109
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN Rabu, 06 April 2011 DEFINISI ISTILAH PIS Ilmu-Ilmu Sosial : Studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia. Studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia mengenai cara mereka mengatur dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan hidup (ekonomi), mengenai tata cara hubungan anggota kelompok dengan kelompok dan kelembagaan yang mereka perlukan (sosiologi), mengenai berbagai aturan dan nilai dalam kelompok (antropologi), keterhubungannya dengan ruang (geografi), mengenai aktivitas manusia dimasa lalu (sejarah), kelembagaan dan proses pembinaan kelompok generasi muda oleh generasi diatasnya (pendidikan), cara dan aturan main mengenai kekuasaan serta kelembagaan (politik). Pendekatan Terpisah : Pendekatan di mana setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial diajarkan secara terpisah. Dalam pendekatan ini tujuan dan materi pelajaran sepenuhnya dikembangkan dari disiplin ilmu yang bersangkutan. Pendekatan gabungan : Pendekatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggabungkan (korelasi) beberapa disiplin ilmu-ilmu sosial dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok bahasan dikenal ada satu disiplin ilmu sosial yang dijadikan sebagai disiplin ilmu utama dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok bahasan. Dalam kajian itu, disiplin ilmu yang utama tadi dibantu oleh disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya yang digunakan secara fungsional. Pendekatan Multidisiplin : Pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu untuk membahas suatu pokok persoalan. Batas-batas disiplin ilmu itu tetap dipertahankan dan kedudukan satu disiplin ilmu terhadap masalah sama dengan kedudukan disiplin ilmu lainnya (tidak ada disiplin ilmu yang lebih utama dibandingkan disiplin ilmu lainnya). Pendekatan Terpadu :

Modul Pendidikan Ilmu Sosial 2_stkip Al_khairot

Embed Size (px)

Citation preview

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Rabu, 06 April 2011

DEFINISI ISTILAH PIS

Ilmu-Ilmu Sosial :

Studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia. Studi tentang tingkah laku

kelompok umat manusia mengenai cara mereka mengatur dan memenuhi

kebutuhan yang diperlukan hidup (ekonomi), mengenai tata cara hubungan

anggota kelompok dengan kelompok dan kelembagaan yang mereka perlukan

(sosiologi), mengenai berbagai aturan dan nilai dalam kelompok (antropologi),

keterhubungannya dengan ruang (geografi), mengenai aktivitas manusia dimasa

lalu (sejarah), kelembagaan dan proses pembinaan kelompok generasi muda

oleh generasi diatasnya (pendidikan), cara dan aturan main mengenai

kekuasaan serta kelembagaan (politik).

Pendekatan Terpisah :

Pendekatan di mana setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial diajarkan secara

terpisah. Dalam pendekatan ini tujuan dan materi pelajaran sepenuhnya

dikembangkan dari disiplin ilmu yang bersangkutan.

Pendekatan gabungan :

Pendekatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggabungkan (korelasi)

beberapa disiplin ilmu-ilmu sosial dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok

bahasan dikenal ada satu disiplin ilmu sosial yang dijadikan sebagai disiplin ilmu

utama dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok bahasan. Dalam kajian itu,

disiplin ilmu yang utama tadi dibantu oleh disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya yang

digunakan secara fungsional.

Pendekatan Multidisiplin :

Pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu untuk

membahas suatu pokok persoalan. Batas-batas disiplin ilmu itu tetap

dipertahankan dan kedudukan satu disiplin ilmu terhadap masalah sama dengan

kedudukan disiplin ilmu lainnya (tidak ada disiplin ilmu yang lebih utama

dibandingkan disiplin ilmu lainnya).

Pendekatan Terpadu :

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pendidikan ilmu-ilmu sosial yang memadukan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial

sedemikian rupa sehingga batas-batas antara disiplin satu dengan lainnya

sudah tidak tampak.

Pendidikan :

Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.

Pendidikan Ilmu Sosial :

Pendidikan mengenai disiplin-disiplin dari ilmu-ilmu sosial sesuai dengan

pendekatan yang digunakan (terpisah, gabungan, atau terpadu).

Synthetic Social Sciences :

Upaya untuk memadukan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi suatu

disiplin baru. Upaya ini diantaranya dipelopori oleh Bruner dan kawan-kawannya

dari Universitas Harvard (Harvard University).

Perkembangan kurikulum di Indonesia menunjukkan posisi pendidikan

ilmu-ilmu sosial yang berbeda selama masa 30 tahun terakhir. Dalam

kurikulum 1964 pendidikan ilmu-ilmu sosial SMP hanya terdiri atas disiplin.

Sejarah dan Geografi, Kedua disiplin ilmu dibagi atas dua bagian yakni Sejarah

Kebangsaan dan Sejarah Dunia, Geograpi Indonesia dan Geografi Dunia.

Sejarah Kebangsaan dan Geografi Indonesia dalam struktur kurikulum

dimasukkan dalam Kelompok Dasar maupun dalam Kelompok Cipta baik dalam

Kelompok Dasar maupun dalam Kelompok Cipta, Sejarah dan Geografi

diajarkan dengan pendekatan pengajaran disiplin ilmu yang terpisah (separated

disciplinari approach).

Pendekatan terpisah digunakan pula dalam pengajaran ilmu-ilmu

sosial di SMA. Dalam kurikulum 1964 pendidikian ilmu-ilmu sosial di SMA terdiri

atas Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Pendidikan Sejarah terdiri atas pendidikan

Sejarah Indonesia (istilah yang digunakan bukan Sejarah Nasional seperti yang

digunakan untuk SMP), Sejarah Dunia dan Sejarah Kebudayaan. Pendidikan

Geografi terbagi atas Geografi Indonesia dan Geografi Dunia.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Dalam kurikulum 1968 yang merupakan perbaikan dari kurikulum 64

dan 66, Sejarah dan Geografi tetap mewakili pendidikan ilmu-ilmu sosial di SMP.

Kedua disiplin ilmu itu di ajarkan dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia dan

Sejarah Dunia, Geografi Indonesia dan Geografi Dunia. Keadaan yang sama

dengan kurikulum 1964 berlaku untuk pendidikan ilmu-ilmu sosial di SMA.

Bentuk pengajaran yang disarankanpun masih sama yaitu pendekatan

pengajaran disiplin ilmu yang terpisah.

Upaya untuk menerapkan pendekatan integratif dalam kurikulum ilmu-

ilmu sosial hanya dilakukan dalam kurikulum 1975. Meskipun harus dikatakan

bahwa upaya itu kurang berhasil baik ditingkat kurikulum apalagi di tingkat

pengajaran tetapi kurikulum tersebut adalah sesuatu yang memberikan alternatif

lain dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial.

Dalam kurikulum 1975 IPS SMP, pendidikan ilmu-ilmu sosial diwakili

oleh disiplin Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Pembagian Sejarah menjadi mata

pelajaran terpisah Sejarah Indonesia dan Sejarah Dunia dan Geografi menjadi

mata pelajaran terpisah. Geografi Indonesia dan Geografi Dunia tidak terjadi

dalam kurikulum 75. Keterpaduan yang dikehendaki kurikulum walaupun tidak

dapat dikatakan yang dikehendaki kurikulum, walaupun tidak dapat dikatakan

berhasoil dirterjemahkan dalam GBPP, menyebabkan materi Sejarah Indonesia

dan Sejarah Dunia diramu sedemikian rupa sehingga hanya tergambar pada

rumusa. Tujuan Kurikuler demikian pula yang terjadi dengan Geografi yang

diperluas dengan Kependudukan.

Dalam kurikulum 1975 IPS SMA ditambahkan materi Antropolgi

sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial sudah lebih

berkembang dalam jumlah disiplin ilmu yang diliput kurikulum. Meskipun

demikian, pendekatan terpadu yang diinginkan kurikulum tidak berhasil

diterjemahkan dalam GBPP.

Upaya mengembangakan pendekatan terpadu untuk pendidikan ilmu-

ilmu sosial dapat dikatakan berhasil dalam kurikulum 84 IPSSMP. Rumusan

tujuan kurikuler, Tujuan Instruksional Umum, serta rumusan Pokok Bahasan,

dan Uraian memberikan petunjuk keberhasilan penerapan pendekatan terpadu

dalam GBPP.

Pendidikan ilmu-ilmu sosial dalam kurikulum SMA berikutnya (1984

dan 1994) dikembangkan berdasarkan pendekatan disiplin ilmu yang terpisah.

Mamang terjadi perbedaan-perbedaan dalam mata pelejaran yang menopang

pendidikan ilmu-ilmu sosial kedua kurikulum dan bukan dalam pendekatan

pendidikan ilmu sosial yang digunakan.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Senarai :

Eklintik Pandangan yang berupaya menggabungkan berbagai aliran dengan

melihat kebaikan dan keuntungan yang dimiliki setiap aliran. Dalam konteks

diskusi dalam baba ini eklitik diartikan secara khusus pada golongan yang

menganut pandangan esensialisme tetapi dalam pendekatan pengembangan

materi tidak membatasi diri hanya pada pendekatan terpisah tetapi juga

gabungan dan terpadu.

Esensialisme Aliran dalam filsafat pendidikan yang mengatakan bahwa tujuan

pendidikan adalah pengembangan intelektualisme. Unrtuk mencapai tujuan

pendidikan itu maka disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah menurut ciri

khas keilmuan itu sendiri. Dalam pandangan ini pendektyan ganbungan atau

terpadu adalah sesuatu yang tidak benar.

Perenialisme Aliran filsafat yang menyatakan bahwa intelektualisme adalah

tujuan pendidikan yang utama. Untuk mencapai tujuan tersebut maka siswa

harus belajar mengenai liberal arts dan karya-karya Besar.

Rekonstruksionisme Aliran filsafat ini berpendapat bahwa tujuan pendidikan

yang palin utama adalah mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu

pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan siswa dengan kemampuan

dan keterampilan yang bermanfaat bagi upaya mensejahterakan masyarakat.

Akomodasi : Istilah yang digunakan piaget untuk menunjukkan proses

perubahan pada skema yang ada sehingga ia mampu menerima informasi baru

(yang sudah mengalami asimilasi).

Asimilasi Istilah yang digunakan piaget untuk menunjukkan proses perubahan

yang terjadi pada informasi agar informasi itu memiliki keterkaitan dengan

skema siswa.

Belajar Penuh Makna : istilah yang digunakan Ausubel untuk menunjukkan

bahwa infornmasi, konsep, generalisasi teori dan bahan lainnya yang dipelajari

memiliki keterkaitan makna dan wawasan dengan apa yang sudah diwakili

siswa sehingga mengubah apa yang telah menjadi milik siswa.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Belajar Tanpa Makna : Istilah yang digunakan Ausubel untuk menunjukkan

bahwa informasi, konsep, generalisasi teori dan bahan lainnya yang dipelajari

tidak memiliki keterkaitan makna dan wawasan dengan apa yang sudah dimiliki

siswa sehingga bahan yang baru dipelajari tidak berkembang menjadi milik

siswa.

Berpikir Formal : istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan tahap

perkembangan berpikir seseorang yang sudah mampu memahami bukan saja

hal-hal yang abstrak tetapi juga yang bersifast induktif dan deduktif.

Berpikir KonkrIt : Istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan

kemampuan awal siswa dalam berbagai hal termasuk perbedaan-perbedaan

dalam informasi yang dipelajari.

Enactive : Istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan kemampuan

berpikir yang dapat diwakilkan melalui tanda-tanda dan sudah mulai melepaskan

diri sdari keterbatsan ingatan yang dihubungkan dengan waktu dan tempat

tetapi masih terbatas pada informasi yang dinyatakan secara eksplisit.

Non-specific transfer : istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan

kemampuan yang dimiliki siswa dalam menerapkan apa yang sudah

dipelajarinya dalam berbagai situasi.

Preoperasional : Istilah yang digunakan Piaget untuk menggambarkan

kemampuan awal seseorang untuk berkomunikasi dengan dunia luar melalui

bahasa verbal.

Sensori Motor : Istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan kemampuan

seseorang pada tingkat awal hubungannya dengan dunia luar

melaluikomunikasi non- verbal

Skema : Pengetahuan, pemahaman, kemampuan kognitif dan afektif yang

sudah ada dan menjadi milik siswa sebelum ia belajar sesuatu yang baru. Jika

sesuatu yang baru dipelajari dapat diterima oleh skema yang ada maka skema

itu berkembang menjadi sesuatu yang baru.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Specific transfer of training : Istilah yang digunakan Bruner untuk

menunjukkan kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan dan

keterampilan yang sudah dipelajari hanya untuk situasi-situasi khusus.

Symbolic : Istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan kemampuan

beropikir yang abstrak, penuh lambang, dan dapat dikembangkan untuk berpikir

dalam ilmu.

Afektif : adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan perasaan, sikap,

nilai dan moral seseorang.

Development Objectives : Tujuan yang harus dikembangkan dalam suatu

proses pendidikan yang panjang dan oleh karena itu ia tidak mungkin tercapai

hanya dalam satu pertemuan kelas.

Konatif : adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan kemauan,

keinginan, dan pelaksanaannya dalam hidup sehari-hari

Kognitif : adalah pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari adalah aspek

kepridabian yang berkenaan dengan kemampuan daya pikir dan nalar

seseorang.

Mastery Objective : Tujuan yang dapat dicapai dalam suatu pertemuan kelas

dan umumnya berkenaan dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap

materi substantif pelajaran tersebut.

Tujuan : adalah kualitas yang ingin dikembangkan pada diri siswa setelah

mempelajari ilmu-ilmu sosial. Tujuan memberikan arah mengenai pemilihan

bahan ajar dan kemana proses belajar siswa harus diarahkan.

Tujuan Global : Tujuan yang berkenaan dengan ruang lingkup yang bersifat

terbuka terhadap kejadian dan perkembangan yang ada di luar negara

Indonesia. Kejadian dan peristiwa itu berpengaruh terhadap kehidupan siswa

seharihari dan oleh karenanya tujuan ilmu-ilmu sosial harus juga

mempersiapkan siswa untuk berhadapan dengan berbagai peristiwa global.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Tujuan Institusional : Tujuan yang hendak dicapai oleh suatu lembaga

pendidikan tertentu. SMP memiliki tujuan institusional yang berbeda dari SMA

karena fungsi pendidikan yang diemban lembaga tersebut berbeda.

Tujuan Pendidikan Nasional : tujuan yang hendak dicapai oleh setiap upaya

pendidikan yang dilaksankan di Indonesia. Tujuan ini ditetapkan dalam GBHN,

Uunomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan Pendidikan

Nasional merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam melaksanakan pendidikan.

Oleh karena itu setiap upaya pendidikan yang berlaku di tanah air hendaklah

diarahkan untuk pencapaian kualitas manusia yang dipersyaratkan dalam tujuan

pendidikan nasional.

Tujuan Pengajaran : tujuan yang dicapai secara langsung melalui kajian materi

dan proses belajar tertentu. Tujuan ini pada dasarnya adalah tujuan yang

dikembangkan guru dalam setiap rencana pengejaran dan ia berhubungan

langsung dengan tujuan yang dinyatakan dalam kurikulum dan sifat materi

pelajaran yang dikaji siswa.

Tujuan pengayaan : tujuan pengayaan adalah tujuan yang dicapai siswa

sebagai akibat samingan dari kegiatan belajar yang mereka lakukan. Tujuan ini

memang merupakan tujuan sampingan dan oleh karena itu tidak berkaitan

langsung dengan materi kajian. Tujuan pengayaan terjadi karena suatu kegiatan

belajar mengajar tidak hanya berpengaruh terhadap pencapain satu tujuan saja

tetapi terhadap berbagai tujuan.

Fakta : kesimpulan-kesimpulan yang diambil seseorang berdasarkan cara

pandangan keilimuan terhadap data atau sekumpulanm data. Berdasarkan

kesimpulan-kesimpulan itulah maka data yang sudah dikumpulkan itu memiliki

makna.

Generalisasi : kesimpulan yang berkenaan dengan sifat dan jenis

keterhubungan anatara dua konsep atau lebih dan kesimpulan itu dirumuskan

dalam bentu pernyataan yang memiliki daya keberlakuan dalam berbagai ruang

dan waktu. Dalam kesimpulan yang dinamakan generalisasi itu terdapat juga

struktur keterhubungan antar konsep-konsep.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Konsep : abstraksi kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau

sifat. Dalam keterhubungan itu terdapat struktur yang menggambarkan

keterhubungan antara berbagai atribut suatu konsep. Konsep memiliki nama

yang disebut label dan memiliki isi yang dinyatakan dalam definisi.

Konsep disjungtif : adalah konsep yang memiliki anggota dengan atribut yang

memiliki nilai beragam. Adanya perbedaan dan keragaman dalam nilai atribut itu

justru menjadi persamaan diantara keanggotaan konsep.

Konsep konjungtif : konsep yang memiliki anggota dengan persamaan yang

sangat banyak. Dapat dikatakan persamaan anatara satu anggota dengan

anggota lain meliputi hampir sebagian besar nilai atribut konsep.

Konsep relasional : konsep yang diangap paling tinggi tingkat abstarksinya

karena persamaan yang ada diantara anggota konsep dikembangkan

berdasarkan kriteria tertentu dan tidak lagi bersifat konkret.

Materi proses : materi yang dipelajari tetapi tidak berkenaan dengan aspek

seperti fakta, konsep, generalisasi atau pun teori tetapi berkenaan dengan

prosedur yang harus dilakukan. Materi pendidikan yang bersifat proses haruslah

dipelajari dalam bentuk kegiatan dan pelaksanaan proses itu sendiri.

Materi Substansi : materi yang secara universal dipelajari siswa di kelas-kelas

pendidikan ilmu-ilmu sosial saat kini. Dalam materi yang demikian siswa

mengkaji fakta, konsep, definisi pendapat, generalisasi, teori, nilai, moral, dan

sebagainya.

Pendekatan komunitas yang meluas : pendekatan yang dikembangkan Paul

Hanna berdasarkan keterdekatan lingkungan terhadap siswa. Lingkungan

terdekat adalah keluarga dan diteruskan sampai kelingkungan dunia. Dalam

lingkungan-lingkungan tersebut siswa mempelajari sembila aspek kehidupan

manusia.

Belajar bermakna : belajar yang mempunyai arti bagi siswa secara bermakna

karena apa yang dipelajari memiliki : keterhubungan dengan struktur kognitif

siswa.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Induktif : proses belajar yang mengembangkan kemampuan berpikir abstrak

melalui kemampuan menarik kesimpulan yang sifatnya umum dari fenamena

yang bersifat khusus.

Mnemonic : cara belajar fakta dengan jalan membuat singkatan mengenai

fakta tersebut yang memiliki arti yang memiliki arti bagi dirinya sehingga mudah

diingat.

Pengemas awal : materi yang disajikan guru kepada awal suatu proses belajar

yang berisikan abstraksi, generalisasi dan rincian dasar mengenai materi yang

akan dipelajari.

Berpikir : suatu proses mental berdasarkan mana seseorang menemukan

makna dari apa yang sudah dipelajarinya.

Isu kontroversial : suatu isu yang menimbulkan perbedaan pendapat dari

seseorang atau kelompok lain. Suatu kelompok mungkin setuju sedangkan

yang lain tidak setuju tentang suatu masalah.

Kasus : berhubungan dengan kehidupan manusia di masa lalu, masa sekarang

dan masa yang akan datang. Kasus yang berkenaan dengan kehidupan

manusia dimasa mendatang adalah kasus yang fiktif, Meskipun demikian kasus

fiktif tidak hanya terbatas untuk suatu yang berhubungan dengan kehidupan

masa datang saja; kasus mengenai kehidupan masa lalu atau pun masa kini

dapat pula diciptakan.

Konsep : abstraksi kesamaan karakteristik sejumlah benda, fenomena, atau

stimuli. Suatu konsep memiliki atribut, fakta, label/nama dan definisi.

Diagram Vee : diagram y6ang dikembangkan oleh Gowin yang menjelaskan

keterhubungan antara kemampuan berfikir dengan kemampuan memroses

informasi.

Kemampuan proses : kemampuan yang digunakan untuk mengumpulkan

informasi mengolah informasi, mengkomunikasikan hasil dan memanfaatkan

informasi.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pengajaran Inkuiri : salah satu bentuk pengajaran untuk mengembangkan

kemampuan proses yang sudah disistematiskan dalam suatu tata ukuran

tertentu dengan kegiatan yang bermula dari perumusan masalah,

pengembangan hipotesis, pengumpulan data, pengolahan data, pengujian

hipotesis, dan penarikan kesimpulan.

Pengajaran Pemecahan Masalah : salah satu bentuk pengajaran untuk

mengembangkan kemampuan proses yang sudah disistematiskan dalam tata

urutan dengan kegiatan bermula dari identifikasi masalah, pengembangan

alternatif, pengumpulan data pengujian alternatif dan pengambilan keputusan.

Aspek non-teknis profesi guru : aspek yang berkaitan dengan unsur-unsur

afeksi keprofesian seorang guru. Dalam aspek ini yang menonjol adalah

motivasi, rasa tanggung jawab, kesadaran profesi serta keinginan profesi

sebaik-baiknya.

Model Tyler : pengembangan kurikulum yang dikemukakan Ralph Tyler dan

dianggap sebagai bapak pengembang kurikulum. Dalam model tersebut Tyler

sangat menekankan pencapaian tujuan, peran aktif siswa dalam proses dan

peran guru dalam melancarkan dan memudahkan proses belajar siswa. Bagi

Tyler, kurikulum adalah pedoman untuk siswa dalam belajar dan bukan

pedoman guru untuk mengajar.

Perencanaan guru : adalah perencanaan yang dibuat guru dalam

mempersiapkan suatu proses belajar. Pada dasarnya perencanaan guru adalah

terjemahan operasional guru terhadap kurikulum sehingga dari perencanaan

guru akan terlihat pandangan dan keinginan profesional guru mengenai hasil

belajar siswa, pengalaman belajar siswa serta upaya guru untuk mengetahui

hasil belajar siswa.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Rabu, 06 April 2011

IDEALISME PEMBELAJARAN IPS

Deskripsi Materi Pembelajaran

1. Kesulitan dan Kesempatan Belajar-Pembelajaran

Interaksi pembelajar-pebelajar dalam konteks pembelajaran

merupakan satu proses transaksi psikologis dan akademis dalam format

holisticaly. Pembelajar dalam posisinya sebagai sumber dan manager

pembelajaran memegang peranan penting untuk mengkondisikan pebelajar agar

mereka dapat belajar dengan baik, termasuk mengembangkan keterampilan-

keterampilan akademis dan psikomotornya.

Sementara pebelajar selaku sentral pembelajaran memegang kendali

penuh bagi pengembangan dirinya dengan menggunakan fasilitas yang telah

dikondisikan oleh pembelajar. Mereka memiliki kebebasan yang mutlak untuk

menentukan arah dan tingkat pencapaian belajarnya. Jika lingkungan

mendukung, tampaknya apa yang menjadi harapan dan kebutuhan akademis

pebelajar akan terwujud secara nyata. Kegagalan pembelajaran selama ini

adalah tidak mampunya lingkungan belajar mengkondisikan pebelajar untuk bisa

belajar secara penuh, termasuk pembelajar sebagai salah satu instrumen dan

stabilisator pembelajaran. Kontraksi akademis dan psikologis antara pembelajar-

pebelajar akan melahirkan pola hubungan yang signifikan dalam konteks belajar

yang sebenarnya. Apakah kondisi yang penuh dinamisasi saja yang diperlukan

oleh pebelajar untuk dapat belajar dengan baik ?, terlalu riskan untuk

menyimpulkan konteks yang begitu komprehensif menjadi sesimpel itu.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Jika kelengkapan fasilitas adalah satu-satunya prasyarat agar

pembelajaran dapat berhasil dengan baik, maka di beberapa negara kaya yang

secara finansial mampu menyediakan hal tersebut, maka setiap pembelajaran

yang dilakukan oleh pembelajar akan mencapai hasil maksimal. Namun

tampaknya bukan itu solusinya, karena pembelajaran adalah sebuah sistem

yang sangat kompleks.

Ada sejumlah asumsi yang harus dipenuhi agar pembelajaran tersebut

dapat berhasil dengan baik. Pembelajaran yang baik dan bermakna adalah

pembelajaran yang memungkinkan pebelajarnya untuk berkembang dan berlatih

bagaimana mengakses informasi yang maksimal bagi keperluan pengembangan

dan pelatihan potensi dirinya secara maksimal.

Pembelajar harus mampu menjadikan pembelajaran itu sebagaimana

halnya sebuah masyarakat yang riil dan dalam kesehariannya dilakoni oleh

pebelajar. Dengan demikian pebelajar tidak berada dalam kondisi ketertekanan

secara psikologis dan akademis, namun merasa aman dan kondusif untuk

mencari dan menemukan apa yang dibutuhkan dalam belajarnya. Bukan fasilitas

belajar satu-satunya syarat pembelajaran berhasil, namun yang terutama adalah

bagaimana terjalin hubungan psikologis yang kondusif antara pembelajar dan

pebelajar, sehingga mereka menjadi suatu tim sukses yang demokrat.

Konsepsi ini penting dipahami oleh kalangan analis dan praktisi

pendidikan, mengingat selama ini sering kebijakan pendidikan itu ditawarkan

hanya sebatas kontrak politis antara pemerintah dengan masyarakatnya.

Padahal, pembelajaran bukan profit oriented, namun lebih merupakan aplikasi

prinsip humanis-psikologis. Berdasarkan hal tersebut, maka ada sejumlah

asumsi yang mendasari pembelajaran, yaitu:

1. Pebelajar merupakan mahluk yang holistik dan memiliki karak- teristik

yang ekslusif yang membedakannya dengan yang lain.

2. Pembelajar adalah instrumen dan fasilitator pembelajaran, sehingga dia

bukanlah satu-satunya sumber belajar di kelas.

3. Pemerintah sebagai decision maker kebijakan, harus memiliki political

good will, sehingga pembelajaran berlangsung secara demokratis.

4. Instrumen pembelajaran merupakan salah satu prasyarat yang harus

dipenuhi agar pembelajaran berlangsung dengan baik.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

2. Tanggungjawab dan Nilai-Etika dalam Kelas

Etika sebagai bagian dari hidup manusia, tidak bisa dilepaskan dalam

konteks pembelajaran. Seorang pembelajar harus membelajar-kan pebelajarnya

menjadi pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari

kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik

mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik terhadap

dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dunia.

Pembelajaran yang baik dikembangkan oleh pembelajar adalah mengajak

peserta didik memahami masalah-masalah kemasyarakatan dan

menempatkannya dalam proporsinya, serta belajar merumuskan tehnik-tehnik

pemecahannya berdasarkan konteks situasi yang berkembang. Sebelum

merancang pembelajaran, pembelajar harus memehami, bawa pebelajar datang

ke sekolah dengan nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan

teman sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu memahami dan

menyelami karakteristik setiap pebelajar agar mampu menyikapi dan

menjadikan-nya sebagai sebuah masukan yang positif selama pembelajaran

yang dilakukannya.

Sekolah harus menjadi sebuah masyarakat nyata dari sebuah pendidikan

dan mampu menghadirkan realitas kehidupan demokrasi yang telah dimiliki dan

diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di masyarakat.

Pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah merupakan salah satu model

pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam membelajarkan

pebelajar secara bermakna. Dengan kerjasama kelompok dan belajar secara

kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi nilai-nilai individunya berdasarkan

kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh pemahaman yang memadai

terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya (Stahl, 1994).

Kegiatan belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan

penemuan mandiri, melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemu-kan kreasi

secara mandiri dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari

pembelajaran adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan

menerima perbedaan dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan

pertentangan dan disintegrasi nilai. Dengan demikian akan terpola dan terbina

pembelajaran yang berorientasi pada pengoptimalan potensi pebelajar.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Kecendrungan dalam pembelajaran modern, banyak distimulasi oleh

perkembangan dan dampak kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat

seperti; keberbedaan, kesukuan, dan keragaman sosio-geografis, sehingga

menyebabkan terjadinya perbedaan orientasi dan pemaknaan terhadap nilai itu

sendiri.

Pada dasarnya pola dan pendekatan pembelajaran seperti di atas,

dikembangkan berdasarkan konsep humanistis dengan strategi kebersamaan

antar pebelajar sebagai manusia sosial. Pebelajar sebagai individu kaya akan

keinginan untuk hidup lebih baik, dimana salah satunya adalah dengan belajar

secara formal.

Pembelajaran yang dilakukan dan diterimanya, akan mengarahkan dan

membentuk kepribadian akademiknya hingga mereka memasuki dunia kerja.

Keterbawaan kebiasaan ini, merupakan konsekuensi logis dari sebuah proses

pendidikan. Itulah yang harus disadari dan dipertimbangkan oleh pembelajar.

Ada sejumlah model yang dikembangkan oleh kalangan praktisi

pendidikan untuk melakukan proses pendidikan secara bermakna. Pebelajar

dalam konteks masyarakat adalah manusia biasa yang lengkap dengan potensi

dan kepribadiannya masing-masing. Untuk itu, maka mereka harus diperlakukan

sesuai dengan potensi yang ada dan dimilikinya, agar tujuan belajarnya tercapai

secara baik. Hal ini membutuhkan kejelian pembelajar dalam memilih dan

mengembang-kan pola pembelajarannya. Model pembelajaran merupakan

kerangka konseptual yang dikembangkan dan digunakan sebagai pedoman

sistematis dalam melaksanakan dan mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan

dan kepentingannya (Slavin, 1983).

Berdasarkan konsepsi paedagogis, ada dua katagori model pembelajaran

secara umum, yaitu: (1) model pembelajaran tradisional (konvensional, dan (2)

model pembelajaran humanistis (inovatif). Kedua model ini memiliki karakteristik

yang sangat kontroversial, dan perlakuan yang berbeda terhadap pebelajarnya.

Berikut ini, diformulasikan beberapa perbedaan antara model pembelajaran

konvensional dan model pembelajaran inovatif dalam konteks pembelajaran IPS.

Karakteristik Model Belajar Konvensional (Tradisional).

Nomor Karakteristik/Student Treatment

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10

11

12

Fakta dan konsep hanya diperoleh dari buku teks dan

sajian pembelajar

Menggunakan metode cerama dan dan sumebr belajar

terbatas pada apa yang ada di kelas

Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran jarang

(pasif), karena informasi biasanya telah disediakan oleh

pembelajar atau buku teks.

Kebermaknaan informasi atau penting tidaknya informasi

dientukan oleh pembelajar sebagai otoritas tunggal

pembelajaran.

Peserta didik hanya terpaku pada penjelasan pembelajar

sehingga akselerasi informasi pebelajar terbatas.

Materi pelajaran hanya dipelajari terbatas pada apa yang

ada di buku teks dan informasi pembelajar, serta dibatasi

oleh dinding-dinding kelas.

Pembelajaran hanya mengejar target ketuntasan materi

(target dan orientasi kurikulum).

Evaluasi pembelajaran hanya menekankan pada

evaluasi formal (bertumpu pada penggunaan tes formal).

Pola pembelajaran pembelajar sentris.

