44
MODAL SOSIAL 2.1. Evolusi Pemikiran Modal Sosial Secara ide, modal sosial sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sejarah intelektualitas konsep tersebut telah berakar sejak abad ke 18 (Adam dan Roncevic, 2003). Terminologi modal sosial telah digunakan sejak awal abad ke 19, tetapi tradisi-tradisi konsepnya jauh lebih tua terutama berakar dari disiplin ekonomi, sosiologi, antroplogi dan ilmu politik. Oleh karenanya, tidak salah apabila konsep dasar modal sosial dalam tataran tertentu senantiasa dikaitkan dengan pemikir seperti Mill, Durkheim, Weber, Locke, Rousseau dan Simmel (Bankston dan Zhou, 2002; Putnam, 1995), meskipun pada saat itu istilah modal sosial belum terbakukan di kalangan para teoritisi sosiologi klasik. Bankston dan Zhou (2002), misalnya, secara khusus merujuk keterkaitan antara sosiologi normatif dari Durkheim dan pemikiran Coleman berkaitan dengan konsep modal sosial. Lebih lanjut, Portes (1998) berpendapat bahwa penekanan Durkheim pada kehidupan kelompok sebagai sebuah antidote menjadi anomie dan self-destruction, misalnya, atau perbedaan antara atomized class-in-itself dan mobilized effective class-for-itself, dipandang oleh sebagian teoritisi sebagai akar konsep modal sosial. Kebanyakan teoritisi setuju bahwa penggunaan konsep modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda Judson Hanifan dalam karyanya A Practical Reformer of the Progressive Era yang 1

Modal Sosial Handouts

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hggh

Citation preview

Page 1: Modal Sosial Handouts

MODAL SOSIAL

2.1. Evolusi Pemikiran Modal Sosial

Secara ide, modal sosial sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sejarah

intelektualitas konsep tersebut telah berakar sejak abad ke 18 (Adam dan Roncevic,

2003). Terminologi modal sosial telah digunakan sejak awal abad ke 19, tetapi tradisi-

tradisi konsepnya jauh lebih tua terutama berakar dari disiplin ekonomi, sosiologi,

antroplogi dan ilmu politik. Oleh karenanya, tidak salah apabila konsep dasar modal

sosial dalam tataran tertentu senantiasa dikaitkan dengan pemikir seperti Mill,

Durkheim, Weber, Locke, Rousseau dan Simmel (Bankston dan Zhou, 2002; Putnam,

1995), meskipun pada saat itu istilah modal sosial belum terbakukan di kalangan para

teoritisi sosiologi klasik. Bankston dan Zhou (2002), misalnya, secara khusus merujuk

keterkaitan antara sosiologi normatif dari Durkheim dan pemikiran Coleman berkaitan

dengan konsep modal sosial. Lebih lanjut, Portes (1998) berpendapat bahwa penekanan

Durkheim pada kehidupan kelompok sebagai sebuah antidote menjadi anomie dan self-

destruction, misalnya, atau perbedaan antara atomized class-in-itself dan mobilized

effective class-for-itself, dipandang oleh sebagian teoritisi sebagai akar konsep modal

sosial.

Kebanyakan teoritisi setuju bahwa penggunaan konsep modal sosial pertama kali

digunakan oleh Lyda Judson Hanifan dalam karyanya A Practical Reformer of the

Progressive Era yang dipublikasikan tahun 1916. Dia menemukan pertama kali istilah

modal sosial untuk menunjuk gejala kohesi sosial dan investasi personal dalam

masyarakat. Dalam mendefinisikan konsep tersebut, Hanifan membedakan modal sosial

dari benda-benda material lainnya. Routledge dan Amsberg (2003) mengidentifikasi

bahwa Hanifan menggunakan istilah ”modal” secara khusus untuk menekankan

pentingnya struktur sosial bagi manusia dalam perspektif bisnis dan ekonomi.

Selanjutnya, Hanifan (dalam Woolcock dan Narayan, 2000) menggambarkan modal sosial

sebagai substansi yang tidak dapat disentuh (intangible) yang berguna dalam kehidupan

sehari-hari manusia. Komponen modal sosial menurutnya terdiri dari kemauan baik,

pertemanan, simpati dan hubungan sosial antar individu dan keluarga yang membangun

1

Page 2: Modal Sosial Handouts

sebuah unit sosial. Apabila individu melakukan kontak dengan tetangganya, demikian

juga tetangga berhubungan dengan tetangga lainnya, terdapat akumulasi modal sosial

yang dengan segera memuaskan kebutuhan sosialnya serta menghasilkan kemungkinan

peningkatan kondisi kehidupan seluruh masyarakat.

Kemudian seorang antropolog Meyer Fortes berbicara mengenai istilah modal

sosial dalam tulisannya pada tahun 1958. Jane Jacobs, dalam bukunya The Death and Life

of Great American Cities yang dipublikasikan tahun 1961, juga menulis tentang istilah

modal sosial dalam kajiannya tentang vitalitas perkotaan. Dia menyatakan bahwa

jaringan sosial adalah modal sosial kota yang tidak tergantikan dan tidak dapat ditukar

oleh modal lainnya. Meskipun tidak secara eksplisit mendefinisikan istilah modal sosial,

tetapi dia menggunakannya untuk menunjuk pada nilai yang ada dari jaringan sosial

(dikutip dalam Woolcock 1998: 192). Sangat menarik untuk dicatat bahwa penggunaan

konsep tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan terminologi modal sosial, tetapi

konsep yang dikembangkan menunjukkan relevansinya dengan nilai-nilai individualisme,

kesetaraan kesempatan, relasi sosial, dan nilai-nilai, yang umumnya kita kenal sebagai

bagian dari komponen modal sosial.

Sementara itu, para ekonom memandang asal teori modal sosial terjadi pada

periode sosiologi ekonomi karya Max Weber (Trigilia 2001), dan lainnya menggambarkan

katerkaitan konsep tersebut dengan karya Adam Smith (Winter 2000). Hal ini dibuktikan

oleh Winter (2000) yang menemukan kemiripan antara teori modal sosial dengan

pertanyaan yang dimunculkan Adam Smith dalam karyanya The Theory of Moral

Sentiments. Diskusi tentang potensi negatif dari aktivitas kelompok sebagai sebuah

perdebatan dampak negatif dari modal sosial. Adam Smith menyatakan bahwa ketika

orang-orang dari segmen pasar yang sama bertemu bahkan untuk hanya sekedar

bergembira dan hiburan sering menghasilkan konspirasi yang melawan publik atau

merencanakan kenaikan harga (dikutip dalam Knack 2002, p. 773). Asumsi Adam Smith

ini dijadikan titik awal pemahaman modal sosial dalam perspektif ekonomi, namun

diskusinya bukan ditekankan pada dampak positif modal sosial, tetapi lebih menyoroti

sisi negatif dari perilaku individu dan kelompok dalam sebuah kolektivitas tertentu yang

dalam tataran tertentu menjadi ciri khas eksistensi modal sosial.

Ilmuwan politik, Robert Salisbury, dalam karyanya An Exchange Theory of Interest

Groups yang ditulis tahun 1969, lebih jauh membahas lanjut istilah modal sosial sebagai

2

Page 3: Modal Sosial Handouts

komponen penting dari formasi kelompok kepentingan, terutama terkait dengan political

interest. Selanjutnya, Sosiolog Pierre Bourdieu menggunakan istilah modal sosial tahun

1972 dalam karyanya Outline of a Theory of Practice dan memperjelas perbedaan istilah

modal sosial dengan modal kultural, ekonomi, dan simbolik. Diskusi Bourdieu ini lebih

jelas karena berhasil memposisikan modal sosial di antara modal-modal lainnya.

Pemikiran Bourdieu inilah yang kemudian diikuti, dicabar, dan dikritik oleh teoritisi lain

untuk menyempurnakan dimensi teoritik dari modal sosial; salah satunya adalah

Sosiolog James Coleman, yang ikut mempopulerkan konsep modal sosial. Pada akhirnya,

tahun 1990, konsep modal sosial memperoleh popularitasnya, terutama setelah World

Bank mencanangkan program penelitian terkait dengan modal sosial dan pembangunan.

