9
MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH BALIM SELATAN KABUPATEN JAYAWIJAYA (Mokat Ake: Megalithic Culture in Hitigima Site South Salim Valley Erlin Novita ldje Djami Balai Arkeologi Papua Jalan lsele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 Telepon (0967) 572467, Faksimile (0967) 572467 e-mail: [email protected] INFO ARTIKEL Histori artikel Diterima: 11 Juli 2016 Direvisi: 2 Agustus 2016 Disetujui: 14 Oktober2016 Keywords: mokatake, megalithic culture, Balim Valley Kata kunci: mokataka, budaya megalitik, Lembah Balim PENDAHULUAN ABSTRACT The findings of the spirits path or Mokat Ake in the Hitigima Site, Asotipo District, regency of Jayawijaya, has brought a new perspective related to the distribution and diversity of megaliths culture in Indonesia. In addition, as a proof that in the central mountainous region of Papua have also been touched by the megalithic culture, is a cultural tradition that was introduced by Austronesian speakers since the Neolithic and continues a tradition until now. Research results from the Hitigima site is in the form of Asoma Indigenous Village, spirits path (mokat ake), a few of stone pillars, a large stone, and a niche in the mountain Hesagenem, as well as blue lake. These elements constitute a single entity associated with the context of indigenous deaths in Hubula tribe in southern Balim Valley, which is also described how the ancestors of the trip, and the reintegration of descent with ancestors. ABSTRAK Temuan jalan arwah atau mokat ake di Situs Hitigima, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, telah membawa perspektif baru terkait dengan sebaran dan keragaman bentuk megalitik dl Indonesia. Di samping itu, sebagai bukti bahwa dl wilayah pegunungan tengah Papua juga telah tersentuh oleh budaya megalltik yaitu suatu tradlsi budaya yang diperkenalkan oleh penutur Austronesia sejak masa neolitik dan terus mentradisi hingga kini. Hasil penelitian di Situs Hitigima adalah berupa Kampung Adat Asoma, jalan arwah (mokat ake), beberapa buah tiang batu, satu buah batu berukuran besar, dan ceruk di Gunung Hesagenem, serta Kali Biru. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan konteks yang terkait dengan adat kematian pada suku Hubula di Lembah Balim selatan, yang juga menggambarkan tentang hubungan nenek moyang, dan penyatuan kembali para keturunan dengan leluhumya. Penemuan jalan arwah di wilayah Distrik Asotipo secara tidak sengaja, yaitu ketika dilakukan studi kelayakan pada patung kepala Suku Besar Ukumhearik Asso sebagai kepala suku yang pertama kali menerima lnjil di Lembah Balim. Pada saat observasi di area sekitar patung tersebut, ditemukan sejumlah benda budaya berciri megalitik seperti batu asah yang lima buah yaitu berupa batu-batu berukuran besar yang pada permukaanya terdapat cekungan-cekungan bekas mengasah kapak batu, selain itu ditemukan juga batu peringatan yang berada di posisi depan tempat berdirinya patung Ukumherik Asso dan batu tersebut merupakan batu tanda kedatangan nenek moyang orang Hubula di Hitigima yang datang dari selatan, dan juga ditemukan sejumlah tiang-tiang batu dan pagar batu yang menurut masyarakat setempat adalah jalan arwah (mokat ake) (NN, 2013:15-16). Temuan budaya megalitik di wilayah ini sangat menarik untuk Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 111 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami

MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH BALIM SELATAN KABUPATEN JAYAWIJAYA (Mokat Ake: Megalithic Culture in Hitigima Site South Salim Valley

Erlin Novita ldje Djami Balai Arkeologi Papua Jalan lsele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 Telepon (0967) 572467, Faksimile (0967) 572467 e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Histori artikel Diterima: 11 Juli 2016 Direvisi: 2 Agustus 2016 Disetujui: 14 Oktober2016

