37
MINI C-EX ABDOMINAL ADHESIONS Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta Diajukan Kepada Yth : dr. H. Sagiran, Sp.B Diajukan Oleh : Yanita Dikaningrum 20090310088 BAGIAN ILMU BEDAH

minicex adhesi 2

Embed Size (px)

Citation preview

MINI C-EX

ABDOMINAL ADHESIONS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah

Di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada Yth :

dr. H. Sagiran, Sp.B

Diajukan Oleh :

Yanita Dikaningrum

20090310088

BAGIAN ILMU BEDAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RS. PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2014

LEMBAR PENGESAHAN

Tutorial

ABDOMINAL ADHESION S

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah

Di RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :

Yanita Dikaningrum

20090310088

Mengetahui

Dosen Penguji Klinik

dr. H. Sagiran , Sp.B

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ABDOMINAL ADHESIONS

A. Defenisi

Adhesi intraperitoneal adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang

abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum

vicerale, maupun antara peritoneum vicerale dengan parietale. Adanya adhesi tersebut

dapat menyebabkan perlengketan diantara organ-organ intraperitoneal, misalnya

antara lengkung-lengkung usus yang berdekatan ataupun antara lengkung usus dengan

dinding peritoneum parietale (2).

Walaupun etiologi adhesi intraperitoneal bermacam-macam, adhesi

intraperitoneal yang terjadi setelah suatu pembedahan merupakan masalah yang

paling sering dijumpai dan menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang tidak

sedikit sehingga menyebabkan beban pelayanan bedah yang besar dalam segi waktu

maupun biaya (1).

B. Epidemiologi

Adhesi intraperitoneal merupakan penyebab utama obstruksi usus, terutama di

negara-negara berkembang dan maju. Mc Iver dan Ellis menemukan 80% insidensi

adhesi intraperitoneal disebabkan karena pembedahan. weibel dan majno

mengemukakan bahwa 752 dari otopsi yang dilakukan, ditemukan adhesi pada 51%

kasus laparotomi minor, 72% pada anak kasus laparotomi mayor dan 93% pada

laparotomi multipel. Kasus yang terbanyak adalah appendiktomi dan operasi

ginekologik.

C. Etiologi Adhesi

Adhesi peritoneal dapat terjadi akibat adanya trauma pada peritoneum. Pada

operasi trauma pada peritoneum dan stimulasi respon inflamasi yang dapat

disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut

1. Trauma operasi

Merupakan hal terpenting di dalam proses pembentukan adhesi yang permanen.

Adanya trauma akan merangsang pembentukan eksudat inflamasi yang akhirnya

akan berlanjut pada pembentukan adhesi temporer dan permanen. Selain akibat

instrumen bedah, pada saat operasi trauma permukaan peritoneum dapat terjadi

pula akibat abrasi, kekeringan, iritasi kimiawi dan perubahan tempratur misalnya

pada penggunaan kauter(2).

2. Iskemia jaringan

Iskemia dan jaringan nekrotik pada peritoneum adalah stimulus yang sangat poten

bagi pembentukan adhesi. Adanya iskemia akan merangsang pembentukan

neovaskularisasi, termasuk adhesi di dalamnya keadaan ini bisa terjadi pada

penjahitan atau ligasi peritoneum, serta devaskularisasi sepanjang anastomosis

usus.

3. Infeksi, reaksi alergi, dan darah

Merupakan juga stimulus inflamasi yang poten sehingga akan terbentuk adhesi

permanen yang lebih banyak jika proses-proses tersebut terus berlangsung setelah

pembedahan. Pada pembedahan, infeksi dapat terjadi karena penyakit yang

menjadi indikasi pembedahanya sendiri, maupun sebagai akibat komplikasi

operasi. Reaksi alergi tersering disebabkan oleh benda asing yang dipergunakan

saat operasi seperti talk pada sarung tangan, kasa laparatomi atau benang yang

digunakan. Darah yang tersisa dan tidak dibersihkan setelah suatu laparotomi akan

menimbulkan stimulasi pembentukan adhesi (2).

