16
MODEL RESOLUSI KONFLIK LAHAN DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN PRODUKSI MODEL BANJAR ( ) Resolution Model of Land Conflicts in Banjar Production Forest Management Unit Model Marinus Kristiadi Harun & Hariyatno Dwiprabowo Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia; e-mail: [email protected] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected] iterima 1 Juli 2014, direvisi 20 Agustus 2014, disetujui 30 September 2014 Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan solusi pembenahan kelembagaan kehutanan supaya prinsip-prinsip teknis pengelolaan hutan dapat dijalankan, namun pembangunannya masih menghadapi permasalahan. Salah satu kendala yang dihadapi adanya konflik hak atas lahan ( ). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik lahan dan model institusi untuk penyelesaian (resolusi) konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan; lima desa sebagai contoh dan responden terdiri dari masyarakat lokal yang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan KPHP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan KPHP Model Banjar secara merupakan milik negara, namun terdapat desa di dalam kawasan yang belum dilakukan . Hal ini menyebabkan status yang memiliki akses tertutup secara berubah menjadi akses terbuka secara . Kondisi ini menimbulkan untuk ikut mengambil sumber daya lahan tersebut. Masalah yang timbul dalam konflik lahan di KPHP Model Banjar merupakan konflik struktural, yakni aktor yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Resolusi konflik yang ditawarkan adalah membangun upaya “mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar”, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membangun kepercayaan, 2) Mengembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), 3) Menyiapkan tim ahli, 4) Komunikasi yang efektif dan 5) Regulasi yang disepakati bersama KPH, KPHP Model Banjar, konflik lahan, resolusi konflik. 1 2 1 2 D . Kata kunci: ABSTRACT Development of Forest Management Unit is considered as solution to improve current forestry institution in Indonesia as it will pave way for implementing principles of forest management on the ground. However, its development is still facing problems, one of them is land tenurial problem. This study aims to analyze land conflict and institutional model for conflict resolution in Banjar Production Forest Management Unit Model in South Kalimantan Province. Five villages taken as samples and respondents consisted of local people and people who have influence on the model. The results showed that lands in Banjar model area by law (de jure) is state property, however, there are villages that are not yet put into enclave. This has caused state property that has closed access in reality became open access (de facto). The condition brought about opportunity set for parties for resource extraction. The land conflict is a structural conflict in which actors involved are not in the same level. Conflict resolution offered is a change from conflict to becomes equal partnership through steps: 1) Trust building, 2) Developing a forestry forum among villages, 3) Independent and competent team mediation, 4) Developing effective communication and 5) Devising regulation consensus. Forest management unit, Banjar model, land conflict, conflict resolution. land tenure de jure enclave state property de jure de facto opportunity sets Keywords: ABSTRAK 265 Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun ) et al. I. PENDAHULUAN Konflik sumber daya alam, termasuk konflik lahan semakin marak terjadi dalam dekade terakhir ini. Konflik tersebut terjadi dengan cakupan wilayah, pihak yang terlibat dan dampak yang semakin luas. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya ketimpangan distribusi lahan. Hal ini diper- kuat dengan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menunjukkan bahwa rasio distribusi lahan di Indonesia hanya sebesar 0,562. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan penguasaan- nya yang dikuasai oleh hanya 0,2% penduduk Indonesia (Hakim & Wibowo, 2013).

MODEL RESOLUSI KONFLIK LAHAN DI KESATUAN

  • Upload
    vuanh

  • View
    237

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

MODEL RESOLUSI KONFLIK LAHAN DI KESATUANPEMANGKUAN HUTAN PRODUKSI MODEL BANJAR

()

Resolution Model of Land Conflicts in Banjar Production ForestManagement Unit Model

Marinus Kristiadi Harun & Hariyatno DwiprabowoBalai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan

Selatan, Indonesia; e-mail: [email protected] Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia;

e-mail: [email protected]

iterima 1 Juli 2014, direvisi 20 Agustus 2014, disetujui 30 September 2014

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan solusi pembenahan kelembagaan kehutanansupaya prinsip-prinsip teknis pengelolaan hutan dapat dijalankan, namun pembangunannya masih menghadapipermasalahan. Salah satu kendala yang dihadapi adanya konflik hak atas lahan ( ). Penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis konflik lahan dan model institusi untuk penyelesaian (resolusi) konflik lahan di KPHP ModelBanjar, Provinsi Kalimantan Selatan; lima desa sebagai contoh dan responden terdiri dari masyarakat lokal yangmemiliki pengaruh terhadap pengelolaan KPHP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan KPHP ModelBanjar secara merupakan milik negara, namun terdapat desa di dalam kawasan yang belum dilakukan .Hal ini menyebabkan status yang memiliki akses tertutup secara berubah menjadi akses terbukasecara . Kondisi ini menimbulkan untuk ikut mengambil sumber daya lahan tersebut. Masalahyang timbul dalam konflik lahan di KPHP Model Banjar merupakan konflik struktural, yakni aktor yang terlibattidak berada pada tataran yang sama. Resolusi konflik yang ditawarkan adalah membangun upaya “mengubah konflikmenjadi kemitraan yang sejajar”, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membangun kepercayaan, 2)Mengembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), 3) Menyiapkan tim ahli, 4) Komunikasi yang efektif dan5) Regulasi yang disepakati bersama

KPH, KPHP Model Banjar, konflik lahan, resolusi konflik.

1 2

1

2

D

.

Kata kunci:

ABSTRACT

Development of Forest Management Unit is considered as solution to improve current forestry institution in Indonesia as it willpave way for implementing principles of forest management on the ground. However, its development is still facing problems, one of them island tenurial problem. This study aims to analyze land conflict and institutional model for conflict resolution in Banjar Production ForestManagement Unit Model in South Kalimantan Province. Five villages taken as samples and respondents consisted of local people andpeople who have influence on the model. The results showed that lands in Banjar model area by law (de jure) is state property, however,there are villages that are not yet put into enclave. This has caused state property that has closed access in reality became open access (defacto). The condition brought about opportunity set for parties for resource extraction. The land conflict is a structural conflict in whichactors involved are not in the same level. Conflict resolution offered is a change from conflict to becomes equal partnership through steps: 1)Trust building, 2) Developing a forestry forum among villages, 3) Independent and competent team mediation, 4) Developing effectivecommunication and 5) Devising regulation consensus.