Pada umumnya, studi-studi yang mengambil tema modal sosial merumuskan

konsep modal sosial berdasarkan pemahaman sejarah perkembangan konsep, dan bukan

pada terminologinya. Hampir semua teoritisi sepakat bahwa konsep modal sosial pada

awalnya berakar dari disiplin sosiologi dan ekonomi. Barulah pada akhir tahun 1980-an

teoritisi kontemporer1 memunculkan terminologi modal sosial dan menyedot perhatian

teoritisi lain untuk mengembangkan dan sekaligus mengkritisinya. Setiap teoritisi modal

sosial cenderung merumuskan konsep modal sosial didasarkan pada masalah-masalah

yang menjadi pusat kajiannya. Oleh karena itulah, konsep modal sosial menjadi sangat

bervariasi dan justru menyulitkan untuk menemukan konsep yang seragam.

Keberagaman konsep inilah yang menjadi kekuatan modal sosial untuk dijadikan sebagai

modal teoritik bagi peneliti-peneliti yang tertarik dengan dinamika masyarakat dan

akumulasi modal sosial yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, kajian modal sosial

seolah tidak pernah berujung dan bahkan terus bertambah seiring dengan kompleksitas

permasalah kekinian yang ada dalam masyarakat.

2.2. Teoritisi Kontemporer Modal Sosial

Teori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya tiga teoritisi utama, yakni James

Coleman, Robert Putnam dan Pierre Bourdieu. Ketiganya sering disebut sebagai teoritisi

modal sosial kontemporer. Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of

Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977); Cultural

Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama penulis

1 Dalam beberapa literature disebutkan bahwa teoritisi kontemporer modal sosial yang dimaksud adalah Pieere Bourdie, James Coleman, dan Robert Putnam.

3

Page 4: Modal Sosial Handouts

lain telah membuktikan bahwa Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada

pengembangan teori modal sosial. James Coleman, dalam karyanya Social capital in the

Creation of Human Capital (1988); Foundations of Sosial Theory (1990), atau Some Points

on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal

sosial dalam perspektif ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam dalam

karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993) The

Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone: America's

Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of American

Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang banyak dirujuk oleh teoritisi

modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial kontemporer tersebut menjadi

acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin mengembangkan konsep

dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat.

Pemikiran Pierre Bourdieu (1977a, b, c; 1991; 1992) banyak dikutip dalam

literature pendidikan. Dalam tulisannya, dia menampilkan perbedaan pandangan terkait

modal sosial terutama dalam ranah pendidikan. Dia percaya bahwa modal sosial

beroperasi sebagai alat reproduksi kultural dalam menjelaskan pencapaian pendidikan

yang tidak seimbang. Teorinya benar-benar memiliki akar sosio-kultural yang kuat yang

ada dalam pengalaman pendidikan dari dialektika individu melalui sejarah material dan

sosial mereka. Selain itu, perspektif Bourdieu tentang modal sosial didesain untuk

memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga kunci konsep teoritik untuk menjelaskan

perspektif Bourdieu tentang modal sosial: habitus, capitals, dan fields

Pertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak

struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat

dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam

tataran tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu

(1977a, p 72) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan bertindak yang kuat dan

sama yang mengatur aktivitas mental ke titik dimana individu sering tidak menyadari

akan dampak dari tindakannya. Intinya, konsep habitus merupakan cara untuk

menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial dan kultural baik aktual maupun simbolik

membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu. Konsep ini tidak statis karena

memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-pesan tersebut, dan bahkan

menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan terstruktur secara total,

4

Page 5: Modal Sosial Handouts

meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan, sosial dan kultural.

Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir bagaimana

kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi kepercayaan yang

ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali beberapa nilai dibentuk

oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang menyediakan

beberapa keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-nilai tersebut

tidak harus datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam budaya

individu-individu yang sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat kuat

untuk menjembatani pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus

kelas. Hal ini disebabkan karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi

dan gaya hidup.

Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam

kategori modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada

pendapatan dan sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih

memungkinkan dapat dikonversi ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi,

bagaimanapun, tidak cukup untuk membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali

tergantung pada interaksi dengan unsur modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya

sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah berlangsung lama, jaringan dan kontak-

kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam, pandangan tentang hubungan timbal balik

(reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu lebih menekankan individu, dan tidak

selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin diharapkan. Modal kultural terdiri dari

tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan institutionalized. Masing-masing bentuk

berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan kemakmuran simbolik secara sosial yang

akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang diharapkan dan dimiliki (Bourdieu,

1977c). Bentuk keobyektifan merupakan manifestasi seperti buku-buku, kualifikasi,

computer; bentuk embodied dihubungkan dengan karakter edukatif individu seperti

kesiapan bertindak untuk memasuki proses belajar; bentuk institutionalised

direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin akan dimasuki seperti sekolah,

universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic capital digunakan Bourdieu

untuk menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam struktur sosial seperti nilai

status yang melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat belajar. Dalam

hubungannya dengan modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal (kategori

5

Page 6: Modal Sosial Handouts

economic, sosial, cultural, dan symbolic) merupakan factor kunci yang mendefinisikan

posisi dan kemungkinan bagi individu untuk terlibat dalam berbagai arena, termasuk di

dalamnya area pengelolaan sumberdaya hutan. Lebih jauh, efek pengganda seringkali

muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal misalnya satu modal seringkali merubah

modal lainnya.

Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini

berhubungan dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur

dan jaringan yang dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus

individu. Bourdieu mengklaim bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields,

secara sadar lebih memperhatikan aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar

untuk memanipulasi aturan-aturan tersebut melalui bangunan kesesuaian modal.

Individu-individu tersebut dengan kualifikasi yang kuat atau pekerjaan dan status yang

kuat mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Berbagai strategi baik dalam

bentuk aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh individu-individu untuk

membedakan diri mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka ke dalam posisi

yang menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal. Beberapa

strategi hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik.

Kekuasaan simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum

bahwa aturan main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu

dari ide Marx tentang ‘false consciousness’, terjadi ketika individu-individu yang berada

dalam ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini

Bourdieu menyebutnya sebagai ‘symbolic violence’.

Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi

modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam and Roncevic (2003) menyitir

salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai

karya orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat

digambarkan sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal

simbolik dan teori kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan

modal sosial sebagai agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan

kepemilikan jaringan yang kuat dan terlembagakan dari hubungan yang saling

menguntungkan. Dengan kata lain, bagi anggota kelompok, modal sosial menyediakan

dukungan kepemilikan modal secara kolektif (Bourdieu 1986).

6

Page 7: Modal Sosial Handouts

Sementara itu, James S. Coleman memasukkan konsep modal sosial ke dalam

teori sosialnya dalam tulisannya ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’ (1988).

Menurutnya, konsep modal financial, modal fisik, dan modal manusia yang terbentuk

dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel dengan pendapatnya tentang modal

sosial (Coleman, 1988: 118). Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan pemikiran

ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan pemahaman bersama

antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal sosial. Dia

mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur sosial untuk

menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan

pertimbangan organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan

maksimalisasi penggunaan sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (Coleman,

1988: seperti yang dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).

Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni

memfasilitasi pertukaran social, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi.

Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi

dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan

efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat

bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi dari sikap teoritis

Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial sebagai fungsi

modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian

sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial

kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan

generasi muda (Coleman 1990:300).

Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,

melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a)

sebuah aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b)

modal sosial merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan

yang pada gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam

struktur sosial. Seperti bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang

memiliki kemungkinan pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan

tercapai apabila ketiadaan modal sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya,

7

Page 8: Modal Sosial Handouts

modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain,

modal sosial tidak berada dalam individu (Coleman 1990:302).

Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti

kewajiban, harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau

struktur , artinya kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial

atau saluran informasi yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan

sanksi efektif yang mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip

Krishna, 2005: 22; Coleman, 1988: 102-104).

Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama

seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa

uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem

barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna,

2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan

merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek

positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan

modal sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga

dan dalam organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif

atau sosial anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).