4. Benda asing iritatif: peranan benda asing pada adhesi intraperitoneal telah

banyak dikemukakan peneliti sebagai berikut:

Myllareniermi (1967) menemukan 61% dari 309 adhesi pasca bedah

sebagai akibat reaksi benda asing, jenis benda asing yang sering diemukan

adalah 50% talk, 25% benang kain laparotomi dan sisanya adalah butir

tepung yang diserap, isi usus, benang jahit, dan lain-lain. Talk = talc yang

banyak digunakan pada sarung tangan adalah hydrous magnesium silicate

yang bersifat tidak larut dalam air, asam dan alkali.

Reaksi benda asing yang berupa adhesi, granuloma, dan akhirnya

gangguan penyembuhan peritoneum

Kain laparotomi yang sering dicuci dan dipergunakan berulang juga

bahaya karena serat dan bulu mudah terlepas. Disamping itu detergen

pencuci tersisa pada kain akan tercampur benda asing lain sewaktu dicuci.

Proses pembedahan menyebabkan trauma pada peritoneum, dan

kemudian akan menimbulkan pelepasan berbagai sitokin sehingga akan

berakibat pada reaksi inflamasi pada peritoneum. Tahap berikutnya, setelah

proses inflamasi berlalu dan bersamaan dengan berjalanya proses

penyembuhan peritoneum, maka akhirnya akan terbentuk adhesi fibrinous dan

akhirnya menjadi adhesi permanen(2).

Proses penyembuhan luka pada peritoneum berbeda dengan

penyembuhan kulit dimana pada peritoneum, seluruh permukaan yang

mengalami trauma akan mengalami reepitelisasi secara simultan. Hal ini

berbeda dengan kulit dimana reepitelisasi dimulai dari tepi luka. Dengan

demikian defek peritoneum yang luas akibat trauma akan sembuh sempurna

asal tidak mengalami iskemi ataupun ransangan dari benda asing.

Akibat penyembuhan seperti hal tersebut diatas luka kecil maupun

besar pada peritoneum akan mengalami reepitelisasi dengan waktu yang sama

cepatnya. Sel- sel mesothelium yang berperan dalam penyembuhan luka dan

pembentukan adhesi berasal baik dari tepi luka, maupun secara simultan dari

tengah luka yang berasal dari lompatan dan proliferasi sel-sel mesothelium

dan fibroblast subperitoneal (2) .

Menurut ellis dan hubbard, lamanya proses penyembuhan luka adalah

5-6 hari untuk peritoneum parietale dan 5-8 hari untuk peritoneum vicerale.

Sel-sel PMN akan meningkat dalam 12 jam pertama pasca operasi dan berada

pada fibrin-fibrin eksudat. Makrofag elemen penting dalam penyembuhan

peritoneum muncul pada hari 1 sampai 2 pasca bedah dan berperan pada

regulasi fungsi fibroblast dan sel mesothel. Pada hari ke 2, makrofag akan

membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Setelah hari ke

6 dan ke 7 pasca bedah seluruh permukaan peritoneum yang mengalami

trauma akan tertutup oleh satu lapis sel-sel mesotel.

Segera setelah trauma pada peritoneum, sel-sel PMN akan terdapat

dalam jumlah yang banyak pada daerah pembedahan dan terbentuk pula

matriks fibrin. Jika tidak terdapat infeksi, jumlah sel-sel tersebut akan

meningkat sehingga setiap usaha prevensi adhesi pada keadaan tersebut tidak

akan berguna.

D. Klasifikasi Adhesi Secara Makroskopik

Secara makroskopik, derajat pembentukan adhesi permanen dapat dibagi

menjadi berbagai tingkatan dan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Grade I : adhesi ringan, tipis, serat fibrin dapat dilepas secara tumpul

2. Grade II : serat adhesi dapat dilepas secara tumpul ataupun tajam, telah terdapat

vaskularisasi ringan

3. Grade III : serat adhesi lebih kuat, dilepas secara tajam. Vaskularisasi jelas

4. Grade IV : adhesi fibrotik tebal seperti callus, melengket ke organ, lysis harus

dilakukan tajam (2).

E. Patogenesis Adhesi

Adhesi dimulai oleh adanya stimulasi pada peritoneum yang menyebabkan

timbulnya respon inflamasi pada peritoneum. Proses ini sebetulnya merupakan bagian

awal dari dinamika proses penyembuhan pada peritoneum. Proses penyembuhan

peritoneum berbeda jika dibandingkan dengan proses penyembuhan kulit. Epitelisasi

tidak hanya terjadi dari tepi luka namun terjadi dari semua arah, termasuk bagian

tengah luka.

