18
NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION (NDC) PERTAMA REPUBLIK INDONESIA 1. KONTEKS NASIONAL Indonesia merupakan negara yang sedang bertumbuh dengan demokrasi yang stabil dan populasi keempat terbanyak di dunia. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih terus meningkat selama dekade terakhir, sekitar 11% populasi Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Untuk mengentaskan kemiskinan, Pemerintah Indonesia memproyeksikan pembangunan ekonomi setidaknya mencapai 5% per tahun untuk menurunkan laju kemiskinan di bawah 4% di tahun 2025 sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang, antara lain “bahwa setiap orang berhak memperoleh hidup yang layak dan sehat”. Mengingat dampak perubahan iklim mulai dirasakan, Indonesia masih terus mencari keseimbangan pembangunan di masa kini dan masa datang serta prioritas pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia mencanangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional, dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020. Pemerintahan Indoesia saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah menentukan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita. Nawa Cita melingkupi antara lain melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Misi Nawa Cita tersebut sejalan dengan komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas- sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor belt (thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya yang kaya akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber daya energi dan mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Namun, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan diperparah dengan terjadinya perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di seluruh nusantara. Oleh karena itu Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan laut sebagai sebuah pertimbangan strategi dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air dan energi.

NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION …ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/resources/ndc/te...Memajukan ketahanan iklim yang berkaitan dengan pangan, air dan energi: mengakui pentingnya

Embed Size (px)

Citation preview

NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION (NDC) PERTAMA REPUBLIK INDONESIA

1. KONTEKS NASIONAL

Indonesia merupakan negara yang sedang bertumbuh dengan demokrasi yang stabil dan

populasi keempat terbanyak di dunia. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih terus meningkat

selama dekade terakhir, sekitar 11% populasi Indonesia masih berada di bawah garis

kemiskinan. Untuk mengentaskan kemiskinan, Pemerintah Indonesia memproyeksikan

pembangunan ekonomi setidaknya mencapai 5% per tahun untuk menurunkan laju kemiskinan

di bawah 4% di tahun 2025 sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang, antara lain

“bahwa setiap orang berhak memperoleh hidup yang layak dan sehat”. Mengingat dampak

perubahan iklim mulai dirasakan, Indonesia masih terus mencari keseimbangan pembangunan

di masa kini dan masa datang serta prioritas pengentasan kemiskinan.

Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia mencanangkan target penurunan emisi GRK sebesar

26% di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional,

dibandingkan terhadap skenario business as usual di tahun 2020. Pemerintahan Indoesia saat

ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah menentukan 9 (sembilan) aksi prioritas

pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita. Nawa Cita melingkupi antara lain

melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara,

membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam

kerangka negara kesatuan, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan

produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Misi Nawa Cita tersebut sejalan

dengan komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,

dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-

sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor belt

(thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya yang kaya

akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber daya energi dan

mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi perubahan iklim. Namun,

Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan diperparah dengan terjadinya

perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di seluruh nusantara. Oleh karena itu

Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan

laut sebagai sebuah pertimbangan strategi dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air

dan energi.

2

Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju

masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. NDC tersebut menggambarkan

peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung selama periode 2015-2019 yang akan menjadi

landasan untuk menentukan tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020, yang akan berkontribusi

dalam upaya untuk mencegah kenaikan termperatur global sebesar 20C dan mengejar upaya

membatasi kenaikan temperature global sebesar 1.50C dibandingkan masa pra-industri. Untuk

periode 2020 dan seterusnya, Indonesia memandang pencapaian ketahanan iklim kepulauan

merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan program adaptasi-mitigasi dan strategi penurunan

risiko bencana yang komprehensif. Indonesia telah menentukan tujuan ambisius mengenai

konsumsi dan produksi keberlanjutan terkait pangan, air dan energi. Tujuan ini akan dapat

dicapai melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar

kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan

yang sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik.

2. MITIGASI

Menurut dokumen Second National Communication tahun 2010, emisi gas rumah kaca (GRK)

Indonesia diperkirakan sebesar 1.8 GtCO2e di tahun 2005. Angka ini menunjukkan peningkatan

sebesar 0.4 GtCO2e dibandingkan tahun 2000. Sumber emisi paling besar (63%) berasal dari

kegiatan alih guna lahan serta kebakaran hutan dan lahan, sedangkan konsumsi bahan bakar

minyak menyumbangkan emisi GRK sebesar 19% dari total emisi. Berdasarkan dokumen First

Biennial Update Report (BUR) yang telah disampaikan kepada UNFCCC pada bulan Januari

2016, emisi GRK nasional adalah sebesar 1.453 GtCO2e di tahun 2012, yang menunjukkan

peningkatan sebesar 0.452 GtCO2e dari tahun 2000. Sektor utama yang berkontribusi

mengeluarkan emisi adalah sektor LUCF termasuk kebakaran gambut (47.8%) dan sektor

energi (34.9%).

Sejak Indonesia mencanangkan penurunan emisi GRK secara sukarela sebesar 26% dengan

upaya sendiri dan sampai dengan 41% apabila ada dukungan internasional, dibandingkan

dengan skenario business as usual 2020, Indonesia telah mengeluarkan rangkaian perangkat

hukum dan kebijakan, termasuk Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK sebagaimana

dituangkan dalam PERPRES No. 61/2011 dan inventarisasi GRK melalui PERPRES No.

71/2011.

Pasca-2020, Indonesia merencanakan untuk meningkatkan target melebihi komitmen saat ini.

Mengacu pada kajian terbaru mengenai tingkat emisi GRK, Indonesia telah menetapkan target

unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan skenario

business as usual di tahun 2030.

Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengurangi emisi dari sektor

berbasis lahan dengan mengambil kebijakan moratorium penebangan hutan primer dan

3

pelarangan konversi dari hutan yang tersisa dengan kegiatan pengurangan deforestasi dan

degradasi hutan, restorasi fungsi-fungsi ekosistem, serta pengelolaan hutan berkelanjutan yang

termasuk perhutanan sosial melalui partisipasi aktif sektor swasta, usaha kecil dan menengah,

organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal dan kelompok masyarakat yang paling rentan,

terutama Masyarakat Hukum Adat, dan perempuan - baik dalam tahap perencanaan maupun

implementasi. Pendekatan dengan skala lanskap dan pengelolaan berbasis ekosistem dengan

peranan pemerintah daerah, merupakan hal penting dalam menjamin manfaat yang lebih besar

dan berkelanjutan dari inisiatif-inisiatif tersebut.

REDD+ akan menjadi komponen penting dari target NDC Indonesia di sektor berbasis

lahan. Forest Reference Emission Level (FREL) untuk REDD+ telah disampaikan kepada

Sekretariat UNFCCC pada bulan Desember 2015, yang mencakup deforestasi dan degradasi

hutan serta dekomposisi gambut. FREL ditetapkan sebesar 0.568 GtCO2e/tahun untuk pool

karbon Above Ground Biomass, dengan menggunakan periode referensi 1990-2012 dan akan

digunakan sebagai rujukan terhadap emisi aktual dari 2013 hingga 2020. Angka ini digunakan

sebagai benchmark untuk mengevaluasi kinerja REDD+ selama periode implementasi (hingga

2020). Indonesia akan melakukan adjustment (penyesuaian) manakala diperlukan.

Di sektor energi, Indonesia telah menentukan kebijakan bauran energi. Selain itu juga telah

ditetapkan kebijakan nasional mengenai pengembangan sumber energi bersih. Secara kolektif,

kebijakan ini akan menempatkan Indonesia ke arah jalur dekarbonisasi. Peraturan Pemerintah

Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan ambisi untuk melakukan

transformasi, di tahun 2025 dan 2050, bauran penyediaan energi utama sebagai berikut:

a) energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya sebesar 31%

di tahun 2050;

b) minyak harus lebih kecil dari 25% di tahun 2025 dan lebih kecil dari 20% di tahun 2050;

c) batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% di tahun 2050;

d) gas setidaknya paling sedikit 22% di tahun 2025 dan paling sedikit 24% di tahun 2050

Di sektor pengelolaan limbah, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan

strategi komprehensif untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan kapasitas institusi di tingkat

lokal, meningkatkan kapasitas pengelolaan limbah cair perkotaan, mengurangi limbah yang

dibuang ke landfill melalui pendekatan “Reduce, Reuse, Recycle”, dan pemanfaatan sampah

dan limbah untuk energi. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk lebih jauh menurunkan

emisi GRK dari sektor pengelolaan limbah di tahun 2030 dan seterusnya melalui pengembangan

kebijakan yang komprehensif dan koheren, penguatan institusi, peningkatan mekanisme

keuangan dan pendanaan, inovasi teknologi, dan pendekatan sosial-budaya.

3. ADAPTASI

4

Perubahan iklim menimbulkan dampak signifikan terhadap sumber daya alam di Indonesia yang

akan mempengaruhi produksi dan distribusi pangan, air dan energi. Oleh karena itu,

Pemerintah Indonesia menganggap upaya mitgasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai

konsep terintegrasi yang penting dalam membangun ketahanan sumber daya pangan, air dan

energi. Pemerintah telah melakukan upaya signifikan dalam menyusun dan melaksanakan

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang menyediakan kerangka

untuk berbagai inisiatif adaptasi yang telah diarus-utamakan ke dalam perencanaan

pembangunan nasional.

Pemerintah Indonesia akan meningkatkan aksi untuk mengkaji dan memetakan kerentanan

regional sebagai dasar dari sistem informasi adaptasi, serta memperkuat kapasitas institusi dan

menetapkan kebijakan maupun peraturan terkait perubahan iklim di tahun 2020. Tujuan jangka

menengah dari strategi adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah untuk menurunkan risiko

pada semua sektor pembangunan (pertanian, sumber daya air, ketahanan energi, kehutanan,

maritim dan perikanan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur, dan sistem perkotaan) pada

tahun 2030 melalui penguatan kapasitas lokal, pengelolaan pengetahuan yang meningkat,

kebijakan yang konvergen tentang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana,

dan penerapan teknologi yang adaptif.

Kebijakan dan aksi pra-2020 akan mendukung kelancaran transisi menuju pelaksanaan NDC di

bawah kerangka Persetujuan Paris paska-2020. Kebijakan dan aksi dimaksud, yang akan

menjadi landasan kuat bagi pelaksanaan aksi adaptasi sejak tahun 2020, adalah:

1) Pra-kondisi:

Pengembangan sistem informasi data kerentanan iklim nasional, yang akan dibangun

berbasis sistem yang telah ada yaitu SIDIK (Sistem Informasi Data dan Informasi

Kerentanan), yang terbuka bagi publik melalui situs http://ditjenppi.menlhk. go.id.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.33/2016 tentang Pedoman

Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim, yang dapat dipergunakan oleh pemerintah

daerah dalam memformulasikan rencana aksi adaptasi daerah.

Peningkatan pelaksanaan RAN-API yang telah ditetapkan pada tahun 2014.

2) Lingkungan hidup dan sosial ekonomi:

UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air akan mengarah pada pertanian dan

alih guna lahan yang berkelanjutan. Peraturan ini memandu para pemangku kepentingan

dalam upaya konservasi lahan dan peningkatan produktivitas menuju pertanian

berkelanjutan.

Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air akan

mengarah pada peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Peraturan

tersebut menyediakan panduan untuk mengidentifikasi DAS yang harus dilindungi,

direstorasi, dan direhabilitasi.