Interpretasi Coleman (1988, 1990, 1992) terhadap konsep modal sosial banyak

dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam

struktur relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi

modal sosial diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal

ini dapat dicapai melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang

memungkinkan individu-individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara

independen. Empat bentuk modal sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban

dan ekspektasi/harapan seperti melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan

sesuatu dari orang lain; (b) potensi informasional seperti membagi informasi yang

berguna yang menginformasikan sesuatu untuk aksi-aksi pada masa mendatang; (c)

norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif seperti bangunan nilai-nilai komunitas dan

standar perilaku yang diakui bersama; (d) hubungan kekuasaan seperti keahlian

kepemimpinan yang menginformasikan tindakan-tindakan individu lain. Perlu dicatat

bahwa modal sosial dengan demikian dapat menguntungkan individu lain yang tidak

8

Page 9: Modal Sosial Handouts

berpartisipasi secara langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman (1990, p

313) mengilustrasikan contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua yang

menyusun standar atau ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah

komunitas.

Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak.

Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama

memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya (lihat Coleman:

1990, pp 318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar

struktural fungsional yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk

mendukung kajian tentang masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandari

oleh nilai-nilai tradisional kaku, disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis

(Dika dan Singh: 2002, p 34). Selanjutnya, konsep modal sosial Coleman diperlukan

sebagai pra-kondisi untuk mempromosikan (melalui norma-norma keluarga)

pengembangan sumberdaya manusia dan pencapaian pendidikan.

Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk

individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk

kelompok, organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran

tentatif dari egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999;

McClenaghan 2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal

lainnya, modal sosial bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan

tertentu yang tidak akan dicapai apabila terdapat peniadaan modal tersebut (Coleman

1988). Kebanyakan teoritisi setuju bahwa modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu

dari struktur yang memungkinkan terbentuknya tindakan sosial (Adam and Roncevic

2003).

Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan

formulasi indikator-indikator. Schuller, Baron et al. (2000) mendeskripsikan bahwa kunci

kontribusi penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak pada cara yang

mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman

mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan

modal lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997).

Sementara itu, teori modal sosial dari Putnam (1993, 1995), seorang ilmuwan

politik, juga memiliki akar fungsional struktural yang kuat, khususnya difokuskan pada

9

Page 10: Modal Sosial Handouts

integrasi sosial, tetapi teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme

dan komunitarianisme. Tesis sentral dia adalah bahwa keberfungsian ekonomi regional

dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas regional

untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga

komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial,

khususnya trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi

sukarela. Bentuk-bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan

masyarakat sipil secara umum. Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial

merupakan manifestasi dari kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama

yang saling menguntungkan (Putnam: 1995, p 2). Ancaman kapasitas produktif ini

bersumber dari kecenderungan perubahan sosial yang mengindikasikan bahwa

koordinasi dan kerjasama telah bergeser ke dalam keanggotaan kelompok keagamaan,

organisasi orangtua-guru, dan kelompok-kelompok asosiasi lainnya. Putnam

menyimpulkan kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala dimana modal sosial

sedang mengalami erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan ikatan keeratan

dalam keluarga dan menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat. Putnam

menghubungkan secara langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas

masyarakat untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti

pengangguran, kemiskinan, rendahnya partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Dengan

demikian, seperti Coleman, Putnam mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik

yang terorganisasi dan solidaritas sosial merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial

dan ekonomi (Putnam: 1995, p 2).

Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang

komitmen sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh

Coleman terhadap diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations

of Sosial Theory dari Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003).

Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti

hubungan saling percaya (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks)

yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang

terkoordinasi (Putnam et al. 1993).

Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis

menggali perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait

10

Page 11: Modal Sosial Handouts

dengan penjelasan variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya

difokuskan pada penurunan komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995),

Putnam mengidentifikasi penurunan umum tingkatan spiritual modal sosial yang

diindikasikan melalui keikutsertaan dalam organisasi organisasi-organisasi sukarela

(Schuller et al. 2000). Karya akademik tersebut mengambil contoh dari olah raga bowling

sebagai sebuah aktivitas yang biasanya menjadi organisasi yang asosiatif tinggi,

dipresentasikan tidak hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga sumber interaksi sosial,

sebagai salah satu komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000).

Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empiric dan

formulasi indicator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument

aplikatif yang sering disebut 'Putnam instrument' (Adam and Roncevic 2003; Paldam and

Svendsen 2000). Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak

digunakan meliputi empat indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan

kelembagaan, norma-norma pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan

dalam asosiasi sukarela.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran ketiga teoritisi tersebut di atas

memberikan inspirasi kepada teoritisi lain untuk lebih mengembangkan konsep dan teori

modal sosial serta penerapannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Melalui

pengembangan karya Bourdieu dan Coleman, Alejandro Portes (1998), misalnya,

mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan aktor untuk mengamankan

keuntungan-keuntungan melalui keikutsertaan dalam jaringan-jaringan dan struktur

sosial lainnya. Portes dan Landolt (1996) mengidentifikasi sisi negatif modal sosial dan

mengilustrasikan bahwa teoritisi sebelumnya telah memfokuskan pada sisi positif, yakni

efek keuntungan dari interaksi sosial tanpa mempertimbangkan gambaran-gambaran

yang kurang menarik dan tidak menguntungkan.

Demikian juga, pendekatan penelitian Ronald Burt (1998) didasarkan pada

pemikiran Bourdieu dan Coleman dengan fokus pada variabel-variabel yang

mengindikasikan posisi individu dalam jaringan sosial. Burt memfokuskan pada

aksesabilitas sumberdaya melalui pengukuran modal sosial dalam kaitannya dengan

hambatan-hambatan jaringan. Hambatan yang lebih besar terletak pada peluang

struktural yang merupakan sumberdaya dari modal sosial. Pendekatan penelitian

tersebut dikenal sebagai pendekatan jaringan seperti terlihat dalam variable jaringan.

11

Page 12: Modal Sosial Handouts

Nan Lin (2001a; 2001b) menggambarkan tiga program penelitian yang berbeda, yakni

memfokuskan pada dokumentasi tentang distribusi sumberdaya dalam struktur sosial,

dengan tujuan untuk menggambarkan distribusi relatif dari sumberdaya sebagai aset

kolektif dalam struktur.

Michael Foley dan Bob Edwards (1999) menghasilkan beberapa bukti yang

ditemukan dari karya teoritisi lain yang melakukan studi empirik mengenai modal sosial.

Penemuan mereka meliputi konteks konseptualisasi modal sosial, seperti akses dan

sumberdaya, dan bahwa karya yang memfokuskan pada generalisasi sosial hubungan

saling percaya (trust) menurut mereka tidaklah relevan. Francis Fukuyama melalui

penggunaan pendekatan yang berasal dari Putnam, memfokuskan pada variabel tingkah

laku dan sikap (contohnya trust, norma, dan nilai) sebagai ukuran dalam berbagai

penelitiannya (Adam and Roncevic 2003). Dalam prakteknya, Fukuyama menyamakan

modal sosial dengan trust. Dia sangat mengagungkan bahwa trust menjadi kunci utama

modal sosial yang telah mempengaruhi kehidupan ekonomi. Trust yang dibangun

menjadi faktor fundamental modal sosial banyak dikritik sebagai kelemahan Fukuyama

yang menggunakan indikator tunggal sebagai ukuran modal sosial.

Stephen Knack dan Paul Keefer (1997) mengadopsi dua ukuran modal sosial; rata-

rata nilai trust yang diekspresikan secara umum; dan mengkomposisikan indeks norma

kerjasama sipil. Pamela Paxton (1999: 93) mengkonseptualisasikan modal sosial agak

berbeda dari teoritisi sebelumnya dengan mengajukan dua komponen modal sosial yang

dapat diukur: asosiasi obyektif antara individu, dan tipe subyektif dari ikatan. Komponen

pertama diukur dengan tiga variabel; pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya,

dan pelibatan emosi-emosi positif, dan komponen kedua diukur dengan hubungan saling

percaya (trust) dalam individu dan kelembagaan. Konsep modal sosial Paxton ini banyak

mengacu pada pemikiran Putnam dengan cara memadukan modal sosial struktural dan

modal sosial kognitif.

Pada umumnya, teoritisi kontemporer mengaitkan modal sosial dengan jaringan-

jaringan sosial, mengikat orang yang sama dan menjembatani orang-orang yang beragam

melalui norma-norma timbal balik (Dekker dan Uslaner, 2001; Uslaner, 2001). Adler dan

Kwon (2002) mengidentifikasi bahwa instuisi utama yang memandu penelitian modal

sosial adalah kemauan baik (goodwill) sebagai sumberdaya yang sangat berharga. Oleh

karenanya mereka mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai kemauan baik yang

12

Page 13: Modal Sosial Handouts

tersedia bagi individu atau kelompok yang bersumber dari struktur dan substansi

hubungan sosial aktor. Hubungan tersebut mempengaruhi aliran informasi, pengaruh,

dan solidaritas yang tersedia bagi aktor (Adler dan Kwon 2002: 23).