Tahap awal respon yang terjadi adalah pelepasan berbagai sitokin dan

mediator awal inflamasi oleh sel-sel mesothelium peritoneum maupun endotil

pembuluh darah yang terluka. Sitokin yang diproduksi adalah sitokin sitokinin pro

inflamasi yaitu interleukin-1, TNF-a, dan interleukin-6 (2).

Peranan sitokin pro inflamasi terlihat dengan tingginya konsentrasi mediator

mediator tersebut mulai dari jam-jam pertama sampai dengan 24 jam pasca operasi.

Akibat produksi sitokin-sitokin tersebut, maka selanjutnya akan menstimulasi proses

aktifitas kaskade sistem koagulasi darah dan menekan aktifitas plasminiogen

aktivator. Bersamaan dengan produksi mediator mediator tersebut, dirangsang pula

aktivasi sistem kinin komplemen, jalur asam arakhidonat (termasuk prostaglandin),

pembentuka thrombin, dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.

Sistem kinin dan prostaglandin akan menstimulasi vasodilatasi, peningkatan

permeabilitas kapiler, fagositosis bakteri dan benda asing lainya oleh sel-sel PMN

dalam 24-48 jam, dan merangsang migrasi makrofag dan monosit melalui kemo-

atraktan sehingga proses debridement dan inflamasi menjadi sempurna. Jalur asam

arakhidonat berhubungan erat dengan sintesis prostaglandin dan prosenya lihat pada

gambar dibawah.fosfolipid pada membran sel mesotel dengan bantuan phospolipase

akan menghasilkan asam arakhidonat yang kemudian akan menghasilkan leukotriene

dan prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase. Prostaglandin yang

dihasilkan dapat berupa prostacylin, prostaglandin E-2, D2, F2a, dan thromboxane A2

prostacylin, prostaglandin E-2, D2, F2a, memiliki efek vasodilatasi, edema dan

menghambat agregasi trombosit. Sedangkan thromboxane A2 akan menimbulkan

vasokonstriksi dan agregasi thrombosit (3) .

Phospolipids (cell membrane)

phospolipase

Arachidonic acid

cylooxygenase

(COX-1, COX-2)

Leukotriene Prostaglandin G 2

PGI2 PGE2 PGD2 PGF2a Thromboxane A2

(prostacytin)

(6-keto PGF1a)

Vasokonstriksi,

Platelet agregation

Vasodilation, edema,

Inhibited platelet agregation

Lebih lanjut, sitokin-sitokin pro inflamasi akan menurunkan aktifitas

plasminogen peritoneal-aktivator dan meningkatkan aktivitas inhibitornya yaitu (PAI-

1,2,3, Protease, Nexin) hasil dari aktifitas ini melalui sistem kaskade koagulasi akan

menghasilkan fibrin pada rongga peritoneal. Adanya fibrin tersebut akan merangsang

pembentukan adhesi melalui peningkatan aktifitas fibroblast yang distimulasi oleh

growth factor yaitu PDGF (platelet-derived Growth Factor) dan TGF-B (transforming

Growth Factor-B). Fibroblast dan juga sel sel mesotel akan mendesposisi serabut

kolagen sehingga terbentuk fubrinous adhesion(3).Oleh karena itu proses ini sebetulnya

merupakan fase awal dari proses bioseluler penyembuhan pada peritoneum. Teori

klasik secara bioseluler proses tersebut dilukiskan pada gambar di bawah ini

Trauma

Insult infection Exudate (fibrin rich)

Ischemia

fibrin deposition

fibrinous adhesion

peritoneal defect

organisation

fibrous adhesion

F. Patogenesis Adhesi Fibrosa Permanen

Eksudasi fibrin

dengan segera &

formasi jaringan

fibrin >10 menit

formasi adhesi >3

jam

Eksudat max 24 jam

Sesudah 3 hari

Terlihat hari ke 6

LUKA SEROSA

EKSUDASI PLASMA KOAGULASI FIBRINOGEN

ADHESI PERMANEN

MIGRASI SEL FIBROBLAST

ANGIOGENESIS

>3 hari

>10 hari

Proses terbentuknya adhesi permanen tergantung dari kepada keseimbangan antara

proses pro dan anti inflamasi serta aktifitas fibrinolitik. Jika faktor-faktor yang merangsang

timbulnya inflamasi terus berlanjut pada saat pasca bedah maka proses yang berjalan adalah

proses pembentukan adhesi yang permanen, dan aktifitas plasminogen yang penting di dalam

lisis adhesi temporer dihambat seperti terlihat pada gambar di bawah ini

Inflamasi dan trauma peritoneum

Eksudat kaya fibrin

Fibrinous adhesion

Sistem fibrinolisis aktif iskemia persisten

Depresi sistem fibrinolisis

Resolusi fibrin

Pertumbuhan vaskuler

proliferasi fibroblast

adhesi permanen (-) Adhesi permanen (+)

