22
MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA TERMINOLOGIS ( ً حاَ لاِ طْ صِ ا) Memerangi jiwa yang selalu menyuruh berbuat buruk dengan cara memaksanya melakukan hal-hal yang berat, namun diperintahkan dalam syari’at. (Dikutip dari At-Ta’rifat: 263 secara ringkas dan dengan sedikit perubahan. Ada pembagian lain mengenai jiwa, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Jurjani, yaitu jiwa nafs nabatiyah, nafs insaniyah, nathiqah dan lain sebagainya) Al-Munawi berkata, “Dinyatakan bahwa mujahadah adalah memaksa jiwa melakukan hal-hal yang memberatkan fisik dan menentang hawa nafsu. Juga dinyatakan bahwa mujahadah adalah mencurahkan hal yang dimampui untuk melakukan perintah Dzat Yang ditaati; Allah azza wa jalla.” (At-Tauqif: 297) Ibnu ‘Alan berkata, “Mujahadah adalah bentuk mufa’alah dari kata al- juhdu yang bermakna kemampuan. Maka manusia bermujahadah terhadap jiwanya dengan menggunakannya dalam hal-hal yang memberi manfaat, baik saat ini atau yang akan datang. Dan, jiwa pun berjihad padanya untuk melakukan apa yang diinginkannya.” (Dalilul Falihin, 1: 302) Ibnu Hajar –rahimahullah- mengomentari ungkapan Bukhari, “Bab siapa yang berjihad terhadap jiwanya dalam mentaati Allah azza wa jalla.” Ini merupakan penjelasan keutamaan orang yang bermjahadah. Dan, yang dimaksud mujahadah adalah: Menahan jiwa dari kehendak- kehendaknya yang dapat menyibukkannya dengan selain ibadah (kepada Allah). MACAM-MACAM JIWA 1. Jiwa yang sangat menyuruh pada kejahatan ( ُ ةَ ار َ ّ مَ لاْ اُ سْ فَ ّ ن لَ ا), yaitu yang cenderung pada tabi’at fisik, menyuruh pada kelezatan dan syahwat indrawi, dan menarik hati menuju arah kerendahan. Dengan demikian jiwa ini merupakan rumah kejahatan dan sumber akhlak tercela. Dan, jiwa inilah yang harus diperangi. 2. Jiwa yang sangat mencela ( ُ ة َ امَ ّ وَ ّ ل ل اُ سْ فَ ّ ن لَ ا), yaitu jiwa yang memantulkan sinar hati seukuran yang menyebabkanya tersadar

Mujahadatun Nafs

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nafs

Citation preview

Page 1: Mujahadatun Nafs

MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA TERMINOLOGIS (� ط�ال�حا (ا�ص�Memerangi jiwa yang selalu menyuruh berbuat buruk dengan cara memaksanya melakukan hal-hal yang berat, namun diperintahkan dalam syari’at. (Dikutip dari At-Ta’rifat: 263 secara ringkas dan dengan sedikit perubahan. Ada pembagian lain mengenai jiwa, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Jurjani, yaitu jiwa nafs nabatiyah, nafs insaniyah, nathiqah dan lain sebagainya)Al-Munawi berkata, “Dinyatakan bahwa mujahadah adalah memaksa jiwa melakukan hal-hal yang memberatkan fisik dan menentang hawa nafsu. Juga dinyatakan bahwa mujahadah adalah mencurahkan hal yang dimampui untuk melakukan perintah Dzat Yang ditaati; Allah azza wa jalla.” (At-Tauqif: 297)Ibnu ‘Alan berkata, “Mujahadah adalah bentuk mufa’alah dari kata al-juhdu yang bermakna kemampuan. Maka manusia bermujahadah terhadap jiwanya dengan menggunakannya dalam hal-hal yang memberi manfaat, baik saat ini atau yang akan datang. Dan, jiwa pun berjihad padanya untuk melakukan apa yang diinginkannya.” (Dalilul Falihin, 1: 302)Ibnu Hajar –rahimahullah- mengomentari ungkapan Bukhari, “Bab siapa yang berjihad terhadap jiwanya dalam mentaati Allah azza wa jalla.” Ini merupakan penjelasan keutamaan orang yang bermjahadah. Dan, yang dimaksud mujahadah adalah: Menahan jiwa dari kehendak-kehendaknya yang dapat menyibukkannya dengan selain ibadah (kepada Allah).

MACAM-MACAM JIWA1. Jiwa yang sangat menyuruh pada kejahatan ( ة� �م�ار� أل ا �فس� �لن ,(ا yaitu yang cenderung

pada tabi’at fisik, menyuruh pada kelezatan dan syahwat indrawi, dan menarik hati menuju arah kerendahan. Dengan demikian jiwa ini merupakan rumah kejahatan dan sumber akhlak tercela. Dan, jiwa inilah yang harus diperangi.

2. Jiwa yang sangat mencela ( �و�ام�ة� الل �فس� �لن yaitu jiwa yang memantulkan sinar hati ,(اseukuran yang menyebabkanya tersadar dari kelupaan. Sehingga setiap kali terjadi kejahatan karena tabi’at jiwa, ia mencela dirinya sendiri.

3. Jiwa yang tenang ( �ة� �ن م�طم�ئ ال �فس� �لن ,jiwa yang benar-benar tersinari oleh cahaya hati ,(اsehingga terlepas dari siafat-sifat tercela dan terhiasi akhlak-akhlak mulia.

AYAT-AYAT TENTANG MUJAHADATUN NAFS

1. Allah swt. berfirman, “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri. Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (Al-Qiyamah: 1-4)

2. Allah swt. berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at: 40 – 41)

3. Allah swt. berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (Asy-Syams: 7 – 9)

4. Allah swt. berfirman, “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya

Page 2: Mujahadatun Nafs

berkata, ’Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ’Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang lalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata, ’Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ Yusuf berkata, ’Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya),’ dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya, ’Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia, ’Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.’ (Hai) Yusuf, ’Berpalinglah dari ini dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.’ Dan wanita-wanita di kota berkata, ‘Istri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” (Yusuf: 23 – 30)

HADITS-HADITS MENGENAI MUJAHADATUN NAFS1. Fudlalah bin Ubaid meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

ف�ي اب�طا� ر� م� م�ات� ال�ذ�ي إ�ال� ل�ه� ع�م� ع�ل�ى ت�م� ي�خ� ي#ت! م� ك�ل%ة�، ي�ام� ال�ق� ي�و�م� �ل�ى إ ل�ه� ع�م� ل�ه� ي�ن�م�ي �ن�ه� إ ف� الله�، ب�ي�ل� س�

" الله� و�ل� س� ر� ع�ت� م� و�س� ب�ر� ال�ق� ت�ن�ة� ف� م�ن� م�ن�ي�أ� و�ل� : و� ي�ق�

