Upload
faizzah-ramadhani
View
18
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aeasr
Citation preview
Proses Fagositosis
Fagositosis yang efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah timbulnya infeksi. Dalam
kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut, kemotaksis / penarikan
mikroorganisme, pengenalan dan penangkapan, memakan, fusi fagosom-lisosom, pemusnahan
dan pencernaan. (Bratawidjaja, 2010)
1. Fase kemotaksis
Semua fase pada fagositosis, kecuali fase pengenalan dan penangkapan, memerlukan tenaga
dari fagosit. Kemotaksis, adalah gerakan fagosit ke tempat infeksi sebagai respon terhadap
berbagai factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Jaringan yang rusak atau
mati dapat juga melepas factor kemotaktik atau kemotaksin. Kemotaksin adalah mediator
kimiawi tertentu yang menuntun migrasi sel fagositik menuju kea rah tertentu semisal bakteri.
Peningkatan kemotaksin ini dengan reseptor protein plasma di membrane sel fagositik
meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam sel. Kalsium, sebaliknya, mengaktifkan perangkat
kontraktil sel yang menghasilkan pergerakan merayap mirip amoeba. (Bratawidjaja, 2010)
Sel limfosit segmen bergerak lebih cepat dan sudah berada pada tempat infeksi 2-4 jam,
sedangkan monosit bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai di
tempat tujuan. (Sherwood, 2011)
2. Fase pengenalan dan pengikatan
Sedangkan tahap dua, yaitu penangkapan mikroorganisme pada fagosit terjadi karena ikatan
antara reseptor di permukaan sel dan di bakteri atau molekul atau molekul yang diikatnya,
misalnya antibodi. Antibodi seperti halnya dengna komplemen (C3b) dapat meningkatkan
fagositosis (opsonisasi). Opsonoin adalah molekul besar yang diikat permukaan mikroba yang
dapat dikenal oleh reseptor permukaan sel sistem fagosit makrofag, sehingga meningkatkan
efisiensi fagositosis. Contoh-contoh opsonin antara lain IgGyang dapat dikenali Fcϒ-R pada
fagosit dan fragmen komplemen yang dikenal oleh reseptor komplemen tipe 1 (CR1, CD35) dan
integrin Mac-1 pada leukosit. (Bratawidjaja, 2010)
Dengan kata lain, opsonin meningkatkan fagositosis dengan cara menghubugkan sel asing
dengan sel fagositik. Satu bagian dari molekul opsonin berikatan secara nonspesifik dengan
permukaan bakteri sementara bagian lain melekat pada reseptornya yang spesifik pada
membrane sel fagositik. Pengikatan ini memastikan bahwa bakteri tidak memiliki kesempatan
untuk melarikan diri sebelum sel fagosit dapat melaksanakan serangan mematikannya.
(Sherwood, 2011)
3. Fase penelanan dan pembentukan vakuol
Dalam fase ini, terbentuklah pseudopodia yang mengelilingi mikroorganisme di luar dengan
melibatkan polimerase aktin. Dan membungkus mikroorganisme tersebut dalam fagosom
internal. (Mitchell, 2008)
Peningkatan kemotaksin ini dengan reseptor protein plasma di membrane sel fagositik
meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam sel. Kalsium, sebaliknya, mengaktifkan perangkat
kontraktil sel yang menghasilkan pergerakan merayap mirip amoeba dan akhirnya menelan
mikroorganisme. (Bratawidjaja, 2010)
4. Fase fusi fagosom-lisosom
Kemudian vakuola fagositik menyatu dengan lisosom yang di dalamnya terdapat enzim-
enzim pencernaan. (Mitchell, 2008)
5. Fase destruksi dan digesti intraseluler
Mekanisme pemusnahan dibagi menjadi oksidatif dan non oksidatif. Di dalam fagolisosom,
bahan yang ditelan akan dicerna enzim yang terkandung di dalam granul lisosom. Isi granul
lisosom diperlukan untuk memecah atau mencerna bahan yang ditelan dan membunuh mikroba.
Pembunuhan mikroba terjadi melalui proses yang oksigen dependen atau oksigen independen.