5

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan meningkatkan pendapatan dan saat

bersamaan akan menurunkan tekanan yang mengarah pada deforestasi dan degradasi

hutan primer.

Peningkatan peran ProKLim (upaya bersama adaptasi dan mitgasi perubahan iklim)

untuk menerapkan bottom up approach dalam program ketahanan iklim di tingkat lokal.

Melalui ProKLim juga akan dimungkinkan untuk menghitung kontribusi pencapaian

penurunan emisi GRK baik pada periode pra-2020 maupun pasca-2020.

4. PENDEKATAN STRATEGIS

Indonesia memerlukan perencanaan yang komprehensif dan menyeluruh untuk menerapkan

pola produksi dan konsumsi berkelanjutan secara efektif, memanfaatkan keragaman kearifan

tradisional dan lembaga adatnya. Pengembangan konstitusi secara lebih luas juga dinilasi

sebagai titik kritis yang dapat dilakukan melalui pelibatan seluruh pemangku kepentingan

termasuk jejaring keagamaan dan gerakan lintaskeagamaan yang telah terbentuk.

Pendekatan strategis NDC Indonesia didasarkan pada prinsip berikut:

Menerapkan pendekatan lanskap: menyadari bahwa upaya adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim merupakan issue multi-sektor, Indonesia menerapkan pendekatan lanskap yang

terintegrasi meliputi ekosistem daratan, pesisir dan laut.

Menyoroti best practices: memperhatikan upaya multi-sektor dalam pengendalian

perubahan iklim, Indonesia bermaksud untuk meningkatkan skala kearifan tradisional dan

inovasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh pemerintah, sektor

swasta, dan komunitas.

Mengarusutamakan agenda perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan:

mengakui adanya kebutuhan untuk integrasi perubahan iklim ke dalam perencanaan spasial

dan proses penganggaran, Indonesia akan mencantumkan indikator kunci perubahan iklim

dalam proses formulasi target program pembangunan.

Memajukan ketahanan iklim yang berkaitan dengan pangan, air dan energi: mengakui

pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan, air dan energi, Indonesia akan memperbaiki

pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan ketahanan iklim dengan melindungi dan

merestorasi ekosistem daratan, pesisir dan laut.

Komitmen Indonesia terhadap masa depan yang rendah karbon memetakan kerangka

peningkatan aksi dan dukungan yang diperlukan untuk periode 2015-2019 yang akan menjadi

landasan untuk tujuan lebih ambisius setelah tahun 2020. Hal ini dapat membuka peluang untuk

membangun aksi koheren di tingkat nasional, dengan menekankan pada pengembangan riset,

mobilisasi sumber daya melalui kemitraan, dan kerjasama internasional. Undang-undang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009 sebenarnya telah menyediakan

kerangka hukum untuk mendukung strategi dan aksi periode 2015-2019, yang dapat dijadikan

6

dasar sebagai kondisi yang memungkinkan untuk implementasi kebijakan jangka panjang tahun

2020 dan seterusnya. Walaupun demikian, untuk mencapai tujuan kebijakan jangka panjang,

harmonisasi aspek legal yang komprehensif terhadap semua hal terkait perubahan iklim dinilai

sebagai titik kritis untuk menghadapi tantangan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melaporkan bahwa selama periode 2007-2014

Indonesia telah mengeluarkan pendanaan sebesar USD 17.48 milyar untuk adaptasi dan

mitigasi perubahan iklim serta kegiatan pendukung. Indonesia akan melanjutkan penyediaan

dukungan pendanaan untuk pelaksanaan perencanaan dan aksi perubahan iklim, termasuk

alokasi total sebesar USD 55.01 milyar untuk periode tahun 2015-2019. Indonesia juga akan

melanjutkan untuk menetapkan pendanaan nasional untuk pelaksanaan aksi mitigasi dan

adaptasi periode tahun 2020-2030.

Sejalan dengan Persetujuan Paris, Indonesia menjunjung, memajukan dan mempertimbangkan

kewajibannya terkait dengan hak asasi manusia, hak untuk kesehatan, hak masyarakat hukum

adat, komunitas lokal, migran, anak-anak, masyarakat dengan kemampuan berbeda,

masyarakat rentan, dan hak untuk membangun, demikian juga dengan kesetaraan gender,

pemberdayaan perempuan dan kesamaan antar-generasi. Pelibatan non-party stakeholders,

termasuk pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat umum akan dilakukan secara terus

menerus.

5. PROSES PERENCANAAN

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan institusi

melalui pembentukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dalam struktur

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor

16 Tahun 2015, Direktorat Jenderal dimaksud berperan sebagai National Focal Point untuk

Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim-Persatuan Bangsa-bangsa, atau United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berfungsi untuk memfasilitasi

program dan proses terkait perubahan iklim yang telah dijalankan oleh beragam sektor

pemerintah dan para pemangku kepentingan. Mengingat perubahan iklim memiliki dimensi

tingkat lokal dan internasional, koordinasi dan sinergi akan terus diperkuat antara Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Badan Pembangunan Nasional serta Kementerian

Keuangan dalam konteks perubahan iklim, pembangunan nasional dan anggaran, dan dengan

Kementerian Luar Negeri dalam konteks perubahan iklim dan negosiasi internasional.

Dalam proses penyiapan NDC, Pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan konsultasi

dengan beragam pemangku kepentingan yang mewakili kementerian dan institusi pemerintah

lain, akademisi, pakar ilmiah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat; rangkaian konsultasi

dimaksud termasuk melalui workshop dan konsultasi di tingkat nasional maupun tingkat

propinsi, dan juga pertemuan bilateral dengan sektor-sektor kunci.