ه�" س� ن�ف� د� اه� ج� م�ن� د� اه� �ل�م�ج� ا "”Setiap orang yang mati ditutup (pahala) amalnya, kecuali orang yang (mati) dalam keadaan berjaga di jalan Allah; maka (pahala) amalnya dikembangkan hingga hari kiamat dan mendapatkan keamanan dari fitnah kubur.” Dan, saya juga mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap jiwanya.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 6/20-22, Turmudzi 1612 dan redaksi di atas dari riwayat beliau. Dan, ia berkata Hadits ini Hasan Shahih. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud 2500, hingga lafal ”Fitnah kubur.” Muhaqqiq Jami’ul ushul mengatakan bahwa sanadnya baik 11/21)

2. Sabrah bin Abu Fakihah ra. meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw.,

ب�ط�ر�يق� ل�ه� ع�د� ق� ف� ه� ق� ب�أ�ط�ر� آد�م� ب�ن� ال� ع�د� ق� ي�ط�ان� الش� إ�ن�آب�اء� و� آب�ائ�ك� و�د�ين� د�ين�ك� ت�ذ�ر� و� ل�م� ت�س� ال� ق� ف� م� ال� �س� اإل�ال� ق� ف� ة� ر� ج� ال�ه� ب�ط�ر�يق� ل�ه� ع�د� ق� ث�م� ل�م� س�

أ� ف� اه� ع�ص� ف� ب�يك�� أ

ر� اج� ه� ال�م� ث�ل� م� ا �ن�م� إ و� اء�ك� م� و�س� ك� ض� ر�أ� ت�د�ع� و� ر� اج� ت�ه�

Page 3: Mujahadatun Nafs

ل�ه� ع�د� ق� ث�م� ر� اج� ه� ف� اه� ع�ص� ف� الط#و�ل� ف�ي س� ر� ال�ف� ث�ل� ك�م�ال� ال�م� و� الن�ف�س� د� ه� ج� و� ه� ف� د� اه� ت�ج� ال� ق� ف� اد� ه� ال�ج� ب�ط�ر�يق�اه� ع�ص� ف� ال� ال�م� م� س� ي�ق� و� أ�ة� ر� ال�م� ت�ن�ك�ح� ف� ت�ل� ت�ق� ف� ات�ل� ت�ق� ف�

ن� م� ف� ل�م� و�س� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ل�ى ص� الل�ه� ول� س� ر� ال� ق� ف� د� اه� ج� ف�ن�ة� ال�ج� ل�ه� ي�د�خ� أ�ن� ل� و�ج� ع�ز� الل�ه� ع�ل�ى ا ق] ح� ك�ان� ذ�ل�ك� ع�ل� ف�ن�ة� ال�ج� ل�ه� ي�د�خ� أ�ن� ل� و�ج� ع�ز� الل�ه� ع�ل�ى ا ق] ح� ك�ان� ت�ل� ق� و�م�ن�

و� � أ ن�ة� ال�ج� ل�ه� ي�د�خ� أ�ن� الل�ه� ع�ل�ى ا ق] ح� ك�ان� غ�ر�ق� إ�ن� و�

ن�ة� ال�ج� ل�ه� ي�د�خ� أ�ن� الل�ه� ع�ل�ى ا ق] ح� ك�ان� د�اب�ت�ه� ت�ه� و�ق�ص�”Sesungguhnya syetan duduk di jalan-jalan yang dilalui manusia; ia mengganggu manusia di jalan Islam, ia berkata, ’Engkau masuk Islam, meninggalkan agamamu, agama ayahmu, dan agama nenek moyangmu?’ Maka manusia pun mendurhakainya dan masuk Islam. Kemudian ia duduk mengganggu di jalan hijrah; ia berkata, ’Engkau berhijrah meninggalkan tanah airmu. Padahal perumpamaan orang yang hijrah itu seperti kuda yang diikat dengan tali.’ Maka manusia pun mendurhakainya dan berhijrah. Kemudian ia menggoda manusia di jalan jihad, ia berkata, ’Engkau berjihad, padahal jihad itu memberatkan jiwa dan harta; engkau berperang dan akan terbunuh, lantas istrimu dinikahi orang dan hartamu dibagi-bagi?’ Maka manusia pun mendurhakainya dan berjihad. Rasulullah saw. bersabda, ’Siapa yang melakukan hal itu, maka ia Allah akan memasukkannya ke surga. Siapa yang terbunuh, maka Allah akan memasukkannya ke surga. Apabila ia tenggelam, maka Allah akan memasukkannya ke surga, atau jika kendaraannya membawanya ke tempat jauh, maka Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR. An-Nasai 6/21 – 22 dalam bab Jihad. Muhaqqiq jami’ul ushul mengatakan (9/540-541) bahwa sanad Hadits ini Shahih. Dianggap shahih oleh Ibnu Hibba serta di anggap hasan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 3/64)

3. Anas ra. berkata, ”Pamanku Anas bin Nadlor tidak ikut serta dalam perang Badr. Maka ia berkata kepada Rasulullah saw., ’Wahai Rasulullah saw., saya tidak ikut serta dalam peperangan engkau yang pertama melawan kaum musyrikin. Apabila Allah memberi kesempatan padaku untuk memerangi kaum musyrikin, maka Ia akan melihat apa yang akan aku perbuat.’ Ketika perang Uhud terjadi dan kaum muslimin terkalahkan, ia berdoa, ’Ya Allah, aku mohon ampun kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh mereka (kaum muslimin yang melarikan diri) dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dialkukan oleh mereka (kaum musyrikin).’ Kemudian ia maju dan bertemu Sa’d bin Mu’adz, ia berkata, ’Wahai Sa’d, surga demi Tuhan Nadlor. Sesungguhnya saya mencium baunya di balik Uhud.’ Sa’d berkata, ’Aku tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukannya, wahai Rasulullah saw.”Anas ra. berkata, ”Kami menjumpai delapan puluh lebih luka ditubuhnya, baik karena sabetan pedang, tusukan tombak, atau lemparan anak panah. Kami menjumpainya telah terbunuh dan tubuhnya dipotong-potong oleh kaum musyrikin. Sehingga tiada seorang pun yang mengenalinya, kecuali saudarinya melalui jari jemarinya.”Anas ra. melanjutkan penuturannya, ”Kami beranggapan bahwa karena dia dan orang-orang sepertinyalah ayat berikut diturunkan, ”Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara

Page 4: Mujahadatun Nafs

mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (Al-Ahzab: 23).” (HR. Bukhari, Fathul Bari 6/2805 dan Muslim 1903. Redaksi di atas dari riwayat Bukhari)

4. Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami ra. berkata, ”Aku bermalam bersama Rasulullah saw., kemudian aku membawakan air wudlu dan kebutuhan beliau. Beliau berkata kepadaku, ’Ajukan permintaan!’ Aku pun berkata, ’Aku mohon bisa menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ’Apa ada selain itu?’ Aku menjawab, ’Hanya itu.’ Beliau bersabda, ’

ج�ود� الس� ة� ر� �ث �ك ب �فس�ك� ن ع�لى� �ع�ني" ف�أ’Bantulah aku untuk kepentingan dirimu dengan memperbanyak sujud (shalat).’ (HR. Muslim 489)

5. Mughirah bin Syu’bah ra. meriwayatkan,

الن�ب�ي� : أ�ن� . ل�ه� ي�ل� ق� ف� اه� د�م� ق� ت� خ� �ن�ت�ف� ا ت�ى ح� ل�ى ص�ا و�م� ذ�ن�ب�ك� م�ن� د�م� ت�ق� ا م� ل�ك� الله� ر� غ�ف� د� و�ق� ذ�ا ه� �ت�ك�ل#ف� أ

؟. : " ك�و�را� ش� ع�ب�دا� ك�و�ن�أ� ال� أ�ف� ال� ق� ف� ر� "ت�أ�خ�

”Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan shalat hingga dua telapak kaki beliau bengkak. Maka ditanyakan kepada beliau, ”Apakah engkau memaksakan seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, ”Tidakkah aku menjadi hamba yang sangat bersyukur?” (Fathul Bari 1130 dan Muslim 2819. Redaksi di atas dari riwayat Muslim)

UNGKAPAN PARA ULAMA MENGENAI MUJAHADATUN NAFS1. Isa as. berkata,

ه� ي�ر� ل�م� غ�ائ�ب! د! و�ع� ل�م� ة� ر� اض� ح� و�ة� ه� ش� ك� ت�ر� ل�م�ن� ب�ى ط�و�”Berbahagialah orang yang meninggalkan syahwat yang nyata (di dunia) untuk janji yang masih ghaib, yang belum dilihatnya.” (Ihya’ ulumuddin 3/71)

2. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. memberi wasiat kepada Umar ra. saat melantiknya sebagai penggantinya,

: ن�ب�ي�ك� ج� ب�ي�ن� ال�ت�ي ك� س� ن�ف� ك� ذ#ر� أ�ح� ا م� و�ل�أ� إ�ن�

”Hal pertama yang aku peringatkan padamu adalah jiwamu yang berada di antara dua lambungmu.” (Jami’ul ulum wal hikam 172)

3. Umar bin Khathab ra. berkata,

، �وا ن �وز� ت �ن أ ل� ق�ب �م ك ف�س� �ن أ �وا و�ز�ن �وا، ب �ح�اس� ت �ن أ ل� ق�ب �م ك ف�س� �ن أ �وا ب ح�اس��م �ك �عم�ال أ ه� �ي ع�ل �خف�ى ت � ال م�ن ع�ل�ى �ر� ب ك

� أل ا ع�رض� �ل ل �وا �ن ي �ز� .و�ت =ذ� �وم�ئ ي�ة? اف�ي خ� �م ك م�ن �خف�ى ت � ال ض�ون� �عر� ت”Hisablah (koreksilah) diri kalian, sebelum kalian dihisab (oleh Allah), timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang (oleh Allah), dan berhiaslah untuk menyambut hari pertemuan terbesar di hadapan Dzat yang tiada tersembunyi dari-Nya amal-amal kalian.” ”Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (Al-Haqqah: 18). (Madarijus salikin, 1/189-190)

KEDUDUKAN MUJAHADATUN NAFS

Page 5: Mujahadatun Nafs

Ibnu Bathal berkata, ”Jihad seseorang terhadap jiwa adalah jihad yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah swt., ’Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).’ (An-Nazi’at: 40 – 41) Jihad tersebut dapat dilakukan dengan mencegah jiwa dari melakukan maksiat, hal-hal yang syubhat, dan memperbanyak melakukan syahwat yang diperbolehkan, untuk menabung di akhirat.” Ia melanjutkan ungkapannya, ”Agar manusia tidak biasa memperbanyak yang mubah, hingga menjadi kebiasaan yang dapat menyeretnya pada hal-hal syubhat, hingga dihawatirkan terjatuh pada yang haram.”

HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI MENGENAI JIHAD TERHADAP JIWAIbnu Jauzi berkata, ”Aku merenungkan jihad terhadap jiwa, maka aku memandang bahwa ia merupakan jihad yang paling agung. Aku memandang bahwa ada beberapa ulama dan ahli zuhud yang kurang memahami maknanya. Sebab di antara mereka ada yang memahami bahwa jihad terhadap jiwa adalah menahan jiwa dari segala keinginannya secara muthlak. Dan, anggapan tersebut salah karena dua aspek:Pertama: Terkadang orang yang mencegah syahwat dapat memperoleh kesenangan lebih sempurna dengan mencegahnya daripada memberinya. Misalnya ia mencegahnya dari yang mubah, hingga ia terkenal dengan sifat tersebut. Maka jiwanya puas dengan pencegahan itu, sebab mendapatkan pujian sebagai penggantinya. Bahkan yang lebih lembut dari itu adalah, bahwa sikapnya menahan jiwa itu menjadikannya memandang dirinya lebih utama dari orang lain yang belum mencegahnya. Dan, ini merupakan sifat tersembunyi yang membutuhkan pemahaman cermat untuk melepaskannya.Kedua: Kita diperintahkan untuk menjaga jiwa. Dan, di antara sebab terjaganya jiwa adalah kecenderungannya pada hal-hal yang dapat menjaga eksistensinya. Karena itu jiwa harus diberi hal-hal yang dapat menjaga eksistensinya. Di mana kebanyakannya, atau bahkan seluruhnya berasal hal-hal yang disukai jiwa. Kita hanyalah orang-orang diserahi untuk menjaga jiwa, sebab ia bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan yang diserahkan kepada kita. Maka menghalanginya mendapatkan haknya secara muthlak adalah berbahaya.Di samping itu, terkadang penahanan memberikan kenyamanan dan terkadang mempersempit jiwa merupakan cermin sikap menghindarkan diri darinya. Karena itu ia akan kesulitan menghindari tindakan-tindakan tersebut. (Dalam hadits disebutkan, ”Sesungguhnya agama ini sangat kokoh, masuklah di dalamnya dengan lemah lembut. Sebab yang memaksakan diri tidak dapat melintasi bumi dan tidak menyisakan kendaraan.” HR. Bazzar 1/57 (74). Juga diriwayatkan oleh Al-Qudla’i dalam Musnad Asy-Syhab 2/184 (1147 – 1148) dari Jabir bin Abdullah. Lihat juga Al-Maqashid Al-Hasanah, hal. 391 (1403))Jihad terhadap jiwa itu seperti jihadnya orang sakit yang cerdas. Ia berupaya memaksa jiwanya melakukan hal yang dibencinya, yaitu mengkonsumsi obat yang diharapkan dapat menyembuhkannya. Namun di sela-sela pahitnya obat terdapat sedikit rasa manis. Ia pun mengkonsumsi makanan seukuran yang ditentukan oleh dokter dan tidak mungkin ia terbawa syahwatnya untuk memenuhi segala keinginannya, bahkan terkadang ia rela lapar.Demikian juga mukmin yang berakal; ia tidak mungkin melepaskan kendali jiwanya dan juga mengikatnya kuat-kuat. Sesekali waktu ia melonggarkan kendali, tetapi tali kendali masih ada di tangannya. Karena itu, selama jiwa masih berada dalam kesungguhan, ia tidak akan mempersempitnya. Apabila ia melihat jiwanya mulai condong, maka ia mengembalikannya dengan lembut. Tetapi jika jiwa itu merasa berat dan enggan, maka ia memaksanya.