Forest management unit, Banjar model, land conflict, conflict resolution.

land tenure

de jure enclavestate property de jure

de facto opportunity sets

Keywords:

ABSTRAK

265Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

I. PENDAHULUAN

Konflik sumber daya alam, termasuk konfliklahan semakin marak terjadi dalam dekade terakhirini. Konflik tersebut terjadi dengan cakupanwilayah, pihak yang terlibat dan dampak yangsemakin luas. Kondisi tersebut disebabkan oleh

adanya ketimpangan distribusi lahan. Hal ini diper-kuat dengan data Badan Pertanahan Nasional(BPN) yang menunjukkan bahwa rasio distribusilahan di Indonesia hanya sebesar 0,562. Kondisitersebut semakin diperparah dengan penguasaan-nya yang dikuasai oleh hanya 0,2% pendudukIndonesia (Hakim & Wibowo, 2013).

266JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

tentang karakteristik konflik lahan, model resolusidan pengembangan institusi untuk penyelesaiankonflik lahan yang mengambil contoh kasus diKPHP Model Banjar, Provinsi KalimantanSelatan

Penelitian dilakukan di lima desa, yakni: DesaAngkipih, Desa Paramasan Bawah dan desa-desa disekitar Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus(KHDTK) Riam Kiwa (Desa Lubang Baru, DesaLok Tunggul dan Desa Sungai Jati). Kelima desatersebut termasuk wilayah administrasi Kabu-paten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

Penelitian ini dibagi dalam tiga tahap penelitianseperti pada Gambar 1.

.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi

B. Rancangan Penelitian

Kehutanan sebagai salah satu sektor yang diberikewenangan oleh undang-undang untuk menguasaihamparan lahan seluas 136,94 juta hektar (65% daritotal luas wilayah Indonesia) tentu saja tidak luputdari persoalan konflik lahan. Fakta di lapanganmenunjukkan banyaknya kawasan hutan yangdiokupasi oleh masyarakat untuk dijadikan lokasipemukiman, infrastruktur, desa, lahan usaha tanidan kebun. Kondisi tersebut ditunjukkan denganadanya kasus konflik lahan di sektor kehutanan yangmencapai 72 kasus dengan luas areal mencapai 1,2juta hektar lebih (Hakim & Wibowo, 2013).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kedepan masalah sistem penguasaan lahan (

) merupakan isu yang penting dan sensitif.Wibowo (2013) menyatakan bahwaadalah isu yang paling kontemporer, penting dantidak pernah “mati”, bahkan semakin kontekstualdan menemukan posisinya dalam dinamikapembangunan saat ini. Resolusi konflik lahanmenjadi sesuatu yang perlu dipikirkan bersama.Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas

landtenure

land tenure

Gambar 1. Tahapan analisis konflik lahan dan model resolusi di KPHP Model Banjar.Figure 1. A phases analysis and model for land conflict and resolution in FMU Model Banjar.

D. Pendekatan Teoritis

Menemukenali akar permasalahan timbulnyakonflik sangat diperlukan agar dapat dilakukanmanajemen konflik. Menurut Fuad & Maskanah(2000) manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihakketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil tertentu yang mungkin atau tidakmungkin menghasilkan suatu akhir berupapenyelesaian konflik dan mungkin atau tidakmungkin menghasilkan ketenangan, hal positif,kreatif, bermufakat atau agresif. Manajemenkonflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri,kerjasama dalam memecahkan masalah (denganatau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilankeputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatanyang berorientasi pada proses manajemen konflikmenunjuk pada pola komunikasi (termasukperilaku) para pelaku dan bagaimana regulasi yangada dapat mengatur kepentingan para pihak.

Teknik pengambilan contoh untuk data primerdilakukan secara sengaja ( denganpertimbangan bahwa responden adalah masyarakatyang berada di sekitar kawasan, pelaku (individuatau lembaga) yang mempengaruhi peng-ambilankebijakan, baik langsung maupun tidak langsungdalam pengelolaan KPHP Model Banjar di ProvinsiKalimantan Selatan. Jumlah informan (responden)dalam penelitian ini sebanyak 150 orang. Peng-amatan/observasi langsung terhadap objekpenelitian di lapangan untuk mendapatkangambaran kondisi secara riil. Teknik pengambilancontoh yang digunakan untuk menganalisiskepentingan dan pengaruh , dilakukandengan teknik . Teknik DiskusiKelompok Terfokus ( =FGD) dilakukan untuk memperdalam pokokbahasan konflik lahan yang terjadi di KPHP ModelBanjar.

Prosedur penelitian seperti pada Gambar 2.

purpossive sampling)

stakeholdersnowball sampling

Focus Group Discussion

C. Prosedur Kerja

267Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

Gambar. 2 Skema tahapan penelitian.Figure 2. The scheme of study phases.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemetaan Masalah Konflik Lahan di KPHPModel Banjar

Permasalahan konflik lahan di KPHP ModelBanjar disebabkan oleh lima faktor yang terkaitdengan kinerja para pihak yang terlibat dalampengelolaan lahan di KPHP Model Banjar. Kelimafaktor tersebut, yakni: dualisme administrasi (satutapak dua kewenangan administrasi), IUPHHKtidak aktif, pemberdayaan ekonomi masyarakatterabaikan, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD),dan penegakan hukum masih lemah. Gambar 3menjelaskan permasalahan yang terjadi padakonflik lahan di KPHP Model Banjar.

Kelima faktor permasalahan konflik lahan di

KPHP Model Banjar seperti pada Gambar 3dapat dijelaskan lebih lanjut. , dualismeadministrasi (satu tapak dua kewenangan).Keberadaan desa di dalam kawasan KPHPModel Banjar yang belum di menyebabkandalam satu tapak yang sama terdapat duakewenangan, yakni pemerintahan desa (KepalaDesa/Pambakal) dan Dinas KehutananKabupaten Banjar (KPHP Model Banjar).Lahan di kawasan KPHP Model Banjar di DesaAngkipih oleh masyarakat desa dan aparat desatelah dikaveling untuk dibagikan kepada sekitar200 kepala keluarga. Pengavelingan tanah initidak diketahui dan seijin Dinas KehutananKabupaten Banjar. , IUPHHK tidak aktif.Kondisi lahan yang dikelola oleh IUPHHK dalamkawasan KPHP Model Banjar belum tergarap

Pertama

enclave

Kedua

268

Gambar 3. Peta permasalahan konflik lahan di KPHP Model Banjar.Figure 3. Problem map of land conflict in FMU Model Banjar.

