Upload
khairul-iksan
View
181
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Rabu, 06 April 2011
DEFINISI ISTILAH PIS
Ilmu-Ilmu Sosial :
Studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia. Studi tentang tingkah laku
kelompok umat manusia mengenai cara mereka mengatur dan memenuhi
kebutuhan yang diperlukan hidup (ekonomi), mengenai tata cara hubungan
anggota kelompok dengan kelompok dan kelembagaan yang mereka perlukan
(sosiologi), mengenai berbagai aturan dan nilai dalam kelompok (antropologi),
keterhubungannya dengan ruang (geografi), mengenai aktivitas manusia dimasa
lalu (sejarah), kelembagaan dan proses pembinaan kelompok generasi muda
oleh generasi diatasnya (pendidikan), cara dan aturan main mengenai
kekuasaan serta kelembagaan (politik).
Pendekatan Terpisah :
Pendekatan di mana setiap disiplin dalam ilmu-ilmu sosial diajarkan secara
terpisah. Dalam pendekatan ini tujuan dan materi pelajaran sepenuhnya
dikembangkan dari disiplin ilmu yang bersangkutan.
Pendekatan gabungan :
Pendekatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggabungkan (korelasi)
beberapa disiplin ilmu-ilmu sosial dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok
bahasan dikenal ada satu disiplin ilmu sosial yang dijadikan sebagai disiplin ilmu
utama dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok bahasan. Dalam kajian itu,
disiplin ilmu yang utama tadi dibantu oleh disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya yang
digunakan secara fungsional.
Pendekatan Multidisiplin :
Pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu untuk
membahas suatu pokok persoalan. Batas-batas disiplin ilmu itu tetap
dipertahankan dan kedudukan satu disiplin ilmu terhadap masalah sama dengan
kedudukan disiplin ilmu lainnya (tidak ada disiplin ilmu yang lebih utama
dibandingkan disiplin ilmu lainnya).
Pendekatan Terpadu :
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pendidikan ilmu-ilmu sosial yang memadukan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial
sedemikian rupa sehingga batas-batas antara disiplin satu dengan lainnya
sudah tidak tampak.
Pendidikan :
Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.
Pendidikan Ilmu Sosial :
Pendidikan mengenai disiplin-disiplin dari ilmu-ilmu sosial sesuai dengan
pendekatan yang digunakan (terpisah, gabungan, atau terpadu).
Synthetic Social Sciences :
Upaya untuk memadukan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi suatu
disiplin baru. Upaya ini diantaranya dipelopori oleh Bruner dan kawan-kawannya
dari Universitas Harvard (Harvard University).
Perkembangan kurikulum di Indonesia menunjukkan posisi pendidikan
ilmu-ilmu sosial yang berbeda selama masa 30 tahun terakhir. Dalam
kurikulum 1964 pendidikan ilmu-ilmu sosial SMP hanya terdiri atas disiplin.
Sejarah dan Geografi, Kedua disiplin ilmu dibagi atas dua bagian yakni Sejarah
Kebangsaan dan Sejarah Dunia, Geograpi Indonesia dan Geografi Dunia.
Sejarah Kebangsaan dan Geografi Indonesia dalam struktur kurikulum
dimasukkan dalam Kelompok Dasar maupun dalam Kelompok Cipta baik dalam
Kelompok Dasar maupun dalam Kelompok Cipta, Sejarah dan Geografi
diajarkan dengan pendekatan pengajaran disiplin ilmu yang terpisah (separated
disciplinari approach).
Pendekatan terpisah digunakan pula dalam pengajaran ilmu-ilmu
sosial di SMA. Dalam kurikulum 1964 pendidikian ilmu-ilmu sosial di SMA terdiri
atas Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Pendidikan Sejarah terdiri atas pendidikan
Sejarah Indonesia (istilah yang digunakan bukan Sejarah Nasional seperti yang
digunakan untuk SMP), Sejarah Dunia dan Sejarah Kebudayaan. Pendidikan
Geografi terbagi atas Geografi Indonesia dan Geografi Dunia.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Dalam kurikulum 1968 yang merupakan perbaikan dari kurikulum 64
dan 66, Sejarah dan Geografi tetap mewakili pendidikan ilmu-ilmu sosial di SMP.
Kedua disiplin ilmu itu di ajarkan dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia dan
Sejarah Dunia, Geografi Indonesia dan Geografi Dunia. Keadaan yang sama
dengan kurikulum 1964 berlaku untuk pendidikan ilmu-ilmu sosial di SMA.
Bentuk pengajaran yang disarankanpun masih sama yaitu pendekatan
pengajaran disiplin ilmu yang terpisah.
Upaya untuk menerapkan pendekatan integratif dalam kurikulum ilmu-
ilmu sosial hanya dilakukan dalam kurikulum 1975. Meskipun harus dikatakan
bahwa upaya itu kurang berhasil baik ditingkat kurikulum apalagi di tingkat
pengajaran tetapi kurikulum tersebut adalah sesuatu yang memberikan alternatif
lain dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial.
Dalam kurikulum 1975 IPS SMP, pendidikan ilmu-ilmu sosial diwakili
oleh disiplin Sejarah, Geografi, dan Ekonomi. Pembagian Sejarah menjadi mata
pelajaran terpisah Sejarah Indonesia dan Sejarah Dunia dan Geografi menjadi
mata pelajaran terpisah. Geografi Indonesia dan Geografi Dunia tidak terjadi
dalam kurikulum 75. Keterpaduan yang dikehendaki kurikulum walaupun tidak
dapat dikatakan yang dikehendaki kurikulum, walaupun tidak dapat dikatakan
berhasoil dirterjemahkan dalam GBPP, menyebabkan materi Sejarah Indonesia
dan Sejarah Dunia diramu sedemikian rupa sehingga hanya tergambar pada
rumusa. Tujuan Kurikuler demikian pula yang terjadi dengan Geografi yang
diperluas dengan Kependudukan.
Dalam kurikulum 1975 IPS SMA ditambahkan materi Antropolgi
sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial sudah lebih
berkembang dalam jumlah disiplin ilmu yang diliput kurikulum. Meskipun
demikian, pendekatan terpadu yang diinginkan kurikulum tidak berhasil
diterjemahkan dalam GBPP.
Upaya mengembangakan pendekatan terpadu untuk pendidikan ilmu-
ilmu sosial dapat dikatakan berhasil dalam kurikulum 84 IPSSMP. Rumusan
tujuan kurikuler, Tujuan Instruksional Umum, serta rumusan Pokok Bahasan,
dan Uraian memberikan petunjuk keberhasilan penerapan pendekatan terpadu
dalam GBPP.
Pendidikan ilmu-ilmu sosial dalam kurikulum SMA berikutnya (1984
dan 1994) dikembangkan berdasarkan pendekatan disiplin ilmu yang terpisah.
Mamang terjadi perbedaan-perbedaan dalam mata pelejaran yang menopang
pendidikan ilmu-ilmu sosial kedua kurikulum dan bukan dalam pendekatan
pendidikan ilmu sosial yang digunakan.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Senarai :
Eklintik Pandangan yang berupaya menggabungkan berbagai aliran dengan
melihat kebaikan dan keuntungan yang dimiliki setiap aliran. Dalam konteks
diskusi dalam baba ini eklitik diartikan secara khusus pada golongan yang
menganut pandangan esensialisme tetapi dalam pendekatan pengembangan
materi tidak membatasi diri hanya pada pendekatan terpisah tetapi juga
gabungan dan terpadu.
Esensialisme Aliran dalam filsafat pendidikan yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah pengembangan intelektualisme. Unrtuk mencapai tujuan
pendidikan itu maka disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah menurut ciri
khas keilmuan itu sendiri. Dalam pandangan ini pendektyan ganbungan atau
terpadu adalah sesuatu yang tidak benar.
Perenialisme Aliran filsafat yang menyatakan bahwa intelektualisme adalah
tujuan pendidikan yang utama. Untuk mencapai tujuan tersebut maka siswa
harus belajar mengenai liberal arts dan karya-karya Besar.
Rekonstruksionisme Aliran filsafat ini berpendapat bahwa tujuan pendidikan
yang palin utama adalah mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu
pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan siswa dengan kemampuan
dan keterampilan yang bermanfaat bagi upaya mensejahterakan masyarakat.
Akomodasi : Istilah yang digunakan piaget untuk menunjukkan proses
perubahan pada skema yang ada sehingga ia mampu menerima informasi baru
(yang sudah mengalami asimilasi).
Asimilasi Istilah yang digunakan piaget untuk menunjukkan proses perubahan
yang terjadi pada informasi agar informasi itu memiliki keterkaitan dengan
skema siswa.
Belajar Penuh Makna : istilah yang digunakan Ausubel untuk menunjukkan
bahwa infornmasi, konsep, generalisasi teori dan bahan lainnya yang dipelajari
memiliki keterkaitan makna dan wawasan dengan apa yang sudah diwakili
siswa sehingga mengubah apa yang telah menjadi milik siswa.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Belajar Tanpa Makna : Istilah yang digunakan Ausubel untuk menunjukkan
bahwa informasi, konsep, generalisasi teori dan bahan lainnya yang dipelajari
tidak memiliki keterkaitan makna dan wawasan dengan apa yang sudah dimiliki
siswa sehingga bahan yang baru dipelajari tidak berkembang menjadi milik
siswa.
Berpikir Formal : istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan tahap
perkembangan berpikir seseorang yang sudah mampu memahami bukan saja
hal-hal yang abstrak tetapi juga yang bersifast induktif dan deduktif.
Berpikir KonkrIt : Istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan
kemampuan awal siswa dalam berbagai hal termasuk perbedaan-perbedaan
dalam informasi yang dipelajari.
Enactive : Istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan kemampuan
berpikir yang dapat diwakilkan melalui tanda-tanda dan sudah mulai melepaskan
diri sdari keterbatsan ingatan yang dihubungkan dengan waktu dan tempat
tetapi masih terbatas pada informasi yang dinyatakan secara eksplisit.
Non-specific transfer : istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan
kemampuan yang dimiliki siswa dalam menerapkan apa yang sudah
dipelajarinya dalam berbagai situasi.
Preoperasional : Istilah yang digunakan Piaget untuk menggambarkan
kemampuan awal seseorang untuk berkomunikasi dengan dunia luar melalui
bahasa verbal.
Sensori Motor : Istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan kemampuan
seseorang pada tingkat awal hubungannya dengan dunia luar
melaluikomunikasi non- verbal
Skema : Pengetahuan, pemahaman, kemampuan kognitif dan afektif yang
sudah ada dan menjadi milik siswa sebelum ia belajar sesuatu yang baru. Jika
sesuatu yang baru dipelajari dapat diterima oleh skema yang ada maka skema
itu berkembang menjadi sesuatu yang baru.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Specific transfer of training : Istilah yang digunakan Bruner untuk
menunjukkan kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dipelajari hanya untuk situasi-situasi khusus.
Symbolic : Istilah yang digunakan Bruner untuk menunjukkan kemampuan
beropikir yang abstrak, penuh lambang, dan dapat dikembangkan untuk berpikir
dalam ilmu.
Afektif : adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan perasaan, sikap,
nilai dan moral seseorang.
Development Objectives : Tujuan yang harus dikembangkan dalam suatu
proses pendidikan yang panjang dan oleh karena itu ia tidak mungkin tercapai
hanya dalam satu pertemuan kelas.
Konatif : adalah aspek kepribadian yang berkenaan dengan kemauan,
keinginan, dan pelaksanaannya dalam hidup sehari-hari
Kognitif : adalah pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari adalah aspek
kepridabian yang berkenaan dengan kemampuan daya pikir dan nalar
seseorang.
Mastery Objective : Tujuan yang dapat dicapai dalam suatu pertemuan kelas
dan umumnya berkenaan dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap
materi substantif pelajaran tersebut.
Tujuan : adalah kualitas yang ingin dikembangkan pada diri siswa setelah
mempelajari ilmu-ilmu sosial. Tujuan memberikan arah mengenai pemilihan
bahan ajar dan kemana proses belajar siswa harus diarahkan.
Tujuan Global : Tujuan yang berkenaan dengan ruang lingkup yang bersifat
terbuka terhadap kejadian dan perkembangan yang ada di luar negara
Indonesia. Kejadian dan peristiwa itu berpengaruh terhadap kehidupan siswa
seharihari dan oleh karenanya tujuan ilmu-ilmu sosial harus juga
mempersiapkan siswa untuk berhadapan dengan berbagai peristiwa global.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Tujuan Institusional : Tujuan yang hendak dicapai oleh suatu lembaga
pendidikan tertentu. SMP memiliki tujuan institusional yang berbeda dari SMA
karena fungsi pendidikan yang diemban lembaga tersebut berbeda.
Tujuan Pendidikan Nasional : tujuan yang hendak dicapai oleh setiap upaya
pendidikan yang dilaksankan di Indonesia. Tujuan ini ditetapkan dalam GBHN,
Uunomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan Pendidikan
Nasional merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam melaksanakan pendidikan.
Oleh karena itu setiap upaya pendidikan yang berlaku di tanah air hendaklah
diarahkan untuk pencapaian kualitas manusia yang dipersyaratkan dalam tujuan
pendidikan nasional.
Tujuan Pengajaran : tujuan yang dicapai secara langsung melalui kajian materi
dan proses belajar tertentu. Tujuan ini pada dasarnya adalah tujuan yang
dikembangkan guru dalam setiap rencana pengejaran dan ia berhubungan
langsung dengan tujuan yang dinyatakan dalam kurikulum dan sifat materi
pelajaran yang dikaji siswa.
Tujuan pengayaan : tujuan pengayaan adalah tujuan yang dicapai siswa
sebagai akibat samingan dari kegiatan belajar yang mereka lakukan. Tujuan ini
memang merupakan tujuan sampingan dan oleh karena itu tidak berkaitan
langsung dengan materi kajian. Tujuan pengayaan terjadi karena suatu kegiatan
belajar mengajar tidak hanya berpengaruh terhadap pencapain satu tujuan saja
tetapi terhadap berbagai tujuan.
Fakta : kesimpulan-kesimpulan yang diambil seseorang berdasarkan cara
pandangan keilimuan terhadap data atau sekumpulanm data. Berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan itulah maka data yang sudah dikumpulkan itu memiliki
makna.
Generalisasi : kesimpulan yang berkenaan dengan sifat dan jenis
keterhubungan anatara dua konsep atau lebih dan kesimpulan itu dirumuskan
dalam bentu pernyataan yang memiliki daya keberlakuan dalam berbagai ruang
dan waktu. Dalam kesimpulan yang dinamakan generalisasi itu terdapat juga
struktur keterhubungan antar konsep-konsep.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Konsep : abstraksi kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau
sifat. Dalam keterhubungan itu terdapat struktur yang menggambarkan
keterhubungan antara berbagai atribut suatu konsep. Konsep memiliki nama
yang disebut label dan memiliki isi yang dinyatakan dalam definisi.
Konsep disjungtif : adalah konsep yang memiliki anggota dengan atribut yang
memiliki nilai beragam. Adanya perbedaan dan keragaman dalam nilai atribut itu
justru menjadi persamaan diantara keanggotaan konsep.
Konsep konjungtif : konsep yang memiliki anggota dengan persamaan yang
sangat banyak. Dapat dikatakan persamaan anatara satu anggota dengan
anggota lain meliputi hampir sebagian besar nilai atribut konsep.
Konsep relasional : konsep yang diangap paling tinggi tingkat abstarksinya
karena persamaan yang ada diantara anggota konsep dikembangkan
berdasarkan kriteria tertentu dan tidak lagi bersifat konkret.
Materi proses : materi yang dipelajari tetapi tidak berkenaan dengan aspek
seperti fakta, konsep, generalisasi atau pun teori tetapi berkenaan dengan
prosedur yang harus dilakukan. Materi pendidikan yang bersifat proses haruslah
dipelajari dalam bentuk kegiatan dan pelaksanaan proses itu sendiri.
Materi Substansi : materi yang secara universal dipelajari siswa di kelas-kelas
pendidikan ilmu-ilmu sosial saat kini. Dalam materi yang demikian siswa
mengkaji fakta, konsep, definisi pendapat, generalisasi, teori, nilai, moral, dan
sebagainya.
Pendekatan komunitas yang meluas : pendekatan yang dikembangkan Paul
Hanna berdasarkan keterdekatan lingkungan terhadap siswa. Lingkungan
terdekat adalah keluarga dan diteruskan sampai kelingkungan dunia. Dalam
lingkungan-lingkungan tersebut siswa mempelajari sembila aspek kehidupan
manusia.
Belajar bermakna : belajar yang mempunyai arti bagi siswa secara bermakna
karena apa yang dipelajari memiliki : keterhubungan dengan struktur kognitif
siswa.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Induktif : proses belajar yang mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
melalui kemampuan menarik kesimpulan yang sifatnya umum dari fenamena
yang bersifat khusus.
Mnemonic : cara belajar fakta dengan jalan membuat singkatan mengenai
fakta tersebut yang memiliki arti yang memiliki arti bagi dirinya sehingga mudah
diingat.
Pengemas awal : materi yang disajikan guru kepada awal suatu proses belajar
yang berisikan abstraksi, generalisasi dan rincian dasar mengenai materi yang
akan dipelajari.
Berpikir : suatu proses mental berdasarkan mana seseorang menemukan
makna dari apa yang sudah dipelajarinya.
Isu kontroversial : suatu isu yang menimbulkan perbedaan pendapat dari
seseorang atau kelompok lain. Suatu kelompok mungkin setuju sedangkan
yang lain tidak setuju tentang suatu masalah.
Kasus : berhubungan dengan kehidupan manusia di masa lalu, masa sekarang
dan masa yang akan datang. Kasus yang berkenaan dengan kehidupan
manusia dimasa mendatang adalah kasus yang fiktif, Meskipun demikian kasus
fiktif tidak hanya terbatas untuk suatu yang berhubungan dengan kehidupan
masa datang saja; kasus mengenai kehidupan masa lalu atau pun masa kini
dapat pula diciptakan.
Konsep : abstraksi kesamaan karakteristik sejumlah benda, fenomena, atau
stimuli. Suatu konsep memiliki atribut, fakta, label/nama dan definisi.
Diagram Vee : diagram y6ang dikembangkan oleh Gowin yang menjelaskan
keterhubungan antara kemampuan berfikir dengan kemampuan memroses
informasi.
Kemampuan proses : kemampuan yang digunakan untuk mengumpulkan
informasi mengolah informasi, mengkomunikasikan hasil dan memanfaatkan
informasi.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pengajaran Inkuiri : salah satu bentuk pengajaran untuk mengembangkan
kemampuan proses yang sudah disistematiskan dalam suatu tata ukuran
tertentu dengan kegiatan yang bermula dari perumusan masalah,
pengembangan hipotesis, pengumpulan data, pengolahan data, pengujian
hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
Pengajaran Pemecahan Masalah : salah satu bentuk pengajaran untuk
mengembangkan kemampuan proses yang sudah disistematiskan dalam tata
urutan dengan kegiatan bermula dari identifikasi masalah, pengembangan
alternatif, pengumpulan data pengujian alternatif dan pengambilan keputusan.
Aspek non-teknis profesi guru : aspek yang berkaitan dengan unsur-unsur
afeksi keprofesian seorang guru. Dalam aspek ini yang menonjol adalah
motivasi, rasa tanggung jawab, kesadaran profesi serta keinginan profesi
sebaik-baiknya.
Model Tyler : pengembangan kurikulum yang dikemukakan Ralph Tyler dan
dianggap sebagai bapak pengembang kurikulum. Dalam model tersebut Tyler
sangat menekankan pencapaian tujuan, peran aktif siswa dalam proses dan
peran guru dalam melancarkan dan memudahkan proses belajar siswa. Bagi
Tyler, kurikulum adalah pedoman untuk siswa dalam belajar dan bukan
pedoman guru untuk mengajar.
Perencanaan guru : adalah perencanaan yang dibuat guru dalam
mempersiapkan suatu proses belajar. Pada dasarnya perencanaan guru adalah
terjemahan operasional guru terhadap kurikulum sehingga dari perencanaan
guru akan terlihat pandangan dan keinginan profesional guru mengenai hasil
belajar siswa, pengalaman belajar siswa serta upaya guru untuk mengetahui
hasil belajar siswa.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Rabu, 06 April 2011
IDEALISME PEMBELAJARAN IPS
Deskripsi Materi Pembelajaran
1. Kesulitan dan Kesempatan Belajar-Pembelajaran
Interaksi pembelajar-pebelajar dalam konteks pembelajaran
merupakan satu proses transaksi psikologis dan akademis dalam format
holisticaly. Pembelajar dalam posisinya sebagai sumber dan manager
pembelajaran memegang peranan penting untuk mengkondisikan pebelajar agar
mereka dapat belajar dengan baik, termasuk mengembangkan keterampilan-
keterampilan akademis dan psikomotornya.
Sementara pebelajar selaku sentral pembelajaran memegang kendali
penuh bagi pengembangan dirinya dengan menggunakan fasilitas yang telah
dikondisikan oleh pembelajar. Mereka memiliki kebebasan yang mutlak untuk
menentukan arah dan tingkat pencapaian belajarnya. Jika lingkungan
mendukung, tampaknya apa yang menjadi harapan dan kebutuhan akademis
pebelajar akan terwujud secara nyata. Kegagalan pembelajaran selama ini
adalah tidak mampunya lingkungan belajar mengkondisikan pebelajar untuk bisa
belajar secara penuh, termasuk pembelajar sebagai salah satu instrumen dan
stabilisator pembelajaran. Kontraksi akademis dan psikologis antara pembelajar-
pebelajar akan melahirkan pola hubungan yang signifikan dalam konteks belajar
yang sebenarnya. Apakah kondisi yang penuh dinamisasi saja yang diperlukan
oleh pebelajar untuk dapat belajar dengan baik ?, terlalu riskan untuk
menyimpulkan konteks yang begitu komprehensif menjadi sesimpel itu.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Jika kelengkapan fasilitas adalah satu-satunya prasyarat agar
pembelajaran dapat berhasil dengan baik, maka di beberapa negara kaya yang
secara finansial mampu menyediakan hal tersebut, maka setiap pembelajaran
yang dilakukan oleh pembelajar akan mencapai hasil maksimal. Namun
tampaknya bukan itu solusinya, karena pembelajaran adalah sebuah sistem
yang sangat kompleks.
Ada sejumlah asumsi yang harus dipenuhi agar pembelajaran tersebut
dapat berhasil dengan baik. Pembelajaran yang baik dan bermakna adalah
pembelajaran yang memungkinkan pebelajarnya untuk berkembang dan berlatih
bagaimana mengakses informasi yang maksimal bagi keperluan pengembangan
dan pelatihan potensi dirinya secara maksimal.
Pembelajar harus mampu menjadikan pembelajaran itu sebagaimana
halnya sebuah masyarakat yang riil dan dalam kesehariannya dilakoni oleh
pebelajar. Dengan demikian pebelajar tidak berada dalam kondisi ketertekanan
secara psikologis dan akademis, namun merasa aman dan kondusif untuk
mencari dan menemukan apa yang dibutuhkan dalam belajarnya. Bukan fasilitas
belajar satu-satunya syarat pembelajaran berhasil, namun yang terutama adalah
bagaimana terjalin hubungan psikologis yang kondusif antara pembelajar dan
pebelajar, sehingga mereka menjadi suatu tim sukses yang demokrat.
Konsepsi ini penting dipahami oleh kalangan analis dan praktisi
pendidikan, mengingat selama ini sering kebijakan pendidikan itu ditawarkan
hanya sebatas kontrak politis antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Padahal, pembelajaran bukan profit oriented, namun lebih merupakan aplikasi
prinsip humanis-psikologis. Berdasarkan hal tersebut, maka ada sejumlah
asumsi yang mendasari pembelajaran, yaitu:
1. Pebelajar merupakan mahluk yang holistik dan memiliki karak- teristik
yang ekslusif yang membedakannya dengan yang lain.
2. Pembelajar adalah instrumen dan fasilitator pembelajaran, sehingga dia
bukanlah satu-satunya sumber belajar di kelas.
3. Pemerintah sebagai decision maker kebijakan, harus memiliki political
good will, sehingga pembelajaran berlangsung secara demokratis.
4. Instrumen pembelajaran merupakan salah satu prasyarat yang harus
dipenuhi agar pembelajaran berlangsung dengan baik.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
2. Tanggungjawab dan Nilai-Etika dalam Kelas
Etika sebagai bagian dari hidup manusia, tidak bisa dilepaskan dalam
konteks pembelajaran. Seorang pembelajar harus membelajar-kan pebelajarnya
menjadi pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari
kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik
mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik terhadap
dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dunia.
Pembelajaran yang baik dikembangkan oleh pembelajar adalah mengajak
peserta didik memahami masalah-masalah kemasyarakatan dan
menempatkannya dalam proporsinya, serta belajar merumuskan tehnik-tehnik
pemecahannya berdasarkan konteks situasi yang berkembang. Sebelum
merancang pembelajaran, pembelajar harus memehami, bawa pebelajar datang
ke sekolah dengan nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan
teman sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu memahami dan
menyelami karakteristik setiap pebelajar agar mampu menyikapi dan
menjadikan-nya sebagai sebuah masukan yang positif selama pembelajaran
yang dilakukannya.
Sekolah harus menjadi sebuah masyarakat nyata dari sebuah pendidikan
dan mampu menghadirkan realitas kehidupan demokrasi yang telah dimiliki dan
diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah merupakan salah satu model
pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam membelajarkan
pebelajar secara bermakna. Dengan kerjasama kelompok dan belajar secara
kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi nilai-nilai individunya berdasarkan
kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh pemahaman yang memadai
terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya (Stahl, 1994).
Kegiatan belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan
penemuan mandiri, melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemu-kan kreasi
secara mandiri dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari
pembelajaran adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan
menerima perbedaan dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan
pertentangan dan disintegrasi nilai. Dengan demikian akan terpola dan terbina
pembelajaran yang berorientasi pada pengoptimalan potensi pebelajar.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Kecendrungan dalam pembelajaran modern, banyak distimulasi oleh
perkembangan dan dampak kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat
seperti; keberbedaan, kesukuan, dan keragaman sosio-geografis, sehingga
menyebabkan terjadinya perbedaan orientasi dan pemaknaan terhadap nilai itu
sendiri.
Pada dasarnya pola dan pendekatan pembelajaran seperti di atas,
dikembangkan berdasarkan konsep humanistis dengan strategi kebersamaan
antar pebelajar sebagai manusia sosial. Pebelajar sebagai individu kaya akan
keinginan untuk hidup lebih baik, dimana salah satunya adalah dengan belajar
secara formal.
Pembelajaran yang dilakukan dan diterimanya, akan mengarahkan dan
membentuk kepribadian akademiknya hingga mereka memasuki dunia kerja.
Keterbawaan kebiasaan ini, merupakan konsekuensi logis dari sebuah proses
pendidikan. Itulah yang harus disadari dan dipertimbangkan oleh pembelajar.
Ada sejumlah model yang dikembangkan oleh kalangan praktisi
pendidikan untuk melakukan proses pendidikan secara bermakna. Pebelajar
dalam konteks masyarakat adalah manusia biasa yang lengkap dengan potensi
dan kepribadiannya masing-masing. Untuk itu, maka mereka harus diperlakukan
sesuai dengan potensi yang ada dan dimilikinya, agar tujuan belajarnya tercapai
secara baik. Hal ini membutuhkan kejelian pembelajar dalam memilih dan
mengembang-kan pola pembelajarannya. Model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang dikembangkan dan digunakan sebagai pedoman
sistematis dalam melaksanakan dan mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan
dan kepentingannya (Slavin, 1983).
Berdasarkan konsepsi paedagogis, ada dua katagori model pembelajaran
secara umum, yaitu: (1) model pembelajaran tradisional (konvensional, dan (2)
model pembelajaran humanistis (inovatif). Kedua model ini memiliki karakteristik
yang sangat kontroversial, dan perlakuan yang berbeda terhadap pebelajarnya.
Berikut ini, diformulasikan beberapa perbedaan antara model pembelajaran
konvensional dan model pembelajaran inovatif dalam konteks pembelajaran IPS.
Karakteristik Model Belajar Konvensional (Tradisional).
Nomor Karakteristik/Student Treatment
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
Fakta dan konsep hanya diperoleh dari buku teks dan
sajian pembelajar
Menggunakan metode cerama dan dan sumebr belajar
terbatas pada apa yang ada di kelas
Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran jarang
(pasif), karena informasi biasanya telah disediakan oleh
pembelajar atau buku teks.
Kebermaknaan informasi atau penting tidaknya informasi
dientukan oleh pembelajar sebagai otoritas tunggal
pembelajaran.
Peserta didik hanya terpaku pada penjelasan pembelajar
sehingga akselerasi informasi pebelajar terbatas.
Materi pelajaran hanya dipelajari terbatas pada apa yang
ada di buku teks dan informasi pembelajar, serta dibatasi
oleh dinding-dinding kelas.
Pembelajaran hanya mengejar target ketuntasan materi
(target dan orientasi kurikulum).
Evaluasi pembelajaran hanya menekankan pada
evaluasi formal (bertumpu pada penggunaan tes formal).
Pola pembelajaran pembelajar sentris.
Interaksi belajar fasif dan monologis antara pembelajar
ke pebelajar saja, sehingga cendrung menjadikan
pebelajar pendengar semata-mata.
Pola komunikasi dalam kelas besifat imperatif dan
cendrung mengabaikan karakteristik dan holistikalisasi
pebelajar.
Inti pembelajaran adalah transfering konsep dan fakta
dari kepala pembelajar ke kepala pebelajar.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Karakteristik Model Pembelajaran Humanistis (Inovatif) :
Nomor Karakteristik/Student Treatmen
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
Masalah digali dan diidentifikasi oleh peserta didik.
Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran lebih aktif,
karena mereka mencari dan menggali informasi secara
mandiri.
Pembelajaran yang dilakukan dapat melampaui apa
yang ditargetkan dalam kurikulum (perluasan
kesempatan memperoleh informasi).
Pembelajaran lebih aktif dan iteraktif, karena lebih
terpusat kepada pelibatan peserta didik secara optimal
dalam kondisi yang kondusif.
Pembelajaran tidak hanya menekankan pada
keterampilan proses, tetapi juga pada metode ilmiah
dan langkah-langkahnya sebagaimana layaknya yang
digunakan ilmuwan.
Fakta, konsep, dan generalisasi yang dipelajari tidak
hanya yang terdapat dalam buku teks atau keterangan
pembelajar, tetapi juga dari masyarakat (perluasan
sumber belajar).
Peserta didik dapat berfungsi sebagai “single authority”
dan “decision maker” dalam pembelajaran dan
pemecahan masalah.
Evaluasi pembelajaran cendrung menggunakan
assessmen, sehingga mampu menevaluasi
keseluruhan potensi pebelajar.
Pola pembelajaran pebelajar sentris.
