32
DRAFT NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR URBAN STUDIES SEPTEMBER, 2014

NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

DRAFT NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR URBAN STUDIES SEPTEMBER, 2014

Page 2: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

2

Daftar Isi Pengantar Bab 1 . Kota-Kota Indonesia …………………………………………………………………………..5

1.1. Pertumbuhan Kota ………………………………………………………………………………….5 1.2. Ketimpangan Pembangunan Antar Kota ………………………………………………….8 1.3 Kota dan Lingkungan ………………………………………………………………………………10 1.4 Kota dan Perubahan Iklim………………………………………………………………………..11 1.5 Kenyamanan Berkota ………………………………………………………………………………12 1.6 Kemendesakan di Tiga Kota ……………………………………………………………………..15 Bab 2. Cita -Cita untuk Kota di Indonesia 2.1 Cita-cita menurut Rancangan Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan Nasional (KSPPN) …………………………………………………………………..19 2.2 Cita Cita menurut MP3EI ………………………………………………………………………..21 2.3 Cita-cita oleh Kota-Kota di Indonesia ………………………………………………………22 Bab 3. Bagaimana Mewujudkan Cita-Cita Kota di Masa Depan………………………27 3.1 Legislasi Baru Apakah Solusi?..................................................................29 3.2 Transformasi ………………………………………………………………………………………….30 3.3 Penutup ………………………………………………………………………………………………..32

Page 3: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

3

Pengantar

Pada 2007, UNFPA menerbitkan laporan tentang penduduk dunia dengan tajuk “Unleashing the Potential of Urban Growth”. Dalam laporannya tersebut, UNFPA menyebutkan bahwa pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia, sejumlah 3, 3 milyar orang, akan bertempat tinggal di kota. Pada 2030, diprediksi bahwa jumlah itu akan meningkat menjadi 5 milyar. Salah satu wilayah yang berkontribusi dalam peningkatan jumlah penduduk di wilayah kota adalah benua Afrika dan Asia, termasuk kota-kota di Indonesia. Urbanisasi, sebagai fenomena migrasi internal, telah terjadi di seluruh belahan dunia. Menurut data dari United Nations (2009), sejarah mencatat bahwa pada tahun 1800 hanya 3% penduduk dunia yang tinggal di perkotaan, namun angka tersebut meningkat pesat menjadi hampir 14% pada Tahun 1900 dan 30% pada Tahun 1950. Kota-kota di Indonesia juga mengalami peningkatan proses urbanisasi. Hasil proyeksi, pada tahun 2050, 85% penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (KSPPN, 2013). Peningkatan jumlah penduduk di kota, atau kerap disebut sebagai urbanisasi disebabkan oleh beragam faktor, utamanya; migrasi desa- kota, petumbuhan alami penduduk dan reklasifikasi desa menjadi kota. Tekanan pada kota, melalui pertumbuhan penduduk, membawa banyak tantangan pada pengelolaan kota seperti peningkatan kebutuhan infrastruktur termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. Kebutuhan atau “desakan” adanya layanan publik yang lebih baik diprediksi akan meningkat dikarenakan tren populasi kota yang semakin “cerdas” dengan meningkatnya populasi “kelas menengah” dan bertambahnya lulusan perguruan tinggi yang menetap di kota secara drastis mendekati angka 6 juta di tahun 2012 yang sebelumnya hanya 3,5 juta di tahun 20081. Tekanan di atas semakin bertambah dengan konteks peningkatan dampak perubahan iklim, terbukanya Pasar ASEAN mulai 2015, dan peningkatan jumlah penduduk muda yang berpotensi memberikan bonus demografi atau ancaman peningkatan angka pengangguran di masa depan. Kemiskinan kota turut menambah tekanan dengan meningkatnya jumlah atau luasan kawasan kumuh di kota sebagai wujud kegagalan pemerintah menyediakan perumahan rakyat yang terjangkau. Sejarah kehidupan kota perlu menjadi poin yang perlu diperhatikan dalam proses menjawab tantangan pengelolaan kota. Pembangunan sebagai respon atas kebutuhan infrastruktur seringkali menghapus bagian dari sejarah kota seperti keberadaan kampung, sungai-sungai , bangunan bersejarah dan juga keberadaan pasar tradisional yang tergeser oleh masifnya pembangunan mall dan tersebarnya mini market di penjuru kota. Bagaimana menjawab tantangan pengelolaan kota tanpa menghilangkan sejarah dan menurunkan kualitas lingkungan di kota? Pemerintah Nasional melalui Kementerian Dalam Negeri mendorong adanya RUU Kota sebagai upaya menjawab tantangan tersebut. 1 “Cities after 2014: Do we need a law on city development”, March 22, 2014.

http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/22/cities-after-2014-do-we-need-a-law-city-development.html

Page 4: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

4

Dalam proses-nya, Rujak Center for Urban Studies melibatkan diri untuk memberikan masukan terkait perumusan RUU Kota bekerjasama dengan mitra di tiga kota; Gerobak Hysteria (Semarang), Ayorek (Surabaya) dan Jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah Universitas Tanjung Pura (Pontianak). Perumusan masukan dilakukan melalui serangkaian lokakarya di tiga kota tersebut. Pihak yang terlibat dalam lokakarya adalah mereka yang memiliki perhatian atas kota atau bekerja di isu kota seperti akademisi, komunitas, NGO, dan Pemerintah Kota. Dalam lokakarya, terumuskan kemendesakan dan cita-cita masa depan ketiga kota. Tujuan dari naskah masukan RUU Kota ini adalah memberikan sudut pandang tentang kemendesakan dan cita-cita kota dan bagaimana mewujudkan cita-cita tersebut.

Page 5: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

5

Bab 1. Kota-Kota Indonesia

1.1 Pertumbuhan Kota Pada 2007, UNFPA menerbitkan laporan tentang penduduk dunia dengan tajuk “Unleashing the Potential of Urban Growth”. Dalam laporannya tersebut, UNFPA menyebutkan bahwa pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia, sejumlah 3,3 milyar orang, akan bertempat tinggal di kota. Faktanya, pada Tahun 2009, terdapat 47% dari penduduk dunia yang tinggal di perkotaan atau mencapai 3,42 milyar penduduk. Pada 2030, diprediksi bahwa jumlah itu akan meningkat menjadi 5 (lima) milyar dan akan meningkat menjadi 60% pada tahun 2050 atau sekitar 6.29 Milyar jiwa2. Salah satu wilayah yang berkontribusi dalam peningkatan jumlah penduduk di wilayah kota di dunia adalah benua Afrika dan Asia, termasuk kota-kota di Indonesia3. Urbanisasi, sebagai fenomena migrasi internal, telah terjadi di seluruh belahan dunia. Menurut data dari United Nations (2009), sejarah mencatat bahwa pada tahun 1800 hanya 3% penduduk dunia yang tinggal di perkotaan. Angka tersebut meningkat pesat menjadi hampir 14% pada Tahun 1900 dan 30% pada Tahun 1950. Komposisi penduduk perkotaan di Indonesia mencapai lebih dari 50%, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,75% per-tahun yang melebihi rata-rata pertumbuhan penduduk nasional yaitu sebesar 1,17% pertahun (BPS, 2012)4. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, penduduk perkotaan di Indonesia sudah mencapai 120 juta, hampir dari separuh jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus berlangsung5. Pertumbuhan tersebut melonjak sejak periode otonomi daerah pada tahun 2001. Pada tahun 1950, hanya terdapat empat kota otonom di Indonesia dan meningkat tajam menjadi 73 kota pada Tahun 1990 (KSPPN, 2013: hal 7). Angka tersebut menjadi berkali lipat berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri hingga Desember 2013 di mana terdapat 539 Daerah Otonom di Indonesia yang terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 98 kota. Di masa depan, tingkat urbanisasi dan jumlah penduduk perkotaan diprediksi akan meningkat tajam mencapai 67,7% pada tahun 2025 dan mencapai 85% pada tahun 2050 (KSPPN hal 6). Jumlah kota besar dengan populasi lebih dari satu juta meningkat secara signifikan. Pada 1950, hanya Jakarta, kota yang memiliki lebih dari satu juta penduduk. Di tahun 2014, jumlah kota berpenduduk lebih dari satu juta telah meningkat menjadi 12 kota di mana enam di antara nya, termasuk Jakarta, adalah bagian dari kawasan

2 Rancangan kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN). Bappenas: 2013. Hal.

2. 3 State of World Population 2007 : Unleashing the Potential of Urban Growth. UNFPA: 2007. Hal 1.

4 Rancangan kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN). Bappenas: 2013.hal. 6

5 “The Need for a National Urban Development Policy in Indonesia”. Jakarta Post, 20 September 2014.

www.jakartapost.com

Page 6: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

6

Jabodetabek yaitu kota Tanggerang, Kota Tanggerang Selatan, Kota Bekasi, Depok, Bogor6. Kota-kota tumbuh berkembang sebagian besar (67%) di Pulau Jawa dan Sumatera, sisanya tersebar 9% di Kalimantan, 11% di Sulawesi, 4% di Bali dan Nusa tenggara, 4% di Kepulauan Maluku, dan hanya 2% di Papua7. Pulau Jawa adalah wilayah yang mengalami proses urbanisasi paling masif dengan hampir 70% penduduk tinggal di wilayah kota di Pulau Jawa. Bahkan, seperlima dari keseluruhan penduduk wilayah perkotaan di Indonesia, tinggal di wilayah Jabodetabek8. Proporsi di Jawa dan luar Pulau Jawa (70% : 30%) tidak mengalami perubahan sejak tahun 1980. Pulau Jawa masih menjadi pusat aglomerasi penduduk perkotaan di Indonesia. Total penduduk perkotaan di Jawa terus meningkat dari 23 juta di tahun 1980 hingga hampir 63 juta di tahun 2005. Sementara penduduk perkotaan di luar pulau Jawa meningkat dari 10 juta di tahun 1985 menjadi hampir 29 juta di tahun 20059. Urbanisasi menurut (Firman, 2010) adalah transformasi aktivitas ekonomi pedesaan ke aktivitas industri. Urbanisasi dianggap sebagai salah satu perubahan sosial- ekonomi yang paling fenomenal di dunia. Dalam artian sempit, urbanisasi adalah fenomena demografis, didefinisikan sebagai tingkat perubahan ke arah kehidupan dengan karakteristik perkotaan pada suatu komunitas atau bangsa. Ada tiga ciri penentu urbanisasi, yaitu pertumbuhan penduduk alamiah, migrasi desa-kota, dan reklasifikasi desa menjadi kota10. Untuk definisi perkotaan, Sensus Penduduk tahun 1980, 1990, dan 2000 serta SUPAS 2005 mendefinisikan suatu daerah menjadi “perkotaan” jika memenuhi tiga syarat berikut; (1) memiliki kepadatan penduduk 5000 jiwa atau lebih setiap kilometer persegi luas wilayah; (2) memiliki 25% atau kurang keluarga yang bekerja di sektor pertanian; dan (3) memiliki delapan atau lebih fasilitas perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 1920 hingga 2005, dengan perkembangan sebagai berikut:

