14
MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI PERSAHABATAN Alvian Apriano Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jalan Medan Merdeka Timur 10, Jakarta Pusat 10110 Email: [email protected] ABSTRAK: Dewasa ini, diskusi tentang model kepemimpinan kristiani umumnya diidentikan dengan model kepemimpinan pelayan yang diwariskan oleh Robert Greenleaf. Model kepemimpinan ini diklaim kontekstual, karena merepresentasikan model kepemimpinan Yesus yang dilaporkan kitab-kitab Injil. Padahal, Yesus juga menampilkan sisi persahabatan dalam model kepemimpinannya. Di dalam persoalan ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan eksistensial-teologis, “Dapatkah kekristenan merealisasikan sebuah model kepemimpinan berbasis persahabatan? Seperti apa kekuatan dan kelemahannya? Bagaimana bentuk dan penerapan modelnya?” Pemikiran Liz Charmichael dan Steve Summers dengan analisa mereka yang kualitatif-teologis terhadap teori dan praktik persahabatan akan membantu menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut. Pemikiran keduanya akan dielaborasi sehingga menghasilkan empat karakter pemimpin yang bersahabat. Makalah ini hendak menghadirkan model kepemimpinan kristiani berbasis teologi persahabatan berdasarkan penilaian kritis atas konsep kepemimpinan-pelayan guna memperluas khazanah kepemimpinan kristiani yang relevan baik di dalam komunitas gereja dan marketplace. Kata Kunci: konsep persahabatan kristen, kepemimpinan kristiani, kepemimpinan pelayan, robert greenleaf, liz carmichael, steve summers, kepemimpinan bersahabat. CHRISTIAN LEADERSHIP MODELS BASED ON THE THEOLOGY OF FRIENDSHIP ABSTRACT: Nowadays, the discussions on Christian leadership model are generally identified with the servant-leadership inherited by Robert Greenleaf. This model is claimed to be contextual because it represents Jesus’s leadership model reported by the Gospels. However, Jesus also displayed friendship leadership model. In relation to this matter, existential-theological questions have appeared: “Can Christianity realize another leadership model based on the notions of friendship? What are the strengths and weaknesses? What is the form and how is the implementation?” The thoughts of Liz Charmichael and Steve Summers with their qualitative-theological analysis on friendship theory and practice will be helpful to answer these questions. The both thoughts will be elaborated to produce four characters of friendly leader. This article aims to present a Christian leadership model based on the notions of friendship theology by critically assessing the concept of servant-leadership in order to expand the Christian discourses of leadership model in church community and marketplace. Keywords: the concept of christian friendship, christian leadership, servant leadership, robert greenleaf, liz carmichael, steve summers, friendship leadership. Pengarah: Jurnal Teologi Kristen Volume 2, Nomor 2, Juli 2020 ISSN 26552019 (online) ISSN 2654931X (cetak) DOI: https://10.36270/pengarah.v2i2.29

MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGIPERSAHABATAN

Alvian Apriano

Gereja Protestan di Indonesia bagian BaratJalan Medan Merdeka Timur 10, Jakarta Pusat 10110

Email: [email protected]

ABSTRAK: Dewasa ini, diskusi tentang model kepemimpinan kristiani umumnyadiidentikan dengan model kepemimpinan pelayan yang diwariskan oleh RobertGreenleaf. Model kepemimpinan ini diklaim kontekstual, karena merepresentasikanmodel kepemimpinan Yesus yang dilaporkan kitab-kitab Injil. Padahal, Yesus jugamenampilkan sisi persahabatan dalam model kepemimpinannya. Di dalam persoalan ini,muncullah pertanyaan-pertanyaan eksistensial-teologis, “Dapatkah kekristenanmerealisasikan sebuah model kepemimpinan berbasis persahabatan? Seperti apakekuatan dan kelemahannya? Bagaimana bentuk dan penerapan modelnya?” PemikiranLiz Charmichael dan Steve Summers dengan analisa mereka yang kualitatif-teologisterhadap teori dan praktik persahabatan akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pemikiran keduanya akan dielaborasi sehingga menghasilkanempat karakter pemimpin yang bersahabat. Makalah ini hendak menghadirkan modelkepemimpinan kristiani berbasis teologi persahabatan berdasarkan penilaian kritis ataskonsep kepemimpinan-pelayan guna memperluas khazanah kepemimpinan kristianiyang relevan baik di dalam komunitas gereja dan marketplace.

Kata Kunci: konsep persahabatan kristen, kepemimpinan kristiani, kepemimpinanpelayan, robert greenleaf, liz carmichael, steve summers, kepemimpinan bersahabat.

CHRISTIAN LEADERSHIP MODELS BASED ON THE THEOLOGY OFFRIENDSHIP

ABSTRACT: Nowadays, the discussions on Christian leadership model are generallyidentified with the servant-leadership inherited by Robert Greenleaf. This model isclaimed to be contextual because it represents Jesus’s leadership model reported by theGospels. However, Jesus also displayed friendship leadership model. In relation to thismatter, existential-theological questions have appeared: “Can Christianity realize anotherleadership model based on the notions of friendship? What are the strengths andweaknesses? What is the form and how is the implementation?” The thoughts of LizCharmichael and Steve Summers with their qualitative-theological analysis on friendshiptheory and practice will be helpful to answer these questions. The both thoughts will beelaborated to produce four characters of friendly leader. This article aims to present aChristian leadership model based on the notions of friendship theology by criticallyassessing the concept of servant-leadership in order to expand the Christian discoursesof leadership model in church community and marketplace.

Keywords: the concept of christian friendship, christian leadership, servant leadership,robert greenleaf, liz carmichael, steve summers, friendship leadership.

Pengarah: Jurnal Teologi KristenVolume 2, Nomor 2, Juli 2020

ISSN 2655­2019 (online)ISSN 2654­931X (cetak)

DOI: https://10.36270/pengarah.v2i2.29

Page 2: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

PENDAHULUANDi dalam diskursus kepemimpinan

kristiani, pernyataan yang sangat familiardari Robert Greenleaf ialah “pemimpin yangbaik harus terlebih dahulu menjadi pelayanyang baik (Spears & Lawrence, 2016, p.10).” Argumen kunci Greenleaf ini telahmemposisikan dirinya sebagai pelopor kon-sep pemimpin-pelayan dalam diskusi kepe-mimpinan dan terus diwariskan oleh Green-leaf Centre of Servant Leadership.

Akan tetapi, dalam perkembangannyakonsep Greenleaf dicerna juga dalam kon-teks teologi Kristen dengan subjek kepe-mimpinan kristiani. Ken Blanchard adalahseorang analis yang berhasil menelusurirelevansi dari model pemimpin-pelayan kedalam konteks gereja di Amerika (Brown &Barker, 2001, p. 136). Pemikiran Blanchardternyata diminati hingga ke Indonesia de-ngan banyaknya terjemahan dari publikasiBlanchard mengenai kepemimpinan di toko-toko buku Kristen maupun umum.

