Upload
doanhanh
View
270
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Miskonsepsi Matematika dan Konflik Kognitif
Miskonsepsi terdiri dari dua kata, yaitu Mis dan Konsepsi. Mis berarti salah atau
kesalahan. Konsepsi berarti pemikiran atau pemahaman. Jadi Miskonsepsi dalam arti
terminologi adalah salah pemahaman. Kata ini digunakan juga dalam bidang disiplin ilmu
yang lain, seperti miskomunikasi (salah berbicara), mispersepsi (salah berpendapat),
mis informasi (salah dengar) dan lain-lain. Sedang menurut arti etimologinya adalah
pandangan dan pengetian yang salah memahami peristiwa atau penjelasan yang terjadi
disebabkan oleh bimbingan dan pengajaran yang tidak benar.
Miskonsepsi diartikan salah paham. Bila tidak segera diluruskan, niscaya akan
menjadi aksioma (anggapan yang tak terbantahkan). Mayoritas miskonsepsi itu terjadi dalam
bidang pendidikan misalnya dalam bidang matematika yang justru akan semakin
melemahkan semangat mempelajarinya, seperti anggapan sulit, tidak prospektif,
membutuhkan waktu lama dan lain-lain. Untuk mengatasi miskonsepsi dibidang matematika
dituntut adanya seorang guru atau pembimbing yang betul-betul memahami konsep yang
salah paham dari pihak pembelajar dikarenakan apakah faktor pengalaman yang pernah ia
dapatkan dan belum berujung pengalaman tersebut (akhir kelanjutannya tidak disimak, tiba-
tiba ada suatu keperluan membuat ia tidak mengikuti pembelajaran sampai pembahasan akhir
atau bisa jadi waktu membatasi saat itu). Guru yang ahli di bidang tersebut, atau anda sudah
melakukan pencaharian misal secara search engine dengan sumber yang akurat, Insya Allah
miskonsepsi dalam bidang pembelajaran matematika sedikit demi sedikit akan berubah dan
aksioma yang selama ini menghantui jiwa anak didik, mahasiswa, dan pembelajar sejati akan
terbantahkan. Terjadinya miskonsepsi bagi anak didik, sering disebabkan oleh kekurang-
mampuan guru atau pembimbingnya dalam mengajarkan atau mendidik dengan baik (mudah-
mudahan penulis pribadi bisa mengajarkan atau berbagi ilmu pengetahuan dan terhindar dari
miskonsepsi, aamiin yaa ALLAH). Yang berdampak pada kelemahan belajar matematika itu
sendiri. Intinya sebagai pembelajar sejati jangan berhenti untuk belajar, ketika anda
mengalami konflik kognitif dan ternyata ini dapat menjadi salah satu pendekatan
pembelajaran strategi belajar.
Berikut gambaran yang diberikan oleh Roni M. Rumallang dalam tulisannya
(KONFLIK KOGNITIF Sebagai Salah Satu Pendekatan Pembelajaran Strategi Belajar)
Strategi belajar merupakan alat untuk membantu siswa belajar dengan kemampuannya
sendiri. Proses – proses ini digunakan untuk membantu siswa ― belajar bagaimana belajar ‗ (learn
how to learn), yaitu bagaimana memahami, menimpan atau mengingat kembali keterampilan dan
informasi. Siswa sudah mempunyai konsepsi mengenai konsep-konsep sebelum mereka
mengikuti pelajaran misalnya pelajaran fisika di sekolah. Karena itu mereka sudah
mengembangkan banyak konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi sebenarnya. Strategi
mengajar dengan konflik kognitif ini sangat efektif digunakan guru untuk memeotivasi belajar
siswa dan memfokuskan perhatian siswa pada pembelajaran. Disamping itu strategi ini dapat
membantu siswa membentuk ide baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu,
memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan mengubah miskonsepsi siswa, dan
menantang siswa untuk berfikir dan memberikan rasa puas pada siswa ketika prediksi siswa
sesuai dengan pengamatan.
Kata kunci : konflik kognitif, pembelajaran, strategi belajar
PENDAHULUAN
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar – benar mengerti dan dapat
menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu bagi dirinya dan selalu bergulat dengan ide – ide.
Salah satu prinsip paling pentingdari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya
semata – mata memberikan pengetahuan kepada sisiwa. Siswa harus membangun pengetahuan di
dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara – cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan dengan
mengajak sisiwa agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi –strategi mereka sendiri
untuk belajar.
Strategi belajar merupakan alat untuk membantu siswa belajar dengan kemampuannya
sendiri. Proses – proses ini digunakan untuk membantu siswa ― belajar bagaimana belajar ‗ (learn
how to learn), yaitu bagaimana memahami, menimpan atau mengingat kembali keterampilan dan
informasi.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Konsep
Konsep adalah benda – benda, kejadian – kejadian, situasi – situasi, atau ciri-ciri yang
dimiliki ciri – ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau symbol.
(objects, events, situations, or properties that proces common critical attributes and are designated
in any given culture by some accepted sign or symbol … Ausubel ; 1978).
Konsep merupakan abstraksi dari ciri – ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi
antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir (bahasa adalah alat fakir). Konsep
merupakan suatu ide/gagasan yang digeneralisasikan dari pengalaman – pengalaman tertentu dan
relevan. Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan konsep – konsep
lain. Setiap konsep dapat dihubungkan dengan banyak konsep lain dan mempunyai arti dalam
hubungan dengan konsep-konsep lain. Semua konsep bersama membentuk semacam jaringan
pengetahuan di dalam kepala manusia. Semakin lengkap, terpadu, tepat dan kuat, hubungan
antara konsep-konsep dalam kepala seseorang, semakin pandai orang itu. Keahlian seseorang
dalam suatu bidang studi tergantung lengkapnya jaringan konsep di dalam kepalanya. Semakin
dalam kita memasuki bidang studi, semakin kompleks dan terpadu (integrated) jaringan konsep
dalam kepala.
Konsep dapat dibedakan antara 3 (tiga) sifat yaitu :
a. Bersifat klasifikasi : yaitu didasarkan pada klasifikasi fakta – fakta menurut aturan tertentu.