Pada akhir 1990-an, kontribusi teoritisi terhadap pengembangan teori modal

sosial tumbuh pesat. Pada umumnya teori-teori yang dikembangkan merupakan turunan

dari pemikiran-pemikiran teoritisi kontempotrer modal sosial tersebut di atas. Namun

demikian, tidak ada satupun kesepakatan umum terkait dengan definisi modal sosial,

khususnya definisi yang diadopsi dari studi. Semuanya tergantung kepada disiplin dan

tingkat investigasi (Robinson et al., 2002). Oleh karenanya sangat tidak mengejutkan

apabila terdapat perbedaan framework modal sosial yang digunakan sehingga banyak

menimbulkan ketidaksepakatan bahkan kontradiksi dalam pendefinisian modal sosial

(Adler dan Kwon, 2002). Karena kesulitan-kesulitan tersebut, banyak teoritisi cenderung

hanya mendiskusikan konsep, asal mula intelektualitasnya, keberagaman penerapannya

dan beberapa isu yang tidak terpecahkan sebelum mengadopsi konsep yang ada dan

menambahkannya ke dalam definisinya sendiri (Adam dan Roncevic, 2003). Penyebab

utama dari variasi definisi tersebut disebabkan oleh terfokusnya diskusi pada bentuk, dan

sumber atau konsekuensi modal sosial. Menurut Eastis (1998) modal sosial bersifat multi

dimensi dan oleh karenanya harus dikonseptualisasi sebagai sesuatu yang memiliki nilai

penjelas.

Definisi modal sosial dari beragam teoritisi cenderung berbeda berdasarkan sudut

pandang masing-masing. Baker (1990: 619), misalnya, mendefinsikan modal sosial

sebagai sebuah sumberdaya yang diperoleh aktor dari struktur sosial yang spesifik

kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka. Menurutnya, modal sosial

diciptakan melalui perubahan dalam hubungan antar aktor. Bourdieu (1986: 248)

menyatakan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya aktual dan potensial

terkait dengan kepemilikan jaringan permanen dari hubungan yang terlembagakan atau

berlangsung sejak lama. Portes (1986: 6) memandang modal sosial sebagai kemampuan

aktor untuk mengamankan keuntungan-keuntungan melalui keanggotaan dalam jaringan

sosial dan struktur sosial lainnya. Coleman (1990: 302) mendefinisikan modal sosial

berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah unit yang tunggal, melainkan

berbagai unit yang bervariasi dan umumnya memiliki dua karakteristik: unit tersebut

terdiri dari beberapa aspek struktur sosial; dan berfungsi untuk memfasilitasi tindakan

13

Page 14: Modal Sosial Handouts

individu yang berada dalam struktur. Fukuyama (1995: 10) menyebut modal sosial

sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama bagi pencapaian tujuan bersama

dalam kelompok dan organisasi. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial

dapat didefinisikan secara sederhana sebagai eksistensi serangkaian norma-norma

informal atau norma-norma bersama di antara anggota sebuah kelompok yang

memungkinkan terjadinya kerjasama antar mereka. Putnam (1995: 67) menyebut modal

sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti jaringan-jaringan, norma-norma, dan

hubungan saling percaya yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling

menguntungkan. Sementara Woolcock (1998: 153) menyebut modal sosial terdiri dari

informasi, hubungan saling percaya, dan norma-norma hubungan timbal balik yang

melekat dalam jaringan sosial seseorang.

Teoritisi modal sosial mempelajari elemen-elemen modal sosial- ikatan sosial,

pertukaran timbal balik, kewajiban moral dan tanggung jawab kolektif- yang memotivasi

kontribusi individu bagi kebaikan bersama. Kewajiban, ekspektasi (Coleman, 1990), dan

kebiasaan untuk saling percaya (Fukuyama, 1995) akan menjadi penghalang bagi tingkah

laku yang mementingkan diri sendiri dan menginspirasi spirit kerjasama.

Harus diakui bahwa teori modal sosial banyak dikritik memiliki kelemahan dalam

definisi dan konseptualisasi. Beragamnya kajian aspek tersebut mengakibatkan relatif

sulitnya dicapai kesepakatan tentang definisi maupun konsep modal sosial itu sendiri.

Namun demikian, dari hasil lacakan beberapa literatur, terdapat dimensi utama modal

sosial yang selama ini umumnya digunakan untuk kajian pada tataran empirik. Dimensi

modal sosial umumnya dilihat sebagai trust atau hubungan saling percaya (Coleman

1988; Putnam 1993); aturan-aturan dan norma-norma yang menata tindakan sosial

(Coleman 1988; Fukuyama 2001; Portes and Sensenbrenner 1993); Tipe-tipe interaksi

sosial (Collier 1998); sumberdaya jaringan (Kilpatrick 2000; Snijders 1999); aturan

kelembagaan yang sedang digunakan (Ostrom, 1992); hubungan saling percaya dan

norma jaringan komitmen masyarakat sipil (Putnam, 1993); hubungan saling percaya,

nilai bersama, toleransi, norma, dan kolaborasi (Adam and Someshwar (1996); hubungan

saling percaya, resiprositas atau hubungan timbal balik, aturan bersama, norma dan

sanksi, relasi, dan kelompok (Pretty and Ward 1999); norma, jaringan, dan organisasi

(Grootaert, 1998).

14

Page 15: Modal Sosial Handouts

Dimensi modal sosial dari Krishna dan Uphoff (1999) relatif jauh lebih

komprehensif. Keduanya menyatakan bahwa dimensi pokok modal sosial terdiri dari

bentuk-bentuk struktural (structural forms): aturan-aturan, jaringan sosial, peranan,

prosedur, dan standar-standar. Bentuk-bentuk Kognitif (cognitive forms) yang

dikategorikan menjadi dua bagian, yakni primary forms: hubungan saling percaya dan

timbal balik, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati; secondary forms: kejujuran,

egalitarianisme, kewajaran, partisipasi, pemerintahan yang demokratik, dan mengingat

masa depan. Teoritisi lain telah mengidentifikasi perbedaan kelompok dimensi modal

sosial. Misalnya, Liu dan Besser (2003) yang mengelompokkan dimensi modal sosial ke

dalam ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling percaya, dan norma-

norma tindakan kolektif.

Sementara itu, Pretty (2003) mengemukakan tiga sifat dimensi modal sosial, yakni

“bonding, bridging, and linking social capital.” Pretty menggambarkan bonding social

capital sebagai kohesi sosial dalam kelompok atau masyarakat yang menghasilkan

hubungan antara individu dari etnis yang sama, hubungan status sosial berdasarkan pada

ikatan lokal, saling percaya dan nilai moral bersama yang diperkuat oleh tindakan kolektif

(collective action). Bridging social capital digambarkannya sebagai jaringan dan

hubungan structural lintas kelompok, melibatkan kordinasi atau kolaborasi dengan

kelompok lain, asosiasi eksternal, mekanisme-mekanisme dukungan sosial dan informasi

lintas komunitas dan kelompok. Sementara linking social capital menunjuk pada

kemampuan kelompok untuk melibatkan agen-agen eksternal sebagai sumberdaya yang

berguna atau yang mampu mempengaruhi kebijakan. Dimensi ini dilakukan dalam lintas

status, kelompok miskin dan mereka yang berada dalam posisi menentukan atau

berpengaruh. Dalam aplikasinya, perbedaan dimensi modal sosial menentukan apakah

komunitas dapat bertindak sebagai sebuah unit yang kohesif (bonding); apakah individu

bertindak sesuai dengan norma dan hukum (structural); apakah mereka berhubungan

dengan organisasi kemasyarakat (bridging) ataukah mereka dapat mengakses dan

mempengaruhi kelembagaan dengan kekuatan dan sumberdaya yang lebih (linking)

untuk mengelola sumberdaya yang ada.

Teoritisi lain telah mengidentifikasi dimensi modal sosial ke dalam

pengelompokan yang berbeda. Misalnya, Liu dan Besser (2003) mengidentifikasi empat

15

Page 16: Modal Sosial Handouts

dimensi modal sosial: ikatan sosial informal, ikatan sosial formal, hubungan saling

percaya, dan norma-norma tindakan kolektif.