Keywords: mokatake,

megalithic culture,

Balim Valley

Kata kunci: mokataka,

budaya megalitik,

Lembah Balim

PENDAHULUAN

ABSTRACT

The findings of the spirits path or Mokat Ake in the Hitigima Site, Asotipo District, regency of Jayawijaya, has brought a new perspective related to the distribution and diversity of megaliths culture in Indonesia. In addition, as a proof that in the central mountainous region of Papua have also been touched by the megalithic culture, is a cultural tradition that was introduced by Austronesian speakers since the Neolithic and continues a tradition until now. Research results from the Hitigima site is in the form of Asoma Indigenous Village, spirits path (mokat ake), a few of stone pillars, a large stone, and a niche in the mountain Hesagenem, as well as blue lake. These elements constitute a single entity associated with the context of indigenous deaths in Hubula tribe in southern Balim Valley, which is also described how the ancestors of the trip, and the reintegration of descent with ancestors.

ABSTRAK

Temuan jalan arwah atau mokat ake di Situs Hitigima, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, telah membawa perspektif baru terkait dengan sebaran dan keragaman bentuk megalitik dl Indonesia. Di samping itu, sebagai bukti bahwa dl wilayah pegunungan tengah Papua juga telah tersentuh oleh budaya megalltik yaitu suatu tradlsi budaya yang diperkenalkan oleh penutur Austronesia sejak masa neolitik dan terus mentradisi hingga kini. Hasil penelitian di Situs Hitigima adalah berupa Kampung Adat Asoma, jalan arwah (mokat ake), beberapa buah tiang batu, satu buah batu berukuran besar, dan ceruk di Gunung Hesagenem, serta Kali Biru. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan konteks yang terkait dengan adat kematian pada suku Hubula di Lembah Balim selatan, yang juga menggambarkan tentang hubungan pe~alanan nenek moyang, dan penyatuan kembali para keturunan dengan leluhumya.

Penemuan jalan arwah di wilayah Distrik Asotipo te~adi secara tidak sengaja, yaitu ketika dilakukan studi kelayakan pada patung kepala Suku Besar Ukumhearik Asso sebagai kepala suku yang pertama kali menerima lnjil di Lembah Balim. Pada saat observasi di area sekitar patung tersebut, ditemukan sejumlah benda budaya berciri megalitik seperti batu asah yang be~umlah lima buah yaitu berupa batu-batu berukuran besar yang pada permukaanya terdapat

cekungan-cekungan bekas mengasah kapak batu, selain itu ditemukan juga batu peringatan yang berada di posisi depan tempat berdirinya patung Ukumherik Asso dan batu tersebut merupakan batu tanda kedatangan nenek moyang orang Hubula di Hitigima yang datang dari selatan, dan juga ditemukan sejumlah tiang-tiang batu dan pagar batu yang menurut masyarakat setempat adalah jalan arwah (mokat ake) (NN, 2013:15-16).

Temuan budaya megalitik di wilayah ini sangat menarik untuk

Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 111 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami

Page 2: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

dikaji lebih lanjut, terutama yang terkait dengan kehadiran jalan arwah, karena kehadiran materi budaya tersebut telah membawa perspektif baru bagi keragaman megalitik di Nusantara. Megalitik merupakan suatu tradisi budaya yang diperkenalkan di Nusantara sekitar awal Masehi, dan di beberapa daerah terus berlanjut ke zaman sejarah hingga sekarang (Simanjuntak, 201 0:57). Masyarakat pendukung budaya tersebut umumnya menghasilkan peralatan yang dibuat dari batu-batu besar yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari (Sukendar, 1987:1). Selain itu, ada juga pemanfaatan objek batu-batu yang berukuran lebih kecil maupun penggunaan bahan lain seperti kayu yang dipergunakan untuk tujuan sakral seperti pemujaan terhadap nenek moyang dan kepada kekuatan­kekuatan a lam yang dahsyat (Prasetyo, 2015:15-16); Sutaba, 2008:90).

Di Indonesia, kehadiran budaya megalitik tidak terlepas dari keberadaan bangsa Austronesia yang pada masa neolitik (bercocok tanam) dan masa perunggu besi telah melakukan migrasi dengan membawa tradisi megalitik di daerah-daerah yang dilaluinya (Prasetyo dkk, 2004: 96-97), dan Papua adalah salah satu di antaranya.