Tahun 1920 : tingkat urbanisasi 5,8%. Tahun 1945 : tingkat urbanisasi mencapai 10% Tahun 1980- 1990: tingkat urbanisai mengalami peningkatan dari 22,3%

menjadi 30,9%. Tahun 2000 : tingkat urbanisasi mencapai 42%

6 Ibid.

7 Rancangan kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN). Bappenas:2013.

halaman 23 8 “The Need for a National Urban Development Policy in Indonesia”. Jakarta Post, 20 September 2014.

www.jakartapost.com 9 State of Indonesian Cities: 2010. Hal.61. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Penataan Ruang

10 State of Indonesian cities 2010. Hal. 57. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Penataan Ruang

Page 7: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

7

Tahun 2005 : tingkat urbanisasi mencapai 43,1% Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga (35,2%) pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada periode 1980-1985 disebabkan oleh pertumbuhan alami dan sisanya disebabkan proses migrasi dan reklasifikasi (64,8%). Faktor pertumbuhan penduduk juga masih dominan (37%) sebagai faktor urbanisasi pada periode 1990-1995 di mana 63% lainnya disebabkan oleh migrasi dan reklasifikasi. Urbanisasi yang pesat memberikan dampak tidak hanya bagi kota dan kawasan perkotaan, namun juga bagi kawasan di sekitarnya. Dampak tersebut terlihat dari perubahan karakteristik desa menjadi karakteristik kota. Menurut World Bank, reklasifikasi dari desa ke kota merupakan faktor utama dalam pertumbuhan penduduk perkotaan pada tahun 1990-an, sekitar 30-35%. Transformasi kawasan di sekitar kota metropolitan agak berbeda antara kawasan metropolitan di sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan di kota-kota pusat, termasuk Jakarta, mengalami perlambatan pertumbuhan, sedangkan pinggiran kota-kota besar, seperti Bogor-Tangerang-Bekasi-Depok justru mengalami pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi. Untuk kawasan Jabodetabek, jumlah penduduk Jakarta sebagai proporsi penduduk kawasan Jabodetabek mengalami penurunan dari 54,6% menjadi 47,92% selama periode 1980-1990 dan menurun lebih jauh menjadi 33,16% pada tahun 2000. Bahkan, sepanjang 1990-2000, hampir 60% dari migrasi penduduk yang masuk ke Kabupaten Bogor dan Bekasi berasal dari Jakarta. Peningkatan arus migrasi dari Jakarta ke kota-kota di sekitarnya mempengaruhi angka pertumbuhan penduduk perkotaan di sebagian kota dan kabupaten sebagai berikut:

1. Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 2,18% 2. Kota Bogor mengalami pertumbuhan 7,18% 3. Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan 4,54% 4. Kabupaten Tanggerang mengalami pertumbuhan 3,98%.

Hal sebaliknya terjadi pada proses transformasi kawasan metropolitan di luar Jawa, sebagai berikut11:

Perbandingan Kota dan kawasan Tahun 2000 Tahun 2005

Kota Medan terhadap kawasan Mebidangro 43,66% 48,63%

Kota Denpasar terhadap Kawasan Sarbagita 32,07% 32,23%

Kota Makassar terhadap Mamminasata 51,83% 51,92%

11

State of Indonesian cities 2010. Hal.57. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang

Page 8: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

8

Perkembangan spasial kawasan pinggiran kota di Pulau Jawa membentuk apa yang disebut oleh Tomy Firman sebagai sabuk penghubung kota-kota besar di mana perbedaan antara "pedesaan" dan "urban" semakin kabur dan bercirikan peningkatan pencampuran kegiatan ekonomi pedesaan, terutama pertanian, dengan aktivitas industri perkotaan. Sabuk tersebut mencakup Jakarta-Bandung-Cirebon-Semarang-Yogyakarta-Semarang dan Surabaya-Malang 12. 1.2. Ketimpangan Pembangunan Antar Kota Konsentrasi penduduk di suatu kawasan membawa peningkatan pendapatan kawasan. Jabodetabek memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional yaitu menyumbang 25% total GDP. Kota metropolitan lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Makassar, semuanya menyumbang 15% dari GDP. Angka di atas menunjukkan belum optimalnya peran kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi regional. Rata-rata Tahun 2005-2010 kota hanya mampu memberikan kontribusi ekonomi terhadap nasional sebesar 40% sedangkan jika dilihat proses urbanisasi dalam kurun waktu 2000-2010 sebesar 2,12%. Kota metropolitan memberikan kontribusi paling besar rata-rata sebesar 27% (2005-2010) dengan jumlah kota hanya 15% dari jumlah kota yang ada. Kota sedang (56% ) hanya mampu memberikan sumbangan ekonomi sebesar 7% dan terlihat juga mengalami penurunan dalam kurun waktu 2009-2010. Kota kecil belum memberikan peran pertumbuhan yang baik, kontribusi terhadap perekonomian nasional masih di bawah 1% begitu juga kota besar masih berada di angka 5%13 . Terkait dengan PDRB, kota metropolitan mengalami peningkatan PDRB yang jauh lebih tinggi dibandingkan kota-kota lain. PDRB kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil tumbuh tidak proporsional. Persentase PDRB antara kota besar dan kota metropolitan pada tahun 2005 memiliki perbandingan 14:67 pada tahun 2010 sebesar 15:69. Antara kota sedang dan kota besar Tahun 2005 memiliki perbandingan 18:14 pada Tahun 2010 sebesar 16:15. Ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional disebabkan oleh beragam faktor yang antara lain adalah : (i) faktor geografi, yang mempengaruhi perbedaan distribusi sumber daya alam, topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral (ii) faktor sejarah (iii) faktor politik (iv) faktor kebijakan (v) faktor administratif (vi) faktor sosial dan (vii) faktor ekonomi. Faktor ekonomi sebagai salah satu penyebab ketimpangan wilayah disebabkan oleh antara lain : (i) konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah (ii) alokasi investasi (iii) tingkat mobilitas faktor produksi antar daerah (iv) perbedaan sumber daya alam (SDA) (v)

12

State of Indonesian Cities 2010: hal. 66. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang 13

Rancangan kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN). Bappenas:2013. Hal. 34

Page 9: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

9

perbedaan kondisi demografis antara wilayah dan (vi) kurang lancarnya perdagangan antar wilayah 14. Ketimpangan wilayah antar kawasan tersebut membawa dampak negatif khususnya bagi kota-kota besar dan metropolitan, maupun bagi kota-kota sedang dan kecil. Dampak negatif yang ditimbulkan di kota-kota besar dan metropolitan, antara lain: (i) eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan, (ii) terjadinya konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan terbangun, (ii) menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan, menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, dan penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan. Salah satu wujud dari ketimpangan wilayah adalah ketimpangan dalam penyediaan sarana dan prasarana perkotaan, sebagai berikut15 : 1. Ketimpangan dalam penyediaan sarana dan prasarana transportasi baik udara,

laut maupun darat. Untuk transportasi udara, hingga 2010, 16 dari 29 bandara internasional (55%) terkonsentrasi di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Beberapa tahun terakhir, peningkatan kualitas sarana transportasi udara (bandara) sudah membaik dengan renovasi bandara seperti Bandara Hasanuddin Makassar, Bandara di Kota Labuan Bajo, dll. Untuk transportasi laut, prasarana dan sarana penyebrangan masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan kondisi geografis (sebaran pulau-pulau) dan jumlah pulau di Indonesia (sekitar 17.000 pulau). Berdasarkan jumlah lintasan, saat ini baru ditetapkan sejumlah 172 lintas, tetapi yang baru beroperasi adalah 130 lintas. jumlah pelabuhan di Indonesia seluruhnya sudah mencapai 500 di mana hanya 111 yang komersil dan sebagian besar berpusat di kota-kota utama di pulau-pulau bagian barat Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara). Untuk ketersediaan sarana terminal yang menghubungkan jalur bis antar kota, terminal type A tersebar di kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Begitupun dengan moda transportasi kereta api, hanya terbatas melayani kota-kota di Pulau Jawa, Madura dan Sumatera.

2. Ketimpangan infrastruktur. Terdapat kesenjangan khususnya antara kota di

Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa untuk infrastruktur air bersih, sanitasi, dan jaringan listrik. Kota-kota di Pulau Jawa memiliki infrastruktur yang paling lengkap dan paling banyak dibandingkan kota-kota di luar Pulau Jawa. salah satu contoh yang dianggap dominan adalah pembangunan jaringan jalan baik secara kuantitas maupun kualitas. Dari total 34.628, 83 km panjang jalan di Indonesia, 47% (16.209 km) di antara nya berada di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera.