Dalam penelitian ini, komponen modal sosial sebagai parameter untuk melihat

apakah modal sosial berjalan baik atau tidak dalam masyarakat sasaran penelitian dilihat

dari tiga dimensi. Pertama, hubungan saling percaya (trust), didukung oleh adanya

kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi

(tolerance) dan kemurahan hati (generousity), memperhatikan masa depan (concern for

future). Komponen tersebut lebih mencerminkan pada modal sosial kognitif (cognitive

social capital). Kedua, pranata (institutions) yang meliputi nilai yang dimiliki bersama

(shared vales), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan

(rules). Ketiga, jaringan sosial (sosial networks) yang meliputi keanggotaan dalam

kelompok, interaksi dengan lembaga eksternal, partisipasi (participation), pertukaran

timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (collaboration/cooperation),

dan keadilan (equity).

2.3. Konseptualisasi Modal Sosial

Ketidaksesuaian teknik pengukuran yang diterapkan telah menyebabkan masalah

dalam memahami modal sosial pada tingkatan konseptual, dan hal ini menjadikan

perdebatan apakah konsep yang ada relevan atau sesuai dengan kondisi empirik yang

ada. Collier (1998) merumuskan langkah awal yang baik untuk konseptualisasi. Dia

mengidentifikasi bahwa model konseptual modal sosial sebaiknya mengidentifikasi

konsep di dalam kompleksitas dunia sosial seperti yang didefiniskikan oleh hubungan

dinamis antara komponen modal sosial dibandingkan apa yang terjadi saat ini yang

muncul cenderung kumpulan variabel kondisional yang tidak seragam atau kontradiktif.

Edwards dan Foley (1998) menambahkan pandangan bahwa kompleksitas

pengidentifikasian norma-norma dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu akan menjadi

modal sosial hanya apabila mereka memfasilitasi tindakan individu lain. Dengan kata lain,

nilai dan norma yang dimiliki individu tidak akan menjadi modal social apabila individu

yang bersangkutan tidak mampu memfasilitasi tindakan yang dilakukan individu lainnya.

Selain itu, faktor lain yang penting adalah perbedaan antara dua mekanisme dalam mana

aktor mendapaatkan modal social; transaksi timbal balik dan hubungan saling percaya

16

Page 17: Modal Sosial Handouts

yang dapat diperkuat, dipertahankan oleh perbedaan norma, dan karakteristik ikatan

sosial di antara aktor yang terlibat (Frank and Yasumoto 1998).

Pada dasarnya modal sosial bersifat milik bersama (public good) dan bukan milik

perseorangan. Komponen modal sosial seperti saling percaya, norma-norma, dan

jaringan-jaringan diyakini Putnam (1999) cenderung menguat sendiri dan bersifat

kumulatif. Modal sosial, dengan demikian, cenderung akan terus meningkat apabila

sering digunakan. Modal sosial merupakan sumberdaya moral, yakni sumberdaya yang

persediaannya bertambah melalui pemanfaatan, dan tidak seperti modal fisik yang

menjadi berkurang apabila digunakan (Putnam, 1999). Artinya, modal sosial akan

membangun kekuatannya sendiri dan tidak sangat tergantung pada investasi dari luar.

Oleh karena itu, komponen modal sosial pada umumnya berupa potensi dan prakarsa

komunitas lokal, dan oleh karenanya memiliki daya pengikat yang sangat kuat.

Woolcock dan Narayan (2000) telah mengidentifikasi empat pendekatan dalam

merumuskan konseptualisasi modal sosial, yakni pendekatan-pendekatan komunitarian

(communitarian approach), jaringan (network approach), institusional (institutional

approach), dan sinergi (synergy approach). Menurut mereka, dari keempat pendekatan

tersebut, pendekatan sinergi dengan menekankan pada tingkat dan dimensi modal sosial

serta hasil positif dan negatif yang diperoleh melalui modal sosial telah dibuktikan

sebagai cara pandang yang komprehensif dan koheren terkait dengan preskripsi kebijakan

pembangunan.

Woolcock and Narayan (2000, p. 229) mengidentifikasi bahwa communitarian

perspective berhubungan erat dengan organisasi lokal seperti klub, asosiasi, dan

kelompok sipil. Perspektif ini sebenarnya sudah dirintis sejak awal oleh Putnam (1993,

1995) dan Fukuyama (1995, 1997). Perspektif komunitarian, yang melihat jumlah dan

kepadatan kelompok-kelompok tersebut pada sebuah komunitas, memandang bahwa

modal sosial secara inheren bersifat sangat baik, dan kehadirannya selalu memiliki

dampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini berasumsi bahwa

komunitas bersifat homogen secara keseluruhan yang secara otomatis menguntungkan

seluruh anggota dan tidak membuat perbedaan antara modal sosial produktif dan

negatif.

Sementara itu, Woolcock dan Narayan (2000) mengidentifikasi bahwa network

approach memperhitungkan keuntungan dan kerugian modal sosial. Pendekatan ini

17

Page 18: Modal Sosial Handouts

menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal dan hubungan individu-individu

secara keseluruhan diantara berbagai unit organisasi seperti kelompok dan perusahaan.

Sandefur dan Laumann (1998, p. 484) telah membuktikan deskripsi pendekatan jaringan.

Ditemukan bahwa potensi modal sosial individu berisi koleksi dan karakteristik hubungan

dalam mana seseorang menjadi bagian dan memiliki akses terhadap asosiasinya pada

ruang yang lebih luas. Pendekatan ini memfokuskan pada pentingnya istilah bonding and

bridging social capital dalam beberapa literatur saat ini. Istilah ini terkait dengan teori-

teori structural holes dan network closure of social capital (Adler dan Kwon 2002). Teori

closure of social capital menyatakan bahwa sebuah jaringan yang memiliki inter koneksi

yang kuat antar elemen dapat menciptakan modal sosial. Sebaliknya, teori structural hole

berargumen bahwa modal sosial diciptakan oleh jaringan dalam mana individu-individu

dapat menjembatani koneksi antara segmen-segmen yang tidak memiliki koneksi satu

dengan lainnya (Burt 2001). Bagi Ronald Burt, the structural hole theory memberikan arti

yang konkrit terhadap metafora modal sosial yang dia yakini bahwa modal sosial

berfungsi sebagai penyalur lintas lubang struktur dibandingkan dengan inter koneksi

dalam sebuah jaringan.

Pendekatan sinergi (Synergy Approach) berusaha untuk mengintegrasikan

kekuatan kinerja yang muncul dari pendekatan jaringan dan kelembagaan (Woolcock dan

Narayan 2000). Mereka mengidentifikasi bahwa tiga kunci sentral tugas teoritisi sinergi,

peneliti dan pengambil kebijakan adalah (1) mengidentifikasi karakteristik dan tingkatan

hubungan sosial komunitas dan institusi formal, serta interaksi antar mereka; (2)

mengembangkan strategi institusional berbasiskan hubungan-hubungan sosial tersebut;

dan (3) menetukan bagaimana manifestasi positif kerjasama modal sosial, hubungan

saling percaya, dan efisiensi institusional dapat menghilangkan sektarian dan isolasi.

2.4. Modal Sosial dan Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Dalam sub bab ini akan dijelaskan mengenai perspektif teoritis hubungan antara

modal sosial dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan. Sintesa teoritis ini

ditujukan untuk menganalisis peranan modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya

hutan kolaboratif. Pola pengelolaan kolaboratif tersebut tidak dapat dilepaskan dari

perspektif teoritis tentang aksi kolektif (collective action) sebagai dampak dari

keberadaan modal sosial masyarakat lokal. Dengan demikian, komponen modal sosial

18

Page 19: Modal Sosial Handouts

dalam hal ini ditempatkan sebagai variabel bebas yang pada gilirannya akan sangat

menentukan tumbuh dan berkembangnya aksi kolektif. Sementara, pengelolaan

sumberdaya hutan kolaboratif merupakan produk dari skema aksi kolektif yang

merepresentasikan kolektivitas stakeholders yang berkepentingan dengan hutan.