Interaksi belajar fasif dan monologis antara pembelajar

ke pebelajar saja, sehingga cendrung menjadikan

pebelajar pendengar semata-mata.

Pola komunikasi dalam kelas besifat imperatif dan

cendrung mengabaikan karakteristik dan holistikalisasi

pebelajar.

Inti pembelajaran adalah transfering konsep dan fakta

dari kepala pembelajar ke kepala pebelajar.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Karakteristik Model Pembelajaran Humanistis (Inovatif) :

Nomor Karakteristik/Student Treatmen

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10

11

12

Masalah digali dan diidentifikasi oleh peserta didik.

Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran lebih aktif,

karena mereka mencari dan menggali informasi secara

mandiri.

Pembelajaran yang dilakukan dapat melampaui apa

yang ditargetkan dalam kurikulum (perluasan

kesempatan memperoleh informasi).

Pembelajaran lebih aktif dan iteraktif, karena lebih

terpusat kepada pelibatan peserta didik secara optimal

dalam kondisi yang kondusif.

Pembelajaran tidak hanya menekankan pada

keterampilan proses, tetapi juga pada metode ilmiah

dan langkah-langkahnya sebagaimana layaknya yang

digunakan ilmuwan.

Fakta, konsep, dan generalisasi yang dipelajari tidak

hanya yang terdapat dalam buku teks atau keterangan

pembelajar, tetapi juga dari masyarakat (perluasan

sumber belajar).

Peserta didik dapat berfungsi sebagai “single authority”

dan “decision maker” dalam pembelajaran dan

pemecahan masalah.

Evaluasi pembelajaran cendrung menggunakan

assessmen, sehingga mampu menevaluasi

keseluruhan potensi pebelajar.

Pola pembelajaran pebelajar sentris.

Interaksi belajar aktif dan interaktif antara pembelajar

pebelajar, pebelajar-pebelajar, dan pebelajar-

pembelajar.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pola komunikasi dalam kelas besifat aktif-interaktif,

sehingga memungkinkan berkembangnya dialog

kreatif.

Inti pembelajaran adalah kebermaknaan bagi

pebelajar.

Berdasarkan konsepsi di atas, maka menurut Rogers (1989), ada

beberapa model pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran berkait

dengan kebermaknaan belajar bagi pebelajar, seperti: (1)webbing instruction, (2)

the disclipinary model, (3) integrated learning model, (4) the multydisciplinary

model, (5) integrated and sequency model, (6) the problem inquiry model, dan

(7) the humanistic model. Sehubungan dengan upaya pemaknaan penuh

pembelajaran bagi pebelajar, maka pembelajar hendaknya mampu dan mahir

dalam mengaplikasikan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan

karakteristik serta potensi yang dimiliki oleh pebelajarnya.

Model belajar yang dipilih dan digunakan oleh pembelajar, berpengaruh

langsung terhadap perolehan belajar pebelajar. Iklim pembelajaran yang

ditimbulkan oleh model yang dipilih pembelajar memiliki kaitan yang bersifat

directed bagi pebelajar dalam upayanya memperoleh informasi bagi pemenuhan

kebutuhan belajarnya. Dengan terpenuhinya informasi yang dibutuhkan, maka

secara langsung perolehan belajar mereka juga akan meningkat. Inilah yang

dimaksud dengan pembelajaran bermakna dalam konteks pembelajaran yang

sebenarnya.

3. Apa Sebenarnya yang Harus Terjadi di Kelas

Penerapan pendekatan pebelajar sentris pada dasarnya bermaksud

untuk melakukan pemenuhan kebutuhan pebelajar untuk meningkatkan

kemampuannya melalui beberapa transaksi bahan ajar yang sesuai dengan

kondisi pembelajaran.

Dalam konteks pembelajaran, setiap praktisi pembelajaran harus mampu

memaksimalkan sens of belonging and expectation of students untuk

mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikir mereka selama

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pembelajaran. Hal ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena

salah satu fungsi strategis yang diemban oleh pendidikan sebagai sebuah

lembaga formal dalam rangka memper-siapkan generasi muda untuk mampu

hidup dalam segala bidang bidang pekerjaan. Untuk itu kurikulum harus mampu

mewadahi harapan untuk menjadikan pebelajar itu sebagai warga masyarakat

yang memiliki potensi komprehensif dan aplikatif.

Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara sendiri

oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan

merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya (Rogers, 1983). Melalui

model pembelajaran humanistis, kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas

pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar

lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model

pembelajaran, pembelajar hendaknya memperhatikan kematangan psikologis

pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri.

Secara umum, pebelajar suka pada seni dan menggambar untuk

mengeksperikan perasaan dan ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi

tempat yang menarik dan menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar

dengan lebih baik pada lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu

pengembangan iklim kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas

pebelajar dalam berpikir.

Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar untuk

memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan. Buku teks

merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan pembelajaran. Namun

beberapa pembelajar yang berpikiran maju menggunakan aneka literatur dan

sumber pembelajaran sebagai basis dalam membelajarkan yang

dikembangkannya.

Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar untuk

mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran berpikir kreatif. Rasional

dan tujuan pemilihan dan penggunaan media dan sumber belajar yang beragam,

pada dasarnya dimaksudkan untuk mengeksploitasi berbagai strategi dalam

berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi

pebelajar, sehingga mereka terlatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif.

Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar dalam membaca dan

mengiden-tifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat, merupakan salah

satu upaya peningkatan keterampilan berpikir pebelajar secara kreatif. Konsepsi

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

ini penting dipahami dan dilakukan, mengingat perkembang-an masyarakat yang

sangat dinamis, yang menuntut kemampuan dan keterampilan berkomunikasi,

berpikir, membuat keputusan, dan mencari solusi dengan cepat dan dengan

kalayakan yang optimal. Keterampilan berpikir penting dikembangkan dan

dilatihkan oleh pembelajar dalam setiap pembelajarannya, mengingat setiap

manusia dalam hidupnya di masyarakat dihadapkan berbagai persoalan yang

multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermat-an dalam

berpikir.

Untuk mengevaluasi keterampilan pebelajar dalam berpikir, ada beberapa

instrumen evaluasi yang secara empiris dan substansial layak digunakan, yaitu:

(1) thinking still aduquates test, (2) inventory, (3) problem solving-inquiry test,

dan (4) degree of critical thinking test (Skindasher, 1990). Dalam merancang

pembelajaran, ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan oleh pembelajar

agar pebelajarnya dapat belajar dan berlatih berpikir kreatif, yaitu: (1) potensi

pebelajar, (2) sumber belajar, (3) daya dukung orang tua, (4) dukungan sistem,

(5) keterampilan pembelajar, (6) dan esensi kurikulum.

Iklim belajar yang kondusif memungkinkan pebelajar untuk belajar dan

melatih berbagai kemampuan dan keterampilan akademis serta sosialnya,

secara otimal. Kegiatan belajar mengajar merupakan proses instruksional yang

terencana dan bertujuan dalam dimensi paedagogis. Interaksi aktif pebelajar dan

pembelajar dalam konteks paedagogis membutuhkan pendukung yang memadai

untuk mengak-tualisasikan tujuan kurikulum. Untuk mengukur keberhasilan

belajar pebelajar, pendekatan pembelajaran tradisional menekankan pada

penggunaan tes formal sebagai instrumen utama.

Pola seperti di atas, mendatangkan berbagai konsekuensi negatif bagi

pebelajar itu sendiri dalam hubungannya dengan perolehan hasil belajarnya.

Pebelajar datang ke sekolah mengemban misi untuk meraih kesuksesan dalam

belajarnya.

Orang tua, media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan

pada pencapaian kuantitatif untuk mengukur keberhasilan belajar pada kalangan

pebelajar di sekolah-sekolah formal. Hal ini sangat merugikan pebelajar secara

akademis dan merupakan hukuman serta beban secara psikologis. Kondisi ini

diperburuk oleh asumsi pembelajar dalam melakukan pengukuran terhadap

keberhasilan pebelajar, yaitu bahwa dengan tes-formal dalam berbagai

bentuknya (benar-salah, multiple choice, maching, short answer, dan sebab

akibat). Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan dan kondisi psikologis

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pebelajar saat mereka menghadapi tes dan wajah pembelajar yang sangar.

Disamping itu, evaluasi yang hanya meng-gunakan tes-formal cendrung

mengavaikan aspek afeksi dan psikomotor dalam menjaring informasi mengenai

keberhasilan belajar pebelajar. Padahal kedua ranah tersebut adalah satu

kesatuan ranah dengan aspek kognitif.

Berdasarkan berbagai kekurangan dan kritik terhadap pengguna-an tes-

formal dalam mengevaluasi keberhasilan belajar pebelajar, maka mulai dekade

80-an, mulai dikembangkan pola penilaiian yang dipandang cukup

komprehensif, yaitu dengan menggunakan format evaluasi non-tes. Hal ini

dimaksudkan untuk melengkapi dan menjembatani berbagai perbedaan persepsi

antara praktisi dan kalangan pemerhati serta masyarakat sebagai konsumen

pendidikan. Melalui penggunaan alat evaluasi non tes (assessmen), pembelajar

dapat menentukan keberhasilan belajar pebelajar bukan semata-mata

berdasarkan hasil tes tertulis yang dilakukan secara berkala.

Adapun bentuk assessmen yang telah dikembangkan oleh kalangan

perencana dan pakar pendidikan di amerika, khususnya di kalangan ilmuwan

sosial dan humaniora adalah :

1. Fortopolio

2. Catatan harian pebelajar

3. Catatan harian pembelajar

4. Lembar observasi

5. Cek list performa pebelajar

6. Daftar tugas pebelajar

7. Laporan mingguan pebelajar

8. Buku saku

9. Laporan orang tua

4. Tantangan Pembelajar dalam Pembelajaran

Dilihat dari aspek historis-philosofis dan substansi profesi, pembelajar

memegang peranan yang amat strategis terutama berkaitan dengan building

moral nation and cultur heritages transpormation melalui pengembangan

personality and values otonom warga negara yang di cita-citakan. Dimensi ini

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

mengindikasikan bahwa peran pembelajar sulit digantikan oleh yang lain. Dalam

perspektif pembelajaran, peranan pembelajar dalam masyarakat kita (Indonesia)

tetap dominan sekalipun teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses

pembelajaran berkembang sangat cepat. Konsepsi kausalitas ini dipengaruhi

oleh adanya dimensi-dimensi proses pendidikan (pembelajaran) yang

diperankan oleh pembelajar yang tidak seluruhnya dapat digantikan oleh

teknologi.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang diwarnai dengan

revolusi informasi dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dan

multidemsional, peranan teknologi untuk mengganti-kan tugas-tugas pembelajar

masih sangat kecil. Sejak dulu hingga saat ini, pembelajar dalam tataran

masyarakat kita masih memegang peranan amat penting, sekalipun status

sosial-ekonomi pembelajar di tengah masyarakat kita telah berubah. Pembelajar

dalam segala keterbatasannya, tetap dipandang sebagai insan yang patut

ditauladani dan diharapkan mampu menjadi inovator dalam profesinya.

Beranjak dari kondisi empiris tersebut, pembelajar yang tugas

kesehariannya mengelola pembelajaran di sekolah, tidak berlaku lagi saat ini.

Pembelajar diharapkan bukan lagi “hanya” memerankan diri dalam

pembelajaran yang dibatasi oleh ruang dan waktu, namun harus mampu

memerankan dirinya sebagai pembelajar yang universal dalam lingkup yang

terbatas, minimal bagi pebelajar dan sekolah dimana dia mengabdikan dirinya.

Membicarakan tentang pembelajar, sering kita dihadapkan pada problematik

yang berkepanjangan, terlepas dari misi luhur yang diemban dan melekat pada

diri seorang pembelajar.

Secara substansial, dilihat dari sudut administrasi dan manaje-men

pendidikan, kita mestinya melihat profesi pembelajar minimal dari empat dimensi

dasar, yaitu: pengadaan, pengangkatan, penempatan, dan pembinaan profesi.

Sementara jika kita melihat pembelajar dari perspektif birikrasi, cendrung

pembelajar diposisikan sebagai bagian dari mesin birokrasi pendidikan pada

jenjang pendidikan sekolah. Pembelajar dipandang sebagai kepanjangan tangan

birokrasi, karena sikap dan lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada ketentuan-

ketentuan birokrasi.

Sistem pendidikan nasional, menempatkan pembelajar secara lebih

khusus dalam dimensi sekolah, dan akan melihat pembelajar sebagai the central

of education polecy and agent of inovation dalam bidang pendidikan hingga

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

ketataran sekolah. Di sisi lain, jika ditempatkan dalam perspektif kemanusiaan,

pembelajar akan hadir sebagai sosok yang serba muka dan penuh warna.

Rentang dan persoalan tentang pembelajar, seperti gaji yang kecil, mutasi ke

daerah terbuka yang tingi, dan perilaku yang ditampilkannya sehari-hari, pada

akhirnya akan berpulang semuanya pada akar kemanusiaannya (Supriadi,

1998). Dengan demikian, betapapun kita mencoba membedah phenomena

seputar pembelajar, akhirnya kita harus kembali pada konsepsi dasar bahwa

pembelajar adalah manusia biasa yang terbalut oleh berbagai keterbatasan

dalam kiprahnya sebagai individu dan insan sosial.

Riak dan desah nafas masyarakat senantiasa menghadirkan nuansa

tersendiri bagi insan-insan yang hidup di dalamnya, termasuk para pembelajar

yang mulia. Di dalam masyarakat, lembaga pendidikan merupakan satu diantara

banyak institusi yang ada dan difungsikan bagi kesejahteraan umat manusia.

Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada

tantangan yang sangat berat, berkaitan dengan peningkatan kualitas dan produk

yang dihasilkannya. Paradigma berpikir para pelaku pendidikan (pembelajar)

nampaknya mulai bergeser secara vertikal dalam basis paedagogis.

Masalah pendidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini muncul

kepermukaan banyak berkaitan dengan mutu pendidikan baik dalam dimensi

proses maupun hasil. Masalah ini semakin dirasakan sebagai krisis pendidikan

yang meresahkan karena banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan

hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha mencerdaskan

kehidupan bangsa cendrung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan

pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan

kualitas.

Implikasi dari kebijakan tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan

pengembangan pendidikan yang menyangkut kualitas, produktivitas dan

relevansi, namun masalah pendidikan terus berkem-bang makin rumit dan

terbelenggu dalam sistem yang tengah tersetruktur. Diantara masalah

pendidikan yang mulai marak dibicara-kan saat ini, adalah masalah yang

berkaitan dengan pembelajar. Sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum,

pembelajar dihadapkan pada berbagai persoalan yang sangat sulit dihindarinya.

Artinya, masalah tersebut, mau tidak mau harus dihadapi oleh kalangan

pembelajar dan hingga saat ini belum ada formulasi yang dipandang sesuai dan

tepat untuk memecahkannya.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Masalah yang berkaitan dengan profesi pembelajar ternyata amat pelik,

karena menyangkut berbagai aspek, orientasi, pendekatan, strategi, serta

kriteria dan kepentingan yang berkait dengan penilaian kualitas formulasi yang

telah dirumuskan.

Banyak usaha yang telah dan tengah dilakukan serta hasil yang

diperoleh. Di lain pihak muncul pula kritik dan keluhan kepermukaan, namun

jarang sekali dilengkapi alternatif pemecahan yang dipandang tepat. Adakalanya

alternatif pemecahan yang dicanangkan tidak mampu memecahkan masalah,

bahkan justru melahirkan masalah lain yang lebih sulit dan serius. Untuk

mengkaji dan memahami secara komprehensif kesulitan-kesulitan yang sulit

dihindari oleh pembelajar dalam dimensi pengadministrasian pendidikan

nasional, pada dasarnya kita dapat memilah-milah kesulitan tersebut, dan

mengkajinya dari perspektif teori perubahan sosial, yaitu dilihat dari : (1)

dimensi struktural, (2) dimensi fungsional, dan (3) dimensi heuristik-

phenomenologis.

Dinamika kehidupan masyarakat dan kemajuan teknologi yang diiringi

oleh revolusi informasi tahap II, telah menghadirkan nuansa baru dalam dunia

pendidikan. Hal ini terutama berkaitan dengan perluasan dan representasi

ketersediaan instrumen pendidikan itu sendiri. Pembelajar sebagai salah satu

sub-sistem dalam pengadminis-trasian sistim pendidikan juga dihadapkan pada

masalah yang tidak jauh berbeda.

Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai tenaga pendidik yang

terikat oleh aturan-aturan formal-yuridis, pembelajar diharuskan menjalankan

dan tetap patuh pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara formal

dan sentralistik. Salah satu piranti pengikat pembelajar dalam melaksanakan

tugas dan kewajibannya adalah kurikulum dan instrumen yang menyertainya.

Artinya pembelajar diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan yang telah

digariskan secara sentralistik, sehingga cendrung meminggirkan peran

pembelajar sebagai developer and inovator pendidikan.

Kondisi di atas mengindikasikan telah terjadinya pemasungan kebebasan

pembelajar dan segenap piranti sosial akademis yang melekat pada dirinya.

Dampak dari pendekatan sentralistik merupakan salah satu kesulitan yang

dialami dan sulit dihindari oleh pembelajar secara struktural.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Berdasarkan hasil observasi dan merujuk beberapa hasil penelitian,

kesulitan yang sulit dihindari oleh pembelajar yang merupakan imlpikasi struktur

pengadminis-trasian pendidikan nasional, meliputi:

1. masalah pembinaan dan pelatihan yang secara kualitas tidak mampu

memberikan “nilai lebih” kepada pengembangan profesinya,

2. masalah kepangkatan yang telah diatur dan ditetapkan secara baku, yang

cendrung meminggirkan kualitas dan prestasi profesi (walaupun secara formal

ada ketentuan-nya),

3. masalah rendahnya penghargaan secara ekonomis yang harus diterima

dengan “lapang dada” oleh para pembe-lajar,

4. masalah minimnya kesempatan pengembangan potensi diri dan visi keilmuan

yang berkaitan dengan profesinya yang benar-benar sesuai dan mampu

menjawab keresah-an mereka selama tiga dasa warsa terakhir.

Keseluruhan masalah tersebut terakumulasi dan terbungkus oleh sebuah

hiasan “kebijakan” yang sering telah dikatakan melalui berbagai studi, sehingga

“sewajarnya” harus diterima dan dilaksanakan.

Euforia pembelajar dalam memandang profesi dan “pengharga-an” moral

yang diperolehnya, tampaknya tidak sejalan dengan realitas dan “imbalan” yang

diterimanya. Hal ini merupakan salah satu dampak dari pengelolaan sistem

pendidikan nasional yang masih menge-depankan azas dan prinsip

“sentralisasi”, sehingga berakibat terjadinya “miss-conception” dan “loss of a set

grand idea and spirits our teachers”. Di samping itu, pengaplikasian pendekatan

struktural cendrung mengabaikan “values of moral otonomy” dari pembelajar

sebagai pioneer dan pembaharu yang senantiasa berada di garis depan dalam

penyelenggaraan pendidikan nasional.

Menyadari begitu saratnya permasalahan yang sulit dielakkan oleh

pembelajar secara struktural, tampaknya para pengelola dan pegambil kebijakan

pendidikan harus mulai menggeser pandangan dan pendekatannya dari

sentralistik ke desentralisasi dan dari structural approach ke fungtional

approachs, sehingga jenis dan tingkat kesulitan pembelajar dapat dieliminir

secara gradual dan sinergis. Asumsinya, semakin pendek benang kebijakan dan

semakin sedikit birokrasi yang harus dilibatkan, secara langsung akan dapat

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

menekan laju inflasi informasi dan tirani birokrasi yang secara nyata telah

dianggap sebagai salah satu penyebabnya.

Kebijakan pendidikan nasional kita menempatkan lembaga pendidikan

formal dan piranti-piranti di dalamnya termasuk pembelajar, sebagai salah satu

media strategis pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia.

Namun dewasa ini masih dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu yang

serius, bahkan diduga dapat mengancam eksistensinya sebagai media

transpormasi dan enkultur-isasi budaya bangsa.

Salah satu penyebab yang diduga mendorong terjadinya hal tersebut

adalah kecendrungan menempatkan masalah pembangunan pendidikan

terbatas pada kejenuhan kurikulum dan kualitas sumber dayanya, sehingga

analisis akademis dan analisis proyektif sebagai latar dan salah satu orientasi

pendidikan sering terabaikan.

Perkembangan ilmu dan teknologi dalam era revolusi informasi yang

ditandai dengan banyak terjadi pergeseran nilai dan perubahan sosial budaya

tidak terantisipasi secara konstruktif dalam pembaharuan dunia pendidikan.

Banyak pembelajar yang merasa asing dan terpinggirkan oleh kemajuan

teknologi, sehingga mereka harus beradapan dengan dilematisasi antara

tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan dan keterbatasan diri serta

ruang gerak pegembangan profesi yang terstruktur secara birokratis.

Tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut memerlukan adanya suatu

kebijakan aplikatif yang bisa menjawab semua tuntutan yang mengedepan

seiring dengan laju dinamisasi kehidupan masyarakat global. Hal ini menuntut

pembangungan pendidikan yang lebih mengarah pada perbaikan kualitas dan

kelengkapan instrumen pendidikan secara komprehensif dan pemberian

keleluasaan ruang gerak pembelajar yang senantiasa berada di garis depan

pembangunan pendidikan nasional.

5. Problematik Pembelajar Dilihat dari Dimensi Fungsional-Profesi

Pembelajar dalam masyarakat kita ternyata telah membuktikan diri

sebagai pemecah masalah (problems solving) dalam pembangunan pendidikan

yang telah, sedang, dan akan terus kita laksanakan. Kadang mereka juga

memerankan diri sebagai pelopor dan pembaharu bagi lingkungan

masyarakatnya. Banyak yang telah diperbuat oleh pembelajar, baik yang

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

berhubungan dengan profesinya maupun dalam kapasitasnya sebagai insan

masyarakat.

Kemajuan teknologi dan ilmu telah membawa dampak yang serius

terhadap peran dan esensi strategis pembelajar dalam menjalankan fungsinya

sebagai agen transpormasi nilai-nilai budaya bangsa. Karena ada beberapa

tugas dan peran pembelajar, dipaksakan untuk diganti dengan instrumen yang

berteknologi tinggi, sehingga secara kuantitas beban tugas pembelajar lebih

ringan.

Kemajuan ini, secara kualitas justru perlu dipertanyakan dan didiskusikan

lebih mendalam, karena produk dari lembaga pendidikan kita yang telah

ditunjang oleh perangkat pembelajaran yang canggih, justru kehilangan

sentuhan dan warna budaya bangsa yang kita cita-citakan. Artinya, secara

paedagogis, pendidikan kita telah kehilangan “rasa cinta” pembelajar terhadap

peserta didiknya. Kasih sayang sebagai basis pendidikan, memang kian

dipertanyakan dalam pendidikan modern yang serba canggih dengan dukungan

perangkat teknologi yang komprehensif. Dan ironisnya, ilmu pendidikan modern

mulai kehilangan sentuhan kasih sayang dan kepekaan pada anak manusia.

Topik-topik yang dibicarakan kebanyakan hal-hal yang sifatnya teknis

metodologis, sehingga semakin menjauhkan esensi dan misi dari pendidikan itu

sendiri.

Kondisi ini menempatkan pembelajar dalam posisi yang serba sulit. Di

satu sisi mereka dituntut untuk mampu mengikuti dan menggunakan teknologi

canggih dalam menjalankan profesinya, namun di sisi lain sekaligus dituntut

untuk tetap mempertahankan ketajaman intuitif paedagogis yang oleh banyak

kalangan dilabeli dengan pola lama.

Tuntutan dan harapan yang berlebihan kepada pembelajar, tidak jarang

justru menjerumuskan mereka kedalam rutinitas ortodok dalam menjalankan

tugas dan kewajiban mendidiknya. Hal ini penting ditegaskan, mengingat

perkembangan dan kemajuan negeri tercinta ini, banyak dikontribusi secara

langsung dari peranan dan fungsi yang dibebankan kepundak pembelajar, yang

secara status sosial-ekonomi banyak “kedodoran” dalam arti arfiahnya.

Relevansi dari hal ini bukan saja mempertentangkan persoalan antara masa lalu

dan kekinian, namun yang lebih penting adalah relevansinya dengan tujuan dan

misi dari pendidikan itu sendiri.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Jika kita bicara tentang pengembangan dan peningkatan potensi

profesionalisme pembelajar, salah satu wahana yang potensial untuk

meningkatkan keterampilan dan wawasan mereka adalah internet. Akses

internet memungkinkan jangkauan pendidikan semakin luas, tidak terbatas pada

tempat, waktu, dan keadaan.

Berkat kemajuan IPTEK, pendi-dikan sudah mampu menjangkau

daearah-daerah hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Namun apakah kalangan

pembelajar secara umum telah memiliki wawasan dan pemahaman yang

memadai tentang kegunaan dan cara menggunakan teknologi canggih tersebut.

Inilah persoalan yang harus kita renungkan bersama, untuk menghindari

miskonsepsi dan unuseble-nya kebijakan dalam bidang pendidikan.

Kausalitas ini penting dikedepankan, mengingat kualitas pendidikan

sangat mutlak ditentukan oleh kebijakan apa yang akan kita formulasikan dan

aplikasikan.

Berbicara mengenai kualitas pendidikan, kita tidak bisa lepas dari

pembicaraan proses dan produk serta orientasi dari kedua unsur tersebut.

Artinya, proses dan produk yang seperti apa yang ingin kita capai, dan dalam

bentuk apa hal itu akan kita wujudkan. Hal ini merupakan dampak dari

keberagaman visi dan persepsi kita tentang kualitas itu sendiri. Para perencana

dan pengembang kurikulum telah menggariskan dalam rasionalnya, bahwa ada

seperangkat ide, konsep, dan pengalaman yang mesti diterjadikan oleh para

pelaku pendidikan (pembelajar) dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah.

Potret pendidikan kita saat ini, sering dihiasi oleh warna dan problematik

asumtion yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antara ide-harapan dan

realita yang terjadi dilapangan. Hal ini terjadi bukan semata-mata kesalahan

atau kealpaan dari pembelajar selaku pelaksana kurikulum, karena ada

sejumlah kemungkinan yang bisa kita ketengahkan sebagai dasar analisis.

1. Pertama, kurikulum sebagai salah satu bentuk kebijakan pendidikan, cendrung

terlalu menekankan pada bentuk dan isi, sehingga menghadirkan kurikulum

yang sarat materi tetapi “ringan” proses dan adaptasi.

2. Kedua, kurikulum tersebut terlalu bebas dan luas, sehingga sarat dengan

“kebebasan” dan “ringan” makna baik proses maupun produknya.

3. Ketiga, kurikulum tersebut berisi konsepsi dan seperangkat ide dan

pengalaman dengan basis sosial-akademis kon-struktivis, sehingga memberikan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

keleluasaan kepada para pelakunya untuk mengembangkan isi dan muatan

politisnya sesuai dengan kondisi riil yang ada di sekolahnya masing-masing.

Ketiga konsepsi di atas semuanya mengacu dan ber-pengaruh secara

verbalistik terhadap kualitas pendidikan, baik proses maupun hasilnya. Akhirnya,

profesi pembelajar dan kualitas (mutu) pendidikan dipertaruhkan dalam skema

paradigmatik-realistik. Hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua,

selaku abdi negara dan abdi pemerintah di bawah panji-panji kependidikan.

Berkaitan dengan itu, upaya apakah yang bisa kita lakukan untuk menjembatani

keresahan seputar rendahnya mutu pendidikan dan problematik pembelajar

yang saat ini mulai mengemuka dan banyak dijadikan polemik seiring dengan

arus reformasi.

Ada sejumlah pertanyaan yang layak dikedepankan berkaitan dengan hal

itu, diantaranya;

1. apakah kebijakan pendidikan yang diberlakukan saat ini telah mampu

mengadopsi dan mengadaptasi realita masyarakat dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan nasional ?,

2. uapaya apa yang bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan untuk

meningkatkan keberdayaan pembelajar selaku ujung tombak keberhasilan

pendidikan nasional ?,

3. pola serta sistem aplikasi-akademis yang bagaimana dibutuhkan oleh dunia

pendidikan sekolah untuk meningkatkan dan menjaga standar mutu pendidikan

termasuk standar profesional pembela-jar ?.

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, tampaknya,

masih banyak yang harus kita benahi dalam pengadministrasian pendidikan

nasional kita. Salah satunya adalah dengan melakukan reorganisasi kurikulum

dan dalam waktu yang berikutnya hendaknya “pemberian otonomi” bagi daerah

tingkat I (propinsi) untuk mengelola pendidikan dengan tetap berorientasi pada

kekhasan daerah dan budaya bangsa yang luhur ini.

Upaya “pendaerahan” pengelolaan pendidikan, mungkin tidak akan

mampu menjawab keseluruhan masalah yang ada dalam pendidikan kita,

namun minimal konsepsi itu telah menunjukkan hasil yang menggembirakan

berdasarkan uji coba di beberapa daerah tingkat I sebagaimana yang telah

berlangsung dalam lima tahun terakhir. Hal ini berhubungan dengan

kemampuan dan kesiapan sumber daya dan kemampuan keuangan daerah

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

masing-masing. Jika formulasi ini terwujud, maka dengan sendirinya masalah-

masalah yang terjadi seputar kesulitan absolut yang dihadapi oleh pembelajar

secara fungsional, seperti: tidak adanya keseragama visi, misi, dan pemahaman

terhadap kurikulum, sulitnya mengadaptasi secara bermakna local genius dalam

pembelajaran, dan pemberdayaan peserta didik secara optimal berbasis

lingkungan akan semakin samar dan lama-kelamaan akan teratasi secara baik.

6. Problema Pembelajar dilihat dari Dimensi Heuristik-Phenomenologis.

Untuk mengkaji interelasi-logis pembelajar dan masalahnya dalam

perspektif Heuristik-Phenomenologis sehubungan dengan pengadministrasian

pendidikan nasional, berikut ini akan diketengah-kan sejumlah analisis-

konseptual dalam paradigma paedagogis untuk membuka pemikiran kita

bersama bahwa ada sejumlah permasalahan yang selama ini dialami oleh

pembelajar.

Berbicara tentang kesulitan pembelajar dalam definisi pembelajar

sebagai sebuah profesi, tampaknya kita mesti bicara pula tentang strategi politis

penguasa (pemerintah), karena pembelajar adalah abdi negara dan bangsa

yang teramat luhur dan mulia di tengah masyarakat, maka.secara substansial

terdapat tiga visi-misi dan sekaligus masalah yang terakumulasi secara sinergis,

yaitu:

1. Dilihat dari visi filosifis, permasalahan yang dihadapi oleh pembelajar,

merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang seiring dengan pengakuan

dan eksistensi pembelajar itu sendiri. Artinya, bahwa jabatan profesi yang

diemban oleh pembelajar, sejak dulu selalu berkaitan dengan rangkaian

kesulitan yang kadangkala sulit dihindari oleh pembelajar itu sendiri. Jika hal ini

kita kaitkan dengan konsepsi pembelajar dan pendidikan dewasa ini, berbagai

kesulitan yang dialami oleh pembelajar, banyak dikontribusi oleh birokrasi dan

manajemen yang sarat muatan politis yang secara sengaja dilakukan oleh

penguasa (pemerintah). Hal ini dilihat dari pandangan teori heuristik, bisa

dibenarkan, yaitu the central of power can to do anything….especialy to be

continued his legitimate. Konsepsi ini, jelas merupakan suatu menara gading

yang sangat merugikan profesi kepembelajaran.

