Upload
others
View
31
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
METODOLOGI PENAFSIRAN KH. AHMAD YASIN
ASYMUNI
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
Achmad Choirul Amin
NIM: 11140340000127
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H./2019 M.
i
ABSTRAK
Achmad Choirul Amin
METODOLOGI TAFSIR KH. ACHMAD YASIN ASYMUNI
KH. Ahmad Yasin Asymuni adalah seorang ulama produktif dalam
menulis kitab pesantren. Lebih dari 200-an kitab telah ditulis, merentang
dari berbagai bidang ilmu tidak terkecuali dalam bidang tafsir. Penelitian
ini bertujuan mengetahui metode tafsir yang digunakan KH. Ahmad Yasin
dalam karya tafsirnya yang banyak dikaji di pesantren, khususnya daerah
Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui riset
kepustakaan. Kitab tafsir KH. Ahmad Yasin yang dikaji dalam penelitian
ini adalah kitab Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥîm, Muqaddimah Tafsīr Al-
Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-
Mu’āwiżatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni’ma al-wakīl,
Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣollū ‘Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah al-Kursī. yang keseluruhannya menjadi data
primer dilengkapi sumber buku maupun artikel yang relevan. Metode
penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis-deskriptif,
dengan memaparkan seluruh data dan menganalisis informasi.
Dalam hasil penelitian ini, metode tafsir KH. Ahmad Yasin dapat
digolongkan dalam metode mauḍū’ī lī sūrah dan metode ijmālī. metode
mauḍū’ī lī sūrah menurut Mustafa Muslim. Penafsir mengkhususkan satu
sûrah untuk dikaji secara komprehensif dengan berbagai macam
aspeknya. Dan metode ijmālī, penafsir menjabarkan sebuah ayat dengan
ringkas, jelas, dan terperinci. Kitab-kitab yang menjadi rujukan KH.
Ahmad Yasin menggunakan model tafsir klasik-tradisional dengan
merujuk pada kitab tafsir klasik. Ditinjau dari segi validitas penafsiran,
kitab tafsir beliau dapat dinilai dengan teori koherensi dan pragmatisme,
sedangkan pada teori korespondensi, tidak dapat dinilai karena teori ini
bersifat membenarkan produk penafsiran, apabila ia sesuai dengan realitas
empiris.
KH. Ahmad Yasin menafsirkan dengan beberapa corak penafsiran,
yakni corak sûfi, corak lughawi, corak adabi Ijtimâ’ī corak kalam, corak
‘Ilmī, corak fiqh, dan corak falsafī. akan tetapi beliau lebih condong pada
corak sûfi karena selain latar belakang beliau dari kalangan pesantren
beliau juga mengalami pengalaman spiritual dalam menafsirkan tafsir al-
Qur’an.
Kata Kunci: Metode tafsir, Corak penafsiran, KH. Ahmad Yasin, Tafsir
Sufi.
ii
ABSTRACT
Achmad Choirul Amin
INTERPRETATION METHODOLOGY OF KH. ACHMAD YASIN
ASYMUNI
KH. Ahmad Yasin Asymuni is a prolific Islamic scholar in writing
pesantren-style books. He has written more than 200 books, stretching
from various fields of science including the field of interpretation. This
study aims to determine the interpretation method used by KH. Ahmad
Yasin in his commentary which is widely studied in pesantren, especially
in East Java.
This research uses a qualitative approach through library research. In this
research, the books belonging to KH. Ahmad Yasin which were studied
are Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥîm, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah,
Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu’āwiżatain, Tafsīr
Mā Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni’ma al-wakīl, Tafsīr Sūrah al-Qadr,
Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣollū ‘Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah
al-Kursī, all of which become primary data, supplemented by relevant
books and articles. The writing method used in this research is descriptive
analysis, by describing all data and analyzing information.
The result of this study is that the interpretation method used by KH.
Ahmad Yasin can be classified as method of mauḍū’ī lī sūrah and method
of ijmāli. method of mauḍū’ī lī sūrah according to Mustafa Muslim. The
interpreter specializes in one surah to be comprehensively studied with its
various aspects. Method of ijmālī, interpreter explain by concise, explicit,
and detail. The books that are referred by KH. Ahmad Yasin use the
classical-traditional interpretation model by referring to the classical
interpretation book. In terms of the validity of interpretation, his
interpretation book can be assessed with the theory of coherence and
pragmatism, whereas in correspondence theory, it cannot be assessed
because this theory is justifying the product of interpretation, if it is in
accordance with empirical reality.