Page 6: Mujahadatun Nafs

Dalam hal rayuan, jiwa itu seperti seorang istri yang akalnya dibangun di atas kelemahan dan keterbatasan. Karenanya ia harus dirayu dengan nasihat saat membangkang. Jika tidak dapat dinasehati, maka dijauhi. Dan, jika masih juga tidak berubah, maka dipukul.Cambuk pemberian sangsi tidak lebih bagus dari cambuk tekad.Hal-hal di atas adalah aspek aplikatif. Sedangkan dari aspek nasihat dan kritikan, maka setiap orang yang melihat jiwa tengah cenderung dan nyaman pada makhluk, serta melakukan akhlak-akhlak rendah, maka ia harus mengenalkan jiwa tersebut pada Penciptanya, dengan mengatakan,”Bukankah engkau (wahai jiwa) yang dinyatakan oleh Pencipta, ”Aku telah menciptakanmu dengan kedua tangan-Ku, memerintahkan malaikat untuk memberi penghormatan padamu, meridlaimu sebagai khalifah di bumi, memberikan pinjaman padamu, dan memberi darimu?”Apabila jiwa menyombongkan diri, maka hendaknya dikatakan padanya, ”Bukankah engkau hanyalah setetes air yang hina; Kamu dapat terbunuh oleh sinar mentari dan merasa sakit disengat serangga?”Apabila jiwa terlihat teledor, maka hendaknya dikenalkan dengan kewajiban-kewajiban hamba terhadap tuannya.Apabila jiwa terlihat lemah dalam beramal, maka hendaknya diberitahu mengenai pahala yang besar.Apabila jiwa cenderung pada nafsu, maka hendaknya ditakuti dengan besarnya dosa, kemudian diingatkan dengan siksa indrawi yang dapat disegerakan, sebagaimana firman Allah swt., ”Katakanlah, ’Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya kepadamu?’ perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).” (Al-An’am: 46)Juga siksaan mental, seperti firman Allah swt., ”Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (Al-A’raf: 146)Ini adalah jihad dengan ucapan, sementara sebelumnya adalah jihad dengan perbuatan.

MENGENDALIKAN JIWA DENGAN BAIKHal yang paling mengagumkan adalah mujahadah terhadap jiwa. Sebab ia membutuhkan kreasi yang menakjubkan, di mana beberapa orang memberinya kebebasan sesukanya, sehingga ia mengantarkan mereka pada hal-hal yang mereka benci. Sebagian lagi memasungnya secara berlebihan, sehingga mengharamkannya mendapatkan hak-haknya dan menzhaliminya. Dan, kezhaliman mereka kepadanya berpengaruh pada ibadah-ibadah mereka. Sebagian dari mereka tidak memberinya gizi dengan baik, sehingga fisiknya tidak mampu melaksanakan kewajiban.

Page 7: Mujahadatun Nafs

Sebagian yang lain mengisolasinya dalam kesendirian, sehingga ia terasing di kalangan umat manusia, akibatnya ia meninggalkan yang diwajibkan atau yang utama, misalnya menjenguk orang sakit, berbakti kepada ibu, atau lainnya.Orang yang kuat tekad adalah yang mendidik jiwanya untuk bersungguh-sungguh dan menjaga prinsip. Apabila ia memberi peluang luas pada jiwa untuk menikmati yang mubah, maka ia tidak membiarkannya melampui batas. Ia dan jiwanya ibarat raja yang bergurau dengan sebagian prajuritnya; Ia tidak terbuka luas dengan budak. Jika ia telah berlebihan dalam bergurau dengan budak, maka ia diingatkan dengan wibawa kerajaan. Demikian juga orang cerdik, ia akan memberikan kepada jiwa akan hak-haknya dan menuntutnya melakukan kewajiban-kewajibannya.Orang yang berakal tidak akan melakukan hal-hal yang berat, hingga mengukur jiwanya, apakah jiwanya kuat? Ia juga mencoba jiwanya untuk melakukannya tanpa sepengetahuan orang lain, sebab boleh jadi ia terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidak sabar melakukan hal yang berat tersebut, sehingga ia kembali dalam keadaan dipermalukan.Misalnya seseorang mendengar sebutan ahli zuhud, lantas ia membuang pakaiannya yang bagus, mengenakan pakaian yang lebih jelek, menyendiri di pojok, dan hatinya dipenuhi dengan dzikrul maut serta akhirat. Namun tidak seberapa lama tuntutan tabi’atnya muncul dan terus-menerus mengajaknya kembali ke kebiasaannya, akhirnya ia pun kembali ke kondisi semula.Sebagian orang kembali lagi ke penyakitnya, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Seperti orang yang banyak makan daging unta, setelah sembuh dari sakit.Sebagian lagi ada yang kondisinya di tengah-tengah, hingga ia tetap berada dalam keragu-raguan.Orang cerdas berupaya mengenakan pakaian pertengahan saat tampil di tengah manusia; ia tidak keluar dari kebiasaan orang-orang baik dan tidak masuk dalam kelompok orang-orang yang mengenakan pakaian kaum miskin. Apabila tekadnya kuat, maka ia beramal di rumahnya sesuai kemampuan, tidak mengenakan pakaian perhiasan untuk menutupi kondisi sebenarnya dan tidak memamerkan sesuatu pada orang lain. Ini lebih jauh dari sikap riyaa’ dan lebih terhindar dari keadaan dipermalukan.Di antara manusia ada yang pendek angan-angan dan selalu ingat akhirat, hingga menelantarkan buku-buku tentang keilmuan. Menurutku, tindakan ini salah besar, meski telah dilakukan oleh sekelompok tokoh terkenal. Saya pernah menyebut tindakan seperti itu kepada sebagian guru kita, lantas ia berkata, ”Mereka semua keliru.”Saya mengira sebagian mereka berasal dari cerita kaum yang lemah, tanpa diseleksi. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Sufyan telah mengubur buku-bukunya. Atau hanya sekedar pendapat yang tidak boleh dianut, seperti tindakan Utsman bin ’Affan ra. membakar seluruh mushaf, agar tidak terjadi perselisihan setelah ada kesepakatan.Adapun mengenai tindakan Ahmad bin Abi Al-Hawari dan Ibnu Asbath yang mencuci buku-bukunya, maka itu semata-mata keteledoran dari mereka berdua.Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim waspada terhadap amal yang dilarang syrai’at, melakukan hal-hal yang diduga merupakan kewajiban, namun ternyata salah, atau menampakkan sesuatu yang tidak dimampui, sehingga kembali ke belakang.Rasulullah saw. Bersabda, ”Hendaklah kalian mengerjakan apa yang kalian mampui.” (h.r. Bukhari, Kitabul Iman, 1/17, Muslim, Kitab Shalatul Lail, 3/208. Dan Ibnu Majah, Kitabuz Zuhdi, 1415 (4238)Ibnul Jauzi berkata, “Aku merenungkan hal yang mengherankan dan prinsip yang baik, yaitu bertubi-tubinya ujian pada mukmin. Namun ia mengingat Allah, padahal ia mempu meraihnya.