7

Penyusunan NDC telah mempertimbangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

atau Post-2015 Sustainable Development Goals (SDGs), terutama mengenai pelaksanaan aksi

segera untuk mengendalikan perubahan iklim dan dampaknya, memajukan ketahanan pangan

dan pertanian berkelanjutan, mencapai kesamaan jender, menjamin keberadaan sumber daya

air dan keberlanjutannya, akses energi yang murah dan mudah untuk semua, pembangunan

ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, infrastruktur berketahanan iklim, pola konsumsi dan

produksi yang berkelanjutan, pemanfaatn berkelanjutan dan konservasi sumber daya laut, dan

perlindungan dan pemulihan ekosistem daratan yang berkelanjutan, pengelolaan hutan

berkelanjutan, penanganan penggurunan, penghentian dan pembalikan degradasi lahan dan

kehilangan keanekaragaman hayati.

6. INFORMASI UNTUK MEMFASILITASI KEJELASAN, TRANSPARANSI DAN

PEMAHAMAN (CLARITY, TRANSPARENCY AND UNDERSTANDING)

Tingkat Penurunan Emisi GRK

(a) Penurunan

Unconditional

Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK

dengan kemampuan sendiri sebesar 26% dibandingkan skenario BAU

pada tahun 2020.

Komitmen tersebut merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk menuju

komitmen yang lebih ambisius untuk penurunan emisi GRK pada tahun

2030 dengan merinci rencana penurunan emisi GRK berdasarkan

pendekatan berbasis hasil dan bersifat inklusif. Komitmen tersebut akan

dilaksanakan melalui perencanaan tata guna lahan dan tata ruang yang

efektif, pengelolaan hutan berkelanjutan termasuk program perhutanan

sosial, memulihkan fungsi ekosistem yang telah terdegradasi termasuk

ekosistem lahan basah, meningkatkan produktivitas pertanian dan

perikanan, konservasi energi dan mendorong sumber energi yang

bersih dan terbarukan serta peningkatan pengelolaan limbah.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK secara

unconditional sebesar 29% terhadap scenario BAU pada tahun 2030.

Skenario BAU diproyeksikan sebesar 2.869 GtCO2e pada tahun 2030,

yang merupakan pemutakhiran dari skenario BAU pada INDC karena

kondisi terakhir dari pengembangan kebijakan energi khususnya pada

pembangkit batu bara.

(b) Penurunan

conditional

Indonesia dapat meningkatkan kontribusinya dalam menurunkan emisi

GRK sampai dengan 41% pada tahun 2030, tergantung kepada

8

ketersediaan dukungan internasional dalam bentuk pendanaan,

transfer dan pengembangan teknologi serta peningkatan kapasitas.

Tipe Penurunan emisi GRK relatif terhadap baseline Business As Usual

(BAU).

Lingkup Skala nasional dengan pendekatan pengelolaan lanskap dan ekosistem

melalui upaya adaptasi dan mitigasi dengan membangun dan

memperkuat kapasitas di tingkat sub-nasional.

Cakupan Karbon Dioksida (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide (N2O)

Baseline Skenario BAU dari proyeksi emisi mulai tahun 2010.

Fair and Ambitious Pertumbuhan GDP Indonesia telah melambat pada tahun 2010-2015,

dari 6.2-6.5% per tahun menjadi hanya 4.0% (triwulan I tahun 2015).

Jumlah penduduk telah meningkat dengan rata-rata 1.49% pada perioda

tahun 2000-2010, menempatkan Indonesia pada posisi yang harus

memenuhi kebutuhan energi, menjamin ketahanan pangan serta

memenuhi kebutuhan lapangan kerja/sumber penghidupan untuk

masyarakat. Pada saat yang sama, pengentasan kemiskinan masih

merupakan tantangan, dengan 10.96% dari populasi hidup dalam

kemiskinan pada tahun 2014, dan tingkat pengangguran sebesar 5.9%.

Meski menghadapi tantangan yang sama seperti negara berkembang

lainnya, Indonesia berkomitmen untuk melakukan transisi dari arah

pembangunan saat ini menuju pembangunan rendah karbon dan

berketahanan iklim secara bertahap. Langkah-langkah menuju

dekarbonisasi ekonomi akan diintegrasikan secara penuh ke dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024.

Indonesia juga mempertimbangkan untuk memperhitungkan/

menentukan waktu emisi GRK puncak nasional (the peaking time of

national GHGs emissions) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan

nasional yang berkelanjutan serta berkontribusi pada upaya global

mengatasi dampak negatif perubahan iklim.

Asumsi Utama Mitigasi

Pengukuran yang

digunakan

Global Warming Potential (GWP) skala 100 tahun berdasarkan

Assessment Report 4 IPCC

9

Metodologi untuk

estimasi emisi

Model untuk estimasi emisi:

Dashboard AFOLU untuk sektor berbasis lahan;

ExSS (Extended Snap Shot) using GAMS (General Algebraic

Modeling System) dan CGE (Dynamic CGE) untuk sektor energi;

Peta jalan aksi mitigasi untuk Industri Semen (Kementerian

Perindustrian) untuk sektor IPPU;

First Order Decay-FOD (IPCC-2006) dan peraturan yang berlaku

untuk sektor limbah Baseline dan asumsi

yang digunakan

untuk proyeksi dan

Skenario Kebijakan

tahun 2020-2030

BAU Baseline Scenario and Mitigation Scenario

Skenario BAU: skenario emisi ketika pembangunan tidak

mempertimbangkan kebijakan mitigasi perubahan iklim.

Counter Measure 1 Scenario (CM1): skenario emisi dengan scenario

mitigasi dan memertimbangkan target pembangunan sektoral.

Counter Measure 2 Scenario (CM2) atau skenario conditional:

scenario emisi dengan scenario emisi yang lebih ambisius dan

mempertimbangkan target pembangunan sektoral, jika dukungan

internasional tersedia. Lingkup penurunan

emisi

Dengan baseline dan asumsi yang digunakan untuk proyeksi kebijakan

tahun 2020-2030, BAU dan penurunan emisii yang diproyeksikan baik

untuk penurunan emisi GRK secara unconditional (CM1) dan conditional

(CM2) ditunjukkan pada Tabel 1 dengan elaborasi dari asumsi untuk

setiap sektor seperti tercantum pada Annex.