KH. Ahmad Yasin interprets with several interpretations, namely sûfi
pattern, linguistic patterns, socio-literary patterns, kalam patterns, Ilmi
patterns, fiqh patterns, and philosophical patterns. However, it seems he is
inclined to Sufi pattern because his background from a pesantren, in
addition to his spiritual experience in interpreting the interpretation of the
Qur'an.
Keywords: Interpretation Method, Interpretation Style, KH. Ahmad
Yasin, Sufi interpretation.
iii
ملخص البحث أشموني في التفسير يس أحمد أحمد خير األمين، منهج كياهي
أمشوين أحد مصنفي كتب التاثية املعهدية )الكتب الصفراء( يف يس أمحد كياىي
ب ايت كتب من شىت الفنون فضال عن كتتصانيفو إىل مائ تجاوى الشرقية إندونسيا. وبلغ التفسري، ومن أىداف ىذا البحث معرفة منهجو يف تفاسريه .
شمل كتب اعتمد ىذا البحث على املقاربة النوعية املكتبية، ومادة ىذا البحث يتفسري سورة و تفسري الفاحتة، و مقدمة تفسري الفاحتة، و تفاسريه، منها تفيسر البسملة،
، "حسبنا اهلل ونعم الوكيل"تفسري و تفسري " ما أصابك "، و تفسري املعوذتني، و اإلخالص، يف بيان تفسري اآلية وتفسري "صلوا عليوو"تفسري سورة الكافرون، و تفسري سورة القدر، و
كل األخبار يزيد على ذلك رسي. ومجيع ىذه الكتب يكون مرجعا رئيسيا وأية الك . املوضوععلومات اليت تتعل بوامل
مع بيان كل وصفية اعتمد الباحث منهج الكتابة يف ىذا البحث مبنهج حتليلية . املعلومات وحتليليتها
موضوعي منهج " يعتمد على يس أمحد كياىيبحث أن منهج وحاصل ىذا الار يذالك مصطفى مسلم، وىو اختبت أد كما منهج موضوعي لسورة ."إمجايل لسورة و
وكذالك يراجع ومنهج إمجايل يفسر مبجمل والوجيز. ،هاهثها من كل اررافحبسورة معينة و من كتب السلف واألثار القدمية بأخذ العقل والنص والواقعي ترتيبا تاما، وإذا يقاس بصحة
يقاس التفسري أن كتب تفاسريه موف بالتماسك وذرائعية، ولكن عند نظرية مراسلة ال . قفا للواقع التجرييباو ملكن إذا كان املنتج زبذالك ألن ىذه النظرية تب
األسلوب منهاأسلوب متنوعة و اعتمد على أمشوين يسأمحد ي كياىتفسري كهثرلعلمية والفقهية والفلسفية، وكان أالصوفية واللغوية واألدبية اإلجتماعية والكالمية وا
.تفسريهروحية عند كتابة رباتجت و كان لوصوفية ألن أسلوب وأسلوب
iv
ج أحمد ا كياهي الحلون التفسير، المنهج التفسير، الكلمات المفتاحية: ال .لون الصوفىالأشموني، يس
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah Swt. yang telah memberi rahmat dan nikmat
dalam setiap dimensi kepada seluruh makhluk-Nya. Salawat serta salam
senantiasa kami curahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang selalu
diharapkan syafa’atnya di akhirat kelak.
Alhamdulillah, berkat rahmat dan inayah Allah Swt. penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini melalui usaha dan upaya yang melelahkan.
Penulis mengakui, bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Tetapi
paling tidak inilah wujud dan komitmen akademis yang bisa penulis
usahakan. Dengan segala bantuan, kerja sama dan pengorbanan, penulis
harus menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak atas semua
dukungan dan do’anya. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Program
Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir dan kepada bapak Fahrizal Mahdi,
MIRKH., selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu al-Qur’an
& Tafsir.