Masuknya budaya megalitik di wilayah Papua. Menurut Riesenfeld (1950), pertama melalui kepulauan Indonesia sebelah selatan dan berakhir di Maluku, namun pengaruhnya sampai ke Papua di sebelah utara hingga ke Sungai Mamberamo, sedangkan di sebelah selatan pengaruh tersebut sampai di daerah pesisir selatan Papua yakni Kaimana dan sekitarnya. Kedua, melalui Kepulauan Taiwan (Formosa}, Philipina, dan Sulawesi Utara yang menyebar ke Mikronesia

dan kemudian menyebar terus ke New Guinea melalui Kepulauan Admiralty di utara Papua New Guinea, terus masuk melalui daerah Monumbo di pantai utara Papua New Guinea, kemudian kearah barat sampai di Irian Jaya, yaitu pertama melalui pantai utara ke barat di Kepulauan Schouten sampai ke Pulau Waigeo, kemudian kembali ke pesisir daratan New Guinea sepanjang muara Sungai Sepik, Pantai Oinake, Sungai Tami, Sae (Skow-Mambo), Teluk Humboldt (Yos Sudarso), Nafri, dan Danau Sentani. Ada juga yang masuk melalui Sungai Sepikdan menyeberang melalui pegunungan tengah menuju ke arah selatan sejauh pantai selatan New Guinea lewat Sungai Fly, kemudian bergerak ke barat melalui Sungai Yawin, Sungai Kurkari, Sungai Siwasiv, Sungai Kayakai, Sungai Maro, dan Sungai Kumbe hingga terus sampai ke daerah pedalaman, pada kebudayaan Yee-anim (Mansoben, 1995: 64-65).

Terkait teori tersebut, membuka peluang bahwa wilayah pegunungan tengah Papua juga mendapatpengaruh budaya megalitik, hal ini terbukti dengan kehadiran mokat ake di wilayah Lembah Balim selatan. Temuan jalan arwah tersebut, merupakan bukti yang mematahkan hasil penelitian Bagyo Prasetyo (1996), yang menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda persebaran megalitik atau persebaran megalitik tidak menjangkau wilayah Wamena (Prasetyo, 1999:22) yang berada di pegunungan tengah Papua.

Oleh karena itu, keberadaan mokat ake ini sangat panting untuk diketahui, dan diteliti lebih lanjut karena selain menggambarkan tentang adat kematian dan religi suku Hubula, juga sebagai bukti kehadiran budaya megalitik di pegunungan tengah Papua yaitu di Lembah Balim, Wamena, serta sebagai gambaran

112 Jurnal Papua, Volume 8, No.2, November 2016: 111-119

Page 3: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

keragaman budaya megalitik di Nusantara. Sehubungan hal tersebut, ada beberapa permasalahan yang perlu dijawab yaitu tentang bagaimana bentuk tinggalan megalitik mokat ake di Situs Hitigima dan konsep-konsep apa yang melatar belakangi pendirian jalan arwah tersebut? Oleh karena itu maka tujuan penelitian adalah selain menggambarkan bentuk jalan arwah, juga mengungkapkan tentang konsep-konsep lokal pendirian jalan arwah serta menempatkannya dalam konsep budaya sesuai perkembangan peradaban manusia.

Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif

dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk penalaran induktif, yang bertujuan untuk menggambarkan tentang bentuk, fungsi dan konsep jalan arwah dalam kehidupan masyarakat suku Hubulu di Situs Hitigima, Distrik Asotipo wilayah Lembah Balim Selatan. Adapun teknik pengumpulan datanya melalui kajian beberapa pustaka yang ada kaitannya dengan objek kajian, baik itu teori maupun tulisan-tulisan yang menunjang lainnya, observasi terhadap objek jalan arwah dan unsur­unsur lain yang berkaitan langsung dengan objek kajian.