Table 1. Proyeksi BAU dan reduksi emisi GRK dari setiap kategori sektor

No Sector

GHG Emission

Level 2010*

GHG Emission Level 2030 GHG Emission Reduction Annual Average Growth

BAU (2010-2030)

Average Growth 2000-2012*

(MTon CO2e) (MTon CO2e) % of Total BaU

MTon CO2e

BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2

1 Energy* 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%

2 Waste 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%

3 IPPU 36 69.6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%

4 Agriculture 110.5 119.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%

5 Forestry** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%

TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%

* Termasuk fugitive **Termasuk kebakaran gambut Notes: CM1 = Counter Measure 1 (kondisi scenario tanpa persyaratan mitigasi-unconditional) CM2 = Counter Measure 2 (kondisi scenario dengan persyaratan mitigasi-conditional) 7. KERANGKA TRANSPARANSI

10

Sebagai bagian dari pelaksanaan Pasal 13 Persetujuan Paris, diberlakukan Kerangka

Transparansi Nasional yang terintegrasi melalui: (a) Sistem Registri Nasional (SRN untuk

mitigasi, adaptasi dan dukungan sumberdaya dari nasional maupun internasional; (b) Sistem

Inventarisasi Gas rumah kaca nasional (SIGN- SMART); (c) Sistem MRV untuk mitigasi

termasuk REDD+; dan (d) Sistem Informasi Safeguards (SIS-REDD+); serta (e) Sistem

Informasi dan Data Indeks Kerentanan serta aksi gabungan adaptasi-mitigasi di tingkat desa

melalui Program Kampung Iklim (PROKLIM).

Indonesia berkomitmen untuk mengkomunikasikan secara periodik laporan emisi gas rumah

kaca dari berbagai sektor, termasuk status dari aksi penurunan emisi GRK dan capaiannya

kepada Sekretariat UNFCCC. Indonesia saat ini sedang menyusun Laporan Komunikasi

Nasional Ketiga (Third National Communication atau TNC) untuk disampaikan pada tahun 2017.

Indonesia juga tetap akan memenuhi kewajibannya dalam menyusun Biennial Update Report

(BUR). BUR Pertama Indonesia disampaikan pada awal tahun 2016.

8. DUKUNGAN INTERNASIONAL

untuk meningkatkan ambisi dalam penurunan Emisi gas rumah kaca, termasuk persiapan

pelaksanaan NDC (pra-2020) pada semua kategori sektor dan pelaksanaan REDD+ pada Pasal

5 Persetujuan Paris diperlukan dukungan Internasional dari negara maju dalam bentuk

pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas.

Pasal 5 dari Persetujuan Paris memberikan sinyal yang jelas mengenai pengakuan terhadap

peranan hutan dan REDD+. Keputusan COP telah memberikan arahan yang cukup untuk

mengimplementasikan dan mendukung pelaksanaan REDD+. Selain itu, mempertimbangkan

kemajuan persiapan dan transisi REDD+ di tingkat national dan sub nasional, REDD+ Indonesia

telah siap untuk pelaksanaan insentif berbasis hasil (result-based payment). Sebagai

pendekatan kebijakan dan insentif positif, REDD+ harus mampu untuk mendukung capaian

target penurunan emisi gas rumah kaca untuk sektor kehutanan.

Indonesia menyambut kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam pelaksanaan NDC

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Persetujuan Paris, yang memfasilitasi dan mempercepat

proses pengembangan dan transfer teknologi, pembayaran berdasarkan kinerja, kerjasama

teknis, dan akses kepada sumber-sumber pendanaan untuk mendukung upaya-upaya mitigasi

dan adaptasi perubahan iklim menuju masa depan yang lebih berketahanan iklim.

9. STRATEGI RENDAH KARBON DAN BERKETAHANAN IKLIM

11

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia mempertimbangkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

sebagai konsep yang terintegrasi yang penting untuk membangun ketahanan dalam menjaga

sumberdaya pangan, air dan energi. Indonesia juga memandang pembangunan yang menuju

rendah karbon dan berketahanan iklim adalah konsisten dengan komitmen untuk berkontribusi

dalam upaya global untuk mencapai sasaran tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs,

Sustainable Development Goals). Agenda global tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia

sebagai negara kepulauan dan posisinya dalam bentang lautan global (sirkulasi thermohaline)

dan hutan hujan tropis yang luas dengan keanekaragaman hayati dan nilai cadangan karbon

yang tinggi. Indonesia merupakan negara yang sedang membangun, dengan kehidupan

demokrasi yang stabil dan dengan jumlah penduduk terpadat keempat sedunia dan dengan

proporsi terbesar adalah generasi muda dan yang paling produktif.

Kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim

Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah pesisir dan kepulauan kecil yang ekstensif,

Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia telah mengalami kejadian

iklim ekstrim seperti banjir dan kekeringan, serta dampak jangka panjang dari kenaikan muka

air laut. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, bencana alam yang dipengaruhi oleh

perubahan iklim menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap masyarakat dan aset yang

dimiliki, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk keluar dari garis kemiskinan.

Perubahan iklim diyakini akan meningkatkan risiko bencana hidrogeometeorgi, menjadi 80%

dari total bencana yang tradisi di Indonesia. Penduduk miskin dan populasi yang terpinggirkan

cenderung untuk tinggal di daerah yang berisiko tinggi terhadap banjir, longsor, kenaikan muka

air laut dan kelangkaan air sepanjang musim kering.

Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menghadapi

risiko tinggi kejadian banjir di pesisir dan kenaikan muka air laut yang akan berdampak pada 42

juta penduduk yang tinggal di pesisir. Sebagian besar daerah tersebut merupakan daerah

urbanisasi sangat pesat, yang mencapai 50% pada tahun 2010.