Di dalam konteks gereja di Indo-nesia, konsep pemimpin-pelayan telah men-jadi semacam candu bagi para pemimpinKristen di gereja. Masalahnya ialah modeltersebut memberi ruang subordinasi dalamrelasi (Adiprasetya, 2018, p. 48). Artinya,akan selalu ada labelisasi status atasan danstatus bawahan. Padahal, komunitas gerejaitu liquid, se-liquid kasih persahabatan Allah(Ward, 2013, pp. 1-2). Berdasarkan kecen-derungan tersebut, maka diperlukan konsepalternatif kepemimpinan lainnya guna mem-perluas cakrawala kepemimpinan para pe-mimpin gereja di Indonesia.

Penelitian ini hendak menghadirkanmodel kepemimpinan kontekstual lainnyayang berbasis teologi persahabatan denganmendialogkan pemikiran Robert Greenleaf,dengan Liz Carmichael, dan SteveSummers tanpa secara represif meng-alienasi konsep kepemimpinan pelayan. De-ngan demikian, diskusi kepemimpinan kris-tiani terus berada dalam pencarian modelyang relevan sesuai tantangan zaman.

METODEPenelitian ini akan mendeskripsikan

secara teologis konsep kepemimpinan pe-layan yang dominan dalam konteks kepe-mimpinan kristiani dan menganalisisnya se-cara kritis melalui konsep teologi persa-habatan yang berkembang dalam teologikonstruktif. Sebagai realisasi praktis-kon-septual, di akhir akan ditawarkan karakterpemimpin bersahabat guna mewarnai corakkepemimpinan baik di dalam komunitasgereja dan marketplace.

Metode yang ditempuh dalam pene-litian ini ialah studi kualitatif yang berbasispada teologi konstruktif tentang persa-habatan. Data-data yang dideskripsikan, di-eksplorasi dan dianalisis dikumpulkan me-lalui studi kepustakaan adalah yang relateddengan judul penelitian ini. Karya-karyapenting seperti teori Robert Greenleaf, pe-nelitian Greenleaf Centre of ServantLeadership, dan konstruksi teologi kons-truktif Liz Carmichael dan Steve Summerstentang tema persahabatan akan menjadisumber primer dalam penelitian ini. Semen-tara tulisan-tulisan yang merupakan pene-litian terdahulu tentang tema ini akan men-jadi sumber sekunder.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di Ambang Batas Kepemimpinan PelayanAbad ke-21

Di dalam konteks kontemporer, diskur-sus kepemimpinan kristiani masih tidak da-pat melepaskan diri dari warisan Robert K.Greenleaf, seorang pionir teori dan praktikkepemimpinan-pelayan dalam pelbagai bi-dang kehidupan. Ted Engestrom, EdwardDayton, dan Lee Harris, tiga orang tokohyang aktif dan berfokus dalam diskursuskepemimpinan, baik dari segi teori, strategi,dan praktik, serta memperlihatkan relevansidari konsep kepemimpinan-pelayan Green-leaf tersebut dengan merujuk karya-karya-nya (Engestrom & Dayton, 1976, p. 27).1

Pemahaman inilah yang melekat, sehinggatak jarang pola pikir ini diaplikasikan oleh

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

103

Page 3: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

sebagian pemimpin gereja di Amerika danjuga di Indonesia (Adiprasetya & Sasongko,2019, p. 21).2

Menurut Greenleaf, servant-leaderatau pemimpin-pelayan,

… pertama-tama adalah seorang pelayan.Diawali dengan perasaan natural untukmenjadi pihak pertama yang melayani.Kemudian, kesadaran itu membawanyabercita-cita untuk memimpin. Perbedaanmanifestasi dalam pelayanan yangdiberikan, pertama adalah memastikanbahwa pihak lain dapat dipenuhi, yaitumenjadikan mereka sebagai orang-orangyang lebih dewasa, sehat, bebas, danotonom, yang pada akhirnya dapatmenciptakan pemimpin-pelayan yangberikutnya (Greenleaf, 2002, pp. 27-28).3

Kekuatan dari kepemimpinan-pelayandibuktikan dengan berdirinya The GreenleafCentre for Servant Leadership, suatu pusatpengembangan yang berfokus terhadapaspek-aspek kepemimpinan-pelayan. Ko-munitas ini memengaruhi banyak pihakterutama yang mendukung konsep kepe-mimpinan yang digagas oleh Greenleaftersebut (Spears & Lawrence, 2002, p.370).4 Di dalam sebuah perayaan pe-ringatan, mereka memublikasikan Focus onLeadership: Servant-Leadership for theTwenty-First Century sebagai wujud eksi-stensi akademik mereka sebagai sebuahkomunitas berbasis riset.

Masing-masing penulis mengaitkanpenelitiannya terhadap realitas di zaman inidengan menunjukkan manfaat dari teoriGreenleaf. Para penulis berasal dari latarbelakang yang berbeda, tetapi menariknya,karya ini ditambahkan aspek kristiani de-ngan menghadirkan Ken Blanchard untukmemperlengkapi publikasi tersebut. Olehkarena itu, penelitian ini penting meng-investigasi aspek kristiani dari RobertGreenleaf manakah yang Ken Blanchardperlihatkan dalam kumpulan tulisan tersebutyang merupakan kekuatan dari teologinya.

Sebelum melihat uraian Blanchard ter-

kait hal dalam karya tersebut, perlu diamatiketertarikan Blanchard dengan menganalisissecara istimewa karya-karya Greenleaf.Bahkan, ia memublikasi konsep pemikiranGreenleaf ke dalam The Servant Leader:Transforming Your Heart, Hands, and Habits(2003) dan menandai aspek-aspek yang di-wariskan Greenleaf ke dalam konteks ke-pemipinan kristiani.

Publikasi ini berawal dari perjumpaanBlanchard secara langsung dengan Green-leaf di akhir tahun 1960, ketika berada diUniversitas Ohio, Athena. Ia memperolehmasukan yang signifikan untuk pene-litiannya tentang kepemimpinan, dan sangattertarik dengan sumber-sumber dan sudutpandang ketika berinteraksi dengan Green-leaf secara langsung (Blanchard, 2002, p.x).

Perjumpaan dan masukan pemikirandari Greenleaf membuat Blanchard secaraserius mengembangkan model kepempinan-pelayan, namun dalam beberapa halBlanchard mengelaborasinya dan menam-bahkan aspek kristiani di dalam inves-tigasinya. Hal inilah yang terlihat dalamuraian Blanchard dalam karya bersama parapenulis dari pusat studi Greenleaf.Blanchard adalah salah satu dari orang-orang yang terlibat dalam pusat riset terse-but yang mengklaim bahwa kepemimpinanpelayan Greenleaf sangat bersifat aplikatifdalam konteks kepemimpinan kekinian.Baginya,

Not only are people looking for a deeperpurpose and meaning when they mustmeet the challenges of today’s changingworld; they are also looking for principlesand philosophies that actually work(Blanchard, 2002, pp. xi-xii).

Di dalam tulisan berjudul The Heart ofServant-Leadership, Blanchard menilai se-cara khusus relevansi dari kepemimpinan-pelayan yang aplikatif melalui aktivitasYesus yang patut diteladani. Bahkan ia telahbertahun-tahun mengajar dan memperda-lam analisis kepemimpinan pelayan namun

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

104

Page 4: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

selalu jatuh ke dalam teladan Yesus.Blanchard menilai bahwa kekeliruan orangKristen sering kali terletak pada statusYesus sebagai model spiritualitas saja,padahal tak ada yang lebih mendasar didalam Alkitab bahwa model kepemim-pinanlah yang diajarkan Yesus ke publik(Blanchard, 2002, p. xi).