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

269

karena masih belum aktif. Hal ini menyebabkanlahan menjadi terlantar dan secara .Kondisi ini menimbulkan bagiorang-orang, baik yang terdesak oleh keadaanekonomi atau orang-orang yang secara ekonomikuat tetapi ingin mendapatkan manfaat dari lahantersebut. IUPHHK tidak aktif disebabkan olehkegagalan pihak perusahaan untuk menyelesaikanmasalah sosial (tuntutan warga desa). ,pemberdayaan ekonomi masyarakat terabaikan.Lahan untuk perladangan berpindah yang makinsempit dan kondisi ekonomi yang lemahmenyebabkan warga desa mempunyai keter-gantungan yang tinggi terhadap lahan kawasanKPHP Model Banjar. Kondisi tersebut diperparahdengan minimnya sarana dan prasarana umum,seperti jalan yang masih berupa jalan tanah dengankondisi yang sangat buruk saat musim hujan.Kondisi jalan yang belum diaspal menyebabkanakses keluar-masuk desa menjadi terhambat.Hal ini berdampak pada tidak lancarnya arusbarang dan jasa yang keluar-masuk desa tersebutsehingga berdampak pada harga barang kebutuhanpokok dan barang kebutuhan sekunder lainnyamenjadi mahal. Minimnya lapangan pekerjaanyang sesuai dengan tingkat pendidikan danketerampilan warga desa menyebabkan keter-gantungan terhadap lahan dan hutan pada KPHPModel Banjar menjadi tinggi. , potensiPendapatan Asli Daerah (PAD). Kawasan hutanKPHP Model Banjar mempunyai potensi ekonomiyang besar, dengan asumsi nilai investasi sebesarRp 8.530.546.631 yang berasal dari realisasibelanja langsung dan tidak langsung APBD/APBN Dinas Kehutanan Kabupaten Banjartahun 2010, kawasan KPHP Banjar secarakeseluruhan memiliki estimasi nilai ekonomi totalsaat ini sebesar Rp 101.555.149.142 per tahunyang berasal dari HHBK sebesar Rp 32.693.600.000per tahun, penyedia air untuk kebutuhan airminum Rp 16.360.214.112 per tahun, jasakonservasi tanah dan air sebesar Rp 602.318.430per tahun, jasa penyerapan karbon Rp51.178.951.710 per tahun, jasa perlindungan banjirRp 534.387.780 dan jasa perl indungankeanekaragaman hayati sebesar Rp 185.677.110per tahun (Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar,2010). , penegakan hukum masih lemah.Aksesibilitas ke dalam kawasan KPHP ModelBanjar sangat terbuka dari semua arah, jaringanakses yang cukup masif serta adanya pemukiman

open acces de factoopportunity sets

Ketiga

Keempat

Kelima

di dalam kawasan KPHP Model Banjar me-nyebabkan kawasan ini menjadi sangat rentanterhadap berbagai aktivitas ilegal manusia berupaperambahan yang sifatnya pembukaan areal gunakepentingan budidaya, perburuan satwa, pe-nambangan liar dan penebangan kayu, baik untuktujuan komersil ataupun non komersil. Kondisitersebut tidak diimbangi dengan personil PolisiKehutanan (Polhut) dan dana pengamanan yangmemadai sehingga aktivitas ilegal tersebut terkesandibiarkan (pembiaran).

Penetapan masalah pada konflik lahandi KPHP Model Banjar ditujukan untuk lebihmemudahkan dalam mencari solusi dan strategiyang tepat dalam resolusi konfliknya. Penetapanini diperlukan agar masalah yang terjadi, terkaitkonflik lahan di KPHP Model Banjar dapatdiidentifikasi dan dipahami secara lebihkomprehensif. Gambar 4 menjelaskan haltersebut.

Gambar 4 menjelaskan bahwa nilai strategislahan merupakan faktor yang menjadikonflik lahan di KPHP Model Banjar. Konflikyang terjadi tersebut dapat dilakukan resolusikonflik dengan melakukan dua pendekatan, yaknikelembagaan dan pemberdayaan. Pendekatan ke-lembagaan dilakukan dengan memperkuat aspekkebijakan yang terkait dengan legalitas kegiatanterkait dengan pengelolaan lahan di KPHP ModelBanjar dan penegakan hukum. Selain itu,pendekatan kelembagaan juga dilakukan untukmendorong terjadinya perbaikan ekologi untukmengurangi terjadinya degradasi hutan dan lahan.Pendekatan pemberdayaan dilakukan padaaspek sosial dan ekonomi masyarakat. Pendekatantersebut dilakukan dengan partisipatif danmengedepankan kemitraan.

Berdasarkan uraian di atas maka masalah yangtimbul dalam konflik lahan di KPHP ModelBanjar merupakan masalah atau konflik struktural,yakni aktor yang terlibat tidak berada pada tataranyang sama. Konflik strukturaladalah keadaan di mana secara struktural ataukeadaan di luar kemampuan kontrol, pihak-pihakyang berurusan mempunyai perbedaan statuskekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yangtidak berimbang (Moore, 1986 Sahwan,

B. Penetapan Masalah Konflik Lahan diKPHP Model Banjar

driver power

(structural conflict)

dalam

Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

270

2002). Pada sisi masyarakat, mereka memper-juangkan haknya atas sumber daya lahan yang ada didaerahnya, sementara dari sisi pemerintah (DinasKehutanan) menganggap bahwa sumber daya lahantersebut merupakan kawasan hutan yang secara

merupakan yang .

Kegiatan perambahan lahan hutan pada kawasanKPHP Model Banjar meliputi pembukaan hutanuntuk perladangan (penanaman padi) sebagaibentuk awal dan dijadikan kebun (karet, dukuh,kayu manis) sebagai bentuk akhir, penambanganemas secara tradisional dan kaveling untuk lokasipemukiman baru. Keberadaan berkaitandengan arena aksi ini sesuai dengan tujuan danwewenang secara kelembagaan daritersebut dapat dijelaskan seperti pada Gambar 5.

Pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingandalam konflik lahan ini meliputi: UPT KPHPModel Banjar, Balai Pemantapan Kawasan Hutan(BPKH), IUPHHK, peladang, Kades/PambakalDesa di dalam kawasan hutan (34 desa), Camat

dejure state property close access

stakeholders

stakeholders

C. Posisi dalam Arena AksiKonflik Lahan di KPHP Model Banjar

Stakeholders

(Peramasan, Sambung Makmur, Pengaron, SungaiPinang dan Telaga Bauntung), Dinas Per-tambangan, lembaga swadaya masyarakat (LSM),Badan Pengawasan Pembangunan Daerah(Bappeda), Kementerian Transmigrasi (Kemen-trans), perguruan tinggi, Polisi Kehutanan,Polsek, penyuluh dan FKAD. Keterkaitan inididasarkan pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi),motif ekonomi dan unsur politik. Pada kegiatanperladangan dan perkebunan terdapat kelompokpeladang yang bekerja melakukan penggarapanlahan dengan tanaman budidaya. Motivasi dari

ini adalah aspek ekonomi dan sosialberupa kesempatan bekerja dan berusaha.Kegiatan pengavelingan lahan untuk pemukimanbaru melibatkan oknum warga desa, Pambakal danwarga pendatang dari luar desa. Motivasi dari

ini berupa aspek ekonomi dankesempatan memperoleh lahan untuk tempattinggal dan kebun (berusaha).