Misalnya energi panas, energi kinetik, energi bunyi dan lain-lain. Semuanya digunakan
untuk mengklasifikasikan konsep energi.
b. Bersifat korelasional : yaitu menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih.
Misalnya benda dipanaskan memuai, hambatan mengecil, kuat arus membesar dan lain-
lain.
c. Bersifat teoritis : merupakan gagasan pikiran yang timbul sebagai berpikir abstrak yang
memudahkan penjelasan terhadap kejadian – kejadian atau pengalaman, maupun gejala suatu
sustem.
Misalnya : dalam teori atom kita mengenal adanya konsep atom, konsep elektron, proton,
neutron dan lain-lain
Menurut tingkatannya konsep dibedakan atas :
a. Konsep konkrit : konsep iini terbentuk karena pengalaman langsung melalui indra. Misalnya
mendidik, memuai, mengelinding dan lain-lain.
b. Konsep abstrak : konsep ini biasanya berkembang dari konsep konkrit. Konsep ini di dapat
melalui analisa dan sintesa. (biasanya dapat membedakan berbagai konsep dasar). Misalnya :
konsep elektron (membedakan aliran listrik dan perambatan energi panas), konsep gelombang
(membedakan gelombang elektromagnetik, konveksi dan radiasi)
B. Belajar Konsep, Miskonsepsi dan Prakonsepsi
Sering siswa hanya menghafalkan definisi konsep tanpa memperhatikan hubungan antara
konsep dengan konsep-konsep lainnya. Dengan demikian konsep baru tidak masuk jaringan
konsep yang telah dalam kepada siswa, tetapi konsepnya berdiri sendiri tanpa hubungan dengan
konsep lainnya. Maka konsep yang baru tersebut tidak dapat digunakan oleh siswa dan tidak
mempunyai arti, sebab arti konsep berasal dari hubungan dengan konsep-konsep lain.
Tafsiran perorangan terhadap suatu konsep disebut Konsepsi. Konsepsi (penafsiran siswa
seringkali berbeda dengan konsep yang dimaksudkan. Kesalahan penafsiran siswa terhadap suatu
konsep disebut Miskonsepsi. Memang konsepsi siswa selalu berbeda dengan konsepsi
matematikawan atau fisikawan pada umumnya akan lebih canggih, lebih kompleks, lebih rumit,
melibatkan lebih banyak hubungan antara konsep daripada konsepsi siswa. Kalau konsepsi siswa
adalah sama dengan konsepsi fisikawan atau matematikawan yang disederhanakan, konsepsi
siswa tidak dapat disebut salah. Tetapi kalau konsepsi siwa bertentangan dengan fisikawan atau
matematikawan kita menggunakan istilah miskonsepsi (misconception). Biasanya miskonsepsi
menyangkut kesalahan siswa dalam pemahaman hubungan antara arus dan tegangan, antara
massa dan massa jenis dan sebagainya.
Dalam bahasa inggris para peneliti menggunakan istilah-istilah yang berbeda. Disamping
istilah misconceptions juga ada peneliti yang menggunakan ―alternative frameworks― atau
children theories ―. Kedua istilah ini digunakan untuk menghindari label salah dan untuk
menunjukan bahwa miskonsepsi siswa seringkali merupakan bagian dari suatu teori siswa yang
dengan sendirinya cukup logis dan konsisten walaupun tak cocok dengan pendapat ilmuwan dan
peristiwa – peristiwa fisika.
Dari banyak penelitian ternyata siswa sudah mempunyai konsepsi mengenai konsep-
konsep fisika sebelum mereka mengikuti pelajaran fisika di sekolah. Sebelum mereka mengikuti
pelajaran fisika, mereka sudah banyak berpengalaman dengan peristiwa-peristiwa fisika (benda
yang jatuh, benda yang bergerak, gaya, panas dan sebagainya) dan karena itu mereka sudah
mengembangkan banyak konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi sebenarnya. Konsepsi
semacam itu disebut Prakonsepsi. Kadang-kadang penggunaan istilah prakonsepsi lebih luas,
yaitu konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah pernah
mendapatkan pelajaran formal (misalnya di Sekolah Dasar)
Dalam mengajar konsep baru, kita bertolak dari dunia nyata dan dari prakonsepsi yang
dimiliki siswa. Prakonsepsi perlu diperhatikan. Guru dan siswanya perlu menyadari prakonsepsi
ysng dimiliki siswa, sebab konsepsi ysng benar tidak begitu saja masuk (seperti mengisi botol)
tetapi prakonsepsi perlu disadari dan kemudian diubah ke arah konsepsi yang benar.
Salah satu mengajar yang sangat berguna untuk mengatasi miskonsepsi (dan kurang
dimanfaatkan di indonesia) adalah dengan strategi belajar Konflik Kognitif.
C. Pengertian dan Tujuan Strategi Belajar
Strategi belajar atau strategi kognitif merupakan alat untuk membantu siswa belajar
dengan kemampuannya sendiri. Proses – proses ini digunakan untuk membantu ―belajar
bagaimana belajar‖ (learn how to learn), yaitu bagaimana memahami, menyimpan atau
mengingat kembali keterampilan dan informasi. Pengaruh positif belajar terhadap hasil belajar
siswa telah ditunjukkan oleh banyak hasil penelitian. Strategi ini dapat dikuasai guru dalam
waktu yang cepat dan kemudian dapat diajarkan kepada siswa-siswinya. Namun hal ini
memerlukan perubahan pola berpikir guru, karena guru tradisional hanya menyediakan waktu
yang sangat terbatas untuk aspek pembelajaran ini.
Tujuan utama mengajar strategi belajar adalah untuk mengahasilkan pembelajaran yang dapat
mengendalikan diri sendiri (pebelajar mandiri), yang didefinisikan sebagai individu yang dapat :
(1) secara teliti mendiagnosis suatu situasi pembelajaran tertentu, (2) memilih suatu strategi
belajar untuk memecahkan suatu masalah belajar yang dihadapi, (3) memonitor keefektivan
strategi tersebut, dan (4) cukup termotivasi untuk terlibat dalam situasi pembelajaran sampai
pembelajaran itu tuntas.