1. SINTESIS KOLAGEN

2. ORGANISASI JAINGAN IKAT

ADHESI PERMANEN

sedangkan proses histiogenesis adhesi secara keseluruhan sebenarnya merupakan

hasil dari tahapan atau fase-fase penyembuhan peritoneum setelah itegrasi jaringan

peritoneum dapat dipulihkan. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut

1. Fase Inflamasi

Dimulai pada hari pertama sampai dengan hari keempat. Pada tahap ini terjadi

pengaktifan kaskade koagulasi, sistim kinin, komplemen, jalur asam arakhidonat dan

prostaglandin, pembentukan thrombin, serta perubahan fibrinogen menjadi fibrin

2. Fase proliferasi

Fase ini menghasilkan jaringan granulasi pada hari ke 3, fibroblast mengalami migrasi,

dan dibawah pengaruh growth factor akan mempercepat deposisi kolagen dan ikatan

antara serabut-serabut kolagen. Proses epitelisasi pun berjalan di bawah pengendalian

growth factor dan inhibisi kontak antar sel.

3. Fase maturasi

Fase ini terjadi mulai hari ke-8 sampai dengan ke 10setelah cidera. Proses ini akan

berakhir pada beberapa bulan setelah cidera dan sangat bergantung pada jenis jaringanya.

Serabut kolagen mengalami redistribusi dan pengaturan ulang, kemudian terbentuk

jaringan adhesi permanen yang matur (2).

Pada penyembuhan peritoneum terdapat hal khusus yang membedakanya dengan

proses penyembuhan pada kulit, yaitu apabila ada proses inflamasi dan trauma fase awal

telah teratasi atau dapat dihilangkan, maka fibrin yang terbentuk akan diuraikan kembali

oleh proses fibrinolisis. Pengaturan keseimbangan pada proses tersebut dilakukan oleh

peranan sitokin. Setelah sitokin pro inflamasi bekerja dan etilogi penyebab inflamasi

dapat diatasi, maka sitokin-sitokin tersebut akan menurun konsentrasinya di dalam

peritoneum karena tidak di produksi kembali oleh sel-sel yang terlibat di dalam inflamasi

. selanjutnya yang beperanan adalah sitokin-sitokin tersebut adalah interleukin -4, dan

interleukin -10. Akibat peningkatan konsentrasi dan aktifitas sitokin-sitokin tersebut,

maka aktifitas plasminogen activator akan meningkat, sedangkan plasminogen activator

inhibitornya akan dihambat aktifitasnya. Hasil akhir proses tersebut adalah proses

fibrinolisis, sehingga fibrinous adhesion diuraikan kembali dan tidak terbentuk adhesi

permanen(3).

G. Pencegahan

Adhesi dapat dicegah dengan melakukan usaha-usaha dalam teknik

pembedahan pada laparotomi dan terapi adjuvan secara medikal. Teknik bedah yang

yang harus dilakukan untuk mencegah adhesi adalah sebagai berikut:

Hemostasis yang baik.

Dengan melakukan hemostasis yang baik akan akan mengurangi jumlah daran

di intraperitoneal sehingga tidak terdapat ransangan bagi proses pro inflamasi

yang menyebabkan adhesi permanen.

Pertahankan suplai darah

Suplai darah yang adekuat di daerah peritoneum akan menghindari terjadinya

iskemia jaringan peritoneum

Hindari iskemi jaringan

Dengan menghindari iskemia ransangan bagi terbentuknya proses inflamasi

yang berlanjut dapat dihilangkan dan proses fibrinolisis dapat dirangsang.