Ada beberapa yang mempunyaikaitan dan kepentingan lebih dari satu kegiatanyakni: a) Polsek mempunyai kepentingan karenatupoksinya untuk menjaga keamanan danketertiban pada semua kegiatan, b) penyuluh

stakeholders

stakeholders

stakeholders

Gambar 4. Penetapan masalah konflik lahan di KPHP Model Banjar.Figure 4. Components of land conflict problem in FMU Model Banjar.

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

271

kehutanan, c) Polhut dan d) FKAD. Sementara itu,IUPHHK mempunyai kepentingan karena faktorekonomi dan kebijakan. Perusahaan pemegangIUPHHK merupakan badan usaha yang ditunjukoleh negara sebagai pelaksana usaha dari kegiatanpengelolaan lahan konsesi. Keberadaan peladangyang merambah lahan konsesi akan merugikanperusahaan IUPHHK secara ekonomi maupunkredibilitas perusahaan menyangkut kelestarianhasil hutan dan ekosistem hutan. Balai Pe-mantapanKawasan Hutan berkaitan dan berkepentinganpada tata batas kawasan hutan dengan non kawasanhutan.

D. Pemetaan dalam BingkaiMasalah ( )

StakeholdersProblem Frame

Menurut Bryson (2004), memetakandalam bingkai masalah ( ) akanmemudahkan untuk mengidentifikasidalam menyikapi permasalahan yang merekahadapi. Hal ini penting untuk didefinisikan agardapat mengetahui atau kelompok

mana yang mendukung atau menentangpada permasalahan yang dihadapi. Pemetaan inijuga bertujuan agar dapat diketahui apa yangmemotivasi tindakan untuk menyikapi

stakeholdersproblem frame

stakeholders

stakeholdersstakeholders

stakeholders

Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

Gambar 5. Posisi para pihak dalam arena aksi konflik lahan di KPHP Model Banjar.Figure 5. Stakeholders position in land conflict arena in FMU Model Banjar.

272

permasalahan yang ada. Gambar 6 menjelaskanposisi dalam bingkai masalah yangdikembangkan oleh Bryson (2004).

Gambar 6 menunjukkan bahwa kebanyakanberada pada posisi atau

pihak yang menentang kuat permasalahan yangterjadi pada pengelolaan lahan di KPHP ModelBanjar. tersebut yakni: Polsek, Polhut,Dinas Pertambangan, Kementerian Transmigrasi,IUPHHK, UPT KPHP Model Banjar (DinasKehutanan Kabupaten Banjar), BPKH, PenyuluhKehutanan, dan Bappeda. pada posisiini menentang karena secara kelembagaanmerupakan pihak yang bertanggungjawab danpihak yang dirugikan pada permasalahan konflikpengelolaan kawasan KPHP Model Banjar. Pihak

tidak memperoleh manfaat secaraekonomi. Posisi merupakan lawandari yakni: peladang dan

stakeholders

stakeholders strong opponent

Stakeholders

Stakeholders

strong opponentstrong opponent

str ong supports

Kades/Pambakal. yang mendukungpermasalahan riil di lapangan disebabkan karenamenikmati keuntungan secara ekonomi. Posisi

hanya ditempati oleh LSM, padadasarnya LSM mendukung penyelesaian masalahyang terjadi pada konflik lahan KPHP ModelBanjar dengan catatan ada - . LSMmempunyai kewenangan rendah dari sisi kebijakanuntuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Perguruantinggi, FKAD dan Camat merupakanyang menentang tetapi kekuatannya lemahdisebabkan tidak mempunyai kapasitas yang cukupsehubungan dengan tupoksi daritersebut.

Berdasakan pemetaan Gambar 6 dapatditentukan yang harus mendapatperhatian terlebih dahulu adalah yang berada diposisi dengan program-programyang dapat mengompensasi keuntungan yang

Stakeholders

weak supports

win win solution

stakeholders

stakeholders

stakeholders

strong supports

Gambar 6. Pemetaan para pihak dalam bingkai masalah pengelolaan lahan KPHP Model Banjar.Figure 6. Stakeholders mapping in land management problem frame.

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

273

mereka dapatkan saat ini. Dilihat dari klasifikasiada dua yang merupakan

(peladang dan Kades/Pambakal)merupakan kunci ( ). MenurutMason (2011) koalisi terjadi ketika para anggotakelompok mengatur untuk mendukung merekatentang isu tertentu. Koalisi merupakan responatas isu tertentu. Koalisi dibentuk untuk memper-tahankan dan meningkatkan kepentingan dirisendiri, orang-orang dari individu atau kelompokdengan tujuan mencapai keseimbangan kekuatanyang menguntungkan serta memadai untukkeuntungan anggota koalisi itu. Pada kasuskonflik lahan di KPHP Model Banjar, terdapat duakoalisi besar yang terbentuk yaitu koalisi yangmenentang perambahan lahan hutan dan yangmenginginkan agar pengelolaan lahan hutan dapatdilakukan oleh masyarakat. Koalisi yang keduamerupakan koalisi yang terbentuk karenamerasakan keuntungan yang sama pada situasi

stakeholders, stakeholdersstrong supports

stakeholders key players

pengelolaan lahan KPHP Model Banjar, motifekonomi merupakan pendorong utama ter-bentuknya koalisi ini.

Menurut Saaty (1993) isu pokok dalam analisiskebijakan adalah menetapkan alternatif kebijakan.Berdasarkan hasil FGD dan diskusi dengan pakarada empat level hierarki yang mempengaruhistrategi resolusi konflik lahan di KPHP ModelBanjar yaitu: 1) level fokus ( ); 2) level aspek( ) yakni faktor yang berpengaruh; 3) levelsasaran ( ) yakni aspek pengelolaan dan4) level alternatif strategi kebijakan pengelolaan( ) yakni alternatif strategi pengelolaanyang disajikan pada Gambar 7. Hasil

(AHP) strategi resolusi konfliklahan di KPHP Model Banjar disajikan padaTabel 1.

