
penulis berinisiatif untuk mencoba
memasukkan unsur tradisi ke dalam desain
interior spa modern. Terlebih merujuk
pada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, Zein [2] mengungkapkan
bahwa karakter ruang spa yang
menggunakan artefak tradisional sebagai
elemen pembentuk ruang lebih berhasil
meningkatkan daya relaksasi.
Kain Gringsing Bali, sebagai salah satu
artefak tradisional, menurut keyakinan
mitologis masyarakat Bali, khususnya Bali
Tenganan, diyakini memiliki spirit
keseimbangan. Gringsing merupakan kain
tenun ikat tradisional dari Desa Tenganan
Pegringsingan, Karangasem, Bali. Kata
Gringsing berasal dari gering yang berarti
'sakit' dan sing yang berarti 'tidak',
sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak
sakit', atau singkatnya sebagai penolak
bala. Kain Gringsing dibuat melalui teknik
dobel ikat dan menggunakan bahan-bahan
serta pewarna dari alam. Menelusuri lebih
jauh bagaimana persepsi masyarakat
Tenganan Pegringsingan terhadap kain
Gringsing, ternyata kain tradisional ini
tidak hanya dimaknai sebagai penolak bala
secara dangkal, tidak serta merta dipakai
layaknya obat yang efeknya diharapkan
instan. Kain Gringsing memiliki motif
dasar tanda tambah (tapak dara) yang
memiliki makna keseimbangan alam
semesta. Masyarakat Tenganan
Pegringsingan lebih memandang kain
Gringsing ini sebagai reminder yang
mengingatkan masyarakat Tenganan
Pegringsingan untuk menjaga
keseimbangan dalam kehidupannya sehari-
hari agar terhindar dari marabahaya. Hal
ini menguatkan asumsi mengapa kain
Gringsing mampu menciptakan perasaan
relaks yang diharapkan dari sebuah
fasilitas spa dengan filosofi keseimbangan
yang dimilikinya. Perasaan relaks tidak
akan tercapai apabila tidak terjadi
keseimbangan antara kebugaran sukma
dan raga [3].
House of Mom n Jo sebagai studi kasus
merupakan salah satu spa modern di kota
Denpasar. Mom n Jo dipilih dengan
pertimbangan bahwa spa ini merupakan
salah satu private spa modern yang cukup
ramai dikunjungi sehingga efektif untuk
penelitian ini. Jika spa ini baru bisa
menjawab kebutuhan relaksasi secara
lahiriah, maka jalinan filosofi yang
dimiliki motif Gringsing inilah nantinya
diasumsikan menjadi sugestif untuk
menjawab kebutuhan batiniah pengguna.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan
elemen dekoratif berbasis kain Gringsing
Bali pada interior ruang treatment spa,
sehingga dapat diketahui relasi antara
elemen tersebut dengan pencapaian
relaksasi pengguna. Penelitian ini
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
81
diharapkan memberikan gambaran yang
jelas bagi para praktisi desain dan
masyarakat luas dalam penerapan artefak
tradisi pada interior agar tidak menurunkan
makna filosofis dan prestise yang
terkandung di dalamnya.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif - kuantitatif dengan metode
eksploratori deskriptif dan eksperimen.
Eksploratori deskriptif dilakukan sebagai
langkah awal untuk menginterpretasi data
dalam rangka menggali lebih dalam makna
filosofis dari motif Gringsing. Langkah
lanjutan berupa tahap eksperimen untuk
menguji apakah hasil generalisasi dan
temuan tahap eksploratori deskriptif
dinyatakan valid dapat mempengaruhi
pengunjung dalam mengambil keputusan.
Tahapan ini dilakukan dengan
mengaplikasikan filosofi dari kain
Gringsing Bali beserta teori-teori
pendukung ke dalam perancangan interior
yang berbasis pada ruang treatment spa
yang dijadikan studi kasus. Hasil
perancangan berupa gambar 2D dan 3D.
Simulasi visual berupa format 3D
digunakan sebagai bahan kuisioner kepada
responden. Lalu kemudian dilanjutkan
pada tahapan membandingkan antara
interior ruang treatment yang dimodifikasi
menggunakan dekoratif Gringsing dengan
interior ruang treatment tanpa dekoratif
Gringsing melalui media kuisioner. Pada
penelitian ini, objek pengukurannya adalah
perasaan rileks yang dialami pengguna
pada masing-masing ruang treatment spa,
sedangkan parameter pengukurannya
adalah indikator perasaan rileks yang
diwakili oleh beberapa kata sifat seperti
nyaman, hangat, betah, sejuk, teduh,
harmonis, tentram, dan menyenangkan.