Interaksi belajar aktif dan interaktif antara pembelajar
pebelajar, pebelajar-pebelajar, dan pebelajar-
pembelajar.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pola komunikasi dalam kelas besifat aktif-interaktif,
sehingga memungkinkan berkembangnya dialog
kreatif.
Inti pembelajaran adalah kebermaknaan bagi
pebelajar.
Berdasarkan konsepsi di atas, maka menurut Rogers (1989), ada
beberapa model pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran berkait
dengan kebermaknaan belajar bagi pebelajar, seperti: (1)webbing instruction, (2)
the disclipinary model, (3) integrated learning model, (4) the multydisciplinary
model, (5) integrated and sequency model, (6) the problem inquiry model, dan
(7) the humanistic model. Sehubungan dengan upaya pemaknaan penuh
pembelajaran bagi pebelajar, maka pembelajar hendaknya mampu dan mahir
dalam mengaplikasikan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik serta potensi yang dimiliki oleh pebelajarnya.
Model belajar yang dipilih dan digunakan oleh pembelajar, berpengaruh
langsung terhadap perolehan belajar pebelajar. Iklim pembelajaran yang
ditimbulkan oleh model yang dipilih pembelajar memiliki kaitan yang bersifat
directed bagi pebelajar dalam upayanya memperoleh informasi bagi pemenuhan
kebutuhan belajarnya. Dengan terpenuhinya informasi yang dibutuhkan, maka
secara langsung perolehan belajar mereka juga akan meningkat. Inilah yang
dimaksud dengan pembelajaran bermakna dalam konteks pembelajaran yang
sebenarnya.
3. Apa Sebenarnya yang Harus Terjadi di Kelas
Penerapan pendekatan pebelajar sentris pada dasarnya bermaksud
untuk melakukan pemenuhan kebutuhan pebelajar untuk meningkatkan
kemampuannya melalui beberapa transaksi bahan ajar yang sesuai dengan
kondisi pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran, setiap praktisi pembelajaran harus mampu
memaksimalkan sens of belonging and expectation of students untuk
mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikir mereka selama
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pembelajaran. Hal ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena
salah satu fungsi strategis yang diemban oleh pendidikan sebagai sebuah
lembaga formal dalam rangka memper-siapkan generasi muda untuk mampu
hidup dalam segala bidang bidang pekerjaan. Untuk itu kurikulum harus mampu
mewadahi harapan untuk menjadikan pebelajar itu sebagai warga masyarakat
yang memiliki potensi komprehensif dan aplikatif.
Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara sendiri
oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan
merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya (Rogers, 1983). Melalui
model pembelajaran humanistis, kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas
pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar
lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model
pembelajaran, pembelajar hendaknya memperhatikan kematangan psikologis
pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri.
Secara umum, pebelajar suka pada seni dan menggambar untuk
mengeksperikan perasaan dan ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi
tempat yang menarik dan menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar
dengan lebih baik pada lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu
pengembangan iklim kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas
pebelajar dalam berpikir.
Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar untuk
memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan. Buku teks
merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan pembelajaran. Namun
beberapa pembelajar yang berpikiran maju menggunakan aneka literatur dan
sumber pembelajaran sebagai basis dalam membelajarkan yang
dikembangkannya.
Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar untuk
mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran berpikir kreatif. Rasional
dan tujuan pemilihan dan penggunaan media dan sumber belajar yang beragam,
pada dasarnya dimaksudkan untuk mengeksploitasi berbagai strategi dalam
berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi
pebelajar, sehingga mereka terlatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif.
Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar dalam membaca dan
mengiden-tifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat, merupakan salah
satu upaya peningkatan keterampilan berpikir pebelajar secara kreatif. Konsepsi
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
ini penting dipahami dan dilakukan, mengingat perkembang-an masyarakat yang
sangat dinamis, yang menuntut kemampuan dan keterampilan berkomunikasi,
berpikir, membuat keputusan, dan mencari solusi dengan cepat dan dengan
kalayakan yang optimal. Keterampilan berpikir penting dikembangkan dan
dilatihkan oleh pembelajar dalam setiap pembelajarannya, mengingat setiap
manusia dalam hidupnya di masyarakat dihadapkan berbagai persoalan yang
multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermat-an dalam
berpikir.
Untuk mengevaluasi keterampilan pebelajar dalam berpikir, ada beberapa
instrumen evaluasi yang secara empiris dan substansial layak digunakan, yaitu:
(1) thinking still aduquates test, (2) inventory, (3) problem solving-inquiry test,
dan (4) degree of critical thinking test (Skindasher, 1990). Dalam merancang
pembelajaran, ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan oleh pembelajar
agar pebelajarnya dapat belajar dan berlatih berpikir kreatif, yaitu: (1) potensi
pebelajar, (2) sumber belajar, (3) daya dukung orang tua, (4) dukungan sistem,
(5) keterampilan pembelajar, (6) dan esensi kurikulum.
Iklim belajar yang kondusif memungkinkan pebelajar untuk belajar dan
melatih berbagai kemampuan dan keterampilan akademis serta sosialnya,
secara otimal. Kegiatan belajar mengajar merupakan proses instruksional yang
terencana dan bertujuan dalam dimensi paedagogis. Interaksi aktif pebelajar dan
pembelajar dalam konteks paedagogis membutuhkan pendukung yang memadai
untuk mengak-tualisasikan tujuan kurikulum. Untuk mengukur keberhasilan
belajar pebelajar, pendekatan pembelajaran tradisional menekankan pada
penggunaan tes formal sebagai instrumen utama.
Pola seperti di atas, mendatangkan berbagai konsekuensi negatif bagi
pebelajar itu sendiri dalam hubungannya dengan perolehan hasil belajarnya.
Pebelajar datang ke sekolah mengemban misi untuk meraih kesuksesan dalam
belajarnya.
Orang tua, media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan
pada pencapaian kuantitatif untuk mengukur keberhasilan belajar pada kalangan
pebelajar di sekolah-sekolah formal. Hal ini sangat merugikan pebelajar secara
akademis dan merupakan hukuman serta beban secara psikologis. Kondisi ini
diperburuk oleh asumsi pembelajar dalam melakukan pengukuran terhadap
keberhasilan pebelajar, yaitu bahwa dengan tes-formal dalam berbagai
bentuknya (benar-salah, multiple choice, maching, short answer, dan sebab
akibat). Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan dan kondisi psikologis
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pebelajar saat mereka menghadapi tes dan wajah pembelajar yang sangar.
Disamping itu, evaluasi yang hanya meng-gunakan tes-formal cendrung
mengavaikan aspek afeksi dan psikomotor dalam menjaring informasi mengenai
keberhasilan belajar pebelajar. Padahal kedua ranah tersebut adalah satu
kesatuan ranah dengan aspek kognitif.
Berdasarkan berbagai kekurangan dan kritik terhadap pengguna-an tes-
formal dalam mengevaluasi keberhasilan belajar pebelajar, maka mulai dekade
80-an, mulai dikembangkan pola penilaiian yang dipandang cukup
komprehensif, yaitu dengan menggunakan format evaluasi non-tes. Hal ini
dimaksudkan untuk melengkapi dan menjembatani berbagai perbedaan persepsi
antara praktisi dan kalangan pemerhati serta masyarakat sebagai konsumen
pendidikan. Melalui penggunaan alat evaluasi non tes (assessmen), pembelajar
dapat menentukan keberhasilan belajar pebelajar bukan semata-mata
berdasarkan hasil tes tertulis yang dilakukan secara berkala.
Adapun bentuk assessmen yang telah dikembangkan oleh kalangan
perencana dan pakar pendidikan di amerika, khususnya di kalangan ilmuwan
sosial dan humaniora adalah :
1. Fortopolio
2. Catatan harian pebelajar
3. Catatan harian pembelajar
4. Lembar observasi
5. Cek list performa pebelajar
6. Daftar tugas pebelajar
7. Laporan mingguan pebelajar
8. Buku saku
9. Laporan orang tua
4. Tantangan Pembelajar dalam Pembelajaran
Dilihat dari aspek historis-philosofis dan substansi profesi, pembelajar
memegang peranan yang amat strategis terutama berkaitan dengan building
moral nation and cultur heritages transpormation melalui pengembangan
personality and values otonom warga negara yang di cita-citakan. Dimensi ini
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
mengindikasikan bahwa peran pembelajar sulit digantikan oleh yang lain. Dalam
perspektif pembelajaran, peranan pembelajar dalam masyarakat kita (Indonesia)
tetap dominan sekalipun teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses
pembelajaran berkembang sangat cepat. Konsepsi kausalitas ini dipengaruhi
oleh adanya dimensi-dimensi proses pendidikan (pembelajaran) yang
diperankan oleh pembelajar yang tidak seluruhnya dapat digantikan oleh
teknologi.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang diwarnai dengan
revolusi informasi dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dan
multidemsional, peranan teknologi untuk mengganti-kan tugas-tugas pembelajar
masih sangat kecil. Sejak dulu hingga saat ini, pembelajar dalam tataran
masyarakat kita masih memegang peranan amat penting, sekalipun status
sosial-ekonomi pembelajar di tengah masyarakat kita telah berubah. Pembelajar
dalam segala keterbatasannya, tetap dipandang sebagai insan yang patut
ditauladani dan diharapkan mampu menjadi inovator dalam profesinya.
Beranjak dari kondisi empiris tersebut, pembelajar yang tugas
kesehariannya mengelola pembelajaran di sekolah, tidak berlaku lagi saat ini.
Pembelajar diharapkan bukan lagi “hanya” memerankan diri dalam
pembelajaran yang dibatasi oleh ruang dan waktu, namun harus mampu
memerankan dirinya sebagai pembelajar yang universal dalam lingkup yang
terbatas, minimal bagi pebelajar dan sekolah dimana dia mengabdikan dirinya.
Membicarakan tentang pembelajar, sering kita dihadapkan pada problematik
yang berkepanjangan, terlepas dari misi luhur yang diemban dan melekat pada
diri seorang pembelajar.
Secara substansial, dilihat dari sudut administrasi dan manaje-men
pendidikan, kita mestinya melihat profesi pembelajar minimal dari empat dimensi
dasar, yaitu: pengadaan, pengangkatan, penempatan, dan pembinaan profesi.
Sementara jika kita melihat pembelajar dari perspektif birikrasi, cendrung
pembelajar diposisikan sebagai bagian dari mesin birokrasi pendidikan pada
jenjang pendidikan sekolah. Pembelajar dipandang sebagai kepanjangan tangan
birokrasi, karena sikap dan lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada ketentuan-
ketentuan birokrasi.
Sistem pendidikan nasional, menempatkan pembelajar secara lebih
khusus dalam dimensi sekolah, dan akan melihat pembelajar sebagai the central
of education polecy and agent of inovation dalam bidang pendidikan hingga
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
ketataran sekolah. Di sisi lain, jika ditempatkan dalam perspektif kemanusiaan,
pembelajar akan hadir sebagai sosok yang serba muka dan penuh warna.
Rentang dan persoalan tentang pembelajar, seperti gaji yang kecil, mutasi ke
daerah terbuka yang tingi, dan perilaku yang ditampilkannya sehari-hari, pada
akhirnya akan berpulang semuanya pada akar kemanusiaannya (Supriadi,
1998). Dengan demikian, betapapun kita mencoba membedah phenomena
seputar pembelajar, akhirnya kita harus kembali pada konsepsi dasar bahwa
pembelajar adalah manusia biasa yang terbalut oleh berbagai keterbatasan
dalam kiprahnya sebagai individu dan insan sosial.
Riak dan desah nafas masyarakat senantiasa menghadirkan nuansa
tersendiri bagi insan-insan yang hidup di dalamnya, termasuk para pembelajar
yang mulia. Di dalam masyarakat, lembaga pendidikan merupakan satu diantara
banyak institusi yang ada dan difungsikan bagi kesejahteraan umat manusia.
Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada
tantangan yang sangat berat, berkaitan dengan peningkatan kualitas dan produk
yang dihasilkannya. Paradigma berpikir para pelaku pendidikan (pembelajar)
nampaknya mulai bergeser secara vertikal dalam basis paedagogis.
Masalah pendidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini muncul
kepermukaan banyak berkaitan dengan mutu pendidikan baik dalam dimensi
proses maupun hasil. Masalah ini semakin dirasakan sebagai krisis pendidikan
yang meresahkan karena banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan
hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa cendrung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan
pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan
kualitas.
Implikasi dari kebijakan tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan
pengembangan pendidikan yang menyangkut kualitas, produktivitas dan
relevansi, namun masalah pendidikan terus berkem-bang makin rumit dan
terbelenggu dalam sistem yang tengah tersetruktur. Diantara masalah
pendidikan yang mulai marak dibicara-kan saat ini, adalah masalah yang
berkaitan dengan pembelajar. Sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum,
pembelajar dihadapkan pada berbagai persoalan yang sangat sulit dihindarinya.
Artinya, masalah tersebut, mau tidak mau harus dihadapi oleh kalangan
pembelajar dan hingga saat ini belum ada formulasi yang dipandang sesuai dan
tepat untuk memecahkannya.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Masalah yang berkaitan dengan profesi pembelajar ternyata amat pelik,
karena menyangkut berbagai aspek, orientasi, pendekatan, strategi, serta
kriteria dan kepentingan yang berkait dengan penilaian kualitas formulasi yang
telah dirumuskan.
Banyak usaha yang telah dan tengah dilakukan serta hasil yang
diperoleh. Di lain pihak muncul pula kritik dan keluhan kepermukaan, namun
jarang sekali dilengkapi alternatif pemecahan yang dipandang tepat. Adakalanya
alternatif pemecahan yang dicanangkan tidak mampu memecahkan masalah,
bahkan justru melahirkan masalah lain yang lebih sulit dan serius. Untuk
mengkaji dan memahami secara komprehensif kesulitan-kesulitan yang sulit
dihindari oleh pembelajar dalam dimensi pengadministrasian pendidikan
nasional, pada dasarnya kita dapat memilah-milah kesulitan tersebut, dan
mengkajinya dari perspektif teori perubahan sosial, yaitu dilihat dari : (1)
dimensi struktural, (2) dimensi fungsional, dan (3) dimensi heuristik-
phenomenologis.
Dinamika kehidupan masyarakat dan kemajuan teknologi yang diiringi
oleh revolusi informasi tahap II, telah menghadirkan nuansa baru dalam dunia
pendidikan. Hal ini terutama berkaitan dengan perluasan dan representasi
ketersediaan instrumen pendidikan itu sendiri. Pembelajar sebagai salah satu
sub-sistem dalam pengadminis-trasian sistim pendidikan juga dihadapkan pada
masalah yang tidak jauh berbeda.
Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai tenaga pendidik yang
terikat oleh aturan-aturan formal-yuridis, pembelajar diharuskan menjalankan
dan tetap patuh pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara formal
dan sentralistik. Salah satu piranti pengikat pembelajar dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya adalah kurikulum dan instrumen yang menyertainya.
Artinya pembelajar diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan yang telah
digariskan secara sentralistik, sehingga cendrung meminggirkan peran
pembelajar sebagai developer and inovator pendidikan.
Kondisi di atas mengindikasikan telah terjadinya pemasungan kebebasan
pembelajar dan segenap piranti sosial akademis yang melekat pada dirinya.
Dampak dari pendekatan sentralistik merupakan salah satu kesulitan yang
dialami dan sulit dihindari oleh pembelajar secara struktural.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Berdasarkan hasil observasi dan merujuk beberapa hasil penelitian,
kesulitan yang sulit dihindari oleh pembelajar yang merupakan imlpikasi struktur
pengadminis-trasian pendidikan nasional, meliputi:
1. masalah pembinaan dan pelatihan yang secara kualitas tidak mampu
memberikan “nilai lebih” kepada pengembangan profesinya,
2. masalah kepangkatan yang telah diatur dan ditetapkan secara baku, yang
cendrung meminggirkan kualitas dan prestasi profesi (walaupun secara formal
ada ketentuan-nya),
3. masalah rendahnya penghargaan secara ekonomis yang harus diterima
dengan “lapang dada” oleh para pembe-lajar,
4. masalah minimnya kesempatan pengembangan potensi diri dan visi keilmuan
yang berkaitan dengan profesinya yang benar-benar sesuai dan mampu
menjawab keresah-an mereka selama tiga dasa warsa terakhir.
Keseluruhan masalah tersebut terakumulasi dan terbungkus oleh sebuah
hiasan “kebijakan” yang sering telah dikatakan melalui berbagai studi, sehingga
“sewajarnya” harus diterima dan dilaksanakan.
Euforia pembelajar dalam memandang profesi dan “pengharga-an” moral
yang diperolehnya, tampaknya tidak sejalan dengan realitas dan “imbalan” yang
diterimanya. Hal ini merupakan salah satu dampak dari pengelolaan sistem
pendidikan nasional yang masih menge-depankan azas dan prinsip
“sentralisasi”, sehingga berakibat terjadinya “miss-conception” dan “loss of a set
grand idea and spirits our teachers”. Di samping itu, pengaplikasian pendekatan
struktural cendrung mengabaikan “values of moral otonomy” dari pembelajar
sebagai pioneer dan pembaharu yang senantiasa berada di garis depan dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Menyadari begitu saratnya permasalahan yang sulit dielakkan oleh
pembelajar secara struktural, tampaknya para pengelola dan pegambil kebijakan
pendidikan harus mulai menggeser pandangan dan pendekatannya dari
sentralistik ke desentralisasi dan dari structural approach ke fungtional
approachs, sehingga jenis dan tingkat kesulitan pembelajar dapat dieliminir
secara gradual dan sinergis. Asumsinya, semakin pendek benang kebijakan dan
semakin sedikit birokrasi yang harus dilibatkan, secara langsung akan dapat
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
menekan laju inflasi informasi dan tirani birokrasi yang secara nyata telah
dianggap sebagai salah satu penyebabnya.
Kebijakan pendidikan nasional kita menempatkan lembaga pendidikan
formal dan piranti-piranti di dalamnya termasuk pembelajar, sebagai salah satu
media strategis pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia.
Namun dewasa ini masih dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu yang
serius, bahkan diduga dapat mengancam eksistensinya sebagai media
transpormasi dan enkultur-isasi budaya bangsa.
Salah satu penyebab yang diduga mendorong terjadinya hal tersebut
adalah kecendrungan menempatkan masalah pembangunan pendidikan
terbatas pada kejenuhan kurikulum dan kualitas sumber dayanya, sehingga
analisis akademis dan analisis proyektif sebagai latar dan salah satu orientasi
pendidikan sering terabaikan.
Perkembangan ilmu dan teknologi dalam era revolusi informasi yang
ditandai dengan banyak terjadi pergeseran nilai dan perubahan sosial budaya
tidak terantisipasi secara konstruktif dalam pembaharuan dunia pendidikan.
Banyak pembelajar yang merasa asing dan terpinggirkan oleh kemajuan
teknologi, sehingga mereka harus beradapan dengan dilematisasi antara
tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan dan keterbatasan diri serta
ruang gerak pegembangan profesi yang terstruktur secara birokratis.
Tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut memerlukan adanya suatu
kebijakan aplikatif yang bisa menjawab semua tuntutan yang mengedepan
seiring dengan laju dinamisasi kehidupan masyarakat global. Hal ini menuntut
pembangungan pendidikan yang lebih mengarah pada perbaikan kualitas dan
kelengkapan instrumen pendidikan secara komprehensif dan pemberian
keleluasaan ruang gerak pembelajar yang senantiasa berada di garis depan
pembangunan pendidikan nasional.
5. Problematik Pembelajar Dilihat dari Dimensi Fungsional-Profesi
Pembelajar dalam masyarakat kita ternyata telah membuktikan diri
sebagai pemecah masalah (problems solving) dalam pembangunan pendidikan
yang telah, sedang, dan akan terus kita laksanakan. Kadang mereka juga
memerankan diri sebagai pelopor dan pembaharu bagi lingkungan
masyarakatnya. Banyak yang telah diperbuat oleh pembelajar, baik yang
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
berhubungan dengan profesinya maupun dalam kapasitasnya sebagai insan
masyarakat.
Kemajuan teknologi dan ilmu telah membawa dampak yang serius
terhadap peran dan esensi strategis pembelajar dalam menjalankan fungsinya
sebagai agen transpormasi nilai-nilai budaya bangsa. Karena ada beberapa
tugas dan peran pembelajar, dipaksakan untuk diganti dengan instrumen yang
berteknologi tinggi, sehingga secara kuantitas beban tugas pembelajar lebih
ringan.
Kemajuan ini, secara kualitas justru perlu dipertanyakan dan didiskusikan
lebih mendalam, karena produk dari lembaga pendidikan kita yang telah
ditunjang oleh perangkat pembelajaran yang canggih, justru kehilangan
sentuhan dan warna budaya bangsa yang kita cita-citakan. Artinya, secara
paedagogis, pendidikan kita telah kehilangan “rasa cinta” pembelajar terhadap
peserta didiknya. Kasih sayang sebagai basis pendidikan, memang kian
dipertanyakan dalam pendidikan modern yang serba canggih dengan dukungan
perangkat teknologi yang komprehensif. Dan ironisnya, ilmu pendidikan modern
mulai kehilangan sentuhan kasih sayang dan kepekaan pada anak manusia.
Topik-topik yang dibicarakan kebanyakan hal-hal yang sifatnya teknis
metodologis, sehingga semakin menjauhkan esensi dan misi dari pendidikan itu
sendiri.
Kondisi ini menempatkan pembelajar dalam posisi yang serba sulit. Di
satu sisi mereka dituntut untuk mampu mengikuti dan menggunakan teknologi
canggih dalam menjalankan profesinya, namun di sisi lain sekaligus dituntut
untuk tetap mempertahankan ketajaman intuitif paedagogis yang oleh banyak
kalangan dilabeli dengan pola lama.
Tuntutan dan harapan yang berlebihan kepada pembelajar, tidak jarang
justru menjerumuskan mereka kedalam rutinitas ortodok dalam menjalankan
tugas dan kewajiban mendidiknya. Hal ini penting ditegaskan, mengingat
perkembangan dan kemajuan negeri tercinta ini, banyak dikontribusi secara
langsung dari peranan dan fungsi yang dibebankan kepundak pembelajar, yang
secara status sosial-ekonomi banyak “kedodoran” dalam arti arfiahnya.
Relevansi dari hal ini bukan saja mempertentangkan persoalan antara masa lalu
dan kekinian, namun yang lebih penting adalah relevansinya dengan tujuan dan
misi dari pendidikan itu sendiri.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Jika kita bicara tentang pengembangan dan peningkatan potensi
profesionalisme pembelajar, salah satu wahana yang potensial untuk
meningkatkan keterampilan dan wawasan mereka adalah internet. Akses
internet memungkinkan jangkauan pendidikan semakin luas, tidak terbatas pada
tempat, waktu, dan keadaan.
Berkat kemajuan IPTEK, pendi-dikan sudah mampu menjangkau
daearah-daerah hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Namun apakah kalangan
pembelajar secara umum telah memiliki wawasan dan pemahaman yang
memadai tentang kegunaan dan cara menggunakan teknologi canggih tersebut.
Inilah persoalan yang harus kita renungkan bersama, untuk menghindari
miskonsepsi dan unuseble-nya kebijakan dalam bidang pendidikan.
Kausalitas ini penting dikedepankan, mengingat kualitas pendidikan
sangat mutlak ditentukan oleh kebijakan apa yang akan kita formulasikan dan
aplikasikan.
Berbicara mengenai kualitas pendidikan, kita tidak bisa lepas dari
pembicaraan proses dan produk serta orientasi dari kedua unsur tersebut.
Artinya, proses dan produk yang seperti apa yang ingin kita capai, dan dalam
bentuk apa hal itu akan kita wujudkan. Hal ini merupakan dampak dari
keberagaman visi dan persepsi kita tentang kualitas itu sendiri. Para perencana
dan pengembang kurikulum telah menggariskan dalam rasionalnya, bahwa ada
seperangkat ide, konsep, dan pengalaman yang mesti diterjadikan oleh para
pelaku pendidikan (pembelajar) dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah.
Potret pendidikan kita saat ini, sering dihiasi oleh warna dan problematik
asumtion yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antara ide-harapan dan
realita yang terjadi dilapangan. Hal ini terjadi bukan semata-mata kesalahan
atau kealpaan dari pembelajar selaku pelaksana kurikulum, karena ada
sejumlah kemungkinan yang bisa kita ketengahkan sebagai dasar analisis.
1. Pertama, kurikulum sebagai salah satu bentuk kebijakan pendidikan, cendrung
terlalu menekankan pada bentuk dan isi, sehingga menghadirkan kurikulum
yang sarat materi tetapi “ringan” proses dan adaptasi.
2. Kedua, kurikulum tersebut terlalu bebas dan luas, sehingga sarat dengan
“kebebasan” dan “ringan” makna baik proses maupun produknya.
3. Ketiga, kurikulum tersebut berisi konsepsi dan seperangkat ide dan
pengalaman dengan basis sosial-akademis kon-struktivis, sehingga memberikan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
keleluasaan kepada para pelakunya untuk mengembangkan isi dan muatan
politisnya sesuai dengan kondisi riil yang ada di sekolahnya masing-masing.
Ketiga konsepsi di atas semuanya mengacu dan ber-pengaruh secara
verbalistik terhadap kualitas pendidikan, baik proses maupun hasilnya. Akhirnya,
profesi pembelajar dan kualitas (mutu) pendidikan dipertaruhkan dalam skema
paradigmatik-realistik. Hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua,
selaku abdi negara dan abdi pemerintah di bawah panji-panji kependidikan.
Berkaitan dengan itu, upaya apakah yang bisa kita lakukan untuk menjembatani
keresahan seputar rendahnya mutu pendidikan dan problematik pembelajar
yang saat ini mulai mengemuka dan banyak dijadikan polemik seiring dengan
arus reformasi.
Ada sejumlah pertanyaan yang layak dikedepankan berkaitan dengan hal
itu, diantaranya;
1. apakah kebijakan pendidikan yang diberlakukan saat ini telah mampu
mengadopsi dan mengadaptasi realita masyarakat dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan nasional ?,
2. uapaya apa yang bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan untuk
meningkatkan keberdayaan pembelajar selaku ujung tombak keberhasilan
pendidikan nasional ?,
3. pola serta sistem aplikasi-akademis yang bagaimana dibutuhkan oleh dunia
pendidikan sekolah untuk meningkatkan dan menjaga standar mutu pendidikan
termasuk standar profesional pembela-jar ?.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, tampaknya,
masih banyak yang harus kita benahi dalam pengadministrasian pendidikan
nasional kita. Salah satunya adalah dengan melakukan reorganisasi kurikulum
dan dalam waktu yang berikutnya hendaknya “pemberian otonomi” bagi daerah
tingkat I (propinsi) untuk mengelola pendidikan dengan tetap berorientasi pada
kekhasan daerah dan budaya bangsa yang luhur ini.
Upaya “pendaerahan” pengelolaan pendidikan, mungkin tidak akan
mampu menjawab keseluruhan masalah yang ada dalam pendidikan kita,
namun minimal konsepsi itu telah menunjukkan hasil yang menggembirakan
berdasarkan uji coba di beberapa daerah tingkat I sebagaimana yang telah
berlangsung dalam lima tahun terakhir. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan dan kesiapan sumber daya dan kemampuan keuangan daerah
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
masing-masing. Jika formulasi ini terwujud, maka dengan sendirinya masalah-
masalah yang terjadi seputar kesulitan absolut yang dihadapi oleh pembelajar
secara fungsional, seperti: tidak adanya keseragama visi, misi, dan pemahaman
terhadap kurikulum, sulitnya mengadaptasi secara bermakna local genius dalam
pembelajaran, dan pemberdayaan peserta didik secara optimal berbasis
lingkungan akan semakin samar dan lama-kelamaan akan teratasi secara baik.
6. Problema Pembelajar dilihat dari Dimensi Heuristik-Phenomenologis.
Untuk mengkaji interelasi-logis pembelajar dan masalahnya dalam
perspektif Heuristik-Phenomenologis sehubungan dengan pengadministrasian
pendidikan nasional, berikut ini akan diketengah-kan sejumlah analisis-
konseptual dalam paradigma paedagogis untuk membuka pemikiran kita
bersama bahwa ada sejumlah permasalahan yang selama ini dialami oleh
pembelajar.
Berbicara tentang kesulitan pembelajar dalam definisi pembelajar
sebagai sebuah profesi, tampaknya kita mesti bicara pula tentang strategi politis
penguasa (pemerintah), karena pembelajar adalah abdi negara dan bangsa
yang teramat luhur dan mulia di tengah masyarakat, maka.secara substansial
terdapat tiga visi-misi dan sekaligus masalah yang terakumulasi secara sinergis,
yaitu:
1. Dilihat dari visi filosifis, permasalahan yang dihadapi oleh pembelajar,
merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang seiring dengan pengakuan
dan eksistensi pembelajar itu sendiri. Artinya, bahwa jabatan profesi yang
diemban oleh pembelajar, sejak dulu selalu berkaitan dengan rangkaian
kesulitan yang kadangkala sulit dihindari oleh pembelajar itu sendiri. Jika hal ini
kita kaitkan dengan konsepsi pembelajar dan pendidikan dewasa ini, berbagai
kesulitan yang dialami oleh pembelajar, banyak dikontribusi oleh birokrasi dan
manajemen yang sarat muatan politis yang secara sengaja dilakukan oleh
penguasa (pemerintah). Hal ini dilihat dari pandangan teori heuristik, bisa
dibenarkan, yaitu the central of power can to do anything….especialy to be
continued his legitimate. Konsepsi ini, jelas merupakan suatu menara gading
yang sangat merugikan profesi kepembelajaran.
2. Dilihat dari visi akademis, pembelajar adalah abdi dan pelaku sekaligus
pengembang ilmu iti sendiri. Namun dalam melakoninya, pembelajar sering
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
terbentur pada masalah-masalah teknis-akademis yang secara nyata sulit
dihindari, seperti kesalahan dalam menterjemahkan sebuah phenomena yang
berkaitan dengan bidang yang ditekuninya (spesifikasi akademis). Hal ini
cendrung menjadikan pengkotakan di tengah-tengah globalisasi.
3. Dilihat dari visi politis, pembelajar adalah bagian dari warga masyarakat, yang
mengemban misi mulia pemerintah dan kemanusiaan untuk menjadikan
kehidupan manusia lebih baik. Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh pembelajar
dalam konteks ini, adalah terakumulasinya profesi yang digeluti dengan visi dan
misi birokrasi pemerintah melalui seperangkat kebijakan yang secara moral dan
akademis-politis mengikat mereka.
Mengkaji visi dan konsepsi di atas, pada dasarnya kesulitan-kesulitan
yang dihadapi oleh pembelajar dan cendrung sulit untuk dihindari, pada
dasarnya banyak dipengaruhi oleh realita masyarakat pendidikan yang cendrung
memposisikan pembelajar sebagai manusia yang serba tahu dan harus tahu.]