Terkait dengan peranan modal sosial dalam pembangunan secara umum,

beberapa teoritisi telah berhasil mengidentifikasi peranan yang dimainkan modal sosial

dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Woolcock dan Narayan 2000, misalnya,

menemukan bahwa modal sosial menawarkan potensi untuk lebih partisipatoris,

keberlanjutan dan pendekatan perkuatan dalam teori dan praktek. Sementara Krishna

dan Uphoff (2002) menemukan bahwa indeks modal sosial bersifat positif dan konsisten

berhubungan erat dengan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik. Modal sosial dan

modal manusia yang menyatu dalam kelompok-kelompok partisipatoris pada masyarakat

desa telah menjadi pusat penyelesaian masalah pembangunan pada tingkat lokal yang

adil dan berlanjut (Pretty dan Frank 2000; Pretty dan Ward 2001). Grootaert dan Van

Bastelaer (2002: 344) menyatakan bahwa modal sosial telah menimbulkan dampak yang

luar biasa terhadap berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan; transformasi

prospek pembangunan pertanian; pengaruh ekspansi usaha-usaha swasta; meningkatkan

manajemen sumberdaya bersama; membantu peningkatan pendidikan; mengkontribusi

recovery dari konflik; dan membantu kompensasi kekurangan negara. Modal sosial

sangat membantu untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan ekonomi dan

masyarakat yang berkelanjutan (Dolfsma dan Dannreuther 2003). Modal sosial

merepresentasikan keterkaitan antara pemikiran kebijakan dengan aksi pada tingkatan

masyarakat (Pretty dan Ward 2001). Mobilisasi modal sosial membutuhkan tingkatan

yang tinggi terkait dengan sensitivitas pada karakteristik spesifik masyarakat yang

dilibatkan agar menimbulkan dampak positif (McHugh dan Prasetyo 2002). Modal sosial

mengurangi biaya yang berhubungan dengan bekerja bersama yang menghasilkan

tindakan kolektif (Ostrom 1999). Dia menemukan peranan modal sosial yang signifikan

dalam kegiatan proyek-proyek pembangunan.

Beberapa kajian, meskipun dalam jumlah terbatas, yang mencoba untuk

mengelaborasi perspektif modal sosial dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya

hutan. Diyakini bahwa perkayaan modal sosial pada gilirannya mampu meningkatkan

konservasi lingkungan melalui pengurangan biaya aksi kolektif, peningkatan pengetahuan

19

Page 20: Modal Sosial Handouts

dan informasi, peningkatan kerjasama, pengurangan kerusakan lingkungan, lebih banyak

investasi sumberdaya lahan dan air bersama, meningkatkan monitoring dan perkuatan

bersama (Anderson et al. 2002; Daniere et al. 2002; Koka dan Prescott 2002). Sementara

itu, Pretty dan Ward (2001) mengidentifikasi bahwa dimana modal sosial telah

dikembangkan dengan baik, kelompok lokal dengan aturan dan sanksi lokal dapat lebih

menjamin keberadaan sumberdaya dibandingkan dengan individu-individu yang bekerja

sendiri atau berada dalam kompetisi. Modal sosial mengindikasikan potensi masyarakat

untuk melakukan aksi kerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan pada tingkat

lokal (Fukuyama 2001). Karena modal sosial berbiaya lebih murah untuk melakukan

bekerja bersama, maka modal sosial mampu memfasilitasi kerjasama dengan aturan-

aturan yang ada (Isham and Kahkonen 2002). Norma-norma hubungan timbal balik,

misalnya, mampu membantu dalam pemecahan masalah aksi kolektif. Adler dan Kwon

(2002) mengidentifikasi bahwa modal sosial mentransformasikan individu-individu dari

agen yang egosentris dan mementingkan diri sendiri dengan menampikkan tanggung

jawab sosial menjadi anggota masyarakat yang diwarnai oleh kepentingan bersama, satu

identitas bersama, dan komitmen untuk kebaikan bersama. Brewer (2003) percaya

bahwa jaringan yang lebih solid meningkatkan kesempatan bahwa orang akan terikat

dengan aksi kolektif.

Namun demikian, perkayaan khasanah kajian modal sosial yang dikaitkan dengan

masalah-masalah kekinian yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia relatif masih belum

menunjukkan keragaman yang signifikan. Salah satu fenomena yang saat ini penuh

dengan kompleksitas permasalahan adalah pengelolaan sumberdaya hutan, baik dari

dimensi sosial, ekonomi, politik dan bahkan budaya. Kajian tentang modal sosial dalam

kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dapat ditemukan dalam

jumlah yang terbatas. Lubis (2002), misalnya, melakukan upaya elaborasi konsep modal

sosial ke dalam kajian pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property) yang

mengambil setting pada pengelolaan lubuk larangan di Sumatera Utara. Ditemukan

bahwa modal sosial dapat dijadikan media transmisi yang cukup efektif dalam

pengelolaan sumberdaya tersebut. Selanjutnya, Suminar et al (2005) mengkaji

penerapan konsep modal sosial ke dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis

masyarakat meskipun masih bersifat parsial. Tesis yang dijadikan landasan pemikiran

bahwa perilaku manusia dijembatani oleh pola kebudayaannya. Tesis tersebut didukung

20

Page 21: Modal Sosial Handouts

oleh Oakley (1992) bahwa pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat

(community-based natural resource management) ditandai oleh adanya partisipasi yang

tinggi dari anggota masyarakat yang mengacu pada institusi atau aturan-aturan yang

mereka kembangkan dan disepakati bersama. Sejalan dengan hal tersebut, Uphoff (1998)

meyakini bahwa suatu partisipasi dikatakan tinggi apabila warga komunitas memiliki

kesempatan yang sama untuk terlibat dalam tahap-tahap pengelolaan sumberdaya.

Dengan kata lain, elemen-elemen pokok modal sosial menjadi dasar bagi pengelolaan

sumberdaya alam.

Pengelolaan sumberdaya hutan sedang mengalami perubahan paradigma yakni

didorongnya partisipasi masyarakat secara independen melalui adopsi kebijakan

pengelolaan yang bersifat inklusif sehingga dihasilkan peranan tindakan kolektif

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang ada. Meskipun demikian, tindakan

kolektif tersebut banyak tergantung pada berbagai faktor, salah satunya modal sosial

(Baland dan Platteau 1996, Pretty 2003, Pretty dan Ward 2001). Dipahami bahwa

kecenderungan aksi kolektif yang saling menguntungkan berbeda diberbagai aspek dan

komunitas (Krishna 2002). Persoalannya, faktor apa yang membedakan kecenderungan

masyarakat untuk bekerjasama? Dengan kata lain, faktor apa yang membantu untuk

membangun modal pada masyarakat yang berbeda agar memungkinkan mereka

melestarikan sumberdaya, dan faktor apa yang membantu mereka untuk melestarikan

dan mempertahankan modal tersebut? Pertanyaan tersebut sangat relevan untuk

mengetahui perbedaan karakteristik pengelolaan sumberdaya hutan seiring dengan

bertambahnya tanggung jawab pelestarian yang diberikan kepada masyarakat lokal.

Perlindungan dan konservasi hutan telah menjadi isu sentral terkait dengan

fenomena konservasi sumberdaya alam (Gibson et al 1999, Pretty 2003). Di Negara-

negara berkembang, misalnya, konservasi sumberdaya hutan akan menyentuh persoalan

hajat hidup orang banyak yang selama ini sangat tergantung kepada keberadaan hutan.

Oleh karenanya, ketika hutan tidak terlindungi, maka berdampak pada kualitas hidup dan

pekerjaan, pendapatan, dan substansi sistem tradisional di desa. Selain itu, keberadaan

sumberdaya hutan memainkan peranan kehidupan bagi masyarakat yang tergantung

pada hutan. Masyarakat pinggiran hutan, misalnya, memiliki peranan yang penting dalam

konservasi hutan sebab masyarakat lokal hidup dengan hutan merupakan pengguna

utama hasil hutan, dan menciptakan aturan yang secara signifikan mempengaruhi kondisi

21

Page 22: Modal Sosial Handouts

hutan (Gibson et al 2000). Dengan kata lain, interaksi masyarakat dengan alam akan

mengembangkan pemahaman bersama dan kemampuan untuk bekerjasama yang secara

luas menghindarkan diri dari kerusakan sumberdaya bersama, seperti hutan.

Kemampuan ini menurut (Ostrom 1990) disebut sebagai modal sosial masyarakat lokal.