Leukosit memusnahkan mikroorganisme dengna enzim yang ada di dalamnya. Granul
neutrophil berisi berbagai enzim hidrolitik, mieloperoksida, lisozim, dan arginine-rich basic
protein, fosfatase alkali, laktoferin, dan lisozim. Isi granul tersebut menghancurkan bahan asing
terutama melalui enzimnya seperti enzim hidrolitik. Enzim-enzim tersebut dapat mencerna
komponen membrane sel bakteri. (Bratawidjaja, 2010)
Dalam mekanisme tak tergantung oksigen, proses pemusnahan mikroorganisme dapat
dilakukan terutama dengan cara meningkatkan permeabilitas membran. Lintasan ini meliputi
protein bakterisidial peningkat permeabilitas, lisozim, laktoferin, protein utama pada eosinafil,
dan defensin. (Mitchell, 2008)
Defensin adalah protein kationik, bukan enzim. Namun, peptide dasar yang mengandung
sejumlah arginin dalam bentuk polipeptida, membunuh mikroba melalui interaksi dengan
membran sel mikroba yang membentuk lubang-lubang kecil yang mengaluarkan metabolit
esensial keluar sel. (Bratawidjaja, 2010)
Selain itu, netrofil menghasilkan laktoferin yaitu suatu protein yang berikatan erat dengan
besi yang bisa menyebabkan besi tak dapat digunakan oleh bakteri penginvasi. Perkembangan
bakteri sangat berkaitan erat dengan konsentrasi besi yang tinggi. (Sherwood, 2011)
Dalam mekanisme pemusnahan dependen oksigen, mikroorganisme yang dibunuh melalui
produk respiratory burst oleh beberapa metabolit oksigen mikrobisidal yang dilepas selama
fagositosis. Respiratory burst adalah proses yang menghasilkan ROI. Bersamaan dengan
terbentuknya fagolisosom, reseptor fagosit yang mengikat mikroba akan mengirimkan sinyal
yang mengaktifkan beberapa enzim dalam fagolisosom. Salah satu enzim NADPH oksidase,
terbentuk atas pengaruh mediator inflamasi seperti LTB4, PAF, dan TNF atau produk bakteri
seperti peptide N-formilmetionil. Enzim ini dapat merubah molekul oksigen menjadi anion
superoksid, radikal bebas, H2O2 yang merupakan bahan oksidatif poten untuk mikroba. Bahan-
bahan tersebut disebut ROI. (Bratawidjaja, 2010)
Kemudian, enzim MPO lisosom mengubah H2O2 dan Cl-menjadi bakterisidial kuat HOCl.
(Mitchell, 2008)
Selain itu ditemukan juga sintesa oksida nitit yang bekerja sinergis dengan IFN-ϒ dan TNF.
Enzim mengikat oksigen dengan guanidine-nitrogen dari l-arginase, membentuk NO yang toksik
untuk parasit, jamur, sel tumor, dan bakteri. (Bratawidjaja, 2010)
Bahan kimia dihasilkan fagosit untuk memperantai peradangan
Fagosit yang telah dirangsang oleh mikroba tidak hanya sekedar proses “telan dan
hancurkan”, lebih dari itu, ternyara sel fagosit melakukan fungsi yang sangat kompleks. Sel
fagosit bisa menghasilkan mediator –mediator kimiawi untuk memacu beragam aktivitas imun
yang saling berkaitan, bervariasi dari manifestasi local sampai sistemik.
a. Sel fagosit merangsang pengeluaran histamin dari sel mast di sekitar tempat
peradangan
b. Sebagian mediator fagosit memicu sistem pembekuan dan antipembeku untuk
meningkatkan proses pengisolasian kemudian mempermudah disolusi bertahap bekuan fibrosa
setelah tidak diperlukan
c. Kalikrein, yaitu zat yang dihasilkan netrofil yang mengubah perkusor protein plasma
spesifik yang dihasilkan hati menjadi kinin yang aktif. Kinin yang aktif bisa memperkuat
proses peradangan
d. Pirogen endogen, yang dihasilkan makrofag, memicu terjadinya demam
e. MEL (mediator endogen lekosit), yang juga dihasilkan makrofag, menurunkan
konsentrasi besi plasma dan menyimpannya dalam hati, limpa, dan jaringan lain sehingga besi
yang dibutuhkan bakteri untuk tumbuh menjadi berkurang. MEL juga merangsang pembentukan
dan pembebasan netrofil dari sumsum tulang. Selain itu MEL juga merangsang pengeluaran
protein fase akut dari hati yang memiliki efek luas pada proses peradangan, perbaikan jaringan,
dan aktivasi sel imun.