D. Teori Belajar Konstuktivisme
Paradigma yang masih dianut guru dan masih berlaku sekarang adalah dalam proses
belajar mengajar pengetahuan diberikan oleh guru dan diterima oleh siswa. Keberhasilan dan
belajar mengajar diukur dari sejauh mana siswa dapat menunjukan bahwa mereka dapat
mengungkapkan pengetahuannya yang diuji oleh guru. Jika diungkapkan pengetahuannya yang
diuji oleh guru. Jika hanya diungkapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan guru, maka siswa
tidak dianggab belajar. Dengan asumsi ini, maka guru berusaha sangat aktif dalam
menyampaikan informasi (ceramah) dan siswa hanya mendengar kemudian mencatat (Paul
Suparno, 1997).
Banyak ahli pendidikan mengemukakan pandangan tentang belajar dan mengajar yang
bertolak belakang dengan pandangan umum di atas. Piaget (1975) (dalam Nur; 1996) menyatakan
bahwa ― pengetahuan bukan merupakan sebuah copy dari sebuah obyek untuk mengetahui sebuah
gejala atau kejadian, bukan sekedar membuat suatu ― mental copy ― atau banyangan tentang
sebuah obyek. Mengetahui adalah memodifikasi, menstranformasi obyek adalah aksi dalam
pikiran yang memodifikasi obyek pengetahuan.
Pandangan Konstruktivisme Dalam Proses Belajar
- Konstruktivisme di gunakan sebagai acuan untuk membangun kelas yang memaksimalkan
siswa belajar. Guru mencari tahu hal-hal yang telah diketahui siswa, memaksimalkan interaksi
sosial antar teman agar bernegosiai makna, memperoleh berbagai pengalaman cara
membangun makna dari teman.
- Belajar merupakan proses aktif peserta didik membangun (mengkonstruksi) teks, dialog,
pengalaman fisik.
- Melalui teori perkembangan berpikir, Piaget mengemukakan bahwa salah satu yang melandasi
perkembangan berpikir adalah adaptasi, yaitu suatu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi
- Asimilasi adalah proses penggunaan struktur kognitif yang telah ada untuk
menanggapimasalah yang dihadapi. Apabila masalah yang dihadapi tidak sesuai dengan
struktur kognitif yang ada, maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrum). Utnuk dapat
memberikan respon terhadap lingkungannya itu ia harus melakukan akomodasi, yaitu
mengubah struktur kognitif baru yang sesuai, sehingga tercapailah keseimbangan
(equilibrum). Pada keadaan demikian ia berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada
sebelumnya.
- Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan
yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki sebelumnya sehingga pengertiannnya
dikembangkan.
Proses Belajar Mengajar yang Bercirikan Konstruktivisme
- Belajar berarti membentuk makna
- Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus
- Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan pengembangan pemikiran dengan
membuat pengertian baru.
- Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut. Dalam situasi ketidakseimbangan terjadi pertentangan
kognitif (konflik kognitif) dalam otak siswa. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik
untuk memacu belajar.
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan
- Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui si pembelajar yang
mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997)
E. PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI BELAJAR
KONFLIK KOGNITIF
Dalam pelaksanaannya strategi belajar konflik kognitif dapat menggunakan model
pembelajaran apa saja yang dalam kegiatannya siswa diberi kesempatan untuk menjawab masalah
yang diberikan guru dengan konsep yang dimiliki siswa. Yang kemudi pada kegiatan inti siswa
dan guru membuktikan jawaban atas masalah yang diberikan dengan menunjukkan secara
langsung pada siswa melalui kegiatan demonstrasi atau eksperimen.
Berikut adalah salah satu contoh langkah-langkah yang ditempuh guru dalam penyajian
program pembelajaran dengan strategi konflik kognitif.
a. Guru menyajikan suatu fenomena fisika yang sering dialami siswa dan menarik siswa melalui
kegiatan demonstrasi guru.
b. Guru meminta siswa untuk memberikan jawaban atas suatu fenomena untuk menggali konsep
(yang mungkin miskonsepsi) siswa.
c. Selanjutnya guru membagi siswa dalam beberapa kelompok diskusi dan memberikan
kesempatan pada siswa untuk melaksanakan eksperimen dan mendiskusikan hasil eksperimen.
d. Berdasarkan hasil eksperimen dan diskusi siswa guru membimbing siswa untuk menarik suatu
kesimpulan dan memperbaiki miskonsepsi siswa.
Strategi mengajar dengan konflik kognitif ini sangat efektif digunakan guru untuk
memotivasi belajar siswa dan memfokuskan perhatian siswa pada pembelajaran. Dengan
demikian konflik kognitif sangat bagus untuk digunakan pada kegiatan awal pembelajaran.
Disamping itu strategi ini dapat membantu siswa membentuk ide baru berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman terdahulu, memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan mengubah
miskonsepsi siswa, dan menantang siswa untuk berfikir dan memberikan rasa puas pada siswa
ketika prediksi siswa sesuai dengan pengamatan.
Misalanya dalam pembelajaran fisika dilakukan sebuah percobaan yang bertentangan dengan
pengalaman siswa. Pertanyaan untuk siswa : Apakah yang terjadi pada es batu ketika air
dipermukaan mendidih ?
Penjelasan: Seluruh siswa meramalkan bahwa es batu akan langsung mencair ketika air
dipanasakan. Menurut siswa tidak perlu menunggu cair mendidih es pasti langsung mencair. Tapi
kenyataannya sampai air mendidih dan es batu masih utuh tidak mencair. Disinilah terjadi konflik
kognitif pada siswa. Dengan penjelasan dan diskusi yang baik dari guru dan siswa akan mudah
mengkontruksi pengetahuan baru yang dihadapi.
Misalnya miskonsepsi yang terjadi dalam Matematika, sebagai berikut:
Hal ini pernah ditanyakan ke beberapa guru SD, guru SMP dan mahasiswa, apakah
gambar di samping adalah jajargenjang? Mereka menjawab bukan, gambar tersebut adalah
persegi panjang, bagi mereka jajargenjang sisinya harus miring. Kemudian pertanyaan
dilanjutkan, apa definisi jajargenjang? Beberapa orang di antaranya menjawab dengan benar,
yaitu bangun segiempat di mana sisi yang berhadapan sejajar dan sama panjang. Pertanyaan
berlanjut, bukankah sisi yang berhadapan pada bangun di samping sejajar dan sama panjang?