E. Konsep Strategi Resolusi Konflik Lahan diKPHP Model Banjar

goalcriteria

subcriteria

alternativeAnalytical

Hierarchy Process

Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

Gambar 7. Struktur hierarki analisis strategi resolusi konflik lahan.Figure 7. Hierarchical structure of conflict resolution strategy analysis.

274

1. Level Aspek ( ), Faktor yangBerpengaruh

Criteria

Hasil analisis AHP terhadap empat subaspek/faktor yang berpengaruh dalam pengelolaankawasan KPHP Model Banjar adalah: faktorkebijakan merupakan prioritas dengan bobot nilaitertinggi sebesar 0,59 (59%), selanjutnya faktorkelembagaan 0,24 (24%), faktor teknologi danpengelolaan lingkungan sebesar 0,09 (9%) sertamodalitas sebesar 0,08 (8%). Tingginya bobotfaktor kebijakan dibandingkan dengan faktorlainnya menunjukkan bahwa faktor kebijakanmenjadi perhatian utama dalam pengelolan konfliklahan di KPHP Model Banjar. Hal ini sangatpenting dimasukkan ke dalam perencanaan,pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan olehDinas Kehutanan Kabupaten Banjar. Kebijakandilaksanakan dengan pemberian IUPHHK yangakan menjadi dasar hukum bagi pengelolaankawasan KPHP Model Banjar.

Faktor kedua yang berpengaruh tinggi adalahfaktor kelembagaan, karena dengan kelembagaanyang baik dapat menampung segala aspirasianggota. Pengembangan dan pembinaan FKADmerupakan lembaga yang paling memungkinkandikembangkan dalam kasus ini. Faktor ketiga adalahtek-nologi dan pengelolaan lingkungan, yangberarti bahwa masalah lingkungan (lahan terlantar,

level

lahan kritis) menjadi prioritas ketiga yang harusdiperhatikan karena konflik lahan yang berlarut-larut akan berdampak pada kondisi penutupanlahan yang cenderung menjadi lahan tidur yangrawan kebakaran saat musim kemarau.

Faktor keempat yang berpengaruh adalahfaktor modalitas. Unsur modalitas yang palingberperan adalah kualitas SDM dan tingkatperekonomian masyarakat. Secara formal tingkatpendidikan mereka relatif rendah, yakni dominanSD, SLTP dan sedikit SLTA. Pendidikan yangrelatif rendah membuat mereka tidak mampuberkompetisi dalam memperoleh pekerjaan yangmemadai. Selain itu, lokasi pemukiman merekayang terisolasi atau jauh dari pusat kegiatanekonomi menyebabkan mereka terisolasi darikesempatan untuk bekerja di sektor lain. Hal inimenyebabkan kegiatan berladang dan berkebunmenjadi pilihan yang menarik, karena selain tidakmemerlukan keahlian khusus juga dapat menjadisumber mata pencaharian. Faktor modalitasmenjadi prioritas paling rendah karena faktor inidapat diatasi dengan program pembinaan danpemberdayaan masyarakat.

Prioritas pada level sasaran adalah melihataspek apa saja yang menjadi prioritas pengelolaan

2. Level Sasaran ( ), SasaranPengelolaan

Subcriteria

Tabel 1. Hasil AHP strategi resolusi konflik lahanTable 1. Results of AHP of resolution strategy of land conflict

No. Elemen (Element)Bobot

(Quality)Prioritas(Priority)

Alternatif strategi/kebijakan (Strategy alternative/policy)

1 Penguatan organisasi (Strengthening the organization) 0,20 32 Jaminan dan kepastian hukum (Guarantee and legal certainty) 0,39 23 Pembinaan dan pengawasan (Guidance and supervision) 0,41 1

Sasaran (Subcriteria): Aspek pengelolaan (Management aspects)

1 Ekologi (Ecology) 0,21 32 Ekonomi (Economy) 0,52 13 Sosial-budaya (Socio-cultural) 0,27 2

Aspek (Criteria): Faktor yang berpengaruh (Factors that influence)

1 Kebijakan (Policies) 0,59 12 Modalitas (Modalities) 0,08 43 Kelembagaan (Institutional) 0,24 24 Teknologi dan pengelolaan lingkungan (Technology and environmental

management)0,09 3

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

275

kawasan KPHP Model Banjar. Hasil analisis AHPdidapatkan bobot tertinggi pada aspek ekonomiyakni 0,52 (52%). Kondisi masyarakat desa di dalamwilayah kerja KPHP Model Banjar yang tingkatperekonomiannya rendah, sempitnya alternatifpeker jaan dan aksesibi l i tas yang burukmenyebabkan lahan hutan dan ekosistem hutanKPHP Model Banjar menjadi tumpuan harapanuntuk penghidupan mereka.

Prioritas tinggi kedua adalah sosial-budayasebesar 0,27 (27%). Ini berarti bahwa pengelolaankonflik lahan KPHP Model Banjar akan membukakesempatan berusaha dan bekerja bagi masyarakat,baik yang langsung bekerja di sektor kehutananmaupun sektor lain yang mendukung kegiatansektor ini, misalnya usaha pembibitan tanaman,warung, bengkel atau membuka kesempatan kerjabagi masyarakat yang berprofesi di luar sektorkehutanan seperti tukang kayu, tukang batu,mekanik dan lain-lain.

Prioritas ketiga yang merupakan sasaran darianalisis AHP ini adalah ekologi. Ekologi menjadiprioritas paling rendah disebabkan tingkatpengetahuan dan ekonomi masyarakat yangmasih rendah. Aspek ekologi ini meliputi degradasihutan, lahan kritis, banjir di musim hujan dan ke-bakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi saatmusim kemarau. Tingkat ekonomi masyarakat yangrendah menyebabkan rendahnya tingkat kepedulianmasyarakat terhadap kerusakan ekologi.

Alternatif kebijakan ( adalahserangkaian tindakan yang memungkinkan untukdilakukan yang dapat menyumbang padapencapaian nilai-nilai dan pemecahan masalahkebijakan (Dunn, 2003). Berkaitan dengan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dari berbagai aspek pe-ngelolaan konflik lahan di KPHP Model Banjarmaka terdapat beberapa prioritas alternatifkebijakan yang dapat dilakukan.