Reseptor untuk Fagositosis
Fagositosis (penelanan partikel berukuran lebih dari 4 µm) oleh makrofag dapat terjadi
melalui tiga reseptor permukaan, yaitu (Grennberg and Silverstein, 1993) :
a.Reseptor fraksi Fc dari imunoglobulin
Reseptor ini selalui dalam keadaan aktif, sehingga makrofag istirahat dapat melalukan
fogositosis partikel yang telah terliputi imunoglobulin spesifik.
b.Reseptor komplemen.
Reseptor ini tidak efektif pada makrofag istirahat, dan baru diaktifkan bila ada aktivasi
makrofag. Makrofag istirahat dapat mengikat partikel teropsonisasi komplemen, tapi tidak
mampu memfagositnya, sedangkan makrofag teraktivasi dapat meningkat sekaligus
memfagosit partikel teropsonisasi komplemen.
c.Reseptor tak spesifik seperti reseptor mannose yang mengikat partikel yang seperti lateks,
agregat protein, dan hemosianin. Reseptor ini memungkinkan makrofag memfagosit antigen
kehadiran imunoglobulin ataupun komplemen. Reseptor ini selalu keadaam aktif, namun
fagositosis dengan cara ini berjalan lambat dan kurang efisien pada sel istirahat. Pada
makrofag tidak teraktivasi, fagosistosis melalui reseptor ini meningkat (Greenberg dan
Silverstein, 1993)
Mekanisme Fagositosis
Fagositosis berkaitan dengan fungsi utama dalam pertahanan tubuh, terdiri dari tahap
pengenalan, perlekatan, dan internalisasi (Langermans et al 1994).
a.Pergerakan, Pengenalan dan Perlekatan
Sel dipandu ke tempat jejas oleh gradient konsentrasi substansi kemotaksis yang disebabkan
adanya trauma atau multiplikasi mikrobial. Tahap ini terjadi melalui reseptor, baik reseptor
imun maupun non imun. Reseptor imun memungkinkan tahap ini lebih efektif, sedangkan
reseptor non imun memungkinkan perlekatan bila tidak ada antibodi spesifik atau
komplemen, walau berjalan secara lambat. Tahap ini tidak perlu energi, sehingga dapat
terjadi pada reseptor yang aktif maupun tidak aktif (Turgeon, 1999).
b.Internalisasi atau ingesti
Partikel yang melekat pada reseptor diliputi membran sel secara melingkar yang disebut
zipper mechanism, sehingga antigen menjadi berada dalam vakuol berdinding membran sel
(fagosom). Gerak membran dan sitoplasma yang dikontrol oleh mikrofilamen dalam
sitoplasma ini perlu energi, sehingga hanya dapat dilakukan reseptor yang aktif. Faktor yang
prinsip dalam menentukan apakah fogositosis dapat terjadi atau tidak adalah dengan kondisi
fisik alamiah dari permukaan partikel asing dan sel fagositik (Turgeon, 1999). Bakteri yang
lebih hidrofobik dibandingkan sel fagosit. Faktor soluble yang umum adalah komplemen
yang merupakan protein plasma, berpasangan dengan antibodi dan substansi seperti
asetikolin yang meningkatkan proses fagositosis melalui proses opsonisasi. Jika tegangan
permukaan kondusif untuk penelanan, membran sel fagosit invaginasi, sehingga terjadi suatu
proses yang mengarah pada pembentukan vakuola terisolasi, yaitu suatu fagosom yang
berada di dalam sel (Langermans , 1994).
c.Digesti
Proses ini memerlukan energi terutama yang berasal dari glikolisis beranerobik. Vakuola
terbentuk selama proses digesti dengan satu atau lebih granula lisosomal yang mengandung
berbagai enzim litik (Langermans et al 1994)
PROSES FAGOSITOSIS
Sebelum peristiwa fagositosis akan terjadi kemotaksis yaitu migrasi sel fagosit ke jaringan
karena pengaruh berbagai zat atau substansi dalam serum seperti C5a, N-formilmetionil
peptida, sel limfosit, kolagen, dan elastin. Juga dikenal beberapa substansi yang bersifat
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil yang berasal dari komplemen (complement-derived
chemotactic), faktor kemotaktik dari eosinofil (eosinophilic chemotactic factor), dan
mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan basofil.
Pada orang normal diperkirakan 10-30% dari jumlah eosinofil mempunyai reseptor IgG.