14

State of Indonesian Cities, 2010. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang Halaman 127. 15

State of Indonesian Cities 2010. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang Halaman 153-158

Page 10: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

10

Ketimpangan sarana dan prasarana dan pendapatan antar kota menjadikan rendahnya daya saing perkotaan dalam Lingkup Regional Wilayah. Menurut Bappenas dalam KSPPN, daya saing kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia memiliki daya saing yang masih rendah. Kegiatan ekonomi masih terpusat di Kawasan Barat Indonesia menyebabkan lemahnya keterkaitan ekonomi antar wilayah barat dan timur Indonesia. Jika dibandingkan ketimpangan kota Indonesia bagian barat dengan kota Indonesia bagian timur maka sangat terjadi ketimpangan kegiatan ekonomi. Ketimpangan kegiatan ekonomi ini semakin meningkat dari 6 kali lipat di Tahun 2005 menjadi 7 kali lipat di Tahun 2010

1.3. Kota dan Lingkungan Tekanan pada kota, melalui pertumbuhan penduduk, membawa banyak tantangan pada pengelolaan kota seperti peningkatan kebutuhan infrastruktur termasuk penyediaan perumahan rakyat. Persoalan dalam pemenuhan perumahan rakyat tergambarkan dari meningkatnya angka backlog perumahan. Berdasarkan data BPS 2011-2013, angka backlog 2013 mencapai 13,6 juta unit hunian, sedangkan pasokan produksi rumah hanya 250.000-400.000 unit per tahun (studi Bank Dunia). Dari tahun 2006-2011, Rumah Tangga tanpa keamanan bertempat tinggal terus meningkat mencapai 4,69 juta Rumah Tangga pada tahun 2011. Data menunjukkan belum adanya langkah efektif untuk menyelesaikan ketimpangan pemenuhan kebutuhan akan rumah yang layak16. Meningkatnya angka backlog perumahan berimplikasi pada penambahan luas perumahan kumuh dari 40.000 hektar pada 1996 menjadi 47.500 hektar pada 2000 dan 54 ribu hektar di tahun 200417. Selain persoalan pertambahan kawasan kumuh di kota, pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan juga menambah persoalan baru.

1. Polusi udara dan kualitas udara. Ada lima kota besar di Indonesia (Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya) yang tergabung dalam Jaringan pemantau Kualitas Udara Ambien. Berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) selama kurun waktu 2002-2005, kelima kota di atas pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar18. Peningkatan jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor, selain menambah persoalan pencemaran udara, juga menimbulkan kemacetan kronis.

2. Limbah Padat dan berbahaya. Tingkat limbah di daerah perkotaan telah meningkat dalam rentang 2005-2010. sebagian besar limbah padat di perkotaan berasal dari rumah tangga, industri pertanian, institusi, kantor pemerintah, dan swasta. Penanganan limbah belum terintegrasi dari hulu ke hilir. tingkat pengumpulan limbah

16

“Pembangunan Perumahan Tantangan, Visi dan Arahan Program Pembangunan Nasional (Bappenas), 25 November 2013. 17

Suryono Herlambang dalam Politik Ekonomi Perumahan Rakyat dan Utopia Jakarta. 2012. 18

Kota di Persimpangan Jalan : Pedoman Perancangan Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan Perkotaan”, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009.

Page 11: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

11

padat di seluruh wilayah Indonesia masih rendah. Hanya sekitar 50% dari jumlah total kota besar yang memiliki tingkat pengumpulan sampah tinggi. selain itu, sekitar 90% limbah yang dihasilkan oleh kegiatan di kota dibuang atau ditempatkan secara ilegal tanpa pengamanan terhadap lingkungan.

3. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan UU Penataan Ruang No 26 tahun 2007, 30% wilayah di kota ditargetkan sebagai Ruang Terbuka Hijau. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH teah berkurang dari 35% di awal tahun 1970 menjadi kurang dari 10% di tahun 2010; Jakarta (9,97%), Bandung (8,76%), Bogor (19,32 %), Surakarta (16%), Malang (4%), Makassar (3%), Mdan (8%), Jampi (4%), dan Palembang (5%). Di tahun 2014, luasan RTH di Surabaya meningkat menjadi 21%. Kota Surabaya bahkan menargetkan untuk meningkatkan luas RTH nya menjadi 35%. Untuk wilayah Jabodetabek, hanya Jakarta yang memiliki RTH di bawah 10%, dengan Kabupaten Bekasi memiliki luas RTH 16%19, dan kota Tanggerang (11%)20.

1.4. Kota dan Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah suatu proses berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia21. Terkait dampak perubahan iklim pada wilayah perkotaan, curah hujan yang berlebihan dapat mengakibatkan banjir dan longsor. Namun sebaliknya, curah hujan yang terlalu sedikit mengakibatkan kekeringan dan penurunan ketersediaan air. Penurunan ketersediaan air akan mempengaruhi pasokan ketersediaan air untuk wilayah perkotaan dan pertanian. Resiko penurunan ketersediaan air yang sangat tinggi terdapat di wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Nusatenggara dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, resiko banjir sangat tinggi terdapat di daerah retensi, kota-kota di pinggir pantai, bantaran sungai dan daerah-daerah rendah di hilir sungai besar seperti kota-kota di pinggir sungai besar di Pulau Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan Barat, Timur dan Selatan; timur Sulawesi dan Selatan Papua22. Selain kekeringan dan banjir, dampak perubahan iklim yang nyata terhadap kota adalah kenaikan muka air laut. Wilayah resiko penggenangan wilayah pesisir antara lain adalah : di Pulau Sumatera (Riau, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Lampung). Pesisir Utara Pulau Jawa (DKI Jakarta, Tanggerang, Semarang dan Tanjung Muria), Nusatenggara (Pulau Lombok, pesisir Teluk Saleh di Pulau Sumbawa, Pantai Ende dan Larantuka di Pulau Flores), Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin dan Samarinda), Sulawesi Selatan, Kota Ambon dan Kota Jayapura dan Pulau Biak23.

19

“Soal Ruang Terbuka Bekasi Kagumi Surabaya”, 24 November 2013. www.merdeka.com 20

Tanggerang Targetkan 20% RTH”, 9 September 2014. www.republika.co.id 21

State of Indonesian Cities : 2010. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Penataan Ruang Halaman 91. 22

RAN Adaptasi Perubahan Iklim, Bappenas. halaman 24. 23

Ibid. Hal. 25

Page 12: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

12

Pada 2009, SIDA menghasilkan Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia. Dari pemetaan tersebut teridentifikasi dari keseluruhan kota di Asia Tenggara, Jakarta adalah kota yang paling rentan terhadap bencana seperti banjir juga bahaya kebakaran. Hal ini disebabkan karena Jakarta merupakan kota terpadat di Asia Tenggara24. Selain itu, pemetaan juga menghasilkan temuan 50 wilayah terentan terhadap perubahan iklim di Indonesia di mana hampir 60% kota-kota tersebut tersebar di Pulau Jawa, khususnya kota-kota dan kabupaten di Jawa Barat25. 1.5. Kenyamanan Berkota

Bersandar pada Survey Most Livable City Index 2011 menunjukkan bahwa kondisi kota – kota besar di Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Dalam press release dikatakan bahwa mayoritas kondisi kota-kota besar di Indonesia dinilai tidak nyaman oleh warganya. Berdasarkan survey yang dilakukan di 15 kota besar, diketahui bahwa nilai rata-rata (mean) indeks kenyamanan kota adalah 54,26. Indeks dengan persepsi tingkat kenyamanan tertinggi di Kota Yogyakarta (66,52) dan Kota Denpasar (63.63). Sedangkan dan persepsi kenyamanan warga yang paling rendah adalah Kota Medan (46,67) dan Kota Pontianak (46.92). Kota – kota dengan indeks diatas rata–rata adalah : Yogyakarta, Denpasar, Makassar, Menado, Surabaya dan Semarang. Sedangkan kota – kota dengan indeks dibawah rata-rata adalah Banjarmasin, Batam, Jayapura, Bandung, Palembang, Palangkaraya, Jakarta, Pontianak dan Medan. Kota Jakarta, sebagai Ibukota negara dirasakan semakin tidak nyaman terutama dalam aspek tata kota, kualitas lingkungan dan transportasi yang buruk. Jika dilakukan perbandingan dengan data index MLCI pada tahun 2009, ada beberapa kota yang mengalami kenaikan yaitu : Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Semarang, Banjarmasin dan Pontianak. Sedangkan kota Manado, Jayapura, Bandung, Palangkaraya, Jakarta dan Medan mengalami penurunan. Berdasarkan survey terhadap persepsi masyarakat yang telah dilakukan diketahui beberapa temuan yang cukup menarik, diantaranya adalah : 1..5.1. Kota Paling Nyaman Kota dengan persepsi warga paling nyaman adalah Kota Yogyakarta dengan indeks 66,52%. Hampir pada semua kriteria, persepsi warga Kota Yogyakarta selalu diatas 30 %, kecuali untuk kriteria ketersediaan lapangan kerja (29%). Budaya masyarakat Kota Yogya yang lembut, sopan, ramah, penurut dan tidak banyak menuntut merupakan salah satu alasan tingginya persepsi kenyamanan warga terhadap kotanya selain tentu saja pencapaian pembangunan kota yang telah dilakukan pemerintah bersama dengan warga kota Yogya. Kota lainnya yang dianggap cukup nyaman oleh warganya adalah Kota Denpasar dengan indeks 63.63. Sebagai kota pariwisata, Denpasar dirasakan cukup nyaman oleh warganya kecuali untuk variabel tingkat pencemaran lingkungan, dimana warga kota merasakan adanya pencemaran lingkungan yang cukup tinggi.