Akhirnya tidak sedikit pembelajar, terjebak oleh euforia profesi yang justru
sangat menekan dan merugikan meraka secara material dan moral. Otonomi
moral profesi yang diemban oleh pembelajar adalah sesuatu yang semestinya
ditempatkan pada posisi kewajaran, sehingga mereka mampu menjalani
profesinya dengan apa adanya seiring dengan realitas dan tuntutan
masyarakatnya.
Kebijakan pendidikan pemerintah yang diberlakukan saat ini,
khususnya semangat dan jiwa dari UU Nomor 2 Tahun 1989, masih menyisakan
sejumlah peluang yang memungkinkan munculnya kesulitan-kesulitan baru yang
harus dipikul dan dihadapi oleh pembelajar dalam menjalankan profesinya.
Salah satu diantara kesulitan tersebut, adalah dalam menterjemahkan orientasi
dan misis kurikulum 1994. Kondisi ini terjadi, karena upaya penataan dan
pembinaan kesiapan pembelajar dalam melakukan perubahan secara mendasar
dari “kebiasaan” kurikulum sebelumnya (kurikulum 1984) tidak dilakukan dengan
serius dan terencana oleh pemerintah.
Akhirnya, banyak kalangan pembelajar yang menganulir telah
menjalankan kurikulum sebagaimana yang diharapkan dengan jiwa dan
“kebiasaan” lama sebagaimana yang telah mendarah daging dalam dirinya.
Artinya telah terjadi kesemuan yang mendalam dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional kita, sebagai dampak dari kurang tertatanya
pengadministrasian pendidikan nasional kita saat ini.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Ada sejumlah indikator yang dapat diketengahkan untuk menunjang
asumsi ini, yaitu: (1) penataran peningkatan kemampuan pembelajar yang tidak
teratur dan kurang merata, (2) terjadinya korupsi waktu dan biaya dalam setiap
proyek peningkatan kemampuan dasar pembelajar yang dilaksanakan oleh
pemerintah, dan (3) tidak adanya kesamaan visi antara pelaku pendidikan
dengan tenaga administrasi pendidikan itu sendiri. Phenomena tersebut terus
berkembang, sehingga kualitas proses dan produk pendidikan kita sepertinya
berjalan di tempat, dan kurang mampu menjawab tantangan dunia global yang
semakin deras dan komprehensif.
Berdasarkan analisis-empiris di atas, tampak bahwa masih banyak
kesulitan-kesulitan yang sukar dihindari oleh pembelajar dalam menyukseskan
jalannya roda pembangunan pendidikan kita. Masalahnya sekarang adalah
bagaimana kita mampu merancang sebuah pengadministrasian pendidikan
nasional yang mampu mengadaptasi semua potensi yang ada dan mengeliminir
masalah dan kemungkinan timbulnya masalah dalam bidang pendidikan,
khususnya yang berkaitan langsung dengan pembelajar, sehingga mampu
menjadikan pembelajar itu benar-benar sebagai agen pembaharu dan haus
dengan inovasi dalam bidangnya. Pada akhirnya akan berdampak langsung
terhadap peningkatan kualitas proses dan produk pendidikan nasional di tengah-
tengah tataran masyarakat global.
Bila hal tersebut bisa dilakukan, tampaknya keresahan seputar
banyaknya masalah yang dihadapi oleh pembelajar dalam melaksanakan
profesinya bisa dieliminir sedemikian rupa, seperti: kurikulum tidak harus
memuat semua hal yang harus dilakukan oleh pembelajar melalui berbagai buku
pedoman dan petunjuk teknis pembelajaran, karena hal itu akan
mengkondisikan pembelajar dalam keterikatan yang teramat ketat, sehingga
mereka hanya mengejar ketuntasan materi kurikulum dan mengabaikan
pengembangan dan pelatihan potensi diri peserta didik itu sendiri.
7. Pembelajar, Harapan Masyarakat, dan Pembelajaran
Pembelajar (pembelajar) sebagai pelaksana kurikulum, Gagne (1975)
menyatakan bahwa “…carry out the task of promoting learning by providing
instructional”. Pembelajar adalah “designer of instruction” dan sekaligus sebagai
“manager of instruction”.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Sejalan dengan pendapat Gagne, kiranya disadari bahwa tanggungjawab
pembelajar amat berat, namun tidak berarti mustahil dilakukan. Justru beratnya
tanggungjawab tersebut merupakan motivasi tersendiri untuk berbuat dan
berlaku lebih baik. Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan yang
menjembatani para peserta didik dengan kecakapan-kecakapan (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap) yang harus dipelajari dan dimiliki oleh peserta didik.
Mengantisipasi upaya peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan
reformasi global, maka pembelajar hendaknya mampu mengembang-kan dan
membekali dirinya dengan seperangkat kemampuan dan keterampilan dalam
memilih dan mengaplikasikan model dan strategi pembelajaran yang mampu
menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik. Dalam
tulisan yang bertitel “Preparation and Certification of Teachers”, (Keller, 1985)
berupaya menjawab pertanyaan, “…what skills, knowledge and training should
teachers have and how should colleges and universities, state departemens of
education, and school boards make sure that they have them” ?. Pertanyaan
dan jawaban yang dikedepankan oleh Keller memberi petunjuk tentang
keterampilan dan kemampuan yang seyogyanya dimiliki dan dimahiri oleh
pembelajar agar mereka mampu melaksanakan tugas dengan baik serta
memenuhi harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.
Disisi lain, instrumentalia pendidikan yang ada harus mampu
mengadaptasi semua potensi yang dimiliki dan harus diterjadikan oleh
pembelajar. Salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang baik, adalah
kurikulum yang mampu memberikan keleluasaan kepada pembelajar untuk
menterjemahkan dan mengaplikasikannya berdasarkan tuntutan peserta didik
dan kondisi serta situasi masyarakat.
Kurikulum yang terlalu pada dengan materi, akan membuat pembelajar
berorientasi pada upaya pengejaran materi (ketuntasan materi), sehingga
pembelajaran yang dilakukannya baru mencapai tahap konsepsi (penanaman
konsep) semata. Hal ini jelas semakin membuat mutu pendidikan terpuruk dalam
dilematisasi sosial yang dalam. Kita tidak membutuhkan kurikulum yang
menekankan pada isi, melainkan kurikulum yang memberikan kebebasan yang
memadai kepada pembelajar untuk berimvrovisasi dalam pembelajarannya.
Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pembelajar, harus disertai
dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan instrumen pendidikan, termasuk
kurikulum.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pelatihan dan penataran atau bentuk-bentuk in-service training yang
dilakukan secara terprogram oleh pemerintah tidak akan mempunyai makna
bilamana kurikulum sebagai wadah dari segala kegiatan pendidikan di sekolah
masih tetap dan mengingat pembelajar untuk berbuat berdasarkan garis
komando-akademis seperti kurikulum yang diberlakukan saat ini. Hal ini tentu
memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, untuk itu kita berharap semoga
untuk masa-masa mendatang pemerintah mampu merancang sebuah kurikulum
hidup (life curicullum) sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan nasional
dapat tercapai dan berhasil secara maksimal.
Arus globalisasi yang semakin deras kita rasakan dengan masuknya
sejumlah informasi yang nyaris tidak dapat dibatasi, telah bergulir dan akan
mempengaruhi tatanan budaya kita, yang nantinya berpengaruh terhadap
semua lapisan masyarakat. Hal ini harus diantisipasi oleh kalangan pelaku
pendidikan (pembelajar) bila mereka tidak ingin ditinggalkan oleh teknologi atau
sengaja meninggalkan teknologi sebagai wujuh pelarian diri. Konsepsi ini
membawa dampak terhadap perlunya transpormasi manajerial dan reorganisasi
orientasi lembaga pendidikan, sehingga pembangunan pendidikan khususnya
pengembangan profesionalisme pembelajar harus mampu mengantisi-pasi dan
memprediksi kondisi tataran masyarakat global.
Semakin derasnya pertumbuhan pembangunan dalam bidang industri
dan revolusi komunikasi, menuntut adanya pembangunan pendidikan nasional
dalam paradigma cybernatic-system yang bisa mengembangkan dan
menciptakan iklim pranata sosial-pendidikan yang kondusif dan prediktif, serta
tenaga pembelajar yang profesional.
Derasnya arus reformasi dan gelombang globalisasi yang berdampak
terhadap semua aspek kehidupan kebangsaan, menuntut adanya arus dan
gelombang yang sama pada upaya perbaikan dan pembangunan pendidikan
nasional saat ini, sehingga peningkatan profesionalisme pelaksana kurikulum
(pembelajar) dan pembaharuan instrumen pendidikan (kurikulum) adalah
dimensi tersendiri yang sesegera (harus) mungkin dilakukan.
Meningkatnya aspirasi pendidikan masyarakat yang kian pesat belum
seimbang dengan peningkatan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan, ini
merupakan suatu masalah yang akan menimbulkan kesenjangan mendasar
antara tuntutan lapangan kerja yang tersedia di masyarakat dengan lulusan
lembaga pendidikan (produk pendidikan), untuk itu pembelajar harus sedapat
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
mungkin dihindarkan dari rangakaian masalah yang dapat mengganggu
profesinya, sehingga pengadministrasian pendidikan harus mampu
mengadaptasi dan merekonstruksi tuntutan jaman.
Tajamnya kritik dan warna-warni kesulitan yang dialami oleh pembelajar,
sebagian besar berpangkal pada tidak leluasanya pelaku pendidikan
mengembangkan aspek-aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran, yang
mengakibatkan pertanyaan besar, siapakah yang paling bertanggungjawab
terhadap kualitas produk lembaga pendidikan. Hal ini menimbulkan
pengkaburan dari wewenang dan improvisasi lembaga pendidikan. Salah satu
sumber masalah tersebut adalah belum mampunya kurikulum nasional
mengadaptasi kebutuhan pebelajar dan masyarakat secara komprehensif dan
bermakna.
F. Daftar Pustaka :
Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.
Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah).
Singaraja: STKIP Singaraja.
Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.
Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.
Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but
Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.
Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.
Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical
Psichology. USA, England: University of Michigan Press.
Phenix, Philip H., (1990). Realm of Meaning: A Philosophy of Developing Curriculum for
General Education. New York: Mcgraw Hill Book Company.
Supriadi, Dedi. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Pembelajar. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
________, (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT. Rosda
Jayaputra.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Stopsky, David and Marla Thomson. (1989). Planing of Change: New Approach in
Education Administration. NY: Educational Journal, Vol VIII-1.
Stahl, J. R. (1994). Cooperative Learning: Hand Book for Teacher. USA: John Hopkins
University Press.
Rabu, 06 April 2011
MASYARAKAT GLOBAL DAN IPS
Deskripsi Materi Pembelajaran
1. Masyarakat Global: Tantangan dan Harapan IPS
Menurut Stopsky dan Sharon (1994), masyarakat merupakan labora-
toriumnya IPS. Oleh sebab itu, setiap kegiatan pembelajaran IPS harus mampu
mengcover realitas masyarakat dimana pebelajar hidup dalam kesehariannya.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, sebagai salah satu
dampak dari kemajuan revolusioner dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menghadirkan the hight tech dalam setiap aspek kehidupan manusia, khususnya
dalam jaringan informasi dan telekomunikasi menghadirkan warna baru
hubungan kemanusiaan dan segala aspek kehidupannya. Bagi kalangan
pembelajar IPS, kecendrungan ini harus dapat ditangkap dan digunakan sebagai
dasar perancangan dan pengaplikasian prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Ada beberapa isu sentral yang berkait dengan tataran masyarakat global
dalam pembelajaran IPS, yaitu: (1) human rights, (2) keep peace environment,
(3) local and global political tendency, (4) economic global, (5) decreased moral
and society attidude, dan (6) racial and culture probles. Isu-isu ini merupakan
sumber pembelajaran yang sangat strategis untuk mengembangkan potensi dan
skills peserta didik dalam IPS.
Penggunaan teknologi-komunikasi dan beberapa perangkat keras yang
berkaitan dengan kemudahan mengakses informasi harus dioptimalkan
penggunaannya oleh para pebelajar (pembelajar) dalam membelajarkan IPS.
Pembelajar dalam kapasitasnya sebagai manager and instrument of learning
dituntut paham dan terampil dalam memanfaatkan teknologi dalam
pembelajaran yang dirancang dan dilakukan. Karena pada dasarnya IPS adalah
disiplin ilmu yang selalu bersentuhan dengan isu-isu sosial kemasyarakatan. Di
samping itu, pengcoveran realitas aktual yang terjadi di masyarakat, akan
menjadikan pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar to be meaningful
learning better than transfering knoledge and skills by expository.
Seorang pembelajar, selayaknya mampu menjadikan ruang kelas yang
terbatas sebagai media dan wahana belajar peserta didik yang tidak terbatas.
Hal ini bisa dilakukan, bila pembelajar mampu menghadirkan cover riil
masyarakat selama pembelajarannya. Karena yang terpenting dalam
pembelajaran IPS bukan sebatas how to learn, tetapi learning how to learn,
sehingga meaningful learning itu bukan sebatas harapan dan konsep formal
yang digantung di dinding setiap kelas.
Rasional dari pembahasan dan tawaran konsep-aplikatif dalam ini lebih
banyak dimaksudkan kepada mereka yang percaya dan meyakini akan
keberbedaan hak dari setiap individu serta kemampuan personal yang holistik.
Philosofi dari kajian dalam bab ini bahwa “kurikulum harus sesuai dan relevan
dengan keinginan, hidup, dan kebutuhan peserta didik secara alamiah”.
Munculnya konsep inovasi dalam kurikulum IPS, dilatarbelakangi oleh beberapa
kritik dan pandangan miring yang dialamatkan kepada pembelajaran IPS.
Adapun beberapa kritik mendasar yang banyak dimunculkan berbagai fihak
seputar pembelajaran IPS, adalah:
1. Mata pelajaran yang hanya berisikan fakta, nama, dan peristiwa masa lalu.
2. Mata pelajaran yang membosankan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
3. Tidak memiliki nilai praktis (unaplicable)
4. Sarat materi tanpa makna (covers too much material)
5. Tidak ada kontribusi dalam pembangunan masyarakat, karena hanya
membicarakan masa lalu
6. Pembelajarannya hanya bersumberkan pada buku teks.
7. Peserta didik tidak memperoleh sesuatu yang dapat disimpan dalam
memorinya.
8. Pembelajar tidak dapat membelajarkan keterampilan berpikir
9. Pembelajar IPS banyak berangkat dari asumsi bahwa tugas mereka adalah
memindahkan pengetahuan dan keterampilan yang ada pada dirinya ke kepala
pebelajar secara utuh.
Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), kritik yang dialamatkan kepada
IPS itu banyak dikontribusi oleh pendekatan dan model pengorganisasian materi
yang dilakukan oleh pembelajar cendrung dangkal, sehingga tidak menggugah
peserta didik untuk belajar inquiri. Hal ini didukung oleh pengembangan dan
sistimatika kurikulum IPS yang masih menggunakan kombinasi sparated
approachs dan integrated approachs.
Menurut Luchan (1990), pembelajaran IPS merupakan pengembangan
seni berkehidupan peserta didik dalam bermasyarakat (latihan-latihan
berkehidupan). Logikanya, setiap pembelajaran IPS harus mampu
menghadirkan potret riil masyarakat peserta didik dimana mereka tumbuh dan
berkembang. Pembelajaran IPS bukan hanya menyangkut fakta, tetapi ongoing
creation of today, and the recreation of yesterday, sehingga yang harus
dikembangkan pembelajar adalah pengkondisian kelas sehingga peserta didik
mampu melakukan refleksi tentang masa lalu dalam menyikapi kehidupan saat
ini (present). Senada dengan pemikiran di atas, Mehlinger (1979) menyatakan:
social studies not about “dead events”, but concern with how to management
and reflection past based on the present and future lifes.
Tujuan dari konsepsi ini adalah mengkondisikan dan melatih peserta didik
untuk terbiasa menghadapi tantangan dan bertanggungjawab tentang hidup dan
kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang pembelajar harus mampu
menjadikan setiap peserta didik sebagai “ambassador” dengan keterampilan
bernegosiasi serta kemampuan mengambil solusi atau keputusan yang akurat
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
tentang kehidupan bernegara. Latihan yang diberikan oleh pembelajar,
menuntun pebelajar untuk mengunakan pengetahuannya dalam membuat
keputusan yang rasional tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang
dihadapi.
Sekolah adalah laboratorium dimana pebelajar dapat belajar dan
berpartisipasi secara demokratis untuk memecahkan masalah sosial
kemasayarakatan. Konsepsi ini banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat
Amerika yang multietnik. Namun, multietnik merupakan sesuatu yang mesti
diterima dan dijadikan sebagai sumber pembelajaran di sekolah sebagai sebuah
masyarakat yang demokratis, sehingga memungkinkan anak-anak Amerika
untuk memahami mereka adalah bagian dari tataran masyarakat global yang
dinamis. Untuk itu kurikulum persekolahan harus mengcover refleksi dari nilai-
nilai leluhur dan keberbedaan dari setiap orang dalam kehidupan masyarakat.
Seorang pembelajar harus membelajarkan pebelajarnya menjadi
pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari
kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik
mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik dan “tahan
banting” terhadap dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dunia (global community).
Pembelajaran IPS yang baik dan semsetinya dikembangkan oleh
pembelajar adalah mengajak peserta didik memahami natural settings dari
masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya,
serta belajar merumuskan tehnik-tehnik pemecahannya. Dalam konteks ini akan
berkembang keterampilan-keterampilan sosial tingkat tinggi pada diri mereka,
seperti; keterapilan dalam bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi,
inquiry, dan menjustifikasi sebuah masalah secara objektif. Hal inilah yang oleh
Schuncke (1988) dikatakan bahwa “social studies is unique place among
according diciplines, because it encomposses every aspects of human life”.
Sebelum merancang pembelajaran, bawa pebelajar datang ke sekolah dengan
seperangkat nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan teman
sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu mengadaptasi karakteristik
setiap pebelajar agar terakumulasi secara positif selama pembelajaran
berlangsung.
Sekolah harus menjadi sebuah potret nyata dari sebuah proses
demokrasi, dan mampu menyajikan realitas kehidupan demokrasi yang telah
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dimiliki dan diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di luar sekolah.
Aktualisasi pendidikan nilai di sekolah dan kerjasama kelompok merupakan
salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam
membelajarkan pebelajar yang mulietnik. Melalui kerjasama kelompok dan
belajar secara kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi ulang nilai-nilai
individualnya berdasarkan kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh
pemahaman yang memadai terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya.
Aktivitas belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan inkuiri,
melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemukan kreasi secara mandiri
dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari setiap pendidik
adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan menerima perbedaan
dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan permusuhan. Secara umum ada
beberapa model pembelajaran yang bisa dijadikan acuan oleh pembelajar dalam
membelajarkan nilai kepada pebelajar, yaitu; (1) sosio-drama, (2) simulasi, (3)
storyteller, (4) demonstrasi individual, dan model pembelajaran lain yang
menonjolkan pengekploitasian potensi diri pebelajar.
Seorang historian, Hirsch (1992) menyatakan bahwa, social studies
emphaziss history and social science at frame of paedagogical purpose.
Pembelajar dalam merancang pembelajaran IPS harus mampu menciptakan
iklim yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir
tingkat tinggi dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan di
lingkungan pebelajar dan dalam skup yang lebih luas dan keterampilan dalam
mengambil sebuah keputusan, dengan memberikan kesempatan peserta didik
melakukan reflective their values, moral, knowledge, and iterest to make
decisions. Dengan demikian akan terpola pembelajaran yang berorientasi pada
pengoptimalan learner experiences.
Kecendrungan dan inovasi dalam pembelajaran IPS ini banyak
dikontribusi oleh perkembangan dunia yang semakin menggila sebagai dampak
kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat seperti; pluralisme, multietnic,
and multicultural environment, sehingga membawa ekses pada terjadinya
cultural revolution, role deferren-tiation, families come in many forms, and
expanding individual rights. Pada dasarnya pola dan pendekatan IPS seperti di
atas, dikembangkan berdasarkan tiga konsep dasar tradisi pembelajaran IPS
yang direkonstrukti oleh seorang pakar pendidikan Amerika berkebangsaan
Yordania, Charles Mistakos (1980). Adapun tiga tradisi pembelajaran IPS yang
dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
FOKUS PEMBELAJARAN SOCIAL STUDIES
TRANSMISI
ILMU SOCIAL
REFLEKTIF-
INQUIRY
TUJUAN
Menanamkan
nilai-nilai yang
tepat sebagai
dasar
mengambil
keputusan
Menggunakan
konsep, ke-
terampilan, dan
proses
pengambilan
keputusan
berdasarkan
prinsip-prinsip
ilmu sosial
Menggunakan
pendekatan
inkuiri sebagai
sumber
pemerolehan
pengetahuan
dan
pemecahan
masalah serta
pengambilan
kepu-tusan
METODE
Resitasi buku
teks, ce-
ramah, tanya
jawab,
problem
solving, inquiri
dsb
Pengumpulan
data dan
verifikasi
pengetahuan dan
metode yang
tepat untuk setiap
disiplin ilmu
sosial
Rangkaian
kegiatan
pengidentifika-
sian masalah,
su-dut pandang
terhadap ma-
salah, dan
struktur peng-
ambilan
keputusan
MATERI
Ilustrasi
tentang nilai,
moral,
kepercayaan,
dan sikap
Materi berisikan
tentang struktur,
konsep, masalah,
dan proses
berbagai ilmu
Materi
disesuaikan de-
ngan masalah
yang dipilih
pebelajar
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
yang
diinterpreta-
sikan secara
langsung oleh
pembelajar
sisial berdasarkan
analsis nilai,
kebutuhan, dan
ke-inginan
pebelajar
2. Kurikulum Global
Kecendrungan baru dalam pembelajaran IPS juga ditunjukkan oleh
adanya gugatan kembali oleh kalangan ilmuwan sosial, terutama yang melabeli
dirinya sebagai founding father dari disiplin ilmu tertentu, seperti Forino (1993),
yang menyatakan bahwa, history and social sciences are producers of
knowledge, while social studies is largely a consumer. Mereka memper-
tanyakan tentang eksistensi dan substansi materi dan pendekatan IPS dalam
membelajarkan pengetahuan dan keterampilan, khususnya dalam menyikapi
kecendrungan global yang berkembang dewasa ini. They need to encounter and
reencounter, in variety of contexts, the knowledge, concepts, skills, and
attidudes that from the foundation for participation in a democratic society
(NCSS, 1990).
Berdasarkan beberapa kecendrungan akademis dan empirikal di atas,
maka National Commission for Social studies (NCSS) merekomendasikan
kalangan pelaku pembelajaran untuk menekankan pada pengaplikasian
pengetahuan dan trends masyarakat untuk melatih pebelajar dalam mengambil
keputusan tentang hidup dan kehidupan masyarakatnya, sehingga pola
pembelajaran yang dikembangkan jauh lebih demokratis. The task of teachers is
to assist students in using knowledge to make rational decisions (NCSS, 1993).
Sebagai sebuah laboratorium pendidikan warga negara, maka IPS
selayaknya menekankan pada bagaimana membelajarkan pebelajar untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang demokratis,
sehingga ketajaman intuisi dan prediktifnya terlatih dalam memecahkan
masalah-masalah yang ada di sekelilingnya. Selayaknya, sebagai seorang
pembelajar IPS, maka mereka tidak harus kehilangan kesempatan dalam
membangun dan memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
mengembangkan minat dan bakatnya, berdasarkan konsepsi dan
pemahamannya tentang sejarah dan teori-teori sosial.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Konsepsi ini merupakan satu diantara kecendrungan dan inovasi dalam
pembelajaran IPS sebagai dampak langsung dari perkembangan masyarakat
global. That teachers who miss these crutial opportunities to built interest, to
intruduce concepts from history and the social sciences, and to develop social
perspectives and civic understanding may take it more difficult for citizens of the
21st century to cope with their future.
Belajar dan pembelajaran merupakan dua kata yang berbeda namun
memiliki kaitan satu sama lain. Belajar adalah proses yang terencana dan
bertujuan serta memerlukan pengkondisian dan instrumen tertentu. Sementara
dalam konteks pembelajaran telah terkandung makna belajar dan mengajar,
sehingga pembelajaran lebih ditekankan pada proses interaksi transkasional
antara pebelajar dan pembelajar dalam mencapai suatu tujuan belajar yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konteks IPS, seorang pembelajar harus
mampu menjadikan proses transaksional yang berkebnag di kelas menjadikan
pebelajar mampu mengembang-kan potensi dirinya secara optimal.
Melalui pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap potensi
diri pebelajar pembelajar akan dapat merancang dan memilih model, serta
pendekatan pembelajaran yang demokratis dan humanistis bagi pebelajarnya.
Karena, hal tersebut merupakan tuntutan dan keharusan dalam menciptakan
dan mengembangkan demokrat-isasi dalam pembelajaran IPS. Hal ini sejalan
dengan pendapat seorang pembelajar dan administrator pendidikan di timur
tengah, Goland Curbis (1994), yang menyatakan bahwa, multiethnicity is central
to our continued existence as a democratic society.
Alasan yang ditawarkan untuk menjustifikasi pendapatnya tersebut,
adalah young people have differing needs which can be meet through an
enriched social studies curriculum. Berdasakan preposisi di atas, kurikulum IPS
harus dirancang secara integratif, holistik dan konstruktif dengan memper-
timbangkan potensi dan instrumentalia pendidikan yang tersedia, sehingga
mampu menghantarkan pebelajar memahami dan terampil dalam melakoni
kehidupan masyarakat global saat ini.
Alfin Toffler (1980) menyatakan, that we are in the midst of a new
paradigm of change that is analogous in scope and impact to the industrial
revolution. Sebagai antisipasi terhadap prediksi Toffler, sudah selayaknya
kalangan pembelajar makes curriculum come alive in the minds of children.
Konsepsi di atas, mendapat pembenaran dari konsepsi Bruner (1968) yang
dikemukakan jauh sebelum dunia ini berkembang sebagai tataran global yang
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
multidemsional, bahwa to intruducing the basics of academic diciplines in the
early grades, and then repeating them with increasing levels of complexity and
sophistication throughout a student’s career in education.
Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang isu dan kecendrungan
pembelajaran IPS dalam tataran masyarakat global di atas, maka untuk
memudahkan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait langsung dengan hal
tersebut, dapat dilihat dalam bagan berikut:
Kecendrungan
Sosial
Implikasi Bagi
Masyarakat
Implikasi bagi Pembe-
lajaran di Kelas
Akselerasi
peru-bahandan
keragu-an
terhadap Masa
depan
Turunnya
kebersama-an mas-
yarakat umum
Kecemasan keluarga
Keraguan akan
masa depan
Masyarakat akan
me-ngalami
beberapa pe-
rubahan pekerjaan
setiap saat
Transformasi
kurikulum
Penekanan pada
keter-ampilan-
keterampilan me-
ngatasi perubahan,
kese-mrawutan, dan
pleksi-belitas
Perubahan
demografi
Perubahan populasi
Peningkatan
ekspresi
anak
Kerancuan pada
jurusan di sekolah dan
bidang administrasi
Sekolah harus beker-
jasama dengan
pebelajar dalam
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
ketidakpastian
Telekomunikasi
dan Informasi
da-lam tataran
Masyarakat
global
Kemudahan dan
kece-patan informasi
Perluasan informasi
Sekolah harus padu
dengan jaring-an
global, untuk
memperoleh infor-
masi yang lebih
banyak
Pluralistis,
Keber-agaman
Ras dan
keberagaman
Lingkungan
Peningkatan potensi
konflik dan
kekhawatiran
individual
Tekanan-tekanan
yang menyebabkan
hilangnya nilai
kebersamaan
Tantangan bagi
disiplin keilmuan
Sejarah budaya harus
merupakan bagian
dari kurikulum
Revolusi sosial
Peningkatan konflik
dika-langan orang
tua/anak
Tantangan baru bagi
pengambil kebijakan
Perbedaan
kebi-
asaan
Atau aturan
main
Individu senantiasa
ber-ada dalam
peraturan/ hukum
Pembelajar dan
pebelajar harus
menjalin interaksi
personal dalam
berbagai level
Bentuk
keluarga
yang beragam
Rendahnya kualitas
hidup
Sedikitnya perhatian
ke-sehatan dan
pening-katan biaya
Meningkatkan
keterlibatan orang tua
dalam kebija-kan-
kebijakan sekolah
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pengo-batan
Perluasan hak-
hak
Individu
Peningkatan konflik
dan keter-sediaan
peradilan untuk men-
justifikasi
Pebelajar semakin
sadar akan hak dan
kewajiban-nya,
sehingga merupakan
tantangan baru bagi
para pengelola
sekolah
Kemunduran
kualitas
lingkungan,
kehidupan
kota, dan
kesehatan
Rendahnya kualitas
hidup
Sedikitnya metode
peng-obatan baru,
sehingga
meningkatkan biaya
pengobatan.
Meningkatnya
perhatian terhadap
penggunaan, ke-
cendrungan dan
manfaat dari
pembelajaran materi
Biaya pengobatan
bisa berpengaruh
pada keha-diran
pebelajar di sekolah
Meningkatnya absensi
ke-hadiran pebelajar
di sekolah
Ekonomi global
Kesempatan kerja
dipe-ngaruhi oleh
kejadian-kejadian
dunia
Pengaruh kebijakan
global terhadap
pembiayaan se-kolah,
kurikulum, dan yang
lainnya.
3. Model Pembelajaran IPS
Model merupakan kerangka konseptual yang dikembangkan dan
digunakan sebagai pedoman sistematis dalam melaksanakan dan
mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan dan kepentingannya (Stopsky and
Sharon Lee, 1994). Ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dalam pembelajaran IPS, seperti: (1) the disclipinary model, (2) the
multydisciplinary model, (3) citizenship education, (4) the problem inquiry model,
dan (5) the humanistic model atau personal model (Gross, 1978). Sementara
Bart dan Shermish (1987) mengatakan ada tiga model pembelajaran IPS yang
sesuai dengan dinamika masyarakat, yaitu: (1) social studies as social sciense
model, (2) social studies as citizenship education model, dan (3) social studies
as reflective inquiry models. Berkaitan dengan upaya pematangan dan
peningkatan profesionalisme pembelajar, Stopsky dan Sharon menyatakan ada
tiga aliran besar yang mempengaruhi tradisi dan model pembelajaran IPS, yaitu:
(1) aliran ilmuwan sosial, (2) aliran para pendidik (expert), dan (3) aliran
gabungan antara ilmuwan sosial dan ahli pendidikan.
Dihubungkan dengan orientasi pengembangan capability instructional
dikenal pula model pembelajaran IPS yang emphaziss pada developing skill of
science thinking, sebagaimana layaknya ilmuwan sosial dan model
pengembangan aspek-aspek values and moral kewarganegaraan yang baik.