Dari pernyataan tersebut, Blanchardmenyadari bahwa Yesus pun mengem-bangkan dan memaksudkan kepemimpinan-pelayan sebagai model dari kepemimpi-nannya dalam karya pelayanan bersamapara murid. Bahkan Blanchard meman-faatkan pesan yang disampaikan Yesuskepada Yakobus dan Yohanes murid-Nyadalam Injil Matius,

Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintahbangsa-bangsa memerintah rakyatnyadengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengankeras atas mereka. Tidaklah demikian diantara kamu. Barangsiapa ingin menjadibesar di antara kamu, hendaklah iamenjadi pelayanmu, dan barangsiapaingin menjadi terkemuka di antara kamu,hendaklah ia menjadi hambamu (Matius20:25–27).

Dari teks tersebut, Blanchard menaf-sirkannya ke dalam kerangka kepemimpinankristiani. Menurutnya, Yesus sedang berbi-cara tentang kepemimpinan dan konsepkepemimpinan tersebut ada dalam rupaseorang pelayan. Blanchard menganggapbahwa Yesus tidak menawarkan model lain,melainkan kepemimpinan-pelayanlah satu-satunya model yang relevan bagi-Nya danbagi para murid (Blanchard, 2002, p. xi).Dengan demikian, terlihat dengan sangatjelas bahwa aspek kristiani yang Blanchardtelusuri adalah Alkitab, secara khusus InjilMatius 20:25-27. Inilah pernyataan kunciBlanchard dalam uraiannya ini, yaitumemusatkan perhatian pada Yesus danAlkitab yang merupakan bagian dari teologifundamental Kristen untuk mengkonstruksisebuah kepemimpinan kristiani berbasis

kepemimpinan-pelayan.Setelah melihat bagaimana kekuatan

dari konsep kepemimpinan-pelayan, selan-jutnya akan diperlihatkan kelemahan didalamnya. Fokus penelitian ini adalah ela-borasi aspek kristiani yang dipergunakanoleh Blanchard, ketika memposisikan teksAlkitab untuk menjelaskan konsep kepe-mimpinan-pelayan secara kristiani. Sayamencoba menempatkan tafsiran RichardFrance, sebagai seorang yang mendalamiPerjanjian Baru dan memunculkan tafsiranyang cenderung baru terhadap Injil Matiusdalam konteks yang Blanchard tafsirkan.

Di dalam menyoroti teks tersebut,France menegaskan bahwa teks ini harusdilihat dalam kerangka hasrat memperolehharkat dan martabat yang lebih tinggi dalampribadi seseorang (France, 2007, p. 755). Didalam konteks percakapan Yesus tersebut,hasrat itu diperlihatkan oleh Ibu dari Zebe-deus bersaudara (Yohanes dan Yakobus).Ibu mereka mencoba melakukan negosiasidengan Yesus untuk menempatkan harkatdan martabat kedua anaknya menjadi lebihtinggi dari yang lainnya (France, 2007, pp.756-757).

Lebih lanjut terkait dengan Matius20:25-27 yang dikutip oleh Blanchard,France tidak secara tegas mengindikasiadanya deklarasi tentang kepemimpinankristiani di sana, meskipun disebutkan katapemerintah dan pembesar. Akan tetapi,keduanya adalah ilustrasi yang diucapkanYesus untuk menunjukkan bahwa bahayahasrat memperoleh harkat dan martabatyang lebih tinggi adalah otoriter (memerintahdengan tangan besi dan menjalankan kuasadengan keras). Oleh karena itu, Yesusmembicarakan hal menjadi pelayan danmelayani, menyoal harkat dan martabatpengikut-Nya (France, 2007, pp. 758-760).Dengan demikian, negosiasi tidak berlakubagi Yesus, sehingga Ia juga tidakmendeklarasikan sebuah konsep kepemim-pinan.

Kemudian, pertanyaan kritis yangmuncul ialah apakah Blanchard menyadari

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

105

Page 5: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

bahwa terminologi pelayan (diakonos) didalam Alkitab terhubung dengan relasihamba (doulos) dan tuan? Bukankahkepemimpinan-pelayan akan menciptakansebuah subordinasi, karena kecenderunganmencipta hierarki? Tidak adakah tempatbagi Blanchard bahwa dalam menambahkanaspek kristiani juga melihat makna kasihpersahabatan Kristen yang disebutkan jugadalam Alkitab?

Blanchard memang tidak menjelaskandan menguraikan bentuk dari kepemipinan-pelayan di dalam karya bersama tersebut.Akan tetapi, di karya berikutnya (satu tahunsetelah karya bersama itu), Blanchard me-nganalisis—tetap dalam pengaruh Yesussebagai model—empat dimensi pemimpin-pelayan. Analisisnya masih sangat dipe-ngaruhi oleh tafsirnya atas teks yang dikarya sebelumnya ia gunakan untuk me-njelaskan kepemimpinan-pelayan secara al-kitabiah. Analisisnya pun menyiratkan di-lema subordinasi.

Indikasi adanya dilema tersebutnampak dalam uraian Blanchard dalamkaryanya yang kemudian bersama PhilHodges, namun jika dicermati maka tafsiranBlanchardlah yang dominan di sana. Me-nurut Blanchard dalam pengaruh konsepkepemimpinan pelayan, pemimpin-pelayanmencakup empat dimensi karakter, yaknihati, kepala, tangan dan kebiasaan. Per-tama, dimensi hati, yakni ketika seorangpemimpin yang melepaskan self-serving danego untuk mendukung, dan selalu setiaterhadap yang dipimpinnya, memiliki keren-dahan hati, karena itu ia tidak berpusat padadirinya sendiri melainkan kepada orangyang dipimpinnya (Blanchard & Hodges,2003, pp. 16-20).

Kedua, dimensi kepala, yakni ketikaseorang pemimpin menjadi sangat visioner.Visinya dapat ia jelaskan kepada yang lain,kemudian ia melakukan hal yang benar danmemproses visinya hingga memperolehhasil yang juga benar (Blanchard & Hodges,2003, pp. 40-45). Ketiga, Dimensi tanganberarti bahwa ia memproses visinya dengan

tangannya untuk memperoleh hasil yangmaksimal. Ia juga menolong rencana orangyang dipimpinnya tetapi dengan cara me-latih hingga potensi yang dipimpinnya mun-cul untuk memproses visinya sendiri. Keem-pat, dimensi kebiasaan, yakni mengem-bangkan kebiasaan dan perilaku, pemimpindisiplin dan merawat hubungan yang baikdengan yang dipimpinnya. Dengandemikian, ia dapat mengubah kultur dalamorganisasinya (Blanchard & Hodges, 2003,pp. 80-84).

Setelah melihat keempat dimensi ka-rakter tersebut, terlihat suatu dilema sub-ordinasi yang kental, yakni ketika seorangpemimpin sedang melayani orang yangdipimpinnya, maka konsekuensi logisnyaadalah yang dilayani akan melayani pe-mimpinnya juga dan inilah kultur yangdibangun dalam konsep tersebut. Inilah kritikyang dapat digarisbawahi atas keempatdimensi tersebut.