, pembinaan dan pengawasan denganbobot penilaian 0,41 (41%). Intinya adalahpemberdayaan masyarakat sekaligus monitoringdan evaluasi. , jaminan dan kepastian hukumdengan bobot penilaian 0,39 (39%) merupakankegiatan yang menjamin adanya kepastian bekerjadan berusaha serta adanya proses penegakanhukum terhadap setiap pelanggaran atas peraturan

3. Level Alternatif Strategi KebijakanPengelolaan ( )Alternative

policy alternative)

Pertama

Kedua

perundangan-undangan yang berlaku. ,penguatan organisasi dengan bobot penilaian0,20 (20%).

Strategi yang mempunyai bobot prioritaspaling rendah ini pada dasarnya adalahpengembangan kelembagaan dalam pengelolaankawasan KPHP Model Banjar yang melibatkanmasyarakat setempat (kolaboratif manajemen).Peran penyuluh kehutanan sangat diperlukandalam sosialisasi bentuk-bentuk kegiatan

.Berdasarkan bobot penilaian terlihat bahwa

ketiga alternatif tersebut mempunyai bobotpenilaian yang tidak berbeda jauh. Hal inimengindikasikan bahwa semua alternatif tersebutpenting dan saling terkait.

Berdasarkan hasil AHP diperoleh prioritasalternatif strategi yang dapat dikembangkan padapengelolaan konflik lahan di KPHP Model Banjar.Selisih nilai bobot alternatif yang tidak begitu jauhmengindikasikan bahwa ketiga konsep tersebut(penguatan organisasi, jaminan dan kepastianhukum serta pembinaan dan pengawasan) tidakbisa berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan harussaling bersinergi. Ketiga konsep tersebut diuraikanlebih lanjut sebagai berikut:

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuahkonsep pembangunan ekonomi yang merangkumnilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkanparadigma baru pembangunan, yakni yang bersifat“

” (Chambers, 1995 Kartasasmita,1996). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar ( ) ataumenyediakan mekanisme untuk mencegah prosespemiskinan lebih lanjut ( ), yang belakanganini banyak dikembangkan sebagai upaya mencarialternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhandi masa lalu.

Pembinaan dan pengawasan pada dasarnyaadalah proses pemberdayaan. Awandana (2010)menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatuproses membangun manusia atau masyarakatmelalui pengembangan kemampuan masyarakat,perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisa-

Ketiga

co-management

peoplecentered, participator y, empowering , andsustainable dalam

basic needs

safety net

F.

1.

Rancangan Konsep Strategi PengelolaanKonflik Lahan

Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

276

sian masyarakat. Definisi tersebut meng-gambarkan tiga tujuan utama dalam pemberdayaanmasyarakat yaitu mengembangkan kemampuanmasyarakat, mengubah perilaku masyarakat, danmengorganisir diri masyarakat. Perilaku masyarakatyang perlu diubah adalah perilaku yang merugikanmasyarakat atau yang menghambat peningkatankesejahteraan masyarakat. Pengorganisasianmasyarakat merupakan suatu upaya masyarakatuntuk saling mengatur dalam mengelola kegiatanatau program yang mereka kembangkan.Masyarakat dapat membentuk panitia kerja,melakukan pembagian tugas, saling mengawasi,merencanakan kegiatan dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perludilibatkan karena lembaga ini sudah mapan, tinggalmeningkatkan kemampuannya saja. Kemampuanmasyarakat yang dapat dikembangkan antara lainkemampuan untuk berusaha, kemampuan untukmencari informasi, kemampuan untuk mengelolakegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masihbanyak lagi, sesuai dengan kebutuhan ataupermasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Pemberdayaan adalah bukan hanya konsepekonomi atau konsep politik. Pemberdayaan adalahkonsep yang menyeluruh atau (Kartasasmita,1996). Rakyat miskin atau yang berada pada posisibelum termanfaatkan potensinya secara penuhmelalui pemberdayaan diharapkan akan meningkat,bukan hanya ekonomi, melainkan juga harkat,martabat, rasa percaya diri dan harga diri. Hal inidapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak sajamenumbuhkan dan mengembangkan nilai tambahekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilaitambah budaya. Pemberdayaan masyarakat bukanmembuat masyarakat menjadi makin tergantungpada program-program pemberianpada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harusdihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapatdipertukarkan dengan pihak lain). Dengandemikian, tujuan akhirnya adalah memandirikanmasyarakat dan membangun kemampuan untukmemajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baiksecara berkesinambungan.

Penegakan hukum ( ) secara luasmeliputi kegiatan preventif yang meliputi negosiasi,supervisi, penerangan dan nasehat dan represifyang meliputi kegiatan penyelidikan, penyidikansampai penerapan sanksi, baik administratif

holistic

(charity), sebab

law inforcement

2. Penegakan Hukum

maupun hukum pidana. Penegakan hukum ling-kungan merupakan mata rantai terakhir dalamsiklus pengaturan ( ) perencanaankebijakan lingkungan. Urutan siklus pengaturanperencanaan kebijakan yakni: 1) perundang-undangan ( ); 2) penentuan standar( ); 3) pemberian izin ( ); 4)penerapan ( ) dan 5) penegakanhukum ( ) (Fisher , 2001).

Lemah-kuatnya penegakan hukum oleh aparatakan menentukan persepsi masyarakat terhadapada-tidaknya hukum. Bila penegakan hukum olehaparat lemah, masyarakat akan beranggapan bahwahukum di lingkungannya tidak ada atau seolah ber-ada dalam hutan rimba yang tanpa aturan.Penegakan hukum sangat diperlukan dalammengelola konflik lahan di KPHP Model Banjar.Penegakan hukum merupakan alternatif kebijakanprioritas kedua yaitu jaminan dan kepastian hukumyang digunakan untuk mencapai sasaranpengelolaan KPHP Model Banjar yang adil danmanusiawi. Penegakan hukum dilaksanakan untukmencegah masyarakat melakukan perambahankawasan hutan dan kegiatan ilegal lainnya.

Penegakan hukum dalam pengelolaan konfliklahan di KPHP Model Banjar memerlukan adanyakoordinasi dengan aparat penegak hukum sepertiPolsek, Kejaksaan/Pengadilan Negeri. Kegiatan-kegiatan dalam rangka pengawasan danpencegahan dilaksanakan melalui tindakanrepresif seperti patroli rutin, operasi gabungan,operasi fungsional dan tindakan preventif melaluipenyuluhan. Keberhasilan penegakan hukumdipengaruhi oleh kemampuan penegak hukumdalam mengatasi hambatan dan kendala yakni: 1)hambatan dan kendala berupa tingkat pengetahuanmasyarakat yang beragam yang dapat menye-babkan persepsi hukum yang berbeda; 2)kesadaran hukum masyarakat masih rendah; 3)belum jelasnya peraturan hukum terkait dengankeberadaan 34 desa di dalam hutan karena proses

sedang berjalan; 4) integritas penegakhukum yang masih rendah dan 5) masalahpembiayaan.