The objectives of social science as a conceptual tidak hanya terdapat dalam
kurikulum secara eksplisit, namun tumbuh dalam berbagai konsepsi pemikiran
yang dikembang-kan para pemerhati dan pakar pendidikan. Beberapa definisi
yang diangkat senantiasa berkait dan memuat konsep tentang tujuannya. Tradisi
dimana IPS dikembangkan (setting of society) senantiasa mewarnai rumusan
tujuannya, sehingga tampak rumusan tersebut sangat kontekstual dengan social
and culture of communities.
Para ahli sering merumuskan tujuan IPS berkaitan dengan upaya
mempersiapkan para pebelajar menjadi warga negara yang baik. Hal ini
merupakan pengaruh dari model IPS sebagai “citizenship education”. Gross
(1987), seorang pakar pendidikan dan sekaligus negarawan menyebutkan
tujuan IPS “to prepare students to be well-fungtioning citizens in a democratic
society”. Konsekuensinya, pebelajar harus dikondisikan dan dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan sekolah yang mampu mengaktualisasi-
an hal itu. Hal ini merupakan arah maju dalam pembelajaran IPS di tengah-
tengah globalisasi.
Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam IPS
antara lain mengembangkan kemampuan menggunakan penalaran dalam
pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapi. We also think that the
social studies should be more concerned with helping student make the most
rational decisions that they can in their own personal lifes (Gross, 1987). Para
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pembelajar, hendaknya mampu mengkondisikan pembelajarannya yang
memung-kinkan pebelajar memperoleh informasi yang seoptimal mungkin bagi
pengem-bangan apresiasi nilai dalam menjalani kehidupannya, sehingga
mereka memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang
lebih tinggi.
Berdasarkan rasionalitas tersebut, tampaknya dari dua dimensi inilah
tujuan IPS harus dirancang dan diaktualisasikan agar sesuai trends masyarakat
global saat ini. Social studies sejak awal telah menekankan pada
pengembangan penghargaan diri peserta didik, termasuk melalui penggunaan
pendekatan belajar secara kelompok. Pemikiran ini di dasari oleh asumsi bahwa
setiap pebelajar adalah individu yang unik, namun mereka besar dan berbagi
pengalaman secara bersama-sama di sekolah, sehingga setiap pebelajar
berkeinginan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan
dalam belajarnya di sekolah.
Pemberian tugas kelompok ke perpustakaan merupakan salah satu
metode pembelajaran yang efektif untuk menumbuhkan iklim belajar kolaboratif
diantara pebelajar, sehingga memungkinkan ekplorasi optimal kemampuan
pebelajar melalui refleksi diri dan sharing process diantara pebelajar itu sendiri.
Hal ini harus dijadikan sebagai model acuan oleh pembelajar dalam
pembelajaran IPS, sehingga pembelajaran yang dilakukan benar-benar
bermakna (meaningful learning).
4. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPS
Pembelajaran IPS dalam era modernisasi dan kecendrungan global
dewasa ini, harus tetap berakar pada akar budaya dimana IPS itu dibelajarkan.
Disamping itu, pengembangan keterampilan berpikir dan penekanan pada
refleksi nilai oleh peserta didik tetap menjadi orientasi pembelajaran yang
dilakukan kalangan pembelajar. Pengembangan kemampuan berpikir berkaitan
dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi manusia yang perlu secara
sengaja dikembangkan untuk mencapai kapasitas optimal aktualisasi diri
pebelajar.
Kemampuan berpikir diposisikan sebagai power resources yang amat
vital bagi suatu bangsa, sehingga hal tersebut diperlukan oleh para pembelajar
untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berpikir (Artur L Costa,
1985). Konsepsi pendidikan berpikir sebagai pendekatan dalam pengadminis-
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
trasian pendidikan lahir sebagai respon atas perlunya pendidikan diperankan
untuk mengembangkan kemampuan tersebut dalam segala dimensinya.
Intelegensi dan kemampuan berpikir memiliki hubungan kausalitas level
tinggi, sehingga semakin tinggi kemampuan berpikir seseorang, makin tinggi
pula intelegensi orang tersebut. Disamping itu, kemampuan berpikir ini akan
mendorong pengembangan potensi lain dari seseorang yang sebelumnya tidak
tampak kepermukaan. Pendidikan berpikir ditujuakan untuk mengembangkan
kualitas berpikir anak dalam proses perkembangan kognisinya, sehingga
aktualisasi intelegensi memperoleh ruang gerak yang optimal.
Pembelajaran IPS senantiasa mengandung kegiatan berpikir, namun
apabila tidak diprogramkan secara khusus, proses pendidikan berpikir itu akan
berdampak pada rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga
tidak memadai untuk melatih seseorang mengembangkan kemampuan
berpikirnya secara optimal.
Seorang profesor sosiologi pendidikan di Amerika, Lester Frank Ward
(1983), menyatakan bahwa intelegensi dapat dikembangkan melalui pendidikan,
dia menjelaskan perlunya wajib belajar yang merupakan alat bagi pemerataan.
Asumsi yang ditawarkannya banyak menarik perhatian para politisi dan pakar
pendidikan, karena pada jamannya sedang berkembang dengan kuat
“Darwinisme” yang sangat kontradiktif dengan asumsi yang ditawarkannya.
Untuk memantapkan kemampuan pebelajar dalam berpikir, pembelajar
bisa mengajak pebelajar untuk melakukan refleksi diri, karena pada saat mana
pebelajar memahami tentang keinginan pribadinya sebagai manusia, mereka
akan mulai menyadari tentang keinginan dan aspirasi dari orang lain. Jika hal ini
terus dilakukan, perbedaan nilai, budaya, dan kepribadian dalam masyarakat
yang plural bukannya melahirkan konflik, justru memungkinkan setiap orang
untuk memupuk sikap toleransi yang tinggi. Oleh sebab itu, pebelajar harus
dilibatkan secara penuh dalam mempelajari materi dan melakukan sesuatu
secara nyata tentang materi yang dipelajari. Trends pembelajaran IPS saat ini,
adalah menjadikan kurikulum global sebagai acuan pengembangan materi di
sekolah-sekolah. Dalam perspektif kurikulum, kurikulum global lebih
menekankan pada upaya pengkondisian pebelajar untuk mempelajari kehidupan
dunia nyata (real world), karena IPS dan ilmu sosial merupakan satu kesatuan
dalam kurikulum global.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Kurikulum berwawasan masyarakat memungkinkan pebelajar untuk lebih
bertanggungjawab terhadap perilakunya dan mengembang-kan pemikiran serta
sikap perlindungan terhadap berbagai spesies di muka bumi ini. Dengan
demikian, keseimbangan dunia akan terwujud secara baik, dengan tanpa
mengesampingkan munculnya konflik-konflik individual yang terjadi di beberapa
belahan dunia yang secara historis berbeda satu sama lainnya. Itulah profil dan
posisi dari social science dalam tataran disiplin keilmuan dunia.
Pendekatan pebelajar sentris menekankan pada pemenuhan kebutuhan
pebelajar untuk meningkatkan kemampuannya melalui beberapa manipulasi
bahan ajar yang relevan. Dalam konteks pembelajaran, setiap pelaku
pembelajaran IPS harus mampu meng-optimalkan perasaan dan harapan
pebelajar dalam mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikirnya. Hal
ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena salah satu fungsi
strategis yang diemban oleh sekolah sebagai sebuah institusi formal adalah
mempersiapkan generasi muda untuk mampu hidup dan bekerja dalam segala
bidang kehidupan. Sehingga, urikulum yang efektif adalah bilaman mampu
melahirkan pebelajar yang bijaksana dalam segala dimensinya.
Jika kita menengok kebelakang, khususnya menyangkut pengorgani-
sasian kurikulum IPS, setelah perang dunia II pola pengem-bangan kurikulum
masih didominasi oleh paham pengorganisasian materi yang baku dan materi
pelajaran yang terlalu banyak sehingga secara psikologis, sangat membebani
pebelajar. Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara
sendiri oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan
merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya.
Melalui model pembelajaran ini kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas
pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar
lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model
pembelajaran, pembelajar hendaknya memper-hatikan kematangan psikologis
pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri. Secara
umum, pebelajar khususnya yang berada pada jenjang sekolah dasar dan
SLTP, suka pada seni dan menggambar untuk mengeksperikan perasaan dan
ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi tempat yang menarik dan
menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar dengan lebih baik pada
suasana/lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu pengem-bangan iklim
sekolah dan kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas pebelajar
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dalam berpikir.Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar
untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan.
Penemuan teknologi baru dalam bidang informasi merupakan sesuatu
yang menguntungkan dalam pembelajaran IPS. Karena pembelajar dan
pebelajar akan dapat secara bersama-sama meng-gunakan media tersebut
secara maksimal bagi keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Forbes
(1984), mengaitkan kemajuan teknologi dengan pendidikan berpikir dalam
dimensi persekolahan. Bagaimana pembelajar mempersiapkan para pebelajar
untuk menghadapi perkembangan teknologi di masa mendatang. Ia berpen-
dapat bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat
mengembangkan produktivitas pebelajar dalam menggunakan teknologi.
Forbes (1984), mengemukakan tiga katagori kemampuan berpikir, yaitu:
(1) content thinking skills, (2) reasoning skills, dan (3) learning to learn skills.
Aplikasi pendekatan pendidikan berpikir dalam IPS dipandang tepat dan
strategis dalam meningkatkan kualitas dan profesionalisme pebelajar dalam
mengantisipasi kecendrungan masyarakat global.
Arus perubahan dan dinamisasi dalam hampir semua aspek kehidupan,
menuntut kalangan praktisi pendidikan untuk menggalakkan pendidikan berpikir
dalam pembelajaran IPS. Hal ini akan terus mendapat perhatian, karena
persoalannya berkaitan dengan proses belajar yang bagaimanakah yang
mengandung kegiatan atau latihan berpikir itu. Sebab tidak semua kegiatan
pembelajaran selalu ada kegiatan yang mengandung secara khusus proses
berpikir, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan pembelajaran
selalu mengandung latihan berpikir.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir, kalangan pembelajar dapat
menggunakan kemajuan teknologi, seperti penggunaan komputer, jaringan
telekomunisi terpadu. Dengan fasilitasi ini, pebelajar akan dapat mengasah dan
meningkatkan kemahiran dan kelincahan intelektualnya selama proses
pembelajaran berlangsung. Namun yang perlu disadari oleh kalangan
pengembang kurikulum maupun praktisi pendidikan, bahwa pendidikan itu harus
tetap diadministrasikan dengan bersendikan pilar-pilar budaya dan nilai-nilai
kultural yang ada dan berkembang di masyarakat.
Kondisi kultural masyarakat mutlak diperhatikan, jika tidak mau
menghasilkan apa yang disebut dengan “kultur bisu” atau culture of silence. Hal
ini penting, karena mengingat derasnya arus informasi sebagai dampak
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
kemajuan teknologi yang diterima pebelajar yang berbentuk komunikasi searah,
yang pada gilirannya akan mematikan kreativitas pebelajar di semua jenjang
sekolah. Kondisi ini didukung pula oleh realita bahwa sistem persekolahan yang
dikembangkan oleh kalangan politisi dan praktisi belum banyak mengem-
bangkan nilai-nilai dasar humanistis. Untuk itu, pembelajar selayaknya tidak
hanya berperan sebagai “transmiter of knowledge”, tetapi harus menjadi
transfere and transformer of knowledge and values” (Freire, 1990).
Urgennya pengembangan nilai kultural dalam pembelajaran IPS,
dikemukakan oleh Metcalf (1979), bahwa values analysis yang merupakan
pendekatan dalam pendidikan moral dapat diaplikasikan dalam pembelajaran
IPS, bahkan sejalan dan menunjang pengembangan kemampuan berpikir
pebelajar. Jika pebelajar telah terampil dan kreatif dalam berpikir, maka disinyalir
akan mampu memainkan peran secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (good citizen).
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik konsepsi, bahwa kemajuan
teknologi bukan semata-mata menjadikan pembelajar lebih mudah dalam
melakukan pembelajaran, hal itu juga merupakan tantangan kalangan pendidik
untuk memacu diri untuk mampu mengoperasionalkan kemajuan teknologi bagi
perkembangan dan keberhasilan belajar pebelajar.
Kalangan pembelajar dituntut untuk peka dan antisipatif terhadap
perkembangan yeknologi, mengingat socisl studies merupakan disiplin ilmu yang
merasuk dalam setiap hati nurani masyarakat, dimana prinsip-prinsipnya
merupakan keseharian dari masyarakat itu sendiri. Kalangan pakar pendidikan
telah banyak melakukan kajian untuk mengembangkan berbagai model
pembelajaran yang sesuai dengan latar budaya dan dinamisasi sosial-
kemasyarakatan. Pada dasa warsa terakhir, upaya kearah itu telah banyak
diorientasikan bagi pengembangan kemampuan berpikir pebelajar, demikian
pula dalam aplikasi pemahaman culture heritages, telah menjadi sasaran dan
arahan penemuan dan pengembangan model pembelajaran IPS.
Barry K. Beyer (1971) menyatakan bahwa, pemberian kesempatan yang
leluasa kepada pebelajar untuk menjelajahi alam sekitar dan di luarnya dapat
menumbuhkan sikap dan keterampilan inquiri di kalangan pebelajar itu sendiri.
Atas dasar itu, ia yakin bahwa aplikasi inquiri dalam IPS dapat mengembangkan
kemampuan berpikir, oleh karenannya materi pembelajarannya dikaitkan
dengan masalah dan phenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pebelajar. Pendekatan metodologis yang diprasyaratkan dalam peningkatan
keterampilan berpikir kritis di kalangan pebelajar dalam pembelajaran IPS,
mengkondisikan pebelajar untuk bagaimana berpikir untuk memikirkan sesuatu.
Dengan demikian analoginya adalah by think and how to think, hendaknya
berpikir menjadi inti dari belajar, artinya hindari belajar tanpa berpikir.
Inquiri sebagai salah satu metode ilmiah, diyakini dapat meningkatkan
kemampuan berpikir ke arah yang lebih tinggi di kalangan pebelajar,
dikarenakan memiliki tahapan berpikir yang biasa digunakan kalangan ilmuwan
dan peneliti dalam menemukan dan memecahkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan.
Kecendrungan global dunia, melahirkan kecendrungan umum pula di
kalangan praktisi pembelajaran IPS, mereka terpolarisasi untuk mengoptimalkan
beberapa metode pembelajaran yang secara ilmiah sangat signifikan untuk
meningkatkan kualitas proses dan hasil dari pembelajarannya, seperti: (1)
metode inquiri, (2) metode konstruktivis, (3) metode cooperative learning, (4)
metode jurisprudensi sosial, dan (5) metode problem solving. Berkait dengan
pembaharuan dalam pembelajaran IPS, Joice and Weil (1986) mengemi\ukakan
beberapa model belajar, yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok,
yaitu: (1) kelompok pengelolaan informasi, (2) kelompok personal, (3) kelompok
sosial, dan (4) kelompok sistem perilaku. Jika kecendrungan ini terus berlanjut,
disinyalir mutu pendidikan IPS bisa establis. Inilah yang oleh banyak kalangan
diistilahkan sebagai “revolusi IPS melalui berpikir”.
Isu sentral lainnya yang berkembang dalam pembelajaran IPS, terkait
dengan kehidupan masyarakat global, adalah pembudayaan belajar di kalangan
pebelajar. Pembudayaan belajar berkaitan dengan merekonstruksi lingkungan
dan iklim belajar secara produktif yang memberikan peluang pebelajar untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, moral, sikap, dan perilakunya secara
maksimal, sehingga menimbulkan empati diantara sesamanya dalam tataran
masyarakat yang multietnis dan multikultural.
Pembudayaan belajar dalam pembelajaran IPS, harus dimulai dengan
membiasakan pebelajar mendapat tantangan dalam belajarnya, sehingga
mereka terkondisi berpikir lebih untuk mencari formulasi pemecahan berbagai
permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian, materi pelajaran hendaknya
diorganisasikan dengan mengangkat isu-isu sentral dan aktual yang
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
berkembang di masyarakat, seperti isu budaya, kesejahteraan, lingkungan,
HAM, dan kejadian-kejadian dunia yang monumental.
Pembudayaan belajar merupakan salah satu sasaran pemharuan dalam
pembelajaran IPS. Konsep ini diakaitkan dengan premis bahwa pengembangan
potensi individu pebelajar secara utuh, khususnya berkait dengan keterampilan
berpikir bukan semata-mata metodologi pembelajaran atau kemahiran
pembelajar dalam menguasai bahan ajar, melainkan banyak ditentukan oleh
berkembang-nya budaya belajar di kalangan pebelajar.
Berpikir dan penghayatan terhadap nilai merupakan inti dari belajar.
Asumsi ini menunjukkan bahwa proses ini perlu dibudayakan, sehingga menjadi
bagian dari perilaku sosial pebelajar di tengah-tengah arus globalisasi yang
bergerak dengan cepat. Penataan ini hanya akan dapat dilakukan melalui
pemberian perhatian secara optimal kepada kepentingan peserta didik dengan
tetap mempertim-bangkan latar sosial budayanya, sehingga pemilihan
pendekatan metodologis dalam pembelajaran mendapatkan dukungan positif
dari perspektif pebelajar, sehingga menjadi awal tumbuh dan berkembangnya
budaya belajar itu sendiri.
5. Komunikasi dalam Pembelajaran IPS
Buku teks merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan
pembelajaran IPS. Namun beberapa pembelajar yang berpikiran maju
menggunakan literatur (koran, majalah, dan berita TV) sebagai basis dalam
membelajarkan IPS. Penggunaan berbagai media dan sumber pembelajaran
sangat esensial dalam membelajarkan IPS, karena semakin komprehensif
media dan sumber belajar, pebelajar akan memiliki kesempatan yang luas untuk
mengkomunikasikan ide, keinginan, dan pemikirannya. Salah satu prasyarat
yang harus dipenuhi oleh pembelajar dalam memilih media dan sumber belajar
bagi pebelajar, adalah karakteristik potensi pebelajar dan bahan ajar yang akan
dibelajarkan.
Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar IPS untuk
mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran IPS. Diantara banyak
metode tersebut, bermain peran merupakan salah satu metode yang sangat baik
untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi, disamping
metode bercerita, dan bermain musik, termasuk mendenagrkan musik dari etnik
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
yang berbeda, sehingga dapat meningkatkan pemahaman budaya mereka
tentang konsep multietnik.
Rasional dan tujuan pemilihan dan penggunaan medi dan sumber belajar
di atas, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengek-sploitasi berbagai strategi
dalam berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan
berkomunikasi pebelajar. Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar
dalam membaca dan menulis, merupakan salah satu upaya peningkatan
keterampilan berkomunikasi pebelajar. Hal ini penting dilakukan, mengingat
perkembangan masyarakat global yang sangat dinamis, yang menuntut
kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, bernegosiasi, dan pengambilan
keputusan tentang suatu masalah secara akurat dan cepat. Keterampilan
berkomunikasi penting dikembangkan dan dilatihkan dalam pembelajaran IPS,
mengingat setiap manusia di muka bumi ini dihadapkan berbagai persoalan
yang multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermatan
dalam berkomunikasi.
Ada beberapa metode pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh
pembelajar untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi,
yaitu: (1) Metode diskusi kelompok, (2) metode tanya jawab dan resitasi, (3)
metode cooperative learning, (4) metode rekonstruktivisma sosial, (5) metode
LRE, dan (6) metode sosiodrama. Semua metode tersebut, mengacu pada
kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam mengekspresikan ide, dan
kemampuannya dalam pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu proses instruksional
yang terencana dan bertujuan. Interaksi aktif pebelajar dan pembelajar dalam
konteks paedagogikal membutuhkan piranti pendukung yang memadai untuk
mengaktualisasikan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mengukur keberhasilan
belajar pebelajar, pendekat-an lama (old approachs) menekankan pada
penggunaan tes sebagai instrumen utama. Hal ini banyak dikritik oleh kalangan
pakar dan praktisi pendidikan, karena mendatangkan berbagai konsekuensi
negatif bagi pebelajar itu sendiri.
Pada saat pebelajar datang ke sekolah, dia mengemban misi yang
teramat berat, yaitu untuk meraih kesuksesan dalam belajarnya. Orang tua,
media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan pada penggunaan
label (angka) untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar pebelajar. Hal ini
sangat merugikan pebelajar secara akademis dan psikologis. Kondisi ini
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
diperburuk lagi oleh kebiasaan dan asumsi yang digunakan pembelajar dalam
melakukan pengukuran terhadap keberhasilan pebelajar, yaitu dengan
menggunakan tes, yang didalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang hanya
menekankan pada pengukuran keterampilan kognisi pebelajar.
Tes yang dikembangkan oleh pembelajar, cendrung hanya mengukur
aspek kognitif pebelajar dengan mengesampingkan aspek penting lainnya yaitu
aspek afeksi dan psikomotorik. Secara paedagogis, pola pengevaluasian seperti
di atas, tidak familiar bagi pebelajar secara pribadi. Untuk itu, menjelang
memasuki abad ke 21, kalangan pendidik, khsusnya dalam pembelajaran IPS,
mulai dikembangkan penggunaan assessmen alternatif untuk mengevaluasi
keberhasilan belajar pebelajar. Adapun jenis assessmen yang sering digunakan,
seperti: (1) portfolio, (2) anekdot record, (3) catatan harian pebelajar, (4) lembar
observasi, (5) buku laporan pebelajar, (6) skala sikap, dan jenis assesmen
lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pembelajar.
Melalui assessmen, pembelajar dapat menilai potensi diri dan tingkat
keberhasilan belajar pebelajar, bukan semata-mata berdasarkan hasil tes di
setiap akhir semester, namun berdasarkan perkembangan belajar pebelajar
dalam setiap pembelajaran. Artinya, penilaian itu, bukan ditekankan pada hasil
semata-mata, melainkan lebih diutamakan pada penilaian proses dari
pembelajaran itu sendiri.
Penggunaan assessmen mendatangkan beberapa keuntungan di fihak
pebelajar sebagai sentral pembelajaran, diantaranya: (1) mengurangi rasa
cemas, (2) bersifat humanistis, (3) dapat menilai secara komprehensif, dan (4)
meningkatkan partisipasi pebelajar selama pembelajaran berlangsung. Inilah
fhenomena baru dalam pembelajaran IPS yang telah dikembangkan secara
struktural di berbagai jenjang pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah dasar
dan sekolah menengah.
Kemandirian pebelajar merupakan salah satu kunci dari kemampuan
bertahan dalam tataran masyarakat global. Perkembangan ilmu dan teknologi
telah menghadirkan persaingan yang tajam dikalangan berbagai komponen
kehidupan di muka bumi. Menyikapi hal itu, pembelajaran IPS juga dituntut untuk
melakukan berbagai upaya kearah perbaikan yang signifikan dan bermuara
pada peningkatan kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam menyikapi
tataran masyarakat global.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pembelajar sebagai instrumen dan manager pembelajaran dituntut peka
dan antisipatif terhadap perkembangan masyarakat, sehingga pembelajaran
yang dilakukannya bisa mewakili realitas sosial yang berkembang di
masyarakat. Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), sejarah dapat membantu
pebelajar memahami masa lalu, kehidupan saat ini, dan merencanakan serta
menyiapkan diri dalam menyambut masa depan yang penuh tantangan. Untuk
itu, mereka berpendapat, bahwa pembelajar harus mampu mengkondisikan
pebelajar untuk melakukan refleksi terhadap sejarah masyarakat yang
merupakan kekayaan ilmu dan pengetahuan yang tidak ternilai.
Aplikasi model inquiri dapat membantu pembelajar dalam mengembang-
kan potensi diri pebelajar secara optimal, melalui pengangkatan kasus-kasus
atau isu-su aktual yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dengan
demikian, pebelajar akan tertan-tang untuk menggunakan segenap kemampuan
dan keterampilannya untuk mencari dan merumuskan solusi terhadap masalah
tersebut. Satu hal yang harus diingat pembelajar, bahwa globalisasi senantiasa
menghadirkan keberbedaan yang signifikan, sehingga akan membentuk
komunitas multidemsional dan multikultural. Disinilah kemahiran pembelajar
dalam memilih dan menggunakan model serta strategi pembelajaran
dipertaruhkan. Storytelling merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
memungkinkan pebelajar untuk memahami orang lain, serta menyadari bahwa
setiap manusia terikat oleh kultur budayanya masing-masing.
Jika pebelajar telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang
keragaman budaya, nilai, kebiasaan, serta adat istiadat dari berbagai
masyarakat yang hidup di muka bumi ini, maka secara tidak langsung
keseimbangan dunia akan terwujud. Perbedaan yang ada di masyarakat
bukannya sumbu untuk menyulut pertentangan dan permusuhan diantara
sesama umat manusia, namun hendaknya dijadikan sebagai instrumen penting
untuk menjalin kerjasama dan persahabatan yang setara dan demokratis.
Masyarakat dengan segala pirantinya merupakan dimensi
phenomenologis yang menarik untuk dibedah oleh pembelajar dan pebelajar
secara bersama-sama untuk memantapkan pemahaman mereka tentang
masyarakat dunia. Pemberian kesempatan berdialog dan memainkan peran
tertentu dalam sosiodrama, merupakan satu diantara sejumlah metode
pembelajaran yang dapat mengembangkan ketertanggapan sosial dan rasa
keadilan di kalangan pebelajar.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Pemahaman terhadap geografi akan membantu pebelajar dalam
menyikapi perbedaan-perbedaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
termasuk keterampilan-keterampilan dalam menjalin kerjasama dengan orang
lain di lain daerah atau benua secara demokratis, sehingga sangat penting
menggunakan globa dan peta untuk membantu pebelajar mengerti tentang
belahan dunia lain, selain dimana mereka hidup dalam kesehariannya.
Pengembangan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep
keadilan di kalangan pebelajar secara utuh merupakan salah satu kewajiban
moral yang mesti diterjadikan oleh pembelajar. Konsepsi keadilan merupakan
sesuatu yang abstrak bagi pebelajar yang masih duduk di sekolah dasar dan
sekolah menengah, untuk itu pebelajar harus mampu mengaktualisasikan dalam
format pembelajaran yang riil melalui pemberian contoh perilaku serta peristiwa
yang dapat mengcover konsep keadilan. Ini penting dilakukan, mengingat
mereka adalah calon-calon warga masyarakat yang potensial, yang akan
menentukan arah dan kualitas kehidupan bangsa di kemudian hari. It is not
important for social studies educators to meet the educational needs of special
learners in their classroom, it is also importan to adderss issues of handicapism
and justice of welfare in our society (Rogan, 1987).
Dasar pemikiran dari konsepsi di atas, terletak pada pentingnya keadilan
bagi masyarakat secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam
segala aspek kehidupan. Democratic elementary and middle school classrooms
offer youngsters the challenge of translating the often repeated ideal “liberty and
justice for all” dalam segala sikap dan perilaku pebelajara sehari-hari (Stopsky
dan Sharon Lee, 1994). Berdasarkan pemikiran inovatif tersebut, dapat
ditangkap pesan yang disampaikan merupakan embrio inovasi dalam
pembelajaran IPS, karena sebelumnya tidak banyak mendapat penekanan oleh
kalangan perencana dan praktisi pendidikan, khsusnya pada jenjang sekolah
dasar dan menengah.
F. Daftar Pustaka
Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.
Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah).
Singaraja: STKIP Singaraja.
Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.
Hamid Darmadi (2000). Cooperative Learning: New Approach in Social Studies
Teaching Pasca Sarjana UPI Bandung, STKIP PGRI Pontianak
Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but
Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.
Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.
Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical
Psichology. USA, England: University of Michigan Press.
Marsh, Colin (1991). Teaching Sosial Studies: Second Edition. New York, Tokyo,
London, Sydney: Prentice Hall
Meyers, Chet (1986). Teaching Students to Think Critically. San Francisco: Jossey
Bass Inc.
Schunke (1988). Knowing, Doing, and Caring. Ney York: Prentice Hall.
Welton and Mallan, (1996). Children and Their World: Strategies for teaching social
studies (fifth edition). Geneva, Illionis, Palo Alto, Princeton, New Jersey:
Hougthon Mifflin Company.
Rabu, 06 April 2011
TUJUAN DAN SUMBER PEMBELAJARAN ILMU SOSIAL
Deskripsi Materi Pembelajaran
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
1. Tujuan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial
Dewasa ini timbul tuntutan profesional yang mengemukakan pentingnya
tanggung jawab profesional dan relevansi pendidikan. Artinya, apa yang
dibelajarkan dan dipelajari harus berguna bagi individu, masyarakat, dan negara.
Pendidikan dan sistem pendidikan dipandang bertanggung jawab atas
kegagalan atau keberhasilan kegiatan pendidikan.
Dalam pendekatan sistem kebutuhanm tujuan intruksional, merupakan
pertimbangan untuk pemilihan bahan pembelajaran. Penilaian tentang jenis dan
tingkat kebutuhan dilakukan oleh perendana program pendidikan pada tingkat
nasional atau yayasan. Pembelajar bertugas menjabarkan kebutuhan tersebut
pada tingkat kelas. Ada lima tipe kebutuhan yang perlu diperhitungkan oleh
pembelajar, yaitu (i) kebutuhan normatif, (ii) keinginan, (iii) tuntutan, (iv)
kebutuhann perbandingan, dan 9v) kebutuhan pada masa yang akan datang.
Secara paedagogis pembelajar perlu menawarkan kelima tipe kebutuhan pada
masa yang akan datang. Secara pendagogis pembelajar perlu menawarkan
kelima tipe kebutuhan tersebut kepada pebelajar, sebab pada umumya
pebelajar belum menyadari adanya kebutuhan tersebut.
Perencanaan pendidikan atau ahli kurikulum bertanggung jawab
meramu bahan pembelajaran sesau kebutuhan masyarakat dan negaranya. Bila
kebutuhan telah diidentifikasi, diperiksa, dan kemudian urutan prioritas
ditentukan, maka kebutuhan tersebut dijabarkan menjadi tujuan intruksional
dalam arti aim, goal, dan objective. Menurut Tobert F. Maager tujuan dalam arti
objective atay behavioral objective (tujuan berupa perilaku) melukiskan keadaan
pada si pebelajar. Secara umum tujuan pembelajaran ilmu-ilmu sosial, khsusnya
dalam arti social studies atau IPS, adalah meliputi tiga segi pendidikan seperti
humanistic education, socio-civic education, dan intllectuall education
(pendidikan kemanusiaan, kemasyarakatan-kenegaraan, dan pendidikan
intelektual).
Jabaran tujuan umum pembelajaran tersebut berbeda-beda menurut
berbagai ahli yang meneliti tujuan pembelajaran. Pada umunya di Amerika
Serikat ada tiga cara pengklasifikasi pendidikan intelektual yang dgunakan yaitu
(a) cara Benjamin Bloom dkk, (b) cara J.P. Guilford, dan (c) cara Hilda Taba.