Page 8: Mujahadatun Nafs

Bahkan dapat meraihnya dengan mudah, tanpa kesusahan. Seperti cinta yang disambut untuk berduaan di tempat yang aman.”Setelah itu saya (Ibnul Jauzi) berkomentar, “Mahasuci Allah! Di situlah nampak pengaruh iman, bukan sekedar pada shalat dua rakaat.Demi Allah, Nabi Yusuf tidak mencapai ketinggian dan kebahagiaan kecuali karena situasi seperti di atas. Maka demi Allah, wahai saudaraku, renungkanlah situasi yang menyertai Yusuf; andaikan ia menuruti hawa nafsunya, maka bagaimana jadinya?Analogikan situasi tersebut dengan situasi yang menyertai Adam as. Kemudian timbanglah dengan timbangan akal untuk mengetahui akibat kekeliruan Adam dan buah kesabaran Yusuf. Dan, jadikan pemahaman kalian terhadap situasi itu sebagai bekal untuk menghadapi segala yang menggoda jiwa.”

DIALOG DENGAN KELEZATAN MENGENDALIKAN NAFSUIbnul Jauzi berkata, “Menurutku, kecenderungan jiwa pada syahwat telah melewati batas, hingga hati, akal, dan pikirannya ikut cenderung. Akhirnya seseorang tidak lagi dapat mengambil manfaat dari nasihat.Suatu hari, aku berteriak pada pada jiwa yang telah cenderung secara total kepada syahwat, ‘Celaka engkau, berhentilah sejenak untuk mendengarkan beberapa ungkapanku. Setelah itu, lakukan apa saja yang kamu sukai.”Jiwaku berkata, ‘Katakanlah, saya akan mendengarkan.’Aku berkata, ‘Engkau telah terbiasa cenderung pada berbagai syahwat yang diperbolehkan. Namun seluruh kecenderunganmu kepada hal-hal yang diharamkan. Aku menunjukkan padamu dua hal; mungkin engkau mengganggapnya sebagai dua hal yang manis sekaligus pahit.Mengenai syahwat-syahwat yang diperbolehkan (mubah), maka engkau mendapatkan kebebasan penuh. Tetapi jalan untuk meraihnya sulit. Sebab boleh jadi kekayaan tidak mampu meraihnya, kerja keras tidak dapat menghasilkan sebagian besar darinya, waktu yang mulia dapat habis percuma untuk hal-hal di atas, dan hati akan sibuk dengannya saat berupaya meraihnya, ketika sudah meraihnya, serta ketika takut ia hilang.Di samping itu, kenikmatan syahwat yang mubah pasti terganggu dengan kekurangan; apabila syahwat itu berupa makanan, maka kekenyangan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Apabila berupa seseorang, maka dapat muncul kebosanan, perpisahan, atau perilaku yang buruk. Bahkan, pernikahan yang paling nikmat dapat melemahkan fisik. Dan, masih banyak lagi contoh yang sangat panjang kalau dibicarakan.Mengenai syahwat yang diharamkan, maka sudah tercakup dalam penjelasan mengenai syahwat yang mubah. Ditambah, bahwa syahwat yang diharamkan dapat merusak kehormatan, mengundang siksa di dunia, mempermalukan, ancaman di akhirat, dan dapat menimbulkan kesedihan setiap orang yang bertaubat mengingatnya.Kekuatan mengekang nafsu adalah kelezatan yang melebihi setiap kelezatan. Tidakkah anda memperhatikan nasib orang yang terkalahkan oleh nafsunya? Bukankah ia terhina, sebab ia terkalahkan? Berbeda dengan orang yang dapat mengalahkan nafsunya, ia memiliki hati yang kuat dan meraih kemuliaan, sebab ia menjadi pemenang.Karena itu waspadalah, jangan melihat hal-hal yang menyenangkan nafsu dengan pandangan baik, sebagaimana seorang pencuri memandang lezatnya mengambil harta dari brangkas. Bukalah mata hati untuk merenungkan berbagai akibatnya, tercampurnya kelezatan dengan gangguan, dan perubahan rasa lezat karena kejenuhan, karena berbagai penyakit, atau karena hilang. Sebab maksiat yang pertama ibarat suapan pertama yang ditelan oleh orang yang lapar.

Page 9: Mujahadatun Nafs

Hendaklah setiap manusia mengingat lezatnya mengendalikan nafsu serta merenungkan berbagai manfaat kesabaran menahan nafsu. Apabila manusia terbimbing melakukan hal tersebut, maka jalan keselamatan selalu dekat padanya.