Pengolahan data menggunakan SPSS jenis
Paired Sample t Test untuk menguji dua
buah sampel berpasangan; sampel dengan
subjek yang sama namun mengalami dua
perlakuan yang berbeda. Tahap analisis
akhir dari penelitian ini untuk mengetahui
relasi antara elemen dekoratif interior
berbasis Gringsing dengan pengguna
ruangan fasilitas relaksasi spa sehingga
diketahui apakah spirit di dalamnya bisa
memberikan respon positif dalam rangka
memenuhi fungsi relaksasi yang
diharapkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bell [4] menyebutkan ada empat macam
stimulus yang memegang peranan penting
dalam mempengaruhi psikologis manusia
akan ruang, yaitu visual, akustik, olfaktori,
dan termal. Beberapa teori membuktikan
bahwa dari berbagai macam stimulus yang
ada, stimulus visual mempunyai
kemampuan paling dominan dalam
menciptakan persepsi seseorang, sehingga
dalam penelitian ini dibatasi pada
eksperimen yang sifatnya visual, meskipun
banyak aspek yang dimiliki sebuah
ruangan spa untuk menciptakan perasaan
rileks selain secara visual.
Gringsing memiliki konsepsi bentuk dasar
Tapak Dara dan menggunakan warna Tri
Dhatu. Tapak Dara merupakan simbol
keseimbangan alam semesta beserta
isinya; simbol penyatuan dwalitas
kehidupan (Rwabhineda – siang malam,
laki-laki perempuan, baik buruk) untuk
mencapai harmonisasi. Keseimbangan
yang dimaksud adalah keseimbangan
secara vertikal (ke atas sebagai lambang
untuk berbakti kepada Tuhan, ke bawah
sebagai wujud kasih sayang pada semua
makhluk) dan horizontal (wujud
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
82
pengabdian yang bersifat timbal balik
kepada sesama umat manusia). Sedangkan
Tri Dhatu adalah sebutan untuk tiga
elemen warna yang dipakai dalam kain
Gringsing, yaitu putih/kuning, merah, dan
hitam yang dibuat melalui pewarnaan
alam. Menurut salah seorang sesepuh
masyarakat Tenganan, Nyoman Sadra [3],
secara makrokosmos putih/kuning
melambangkan oksigen atau udara yang
ada di alam, merah melambangkan panas
atau energi, dan hitam melambangkan air.
Hal yang sama secara mikrokosmos juga
ada dalam tubuh manusia. Jika ketiganya
tidak seimbang, maka alam atau tubuh kita
akan menjadi sakit. Motif Gringsing
terpilih lalu di-tracing ke dalam bentuk 2D
dan 3D dengan mempertahankan warna
dan bentuk aslinya. Selanjutnya diterapkan
sebagai elemen dekoratif dinding pada
ruang treatment spa eksisting yang telah
dievaluasi dalam bentuk wall hanging dan
laser cut wall art panel. Ruang spa
treatment yang dimodifikasi inilah
kemudian diujicobakan pada tahap
eksperimen.
Ada dua stimulus utama pada penelitian
ini, dimana keduanya merupakan stimulus
visual, diantaranya interior ruang spa
treatment single Mom n Jo yang
dimodifikasi dengan elemen interior
berbasis Gringsing (A) dan interior ruang
spa treatment single Mom n Jo yang
dimodifikasi tanpa menggunakan elemen
interior barbasis Gringsing (B). Variasi
pada stimulus ini diharapkan dapat
menghasilkan perbedaan persepsi yang
signifikan pada responden sehingga bisa
dinilai apakah penambahan elemen interior
berbasis Gringsing ini bisa menimbulkan
respon positif atau tidak.
Stimulus (A) Interior ruang spa treatment
single Mom n Jo yang dimodifikasi dengan
elemen dekoratif interior berbasis Gringsing
(data penulis, 2016)
Stimulus (B) Interior ruang spa treatment
single Mom n Jo tanpa elemen dekoratif
interior berbasis Gringsing (data penulis,
2016)
Eksperimen dilakukan dengan
menyebarkan kuisioner online, lalu data
responden diolah menggunakan program
SPSS jenis Paired Sample t Test. Pada
penelitian ini, Paired Sample t Test
mengacu pada hipotesis berikut,
Ho : tidak ada perbedaan persepsi
yang dirasakan pada ruang spa
dengan elemen dekoratif Gringsing
dan ruang spa tanpa elemen
dekoratif Gringsing.
H1 : ada perbedaan persepsi yang
dirasakan pada ruang spa dengan
elemen dekoratif Gringsing dan
ruang spa tanpa elemen dekoratif
Gringsing.
H1 merupakan hipotesis alternatif
yang menunjukkan adanya
perubahan yang signifikan.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
83
Kriteria Pengambilan Keputusan:
Jika nilai signifikan/ P-Value > 0.05; maka
Ho diterima.
Jika nilai signifikan/ P-Value < 0.05; maka
Ho ditolak, H1 diterima.
Maka dalam penelitian ini, Paired Sample
t-Test ini diujikan pada delapan variabel
indikator rileksasi diantaranya nyaman,
hangat, betah, sejuk, teduh, harmonis,
tentram, dan menyenangkan.