Kelembagaan (institusi) memberi tekanan padalima hal, yaitu: 1) berkenaan dengan aspek sosial;2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yangmenentukan perilaku individu dalam sistem sosial;3) berkaitan dengan perilaku, seperangkat tata

regulatory chain

legislationstandard setting licensing

implementationlaw enforcement et al.

enclave

3. Konsep Kelembagaan

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

277

kelakuan atau cara bertindak yang mantap dansudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat;4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujuidan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakatdan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan padacara-cara baku untuk memecahkan masalah yangterjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti, 2003).Dalam rangka pengelolaan konflik lahan di KPHPModel Banjar diperlukan kebijaksanaanpengembangan sistem pengelolaan hutan bersamamasyarakat secara terpadu, yang mengaitkan selu-ruh komponen dan mekanisme pelaksana-anoperasional kehutanan. Kebijaksanaan yangmenyeluruh tersebut harus didukung olehkebijaksanaan lintas sektoral dan keterpaduanantar Dinas dan instansi yang terkait dengankehutanan.

Kompleksitas permasalahan penanganankonflik lahan di KPHP Model Banjar memerlukanlangkah-langkah yang manusiawi, terpadu dan adil.Pada dasarnya terdapat tiga prinsip kerjasama dalampengembangan kelembagaan kehutanan berbasiskolaborasi manajemen, yakni: 1) sinergi dankemitraan, yaitu para peladang dituntut untukberbagi peran dan fungsi di dalam pengelolaanKPHP Model Banjar; 2) partisipatif, yaitu pelibatanseluruh pelaku di bidang tersebut, yang merupakanpe-ngembangan dari tiga unsur utama pelaku,yaitu pemerintah, pemegang IUPHHK danmasyarakat; 3) bersifat holistik (multi sektoral danmulti dimensional), yaitu dengan didukung olehstruktur organisasi, administrasi dan mekanismekerja lembaga yang terkait dengan pengelolaanKPHP Model Banjar. Selain itu didukung pula olehfaktor perundang-undangan atau peraturan daerahyang terkait dengan bidang kehutanan khususnyapengelolaan lahan pada kawasan KPHP ModelBanjar. Berdasarkan uraian tersebut maka dapatdisusun konsep pengelolaan konflik lahan di KPHPModel Banjar seperti pada Gambar 8.

Secara formal aktivitas perambahan kawasanhutan adalah ilegal karena tidak dilindungi aspeklegal berupa perijinan. Aktivitas ilegal tetapdilakukan oleh masyarakat karena kebutuhanekonomi masyarakat dan hasil dari ladang dankebun (getah karet, kayu manis, dan HHBK) sertatambang emas merupakan pilihan yang bisa diker-jakan oleh masyarakat desa dalam kawasan hutan.Kondisi ini disebabkan oleh terabaikannyapemberdayaan masyarakat oleh Pemda Kabupaten

Banjar. Hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikanmasyarkat yang masih rendah dan kondisi fisikdesa, walaupun di beberapa desa sudah mulaimembaik dengan adanya program PNPM Mandiri.Maraknya aktivitas perambahan lahan KPHPModel Banjar juga disebabkan oleh lemahnyakinerja kelembagaan Dinas Kehutanan KabupatenBanjar (UPT KPHP Model Banjar) dan tidakberfungsinya IUPHHK. Faktor yang mendorongmasyarakat untuk memanfaatkan lahan di KPHPModel Banjar adalah modal, teknologi, tenaga kerjadan relasi sosial.

berfungsinya IUPHHK sebagai lembaga yangdiberi amanat dalam pengusahaan lahan kawasanhutan. Masalah pemberdayaan masyarakat,lemahnya kelembagaan dan lemahnya penegakanhukum merupakan faktor yang menjadi penyebabatas permasalahan yang timbul dari pengelolaankawasan KPHP Model Banjar.

Menurut Andrews (1980) strategi adalahkekuatan motivasi untuk , ,manajer, karyawan, konsumen, komunitas,pemerintah, dan sebagainya, baik secara langsungmaupun tidak langsung menerima keuntunganatau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakanyang dilakukan oleh perusahaan. Diperlukan aksibersama dari semua untuk membuatkesepakatan bersama sesuai dengan fungsi danperannya masing-masing. Dalam kesepakatan inimasing-masing harus memahamibahwa semua aktivitas ilegal dihentikan, didahuluidengan proses pemberdayaan pada pihak yang ke-hi langan kesempatan berusaha denganmengalihkan ke kegiatan lain yang legal.

Secara keseluruhan dengan kondisi KPHPModel Banjar saat ini, beberapa hal yang palingdiperlukan guna resolusi konflik lahan adalah: 1)identifikasi dan untuk masing-masing BKPH yang telah direncanakan dari segitata ruang, potensi kawasan, sosial ekonomimasyarakat serta ekologi sehingga dapat di-tentukan titik berat dan prioritas pengelolaankawasan untuk masing-masing BKPH; 2) analisiskebutuhan sumber daya manusia (

) pengelola untuk masing-masing BKPHbeserta sarana dan prasarananya guna memper-hitungkan perkiraan beban tetap anggaran tahunan

Berdasarkan identifikasi masalah didapatkankenyataan bahwa hak pengelolaan merupakan masalahyang sampai saat ini belum dapat direalisasikan karena

tidak

stakeholders debtholders

stakeholders

stakeholders

assessment detail

quantity &quality

Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

pemerintah dalam pengelolaan KPHP ModelBanjar; 3) sosialisasi secara menyeluruh dan in-tensif kepada masyarakat dalam kawasan danpemangku kewenangan administratif dalamkawasan (kecamatan, kelurahan/desa) tentangkeberadaan manajemen KPHP Model Banjar gunamemberikan penjelasan tentang kedudukan/posisimasyarakat/pemukiman dalam kawasan KPHPserta memperjelas hal-hal yang dapat dilakukanbersama antara masyarakat dalam kawasan denganmanajemen KPHP. Jika diperlukan dapat dilakukankegiatan pemetaan partisipatif dengan masyarakatuntuk mengurangi konflik klaim atas lahan di masamendatang; 4) identifikasi interes dan persepsimasyarakat di dalam kawasan tentang pola-polamata pencaharian sehari-hari agar dapat bersinergi

dengan program-program kehutanan yang akandilaksanakan oleh manajemen KPHP dan 5)pembentukan kelembagaan masyarakat sertapelatihan-pelatihan yang perlu oleh manajemenKPHP dengan tujuan agar masyarakat setempatdapat menjadi mitra KPHP dalam pengelolaankawasan KPHP Model Banjar.