Salah satu parameter untuk melihat apakah modal sosial dalam komunitas lokal

bekerja dengan baik ataukah tidak dapat dilihat dalam kaitannya dengan aksi kolektif

dalam pengelolaan sumberdaya. Pada dasarnya, kajian tentang aksi kolektif dalam

pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, telah banyak menggunakan kerangka

konseptual modal sosial dari Putnam dengan tiga alasan utama. Pertama, Putnam

menghubungkan modal sosial dengan tingkatan meso (kolektif) seperti asosiasi-asosiasi,

komunitas, dan wilayah. Kedua, Putnam menampilkan modal sosial sebagai solusi untuk

dilemma aksi kolektif. Ketiga, Putnam menerapkan kerangka konseptual modal sosial

dalam studi tentang kinerja kelembagaan seperti pemerintahan daerah. Secara lebih

luas, pada dimensi analisis, penerapan kerangka konseptual modal sosial dalam kajian

pengelolaan isu-isu kolektif sangat berguna sebab hal tersebut menyangkut di dalamnya

jaringan baik formal maupun informal, yangmeliputi kelompok-kelompok pengguna

sebagai modal sosial structural yang memfasilitasi aksi kolektif (Uphoff, 2000; Pretty,

2002); dan variasi norma-norma informal dan formal dan kelembagaan seperti norma

hubungan timbal balik, dan hubungan saling percaya) sebagai modal sosial kognitif yang

memfasilitasi kelompok untuk bekerjasama dan melakukan aksi kolektif (Uphoff, 2000).

Persoalan tindakan kolektif memang menjadi perhatian bagi teoritisi modal sosial.

Hal ini disebabkan karena tindakan kolektif inilah yang menjadi parameter apakah

potensi modal sosial dalam komunitas tertentu dapat berjalan ataukah tidak. Terdapat

beberapa persyaratan agar tindakan kolektif berjalan secara efektif. (1) Komponen modal

sosial sebaiknya diberikan peralatan dan perkuatan secara internal (Ostrom 2000; Wade,

1994; Baland dan Platteau, 1996; Tang 1992); (2) sebaiknya dikaitkan dengan sanksi-

sanksi (Coleman 1987); (3) sebaiknya ada jaminan distribusi keuntungan atau manfaat

yang adil sehingga dapat membantu untuk membangun hubungan saling percaya

(Bowles 1998); (4) sebaiknya tindakan kolektif tidak terlalu banyak tetapi diperjelas

ekspektasi dari tindakan yang ingin dicapai (Ostrom 1992b); dan (5) sebaiknya tidak

melakukan perubahan secara drastis melainkan harus mengikuti perubahan berdasarkan

dimensi waktu (Ostrom 1992a). Hal yang sama pentingnya adalah bahwa aturan-aturan

22

Page 23: Modal Sosial Handouts

diformulasikan dalam pengambilan keputusan tindakan kolektif yang akan banyak

dipengaruhi oleh aturan-aturan yang bersangkutan. Oleh karenanya partisipasi di semua

tahapan kegiatan menjadi sangat penting. Kesalahan interpretasi dari aturan-aturan dan

ketidaksesuaian kepentingan dapat mengarah pada konflik pengelolaan sumberdaya

hutan. Oleh karenanya mekanisme penyelesaian konflik menjadi sangat esensial untuk

menjamin kontinuitas tindakan kolektif dan kerjasama. Namun demikian, mekanisme

tersebut nampaknya akan lebih efektif apabila didasarkan pada bentuk-bentuk kearifan

lokal (Jain and Jain 2002).

Pendukung keberlangsungan modal sosial struktural adalah modal sosial kognitif

yang meliputi nilai-nilai seperti pertukaran timbal balik, hubungan saling percaya, dan

pengertian bersama. Erosi nilai-nilai tersebut akan mengarah pada kerusakan

sumberdaya sebagai public good (Oakerson 1992). Hubungan timbal balik, misalnya,

dapat rusak karena konflik, aturan yang tidak adil, regulasi dan sanksi, termasuk

didalamnya ketidakseimbangan manfaat atau keuntungan dari penggunaan modal sosial

secara keseluruhan berdampak pada erosi modal sosial dan pada gilirannya akan

menyebabkan keroposnya kerjasama (Putnam 1993). Komunitas yang memiliki tingkatan

kepercayaan yang tinggi tidak terlalu tergantung kepada lembaga eksternal ataupun

lembaga formal untuk memperkuat konsensus (Knack dan Keefer 1997). Selain itu, nilai-

nilai seperi pengertian bersama atau homogenitas tujuan menjadi penting dan dapat

dipertanggung jawabkan untuk kerjasama dalam masyarakat yang heterogen secara

ekonomi dan sosial (Poteete dan Ostrom 2004).

Seperti halnya modal konvesional, modal sosial juga membutuhkan investasi.

Modal sosial akan mengalami erosi atau kerusakan apabila tidak digunakan ataupun

salah penggunaan (Throsby 2001, Woolcock 1998, Ostrom dan Ahn 2001). Tidak mungkin

membangun modal sosial dalam jangka waktu yang singkat seperti hubungan saling

percaya, hubungan timbal balik, dan kelembagaan membutuhkan waktu untuk dibangun

dan dikembangkan secara efektif. Banyak sumberdaya yang dapat memperkuat untuk

membangun modal sosial, misalnya, kepemimpinan efektif; populasi yang homogen;

tradisi partisipasi atau eksistensi kelembagaan tradisional; pengetahuan tradisional; dan

praktek pengelolaan yang berkelanjutan; pandangan terhadap kelangkaan sumberdaya;

kelompok lokal; komitmen pejabat pemerintah (D’silva dan Pai 2003, Baland dan Platteau

1996, Krishna 2001, Ghate 2003, Gadgil et al 1993).

23

Page 24: Modal Sosial Handouts

Sementara itu, premis Hardin tentang tragedy of the common menginspirasi

semua pihak bahwa diperlukan adanya perlindungan terhadap kerusakan sumberdaya

alam. Asumsinya adalah bahwa manusia tidak bisa menghindarkan diri dari

kecenderungan untuk merusak sumberdaya alam yang ada, semakin banyak manusia

maka akan semakin besar kemungkinan kerusakan sumberdaya tersebut.

Hutan, dengan segala hasil ikutannya, merupakan sumberdaya yang sarat

kepentingan berbagai pihak. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya tersebut selalu

dibarengi dengan konflik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Dalam tataran

tertentu, justru yang lebih banyak ”dikorbankan” adalah masyarakat lokal yang tinggal

dan bermukim di sekitar kawasan hutan. Pertanyaan yang sangat penting adalah

dapatkah masyarakat lokal memainkan peranan positif dalam konservasi dan

pengelolaan sumberdaya hutan? Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa masyarakat

lokal memiliki peranan yang sangat menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan

melalui kelompok-kelompok lokal yang dibentuk secara swadaya. Bahkan beberapa

peneliti secara tegas menyebutkan bahwa kelompok lokal menjadi pilihan alternatif yang

paling efektif untuk pengelolaan sumberdaya alam dibandingkan dengan regulasi formal

yang kaku dan ketat (Pretty, Jules, 2003). Temuan ini menjadi ”jalan lain” untuk

merumuskan kerangka berfikir dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dengan

mengintegrasikan komponen modal sosial (Ostrom, E., et al, 2002). Kelompok lokal yang

memiliki pengetahuan tentang sumberdaya lokal yang baik; kesesuaian kelembagaan

lokal yang ada; dan proses-proses pengelolaan yang mendorong pencapaian tujuan

pengelolaan yang lebih hati-hati, mampu bekerja bersama secara kolektif untuk

menggunakan sumberdaya alam secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama

(Uphoff, N., 2002).

Terminologi modal sosial menangkap ide bahwa ikatan-ikatan dan norma-norma

sosial sangat penting bagi individu, kelompok dan masyarakat (Coleman, 1988). Hal ini

disebabkan karena modal sosial mengeluarkan biaya aksi kolektif jauh lebih rendah

sehingga mampu memfasilitasi kerjasama. Orang memiliki keyakinan untuk berinvestasi

dalam kegiatan kolektif dan meyakini orang lain pun akan melakukan hal yang sama.

Modal sosial juga terbukti mampu mengurangi kegiatan-kegiatan individu yang tidak

terkontrol yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan (Pretty dan Ward, 2001).