2. Dilihat dari visi akademis, pembelajar adalah abdi dan pelaku sekaligus

pengembang ilmu iti sendiri. Namun dalam melakoninya, pembelajar sering

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

terbentur pada masalah-masalah teknis-akademis yang secara nyata sulit

dihindari, seperti kesalahan dalam menterjemahkan sebuah phenomena yang

berkaitan dengan bidang yang ditekuninya (spesifikasi akademis). Hal ini

cendrung menjadikan pengkotakan di tengah-tengah globalisasi.

3. Dilihat dari visi politis, pembelajar adalah bagian dari warga masyarakat, yang

mengemban misi mulia pemerintah dan kemanusiaan untuk menjadikan

kehidupan manusia lebih baik. Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh pembelajar

dalam konteks ini, adalah terakumulasinya profesi yang digeluti dengan visi dan

misi birokrasi pemerintah melalui seperangkat kebijakan yang secara moral dan

akademis-politis mengikat mereka.

Mengkaji visi dan konsepsi di atas, pada dasarnya kesulitan-kesulitan

yang dihadapi oleh pembelajar dan cendrung sulit untuk dihindari, pada

dasarnya banyak dipengaruhi oleh realita masyarakat pendidikan yang cendrung

memposisikan pembelajar sebagai manusia yang serba tahu dan harus tahu.]

Akhirnya tidak sedikit pembelajar, terjebak oleh euforia profesi yang justru

sangat menekan dan merugikan meraka secara material dan moral. Otonomi

moral profesi yang diemban oleh pembelajar adalah sesuatu yang semestinya

ditempatkan pada posisi kewajaran, sehingga mereka mampu menjalani

profesinya dengan apa adanya seiring dengan realitas dan tuntutan

masyarakatnya.

Kebijakan pendidikan pemerintah yang diberlakukan saat ini,

khususnya semangat dan jiwa dari UU Nomor 2 Tahun 1989, masih menyisakan

sejumlah peluang yang memungkinkan munculnya kesulitan-kesulitan baru yang

harus dipikul dan dihadapi oleh pembelajar dalam menjalankan profesinya.

Salah satu diantara kesulitan tersebut, adalah dalam menterjemahkan orientasi

dan misis kurikulum 1994. Kondisi ini terjadi, karena upaya penataan dan

pembinaan kesiapan pembelajar dalam melakukan perubahan secara mendasar

dari “kebiasaan” kurikulum sebelumnya (kurikulum 1984) tidak dilakukan dengan

serius dan terencana oleh pemerintah.

Akhirnya, banyak kalangan pembelajar yang menganulir telah

menjalankan kurikulum sebagaimana yang diharapkan dengan jiwa dan

“kebiasaan” lama sebagaimana yang telah mendarah daging dalam dirinya.

Artinya telah terjadi kesemuan yang mendalam dalam penyelenggaraan

pendidikan nasional kita, sebagai dampak dari kurang tertatanya

pengadministrasian pendidikan nasional kita saat ini.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Ada sejumlah indikator yang dapat diketengahkan untuk menunjang

asumsi ini, yaitu: (1) penataran peningkatan kemampuan pembelajar yang tidak

teratur dan kurang merata, (2) terjadinya korupsi waktu dan biaya dalam setiap

proyek peningkatan kemampuan dasar pembelajar yang dilaksanakan oleh

pemerintah, dan (3) tidak adanya kesamaan visi antara pelaku pendidikan

dengan tenaga administrasi pendidikan itu sendiri. Phenomena tersebut terus

berkembang, sehingga kualitas proses dan produk pendidikan kita sepertinya

berjalan di tempat, dan kurang mampu menjawab tantangan dunia global yang

semakin deras dan komprehensif.

Berdasarkan analisis-empiris di atas, tampak bahwa masih banyak

kesulitan-kesulitan yang sukar dihindari oleh pembelajar dalam menyukseskan

jalannya roda pembangunan pendidikan kita. Masalahnya sekarang adalah

bagaimana kita mampu merancang sebuah pengadministrasian pendidikan

nasional yang mampu mengadaptasi semua potensi yang ada dan mengeliminir

masalah dan kemungkinan timbulnya masalah dalam bidang pendidikan,

khususnya yang berkaitan langsung dengan pembelajar, sehingga mampu

menjadikan pembelajar itu benar-benar sebagai agen pembaharu dan haus

dengan inovasi dalam bidangnya. Pada akhirnya akan berdampak langsung

terhadap peningkatan kualitas proses dan produk pendidikan nasional di tengah-

tengah tataran masyarakat global.

Bila hal tersebut bisa dilakukan, tampaknya keresahan seputar

banyaknya masalah yang dihadapi oleh pembelajar dalam melaksanakan

profesinya bisa dieliminir sedemikian rupa, seperti: kurikulum tidak harus

memuat semua hal yang harus dilakukan oleh pembelajar melalui berbagai buku

pedoman dan petunjuk teknis pembelajaran, karena hal itu akan

mengkondisikan pembelajar dalam keterikatan yang teramat ketat, sehingga

mereka hanya mengejar ketuntasan materi kurikulum dan mengabaikan

pengembangan dan pelatihan potensi diri peserta didik itu sendiri.

7. Pembelajar, Harapan Masyarakat, dan Pembelajaran

Pembelajar (pembelajar) sebagai pelaksana kurikulum, Gagne (1975)

menyatakan bahwa “…carry out the task of promoting learning by providing

instructional”. Pembelajar adalah “designer of instruction” dan sekaligus sebagai

“manager of instruction”.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Sejalan dengan pendapat Gagne, kiranya disadari bahwa tanggungjawab

pembelajar amat berat, namun tidak berarti mustahil dilakukan. Justru beratnya

tanggungjawab tersebut merupakan motivasi tersendiri untuk berbuat dan

berlaku lebih baik. Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan yang

menjembatani para peserta didik dengan kecakapan-kecakapan (pengetahuan,

keterampilan, dan sikap) yang harus dipelajari dan dimiliki oleh peserta didik.

Mengantisipasi upaya peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan

reformasi global, maka pembelajar hendaknya mampu mengembang-kan dan

membekali dirinya dengan seperangkat kemampuan dan keterampilan dalam

memilih dan mengaplikasikan model dan strategi pembelajaran yang mampu

menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik. Dalam

tulisan yang bertitel “Preparation and Certification of Teachers”, (Keller, 1985)

berupaya menjawab pertanyaan, “…what skills, knowledge and training should

teachers have and how should colleges and universities, state departemens of

education, and school boards make sure that they have them” ?. Pertanyaan

dan jawaban yang dikedepankan oleh Keller memberi petunjuk tentang

keterampilan dan kemampuan yang seyogyanya dimiliki dan dimahiri oleh

pembelajar agar mereka mampu melaksanakan tugas dengan baik serta

memenuhi harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.

Disisi lain, instrumentalia pendidikan yang ada harus mampu

mengadaptasi semua potensi yang dimiliki dan harus diterjadikan oleh

pembelajar. Salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang baik, adalah

kurikulum yang mampu memberikan keleluasaan kepada pembelajar untuk

menterjemahkan dan mengaplikasikannya berdasarkan tuntutan peserta didik

dan kondisi serta situasi masyarakat.

Kurikulum yang terlalu pada dengan materi, akan membuat pembelajar

berorientasi pada upaya pengejaran materi (ketuntasan materi), sehingga

pembelajaran yang dilakukannya baru mencapai tahap konsepsi (penanaman

konsep) semata. Hal ini jelas semakin membuat mutu pendidikan terpuruk dalam

dilematisasi sosial yang dalam. Kita tidak membutuhkan kurikulum yang

menekankan pada isi, melainkan kurikulum yang memberikan kebebasan yang

memadai kepada pembelajar untuk berimvrovisasi dalam pembelajarannya.

Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pembelajar, harus disertai

dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan instrumen pendidikan, termasuk

kurikulum.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pelatihan dan penataran atau bentuk-bentuk in-service training yang

dilakukan secara terprogram oleh pemerintah tidak akan mempunyai makna

bilamana kurikulum sebagai wadah dari segala kegiatan pendidikan di sekolah

masih tetap dan mengingat pembelajar untuk berbuat berdasarkan garis

komando-akademis seperti kurikulum yang diberlakukan saat ini. Hal ini tentu

memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, untuk itu kita berharap semoga

untuk masa-masa mendatang pemerintah mampu merancang sebuah kurikulum

hidup (life curicullum) sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan nasional

dapat tercapai dan berhasil secara maksimal.

Arus globalisasi yang semakin deras kita rasakan dengan masuknya

sejumlah informasi yang nyaris tidak dapat dibatasi, telah bergulir dan akan

mempengaruhi tatanan budaya kita, yang nantinya berpengaruh terhadap

semua lapisan masyarakat. Hal ini harus diantisipasi oleh kalangan pelaku

pendidikan (pembelajar) bila mereka tidak ingin ditinggalkan oleh teknologi atau

sengaja meninggalkan teknologi sebagai wujuh pelarian diri. Konsepsi ini

membawa dampak terhadap perlunya transpormasi manajerial dan reorganisasi

orientasi lembaga pendidikan, sehingga pembangunan pendidikan khususnya

pengembangan profesionalisme pembelajar harus mampu mengantisi-pasi dan

memprediksi kondisi tataran masyarakat global.

Semakin derasnya pertumbuhan pembangunan dalam bidang industri

dan revolusi komunikasi, menuntut adanya pembangunan pendidikan nasional

dalam paradigma cybernatic-system yang bisa mengembangkan dan

menciptakan iklim pranata sosial-pendidikan yang kondusif dan prediktif, serta

tenaga pembelajar yang profesional.

Derasnya arus reformasi dan gelombang globalisasi yang berdampak

terhadap semua aspek kehidupan kebangsaan, menuntut adanya arus dan

gelombang yang sama pada upaya perbaikan dan pembangunan pendidikan

nasional saat ini, sehingga peningkatan profesionalisme pelaksana kurikulum

(pembelajar) dan pembaharuan instrumen pendidikan (kurikulum) adalah

dimensi tersendiri yang sesegera (harus) mungkin dilakukan.

Meningkatnya aspirasi pendidikan masyarakat yang kian pesat belum

seimbang dengan peningkatan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan, ini

merupakan suatu masalah yang akan menimbulkan kesenjangan mendasar

antara tuntutan lapangan kerja yang tersedia di masyarakat dengan lulusan

lembaga pendidikan (produk pendidikan), untuk itu pembelajar harus sedapat

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

mungkin dihindarkan dari rangakaian masalah yang dapat mengganggu

profesinya, sehingga pengadministrasian pendidikan harus mampu

mengadaptasi dan merekonstruksi tuntutan jaman.

Tajamnya kritik dan warna-warni kesulitan yang dialami oleh pembelajar,

sebagian besar berpangkal pada tidak leluasanya pelaku pendidikan

mengembangkan aspek-aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran, yang

mengakibatkan pertanyaan besar, siapakah yang paling bertanggungjawab

terhadap kualitas produk lembaga pendidikan. Hal ini menimbulkan

pengkaburan dari wewenang dan improvisasi lembaga pendidikan. Salah satu

sumber masalah tersebut adalah belum mampunya kurikulum nasional

mengadaptasi kebutuhan pebelajar dan masyarakat secara komprehensif dan

bermakna.

F. Daftar Pustaka :

Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.

Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah).

Singaraja: STKIP Singaraja.

Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.

Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.

Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but

Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.

Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.

Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical

Psichology. USA, England: University of Michigan Press.

Phenix, Philip H., (1990). Realm of Meaning: A Philosophy of Developing Curriculum for

General Education. New York: Mcgraw Hill Book Company.

Supriadi, Dedi. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Pembelajar. Yogyakarta:

Adicita Karya Nusa.

________, (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT. Rosda

Jayaputra.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Stopsky, David and Marla Thomson. (1989). Planing of Change: New Approach in

Education Administration. NY: Educational Journal, Vol VIII-1.

Stahl, J. R. (1994). Cooperative Learning: Hand Book for Teacher. USA: John Hopkins

University Press.

Rabu, 06 April 2011

MASYARAKAT GLOBAL DAN IPS

Deskripsi Materi Pembelajaran

1. Masyarakat Global: Tantangan dan Harapan IPS

Menurut Stopsky dan Sharon (1994), masyarakat merupakan labora-

toriumnya IPS. Oleh sebab itu, setiap kegiatan pembelajaran IPS harus mampu

mengcover realitas masyarakat dimana pebelajar hidup dalam kesehariannya.

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, sebagai salah satu

dampak dari kemajuan revolusioner dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang

menghadirkan the hight tech dalam setiap aspek kehidupan manusia, khususnya

dalam jaringan informasi dan telekomunikasi menghadirkan warna baru

hubungan kemanusiaan dan segala aspek kehidupannya. Bagi kalangan

pembelajar IPS, kecendrungan ini harus dapat ditangkap dan digunakan sebagai

dasar perancangan dan pengaplikasian prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Ada beberapa isu sentral yang berkait dengan tataran masyarakat global

dalam pembelajaran IPS, yaitu: (1) human rights, (2) keep peace environment,

(3) local and global political tendency, (4) economic global, (5) decreased moral

and society attidude, dan (6) racial and culture probles. Isu-isu ini merupakan

sumber pembelajaran yang sangat strategis untuk mengembangkan potensi dan

skills peserta didik dalam IPS.

Penggunaan teknologi-komunikasi dan beberapa perangkat keras yang

berkaitan dengan kemudahan mengakses informasi harus dioptimalkan

penggunaannya oleh para pebelajar (pembelajar) dalam membelajarkan IPS.

Pembelajar dalam kapasitasnya sebagai manager and instrument of learning

dituntut paham dan terampil dalam memanfaatkan teknologi dalam

pembelajaran yang dirancang dan dilakukan. Karena pada dasarnya IPS adalah

disiplin ilmu yang selalu bersentuhan dengan isu-isu sosial kemasyarakatan. Di

samping itu, pengcoveran realitas aktual yang terjadi di masyarakat, akan

menjadikan pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar to be meaningful

learning better than transfering knoledge and skills by expository.

Seorang pembelajar, selayaknya mampu menjadikan ruang kelas yang

terbatas sebagai media dan wahana belajar peserta didik yang tidak terbatas.

Hal ini bisa dilakukan, bila pembelajar mampu menghadirkan cover riil

masyarakat selama pembelajarannya. Karena yang terpenting dalam

pembelajaran IPS bukan sebatas how to learn, tetapi learning how to learn,

sehingga meaningful learning itu bukan sebatas harapan dan konsep formal

yang digantung di dinding setiap kelas.

Rasional dari pembahasan dan tawaran konsep-aplikatif dalam ini lebih

banyak dimaksudkan kepada mereka yang percaya dan meyakini akan

keberbedaan hak dari setiap individu serta kemampuan personal yang holistik.

Philosofi dari kajian dalam bab ini bahwa “kurikulum harus sesuai dan relevan

dengan keinginan, hidup, dan kebutuhan peserta didik secara alamiah”.

Munculnya konsep inovasi dalam kurikulum IPS, dilatarbelakangi oleh beberapa

kritik dan pandangan miring yang dialamatkan kepada pembelajaran IPS.

Adapun beberapa kritik mendasar yang banyak dimunculkan berbagai fihak

seputar pembelajaran IPS, adalah:

1. Mata pelajaran yang hanya berisikan fakta, nama, dan peristiwa masa lalu.

2. Mata pelajaran yang membosankan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

3. Tidak memiliki nilai praktis (unaplicable)

4. Sarat materi tanpa makna (covers too much material)

5. Tidak ada kontribusi dalam pembangunan masyarakat, karena hanya

membicarakan masa lalu

6. Pembelajarannya hanya bersumberkan pada buku teks.

7. Peserta didik tidak memperoleh sesuatu yang dapat disimpan dalam

memorinya.

8. Pembelajar tidak dapat membelajarkan keterampilan berpikir

9. Pembelajar IPS banyak berangkat dari asumsi bahwa tugas mereka adalah

memindahkan pengetahuan dan keterampilan yang ada pada dirinya ke kepala

pebelajar secara utuh.

Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), kritik yang dialamatkan kepada

IPS itu banyak dikontribusi oleh pendekatan dan model pengorganisasian materi

yang dilakukan oleh pembelajar cendrung dangkal, sehingga tidak menggugah

peserta didik untuk belajar inquiri. Hal ini didukung oleh pengembangan dan

sistimatika kurikulum IPS yang masih menggunakan kombinasi sparated

approachs dan integrated approachs.

Menurut Luchan (1990), pembelajaran IPS merupakan pengembangan

seni berkehidupan peserta didik dalam bermasyarakat (latihan-latihan

berkehidupan). Logikanya, setiap pembelajaran IPS harus mampu

menghadirkan potret riil masyarakat peserta didik dimana mereka tumbuh dan

berkembang. Pembelajaran IPS bukan hanya menyangkut fakta, tetapi ongoing

creation of today, and the recreation of yesterday, sehingga yang harus

dikembangkan pembelajar adalah pengkondisian kelas sehingga peserta didik

mampu melakukan refleksi tentang masa lalu dalam menyikapi kehidupan saat

ini (present). Senada dengan pemikiran di atas, Mehlinger (1979) menyatakan:

social studies not about “dead events”, but concern with how to management

and reflection past based on the present and future lifes.

Tujuan dari konsepsi ini adalah mengkondisikan dan melatih peserta didik

untuk terbiasa menghadapi tantangan dan bertanggungjawab tentang hidup dan

kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang pembelajar harus mampu

menjadikan setiap peserta didik sebagai “ambassador” dengan keterampilan

bernegosiasi serta kemampuan mengambil solusi atau keputusan yang akurat

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

tentang kehidupan bernegara. Latihan yang diberikan oleh pembelajar,

menuntun pebelajar untuk mengunakan pengetahuannya dalam membuat

keputusan yang rasional tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang

dihadapi.

Sekolah adalah laboratorium dimana pebelajar dapat belajar dan

berpartisipasi secara demokratis untuk memecahkan masalah sosial

kemasayarakatan. Konsepsi ini banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat

Amerika yang multietnik. Namun, multietnik merupakan sesuatu yang mesti

diterima dan dijadikan sebagai sumber pembelajaran di sekolah sebagai sebuah

masyarakat yang demokratis, sehingga memungkinkan anak-anak Amerika

untuk memahami mereka adalah bagian dari tataran masyarakat global yang

dinamis. Untuk itu kurikulum persekolahan harus mengcover refleksi dari nilai-

nilai leluhur dan keberbedaan dari setiap orang dalam kehidupan masyarakat.

Seorang pembelajar harus membelajarkan pebelajarnya menjadi

pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari

kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik

mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik dan “tahan

banting” terhadap dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat dunia (global community).

Pembelajaran IPS yang baik dan semsetinya dikembangkan oleh

pembelajar adalah mengajak peserta didik memahami natural settings dari

masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya,

serta belajar merumuskan tehnik-tehnik pemecahannya. Dalam konteks ini akan

berkembang keterampilan-keterampilan sosial tingkat tinggi pada diri mereka,

seperti; keterapilan dalam bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi,

inquiry, dan menjustifikasi sebuah masalah secara objektif. Hal inilah yang oleh

Schuncke (1988) dikatakan bahwa “social studies is unique place among

according diciplines, because it encomposses every aspects of human life”.

Sebelum merancang pembelajaran, bawa pebelajar datang ke sekolah dengan

seperangkat nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan teman

sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu mengadaptasi karakteristik

setiap pebelajar agar terakumulasi secara positif selama pembelajaran

berlangsung.

Sekolah harus menjadi sebuah potret nyata dari sebuah proses

demokrasi, dan mampu menyajikan realitas kehidupan demokrasi yang telah

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dimiliki dan diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di luar sekolah.

Aktualisasi pendidikan nilai di sekolah dan kerjasama kelompok merupakan

salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam

membelajarkan pebelajar yang mulietnik. Melalui kerjasama kelompok dan

belajar secara kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi ulang nilai-nilai

individualnya berdasarkan kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh

pemahaman yang memadai terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya.

Aktivitas belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan inkuiri,

melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemukan kreasi secara mandiri

dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari setiap pendidik

adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan menerima perbedaan

dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan permusuhan. Secara umum ada

beberapa model pembelajaran yang bisa dijadikan acuan oleh pembelajar dalam

membelajarkan nilai kepada pebelajar, yaitu; (1) sosio-drama, (2) simulasi, (3)

storyteller, (4) demonstrasi individual, dan model pembelajaran lain yang

menonjolkan pengekploitasian potensi diri pebelajar.

Seorang historian, Hirsch (1992) menyatakan bahwa, social studies

emphaziss history and social science at frame of paedagogical purpose.

Pembelajar dalam merancang pembelajaran IPS harus mampu menciptakan

iklim yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir

tingkat tinggi dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan di

lingkungan pebelajar dan dalam skup yang lebih luas dan keterampilan dalam

mengambil sebuah keputusan, dengan memberikan kesempatan peserta didik

melakukan reflective their values, moral, knowledge, and iterest to make

decisions. Dengan demikian akan terpola pembelajaran yang berorientasi pada

pengoptimalan learner experiences.

Kecendrungan dan inovasi dalam pembelajaran IPS ini banyak

dikontribusi oleh perkembangan dunia yang semakin menggila sebagai dampak

kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat seperti; pluralisme, multietnic,

and multicultural environment, sehingga membawa ekses pada terjadinya

cultural revolution, role deferren-tiation, families come in many forms, and

expanding individual rights. Pada dasarnya pola dan pendekatan IPS seperti di

atas, dikembangkan berdasarkan tiga konsep dasar tradisi pembelajaran IPS

yang direkonstrukti oleh seorang pakar pendidikan Amerika berkebangsaan

Yordania, Charles Mistakos (1980). Adapun tiga tradisi pembelajaran IPS yang

dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

FOKUS PEMBELAJARAN SOCIAL STUDIES

TRANSMISI

ILMU SOCIAL

REFLEKTIF-

INQUIRY

TUJUAN

Menanamkan

nilai-nilai yang

tepat sebagai

dasar

mengambil

keputusan

Menggunakan

konsep, ke-

terampilan, dan

proses

pengambilan

keputusan

berdasarkan

prinsip-prinsip

ilmu sosial

Menggunakan

pendekatan

inkuiri sebagai

sumber

pemerolehan

pengetahuan

dan

pemecahan

masalah serta

pengambilan

kepu-tusan

METODE

Resitasi buku

teks, ce-

ramah, tanya

jawab,

problem

solving, inquiri

dsb

Pengumpulan

data dan

verifikasi

pengetahuan dan

metode yang

tepat untuk setiap

disiplin ilmu

sosial

Rangkaian

kegiatan

pengidentifika-

sian masalah,

su-dut pandang

terhadap ma-

salah, dan

struktur peng-

ambilan

keputusan

MATERI

Ilustrasi

tentang nilai,

moral,

kepercayaan,

dan sikap

Materi berisikan

tentang struktur,

konsep, masalah,

dan proses

berbagai ilmu

Materi

disesuaikan de-

ngan masalah

yang dipilih

pebelajar

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

yang

diinterpreta-

sikan secara

langsung oleh

pembelajar

sisial berdasarkan

analsis nilai,

kebutuhan, dan

ke-inginan

pebelajar

2. Kurikulum Global

Kecendrungan baru dalam pembelajaran IPS juga ditunjukkan oleh

adanya gugatan kembali oleh kalangan ilmuwan sosial, terutama yang melabeli

dirinya sebagai founding father dari disiplin ilmu tertentu, seperti Forino (1993),

yang menyatakan bahwa, history and social sciences are producers of

knowledge, while social studies is largely a consumer. Mereka memper-

tanyakan tentang eksistensi dan substansi materi dan pendekatan IPS dalam

membelajarkan pengetahuan dan keterampilan, khususnya dalam menyikapi

kecendrungan global yang berkembang dewasa ini. They need to encounter and

reencounter, in variety of contexts, the knowledge, concepts, skills, and

attidudes that from the foundation for participation in a democratic society

(NCSS, 1990).

Berdasarkan beberapa kecendrungan akademis dan empirikal di atas,

maka National Commission for Social studies (NCSS) merekomendasikan

kalangan pelaku pembelajaran untuk menekankan pada pengaplikasian

pengetahuan dan trends masyarakat untuk melatih pebelajar dalam mengambil

keputusan tentang hidup dan kehidupan masyarakatnya, sehingga pola

pembelajaran yang dikembangkan jauh lebih demokratis. The task of teachers is

to assist students in using knowledge to make rational decisions (NCSS, 1993).

Sebagai sebuah laboratorium pendidikan warga negara, maka IPS

selayaknya menekankan pada bagaimana membelajarkan pebelajar untuk

berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang demokratis,

sehingga ketajaman intuisi dan prediktifnya terlatih dalam memecahkan

masalah-masalah yang ada di sekelilingnya. Selayaknya, sebagai seorang

pembelajar IPS, maka mereka tidak harus kehilangan kesempatan dalam

membangun dan memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk

mengembangkan minat dan bakatnya, berdasarkan konsepsi dan

pemahamannya tentang sejarah dan teori-teori sosial.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Konsepsi ini merupakan satu diantara kecendrungan dan inovasi dalam

pembelajaran IPS sebagai dampak langsung dari perkembangan masyarakat

global. That teachers who miss these crutial opportunities to built interest, to

intruduce concepts from history and the social sciences, and to develop social

perspectives and civic understanding may take it more difficult for citizens of the

21st century to cope with their future.

Belajar dan pembelajaran merupakan dua kata yang berbeda namun

memiliki kaitan satu sama lain. Belajar adalah proses yang terencana dan

bertujuan serta memerlukan pengkondisian dan instrumen tertentu. Sementara

dalam konteks pembelajaran telah terkandung makna belajar dan mengajar,

sehingga pembelajaran lebih ditekankan pada proses interaksi transkasional

antara pebelajar dan pembelajar dalam mencapai suatu tujuan belajar yang

telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konteks IPS, seorang pembelajar harus

mampu menjadikan proses transaksional yang berkebnag di kelas menjadikan

pebelajar mampu mengembang-kan potensi dirinya secara optimal.

Melalui pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap potensi

diri pebelajar pembelajar akan dapat merancang dan memilih model, serta

pendekatan pembelajaran yang demokratis dan humanistis bagi pebelajarnya.

Karena, hal tersebut merupakan tuntutan dan keharusan dalam menciptakan

dan mengembangkan demokrat-isasi dalam pembelajaran IPS. Hal ini sejalan

dengan pendapat seorang pembelajar dan administrator pendidikan di timur

tengah, Goland Curbis (1994), yang menyatakan bahwa, multiethnicity is central

to our continued existence as a democratic society.

Alasan yang ditawarkan untuk menjustifikasi pendapatnya tersebut,

adalah young people have differing needs which can be meet through an

enriched social studies curriculum. Berdasakan preposisi di atas, kurikulum IPS

harus dirancang secara integratif, holistik dan konstruktif dengan memper-

timbangkan potensi dan instrumentalia pendidikan yang tersedia, sehingga

mampu menghantarkan pebelajar memahami dan terampil dalam melakoni

kehidupan masyarakat global saat ini.

Alfin Toffler (1980) menyatakan, that we are in the midst of a new

paradigm of change that is analogous in scope and impact to the industrial

revolution. Sebagai antisipasi terhadap prediksi Toffler, sudah selayaknya

kalangan pembelajar makes curriculum come alive in the minds of children.

Konsepsi di atas, mendapat pembenaran dari konsepsi Bruner (1968) yang

dikemukakan jauh sebelum dunia ini berkembang sebagai tataran global yang

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

multidemsional, bahwa to intruducing the basics of academic diciplines in the

early grades, and then repeating them with increasing levels of complexity and

sophistication throughout a student’s career in education.

Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang isu dan kecendrungan

pembelajaran IPS dalam tataran masyarakat global di atas, maka untuk

memudahkan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait langsung dengan hal

tersebut, dapat dilihat dalam bagan berikut:

Kecendrungan

Sosial

Implikasi Bagi

Masyarakat

Implikasi bagi Pembe-

lajaran di Kelas

Akselerasi

peru-bahandan

keragu-an

terhadap Masa

depan

Turunnya

kebersama-an mas-

yarakat umum

Kecemasan keluarga

Keraguan akan

masa depan

Masyarakat akan

me-ngalami

beberapa pe-

rubahan pekerjaan

setiap saat

Transformasi

kurikulum

Penekanan pada

keter-ampilan-

keterampilan me-

ngatasi perubahan,

kese-mrawutan, dan

pleksi-belitas

Perubahan

demografi

Perubahan populasi

Peningkatan

ekspresi

anak

Kerancuan pada

jurusan di sekolah dan

bidang administrasi

Sekolah harus beker-

jasama dengan

pebelajar dalam

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

ketidakpastian

Telekomunikasi

dan Informasi

da-lam tataran

Masyarakat

global

Kemudahan dan

kece-patan informasi

Perluasan informasi

Sekolah harus padu

dengan jaring-an

global, untuk

memperoleh infor-

masi yang lebih

banyak

Pluralistis,

Keber-agaman

Ras dan

keberagaman

Lingkungan

Peningkatan potensi

konflik dan

kekhawatiran

individual

Tekanan-tekanan

yang menyebabkan

hilangnya nilai

kebersamaan

Tantangan bagi

disiplin keilmuan

Sejarah budaya harus

merupakan bagian

dari kurikulum

Revolusi sosial

Peningkatan konflik

dika-langan orang

tua/anak

Tantangan baru bagi

pengambil kebijakan

Perbedaan

kebi-

asaan

Atau aturan

main

Individu senantiasa

ber-ada dalam

peraturan/ hukum

Pembelajar dan

pebelajar harus

menjalin interaksi

personal dalam

berbagai level

Bentuk

keluarga

yang beragam

Rendahnya kualitas

hidup

Sedikitnya perhatian

ke-sehatan dan

pening-katan biaya

Meningkatkan

keterlibatan orang tua

dalam kebija-kan-

kebijakan sekolah

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pengo-batan

Perluasan hak-

hak

Individu

Peningkatan konflik

dan keter-sediaan

peradilan untuk men-

justifikasi

Pebelajar semakin

sadar akan hak dan

kewajiban-nya,

sehingga merupakan

tantangan baru bagi

para pengelola

sekolah

Kemunduran

kualitas

lingkungan,

kehidupan

kota, dan

kesehatan

Rendahnya kualitas

hidup

Sedikitnya metode

peng-obatan baru,

sehingga

meningkatkan biaya

pengobatan.

Meningkatnya

perhatian terhadap

penggunaan, ke-

cendrungan dan

manfaat dari

pembelajaran materi

Biaya pengobatan

bisa berpengaruh

pada keha-diran

pebelajar di sekolah

Meningkatnya absensi

ke-hadiran pebelajar

di sekolah

Ekonomi global

Kesempatan kerja

dipe-ngaruhi oleh

kejadian-kejadian

dunia

Pengaruh kebijakan

global terhadap

pembiayaan se-kolah,

kurikulum, dan yang

lainnya.