PEMBAHASAN Temuan Arkeologis

Hasil eksplorasi tinggalan megalitik yang terkait dengan mokat ake di Situs Hitigima, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya adalah terdiri dari beberapa unsur utama yaitu:

(1) Kampung Asoma merupakan salah satu kampung adat suku Hubula di Wilayah Lembah Balim selatan. Kampung tersebut merupakan kampung pusat komando segala bentuk pelaksanaan acara adat

seperti komando untuk pesta wam, komando untuk perang, komando untuk acara Ap waya. komando untuk buka kebun, dan komando untuk upacara kesuburan. Unsur­unsur dalam kampung terdiri dari satu buah honai adat/rumah laki­laki (honai pusat komando/honai kanekela tempat penyimpanan benda sakral yang berhubungan dengan nenek moyang), satu honai Suken (honai tempat penyimpanan benda-benda sakral yang berhubungan dengan mahkluk abadi), satu hunila ap khusus untuk laki-laki, empat hunila perempuan yaitu satu hunila umum, dan tiga hunila keluarga. Dalam hunila perempuan terbagai alas tiga bagian yaitu sebelah kiri dari pintu masuk terdapat kandang babi (wamhulakelema), bagian tengah sebagai dapur (hunila) dan sebelah kanan pintu terdapat tempat tidur perempuan dan anak-anak (eweai), di tengah kampung terdapat area bakar batu (bek(t)se), dan tempat bakar mayat (wal8k lolal8kma). Semua unsur-unsur tersebut dikeliligi pagar batu (Jeget) dengan dua buah pintu atau gapura masuk ke dalam kampung yang berada di sisi selatan dan barat kampung. Dari kampung adat inilah aktivitas penghantaran arwah dimulai.

Gambar 1. Kampung Asoma, lokasi awal penghantaran arwah (dokumentasl Erlln)

Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 113 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami

Page 4: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

{2) Jalan arwah (mokat ake) yaitu berupa susunan batu-batu alam dari berbagai ukuran yang membentuk pagar batu yang ditata memanjang dan berliku-liku (.:!:.950 m) yang menghubungkan Kampung Asoma, Wakunoakma, dan Telaga Biru (Mawt).

Gambar 2. Mokat ake dan pertigaan pertemuan jalan arwah (mokat

Awugacarekma) dari Kampung Asoma, Gunung Hesagenam, dan Kali Biru

(dokumentasi Erlin)

{3) Menhir (leget esiak /awake) adalah liang batu yang terdiri dari beberapa buah batu monolitlbatu alam tanpa pengerjaan yang tertancap ke tanah pada posisi dekat dengan jalan arwah khususnya pada area dekat Helep Owa Hegarekma atau tempat perhentian arwah sementara. Menhir-menhir tersebut dipercaya sebagai tempat melompatnya burung kiwakolhiwusa yaitu burung penanda bahwa arwah sedang malakukan pe~alanan (Djami 2016:14). Jika tanda bunyi burung kiwako menandakan bahwa arwah yang lewat adalah arwah kaum perempuan atau orang biasa, sedangkan jika burung hiwusa yang bunyi menandakan bahwa arwah kepala suku yang lewat.

Gambar 3. Menhir-Menhir Tempat Melompat Burung Kiwako/Hiwusa di Area

Jalan Arwah (dokumentasi Erlin)

{4) Helep Owa Hegarekma berupa batu monolit tempat perhentian arwah sementara. Batu tersebut difungsikan sebagai tempat menyimpan wakunoak (tempat arawah) yang ada dalam sebuah isoak untuk sementara waktu, sebelum dilanjutkan penghantaran arwah menuju wakunoakma. Perhentian arwah sementara ini bertujuan untuk menghemat waktu wesagun yang harus kembali ke kampung untuk melakukan acara pembakaran mayat, karena lokasi wakunoakma yang cukup jauh dan berada di atas Gunung Hesagenam.

Gam bar 4. Batu tempat perhentian arwah sementara (dokumentasi Erlin)

114 Jurnal Papua, Volume 8, No. 2, November 2016: 111-119

Page 5: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

(5) Wakunoakma adalah tempat bersemayamnya roh-roh orang mati, tempat tersebut merupakan tempat yang sakral dan tempat ini berupa sebuah ceruk di Gunung Hesagenam dan merupakan tempat perhentian arwah terakhir.