Pertahankan kelembaban jaringan

Dalam keadaan normal, secara fisiologis lapisan sel-sel mesothel peritoneum

dalam keadaan basah karena adanya cairan peritoneum yang melumasi

permukaan tersebut. Adanya kekeringan akan menyebabkan kemungkinan

mudah terjadi traum peritoneum

Hindari kasa kering

Kasa kering akan menyebabkan mudah terjadinya abrasi pada peritoneum

Manipulasi jaringan secara halus

Dengan demikian, akan mengurangi trauma pada peritoneum, sehingga efek

fibrinolisis dapat berjalan dengan baik.

Manipulasi jaringan secara halus

Benang yang demikian akan mengurangi efek benda asing pada peritoneum

Hindari jahitan peritoneum yang ketat

Jahitan yang ketat akan menyebabkan efek iskemia pada peritoneum

Hindari benda asing

Hadirnya benda asing akan meningkatkan reaksi inflamasi yang bertambah

sehingga terbentuk suatu granuloma dan terjadinya adhesi bertambah tebal

Hindari ileus paralitik berlarut pasca bedah

Usahakan peristaltik usus cepat kembali, karena dengan bergeraknya usus

melalui proses peristaltik dan aktifitas fibrinolisis, adhesi yang temporer akan

segera mengalami lisis karena kontak dengan permukaan serosa tidak terlalu

lama

Mencegah timbulnya infeksi melalui tindakan asepsis dan antiseptik,

serta antibiotika profilaksis

Adanya proses infeksi yang berlanjut paa peritoneum akan terus merangsang

proses inflamasi dan sintesis kolagen, dan aktifitas fibrinolisis akan dihambat,

sehingga terjadi adhesi yang permanen

Jangan tinggalkan jaringan nekrotik

Jaringan nekrotik akan merangsang proses migrasi sel-sel neutrophil dan

pelepasan mediator lainya dan pada akhirnya proses inflamasi akan berlanjut

dan aktifitas fibrinolisis dihambat(2,3)

Jika telah melakukan teknik bedah yang baik dan jika adhesi tak dapat

dihindarkan, maka harus diusahakan agar adhesi tidak terjadi pada tempat-tempat yang

berbahaya atau dapat menimbulkan komplikasi usus halus, daerah pelvik, tuba, dan ovaria.

Selain dari teknik pembedahan terapi adjuvan dapat juga membantu mencegah adhesi antara

lain :

Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSID)

Efek prevensi adhesi diperoleh melalui mekanisme penurunan permeabilitas

vaskuler pada proses migrasi sel PMN, penurunan produksi hitamin dan

adanya inhibisi platelet

Progestin

Progestin akan menurunkan konsentrasi antibodi di dalam tubuh, dan akan

menyebabkan inhibisi migrasi dan fungsi lekosit

Fibrinolytic enzyme stimulating plasminogen activator

Enzim-enzim dari kelompok ini akan merangsang proses fibrinolisis, namun

pada pemakaian klinis telah ditinggalkan karena efek samping perdarahan

yang ditimbulkan pada pasien

Antibiotika

Antibiotika akan menyebabkan matinya bakteri penyebab infeksi, sehingga

pada giliranya akan mencegah induksi inflamasi dan adhesi permanen tidak

terbentuk(3,4)

H. Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang muncul biasanya bukan dari adhesinya langsung, gejala nya

muncul dari organ yang terganggu karena adhesi. Kebanyakan adhesi tidak menunjukkan

gejala dan tidak terdiagnosis. Adhesi dapat menyebabkan nyeri apabila terdapat tarikan

syaraf, baik itu pada organ yang terkena adhesi maupun pada adhesi itu sendiri.

- Adhesi atas hati dapat menyebabkan rasa sakit dengan nafas dalam .

- Perlengketan usus dapat menyebabkan nyeri akibat obstruksi selama latihan

atau saat peregangan .

- Adhesi melibatkan vagina atau uterus dapat menyebabkan nyeri selama

hubungan seksual .

- Adhesi perikardial dapat menyebabkan nyeri dada .

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua nyeri disebabkan oleh adhesi dan tidak semua

perlengketan menyebabkan rasa sakit

Obstruksi usus (ileus obstruktif) karena adhesi adalah kedaruratan bedah . Gejalanya antara

lain

Nyeri perut

Nyeri abdomen biasanya yang bersifat cramping. Sifat cramping ini

disebabkan periode hiperpelistaltik usus. Dalam usahanya untuk menghilangkan

sumbatan. Sifatnya difus dan tak terlokalisir

Mual dan muntah

Mual dan muntah biasanya muncul pada fase-fase awal obstruksi waktu

muncul muntah bervarisi, tergantung pada letak obstruksi.pada obstruksi atas muntah

basanya muncul lebih awal. Bahkan pada obstruksi kolon bila valvula iliosecal

kompeten muntah bisa muncul terlambat. Isi muntah dapat bilous pada letak tinggi

dan feses pada obstruksi letak rendah.