Kerentanan pada wilayah pesisir juga diakibatkan oleh tingkat deforestasi dan degradasi hutan.

Hilangnya ekosistem hutan menimbulkan hilangkan ya jasa lingkungan yang utama, daerah

tangkapan air, pencegahan erosi dan banjir.

Untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia harus memperkuat

ketahanan iklim dengan mengintegrasikan upaya adaptasi dan mitigasi di dalam perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan.

Kondisi yang Mendukung Ketahanan Iklim

12

Arah pembangunan Indonesia menuju rendah karbon dan berketahanan iklim harus

dikembangkan dengan membangun dasar yang kuat melalui dukungan kondisi sebagai berikut:

Kepastian dalam perencanaan dan tata guna lahan

Ketahanan tenurial

Ketahanan pangan

Ketahanan air

Energi terbarukan

Ketahanan Ekonomi

Perubahan iklim menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap sumberdaya alam yang

akan mengakibatkan gangguan terhadap produksi dan distribusi pangan, air dan energi.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan semakin meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya

yang sudah terbatas. Untuk merespon hal ini, Indonesia merencanakan untuk bertransformasi

menuju ekonomi rendah karbon dan membangun ketahanan pangan, air dan energi melalui

peningkatan aksi berikut:

Pertanian dan perkebunan berkelanjutan

Pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi

Penurunan deforestasi dan degradasi hutan

Konservasi lahan

Pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan

Perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi

Ketahanan Sosial dan Sumber Penghidupan

Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat khususnya yang

sangat rentan. Bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim menimbulkan dampak yang

lebih besar terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dan menghambat

pengumpulan modal. Kenaikan harga pangan, air dan energi, yang biasanya terjadi setelah

bencana kekeringan, banjir dan bencana lainnya, akan menyebabkan masyarakat miskin makin

termiskinkan.

Kesenjangan sosial-ekonomi akan secara potensial berkontribusi terhadap ketidak-stabilan

politik di daerah yang sangat terdampak oleh perubahan iklim. Untuk mencegah kesenjangan

lebih lanjut, Indonesia merencanakan untuk membangun ketahanan social melalui aksi-aksi

sebagai berikut:

Peningkatan kapasitas adaptasi dengan membangun sistem peringatan dini, kampanye

kesadaran public secara luas dan program kesehatan masyarakat;

13

Pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat di dalam proses perencanaan lokal,

untuk mengamankan akses kepada sumberdaya alam utama;

Meningkatkan secara cepat program kesiap-siagaan menghadapi bencana dalam rangka

pengurangan risiko bencana;

Identifikasi wilayah sangat rentan di dalam perencanaan dan tata guna lahan;

Peningkatan permukiman masyarakat, penyediaan kebutuhan dasar dan pembangunan

prasarana tahan iklim,

Pencegahan dan resolusi konflik

Ketahanan Ekosistem dan Lanskap

Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan keaneka-ragaman yang tinggi, ekosistem dan

landsekap Indonesia yang sangat beragam menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti

perlindungan daerah aliran sungai, sekuestrasi dan konservasi karbon dan pengurangan risiko

bencana. Untuk membangun ketahanan iklim, Indonesia harus melindungi dan menjaga

keberlanjutan jasa lingkungan dengan pendekatan integratif, berbasis lanskap di dalam

pengelolaan ekosistem daratan, pesisir dan laut. Aksi-aksi di bawah ini adalah untuk

memperkuat ketahanan ekosistem dan lanskap:

Konservasi dan restorasi ekosistem

Perhutanan sosial

Perlindungan kawasan pesisir

Pengelolaan daerah aliran sungai terIntegrasi

Kota berketahanan iklim

10. KAJI-ULANG DAN PENYESUAIAN

NDC mencerminkan kondisi terakhir dalam hal data dan informasi, analisis, dan skenario ke

depan oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia akan mengalami

perubahan dinamis karena adanya perubahan perekonomian di tingkat nasional dan global.

Dalam hal ini, NDC akan dikaji-ulang dan disesuaikan, sesuai kebutuhan, dengan

mempertimbangkan kondisi, kapasitas dan kemampuan nasional serta ketentuan di dalam

Persetujuan Paris.

Lampiran

14

Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama Republik Indonesia

Asumsi yang Dipergunakan dalam Proyeksi BAU dan Reduksi Emis i GRK (reduksi uncondit ional / CM1 dan condi t ional / CM2)

untuk seluruh kategori Sektor (Energ i , L imbah, IPPU, Pertanian dan Kehutanan )

S E K T O R : E N E R G I

BAU Skenario Mitigasi 1

(CM 1) Skenario Mitigasi 2

(CM 2)

1. Efisiensi konsumsi energi final Konsumsi energi final tidak

efisien 75% 100%

2. Penerapan teknologi CCT (clean coal technology) di pembangkit listrik

0%

3. Penggunaan energi baru terbarukan pada pembangkit listrik

Pembangkit Listrik menggunakan batubara

19.6% (Committed 7.4 GW

berdasarkan RUPTL)*

Produksi Listrik 132.74 TWh*

4. Penggunaan bahan bakar nabati-BBN (Mandatory B30) di sektor transportasi

0% 90% 100%

5. Penambahan jaringan gas (Jargas) 0% 100% 100%

6. Penambahan Stasiun pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG)

0% 100% 100%

*………………..

S E K T O R : A F O L U A. Laju deforestasi

- Laju deforestasi untuk BAU 2013-2020 mengikuti baseline FREL-REDD yaitu 0.920 juta ha/tahun, yang terdiri dari uplanned and planned deforestasi. Laju planned deforestasi dihitung terlebih dahulu oleh model sesuai dengan skenario pembangunan.