CARA BERMUJAHADAHIbnul Jauzi berkata, “Menurutku, seluruh makhluk dalam pertempuran. Di mana syetan-syetan menghujani mereka dengan panah nafsu dan menyabet mereka dengan pedang kelezatan. Orang-orang yang mencampur kebaikan dengan kejahatan akan terkapar di awal pertempuran. Sedangkan orang-orang yang bertaqwa terus berjihad. Dan, jihad ini membutuhkan waktu yang lama; mereka terluka dan melakukan pengobatan. Mereka terhindar dari kematian, namun luka di wajah dapat memperburuk muka, karena itu para mujahid harus selalu waspada.Abu Amr bin Bujaid meriwayatkan, “Siapa menganggap mulia agamanya, maka ia akan menganggap hina jiwanya.”Al-Qusyairi berkata, “Pokok mujahadah terhadap jiwa adalah menyapihnya dari hal-hal yang menjadi kebiasaannya dan memaksanya pada hal-hal yang tidak disukai nafsunya. Jiwa itu ada dua macam: Jiwa yang tenggelam dalam syahwat dan jiwa yang enggan melakukan ketaatan. Mujahadah berada sesuai kondisi masing-masing.”Sebagian ulama mengatakan, “Jihad terhadap jiwa masuk dalam kategori jihad terhadap musuh. Sebab musuh itu ada tiga: Pimpinan mereka adalah syetan, kemudian jiwa karena ia mengajak kepada kelezatan yang mengantar kepada keharaman yang dimurkai oleh Allah. Dan, syetan adalah pembantu dan penghias jiwa agar melakukannya. Karena itu siapa yang menentang hawa nafsunya, berarti telah mengalahkan syetan yang menyertainya. Dengan demikian, mujahadah terhadap jiwa adalah memaksanya untuk mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apabila seorang hamba telah mendapat kekuatan dalam hal tersebut, maka sangat mudah baginya berjihad melawan musuh-musuh agama.Jihad pertama (jihad terhadap syetan dan jiwa) adalah jihad batin. Sedangkan jihad yang kedua (jihad terhadap musuh agama) adalah jihad lahir.Jihad terhadap jiwa itu memiliki empat tingkatan:

1. Memaksanya untuk mempelajari urusan-urusan agama2. Memaksanya untuk mengamalkan apa yang dipelajari3. Memaksanya untuk mengajarkan apa yang diketahui kepada orang yang belum

mengetahui4. Menyeru kepada keesaan Allah dan memerangi orang yang menyimpang dari agama-Nya

serta mengingkari nikmat-Nya.Pembantu yang paling kuat untuk berjihad melawan jiwa adalah jihad terhadap syetan, dengan cara membuang semua syubhat dan keraguan yang dibisikkannya, membentengi diri dari hal-hal haram yang dihiasi oleh syetan, dan mencegah diri dari memperbanyak hal-hal mubah yang dapat menjerumuskan pada syubhat. Untuk kesempurnaan mujahadah, hendaknya hamba selalu waspada pada jiwa dalam semua keadaannya. Sebab jika ia melupakannya, maka syetan dan jiwanya akan mengajaknya melakukan hal-hal yang dilarang. Dan, hanya Allah yang memberi pertolongan.” (Fathul Bari, 11/345-346)Al-Ghazali –rahimahullah- berkata, “Para ulama sepakat bahwa tiada jalan yang mengantar pada kebahagiaan di akhirat kecuali menahan jiwa dari hawanafsu dan menentang syahwat. Ini merupakan hal yang wajib diimani. Sedang mengenai ilmu terperinci mengenai syahwat yang harus ditinggalkan dan yang tidak ditinggalkan, harus diketahui melalui syari’at. Cara mujahadah dan latihan setiap orang berbeda-beda, sesuai kondisi masing-masing.

Page 10: Mujahadatun Nafs

Pada dasarnya, setiap orang perlu meninggalkan kegembiraan yang terkait dengan urusan dunia. Misalnya, orang yang gembira pada harta, kedudukan, simpati orang saat memberi nasihat, kemuliaan dalam peradilan atau kekuasaan, atau banyaknya pengikut saat mengajar. Hendaknya ia meninggalkan kegembiraan itu. Tetapi ketika dia meninggalkan kegembiraan itu, kemudian dikatakan padanya, “Pahalamu di akhirat tidak akan berkurang dengan sikap meninggalkan itu.” Apabila ia benci ungkapan tersebut dan merasa sakit hati, maka itu salah satu tanda bahwa ia gembira dengan kehidupan dunia dan merasa nyaman dengannya. Dan, ini merupakan hal yang dapat membinasakannya. Karena itu, sebaiknya ia menyendiri untuk mengevaluasi hatinya dan menyibukkannya hanya dengan dzikir kepada Allah serta memikir makhluk-makhluk-Nya. Kemudian hendaklah mengawasi syahwat dan bisikan yang muncul dalam jiwanya, sehingga dapat mengikatnya, meski telah nampak jelas. Setiap bisikan pasti ada sebabnya, dan bisikan tidak akan hilang kecuali dengan meninggalkan penyebabnya. Setelah itu hendaklah mengulangi tindakan-tindakan di atas sepanjang sisa usia, sebab jihad tidak akan berakhir, kecuali bila kematian telah tiba.” (Ihyaa ulumud din, 3/67)Ibnu Hajar –rahimahullah- menyatakan dalam kitabnya, syarah al-Misykat, ketika menjelaskan Hadits dari Rabi’ah bin Ka’ab ra. yang memohon pada Nabi saw. agar dapat menemani beliau di surga, “Berjihad pada jiwanya dengan memperbanyak sujud.” Maka ia pun mendapatkan derajat yang tinggi itu, di mana tiada lagi harapan kecuali semakin dekat pada Allah di dunia dengan memperbanyak sujud, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya, “Dan, sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (Al-‘Alaq: 19) Setiap sujud adalah pendekatan tertentu yang dapat mengantar pelakunya menaiki tangga kedekatan (pada Allah), sehingga berakhir pada tingkatan menjadi teman Rasul tercinta saw. Dan, dengan begitu ia mendapatkan seperti yang difirmankan Allah swt., “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)Dekat dengan Rasulullah saw. tidak mungkin tercapai kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan, kedekatan dengan Allah swt. tidak mungkin tercapai kecuali dengan kedekatan dengan Rasulullah saw.Dua kedekatan itu saling mempengaruhi, satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lainnya. Karena itulah, Allah menempatkan tindakan mengikuti Rasul-Nya di antara dua kecintaan untuk mengajarkan kepada kita, bahwa cinta hamba kepada Allah dan cinta Allah kepada hamba-Nya sangat tergantung pada tindakan mengikuti RAsulullah saw.” (Dalilul falihin, 1/318)Ibnu Hajar menambahkan, “Berjihadlah pada jiwamu dengan pedang-pedang latihan. Dan, latihan itu ada empat macam; makan yang hanya sekedar menghilangkan lapar, sedikit tidur, sedikit bicara, dan menanggung gangguan dari seluruh manusia. Sedikit makan dapat menyebabkan kematian syahwat, sedikit tidur dapat menjernihkan kehendak, sedikit bicara dapat menyelamatkan dari berbagai penyakit, dan kemampuan menanggung derita dapat mengantar pada tujuan. Tiada yang berat bagi seorang hamba melebihi sikap santun saat diperlakukan kasar dan sabar saat mendapatkan gangguan.Apabila kehendak syahwat dan keinginan berbuat dosa mulai bergerak dalam jiwa, hingga kata-kata pun keluar secara berlebihan, maka pedang ssedikit makan terhunus dari sarung tahajjud dan sedikit tidur, lalu menebas keinginan tersebut dengan menggunakan tangan sedikit bicara, sehingga jiwa terhindar dari kezhaliman, aman dari berbagai bahaya, tercerahkan dari kegelapan