24

Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia: 2009. EEPSEA, Singapore. halaman 13 25

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), 2014. Bappenas, Jakarta

Page 13: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

13

1.5.2. Kota Paling Tidak Nyaman Kota Medan dan Kota Pontianak memiliki persepsi kenyamanan warga yang rendah hampir pada semua kriteria. Kota Medan dipersepsikan warganya memiliki kondisi tata kota dan kualitas lingkungan yang buruk, kualitas pedestrian yang buruk, perlindungan bangunan bersejarah yang buruk dan tingginya tingkat kriminalitas kota. Nampaknya perkembangan Kota Medan yang cukup pesat tidak diimbangi dengan penataan kota yang baik dan perlindungan terhadap bangunan bersejarah di kota tersebut. Kota Pontianak dipersepsikan warganya memiliki tata kota yang buruk, biaya hidup yang tinggi, kesempatan kerja yang rendah, kualitas air bersih yang kurang. Dari aspek fisik dapat dilihat bahwa Kota Pontianak memiliki lahan gambut yang sangat luas, hal ini berdampak pada keterbatasan areal pengembangan kota, limitasi bagi pengembangan infrastruktur dan ketersediaan air bersih. 1.5.3. Kriteria Penataan Kota Untuk Kriteria Penataan Kota, Kota Palangkaraya memiliki angka prosentase tertinggi dipersepsikan oleh warganya memiliki penataan kota yang baik, yaitu sebanyak 60 %. Kota Palangkaraya meskipun masih jauh dari ukuran ideal, namun memiliki kondisi penataan kota yang cukup baik. Jaringan jalan yang lebar dengan pengaturan bangunan yang baik menjadikan struktur kota yang rapid dan teratur. Akomodasi ruang Kota Palangkaraya terhadap pertumbuhan penduduk dinilai masih memadai. Hal yang sebaliknya terjadi dengan Kota Bandung dan Kota Medan. Kota dengan persepsi terendah untuk aspek tata kota adalah Kota Bandung yaitu hanya 3 % dan Kota Medan yaitu 5%. Hal ini artinya bahwa hanya 3 % responden warga Kota Bandung dan 5% warga Kota Medan yang menganggap kualitas penataan kotanya baik, selebihnya 95-97 % menganggap aspek penataan Kota Medan dan Kota Bandung adalah buruk. Angka 3 % ini merupakan angka terendah dari semua kriteria di semua kota, dan itu ada di Kota Bandung. Hal ini mengindikasikan bahwa warga Kota Bandung sangat tidak puas dengan kondisi penataan kota Bandung sekarang. Salah satu hal yang dapat dilihat secara kasat mata adalah indikasi komersialisasi kota yang bergerak terlalu jauh yang merampas ruang-ruang publik yang tentu hal ini dinilai tidak baik oleh masyarakat kota. Tentu saja indikasi ini harus menjadi perhatian bagi semua stakeholder pembangunan Kota Bandung, baik pihak pemerintah, swasta, akademisi, praktisi dan pihak masyarakat dan swasta untuk ikut mengawal kondisi Tata Kota Bandung menuju penataan kota yang lebih baik. Pada dasarnya, kepentingan umum seperti perasaan keteraturan, kenyamanan dan keamanan dapat terwujud dengan penataan yang terarah, teratur dan berkualitas. Sehingga dengan demikian kriteria penataan kota ini berdampak besar terhadap aspek kehidupan perkotaan lainnya. 1.5.4. Kriteria Ketersediaan Lapangan Kerja. Untuk kriteria ini warga Kota Palembang dan Kota Medan memiliki persepsi yang paling rendah, yaitu hanya 16% dan 17 %. Sedangkan Kota Batam dipersepsikan warganya sebagai kota dengan kesempatan lapangan kerja yang tinggi yaitu 75%. 1.5.5. Transportasi Publik Ketersediaan angkutan umum dipersepsikan cukup baik oleh warga kota, yaitu rata-rata pada index 60.4%. Ketersediaan berbagai moda angkutan umum mulai dari bis

Page 14: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

14

kota dan angkutan kota yang cukup banyak. Tetapi kualitas dari angkutan umum dirasakan rendah dengan index 38,67%, hal ini menunjukkan tingkat pelayanan dari angkutan umum tersebut masih rendah. Untuk itu diperlukan adanya pengembangan sistem angkutan umum masal di setiap kota, terutama untuk kota Medan, Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. 1.5.6. Fasilitas untuk kaum Difabel Semua kota belum memberikan fasilitas yang memadai bagi penyandang cacat. Buruknya fasilitasi bagi penyandang cacat ini dapat diartikan pula bahwa semua kota belum memiliki fasilitasi yang baik bagi kaum manula dan ibu hamil, padahal mereka semua juga merupakan warga kota yang harus diperhatikan. Pada dasarnya kenyamanan hidup berkota adalah hak setiap warga kota, maka pemerintah kota sebagai pihak yang diberi mandat oleh warga harus berusaha untuk merencanakan, membangun dan mengendalikan kawasan perkotaan demi terciptanya lingkungan perkotaan yang nyaman untuk dihuni. Begitupun pihak warga harus paham, mengerti dan menjalankan kewajiban sebagai warga kota yang baik, tidak sekedar menjadi masyarakat kota saja tetapi benar-benar menjadi warga kota (citizen) yang turut mewujudkan kenyamanan kota. Indeks ini paling tidak memberikan Snapshot yang Simple dan Aktual mengenai persepsi warga kota menunjukkan bahwa kota-kota besar Indonesia saat ini masih jauh dari kondisi yang ideal sebagai kota yang nyaman. Kondisi ini akan semakin tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani, kreatif dan progresif dari para pemimpin kota, terutama walikota, untuk mengambil dan menerapkan kebijakan pembangunan kota yang berani.

Page 15: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

15

1.6. Kemendesakan di Tiga Kota Di bawah ini adalah beberapa persoalan mendesak yang ditemukan di tiga kota :

1.6.1 Transportasi Publik

Kota Pontianak sangat miskin pelayanan transportasi publik. Jumlah angkutan kota (angkot) sangat tidak memadai, dan kondisinya tak terurus. Tidak semua jalan-jalan utama dilalui oleh trayek angkutan umum. Harga kendaraan bermotor roda dua yang sangat murah serta kemudahan dalam proses kepemilikan, membuat masyarakat Pontianak sangat mengandalkan kendaraan bermotor pribadi untuk melakukan pergerakan. Akibatnya, kemacetan terus mewarnai wajah kota ini, terlebih pada jam-jam tertentu.

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Kalbar khususnya sepeda motor teramat tinggi, mencapai angka 16.58%. Pertambahannya 122.678 unit setiap tahun atau 10.223 unit perbulan. Sedangkan untuk infrastruktur jalan, pada 2007, di Kalbar hanya memiliki jalan sepanjang 12.777,816 km. [Borneo Tribun, 16 Juli 2011]. Jumlah kendaraan roda dua ini akan terus tak terbendung karena pemerintah seakan membiarkan masyarakat mencari solusi dan jalannya sendiri dalam memecahkan kebuntuan pada kebutuhan mobilitas.

Untuk Surabaya, kemacetan telah menjadi keluhan utama warga Surabaya. Transportasi publik belum menjadi moda alternatif untuk mobilitas. Ketergantungan pada kendaraan pribadi juga tinggi.

1.6.2 Kesenjangan pembangunan wilayah Ada kesenjangan dalam pembangunan dan alokasi dana antara wilayah Utara dan Selatan Surabaya. Dana yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak diberikan ke daerah Selatan, Pembangunan di daerah Selatan seringkali lebih mudah tercapai. Pembangunan di Utara seringkali tidak mencapai target. Padahal, ada banyak pemukiman kumuh di daerah Utara yang pengolahan limbahnya kurang bagus. Begitu juga dengan kota Pontianak, antara wilayah Timur dan Barat. Kecamatan Pontianak Utara dan Pontianak Timur yang berada di sisi lain Sungai Kapuas, cenderung lebih tertinggal dibanding kecamatan-kecamatan lain di sisi barat Sungai Kapuas. Jika ini terus dilakukan, maka kesenjangan akan meningkat, dan orang-orang akan berpindah dari utara ke daerah lainnya. Jika pemerintah menghadapi daerah “bermasalah”, justru perlu dicari cara untuk menghidupkan dan meregenerasi. Perlu dipertimbangkan juga sistem evaluasi yang mempertimbangkan kesenjangan ini, yang mungkin memerlukan jangka waktu lebih panjang. 1.6.3. Perlunya pendidikan tentang kota Banyak dari warga kota yang tidak mengenal kotanya sendiri. Apa yang terjadi di kota, ruang publik mana yang bisa digunakan, kegiatan publik apa yang bisa diikuti, bagaimana metaboliseme kota bekerja, asal produk untuk konsumsi kota, kemana dan bagaimana sampah produksi warga dikelola? dll.

Page 16: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

16

Sistem pendidikan saat ini mengasingkan kita dari lingkungan sekitar. Misalnya ketika mahasiswa ditugaskan untuk bekerja dengan komunitas, tak jarang mereka membuat komunitas imajiner, karena tidak mengenal komunitas sekitarnya yang bisa diajak bekerjasama. Pendidikan penting diwujudkan, karena saat ini pendidikan formal semakin baku dan semakin fokus terhadap pekerjaan dan tujuan praktis. Sistem pendidikan saat ini tidak mendorong murid untuk mengenal kotanya—malah, membuat murid menjadi asing dengan kotanya. Padahal banyak sekali fasilitas-fasilitas yang tersedia di kota (museum, planetarium, misalnya) yang bisa membantu warga kota menjajaki “dunia” apa yang bisa mereka lakukan untuk hidup mereka. Perlu ada pendidikan, baik formal maupun informal, mengenai sejarah kota, blusukan ke kota, yang mengajak murid/warga lebih mengenal kota dan lingkungan sekitarnya.

1.6.4 Bencana

Terkait kerentanan terjadap bencana, kota Semarang dan Pontianak kerap mengalami banjir. Untuk Semarang, banjir rob didominasi karena penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut. Untuk Pontianak, Kota ini sering tergenang saat intensitas hujan meningkat apalagi jika bersamaan dengan pasang air sungai. Wilayah genangan yang terdapat di Kota Pontianak sebagian besar merupakan genangan sesaat yang disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Selain karena curah hujan tinggi, banjir di kota Pontianak juga disebabkan oleh beberapa faktor berikut: (1). Minimnya daerah resapan (2). Banyaknya terjadi penyempitan saluran primer dan keberadaan jembatan di beberapa saluran primer. (3). Perilaku masayarakat yang masih membuang sampah ke Sungai (4). Banyaknya bangunan di sepanjang bantaran sungai dan di atas parit. (5). Kondisi permukaan wilayah kota berada pada permukaan yang rendah. (6). Perencanaan drainase relatif sulit dan lahan yang tergenang air akibat pasang bisa mencapai 47%.