Gambar 5. Lokasi Wakunoakma di Gunung Hesagenam (dokumentasi Erlin)

{6) Telaga Biru (Maw1) adalah sebuah telaga/kolam yang masih disakralkan dan dipercaya sebagai pusat keluarnya nenek moyang suku-suku Hubula di Lembah Balim, telaga ini terletak di wilayah Kampung Maima (Djami, 2015:19-24) yang berada tidak jauh dari Hitigima. Telaga Biru turut dieksplorasi karena memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan jalan arwah.

Gambar 6. Telaga Biru (Mawi) (dokumentasi Erlin)

Konsep Jalan Arwah Bagi Suku Hubula di Hitigima

Jalan arwah (mokat ake), dipercaya sebagai jalan yang dilalui oleh arwah-arwah orang mati saat acara penghantaran arwah dilakukan. Jalan arwah 1m menghubungkan kampung Asoma, Gunung Hesagenem tempat bersemayamnya roh-roh orang mati dan Telaga Biru di Kampung Maima yang dipercaya sebagai pusat keluarnya nenek moyang suku Hubula pada jaman dahulu kala.

Kehadiran jalan arwah tersebut, tidak terlepas dari adat kematian suku Hubula di Lembah Balim selatan, yaitu ketika ada kematian maka upacara kematian (owawen) tidak terhindarkan. Kematian adalah awal kehidupan di dunia baru, perpindahan dari dunia fana ke dunia baka. Upaca kematian sangat perlu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan penghantaran roh tersebut ke tempat yang dituju (Prasetyo, 2015: 169).

Upacara kematian pada suku Hubula diawali dengan ritual potong babi pertama yang dikhususkan bagi si mati. Babi yang dipotong tersebut, satu bagian kaki belakangnya diambil dan digantung di atas kepala atau di samping kepala si mati, setelah itu dilakukan ritual pemandian mayat yang dilakukan oleh keluarga dan dipimpin oleh Wesagun. Pemandian mayat dilakukan dengan cara lemak babi bagian dada (askep) diambil kemudian digosokkan atau dibalur keseluruh tubuh mayat, setelah itu gemuk babi bekas gosok mayat tersebut diambil dan disimpan oleh wesagun dengan cara mengikatkannya pada sebuah isoak1 yang merupakan tempat arwah si mati, yang nantinya akan diupacarakan sebelum diantar menuju Wakunoakma.

1. Isoakllabu (Lagenaria ciceraria) beJbentulc seperti botol yang digunakan sebagai tempat mengisi air untuk minum, namun dalam upacara penghantaran arwah labu tersebut berfungsi sebagai tempat arwah yang disebut wllkurwak

Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 115 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami

Page 6: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

Setelah mayat selesai dimandikan kemudian dihiasi dengan barang-barang miliknya dan juga barang-barang persembahan dari keluarganya seperti noken dan yokal untuk perempuan, sedangkan koteka, bulu burung, dasi kulit bia (walimo), dan ekor anjing di lengan (yekes1) untuk laki-laki, kemudian mayat diletakkan di sebuah kursi (pat) yang terbuat dari kayu kul dalam posisi duduk. Umumnya mayat disemayamkan selama satu hari di dalam dapur (hunila), dan keesokan harinya dilakukan ritual penghantaran arwah dan pembakaran mayat yang dilakukan oleh Wesagun.

Upacara pengahantaran arwah dilakukan dalam honai adat yang dipimpin oleh seorang kepala suku dan diikuti oleh Kema, Tulem, dan Yaman (orang-orang panting dalam struktur adat), setelah ritual selesai wesagun (Yam an) akan keluar dari honai ad at dengan membawa isoak tern pat arwah (wakunoak), dan ia juga dibekali dengan sepotong daging babi untuk melakukan perjalanan penghantaran arwah (apune hetulo/ugun). Ketika wesagun keluar dari honai untuk melakukan perjalanan penghantaran arwah, maka semua masyarakat yang ada tidak boleh melihatnya, atau mereka harus memalingkan wajah dari arah wesagun, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya suatu malapetaka.