- Untuk skenario CM1 dan CM2, laju deforestasi unplanned diasumsikan lebih rendah sehingga total deforestasi (planned dan unplanned sebesar 0.450 juta ha

- Laju deforestasi BAU 2021-2030 diasumsikan menurun menjadi 0.820 juta ha/tahun dan untuk CM1 dan CM2 menjadi 0.325 juta ha

BAU CM1 CM2 Note

Total (000 ha) 2013-’20: 920 2020-’30: 820 2030-’50: hasil model

2013-’20: 450 2020-’30: 325 2030-’50: hasil model

2013-’20: 450 2020-’30: 325 2030-’50: hasil model

Setelah tahun 2030 deforetasi unplanned sudah tidak terjadi. Artinya laju deforestasi sepenuhnya dari model (planned deforestation saja, sesuai kebutuhan)

Unplanned Deforestation 2013-’20: 500 2020-’30: 409 2030-’50: 0

2013-’20: 175 2020-’30: 92 2030-’50: 0

2013-’20: 175 2021-’30: 66 2030-’50: 0

Planned Deforestation (Dari model)

2011-’50: hasil model

2011-’50: hasil model

2011-’50: hasil model

B. Asumsi Produksi Kayu

15

1. Laju ekstraksi kahyu dari hutan alam yang lestari dari beberapa literature berkisar antara 20 - 35 m3ha. Studi ini mengasumsikan ekstraksi masih 50 m3/ha pada tahun 2010 (kelebihan merupakan dari penebangan ilegal), dan pada tahun 2050 sudah mencapai 30m3 (laju penebangan lestari, artinya illegal logging sudah hampir tidak ada).

2. Target produksi kayu dari hutan alam untuk CM1 dan CM2 mengikuti RKTN (Dephut, 2011), sedangkan BAU lebih tinggi berdasarkan perkiraaan APHI

3. Laju pembangunan HTI untuk BAU mengikuti laju historis dan persentase lahan layak tanam sekitar 63% yang didasarkan pada asumsi yang digunakan APHI, 2007)

4. Semua hutan yang dibuka untuk keperluan pembangunan, kayu yang dihasilkan diasumsikan semuanya dimanfaatkan (tidak dibuang)

5. Pemanfaatan kayu sawit dan karet saat akhir rotasi/peremajaan diasumsikan hanya sebagian saja. Untuk CM3 diasumsikan 50% (sebagian besar dari kebun negara dan swasta)

C. Asumsi Laju Pertumbuhan: 1. Laju pertumbuhan tanaman dalam satuan tC/ha/tahun hutan alam dihitung berdasarkan riap pohon dari

satuan m3/ha/tahun sehingga digunakan faktor konversi berikut: a. Biomass Expansion Factor (BEF): 1.4 (Ruhiyat, 1990) b. Wood density untuk hutan alami: 0.7 t/m3

2. Laju pertumbuhan tanaman HTI dalam satuan tC/ha/tahun dihitung berdasarkan data potensi volume produksi kayu yaitu dalam satuan m3/ha, dimana BAU, CM1 dan CM 2 masing-masing tahun 2010: 120 dan tahun 2050 sudah meningkat jadi 140, 160 dan 200 m3/ha dengan adanya intervensi teknologi. Kenaikan terjadi setiap interval 10 tahun. Untuk konversi diperlukan data: a. BEF: 1.4 (IPCC Default) b. Wood density untuk HTI: 0.4 t/m3 3. Rotasi: 6 tahun.

D. Hasil hitungan CM2 dibuat yg baru dgn target yang sangat sangat ambisius (capaian 38%), dengan perubahan asumsi dari hitungan sebelumnya ialah: 1. Restorasi gambut keberhasilannya 90% dan luas yang direstorasi sampai 2030 mencapai 2 juta, 2. Rehabilitasi lahan juga keberhasilan 90% dan hampir semua lahan tidak produktif direhabilitasi (hampir 12

juta ha), jadi per tahun sampai 2030 laju penanaman sekitar 800 ribu ha/tahun (baseline hanya sekitar 270 ribu ha).

S E K T O R : P E R T A N I A N BAU CM1 CM2

1. Penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah

Tidak ada aksi mitigasi.

Penggunaan varietas rendah emisi pada lahan sawah diasumsikan mencapai total 926 ribu ha di 2030*.

Penggunaan varietas rendah emisi pada lahan sawah diasumsikan mencapai 908 ribu ha di 2030*.

2. Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air.

Tidak ada aksi mitigasi.

Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air mencapai 820 ribu ha di 2030*.

Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air mencapai 803 ribu ha di 2030*.

3. Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas.

Tidak ada aksi mitigasi.

Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas mencapai 0.06% dari populasi ternak pada tahun 2030**.

Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas mencapai 0.06% dari populasi ternak pada tahun 2030**.

4. Perbaikan suplemen pakan.

Tidak ada aksi mitigasi.

Penggunaan suplemen untuk pakan mencapai 2.5% dari populasi ternak pada tahun 2030**.

Penggunaan suplemen untuk pakan mencapai 2.5% dari populasi ternak pada tahun 2030**.

Catatan: * penggunaan teknologi terbaik yang telah tersedia akan meningkatkan produktivitas ternak dan menurunkan penggunaan lahan untuk tujuan peternakan.

16

** peningkatan populasi ternak dan operasionalisasi biogas (dengan asumsi subsidi pemerintah akan terus berkanjut dengan perimbangan tingginya biaya investasi).

A. Indeks penanaman padi dinaikkan dari 2.11 menjadi 2.5 (lokasi Pulau Jawa) dan dari 1.7 menjadi 2.0 (luar Pulau

Jawa). Berarti diasumsikan semua sawah di luar Jawa sudah memiliki jaringan irigasi seperti di Jawa, dan semua jaringan irigasi yang ada di Pulau Jawa berfungsi optimal (kondisi saat ini di Pulau Jawa: yang beroperasi baik hanya 60-70%).