1.6.5 Pencemaran Lingkungan

Kota Pontianak rentan terhadap pencemaran udara (kabut asap) yang dihasilkan oleh kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang berlangsung pada tahun 2006 merupakan salah satu dampak kekeringan cukup parah yang melanda wilayah kota Pontianak dan sekitarnya. Kebakaran hutan menghasilkan asap tebal yang bertahan lama di atmosfer, dimana visibilitas akan berkurang bahkan hingga kurang dari 100 m. Selain itu, polusi asap juga sangat menggangu kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan, dan gangguan terhadap sektor perhubungan.

Untuk kota Semarang, pencemaran udara (25 kasus) masih menempati urutan pertama persoalan disusul dengan pencemaran limbah cair (19). Persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah soal penertiban galian C. Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi dan Sumber Daya Mineral (PSDA dan ESDM) Kota Semarang, hingga saat ini terdapat 20 usaha pertambangan bukan logam dan mineral (galian C) di wilayahnya. Ironisnya, dari jumlah itu, 19 diantaranya

Page 17: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

17

merupakan usaha pertambangan ilegal alias tidak berizin. Celakanya rata-rata daerah galian C itu berada di wilayah Semarang atas, misalnya Tembalang. Perkembangan terakhir tahun 2014 sudah tak ada izin lagi mengenai galian C namun aktivitasnya masih ada dan rasa-rasanya Pemerintah Kota Semarang tidak mengambil tindakan yang tegas. Ada lagi yang perlu diperhatikan yakni tentang pengembangan Daerah Aliran Sungai Kaligarang, pasca diresmikannya Waduk Jatibarang tentu akan merubah banyak kawasan tersebut. Mulai dari persoalan pertambahan penduduk yang bisa jadi akan mempengaruhi alih fungsi lahan, dan persoalan persoalan turunan lainnya.

1.6.6. Ruang Terbuka Hijau

Meskipun saat ini Kota Pontianak masih terlihat cukup hijau, namun pada dasarnya pemenuhan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) hingga 30% untuk 20 tahun ke depan bukanlah hal yang mudah. Selain masalah ketersediaan lahan, kualitas RTH yang ada belum terlalu memadai untuk memenuhi berbagai fungsi RTH secara baik, seperti fungsi ekologi, estetika, sosial dan ekonomi. Selain itu, potensi ‘menghijaukan’ kota melalui RTH privat kurang menjadi perhatian pemerintah. Sejauh ini kegiatan-kegiatan sosialisasi dan himbauan kepada masyarakat untuk menghijaukan pekarangan rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal, cenderung sangat kurang. Kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengadaan RTH pekarangan rumah juga masih sangat rendah.

1.6.7. Pelestarian Cagar Budaya

Cagar budaya yang ada di kota Pontianak cukup banyak jumlah dan macamnya, baik dalam bentuk masa peninggalan dari masa prasejarah hingga masa kemerdekaan. Melihat banyaknya potensi cagar budaya yang ada, maka sesungguhnya Kota Pontianak mempunyai sumbangan yang besar dalam memperkaya khasanah budaya. Namun, Pemerintah Kota Pontianak belum secara maksimal memberdayakan dan melestarikan keberadaannya.

Saat ini bangunan-bangunan dan kawasan yang memiliki nilai sejarah semakin terdesak oleh bangunan baru yang lebih memiliki nilai ekonomis. Beberapa persoalan yang dihadapi saat ini di antaranya, tidak/belum ada peraturan yang mampu menegaskan apakah pengelolaan peninggalan tersebut dikelola oleh ahli waris atau oleh pemerintah, terbatasnya alokasi anggaran APBD untuk kegiatan pelestarian, serta kurangnya pengetahuan berbagai pihak mengenai pentingnya arti pelestarian

1.6.8. Krisis Air Bersih

Di dalam pemenuhan kebutuhan air bersih, mayoritas masyarakat Kota Pontianak memanfaatkan pelayanan air bersih dari PDAM. Selain PDAM, untuk mencukupi kekurangan air bersih, kebiasaan hidup masyarakat Kota Pontianak adalah memanfaatkan air hujan, terutama untuk memasak dan minum. Sedangkan untuk

Page 18: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

18

kegiatan mandi dan mencuci, masyarakat memanfaatkan air permukaan seperti air kolam dan air sungai.

Musim kemarau merupakan masalah bagi masyarakat Kota Pontianak untuk mendapatkan air bersih karena suplai air bersih dari PDAM akan dihentikan disebabkan intrusi air laut, sedangkan persediaan air bersih yang bersumber dari air hujan akan habis. Pemanfaatan air tanah juga kurang ekonomis karena air tanah di wilayah Kota Pontianak mengandung kadar besi/Fe yang tinggi. Jalan yang ditempuh masyarakat adalah dengan memanfaatkan air permukaan berupa air kolam dan air sungai, yang tidak memenuhi syarat sebagai sumber air bersih 1.6.9. Krisis Energi Listrik

Pelayanan kebutuhan listrik di Kota-kota Indonesia, khususnya yang di luar Jawa masih sering tejadi. Begitu juga dengan kota Pontianak. PLN sering sekali memberlakukan pemadaman listrik secara bergilir. Dalam program jangka panjang, PLN Wilayah Kalbar sudah memiliki rencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bakar batu bara di beberapa sistem kelistrikan. Termasuk, upaya pengembangan jaringan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Berhembus pula wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang masih menimbulkan pro-kontra.

Pada dasarnya, masalah krisis listrik Pontianak sebenarnya merupakan bagian dari masalah besar krisis energi di Kalimantan Barat bahkan di Pulau Kalimantan, akibat minimnya program-program dan realisasi pembangunan infrastruktur wilayah di pulau ini. Banyak investor yang mau berinvestasi di Kalimantan, seperti di sektor industri pengolahan, perhotelan, rumah sakit, dan perumahan, kemudian menarik diri karena mereka tidak sanggup menyediakan dana besar untuk biaya operasional akibat kesulitan mendapatkan pasokan listrik dari PT PLN (Persero).

1.7. Tata Ruang

Menghilangnya kampung dan budaya kampung yang terjepit antara pembangunan skala massif (mall, food court, dll) di Surabaya. Untuk Kota Semarang, tata ruang dianggap penting memperhatikan aspek zonasi, intensitas guna lahan, penataan visual kota (artistik), serta semakin menurunnya ketersediaan lahan pemakaman.

Page 19: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

19

Bab 2. Cita -Cita untuk Kota di Indonesia 2.1. Cita-cita menurut Rancangan Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan Nasional (KSPPN) Dalam pengantarnya, Rancangan Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN), Kota-kota Indonesia ke depan adalah kota- kota yang layak huni untuk tempat bermukim, kota yang hijau dan mampu mengantisipasi perubahan iklim dan bencana, serta kota yang berdaya saing berbasis teknologi komunikasi dan informasi (ICT), sesuai dengan karakter geografis, sosial, dan budaya Indonesia yang sangat beragam dari Sumatera hingga Papua. Selain itu, kota-kota Indonesia ke depan juga dimaksudkan sebagai sentra pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan antar kota wilayah Jawa dan luar Jawa, serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan. KSPPN adalah sebuah dokumen perencanaan di tingkat nasional yang disusun oleh Bappenas dan memiliki kedudukan tertentu terhadap dokumen-dokumen perencanaan lainnya, baik dokumen perencanaan pembangunan, dokumen penataan ruang, maupun dokumen penganggaran yang telah disusun oleh Kementerian/Lembaga lain dan Pemerintah Daerah. KSPPN akan menjadi acuan pembangunan perkotaan di Indonesia untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun, mulai dari Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2050. Dalam dokumen KSPPN disebutkan bahwa visi pembangunan perkotaan nasional adalah : “Terwujudnya Kota Berkelanjutan Tahun 2050 yang hijau, layak huni dan berdaya saing untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dibangun berdasarkan karakter fisik, potensi ekonomi, dan budaya lokal.” Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi sebagai berikut:

1. Meningkatkan pemerataan pembangunan kota-kota sesuai peran dan fungsinya dalam sistem perkotaan nasional

2. Mengembangkan prasarana dan sarana dalam memenuhi Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) berdasarkan tipologi dan karakteristik kota

3. Membangun hunian kota yang layak, aman, dan nyaman, berbasis lingkungan, sosial, dan budaya yang beragam.

4. Membangun kegiatan perekonomian, pemerintah, dan masyarakat kota berdaya saing yang produktif, kreatif, dan inovatif, efisien, serta berbasis ICT.

5. Mengendalikan ruang dan kegiatan pembangunan kota, dengan menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan kota, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan iklim dan bencana.

6. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kota yang transparan, akuntabel,dan partisipatif

Untuk terwujudnya visi dan misi, ada beberapa sasaran pembangunan perkotaan nasional yang mencakup :

Page 20: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

20

1. Perwujudan sistem perkotaan nasional; salah satu tujuan utama dari sistem perkotaan nasional adalah menyeimbangkan pembangunan kawasan Timur Indonesia dengan kawasan barat Indonesia.

2. Pemenuhan pelayanan perkotaan dan perwujudan kota masa depan; asumsi yang diterapkan di sini adalah bahwa perwujudan kota masa depan dapat dipenuhi setelah kota-kota dan kawasan perkotaan mampu memenuhi Standar Pelayanan Perkotaan. Kota-kota yang telah memenuhi Standar Pelayanan Perkotaannya dapat melanjutkan ke perwujudan kota Hijau, Kota Layak Huni, Kota cerdas dan berdaya saing. Apabila kriteria-kriteria kota masa depan tersebut terpenuhi, maka kota tersebut menjadi kota Berkelanjutan. Dalam perencanaan disebutkan bahwa kota-kota diberikan kebebasan untuk menentuka target perwujudan kota masa depan mana yang terlebih dahulu dipenuhi.

3. Peningkatan tata kelola dan kelembagaan pemerintah. Tujuan yang dicita-citakan melalui butir ini adalah peningkatan tata kelola dan kelembagaan pemerintah yang lebih transparan, akuntabel dam partisipatif. Tata kelola pemerintah yang dicita-citakan adalah yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat; melibatkan sektor swasta dan masyarakat; kerjasama antar kota di itngkat regional, nasional maupun internasional.