Jalan arwah mulai berfungsi ketika wesagun keluar dari kampung untuk mengantar arwah menuju Wakunoakma, dan katika itu wesagun dalam perjalananya akan melalui jalannya sendiri sedangkan arwah si mati akan berjalan melalui jalan mokat ake yang telah tersedia {berupa susunan-susunan batu berbentuk seperti pagar). Bukti bahwa si mati telah melewati jalan arwah tersebut adalah

berupa tanda kehadiran dan bunyi kicauan burung kiwikolhiwusa yang melompat-lompat pada tiang-tiang batu (menhir) yang berdiri dekat jalan arwah, hal ini sebagai tanda bahwa arwah si mati sedang melakukan perjalanan keluar dari kampung dan menuju wakunoakma. Setelah tiba di Helep Owa Hegarekma yaitu tempat perhentian sementara, wesagun akan menyimpan isoak tempat arwah (wakunoak) tersebut, dan kemudian ia membakar sepotong daging babi yang dibawanya dari kampung, sebagai tanda bahwa arwah tersebut telah sampai ke tempat perhentiannya.

Setelah itu wesagunpun kembali ke kampung untuk melakukan ritual pembakaran mayat/kremasi di halaman kampung yang telah disediakan. Biasanya sebelum acara bakar mayat dimulai, akan diawali dengan pembagian daging babi maupun babi hidup kepada yang pertama khusus untuk honai-honai adat kerjasama, kedua untuk orang yang datang dari jalur perang, ketiga untuk paman dari si mati dan umumnya diberikan babi hidup, dan yang terakhir untuk semua orang yang hadir, kemudian dilakukan acara makan bersama.

Usai acara pembagian daging babi dan makan bersama, barulah dilakukan ritual pembakaran mayat. Pada saat pembakaran mayat berlangsung ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok kerabat yang merasa sangat kehilangan, yaitu mereka akan melakukan potong jari, potong daun telinga, mandi lumpur, menggosokkan arang di seluruh tubuh, melukai bagian kepala di atas telinga, dan puasa tertentu. Selesai pembakaran mayat dilakukan, pada beberapa hari kemudian sisa-sisa pembakarannya seperti abu dan tulang-tulang

116 Jurnal Papua, Volume 8, No.2, November 2016: 111-119

Page 7: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

dikumpulkan dan dibungkus, setelah itu dikubur di dekat tempat pembakaran mayat dilakukan.

Setelah seluruh ritual kematian di kampung selesai, maka wesagun akan melanjutkan tugas penghantaran arwah dari Helep Owa Hegarekma tempat perhentian sementara, menuju wakunoakma tempat bersemayamnya roh-roh orang mati di sebuah ceruk yang berada di Gunung Hesagenam. Perlu diketahui bahwa kehadiran tempat perhentian arwah sementara (Helep Owa Hegarekma) adalah untuk menghemat waktu dilakukannya pembakaran mayat, yang umumnya dilakukan pada pukul 3 atau 4 sore, sehingga wesagun dapat kembali ke kampung lebih cepat untuk melakukan kremasi, dan juga karena lokasi wakunoakma tempat perhentian terakhir yang cukup jauh.

Selesainya acara pembakaran mayat, beberapa saat kemudian wesagun akan kembali ke Helep Owa Hegarekma tempat perhentian arwah sementara, dan mengambil isoak tempat arwah (wakunoak) kemudian melanjutkan penghantaran arwah menuju wakunoakma tempat bersemayamnya roh-roh orang mati yang berada di sebuah ceruk di Gunung Hesagenam. Sedangkan bagi kerabat yang tadinya melakukan potong jari, potong daun telinga, mandi lumpur atau menggosokkan arang di seluruh tubuhnya, dan melukai bagian kepala di atas telinga, akan melanjutkan dengan acara pelai atau perkabungan selama ± 3-4 minggu atau juga mencapai 40 hari. Dalam acara pelai tersebut mereka akan berpuasa terhadap makan-makanan tertentu, mandi lumpur, tidak bercukur, tidak mandi, tidak keluar rumah/ kampung, dan berpakaian apa adanya. Di penghujung akhir acara pelai, maka

semua atribut yang digunakan dalam duka akan dikumpulkan dan dilarung pada malam hari di sungai, dan bersamaan dengan itu mereka pun mandi di sungai dan berganti pakaian. Seluruh rangkaian acara pelai diakhiri dengan pesta bayar babi untuk yang berduka dan makan bersama.