Sementara itu, konsep Greenleaf sen-diri telah menimbulkan penilaian kritis di ka-langan komunitas gereja, karena konsepGreenleaf tentang kepemimpinan membukaruang terhadap pola subordinasi dalamrelasi.5 Namun demikian, tidak berhentisampai di situ saja. Permasalahan penelitianini adalah seperti yang dikemukakan olehAdiprasetya bahwa praktik kepemimpinan-pelayan tersebut menjadi bagian dalam ke-hidupan bergereja di Indonesia yang ditun-jukkan oleh para pendetanya.

Bagi Adiprasetya, dalam konsep ke-pemimpinan-pelayan tampak adanya sub-ordinasi (Adiprasetya & Sasongko, 2019, p.22). Padahal, peradaban sekarang ini sudahtidak menekankan lagi subordinasi. Ia me-lihat bahwa sifat pastoral kepemimpinankristiani hilang di banyak gereja. Fokusnyaberalih ke peristiwa liturgi yang kudus.Dengan demikian, pemimpin pelayan ataudalam istilah Adiprasetya adalah doularchyterus menerus dipraktikkan setiap hari(Adiprasetya, 2018, p. 48) tanpa membukaruang untuk memetakan model kepe-mimpinan kontekstual lainnya.

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

106

Page 6: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

Dengan memperhatikan penilaiankritis komunitas gerejawi atas konsepGreenleaf dan argumen kunci Adiprasetyayang berbentuk keprihatinan terhadap parapemimpin gereja, investigasi ini perlu jugamenjadi sumbangan yang relevan bagidiskursus kepemimpinan kristiani. Namun,tidak terutama kepada pendeta melainkanpara pemimpin dalam komunitas gerejakarena partisipan kepemipinan di gerejatidak hanya seorang pendeta. Oleh karenaitu, perhatian berikutnya ialah kepada dis-kusi yang baru-baru ini berkembang, yaknikonsep persahabatan yang inheren dengankepemimpinan kristiani, sembari mencobamelihat dalam hal apakah konsep per-sahabatan Kristen dapat memberikan sum-bangan dalam tujuan penelitian ini.

Konstruksi Teologi Carmichael danSummers Tentang Persahabatan

Telah disebutkan sebelumnya bahwaterlebih dahulu akan ditelusuri teks Yohanesyang memperbincangkan tentang persaha-batan. Di sini, akan secara khusus mem-fokuskan perhatian kepada Liz Carmichaeldan Steve Summers, dua orang teolog yangberfokus kepada tema persahabatan. Mena-riknya, karya keduanya yang dipublikasikansekitar tahun 2000-an menjadi cukup do-minan memperlihatkan tema-tema persaha-batan. Beberapa terbitan antara lain: Friend-ship: Interpreting Christian Love (2004),Friendship: Exploring its Implications for theChurch in Postmodernity (2009), Politics inFriendship: A Theological Account (2014).Akan tetapi, di sini hanya akan ditelusurikedua karya yang relevan dengan per-masalahan utama, dan yang menjadi fokusdi dalamnya.

Penelusuran tersebut dimulai dari LizCarmichael, seorang pendeta kampus danpengajar di St. John College, Oxford yangmenginvestigasi terminologi kasih Kristendalam kaitannya dengan persahabatan. Didalam bukunya, Friendship: InterpretingChristian Love, Carmichael mencoba meng-eksplorasi makna kasih Kristen, yakni kasih

persahabatan. Persahabatan digambarkansebagai sebuah model hubungan, yaknikasih dan memungkinkan setiap oranguntuk meninjau sifat dasarnya. Carmichaelmemang tidak memberi pembatasan definisiterkait persahabatan namun dia mencirikanbahwa persahabatan merupakan suaturelasi resiprokal antarpersonal. Tujuannyaadalah memberikan gambaran beragamtentang bagaimana setiap orang akanmemikirkan dan melatih kasih kristianisebagai kasih persahabatan dengan me-nelusuri tradisi kekristenan tentang per-sahabatan sendiri (Charmichael, 2004, pp.4-5).

Sementara itu, Steve Summers,seorang pengajar dan pendeta Jemaat digereja Anglikan mengelaborasi persaha-batan dalam rangka mewujudkan basiseklesiologis di antara gereja-gereja dalamkonteks posmodernisme. Lebih lanjut iaingin mengusulkan bahwa persahabatandapat menjadi basis yang sangat kuat danpenting untuk gereja dalam memahamidirinya yang hadir untuk menekankanrelasionalitas. Persahabatan adalah suaturelasi yang kuat dan merangkul perbedaan,mencari kebaikan dari yang lain dalammutualitas yang resiprokal. Menurutnya,model inilah yang akan menjawab tantanganzaman (Summers, 2009, pp. 1-2).

Urgensi keduanya pun berbeda.Summers lebih melihat gereja yang kurangmelihat persahabatan sebagai basis ekle-siologi yang penting, sementara Carmichaelterpikat dengan penelusuran Jurgen Molt-mann yang sampai kepada kesimpulan bah-wa persahabatan merupakan “universalinvitation to the messianic feast, and yetspecifically personal and welcoming.”6 Olehkarena itu, perlu ditelusuri latar belakangtulisan keduanya di sini. Karya mereka initergolong ke dalam metode deskriptif, ka-rena mereka memiliki fokus untuk menje-laskan alur berteologi tokoh-tokoh yangmereka pilih dan kemudian merumuskanpemaknaan masing-masing. Dengan demi-kian, perlu dicermati pemikiran keduanya di

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

107

Page 7: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

bagian-bagian akhir dalam tulisannya.Keduanya, mengawali penelusuran

mereka atas teks Yohanes, meskipunsecara khusus Carmichael tidak mele-paskan konteks zaman sebelum PerjanjianBaru. Oleh karena itu, kembali lagi kepemikiran kunci Carmichael terlebih dahulu.Menurutnya, teolog Kristen telah men-diskusikan kasih dan persahabatan dalamkonteks kultural Yunani. Sementara kontekssebelumnya (para filsuf) bergerak dari kasihsebagai pemersatu harmonisasi kosmiksebagai syarat persahabatan pribadi dalamhubungan antar umat manusia (Carmichael,2004, p. 7).

Di dalam Alkitab, kasih menjadi temasentral hingga ketika Yesus memberikan“perintah baru” untuk mengasihi satu de-ngan yang lainnya, “seperti Aku mengasihikamu (Yoh.13:34; 15:12).” Di sini terlihatbahwa kasih telah menjadi penentu diskusitentang persahabatan Kristen.7

Setelah melihat bagaimanaCarmichael mendasari pemikirannya, selan-jutnya akan melihat Summers meng-investigasi kesamaan landasan ini. AnalisisSummers hampir senada denganCarmichael bahwa titik berangkatnya adalahYohanes 15, karena aspek tekstual persa-habatan secara eksplisit berasal dari tradisiini, bahkan Summers menambahkan istilahtransformasional untuk teks yang bersifatpercakapan ini (Summers, 2009, pp. 9-10).Setelah melihat aspek alkitabiah ini, penulisakan mempelihatkan bagaimana secarakonstruktif tema ini dieksplorasi olehCarmichael dan Summers.