Karakteristik konflik lahan pada kawasanKPHP Model Banjar dapat dijelaskan sebagaiberikut: , secara merupakan kawasanmilik negara ( ), namun secara ada

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pertama de jurestate property de facto

278

Gambar 8. Bagan konsep pengelolaan konflik lahan KPHP Model Banjar.Figure 8. Concept of land conflict management in FMU Model Banjar.

JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280

pemukiman warga berupa desa di dalam kawasanyang belum dilakukan sehingga menye-babkan status yang secara

berubah menjadi . Kondisi inimenimbulkan ikut mengambilsumber daya lahan tersebut. , isu pokokdalam konflik lahan di KPHP Model Banjar adalima, yakni: 1) dualisme administrasi (satu tapakdua kewenangan), 2) IUPHHK tidak aktif, 3)pemberdayaan ekonomi masyarakat ter-abaikan;4) potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan 5)penegakan hukum masih lemah. , masalahyang timbul dalam konflik lahan di KPHP ModelBanjar merupakan masalah atau konflik struktural,yakni aktor yang terlibat tidak berada pada tataranyang sama.

Terdapat 15 yang memilikikepentingan dan pengaruh dalam pengelolaankawasan hutan di KPHP Model Banjar yang dapatdibedakan dalam tiga kelompok yaitu kelompokyang mewakili pemerintah, dunia usaha,dan masyarakat. Kebanyakan beradapada posisi atau pihak yangmenentang kuat perambahan lahan di KPHPModel Banjar. S tersebut yakni: Polsek,Polhut, Dinas Pertambang-an, KementerianTransmigrasi, IUPHHK, UPT KPHP ModelBanjar (Dinas Kehu-tanan Kabupaten Banjar),BPKH, Penyuluh Kehutanan, dan Bappeda. Posisi

ditempati oleh peladang danKades/Pambakal yang mendukung permasalahanriil di lapangan disebabkan karena menikmatikeuntungan secara ekonomi. Posisihanya ditempati oleh LSM yang mendukungpenyelesaian masalah yang terjadi pada konfliklahan KPHP Model Banjar dengan catatan ada -

namun kewenangannya rendah dari sisikebijakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi.Perguruan tinggi, FKAD dan Camat merupakan

yang menentang tetapi kekuatannyalemah disebabkan tidak mempunyai kapasitas yangcukup sehubungan dengan tupoksi daritersebut.

Resolusi konflik yang ditawarkan adalah upaya“mengubah konflik menjadi kemitraan yangsejajar”, dengan langkah-langkah berikut: 1)membangun kepercayaan ( ); 2)menumbuh-kembangkan Forum Kehutanan AntarDesa (FKAD); 3) menyiapkan tim ahli yang in-dependen; 4) komunikasi yang efektif dan 5)regulasi yang disepakati bersama. Pembelajaran

enclavestate property close access de

jure open accessopportunity sets

Kedua

Ketiga

stakeholders

stakeholdersstakeholders

strong opponent

takeholders

strong supports

weak supports

winwin solution

stakeholders

stakeholders

trust building

berharga dari konflik lahan di KPHP Model Banjaradalah pentingnya: 1) kepastian hukum (formal/informal); 2) kenyamanan berusaha dan 3)keberlanjutan usaha, tidak saja untuk masyarakatdan perusahaan yang berkonflik, tapi sangat pen-ting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untukmasuknya investasi, peningkatan kesejahteraandan lapangan pekerjaan serta peningkatan PAD.

Keberadaan Forum Kehutanan Antar Desa(FKAD) di wilayah KPHP Model Banjar perluterus diberdayakan dengan program kemitraanagar dapat semakin berperan dalam penyelesaiankonflik lahan pada khususnya dan konflikkehutanan pada umumnya.

Andrews, K.R. (1980).. New York: Homewood.

Awandana. (2010).

. Diunduh dari http://id.

shvoong.com/social-sciences/1867898-

konsepsi-pemberdayaan-masyarakat/.(15

Agustus 2013).

Bryson, J.M. (2004). What to do when stakeholders

matter: stakeholder identification and

analysis techniques. ,

(1), 21-53.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. (2010).

.

Martapura: Dinas Kehutanan Kabupaten

Banjar.

Dunn, W.N. (2003).

. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Fisher, S., Ludin, J., Williams, S., Abdi, I.D., Smith,

R., & Williams, S. (2001).

. Jakarta:

The British Council Indonesia.

Fuad, H.F. & Maskanah, S. (2000).

. Bogor: Pustaka Latin.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

The concept of corporatestrategy

Konsepsi pemberdayaan

masyarakat

Public Management Review

6

Rancang bangun KPHP Kabupaten Banjar

Pengantar analisis kebi-jakan

publik

Mengelola konflik,

ketrampilan dan strategi untuk bertindak

Inovasi

penyelesaian sengketa pengelolaan sumber daya

hutan

279Model Resolusi Konflik Lahan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Marinus Kristiadi Harun )et al.

Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan

.

Jakarta: CIDES.

Hakim, I. & Wibowo, L.R. (2013).

Bogor: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perubahan

Iklim dan Kebijakan.

Mason, H.W. (2011). . Diunduh dari

http://www.referenceforbusiness.com/

management/Bun-Comp/Coal i t ion-

Building.html.(10 April 2014).

Saaty, T.L. (1993).

(terjemahan). Jakarta: LPPM dan

PT. Pustaka Binaman Pressindo.

untuk

rakyat, memadukan pertumbuhan dan pemerataan

Jalan terjal reforma

agraria di sektor kehutanan.

Coalition building

Pengambilan keputusan bagi para

pemimpin : proses hirarki analitik untuk

pengambilan keputusan dalam situasi yang

kompleks

Sahwan. (2002).

(Tesis). Program

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Syahyuti. (2003).

. Bogor: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Wibowo, L.R. (2013). Mati suri reforma agraria (pp.

19-39). Dalam I. Hakim dan L.R. Wibowo

(Ed.),

Bogor: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebi-

jakan.

Analisis kebijakan pengelola-an taman

hutan raya (studi kasus Tahura Sesaot Provinsi

Nusa Tenggara Barat)

Bedah konsep kelembagaan: strategi

pengembangan dan penerapannya dalam penelitian

pertanian

Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor

Kehutanan.

280JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 4 Desember 2014, Hal. 265 - 280