Jalan arwah merupakan suatu gambaran tentang pe~alanan hidup manusia suku Hubula yang setelah mengalami kematian, mereka akan diantarkan kembali untuk bersekutu dengan nenek moyangnya, dan keberadaan jalan arwah ini sebagai implemetasi pengetahuan manusia tentang kepercayaan mereka terkait sejarah asal usul nenek moyang, dari mana tempat mereka berasal atau datang, kemudian melakukan ekspansi secara berkelompok menuju tempat­tempat dimana mereka melanjutkan hidup dan berketurunan, namun ketika ajal menjemput maka merekapun harus kembali ke tempat leluhur mereka berasal, hal inilah yang mendorong terbentuknya jalan arwah.

Dalam sejarah peradaban manusia, konsep jalan arwah ini merupakan salah satu bentuk budaya megalitik yaitu suatu budaya yang selalu dikaitkan dengan objek­objek yang dibuat dari batu untuk tujuan tertentu, seperti keberadaan tembok batu dan jalan batu yang dianggap mempunyai kekuatan magis (Haimendrof, 1939:215-222), sedangkan jalan arwah dibuat lebih pada suatu alasan yang berhubungan dengan konsep upacara kematian (Prasetyo, 2015: 180), dan jalan arwah (mokat ake) secara adat juga mengandung kekuatan magis yang dipercaya sebagai jalur perjalanan arwah orang mati dari kampung menuju wakunoakma yang terletak di Gunung Hesagenam yang merupakan tempat

Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 117 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami

Page 8: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

bersemayamnya roh-roh orang mati dalam persekutuannya dengan leluhur mereka, sebelum akhirnya kembali melanjutkan pe~alanan ke Telaga Biru yang merupakan pusat sejarah asal­usul nenek moyang mereka. Di sam ping itu juga dapat dikaitkan dengan suatu keyakinan tentang kehidupan setelah mati, yang melahirkan suatu konsep tentang tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang (Wales 1958: 11 ), yaitu di Gunung Hesagenam maupun di tempat tertentu seperti telaga biru yang ada di Kampung Maima.

Jika ditinjau dari rute jalan arwah tersebut, terkait erat dengan cerita tentang asal-usul manusia suku Hubula yang keluar dari Telaga Biru (maw1), yang dahulu karena suatu peristiwa pembunuhan mengakibatkan mereka berpisah/pergi untuk mencari penghidupan masing-masing, dan nenek moyang yang menuju ke wilayah Hitigima mengawali kehidupan mereka pada sebuah ceruk di Gunung Hesagenam, dan dari sana mereka mulai berekspansi serta membentuk pemukiman-pemukiman di daerah datar yang hingga kini masih dapat disaksikan seperti di Kampung Asoma. Untuk mengingat sejarah perjalanan nenek moyang dan menjaga hubungan dengan leluhur mereka maka dibentuklah jalan arwah (mokat ake), sebagai simbol yang menggambarkan tentang asal-usul dari mana mereka datang dan ke sana pula mereka kembali.

Secara umum konsep jalan arwah ini dimiliki oleh semua suku bangsa Hubula yang berada di Lembah Balim, namun yang berwujud bangunan hanya ditemukan di Situs Hitigima, DistrikAsotipo, Lembah Balim Selatan. Keberadaan jalan arwah ini merupakan hasil kontak budaya antara masyarakat Lembah Balim Selatan (Papua) dengan penutur Austronesia

sebagai penggagas penyebaran dan pendirian bangunan megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik. Pengaruh yang masuk dan sampai ke Pegunungan tengah Papua di Lembah Balim Selatan (Situs Hitigima) ini diperkirakan yang melalui Sungai Sepik ke pegunungan tengah dan terus ke selatan.