4. Bapak Kusmana MA., Ph.D, selaku pembimbing penulis yang
selalu bersabar memberikan ilmu dan bimbingannya selama
penulis berada di bawah bimbingannya.
5. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku penasihat akademik
yang telah membantu penulis. Dan seluruh Dosen Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
6. Kepala dan staff karyawan Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Darussunnah
International for Hadist Science, dan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ).
7. Kedua orang tua penulis bapak Achmad Bisri dan Ibu Siti Aminah
yang selalu memberi dukungan, bimbingan, dan pengajaran serta
senantiasa mendo’akan penulis.
8. Terimakasih kepada adik-adik tersayang Ainurrahmah Rizka
Andini, Rasydan Muhammad Nafis, dan Muhammad Yazid
Bustomi, orang-orang yang menjadi tumpahan penulis.
9. Terimakasih kepada paman-paman dan bibi-bibi serta seluruh
keluarga Bani Ma’ruf dan Bani Raki.
10. Terimakasih kepada KH. Ahmad Yasin Asymuni beserta keluarga.
Selaku pengasuh pondok pesantren hidayatut Thullab yang
berkenan diwawancarai oleh penulis, memberikan bimbingan serta
do’a dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Terimakasih kepada KH. Masbuhin Faqih selaku pengasuh
pondok pesantren Mambaus Sholihin atas kesediaannya menjadi
guru dalam membimbing kami, semoga sehat selalu dan senantiasa
mendapatkan limpahan rahmat serta hidayah-Nya.
12. Terimakasih kepada Alm. KH. Ali Mustafa Ya’qub selaku
pengasuh pondok pesantren Darusunnah, karena beliaulah kami
mengetahui hadist Nabi Muhammad Saw.
13. Terimakasih kepada sahabat-sahabat Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir 2014 khususnya teman-teman kelas D, Sa’dan, Alwi,
Sayyida, dan Adhim, teman-teman KKN Embun 005, Niah, Baba,
dan Nida, teman-teman MAK 17 (Clouters 17) khususnya Fitroni,
Said, Fahmi, dan Salim, dan teman-teman HIMAM Ciputat. Tidak
lupa kepada teman-teman angkatan 16 Darussunnah (Ash-
vii
Shuffah), khususnya Syauqi, Istichori, Aldi, Munir, Zopir, As’ad,
Naja, Noris, Alvin dan teman-teman yang lainnya.
Semoga Allah membalas dengan sebaik-baiknya balasan. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
dengan segala kerendahan hati dan keterbatasan penulis mengharapkan
saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan karya ini. Akhir kata,
penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat dan dapat
berkontribusi bagi penelitian selanjutnya.
Jakarta, 27 November 2019
Achmad Choirul Amin
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
DAFTAR ISI ..................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 10
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Tafsir..................................................................... 19
B. Metode Tafsir ......................................................................... 23
1. Pengertian .................................................................. 23
2. Sejarah Perkembangan Tafsir .................................... 25
3. Metode Tafsir .............................................................. 27
4. Sumber Penafsiran ..................................................... 38
5. Validasi penafsiran ..................................................... 40
C. Corak Tafsir ............................................................................ 44
D. Ittijāh ...................................................................................... 52
BAB III KH. Ahmad Yasin Asymuni: Biografi dan pemikirannya
A. Biografi ................................................................................... 55
1. Latar Belakang ........................................................... 55
2. Pendidikan dan Karir ................................................. 56
3. Karya-karya ................................................................ 60
4. Kredibilitas ................................................................. 70
ix
B. Pemikiran ................................................................................ 74
1. Akidah .......................................................................... 75
2. Hukum Islam atau Fikih .............................................. 77
3. Akhlak dan Tasawuf .................................................... 78
4. Al-Qur’an, Hadis dan Tafsir ....................................... 80
BAB IV METODOLOGI DAN CORAK TAFSIR KH. AHMAD
YASIN ASYMUNI
A. Metodologi Penafsiran ............................................................ 83
1. Metode Tafsir .............................................................. 84
2. Sumber penafsiran ..................................................... 100
3. Validasi penafsiran kitab .......................................... 102