Page 11: Mujahadatun Nafs

syahwatnya, selamat dari gangguan penyakitnya, dan ia menjadi bersih, bercahaya, serta ringan mengarungi berbagai kebaikan, dan menapaki jalan-jalan ketaatan, seperti kuda yang berlari kencang di lapangan dan seperti raja yang rekreasi di kebun.” (Ihyaa ulumud din, 3/66)Malik bin Dinar jalan-jalan di pasar. Apabila ia melihat sesuatu yang diinginkan oleh jiwanya, maka ia berkata kepada jiwanya, “Bersabarlah, demi Allah aku tidak mencegahmu kecuali karena kemuliaanmu atas diriku.” (Ihyaa ulumud din, 3/67)Ahnaf bin Qais tidak berpisah dengan lampu di malam hari; ia meletakkan jarinya pada lampu itu seraya berkata kepada jiwanya, “Apa yang menyebabkanmu melakukan ini dan itu pada hari ini dan itu.”Umar bin Khathab ra. memberi sangsi pada dirinya saat tertinggal jamaah shalat Ashar, dengan cara menshodaqahkan tanahnya yang senilai dua ratus ribu Dirham.Apabila Ibnu Umar tertinggal shalat jamaah, maka ia menghidupkan seluruh malamnya. Dan, suatu ketika ia mengundur shalat Maghrib, hingga dua bintang terbit, maka ia memberi sangsi dengan memerdekakan budak.Ibnu Abi Rabi’ah (al-Harits bin Abdullah bin Abi Rabi’ah; gubernur Bashrah dan salah satu tokoh tabi’in, Tahdzibut Tahdzib, Al-Ishabah 2039) tertinggal dari dua rakaat sebelum shubuh, maka ia memerdekakan budak.Sebagian ulama memaksa dirinya untuk shaum selama setahun, menunaikan haji dengan berjalan kaki, dan bershodaqah dengan seluruh hartanya. Itu semua sebagai pengikat jiwa dan pemberian sangsi kepadanya demi keselamatannya.Dikisahkan bahwa ada sekelompok orang yang menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang badannya kurus. Umar berkata kepadanya, “Wahai pemuda, apa yang membuatmu menjadi seperti yang aku lihat?” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, karena sakit.”Umar berkata, “Saya bersumpah dengan Nama Allah, bicaralah dengan jujur padaku.”Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, saya mencicipi manisnya dunia, tapi saya rasakan pahit. Saya menganggap sepele bunga duna dan kelezatannya. Menurutku sama saja emas dunia dan batunya. Dan, seolah-olah saya melihat Arsy Allah serta melihat manusia digiring ke surga dan ke neraka. Karena itu, siang hari aku dahaga, malam hari aku begadang, dan segala apa yang aku miliki hanya sedikit serta hina bila dibanding pahala dan siksa Allah.Abu Darda’ berkata, “Andai tidak ada tiga hal, maka tidak ingin hidup sehari pun; Dahaga karena Allah di siang hari, sujud untuk Allah di tengah malam, dan duduk bersama orang-orang yang memilih ucapan baik, sebagaimana mereka memilih buah-buahan yang baik.”Al-Aswad bin Yazid serius dalam beribadah dan shaum pada hari yang panas, sehingga badannya membiru. Maka Al-Qamah bin Qais menegurnya, “Mengapa engkau menyiksa diri?” Ia menjawab, “Aku menginginkan kemuliaannya.”Kurz bin Wabrah berjihad terhadap dirinya dengan maksimal untuk melakukan ibadah. Maka seseorang berkata kepadanya, “Engkau telah melelahkan dirimu.” Ia menjawab dengan balik bertanya, “Berapa usia dunia?” Dijawab, “Tujuhpuluh ribu tahun.” Ia bertanya, “Berapa ukuran sehari di hari kiamat?” Dijawab, “Limapuluh ribu tahun.” Ia bertanya, “Bagaimana mungkin seorang dari kalian merasa tidak mampu beramal selama tujuh hari untuk mendapatkan keamanan pada hari akhir?”Apabila jiwamu membisikimu, “Mereka adalah tokoh-tokoh yang kuat, kita tidak dapat menteladani mereka.” Maka kajilah kehidupan para wanita mujahidah, kemudian katakanlah kepada jiwamu, “Wahai jiwa, apa kamu tidak malu lebih kecil dari kamu wanita?” Sungguh hina laki-laki yang lebih lemah dari wanita dalam urusan agama dan dunia.

Page 12: Mujahadatun Nafs

Sekarang, mari kita kenang kehidupan para wanita mujahidah:Diriwayatkan bahwa Apabila Habibah Al-‘Adawiyah hendak melaksanakan shalat Isya’, maka ia berdiri di bagian atas rumahnya, seraya mengikat pakaian dan kerudungnya, kemudian ia berkata, “Ya Tuhan-ku, bintang-gemintang telah telah tenggelam, beberapa mata telah terlelap, para raja telah menutup pintu-pintunya, dan setiap kekasih telah menyendiri bersama kekasihnya. Inilah posisiku di hadapan-Mu!” Setelah itu ia melaksanakan shalat. Apabila fajar telah terbit, ia berkata, “Ya Tuhan-ku, malam telah berlalu dan siang telah datang menjelang. Maka alangkah senangnya andai malamku kembali lagi kepadaku.”Diriwayatkan bahwa ‘Ajrodah menghidupkan malam, padahal ia buta. Apabila datang waktu sahur, maka ia berseru dengan suara sedih, “Untuk-Mu (ya Allah) Para ahli ibadah menyusuri kegelapan malam. Mereka berlomba untuk mendapatkan rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Kepada-Mu aku memohon, wahai Tuhan-ku, tidak kepada selain-Mu, jadikanlah aku di kelompok pertama orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Tinggikanlah derajatku di sisi-Mu di kalangan orang-orang yang mulia dan orang-orang yang dekat dengan-Mu. Sampaikanlah aku untuk bersama hamba-hamba-Mu yang shalih. Sebab Engkau adalah Yang Maha Kasih di antara yang punya kasih, Yang Maha Agung di antara yang agung, dan Yang Maha Mulia di antara yang mulia! Setelah itu, ia tersungkur sujud hingga hidangan sahur. Kemudian ia terus- menerus berdoa dan menangis hingga shubuh.”Yahya bin Bustham berkata, “Saya menyaksikan majlisnya Sya’wanah dan melihatnya menangis.” Maka saya katakan kepada sahabatku, “Alangkah baiknya kalau kita mendatanginya saat sendirian, kemudian menyuruhnya untuk belas kasihan pada dirinya?” Sahabatku menjawab, “Ok. Setuju dengan pendapatmu.” Maka kami pun datang kepadanya kemudian saya berkata kepadanya, “Apa tidak sebaiknya kalau kamu belas kasihan pada dirimu dan mengurangi tangisanmu ini. Sebab itu dapat lebih menguatkanmu untuk mencapai apa yang kamu inginkan?” Sya’wanah semakin menangis, kemudian berkata, “Demi Allah, aku ingin menangis hingga air mataku kering, kemudian aku menangis mengeluarkan darah hingga tiada setetes pun darah di tubuhku! Bagaimana aku tidak menangis! Bagaimana aku tidak menangis!” Ia terus-menerus mengulang kata-kata itu, hingga pingsan.Apabila engkau termasuk orang-orang yang mengawasi dirinya, maka hendaklah mengkaji kehidupan tokoh-tokoh yang bermujahadah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab hal itu dapat membangkitkan semangat dan menguatkan tekad. Jangan memperhatikan orang-orang yang sezaman denganmu, sebab apabila engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi, maka mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.Kisah mengenai orang-orang yang melakukan mujahadah tidak terhingga. Dan, apa yang kami sebutkan di atas sudah memadai untuk orang yang dapat mengambil pelajaran. Tetapi jika anda ingin tambahan, maka silahkan membaca kitab, “Hilayatul auliyaa”. Sebab kitab tersebut memuat penjelasan mengenai kehidupan para shahabat, tabi’in, dan generasi setelah mereka. Dengan mengkaji kitab tersebut, anda akan mengerti perbedaan ahli agama pada generasimu dan generasi setelahmu.