Secara umum, masyarakat di Kampung Asoma di Lembah Balim Selatan telah memiliki konsep tentang penghantaran arwah seperti pada masyarakat Lembah Balim umumnya, namun ketika masyarakat di wilayah ini bersentuhan dengan budaya penutur Austronesia, maka terjadilah akulturasi budaya dalam konsep jalan arwah yang diwujudkan dalam bentuk bangunan pagar batu yang menghubungkan Kampung Asoma, Wakunoakma dan Telaga biru. Terbentuknya konsep bangunan ini, juga ditunjang oleh potensi sumber daya lingkungan Situs Hitigima yang banyak dijumpai sungai­sungai dengan sumber bebatuan yang sangat banyak.

PENUTUP

Temuan jalan arwah (mokat ake) di Situs Hitigima sebagai bukti kehadiran budaya megalitik di wilayah Lembah Balim, pegunungan tengah Papua. Bentuk tinggalan megalitik jalan arwah tersebut adalah berupa bangunan seperti pagar batu yang menghubungkan Kampung Asoma, Wakunoakma dan Telaga Biru yaitu sebagai pusat-pusatkehidupan dan asal usul nenek moyang. Adapun konsep pendirian jalan arwah tersebut tidak terlepas dari kepercayaan kehidupan setelah mati dan persekutuan kembali dengan para leluhur. Konsep ini dalam perkembangan peradaban manusia masuk dalam tradisi budaya megalitik yang terkait dengan upacara kematian dalam hubungannya dengan tempat bersemayamnya roh-roh orang mati.

118 Jurnal Papua, Volume 8, No.2, November 2016: 111-119

Page 9: MOKAT AKE: BUDAYA MEGALITIK Dl SITUS HITIGIMA LEMBAH …

DAFTAR PUSTAKA

Djami, Erlin Novita ldje. 2015."Penelitian Peradaban Manusia di Kawasan Lembah BalimSelatan, Kabupaten Jayawijaya". Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Jayapura.

Djami, Erlin Novita ldje. 2016."Ragam BentukTinggalan Budaya Megalitikdi Papua". Jumal Arkeologi Papua Vol. 8 Edisi No.1 Juni 2016. Balai Arkeologi Papua.

Haimendrof, C. von Fuhter. 1939."The Megalihic Culture in Assam" dalam F. M. Schnitger. Forgotten Kingdoms in Sumatera. Leiden. Him 215-222.

Mansoben, Johszua Robert. 1995. "Sistem Politik Tradisi di Irian Jaya" Seri LIPI­Rul 5. Jakarta.

NN. 2013. "Studi Kelayakan Kawasan Situs Hitigima, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya". Laporan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua.

Prasetyo, Bagyo, D.O. Bintarti, Dwiyani Yuniawati, E. A. Kosasih, Jatmiko, Retno Handini, E. Wahyu Saptomo. 2004. "Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia" .Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Prasetyo, Bagyo.1999."Laporan Survei Prasejarah dan Tradisi di sekitar Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Irian Jaya". Berita Penelitian Arkeologi No.1. Balai Arkeologi Jayapura.

Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Penerbit Galang Press.

Simanjuntak, Truman. 2010."Penutur dan Budaya Austronesia" dalam Arkeologi Indonesia dalam Lintasan Zaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Sukendar, Haris. 1987."Konsep-Konsep Keindahan pada Peninggalan Megalitik" dalam Estetika DalamArkeologi. DIAl I. Pusat PenelitianArkeologi Nasional. Jakarta

Sutaba, I Made. 2008."Teori Dewa Surya dari W. J. Perry Sebuah Catatan" dalam Prasejarah Indonesia dalam lintas Asia Tenggara- Pasifik, editor Gunadi Kasnowihardjo dan Sumijati Atmosudiro. Asosiasi Prehistorisi Indonesia Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta. Him 88-92.

Wales, H. G. Quaritch. 1958. The Mountain of God a Study in Early Religion and Kinship. Bernard Quaritch Ltd.

Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan 119 Kabupaten Jayawijaya, Erlin Novita ldje Djami