Perwujudan 3 (tiga) sasaran tersebut direncanakan dapat tercapai dalam kurun waktu 35 tahun, mulai dari Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2050.

Page 21: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

21

2.2. Cita Cita menurut MP3EI MP3EI adalah Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015. MP3EI adalah dokumen kerja yang berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Visi MP3EI adalah “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Visi 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi fokus utamanya, yaitu:

1) Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

2) Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional.

3) Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.

MP3EI memiliki target untuk menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju. Prinsip Kerja MP3EI MP3EI meyakini bahwa Indonesia membutuhkan percepatan transformasi ekonomi agar kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini. Perwujudan diupayakan melalui langkah-langkah percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”antara lain adalah : 1. Kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD

dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated) dengan skema di mana proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi akan semakin kecil. Dinamika ekonomi negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.

Page 22: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

22

2. Regulasi harus mampu mendorong partisipasi dunia usaha secara maksimal untuk membangun berbagai macam industri dan infrastruktur yang diperlukan. Menurutnya perlu diambil langkah-langkah strategis untuk merevisi dan merubah regulasi sehingga mendorong partisipasi maksimal dari dunia usaha.

3. Penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnership (PPP) dengan terus mengembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Perlakuan khusus diberikan agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah sekitar pusat pertumbuhan ekonomi.

MP3EI menetapkan sejumlah program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi 8 fokus pengembangan strategi dan kebijakan , antara lain : (i) pertanian, (ii) pertambangan, (iii) energi, (iv) industri, (v) kelautan,(vi) pariwisata, dan (vii) telematika, serta (viii) pengembangan kawasan strategis. Terkait pengembangan kota, salah satu pendekatan yang akan diterapkan dalam memfasilitasi MP3EI adalah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia, salah satu dari tiga strategi utama (pilar utama) MP3EI.

2.3. Cita-cita oleh Kota-Kota di Indonesia

Cita-cita akan kota masa depan yang terangkum dari lokakarya di tiga kota (Surabaya, Semarang dan Pontianak), adalah: Kota harus dilihat sebagai sebuah sistem, terutama dilihat dari sisi ekologi. Kota sebagai sebuah sistem juga harus dilihat tidak hanya sepenuhnya mekanistis, tetapi juga membuka ruang untuk spontanitas, yang dapat menciptakan dan mengisi ruang. Kota dicita-citakan menjadi satu ruang berbagi, yang tidak mengacu pada perhitungan take and give yang kaku. Kota merangkum kreativitas yang tidak melulu

Page 23: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

23

lantas dikaitkan dengan industri. Yang penting adalah adanya ruang belajar dan berbagi.

Kota dikembangkan dengan mamfasilitasi kekhasan kota yang bisa muncul dari aspek sejarah, nilai-nilai lokal, budaya kampung, dan budaya kerja (everyday live). Memori masa lampau penting untuk dipertahankan sebagai pengingat dan acuan dalam pembangunan kota. Kota dikelola dengan beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Perwujudan Prinsip Sengkuyung/ inklusivitas. Sebuah cita-cita bahwa kota dikelola dengan Prinsip Sengkuyung. Kata ini muncul di Kota Semarang. Kata sengkuyung bisa diartikan sebagai berbudaya, mengelola bersama, serta pelibatan/partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kota (Inklusivitas)

2. Kota dikelola dengan baik melalui komunikasi terbuka antara pemerintah dan pemangku kepentingan di kota (khususnya warga). Perlu dibangun transparansi dan protokol komunikasi yang terintegrasi dan efisien, memanfaatkan berbagai alat komunikasi yang digunakan warga. Protokol komunikasi ditujukan untuk memantau kinerja, budget pemerintah. Juga untuk memudahkan akses informasi penggunaan fasilitas publik. Pola komunikasi yang dibangun tetap memberi ruang untuk spontanitas dan warga berdialog dengan pemerintah.

3. Adanya pengelolaan bersama atau kerjasama antar pemerintah kota/kabupaten atas aset infrastruktur dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bersama atau yang menjadi kebutuhan bersama.

4. Kota dikelola dengan keterlibatan warga di mana warga dapat mengevaluasi kinerja pemerintah dengan orientasi pada proses dan tujuan jangka panjang melalui alat ukur yang jelas dan sederhana bagi warga.

Kota mampu memenuhi kebutuhan dasar dan Infrastruktur dasar seperti air, sanitasi, transportasi, listrik, udara, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan jaringan internet. Kota dan lingkungan sekitar sebagai tempat belajar (informal) Kota sebagai ruang berbagi merupakan hal penting, jadi tidak dilihat hanya sebagai tempat pertukaran (ekonomis, interaksi yang terkesan pasif) saja. Di sini, yang ditekankan adalah proses aktif berbagi dan belajar. Dalam hal ini, ruang publik sebagai ruang berbagi yang dapat memfasilitasi berbagai kegiatan seperti presentasi, pemutaran film, diskusi, pameran, tanpa perlu membayar mahal dan dengan prosedur yang transparan, menjadi relevan. Kata kerja “berbagi” juga ditekankan dalam kalimat di atas. Bukan sekedar ruang publik. Yang cita-citakan adalah adanya ruang-ruang yang memfasilitasi interaksi dan dialog. Dalam hal penggunaan fasilitas publik, perlu ada sistem pemantauan penggunaan fasilitas publik—seperti apakah sistem penggunaannya, birokrasinya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan lokasi geografis.

Page 24: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

24

Kota dikembangkan dengan distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara. Hal ini terkait dengan isu kesenjangan wilayah, tidak hanya kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur, antara kota dengan kabupaten, tetapi antara wilayah di dalam satu kota. Selalu ada kesenjangan dalam proses pembangunan, tapi yang sering terjadi adalah daerah-daerah yang “tertinggal” malah seringkali diabaikan dan terbengkalai. Target ekonomi kota tidak melulu mengejar pertumbuhan, tapi juga memastikan distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara. Target ekonomi yang berbasis pada kebutuhan dan gerak ekonomi rakyat adalah transformasi ekonomi lokal melalui : a. Regulasi pasar dan perdagangan

Perlu ada regulasi pasar untuk menjaga persaingan yang sehat dan berimbang. Acapkali yang terjadi, pedagang-pedagang kecil kewalahan bersaing dengan investor-investor besar. Tapi bukan berarti tradisional selalu lebih baik, dan modern selalu buruk. Akan lebih baik jika supermarket modern bisa bekerjasama dengan pedagang dan petani kecil dalam penyediaan barang—misal, produk-produk organik dan lokal dapat dipasarkan baik di pasar basah maupun supermarket. Yang perlu dijaga adalah bagaimana supaya relasi kekuasaan dan daya tawar antara keduanya menjadi relatif lebih seimbang, dan bukan hanya investor saja yang mendapat keuntungan tak seimbang.

b. Pengolahan kearifan lokal yang memperhatikan keberagaman dan integrasi untuk menghindari pembekuan (esensialisasi) karakter. Keberagaman seringkali dianggap bertentangan dengan kompetisi. Misalnya, Surabaya diprojeksikan menjadi Kota Dagang & Jasa 2015, dan sudah memulai program One Kampung One Product. Kita perlu hati-hati agar tidak terpaku pada satu produk saja, karena setiap kampung mungkin punya identitas yang lebih dari satu. Mungkin satu kampung terkenal dengan lontongnya, tapi bisa jadi kampung tersebut juga memproduksi tape yang enak. Yang seringkali terjadi adalah tape akan dianggap bukan produk “asli Suroboyo” jadi tidak perlu diangkat. Kreativitas seringkali muncul dari hal-hal yang belum popular/belum unggul. Apabila terpaku pada istilah produk asli (“yang asli Suroboyo”) atau unggulan, maka ada kesan muncul bahwa yang tidak unggul tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Inilah yang ditakutkan hilang dari sistem evolusi kompetitif (terbaik, unggulan).

Kota dikembangka dengan konsep penataan ruang yang mengatur:

1. Integrasi antara kota dan pertanian serta menguatkan industri pariwisata lokal.

2. Aspek zonasi (dengan penekanan pada aspek keterhubungan), intensitas guna lahan dan pengembangan daerah sekitar. Khususnya ada di Kota Semarang dan Surabaya.

3. Kelestarian lingkungan dalam hal konservasi tanah dan air, sistem irigasi, penguatan daya dukung lingkugan, pengelolaan sampah dan limbah terpadu, serta pengendalian penambangan/ galian

Page 25: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

25

4. Penataan kota dengan memperhatikan aspek kesiagaan bencana Kota dikembangan dengan mengelola potensi laut dan sungai. Selama ini, kedua potensi tersebut sering luput dibahas, padahal ini juga berhubungan dengan isu kesenjangan Utara dan Selatan. Berkaitan dengan air, di sepanjang utara pulau Jawa, hutan bakau sebenarnya hanya ada di Jakarta dan Surabaya, dan itu pun sudah sangat tergerus. Begitu juga dengan Pontianak, kota 1000 parit yang memiliki 95 buah parit dengan panjang hampir mencapai 180 km. Saat ini, hampir 60% dari parit tersebut tidak lagi memiliki fungsi seperti semula. Sebagian besar beralih menjadi jaringan jalan. Yang terpenting adalah mengembalikan relasi manusia dan sungai seperti awalnya dulu ketika warga menempatkan sungai sebagai sumber kehidupan yang menjadikannya terpelihara. Ketika sungai kembali pada fungsi awalnya maka sikap kehati-hatian untuk mengamankan sunga (konservasi) dengan membebaskan 10 m tepi sungai dari segala bentuk bangunan atau hunian, tidak lagi diperlukan. Ketika sungai dan manusia telah menjalin kembali relasinya, maka keberadaan satu sama lain tidak menjadi ancaman bagi keduanya. Kota dikembangkan dengan orientasi pada proses dan tujuan jangka panjang. Seringkali, indikator evaluasi berhasil atau tidaknya proyek/program ditekankan pada pembangunan fisik dan dana yang dihabiskan. Perlu dirancang sistem evaluasi untuk memantau keberlanjutan projek pembangunan dengan orientasi jangka panjang, agar tidak terhenti pada 1-2 tahun pertama saja, dan terjadi pembangunan yang berkelanjutan. Perlu dirancang regulasi dan sistem untuk menjaga kontinuitas dari pemeritahan sebelumnya, memastikan keberlanjutan/kelestarian, agar tidak terjadi kemunduran dan ketidaksinergian antar periode. Indikator haruslah sederhana dan mudah agar warga bisa dengan mudah mengevaluasi kinerja pemerintahan kotanya. Indikator-indikator ini akan diumumkan pada saat permulaan proyek/program dan warga kemudian bisa mengevaluasi apakah proyek/program ini memenuhi targetnya.