JIWA YANG HARUS DIPERANGITidak diragukan bahwa jiwa muthmainnah dan jiwa lawwamah adalah sumber mata air akhlak terpuji. Jiwa pertama adalah mata air keyakinan, ketenteraman, kekhusyu’an, ketundukan, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Sedang jiwa lawwamah membangkitkan taubat, istigfar, kesadaran untuk kembali kepada Allah swt., dan lain sebagainya. Dengan demikian tinggal jiwa ammaroh

Page 13: Mujahadatun Nafs

bis suuk, ia adalah jiwa yang menjadi sumber mata air kejahatan dan landasan akhlak tercela, misalnya dengki, sombong, marah, permusuhan, dan lain sebagainya.Potensi marah, syahwat, dan kecerdasan juga dinamakan jiwa, di mana kesemuanya perlu menjadi sasaran mujahadah. Sebab semuanya dapat mempengaruhi akhlak; baik yang terpuji maupun yang tercela.Potensi syahwat itu amat kuat. Apabila tidak ditaklukkan dan dididik oleh manusia, maka syahwat akan menguasai dan mengendalikannya, sehingga ia tunduk pada syahwat tersebut. Apabila itu terjadi, manusia lebih mirip binatang ternak. Dan, jika ini benar-benar nyata, maka manusia akan menjadi jahat, terkalahkan oleh kesia-siaan, suka main-main, dan melakukan berbagai kemungkaran.Potensi marah harus diperangi dan dikuasai. Jika tidak, maka manusia akan sering marah, nampak jelas kedunguannya, selalu dengki, dan cenderung ingin membalas dendam. Tindakan-tindakan tersebut dapat mencelakakan pelakunya dan menceburkannya ke jurang kebinasaan. Sebab ia terkuasai oleh kedengkian, kedunguan, dan luapan emosi.Potensi kecerdasan adalah tempat berfikir dan berdzikir. Dan, ini merupakan sifat-sifat terpuji. Akan tetapi, potensi ini juga mempunyai aspek negatif yang harus diperangi, misalnya kelicikan, tipu daya, riyaa, rayuan, dan lain sebagainya. (Tahdzibul akhlak, Al-Jahizh 20015)

JIHAD TERHADAP JIWA DAPAT MENGANTAR PADA AKHLAK MULIAJihad terhadap jiwa adalah pondasi utama bagi kesiapan manusia memegang kekhalifahan di bumi. Karena itu ia harus disucikan dengan melakukan mujahadah. Dan, mujahadah memiliki beberapa sebab dan faktor penunjang. Ar-Raghib berkata, “Yang dapat mensucikan jiwa adalah ilmu, ibadah, dan kesabaran yang menjadi sebab baiknya kehidupan akhirat. Sebagaimana penyucian badan dengan air yang menjadi sumber kehidupan dunia. Karena itulah Allah menamai ilmu dan ibadah sebagai kehidupan dan menamai wahyu yang diturunkan dalam Kitab-Nya sebagai air.Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (Al-Anfal: 24)Allah swt. menamai ilmu dan ibadah sebagai kehidupan. Sebab jika jiwa tidak mendapatkannya, maka ia akan binasa untk selamanya.Allah swt. juga menjelaskan sifat air dalam firman-Nya, “Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al-Anbiyaa: 30)Kesucian jiwa dapat diraih dengan:

Memperbaiki pemikiran dan proses belajar, sehingga seseorang dapat membedakan keyakinan yang haq dan yang batil, ungkapan yang jujur dan yang dusta, tindakan yang baik dan yang buruk.

Memperbaiki syahwat dengan sifat iffah (menjaga diri), agar ia terbiasa dermawan dan suka menolong dengan cara terpuji sebatas kemampuannya.

Meluruskan emosi dengan cara melenturkannya, agar dapat dikendalikan. Dan, ini dapat dilakukan dengan menahan jiwa dari menuruti kebutuhan rasa takut dan ambisi yang tercela.

Page 14: Mujahadatun Nafs

Dengan meluruskan tiga kekuatan tersebut, jiwa akan seimbang dan menjadi baik. (Adz-Dzari’ah, Ar-Raghib, 38, 48)

TINGKATAN MUJAHADAH TERHADAP JIWAIbnul Qayyim –semoga Allah swt. merahmatinya- mengatakan bahwa jihad terhadap jiwa itu mempunyai empat tingkatan:Pertama : Berjihad padanya agar mempelajari petunjuk dan agama yang benar.Kedua : Berjihad padanya agar mengamalkan petunjuk dan agama yang benar, setelah mengetahuinya.Ketiga : Berjihad kepadanya agar menyeru ke kebenaran.Keempat : Berjihad kepadanya agar sabar menanggung beratnya dakwah menuju Allah swt. dan gangguan makhluk. Ia menanggung semua itu karena Allah swt. Setelah itu Ibnul Qayyim –semoga Allah swt. merahmatinya- berkomentar, “Apabila seorang muslim menyempurnakan empat tingkatan jihad pada jiwa tersebut, maka ia menjadi orang-orang rabbani. Para pendahulu yang shalih sepakat bahwa orang yang mempunyai ilmu tidak berhak dinamai rabbani, sehingga ia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barangsiapa mengetahui, mengamalkan, dan mengajarkan kebenaran, maka ia disebut manusia agung dalam kerajaan langit. (Zadul ma’ad, 3/10)