Bloom dkk, membedakan enam katagori kongnitif, yaitu (i) pengetahuan, (ii)
komprehensi, (iii) aplikasi, (iv) analisis, (v0 sistesis, dan (vi) evaluasi. Dalam teori
operasi mental Guilford mengemukakan lima keterampilan dasar berupa (i)
kognisi--sebanding dengan kesesuaian fakta dan idea, (ii) ingatan--sehubungan
dengan ingatan pada suatu informasi, (iii) berfikir konvergensi—menyatakan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
norma perilaku, (iv) berfikir divergensi—menunjukan ada kreativitas dan
kecakapan memcahkan masalah, dan (v) evaluasi—seperti maksud Bloom.
Hilda Taba mengemukakan pengkategorian yang disebut tugas kognitif
(cognitive tasks). Tugas kognitiv tersebut adalah (i) pembentukan konsep.
Konsep terbentuk apabila pebelajar (a) menghitung unsur, (b) menemukan
dasar untuk mengelempokan unsur, (c) mengidentifiasi ciri-ciri umum unsur
dalam kelompok, (d) memberi nama kelompok, dan (v) memasukkan unsur-
unsur yagn terhirung dalam nama-nama kelompok tersebut. (ii) Tugas kognitiv
kedua adalah terdiri dari interprestasi, mengemukakan pendapat, danmenarik
generalisasi. (iii) tugas kognitiv ketiga adalah menggunakan fakta dan prinsip
untuk menerangkan fenomena yang tidak nma atau memprediksikan akibt
adanya kondisi yang telah diketahui.
Pengkategorian tingkat berfikir ketiga ahli tersebut bergerak dari tingkat
berfikir sederhana menuju ke yang kompleks. Tentang pendidikan moral pada
pembelajaran IPS juga banyak penelitian. Model-model pendidikan moral yang
terkenal di Amerika Serikat adalah model Asosiasi Filsafat Columbia, model
Rauf, model Hunt dan Metcalf, model Hilda Taba, model Oliver dkk, model
Rathdkk, model Kohlberg.
Pada umunya ahli-ahli pendidikan moral pendapat bahwa tujuan umum
pembelajaran IPS adalah membantu pebelajar utnuk mengembangkan
keterampilan keputusan rasional sehingga ia dapa memecahkan persoalan
pribadi dan ikut berpartisipasi sosial. Agar seseorang dapat mengambil
keputusan rasional sehingga ia dapat memcahkan persoalan pribadi dan ikut
berpartisipasi sosial. Agar seseorang dapat mengambil keputusan rasional maka
ia harus mampu mengenal dan mengklarifiksi nilai-nilaisehingga ia dapat
mengatasi konflik nilai secara bijaksana.
Pada umumnya berbagai model pendidikan moral tersebut berupaya agar
pebelajar dapat mengenal nilai yang berlaku, kemudian menemukan,
menganalisis dan menempatkan nilai pilihannya dalam suatu hierarkhie, dan
akhirnya mengembangkan nilai-nilai baru. Tentang keterampilan sosial pada
pembelajaran IPS, Fraenkel mengkategorikan sebagai keterampilan-
keterampilan untuk (i) membuat rencana dengan orang lain, (ii) partisipasi dalam
usaha meneliti sesuatu, (iii) partisipasi prifuktif dalam diskusi kelompok, (iv)
menjawab secara nopan pertanyaan orang lain, (v) memimpin diskusi kelompok,
(vi) bertindak sear bertanggung jawab, dan (vii) menolong orang lain. Tujuan
pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang berdimensi (i) pendidikan kemanusiaan, (ii)
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pendidikan socio-civic, dan (iii) pendidikan intelektual tersebut merupakan inti
pendidikan di sekolah.
Ketiga dimensi tujuan tidak terlepas dari materi ilmu-ilmu sosial yang
berupa peristiwa sosial dan gejala rohani. Materi ilmu-ilmu sosial yang berpa
realita sosial tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang hanya terungkap
sebagai matarealita sosial. dimensi-dimensi kemanusiaan dan socio-civic
merupakan kekhususan materi ilmu-ilmu sosial, sedangkan dimensi intelektual
ditemukan pada pembelajaran ilmu-ilmu yang lain.
Dalam dimensi intelektual tersebut, mengingat dilemma ilu-ilmu sosial di
Indonesia, maka tujuan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di semua jenjang sekolah
perlu memprioritaskan didikan nilai prasyarat terbentuknya ilmu pengetahuan.
Nilai-nilai dasar tersebut adalah (a) nilai dasar penelitian, seperti keingin tahuan
ilmiah, objektivitas, kreativitas, kejujuran, (b) nilai pendukung keberhasilan
penelitian seperti kebebasan, ketekunan, keluwesan, tilikan, dan (c) nilai sistem
sosial keilmuan, seperti pertimbangan objektif, tanggungjawab keilmuan,
dedikasi keilmuan, dan komunalitas keilmuan. Nilai-nilai dasar tersebut diats
merupan aim atau tujuan umum pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Tujuan umum
tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi objective oleh pembelajar.
Para ahli pendidikan dewasa ini menyarankan agar pembelajar menyusun
rumusan tujuan instruksional khusus, rumusan tujuan perilaku (behavioral
objective) untuk mempermudah tindak mengajar. Tentang rumusan tujuan
perilaku berkenaan dengan materi ilmu-ilmu sosial mengundang diskusi para
ahli pendidikan.
2. Transaksional Resources Ilmu-ilmu sosial
Ilmu-ilmu sosial berkembang seiring dengan kegiatan penelitian ilmuwan
sosial. Oleh karena itu bahan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan
diberbagai bagian muka bumi dan negara makin bertambah. Makin
bertambahnya bahan pengetahan tentang masyarakat dan kebudayaan akan
mempermudah penyususnan bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-
sekolah. Artinya, jika bahan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan
Indonesia banyak misalnya, maka penyususnan bahan pengajajaran tentang
Indonesia semakin mudah. Sebaliknya, jika bahan pengetahuan Indonesia
tersebut sedikit misalnya, maka penyusunan bahan pengetahuan tentang
Indonesia akan mengalami kesukararan. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial
terpengaruh oleh kondisi ilmu-ilmu sosial. penentuan bahan pengetahuan pada
kurikulum ilmu-ilmu sosial IPS terpengaruh oleh kekayaan unsur-unsur
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pengetahuan pada cabang-cabang IS seperti sejarah, geografi, ekonomi, politik
dalam acuan ciri, sosiologi, dan antropologi.
Tersedianya unsur-unsur keilmuan sejarah, geografi, ekonomi, politik
dalam arti Civics, sisiologi, dan antropologi negara tertentu memudahkan
penyusunan kurikulum IPS pada jenjang SD, SLTP, dan SLA. Unsur-usur
keilmuan IS yang menjadi bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial tersebut adalh
fakta, konsep, generalisasi, dan teori-teori. Di samping unsur yang terstruktur
secara statis sebagai bangunan IS tersebut, terdapat juga alat ilmu seperti
metode penelitian ilmiah, hipotesis, teknik uji kebenaran ilmiah, model-model
ilmiah. Alat-alat keilmuan seperti metode penelitian tersebut merupakan segi
dinamis keilmuan. Keseluruhan unsur keilmuan tersebut dijadikan bahan
pengetahuan IS yang dibelajarkan oleh pembelajar atau yang dipelajari oleh
pebelajar.
Penyususnan unsur keilmuan IS menjadi perogram pembelajaran
pebelajar. Penyususnan unsur keilmuan IS menjadi program pembelajaran IS
terkait pada tipe-tipe kurikulum baik yang mono disiplin, atau inter disiplin.
Sebagai ilustrasi akan dikemukakan contoh-contoh konsep, generalisasi, teori,
yang lazim dibelajarkan. Contoh-contoh tersebut diadaptasi dari karya James A.
Banks dan Pearl M.Oliner. Bangunan ilmu sosial merupakan jaringan hubungan
antara fakta, konsep, generalisasi, dan teori.
Secara struktural bubungan keempat unsur tersebut terlukis dalam teori
Durkhiem tentang bunuh diri. Secaera empiris teori Durkhiem tersebut
menerangkan perbandingan tingkat bunuh diri. Rangkain teori Durkheim
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Di dalam kelompok sosial, tingkat bunuh diri bermacam-macam secara
langsung berhubungan dengan tingkat individualisme.
2. Tingkat individualisme bermacam-macam berhubungan dengan insiden
Protestantisme.
3. Oleh karena itu, tingkat bunuh diri bermacam-macam sehubungan dengan
insiden Protestantisme.
4. Insiden Protestantisme di Spanyol rendah.
5. Oleh karena itu, tingkat bunuh diri di Spanyol rendah.
Cabang ilmu-ilmu sosial adalah ilmu empiris, artinya bertitik tolak dari
fakta. Tiap cabang ilmu sosial memperlajari fenomena sosial dengan perhatian
berbeda, dan karenanya memperoleh seperangkat konsep yang berbeda pula.
Konsep-konsep pada disiplin ilmu sosial tertentu yang umumnya dipelajari di
sekolah. Konsep tersebut merupakan konsep kunci pada cabang ilmu tertentu
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
yang bermanfaat bagi para pebelajar IPS jenjang sekolah dasar dan sekolah
lanjutan. Penyelenggaraan pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat dilaksanakan
berdasarkan kurikulum mono disiplin. Oleh karena itu terdapat juga konsep-
konsep cabang ilmu yang menjadi konsep IPS yang interdisiplin.
Hilda Taba yang menyusun IPS interdisiplin berhasil menghimpun
konsep ilmu sosial menjadi konsep IPS interdisiplin. Bahan pembelajaran ilmu-
ilmu sosial atau bahan pembelajaran IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu-
ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan, dan oleh karena itu sebagai ilmu otonom
berlaku arti sebagai aktifitas, sebagai metode, dan sebagai pengetahuan ilmiah.
Secara statis bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau dalam konsep
IPS terdiri dari unsur keilmuan yang statis dan dinamis. Bahan pembelajaran
ilmu-ilmu sosial di sekolah sudah tentu akan bermuatan unsur-unsur keilmuan.
Makin tinggi jenjang sekolah, maka jumlah konsep, generalisasi, teori dan
metode penelitian makin besar. Lebih dari itu, maka ilmu adalah suatu kegiatan
dengan metode ilmiah yang ingin mencapai misi ilmiah.
3. Sumber Pembelajaran Ilmu Sosial dan IPS
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan IPS dilaksanakan berdasrkan disain
pembelajaran yang mono-disiplin atau interdisiplin, serta berdasarkan
pendekatan mengajarnya. Studi historis tentang alat bantu pembelajaran dan
sumber pembelajaran menunjukan bahwa konsep tentang alat bantu mengajar
mengalami perkembangan, ada tiga periode pemikiran tentang alat bantu
mengajar atau yang pada tahun 1950-an sebagai media pembelajaran dan
sumber pembelajaran. Pemikiran tersebut berkaitan dengan kemajuan studi
kurikulum dan indursti alat pembelajaran.
Pemikiran tentang alat bantu mengajar tersebut secara garis besar
dibedakan dalam periode-periode berikut. (i) Sampai tahun 1700-an pemikiran
tentang alat peraga didominasi oeh wawasan filosofis. Joh Amos Comunius
(1592-1670) misalnya mendobrak dominasi dengan visual aid tectbook-nya. Hal
ini merintis perombakan pemikiran alat peraga. (ii) Periode 1700-1900 lahir
rintisan eksperimentasi psikologi dan teori belajar baru. Alat peraga mulai
dikaitkan dengan merode mengajar. (iii) Sejak tahun 1900 sampai sekarang
yang dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu atahun 1900-1950 dan sesudah
tahun 1950.
Sejak tahun 1900 perhatian pada alat peraga semakin tinggi, danmuali
menjadi suatu spesialisasi baru. Penelitian tentang penggunaan radio, film,
televisi, dan alat peraga lain semakinsistematis. Ada dua jenis konsep tentang
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
alat peraga dan sumber pembelajaran. Pertama, konsep keilmuan alam tentang
teknologi pembelajaran yang memandang segala media pembelajaran sebagai
alat bantu mengajar. Asumsinya bahwa alat audiovisual dan mesin-mesin
merupakan media noveverbal yang berguna untuk menghidarkan verbalisme.
Konsep ini berpengaruh secara dominan tahun 1900-1950-an. Kedua, muncul
konseop ilmu perilaku (behavioral science) tentang teknologi pembelajaran.
Konsep ini berusaha menghilangkan pandangan dikhotomis tentang alat peraga
yang membedakan media pembelajaran verbal dan non-verbal.
Konsep keilmuan yang membedakan alat peraga verbal dan non-verbal
mengakibatkan penyebelahan mengajar. Konsep ilmu perilaku memandang
media pembelajaran, mesin-mesin, sumber pengetahuan, materi pembelajaran
sebagai bagian integral program pengarjan, yangakan mengubah perilaku
pebelajar. Praktek pembelajaran tergantung pada metode keilmuan yang
dikembangkan oleh ahli ilmu perilaku (behavioral science, sebagai fusi psikologi,
sosiologi, dan antropologi).
Hubungan antara ilmu perilaku dengan teknologi instruksional sejajar
dengan hubungan antara ilmu pengetahuan alam dengan teknologi engineering,
atau hubungan antara biologi dengan teknologi kedokteran. Konsep perilaku ini
berlaku sejak tahun 1950 sampai sekarang. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial
sudah tentu terpengaruh oleh perkembagan industri alat peraga dan konsep
media pembelajaran.
IPS progresiveme memandang media pengarjan sebgai bagian intergral
program pembelajaran IPS. Social science education juga memandang media
pembelajaran sebagai bagian integral program pembelajaran ilmu sosial. Aliran
ini menunjukan adanya simbol bahasa, simbol visual sebagai alat memperlajari
ilmu sosial. IPS gaya baru memandang media pembelajaran dan sumberp
pengetahuan yang ada di masyarakat sebagai bagian integral program
pembelajaran IPS.
Memposisikan media pembelajaran dan sumber pengetahuan di
masyarakt sebagai bagian integral program pembelajaran ilmu sosial. Untuk
lebih jelasnya, berikut akan diuraikan tentang hal itu yaitu:
1. memposisikan ilmu pengetahuan sebagi seistem pengetahuan terbuka. Artinya
pengetahuan yang terdapat dalam buku teks dan realitas sosial di masyarakat
merupakan suatu komprehensivitas. Dengan kata lain, buku pengetahuan baru
merupakan sebagian dari pengetahuan. Si pebelajar, atau pembaca buku
pengetahuan masih harus menerapkan keterampilan metodis mengungkap
masyarakat menjadi pengetahuan.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
2. memposisikan pebelajar sebgai seorang pribadi aktif pencari ilmu
pengetahuan. Kedudukan pebelajar sebagai pencari aktif ilmu pengetahuan
mnyederajatkan pembelajar sebagai peneliti ilmu pengetahuan. Hal ini berakibat
mengubah pola interaksi pembelajar-pebelajar pengetahuan.
3. memposisikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan,
disamping benda-benda budaya dan perilaku sosial. Ilmu sosial dipandang
sebagai salah satu unsur kebudayaan, di samping sistem berfikir logis,
menganut orientasi nilai keilmuan, dan berbeda dengan orientasi nilai yang lain.
Instrumen pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau media pembelajaran dan
sumber-sumber ilmu sosial merupakan unsur keilmuan cabang-cabang ilmu
sosial. alat bantu dapat berupa alat peraga dan simbol-simbol, baik simbol
verbal, simbol visual, simbol nilai.
Nilai keilmuan alat bantu pembelajaran tersebut secara katagoris benda-
benda sesaui dengan kendudukan dalam perangkat hubungan antara fakta
konsep generalisasi dan teori secara ilmiah. Secara fungasional berarti bahwa
seriap alat peraga memiliki keguanaan khusus pada acuan sudut pandang
disiplin ilmu sosial tertentu.
Sebagai ilustrasi, globe sebagai model ilmiah berfungsi sebagai media
ke ruangan tentan palet di dunia, dan penunjuk lokasi di bumi. Dokumen
misalnya, merupakan media rekonstruksi tidak sejarah. Tabel jumlah penduduk
misalnya, emrupakan media yang melukiskan kondisi tenga kerja dalam acuan
tindakan ekonomis. Gambar atau bagan interaksi sosial misalnya, melukiskan
interaksi antar individu dan antar kelompok, yang memungkinkan prediksi tidak-
tindak sosial mapun politis dalam masyarakat.
Benda-benda budaya bukan hanya melukiskan tingkat keterampilan
seseorang pendukung kebudayaan suatu zaman, tetapi juga dapat melukiskan
tngkat pengetahuan suatu bangsa di tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa
lain. Media pembelajaran dan sumber pengetahuan ilmu-ilmu sosial dalam
rangka pembelajaran keilmuan dapat dibedakan fungsinya menjadi beberapa
kategori sebagai berikut.
1. benda asli merpakan peraga kongkrit sebagai media rekonstruksi sosial dan
historis, dan dasar pembentukan konsep keilmuan. Pada giliran selanjutnya
dapat digunakan sebagai konstruk generalisasi dan renstruksi sistem sosial dan
sistem nilai. Benda tiruan memiliki fungsi serupa dengan benda asli.
2. model ilmiah seperti tiruan perbesaran atau pengecilan benda seperti globe,
merpakan saran berfikir keilmuan yang melukiskan hubungan fakta, konsep,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
generalisasi danteori ilmiah. Dengan model-model ilmiah tersebut ilmuwan ada
menyesun teori atau merevisi teori.
3. buku ilmu pengetahuan, buku pelajran, laporan hasil penelitian dan jurnal ilmu-
ilmu sosial merupakan sumber ilmu-ilmu sosial yang sangat penting bagi jenjang
sekolah yang relevan. Karya tulis ilmiah ilmu sosial tersebut dapat dikategorikan
sebagai sumber primer, skunder atau tertier. Pada karya tulis tersebut dapat
ditemukan artikel ilmu sosial dalam surat kabar dan majalah semi ilmiah dan
majalah umum. Karya tulis jenis ini merupakan sumber kuartir yang berguna
untuk pengayaan bahan pembelajaran. Berbeda dengan buku sumber primer
dan sekundair, maka sumber ini perlu diterima secara kritis.
4. Masyarakat dan kebudayaan sebagai sumber pengetahuan ilmu-ilmu sosial.
masyarakat dan kebudayaan adalah realitas sosial yang dapat dijadikan lahan
penelitian ilmu-ilmu sosial. sebagai realitas sosial merupakan penyedia fakta
keilmuan, dan sekaligus wilayah uji teori keilmuan.
4. Bagaimana Bahan Pembelajaran itu Dibelajarkan
Membelajarkan bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial merupakan
pilihan metode mengajar. Bahan pembelajaran ilmu-ilmu sosial adalah fakta,
konsep, generalisasi, teori tentang peristiwa sosial dan gejala rokhani warga
masyarakat. Singkatnya bahan pembelajaran ilmu sosial berisi unsur keilmuan
dannilai kemanusiaan.
Unsur-unsur keilmuan dapat dipelajari secar efektif dengan
internalisasi dan latihan perilaku. Pilihan metodologis shubungan dengan bahan
kognitif dan afektif tersebut merupakan pilihan yang musykil. Secara teortis
hubungan pembelajar dan pebelajar merupakan akibat lanjut dari pilihan
pendekatan pembelajaran.
Pada pembelajaran ilmu-ilmu sosial diharapkan untuk memilih
pendekatan-pendekatan yang menaktifkan pebelajar berperilaku, belajar
mandiri, berkesepatan menginternalisasi nilai kemanusiaan. Pendekatan
laboratorie, discovery, inkuiri, fenomenologis, dan humanistis disarankan untuk
digunakan. Dengan menggunakan kelima pendekatan tersebut maka pebelajar
berkemunkinan untuk ber-ajar unsur keilmuan baik berupa nilai kemanusiaan.
Suatu prayarat yang harus dipenuhi oleh pebelajar agar dapat ber-ajar
aktip pada pembelajaran ilmu sosial adalah (i) pebelajar sudah mampu
membaca dalam hati, (ii) mampu bekerja mandiri, (ii) mampu bekerja sama
dengan orang lain secara minimal, (iv) secara sederhana mampu menggunakan
simbol-simbol verba, grafis, model ilmiah, dan simbol nilai. Sudah barang tentu
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
kemampuan pebelajar tersebut akan meningkat apabila pembelajar bersikap
terbuka dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
5. Konsep Evaluasi dalam Pembelajaran Ilmu-Ilmu Sosial
Evaluasi merupakan bagian integral dari progrm pembelajaran. Norman
Gronlund menyatakan bahwa evaluasi pembelajaran berperan penting pada
proses mengajar-belajar di kelas, dan juga bermanfaat pada program pengjaran,
pengembangan kurikulum, program kecakapan, pemberian nilai dan raport,
bimbingan dan penyuluhan, administrasi pendidikan dan program penelitian
sekolah. Evaluasi sebagai kegiatan telah deteliti oleh berbagai ahli.
Secara sistemik evaluasi merupakan bagian integral pembe-lajaran.
Ada bermacam-macam model evaluasi pembelajaran. Theodore Kaltsounis
(1989) mengemukkan pengtingnya memposisikan evaluasi pembelajaran
berjalan secara komprehensip dengan langkah-langkah mengajar yang lain.
Langkah-langkah integral pembelajaran tersebut sebagai berikut.
1. penyusunan program pembelajaran ilmu sosial atau IPS sejalan dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat,
2. penyusunan tujuan pembelajaran umum berkenaan dengan issue dan
generalisasi, suatu langkah sejajar dengan kegiatan penilaian pebelajar dan
penempatan di program pembelajaran. Langkah ini merupakan evaluasi
diagnostic dan penempatan.
3. penyusunan tujuan pembelajaran khusus (objective) berkenaan dengan
pengetahuan, nilai sosial, keterampilan intelektual, keterampilan klarifikasi nilai,
dan keterampilan sosial. Langkah ini bersamaan dengan penilaian kebutuhan
pebelajar belajar secara kognitif, efektif, dan keterampilan.
4. pemilihan strategi pembelajaran, dengan pendekatan inkuiri.
5. monitoring kesukaran belajar (evaluasi formative),
6. modifikasi pembelajaran,
7. evaluasi sumative, dan evaluasi dignostic dalam acuan remedial.
8. revisi program dan penyusunan raport.
Evaluasi pembelajaran ilmu sosial pada dasarnya meliputi empat hal
yaitu (i) evaluasi diagnostic penempatan, (ii) evaluasi formative, (iii) evaluasi
diagnostic remidial, dan (iv) evaluasi summative. Evaluasi diagnostic
penempatan dilaksankan pada awal proses pembelajaran untuk mengenal
pebelajar dan mmelatakkan pebelajar pada berbagai tingkat tujuan.
Evaluasi formative berguna untuk memantau efektivitas pembelajaran,
sebhubungan dengan strategi menajar, hasil belajar, cara belajar, dan konstruksi
kurikulum. Evaluasi formative mendasari perbaikan proses mengajar belajar.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Evaluasi ini sangat penting bagi belajar tuntas. Evaluasi diagnostic reminial
bertuna untuk mengenal sebab-sebab kesulitan belajar.
Pelaksana evaluasi summative ini sebaiknya adalah seorang ahli.
Evaluasi summative dilaksanakan pada akhir program pembelajaran. Tujuannya
adalah utnuk menentukan tingkat hasil belajar, dan mentukan efektivitas
program pembelajaran secara menyeluruh. Evaluasi pembelajaran ilmu sosial
sebagai bagian integral pembelajaran program pembelajaran bertautan dengan
tujuan pembelajaran, pendekatan, metode teknik-model pembelajaran, unsur
keilmuan.
Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa dalam pembelajaran
ilmu-ilmu sosial maka pembelajar ilmu sosial secara kreatif dapat memilih: (a)
tipe program pembelajaran ilmu sosial, (b) penentuan tekanan tentang tujuan
pembelajaran (goal dan objective), (c) pendekatan pengarajan yang dapat
paralel dengan penelitianilmu-ilmu sosial, (d) unsur keimuan berupa fakta,
konsep, generalisasi, teori, model ilmiah, hipotesis, niliai-nilai, (e) model
pembelajaran dari keluarga IPM, SIM, PM atau BM (Joyce & Weil), (f)
pendekatan mengenai media penajaran, dan (g) pendekatan teknik-teknik
evaluasi pengarajan ilmu-ilmu sosial. Pilihan tindak-tindak mengajar tersebut
merupakan kebebasan profesional pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang menjadi
bagian dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.
6. Problematika Konseptual Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial pada dasarnya tidak berbeda dengan
pembelajaran ilmu-ilmu yang lain. Keserupaan itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa (i) ilmu-ilmu sosial adalah ilmu empiris, yang bahan pengetahuannya
bersal dari hasil penelitian ilmiah, (ii) ilmu-ilmu sosial terdiri dari fakta, konsep
generalisasi, konstruk, model-model ilmiah, dan teori, (iii) pembelajaran ilmu-
ilmu sosial merupakan realitas pembelajaran yang dapat diteliti, baik secara ex
postfacto, empiris, maupun eksperimental (kuasi ekperimental). Pembelajaran
ilmu-ilmu sosial berada dalam konteks pembelajaran ilmu-ilmu yang lain.
kedudukan pembelajaran ilmu-ilmu sosial diantara ilmu-ilmu yang lain
tergantung pada kebijaksanaan terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini sebenarnya
terletak di luar pembelajaran ilmu sosial, walaupun dapat diduga akan
berpengaruh pada pembelajaran ilmu sosial.
Pada umumnya ilmu pengetahuan dibuat atau terbentuk untuk
memecahkan masalah masyarakt. Terkait dengan “pemecahan masalah
masyarakat” inilah banyak kalangan yang mempersoalkan fungsi ilmu-ilmu
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
sosial dan fungsi pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan tentang ilmu-ilmu
sosial dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah masalah-masalah sosial (masyarakat, negara, bangsa dan dunia
internasional) merupakan prblem yang dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu sosial?
2. siapakah yang menjadi klien, dan tujuan siapakah yang akan digarap oleh
ilmuwan sosial ?
3. apakah masyarakt itu dapat dijadikan sejenis “patient” oleh ilmuan? Siapa dan
apa yang harus diubah oleh ilmuawan sosial?
4. Variabel-variabel strategis (hal-hal penting mana) apakah yang dapat
dipandang sebagai hal-hal yang dapt dikontrol?
5. Variabel apakah yang dipandang tetap dan apakah yang dapat diubah?.
6. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digunakan analogi,
sutu perbandingan dan fungsi ilmuwan-kelamaan.
Sebagai ilustrasi, kerja seorang konselor, atau ahli komputer. Konselor
berkewajiban memberikan berbagai pertimbangan konseling pada kliennya, ahli
komputer memperbaiki dan menciptakan program komputer. Ahli-ahli tersebut
bekerja secara profesional dengan menggunakan dasar hasil-hasil penelitian
eksperimental. Ahli-ahli tersebut menghadapi masalah masyarakat, tetapi ia
dapat melokalisirnya dalam bidangnya masing-masing. Sebaliknya, ilmuwan
sosial menghadapi problem dalam arti menyangkut harkat dan masyarakat serta
ilmuwan sosial tidak bekerja di laboratorium, tetapi ia bekerja secara laboratoris.
Penelitiannya tergolong kuasi-eksperimental. “Penyakit” sosial cenderung
“disembunyikan” oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Ilmuwan sosial hanya menemukan masalh secara terinci, terstruktur,
masalah sebenarnya dan sesungguhnya. Ilmuwan sosial hanya memberikan
pengertian mendalam tentang masyarakat (dalam arti lembaga, proses, aturan,
tindakan, dan nilai-nilai) dan pemahaman tentang indetifikasi diri manusia
seutuhnya.
Pengetahuan yang disumbangkan oleh ilmuwan sosial berupa “saran
tentang bagaimana mengubah kondisi sosial manusia rekonstruksi sosial”, dan
tidak berusaha mengubah diri manusia. Ilmuwan sosial tidak dapt memcahkan
masalah sosial dengan bekerja seorang diri. Hal ini berbeda dengan ilmuwan
keilmualaman. Pertanyaan tentang fungsi pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat
dirumuskan sebagai berikut: (i) bagaimanakah kedudukan cabang ilmu-ilmu
sosial dalam suatu kurikulum sekolah? Pertanyaan ini mempersoalkan cabang-
cabang ilmu sosial seperti sejarah, ilmu ekonomi,geografi, antropologi pada
jenjang SD, SMTP, SMTA kelas A1, A2, A3, A4 atau yang lain. (ii) apakah tujuan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
pengajaran atau tujuan belajar ilmu-ilmu sosial? pertanyaan ini mempersoalkan
misi pendidikan sekolah sebagai alat rekonstruksi sosial, dan mengacu pada
pendidikan sekolah sebagai alat rekonstruksi sosial, dan mengacu pada
pendidikan pribadi, socio-civics, dan pendidikan intlektual. Pembelajaran ilmu-
ilmu sosial tentang nilai-nilai erat hubungannya dengan pendidikan pribadi, untuk
itu, kalangan pembelajar hendaknya menjadikan pembelajarannya sebagai
media yang efektif bagi pengembangan dan pelatihan kepribadian pebelajar.
F. Daftar Pustaka
Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral
Sistem Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.
Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.
Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and Son.
Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru Membangun
Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran Bandung.
Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Graffiti,
Press
Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.
Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,
Competent, and Concerned Citizen. Boston, Toronto: Litle, Brown and
Company.
Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore: Reinehart
Publisher.
Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan Proyeksi
PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan
Bandung.
Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring. New
York: Collier McMillan Publisher.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Rabu, 06 April 2011
PEMBELAJARAN ILMU-ILMU SOSIAL
Deskripsi Materi Pembelajaran
1. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sebagai Kegiatan Keilmuan
Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan formal telah tersebar di
seluruh dunia dan semakin menunjukkan dirinya sebagai salah satu institusi
terkuat dalam tataran kehidupan masyarakat modern. Pada umumnya sekolah
telah diterima sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat tertentu, dalam
arti mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Penerimaan sekolah
sebagai lembaga rekonstruksi masyarakat tersebut mengakibatkan beberapa
kalangan salah pengertian. Salah mengerti itu antara lain berwujud (i) harapan
yang berlebihan pada sekolah, seperti pembentukan disiplin nasional sebagai
tugas sekolah, (ii) anggapan bahwa sekolah mampu memecahkan segala
masalah masyarakat, seperti sekolah mampu memberi lapangan kerja, dan (iii)
anggapan bahwa sekolah mampu menyampaikan segala unsur kebudayaan,
seperti kurikulum yang bermuatan unsur kebudayaan sangat padat.
Lembaga pendidikan formal (sekolah) merupakan lembaga yang dibuat
oleh masyarakat, berbeda fungsinya dengan keluarga dan lembaga agama,
serta berbeda pula fungsinya dengan lembaga kesenian. Sekolah berfungsi
sebagai media pendidikan kepribadian, socio-civics, dan intelektual. Fungsi
pendidikan kepribadian bersifat membantu keluarga dan lembaga agama, sebab
(i) keluarga dan lembaga agama mampu mengenal segala aspek kepribadian
anak didiknya, (ii) iklim informal, luwes, dan manusiawi lebih hidup dalam
keluarga, (iii) lama waktu pendidikan di dalam keluarga dan lembaga agama
sangat panjang dan sangat leluasa, (iv) jangkauan tujuan pendidikan keluarga
dan lembaga agama meliputi jangkauan umat dan makhluk yang universal.