Carmichael menelusuri para teologklasik yang memberikan sumbangsih terha-dap tema ini. Akan tetapi, konteks yangmenarik dan relevan baginya adalah Aelerddari Rievaulx.8 Aelerd disoroti olehCarmichael, karena sumbangsih pemikiranAelerd terkait ini memiliki signifikansi yangkuat. Namun demikian, tokoh-tokoh sepertiAmbrosius, John Cassian, Agustinus, Tho-mas Aquinas, yang membangkitkan dis-kursus ini juga disoroti, bahkan para filsuf

seperti Kant dan Kierkegaard diberikantempat untuk memperlihatkan relevansinyakini. Summers juga menelusuri mereka,karena memang ia berada dalam pengaruhCarmichael.9 Akan tetapi, Summers lebihbanyak memberikan tempat terhadap parafilsuf klasik yang memang mengawali dis-kursus ini, seperti Aristoteles dan Cicero.

Namun demikian, penelitian ini hanyaakan berfokus untuk mengikuti pemikirankunci Carmichael dan Summers dalamkonstruksi mereka atas konsep persa-habatan Kristen. Oleh karena itu, perludiketahui fokus kedua teolog tersebut,karena tulisan keduanya berbentuk des-kriptif, sehingga secara sistematis merekamenguraikan para teolog dan juga beberapafilsuf yang membicarakan tema ini.

Pertama, dimulai dari Carmichael. Didalam konteksnya sebagai seorang pendetakampus dan pengajar, pemikiran Car-michael sangat berorientasi kepada per-kembangan investigasi tentang tema kasihKristen ke dalam relevansinya bagi gayahidup kekristenan kontemporer. Pertanyaanyang kemudian muncul adalah apakahCarmichael mengarahkan pemikirannya kekepemimpinan-sahabat. Memang tidak se-cara eksplisit, tetapi ia menempatkan se-orang pemimpin gereja sebagai refleksiteologisnya.

Carmichael merefleksikan sosok JohnSwinton seorang teolog yang berfokus padadisabilitas dan merupakan pendeta diChurch of Scotland. Swinton menunjukkanmodel pendeta yang bersahabat. Ia menulistentang orang-orang yang hidup “berke-butuhan khusus” dan berharap agar umatawam di gereja lokal dapat menerimadengan persahabatan, meskipun sulit. BagiSwinton, menjadi sahabat ialah menjangkaupribadinya, bukan menjustifikasi apa yangdialaminya (Carmichael, 2004, pp. 196-197).Carmichael terpikat dengan sosokkepemimpinan Swinton yang menurutnyadilandasi oleh persahabatan. Baginya,

“… as a pastor, John Swinton has assiste

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

108

Page 8: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

people to discover how to make unusualfriendship, to be channels of thefriendship-love of Christ.” [MenurutCarmichael, Swinton semakin mene-gaskan bahwa] Christian have theessential counter-cultural calling to befriends on earth, to offer love which maybe in the truest sense sacrificial, to buildcommunity, to be peacemakers andhealers, to seek and promote compassionand justice, to walk with the oppressedand help their voice to be heard, tocelebrate with all (Carmichael, 2004, pp.196-197).

Prinsip Swinton inilah yang membuatCarmichael terpikat untuk mengukuhkankonsep persahabatannya juga ke dalamaspek kepemimpinan sehingga ia jugamenyemai visi eklesiologis dalam karyanyatersebut.

Dari pernyataan reflektif yang ditandaioleh Carmichael tersebut diperlihatkan bah-wa model kepemimpinan Swinton adalahrealisasi pemimpin yang bersahabat.Carmichael juga menilai bahwa,

The praxis of friendship requires that inaddition to forming friendships with peopleclose by, we should make efforts to cul-tivate a much wider network of deepeningfriendships in different continents and cul-tures, from which to gain understanding …with respect and sensivity (Carmichael,2004, p. 199).

Nilai praktis yang penting ini mem-perlihatkan kecenderungan ciri bahwapersahabatan akan menghasilkan sebuahtatanan yang aktif dan reaktif, serta me-nguatkan.

Sementara itu, Summers lebih melihataspek persahabatan ini relevan dalam kon-teks eklesiologi. Ia berada dalam imajinasidan cita-cita untuk mengembangkan sebuahkomunitas berbasis persahabatan. Memangtujuan dari tulisannya ini adalah memberikanimplikasi yang mendarat dalam konteksgerejawi. Hal ini tidak lepas dari latarbelakangannya sebagai seorang pendeta

jemaat di gereja. Urgensitasnya adalahmenciptakan sebuah basis yang menjawabtantangan posmodernitas (Summers, 2009,p. 192). Pertanyaan yang muncul kemudianadalah apakah Summers juga mengarahkanpola pikir tentang kepemimpinan yangbersahabat?

Pertanyaan tersebut dapat dijawabapabila menandai bahwa Summers melihatpersahabatan dalam bingkai relasionalitasbahkan pola inilah yang akan menciptakaneklesiologi yang bersahabat. Bagi Summers,konsep persahabatan akan menjadi sebuahtawaran menarik bagi gereja di zamanpostmodern yang menuntut citra diri dansifat komunitas gereja agar tidak jatuh kedalam relativisme. Konsep ini akan me-wadahi pencarian “the good of ‘the other’and encouraging the friend to be anotherself” (Summers, 2009, p.194).

Sampai di sini terlihat jelas bahwakesetaraan setiap anggota menjadi dasardari tujuan komunitas. Termasuk gerejayang memungkinkan persahabatan untukberkembang dan bertumbuh subur di tengahkeberagaman citra diri. Kualitas kesetaraandan saling mendorong ke arah yang lebihbaik menjadi faktor mendasar untuk ter-capainya pola relasi persahabatan. Ini yangdibutuhkan gereja dan para pemimpin masakini di dalam rangka mengembangkan ekle-siologi yang diwarnai nilai relasi persa-habatan.

Analisis Teologi Carmichael danSummers tentang Persahabatan dalambingkai Kepemimpinan

Dalam diskursus eklesiologi, faktorpenggerak dari relasi persahabatan ialahkepemimpinan. Kepemimpinan merupakanbagian dari eklesiologi, dan kepemimpinanmerupakan bagian yang penting dalam se-buah tatanan gerejawi yang dapat mem-bawa jemaat ke dalam partisipasi di dalamgereja (Hendriks, 2002, pp. 66-67).

Dari konstruksi teologi persahabatanCarmichael dan Summers terlihat adanyafokus atau perhatian yang sama ketika

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

109

Page 9: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

mencoba menempatkan konsep ini dalambingkai yang lebih praktis. Jika diperhatikan,maka hal tersebut nampak tatkala keduanyamenandai faktor praktis sosok pemimpinyang mempengaruhi tinjauan ilmiah-teologismereka tentang konsep persahabatan kris-tiani (Carmichael, 2004, p. 196; Summers,2009, p. 23).

Ada upaya implementasi dari konsepyang mereka bangun berkaitan denganpemimpin yang memimpin dengan pen-dekatan persahabatan. Oleh karena itu,konsep persahabatan Carmichael dan Sum-mers bukanlah sebuah teologi yang bersifatstatis dan menutup kemungkinan untukditerapkan ke dalam aspek-aspek kehi-dupan lainnya, melainkan teologi yang ber-sifat dinamis dan terbuka untuk diapli-kasikan ke dalam sendi-sendi eklesiologis.Termasuk kepemimpinan, karena di sinilahrelasionalitas tercipta.