Aktivasi reseptor IgG pada sel eosinofil dengan IgG yang meliputi skistosoma akan
menyebabkan degranulasi sel dan menghasilkan mediator newly generated LT
C4. Aktivasi ini 10 kali lebih besar pada eosinofil hipodens dibanding eosinofil normodens.
Reseptor komplemen
Pada 40-50% eosinofil orang normal terdapat reseptor komplemen, sedangkan pada neutrofil
90% mempunyai reseptor komplemen. Pada sindrom hipereosinofilia, infeksi parasit, dan
atopi persentase reseptor komplemen akan meningkat yang membuktikan adanya proses
inflamasi. Berdasarkan densitasnya sel eosinofil perifer terdiri dari 2 jenis, yaitu eosinofil
hipodens dan normodens. Sel eosinofil aktif adalah yang hipodens. Eosinofil dapat diaktifkan
oleh endotelium vaskular, T cell derived cytokines (GM-CSF, IL-3, IL-5) dan monocyte
macrophage-derived cytokines (IL-l dan TNF). Peranan inflamasi sel eosinofil pada penyakit
alergi telah banyak dibahas pada patogenesis respons inflamasi saluran napas pada asma.
PROSES FAGOSITOSIS
Sebelum peristiwa fagositosis akan terjadi kemotaksis yaitu migrasi sel fagosit ke
jaringan karena pengaruh berbagai zat atau substansi dalam serum seperti C5a, N-
formilmetionil peptida, sel limfosit, kolagen, dan elastin. Juga dikenal beberapa substansi
yang bersifat kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil yang berasal dari komplemen
(complement-derived chemotactic), faktor kemotaktik dari eosinofil (eosinophilic
chemotactic factor), dan mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan basofil.
Pada proses fagositosis mikroba harus menempel terlebih dahulu di permukaan sel
fagosit. Sebelumnya mikroba sudah diserang dan diikat oleh antibodi. Penempelan ini dapat
terjadi karena terdapat reseptor fragmen Fc dan reseptor C3b pada membran sel fagosit,
makrofag dan neutrofil. Penempelan ini akan memulai fase menelan (ingestion) yang
dipengaruhi sistem kontraktil aktin-miosin. Akan terbentuk pseudopodia di sekitar mikroba
dan membran plasma akan ditarik mengelilinginya sehingga menyerupai zipper sampai
terbentuk vakuola (fagosom). Peristiwa ini berlangsung dalam beberapa menit dan kemudian
granula berpadu dengan fagosom untuk melepaskan isinya di sekeliling mikroorganisme
tersebut.
Proses pemusnahan
Peristiwa tergantung oksigen
Setelah proses fagositosis akan terjadi peningkatan aktivasi pirau heksosamofosfat
menghasilkan NADPH yang akan dimanfaatkan untuk mengurangi ikatan molekul oksigen
dengan sitokrom membran plasma (Cyt-b245) dan menyebabkan peningkatan hebat
pemakaian oksigen (burst oxygen consumption). Oksigen akan diubah menjadi anion
superoksida, hidrogen peroksida, O2, dan radikal hidroksil yang kesemuanya adalah
mikrobisid kuat. Selanjutnya kombinasi peroksida, mieloperoksidase dan ion halida
membentuk sistem halogen yang dapat membunuh bakteri dan virus.
Pada proses fagositosis mikroba harus menempel terlebih dahulu di permukaan sel fagosit.
Sebelumnya mikroba sudah diserang dan diikat oleh antibodi. Penempelan ini dapat terjadi
karena terdapat reseptor fragmen Fc dan reseptor C3b pada membran sel fagosit, makrofag
dan neutrofil. Penempelan ini akan memulai fase menelan (ingestion) yang dipengaruhi
sistem kontraktil aktin-miosin. Akan terbentuk pseudopodia di sekitar mikroba dan membran
plasma akan ditarik mengelilinginya sehingga menyerupai zipper sampai terbentuk vakuola
(fagosom). Peristiwa ini berlangsung dalam beberapa menit dan kemudian granula berpadu
dengan fagosom untuk melepaskan isinya di sekeliling mikroorganisme tersebut.