Pembengkakan perut (distensi abdomen)

Distensi abdomen adalah penemuan klinis terakhir pada ileus obstruksi. Dapat

pula tidak terdapat terdapat tanda disertai ini. Yaitu pada obstruksi usus level atas

jika terjadi muntah dan mengkompresi sistem usus bagian proksimal sumbatan.

Ketidakmampuan untuk membuang gas dan tidak ada atau jarang buang air besar

Obstipasi adalah merupakan karakteristik obstruksi. Akan tetapi pasien dapat

secara spontan flatus maupun defekasi segera setelah obstruksi karena masih adanya

feses dan gas segmen usus sebelah distal obstruksi .

Tanda-tanda dehidrasi, termasuk kulit kering, mulut kering dan lidah, haus yang

parah, jarang buang air kecil, denyut jantung cepat dan tekanan darah rendah(2,4)

Mual dan muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi

di bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi

bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.Obstruksi

pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus atau bagian

epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi

dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih

ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang

berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi. (2)

Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri

perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi

terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian

proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring

dengan kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi

klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang

dapat meningkat(2).

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan gejala

dehidrasi yang berat. Demam menunjukkan adanya obstruksi strangulate. Pada pemeriksaan

abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan

darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut

dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic

sound. (1)

Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan

hilang. Pada ileus paralitik, keadaan umum pasien tampak lemah hingga dehidrasi, tidak

dapat flatus maupun defekasi. Dapat disertai muntah dan perut terasa kembung. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan meteorismus, suara usus (-), peristaltik menghilang. Pada

palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis. Perkusi

timpani diseluruh lapang abdomen.(2)

I. Diagnosis

Adhesi perut tidak dapat dideteksi dengan tes atau dilihat melalui teknik pencitraan

seperti sinar x atau USG . Kebanyakan adhesi perut ditemukan selama operasi yang

dilakukan untuk memeriksa perut . Namun, sinar x perut , a lower gastrointestinal ( GI ) seri ,

dan computerized tomography ( CT ) scan dapat mendiagnosis intestinal obstruction(5) .

J. Penatalaksanaan

Adhesi perut yang tidak menimbulkan gejala umumnya tidak memerlukan

pengobatan. Operasi adalah satu-satunya cara untuk mengobati perut perlengketan yang

menyebabkan nyeri, obstruksi usus, atau masalah kesuburan. Bagaimanapun operasi,

membawa risiko adhesi perut tambahan(5).

Sumber : National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC)

Jika terjadi obstruksi /ileus obstruktif maka penatalaksanaannya adalah koreksi

keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan

dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk

memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal. Skema penatalaksaan ileus

obstruksi(6).

Sumber : National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC)

Resusitasi

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda vital,

dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan

gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti

ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda – tanda

vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga

pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung,

mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.

Farmakologis

Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.

Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

Operatif

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah

sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik

bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi(5,6).

K. Komplikasi

Adhesi perut dapat menyebabkan obstruksi usus dan infertilitas pada perempuan.

Adhesi perut dapat menyebabkan infertilitas perempuan dengan mencegah telur dibuahi

mencapai uterus, di mana perkembangan janin berlangsung. Wanita dengan adhesi perut

dalam atau di sekitar saluran tuba mereka memiliki kesempatan peningkatan kehamilan

ektopik-telur yang dibuahi tumbuh di luar rahim. Adhesi perut dalam rahim dapat

menyebabkan keguguran-kegagalan kehamilan berulang sebelum 20 minggu(6).

L. Prognosis

Adhesi abdominal dapat diobati, tetapi mereka dapat menjadi masalah yang berulang.

Karena operasi adalah penyebab dan pengobatan, masalah bisa selalu kembali. Sebagai

contoh, ketika operasi dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus yang disebabkan oleh

adhesi, adhesi membentuk lagi dan membuat obstruksi baru di 11% sampai 21% kasus (5).