Mereka agak ragu-ragu menjawab.
Berdasarkan pengalaman tersebut, sepertinya ada beberapa miskonsepsi matematika
yang dialami mahasiswa dan bahkan beberapa guru. Mereka mengatakan persegi panjang
bukan termasuk jajargenjang, padahal berdasarkan definisi persegi panjang adalah bentuk
khusus dari jajargenjang. Hal ini karena mereka terbiasa memberi atau melihat contoh-contoh
jajargenjang selalu dengan sisi miring seperti pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan definisi jajargenjang, maka persegi panjang
(termasuk persegi) dan belah ketupat adalah jajargenjang. Oleh karena itu, kita yang belajar
matematika harus mengetahui hubungan antarbangun segiempat.
Ketidakpahaman pada hal ini mengakibatkan mereka maupun kita tidak bisa
menjawab soal seperti ini, Hitunglah panjang BE pada gambar belahketupat di bawah ini,
jika panjang AC adalah 24 cm dan kelilingnya 60 cm!
Miskonsepsi matematika yang dialami guru dan mahasiswa rupanya bukan hanya
pada hubungan bangun segiempat tersebut, tetapi terjadi juga pada materi lain, salah satunya
lingkaran. Lingkaran didefinisikan sebagai tempat kedudukan titik-titik yang jaraknya sama
ke suatu titik tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, maka luas lingkaran seharusnya adalah 0
berapa pun jari-jarinya. Jadi bukan . Gambar lingkaran adalah sebagai berikut.
Rumus luas yang biasa diajarkan di SD atau SMP tersebut adalah
untuk menghitung luas daerah yang dibatasi oleh lingkaran. Jadi, harus tegas dibedakan
antara lingkaran dengan daerah yang dibatasi lingkaran (atau boleh juga diberi nama cakram).
Miskonsepsi yang lain berkaitan dengan persamaan kuadrat. Mahasiswa atau guru
mudah sekali terjebak dengan rumus dan tanpa memperhatikan
semesta pembicaraan. Jika diketahui , berapakah jumlah akar-
akarnya? Umumnya akan dijawab -4, padahal seharusnya tidak ada karena persamaan kuadrat
tersebut tidak mempunyai akar di .
Karena kalau kita mencari jumlah akar-akarnya mengunakan rumus berikut:
𝑋12 = −𝑏± 𝑏2− 4 𝑎𝑐
2𝑎
= −4± 42− 4 (1)(5)
2(1)
=−4± 16− (20)
2
= −4± − 4
2
= −4±4𝑖
2
Jadi, X1= −4+4𝑖
2 = -2+2i dan X2 =
−4−4𝑖
2 = -2 – 2i
Berikut informasi tambahan tentang “Bilangan Imajiner : Sejarah dan Filosofinya”
Penemuan objek matematika terkadang melewati proses pemikiran yang ―liar‖ dan
pergulatan mental yang melelahkan. Hal ini sempat beberapa kali mengundang pertanyaan
filosofis bagi para matematikawan. Memasuki abad ke 19 sebagian ahli matematika melihat
landasan filosofis matematika perlu untuk dikaji kembali. Penemuan bilangan imajiner
memainkan perananan penting dalam membuka teritorial pikiran baru yang terlegitimasi
secara matematis, namun menyisakan problem filosofis dan logika yang tetap tak tersentuh.
Bilangan imajiner sangat vital sebagai peralatan matematika, yang dengannya teorema
fundamental aljabar dapat dikukuhkan. Namun penemuan, pengkonsepsian, serta
pengembangan bilangan imajiner telah memberi corak dan warna baru dalam sejarah
Catatan: (dalam pembelajaran analisis kompleks di semester 7 nantinya anda akan mendapatkan materi tentang bilangan kompleks). Gambaran sekilas: Bentuk umum persamaan bilangan kompleks
a + bi dimana a dan b bilangan nyata dan i2 = -1
atau bisa juga dituliskan 𝑖 = −1. Jadi untuk
−4 = 4i
matematika dan logika, yang menurut Cardano proses ini melibatkan ―mental tortures‖ dan
melewati jalan pikiran yang oleh Bombelli disebut ―wild thought.‖ Proses pergulatan mental
dan pikiran ini merupakan ciri dari perkembangan matematika di zaman Renaissance.
Setidaknya ada dua pandangan filosofis tentang matematika yang masuk ke zaman
Renaisscance. Dua pandangan filosofis ini merupakan warisan para pemikir dan
matematikawan Yunani yang kemudian berkomunikasi dengan peradaban Arab. Yang
pertama adalah Aristotelianisme yang memandang matematika sebagai proses kreatif-
transendental pikiran manusia. Objek matematika dalam pandangan Aristotelianisme dapat
dibuktikan adanya melalui proses berpikir kreatif melalui tangga-tangga berpikir yang naik
berawal dari pikiran manusia (ascending from human mind), yaitu proposisi aksioma, sampai
di objek matematika melalui pembuktian (teorema). Pandangan ini merupakan jawaban
metodis terhadap pandangan filosofis yang dikemukakan oleh gurunya, Plato. Pandangan
yang kedua adalah Platonism, yang memandang matematika sebagai hasil dari proses intuitif-
transendental. Objek matematika dalam pandangan Plato adalah realitas yang bebas dari
pikiran manusia (independent from human mind), namun tidak dapat dipisahkan dengan
teritorial yang berada di atasnya. Plato berkeyakinan bahwa matematika (atau geometri pada
masa itu) merupakan realitas imaterial yang legitimasinya dibuktikan melalui proses intuitif-
transendental dari realitas yang berada di atasnya (descending from divine realm) dan sampai
ke bawah bersesuaian dengan realitas fisis.
Kedua pandangan filosofis ini secara esensial aktif berkomunikasi memasuki zaman
Renaissance di Eropa. Hingga memasuki abad ke-20 para pengkaji fondasi matematika mulai
merumuskan batasan-batasan akal matematis yang bersumber dari pikiran manusia. Di
samping itu pula para matematikawan abad ke-20 meletakan kerangka landasan filosofis
matematika sebagai perluasan dari dua pandangan yang telah ada sebelumnya.