Sebaliknya, pendidikan kepribadian yang dilakukan oleh sekolah terbatas pada
(i) rumus kepribadian atau citra kepribadian seperti yang dirumuskan oleh setiap
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
sistem pendidikan nasional, (ii) lama waktu pendidikan sekolah terbatas, dan (iii)
sekolah hanya mampu melakukan penilaian aspek perilaku sebagai dampak
pembelajaran seperti tertulis di raport sekolah artinya sekolah tidak mampu
menilai dampak pengiring. Dengan kata lain sekolah hanya dapat membantu
tugas keluarga dan lembaga agama dalam kapasitas yang sangat terbatas.
Substansi sekolah dalam memainkan perannya berkait dengan
pendidikan socio-civics, sekolah memainkan peranan yang sangat esensial,
khususnya dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan kewarganegaraan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari perkembangan masyarakat yang sangat
cepat. Kalangan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah
dan keluarganya, sehingga yang lebih banyak berperan adalah masyarakat dan
institusinya. Untuk melanjutkan dan memantapkan pendidikan kepribadian
seputar menjadi warga negara yang baik, maka lembaga keagamaan bisa
memainkan peran yang dominan. Peranan keluarga dan lembaga agama dalam
hal pendidikan perilaku socio-civics lanjut sangat dominan, sebab perilaku
tersebut merupakan suatu nurturant effects yang justru berada pada jangkauan
kewibawaan keluarga dan lembaga agama. Sekolah hanya megajarkan
pengetahuan dan perilaku socio-civics, tetapi tidak dapat menilai dampak
pengiringnya.
Lembaga sekolah berperan sebagai lembaga pendidikan intelektual.
Dalam hal ini kedudukan sekolah tampak berbeda secara signifikan dengan
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Apabila lembaga agama
memusatkan perhatian pada aspek keimanan, lembaga kesenian memusatkan
perhatian pada aspek estetis, atau aspek intelektual tersebut sudah barang tentu
tidak mengabaikan keseluruhan developing personalities. Dengan kata lain,
peran pendidikan intelektual adalah peran utama sekolah, walaupun sekolah
juga terbebani tugas pendidikan kepribadian dan socio-civics.
Sekolah bertugas melakukan pendidikan keilmuan, dalam arti
mendidikkan sikap ilmiah dan sekaligus mengajarkan ilmu pengetahuan.
Pendidikan sikap keilmuan dan sekaligus mengajarkan ilmu pengetahuan.
Pendidikan sikap keilmuan tersebut meliputi pendidikan nilai-nilai: (i) nilai dasar
keilmuan, seperti objektivitas, keinginan ilmiah, kreativitas, dan kejujuran, (ii)
nilai yang mendukung keberhasilan peneletian, seperti ketekunan, kebebasan,
keluwesan, pemahaman subjektif, (iii) nilai sistem sosial keilmuan, komunalitas
keilmuan, kepekaan tugas keilmuan, dan (iv) kebebasan ekspresi keilmuan,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
seperti kebebasan berfikir, meneliti, berada pandangan, originalitas,
bereksperimentasi.
Pendidikan nilai-nilai keilmuan ini terjalin dalam materi keilmuan, dan
umumnya hasil didikan nilai-nilai keilmuan tersebut adalah dampak pengiring.
Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan bagian integral dari kegiatan
pendidikan di sekolah. Selanjutnya, bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai
sistem, maka pembelajaran ilmu pengetahuan juga merupakan suatu aktivitas
bertujuan, suatu metode rasional sistematik, dan suatu bentukan pengetahuan
sistematik. Sebagai suatu aktivitas bertujuan, maka ilmu pengetahuan bertujuan
memperoleh kebenaran, pengetahuan, pemahaman, penjelasan, prediksi,
pengendalian, dan penerapan berdasarkan temuan. Sebagai suatu metode
rasional sistematik, maka ilmu pengetahuan melakukan penelitian keilmuan
dengan seperangkat pendekatan keilmuan-metode penelitian-teknik penelitian-
alat keilmuan sehingga mampu mencapai tujuan ilmu pengetahuan. Dengan
melakukan penelitian keilmuan maka hasil keilmuan terwujud. Hasil penelitian
keilmuan tersebut dapat berupa teori ilmiah, model-model ilmiah, atau temuan-
temuan teknologis.
Sebagai bentukan pengetahuan rasional yang terstruktur tentang dunia
empiris, bangunan pegnetahuan rasional terstruktur tentang materi keilmuan.
Pada umunya bangunan pengetahuan rasional terstruktur tersebut dapat
ditemukan pada buku-buku ilmu pengetahuan dan laporan penelitian keilmuan.
Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan bagian integral kegiatan
keilmuan. Hal ini mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai aktivitas bertujuan,
metode rasional sistematik, dan bentukan pengetahuan sistematik. Sedang
untur kebudayaan, maka sistem ilmu pengetahuan merupakan bidah keahlian,
suatu unsur speciality yang dilakukan oleh ilmuwan. Pembelajaran imu
pengetahuan seharusnya memang dilajukan oleh ilmuwan., seperti halnya
pendidikan agama dilakukan oleh agamawan, atau pendidikan kesenian
dilakukan oleh seniman. Pembelajaran ilmu pengetahuan rasional sistematik
berarti bahwa :
1. Pembelajaran dan bentuk pengetahuan merupakan kegiatan mengolah materi
keilmuan secara objektif. Materi keilmuan yan diolah berupa idea abstrak, benda
fisik, jasad hidupp, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda. Dalam oleh
materi keilmuan tersebut keterampilan berfikir rasional, keterampilan penalaran
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dengan alat-alat ilmiah digunakan oleh si pegajar dan pelajaran ilmu
pengetahuan.
2. Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan kegiatan menggunakan
pendekatan keilmuan penggunaan berbagai metode penelitian-teknik penelitian
dan alat-alat ilmiah. Dalam hal ini perilaku si pebelajar ilmu pengetahuan serupa
dengam seorang ilmuwan yang sedang melakukan penelitian keilmuan
3. Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan ekplanasi tentang bangunan
rasional sistematik terstruktur. Dalam hal ini perilaku si pembelajar, di lain fihak,
menerima dan memahami pengetahuan rasional. Pada umunya salah mengerti
pembelajaran ilmu pengetahuan terletak pada hanya mengutamakan kegiatan
eksplanasi pengetahuan. Slah mengerti tersebut terkenal dengan pandangan
statis tentang ilmu pengetahuan.
Pembelajaran ilmu pengetahuan merupakan kegiatan mengajar dan
belajar oleh ilmu pengetahuan. Kegiatan tersebut suddah tentu berhubungan
denan pembangaunan pengetahuan rasional terstruktur. Bangunan
pengetahuan tersebut secara statis berada dalam buku-buku ilmu pengetahuan.
Bangunan pengetahuan rasional tersebut terdidi dai unsur-unsur pengerahuan
berupa fakta, konsep, generalisai yang terdiri dari kesimpulan, hukum, prinsip
atau teori. Unsur-unsur tersebut berhubunab secara fungsional, berangkaian
secara terstruktur dan terfokus pada kebenaran ilmiah.
Bangunan pengetahuan rasional tersebut pada umunya berupa uraian
tentang objek ilmu pengetahuan. Uraian tengang objek tersebut dituangkan
dalam kalimat pernyataan, simbol ilmiah, dan model-nodel ilmiah. Kumpulan
pernyataan yang memuat pengetahuan ilmiah dapat dibedakan menjadi empat
bentuk, seperti:
1. Rekonstruksi historis, suatu pernyataan yang berusaha menggambarkan
pertumbuhan objek ilmiah pada masa lampau. Cabang ilmu yang banyak
mengandung pernyataan ini adalah sejarah, ilmu purbakala, paleontologi,
historiografi.
2. Deskripsi, suatu pernyataan yang berusaha memberikan pemerian mengenai
bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya tentang objek ilmiah.
Cabang ilmu yang bercorak deskriptif dapat ditemukan pada geografi, ilmu
anatomi.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
3. Preskripsi, suatu pernyataan yangberuha memberikan petunjuk atau ketentuan
tentang apa yang sedang berlangsung, atau apa yang berlaku dalam
hubungannya dengan objek ilimah sebenarnay. Bentuk prespektif ini dapat
ditemukan pada ilmu-ilmu administrasi, managemen, ilmu pendidikan.
4. eksposisi pola, suatu derungan, dan proses pada objek ilmiah. Pernyataan
eksposisi pola tersebut dapat ditemukan pada banyak ilmu diantaranya
antropologi dan sosiologi.
Bangunan pengetahuan rasioanl yang berupa kalimat pernyataan
ditemukan pada hampir setiap cabang ilmu. Bangunan berupa angka-angka,
simbol ilmiah, dan model ilmiah dtemuak pada ilmu alam, kimia, matematika,
statistik, biologi, dan logika. Di samping bentuk pernyaan, simbol ilmiah, dan
model ilmiah tersebut, juga ditemukan proporsi yang dikenal sebagai azas,
kaidah ilmiah, dan teori ilmiah.
Azas ilmiah adalah suatu proposisi yang mengandung kebenaran umum
berdasarkan fakto-fakta yang telah di observasi. Kaidah ilmiah atau hukum
dalma pengetahuan suatu proposisi yang mengungkapkan kejagaan atau
hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya pada fakta auatu gejala
yang diobservasi, sehingga hubungan tertib tersebut juga berlaku pada berbagai
fakta atau gejala lain yang sejenis. Kaidah ilmiah juga diartikan sebagai
pernyataan prediktif dan universal.
Sebagai pernyataan prediktif, karena jika kondisi-kondisi tertentu
berhubungan, maka apa yang akan terjadi dapat diramlakan. Sebagai
pernyataan prediktif. Karena jika kondisi-kondisi tertentu berhubungan, maka
apa yan akan terjadi dapat diramalkan. Sebagai pernyataan universal, jika
hubungan yang dijelaskan dianggap dapat selalu terjadi, meskipun ada
keterbatasan. Teori ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan
secara logis yang memberikan penjelasan tentang yagn saling berkaitan secara
logis yang memberikan penjelasan tentang sejumlah gejala. Teori ilmiah
berguna untuk (i) membantu mensistemasikan dan menyusun data, atau
pemikiran tentang data sedemikian rupa sehingga tercapai pertalian logis antara
data ilmu, (ii) memberikan skema tentang fenomena sedemikian rupa sehingga
terdapat titik pijak orientasi, dan (iii) menunjukan arah penelitian lebih lanjut.
Bangunan pengetahuan rasional atau bahan engetahuan ilmiah adalah hasil
penelitian ilamiah.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Bahan pengetahuan ilmiah tersebut berupa buku ilmu pengetahuan dan
laporan hasil penelitian. Berbeda dengan buku ilmu pengetahuan, maka laporan
hasil enelitian selalu memaparkan jalannya proses penelitian. Laporan penelitian
di samping mengemukakan teori ilmiah atau model ilmiah juga mengemukakan
hipotesis atau asumsi ilmu pengetahuan. Dipandang dari segi penelitian, maka
laporan hasil penelitian dapat dbedakan menjadi bahan pengetahuan ilmiah
sebagi produk penelitian kuantitatif atau produk penelitian kualitataf. Ciri utama
bahan pengetahuan ilmiah adalah:
1. adanya sistematisasi,
2. paparan yang bersifat umum.
3. paparan rasional, artinya merupakan uraian pemikiran rasional yang mematuhi
logika,
4. objektif,
5. verifibilitas, artinya merupakan paparan ilmiah yang dapat diteliti atau dikaji
ulang,
6. merupakan karya komunal.
Ilmu-ilmu sosial sebagai rumpun ilmu pengetahuan juga merupakan hasil
penelitian, baik penelitian kuantitatif atau kualitatif. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial
juga merupakan bagian integral dari kegiatan penelitian ilmu sosial. Dari segi
materi keilmuan yaitu peristiwa sosial atau gejala rokhani, maka pengejaran
ilmu-ilmu sosial diduga memerlukan pendekatan mengajar, metode mengajar,
teknik mengajar, dan alat mengajar yang berbeda dengan pembelajaran ilmu
pembelajaran ilmu pengetahuan yang lain. kelainan tersebut bukan hanya
karena sifat ilmiah ilmu sosial, tetapi juga disebabkanoleh nilai ilmu-ilmu sosial
tersebut pada konteks masyarkat dan kebudayaan tertentu.
2. Perkembangan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial di Amerika Serikat
Amerika sebagai salah satu negara super power dewasa ini, pada
dasarnya telah menunjukkan kedigjayaannya pada abag 19, khususnya
menyangkut bidang kajian ilmu pengetahuan, sehingga tidak jarang sebuah
disiplin ilmu pengetahuan mendapatkan otominasinya setelah kalangan ilmuwan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Amerika melakukan berbagai justifikasi terhadap ilmu bersangkutan. Penduduk
Amerika Serikat bagian besar berasal dari Eropa. Kaum emigran eropa tersebut
mendambakan suatu kehidupan baru di daratan Amerika. Gelombang emigran
ke Amerika terdiri dari banyak tahap, dan pada umunya sejalan dengan terjdinya
peristiwa-peristiwa besar di dunia. Arus emigrasi ke Amerika terus berlangsung
sampai kini.
Imigran pada abad 17-18 pada umunya bersal dari Eropa Barat, dan
mereka kemudian hidup bermasyarakat di daerah jajahan negara Inggris. Berkat
perjuangan kemerdekaan maka rakyat Amerika berhasil memperoleh
kemerdekaan dan membentu negara Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. Negara
Amerika Serikat merupakan tanah harapan untuk memperoleh kebebasan,
demokrasi, dankekayaan.
Secara substansial peradaban Amerika Serikat bersifat unik dalam
sejarah dunia, dalam hal struktur alam wilayah negara, ciri khas mental dan
emosi rakyat, dan norma-norma perilaku penduduknya. Peradaban ini berakar di
Erompa, khususnya Inggris. Peradaban Amerika terbentuk berkat integrasi
beberapa kekuatan besar yang ada dalam masyarakat.
Kekuatan-kekuatan besar tersebut berupa konsep moral dan sikap
ekonomis yang disebut Puritanisme, semangat menerapkan metode berfikir
keilmuan, penciptaan alat dan teknik pengukuran yang terjelma pada teknik
permesinan, pengambilan alih, kekuasaan mengontrol pemerintahan menurut
kaum Puritan. Kekuatan ini menghasilkan eksploitasi sumber-sumber alam
secara besar-besaran, peningkatan standard hidup tinggi dibidang material,
penghapusan kesengsaraan hidup, kecintaan hidup di dunia, penghapusan
takhayul, dan perluasan dengan penerangan ilmiah. Bersamaan waktunya
masyarakat Amerika dibentuk dengan teknologi besar. Tertib sosial masyarakat
ditandai dengan dua ciri utama: (i) keinginan akan benda-benda, suatu cara
mengumpulkan uang dan kekuasan atas orang lain, dan (ii) mempercepat
putaran waktu dan ritme perubahan sosial.
Peradaban Amerika yang berpangkal dari era penjajahan, kemudian pada
abad dua puluh berkembang menjadi masyarakat industri maju. Selama dua
ratus tahunan lebih masyarakat dan peradaban Amerika mengalami drama
hidup yang bergelora, meliputi berbagai segi kemasyarakatan berupa:
1. Pertma, timbul sikap dan konsep-konsep perekonomian berupa peningkatan
perdaganan yang mempengaruhi kehiduan sosial dan politik. Penemuan dan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
penggunaan uang sebagai ukuran kesempurnaan hidup dan sebagai sumber
kekuasaan atas manusia. Standardisasi mesin dan spesialisasi pekerjaan
menghasilkan produksi massal. Pengumpulan modal berperanan dalam
pengarahan pemerintahan.
2. Kedua, timbul konsep-konsep politik seperti demokrasi, kesamaan drajat
individu, hak-hak azasi individu, pemerintah yang repsentatip, dan perintah yang
disepakati oleh orang yang diperintahkan.
3. Ketiga, peningkatan penerapan konsep-konsep intelektual, seperti setia pada
setiap fakta, memper-cepat perubahan, hukum sebab-akibat, analisis,
pengukuran eksak, pengurangan kesalahan, klasifikasi hasil pengamatan dan
penemuan hal-hal yang ajeg, hukum-hukum keilmuan, penerapan formula, dan
penerapan semua kaidah dalam menambah ketetapan alat untuk mempetinggi
produksi dan distribusi barang dan jasa.
4. Keempat, penerapan konsep-konsep moral seperti rajin, berdisiplin, keseriaan
pada kelompok sendiri, lembaga, dan pemerintah. Bila idea-idea ini makin
mudah dilakukan maka jalan menuju ke arah teknologi besar akan tercpai.
Dengan teknik dan aplikasi ilmu pengetahuan induktif, pandangan politik dan
ekonomi Puritan, maka rakyat Amerika membentuk model pemerintahan yang
monumental.
Pada saat Amerika memenangkan revolusi kemerdekaannya, maka
rakyat Amerika Serikat melakukan perbaikan hidup bermasya-rakat secara
pragmatis. Rakyat dan negara melakukan usaha rekonstruksi masyarakat
dengan membuat dan melaksankan program rekonsttuksi ekonomi, sosial,
politik, dan pendidikan menuju masyarakt industri berteknologi modern.
Rekonstruksi masyarakat Amerika memperhitungkan keinginan dan cita-cita,
reaksi, sikap, perilaku individual dan kelompok-kelompok sosial.
Rekonstruksi masyarakat Amerika terjalin erat dalam program jangka
panjang rekonstruksi pendidikan, suatu rekonstruksi pendidikan menuju
teknologi besar dalam kehidupan ekonomi. Rekonstruksi pendidikan Amerika
tercermin pada perubahan lembaga dan struktur pendidikan yang eliptis, dan
dibentuknya public school untuk untuk seluruh rakyat Amerika Serikat.
Gerakan public school ini meliputi sekolah dasar, menengah, dan tinggi,
dengan tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit, lapisan sosial, dan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
agama. Public school adalah jenis suatu percobaan, dan penemuan, seperti
pendapat Horace Mann (1976) bahwa The Common School is the greatest
discovery ever made by man. Our school, with all their dericiences, constitute
one of the glories or our Republic.
Sekolah di Amerika Serikat, khususnya public school, dijadikan sarana
merekonstruksi masyarakat, disamping sarana-sarana dan lembaga-lembaga
lain. ilmu pengetahuan dikembangkan oleh masya-rakat ilmiah dengan bekerja
sama dengan masyarakat industri, dan lain fihak, sekolah melakukan
pendidikan kepribadian, pendidikan socio-civics, dan pendidikan intelektual.
Sekolah berjasa dalam hal menyebarkan ilmu pengetahuan, dan secara tidak
langsung men-dorong timbulnya sikap-sikap positif yang menggelorakan
semangat untuk merekonstruksi masyarakat Amerika.
Kalangan masyarakat Amerika serikat yang tradisional, pra-industri
tumbuh menjadi masyarakat indurstri secara bertaha, dalam arti sesuai tahap-
tahap rekonstruksi dibidang pemerintahan, polotik, dan ekonomi. Masyarakat
Amerika Serikat yang berkembang menjadi masyarakat industri tidak hanya
memerlukan dukungan sekolah-sekolah, tetapi juga lebih membutuhkan ilmu
pengetahuan. Ilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat juga berkembang sejalan
dengan tantangan-tantangan yang terjadi dalam usaha merekonstruksi
masyarakat Amerika.
Menurut L.L Bernard perkembangan ilmu-ilmu sosial di Amerika serikat
dapat dibedakan menjaditiga periode, yaitu (i) periode pembentukan sebelum
tahun 1860, (ii) periode perkembangan dan diferensiasi dari tahun 1865 sampai
1900-an, dan (iii) periode kematanan dan sitesis, terutama sesudah tahun 1900.
Sejak tahun 19000 terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di bidang
perkembangan ilmu-ilmu sosial. eksperimentasi di bidang metode penelitian,
pilihan metode penelitian, diskusi tentang metode penelitian, latihan-latihan
profesional bidang ilmu-ilmu sosial dipergiat dan diperluas oleh masyarakat
ilmuwan sosial. usaha-usaha sintesis berkat penemuan-penemuan penelitian di
bidang ilmu-ilmu sosial sering dilakukan, sehingga ilmu-ilmu sosial menjadi
otonom.
Registrasi suatu mata pelajaran pada suatu kurikulum erat hubungan
dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan kurikulum sekolah berhubungan
denga perubahan-perubahan yang terjadi pada konteks sejarah dan
perkembangan sosial suatu masyarakat. Bila disimak secara seksama,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
perkembangan kurikulum ilmu-ilmu sosial di Amerika melukiskan perubahan
kebutuhan utama masyarakat, yang menekankan pentingnya suatu dalam suatu
periode tertentu, dengan isi kurikulum.
Isi kurikulum dan organisasi kurikulum berbeda-beda pada periode yang
satu dengan yang lain. pembelajaran ilmu-ilmu sosial seerti sejarah geografi,
dan good behavior (perilaku yang baik) timbul sejak periode nasional. Pada
periode nasional yang diutamakan adalah soal politik, dan hal ini menunjuka
perubahan orientasi, dari kepentingan politik nasional. Sebagai ilustrasin
pembelajaran sejarah, berorientasi pada sejarah Amerika Serikat.
Demikian halnya dengan pembelajaran geografi adalah geografi Amerika
Serikat bukan geografi Eropa. Perubahan orientasi tampak menyolok pada
bidang studi perilaku yang baik, good behavior. Yang dimaksudkan dengan
perilaku yang baik berarti baik bagi Amerika Serikat, yangberbeda dengan baik
bagi negara Inggris, Perancis, atau yang lain. Good behavior, sejarah, geografi
merupakan pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang dapat ditemukan pada kurikulum
sekolah di negara manapun.
Eksistensi sekolah umum (public school) dalam hal ini sekolah dasar
Amerika Serikat mengajarkan sejarah, geografi, dan good behavior berorientasi
kepentingan Amerika Serikat yangberbeda dengan kepentingan warga negara
lain. Nama good behavior sebagai nama mata pelajaran di sekolah sudah
menunjukan adanya kepentingan nasional Amerika Serikat.
Ilmu-ilmu sosial memang mempelajari masyarakat dalam arti umum,
tetapi pembelajaran ilmu-ilmu sosial di suatu sekolah di negara tertentu sudah
barang tentu akan mengutamakan masyarakat bangsanya, walaupun di
kemudian hari juga akan mengajarkan pengetahuan masyarakat bangasa lain.
dengan kata lian berbeda dengan mata-mata pelajaran matematika,
kimia,biologi, fisika, yang mengutamakan materi pengetahuan umum di dunia,
maka mata-mata pelajaran ilmu-ilmu sosial lebih mengutaman pengetahuan
masyarakat bangsa sendiri. Ilmu-ilmu sosial merupakan salah satu isi kurikulum
sekilah. Perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak terpisah dari
perkembangan pengetuahuan-pengetahuan lain sebgai isi kurikulum, dan
pengetahuan kurikulum itu sendiri.
Perkembangan social studies misalnya hampir bersamaan waktunya
dengan lahirnya filsafat pendidikan tahun 1916, lahirnya bidang studi kurikulum
pada tahun 1918, dan gerakan penelitian pembelajaran tahun 1920-an.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Analisis tentang pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah di
Amerika Serikat sejak awal pertumbuhan social studies (IPS) sampai tahunh
1980-an mengungkapkan adanya perubahan konsep IPS, suatu perubahan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu-ilmu sosial.
secara khronologis perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial di Amerika
Serikat sebagai berikut: (i) pembelajaran social studies (IPS) gaya lama, 1916-
1930-an, (ii) pembelajaran IPS progresivisme, 1930-1950, (iii) social science
education (pembelajaran keilmuan ilmu-ilmu sosial), sejak tahun 1960-an, dalam
periode pasca Sputnik, yang populer sejak tahun 1970-an sampai sekarang.
Kegiatan pembelajaran merupakan hal kompleks, artinya meliputi wawasan
keilmuan, penelitian keilmuan dan pembelajaran, bahan dan setukur
pengetahuan, metode mengajar, media dan evaluasi pembelajaran.
Pembelajaran IPS gaya lama, 1916-1930-an. Pembelajaran IPS atau
social studies di Amerika Serikat bermula dai pembelajaran sejarah, geogradi,
dan good behavior yang berlangsung selama periode 1776-1876. Pembelajaran
good behavior kemudian menjadi civics pada tahun 11796-an. Pada periode
nasional 1776-1876 tersebut yang diutamakan adalah kepentingan politik
Amerika Serikat, danilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat sedang menuju otonomi
keilmuan.
Masyarakat industri merasakan kelemahan-kelelamahan pembelajaran
yang dilakukan. Kedatangan emigrant ke Amerika Serikat terus meningkat.
Padda awal abad dua puluh imigran bangsa Slavia (Eropa Timur), bangsa-
bangsa latin (Eropa Selatan), orang-orang Negro dan bangsa-bangsa lain yang
bertambah terus jumlah bangsa-bangsa dari Eropa, dan jumlah dapat
mengganggu perkembangan peradaban Anglo Saxon. Selama perang dunia
pertama masyarakat Amerika Serikat.
Mata pelajaran sejarah dianggap tidak mampu mencapai tujuan nasional
Amerika Serikat. Oleh karena itu Edgar B. Wesly, perintis pembelajaran social
studies, mengusulkan perlunya penggabungan mata pelajaran sejarah, geografi,
dan civics menjadi mata pelajaran IPS (social studies) pada tahun 1916-an.
Edgar B. Wesley merumuskan batasan social studies (IPS) sebagai berikut:
“The social studes are the social sciences simplified for pendagogical purposes.
...... in school the social studies usually consist of geography, history, economic,
sociology, and civics, and various combination of these subjects”.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Sejalan dengan pendapat Wesley tersebut, maka National Council for
Social Studies merekomendasikan definisi social studies (PIPS) sebagai berikut:
The social studies are concernd with human relationships. Their content is
derived principally from the scholarly disciplines of economic, geography, history,
political science, and sociology, and includes elements from other social
sciences, among them social studies imlies no paticular from of currifulair
organization. Its is applicable to curricula in which each course is derived for the
most part from a single discipline as well as to curricula in which courses
combine materials from several disciplines.
Dilihat dari dimensi konseptual kedua rumusan tersebut serupa. Social
studies (IPS) merupakan penjumlahan dari bahan pengetahuan yang berasal
dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan
pendagogis. Disamping itu pembelajaran IPS tidak terkait dengan organisasi
kurikulum tertentu, artinya IPS berada pada kurikulum yang manapun.
Pengajran IPS dapat mengambil bahan pengetahuan yan bagian besar berasal
dari cabang yang lain, atau bahan pengetahuan yang berasal dari gabungan
berbagai cabang ilmu sosial.
Awal pertumbuhan IPS sebagai bidang studi baru, bidang studi kurikulum
juga baru mulai menjadi bidang studi akademis. Pelaksanaan pembelajaran IPS
gaya lama sejalan dengan kemajuan pendekatan menajar, metode dan teknik
mengajar, pandangan tentang media pembelajaran, dan kemajuan evaluasi
pegajaran. Masyarakat Amerika Serikat merasa berkepentingan untuk
memajukan pembelajaran di sekolahnya. Oleh karena itu berbagai percobaan
dibidang pembelajaran dilakukan.
Di Amerika Serikat terdapat dua kelompok ahli yang mempunyai
pengaruh dominan pada pertumbuhan kurikulum. Pengaruh kedua kelompok
ahli tersebut silih berganti sejak lahirnya bidang studi kurikulum tahun 1918
sampai sekarang. Kelompok ahli tersebut terkenal sebagai kelompok kaum
progresif dan kelompok bussiness-efficienty. Kaum progresif muali berpengaruh
sejak tahun 1918, yang kemudian pengaruhnya surut pada tahun 1956-an.
Tampilnya kaum progresif menyebarluaskan kurikulum tipe core yang
mengganti separate subject curriculum. Surutnya pengaruh kaum progresif dan
tampilnya kelompok business-effecienciy menimbulkan perubahan kurikulum
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
kelompok business-effecienciy mengembangkan discipline-centered curriculum
pada tahun-tahun pasca Sputnik.
Kurikulum yang discipline centered mendapatkan kecaman dari berbagai
ahli. Sementara ahli mengemukakan bahwa kurikulum discipline centered tidak
relevan dan kurang manusiawi, dan kemudian kelomlpok bussiniss-efficiency
mulai susrut sejak tahun 1970-an. Lahirlah gerakan humanisme di bidang
kurikulum yang melanjutkan ajaran kaum progresif pad tahun 19700-an.
Sementara itu semngat nasional Amerika Serikat bangkit kembali,dan refotmasi
sosial Amerika Serikat secara terprogram dilaksankan oleh berbagai kelompok
sosial.
Semangat nasional dalam melakukan reformasi sosial tersebut pada
tahun 1970-an dapat membangkitkan semangat kelompok bussiness-efficiency
untuk melakukan perbaikan-perbaikan kurikulum seperti semula. Pengaruh
kelompok business-effecienciy dibidang kurikulum setelah tahun 1970 masih
menonjol. Pengaruh tersebut berupa pemberian tekanan penting pada tujuan
perilaku, accountability, national assessment, performance contracting dan
kurikulum berorientasi perilaku. Demikianlah kedua kelompok ahli kurikulum
tersebut berkompetisi dalam usaha memperbaiki pembelajaran sejak tahun 1918
sampai sekarang.
3. Pembelajaran IPS yang Progresivistis
Tahun 1918 di Amerika Serikat didirikan suatu perkumpulan pendidikan
yang diberinama Progresive Education Association. Kelompok progressivisme
ini ditopang oleh pragmatisme dan menan-tang sistem pendidikan yang otoriter
dan absolut. Progressivisme berpandangan bahwa:
1. pendidikan bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat anak serta kebutuhan
anak,
2. pendidikan merupakan usaha membudayakan hidup dan bukan hanya
mempersiapkan utntuk dapat hidup,
3. anak didik harus memperoleh latihan-latihan memecahkan masalah atas
dikemudian hari dapt memecahkan persoalan pribadinya,
4. pendidikan harus dilaksanakan dalam suasana yang benar-benar demokratis,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
5. peranan pembelajar pendidik adalah membimbing dan memberi nasehat
kepada anak didik untuk memecahkan persoalan,
6. sekolah merupakan tempat berlatih bekerja sama dengan orang lain bukan
tempat untuk bersaing.
Progesivisian memandang kurikulum sebagai program eksperimental,
artinya mata pelajaran-matapelajaran adalah pengalam-an yang edukatif.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang menyelenggarakan bermacam-mcam
pengalam belajar sehingga pebelajar dapat tumbuh dengan baik, kemudian
mampu memecahkan masalah hidup. Oleh karena itu kurikulum harus
meyediakan mata pelajaran yang sesuai dengan minat pebelajar, kebutuhan
pebelajar, masyarakat dan kebudayaan setempat. Tradisi pembelajaran yang
berpusat pada bahan pembelajaran atau disiplin diganti dengan organisasi
content dan activity yang disebut pengalaman pebelajar.