B. Corak Penafsiran ................................................................... 113
C. Kelebihan dan Kekurangan ................................................... 123
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 125
B. Kritik dan Saran .................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 129
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan
Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak ا
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ Es (dengan ث
titik di atas)
Jim J Je ج
Ḥa ḥ Ha (dengan ح
titik di bawah)
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal ż Zet (dengan ذ
titik di atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan ص
titik di bawah)
xi
Ḍad ḍ de (dengan ض
titik di bawah)
Ṭa ṭ te (dengan titik ط
di bawah)
Ẓa ẓ zet dengan ظ
titik di bawah)
ain „ koma terbalik„ ع
(di atas)
Gain G Ge غ
Fa F Ef ؼ
Qaf Q Ki ؽ
Kaf K Ka ؾ
Lam L El ؿ
Mim M Em ـ
Nun N En ف
Wau W We و
ػه Ha H Ha
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
xii
Dhammah U U
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ي Fathah dan
ya
Ai a dan i
و Fathah dan
wau
Au a dan u
Contoh:
kaifa- كيف
haula- هوؿ
3. Vokal Panjang/ Maddah
Ketentuan alih aksara vocal panjang (maddah), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Harakat
dan huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ا ي... Fathah dan
alif atau ya
Ā a dan garis
di atas
ي ى Kasrah dan
ya
Ī I dan garis
di atas
Dhammah ىػو
dan wau
Ū u dan garis
di atas
xiii
Contoh:
اؿ ق -qāla
ىم ر -ramā
ل ي ق -qīla
4. Ta’ Marbūṭah
Transliterasi untuk Ta’ Marbūṭah ada dua:
a. Ta’ Marbūṭah hidup
Ta’ Marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
ḍommah, transliterasinya adalah “t”.
b. Ta’ Marbūṭah mati
Ta’ Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah “h”.
c. kalau pada kata terkahir dengan Ta’ Marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Ta’ Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
No Kata Arab Alih Aksara
rauḍah al-aṭfāl روضة األطفاؿ 1
دينة الفاضلة 2 al-madīnah al-fāḍilah امل
al-ḥikmah احلكمة 3
xiv
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanā- ربػنا
nazzala- نػزؿ
al-birr- البر
al-ḥajj– احلج
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ػى ػػػػػػػػػػػػػػػ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)„ : على
Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby)„ : عرب
xv
6. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال. Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika dia diikuti oleh huruf
syamsiyah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-),
Contohnya:
al-rajulu- الرجل
al-sayyidu- السيد
al-syamsu- الشمش
al-qalamu- القلم
al-badĭ’u- ألبديع
al-jalālu- الالؿ
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (') hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah
terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia
berupa alif. Contohnya:
xvi
ta'murūna : تأمروف
'al-nau : النػوء
syai'un : شيئ
umirtu : أمرت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata Al-Qur‟an (dari al-Qur'ān), sunnah, khusus, dan umum. Namun bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh. contoh:
Kata Arab Alih Aksara
Fī Ẓilāl al-Qur'ān ف ظالؿ القرآف
Al-Sunnah qabl al-tadwīn السنة قػبل التدوين
العبارة بعموـ اللفظ ال بصوص السبب
Al-‘ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi
khuṣūṣ al-sabab
xvii
9. Lafẓ al-jalālah (اهلل)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mudāf ilaih (frasa nominal),
transliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
dīnullāh : دين اهلل
billāh : با اهلل
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-
jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t). Contoh :
hum fī rahmatillāh : هم ف رحة اهلل
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All Caps),
dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang
penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia
yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menulis
huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka
huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi
yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
maupun dalam catatan rujukan (CK,DP,CDK, dan DR). Contoh:
xviii
Kata Arab Alih aksara
Wa mā Muḥammadun illā rasūl- وما ممد إال رسوؿ
Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi- إف أوؿ بػيت وضع للناس للذي ببكة مباركا
bi Bakkata mubārakan
أنزؿ فيه القرآف شهر رمضاف الذي -Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh
al-Qur'an
ين الطروسي ر الد Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī- نصيػ
Abū Naṣr al-Farābī- أبػو نصر الفراب
Al-Gazālī- الغزال
نقذ من الدالؿ Al-Munqiż min al-Ḍalāl- امل
1
BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muḥammad Saw.