Bilangan Imajiner Sebagai Peralatan Matematis dan Aplikasinya
Dewasa ini bilangan imajiner sudah tidak asing lagi digunakan dalam matematika,
khususnya dalam analisis kompleks. Analisis kompleks itu sendiri dapat dipandang sebagai
penerapan teori-teori kalkulus terhadap bilangan imajner. Tetapi apa sesungguhnya bilangan
imajiner ini? Apakah ia bilangan yang hanya ada dalam imajinasi, yang tidak memiliki
kesesuaiannya dengan realitas fisis? Sebagian orang mungkin masih mempertanyakan
legitimasi dari bilangan imajiner ini.
Dewasa ini keberadaan bilangan imajiner sebagai objek maupun peralatan matematis
sangat dirasakan manfaatnya bagi dunia. Dalam dunia rekayasa, bilangan ini sering dipakai
dalam mempelajari prilaku aliran fluida di sekitar objek tertentu. Dalam elektromagnetika
bilangan imajiner digunakan dalam pemodelan gelombang. Sehingga jika bukan karena
penemuan i mungkin kita tidak bisa berkomuniaksi lewat telepon seluler, atau mendengarkan
radio. Bilangan imajiner adalah bagian penting dalam mempelajari deret tak hingga (infinite
series). Ia juga dipakai dalam model-model matematika untuk mekanika quantum. Bilangan
imajiner adalah peralatan vital di dalam kalkulasi ketika membuat pemodelan. Dan akhirnya,
setiap persamaan polinomial akan mempunyai solusi apabila bilangan imajiner (atau bilangan
kompkes) dilibatkan. Jelasnya, kepentingan-kepentingan praktis maupun teoritis itu dapat
memberikan gambaran kenapa bilangan imajiner itu ada atau tercipta.
Atas dasar alasan praktis seperti di atas dapat dikatakan pada saat sekarang ini bahwa
secara praktis, bilangan imajiner tercipta disebabkan karena ia dibutuhkan, atau karena ia
merupakan peralatan matematika yang dibutuhkan. Sebagai contoh penyelesaikan persamaan
semisal akan menemui jalan buntu apabila di dalam matematika tidak dikenal
konsep akar dua dari negatif satu. Karena itu terciptalah bilangan imaginer yang lebih populer
disimbolkan dengan i (atau j dalam bidang kelistrikan), yang secara matematis memiliki
kuantitas yang bersesuaian dengan akar dua dari negatif satu. Sehingga untuk mendapatkan
solusi terhadap persamaan tadi, kita dapat memulainya dengan suatu anggapan i sebagai akar
dua dari negatif satu. Namun anggapan ini belumlah menyentuh sisi filosofis penting dibalik
munculnya bilangan imajiner.
Dari segi notasinya, bilangan imajiner adalah bilangan yang menakjubkan, setidaknya
apabila kita mengkuadratkannya maka ia menjadi bilangan riil. Dengan menggunakan notasi
akar dua dari negatif satu, yang disimbolkan dengan huruf i, persoalan akar dari bilangan
negatif dapat diselesaikan.
Lebih jauh penemuan bilangan imaginer melewati beberapa fase pemikiran dan
memerlukan waktu yang berabad-abad lamanya sehingga para matematikawan bisa
menerima keberadaan bilangan baru ini. Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mencatat
beberapa episode sejarah bagaimana bilangan imajiner itu ditemukan, serta bagaimana
bilangan imajiner itu dikonsepsikan serta dikembangkan.
Awal Penemuan dan Pengembangan Bilangan Imajiner
Sejarah penemuan bilangan imaginer (imaginary numbers) dimulai pada tahun 1545
ketika seorang matematikawan berkebangsaan Italia, Girolamo Cardano, menerbitkan buku
yang berjudul Ars Magna, di mana pada buku tersebut Cardano untuk pertama kalinya
menyatakan solusi aljabar terhadap persamaan kubik yang berbentuk
. Persamaan ini untuk kemudian dikenal sebagai persamaan kubik
umum. Solusinya diselesaikan oleh Cardano dengan terlebih dahulu mereformulasi
persamaan kubik tersebut ke dalam persamaan kubik lain yang tidak memiliki suku yang
variabelnya dikuadratkan, yaitu yang disebut dengan persamaan depressed cubic.
Selanjutnya, Cardano menggunakan formula Ferro-Tartaglia untuk memecahkan persaamaan
depressed cubic.
Selain sebagai matematikawan, Cardano juga dikenal sebagai fisikawan dan
astrologer yang bekerja kepada para pembesar Eropa. Ia juga dikenal sebagai pejudi yang
senang melakukan perjalanan jauh dan pesta-pora. Namun di tengah-tengah kesibukannya itu,
karier matematika Cardano jauh lebih cemerlang sebagai aktor utama Renaissance. Di sisi
lain, ia telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembaangan awal ilmu probabilitas.
Atas dasar kontribusi ini, ia telah dianggap sebagai bapak Ilmu Probabilitas. Selain De Vita
Properia Liber yang berisi risalah ilmu probabilitas, ia juga menulis Ars Magna (Seni
Agung). Di buku Ars Magna inilah Cardano mulai menyadari posibilitas keberadaan bilangan
imajiner yang pertama kali muncul sebagai efek dari pengembangan penyelesaian persamaan
kubik tadi.
Persamaan kubik (cubic equations) itu sendiri telah dipelajari oleh murid-murid
Euclide di Alexandria. Archimedes (287 – 212 SM), misalnya, menemukan bahwa ketika
sebuah bola dipotong oleh suatu bidang sehingga salah satu bagiannya memiliki volume dua
kali bagian yang lainnya, maka cara bola tersebut dipotong mengarah ke persamaan kubik
berbentuk : .