Pembelajaran IPS diorganisasikan sebagai “suatu bidang kehidupan”,
“situasi hidup yang berkesinambungan”, dan sebagai “pusat minat” pebelajar.
Tipe pembelajaran IPS yang terkenal berupa kegiatan pembelajaran terpadu, di
mana batas-batas mata pelajaran diterobos, dan pebelajar bersama pembelajar
mempebelajari banyaknya bidang dalam rangka belajar dalam unit-unit yang
mengintegrasikan topok atau masalah.
Pembelajaran IPS, melihat hakikatnya, merupakan pembelajaran ilmu
sosial yang berperan utama dalam pendidikan umum. Berbeda dengan IPS gaya
lama yang berusaha menggabungkan bebagai pembelajaran ilmu-ilmu sosial,
maka pembelajaran IPS progressivisme melakukan fusi, atau integrasi berbagai
cabang ilmu sosial menjadi unit-unit, bidang kehidupan, situasi hidup
bersinambungan, ataupun pusat minat. Pembelajaran IPS progressive ini
berpengaruh dominan pada tahun-tahun 1929-1956-an.
4. Pembelajaran Ilmu Sosial: 1970-1980-an
Setelah perang dunia kedua tataran masyarakat dunia mengalami
perubahan besar-besaran, dalam arti masyarakat bangsa-bangsa terjajah yang
telah menjadi negara merdeka, dan negara-negara maju di Eropa tetap
berkompetisi menjadi kekuatan dunia yang dominan. Terjadilah perlombaan
kekuasaan antra blok barat dan blok timur, dan sementara itu timbul kekuatan
dunia ketiga.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Peluncuran Sputnik Rusia tahun 1957 merupakan babak baru
perlombaan ruang angkasa. Keterbelakangan peluncuran Sputnik
menterkejutkan negara bangsa Amerika Serikat, dan masyarakat Amerika
Serikat mempersoalkan sistem pendidikannya. Usaha perbaikan sistem
pembelajaran dilakukan termasuk perbaikan kurikulum. Mata-mata pelajaran
matematika, fisika, kimia, biologi, kemudian bahasa dan IPS diperbaiki kembali.
Ahli-ahli ilmu sosial memandang interaksi masusia sebagai realitas sosial
menurut perspektif yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menurut pandangan
Bruce R. Joce, ahli ilmu sosial harus membantu pebelajar agar dapat melihat
kehidupan manusia di dalam berbagai perspektif. Ahli ilmu sosial harus
menunjukan bagaimana menggunakan pandangan ilmu sosial untuk memahami
hidup seseorang di masyarakat dalam hubungannya dengan kehadiaran orang
lain di masyarakat.
Pembelajaran IPS memikul tugas baru, oleh karena itu pembelajaran IPS
(social studies) sebaiknya diubah menjadi social science education
(pembelajaran ilmu sosial berorientasi keilmuan). Tugas baru IPS terkandung
dalam istilah social science education. Menurut Bruce Joyce, dengan istilah
social science education yang dimaksudkan sebagai,
The term elementary social science education ... actually expressed the relief
that a child best learn a subject discipline by pusuing that discipline in the
manner ot a scholar...The tactics ot the social science are taught to the child
precisely because they are best tools we have found for helping him
comprehend his life and face his problems.
Melalui social science education pembelajar IPS memandang bahwa
pebelajar perlu belajar meniru perilaku sarjana ilmu sosial yang mempebelajari
masyarakat. Cara belajar pebelajar perlu diubah seperti halnya ahli sosial
mempebelajari masyarakat. Hanya dengan mempebelajari berbagai metode dan
teknik ilmu sosial seorng pebelajar mampu mengerti kehidupannya dan dapat
mengatasi masalah hidupnya sendiri di dalam masyarakat.
Pandangan Bruce R. Joyce tersebut sejajar dengan pandangan Milton E.
Ploghoft dan Alber H. Shuster. Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa social
science education bermaksud untuk mempebelajari secara rasional atau secar
ilmiah aspek-aspek sosial dari kondisi manusia.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Social science education terutama berkenaan dengan pendidikan anak
dan generasi muda bangsa dengan kerangka tujuan bahwa informasi dan
keterampilan akan menghasilkan perilaku efektif untuk mengatasi masalah-
masalah sosial yang kompleks di masyarakat, negara, dan dunia. Oleh karena
itu Ploghoft dan Shuster berpendapat bahwa
Social science education is a rational endeavor, hence attention must be given
to the kind of behavior that is anticipated as an outcome ot the learning
experiences planned for children............ Social science education is concerned
with social need and problems now and in the future.
Ploghuft dan Sluster mengemukakan bahwa social science education
adalah usaha secara rasional mendidik pebelajar atar mampu mempebelajari
masalah-masalah bangsa, negara dan dunia yang kompleks pada saat ini dan
masa yang akan datang. Pendapat kedua ahli tersebut telah tercermin dalam
pandangan Samuel P. McCutchen yang dikemukakan di dalam sidang National
Council for the Scoial Studies bulan November1962. McCuthen berpendapat
bahwa penajaran IPS (social studies) sebagai suatu disiplin yang
menggabungkan bermacam-macam bahan ilmu-ilmu sosial yang bersama-sama
menjadi “bidang khusus dengan integritasnya sendiri”. Menyangkut disiplin baru
tersebut McCuthen mengemukakan
If we becom aware of our discipline and of our disciplenship, we need not
further suffer under such apologies as “history and the social science” or
“interdisciplinary”. Ours are the proud task of (1) patriotism, (2) Western culture,
(3) the contemporary world, and (4) rational inquiry.
Social science education sebagai suatu bidang tunggal yang terintegrasi,
sebagai hasil pengaruh kurikulum berorientasi disiplin, merupakan suatu disiplin
baru. Disiplin baru tersebut berkenaan dengan pembelajaran ilmu-ilmu sosial
berorientasi pada patriotisme, kebudayaan Barat, dunia dewasa ini, serta
penelitian rasional. Dengan kata lain social science education merupakan
pembelajaran IPS yang tidak hanya bersifat interdisiplinair, tetapi sudah
merupakan suatu disiplin baru. social science education adalah pembelajaran
IPS atau pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang bersifat keilmuan. Pebelajar yang
belajar IPS serupa dengan ahli ilmu sosial yang mempebelajari masyarakat.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
5. Pembelajaran IPS Revolutif
Ilmu-ilmu sosial dapat berkembang berkat adanya penelitian-penelitian
tentang masyarakat, dan bahan pengetahuan ilmu sosial tersebut bermanfaat
bagi sosial. Pembelajaran ilmu sosial pada gilirannya merupakan bagian integral
sistem pengetahuan disiplin ilmu-ilmu sosial. pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak
lain adalah eksplanasi hasil penelitian ilmu-ilmu sosial.
Sejak Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang penelitian
tahun 1954 kegiatan penelitian ilmiah dan penelitian pembelajaran di berbagai
jenjang sekolah dipertgiat. Penelitian di bidang ilmu-ilmu juga mengalami
kemajuan dan kecenderungan baru. Perbaikan metode dan teknik penelitian
ilmu-ilmu sosial berpengaruh pada penelitian di bidang pembelajaran ilmu-ilmu
sosial. Dominasi epistemologi psotivistis di bidang penelitian semakin lemah dan
epistemologi interpretif, dan intergal makinkuat. Ilmu-ilmu sosial dikembangkan
dengan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Realitas sosial yang memang hukum
perilaku yang bersifat deskriptif, tetapi juga mengungkapkan hal-hal normatif dan
manusiawi yang tidak deterministis. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial tidak hanya
memerlukan pendekatan inkuiri tetapi juga pendekatan humanistis.
Kelompok ahli kurikulum mengeritik kelemahan-kelemahan social science
education dan lahirlah New Social Studies atau IPS gaya baru. Bernes dan
Brgdorf berpendapat bahwa da perbedaan tanggung jawab antara ilmuwan IS
dengan pembelajar IPS tentang apa yang dipelajari pebelajar. Ilmuawan IS
harus memperlengkap diri dengan pendekatan-pendekatan baru untuk
memahami masyarakat yang makin kompleks dan berubah sangat cepat.
Penemuan penelitian tersebut harus disampaikan kepada pebelajar agar
pebelajar dapat memecahkan masalahnya sekarang dan pada masa yang akan
datang. Sebaliknya pembelajar IPS harus membuat keputusan dasar tentang
pembelajaran IPS yang berisi objective, teknik-teknik pemecahan masalah
sehubungan dengan masyarakat yang berubah sangat cepat. Pembelajar IPS
menghadapi dillemma dalam usahanya mensintesekan unsur-unsur dari
berbagai disiplin menjadi program terpadu dengan urutan, kesinambungan dan
arah yang baru. Theodore Kaltsounis mengemukakan bahwa sejak tahun 1960
pembelajaran IPS berada di dalam posisi sulit dimasyarakat Amerika.
Pembelajaran IPS berubah, tidak menyimpang dari pendekatan konsep tual,
tetapi mengarah pada pembelajaran untuk mengambil keputusan.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Social studies bergerak menjadi new social studies. Pengambilan
keputusan mempersyaratkan banyak kecakapan. Pendidikan kewarganegaraan
keharusan kebudayaan, dan pengambilan keputusan, kesemuanya
mempersyaratkan keterlibatan penalaran individu. Dengan demikian program
pengjaran IPS yang berorientasi pada pengambilan keputsan merupakan
program patriotik yang sebenarnya.
Pemikiran sistematis diperluakan dalam rangka pngambilan keputusan
seseorang. IPS gaya baru adalah kerangka pemikiran sistematis tentang
pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang berinterdisiplim, dan berorientasi pada
semua nilai kebudayaan dan nilai kemanusiaan. Apabila pembelajaran IPS di
Amerika Serikat sejak tahun 1916 sampai tahun 1070/80-an dipelajari, maka
dapat dikemukan beberapa kesimpulan penting tentang hal tersebut, yaitu:
1. Pembelajaran IPS timbul sebagai pemecahan tentang kebutuhan integrasi
negara bangsa Amerika Serikat yang berusaha memelihara identitas
kebudayaan anglo saxon, dan kelestarian hidup negara bangsa Amerika Serikat
pada abad ruang angkasa.
2. Pembelajaran IPS merupakan perbaikan pembelajaran ilmu sosial yang
terpisah-pisah, seperti sejarah, geografi, good behavior, pada awal
kemerdekaan Amerika Serikat dan berorientasi pada kepentingan negara
Amerika Serikat dan berorientasi pada kepentingan negara Amerika Serikat.
3. Pembelajaran IPS mengalami pergeserran konseptual sejalan dengan
penelitian ilmu-ilmu sosial dan penelitian pembelajaran. Pada awal
pertumbuhannya (1916-1930) IPS gaya lama dirumuskan sebagai “the soxial
studies are the social sciences simplified for pedagogical perposes”. Pergeseran
konsep berkisar pada “.... are (sic) social sciences....” dan “pendagogical
puposes”. Tekanan diletakan sebgai jumlah (jamak) ilmu-ilmu sosial, atau fusi
bahkan interasi (tunggal), atau justru menjadi disiplin tersendiri. Tujuan
pendidikan (pendagogical perposes) IPS meliputi tiga segi yang tak terpisah-
pisah, yaitu humanistic education, socio-civic dan intellectual eduction. IPS
progressivisme (1930-1956-an) menekankan fusi bahkan integrasi ilmu-ilmu
sosial serta socio-civics. Social science education pasca sputnik menekankan
IPS sebagai disiplin tersendiri, dan pendidikan intelektual dengan pendekatan
inkuiri. IPS gaya baru menekankan pendidikan humanistik, meletakan
pendekatan inkuiri dalam hubungannya dengan nilai-nilai kebudayaan dan
kemanusiaan. (sejak tahun 1970-an).
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
4. Perkembagan pembelajaran IPS tidak terpisahkan dari perkembangan bidang
studi lain ataupun komponen-komponen sistem pembelajaran lain, seperti
bidang kurikulum (1918), teori berlajar (1930), pandangan ilmu perilaku tentang
media pembelajaran (1950), pendekatan penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial
(pasca sputnik).
5. Secara analitis tipe-tipe IPS di Amerika Serikat sejak 1916 sampai tahun 1980-
an dapat dilukiskan pada Bagan 5.02.
6. Perkembangan Pembelajaran Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia
Secara geografis Indonesia terletak diantara garis 950 B.T. dan 1410
L.U. dan 110 L.S. Panjang bentangan wilayah dari barat ke timur sepanjang
5.110 km, dan dari utara ke selatan 1,888 km. Indonesia terdiri dari 13.667
pulau, di antaranya baru 6.044 pulau yang telah bernama. Luas wilayah dapat
dihuni ada 1.849.731 km2. Analisis berdasarkan ciri bahasa, adat dan agama
dikemukakan bahwa pendduduk Indonesia dewasa ini terdiri dari 366 satuan
suku bangsa, 106 sub-satuan suku bangsa, dengan bahasa, susunan
masyarakat, kebudayaan, dan agama yang berbeda-beda.
Secara historis dapat dikemukakan bahwa masyarakat dan kebudayaan
Indonesia bermula sejak hadirnya manusia purba seperti Homo Wajakensis
sekitar 40.000 tahun yang lalu. Letak indonesia di jalur lintasan internasional
mengakibatkan kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari kemajuan kebudayaan
dunia. Masyarakat Indonesia selalu bergumul dengan bermacam-macam
pengaruh kebudayaan asing. Pasang surut pergumulan pengaruh kebudyaan
tersebut tercermin pada timbul dan tenggelamnya begara-negara lokal di
nusantara. Hampir dapat dikatakan bahwa selama sembilan belas abad sebelum
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, masyarakat
Indonesia telah berakulturasi dengan kebudayaan asing, dan sekaligus
mengaktualisasi keindonesiaan. Oleh karena itu berbagai unsur kebudayaan
nusantara seperti kesenian, macam-macam alat, pengetahuan pra-ilmu,
teknologi sederhana, bahasa lokal, dan agama asli dapat ditemukan di seluruh
nusantara. Perdagangan internasional dan perpindahan bangsa-bangsa terjadi
di Asia, Eropa, Afrika, kemudian Amerika dan Australia.
Adanya perpindahan penduduk dunia tersebut menyebabkan terjadinya
persebaran kebudayaan. Secara bergelombang beberapa kebudayaanseperti
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan Barat masuk dalam memperkenalkan
bahasa, adat-istiadat, tata kemasyarakatan, dan agama, maka kebudayaan
barat (Eropa) memperkenalkan unsur yang lain juga. Kebudayaan eropa
memperkenalkan filsafat, ideologi, sistem-sistem persekolahan, sistem
pengetahuan dan teknologi. Sistem persekolahan, ilmu pengetahuan, sistem
ekonomi dan politik Eropa bertahan tidak langsung, perekonomian dulitstis,
sistem pembelajaran dualistis berlangsung selama pemerintahan Hindia
Belanda.
Sistem persekolahn dan ilmu pegnetahuan pada masyarakat Eropa
berhasil mendorong kecepatan perubahan masyarakat tradisional menjadi
masyarakat industri sejak abad tujuh belas. Sistem persekolahan dan ilmu
pengetahuan dalam masa pemerintahan Hindia Belanda menghasilkan
masyarakat yang dualistis. Masyarakat yang desintegrasi dan kebudayaan yang
statis tersebut ditemukan pada akhir pemerintahan Hindia belanda, bahkan jug
masih ditemukan pada pasca kemerdekaan. Seperti kategoris kebudayaan
Indonesia pasca kemerdekaan masih berada pada tahap mistis dan ontologis.
Sistem sekolah telah diadaptasi oleh masyarakat Indonesia selama 450 tahunan
terhitung sejak Portugis membuka sekolah di Ternate tahun 1538.
Hadirnya sistem sekolah Barat berarti persebaran ilmu pengetahuan,
bahasa asing dan bahasa keilmuan, perilaku semakin sistematis dan intensir.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti geografi, sejarah, pengetahuan dagang
dibelajarkan di sekolah rendah dan menengah dengan orientasi kepentingan
negeri Belanda. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah pada jaman
Hindia Belanda berada dalam dilemma.
Apabila pembelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah-sekolah Eropa
abad XVII mendorong percepatan terbentuknya masyarakat industri Eropa yang
kemudian menjadi negara merdeka dan maju, maka pembelajaran sejarah,
geografi, perdagangan dalam rangka sistem pembelajaran dulistis berorientasi
pada kepentingan negara Belanda. Hal tersebut tampak pada konflik
kepentingan negara pendidikan berupa (i) terbitnya Ordonansi Sekolah liar tahun
1932, tanggal 19 September 1932, dan (ii) polemik tentang bahasa pengantar
pendidikan di sekolah-sekolah antara ahli-ahli pendidikan Belanda seperti
Nieuwenhuis, Berg, P.Post, De la Court, M. Vastenhouw dan pemerintah Hindia
Belanda yang tanpa keputusan.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Terbitnya Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932 justru mempersatukan
pergerakan pendidikan dengan terbentuknya Komite Penyokong
Perpembelajaran Indonesia tahun 1933. Kaum pergerakan pendidikan
kemudian menyelenggarakan Kongres Pendidikan Nasional Indonesia tahun
1935 dengan tujuan (i) merumuskan maksud pendidikan dan pembelajaran
nasional, dan (ii) mencarai berntuk sekolah dan isi pembelajaran. Diantara
rumusan adalah bahwa bentuk sekolah dan isi pembelajaran. Diantara rumusan
adalah bahwa (i) dasar pendidikan adalah kebudayaan nasional, (ii) isi
pendidikan dan pembelajaran adalah kebudayaan nasional, pendidikan agama,
bahasa Indonesia (bahasa Melayu, geografi Indonesia, sejarah Indonesia, dan
pekerjaan tangan). Secara historis diketahui bahwa pembelajaran ilmu sosial di
sekolah dasar dan menengah jaman Hindia Belanda ada di dalam dilemma.
Pembelajaran geografi, sejarah dan cabang ilmu sosial lain pada
umunya menggunakan pendekatan meluas, artinya berpangkal dari lingkup
terdekat ke yang terjauh. Dengan pendekatan tersebut berarti akan
membangkitkan bangsa Indonesia, walaupun secara pendagogis memang
releven. Dalam praktek pembelajaran geografi dansejarah berfokus negeri
Belanda, akibatnya si pebelajar menjadi terasing dari lingkungannya sendiri.
Sebaliknya kaum pergerakan pendidikan telah memilih pendidikan
agama, kebudayaan Indonesia, geografi Indonesia, sejarah Indonesia, bahasa
Indonesia sebagai isi pendidikan dan pembelajaran. Hal ini berarti bahwa isi
pembelajaran ilmu-ilmu sosial telah mulai dibakukan oleh kaum pergerakan
pendidikan Indonesia sejak tahun 1935. Kedudukan pembelajaran ilmu-ilmu
sosial pasca kemerdekaan talah bergeserj walaupun belum sepenuhnya keluar
dari dilemma.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sejarah Indonesia, geografi
Indonesia, ekonomi, civics, sosiologi, antropologi diajarakan di sekolah dan
perpembelajaran tinggi dengan proporsi berbeda sesuai jenjang sekolah.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah mengalami kemajuan yang sejalan
dengan wawasan pendidikan yang digunakan. Sedangkan ilmu-ilmu sosial di
perpembelajaran tinggi dipelajari secara keilmuan, khususnya di fakultas atau
jurusan yang memusatkan studi pada cabang ilu sosial tertentu. Dilemma
pembelajaran ilmu-ilmu sosial terkait pada kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam
konteks perkembangan keilmuan di masyarakat Indonesia.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Ilmu pengetahuan secara sosiologi adalah hal yang telah dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Telah diketahui bahwa masyarakat suku-suku bangsa di
nusantara memiliki pengetahuan pra-ilmu tentang kundisi alam, manusia
peroranga ataupun masyarakat, di seamping agama-agama lokal. Berkenaan
dengan persebaran lembaga sekolah di seluruh nusantara, secara sosiologis
dan psikologis bertemulah jenis pengetahuan “pengetahuan kemasyarakatan
pra-ilmu”.
Ilmu-ilmu sosial dalam arti modern, wawasan-wawasan tentang
masyarakat berdasarkan pemikiran religious. Pengetahuan kemasyara-katan
pra-ilmu pada umunya masih hidup dan berlaku dalam masyarakat lokal,
wawasan religious tentang masyarakat berkembang sesuai dengan
perkembangan agama di Indonesia. Dilemma pembelajaran ilmu-ilmu sosial
tersebut berupa pergeseran dari berfikir pra-ilmu tentang masyarakat. Dilemma
pemikiran ilmu-ilmu sosial ini akan diuraikan lebih lanjut pada bab metode
mengajar ilmu-ilmu sosial. Perkembangan pembelajaran ilmu-ilmu sosial pada
masa setelah kemerdekaan adalah:
1. Pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, geografi, ekonomi, civics
dibelajarkan di sekolah dasar, sedangkan ekonomi, sosiologi, dan antropologi
dibelajarkan di sekolah lanjutan. Pengjaran ilmu-ilmu sosial ini telah berlangsung
sejak awal kemerdekaan Indonesia.
2. Secara kurikuler pembelajaran ilmu-ilmu sosial tergabung dalam kurikulum
sekolah tahun 1947, kurikulum berpusat mata pada pelajaran terurai tahun 1952,
kurikulum tahun 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, dan kurikulum
disempurnakan tahun 1984.
3. Secara kategoris wawasan pembelajaran IPS, pembelajaran ilmu-ilmu sosial di
sekolah dasar dan lanjutan sejak tahun 1945 sampai sekarang, dapat dibedakan
menjadi jenis IPS sebagai berikut :
1. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “the social studies are
the social sciences simplified for pendagogical purpose”. Pembelajaran IPS
dipandang sebagai pembelajaran ilmu sosial yang disederhanakan untuk
mencapai tujuan pendidikan. Konsep pembelajaran ini berlaku pada kurikulum
SD dan sekolah lanjutan tahun 1945-1964. Sehingga pada kurikulum ditemukan
mata pelajaran sejarah, geografi, civics, kooperasi secara terpisah-pisah.
Sedangakan di sekolah lanjutan ditemukan mata pelajaran ekonomi, sosiologi,
dan antrapologi.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
2. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “pembelajaran IPS
sebagai korelasi dari mata pelajaran ilmu-ilmu sosial”. pada kurikulum 1964
ditemukan adanya mata pelajaran pendidikan kemasyarakatan
yangmengkorelasikan ilmu bumi, sejarah dan kewarganegaraan negara (civics).
Di samping mata pelalajarn pendidikan kemasyarakatan tersebut, ditemukan
juga kelompok keprigelan berupa mata pelajaran kooperasi dan tabungan.
3. Padakurikulum 1968 terjadi perubahan pengelompokan mata pelajran sebagai
akibat perubahan orientasi pedidikan. Mka perlajran di sekolah dibedakan
menjadi kelompok-kelompok pembinaan kecakapa khusu. Mata pelarajan
pendidikan kemasyarakatan (kurikulum 1964) diubah menjadi pendidikan
kewarga negaraan. Mata pelajaran pendidikan kewargaan negara ini merupakn
korelasi dari ilmu bumi, sejarah, dan pengetahuan kewarganeraan negara.
4. Wawasan pembelajaran IPS yang menganut konsep “IPS adalah fusi mata
pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi”. Pada kurikulum 1975 terjadi
pengelompokon baru. Kurikulum sekolah berisi tiga jenis pendidikan, yaitu
pendidikan umum, pendidikan akademis, dan pendidikan keahlian khusus.
Kurikulum 1975 menge-mukakan bidang studi bernama ilmu pengetahuan sosial
(IPS) dan bidang studi pendidikan moral Pancasila (PMP). Bidang studi IPS
termasuk kelompok pendidikan akademis, dan bidang studi PMP termasuk
kelompok pendidikan umum. Bidang studi IPS sebagai bidang studi pada
pendidikan akademis masih diletakan pada konteks sistem nilai berdasarkan
filsafat Pancasila, Pancasila dan UUD 1945, dalam arti bidang studi PMP.
5. Pada tahun 1980-an kurikulum 1975 diperbaiki. Munculah bidang studi
pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) sederajat dengan PMP, dan erat
hubungan dengan IPS/Sejarah. Misi PSPB adalah menciptakan suasana belajar
ber-CBSA seingga domain kognitif dan efektif tercapai. Usaha-usaha perbaikan
tersebut akhirnya terwujud pada kurikulum 1975 yang disempurnakan atau
kurikulum 1984. Kurikulum 1975 yang disempurnakan berusaha memperbaiki
kelemahan-kelemahan kurikulum 1975. Kemudian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan melakukan perbaikan kurikulum pada tahun 1994 yang lebih
dikenal dengan “kurikulum 1994”, dimana di dalamnya terjadi perubahan nama
mata pelajaran, seperti PMP dan KN menjadi PPKN.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka jika dibuat perbandingan pembelajaran IPS
di Indonesia dengan yang ada di Amerika, dapat dijabarkan sebagai berikut:
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
1. Pembelajaran IPS di Amerika Serikat berpangkal dari mata pelajaran
sejarah, geografi dan good behavior (tahun 1779) yang berorientasi
kepentingan nasional Amerika Serikat, bukan berorientasi pada Inggris, Jerman,
Perancis dan lain sebagainya. Orientasi kepentingan Amerika Serikat tersebut
secara tegas memebedakan kewargaan negara, artinya warga negara Amerika
Serikat berbeda kepentingan dengan warga negara Inggris walaupun ia
keturunan Inggris. Pembelajaran IPS di Indonesia berpangkal dari mata
pebelajarn sejarah, geografi, dan pendidikan budi pekerti berorientasi
Indonesia tersebut tercetus pada kongres pendidikan nasional tahun 1945.
Keputusan kongres pendidikan nasional tahun 1945. Keputusan kongres
pendidikan nasional 1955 tentang isi pendidikan kebudyaan nasional Indonesia,
agama, sejarah Indonesia, geografi Indonesia, bahasa Indonesia, dan pekerjaan
tangan. Apabila Amerika Serikat menentukan orientasi IPS pada tahun-tahun
awal kemerdekaan, maka Indonesia menentukan orientasi IPS pada tahun-
tahun pertama kemerdekaan.
2. Pembelajaran IPS di Amerika Serikat berkembang pada perione kematangan
dan sintesis ilmu-ilmu sosial yang berkedudukan lemah di Indonesia. Penelitian
tentang masyarakat Indonesia baru dilakukan secara baik sesudah tahun 1965-
an. Sebagai ilustrasi buku Sejarah Indonesia baru tersusun tahun 1977.
Walaupun pentingnya pembelajaran sejarah berorientasi Indonesia telah muncul
sebelumnya.
3. Selama tujuh puluh-delapan tahunan (sejak lahirnya IPS tahun 1916) di
Amerika Serikat telah berkembang empat jenis IPS, yaitu IPS gaya lama, IPS
progresivisme, social science education, dan IPS gaya baru. Selama empat
puluh tahun pasca kemerdekaan, maka sekolah-sekolah di Indonesia baru
melaksanakan jenis IPS gaya lama dan IPS progresivisme. Pembelajaran IPS
ber CBSA dengan pendekatan inkuiri atau humanistis baru.
4. Mata pelajaran yang tergabung dalam IPS di Amerika Serikat dan Indonesi
berbeda. Mata pelajaran IPS yang tergabung dalam IPS di Amerika Serikat
adalah sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, antropologi, sosiologi dan
psikologi sosial. Sedangakan mata-mata pelajaran Ilmu Sosial (IS) yag
tergabung dalam IPS di Indonesia adalah sejarah, geografi, dan ekonomi di
tingkat sekolah dasar. di sekolah lanjutan ditambah dengan antropologi dan
sosiologi. Mata pelajaran civics (bagian dari ilmu politik atau ilmu hukum)
diangkat menjadi pendidikan moral Pancasila (PMP), sebab civics tersebut
terjalin dengan filsafat dan ideologi Pancasila. Dengan kata lain pembelajaran
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
IPS di Indonesia adalah social studies dan filsafat pancasila. Pemilihan IPS
sebagai bidang studi akademis, dan PMP sebagai pendidikan umum yang
menekankan domain afektif menimbulkan dilemma praktek pendidikan.
5. Pembelajaran IS dan IPS di Amerika Serikat telah lama diteliti oleh ahli-ahli
pendidikan sejalan dengan perkembangan penilitan ilmu-ilmu sosial. penelitian
pegajaran berbagai ilmu di Amerika Serikat semakin intensif sejak perang dunia
kedua. Sedangkan penelitian IS dan penelitian IS di Indonesia baru dan dalam
tahap permulaan. Oleh karena itu pembelajaran IS dan IPS di Indonesia
bvanyak memperoleh bantuan dari hasil penelitian IS dan pembelajaran IPS dari
Amerika Serikat dan negara maju.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial atau pembelajaran IPS di Indonesia berada
pada konteks posisi ilmu-ilmu sosial yang lemah. Di satu fihak, pembelajaran
ilmu-ilmu sosial bermaksud mengerjakan pengetahuan ilmiah tentang
masyarakat Indonesia agar pebelajar dapat hidup di masyarakatnya, di lain fihak
bahan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia hasil penelitian-belum
tersusun.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial juga berusaha mengajarkan berfikir
keilmuan modern tersebut terhambat dengan latar belakang berfikir pra-ilmu
tentang masyarakat atau pula berfikir berdasarkan wawasan-wawasan non-ilmu
sosial berada dalam dilemma pembelajaran berfikir keilmuan tentang
masyarakat. Ilmuwan sosial dan ahli pendidikan di Indonesia ditantang untuk
mampu mengatasi dilemma tersebut.
F. Daftar Pustaka
Dickinson, Robert E. (1969). The makers of modern geography. New York:
Frederick A. Praeger Publisher.
Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.
Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.
Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and Son.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru Membangun
Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran Bandung.
Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Graffiti,
Press
Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.
Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,
Competent, and Concerned Citizen. Boston, Toronto: Litle, Brown and
Company.
Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore: Reinehart
Publisher.
Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan Proyeksi
PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan
Bandung.
Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring. New
York: Collier McMillan Publisher.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wahab, Azis. (1999). Otonomi Pendidikan: Pokok-pokok Pikiran Pengelolaan Sistem
Pendidikan Nasional (makalah). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas
Pendidikan Bandung.
Rabu, 06 April 2011
Deskripsi Materi Pembelajaran PIS
Deskripsi Materi Pembelajaran
Dilihat dari sejarah perkembangannya, ilmu-ilmu sosial memiliki
karakteristik yang sangat unik. Setiap cabang ilmu sosial berkembang dan
mendapat legitimasi kalangan ilmuwan dengan cara-cara dan latar yang sangat
beragam. Ilmu-ilmu sosial yang terdiri dari cabang ilmu sosial otonom seperti
sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, sosiologi dan antropologi tidak tumbuh
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
secara simultan. Adanya masalah yang menantang masyarakat, adanya rasa
aman, adanya kebebasan berfikir dalam masyarakat, adanya individu berbakat
yagn berdedikasi memecahkan masalah, adanya fasilitas dan dana yang
tersedia untuk memecahkan masalah, secara berjalinan merupakan faktor
pendorong tumbuhnya cabang-cabang ilmu tersebut (there’re a lot of strong
factors to be developed social science growth).