Kota dengan sistem transportasi yang memfasilitasi keterhubungan dan membangun pembuluh nadi kota yang sehat. Warga kota perlu transportasi umum yang aman, nyaman, dan murah, dan saling terhubung antar kampung. Yang dirasakan saat ini adalah tersumbatnya berbagai pembuluh nadi kota karena kemacetan, karena pembangunan properti yang tidak diawasi. Misalnya, kasus di Kota Surabaya, berbagai jalan antar kampung banyak yang semakin terhimpit mall, dan menjadikannya susah untuk menuju jalan-jalan utama. Keterhubungan yang dimaksud bukan hanya pergerakan atau mobiltas antar wilayah di kota tetapi juga pergerakan atau mobilitas antar kota. Sebagai contoh adalah Pontianak. Dalam konstelasi perkotaan di Kalimantan, Kota Pontianak cenderung tidak memiliki hubungan/interaksi ekonomi, sosial dan budaya dengan ibukota-ibukota provinsi lainnya di Kalimantan (Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan), karena terbatasnya aksesibilitas akibat tidak adanya rute penerbangan langsung maupun jalur transportasi darat yang tidak memadai serta jarak tempuh yang terlalu jauh. Masing-masing kota di Kalimantan justru memiliki hubungan yang bersifat individual dengan Kota Jakarta, sehingga untuk pergi dari

Page 26: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

26

Pontianak ke Palangkaraya atau Banjarmasin, harus melalui Jakarta, begitupula sebaliknya. Tentu saja ini tidak efektif.

Adanya pendidikan tentang kehidupan berkota, yaitu pendidikan dan pengetahuan (praktis) mengenai kehidupan kota agar anak-anak tidak asing dengan lingkungannya. Rumah ilmu (ruang berbagi yang khusus untuk mengembangkan pendidikan dengan cara yang kreatif) penting untuk dikembangkan di setiap kota. Di sini anak-anak bisa belajar mengenai kehidupan berkota yang baik seperti proses daur ulang, sanitasi, limbah, mendapatkan benih, dan lain-lain. Selain itu rumah ilmu juga bisa dikembangkan untuk berbagai kelas-kelas kreatif lainnya seperti hacker space, lab uji, dan merajut. Rumah ilmu juga bisa dipakai sebagai ruang untuk pameran atau kegiatan-kegiatan kreatif lainnya.

Page 27: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

27

Bab 3. Bagaimana Mewujudkan Cita-Cita Kota di Masa Depan

Dua dokumen perencanaan (KSPPN dan MP3EI) akan sangat mewarnai bagaimana perkembangan kota di masa depan. Demi menuju kota berkelanjutan di tahun 2050, KSPPN mengatur perencanaan nasional dengan proses bertahap dan mekanisme prasyarat di mana tahapan ideal kota (kota hijau dan layak huni – kota berdaya saing- kota berkelanjutan) tidak akan terwujud apabila kota-kota tidak memenuhi standar pelayanan perkotaan di tahun 2025. Penempatan standar pelayanan perkotaan sebagai prasyarat minimal yang harus dipenuhi sebelum mendapatkan label sebagai kota berkelanjutan telah menjawab apa yang menjadi catatan dari kondisi kota di Indonesia pada bab 1 terkait pemenuhan infrastruktur dasar kota termasuk sarana dan prasarana kota. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diharapkan oleh ketiga kota, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar warga kota sebagai prasyarat dasar menuju kota masa depan. Ketika diminta untuk merumuskan cita-cita kota untuk 20 tahun ke depan, kota Semarang misalnya, menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar sebagai syarat utama. Peserta bahkan mengingatkan untuk tidak bermuluk-muluk dalam bermimpi akan kota masa depan apabila kebutuhan dasar warga dalam berkota belum terpenuhi. Begitu juga dengan rencana perwujudan system perkotaan nasional yang diatur dalam KSPPN dengan tujuan untuk menyeimbangkan pembangunan kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia. Dari paparan di Bab 1 termasuk tentang kemendesakan di tiga kota, persoalan ketimpangan pembangunan antara wilayah baik di dalam kota maupun antar regional (Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur) merupakan persoalan penting yang apabila tidak diselesaikan akan semakin melebarkan ketimpangan, dan secara skala nasional, kota-kota Indonesia tidak akan bisa optimal mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Dokumen MP3EI secara gamblang merespon soal ketimpangan pembangunan antar wilayah. MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan peraturan perundang-undangan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan demi mendorong percepatan dan perluasan investasi. Melalui skemanya, MP3EI mendorong pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Ada dua kata kunci dalam skema MP3EI yaitu partisipasi maksimal dunia usaha dalam ragam investasi di seluruh penjuru Indonesia dan pengurangan peran Negara hanya menjadi sebatas fasilitator pergerakan modal di Indonesia. Terdapat delapan (8) sector program utama dalam MP3EI yaitu pertanian; pertambangan, energy, industry, kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis, yang dipecah dalam 22 kegiatan ekonomi utama.

Page 28: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

28

Setiap Kepulauan Indonesia saat ini dibanjiri oleh rencana mega proyek yang berjalan secara serentak dan cepat. Secara total, MP3EI memilii nilai investasi sebesar Rp. 4.934, 8 Triliun dengan mencakup sekitar 4.632 proyek. Sejak 2011 hingga Oktober 2013, investasi MP3EI telah mencapai Rp. 737,9 triliun mencakup 259 proyek, di mana separuhnya adalah proyek infratruktur (155 proyek). Pulau Jawa masih memiliki jumlah investasi terbesar (Rp. 276,8 Triliun) disusul oleh Pulau Kalimantan dengan total investasi sebesar Rp. 178,1 triliun. Dari 259 proyek tersebut, 24,6% dikerjakan oleh BUMN, 34,5% oleh swasta, 11,9% oleh pemerintah dan 29% investasi campuran26. Dalam MP3EI, proyek-proyek infrastrukur didanai melalui anggaran pemerintah, perusahaan-perusahaan Negara, investasi sector swasta, dan pendanaan donor bilateral maupun multilateral. Pembiayaan dan pendanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur oleh MP3EI didapat melalui 3 lajur; (1). Memangkas subsidi-subsidi untuk rakyat yang dialihkan untu pembiayaan infrastruktur (2). Meningkatkan pendapatan Negara oleh pajak dan (3) penambahan hutang. Dari sekian opsi tersebut, pemangkasan subsidi rakyat dan penambahan hutang adalah jalur yang ditempuh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Selain itu, mekanisme yang diambil untuk membiayai pembangunan infrastruktur adalah dengan mekanisme Public Private Partnership (PPP)27. Apa yang tergambar dari skema MP3EI membawa kekhawatiran tentang bagaiamana kota dikembangkan di masa depan. Salah satu cita-cita kota dari ketiga kota yang terlibat dalam lokakarya adalah pengembangan kota dengan target ekonominya yang tidak melulu mengejar pertumbuhan tetapi juga memastikan distribusi ekonomi yang adil dan merata. Dengan merengseknya investasi dan beragam pendekatan pembiayaan khususnya pendekatan PPP, rencana pembangunan menjadi tidak lagi kritis menjawab kebutuhan dan membaca konsekuensi atas pembangunan skala massif khususnya dampak pada kehidupan warga (tergusur karena proyek pembangunan) dan juga penurunan kualitas lingkungan. Dengan pendekatan PPP, seakan akan beban negara (baik dalam APBN maupun APBD) dalam pembangunan infrastruktur menjadi jauh berkurang. Namun, yang kita kerap lupa adalah beberapa pertanyaan mendasar berikut: Apakah memang proyek tersebut diperlukan? apakah ada dampak kepada sosial/masyarakat, terhadap lingkungan? Apabila pertanyaan krtitis tersebut tidak digaungkan berkali-kali, maka harapan akan adanya kota berkelanjutan, atau kota lestari menurut kami tidak akan bisa terwujud dikarenakan rencana pembangunan kota tidak sejalan dengan menjaga kualitas kota itu sendiri baik dari aspek lingkungan maupun kehidupan social warga.

26

Rahman,Noer fauzi. Yanuardi, Dian. “MP3EI : Krisis Sosial-Ekologis Indonesia”. Tanah Air Beta. Yogyakarta : 2014. Hal. 21. 27

Rahman,Noer fauzi. Yanuardi, Dian. “MP3EI : Krisis Sosial-Ekologis Indonesia”. Tanah Air Beta. Yogyakarta : 2014. Hal. 62.