Memasuki awal masa Renaissance, para matematikawan Muslim telah banyak
mewariskan cara menyelesaikan persamaan matematika baik dengan pendekatan aritmetika
maupun melalui metode geometris. Namun matematikawan pada masa itu belum mampu
untuk mendapatkan solusi aljabar terhadap persamaan kubik. Omar Khayyam (1050 – 1123)
sebagai contoh memberikan ilustrasi terhadap pemecahan masalah persamaan kubik, namun
hanya sampai di akar bilangan positif. Notasi terhadap akar dua bilangan negatif masih terlalu
jauh dikonsepsikan mengingat konsep bilangan negatif sendiri masih asing waktu itu, dan
penggunaannya dalam matematika masih dicurigai. Para matematikawan di masa itu agaknya
masih sulit untuk menemukan korespondensi bilangan negatif dengan realitas fisis, meskipun
secara sistematis penggunaannya dalam matematika telah dipresentasikan oleh Brahmagupta
pada tahun 628.
Hingga pada tahun 1494, Luca Pacioli pun mengumumkan bahwa tidak ada solusi
aljabar umum terhadap persamaan kubik. Orang pertama yang kemudian diketahui
menemukan solusi aljabar terhadap persamaan depressed cubic adalah Scipio del Ferro
(1465-1526), yaitu seorang guru besar di University of Bologna, Italia. Namun sayang, Ferro
merahasiakan temuan ini untuk beberapa waktu, hingga ia memberitahukan temuan itu
kepada Antonio Fior di saat menjelang wafatnya.
Setelah Cardano mereformulasi persamaan kubik umum menjadi bentuk depressed
cubic equation, masalah selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan persamaan depressed
cubic? Untungnya solusi persamaan depressed Cubic telah diketahui oleh teman Cardano
yang bernama Niccolo Fontana yang dikenal juga dengan nama Tartaglia (―Si Gagap‖),
karena bicaranya gagap. Dalam suatu kontes, Nicollo Fontana ditantang oleh Fior untuk
memecahkan permasalahan persamaan kubik. Namun diluar dugaan, Tartaglia berhasil
memecahkannya dengan solusi yang lebih umum dari solusi yang diketahui Fior. Di lain
waktu, Cardano membujuk Tartaglia agar memberitahukan temuannya itu, dan Tartaglia pun
memberitahukannya dengan syarat agar temuan itu tidak dipublikasikan. Cardano
menyetujuinya dan bersumpah tidak akan mempublikasikannya. Namun Cardano melanggar
janjinya, ketika pada tahun 1543 ia menemukan paper yang ditulis oleh Ferro untuk topik
persamaan kubik. Sejak itu munculah keinginan dalam dirinya itu untuk memformulasikan
penanganan yang lebih lengkap terhadap persamaan kubik umum. Lalu kemudian ia
menuliskan hasilnya dalam Ars Magna.
Maka dengan upaya ini Cardano bisa menangani persamaan kubik umum melalui
koneksi persamaan depressed cubic dan solusinya dari Niccolo Fontana yang juga telah
ditemukan 30 tahun sebelumnya oleh Scipio del Ferro. Formula rahasia ini kemudian disebut
formula Ferro-Tartaglia.
Langkah-langkah penanganannya adalah sebagai berikut. Untuk menurunkan
persamaan kubik yang berbentuk :
………. (1)
Cardano memulainya dengan mensubstitusikan terhadap persamaan (1), yang
menghasilkan bentuk :
………. (2)
Dengan b dan c yang bersesuaian :
Persamaan (2) disebut depressed cubic equation.
Jadi, apabila nilai x pada persamaan depressed cubic ditemukan maka solusi terhadap
persamaan kubik umum juga bisa ditemukan. Untungnya, solusi terhadap persamaan
depressed cubic di atas telah didapatkan Cardano dari Tartaglia. Bentuk solusinya adalah
seperti ini :
………. (3)
Dengan formula Ferro-Tartaglia ini, Cardano mendapatkan solusi terhadap persamaan kubik
umum.
Pengembangan dari penyelesaian persamaan kubik dengan koneksi persamaan
depressed cubic serta formula Ferro-Tartaglia selanjutnya memberi legitimasi bagi posibilitas
eksistensi bilangan imajiner. Meskipun problem matematika yang melibatkan akar bilangan
negatif sebenarnya sudah disadari sebelumnya, sebagai misal dari persamaan kuadrat
yang solusinya . Namun pada masa Cardano konsep bilangan negatif
masih diperlakukan dengan penuh curiga mengingat pada saat itu masih sulit untuk
menemukan kesesuaiannya dengan realitas fisis. Sehingga munculnya akar dua dari bilangan
negatif menambah keasingan bagi bilangan itu sendiri. Cardano sendiri mengatakan proses
matematika dengan melibatkan ―mental tortures,‖ dan ia pun menyimpulkan, ―as subtle
as it would be useless.‖
Berikutnya, pada tahun 1637, Rene Descartes membuat bentuk standar untuk bilangan
kompleks yaitu a+bi. Akan tetapi ia tidak menyukai bilangan ini. Ia mengasumsikan bahwa
jika bilangan ini ada, maka ia pasti bisa dipecahkan. Namun karena ia tidak menemukan
pemecahannya, maka ia tidak begitu berminat terhadap pengembangan bilangan ini. Isaac
Newton sepakat dengan Descartes. Namun Leibniz memberikan komentar terhadap bilangan
imajiner ini : “an elegant and wonderful resource of the divine intellect, an unnatural birth in
the realm of thought, almost an amphibium between being and non-being.”
“Wild Thought”
Pada tahun 1572 Rafael Bombelli kembali menyadari arti penting bilangan imajiner.
Dalam buku risalah Aljabarnya, Bombelli menunjukkan perlunya bilangan imajiner
dilibatkan sebagai suatu peralatan matematis yang berguna. Bombelli memberikan langkah
baru bagi pengembangan bilangan baru ini yang oleh Cardano dianggap ―as refined as it is
useless.‖ Bombelli beranggapan bahwa formula Ferro-Tartaglia dapat direformulasi ke dalam
bentuk yang melibatkan kuantitas bilangan imajiner, namun dengan jalan berpikir yang
disebutnya ―wild thought.‖
Yang ia maksud ―wild thought‖ ialah, apabila persamaan depressed cubic (2)
memiliki solusi riil, maka dua bagian x pada persamaan Ferro-Tartaglia (3) bisa
diekspresikan dalam bentuk dan , dimana u dan v adalah bilangan riil.