Misalnya saja sorotan keduanyaterhadap sosok pemimpin dalam komunitasgereja. Bagi keduanya, pemimpin sangatmempengaruhi gerak persahabatan baiksecara pribadi maupun eklesiologis, se-hingga keduanya membuka peluang untukmengembangkan modeling dan profilingpemimpin yang bersahabat dalam bingkaikepemimpinan di komunitas gereja.

Tidak hanya itu, secara teologiskeduanya juga saling memperlengkapi danmenjelaskan, karena argumen kunci mere-ka berdua dalam karyanya yang disorotidalam penelitian ini, berdasarkan teladansikap dan karakter relasi Yesus dengan paramurid dan orang banyak yang menjum-painya. Carmichael dan Summers menandaiInjil Yohanes 13-14. Dalam perjalananpelayanan Yesus, Ia menjalin relasi denganpara murid-Nya. Ia menganggap murid-murid bukanlah seseorang yang lebih ren-dah dari diri-Nya tetapi Ia menganggap paramurid sebagai sahabat.

Bagi Summers, pada saat itu, Yesusmerupakan guru bagi murid-murid-Nya ka-rena itulah gelar yang diberikan kepada-Nya(Summers, 2009, p. 23). Ketika dianggap

sebagai seorang guru oleh para murid,Yesus dengan kerendahan hati-Nya malahmembasuh kaki mereka dan menyebut paramurid-murid-Nya sebagai sahabat-Nya(Summers, 2009, p. 23).

Secara eksplisit, Carmichael punmenandai bahwa Yesus tidak ingin paramurid menganggap diri-Nya lebih tinggi daripara murid. Oleh karena itulah, Yesusmenginisiasi persahabatan dengan mereka(Carmichael, 2004, p. 162). Berdasarkankonstruksi teologi persahabatan dari keduateori utama dalam penelitian ini, dapat dinilaibahwa faktor sikap dan karakter serta re-lasionalitas menjadi basis terciptanya ke-pemimpinan bersahabat dalam komunitaskristiani. Gereja merupakan salah saturuang lingkupnya. Tanpa ruang lingkup ma-ka teologi persahabatan hanya bersifat spiri-tual dan tidak mewujud ke dalam praktikberteologi yang konkrit.

Sampai di sini, dapat digarisbawahibahwa teologi persahabatan adalah sebuahteologi yang berbasis relasionalitas. Allahyang telah bersahabat kepada manusia,karena itu sebagai respons mutual, manusiaperlu bersahabat dengan sesamanya(Levering, 2007, p. 39-40). Dengan demi-kian, pertanyaan terakhir yang akan menu-tup penelitian ini ialah bagaimana bentukdan implikasi model tersebut di dalamkonteks komunitas kristiani? Baik gerejamaupun marketplace. Bagian berikutnyaakan memberikan ciri dan karakter kepe-mimpinan yang bersahabat.

Implikasi Teologi Persahabatan BagiDiskursus Kepemimpinan Kristiani

Seperti yang telah diperlihatkan dibagian pendahuluan bahwa diskursuskepemimpinan kristiani memang banyakdipengaruhi oleh konsep kepemimpinan-pelayan. Kenyataan ini dibuktikan denganbeberapa pemahaman yang dihasilkan daripengaruh mendalami konsep kepemimpi-nan-pelayan. Akan tetapi, setelah mene-lusuri konstruksi teologi persahabatan yangada, terlihat ada kecenderungan lain untuk

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

110

Page 10: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

menambah sumbangan terhadap diskursuskepemimpinan kristiani, yakni kepemimpi-nan yang bersahabat.

Bukan berarti kepemimpinan-pelayanharus serta merta diganti, tetapi wawasankomunitas gereja sebaiknya semakin ditam-bah melihat zaman yang fleksibel dan long-gar subordinasi ini. Khususnya, dalammemanfaatkan ruang interaksi digital, kepe-mimpinan bersahabat akan menghubungkandirinya sebagai seorang sahabat. Olehkarena itu, pertanyaan terakhir akan dijawabdengan menguraikan bentuknya. Karena itu,penting untuk memperlihatkan karakteristikapakah yang akan muncul dalam konsepkepemimpinan-sahabat, sekaligus meninjaujuga kelebihan dan kekurangannya. Car-michael dan Summers telah memperlihatkanpemahaman teologis tentang persahabatan,dan ada kemungkinan untuk mengkons-truksi sebuah konsep kepemimpinan ber-sahabat berbasis relasi kasih persahabatan.

Dengan demikian, kepemimpinan kris-tiani memiliki peluang untuk menempatkanmodel kepemimpinan bersahabat denganpendeta sebagai pemimpinnya (Jackson,2016, p. 156). Apakah konsep ini akanmengganti pretensi dari kepemimpinan-pelayan yang telah mempengaruhi polakepemimpinan gerejawi? Tentu tidak seba-gaimana telah ditekankan di atas. Akantetapi, konsep ini akan menambah wawasangereja bahwa keberadaannya di dunia, tidakhanya tentang melayani, tetapi juga menjadisahabat.

Kini gereja ada di zaman yang tidaklagi menekankan subordinasi, sehinggaapabila terbentuk konsep kepemimpinanbersahabat, maka gereja akan menjadiinspirasi bagi komunitas lainnya. Berda-sarkan gagasan tersebut, maka dapatdidefinisikan bahwa kepemimpinan bersaha-bat merupakan sebuah cara menggapaitujuan bersama dalam gereja, ketika kasihmembuat pemimpin mengaktualisasikan dirisebagai sahabat bagi anggotanya.

Relasinya menjadi timbal balik, danberada pada sebuah kesetaraan dan

dorongan-dorongan yang menghasilkanmanfaat dalam tujuan bersama yang efektif.Berdasarkan definisi ini, kepemimpinan ber-sahabat perlu diperlengkapi oleh karakterpemimpinnya yang mampu juga mem-fasilitasi ingatan negatif di masa lalu yangsempat membatasi relasi (Pakpahan, 2017,p. 236).

Penelitian ini mengusulkan empat ka-rakter seorang pemimpin bersahabat de-ngan tetap berada dalam pengaruh dariCarmichael dan Summers, sembari men-coba memperlihatkan kekurangannya.

Pertama, seorang pemimpin bersa-habat adalah seorang yang mampu mele-wati batas-batas. Batas-batas yang dimak-sudkan di sini adalah usia dan menerimapribadi lain yang asing baginya. Teladannyaadalah Yesus, yang mau bersahabatdengan para murid, anak kecil, perempuan,para marjinal, disabilitas serta orang-orangasing lainnya. Di sini, pemimpin tidak hanyamembuka pemahamannya terhadap golo-ngan tersebut, tetapi bersedia berdialog danmenganggap serta menerima bahwa me-reka ada. Kekurangannya di sini ialah apa-bila terpola, pemimpin dapat beralih fokusdalam orientasinya, yakni perhatian lebihkepada kalangan orang terpinggirkan, se-hingga menimbulkan kecemburuan sosialbagi anggota sebagai perhatian awal, ka-rena tidak lagi menjadi prioritas.