3. Model Pembelajaran IPS

Model merupakan kerangka konseptual yang dikembangkan dan

digunakan sebagai pedoman sistematis dalam melaksanakan dan

mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan dan kepentingannya (Stopsky and

Sharon Lee, 1994). Ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dalam pembelajaran IPS, seperti: (1) the disclipinary model, (2) the

multydisciplinary model, (3) citizenship education, (4) the problem inquiry model,

dan (5) the humanistic model atau personal model (Gross, 1978). Sementara

Bart dan Shermish (1987) mengatakan ada tiga model pembelajaran IPS yang

sesuai dengan dinamika masyarakat, yaitu: (1) social studies as social sciense

model, (2) social studies as citizenship education model, dan (3) social studies

as reflective inquiry models. Berkaitan dengan upaya pematangan dan

peningkatan profesionalisme pembelajar, Stopsky dan Sharon menyatakan ada

tiga aliran besar yang mempengaruhi tradisi dan model pembelajaran IPS, yaitu:

(1) aliran ilmuwan sosial, (2) aliran para pendidik (expert), dan (3) aliran

gabungan antara ilmuwan sosial dan ahli pendidikan.

Dihubungkan dengan orientasi pengembangan capability instructional

dikenal pula model pembelajaran IPS yang emphaziss pada developing skill of

science thinking, sebagaimana layaknya ilmuwan sosial dan model

pengembangan aspek-aspek values and moral kewarganegaraan yang baik.

The objectives of social science as a conceptual tidak hanya terdapat dalam

kurikulum secara eksplisit, namun tumbuh dalam berbagai konsepsi pemikiran

yang dikembang-kan para pemerhati dan pakar pendidikan. Beberapa definisi

yang diangkat senantiasa berkait dan memuat konsep tentang tujuannya. Tradisi

dimana IPS dikembangkan (setting of society) senantiasa mewarnai rumusan

tujuannya, sehingga tampak rumusan tersebut sangat kontekstual dengan social

and culture of communities.

Para ahli sering merumuskan tujuan IPS berkaitan dengan upaya

mempersiapkan para pebelajar menjadi warga negara yang baik. Hal ini

merupakan pengaruh dari model IPS sebagai “citizenship education”. Gross

(1987), seorang pakar pendidikan dan sekaligus negarawan menyebutkan

tujuan IPS “to prepare students to be well-fungtioning citizens in a democratic

society”. Konsekuensinya, pebelajar harus dikondisikan dan dilibatkan dalam

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan sekolah yang mampu mengaktualisasi-

an hal itu. Hal ini merupakan arah maju dalam pembelajaran IPS di tengah-

tengah globalisasi.

Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam IPS

antara lain mengembangkan kemampuan menggunakan penalaran dalam

pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapi. We also think that the

social studies should be more concerned with helping student make the most

rational decisions that they can in their own personal lifes (Gross, 1987). Para

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pembelajar, hendaknya mampu mengkondisikan pembelajarannya yang

memung-kinkan pebelajar memperoleh informasi yang seoptimal mungkin bagi

pengem-bangan apresiasi nilai dalam menjalani kehidupannya, sehingga

mereka memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang

lebih tinggi.

Berdasarkan rasionalitas tersebut, tampaknya dari dua dimensi inilah

tujuan IPS harus dirancang dan diaktualisasikan agar sesuai trends masyarakat

global saat ini. Social studies sejak awal telah menekankan pada

pengembangan penghargaan diri peserta didik, termasuk melalui penggunaan

pendekatan belajar secara kelompok. Pemikiran ini di dasari oleh asumsi bahwa

setiap pebelajar adalah individu yang unik, namun mereka besar dan berbagi

pengalaman secara bersama-sama di sekolah, sehingga setiap pebelajar

berkeinginan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan

dalam belajarnya di sekolah.

Pemberian tugas kelompok ke perpustakaan merupakan salah satu

metode pembelajaran yang efektif untuk menumbuhkan iklim belajar kolaboratif

diantara pebelajar, sehingga memungkinkan ekplorasi optimal kemampuan

pebelajar melalui refleksi diri dan sharing process diantara pebelajar itu sendiri.

Hal ini harus dijadikan sebagai model acuan oleh pembelajar dalam

pembelajaran IPS, sehingga pembelajaran yang dilakukan benar-benar

bermakna (meaningful learning).

4. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPS

Pembelajaran IPS dalam era modernisasi dan kecendrungan global

dewasa ini, harus tetap berakar pada akar budaya dimana IPS itu dibelajarkan.

Disamping itu, pengembangan keterampilan berpikir dan penekanan pada

refleksi nilai oleh peserta didik tetap menjadi orientasi pembelajaran yang

dilakukan kalangan pembelajar. Pengembangan kemampuan berpikir berkaitan

dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi manusia yang perlu secara

sengaja dikembangkan untuk mencapai kapasitas optimal aktualisasi diri

pebelajar.

Kemampuan berpikir diposisikan sebagai power resources yang amat

vital bagi suatu bangsa, sehingga hal tersebut diperlukan oleh para pembelajar

untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berpikir (Artur L Costa,

1985). Konsepsi pendidikan berpikir sebagai pendekatan dalam pengadminis-

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

trasian pendidikan lahir sebagai respon atas perlunya pendidikan diperankan

untuk mengembangkan kemampuan tersebut dalam segala dimensinya.

Intelegensi dan kemampuan berpikir memiliki hubungan kausalitas level

tinggi, sehingga semakin tinggi kemampuan berpikir seseorang, makin tinggi

pula intelegensi orang tersebut. Disamping itu, kemampuan berpikir ini akan

mendorong pengembangan potensi lain dari seseorang yang sebelumnya tidak

tampak kepermukaan. Pendidikan berpikir ditujuakan untuk mengembangkan

kualitas berpikir anak dalam proses perkembangan kognisinya, sehingga

aktualisasi intelegensi memperoleh ruang gerak yang optimal.

Pembelajaran IPS senantiasa mengandung kegiatan berpikir, namun

apabila tidak diprogramkan secara khusus, proses pendidikan berpikir itu akan

berdampak pada rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga

tidak memadai untuk melatih seseorang mengembangkan kemampuan

berpikirnya secara optimal.

Seorang profesor sosiologi pendidikan di Amerika, Lester Frank Ward

(1983), menyatakan bahwa intelegensi dapat dikembangkan melalui pendidikan,

dia menjelaskan perlunya wajib belajar yang merupakan alat bagi pemerataan.

Asumsi yang ditawarkannya banyak menarik perhatian para politisi dan pakar

pendidikan, karena pada jamannya sedang berkembang dengan kuat

“Darwinisme” yang sangat kontradiktif dengan asumsi yang ditawarkannya.

Untuk memantapkan kemampuan pebelajar dalam berpikir, pembelajar

bisa mengajak pebelajar untuk melakukan refleksi diri, karena pada saat mana

pebelajar memahami tentang keinginan pribadinya sebagai manusia, mereka

akan mulai menyadari tentang keinginan dan aspirasi dari orang lain. Jika hal ini

terus dilakukan, perbedaan nilai, budaya, dan kepribadian dalam masyarakat

yang plural bukannya melahirkan konflik, justru memungkinkan setiap orang

untuk memupuk sikap toleransi yang tinggi. Oleh sebab itu, pebelajar harus

dilibatkan secara penuh dalam mempelajari materi dan melakukan sesuatu

secara nyata tentang materi yang dipelajari. Trends pembelajaran IPS saat ini,

adalah menjadikan kurikulum global sebagai acuan pengembangan materi di

sekolah-sekolah. Dalam perspektif kurikulum, kurikulum global lebih

menekankan pada upaya pengkondisian pebelajar untuk mempelajari kehidupan

dunia nyata (real world), karena IPS dan ilmu sosial merupakan satu kesatuan

dalam kurikulum global.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Kurikulum berwawasan masyarakat memungkinkan pebelajar untuk lebih

bertanggungjawab terhadap perilakunya dan mengembang-kan pemikiran serta

sikap perlindungan terhadap berbagai spesies di muka bumi ini. Dengan

demikian, keseimbangan dunia akan terwujud secara baik, dengan tanpa

mengesampingkan munculnya konflik-konflik individual yang terjadi di beberapa

belahan dunia yang secara historis berbeda satu sama lainnya. Itulah profil dan

posisi dari social science dalam tataran disiplin keilmuan dunia.

Pendekatan pebelajar sentris menekankan pada pemenuhan kebutuhan

pebelajar untuk meningkatkan kemampuannya melalui beberapa manipulasi

bahan ajar yang relevan. Dalam konteks pembelajaran, setiap pelaku

pembelajaran IPS harus mampu meng-optimalkan perasaan dan harapan

pebelajar dalam mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikirnya. Hal

ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena salah satu fungsi

strategis yang diemban oleh sekolah sebagai sebuah institusi formal adalah

mempersiapkan generasi muda untuk mampu hidup dan bekerja dalam segala

bidang kehidupan. Sehingga, urikulum yang efektif adalah bilaman mampu

melahirkan pebelajar yang bijaksana dalam segala dimensinya.

Jika kita menengok kebelakang, khususnya menyangkut pengorgani-

sasian kurikulum IPS, setelah perang dunia II pola pengem-bangan kurikulum

masih didominasi oleh paham pengorganisasian materi yang baku dan materi

pelajaran yang terlalu banyak sehingga secara psikologis, sangat membebani

pebelajar. Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara

sendiri oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan

merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya.

Melalui model pembelajaran ini kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas

pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar

lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model

pembelajaran, pembelajar hendaknya memper-hatikan kematangan psikologis

pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri. Secara

umum, pebelajar khususnya yang berada pada jenjang sekolah dasar dan

SLTP, suka pada seni dan menggambar untuk mengeksperikan perasaan dan

ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi tempat yang menarik dan

menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar dengan lebih baik pada

suasana/lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu pengem-bangan iklim

sekolah dan kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas pebelajar

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dalam berpikir.Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar

untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan.

Penemuan teknologi baru dalam bidang informasi merupakan sesuatu

yang menguntungkan dalam pembelajaran IPS. Karena pembelajar dan

pebelajar akan dapat secara bersama-sama meng-gunakan media tersebut

secara maksimal bagi keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Forbes

(1984), mengaitkan kemajuan teknologi dengan pendidikan berpikir dalam

dimensi persekolahan. Bagaimana pembelajar mempersiapkan para pebelajar

untuk menghadapi perkembangan teknologi di masa mendatang. Ia berpen-

dapat bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat

mengembangkan produktivitas pebelajar dalam menggunakan teknologi.

Forbes (1984), mengemukakan tiga katagori kemampuan berpikir, yaitu:

(1) content thinking skills, (2) reasoning skills, dan (3) learning to learn skills.

Aplikasi pendekatan pendidikan berpikir dalam IPS dipandang tepat dan

strategis dalam meningkatkan kualitas dan profesionalisme pebelajar dalam

mengantisipasi kecendrungan masyarakat global.

Arus perubahan dan dinamisasi dalam hampir semua aspek kehidupan,

menuntut kalangan praktisi pendidikan untuk menggalakkan pendidikan berpikir

dalam pembelajaran IPS. Hal ini akan terus mendapat perhatian, karena

persoalannya berkaitan dengan proses belajar yang bagaimanakah yang

mengandung kegiatan atau latihan berpikir itu. Sebab tidak semua kegiatan

pembelajaran selalu ada kegiatan yang mengandung secara khusus proses

berpikir, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan pembelajaran

selalu mengandung latihan berpikir.

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir, kalangan pembelajar dapat

menggunakan kemajuan teknologi, seperti penggunaan komputer, jaringan

telekomunisi terpadu. Dengan fasilitasi ini, pebelajar akan dapat mengasah dan

meningkatkan kemahiran dan kelincahan intelektualnya selama proses

pembelajaran berlangsung. Namun yang perlu disadari oleh kalangan

pengembang kurikulum maupun praktisi pendidikan, bahwa pendidikan itu harus

tetap diadministrasikan dengan bersendikan pilar-pilar budaya dan nilai-nilai

kultural yang ada dan berkembang di masyarakat.

Kondisi kultural masyarakat mutlak diperhatikan, jika tidak mau

menghasilkan apa yang disebut dengan “kultur bisu” atau culture of silence. Hal

ini penting, karena mengingat derasnya arus informasi sebagai dampak

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

kemajuan teknologi yang diterima pebelajar yang berbentuk komunikasi searah,

yang pada gilirannya akan mematikan kreativitas pebelajar di semua jenjang

sekolah. Kondisi ini didukung pula oleh realita bahwa sistem persekolahan yang

dikembangkan oleh kalangan politisi dan praktisi belum banyak mengem-

bangkan nilai-nilai dasar humanistis. Untuk itu, pembelajar selayaknya tidak

hanya berperan sebagai “transmiter of knowledge”, tetapi harus menjadi

transfere and transformer of knowledge and values” (Freire, 1990).

Urgennya pengembangan nilai kultural dalam pembelajaran IPS,

dikemukakan oleh Metcalf (1979), bahwa values analysis yang merupakan

pendekatan dalam pendidikan moral dapat diaplikasikan dalam pembelajaran

IPS, bahkan sejalan dan menunjang pengembangan kemampuan berpikir

pebelajar. Jika pebelajar telah terampil dan kreatif dalam berpikir, maka disinyalir

akan mampu memainkan peran secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara (good citizen).

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik konsepsi, bahwa kemajuan

teknologi bukan semata-mata menjadikan pembelajar lebih mudah dalam

melakukan pembelajaran, hal itu juga merupakan tantangan kalangan pendidik

untuk memacu diri untuk mampu mengoperasionalkan kemajuan teknologi bagi

perkembangan dan keberhasilan belajar pebelajar.

Kalangan pembelajar dituntut untuk peka dan antisipatif terhadap

perkembangan yeknologi, mengingat socisl studies merupakan disiplin ilmu yang

merasuk dalam setiap hati nurani masyarakat, dimana prinsip-prinsipnya

merupakan keseharian dari masyarakat itu sendiri. Kalangan pakar pendidikan

telah banyak melakukan kajian untuk mengembangkan berbagai model

pembelajaran yang sesuai dengan latar budaya dan dinamisasi sosial-

kemasyarakatan. Pada dasa warsa terakhir, upaya kearah itu telah banyak

diorientasikan bagi pengembangan kemampuan berpikir pebelajar, demikian

pula dalam aplikasi pemahaman culture heritages, telah menjadi sasaran dan

arahan penemuan dan pengembangan model pembelajaran IPS.

Barry K. Beyer (1971) menyatakan bahwa, pemberian kesempatan yang

leluasa kepada pebelajar untuk menjelajahi alam sekitar dan di luarnya dapat

menumbuhkan sikap dan keterampilan inquiri di kalangan pebelajar itu sendiri.

Atas dasar itu, ia yakin bahwa aplikasi inquiri dalam IPS dapat mengembangkan

kemampuan berpikir, oleh karenannya materi pembelajarannya dikaitkan

dengan masalah dan phenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pebelajar. Pendekatan metodologis yang diprasyaratkan dalam peningkatan

keterampilan berpikir kritis di kalangan pebelajar dalam pembelajaran IPS,

mengkondisikan pebelajar untuk bagaimana berpikir untuk memikirkan sesuatu.

Dengan demikian analoginya adalah by think and how to think, hendaknya

berpikir menjadi inti dari belajar, artinya hindari belajar tanpa berpikir.

Inquiri sebagai salah satu metode ilmiah, diyakini dapat meningkatkan

kemampuan berpikir ke arah yang lebih tinggi di kalangan pebelajar,

dikarenakan memiliki tahapan berpikir yang biasa digunakan kalangan ilmuwan

dan peneliti dalam menemukan dan memecahkan masalah-masalah sosial

kemasyarakatan.

Kecendrungan global dunia, melahirkan kecendrungan umum pula di

kalangan praktisi pembelajaran IPS, mereka terpolarisasi untuk mengoptimalkan

beberapa metode pembelajaran yang secara ilmiah sangat signifikan untuk

meningkatkan kualitas proses dan hasil dari pembelajarannya, seperti: (1)

metode inquiri, (2) metode konstruktivis, (3) metode cooperative learning, (4)

metode jurisprudensi sosial, dan (5) metode problem solving. Berkait dengan

pembaharuan dalam pembelajaran IPS, Joice and Weil (1986) mengemi\ukakan

beberapa model belajar, yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok,

yaitu: (1) kelompok pengelolaan informasi, (2) kelompok personal, (3) kelompok

sosial, dan (4) kelompok sistem perilaku. Jika kecendrungan ini terus berlanjut,

disinyalir mutu pendidikan IPS bisa establis. Inilah yang oleh banyak kalangan

diistilahkan sebagai “revolusi IPS melalui berpikir”.

Isu sentral lainnya yang berkembang dalam pembelajaran IPS, terkait

dengan kehidupan masyarakat global, adalah pembudayaan belajar di kalangan

pebelajar. Pembudayaan belajar berkaitan dengan merekonstruksi lingkungan

dan iklim belajar secara produktif yang memberikan peluang pebelajar untuk

mengembangkan pengetahuan, nilai, moral, sikap, dan perilakunya secara

maksimal, sehingga menimbulkan empati diantara sesamanya dalam tataran

masyarakat yang multietnis dan multikultural.

Pembudayaan belajar dalam pembelajaran IPS, harus dimulai dengan

membiasakan pebelajar mendapat tantangan dalam belajarnya, sehingga

mereka terkondisi berpikir lebih untuk mencari formulasi pemecahan berbagai

permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian, materi pelajaran hendaknya

diorganisasikan dengan mengangkat isu-isu sentral dan aktual yang

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

berkembang di masyarakat, seperti isu budaya, kesejahteraan, lingkungan,

HAM, dan kejadian-kejadian dunia yang monumental.

Pembudayaan belajar merupakan salah satu sasaran pemharuan dalam

pembelajaran IPS. Konsep ini diakaitkan dengan premis bahwa pengembangan

potensi individu pebelajar secara utuh, khususnya berkait dengan keterampilan

berpikir bukan semata-mata metodologi pembelajaran atau kemahiran

pembelajar dalam menguasai bahan ajar, melainkan banyak ditentukan oleh

berkembang-nya budaya belajar di kalangan pebelajar.

Berpikir dan penghayatan terhadap nilai merupakan inti dari belajar.

Asumsi ini menunjukkan bahwa proses ini perlu dibudayakan, sehingga menjadi

bagian dari perilaku sosial pebelajar di tengah-tengah arus globalisasi yang

bergerak dengan cepat. Penataan ini hanya akan dapat dilakukan melalui

pemberian perhatian secara optimal kepada kepentingan peserta didik dengan

tetap mempertim-bangkan latar sosial budayanya, sehingga pemilihan

pendekatan metodologis dalam pembelajaran mendapatkan dukungan positif

dari perspektif pebelajar, sehingga menjadi awal tumbuh dan berkembangnya

budaya belajar itu sendiri.

5. Komunikasi dalam Pembelajaran IPS

Buku teks merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan

pembelajaran IPS. Namun beberapa pembelajar yang berpikiran maju

menggunakan literatur (koran, majalah, dan berita TV) sebagai basis dalam

membelajarkan IPS. Penggunaan berbagai media dan sumber pembelajaran

sangat esensial dalam membelajarkan IPS, karena semakin komprehensif

media dan sumber belajar, pebelajar akan memiliki kesempatan yang luas untuk

mengkomunikasikan ide, keinginan, dan pemikirannya. Salah satu prasyarat

yang harus dipenuhi oleh pembelajar dalam memilih media dan sumber belajar

bagi pebelajar, adalah karakteristik potensi pebelajar dan bahan ajar yang akan

dibelajarkan.

Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar IPS untuk

mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran IPS. Diantara banyak

metode tersebut, bermain peran merupakan salah satu metode yang sangat baik

untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi, disamping

metode bercerita, dan bermain musik, termasuk mendenagrkan musik dari etnik

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

yang berbeda, sehingga dapat meningkatkan pemahaman budaya mereka

tentang konsep multietnik.

Rasional dan tujuan pemilihan dan penggunaan medi dan sumber belajar

di atas, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengek-sploitasi berbagai strategi

dalam berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan

berkomunikasi pebelajar. Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar

dalam membaca dan menulis, merupakan salah satu upaya peningkatan

keterampilan berkomunikasi pebelajar. Hal ini penting dilakukan, mengingat

perkembangan masyarakat global yang sangat dinamis, yang menuntut

kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, bernegosiasi, dan pengambilan

keputusan tentang suatu masalah secara akurat dan cepat. Keterampilan

berkomunikasi penting dikembangkan dan dilatihkan dalam pembelajaran IPS,

mengingat setiap manusia di muka bumi ini dihadapkan berbagai persoalan

yang multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermatan

dalam berkomunikasi.

Ada beberapa metode pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh

pembelajar untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi,

yaitu: (1) Metode diskusi kelompok, (2) metode tanya jawab dan resitasi, (3)

metode cooperative learning, (4) metode rekonstruktivisma sosial, (5) metode

LRE, dan (6) metode sosiodrama. Semua metode tersebut, mengacu pada

kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam mengekspresikan ide, dan

kemampuannya dalam pembelajaran.

Kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu proses instruksional

yang terencana dan bertujuan. Interaksi aktif pebelajar dan pembelajar dalam

konteks paedagogikal membutuhkan piranti pendukung yang memadai untuk

mengaktualisasikan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mengukur keberhasilan

belajar pebelajar, pendekat-an lama (old approachs) menekankan pada

penggunaan tes sebagai instrumen utama. Hal ini banyak dikritik oleh kalangan

pakar dan praktisi pendidikan, karena mendatangkan berbagai konsekuensi

negatif bagi pebelajar itu sendiri.

Pada saat pebelajar datang ke sekolah, dia mengemban misi yang

teramat berat, yaitu untuk meraih kesuksesan dalam belajarnya. Orang tua,

media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan pada penggunaan

label (angka) untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar pebelajar. Hal ini

sangat merugikan pebelajar secara akademis dan psikologis. Kondisi ini

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

diperburuk lagi oleh kebiasaan dan asumsi yang digunakan pembelajar dalam

melakukan pengukuran terhadap keberhasilan pebelajar, yaitu dengan

menggunakan tes, yang didalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang hanya

menekankan pada pengukuran keterampilan kognisi pebelajar.

Tes yang dikembangkan oleh pembelajar, cendrung hanya mengukur

aspek kognitif pebelajar dengan mengesampingkan aspek penting lainnya yaitu

aspek afeksi dan psikomotorik. Secara paedagogis, pola pengevaluasian seperti

di atas, tidak familiar bagi pebelajar secara pribadi. Untuk itu, menjelang

memasuki abad ke 21, kalangan pendidik, khsusnya dalam pembelajaran IPS,

mulai dikembangkan penggunaan assessmen alternatif untuk mengevaluasi

keberhasilan belajar pebelajar. Adapun jenis assessmen yang sering digunakan,

seperti: (1) portfolio, (2) anekdot record, (3) catatan harian pebelajar, (4) lembar

observasi, (5) buku laporan pebelajar, (6) skala sikap, dan jenis assesmen

lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pembelajar.

Melalui assessmen, pembelajar dapat menilai potensi diri dan tingkat

keberhasilan belajar pebelajar, bukan semata-mata berdasarkan hasil tes di

setiap akhir semester, namun berdasarkan perkembangan belajar pebelajar

dalam setiap pembelajaran. Artinya, penilaian itu, bukan ditekankan pada hasil

semata-mata, melainkan lebih diutamakan pada penilaian proses dari

pembelajaran itu sendiri.

Penggunaan assessmen mendatangkan beberapa keuntungan di fihak

pebelajar sebagai sentral pembelajaran, diantaranya: (1) mengurangi rasa

cemas, (2) bersifat humanistis, (3) dapat menilai secara komprehensif, dan (4)

meningkatkan partisipasi pebelajar selama pembelajaran berlangsung. Inilah

fhenomena baru dalam pembelajaran IPS yang telah dikembangkan secara

struktural di berbagai jenjang pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah dasar

dan sekolah menengah.

Kemandirian pebelajar merupakan salah satu kunci dari kemampuan

bertahan dalam tataran masyarakat global. Perkembangan ilmu dan teknologi

telah menghadirkan persaingan yang tajam dikalangan berbagai komponen

kehidupan di muka bumi. Menyikapi hal itu, pembelajaran IPS juga dituntut untuk

melakukan berbagai upaya kearah perbaikan yang signifikan dan bermuara

pada peningkatan kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam menyikapi

tataran masyarakat global.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pembelajar sebagai instrumen dan manager pembelajaran dituntut peka

dan antisipatif terhadap perkembangan masyarakat, sehingga pembelajaran

yang dilakukannya bisa mewakili realitas sosial yang berkembang di

masyarakat. Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), sejarah dapat membantu

pebelajar memahami masa lalu, kehidupan saat ini, dan merencanakan serta

menyiapkan diri dalam menyambut masa depan yang penuh tantangan. Untuk

itu, mereka berpendapat, bahwa pembelajar harus mampu mengkondisikan

pebelajar untuk melakukan refleksi terhadap sejarah masyarakat yang

merupakan kekayaan ilmu dan pengetahuan yang tidak ternilai.

Aplikasi model inquiri dapat membantu pembelajar dalam mengembang-

kan potensi diri pebelajar secara optimal, melalui pengangkatan kasus-kasus

atau isu-su aktual yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dengan

demikian, pebelajar akan tertan-tang untuk menggunakan segenap kemampuan

dan keterampilannya untuk mencari dan merumuskan solusi terhadap masalah

tersebut. Satu hal yang harus diingat pembelajar, bahwa globalisasi senantiasa

menghadirkan keberbedaan yang signifikan, sehingga akan membentuk

komunitas multidemsional dan multikultural. Disinilah kemahiran pembelajar

dalam memilih dan menggunakan model serta strategi pembelajaran

dipertaruhkan. Storytelling merupakan salah satu strategi pembelajaran yang

memungkinkan pebelajar untuk memahami orang lain, serta menyadari bahwa

setiap manusia terikat oleh kultur budayanya masing-masing.

Jika pebelajar telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang

keragaman budaya, nilai, kebiasaan, serta adat istiadat dari berbagai

masyarakat yang hidup di muka bumi ini, maka secara tidak langsung

keseimbangan dunia akan terwujud. Perbedaan yang ada di masyarakat

bukannya sumbu untuk menyulut pertentangan dan permusuhan diantara

sesama umat manusia, namun hendaknya dijadikan sebagai instrumen penting

untuk menjalin kerjasama dan persahabatan yang setara dan demokratis.

Masyarakat dengan segala pirantinya merupakan dimensi

phenomenologis yang menarik untuk dibedah oleh pembelajar dan pebelajar

secara bersama-sama untuk memantapkan pemahaman mereka tentang

masyarakat dunia. Pemberian kesempatan berdialog dan memainkan peran

tertentu dalam sosiodrama, merupakan satu diantara sejumlah metode

pembelajaran yang dapat mengembangkan ketertanggapan sosial dan rasa

keadilan di kalangan pebelajar.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Pemahaman terhadap geografi akan membantu pebelajar dalam

menyikapi perbedaan-perbedaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,

termasuk keterampilan-keterampilan dalam menjalin kerjasama dengan orang

lain di lain daerah atau benua secara demokratis, sehingga sangat penting

menggunakan globa dan peta untuk membantu pebelajar mengerti tentang

belahan dunia lain, selain dimana mereka hidup dalam kesehariannya.

Pengembangan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep

keadilan di kalangan pebelajar secara utuh merupakan salah satu kewajiban

moral yang mesti diterjadikan oleh pembelajar. Konsepsi keadilan merupakan

sesuatu yang abstrak bagi pebelajar yang masih duduk di sekolah dasar dan

sekolah menengah, untuk itu pebelajar harus mampu mengaktualisasikan dalam

format pembelajaran yang riil melalui pemberian contoh perilaku serta peristiwa

yang dapat mengcover konsep keadilan. Ini penting dilakukan, mengingat

mereka adalah calon-calon warga masyarakat yang potensial, yang akan

menentukan arah dan kualitas kehidupan bangsa di kemudian hari. It is not

important for social studies educators to meet the educational needs of special

learners in their classroom, it is also importan to adderss issues of handicapism

and justice of welfare in our society (Rogan, 1987).

Dasar pemikiran dari konsepsi di atas, terletak pada pentingnya keadilan

bagi masyarakat secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam

segala aspek kehidupan. Democratic elementary and middle school classrooms

offer youngsters the challenge of translating the often repeated ideal “liberty and

justice for all” dalam segala sikap dan perilaku pebelajara sehari-hari (Stopsky

dan Sharon Lee, 1994). Berdasarkan pemikiran inovatif tersebut, dapat

ditangkap pesan yang disampaikan merupakan embrio inovasi dalam

pembelajaran IPS, karena sebelumnya tidak banyak mendapat penekanan oleh

kalangan perencana dan praktisi pendidikan, khsusnya pada jenjang sekolah

dasar dan menengah.

F. Daftar Pustaka

Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.

Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah).

Singaraja: STKIP Singaraja.

Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.

Hamid Darmadi (2000). Cooperative Learning: New Approach in Social Studies

Teaching Pasca Sarjana UPI Bandung, STKIP PGRI Pontianak

Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but

Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.

Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.

Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical

Psichology. USA, England: University of Michigan Press.

Marsh, Colin (1991). Teaching Sosial Studies: Second Edition. New York, Tokyo,

London, Sydney: Prentice Hall

Meyers, Chet (1986). Teaching Students to Think Critically. San Francisco: Jossey

Bass Inc.

Schunke (1988). Knowing, Doing, and Caring. Ney York: Prentice Hall.

Welton and Mallan, (1996). Children and Their World: Strategies for teaching social

studies (fifth edition). Geneva, Illionis, Palo Alto, Princeton, New Jersey:

Hougthon Mifflin Company.

Rabu, 06 April 2011

TUJUAN DAN SUMBER PEMBELAJARAN ILMU SOSIAL

Deskripsi Materi Pembelajaran

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

1. Tujuan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial

Dewasa ini timbul tuntutan profesional yang mengemukakan pentingnya

tanggung jawab profesional dan relevansi pendidikan. Artinya, apa yang

dibelajarkan dan dipelajari harus berguna bagi individu, masyarakat, dan negara.

Pendidikan dan sistem pendidikan dipandang bertanggung jawab atas

kegagalan atau keberhasilan kegiatan pendidikan.

Dalam pendekatan sistem kebutuhanm tujuan intruksional, merupakan

pertimbangan untuk pemilihan bahan pembelajaran. Penilaian tentang jenis dan

tingkat kebutuhan dilakukan oleh perendana program pendidikan pada tingkat

nasional atau yayasan. Pembelajar bertugas menjabarkan kebutuhan tersebut

pada tingkat kelas. Ada lima tipe kebutuhan yang perlu diperhitungkan oleh

pembelajar, yaitu (i) kebutuhan normatif, (ii) keinginan, (iii) tuntutan, (iv)

kebutuhann perbandingan, dan 9v) kebutuhan pada masa yang akan datang.

Secara paedagogis pembelajar perlu menawarkan kelima tipe kebutuhan pada

masa yang akan datang. Secara pendagogis pembelajar perlu menawarkan

kelima tipe kebutuhan tersebut kepada pebelajar, sebab pada umumya

pebelajar belum menyadari adanya kebutuhan tersebut.