Lalu apa relevansi ―wild thought‖ ini terhadap matematika? John H. Mathews dan
Russell W. Howell memberikan ilustrasi langkah berpikir Bombelli melalui contoh berikut
ini.
Sebagai contoh, persamaan depressed cubic yang mempunyai b = -15 dan c = -4. Dengan menerapkan formula Ferro-Tartaglia, didapatkan
atau dalam ekspresi lain .
Dengan melewatkannya melalui ―wild thought‖ Bombelli menunjukkan bahwa
dan . Yang apabila kedua ruas
dipangkatkan tiga menghasilkan dan .
Kemudian, dengan menerapkan identitas aljabar :
untuk dan . Hasilnya :
Hal yang sama juga dilakukan untuk bagian x lainnya yaitu .
Pada persamaan di atas tampak pikiran Bombelli bahwa dan
.
Bombelli kembali berpendapat bahwa u dan v haruslah bilangan bulat, dan karena faktor
bilangan bulat dari 2 hanya 2 dan 1, maka maka ia menyimpulkan bahwa
dan yang diikuti dengan atau . Nilai u dan v yang
memenuhi adalah u = 2 dan v = 1.
Selanjutnya dengan memasukan nilai u dan v didapatkan nilai x, yaitu x = 4. Jadi, proses
pengeluaran quantitas riil v dari kuantitas akar bilangan negatif serta dengan menempatkan
quantitas akar dua dari negatif satu di dalam formula itu dipandang oleh Bombelli sebagai
―wild thought.‖
Untuk sampai kepada solusi riil ini Bombelli berfikir melalui teritorial bilangan imajiner yang
belum pernah terpetakan sebelumnya. Sayangnya, trik berpikir ini tidak berlaku umum untuk semua persamaan kubik, tetapi hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja.
Dalam risalah Aljabarnya, Bombelli menulis, ―…and I too for a long time was of the same
opinion. The whole matter seemed to rest on sophistry rather than on truth. Yet I sought so
long, until I actually proved this to be the case.―
Refresentasi Geometris dan Aljabar Bilangan Imajiner
Pikiran liar Bombelli merangsang orang dalam beberapa dekade berikutnya untuk mulai
mempercayai keberadaan bilangan imajiner, dan sebagian ahli matematika berupaya agar
keberadaannya menjadi lebih jelas, lebih dimengerti dan diterima. Salah satu cara agar
keberadaannya diterima dengan mudah adalah dengan menyatakannya dalam bentuk grafik
dua dimensi. Dalam kasus ini, sumbu x adalah untuk bilangan riil, dan sumbu y untuk
bilangan imajiner.
Ide pertama untuk menyatakan bilangan kompleks dalam bentuk geometris bersumber dari
John Wallis pada tahun 1673. Sayangnya ekspresi geometris awal terhadap bilangan
kompleks mengarah ke konsekuensi yang tidak diharapkan, yaitu dinyatakan pada
titik yang sama dengan . Namun setidaknya representasi geometris ini memberikan
konsepsi baru terhadap bilangan kompleks sebagai ―titik pada bidang.‖ Upaya ini kemudian
diteruskan oleh Caspar Wessel, Abbe Buee dan Jean Robert Argand.
Pada tahun 1732, matematikawan berkebangsaan Swiss, Leonhard Euler mengadopsi gagasan
representasi geometris untuk solusi persamaan berbentuk dan menyatakannya
dalam bentuk . Euler juga adalah orang pertama yang menggunakan
simbol i untuk . Di sisi lain, dalam risalahnya Euler menulis, ―…for we may assert that
they are neither nothing, not greater than nothing, nor less than nothing, which necessarily
renders them imaginary or impossible.―
Jelasnya, setelah ia memperlakukan bilangan imajiner secara matematis dan formal, dan
menunjukan bahwa i mempunyai validitas matematis, pada akhirnya harus ia katakan bahwa
eksistensi i dalam realitas adalah impossible, atau paling tidak ―mental reality‖ belum mampu
meletakan status ontologisnya.
Dua matematikawan lain yang turut memberikan sumbangan penting terhadap
pengembangan bilangan imajiner adalah Augustin-Louis Cauchy (1789—1857) dan Carl
Friedrich Gauss (1777 – 1855). Cauchy menemukan beberapa teorema penting dalam
bilangan kompleks, sedangkan Gauss menggunakan bilangan kompleks sebagai peralatan
penting dalam pembuktian teorema fundamental dalam aljabar, yaitu terbukti bahwa melalui
bilangan kompleks, terdapat solusi untuk setiap persamaan polinomial berderajat n. Dalam
paper yang dikeluarkan tahun 1831, Gauss menyatakan representasi geometris untuk bilangan
kompleks x + iy dengan titik (x, y) dalam bidang kordinat. Ia juga menjelaskan operasi-
operasi aritmetika dengan bilangan kompleks ini.
Atas dasar usaha Gauss, bilangan kompleks mulai disadari legitimasinya. Sebagian ahli
matematika meyakini keberadaan bilangan kompleks dan berusaha memahaminya, sebagian
yang lain tidak, dan sebagian lagi meragukannya. Pada tahun 1833 William Rowan Hamilton
menyatakan bilangan kompleks sebagai pasangan bilangan (a, b). Kendati kelihatannya hanya
sebuah ekspresi lain alih-alih a + ib, dengan maksud agar lebih mudah ditangani melalui aritmetika. Usaha ini memicu Karl Weierstrass, Hermann Schwarz, Richard Dedekind, Otto
Holder, Henri Poincare, Eduard Study, dan Sir Frank Macfarlane Burnet untuk merumuskan
teori umum tentang bilangan kompleks. Dan atas upaya August Möbius aplikasi bilangan
kompleks ke dalam geometri menjadi lebih jelas bentuk-bentuk formula transformasinya.