Peristiwa tidak tergantung oksigen
Di samping peristiwa fagositosis yang tergantung oksigen, juga terdapat peristiwa fagositosis
yang tidak tergantung oksigen. Keadaan pH yang rendah, lisozim, dan laktoferin merupakan
faktor bakterisid dan bakteriostatik dalam keadaan tidak ter- gantung oksigen. Dalam
peristiwa yang tidak tergantung oksigen ini, mikroorganisme yang dibunuh kemudian dicerna
oleh enzim hidrolise dan hasilnya akan dilepas keluar
Hubungan Menstruasi dan Keadaan Rongga Mulut
Manifestasi Periodontal (Keadaan Rongga Mulut)
Selama masa reproduksi, siklus ovarian dikontrol oleh kelenjar pituitari anterior. Hormon
gonadotropin follicle-stimulating hormone (FSH) dan lutenizing hormone (LH) diproduksi
pada kelenjar pituitari anterior. Sekresi gonadotropin tergantung pada hipotalamus.
Perubahan konsentrasi gonadotropin dan hormon ovarian terjadi pada saat siklus menstruasi
bulanan. Selama masa reproduksi, esterogen dan progesteron juga berguna untuk
mempersiapkan uterus untuk menerima terjadinya pembuahan.
Siklus reproduktif bulanan memiliki dua fase. Fase pertama disebut sebagai fase folikular.
Pada masa ini kadar FSH akan meningkat, dan estradiol (bentuk utama dari estrogen) akan
disintesis oleh perkembangan folikel, dan akan mencapai puncaknya pada saat dua hari
sebelum ovulasi. Efek dari estrogen akan menstimulasi telur untuk bergerak ke tuba falopi
(ovulasi) dan menstimulasi proliferasi dari sel stroma, pembuluh darah, dan kelenjar pada
endometrium.
Fase kedua disebut fase luteal. Perkembangan korpus luteum mensintesis estradiol dan
progesteron. Estrogen dan progesteron akan mempersiapkan endometrium untuk implantasi
telur yang matang.
Hormon ovarian dikatakan dapat meningkatkan inflamasi jaringan gingiva dan meningkatkan
respon terhadap iritan lokal. mekanisme yang memungkinkan terjadinya interaksi
peningkatan hormon dengan gingiva adalah peningkatan tumor necrosis factor α (TNF-α)
selama siklus menstruasi, peningkatan sintesis prostaglandin E2 (PGE2), dan faktor
angiogenetik, faktor pertumbuhan endotelial akan berperan dalam meningkatkan inflamasi
gingiva pada tahap siklus menstruasi.
Progesteron berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dari mikrovaskular, perubahan
kecepatan dan pola produksi kolagen pada gingiva, meningkatkan metabolisme folat, dan
merubah respon imun. Selama periode menstruasi, progesteron akan meningkat dari minggu
kedua, mencapai puncaknya selama 10 hari, dan akan menurun sebelum menstruasi.
Jaringan gingiva telah dilaporkan akan lebih edematous selama masa menstrusi dan
mengalami eritematous sebelum onset menstruasi pada beberapa wanita. Pada beberapa
kasus, terdapat peningkatan eksudat gingiva selama periode menstruasi dan kadang disertai
dengan kegoyangan minor dari gigi.
Ketika kadar progesteron mencapai puncaknya pada fase siklus luteal, pada intraoral terjadi
ulser aftosa rekuren (recurrent aphthousa ulcers), lesi herpes labialis, dan infeksi kandida.
Sfingter esofageal akan menjadi relaks karena progesteron selama siklus berlangsung, hal ini
mengakibatkan wanita lebih rentan terhadap penyakit gastroesophageal reflux (GERD).
Simptom dari penyakit ini antara lain mual, rasa sakit dan panas pada dada, batuk, sakit
tenggorokan, asma, dan gingivitis.
Selama masa kadar progesteron yang tinggi (sekitar 7-10 hari sebelum menstruasi), wanita
juga mengalami premenstrual syndrome (PMS). Wanita dengan PMS biasanya memiliki
kadar neurotransmiter yang rendah. Hal ini mengakibatkan terjadinya depresi, penurunan
mood, dan mengalami kesulitan dengan konsentrasi dan emosi. Pada saat ini wanita akan
sangat sensitif dan sangat tidak toleran, mengalami refleks muntah yang tinggi, dan respon
terhadap rasa sakit yang sedikit berlebihan
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaya, Karnen Garna. 2000. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit Kedokteran
Universitas Indonesia.
Barid, Izzata, dkk. 2007. Biologi Mulut I untuk Kedokteran Gigi.Jember : Jember University
Press.