Perencanaan pendidikan atau ahli kurikulum bertanggung jawab

meramu bahan pembelajaran sesau kebutuhan masyarakat dan negaranya. Bila

kebutuhan telah diidentifikasi, diperiksa, dan kemudian urutan prioritas

ditentukan, maka kebutuhan tersebut dijabarkan menjadi tujuan intruksional

dalam arti aim, goal, dan objective. Menurut Tobert F. Maager tujuan dalam arti

objective atay behavioral objective (tujuan berupa perilaku) melukiskan keadaan

pada si pebelajar. Secara umum tujuan pembelajaran ilmu-ilmu sosial, khsusnya

dalam arti social studies atau IPS, adalah meliputi tiga segi pendidikan seperti

humanistic education, socio-civic education, dan intllectuall education

(pendidikan kemanusiaan, kemasyarakatan-kenegaraan, dan pendidikan

intelektual).

Jabaran tujuan umum pembelajaran tersebut berbeda-beda menurut

berbagai ahli yang meneliti tujuan pembelajaran. Pada umunya di Amerika

Serikat ada tiga cara pengklasifikasi pendidikan intelektual yang dgunakan yaitu

(a) cara Benjamin Bloom dkk, (b) cara J.P. Guilford, dan (c) cara Hilda Taba.

Bloom dkk, membedakan enam katagori kongnitif, yaitu (i) pengetahuan, (ii)

komprehensi, (iii) aplikasi, (iv) analisis, (v0 sistesis, dan (vi) evaluasi. Dalam teori

operasi mental Guilford mengemukakan lima keterampilan dasar berupa (i)

kognisi--sebanding dengan kesesuaian fakta dan idea, (ii) ingatan--sehubungan

dengan ingatan pada suatu informasi, (iii) berfikir konvergensi—menyatakan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

norma perilaku, (iv) berfikir divergensi—menunjukan ada kreativitas dan

kecakapan memcahkan masalah, dan (v) evaluasi—seperti maksud Bloom.

Hilda Taba mengemukakan pengkategorian yang disebut tugas kognitif

(cognitive tasks). Tugas kognitiv tersebut adalah (i) pembentukan konsep.

Konsep terbentuk apabila pebelajar (a) menghitung unsur, (b) menemukan

dasar untuk mengelempokan unsur, (c) mengidentifiasi ciri-ciri umum unsur

dalam kelompok, (d) memberi nama kelompok, dan (v) memasukkan unsur-

unsur yagn terhirung dalam nama-nama kelompok tersebut. (ii) Tugas kognitiv

kedua adalah terdiri dari interprestasi, mengemukakan pendapat, danmenarik

generalisasi. (iii) tugas kognitiv ketiga adalah menggunakan fakta dan prinsip

untuk menerangkan fenomena yang tidak nma atau memprediksikan akibt

adanya kondisi yang telah diketahui.

Pengkategorian tingkat berfikir ketiga ahli tersebut bergerak dari tingkat

berfikir sederhana menuju ke yang kompleks. Tentang pendidikan moral pada

pembelajaran IPS juga banyak penelitian. Model-model pendidikan moral yang

terkenal di Amerika Serikat adalah model Asosiasi Filsafat Columbia, model

Rauf, model Hunt dan Metcalf, model Hilda Taba, model Oliver dkk, model

Rathdkk, model Kohlberg.

Pada umunya ahli-ahli pendidikan moral pendapat bahwa tujuan umum

pembelajaran IPS adalah membantu pebelajar utnuk mengembangkan

keterampilan keputusan rasional sehingga ia dapa memecahkan persoalan

pribadi dan ikut berpartisipasi sosial. Agar seseorang dapat mengambil

keputusan rasional sehingga ia dapat memcahkan persoalan pribadi dan ikut

berpartisipasi sosial. Agar seseorang dapat mengambil keputusan rasional maka

ia harus mampu mengenal dan mengklarifiksi nilai-nilaisehingga ia dapat

mengatasi konflik nilai secara bijaksana.

Pada umumnya berbagai model pendidikan moral tersebut berupaya agar

pebelajar dapat mengenal nilai yang berlaku, kemudian menemukan,

menganalisis dan menempatkan nilai pilihannya dalam suatu hierarkhie, dan

akhirnya mengembangkan nilai-nilai baru. Tentang keterampilan sosial pada

pembelajaran IPS, Fraenkel mengkategorikan sebagai keterampilan-

keterampilan untuk (i) membuat rencana dengan orang lain, (ii) partisipasi dalam

usaha meneliti sesuatu, (iii) partisipasi prifuktif dalam diskusi kelompok, (iv)

menjawab secara nopan pertanyaan orang lain, (v) memimpin diskusi kelompok,

(vi) bertindak sear bertanggung jawab, dan (vii) menolong orang lain. Tujuan

pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang berdimensi (i) pendidikan kemanusiaan, (ii)

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pendidikan socio-civic, dan (iii) pendidikan intelektual tersebut merupakan inti

pendidikan di sekolah.

Ketiga dimensi tujuan tidak terlepas dari materi ilmu-ilmu sosial yang

berupa peristiwa sosial dan gejala rohani. Materi ilmu-ilmu sosial yang berpa

realita sosial tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang hanya terungkap

sebagai matarealita sosial. dimensi-dimensi kemanusiaan dan socio-civic

merupakan kekhususan materi ilmu-ilmu sosial, sedangkan dimensi intelektual

ditemukan pada pembelajaran ilmu-ilmu yang lain.

Dalam dimensi intelektual tersebut, mengingat dilemma ilu-ilmu sosial di

Indonesia, maka tujuan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di semua jenjang sekolah

perlu memprioritaskan didikan nilai prasyarat terbentuknya ilmu pengetahuan.

Nilai-nilai dasar tersebut adalah (a) nilai dasar penelitian, seperti keingin tahuan

ilmiah, objektivitas, kreativitas, kejujuran, (b) nilai pendukung keberhasilan

penelitian seperti kebebasan, ketekunan, keluwesan, tilikan, dan (c) nilai sistem

sosial keilmuan, seperti pertimbangan objektif, tanggungjawab keilmuan,

dedikasi keilmuan, dan komunalitas keilmuan. Nilai-nilai dasar tersebut diats

merupan aim atau tujuan umum pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Tujuan umum

tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi objective oleh pembelajar.

Para ahli pendidikan dewasa ini menyarankan agar pembelajar menyusun

rumusan tujuan instruksional khusus, rumusan tujuan perilaku (behavioral

objective) untuk mempermudah tindak mengajar. Tentang rumusan tujuan

perilaku berkenaan dengan materi ilmu-ilmu sosial mengundang diskusi para

ahli pendidikan.

2. Transaksional Resources Ilmu-ilmu sosial

Ilmu-ilmu sosial berkembang seiring dengan kegiatan penelitian ilmuwan

sosial. Oleh karena itu bahan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan

diberbagai bagian muka bumi dan negara makin bertambah. Makin

bertambahnya bahan pengetahan tentang masyarakat dan kebudayaan akan

mempermudah penyususnan bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-

sekolah. Artinya, jika bahan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan

Indonesia banyak misalnya, maka penyususnan bahan pengajajaran tentang

Indonesia semakin mudah. Sebaliknya, jika bahan pengetahuan Indonesia

tersebut sedikit misalnya, maka penyusunan bahan pengetahuan tentang

Indonesia akan mengalami kesukararan. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial

terpengaruh oleh kondisi ilmu-ilmu sosial. penentuan bahan pengetahuan pada

kurikulum ilmu-ilmu sosial IPS terpengaruh oleh kekayaan unsur-unsur

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pengetahuan pada cabang-cabang IS seperti sejarah, geografi, ekonomi, politik

dalam acuan ciri, sosiologi, dan antropologi.

Tersedianya unsur-unsur keilmuan sejarah, geografi, ekonomi, politik

dalam arti Civics, sisiologi, dan antropologi negara tertentu memudahkan

penyusunan kurikulum IPS pada jenjang SD, SLTP, dan SLA. Unsur-usur

keilmuan IS yang menjadi bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial tersebut adalh

fakta, konsep, generalisasi, dan teori-teori. Di samping unsur yang terstruktur

secara statis sebagai bangunan IS tersebut, terdapat juga alat ilmu seperti

metode penelitian ilmiah, hipotesis, teknik uji kebenaran ilmiah, model-model

ilmiah. Alat-alat keilmuan seperti metode penelitian tersebut merupakan segi

dinamis keilmuan. Keseluruhan unsur keilmuan tersebut dijadikan bahan

pengetahuan IS yang dibelajarkan oleh pembelajar atau yang dipelajari oleh

pebelajar.

Penyususnan unsur keilmuan IS menjadi perogram pembelajaran

pebelajar. Penyususnan unsur keilmuan IS menjadi program pembelajaran IS

terkait pada tipe-tipe kurikulum baik yang mono disiplin, atau inter disiplin.

Sebagai ilustrasi akan dikemukakan contoh-contoh konsep, generalisasi, teori,

yang lazim dibelajarkan. Contoh-contoh tersebut diadaptasi dari karya James A.

Banks dan Pearl M.Oliner. Bangunan ilmu sosial merupakan jaringan hubungan

antara fakta, konsep, generalisasi, dan teori.

Secara struktural bubungan keempat unsur tersebut terlukis dalam teori

Durkhiem tentang bunuh diri. Secaera empiris teori Durkhiem tersebut

menerangkan perbandingan tingkat bunuh diri. Rangkain teori Durkheim

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Di dalam kelompok sosial, tingkat bunuh diri bermacam-macam secara

langsung berhubungan dengan tingkat individualisme.

2. Tingkat individualisme bermacam-macam berhubungan dengan insiden

Protestantisme.

3. Oleh karena itu, tingkat bunuh diri bermacam-macam sehubungan dengan

insiden Protestantisme.

4. Insiden Protestantisme di Spanyol rendah.

5. Oleh karena itu, tingkat bunuh diri di Spanyol rendah.

Cabang ilmu-ilmu sosial adalah ilmu empiris, artinya bertitik tolak dari

fakta. Tiap cabang ilmu sosial memperlajari fenomena sosial dengan perhatian

berbeda, dan karenanya memperoleh seperangkat konsep yang berbeda pula.

Konsep-konsep pada disiplin ilmu sosial tertentu yang umumnya dipelajari di

sekolah. Konsep tersebut merupakan konsep kunci pada cabang ilmu tertentu

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

yang bermanfaat bagi para pebelajar IPS jenjang sekolah dasar dan sekolah

lanjutan. Penyelenggaraan pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat dilaksanakan

berdasarkan kurikulum mono disiplin. Oleh karena itu terdapat juga konsep-

konsep cabang ilmu yang menjadi konsep IPS yang interdisiplin.

Hilda Taba yang menyusun IPS interdisiplin berhasil menghimpun

konsep ilmu sosial menjadi konsep IPS interdisiplin. Bahan pembelajaran ilmu-

ilmu sosial atau bahan pembelajaran IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu-

ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan, dan oleh karena itu sebagai ilmu otonom

berlaku arti sebagai aktifitas, sebagai metode, dan sebagai pengetahuan ilmiah.

Secara statis bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau dalam konsep

IPS terdiri dari unsur keilmuan yang statis dan dinamis. Bahan pembelajaran

ilmu-ilmu sosial di sekolah sudah tentu akan bermuatan unsur-unsur keilmuan.

Makin tinggi jenjang sekolah, maka jumlah konsep, generalisasi, teori dan

metode penelitian makin besar. Lebih dari itu, maka ilmu adalah suatu kegiatan

dengan metode ilmiah yang ingin mencapai misi ilmiah.

3. Sumber Pembelajaran Ilmu Sosial dan IPS

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan IPS dilaksanakan berdasrkan disain

pembelajaran yang mono-disiplin atau interdisiplin, serta berdasarkan

pendekatan mengajarnya. Studi historis tentang alat bantu pembelajaran dan

sumber pembelajaran menunjukan bahwa konsep tentang alat bantu mengajar

mengalami perkembangan, ada tiga periode pemikiran tentang alat bantu

mengajar atau yang pada tahun 1950-an sebagai media pembelajaran dan

sumber pembelajaran. Pemikiran tersebut berkaitan dengan kemajuan studi

kurikulum dan indursti alat pembelajaran.

Pemikiran tentang alat bantu mengajar tersebut secara garis besar

dibedakan dalam periode-periode berikut. (i) Sampai tahun 1700-an pemikiran

tentang alat peraga didominasi oeh wawasan filosofis. Joh Amos Comunius

(1592-1670) misalnya mendobrak dominasi dengan visual aid tectbook-nya. Hal

ini merintis perombakan pemikiran alat peraga. (ii) Periode 1700-1900 lahir

rintisan eksperimentasi psikologi dan teori belajar baru. Alat peraga mulai

dikaitkan dengan merode mengajar. (iii) Sejak tahun 1900 sampai sekarang

yang dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu atahun 1900-1950 dan sesudah

tahun 1950.

Sejak tahun 1900 perhatian pada alat peraga semakin tinggi, danmuali

menjadi suatu spesialisasi baru. Penelitian tentang penggunaan radio, film,

televisi, dan alat peraga lain semakinsistematis. Ada dua jenis konsep tentang

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

alat peraga dan sumber pembelajaran. Pertama, konsep keilmuan alam tentang

teknologi pembelajaran yang memandang segala media pembelajaran sebagai

alat bantu mengajar. Asumsinya bahwa alat audiovisual dan mesin-mesin

merupakan media noveverbal yang berguna untuk menghidarkan verbalisme.

Konsep ini berpengaruh secara dominan tahun 1900-1950-an. Kedua, muncul

konseop ilmu perilaku (behavioral science) tentang teknologi pembelajaran.

Konsep ini berusaha menghilangkan pandangan dikhotomis tentang alat peraga

yang membedakan media pembelajaran verbal dan non-verbal.

Konsep keilmuan yang membedakan alat peraga verbal dan non-verbal

mengakibatkan penyebelahan mengajar. Konsep ilmu perilaku memandang

media pembelajaran, mesin-mesin, sumber pengetahuan, materi pembelajaran

sebagai bagian integral program pengarjan, yangakan mengubah perilaku

pebelajar. Praktek pembelajaran tergantung pada metode keilmuan yang

dikembangkan oleh ahli ilmu perilaku (behavioral science, sebagai fusi psikologi,

sosiologi, dan antropologi).

Hubungan antara ilmu perilaku dengan teknologi instruksional sejajar

dengan hubungan antara ilmu pengetahuan alam dengan teknologi engineering,

atau hubungan antara biologi dengan teknologi kedokteran. Konsep perilaku ini

berlaku sejak tahun 1950 sampai sekarang. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial

sudah tentu terpengaruh oleh perkembagan industri alat peraga dan konsep

media pembelajaran.

IPS progresiveme memandang media pengarjan sebgai bagian intergral

program pembelajaran IPS. Social science education juga memandang media

pembelajaran sebagai bagian integral program pembelajaran ilmu sosial. Aliran

ini menunjukan adanya simbol bahasa, simbol visual sebagai alat memperlajari

ilmu sosial. IPS gaya baru memandang media pembelajaran dan sumberp

pengetahuan yang ada di masyarakat sebagai bagian integral program

pembelajaran IPS.

Memposisikan media pembelajaran dan sumber pengetahuan di

masyarakt sebagai bagian integral program pembelajaran ilmu sosial. Untuk

lebih jelasnya, berikut akan diuraikan tentang hal itu yaitu:

1. memposisikan ilmu pengetahuan sebagi seistem pengetahuan terbuka. Artinya

pengetahuan yang terdapat dalam buku teks dan realitas sosial di masyarakat

merupakan suatu komprehensivitas. Dengan kata lain, buku pengetahuan baru

merupakan sebagian dari pengetahuan. Si pebelajar, atau pembaca buku

pengetahuan masih harus menerapkan keterampilan metodis mengungkap

masyarakat menjadi pengetahuan.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

2. memposisikan pebelajar sebgai seorang pribadi aktif pencari ilmu

pengetahuan. Kedudukan pebelajar sebagai pencari aktif ilmu pengetahuan

mnyederajatkan pembelajar sebagai peneliti ilmu pengetahuan. Hal ini berakibat

mengubah pola interaksi pembelajar-pebelajar pengetahuan.

3. memposisikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan,

disamping benda-benda budaya dan perilaku sosial. Ilmu sosial dipandang

sebagai salah satu unsur kebudayaan, di samping sistem berfikir logis,

menganut orientasi nilai keilmuan, dan berbeda dengan orientasi nilai yang lain.

Instrumen pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau media pembelajaran dan

sumber-sumber ilmu sosial merupakan unsur keilmuan cabang-cabang ilmu

sosial. alat bantu dapat berupa alat peraga dan simbol-simbol, baik simbol

verbal, simbol visual, simbol nilai.

Nilai keilmuan alat bantu pembelajaran tersebut secara katagoris benda-

benda sesaui dengan kendudukan dalam perangkat hubungan antara fakta

konsep generalisasi dan teori secara ilmiah. Secara fungasional berarti bahwa

seriap alat peraga memiliki keguanaan khusus pada acuan sudut pandang

disiplin ilmu sosial tertentu.

Sebagai ilustrasi, globe sebagai model ilmiah berfungsi sebagai media

ke ruangan tentan palet di dunia, dan penunjuk lokasi di bumi. Dokumen

misalnya, merupakan media rekonstruksi tidak sejarah. Tabel jumlah penduduk

misalnya, emrupakan media yang melukiskan kondisi tenga kerja dalam acuan

tindakan ekonomis. Gambar atau bagan interaksi sosial misalnya, melukiskan

interaksi antar individu dan antar kelompok, yang memungkinkan prediksi tidak-

tindak sosial mapun politis dalam masyarakat.

Benda-benda budaya bukan hanya melukiskan tingkat keterampilan

seseorang pendukung kebudayaan suatu zaman, tetapi juga dapat melukiskan

tngkat pengetahuan suatu bangsa di tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa

lain. Media pembelajaran dan sumber pengetahuan ilmu-ilmu sosial dalam

rangka pembelajaran keilmuan dapat dibedakan fungsinya menjadi beberapa

kategori sebagai berikut.

1. benda asli merpakan peraga kongkrit sebagai media rekonstruksi sosial dan

historis, dan dasar pembentukan konsep keilmuan. Pada giliran selanjutnya

dapat digunakan sebagai konstruk generalisasi dan renstruksi sistem sosial dan

sistem nilai. Benda tiruan memiliki fungsi serupa dengan benda asli.

2. model ilmiah seperti tiruan perbesaran atau pengecilan benda seperti globe,

merpakan saran berfikir keilmuan yang melukiskan hubungan fakta, konsep,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

generalisasi danteori ilmiah. Dengan model-model ilmiah tersebut ilmuwan ada

menyesun teori atau merevisi teori.

3. buku ilmu pengetahuan, buku pelajran, laporan hasil penelitian dan jurnal ilmu-

ilmu sosial merupakan sumber ilmu-ilmu sosial yang sangat penting bagi jenjang

sekolah yang relevan. Karya tulis ilmiah ilmu sosial tersebut dapat dikategorikan

sebagai sumber primer, skunder atau tertier. Pada karya tulis tersebut dapat

ditemukan artikel ilmu sosial dalam surat kabar dan majalah semi ilmiah dan

majalah umum. Karya tulis jenis ini merupakan sumber kuartir yang berguna

untuk pengayaan bahan pembelajaran. Berbeda dengan buku sumber primer

dan sekundair, maka sumber ini perlu diterima secara kritis.

4. Masyarakat dan kebudayaan sebagai sumber pengetahuan ilmu-ilmu sosial.

masyarakat dan kebudayaan adalah realitas sosial yang dapat dijadikan lahan

penelitian ilmu-ilmu sosial. sebagai realitas sosial merupakan penyedia fakta

keilmuan, dan sekaligus wilayah uji teori keilmuan.

4. Bagaimana Bahan Pembelajaran itu Dibelajarkan

Membelajarkan bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial merupakan

pilihan metode mengajar. Bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial adalah fakta,

konsep, generalisasi, teori tentang peristiwa sosial dan gejala rokhani warga

masyarakat. Singkatnya bahan pembelajaran ilmu sosial berisi unsur keilmuan

dannilai kemanusiaan.

Unsur-unsur keilmuan dapat dipelajari secar efektif dengan

internalisasi dan latihan perilaku. Pilihan metodologis shubungan dengan bahan

kognitif dan afektif tersebut merupakan pilihan yang musykil. Secara teortis

hubungan pembelajar dan pebelajar merupakan akibat lanjut dari pilihan

pendekatan pembelajaran.

Pada pembelajaran ilmu-ilmu sosial diharapkan untuk memilih

pendekatan-pendekatan yang menaktifkan pebelajar berperilaku, belajar

mandiri, berkesepatan menginternalisasi nilai kemanusiaan. Pendekatan

laboratorie, discovery, inkuiri, fenomenologis, dan humanistis disarankan untuk

digunakan. Dengan menggunakan kelima pendekatan tersebut maka pebelajar

berkemunkinan untuk ber-ajar unsur keilmuan baik berupa nilai kemanusiaan.

Suatu prayarat yang harus dipenuhi oleh pebelajar agar dapat ber-ajar

aktip pada pembelajaran ilmu sosial adalah (i) pebelajar sudah mampu

membaca dalam hati, (ii) mampu bekerja mandiri, (ii) mampu bekerja sama

dengan orang lain secara minimal, (iv) secara sederhana mampu menggunakan

simbol-simbol verba, grafis, model ilmiah, dan simbol nilai. Sudah barang tentu

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

kemampuan pebelajar tersebut akan meningkat apabila pembelajar bersikap

terbuka dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

5. Konsep Evaluasi dalam Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial

Evaluasi merupakan bagian integral dari progrm pembelajaran. Norman

Gronlund menyatakan bahwa evaluasi pembelajaran berperan penting pada

proses mengajar-belajar di kelas, dan juga bermanfaat pada program pengjaran,

pengembangan kurikulum, program kecakapan, pemberian nilai dan raport,

bimbingan dan penyuluhan, administrasi pendidikan dan program penelitian

sekolah. Evaluasi sebagai kegiatan telah deteliti oleh berbagai ahli.

Secara sistemik evaluasi merupakan bagian integral pembe-lajaran.

Ada bermacam-macam model evaluasi pembelajaran. Theodore Kaltsounis

(1989) mengemukkan pengtingnya memposisikan evaluasi pembelajaran

berjalan secara komprehensip dengan langkah-langkah mengajar yang lain.

Langkah-langkah integral pembelajaran tersebut sebagai berikut.

1. penyusunan program pembelajaran ilmu sosial atau IPS sejalan dengan

tuntutan kebutuhan masyarakat,

2. penyusunan tujuan pembelajaran umum berkenaan dengan issue dan

generalisasi, suatu langkah sejajar dengan kegiatan penilaian pebelajar dan

penempatan di program pembelajaran. Langkah ini merupakan evaluasi

diagnostic dan penempatan.

3. penyusunan tujuan pembelajaran khusus (objective) berkenaan dengan

pengetahuan, nilai sosial, keterampilan intelektual, keterampilan klarifikasi nilai,

dan keterampilan sosial. Langkah ini bersamaan dengan penilaian kebutuhan

pebelajar belajar secara kognitif, efektif, dan keterampilan.

4. pemilihan strategi pembelajaran, dengan pendekatan inkuiri.

5. monitoring kesukaran belajar (evaluasi formative),

6. modifikasi pembelajaran,

7. evaluasi sumative, dan evaluasi dignostic dalam acuan remedial.

8. revisi program dan penyusunan raport.

Evaluasi pembelajaran ilmu sosial pada dasarnya meliputi empat hal

yaitu (i) evaluasi diagnostic penempatan, (ii) evaluasi formative, (iii) evaluasi

diagnostic remidial, dan (iv) evaluasi summative. Evaluasi diagnostic

penempatan dilaksankan pada awal proses pembelajaran untuk mengenal

pebelajar dan mmelatakkan pebelajar pada berbagai tingkat tujuan.

Evaluasi formative berguna untuk memantau efektivitas pembelajaran,

sebhubungan dengan strategi menajar, hasil belajar, cara belajar, dan konstruksi

kurikulum. Evaluasi formative mendasari perbaikan proses mengajar belajar.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Evaluasi ini sangat penting bagi belajar tuntas. Evaluasi diagnostic reminial

bertuna untuk mengenal sebab-sebab kesulitan belajar.

Pelaksana evaluasi summative ini sebaiknya adalah seorang ahli.

Evaluasi summative dilaksanakan pada akhir program pembelajaran. Tujuannya

adalah utnuk menentukan tingkat hasil belajar, dan mentukan efektivitas

program pembelajaran secara menyeluruh. Evaluasi pembelajaran ilmu sosial

sebagai bagian integral pembelajaran program pembelajaran bertautan dengan

tujuan pembelajaran, pendekatan, metode teknik-model pembelajaran, unsur

keilmuan.

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa dalam pembelajaran

ilmu-ilmu sosial maka pembelajar ilmu sosial secara kreatif dapat memilih: (a)

tipe program pembelajaran ilmu sosial, (b) penentuan tekanan tentang tujuan

pembelajaran (goal dan objective), (c) pendekatan pengarajan yang dapat

paralel dengan penelitianilmu-ilmu sosial, (d) unsur keimuan berupa fakta,

konsep, generalisasi, teori, model ilmiah, hipotesis, niliai-nilai, (e) model

pembelajaran dari keluarga IPM, SIM, PM atau BM (Joyce & Weil), (f)

pendekatan mengenai media penajaran, dan (g) pendekatan teknik-teknik

evaluasi pengarajan ilmu-ilmu sosial. Pilihan tindak-tindak mengajar tersebut

merupakan kebebasan profesional pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang menjadi

bagian dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.

6. Problematika Konseptual Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial pada dasarnya tidak berbeda dengan

pembelajaran ilmu-ilmu yang lain. Keserupaan itu disebabkan oleh kenyataan

bahwa (i) ilmu-ilmu sosial adalah ilmu empiris, yang bahan pengetahuannya

bersal dari hasil penelitian ilmiah, (ii) ilmu-ilmu sosial terdiri dari fakta, konsep

generalisasi, konstruk, model-model ilmiah, dan teori, (iii) pembelajaran ilmu-

ilmu sosial merupakan realitas pembelajaran yang dapat diteliti, baik secara ex

postfacto, empiris, maupun eksperimental (kuasi ekperimental). Pembelajaran

ilmu-ilmu sosial berada dalam konteks pembelajaran ilmu-ilmu yang lain.

kedudukan pembelajaran ilmu-ilmu sosial diantara ilmu-ilmu yang lain

tergantung pada kebijaksanaan terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini sebenarnya

terletak di luar pembelajaran ilmu sosial, walaupun dapat diduga akan

berpengaruh pada pembelajaran ilmu sosial.

Pada umumnya ilmu pengetahuan dibuat atau terbentuk untuk

memecahkan masalah masyarakt. Terkait dengan “pemecahan masalah

masyarakat” inilah banyak kalangan yang mempersoalkan fungsi ilmu-ilmu

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

sosial dan fungsi pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan tentang ilmu-ilmu

sosial dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah masalah-masalah sosial (masyarakat, negara, bangsa dan dunia

internasional) merupakan prblem yang dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu sosial?

2. siapakah yang menjadi klien, dan tujuan siapakah yang akan digarap oleh

ilmuwan sosial ?

3. apakah masyarakt itu dapat dijadikan sejenis “patient” oleh ilmuan? Siapa dan

apa yang harus diubah oleh ilmuawan sosial?

4. Variabel-variabel strategis (hal-hal penting mana) apakah yang dapat

dipandang sebagai hal-hal yang dapt dikontrol?

5. Variabel apakah yang dipandang tetap dan apakah yang dapat diubah?.

6. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digunakan analogi,

sutu perbandingan dan fungsi ilmuwan-kelamaan.

Sebagai ilustrasi, kerja seorang konselor, atau ahli komputer. Konselor

berkewajiban memberikan berbagai pertimbangan konseling pada kliennya, ahli

komputer memperbaiki dan menciptakan program komputer. Ahli-ahli tersebut

bekerja secara profesional dengan menggunakan dasar hasil-hasil penelitian

eksperimental. Ahli-ahli tersebut menghadapi masalah masyarakat, tetapi ia

dapat melokalisirnya dalam bidangnya masing-masing. Sebaliknya, ilmuwan

sosial menghadapi problem dalam arti menyangkut harkat dan masyarakat serta

ilmuwan sosial tidak bekerja di laboratorium, tetapi ia bekerja secara laboratoris.

Penelitiannya tergolong kuasi-eksperimental. “Penyakit” sosial cenderung

“disembunyikan” oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.

Ilmuwan sosial hanya menemukan masalh secara terinci, terstruktur,

masalah sebenarnya dan sesungguhnya. Ilmuwan sosial hanya memberikan

pengertian mendalam tentang masyarakat (dalam arti lembaga, proses, aturan,

tindakan, dan nilai-nilai) dan pemahaman tentang indetifikasi diri manusia

seutuhnya.

Pengetahuan yang disumbangkan oleh ilmuwan sosial berupa “saran

tentang bagaimana mengubah kondisi sosial manusia rekonstruksi sosial”, dan

tidak berusaha mengubah diri manusia. Ilmuwan sosial tidak dapt memcahkan

masalah sosial dengan bekerja seorang diri. Hal ini berbeda dengan ilmuwan

keilmualaman. Pertanyaan tentang fungsi pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat

dirumuskan sebagai berikut: (i) bagaimanakah kedudukan cabang ilmu-ilmu

sosial dalam suatu kurikulum sekolah? Pertanyaan ini mempersoalkan cabang-

cabang ilmu sosial seperti sejarah, ilmu ekonomi,geografi, antropologi pada

jenjang SD, SMTP, SMTA kelas A1, A2, A3, A4 atau yang lain. (ii) apakah tujuan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

pengajaran atau tujuan belajar ilmu-ilmu sosial? pertanyaan ini mempersoalkan

misi pendidikan sekolah sebagai alat rekonstruksi sosial, dan mengacu pada

pendidikan sekolah sebagai alat rekonstruksi sosial, dan mengacu pada

pendidikan pribadi, socio-civics, dan pendidikan intlektual. Pembelajaran ilmu-

ilmu sosial tentang nilai-nilai erat hubungannya dengan pendidikan pribadi, untuk

itu, kalangan pembelajar hendaknya menjadikan pembelajarannya sebagai

media yang efektif bagi pengembangan dan pelatihan kepribadian pebelajar.

F. Daftar Pustaka

Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral

Sistem Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.

Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.

Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and Son.

Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru Membangun

Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran Bandung.

Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Graffiti,

Press

Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.

Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,

Competent, and Concerned Citizen. Boston, Toronto: Litle, Brown and

Company.

Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore: Reinehart

Publisher.

Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan Proyeksi

PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan

Bandung.

Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring. New

York: Collier McMillan Publisher.

Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi

Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Rabu, 06 April 2011

PEMBELAJARAN ILMU-ILMU SOSIAL

Deskripsi Materi Pembelajaran

1. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sebagai Kegiatan Keilmuan

Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan formal telah tersebar di

seluruh dunia dan semakin menunjukkan dirinya sebagai salah satu institusi

terkuat dalam tataran kehidupan masyarakat modern. Pada umumnya sekolah

telah diterima sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat tertentu, dalam

arti mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Penerimaan sekolah

sebagai lembaga rekonstruksi masyarakat tersebut mengakibatkan beberapa

kalangan salah pengertian. Salah mengerti itu antara lain berwujud (i) harapan

yang berlebihan pada sekolah, seperti pembentukan disiplin nasional sebagai

tugas sekolah, (ii) anggapan bahwa sekolah mampu memecahkan segala

masalah masyarakat, seperti sekolah mampu memberi lapangan kerja, dan (iii)

anggapan bahwa sekolah mampu menyampaikan segala unsur kebudayaan,

seperti kurikulum yang bermuatan unsur kebudayaan sangat padat.

Lembaga pendidikan formal (sekolah) merupakan lembaga yang dibuat

oleh masyarakat, berbeda fungsinya dengan keluarga dan lembaga agama,

serta berbeda pula fungsinya dengan lembaga kesenian. Sekolah berfungsi

sebagai media pendidikan kepribadian, socio-civics, dan intelektual. Fungsi

pendidikan kepribadian bersifat membantu keluarga dan lembaga agama, sebab

(i) keluarga dan lembaga agama mampu mengenal segala aspek kepribadian

anak didiknya, (ii) iklim informal, luwes, dan manusiawi lebih hidup dalam

keluarga, (iii) lama waktu pendidikan di dalam keluarga dan lembaga agama

sangat panjang dan sangat leluasa, (iv) jangkauan tujuan pendidikan keluarga

dan lembaga agama meliputi jangkauan umat dan makhluk yang universal.

Sebaliknya, pendidikan kepribadian yang dilakukan oleh sekolah terbatas pada

(i) rumus kepribadian atau citra kepribadian seperti yang dirumuskan oleh setiap

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

sistem pendidikan nasional, (ii) lama waktu pendidikan sekolah terbatas, dan (iii)

sekolah hanya mampu melakukan penilaian aspek perilaku sebagai dampak

pembelajaran seperti tertulis di raport sekolah artinya sekolah tidak mampu

menilai dampak pengiring. Dengan kata lain sekolah hanya dapat membantu

tugas keluarga dan lembaga agama dalam kapasitas yang sangat terbatas.

Substansi sekolah dalam memainkan perannya berkait dengan

pendidikan socio-civics, sekolah memainkan peranan yang sangat esensial,

khususnya dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan kewarganegaraan. Hal ini

merupakan konsekuensi logis dari perkembangan masyarakat yang sangat

cepat. Kalangan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah

dan keluarganya, sehingga yang lebih banyak berperan adalah masyarakat dan

institusinya. Untuk melanjutkan dan memantapkan pendidikan kepribadian

seputar menjadi warga negara yang baik, maka lembaga keagamaan bisa

memainkan peran yang dominan. Peranan keluarga dan lembaga agama dalam

hal pendidikan perilaku socio-civics lanjut sangat dominan, sebab perilaku

tersebut merupakan suatu nurturant effects yang justru berada pada jangkauan

kewibawaan keluarga dan lembaga agama. Sekolah hanya megajarkan

pengetahuan dan perilaku socio-civics, tetapi tidak dapat menilai dampak

pengiringnya.

Lembaga sekolah berperan sebagai lembaga pendidikan intelektual.

Dalam hal ini kedudukan sekolah tampak berbeda secara signifikan dengan

lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Apabila lembaga agama

memusatkan perhatian pada aspek keimanan, lembaga kesenian memusatkan

perhatian pada aspek estetis, atau aspek intelektual tersebut sudah barang tentu

tidak mengabaikan keseluruhan developing personalities. Dengan kata lain,

peran pendidikan intelektual adalah peran utama sekolah, walaupun sekolah

juga terbebani tugas pendidikan kepribadian dan socio-civics.

Sekolah bertugas melakukan pendidikan keilmuan, dalam arti

mendidikkan sikap ilmiah dan sekaligus mengajarkan ilmu pengetahuan.

Pendidikan sikap keilmuan dan sekaligus mengajarkan ilmu pengetahuan.

Pendidikan sikap keilmuan tersebut meliputi pendidikan nilai-nilai: (i) nilai dasar

keilmuan, seperti objektivitas, keinginan ilmiah, kreativitas, dan kejujuran, (ii)

nilai yang mendukung keberhasilan peneletian, seperti ketekunan, kebebasan,

keluwesan, pemahaman subjektif, (iii) nilai sistem sosial keilmuan, komunalitas

keilmuan, kepekaan tugas keilmuan, dan (iv) kebebasan ekspresi keilmuan,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

seperti kebebasan berfikir, meneliti, berada pandangan, originalitas,

bereksperimentasi.

Pendidikan nilai-nilai keilmuan ini terjalin dalam materi keilmuan, dan

umumnya hasil didikan nilai-nilai keilmuan tersebut adalah dampak pengiring.

Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan bagian integral dari kegiatan

pendidikan di sekolah. Selanjutnya, bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai

sistem, maka pembelajaran ilmu pengetahuan juga merupakan suatu aktivitas

bertujuan, suatu metode rasional sistematik, dan suatu bentukan pengetahuan

sistematik. Sebagai suatu aktivitas bertujuan, maka ilmu pengetahuan bertujuan

memperoleh kebenaran, pengetahuan, pemahaman, penjelasan, prediksi,

pengendalian, dan penerapan berdasarkan temuan. Sebagai suatu metode

rasional sistematik, maka ilmu pengetahuan melakukan penelitian keilmuan

dengan seperangkat pendekatan keilmuan-metode penelitian-teknik penelitian-

alat keilmuan sehingga mampu mencapai tujuan ilmu pengetahuan. Dengan

melakukan penelitian keilmuan maka hasil keilmuan terwujud. Hasil penelitian

keilmuan tersebut dapat berupa teori ilmiah, model-model ilmiah, atau temuan-

temuan teknologis.

Sebagai bentukan pengetahuan rasional yang terstruktur tentang dunia

empiris, bangunan pegnetahuan rasional terstruktur tentang materi keilmuan.

Pada umunya bangunan pengetahuan rasional terstruktur tersebut dapat

ditemukan pada buku-buku ilmu pengetahuan dan laporan penelitian keilmuan.

Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan bagian integral kegiatan

keilmuan. Hal ini mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai aktivitas bertujuan,

metode rasional sistematik, dan bentukan pengetahuan sistematik. Sedang

untur kebudayaan, maka sistem ilmu pengetahuan merupakan bidah keahlian,

suatu unsur speciality yang dilakukan oleh ilmuwan. Pembelajaran imu

pengetahuan seharusnya memang dilajukan oleh ilmuwan., seperti halnya

pendidikan agama dilakukan oleh agamawan, atau pendidikan kesenian

dilakukan oleh seniman. Pembelajaran ilmu pengetahuan rasional sistematik

berarti bahwa :

1. Pembelajaran dan bentuk pengetahuan merupakan kegiatan mengolah materi

keilmuan secara objektif. Materi keilmuan yan diolah berupa idea abstrak, benda

fisik, jasad hidupp, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda. Dalam oleh

materi keilmuan tersebut keterampilan berfikir rasional, keterampilan penalaran

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dengan alat-alat ilmiah digunakan oleh si pegajar dan pelajaran ilmu

pengetahuan.

2. Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan kegiatan menggunakan

pendekatan keilmuan penggunaan berbagai metode penelitian-teknik penelitian

dan alat-alat ilmiah. Dalam hal ini perilaku si pebelajar ilmu pengetahuan serupa

dengam seorang ilmuwan yang sedang melakukan penelitian keilmuan

3. Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan ekplanasi tentang bangunan

rasional sistematik terstruktur. Dalam hal ini perilaku si pembelajar, di lain fihak,

menerima dan memahami pengetahuan rasional. Pada umunya salah mengerti

pembelajaran ilmu pengetahuan terletak pada hanya mengutamakan kegiatan

eksplanasi pengetahuan. Slah mengerti tersebut terkenal dengan pandangan

statis tentang ilmu pengetahuan.

Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan kegiatan mengajar dan

belajar oleh ilmu pengetahuan. Kegiatan tersebut suddah tentu berhubungan

denan pembangaunan pengetahuan rasional terstruktur. Bangunan

pengetahuan tersebut secara statis berada dalam buku-buku ilmu pengetahuan.

Bangunan pengetahuan rasional tersebut terdidi dai unsur-unsur pengerahuan

berupa fakta, konsep, generalisai yang terdiri dari kesimpulan, hukum, prinsip

atau teori. Unsur-unsur tersebut berhubunab secara fungsional, berangkaian

secara terstruktur dan terfokus pada kebenaran ilmiah.

Bangunan pengetahuan rasional tersebut pada umunya berupa uraian

tentang objek ilmu pengetahuan. Uraian tengang objek tersebut dituangkan

dalam kalimat pernyataan, simbol ilmiah, dan model-nodel ilmiah. Kumpulan

pernyataan yang memuat pengetahuan ilmiah dapat dibedakan menjadi empat

bentuk, seperti:

1. Rekonstruksi historis, suatu pernyataan yang berusaha menggambarkan

pertumbuhan objek ilmiah pada masa lampau. Cabang ilmu yang banyak

mengandung pernyataan ini adalah sejarah, ilmu purbakala, paleontologi,

historiografi.

2. Deskripsi, suatu pernyataan yang berusaha memberikan pemerian mengenai

bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya tentang objek ilmiah.

Cabang ilmu yang bercorak deskriptif dapat ditemukan pada geografi, ilmu

anatomi.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

3. Preskripsi, suatu pernyataan yangberuha memberikan petunjuk atau ketentuan

tentang apa yang sedang berlangsung, atau apa yang berlaku dalam

hubungannya dengan objek ilimah sebenarnay. Bentuk prespektif ini dapat

ditemukan pada ilmu-ilmu administrasi, managemen, ilmu pendidikan.

4. eksposisi pola, suatu derungan, dan proses pada objek ilmiah. Pernyataan

eksposisi pola tersebut dapat ditemukan pada banyak ilmu diantaranya

antropologi dan sosiologi.

Bangunan pengetahuan rasioanl yang berupa kalimat pernyataan

ditemukan pada hampir setiap cabang ilmu. Bangunan berupa angka-angka,

simbol ilmiah, dan model ilmiah dtemuak pada ilmu alam, kimia, matematika,

statistik, biologi, dan logika. Di samping bentuk pernyaan, simbol ilmiah, dan

model ilmiah tersebut, juga ditemukan proporsi yang dikenal sebagai azas,

kaidah ilmiah, dan teori ilmiah.

Azas ilmiah adalah suatu proposisi yang mengandung kebenaran umum

berdasarkan fakto-fakta yang telah di observasi. Kaidah ilmiah atau hukum

dalma pengetahuan suatu proposisi yang mengungkapkan kejagaan atau

hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya pada fakta auatu gejala

yang diobservasi, sehingga hubungan tertib tersebut juga berlaku pada berbagai

fakta atau gejala lain yang sejenis. Kaidah ilmiah juga diartikan sebagai

pernyataan prediktif dan universal.

Sebagai pernyataan prediktif, karena jika kondisi-kondisi tertentu

berhubungan, maka apa yang akan terjadi dapat diramlakan. Sebagai

pernyataan prediktif. Karena jika kondisi-kondisi tertentu berhubungan, maka

apa yan akan terjadi dapat diramalkan. Sebagai pernyataan universal, jika

hubungan yang dijelaskan dianggap dapat selalu terjadi, meskipun ada

keterbatasan. Teori ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan

secara logis yang memberikan penjelasan tentang yagn saling berkaitan secara

logis yang memberikan penjelasan tentang sejumlah gejala. Teori ilmiah

berguna untuk (i) membantu mensistemasikan dan menyusun data, atau

pemikiran tentang data sedemikian rupa sehingga tercapai pertalian logis antara

data ilmu, (ii) memberikan skema tentang fenomena sedemikian rupa sehingga

terdapat titik pijak orientasi, dan (iii) menunjukan arah penelitian lebih lanjut.

Bangunan pengetahuan rasional atau bahan engetahuan ilmiah adalah hasil

penelitian ilamiah.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Bahan pengetahuan ilmiah tersebut berupa buku ilmu pengetahuan dan

laporan hasil penelitian. Berbeda dengan buku ilmu pengetahuan, maka laporan

hasil enelitian selalu memaparkan jalannya proses penelitian. Laporan penelitian

di samping mengemukakan teori ilmiah atau model ilmiah juga mengemukakan

hipotesis atau asumsi ilmu pengetahuan. Dipandang dari segi penelitian, maka

laporan hasil penelitian dapat dbedakan menjadi bahan pengetahuan ilmiah

sebagi produk penelitian kuantitatif atau produk penelitian kualitataf. Ciri utama

bahan pengetahuan ilmiah adalah:

1. adanya sistematisasi,

2. paparan yang bersifat umum.

3. paparan rasional, artinya merupakan uraian pemikiran rasional yang mematuhi

logika,

4. objektif,

5. verifibilitas, artinya merupakan paparan ilmiah yang dapat diteliti atau dikaji

ulang,

6. merupakan karya komunal.

Ilmu-ilmu sosial sebagai rumpun ilmu pengetahuan juga merupakan hasil

penelitian, baik penelitian kuantitatif atau kualitatif. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial

juga merupakan bagian integral dari kegiatan penelitian ilmu sosial. Dari segi

materi keilmuan yaitu peristiwa sosial atau gejala rokhani, maka pengejaran

ilmu-ilmu sosial diduga memerlukan pendekatan mengajar, metode mengajar,

teknik mengajar, dan alat mengajar yang berbeda dengan pembelajaran ilmu

pembelajaran ilmu pengetahuan yang lain. kelainan tersebut bukan hanya

karena sifat ilmiah ilmu sosial, tetapi juga disebabkanoleh nilai ilmu-ilmu sosial

tersebut pada konteks masyarkat dan kebudayaan tertentu.

2. Perkembangan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial di Amerika Serikat

Amerika sebagai salah satu negara super power dewasa ini, pada

dasarnya telah menunjukkan kedigjayaannya pada abag 19, khususnya

menyangkut bidang kajian ilmu pengetahuan, sehingga tidak jarang sebuah

disiplin ilmu pengetahuan mendapatkan otominasinya setelah kalangan ilmuwan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Amerika melakukan berbagai justifikasi terhadap ilmu bersangkutan. Penduduk

Amerika Serikat bagian besar berasal dari Eropa. Kaum emigran eropa tersebut

mendambakan suatu kehidupan baru di daratan Amerika. Gelombang emigran

ke Amerika terdiri dari banyak tahap, dan pada umunya sejalan dengan terjdinya

peristiwa-peristiwa besar di dunia. Arus emigrasi ke Amerika terus berlangsung

sampai kini.

Imigran pada abad 17-18 pada umunya bersal dari Eropa Barat, dan

mereka kemudian hidup bermasyarakat di daerah jajahan negara Inggris. Berkat

perjuangan kemerdekaan maka rakyat Amerika berhasil memperoleh

kemerdekaan dan membentu negara Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. Negara

Amerika Serikat merupakan tanah harapan untuk memperoleh kebebasan,

demokrasi, dankekayaan.

Secara substansial peradaban Amerika Serikat bersifat unik dalam

sejarah dunia, dalam hal struktur alam wilayah negara, ciri khas mental dan

emosi rakyat, dan norma-norma perilaku penduduknya. Peradaban ini berakar di

Erompa, khususnya Inggris. Peradaban Amerika terbentuk berkat integrasi

beberapa kekuatan besar yang ada dalam masyarakat.

Kekuatan-kekuatan besar tersebut berupa konsep moral dan sikap

ekonomis yang disebut Puritanisme, semangat menerapkan metode berfikir

keilmuan, penciptaan alat dan teknik pengukuran yang terjelma pada teknik

permesinan, pengambilan alih, kekuasaan mengontrol pemerintahan menurut

kaum Puritan. Kekuatan ini menghasilkan eksploitasi sumber-sumber alam

secara besar-besaran, peningkatan standard hidup tinggi dibidang material,

penghapusan kesengsaraan hidup, kecintaan hidup di dunia, penghapusan

takhayul, dan perluasan dengan penerangan ilmiah. Bersamaan waktunya

masyarakat Amerika dibentuk dengan teknologi besar. Tertib sosial masyarakat

ditandai dengan dua ciri utama: (i) keinginan akan benda-benda, suatu cara

mengumpulkan uang dan kekuasan atas orang lain, dan (ii) mempercepat

putaran waktu dan ritme perubahan sosial.

Peradaban Amerika yang berpangkal dari era penjajahan, kemudian pada

abad dua puluh berkembang menjadi masyarakat industri maju. Selama dua

ratus tahunan lebih masyarakat dan peradaban Amerika mengalami drama

hidup yang bergelora, meliputi berbagai segi kemasyarakatan berupa:

1. Pertma, timbul sikap dan konsep-konsep perekonomian berupa peningkatan

perdaganan yang mempengaruhi kehiduan sosial dan politik. Penemuan dan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

penggunaan uang sebagai ukuran kesempurnaan hidup dan sebagai sumber

kekuasaan atas manusia. Standardisasi mesin dan spesialisasi pekerjaan

menghasilkan produksi massal. Pengumpulan modal berperanan dalam

pengarahan pemerintahan.

2. Kedua, timbul konsep-konsep politik seperti demokrasi, kesamaan drajat

individu, hak-hak azasi individu, pemerintah yang repsentatip, dan perintah yang

disepakati oleh orang yang diperintahkan.

3. Ketiga, peningkatan penerapan konsep-konsep intelektual, seperti setia pada

setiap fakta, memper-cepat perubahan, hukum sebab-akibat, analisis,

pengukuran eksak, pengurangan kesalahan, klasifikasi hasil pengamatan dan

penemuan hal-hal yang ajeg, hukum-hukum keilmuan, penerapan formula, dan

penerapan semua kaidah dalam menambah ketetapan alat untuk mempetinggi

produksi dan distribusi barang dan jasa.

4. Keempat, penerapan konsep-konsep moral seperti rajin, berdisiplin, keseriaan

pada kelompok sendiri, lembaga, dan pemerintah. Bila idea-idea ini makin

mudah dilakukan maka jalan menuju ke arah teknologi besar akan tercpai.

Dengan teknik dan aplikasi ilmu pengetahuan induktif, pandangan politik dan

ekonomi Puritan, maka rakyat Amerika membentuk model pemerintahan yang

monumental.

Pada saat Amerika memenangkan revolusi kemerdekaannya, maka

rakyat Amerika Serikat melakukan perbaikan hidup bermasya-rakat secara

pragmatis. Rakyat dan negara melakukan usaha rekonstruksi masyarakat

dengan membuat dan melaksankan program rekonsttuksi ekonomi, sosial,

politik, dan pendidikan menuju masyarakt industri berteknologi modern.

Rekonstruksi masyarakat Amerika memperhitungkan keinginan dan cita-cita,

reaksi, sikap, perilaku individual dan kelompok-kelompok sosial.

Rekonstruksi masyarakat Amerika terjalin erat dalam program jangka

panjang rekonstruksi pendidikan, suatu rekonstruksi pendidikan menuju

teknologi besar dalam kehidupan ekonomi. Rekonstruksi pendidikan Amerika

tercermin pada perubahan lembaga dan struktur pendidikan yang eliptis, dan

dibentuknya public school untuk untuk seluruh rakyat Amerika Serikat.

Gerakan public school ini meliputi sekolah dasar, menengah, dan tinggi,

dengan tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit, lapisan sosial, dan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

agama. Public school adalah jenis suatu percobaan, dan penemuan, seperti

pendapat Horace Mann (1976) bahwa The Common School is the greatest

discovery ever made by man. Our school, with all their dericiences, constitute

one of the glories or our Republic.

Sekolah di Amerika Serikat, khususnya public school, dijadikan sarana

merekonstruksi masyarakat, disamping sarana-sarana dan lembaga-lembaga

lain. ilmu pengetahuan dikembangkan oleh masya-rakat ilmiah dengan bekerja

sama dengan masyarakat industri, dan lain fihak, sekolah melakukan

pendidikan kepribadian, pendidikan socio-civics, dan pendidikan intelektual.

Sekolah berjasa dalam hal menyebarkan ilmu pengetahuan, dan secara tidak

langsung men-dorong timbulnya sikap-sikap positif yang menggelorakan

semangat untuk merekonstruksi masyarakat Amerika.

Kalangan masyarakat Amerika serikat yang tradisional, pra-industri

tumbuh menjadi masyarakat indurstri secara bertaha, dalam arti sesuai tahap-

tahap rekonstruksi dibidang pemerintahan, polotik, dan ekonomi. Masyarakat

Amerika Serikat yang berkembang menjadi masyarakat industri tidak hanya

memerlukan dukungan sekolah-sekolah, tetapi juga lebih membutuhkan ilmu

pengetahuan. Ilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat juga berkembang sejalan

dengan tantangan-tantangan yang terjadi dalam usaha merekonstruksi

masyarakat Amerika.

Menurut L.L Bernard perkembangan ilmu-ilmu sosial di Amerika serikat

dapat dibedakan menjaditiga periode, yaitu (i) periode pembentukan sebelum

tahun 1860, (ii) periode perkembangan dan diferensiasi dari tahun 1865 sampai

1900-an, dan (iii) periode kematanan dan sitesis, terutama sesudah tahun 1900.

Sejak tahun 19000 terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di bidang

perkembangan ilmu-ilmu sosial. eksperimentasi di bidang metode penelitian,

pilihan metode penelitian, diskusi tentang metode penelitian, latihan-latihan

profesional bidang ilmu-ilmu sosial dipergiat dan diperluas oleh masyarakat

ilmuwan sosial. usaha-usaha sintesis berkat penemuan-penemuan penelitian di

bidang ilmu-ilmu sosial sering dilakukan, sehingga ilmu-ilmu sosial menjadi

otonom.

Registrasi suatu mata pelajaran pada suatu kurikulum erat hubungan

dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan kurikulum sekolah berhubungan

denga perubahan-perubahan yang terjadi pada konteks sejarah dan

perkembangan sosial suatu masyarakat. Bila disimak secara seksama,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

perkembangan kurikulum ilmu-ilmu sosial di Amerika melukiskan perubahan

kebutuhan utama masyarakat, yang menekankan pentingnya suatu dalam suatu

periode tertentu, dengan isi kurikulum.

Isi kurikulum dan organisasi kurikulum berbeda-beda pada periode yang

satu dengan yang lain. pembelajaran ilmu-ilmu sosial seerti sejarah geografi,

dan good behavior (perilaku yang baik) timbul sejak periode nasional. Pada

periode nasional yang diutamakan adalah soal politik, dan hal ini menunjuka

perubahan orientasi, dari kepentingan politik nasional. Sebagai ilustrasin

pembelajaran sejarah, berorientasi pada sejarah Amerika Serikat.

Demikian halnya dengan pembelajaran geografi adalah geografi Amerika

Serikat bukan geografi Eropa. Perubahan orientasi tampak menyolok pada

bidang studi perilaku yang baik, good behavior. Yang dimaksudkan dengan

perilaku yang baik berarti baik bagi Amerika Serikat, yangberbeda dengan baik

bagi negara Inggris, Perancis, atau yang lain. Good behavior, sejarah, geografi

merupakan pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang dapat ditemukan pada kurikulum

sekolah di negara manapun.

Eksistensi sekolah umum (public school) dalam hal ini sekolah dasar

Amerika Serikat mengajarkan sejarah, geografi, dan good behavior berorientasi

kepentingan Amerika Serikat yangberbeda dengan kepentingan warga negara

lain. Nama good behavior sebagai nama mata pelajaran di sekolah sudah

menunjukan adanya kepentingan nasional Amerika Serikat.

Ilmu-ilmu sosial memang mempelajari masyarakat dalam arti umum,

tetapi pembelajaran ilmu-ilmu sosial di suatu sekolah di negara tertentu sudah

barang tentu akan mengutamakan masyarakat bangsanya, walaupun di

kemudian hari juga akan mengajarkan pengetahuan masyarakat bangasa lain.

dengan kata lian berbeda dengan mata-mata pelajaran matematika,

kimia,biologi, fisika, yang mengutamakan materi pengetahuan umum di dunia,

maka mata-mata pelajaran ilmu-ilmu sosial lebih mengutaman pengetahuan

masyarakat bangsa sendiri. Ilmu-ilmu sosial merupakan salah satu isi kurikulum

sekilah. Perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak terpisah dari

perkembangan pengetuahuan-pengetahuan lain sebgai isi kurikulum, dan

pengetahuan kurikulum itu sendiri.

Perkembangan social studies misalnya hampir bersamaan waktunya

dengan lahirnya filsafat pendidikan tahun 1916, lahirnya bidang studi kurikulum

pada tahun 1918, dan gerakan penelitian pembelajaran tahun 1920-an.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Analisis tentang pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah di

Amerika Serikat sejak awal pertumbuhan social studies (IPS) sampai tahunh

1980-an mengungkapkan adanya perubahan konsep IPS, suatu perubahan

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu-ilmu sosial.

secara khronologis perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di Amerika

Serikat sebagai berikut: (i) pembelajaran social studies (IPS) gaya lama, 1916-

1930-an, (ii) pembelajaran IPS progresivisme, 1930-1950, (iii) social science

education (pembelajaran keilmuan ilmu-ilmu sosial), sejak tahun 1960-an, dalam

periode pasca Sputnik, yang populer sejak tahun 1970-an sampai sekarang.

Kegiatan pembelajaran merupakan hal kompleks, artinya meliputi wawasan

keilmuan, penelitian keilmuan dan pembelajaran, bahan dan setukur

pengetahuan, metode mengajar, media dan evaluasi pembelajaran.

Pembelajaran IPS gaya lama, 1916-1930-an. Pembelajaran IPS atau

social studies di Amerika Serikat bermula dai pembelajaran sejarah, geogradi,

dan good behavior yang berlangsung selama periode 1776-1876. Pembelajaran

good behavior kemudian menjadi civics pada tahun 11796-an. Pada periode

nasional 1776-1876 tersebut yang diutamakan adalah kepentingan politik

Amerika Serikat, danilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat sedang menuju otonomi

keilmuan.

Masyarakat industri merasakan kelemahan-kelelamahan pembelajaran

yang dilakukan. Kedatangan emigrant ke Amerika Serikat terus meningkat.

Padda awal abad dua puluh imigran bangsa Slavia (Eropa Timur), bangsa-

bangsa latin (Eropa Selatan), orang-orang Negro dan bangsa-bangsa lain yang

bertambah terus jumlah bangsa-bangsa dari Eropa, dan jumlah dapat

mengganggu perkembangan peradaban Anglo Saxon. Selama perang dunia

pertama masyarakat Amerika Serikat.

Mata pelajaran sejarah dianggap tidak mampu mencapai tujuan nasional

Amerika Serikat. Oleh karena itu Edgar B. Wesly, perintis pembelajaran social

studies, mengusulkan perlunya penggabungan mata pelajaran sejarah, geografi,

dan civics menjadi mata pelajaran IPS (social studies) pada tahun 1916-an.

Edgar B. Wesley merumuskan batasan social studies (IPS) sebagai berikut:

“The social studes are the social sciences simplified for pendagogical purposes.

...... in school the social studies usually consist of geography, history, economic,

sociology, and civics, and various combination of these subjects”.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Sejalan dengan pendapat Wesley tersebut, maka National Council for

Social Studies merekomendasikan definisi social studies (PIPS) sebagai berikut:

The social studies are concernd with human relationships. Their content is

derived principally from the scholarly disciplines of economic, geography, history,

political science, and sociology, and includes elements from other social

sciences, among them social studies imlies no paticular from of currifulair

organization. Its is applicable to curricula in which each course is derived for the

most part from a single discipline as well as to curricula in which courses

combine materials from several disciplines.

Dilihat dari dimensi konseptual kedua rumusan tersebut serupa. Social

studies (IPS) merupakan penjumlahan dari bahan pengetahuan yang berasal

dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan

pendagogis. Disamping itu pembelajaran IPS tidak terkait dengan organisasi

kurikulum tertentu, artinya IPS berada pada kurikulum yang manapun.

Pengajran IPS dapat mengambil bahan pengetahuan yan bagian besar berasal

dari cabang yang lain, atau bahan pengetahuan yang berasal dari gabungan

berbagai cabang ilmu sosial.

Awal pertumbuhan IPS sebagai bidang studi baru, bidang studi kurikulum

juga baru mulai menjadi bidang studi akademis. Pelaksanaan pembelajaran IPS

gaya lama sejalan dengan kemajuan pendekatan menajar, metode dan teknik

mengajar, pandangan tentang media pembelajaran, dan kemajuan evaluasi

pegajaran. Masyarakat Amerika Serikat merasa berkepentingan untuk

memajukan pembelajaran di sekolahnya. Oleh karena itu berbagai percobaan

dibidang pembelajaran dilakukan.

Di Amerika Serikat terdapat dua kelompok ahli yang mempunyai

pengaruh dominan pada pertumbuhan kurikulum. Pengaruh kedua kelompok

ahli tersebut silih berganti sejak lahirnya bidang studi kurikulum tahun 1918

sampai sekarang. Kelompok ahli tersebut terkenal sebagai kelompok kaum

progresif dan kelompok bussiness-efficienty. Kaum progresif muali berpengaruh

sejak tahun 1918, yang kemudian pengaruhnya surut pada tahun 1956-an.

Tampilnya kaum progresif menyebarluaskan kurikulum tipe core yang

mengganti separate subject curriculum. Surutnya pengaruh kaum progresif dan

tampilnya kelompok business-effecienciy menimbulkan perubahan kurikulum

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

kelompok business-effecienciy mengembangkan discipline-centered curriculum

pada tahun-tahun pasca Sputnik.

Kurikulum yang discipline centered mendapatkan kecaman dari berbagai

ahli. Sementara ahli mengemukakan bahwa kurikulum discipline centered tidak

relevan dan kurang manusiawi, dan kemudian kelomlpok bussiniss-efficiency

mulai susrut sejak tahun 1970-an. Lahirlah gerakan humanisme di bidang

kurikulum yang melanjutkan ajaran kaum progresif pad tahun 19700-an.

Sementara itu semngat nasional Amerika Serikat bangkit kembali,dan refotmasi

sosial Amerika Serikat secara terprogram dilaksankan oleh berbagai kelompok

sosial.

Semangat nasional dalam melakukan reformasi sosial tersebut pada

tahun 1970-an dapat membangkitkan semangat kelompok bussiness-efficiency

untuk melakukan perbaikan-perbaikan kurikulum seperti semula. Pengaruh

kelompok business-effecienciy dibidang kurikulum setelah tahun 1970 masih

menonjol. Pengaruh tersebut berupa pemberian tekanan penting pada tujuan

perilaku, accountability, national assessment, performance contracting dan

kurikulum berorientasi perilaku. Demikianlah kedua kelompok ahli kurikulum

tersebut berkompetisi dalam usaha memperbaiki pembelajaran sejak tahun 1918

sampai sekarang.