Genuine Logical Problems
Pada tahun 1831 Augustus DeMorgan berkomentar dalam bukunya, On the Study and
Difficulties of Mathematics,
―We have shown the symbol √(-1) to be void of meaning, or rather self-contradictory and
absurd. Nevertheless, by means of such symbols, a part of algebra is established which is of
great utility.―
Dari sudut pandang ilmu logika, terdapat kontradiksi semisal identitas apabila diterapkan terhadap bilangan kompleks mengarah ke:
. Masalahnya adalah (-1)(-1) = 1 dan
. Tetapi . Jadi identitas tidak
berlaku ketika a dan b adalah bilangan negatif.
Di sisi lain notasi bilangan imajiner mengarah ke classic fallacy, sebagai contoh Philip
Spencer memberikan 10 langkah pembuktian falasi 1=2 berkaitan dengan notasi bilangan
imajiner ini :
Dilihat dari sejarah penemuan dan pengembangan bilangan imajiner, dan juga dari
permasalahan logika di atas, notasi bilangan imajiner memegang peranan penting sebagai
peralatan matematis dalam persoalan persamaan polinomial. Hal ini sebagaimana dikukuhkan
oleh Gauss melalui teorema fundamental aljabar. Tetapi seperti yang dicatat Euler dan
diperlihatkan oleh deMorgan, ia belum terlihat sebagai objek matematika dengan status
ontologis yang jelas.
PENUTUP
Kunci keberhasilan proses belajar mengajar adalah interaksi antara guru dan siswa.
Dengan melihat dan mendengarkan saja. Belum tentu siswa belajar, atau siswa belajar yang salah.
Waktu percobaan siswa harus di upayakan untuk berfikir. Kadang-kadang percobaan dapat di
hentikan sebentar sedang siswa diberi tugas atau pertanyaan dulu. Persiapan Tanya jawab adalah
tugas yang terpenting dalam persiapan percobaan. Dalam beberapa percobaan guru dapat
meminta siswa untuk meramalkan hasil percobaan dan menulis ramalan serta penjelasan. Tugas
ramalan justru sangat penting dalam percobaan dengan hasil yang tidak cocok dengan intuisi
siswa. Dalam percobaan semacam itu, kebanyakan siswa merasa mampu untuk meramalkan hasil,
tetapi jika hasil percobaan berbeda dengan intuisi siswa, motivasi mereka untuk memahami
penjelasan sebenarnya justru tinggi.
Dalam kegiatan ini siswa di hadapkan dengan suatu masalah, di minta meramalkan apa
yang terjadi jika ….. kemudian sesudah ramalan, guru menguji ramalan dengan percobaan di
depan kelas. Jika hasil tidak cocok dengan ramalan tadi, siswa mengalami konflik kognitif yang
dapat menghasilkan perubahan jaringan konsep dalam otak siswa (perubahan struktur
kognitifnya). Perubahan ini belum tentu benar masih bias salah juga, maka melalui penggunaan
teorinya secara aktif dalam sejumlah masalah yang tepat, siswa di latih dan diarahkan kepada
teori yang benar menurut model ilmuwan sekarang, jika hasil percobaan cocok dengan ramalan,
siswa akan merasa sangat puas yang akan diekspresikan dengan berteriak kegirangan atau
berjingkrak-jingkrak secara spontan.
Dalam pembelajaran matematika miskonsepsi bisa saja terjadi dan hal tersebut ternyata
menjadi awal kokohnya pengetahuan yang dimiliki siswa, mahasiswa maupun pembelajar itu
sendiri. Tulisan ini dimodifikasi dari beberapa referensi untuk lebih mengembangkan
pengetahuan pembelajar, silahkan anda telusuri referensi berikut;
Bibliografi
Bacaan online mungkin anda bisa telusuri kembali:
History of Complex Numbers (also known as History of Imaginary Numbers or the History of i), http://rossroessler.tripod.com/
Humanity and Imaginary Numbers: Why History is More Important than Math and Science, http://hubpages.com/hub/Humanity-and-Imaginary-Numbers-Why-History-is-More-Important-than-Math-and-Science
Jyce, David. 1999. Complex numbers: the number i, http://www.clarku.edu/~djoyce/complex/numberi.html
Mathews & Howell. 2006. The Origin of Complex Numbers, http://math.fullerton.edu/mathews/n2003/ComplexNumberOrigin.html
Shaw, Amanda. 2007. God and Imaginary Numbers, First Things, http://www.firstthings.com/onthesquare/2007/09/god-and-imaginary-numbers
Statemaster, Encyclopedia. Imaginary numbers, http://www.statemaster.com/encyclopedia/Imaginary-numbers
Wikipedia. Complex Numbers, http://en.wikipedia.org/wiki/Complex_number
BAHAN RUJUKAN Lainnya
Ausubel, Novak, Hanesan, 1978, Educational Psychology, Winston Holt,Renehart
Berg, Ed Van Den dkk.1991. Buku Sumber Fisika Esperimental. Salatiga : UKSW
Indrawati. 2002. Model Pembelajaran IPA. Bandung : Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA
Merril 1995 Physical Science, Enrichment. Teacher edition. New York. Glencoe
McMilan/McGraw-Hill
Nur, M. 2002 : Buku Panduan Keterampilan Proses dan Hakikat Sains Surabaya : University
Press
Nur, M dan Samami, M.1996. Teori Pembelajaran IPA dan Hakekat Pendekatan Keterampilan
Proses. Jakarta. Depdikbud.
Suparno, Paul. 1993. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan Yogyakarta : Kanisius 2005.
Model-model Pengajaran Dalam Pembelajaran Sains. Jakarta. Depdikbud. Dirjendikdasmen
Direktorat PLP.
Sumber lain, penulis telah telusuri:
Mutaqin, Anwar. 2010. Miskonsepsi Matematika. [online]. Tersedia:
https://anwarmutaqin.wordpress.com/2010/03/02/miskonsepsi-matematika/[28 Oktober
2014]
Rumallang, Roni M. 2011. Konflik Kognitif Sebagai Salah Satu Pendekatan Pembelajaran
Strategi Belajar. [online]. Tersedia: http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/
viewFile/277/271 [29 Oktober 2014]
Suparno, Paul. 1993. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius 2005.
Quita, Reyna Marsya. 2014. Sejarah Bilangan Kompleks. [online]. Tersedia:
http://majalah1000guru.net/2014/05/bilangan-kompleks/ [29 Oktober 2014]