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny S

Usia : 44 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pendidikan : SMP

Alamat : Mrisi RT 02 Tirtonirmolo Kasihan Bantul

No. RM : 53-36-91

II. ANAMNESIS

a. Keluhan utama : nyeri perut di kuadran kanan bawah

b. Riwayat penyakit sekarang

Seorang perempuan 44 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri

perut di kuadran kanan bawah, 9 jam sebelum datang ke rumah sakit. Nyeri dirasakan terus

menerus, melilit, tumpul dan menjalar sampai ke punggung. Di rumah sakit pasien diberikan

obat rawat jalan untuk mengurangi nyerinya. Kemudian 10 jam setelah itu pasien datang

kembali ke rumah sakit dengan keluhan yang serupa. Nyeri bertambah ketika pasien

beraktifitas dan berkurang ketika minum obat dari dokter. Pasien juga mengeluhkan demam,

mual dan muntah. Muntah berwarna kuning. BAB dan BAK tidak ada gangguan, bisa kentut,

tidak ada riwayat keputihan. Makan dan minum pasien berkurang. Pasien sudah tidak

menstruasi sejak 1 tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat operasi myoma 1 tahun yang

lalu.

c. Riwayat penyakit dahulu

• Myoma uteri

d. Riwaya penyakit keluarga

• Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan serupa

• Keluarga tidak ada yang menderita penyakit sama

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : compos mentis

Vital sign :

• TD : 130/80

• t : 38,6oC

• RR : 24x/menit

• Nadi : 110x/menit

a. Kepala dan leher

• Kepala : dalam batas normal

• Rambut : hitam

• Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

• Telinga : discharge (-/-)

• Hidung : discharge (-/-)

• Mulut : dalam batas normal

• Leher : tidak teraba benjolan dan tidak ada pembesaran kelenjar

limfe

b. Thorax

• Jantung : S1,S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

• Paru : Vesikuler (+/+) ; Ronkhi (-/-) ; Wheezing (-/-)

c. Ekstremitas

• Edema: -

• Hangat: +

Status lokalis

d. Abdomen

• Inspeksi : flat, tidak terdapat tanda jejas, tidak terdapat

perubahan warna, terdapat scar memanjang dr umbilicus

sampai suprapubik

• Auskultasi : Bising usus (+) , metalic sound (-)

• Palpasi :

- nyeri tekan(+) pada kuadran kanan bawah

- Mc Burney (+)

- Rovsing sign (+)

- Psoas sign (-)

- Obturator sign (-)

- Nyeri lepas (+)

• Perkusi : Tympani

IV. ASSESSMENT

Suspek appendicitis akut

DD : Adhesi

V. PLANNING

Cek darah rutin

Hasil pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium

• Hb : 13,9 g% (12-16)

• AL : 7,9 ribu/uI (4-10)

- Eosinofil : 0

- Basofil : 0

- Netrofil : 82

- Limfosit : 12

- Monosit : 6

• PPT : 11,9 detik (12-16)

• APTT : 30,1 detik (28,0-38,0)

• GDS : 128

• HBsAg : negative

• AT : 151

• Hmt : 40,9

VI. DIAGNOSIS PRE OP

Suspek appendicitis akut

Planning

Dilakukan laparoscopy

Ceftriaxon 2x1

Ketorolax 3x1

Metronidazol 3x 500

Kalnex 3x1

VII. DIAGNOSIS POST OP

Adhesi grade IV

Review

1. Macam ileus menurut penyebabnya

a. Ileus Obstruktif : ileus yang disebabkan adanya sumbatan saluran pencernaan.

b. Ileus Paralitik : ileus yang disebabkan gerakan (peristaltik) usus yang

menghilang, disini tidak ada sumbatan

ETIOLOGI

Ileus obstruktif :

Corpus alienum

Galstone ileus

Cacing yang menggerombol

Tumor usus, Atresia / stenose usus

Pendesakan tumor pancreas

kandungan

Perlekatan / streng ileus

Invaginasi

Volvulus

Ileus paralitik :

Iritasi peritonium: peritonitis, trauma, pasca bedah

Vaskuler: strangulasi, mesenteric thrombosis / emboli

Iritasi ekstra peritonial: perdarahan , infeksi.