Empat gambaran modal sosial yang penting terkait dengan tindakan kolektif (Pretty,

24

Page 25: Modal Sosial Handouts

2003), yakni: hubungan saling percaya (relation of trust); hubungan tukar menukar dan

timbal balik (reciprocity and exchange); aturan bersama (common rules); norma-norma

dan sanksi (norms and sanctions); dan keterhubungan dalam jaringan dan kelompok

(connectedness in network and groups).

Menurut Pretty (2003), hubungan saling percaya menghasilkan kerjasama, dan

mengurangi biaya transaksi antara orang per orang. Sebagai pengganti investasi dalam

memonitor orang lain, individu-individu dapat mempercayai orang lain untuk melakukan

seperti yang mereka harapkan sehingga mampu menghemat uang dan waktu. Tetapi

hubungan saling percaya membutuhkan waktu dan sangat mudah runtuh. Ketika sebuah

masyarakat ditandai oleh adanya ketidakpercayaan dan konflik, maka kerjasama akan

sulit terwujud. Sementara itu, resiprositas meningkatkan hubungan saling percaya, dan

menunjuk pada pertukaran barang dan pengetahuan yang simultan dengan disertai nilai-

nilai keadilan dan relasi yang berkelanjutan (Putnam, 1993). Resiprositas berkontribusi

pada pembangunan tanggung jawab sosial dalam jangka waktu yang lama antar orang

yang membantu pencapaian hasil pengelolaan lingkungan yang positif.

Aturan-aturan bersama, nilai-nilai dan sanksi-sanksi yang disetujui bersama

secara turun temurun menjamin adanya aturan main dalam mengelola sumberdaya yang

ada dan memberikan keyakinan pada individu untuk berinvestasi dalam komoditas

kolektif. Sanksi yang ada meningkatkan keyakinan individu-individu bahwa yang

melanggar akan kena hukuman. Keterhubungan dalam jaringan dan kelompok (bonding,

bridging, dan lingking social capital) telah diidentifikasi sebagai faktor yang penting bagi

jaringan dalam dan antar komunitas2.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa modal sosial menunjuk pada gambaran

organisasi sosial (jaringan sosial, interaksi sosial, norma, kepercayaan sosial, hubungan

timbal balik, kerjasama) yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama, serta yang mampu

menjadikan orang untuk bertindak secara kolektif untuk tujuan saling menguntungkan

(Woolock and Narayan 2000). Oleh karena itulah sifat modal sosial pada hakekatnya

2Bonding social capital menggambarkan hubungan antara individu, dan menunjuk pada kohesi sosial dalam kelompok. Bridging social capital menunjuk pada hubungan horizontal antara anggota masyarakat, keluarga atau rumah tangga, dan antar masyarakat yang berbeda dan antar kelompok. Bridging social capital menggambarkan kapasitas kelompok atau masyarakat untuk membangun jaringan dengan kelompok lain, sementara linking social capital menggambarkan kemampuan kelompok untuk berhubungan dengan agen-agen eksternal, baik untuk pemanfaatan sumberdaya ataupun mempengaruhi kebijakan

25

Page 26: Modal Sosial Handouts

menyangkut persoalan (1) sifat dan kekuatan hubungan antar anggota, (2) kemampuan

anggota untuk mengorganisasikan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan kolektif yang

saling menguntungkan pada area kebutuhan bersama, (3) pengaturan struktur sosial

yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan berbagai rencana, (4) keterampilan dan

kemampuan yang memungkinkan anggota masyarakat dapat berkontribusi pada proses

pembangunan (Uphoff and Mijayaratna 2000).

Sementara itu, upaya-upaya untuk mengkaji aspek teoritis dan metodologis

pengukuran modal sosial relatif masih baru (World Bank 2000). Memperoleh pengukuran

modal sosial yang komprehensif, multidimensi, dan dinamis sangatlah sulit. Namun

demikian, dalam penelitian ini akan dikaji parameter modal sosial berdasarkan pada

pembagian dua bentuk modal sosial, yakni modal sosial struktural (structural social

capital) dan modal sosial kognitif (cognitive social capital) yang memayungi tiga dimensi

modal sosial, yakni (1) kelembagaan (institutions); yang meliputi nilai yang dimiliki

bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan

aturan-aturan (rules); (2) jaringan sosial (social networks); yang meliputi adanya

partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity),

kerjasama (collaboration/cooperation), dan keadilan (equality); dan (3) hubungan saling

percaya (trust); yang meliputi kejujuran (honetsy), kewajaran (fairness), sikap egaliter

(egalitarianism), toleransi (tolerance), dan kemurahan hati (generousity).

2.5. Tingkatan Analisis Modal Sosial

Sementara itu, Grootaert and Van Bastelaer (2002) mengidentifikasi dimensi

konseptualisasi modal sosial: tingkatan mikro ke tingkatan makro, dan kontinum dari

modal sosial kognitif ke modal sosial struktural. Menurut mereka, modal sosial pada

tingkat makro terdiri dari kelembagaan negara dan aturan hukum (bersifat struktural),

dan pola pengelolaan negara (bersifat kognitif). Sementara, modal sosial pada tingkat

mikro meliputi kelembagaan lokal dan jaringan (bersifat struktural), dan hubungan saling

percaya, norma lokal, dan nilai-nilai (bersifat kognitif).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bain and Hicks (1998) yang

mengembangkan konseptualisasi modal sosial ke dalam dua tingkatan: tingkatan makro

dan mikro. Tingkatan makro menunjuk pada konteks institusional dalam mana organisasi

beroperasi, sementara tingkatan mikro merujuk pada kontribusi yang potensial

26

Page 27: Modal Sosial Handouts

organisasi dan jaringan sosal horizontal terhadap pembangunan. Pada tingkatan makro

terdapat unsur aturan hukum, tipe rejim pemerintahan, tingkatan desentralisasi, tingkat

partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan kerangka kerja legal/formal. Tingkatan

mikro yang terdiri dari aspek kognitif dan aspek struktural. Aspek kognitif terdiri dari

nilai-nilai hubungan saling percaya, solidaritas, dan hubungan timbal balik, norma sosial,

tingkah laku, dan sikap. Aspek struktural terdiri dari struktur organisasi horizontal, proses

pengambilan keputusan kolektif yang transparan, akuntabilitas pemimpin, praktek

tindakan kolektif dan tanggung jawab sosial

Dalam banyak literatur, teoritisi menempatkan modal sosial pada tingkatan

individu, beberapa pada tingkat komunitas, dan lainnya lebih memiliki pandangan yang

dinamis dan bersifat fleksibel. Kilby (2002), misalnya, menyatakan bahwa modal sosial

berada dalam tingkatan atau skala individu yang menjadi bagian dari keluarga,

komunitas, organisasi profesi, negara dan sebagainya secara simultan. Adler dan Kwon

(2002) mendukung pernyataan tersebut bahwa sumberdaya modal sosial terletak dalam

struktur sosial dimana seorang aktor berada. Dengan demikian, modal sosial dapat

dipandang sebagai milik individu sebagai bagian dari agregasi komponen sosial. Kilpatrick

et al (1998) dan Sander (2002) menyatakan bahwa modal sosial pada dasarnya milik

kelompok dan dapat digunakan oleh kelompok atau individu-individu yang menjadi

anggota kelompok bersangkutan. Brewer (2003) menyatakan bahwa meskipun pada

dasarnya modal sosial dipandang sebagai konsep masyarakat yang lebih luas, modal

sosial dapat juga diobservasi pada tingkatan individu.

Dalam posisi yang berbeda, Coleman (1988) berpendapat bahwa modal sosial

bukanlah atribut dari individu-individu melainkan aspek tergantung dari struktur sosial.

Pendapat tersebut merupakan cerminan dari perspektif Coleman terhadap analisis modal

sosial yang cenderung bersifat struktural fungsional. Dalam perspektif ini individu

merupakan representasi dari masyarakat. Oleh karenanya individu bersifat pasif, atau

masyarakat merupakan hasil konstruksi individu-individu. Asumsi Coleman juga didukung

oleh Newton (2001) bahwa modal sosial secara esensial merupakan kekayaan kolektif

dari sistem sosial, bukan karakteristik dari individu. Demikian juga (Edwards and Foley

1998) meyakini bahwa perbedaan antara modal manusia dan modal sosial adalah bahwa

modal sosial inheren dalam hubungan antara individu dan kelompok, dan bukan di dalam

hubungan antar individu.

27