Page 29: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

29

Gambaran cita-cita masa depan kota dari dokumen KSPPN, MP3EI dan kehendak warga di tiga kota memberikan ilustrasi tentang perbedaan dalam memaknai masa depan kota. Apa yang diinginkan untuk kota di masa depa. Lalu, bagaimana kah kita menyusun langkah untuk mewujudkan masa depan kota. Perangkat apa yang diperlukan untuk mengatur interpretasi yang berbeda tentang masa depan kota? Apkah Undang-undang baru tentang Kota menjadi relevan dan bisa menjadi solusi? Atau kah perumusan masa depan kota perlu direview kembali? 3.1. Legislasi Baru Apakah Solusi? Dalam proses penciptaan sebuah norma hendaknya seorang jurist memaknai secara substansial terlebih dahulu tujuan dari sebuah norma dihasilkan serta bentuk efektifitas hukum yang hendak dituju dari norma tersebut. Anthonny Allot (1981) paling tidak mengidentifikasi 3 (tiga) tujuan dari hukum yang berorientasi dari dampak yang ingin dicapai. Pertama, kehadiran norma pada kapasitas pencegahan yang menekankan pada kemampuannya untuk mencegah hadirnya perilaku yang menyimpang sehingga dalam rumusannya akan mengatur tindak tanduk yang akan berujung pada sebuah penaatan (compliance). Selanjutnya, kehadiran sebuah norma yang tunduk dalam tujuan kuratif yang menitikberatkan pada upaya untuk mengembalikan kondisi yang telah diciderai sebelumnya dalam kondisi ex post facto guna menghadirkan keadilan yuridis. Terakhir, hadirnya sebuah norma dalam rangka fasilitatif dalam rangka mengakomodasi kepentingan dari para pihak yang terikat dalam sebuah hubungan hukum tertentu. Salah satu prasyarat untuk dapat memahami secara substansi keberadaan dari norma hukum adalah keyakinan bahwa norma hukum tidak berjalan dalam ruang hampa. Permasalahan yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Salah satu fungsi hukum dalam perspektif filosofis adalah menghadirkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Adapun jika terjadi pembenturan di antara ketiganya maka kemanfaatan harus menjadi yang utama dalam ketiga tujuan tersebut. Salah satu titik tekan dari proses pembuatan legislasi adalah optimalnya partisipasi yang dilakukan. Dalam perspektif Arnstein, keikutsertaan dari masyarakat merupakan bentuk kekuatan masyarakat dalam tataran kontrol di lapangan. Salah satu teori klasik tentang partisipasi masyarakat karya Arnstein diungkapkan bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dapat dikategorikan dalam 8 (delapan) tingkatan sebagaimana tergambar dalam skema di bawah ini.

Page 30: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

30

3.2. Transformasi Lebih lanjut dikatakan Arnstein, bahwa dasar penentuan derajat, bukan pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program dilaksanakan oleh negara tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut. Derajat terbawah terdiri dari dua tingkat partisipasi, yaitu manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Dalam tingkat ini partisipasi hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati luka yang timbul akibat dari kegagalan sistem dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatan sedikit pun untuk melibatkan masyarakat dalam menyusun kegiatan atau program pemerintah. Derajat menengah yang semu terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu: pemberitahuan (informing); konsultasi (consultation); dan peredaman (placation). Dalam tahap ini sudah ada perluasan kadar partisipasi, masyarakat sudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan) dan didengar (tingkat konsultasi), namun begitu tahap ini belum menyediakan jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka diperhitungkan dalam penentuan hasil sebuah kebijakan publik. Sedangkan pada tahap peredaman memang sudah memungkinkan masyarakat pada umumnya khususnya yang rentan untuk memberikan masukan secara lebih signifikan dalam penentuan hasil kebijakan publik, namun proses pengambilan keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan. Derajat tertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yakni kemitraan (partnerships), delegasi kekuasaan (delegated power), dan yang teratas adalah kendali masyarakat (citizen control). Dalam tahap ini partisipasi masyarakat termasuk yang rentan sudah masuk dalam ruang penentuan proses, hasil, dan dampak kebijakan. Masyarakat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa tradisional dalam posisi politik yang sejajar (tingkat kemitraan). Bahkan lebih jauh mampu mengarahkan kebijakan karena ruang pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat delegasi kekuasaan). Sehingga pada tahap akhir partisipasi masyarakat telah sampai pada puncaknya, yaitu ketika masyarakat secara politik maupun administratif sudah mampu

Page 31: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

31

mengendalikan proses, pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan tersebut (tingkat kendali masyarakat). Dalam model yang kerap kali disebut berbasis bottom up ini aspirasi masyarakat mempunyai titik unggul dan sekaligus pula menjamin tingkat kepatuhan dari masyarakat jika dilaksanakan secara optimal. Hal ini pun dikonfirmasi dengan hadirnya secara garis besar 3 (tiga) ideologi yang mempengaruhi proses penataan ruang suatu wilayah. Pertama adalah ideologi yang berbasis Private Interest Ideology. Konsep ideologi ini menitikberatkan kepada pengakuan yang paling besar kepada hak milik perseorangan terhadap suatu wilayah tertentu. Di negara – negara penganut dari konsep ideologi ini setiap warga negara memiliki tingkatan kepastian hukum yang optimal karena dengan kemampuan mereka secara personal mereka dapat memiliki ruang yang sesuai dengan kondisi finansial ataupun kondisi artifisial lainnya dari warga tersebut. Masih dalam bentuk ini pula peran negara terkesan pasif sehingga negara hanya mengikuti mekanisme pasar yang ada serta hanya berfungsi sebagai wadah legalisasi kepentingan pribadi – pribadi yang muncul. Ideologi penataan ruang selanjutnya adalah Public Interest Ideology, model ini berada dalam posisi berseberangan dengan ideologi yang disebutkan di awal. Serangkai proses penataan ruang dalam model ini semata – mata ditujukan demi kepentingan umum dan banyak pihak. Eksistensi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sampai dengan hadirnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dapat diindikasikan bahwa sumbangsih dari tipe ideologi kedua telah terasa dalam regulasi nasional di bidang pertanahan. Memang masalah menjadi sangat kompleks dan multidimensi saat definisi dari “kepentingan umum” hanya dirumuskan oleh beberapa orang semata sehingga tidak mampu untuk merepresentasikan adanya kepentingan komunal yang diemban dalam setiap tindakan yang ditempuh. Terakhir, ideologi yang konon menjadi penyeimbang di antara dua sebelumnya hadir dengan konsep Public Participation Ideology. Ideologi yang di klaim merupakan bentuk metamorfosa pemerintahan modern ini menekankan pada besarnya keikutsertaan masyarakat dalam proses penataan ruang akan berbanding lurus dengan optimalisasi dari penataan ruang yang berkelanjutan. Namun dalam konteks Indonesia rasanya ideologi ini menjadi prematur untuk dilaksanakan mengingat kondisi geografis yang luas dan disparitas yang begitu besar dari komponen bangsa sebagai buah gagalnya pelaksanaan fungsi negara dalam dimensi lain. Ketiga pilihan ideologi di atas memang harus disesuaikan dengan berbagai variabel penentu dari masing – masing negara pelaksana. Indonesia yang mengusung konsep negara kesejahteraan hendaknya mampu menafsirkan dalam dimensi keadilan sosial yang berlandaskan Pancasila. Warga berhak menuntut adanya pelaksanaan penataan ruang yang mengedepankan nilai – nilai keutamaan dari dirinya, menutup sekecil mungkin peluang dari para aparatur negara untuk menentukan fungsi ruang berdasarkan kepentingan pesanan yang ada. Terkait dengan urgensi aturan hukum yang baru dalam konteks permasalahan di atas, paling tidak ada 3 (tiga) langkah awal yang dapat dilakukan.

Page 32: NASKAH MASUKAN RUU KOTA OLEH RUJAK CENTER FOR …ayorek.org/files/RUUkota/Bahan Seminar RUU_Kota/Rujak/DRAFT_Naskah... · Dari ketiga ciri penentu urbanisasi, lebih dari sepertiga

32

Pertama, dilakukan inventarisasi dana analisis mendalam terkait aturan yang sudah ada selama ini dan memiliki keterkaitan dengan pengaturan perkotaan. Akar masalah yang kerap timbul dari permasalahan tata kota yang ada adalah buruknya kesamaan persepsi serta tujuan yang hendak dicapai dari sebuah aturan yang ada, salah satu efek dari otonomi daerah memberikan otoritas begitu besar kepada masing – masing kepala daerah tanpa adanya pedoman untuk menyesuaikan dengan karakteristik masing – masing daerah dan bersifat kasuistis sehingga partisipasi terlaksana substansial. Kedua, mendudukkan naskah akademis sebagai sebuah scientific draft yang bebas nilai dan berbasis kondisi faktual. Academic Draft idealnya dilakukan secara mendalam dan obyektif sebelum hadirnya aturan sendiri, namun ironisnya dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya mensyaratkan bahwa setiap peraturan perundang undang wajib memiliki Naskah Akademik namun tidak mengatur kurun waktunya. Hal inilah yang menurut penulis banyak Undang Undang yang hadir justru dengan pendekatan trial and error. Ketiga, dalam konteks keadilan seringkali aturan hadir hanya dalam rangka menyentuh kepentingan di masa akan datang dan luput dengan kepentingan di masa lalu yang menjadi dasar kondisi faktual. Kerap kali saat sebuah peraturan baru diciptakan maka orientasi yang terbangun hanya untuk mengakomodasi kepentingan dan kemanfaatan di masa depan namun tidak menyentuh kondisi di masa lalu. Ketiga, melakukan pendekatan bukan berbasis norma semata karena awal dari permasalahan yang ada sebelumnya justru banyak menyentuh hal yang tidak normatif semata. Hal ini menjadi penting pada saat kebijakan yang hendak dibuat berbasis problem solving. Salah satu langkah konkrit yang bisa ditempuh adalah memperkenalkan tenggat waktu dalam berlakunya sebuah aturan. Hal ini seringkali dikenal dengan terminologi sunset clause yang menentukan waktu evaluasi dari sebuah aturan tertentu. Hal positif dari mekanisme di atas memberikan celah untuk melihat terkait tercapai atau tidaknya suatu tujuan yang hendak dicapai dalam hadirnya sebuah aturan.

3.3. Penutup Jumlah peraturan kadang tidak berbanding lurus dengan kualitas yang

dihasilkan, oleh karena itu dalam penanggulangan problema perkotaan sebagai suatu disiplin ilmu turunan wajib memperhatikan hal non hukum di dalamnya. Langkah evaluasi dalam rangka menentukan perlu atau tidaknya sebuah aturan. Terlebih dalam konteks disiplin ilmu hukum turunan seperti tata kota maka sebuah legal evidence sangat amat tergantung dengan scientific evidence yang mendukung untuk dijadikan validitas secara ilmiah.