2. Macam ileus menurut letaknya dan cara mengenalinya

Obstruksi tinggi : bila sumbatan di lambung sampai ileum

Obstruksi rendah : bila sumbatan di colon sampai anus

Macam ileus Nyeri Distensi Muntah BU

Letak Tinggi ++

(kolik)

+ +++

(jernih, hijau)

Letak Rendah +++

(kolik)

+++ +

(lambat, fekal)

3. Grade adhesi

a. Grade I : adhesi ringan, tipis, serat fibrin dapat dilepas secara tumpul

b. Grade II : serat adhesi dapat dilepas secara tumpul ataupun tajam, telah

terdapat vaskularisasi ringan

c. Grade III : serat adhesi lebih kuat, dilepas secara tajam. Vaskularisasi jelas

d. Grade IV : adhesi fibrotik tebal seperti callus, melengket ke organ, lysis harus

dilakukan tajam

4. Terjadinya adhesi

Teori pembentukan adhesi

Teori primitive

Adanya trauma pada peritoneum maka terjadi penyembuhan sehingga pada

akhirnya terbentuk adhesi

Teori klasik

Adanya stimulus menyebabkan respon inflamasi intraperitoneal akut dan akan

hasilkan eksudat yang kaya fibrin akan dihabat dan fibrin akan direabsorbsi.

Bila ada peritoneum yang tidak sehat maka adhesi fibrinous ini akan menetap

dan di organisasi

Teori modifikasi

Stimulus yang berbeda terhadap peritoneum menciptakan derajat yang berbeda

terhadap penurunan kadar PAA(Plasminogen Activator Activity). Penurunan

PAA menyebabkan organisasi dari adhesi fibrinous sehingga terbentuk adhesi

Intinya adalah keseimbangan dinamis dari pembentukan fibrin dan fibrinolisis. PAA

menurun plasminogen menjadi plasmin menurun aktivitas fibrinolitik menurun

5. Perbedaan ileus dan peritonitis

ILEUS PERITONITIS

GEJALA

Nyeri

Muntah distensi (perut kembung)

Konstipasi : defekaasi dan flatus

tidak ada

Kram perut

GEJALA

Nyeri abdomen akut

Nyeri tekan

Defans muskular

Nyeri pantul

BU menurun

Nyeri somatik dan terus

menerus

Hipotensi, takikardi,

oliguria, demam, muntah

PEMERIKSAAN FISIK

Inspeksi

Perut distensi, dapat ditemukan darm

contour dan darm steifung

PEMERIKSAAN FISIK

Inspeksi

Pergerakan abdomen ketika

bernafas

Distensi abdomen

Defans muscular

Auskultasi

Auskultasi

Hiperperistaltik

Bising usus bernada tinggi

Borbirigmi

Fase lanjut BU melemah

Metallic sound (+)

Perkusi

Hiperthympani

Palpasi

Kadang teraba massa seperti pada

tumor, invaginasi, hernia

BU menurun/ tidak ada

Perkusi

Shifting dullness

Pekak hepar (-)

Palpasi

Nyeri tekan

Nyeri ketok

Takikardi

Demam

Kekauan abdomen

RO ABDOMEN 3 POSISI

Posisi tegak

- Air fluid level

- Step leader appearance

- Penebalan didnding usus

- Hearing bone appearance

RO ABDOMEN 3 POSISI

Posisi tegak

- Udara bebas terjebak

pada daerah

subdiafragma kanan

Posisi setengah duduk

- Cairan bebas

ekstraluminer

- Terlihat psoas

shadow

LLD

- Terlihat udara bebas

jika jumlah udara

sedikit

Posisi setengah duduk

- Air fluid level

- Step leader appearance

LLD

- Melihat air fluid level

kemungkinan perforasi usus

DAFTAR PUSTAKA

1. Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta. EGC

2. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Jakarta. EGC

3. Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989

4. Reksoprodjo, S. 2011. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta. FKUIKamus Saku Kedokteran

Dorland Ed. 25. 1998. Jakarta. EGC

5. James M. Becker, M.D., F.A.C.S., Abdominal Adhesions.Boston University School of

Medicine; http://www.emedicinehealth.com/adhesions_general_and_after_surgery/

page3_em.htm#adhesions_symptoms diakses tanggal 8 Februari 2014

6. Christopher R Westfall, DO Adhesions, General and After Surgery

http://digestive.niddk.nih.gov/ddISeases/pubs/intestinaladhesions/#symptoms diakses tanggal

8 Februari 2014