Variabel
Mean
Signifikansi dg Gringsing tanpa Gringsing
Nyaman 3.40 2.60 0.000
Hangat 3.60 2.60 0.000
Betah 3.32 2.36 0.000
Sejuk 3.08 2.24 0.000
Teduh 3.20 2.20 0.000
Harmonis 3.44 2.40 0.000
Tentram 3.36 2.44 0.000
Menyenangkan 3.52 2.32 0.000
Tabulasi Hasil Pengolahan Data SPSS Paired Sample t-Test
(data penulis, 2016)
Berdasarkan hasil analisis uji Paired
Sample t-Test, kedelapan variabel
indikator rileks memiliki nilai signifikansi
0.000 (<0.05) sehingga hipotesis
alternatiflah yang terbukti, bahwa ada
perubahan signifikan yang dirasakan
pengguna.
Jika dilihat dari perbandingan nilai mean
pada tabel di atas, bisa dilihat bahwa ruang
spa dengan dekoratif Gringsing memiliki
skor keseluruhan lebih tinggi daripada
ruang spa tanpa elemen dekoratif
Gringsing. Ruang treatment spa dengan
elemen interior berbasis Gringsing lebih
membuat pengguna merasa nyaman,
hangat, betah, sejuk, teduh, harmonis,
tentram, dan senang. Kelima variabel ini
tentunya berhubungan erat dengan fungsi
relaksasi yang ingin dihadirkan pada
ruangan spa tersebut. Sehingga dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa
ornamen Gringsing menghasilkan dampak
positif terhadap respon rileks pengguna.
Diamati lebih lanjut skor mean variabel
hangat pada ruang spa dengan dekoratif
Gringsing ataupun ruang spa tanpa
dekoratif Gringsing sama-sama menempati
ranking teratas dari kolom skor variabel.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
84
Hal ini seakan menegaskan bahwa desain
ruang spa modifikasi ini kuat akan kesan
hangat yang ditimbulkan dari penggunaan
warna-warna hangat di dalamnya. Terbukti
bahwa warna menjadi komponen yang
penting dalam menciptakan ambience
ruang.
4. KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan
sebagai berikut.
1. Penelitian ini membuktikan bahwa
ada perubahan signifikan yang
dirasakan pengguna ketika berada
di dalam ruang treatment spa
dengan elemen dekoratif
Gringsing. Jika dibandingkan
dengan ruang treatment spa tanpa
elemen interior berbasis Gringsing,
ruang treatment spa dengan elemen
interior berbasis Gringsing lebih
membuat pengguna merasa
nyaman, hangat, betah, sejuk,
teduh, harmonis, tentram, dan
senang. Kelima variabel ini
tentunya berhubungan erat dengan
fungsi relaksasi yang ingin
dihadirkan pada ruangan spa
tersebut. Sehingga dengan
demikian, asumsi bahwa ornamen
Gringsing menghasilkan dampak
positif terhadap respon rileks
pengguna terbukti, dan ornamen
Gringsing ini relevan untuk
diaplikasikan pada interior ruang
treatment spa.
2. Kain Gringsing ini berhasil
diimplementasikan pada interior
modern melalui pendekatan desain
yang universal (estetika, bentuk,
warna) dengan mempertahankan
karakteristik asli dan nilai filosofis
yang dimilikinya. Teori-teori
desain tersebut membantu untuk
menyatukan persepsi masyarakat
umum terhadap image ruangan
tersebut. Sedangkan pemahaman
mendalam akan nilai filosofis yang
terkandung di dalamnya menjaga
pemakaian aksen tradisi ini tidak
sebatas elemen estetis yang bersifat
asal tempel dan menghindari
pengaplikasian yang menurunkan
nilai rasa dari Gringsing tersebut.
Sehingga kolaborasi tersebut
memberikan kontribusi yang
signifikan dalam membangun
ambience relaks pada ruang spa.
3. Warna menjadi komponen yang
penting dalam menciptakan
ambience ruang. Desain ruang spa
modifikasi ini kuat akan kesan
hangat yang ditimbulkan dari
penggunaan warna-warna hangat di
dalamnya seperti warna merah,
coklat, dan hitam. Kesan hangat ini
akan mengimbangi efek dingin
yang muncul dari penyatuan zona
basah dan kering dalam satu
ruangan.
Jurnal Desain Interior Vol.IV/ No. 1/ Tahun 2017 ISSN : 2355-9284
85
DAFTAR PUSTAKA
[1] Azis, Azhar Ridwan. Handoko,
Bagus. (2013): Desain Pencahayaan
Buatan pada Proses Relaksasi
Pengguna Pusat Kebugaran,
Bandung, Jurnal Sarjana FSRD ITB
Vol 2 No 1.
[2] Zein, Anastasha O. Tamara,
Khaerunnisa. (2013): Hubungan
Warna dengan Tingkat Stres
Pengunjung, Bandung, Jurnal
Rekajiva Itenas no. 01 vol 01,
Januari 2013.
[3] Sadra, Nyoman. (2015). Wawancara.
Bali
[4] Bell, Paul A. (1980): Environmental
Psychology, Philadelphia,
WB Saunder Company.