3. Pembelajaran IPS yang Progresivistis

Tahun 1918 di Amerika Serikat didirikan suatu perkumpulan pendidikan

yang diberinama Progresive Education Association. Kelompok progressivisme

ini ditopang oleh pragmatisme dan menan-tang sistem pendidikan yang otoriter

dan absolut. Progressivisme berpandangan bahwa:

1. pendidikan bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat anak serta kebutuhan

anak,

2. pendidikan merupakan usaha membudayakan hidup dan bukan hanya

mempersiapkan utntuk dapat hidup,

3. anak didik harus memperoleh latihan-latihan memecahkan masalah atas

dikemudian hari dapt memecahkan persoalan pribadinya,

4. pendidikan harus dilaksanakan dalam suasana yang benar-benar demokratis,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

5. peranan pembelajar pendidik adalah membimbing dan memberi nasehat

kepada anak didik untuk memecahkan persoalan,

6. sekolah merupakan tempat berlatih bekerja sama dengan orang lain bukan

tempat untuk bersaing.

Progesivisian memandang kurikulum sebagai program eksperimental,

artinya mata pelajaran-matapelajaran adalah pengalam-an yang edukatif.

Sekolah yang baik adalah sekolah yang menyelenggarakan bermacam-mcam

pengalam belajar sehingga pebelajar dapat tumbuh dengan baik, kemudian

mampu memecahkan masalah hidup. Oleh karena itu kurikulum harus

meyediakan mata pelajaran yang sesuai dengan minat pebelajar, kebutuhan

pebelajar, masyarakat dan kebudayaan setempat. Tradisi pembelajaran yang

berpusat pada bahan pembelajaran atau disiplin diganti dengan organisasi

content dan activity yang disebut pengalaman pebelajar.

Pembelajaran IPS diorganisasikan sebagai “suatu bidang kehidupan”,

“situasi hidup yang berkesinambungan”, dan sebagai “pusat minat” pebelajar.

Tipe pembelajaran IPS yang terkenal berupa kegiatan pembelajaran terpadu, di

mana batas-batas mata pelajaran diterobos, dan pebelajar bersama pembelajar

mempebelajari banyaknya bidang dalam rangka belajar dalam unit-unit yang

mengintegrasikan topok atau masalah.

Pembelajaran IPS, melihat hakikatnya, merupakan pembelajaran ilmu

sosial yang berperan utama dalam pendidikan umum. Berbeda dengan IPS gaya

lama yang berusaha menggabungkan bebagai pembelajaran ilmu-ilmu sosial,

maka pembelajaran IPS progressivisme melakukan fusi, atau integrasi berbagai

cabang ilmu sosial menjadi unit-unit, bidang kehidupan, situasi hidup

bersinambungan, ataupun pusat minat. Pembelajaran IPS progressive ini

berpengaruh dominan pada tahun-tahun 1929-1956-an.

4. Pembelajaran Ilmu Sosial: 1970-1980-an

Setelah perang dunia kedua tataran masyarakat dunia mengalami

perubahan besar-besaran, dalam arti masyarakat bangsa-bangsa terjajah yang

telah menjadi negara merdeka, dan negara-negara maju di Eropa tetap

berkompetisi menjadi kekuatan dunia yang dominan. Terjadilah perlombaan

kekuasaan antra blok barat dan blok timur, dan sementara itu timbul kekuatan

dunia ketiga.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Peluncuran Sputnik Rusia tahun 1957 merupakan babak baru

perlombaan ruang angkasa. Keterbelakangan peluncuran Sputnik

menterkejutkan negara bangsa Amerika Serikat, dan masyarakat Amerika

Serikat mempersoalkan sistem pendidikannya. Usaha perbaikan sistem

pembelajaran dilakukan termasuk perbaikan kurikulum. Mata-mata pelajaran

matematika, fisika, kimia, biologi, kemudian bahasa dan IPS diperbaiki kembali.

Ahli-ahli ilmu sosial memandang interaksi masusia sebagai realitas sosial

menurut perspektif yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menurut pandangan

Bruce R. Joce, ahli ilmu sosial harus membantu pebelajar agar dapat melihat

kehidupan manusia di dalam berbagai perspektif. Ahli ilmu sosial harus

menunjukan bagaimana menggunakan pandangan ilmu sosial untuk memahami

hidup seseorang di masyarakat dalam hubungannya dengan kehadiaran orang

lain di masyarakat.

Pembelajaran IPS memikul tugas baru, oleh karena itu pembelajaran IPS

(social studies) sebaiknya diubah menjadi social science education

(pembelajaran ilmu sosial berorientasi keilmuan). Tugas baru IPS terkandung

dalam istilah social science education. Menurut Bruce Joyce, dengan istilah

social science education yang dimaksudkan sebagai,

The term elementary social science education ... actually expressed the relief

that a child best learn a subject discipline by pusuing that discipline in the

manner ot a scholar...The tactics ot the social science are taught to the child

precisely because they are best tools we have found for helping him

comprehend his life and face his problems.

Melalui social science education pembelajar IPS memandang bahwa

pebelajar perlu belajar meniru perilaku sarjana ilmu sosial yang mempebelajari

masyarakat. Cara belajar pebelajar perlu diubah seperti halnya ahli sosial

mempebelajari masyarakat. Hanya dengan mempebelajari berbagai metode dan

teknik ilmu sosial seorng pebelajar mampu mengerti kehidupannya dan dapat

mengatasi masalah hidupnya sendiri di dalam masyarakat.

Pandangan Bruce R. Joyce tersebut sejajar dengan pandangan Milton E.

Ploghoft dan Alber H. Shuster. Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa social

science education bermaksud untuk mempebelajari secara rasional atau secar

ilmiah aspek-aspek sosial dari kondisi manusia.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Social science education terutama berkenaan dengan pendidikan anak

dan generasi muda bangsa dengan kerangka tujuan bahwa informasi dan

keterampilan akan menghasilkan perilaku efektif untuk mengatasi masalah-

masalah sosial yang kompleks di masyarakat, negara, dan dunia. Oleh karena

itu Ploghoft dan Shuster berpendapat bahwa

Social science education is a rational endeavor, hence attention must be given

to the kind of behavior that is anticipated as an outcome ot the learning

experiences planned for children............ Social science education is concerned

with social need and problems now and in the future.

Ploghuft dan Sluster mengemukakan bahwa social science education

adalah usaha secara rasional mendidik pebelajar atar mampu mempebelajari

masalah-masalah bangsa, negara dan dunia yang kompleks pada saat ini dan

masa yang akan datang. Pendapat kedua ahli tersebut telah tercermin dalam

pandangan Samuel P. McCutchen yang dikemukakan di dalam sidang National

Council for the Scoial Studies bulan November1962. McCuthen berpendapat

bahwa penajaran IPS (social studies) sebagai suatu disiplin yang

menggabungkan bermacam-macam bahan ilmu-ilmu sosial yang bersama-sama

menjadi “bidang khusus dengan integritasnya sendiri”. Menyangkut disiplin baru

tersebut McCuthen mengemukakan

If we becom aware of our discipline and of our disciplenship, we need not

further suffer under such apologies as “history and the social science” or

“interdisciplinary”. Ours are the proud task of (1) patriotism, (2) Western culture,

(3) the contemporary world, and (4) rational inquiry.

Social science education sebagai suatu bidang tunggal yang terintegrasi,

sebagai hasil pengaruh kurikulum berorientasi disiplin, merupakan suatu disiplin

baru. Disiplin baru tersebut berkenaan dengan pembelajaran ilmu-ilmu sosial

berorientasi pada patriotisme, kebudayaan Barat, dunia dewasa ini, serta

penelitian rasional. Dengan kata lain social science education merupakan

pembelajaran IPS yang tidak hanya bersifat interdisiplinair, tetapi sudah

merupakan suatu disiplin baru. social science education adalah pembelajaran

IPS atau pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang bersifat keilmuan. Pebelajar yang

belajar IPS serupa dengan ahli ilmu sosial yang mempebelajari masyarakat.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

5. Pembelajaran IPS Revolutif

Ilmu-ilmu sosial dapat berkembang berkat adanya penelitian-penelitian

tentang masyarakat, dan bahan pengetahuan ilmu sosial tersebut bermanfaat

bagi sosial. Pembelajaran ilmu sosial pada gilirannya merupakan bagian integral

sistem pengetahuan disiplin ilmu-ilmu sosial. pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak

lain adalah eksplanasi hasil penelitian ilmu-ilmu sosial.

Sejak Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang penelitian

tahun 1954 kegiatan penelitian ilmiah dan penelitian pembelajaran di berbagai

jenjang sekolah dipertgiat. Penelitian di bidang ilmu-ilmu juga mengalami

kemajuan dan kecenderungan baru. Perbaikan metode dan teknik penelitian

ilmu-ilmu sosial berpengaruh pada penelitian di bidang pembelajaran ilmu-ilmu

sosial. Dominasi epistemologi psotivistis di bidang penelitian semakin lemah dan

epistemologi interpretif, dan intergal makinkuat. Ilmu-ilmu sosial dikembangkan

dengan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Realitas sosial yang memang hukum

perilaku yang bersifat deskriptif, tetapi juga mengungkapkan hal-hal normatif dan

manusiawi yang tidak deterministis. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak hanya

memerlukan pendekatan inkuiri tetapi juga pendekatan humanistis.

Kelompok ahli kurikulum mengeritik kelemahan-kelemahan social science

education dan lahirlah New Social Studies atau IPS gaya baru. Bernes dan

Brgdorf berpendapat bahwa da perbedaan tanggung jawab antara ilmuwan IS

dengan pembelajar IPS tentang apa yang dipelajari pebelajar. Ilmuawan IS

harus memperlengkap diri dengan pendekatan-pendekatan baru untuk

memahami masyarakat yang makin kompleks dan berubah sangat cepat.

Penemuan penelitian tersebut harus disampaikan kepada pebelajar agar

pebelajar dapat memecahkan masalahnya sekarang dan pada masa yang akan

datang. Sebaliknya pembelajar IPS harus membuat keputusan dasar tentang

pembelajaran IPS yang berisi objective, teknik-teknik pemecahan masalah

sehubungan dengan masyarakat yang berubah sangat cepat. Pembelajar IPS

menghadapi dillemma dalam usahanya mensintesekan unsur-unsur dari

berbagai disiplin menjadi program terpadu dengan urutan, kesinambungan dan

arah yang baru. Theodore Kaltsounis mengemukakan bahwa sejak tahun 1960

pembelajaran IPS berada di dalam posisi sulit dimasyarakat Amerika.

Pembelajaran IPS berubah, tidak menyimpang dari pendekatan konsep tual,

tetapi mengarah pada pembelajaran untuk mengambil keputusan.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Social studies bergerak menjadi new social studies. Pengambilan

keputusan mempersyaratkan banyak kecakapan. Pendidikan kewarganegaraan

keharusan kebudayaan, dan pengambilan keputusan, kesemuanya

mempersyaratkan keterlibatan penalaran individu. Dengan demikian program

pengjaran IPS yang berorientasi pada pengambilan keputsan merupakan

program patriotik yang sebenarnya.

Pemikiran sistematis diperluakan dalam rangka pngambilan keputusan

seseorang. IPS gaya baru adalah kerangka pemikiran sistematis tentang

pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang berinterdisiplim, dan berorientasi pada

semua nilai kebudayaan dan nilai kemanusiaan. Apabila pembelajaran IPS di

Amerika Serikat sejak tahun 1916 sampai tahun 1070/80-an dipelajari, maka

dapat dikemukan beberapa kesimpulan penting tentang hal tersebut, yaitu:

1. Pembelajaran IPS timbul sebagai pemecahan tentang kebutuhan integrasi

negara bangsa Amerika Serikat yang berusaha memelihara identitas

kebudayaan anglo saxon, dan kelestarian hidup negara bangsa Amerika Serikat

pada abad ruang angkasa.

2. Pembelajaran IPS merupakan perbaikan pembelajaran ilmu sosial yang

terpisah-pisah, seperti sejarah, geografi, good behavior, pada awal

kemerdekaan Amerika Serikat dan berorientasi pada kepentingan negara

Amerika Serikat dan berorientasi pada kepentingan negara Amerika Serikat.

3. Pembelajaran IPS mengalami pergeserran konseptual sejalan dengan

penelitian ilmu-ilmu sosial dan penelitian pembelajaran. Pada awal

pertumbuhannya (1916-1930) IPS gaya lama dirumuskan sebagai “the soxial

studies are the social sciences simplified for pedagogical perposes”. Pergeseran

konsep berkisar pada “.... are (sic) social sciences....” dan “pendagogical

puposes”. Tekanan diletakan sebgai jumlah (jamak) ilmu-ilmu sosial, atau fusi

bahkan interasi (tunggal), atau justru menjadi disiplin tersendiri. Tujuan

pendidikan (pendagogical perposes) IPS meliputi tiga segi yang tak terpisah-

pisah, yaitu humanistic education, socio-civic dan intellectual eduction. IPS

progressivisme (1930-1956-an) menekankan fusi bahkan integrasi ilmu-ilmu

sosial serta socio-civics. Social science education pasca sputnik menekankan

IPS sebagai disiplin tersendiri, dan pendidikan intelektual dengan pendekatan

inkuiri. IPS gaya baru menekankan pendidikan humanistik, meletakan

pendekatan inkuiri dalam hubungannya dengan nilai-nilai kebudayaan dan

kemanusiaan. (sejak tahun 1970-an).

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

4. Perkembagan pembelajaran IPS tidak terpisahkan dari perkembangan bidang

studi lain ataupun komponen-komponen sistem pembelajaran lain, seperti

bidang kurikulum (1918), teori berlajar (1930), pandangan ilmu perilaku tentang

media pembelajaran (1950), pendekatan penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial

(pasca sputnik).

5. Secara analitis tipe-tipe IPS di Amerika Serikat sejak 1916 sampai tahun 1980-

an dapat dilukiskan pada Bagan 5.02.

6. Perkembangan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia

Secara geografis Indonesia terletak diantara garis 950 B.T. dan 1410

L.U. dan 110 L.S. Panjang bentangan wilayah dari barat ke timur sepanjang

5.110 km, dan dari utara ke selatan 1,888 km. Indonesia terdiri dari 13.667

pulau, di antaranya baru 6.044 pulau yang telah bernama. Luas wilayah dapat

dihuni ada 1.849.731 km2. Analisis berdasarkan ciri bahasa, adat dan agama

dikemukakan bahwa pendduduk Indonesia dewasa ini terdiri dari 366 satuan

suku bangsa, 106 sub-satuan suku bangsa, dengan bahasa, susunan

masyarakat, kebudayaan, dan agama yang berbeda-beda.

Secara historis dapat dikemukakan bahwa masyarakat dan kebudayaan

Indonesia bermula sejak hadirnya manusia purba seperti Homo Wajakensis

sekitar 40.000 tahun yang lalu. Letak indonesia di jalur lintasan internasional

mengakibatkan kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari kemajuan kebudayaan

dunia. Masyarakat Indonesia selalu bergumul dengan bermacam-macam

pengaruh kebudayaan asing. Pasang surut pergumulan pengaruh kebudyaan

tersebut tercermin pada timbul dan tenggelamnya begara-negara lokal di

nusantara. Hampir dapat dikatakan bahwa selama sembilan belas abad sebelum

proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, masyarakat

Indonesia telah berakulturasi dengan kebudayaan asing, dan sekaligus

mengaktualisasi keindonesiaan. Oleh karena itu berbagai unsur kebudayaan

nusantara seperti kesenian, macam-macam alat, pengetahuan pra-ilmu,

teknologi sederhana, bahasa lokal, dan agama asli dapat ditemukan di seluruh

nusantara. Perdagangan internasional dan perpindahan bangsa-bangsa terjadi

di Asia, Eropa, Afrika, kemudian Amerika dan Australia.

Adanya perpindahan penduduk dunia tersebut menyebabkan terjadinya

persebaran kebudayaan. Secara bergelombang beberapa kebudayaanseperti

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan Barat masuk dalam memperkenalkan

bahasa, adat-istiadat, tata kemasyarakatan, dan agama, maka kebudayaan

barat (Eropa) memperkenalkan unsur yang lain juga. Kebudayaan eropa

memperkenalkan filsafat, ideologi, sistem-sistem persekolahan, sistem

pengetahuan dan teknologi. Sistem persekolahan, ilmu pengetahuan, sistem

ekonomi dan politik Eropa bertahan tidak langsung, perekonomian dulitstis,

sistem pembelajaran dualistis berlangsung selama pemerintahan Hindia

Belanda.

Sistem persekolahn dan ilmu pegnetahuan pada masyarakat Eropa

berhasil mendorong kecepatan perubahan masyarakat tradisional menjadi

masyarakat industri sejak abad tujuh belas. Sistem persekolahan dan ilmu

pengetahuan dalam masa pemerintahan Hindia Belanda menghasilkan

masyarakat yang dualistis. Masyarakat yang desintegrasi dan kebudayaan yang

statis tersebut ditemukan pada akhir pemerintahan Hindia belanda, bahkan jug

masih ditemukan pada pasca kemerdekaan. Seperti kategoris kebudayaan

Indonesia pasca kemerdekaan masih berada pada tahap mistis dan ontologis.

Sistem sekolah telah diadaptasi oleh masyarakat Indonesia selama 450 tahunan

terhitung sejak Portugis membuka sekolah di Ternate tahun 1538.

Hadirnya sistem sekolah Barat berarti persebaran ilmu pengetahuan,

bahasa asing dan bahasa keilmuan, perilaku semakin sistematis dan intensir.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti geografi, sejarah, pengetahuan dagang

dibelajarkan di sekolah rendah dan menengah dengan orientasi kepentingan

negeri Belanda. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah pada jaman

Hindia Belanda berada dalam dilemma.

Apabila pembelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah-sekolah Eropa

abad XVII mendorong percepatan terbentuknya masyarakat industri Eropa yang

kemudian menjadi negara merdeka dan maju, maka pembelajaran sejarah,

geografi, perdagangan dalam rangka sistem pembelajaran dulistis berorientasi

pada kepentingan negara Belanda. Hal tersebut tampak pada konflik

kepentingan negara pendidikan berupa (i) terbitnya Ordonansi Sekolah liar tahun

1932, tanggal 19 September 1932, dan (ii) polemik tentang bahasa pengantar

pendidikan di sekolah-sekolah antara ahli-ahli pendidikan Belanda seperti

Nieuwenhuis, Berg, P.Post, De la Court, M. Vastenhouw dan pemerintah Hindia

Belanda yang tanpa keputusan.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Terbitnya Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932 justru mempersatukan

pergerakan pendidikan dengan terbentuknya Komite Penyokong

Perpembelajaran Indonesia tahun 1933. Kaum pergerakan pendidikan

kemudian menyelenggarakan Kongres Pendidikan Nasional Indonesia tahun

1935 dengan tujuan (i) merumuskan maksud pendidikan dan pembelajaran

nasional, dan (ii) mencarai berntuk sekolah dan isi pembelajaran. Diantara

rumusan adalah bahwa bentuk sekolah dan isi pembelajaran. Diantara rumusan

adalah bahwa (i) dasar pendidikan adalah kebudayaan nasional, (ii) isi

pendidikan dan pembelajaran adalah kebudayaan nasional, pendidikan agama,

bahasa Indonesia (bahasa Melayu, geografi Indonesia, sejarah Indonesia, dan

pekerjaan tangan). Secara historis diketahui bahwa pembelajaran ilmu sosial di

sekolah dasar dan menengah jaman Hindia Belanda ada di dalam dilemma.

Pembelajaran geografi, sejarah dan cabang ilmu sosial lain pada

umunya menggunakan pendekatan meluas, artinya berpangkal dari lingkup

terdekat ke yang terjauh. Dengan pendekatan tersebut berarti akan

membangkitkan bangsa Indonesia, walaupun secara pendagogis memang

releven. Dalam praktek pembelajaran geografi dansejarah berfokus negeri

Belanda, akibatnya si pebelajar menjadi terasing dari lingkungannya sendiri.

Sebaliknya kaum pergerakan pendidikan telah memilih pendidikan

agama, kebudayaan Indonesia, geografi Indonesia, sejarah Indonesia, bahasa

Indonesia sebagai isi pendidikan dan pembelajaran. Hal ini berarti bahwa isi

pembelajaran ilmu-ilmu sosial telah mulai dibakukan oleh kaum pergerakan

pendidikan Indonesia sejak tahun 1935. Kedudukan pembelajaran ilmu-ilmu

sosial pasca kemerdekaan talah bergeserj walaupun belum sepenuhnya keluar

dari dilemma.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sejarah Indonesia, geografi

Indonesia, ekonomi, civics, sosiologi, antropologi diajarakan di sekolah dan

perpembelajaran tinggi dengan proporsi berbeda sesuai jenjang sekolah.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah mengalami kemajuan yang sejalan

dengan wawasan pendidikan yang digunakan. Sedangkan ilmu-ilmu sosial di

perpembelajaran tinggi dipelajari secara keilmuan, khususnya di fakultas atau

jurusan yang memusatkan studi pada cabang ilu sosial tertentu. Dilemma

pembelajaran ilmu-ilmu sosial terkait pada kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam

konteks perkembangan keilmuan di masyarakat Indonesia.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Ilmu pengetahuan secara sosiologi adalah hal yang telah dikenal oleh

masyarakat Indonesia. Telah diketahui bahwa masyarakat suku-suku bangsa di

nusantara memiliki pengetahuan pra-ilmu tentang kundisi alam, manusia

peroranga ataupun masyarakat, di seamping agama-agama lokal. Berkenaan

dengan persebaran lembaga sekolah di seluruh nusantara, secara sosiologis

dan psikologis bertemulah jenis pengetahuan “pengetahuan kemasyarakatan

pra-ilmu”.

Ilmu-ilmu sosial dalam arti modern, wawasan-wawasan tentang

masyarakat berdasarkan pemikiran religious. Pengetahuan kemasyara-katan

pra-ilmu pada umunya masih hidup dan berlaku dalam masyarakat lokal,

wawasan religious tentang masyarakat berkembang sesuai dengan

perkembangan agama di Indonesia. Dilemma pembelajaran ilmu-ilmu sosial

tersebut berupa pergeseran dari berfikir pra-ilmu tentang masyarakat. Dilemma

pemikiran ilmu-ilmu sosial ini akan diuraikan lebih lanjut pada bab metode

mengajar ilmu-ilmu sosial. Perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial pada

masa setelah kemerdekaan adalah:

1. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, geografi, ekonomi, civics

dibelajarkan di sekolah dasar, sedangkan ekonomi, sosiologi, dan antropologi

dibelajarkan di sekolah lanjutan. Pengjaran ilmu-ilmu sosial ini telah berlangsung

sejak awal kemerdekaan Indonesia.

2. Secara kurikuler pembelajaran ilmu-ilmu sosial tergabung dalam kurikulum

sekolah tahun 1947, kurikulum berpusat mata pada pelajaran terurai tahun 1952,

kurikulum tahun 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, dan kurikulum

disempurnakan tahun 1984.

3. Secara kategoris wawasan pembelajaran IPS, pembelajaran ilmu-ilmu sosial di

sekolah dasar dan lanjutan sejak tahun 1945 sampai sekarang, dapat dibedakan

menjadi jenis IPS sebagai berikut :

1. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “the social studies are

the social sciences simplified for pendagogical purpose”. Pembelajaran IPS

dipandang sebagai pembelajaran ilmu sosial yang disederhanakan untuk

mencapai tujuan pendidikan. Konsep pembelajaran ini berlaku pada kurikulum

SD dan sekolah lanjutan tahun 1945-1964. Sehingga pada kurikulum ditemukan

mata pelajaran sejarah, geografi, civics, kooperasi secara terpisah-pisah.

Sedangakan di sekolah lanjutan ditemukan mata pelajaran ekonomi, sosiologi,

dan antrapologi.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

2. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “pembelajaran IPS

sebagai korelasi dari mata pelajaran ilmu-ilmu sosial”. pada kurikulum 1964

ditemukan adanya mata pelajaran pendidikan kemasyarakatan

yangmengkorelasikan ilmu bumi, sejarah dan kewarganegaraan negara (civics).

Di samping mata pelalajarn pendidikan kemasyarakatan tersebut, ditemukan

juga kelompok keprigelan berupa mata pelajaran kooperasi dan tabungan.

3. Padakurikulum 1968 terjadi perubahan pengelompokan mata pelajran sebagai

akibat perubahan orientasi pedidikan. Mka perlajran di sekolah dibedakan

menjadi kelompok-kelompok pembinaan kecakapa khusu. Mata pelarajan

pendidikan kemasyarakatan (kurikulum 1964) diubah menjadi pendidikan

kewarga negaraan. Mata pelajaran pendidikan kewargaan negara ini merupakn

korelasi dari ilmu bumi, sejarah, dan pengetahuan kewarganeraan negara.

4. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “IPS adalah fusi mata

pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi”. Pada kurikulum 1975 terjadi

pengelompokon baru. Kurikulum sekolah berisi tiga jenis pendidikan, yaitu

pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keahlian khusus.

Kurikulum 1975 menge-mukakan bidang studi bernama ilmu pengetahuan sosial

(IPS) dan bidang studi pendidikan moral Pancasila (PMP). Bidang studi IPS

termasuk kelompok pendidikan akademis, dan bidang studi PMP termasuk

kelompok pendidikan umum. Bidang studi IPS sebagai bidang studi pada

pendidikan akademis masih diletakan pada konteks sistem nilai berdasarkan

filsafat Pancasila, Pancasila dan UUD 1945, dalam arti bidang studi PMP.

5. Pada tahun 1980-an kurikulum 1975 diperbaiki. Munculah bidang studi

pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) sederajat dengan PMP, dan erat

hubungan dengan IPS/Sejarah. Misi PSPB adalah menciptakan suasana belajar

ber-CBSA seingga domain kognitif dan efektif tercapai. Usaha-usaha perbaikan

tersebut akhirnya terwujud pada kurikulum 1975 yang disempurnakan atau

kurikulum 1984. Kurikulum 1975 yang disempurnakan berusaha memperbaiki

kelemahan-kelemahan kurikulum 1975. Kemudian Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan melakukan perbaikan kurikulum pada tahun 1994 yang lebih

dikenal dengan “kurikulum 1994”, dimana di dalamnya terjadi perubahan nama

mata pelajaran, seperti PMP dan KN menjadi PPKN.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka jika dibuat perbandingan pembelajaran IPS

di Indonesia dengan yang ada di Amerika, dapat dijabarkan sebagai berikut:

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

1. Pembelajaran IPS di Amerika Serikat berpangkal dari mata pelajaran

sejarah, geografi dan good behavior (tahun 1779) yang berorientasi

kepentingan nasional Amerika Serikat, bukan berorientasi pada Inggris, Jerman,

Perancis dan lain sebagainya. Orientasi kepentingan Amerika Serikat tersebut

secara tegas memebedakan kewargaan negara, artinya warga negara Amerika

Serikat berbeda kepentingan dengan warga negara Inggris walaupun ia

keturunan Inggris. Pembelajaran IPS di Indonesia berpangkal dari mata

pebelajarn sejarah, geografi, dan pendidikan budi pekerti berorientasi

Indonesia tersebut tercetus pada kongres pendidikan nasional tahun 1945.

Keputusan kongres pendidikan nasional tahun 1945. Keputusan kongres

pendidikan nasional 1955 tentang isi pendidikan kebudyaan nasional Indonesia,

agama, sejarah Indonesia, geografi Indonesia, bahasa Indonesia, dan pekerjaan

tangan. Apabila Amerika Serikat menentukan orientasi IPS pada tahun-tahun

awal kemerdekaan, maka Indonesia menentukan orientasi IPS pada tahun-

tahun pertama kemerdekaan.

2. Pembelajaran IPS di Amerika Serikat berkembang pada perione kematangan

dan sintesis ilmu-ilmu sosial yang berkedudukan lemah di Indonesia. Penelitian

tentang masyarakat Indonesia baru dilakukan secara baik sesudah tahun 1965-

an. Sebagai ilustrasi buku Sejarah Indonesia baru tersusun tahun 1977.

Walaupun pentingnya pembelajaran sejarah berorientasi Indonesia telah muncul

sebelumnya.

3. Selama tujuh puluh-delapan tahunan (sejak lahirnya IPS tahun 1916) di

Amerika Serikat telah berkembang empat jenis IPS, yaitu IPS gaya lama, IPS

progresivisme, social science education, dan IPS gaya baru. Selama empat

puluh tahun pasca kemerdekaan, maka sekolah-sekolah di Indonesia baru

melaksanakan jenis IPS gaya lama dan IPS progresivisme. Pembelajaran IPS

ber CBSA dengan pendekatan inkuiri atau humanistis baru.

4. Mata pelajaran yang tergabung dalam IPS di Amerika Serikat dan Indonesi

berbeda. Mata pelajaran IPS yang tergabung dalam IPS di Amerika Serikat

adalah sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, antropologi, sosiologi dan

psikologi sosial. Sedangakan mata-mata pelajaran Ilmu Sosial (IS) yag

tergabung dalam IPS di Indonesia adalah sejarah, geografi, dan ekonomi di

tingkat sekolah dasar. di sekolah lanjutan ditambah dengan antropologi dan

sosiologi. Mata pelajaran civics (bagian dari ilmu politik atau ilmu hukum)

diangkat menjadi pendidikan moral Pancasila (PMP), sebab civics tersebut

terjalin dengan filsafat dan ideologi Pancasila. Dengan kata lain pembelajaran

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

IPS di Indonesia adalah social studies dan filsafat pancasila. Pemilihan IPS

sebagai bidang studi akademis, dan PMP sebagai pendidikan umum yang

menekankan domain afektif menimbulkan dilemma praktek pendidikan.

5. Pembelajaran IS dan IPS di Amerika Serikat telah lama diteliti oleh ahli-ahli

pendidikan sejalan dengan perkembangan penilitan ilmu-ilmu sosial. penelitian

pegajaran berbagai ilmu di Amerika Serikat semakin intensif sejak perang dunia

kedua. Sedangkan penelitian IS dan penelitian IS di Indonesia baru dan dalam

tahap permulaan. Oleh karena itu pembelajaran IS dan IPS di Indonesia

bvanyak memperoleh bantuan dari hasil penelitian IS dan pembelajaran IPS dari

Amerika Serikat dan negara maju.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau pembelajaran IPS di Indonesia berada

pada konteks posisi ilmu-ilmu sosial yang lemah. Di satu fihak, pembelajaran

ilmu-ilmu sosial bermaksud mengerjakan pengetahuan ilmiah tentang

masyarakat Indonesia agar pebelajar dapat hidup di masyarakatnya, di lain fihak

bahan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia hasil penelitian-belum

tersusun.

Pembelajaran ilmu-ilmu sosial juga berusaha mengajarkan berfikir

keilmuan modern tersebut terhambat dengan latar belakang berfikir pra-ilmu

tentang masyarakat atau pula berfikir berdasarkan wawasan-wawasan non-ilmu

sosial berada dalam dilemma pembelajaran berfikir keilmuan tentang

masyarakat. Ilmuwan sosial dan ahli pendidikan di Indonesia ditantang untuk

mampu mengatasi dilemma tersebut.

F. Daftar Pustaka

Dickinson, Robert E. (1969). The makers of modern geography. New York:

Frederick A. Praeger Publisher.

Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem

Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.

Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.

Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and Son.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru Membangun

Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran Bandung.

Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Graffiti,

Press

Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.

Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,

Competent, and Concerned Citizen. Boston, Toronto: Litle, Brown and

Company.

Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore: Reinehart

Publisher.

Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan Proyeksi

PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan

Bandung.

Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring. New

York: Collier McMillan Publisher.

Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi

Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Wahab, Azis. (1999). Otonomi Pendidikan: Pokok-pokok Pikiran Pengelolaan Sistem

Pendidikan Nasional (makalah). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas

Pendidikan Bandung.

Rabu, 06 April 2011

Deskripsi Materi Pembelajaran PIS

Deskripsi Materi Pembelajaran

Dilihat dari sejarah perkembangannya, ilmu-ilmu sosial memiliki

karakteristik yang sangat unik. Setiap cabang ilmu sosial berkembang dan

mendapat legitimasi kalangan ilmuwan dengan cara-cara dan latar yang sangat

beragam. Ilmu-ilmu sosial yang terdiri dari cabang ilmu sosial otonom seperti

sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, sosiologi dan antropologi tidak tumbuh

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

secara simultan. Adanya masalah yang menantang masyarakat, adanya rasa

aman, adanya kebebasan berfikir dalam masyarakat, adanya individu berbakat

yagn berdedikasi memecahkan masalah, adanya fasilitas dan dana yang

tersedia untuk memecahkan masalah, secara berjalinan merupakan faktor

pendorong tumbuhnya cabang-cabang ilmu tersebut (there’re a lot of strong

factors to be developed social science growth).

Cabang-cabang ilmu sosial tersebut tidak tumbuh di dalam suatu negara.

Cabang-cabang ilmu sosial tersebut tumbuh di berbagai negara Eropa, tetapi

karena tokoh peletak dasar ilmu otonom (founding of subject matter) tersebut

diakui oleh masyarakat internasional. Secara ringkas perkembangan cabang-

cabang ilmu sosial tersebut sebagai berikut:

1. Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan

Secara historis perkembangan konsep keilmuan sejarah berjalan secara

lambat, walaupun orang telah menggunakan istilah-istilah history (Inggris),

Geschicte (Jerman), geschidenis (Belanda), dan ada yang lain. menurut Wlash

(1990) terdapat dua disiplin yang memikirkan atau menjadikan peristiwa masa

lampau sebagai ladang kajiannya, yaitu filsafat sejarah dan ilmu sejarah. Filsafat

sejarah memusatkan perhatian pada tindakan manusia dan objek tindakan

tersebut secara spekulatif.

Ilmu sejarah memusatkan perhatiannya pada pengalaman-pengalaman

dan tindakan mannusia dalam fitrahnya sebagai mahluk sosial. Perolehan

pengalaman dan tindakan manusia tersebut menjadi penuturan yang berasal

dari:

1. olahan metodis sehingga pengalaman dan tindakan manusia pada masa

lampau tersebut tersusun secara sistematis,

2. paparan cerita tersebut tersusun menjadi suatu bangunan kebenaran umum

(community trush),

3. pengetahuan tersebut memungkinkan terjadinya suatu prediksi yang berhasil

dan berfungsi untuk mengontrol kejadian-kejadian pada masa yang akan datang

sebagai suatu kontrol pada batas-batas tertentu (limited controls),

4. pengetahuan tentang pengalaman manusia pada masa lampau tersebut

adalah objektif (objectively experinces).

Paparan tentang pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau

menyangkut pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau yang

bersifat ilmiah, artinya memenuhi persyaratan ilmu pengetahuan. Sejarah yang

ditulis berdasarkan role of games penelitian keilmuan tersebut adalah benar-

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

benar memposisikan dan diposisikan sebagai satu cabang ilmu pnegetahuan.

Penegasan bahwa sejarah benar-benar merupakan suatu ilmu pengetahuan

dikemukakan oleh Bury dalam pidato ilmiah berjudul “The Science of History”

pada tahun 1903 di London.

Peletak dasar filsafat sejarah yang terkenal adalah Vico (1668-1744). Ia

merumuskan metode penelitian kesejarahan yang menggantungkan analisisnya

pada evidensi empiris, dan mengalisis pengertian serta sebab-akibat dari ragam

peristiwa, sehingga orang mampu menyusun pengetahuan historis secara

sesuai dengan dalil-dalil ilmiah. Bagi Vico, sejarah adalah kesadaran

kemanusiaan atau awareness of human being tentang apa yang telah dilakukan

oleh manusia. Dengan kata lain, Vico menyusun suatu filsafat sejarah yang

lengkap, dan memulai analisis evidensi empiris secara pragmatis. Analisis

filosofis historis Vico ini terkenal dan bahkan masih berpengaruh sampai abad

sembilan belas, suatu abad yang sibuk dengan formulasi metode-metode ilmu

pengetahuan. Demikianlah sejarah sebagai suatu penuturan carita pengalaman

dan tindakan manusia pada masa lampau baru menjadi ilmu pengetahuan

otonom pada awal abad dua puluh.

2. Geografi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Geography as a science pada dasarnya telah terjadi dan diakui oleh

kalangan ilmuwan semenjak jaman keemasan mashab utopianis. Geografi

sebagai pengetahuan telah berusia lebih dari dua ribu tahun. Peletak dasar

geografi adalah Eratosthenes (abad 3 sebelum Masehi) di Alexandria. Ia

melakukan penulisan tentang dimensi-dimensi bumi, dan mengemukakan istilah

Yunani “gheographe” yang secara harfiah berarti penulisan atau diskripsi

tentang bumi.

Ptoloemus dan Strabo melanjutkan karya Eratosthenes dengan perhatian

utama studi tentang lokasi dan hubuangan tempat-tempat di muka bumi secara

keseluruhan. Geografi berkenaan dengan tempat secara integral, dan topografi

berkenaan dengan tempat sebagai satuan, atau kelompok satuan, istilah ini ada

hubungannya dengan kata Yunani ge, chora, dan topos, yang berarti muka

bumi, distrik, dan tempat. Konsep Ptolomeus dan Strabo tersebut cukup

progresive, yang pada abad tujuh belas dikemukakan kembali oleh Kant.

Selama hampir lima belas abad studi geografi di Eropa terhitung lambat

kemajuannya. Baru pada abad ke-18 hingga 19 muncul ahli yang bernama

Alexander Von Humboldt (1769-1859) di Jerman dan Carl Ritter (1779-1859) di

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Quenlingburg yang melakukan studi geografis secara modern. Kedua orang ahli

tersebut diakui oleh dunia internasional sebagai peletak dasar geografi modern.

Beberapa karya Humoldt yang menonjol antara lain berupa:

1. prosedur ilmiah adalah empiris dan induktif. Ia membedakan pengetahuan

tentang alam menjadi tiga kelompok. Pertama, gejala alam yang secara

taxonomis dapat diklasifikasikan sesuai dengan ciri-ciri bentuk isinya, yaitu

phisiograpi. Kedua, ada pengetahuan sejarah tentang bumi atau geografi pisik.

Perhatian utama studi ini adalah pengelempokkan gejala di muka bumi di dalam

persebaran ruang, hubungan dan saling ketergantungan ruang.

2. Humboldt memandang manusia sebagai bagian alam yang ikut membangun.

Manusia adalah bagian alam yagn menciptakan ruang hidupnya sendiri.

3. Humboldt menggunakan konsep kesatuan alam, dimana manusia menjadi

bagian integral alam, dan melakukan keseimbangan alam.

Karya Ritter sebagai peletak dasar geografi modern yang menonjol antara lain

adalah:

1. Ritter memandang geografi sebagai ilmu pengetahuan empiris,

2. Ritter memandang pengaturan ruang dan penghuninya dalam hubungan

mutualis, saling tergantung sesamanya. Dalam hai ini geografi dan sejarah

bersifat selalu sejalan. Bumi berpengaruh atas manusia, dan manusia atas bumi.

Inilah kunci pendekatan Ritter.

3. Geograpi merupakan studi tentang ikatan alamiah penghuni,

4. Geograpi mempebelajari objek dimuka bumi seperti kehidupan mereka saling

terikat dalam satu wilayah.

5. Ritter menekankan pandangan holistik sebagai tujuan geografi dengan pusat

perhatian dan puncaknya pada manusia,

6. Ritter memandang unit geografis tidak sebagai kerangka ilmiah, tetapi

merupakan suatu yang terkandung dalam alam, dan

7. Pandangan Ritter berorientasi teleologis, dalam arti penelitian ke ruang tentang

bumi pada dasarnya untuk membuat kehidupan manusia menjadi lestari.

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa jana Ritter di bidang ilmu

pengetahuan adalah konsep tentang kewilayahan yang menghunungkan

berbagai fenomena di seluruh muka bumi. Ia tidak membedakan georapi khusu

dengan geografi umum. Setelah Humboldt dan Ritter meletakan konsep-konsep

dan metodologi geografi modern, maka geografi berkembang pesat di Jerman

dan Prancis, bahkan berpengaruh di dunia internasional. Ikatan profesi geografi

dibentuk di Paris tahun 1821, di Jerman 1828, di London tahun 1830, di Rusia

tahun 1845, di New York tahun 1852. Kongres internasional geografi

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

diselenggarakan pertama kali di Belgium tahun 1871, dan yang terakhir (ke 20)

di selenggarakan di New Delhi tahun 1968. Demikianlah geografi telah menjadi

ilmu pengetahuan empiris yang modern dan otonom sejak abad ke-18 hingga

abad 19.

3. Ekonomi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Upaya memenuhi kebutuhan hidup dan menjadikan hidup berlangsung

secara normal melalui pencarian nafkah adalah sesuatu yang common sense.

Kegiatan mencari nafkah sebagai sistem mata pencaharian hidup telah terjadi

bersamaan dengan terbentuknya masyarakat manusia. Oleh karena itu adalah

tidak mungkin untuk memahami kehidupan dan perkembangan masyarakat

tanpa memahami kegiatan ekonominya. Sebab menurut Alan Day (1989), sistem

perekonomian adalah: .......... only part of the whoe social sytem..........In fact,

understanding of the working of the economic system is a necessary part of the

equipment of anyone who wishes a serious interest in political and social affairs.

Walaupun secara wajar kegiatan perekonomian talah terjadi sejak terbentuknya

masyarakat, tetapi pada umunya seara konvensional pencarian jejak timbulnya

perekonomian modern mengarah pada karya tulis abad 17 dan 18 di Inggris dan

Perancis.

Pada abad 17 dan 18 masyarakat Inggris dan Perancis sedang tumbuh

menjadi masyarakat industri kapitalis modern. Pada masyarakat kapitalis

terdapat beberapa perubahan yang menyolok bila dibandingkan dengan

masyarakat tradisional. Hal ini menunjukkan adanya perubahan menyolok bila

dibandingkan dengan masyarakat tradisional yang secara ekonomis masih

berorientasi pada sistem yang sederhana. Adapun beberapa ciri dari perubahan

itu adalah:

1. dalam sistem kapitalisme pengadaan produksi berorientasi pada laba,

2. produksi barang berorientasi pada pasar dan iklan, tidak berdasarkan

pesanan,

3. perekonomian berdasarkan pada persaingan bebas, dan “dumping”,

4. produksi dalam kapitalisme bersifat massal. Etik kerja kapitalisme adalah

pemanfaatan kapital sebagai milik yang berguna untuk memperbanyak milik.

Dengan kapitalisme ini lahirlah manusia “baru”, yang di Inggris disebut sebagai

“captain of industry”.

Masyarakat kapitalis yang semula tampak seara jelas di kota-kota

Perancis utara, Inggris, Jerman Selatan, Belanda, Belgi dan Italia Utara,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

kemudian menyebar keseluruh Eropa, jajahan-jajahan Eropa, Amerika, Afrika

dan Asia.

Masyarakat kapitalis melahirkan manusia-manusia yang berani mengadu

untung, dapat mengambil keputusan cepat, tepat dalam keadaan darurat,

berorientasi pada keuntungan dan kekayaan. Dalam tahap pertumbuhan

masyarakat kapitalis tersebut pengetahuan ekonomi pra-kapitalis ditinggalkan

dan timbullah ilmu ekonomi modern. Adalapun petak dasar ekonomi modern ini

adalah Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus (1766-1836). David

Ricardo (1771-1823), dan John Stuart Mill (1806-1873). Ilmu ekonomi kemudian

tumbuh dan berkembang pesat, terdiri dari beberapa mazhab, dan melakukan

analisis secara makro dan mikro pada kegiatan ekonomi dunia.

4. Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan

Praktek politik telah dilakukan sejak abad kelima sebelum Masehi.

Pertumbuhan pengetahuan politik menjadi ilmu politik yang modern berjalan

sangat lamban. Kesangsian tentang sifat keilmuan ilmu politik berkenaan

dengan kelemahan pada segi-segi objek penelitian, praktek politik irasional,

istilah yang tidak baku dan sistem ilmiah yang unstructure. Kelemahan-

kelemahan tersebut sukar dipecahkan, terbukti selama dua ribu tahun lebih baru

mulai terselesaikan.

Pengaruh mashab renaissance juga melanda pemikiran pada kegiatan

politik. Jean Bodin (1530-1596) untuk pertama kali menggunakan istilah science

politique dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1576, yang kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa yang lain. (buku J.Bodin

berjudul Method for The Easy Comprehension of History merupakan terjemahan

B. Reynolds, New York, 1945). Istilah tersebut kemudian di gunakan oleh ahli-

ahli lain, tetapi tentu saja terjadi pengembangan konsep tentang istilah tersebut.

Perbedaan pendapat tentang otonomi ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan

berlangsung selama empat ratus tahun. Berkaitan dengan eksistensi ilmu politik

sebagai ilmu yang otonom pada abad 19 terjadi beberapa peristiwa penting.

Pada tahun 1858 di Columbia College di Amerika Serikat, Francis Liber

(kelahiran Jerman) diangkat menjadi pembelajar besar dalam sejarah dan ilmu

politik. Peristiwa ini merupakan pengetahuan yang otonom. Pada tahun 1870 di

Paris didirikan Ecole Libre des Sciences Politique, yang kemudian disusul

dengan didirikannya School of Economics and Political Sciense di London pada

tahun 1895. Peristiwa-peristiwa tesebut menunjukkan bahwa ilmu politik

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dianggap sebagai suatu ilmu otonom dan patut mendapat tempat di dalam

kurikulum perpembelajaran tinggi.

Pada awal perumbahan sebagai ilmu yang otonom, pengaruh filsafat,

sejarah, ilmu hukum, pada ilmu politik sangat besar. Secara terprogram ahli-ahli

ilmu politik berusaha memperbaiki otonomi ilmu politik. Setelah perang dunia

kedua perkembangan ilmu politik menjadi suatu disiplin yang otonom makin

pesat. Pada tahun 1948 UNESCO menyelenggarakan survay mengenai

kedudukan ilmu politik di 30 negara di dunia. Hasil survey dilaporkan menjadi

buku berjudul Contemporary Political Science (1984).

Kemudian pada tahun 1952 UNESCO berkerjasama dengan International

Politikal Science Assosiation (IPSA) mengadakan penelitian di 10 negara. Hasil

penelitian dilaporkan dan dibahas di konverensi internasional, dan penelitian

tersebut melahirkan buku berjudul The University Teaching of Social Science:

Political Science yang diterbitkan tahun 1952. Kedua penelitian tersebut

merupakan usaha dalam skala internasional untuk membina pengembangan

ilmu politik, mempertemukan pandangan yang berbeda-beda di bidang ilmu

politik, dalam rangka menegakkan ilmu politik sebagai ilmu yang otonom.

5. Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Secara empris masyarakat manusia telah berumur sekitar 200.000

sampai 80.000 tahun terhitung sejak adanya makhluk yang bernama homo

sapiens. Meskipun demikian pengetahuan tentang masyarakat secara ilmiah

baru berumur sekitar seratus tahunan lebih. Pada awalnya pengetahuan tentang

masyarakat merupakan ladang kajian dari filsafat.

Pemikiran-pemikiran tentang masyarakat telah lama dilakukan oleh

berbagai aliran filsafat, baik filsafat barat atau filsafar timur. Filsafat sosial

menggambarkan masyarakat atau negara yang umumnya secara normatif.

Perilaku manusia paling sulit untuk dipahami, sebab perilaku manusia meliputi

lahir-batin orang lain, suatu perilaku yang mempunyai ciri individual dan

sekaligus sosial. di satu fihak, manusia menghayati dirinya sebagai pusat

kegiatan yang tidak ada kembar-rangkapnya, dilain fihak individu berpikir dan

bertindak dengan pangkal, suatu pola kemasyarakatan menghasilkan adanya

rasa tertib (harmonisasi). Adanya kondisi yang tertib tersebut seringkali dijadikan

orientasi tindakan, dan dijadikan pola dasar tindakan yang sama. Adanya

ketertiban tersebut bersumber dari sistem nilai tertentu, yang kemudian

diutamakan, dimana dampaknya orang lupa bahwa perilaku sosial tersebut

adalah untuk sebagian ciptaan si aktor sendiri.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

Berbagai aliran filsafat sosial normatif tersebut mengutamakan ketertiban

sosial, adanya “orde sosial” yang harus diterima, dihormati, ditaati secara ikhlas

dan sabar oleh individu. Agama teologi, atau sistem nilailah yang dipandang

memadai dan satu-satunya kriterium bagi perilaku sosial. Sejak jaman

renaisance berkembang cara berfikir yang memfokuskan kajian tentang

masyarakat. Suatu revolusi mental berlangsung dimana peranan manusia

sebagai individu dalam mengubah muka bumi dan mengatur masyarakatnya

makin disadari baik secara individual maupun komunal.

Berbagai peristiwa sosial, dimana suatu perilaku menimbulkan

perubahan-perubahan masyarakat secara progresif. Gagasan-gagasan baru

yang berpangkal pada kebebasan manusia untuk mengatur masyarkat dan

dunia menimbulkan berbagai dampak sosial. Gagasan-gagasan tersebut

berbeda dengan gagasan tetang adanya tertib sosial yang dominan. Struktur

sosial yang selama berabad-abad tidak dipersoalkan, dijadikan masalah,

dipelajari dan distrukturisasi secara ilmiah. Kehidupan masyarakat, perilaku

sosial, perilaku individu, tata nilai yang mendasari hidup manusia dijadikan

bahan telaahan dan diteliti menurut pola-pola scientific. Upaya dan tendensi ini

melahirkan kelompok ilmuwan sosial yang mempebelajari masyarakat dan

kebudayaan manusia yang dimulai pada abad 19.

Menurut Robert Beirstedt, psikologi dan sosiologi memisahkan dasar

sosiologi sebagai ilmu yang otonom pada abad 19. Founding Father sosiologi

sebagai ilmu yang otonom adalah August Comte (1798-1857) di Perancis,

Hebert Spencer (1820-1903) di Inggris, dan Lester Ward di Amerika Serikat.

Comte mengemukakan istilah sociology untuk pertama kali pada tahun 1839.

Dalam buku Positive Philosophy (terbit tahun 1842) Comte berpendapat bahwa

sudah saatnya penelitian tentang fenomena sosial dan masalah sosial

memasuki tahap dimana penelitian tentang masyarakat akan menjadi the

science of society.

Menurut Comte, sosiologi adalah “the grand overall social science and ....

the end result of the scientific movement”. Comte berpendapat bahwa

kemampuan akal budi manusia untuk mengenal gejala dunia adalah terbatas.

Mereka harus membatasi usahanya mencari pengetahuan yang ilmiah dengan

mengolah data inderawi yang objektif dan nyata. Apa yang dapat dilakukan oleh

manusia adalah (i) menerima dan membenarkan gejala empiris sebagai

kenyataan, (ii) mengumpulkan dan menggolong-golongkan gejala itu menurut

hukum yang menguasai mereka, dan (iii) meramalkan kejadian-kejadian yang

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

akan datang berdasarkan hukum-hukum itu, dan mengambil tindakan yang

dirasa perlu atau berfaedah.

Comte memandang masyarakat secara holistis. Masyarakat adalah suatu

kesatuan yang dalam bentuk dan arahannya tidak bergantung pada inisiatif

bebas anggotanya, tetapi pada proses spontan-otomatis dimana berkembang

akal budi manusia tentang masyarakatnya itu sendiri. Akal dan cara berfikir

manusia berkembang dengan sedirinya. Proses perkembangan itu berlangsung

tahap demi tahap dan merupakan proses alam yang tak terelakan dan tak

terhentikan.

Menurut Comte proses tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tahap,

yaitu tahap religius, tahap metafisik, dan tahap positif. Dalam tahap positif inilah

agama harus menyerahkan hegemoninya atas wilayah akal-budi kepada ilmu

pengetahuan empiris. Apabila dalam tahap religius katedral, Pura, Masjid dan

Kuil menjadi jantung kehidupan bersama, dan agama menjiwai dan

melembagakan seluruh masyarakat, maka pada tahap positif univesitas, bank

dan kawasan industri menjadi urat nadi masyarakat. Pada tahap ini pemikiran

spekulatif diganti dengan pemikiran rasionalitas keilmuan, dan pengetahuan

tersebut adalah sosiologi.

6. Antropologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Abad ke 15 dan awal abad ke 16 merupakan titik balik dimana orang-

orang Eropa sangat tertarik pada suku-suku bangsa pribumi di benua Afrika,

Asia dan Amerika. Pertemuan atara orang Eropa dan non-Eropa tersebut

menimbulkan catatan-catatan (scientific memories). Catatan-catatan tersebut

disusun oleh para musafir, pedagang, pendeta, pelaut, pegawai perusahaan,

pegawai pemerintah, atau oleh bukan ilmuwan.

Catatan perjalanan, peristiwa hidup dalam masyarakat, laporan keadaan

tentang pribumi dan keadaan alam tersebut dihimpun dan dijadikan laporan.

Kemudian secara lambat laun orang melakukan pembahasan tantang catatan

dan laporan keadaan tanah, penduduk, dan perilaku pribumi secara sistematis.

Dari catatan-catatan tersebut lahirlah etnografi, sebagai bagian tertua dari

antropologi.

Sebenarnya yang membuat catatan etnografis tersebut adalah orang

barat dan timur, tetapi pada umunya orang-orang Eropalah yang membuat

pengerjaan bahan-bahan secara metodis dan sistematis. Joseph Francis Lafitau

(1680-1740) misalnya adalah seorang padri dan ahli etnografi yang pertam-tama

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

menjadi ahli etnologi dengan karya berjudul “Moeurs des souvagies americanins

coparees auc moerus des premiers temps”.

Lafitau sebagai padri dan ahli bahasa klasik tertarik untuk

membandingkan persamaan dan kebiasaan, tata susila pada orang-orang Indian

dengan adat istiadat bangs-bangsa kuno di Eropa. Menurut Lafitau oerang-

orang primitif tersebut bukanlah orang yang aneh. Menurut Birket Smith

seorang ahli etnologi yang dapat digolongkan ahli etnologi modern adalah Jane

Kreft, seorang pembelajar besar pada akademi di Soro, menulis buku “sejarah

pendek tentang lembaga-lembaga penting, adat dan pandangan orang liar” pada

tahun 1760. Ia menulis tentang dua suku Indian, yaitu suku Lule dan Caingua di

Amerika Selatan. Jane Kreft adalah seorang ahli menulis etnologi umum yang

memperhatikan pertumbuhan ekonomi, masyarakat, agama dan kesenian pada

dua suku tersebut. Buku Jene Keft tersebut diterjemahkan dalam bahasa

Jerman dengan judul “Die Sitten der Wilden” pada tahun 1766.

Sejalan dengan eksplorasi, perdaganan, dan pengembaraan orang-orang

Eropa di masyarakat non-Eropa, maka terdapat gejala penting dalam

perumbuhan antropologi. Orang Eropa membuat lembaga-lembaga etnologi dan

museum-museum untuk mempebelajari secara komparatif mengenai

kebudayaan. Pada tahun 1841 di Kopenhagen misalnya, G.J Thomson

mendirikan museum etnografi. Pada tahun 1850 di Hamburg didirikan museum

etnologi.

Pada tahun 1866 di Harvad didirikan The Peabody museum of

Archeology and Ethnology. Pada tahun 1842 di New York didirikan American

Ethnological Society. Pada tahun 1843 di Inggris didirikan Ethnological society of

London. Demikianlah pembuatan museum-museum tersebut meluas di berbagai

negara Eropa, sebagai pertanda meningkatnya studi di bidang antropologi, yang

merupakan legitimasi terhadap antropologi sebagai ilmu yang otonom.

Koentjaraningrat berpendapat, bahwa pertumbuhan antropologi sebagai

ilmu pengetahuan dapat dikelompokan menjadi empat tahap, yaitu ;

1. Fase I, sebelum 1800, kalangan ilmiah menaruh perhatian pada pengetahuan

tentang masyarakat dan suku-bangsa non-Eropa untuk diintegrasikan menjadi

pengetahuan etnografis yang menyeluruh,

2. Fase II, pertengahan abad 19, usaha penyusunan pengetahuan ilmiah dengan

tujuan mempebelajari sejarah evolusi dan persebaran kebudayaandi dunia,

3. Fase III, awal abad 20 usaha penyusunan pengetahuan ilmiah untuk keperluan

tujuan praktis. Orang Eropa mempebelajari masyarakat luar-Eropa untuk

kepentingan pemerintah kolonial, dan

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

4. Fase IV, sesudah tahun 1930, antropologi telah mencapai perkembangan

sebagai ilmu pengetahuan otonom.

Perkembangan yang pesat tersebut didorong oleh banyaknya

pengetahuan terinci dan majunya metode penelitian antropologis, yang

bersamaan dengan perubahan dunia berupa:

1. timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesuadah perang dunia kedua,

2. cepat hilangnya bangsayang dianggap primitip tahun 1930-an berkat

persebaran peradaban dan kebudayaan dunia. Adapun tujuan antropologi ada

dua macam yaitu

a. tujuan akademis adalah mencapai pengertian tentang aneka warna manusia,

masyarakat, dan kebudayaan di dunia, dan

b. tujuan praktis adalah mempebelajari masyarakat pedesaan dalam rangka

memajukan penduduk pedesaan.

Adapun peletak dasar antropologi yang otonom antara lain adalah Lewis

Henry Morgan (1818-1881) dan Edward Burnett Tylor (1832-1917). Kedua orang

ahli ini tergolong pada aliran evosionisme klasik. Asumsi-asumsi aliran

evolusionis yang terkenal adalah:

1. bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bekerja sesuai dengan hukum

alam,

2. bahwa hukum alam mengusai perkembangan dan tidak mengalami

perubahan sepanjang zaman,

3. bahwa secara alamiah kemajuan bergerak secara progresif, dari yang

sederhana menuju ke arah yang lebih komplek dan dari yang tidak

terorganisasikan menuju ke arah yang lebih terorganisasi dan secara

lengkap, dan

4. manusia diseluruh dunia mempunyai potensi yang sama, tetapi

perkembagnan kualitatif tentang pengalaman dan intelegensinya berbeda.

Manusia di seluruh dunia mempunyai kesatuan psykhis. Perbedaan

manusia disebabkan oleh pengembangan intensif pada potensi mental dan

intelegensi secara gradual berbeda-beda. Aliran evolusionisme ini memiliki

kelemahan-kelemahan, meskipun demikian jasanya juga diakui oleh aliran-aliran

lain.

Diantara jasa aliran evolusionis yang penting adalah (a) ahli-ahli

antropologi evolusionis berhasil membuat konsep kebudayaan sebagai konsep

ilmiah yang tersusun secara sistematis, (b) ahli-ahli ini menyadarkan para

ilmuwan bahwa aspek-aspek kebudayaan dapat diteliti secara terpisah-pisah,

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

dan (c) bahwa kebudayaan itu mengalami perubahan-perubahan, dan

perkembangannya bersifat berkesinam-bungan, dan untuk memahaminya perlu

menggunakan pendekatan yang realistis. Sebagai antropolog, maka karya E.B.

Taylor yang terkenal adalah Primitive Culture: Researches into the development

of mythodology, phylosophy, religion, languae, art and custom (1877), disamping

buku-buku penting seperti Langue of the ho-de-no Sau-nie or Ifoquois (1851),

suatu tulisan ilmiah suku bangsa Indian yang pertama.

Masyarakat Eropa abad XVI-XVII merupakan masyarakat yang sedang

tumbuh menjadi masyarakat industri, suatu masyarakat yang menyimpang dari

perkembagan pola umum. Secara pengetahuan terjadilah perubahan minat dari

metafisika ke minat pada ilmu alam dan mekanika. Fracis Bascon (1561-1626)

seorang negarawan Inggris dan pelopor filsarat empirisme memperkenalkan

metode keilmuan empiris.

Pendekatan empiris induktip ini merangsang minat orang pada

perdagangan, produksi, dan mesin-mesing. Orang mulai menyadari akan

keuntungan ilmu pengetahuan dipandang dari segi perdagangan. Orientasi

kemasyarakatan berubah, dan lahirnya kesadaran baru tersebut dirumuskan

oleh Francis Bacon sebgai “pengetahuan adalah kekuasaan”. Perdagangan,

produksi, mesin-mesin, merupakan faktor-faktor pengembang masyarakat.

Masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat industri yang membutuhkan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat ilmiah seperti Royal Society di

Inggris (1661), Academic de Sciences di Paris (1663), Accademia dei Lincei di

Roma (1603), Himpunan penggemar taman Tmbuh-tumbuhan di Liden (1580)

dibentuk, sebagai suatu wujud minat orang-orang terpebelajar dan orang kaya

pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang di universitas dan diluar

universitas.

Masyarakat mendorong tumbuhnya berbagai cabang ilmu pengetahuan,

dan pada kesempatan tersebut lahirlah cabang-cabang ilmu sosial yang tumbuh

menjadi ilmu yang otonom dan modern. Sebagai ilmu yang modern, menurut

Edwin R.A. Seligman, ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

1. ilmu sosial murni yang terdiri dari ilmu politik, ekonomi, sejarah, ilmu

hukum sosiologi dan antropologi,

2. semi-ilmu sosial yang terdiri dari filsafat, etika, ilmu pendidikan, psikologi,

dan

3. ilmu-ilmu yang mempunyai implikasi sosial, baik yang berasal dari ilmu

kealaman ataupun kebudayaan, seperti geografi, biologi, ilmu kedokteran,

linguistik dan kesenian.

KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN

F. Daftar Pustaka

Arbhunn, Quen. (1999). A New Paradigm in Social Studies. New York, Australia,

Singapore, and New Delhi: McMillan, Co.

Dickinson, Robert E. (1969). The makers of modern geography. New York:

Frederick A. Praeger Publisher.

Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral

Sistem Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.

Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.

Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and

Son.

Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru

Membangun Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran

Bandung.

Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta:

Graffiti, Press

Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.

Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,

Competent,and Concerned Citizen.Boston, Toronto:Litle, Brown and

Company.

Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore:

Reinehart Publisher.

Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan

Proyeksi PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Pendidikan Bandung.

Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring.

New York: Collier McMillan Publisher.

Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi

Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Wahab, Azis. (1999). Otonomi Pendidikan: Pokok-pokok Pikiran Pengelolaan

Sistem Pendidikan Nasional (makalah). Bandung: Lembaga Penelitian

Universitas Pendidikan Bandung.

Welton, David A. and John T. Mallan. (1996). Children and Their World:

Strategies for Teaching Social Studies (Fifth Edition). USA: Hougthon

Mifflin Company.