B. Asumsi Index Penanaman: untuk tanaman semusim, Cropping Intensity atau Indek Penanaman merupakan rasio antara luas panen dengan luas lahan pertanaman. Jadi kalau IP=2 artinya penanaman pada lahan yang sama dilakukan 2 kali dalam setahun. Untuk tanaman tahunan, Indek Penanaman menunjukkan fraksi tanaman yang sudah menghasilkan (umur produktif).

C. Assumsi Populasi/GDP dan Ternak: Untuk semua skenario proyeksi untuk GDP, populasi ternak sama. uarget yang ditetapkan untuk swasembada daging sulit dicapai, prakiraan ahli pemenuhan kebutuhan daging relatif sulit. Pertumbuhan populasi ternak mengikuti rate historis, lebih rendah dari rate pertumbuhan permintaan terhadap daging.

S E K T O R : L I M B A H

S U B - S E K T O R : L I M B A H P A D A T BAU CM1 CM2

1. Peningkatan penerapan LFG recovery dari 2010 ke 2030 dalam pengelolaan TPA.

Tidak ada aksi mitigasi.

LFG recovery mereduksi CH4 dari 0.65% di tahun 2010 menjadi 10% di 2030.

LFG recovery mereduksi CH4 dari 0.65% di tahun 2010 menjadi 10% di 2030.

2. Peningkatan persentase pemanfaatan sampah melalui pengomposan dan 3R (kertas).

Tidak ada aksi mitigasi.

22% di tahun 2020, 30% di tahun 2030*.

22% di tahun 2020, 30% di tahun 2030*.

3. Peningkatan persentase PLTSa/RDF (Refuse Derived Fuel), dibandingkan dengan total timbulan sampah.

Catatan: PLTSa = Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Tidak ada aksi mitigasi.

- mencapai 3% dari total sampah di 2020 dan meningkat menjadi 5% di 2030**.

- pengembangan PLTSa di 7 kota.

- mencapai 3% dari total sampah di 2020 dan meningkat menjadi 5% di 2030**.

- pengembangan PLTSa di 12 kota (tambahan)***.

Catatan: * merujuk pada target nasional dalam pengelolaan sampah 2015-2025. ** mempertimbangkan perencanaan pemerintah dalam pengembangan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di 7 kota

dan tren saat ini dalam hal pemanfaatan sampah melalui RDF di industri. *** mempertimbangkan ukuran kota, potensi mitigasi dalam RDF dan laju pertumbuhan penduduk.

S U B - S E K T O R : L I M B A H C A I R D O M E S T I K

BAU CM1 CM2

17

Pengelolaan limbah cair domestik.

Tidak ada aksi mitigasi.

- Penanganan limbah cair domestik menggunakan septic tank/latrine dilengkapi dengan sludge recovery.

- Pembangunan septic tank komunal dan biodigester dilengkapi dengan LFG recovery.

- Penggunaan Aerobic Septic Tank. Catatan: target kuantitatif akan ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kesehatan.

- Penanganan limbah cair domestik menggunakan septic tank/latrine dilengkapi dengan sludge recovery.

- Pembangunan septic tank komunal dan biodigester dilengkapi dengan LFG recovery.

- Penggunaan Aerobic Septic Tank. Catatan: target kuantitatif akan ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kesehatan.

S U B - S E K T O R : L I M B A H C A I R I N D U S T R I

BAU CM1 CM2

Pengelolaan limbah cair industri.

Tidak ada aksi mitigasi.

Industri pulp and paper, diasumsikan melakukan rangkaian kegiatan mitigasi berupa: pengerukan sludge IPAL, pengolahan sludge tersebut di biodigester serta pemanfaatan gas metan-nya.

Industri pulp and paper, diasumsikan melakukan rangkaian kegiatan mitigasi berupa: pengerukan sludge IPAL, pengolahan sludge tersebut di biodigester serta pemanfaatan gas metan-nya.

Industri pengolahan sawit melakukan kegiatan methane capture & utilization pada IPAL dari limbah cair pabrik kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME). Catatan: target kuantitatif akan ditentukan oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Industri pengolahan sawit melakukan kegiatan methane capture & utilization pada IPAL dari limbah cair pabrik kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME). Catatan: target kuantitatif akan ditentukan oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

S E K T O R : I P P U

BAU CM1 CM2

Proses industri dan penggunaan produk di industri besar.

Tidak ada aksi mitigasi.

Industri semen melaksanakan aksi mitigasi melalui pengurangan “clinker to cement ratio” (blended cement) dari 80% di 2010 menjadi 75% di 2030.

Industri semen melaksanakan aksi mitigasi melalui pengurangan “clinker to cement ratio” (blended cement) dari 80% di 2010 menjadi 75% di 2030.

Peningkatan efisiensi industri amonia melalui optimasi pemanfaatan gas bumi (feedstock) dan CO2 recovery pada Primary Reformer.

Peningkatan efisiensi industri amonia melalui optimasi pemanfaatan gas bumi (feedstock) dan CO2 recovery pada Primary Reformer.

Aksi lainnya: - CO2 recovery, improvement process pada

smelter, dan pemanfaatan besi bekas (scrap) pada industri besi dan baja.

- Sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM aluminum smelter.

Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian.

Aksi lainnya: - CO2 recovery, improvement process pada

smelter, dan pemanfaatan besi bekas (scrap) pada industri besi dan baja.

- Sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM aluminum smelter.

Catatan: Target kuantitatif akan ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian.

R E F E R E N S I SEKTOR ENERGI

o Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014,

18

o Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025, o Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2016.

SEKTOR AFOLU o Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 (RKTN), o Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI (GAPKI), o Peta Jalan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) 2050, o Rencana Strategis Perkebunan (termasuk skenario peternakan), o Studi Pendahuluan RPJMN 2015-2019 (BAPPENAS, 2013).

SEKTOR LIMBAH o Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, o Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis

Sampah Rumah Tangga.

-- o 0 o --