Cabang-cabang ilmu sosial tersebut tidak tumbuh di dalam suatu negara.
Cabang-cabang ilmu sosial tersebut tumbuh di berbagai negara Eropa, tetapi
karena tokoh peletak dasar ilmu otonom (founding of subject matter) tersebut
diakui oleh masyarakat internasional. Secara ringkas perkembangan cabang-
cabang ilmu sosial tersebut sebagai berikut:
1. Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan
Secara historis perkembangan konsep keilmuan sejarah berjalan secara
lambat, walaupun orang telah menggunakan istilah-istilah history (Inggris),
Geschicte (Jerman), geschidenis (Belanda), dan ada yang lain. menurut Wlash
(1990) terdapat dua disiplin yang memikirkan atau menjadikan peristiwa masa
lampau sebagai ladang kajiannya, yaitu filsafat sejarah dan ilmu sejarah. Filsafat
sejarah memusatkan perhatian pada tindakan manusia dan objek tindakan
tersebut secara spekulatif.
Ilmu sejarah memusatkan perhatiannya pada pengalaman-pengalaman
dan tindakan mannusia dalam fitrahnya sebagai mahluk sosial. Perolehan
pengalaman dan tindakan manusia tersebut menjadi penuturan yang berasal
dari:
1. olahan metodis sehingga pengalaman dan tindakan manusia pada masa
lampau tersebut tersusun secara sistematis,
2. paparan cerita tersebut tersusun menjadi suatu bangunan kebenaran umum
(community trush),
3. pengetahuan tersebut memungkinkan terjadinya suatu prediksi yang berhasil
dan berfungsi untuk mengontrol kejadian-kejadian pada masa yang akan datang
sebagai suatu kontrol pada batas-batas tertentu (limited controls),
4. pengetahuan tentang pengalaman manusia pada masa lampau tersebut
adalah objektif (objectively experinces).
Paparan tentang pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau
menyangkut pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau yang
bersifat ilmiah, artinya memenuhi persyaratan ilmu pengetahuan. Sejarah yang
ditulis berdasarkan role of games penelitian keilmuan tersebut adalah benar-
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
benar memposisikan dan diposisikan sebagai satu cabang ilmu pnegetahuan.
Penegasan bahwa sejarah benar-benar merupakan suatu ilmu pengetahuan
dikemukakan oleh Bury dalam pidato ilmiah berjudul “The Science of History”
pada tahun 1903 di London.
Peletak dasar filsafat sejarah yang terkenal adalah Vico (1668-1744). Ia
merumuskan metode penelitian kesejarahan yang menggantungkan analisisnya
pada evidensi empiris, dan mengalisis pengertian serta sebab-akibat dari ragam
peristiwa, sehingga orang mampu menyusun pengetahuan historis secara
sesuai dengan dalil-dalil ilmiah. Bagi Vico, sejarah adalah kesadaran
kemanusiaan atau awareness of human being tentang apa yang telah dilakukan
oleh manusia. Dengan kata lain, Vico menyusun suatu filsafat sejarah yang
lengkap, dan memulai analisis evidensi empiris secara pragmatis. Analisis
filosofis historis Vico ini terkenal dan bahkan masih berpengaruh sampai abad
sembilan belas, suatu abad yang sibuk dengan formulasi metode-metode ilmu
pengetahuan. Demikianlah sejarah sebagai suatu penuturan carita pengalaman
dan tindakan manusia pada masa lampau baru menjadi ilmu pengetahuan
otonom pada awal abad dua puluh.
2. Geografi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Geography as a science pada dasarnya telah terjadi dan diakui oleh
kalangan ilmuwan semenjak jaman keemasan mashab utopianis. Geografi
sebagai pengetahuan telah berusia lebih dari dua ribu tahun. Peletak dasar
geografi adalah Eratosthenes (abad 3 sebelum Masehi) di Alexandria. Ia
melakukan penulisan tentang dimensi-dimensi bumi, dan mengemukakan istilah
Yunani “gheographe” yang secara harfiah berarti penulisan atau diskripsi
tentang bumi.
Ptoloemus dan Strabo melanjutkan karya Eratosthenes dengan perhatian
utama studi tentang lokasi dan hubuangan tempat-tempat di muka bumi secara
keseluruhan. Geografi berkenaan dengan tempat secara integral, dan topografi
berkenaan dengan tempat sebagai satuan, atau kelompok satuan, istilah ini ada
hubungannya dengan kata Yunani ge, chora, dan topos, yang berarti muka
bumi, distrik, dan tempat. Konsep Ptolomeus dan Strabo tersebut cukup
progresive, yang pada abad tujuh belas dikemukakan kembali oleh Kant.
Selama hampir lima belas abad studi geografi di Eropa terhitung lambat
kemajuannya. Baru pada abad ke-18 hingga 19 muncul ahli yang bernama
Alexander Von Humboldt (1769-1859) di Jerman dan Carl Ritter (1779-1859) di
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Quenlingburg yang melakukan studi geografis secara modern. Kedua orang ahli
tersebut diakui oleh dunia internasional sebagai peletak dasar geografi modern.
Beberapa karya Humoldt yang menonjol antara lain berupa:
1. prosedur ilmiah adalah empiris dan induktif. Ia membedakan pengetahuan
tentang alam menjadi tiga kelompok. Pertama, gejala alam yang secara
taxonomis dapat diklasifikasikan sesuai dengan ciri-ciri bentuk isinya, yaitu
phisiograpi. Kedua, ada pengetahuan sejarah tentang bumi atau geografi pisik.
Perhatian utama studi ini adalah pengelempokkan gejala di muka bumi di dalam
persebaran ruang, hubungan dan saling ketergantungan ruang.
2. Humboldt memandang manusia sebagai bagian alam yang ikut membangun.
Manusia adalah bagian alam yagn menciptakan ruang hidupnya sendiri.
3. Humboldt menggunakan konsep kesatuan alam, dimana manusia menjadi
bagian integral alam, dan melakukan keseimbangan alam.
Karya Ritter sebagai peletak dasar geografi modern yang menonjol antara lain
adalah:
1. Ritter memandang geografi sebagai ilmu pengetahuan empiris,
2. Ritter memandang pengaturan ruang dan penghuninya dalam hubungan
mutualis, saling tergantung sesamanya. Dalam hai ini geografi dan sejarah
bersifat selalu sejalan. Bumi berpengaruh atas manusia, dan manusia atas bumi.
Inilah kunci pendekatan Ritter.
3. Geograpi merupakan studi tentang ikatan alamiah penghuni,
4. Geograpi mempebelajari objek dimuka bumi seperti kehidupan mereka saling
terikat dalam satu wilayah.
5. Ritter menekankan pandangan holistik sebagai tujuan geografi dengan pusat
perhatian dan puncaknya pada manusia,
6. Ritter memandang unit geografis tidak sebagai kerangka ilmiah, tetapi
merupakan suatu yang terkandung dalam alam, dan
7. Pandangan Ritter berorientasi teleologis, dalam arti penelitian ke ruang tentang
bumi pada dasarnya untuk membuat kehidupan manusia menjadi lestari.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa jana Ritter di bidang ilmu
pengetahuan adalah konsep tentang kewilayahan yang menghunungkan
berbagai fenomena di seluruh muka bumi. Ia tidak membedakan georapi khusu
dengan geografi umum. Setelah Humboldt dan Ritter meletakan konsep-konsep
dan metodologi geografi modern, maka geografi berkembang pesat di Jerman
dan Prancis, bahkan berpengaruh di dunia internasional. Ikatan profesi geografi
dibentuk di Paris tahun 1821, di Jerman 1828, di London tahun 1830, di Rusia
tahun 1845, di New York tahun 1852. Kongres internasional geografi
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
diselenggarakan pertama kali di Belgium tahun 1871, dan yang terakhir (ke 20)
di selenggarakan di New Delhi tahun 1968. Demikianlah geografi telah menjadi
ilmu pengetahuan empiris yang modern dan otonom sejak abad ke-18 hingga
abad 19.
3. Ekonomi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Upaya memenuhi kebutuhan hidup dan menjadikan hidup berlangsung
secara normal melalui pencarian nafkah adalah sesuatu yang common sense.
Kegiatan mencari nafkah sebagai sistem mata pencaharian hidup telah terjadi
bersamaan dengan terbentuknya masyarakat manusia. Oleh karena itu adalah
tidak mungkin untuk memahami kehidupan dan perkembangan masyarakat
tanpa memahami kegiatan ekonominya. Sebab menurut Alan Day (1989), sistem
perekonomian adalah: .......... only part of the whoe social sytem..........In fact,
understanding of the working of the economic system is a necessary part of the
equipment of anyone who wishes a serious interest in political and social affairs.
Walaupun secara wajar kegiatan perekonomian talah terjadi sejak terbentuknya
masyarakat, tetapi pada umunya seara konvensional pencarian jejak timbulnya
perekonomian modern mengarah pada karya tulis abad 17 dan 18 di Inggris dan
Perancis.
Pada abad 17 dan 18 masyarakat Inggris dan Perancis sedang tumbuh
menjadi masyarakat industri kapitalis modern. Pada masyarakat kapitalis
terdapat beberapa perubahan yang menyolok bila dibandingkan dengan
masyarakat tradisional. Hal ini menunjukkan adanya perubahan menyolok bila
dibandingkan dengan masyarakat tradisional yang secara ekonomis masih
berorientasi pada sistem yang sederhana. Adapun beberapa ciri dari perubahan
itu adalah:
1. dalam sistem kapitalisme pengadaan produksi berorientasi pada laba,
2. produksi barang berorientasi pada pasar dan iklan, tidak berdasarkan
pesanan,
3. perekonomian berdasarkan pada persaingan bebas, dan “dumping”,
4. produksi dalam kapitalisme bersifat massal. Etik kerja kapitalisme adalah
pemanfaatan kapital sebagai milik yang berguna untuk memperbanyak milik.
Dengan kapitalisme ini lahirlah manusia “baru”, yang di Inggris disebut sebagai
“captain of industry”.
Masyarakat kapitalis yang semula tampak seara jelas di kota-kota
Perancis utara, Inggris, Jerman Selatan, Belanda, Belgi dan Italia Utara,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
kemudian menyebar keseluruh Eropa, jajahan-jajahan Eropa, Amerika, Afrika
dan Asia.
Masyarakat kapitalis melahirkan manusia-manusia yang berani mengadu
untung, dapat mengambil keputusan cepat, tepat dalam keadaan darurat,
berorientasi pada keuntungan dan kekayaan. Dalam tahap pertumbuhan
masyarakat kapitalis tersebut pengetahuan ekonomi pra-kapitalis ditinggalkan
dan timbullah ilmu ekonomi modern. Adalapun petak dasar ekonomi modern ini
adalah Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus (1766-1836). David
Ricardo (1771-1823), dan John Stuart Mill (1806-1873). Ilmu ekonomi kemudian
tumbuh dan berkembang pesat, terdiri dari beberapa mazhab, dan melakukan
analisis secara makro dan mikro pada kegiatan ekonomi dunia.
4. Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan
Praktek politik telah dilakukan sejak abad kelima sebelum Masehi.
Pertumbuhan pengetahuan politik menjadi ilmu politik yang modern berjalan
sangat lamban. Kesangsian tentang sifat keilmuan ilmu politik berkenaan
dengan kelemahan pada segi-segi objek penelitian, praktek politik irasional,
istilah yang tidak baku dan sistem ilmiah yang unstructure. Kelemahan-
kelemahan tersebut sukar dipecahkan, terbukti selama dua ribu tahun lebih baru
mulai terselesaikan.
Pengaruh mashab renaissance juga melanda pemikiran pada kegiatan
politik. Jean Bodin (1530-1596) untuk pertama kali menggunakan istilah science
politique dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1576, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa yang lain. (buku J.Bodin
berjudul Method for The Easy Comprehension of History merupakan terjemahan
B. Reynolds, New York, 1945). Istilah tersebut kemudian di gunakan oleh ahli-
ahli lain, tetapi tentu saja terjadi pengembangan konsep tentang istilah tersebut.
Perbedaan pendapat tentang otonomi ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan
berlangsung selama empat ratus tahun. Berkaitan dengan eksistensi ilmu politik
sebagai ilmu yang otonom pada abad 19 terjadi beberapa peristiwa penting.
Pada tahun 1858 di Columbia College di Amerika Serikat, Francis Liber
(kelahiran Jerman) diangkat menjadi pembelajar besar dalam sejarah dan ilmu
politik. Peristiwa ini merupakan pengetahuan yang otonom. Pada tahun 1870 di
Paris didirikan Ecole Libre des Sciences Politique, yang kemudian disusul
dengan didirikannya School of Economics and Political Sciense di London pada
tahun 1895. Peristiwa-peristiwa tesebut menunjukkan bahwa ilmu politik
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dianggap sebagai suatu ilmu otonom dan patut mendapat tempat di dalam
kurikulum perpembelajaran tinggi.
Pada awal perumbahan sebagai ilmu yang otonom, pengaruh filsafat,
sejarah, ilmu hukum, pada ilmu politik sangat besar. Secara terprogram ahli-ahli
ilmu politik berusaha memperbaiki otonomi ilmu politik. Setelah perang dunia
kedua perkembangan ilmu politik menjadi suatu disiplin yang otonom makin
pesat. Pada tahun 1948 UNESCO menyelenggarakan survay mengenai
kedudukan ilmu politik di 30 negara di dunia. Hasil survey dilaporkan menjadi
buku berjudul Contemporary Political Science (1984).
Kemudian pada tahun 1952 UNESCO berkerjasama dengan International
Politikal Science Assosiation (IPSA) mengadakan penelitian di 10 negara. Hasil
penelitian dilaporkan dan dibahas di konverensi internasional, dan penelitian
tersebut melahirkan buku berjudul The University Teaching of Social Science:
Political Science yang diterbitkan tahun 1952. Kedua penelitian tersebut
merupakan usaha dalam skala internasional untuk membina pengembangan
ilmu politik, mempertemukan pandangan yang berbeda-beda di bidang ilmu
politik, dalam rangka menegakkan ilmu politik sebagai ilmu yang otonom.
5. Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Secara empris masyarakat manusia telah berumur sekitar 200.000
sampai 80.000 tahun terhitung sejak adanya makhluk yang bernama homo
sapiens. Meskipun demikian pengetahuan tentang masyarakat secara ilmiah
baru berumur sekitar seratus tahunan lebih. Pada awalnya pengetahuan tentang
masyarakat merupakan ladang kajian dari filsafat.
Pemikiran-pemikiran tentang masyarakat telah lama dilakukan oleh
berbagai aliran filsafat, baik filsafat barat atau filsafar timur. Filsafat sosial
menggambarkan masyarakat atau negara yang umumnya secara normatif.
Perilaku manusia paling sulit untuk dipahami, sebab perilaku manusia meliputi
lahir-batin orang lain, suatu perilaku yang mempunyai ciri individual dan
sekaligus sosial. di satu fihak, manusia menghayati dirinya sebagai pusat
kegiatan yang tidak ada kembar-rangkapnya, dilain fihak individu berpikir dan
bertindak dengan pangkal, suatu pola kemasyarakatan menghasilkan adanya
rasa tertib (harmonisasi). Adanya kondisi yang tertib tersebut seringkali dijadikan
orientasi tindakan, dan dijadikan pola dasar tindakan yang sama. Adanya
ketertiban tersebut bersumber dari sistem nilai tertentu, yang kemudian
diutamakan, dimana dampaknya orang lupa bahwa perilaku sosial tersebut
adalah untuk sebagian ciptaan si aktor sendiri.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
Berbagai aliran filsafat sosial normatif tersebut mengutamakan ketertiban
sosial, adanya “orde sosial” yang harus diterima, dihormati, ditaati secara ikhlas
dan sabar oleh individu. Agama teologi, atau sistem nilailah yang dipandang
memadai dan satu-satunya kriterium bagi perilaku sosial. Sejak jaman
renaisance berkembang cara berfikir yang memfokuskan kajian tentang
masyarakat. Suatu revolusi mental berlangsung dimana peranan manusia
sebagai individu dalam mengubah muka bumi dan mengatur masyarakatnya
makin disadari baik secara individual maupun komunal.
Berbagai peristiwa sosial, dimana suatu perilaku menimbulkan
perubahan-perubahan masyarakat secara progresif. Gagasan-gagasan baru
yang berpangkal pada kebebasan manusia untuk mengatur masyarkat dan
dunia menimbulkan berbagai dampak sosial. Gagasan-gagasan tersebut
berbeda dengan gagasan tetang adanya tertib sosial yang dominan. Struktur
sosial yang selama berabad-abad tidak dipersoalkan, dijadikan masalah,
dipelajari dan distrukturisasi secara ilmiah. Kehidupan masyarakat, perilaku
sosial, perilaku individu, tata nilai yang mendasari hidup manusia dijadikan
bahan telaahan dan diteliti menurut pola-pola scientific. Upaya dan tendensi ini
melahirkan kelompok ilmuwan sosial yang mempebelajari masyarakat dan
kebudayaan manusia yang dimulai pada abad 19.
Menurut Robert Beirstedt, psikologi dan sosiologi memisahkan dasar
sosiologi sebagai ilmu yang otonom pada abad 19. Founding Father sosiologi
sebagai ilmu yang otonom adalah August Comte (1798-1857) di Perancis,
Hebert Spencer (1820-1903) di Inggris, dan Lester Ward di Amerika Serikat.
Comte mengemukakan istilah sociology untuk pertama kali pada tahun 1839.
Dalam buku Positive Philosophy (terbit tahun 1842) Comte berpendapat bahwa
sudah saatnya penelitian tentang fenomena sosial dan masalah sosial
memasuki tahap dimana penelitian tentang masyarakat akan menjadi the
science of society.
Menurut Comte, sosiologi adalah “the grand overall social science and ....
the end result of the scientific movement”. Comte berpendapat bahwa
kemampuan akal budi manusia untuk mengenal gejala dunia adalah terbatas.
Mereka harus membatasi usahanya mencari pengetahuan yang ilmiah dengan
mengolah data inderawi yang objektif dan nyata. Apa yang dapat dilakukan oleh
manusia adalah (i) menerima dan membenarkan gejala empiris sebagai
kenyataan, (ii) mengumpulkan dan menggolong-golongkan gejala itu menurut
hukum yang menguasai mereka, dan (iii) meramalkan kejadian-kejadian yang
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
akan datang berdasarkan hukum-hukum itu, dan mengambil tindakan yang
dirasa perlu atau berfaedah.
Comte memandang masyarakat secara holistis. Masyarakat adalah suatu
kesatuan yang dalam bentuk dan arahannya tidak bergantung pada inisiatif
bebas anggotanya, tetapi pada proses spontan-otomatis dimana berkembang
akal budi manusia tentang masyarakatnya itu sendiri. Akal dan cara berfikir
manusia berkembang dengan sedirinya. Proses perkembangan itu berlangsung
tahap demi tahap dan merupakan proses alam yang tak terelakan dan tak
terhentikan.
Menurut Comte proses tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tahap,
yaitu tahap religius, tahap metafisik, dan tahap positif. Dalam tahap positif inilah
agama harus menyerahkan hegemoninya atas wilayah akal-budi kepada ilmu
pengetahuan empiris. Apabila dalam tahap religius katedral, Pura, Masjid dan
Kuil menjadi jantung kehidupan bersama, dan agama menjiwai dan
melembagakan seluruh masyarakat, maka pada tahap positif univesitas, bank
dan kawasan industri menjadi urat nadi masyarakat. Pada tahap ini pemikiran
spekulatif diganti dengan pemikiran rasionalitas keilmuan, dan pengetahuan
tersebut adalah sosiologi.
6. Antropologi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Abad ke 15 dan awal abad ke 16 merupakan titik balik dimana orang-
orang Eropa sangat tertarik pada suku-suku bangsa pribumi di benua Afrika,
Asia dan Amerika. Pertemuan atara orang Eropa dan non-Eropa tersebut
menimbulkan catatan-catatan (scientific memories). Catatan-catatan tersebut
disusun oleh para musafir, pedagang, pendeta, pelaut, pegawai perusahaan,
pegawai pemerintah, atau oleh bukan ilmuwan.
Catatan perjalanan, peristiwa hidup dalam masyarakat, laporan keadaan
tentang pribumi dan keadaan alam tersebut dihimpun dan dijadikan laporan.
Kemudian secara lambat laun orang melakukan pembahasan tantang catatan
dan laporan keadaan tanah, penduduk, dan perilaku pribumi secara sistematis.
Dari catatan-catatan tersebut lahirlah etnografi, sebagai bagian tertua dari
antropologi.
Sebenarnya yang membuat catatan etnografis tersebut adalah orang
barat dan timur, tetapi pada umunya orang-orang Eropalah yang membuat
pengerjaan bahan-bahan secara metodis dan sistematis. Joseph Francis Lafitau
(1680-1740) misalnya adalah seorang padri dan ahli etnografi yang pertam-tama
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
menjadi ahli etnologi dengan karya berjudul “Moeurs des souvagies americanins
coparees auc moerus des premiers temps”.
Lafitau sebagai padri dan ahli bahasa klasik tertarik untuk
membandingkan persamaan dan kebiasaan, tata susila pada orang-orang Indian
dengan adat istiadat bangs-bangsa kuno di Eropa. Menurut Lafitau oerang-
orang primitif tersebut bukanlah orang yang aneh. Menurut Birket Smith
seorang ahli etnologi yang dapat digolongkan ahli etnologi modern adalah Jane
Kreft, seorang pembelajar besar pada akademi di Soro, menulis buku “sejarah
pendek tentang lembaga-lembaga penting, adat dan pandangan orang liar” pada
tahun 1760. Ia menulis tentang dua suku Indian, yaitu suku Lule dan Caingua di
Amerika Selatan. Jane Kreft adalah seorang ahli menulis etnologi umum yang
memperhatikan pertumbuhan ekonomi, masyarakat, agama dan kesenian pada
dua suku tersebut. Buku Jene Keft tersebut diterjemahkan dalam bahasa
Jerman dengan judul “Die Sitten der Wilden” pada tahun 1766.
Sejalan dengan eksplorasi, perdaganan, dan pengembaraan orang-orang
Eropa di masyarakat non-Eropa, maka terdapat gejala penting dalam
perumbuhan antropologi. Orang Eropa membuat lembaga-lembaga etnologi dan
museum-museum untuk mempebelajari secara komparatif mengenai
kebudayaan. Pada tahun 1841 di Kopenhagen misalnya, G.J Thomson
mendirikan museum etnografi. Pada tahun 1850 di Hamburg didirikan museum
etnologi.
Pada tahun 1866 di Harvad didirikan The Peabody museum of
Archeology and Ethnology. Pada tahun 1842 di New York didirikan American
Ethnological Society. Pada tahun 1843 di Inggris didirikan Ethnological society of
London. Demikianlah pembuatan museum-museum tersebut meluas di berbagai
negara Eropa, sebagai pertanda meningkatnya studi di bidang antropologi, yang
merupakan legitimasi terhadap antropologi sebagai ilmu yang otonom.
Koentjaraningrat berpendapat, bahwa pertumbuhan antropologi sebagai
ilmu pengetahuan dapat dikelompokan menjadi empat tahap, yaitu ;
1. Fase I, sebelum 1800, kalangan ilmiah menaruh perhatian pada pengetahuan
tentang masyarakat dan suku-bangsa non-Eropa untuk diintegrasikan menjadi
pengetahuan etnografis yang menyeluruh,
2. Fase II, pertengahan abad 19, usaha penyusunan pengetahuan ilmiah dengan
tujuan mempebelajari sejarah evolusi dan persebaran kebudayaandi dunia,
3. Fase III, awal abad 20 usaha penyusunan pengetahuan ilmiah untuk keperluan
tujuan praktis. Orang Eropa mempebelajari masyarakat luar-Eropa untuk
kepentingan pemerintah kolonial, dan
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
4. Fase IV, sesudah tahun 1930, antropologi telah mencapai perkembangan
sebagai ilmu pengetahuan otonom.
Perkembangan yang pesat tersebut didorong oleh banyaknya
pengetahuan terinci dan majunya metode penelitian antropologis, yang
bersamaan dengan perubahan dunia berupa:
1. timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesuadah perang dunia kedua,
2. cepat hilangnya bangsayang dianggap primitip tahun 1930-an berkat
persebaran peradaban dan kebudayaan dunia. Adapun tujuan antropologi ada
dua macam yaitu
a. tujuan akademis adalah mencapai pengertian tentang aneka warna manusia,
masyarakat, dan kebudayaan di dunia, dan
b. tujuan praktis adalah mempebelajari masyarakat pedesaan dalam rangka
memajukan penduduk pedesaan.
Adapun peletak dasar antropologi yang otonom antara lain adalah Lewis
Henry Morgan (1818-1881) dan Edward Burnett Tylor (1832-1917). Kedua orang
ahli ini tergolong pada aliran evosionisme klasik. Asumsi-asumsi aliran
evolusionis yang terkenal adalah:
1. bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bekerja sesuai dengan hukum
alam,
2. bahwa hukum alam mengusai perkembangan dan tidak mengalami
perubahan sepanjang zaman,
3. bahwa secara alamiah kemajuan bergerak secara progresif, dari yang
sederhana menuju ke arah yang lebih komplek dan dari yang tidak
terorganisasikan menuju ke arah yang lebih terorganisasi dan secara
lengkap, dan
4. manusia diseluruh dunia mempunyai potensi yang sama, tetapi
perkembagnan kualitatif tentang pengalaman dan intelegensinya berbeda.
Manusia di seluruh dunia mempunyai kesatuan psykhis. Perbedaan
manusia disebabkan oleh pengembangan intensif pada potensi mental dan
intelegensi secara gradual berbeda-beda. Aliran evolusionisme ini memiliki
kelemahan-kelemahan, meskipun demikian jasanya juga diakui oleh aliran-aliran
lain.
Diantara jasa aliran evolusionis yang penting adalah (a) ahli-ahli
antropologi evolusionis berhasil membuat konsep kebudayaan sebagai konsep
ilmiah yang tersusun secara sistematis, (b) ahli-ahli ini menyadarkan para
ilmuwan bahwa aspek-aspek kebudayaan dapat diteliti secara terpisah-pisah,
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
dan (c) bahwa kebudayaan itu mengalami perubahan-perubahan, dan
perkembangannya bersifat berkesinam-bungan, dan untuk memahaminya perlu
menggunakan pendekatan yang realistis. Sebagai antropolog, maka karya E.B.
Taylor yang terkenal adalah Primitive Culture: Researches into the development
of mythodology, phylosophy, religion, languae, art and custom (1877), disamping
buku-buku penting seperti Langue of the ho-de-no Sau-nie or Ifoquois (1851),
suatu tulisan ilmiah suku bangsa Indian yang pertama.
Masyarakat Eropa abad XVI-XVII merupakan masyarakat yang sedang
tumbuh menjadi masyarakat industri, suatu masyarakat yang menyimpang dari
perkembagan pola umum. Secara pengetahuan terjadilah perubahan minat dari
metafisika ke minat pada ilmu alam dan mekanika. Fracis Bascon (1561-1626)
seorang negarawan Inggris dan pelopor filsarat empirisme memperkenalkan
metode keilmuan empiris.
Pendekatan empiris induktip ini merangsang minat orang pada
perdagangan, produksi, dan mesin-mesing. Orang mulai menyadari akan
keuntungan ilmu pengetahuan dipandang dari segi perdagangan. Orientasi
kemasyarakatan berubah, dan lahirnya kesadaran baru tersebut dirumuskan
oleh Francis Bacon sebgai “pengetahuan adalah kekuasaan”. Perdagangan,
produksi, mesin-mesin, merupakan faktor-faktor pengembang masyarakat.
Masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat industri yang membutuhkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat ilmiah seperti Royal Society di
Inggris (1661), Academic de Sciences di Paris (1663), Accademia dei Lincei di
Roma (1603), Himpunan penggemar taman Tmbuh-tumbuhan di Liden (1580)
dibentuk, sebagai suatu wujud minat orang-orang terpebelajar dan orang kaya
pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang di universitas dan diluar
universitas.
Masyarakat mendorong tumbuhnya berbagai cabang ilmu pengetahuan,
dan pada kesempatan tersebut lahirlah cabang-cabang ilmu sosial yang tumbuh
menjadi ilmu yang otonom dan modern. Sebagai ilmu yang modern, menurut
Edwin R.A. Seligman, ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. ilmu sosial murni yang terdiri dari ilmu politik, ekonomi, sejarah, ilmu
hukum sosiologi dan antropologi,
2. semi-ilmu sosial yang terdiri dari filsafat, etika, ilmu pendidikan, psikologi,
dan
3. ilmu-ilmu yang mempunyai implikasi sosial, baik yang berasal dari ilmu
kealaman ataupun kebudayaan, seperti geografi, biologi, ilmu kedokteran,
linguistik dan kesenian.
KHAIRUL IKSAN_STIT AL-KHAIROT PAMEKASAN
F. Daftar Pustaka
Arbhunn, Quen. (1999). A New Paradigm in Social Studies. New York, Australia,
Singapore, and New Delhi: McMillan, Co.
Dickinson, Robert E. (1969). The makers of modern geography. New York:
Frederick A. Praeger Publisher.
Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral
Sistem Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PLPTK Dirjen Dikti.
Feldman, Martin. (1977). The Social Studies. New York: Prentice Hall, Inc.
Gross, R.E. (1978). Social Studies for Our Times. New York: John Wiley and
Son.
Hikam, A.S. (1998). Masyarakat Madani Indonesia: Perspektif Baru
Membangun Indonesia Baru (makalah). Bandung: Universitas Pajajaran
Bandung.
Koentjaraningrat. (1984). Antropologi dan Kebudayaan Nasional. Jakarta:
Graffiti, Press
Latifau, M.H. (1989). Historistical of social studies. Boston: Reinehart, Publisher.
Martorella, Peter H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective,
Competent,and Concerned Citizen.Boston, Toronto:Litle, Brown and
Company.
Rogers, Calvin. (1998). Speeder: Short Planning Programs. Singapore:
Reinehart Publisher.
Sumantri, Endang. (1999). Kualitas Pendidikan IPS: Kualitas, Kendala, dan
Proyeksi PIPS di Masa Datang. Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Pendidikan Bandung.
Schunke, G. M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, and Caring.
New York: Collier McMillan Publisher.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wahab, Azis. (1999). Otonomi Pendidikan: Pokok-pokok Pikiran Pengelolaan
Sistem Pendidikan Nasional (makalah). Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Pendidikan Bandung.
Welton, David A. and John T. Mallan. (1996). Children and Their World:
Strategies for Teaching Social Studies (Fifth Edition). USA: Hougthon
Mifflin Company.