Kedua, mencari potensi dari anggotadan memberikan harapan untuk menjadipribadi yang berubah. Di sini, pemimpinberperan sebagai agent of change bukanbagi dunia tetapi bagi anggotanya, denganmelihat potensi dari diri anggotanya untuktransformasi dirinya ke depan sehinggamenjadi pemimpin juga berarti memper-siapkan kader-kader potensial berikutnyayang dapat meneruskan tongkat pelayanan.Kekurangannya di sini ialah pemimpin akansibuk menggali potensi anggotanya, namunlupa untuk menggali potensinya sendiri dantanggung jawab yang masih dimilikinya,sehingga relasi resiprokalnya menjadi satuarah dan dapat hilang. Oleh karena itu,

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

111

Page 11: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

anggotanya perlu memiliki kesadaran untukmenjadi kader lanjutan dengan meneladaniupaya pemimpin sehingga mau turutberperan sebagai penggali potensi di tengahkomunitas.

Ketiga, pendamai. Di sini pemimpinmenjalankan panggilan pastoralnya (Apria-no, 2018, p. 93).10 Di dalam pengaruh kasihpersahabatan dia tidak lagi menjadi seorangyang membawa gaduh dalam pertemuan,apabila berbeda pendapat, tetapi membawagaung perdamaian dengan mengafirmasiinsight pendapat lainnya. Di sini, akanmuncul kekurangan bahwa pemimpin me-nerima segala insight namun menjadi lupabahwa ia juga memiliki insight lain yangdapat dielaborasi dengan insight yang ada.Bahkan, di sini ia dapat mengangkatingatan-ingatan negatif di masa lalu untukmenata masa depan berkomunitas denganlebih baik.

Keempat, compassion. Dalam penger-tian ini, pemimpin sadar untuk menghiburorang lain yang dipimpinnya. Terkhusus,dalam relasinya dengan anak-anak, remajadan pemuda yang sering kali melihat diripemimpin sebagai seorang senior yangpatut disegani, karena dia adalah pemimpindi komunitasnya. Dengan karakter ini,pemimpin menjadi youth minister yang dekatdengan mereka. Di sini, apabila relasinyadipahami begitu ekstrem, maka pemimpindapat dianggap sebagai teman sebaya danmesti mengikuti segala aktivitas di masakecil atau muda mereka yang notabenesudah dilalui olehnya. Oleh karena itu,pemimpin juga perlu mempertimbangkanpola relasi yang lebih berwibawa agar tidakjauh jatuh ke dalam ekstrem tersebut.

KESIMPULANPenelitian ini telah mengakhiri alur

berteologi tentang persahabatan dan juga

telah mengkonstruksi sebuah konsep danmodel kepemimpinan bersahabat berdasar-kan tinjauan atas pemikiran Liz Carmichaeldan Steve Summers, serta penilaian kritisatas warisan teoretis Robert Greenleaftentang kepemimpinan. Bahkan, juga telahmenemukan implikasinya bagi diskursuskepemimpinan kristiani dalam komunitasgereja melalui empat karakter pemimpinbersahabat.

Semakin jelas bahwa persahabatanKristen dimulai dari kasih persahabatanyang tertulis dalam Alkitab melalui kisahpercakapan Yesus dan dua belas sahabat-Nya dan kesadaran bahwa zaman ini tidaklagi menekankan subordinasi. Diskusi initidak akan berkembang apabila tidak adapara teolog kontemporer yang menstimulustema persahabatan dengan menyorotidimensi kasih Kristen. Oleh karena itu,penelitian ini membuka ruang kemudianterhadap analisis dan refleksi teologismenyoal karakter kepemimpinan bersahabatdengan meneladani Kristus, Sang PemimpinAgung yang bersahabat.

Kepemimpinan kristiani telah sangatlama didominasi oleh konsep pemimpin-pelayan, karena itu diperlukan cakrawalaalternatif model kepemimpinan yang lebihbersahabat. Konsep ini akan berjalanapabila para pendeta mengejawantahkankeempat karakter pemimpin bersahabatyang ada. Dengan demikian, melalui konsepkepemimpinan bersahabat yang terlihatdalam karakter pemimpin bersahabat, parapemimpin di tengah komunitas gereja-gerejaKristen di Indonesia dapat memperjuangkansifat kasih Ilahi dalam kehadiran mereka ditengah jemaat maupun marketplace agarteladan persahabatan Yesus termanifestasisecara dekat.

DAFTAR RUJUKANAdiprasetya, J., & Sasongko, N. (2019). A

Compassionate Space‐making:Toward a Trinitarian Theology of

Friendship. The Ecumenical Review,71(1-2), 21-31.

Adiprasetya, J. (2018). Pastor as Friend:Reinterpreting Christian Leadership.

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

112

Page 12: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

Dialog, 57(1), 47-52.Apriano, A. (2018). Pelayanan BersamaKomunitas Sebagai Model Pelayanan

Pastoral Berbasis ParadigmaKomunal-Kontekstual dalam TeologiPastoral. Kurios: Jurnal Teologi danPendidikan Agama Kristen, 4(2), 92-106.

Aorora, D. (2009). Konsep KepemimpinanServant Leadership Pada InstitutPertanian Bogor. Skripsi SE., Bogor:Institut Pertanian Bogor.

Blanchard, K. & Hodges, P. (2003). TheServant Leader: Transforming YourHeart, Head, Hands & Habits.Nashville: Thomas Nelson Inc.

Blanchard, K. (2002). The Heart ofLeadership. In Larry Spears &Michele Lawrence (Eds.), Focus onLeadership: Servant-Leadership forthe Twenty-First Century (pp. ix-xii).New York: John Wiley & Sons Inc.

Brown, N. A., & Barker, R. T. (2001).Analysis of the communicationcomponents found within thesituational leadership model: Towardintegration of communication and themodel. Journal of technical writing andcommunication, 31(2), 135-157.

Carmichael, L. (2004). Friendship:Interpreting Christian Love. London:T&T Clark.

Engestrom, T. & Dayton E. (1976). The Artof Management for Christian Leaders.Texas: Word Books Publisher.

France, R. T. (2007). The gospel ofMatthew. Grand Rapids: EerdmansPublishing.

Gibbs, E. (2010). Kepemimpinan GerejaMasa Mendatang (T. Siahaan, Trans.).Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Greenleaf, R. K. (2002). ServantLeadership: A Journey into the Natureof Legitimate Power & Greatness. NewJersey: Paulist Press.

Hendriks, J. (2002). Jemaat Vital & Menarik.Yogyakarta: Kanisius.

Jackson, J. C. (2016). Conversation,Friendship and Transformation:Contemporary and Medieval Voices ina Theology of Discourse. New York:Routledge.

Lee, H. (1989). Effective Church Leadership:a practical sourcebook. Minneapolis:Augsburg Fortress.

Levering, M. (2007). Friendship andTrinitarian Theology: Response toKaren Kilby. International Journal ofSystematic Theology, 9(1), 39-54.

Pakpahan, B. J. (2017). To RememberPeacefully: A Christian Perspective ofTheology of Remembrance as a Basisof Peaceful Remembrance of NegativeMemories. International Journal ofPublic Theology, 11(2), 236-255.

McIntyre, P. (2012). [Review of the bookExploring Its Implications for theChurch in Postmodernity, by S.Summers]. Denver Journal,Apologetics and Ethics, 15. Retrievedfrom https://denverseminary.edu/the-denver-journal-article/friendship-exploring-its-implications-for-the-church-in-postmodernity/.

Spears, L. C. (2002). Tracing the Past,Present, and Future of ServantLeadership. In L. C. Spears & M.Lawrence (Eds.), Focus onLeadership: Servant-Leadership forthe Twenty-First Century (pp. 1-18).New York: John Wiley & Sons Inc.

Spears, L. C., & Lawrence, M. (Eds.).(2016). Practicing servant-leadership:Succeeding through trust, bravery, andforgiveness. San Fransisco: JohnWiley & Sons.

Summers, S. (2009). Friendship: ExploringIts Implications for the Church inPostmodernity. London: T&T Clark.

Roels, S. (1990). Moving Beyond ServantLeadership. Pasadena: De PreeLeadership Centre.

Ward, P. (2013). Liquid church. Eugenes:Wipf and Stock Publishers.

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

113

Page 13: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

CATATAN AKHIR1. Definisinya sebagai berikut, “kepemimpinankristiani ialah kepemimpinan yang didorongdengan kasih dan keinginan memberi diri untukmelayani. Kepemimpinan tersebut ditautkandengan kontrol Kristus dan teladan yang telahKristus berikan.” Sementara itu Lee Harrismenyatakan bahwa “seorang pemimpin kristianiyang memahami perannya sebagai pelayansecara spesifik melaksanakan tugasnya sebagaipemandu umat Tuhan dalam menuntun merekamemenuhi panggilan dan misinya” (Lee, 1989, p.24).

2. Kecenderungan pemahaman tersebutdidukung dengan publikasi terbaru JoasAdiprasetya (2018). Dalam Pastor as Friend:Reinterpreting Christian Leadership,Adiprasetnya menilai bahwa model pemimpinpelayan telah mendominasi pemikiran parapemimpin gereja di Indonesia sehingga sampaitidak ingin mempolarisasi model kepemimpinanlain yang bernilai Kristen.

3. Definisi yang adalah terjemahan pemikiranGreenleaf ke dalam bahasa Indonesia inimenjadi sangat umum. Bandingkan denganAorora (2009, p. 9).

4. Lihat pernyataan Spears (2002, p. 370). Pusatstudi ini terletak di Indianapolis, Indiana, AmerikaSerikat yang merupakan suatu lembagapendidikan organisasi nonprofit yang mencobamendorong pemahaman dan praktikkepemimpinan-pelayan. Telah terdapat diAustralia/New Zealand, Kanada, Eropa, Korea,Filipina, Singapore, Afrika Selatan dan InggrisRaya. Pusat misinya adalah meningkatkankepedulian dan kualitas seluruh institusi melaluikepemimpinan-pelayan. Wujud konkritnya ialahmenyebarkan buku-buku, tulisan esai, dan videorekaman tentang kepemimpinan-pelayan. Untukmemperoleh informasi historis yang lebih lanjut,lihat Greenleaf (2002, pp. 369-370).

5. Beberapa kritik yang muncul setelahkonstruksi ini diklaim sebagai yang terbaik diabad ini. Salah satunya antara lain oleh Gibbs

(2010, pp. 23-25). Gibbs menyatakan bahwapara pemimpin gereja tidak boleh terburu-burumenempatkan kepemimpinan yang menghambasebagai konsep kepemimpinan gerejawi. Didalamnya Gibbs mengutip Shierly Roels (1990,p. 3).

6. Carmichael menelusuri pemikiran Moltmannterkait pentingnya mendiskusikan persahabatandalam konteks Afrika Selatan. Carmichaelmelihat sulitnya meletakan persahabatan, karenaia belum memiliki kesadaran atas itu. KaryaMoltmann seakan menstimulasinya dalammembentuk konsep persahabatan Kristen(Summers, 2009, p. 1).

7. Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Carmichael(2004, pp. 35-37). Carmichael menegaskanbahwa kita tidak dapat memungkiri ketikamendiskusikan kata kasih Kristen terdapatragam bentuknya, yakni agape, eros, dan filia.Masing-masing memiliki karaterisiknya: agapemerupakan kasih pengorbanan, eros merupakankasih kegairahan. Namun fokus makalah ini adapada filia, kasih persahabatan. Dengandemikian, penelitian ini akan menelusuri secarakhusus filia sebagai basis persahabatan di sini.Menurut Carmichael kata sahabat, philos tidakmengundang kontroversi, namun menjadidominan dalam Injil Yohanes (15:15; 11:11; 3:29;19:12; 3 Yoh.15). Akan tetapi, Carmichael dalambagian ini memusatkan perhatiannya pada filiayang secara eksplisit berada dalam Yohanes15:13-15, secara khusus, “Aku tidak menyebutkamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apayang diperbuat oleh tuannya, tetapi Akumenyebut kamu sahabat.”

8. Sejak awal, Carmichael menandai bahwapenelusurannya akan terfokus kepada beberapateolog klasik ini, terkhusus Aelerd dalammerumuskan spiritual friendship. Menurutnya,para teolog tersebut melihat persahabatan dariunsur kasih Kristen, terutama agape dan filia,meskipun keseluruhannya menyebutkan unsurkata Latin untuk menunjukkan kasih, yaknicaritas sebagai dasar pembentukan artipersahabatan tersebut. Akan tetapi, fokus

Menuju Teologi Kepemimpinan Bersahabat ...

Volume 2, Nomor 2, Juli 2020

114

Page 14: MODEL KEPEMIMPINAN KRISTIANI BERBASIS TEOLOGI …

mereka menunjukkan bahwa kasih Kristenadalah persahabatan yang dapat melepasbelenggu penghambat di dalam kehidupan,seperti dalam konteks Aelerd. Untuk analisislebih lanjut lihat, Carmichael (2004, p. 71).

9. Di dalam bukunya Summers (2009, p. 198)memberi porsi atas karya Carmichael. Di dalammenjelaskan para teolog klasik ini, tinjauan dariMcIntyre (2012), seorang teolog dari SekolahTinggi Denver relevan ditempatkan di sini. Didalam tinjauan McIntyre, Summers berangkatdari persoalan Agustinus tentang persahabatanKristen sebagai jenis yang berbeda secaraumum dari persahabatan yang benar. Summersmemperlihatkan fokus yang lebih banyak denganAquinas dan sentralitas persahabatannya yangmelihat relasi utama Allah sebagai yang utama

dengan orang percaya. Bahkan, persahabatan didalam tubuh orang percaya didasarkan kepadahubungan interpersonal Trinitas. Summersmenjelaskan ide komunitas individual dankomunitas yang saling terkait. Ia mendasaripemahaman ini dalam teologi Ortodoks Timurdari pada teologi Barat yang cenderunghierarkis. Ia juga menandai bahwa lebih dekatpersahabatan menjadi sangat signifikan dizaman biara dengan pola relasi setara yangterjalin didalamnya.

10. Fungsi pastoral yang dimaksudkan di sinibukan terbatas pada pelayanan pendeta,melainkan pelayanan pendampingan yang jugamelibatkan komunitas gereja. Untuk definisiterdahulu dalam penelitian tentang hal ini dapatdilihat dalam Apriano (2018, pp. 92-106).

Alvian Apriano

Pengarah: Jurnal Teologi Kristen

115