kurang lebih 23 tahun.1 Al-Qur‟an adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci
yang menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator,
dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam.2
Kandungan al-Qur‟an dipandang oleh umat Islam sebagai pedoman
hidup yang akan selalu relevan sepanjang masa (ṣālih li kulli zamān wa
makān). Kehadiran al-Qur‟an di tengah-tengah umat Islam mendorong
lahirnya semangat penafsiran dan pengembangan karya-karya tafsir. Harus
diakui, al-Qur‟an mampu menjawab berbagai problematika sosial
keagamaan di era kontemporer karena upaya kontekstualisasi penafsiran
yang dilakukan secara terus menerus dan universalitas. Al-Qur‟an juga
akan selalu menjadi landasan moral-teologis untuk menjawab segala
kegelisahan zaman.3 Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan
indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian ulama selama ini untuk
menjelaskan ungkapan al-Qur‟an.4
Dalam bidang tafsir, para mufassir tidak henti dalam menafsirkan
ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur‟an, karena begitu luas cakrawala
dalam al-Qur‟an. Perbedaan penafsiran sangatlah mempengaruhi kitab
tafsir yang akan ditulis. Oleh karena itu, banyak kitab-kitab tafsir yang
berbeda dari waktu ke waktu. Alhasil, kitab-kitab tafsir mereka ada
1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: fungsi dan Peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 48-54. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 125.
3 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2008), 76. 4 Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 148.
2
bermacam-macam perbedaan baik dalam segi metode, corak dan ittijāh-
nya.5
Mufassir tidak bisa terlepas dari latar belakang dirinya dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Sebagian dari mereka memiliki kecenderungan
tersendiri yang berbeda antara satu penafsir dengan penafsir yang lain,
sehingga muncullah corak tafsir yang sesuai dengan kecenderungan tiap-
tiap mufassir.6 Begitu pula karya tafsir tidak akan pernah bisa terlepas dari
tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni,
pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-politik dimana
sang penafsir hidup.7
Lebih luas, perkembangan Islam ke berbagai belahan dunia juga
semakin memperkaya proses dialektika penafsiran al-Qur‟an. Bukan
hanya soal metode, corak dan ittijāh saja, tetapi juga meliputi adanya
penerjemahan dan penafsiran dengan bahasa lokal. Penerjemahan dan
penafsiran dengan menggunakan bahasa lokal ini berkembang sejalan
dengan menyebarnya umat Islam ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dalam konteks Indonesia perkembangan penafsiran al-Qur‟an jelas
berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab (Timur Tengah). Perbedaan
tersebut disebabkan berbedanya latar belakang budaya dan bahasa. Bangsa
Arab melakukan penafsiran dengan bahasa Arab itu sendiri, sedangkan
untuk bangsa Indonesia harus melalui penerjemahan ke dalam bahasa
Indonesia, kemudian baru diberikan penafsiran yang luas dan rinci. Tafsir
5 Muḥammad Ali Iyazi, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa Manhajuhum (Teheran:
wizarah al-Ṡaqafāh wa al-irsyad al-islami, 1373 H), 31-32. 6 Abdul Syukur, Mengenal Corak Tafsir, el-Furqonia, vol.01 no.01 (Agustus
2015): 84. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 77.
3
al-Qur‟an di Indonesia berkembang melalui proses lebih lama jika
dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya (Timur Tengah).8
Dalam perkembangannya, literatur tafsir al-Qur‟an di Indonesia
lebih banyak ditulis dengan bahasa Indonesia dan aksara latin, hal ini
dikarenakan munculnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan salah
satu ikrarnya yang berbunyi: ”berbahasa satu bahasa Indonesia”. Model
penulisan tafsir yang menggunakan bahasa Indonesia dengan aksara latin
ini tentu lebih populer, sebab secara umum bisa diakses oleh masyarakat
Indonesia. Misalnya literatur tafsir al-Qur‟an yang menggunakan bahasa
Indonesia: A. Hassan, Mahmud Yunus, T.M. Hasbi Ash-shiddiqie,
Hamka, Quraisy Shihab, serta yang lainnya.9
Namun sebagian para ulama Indonesia tetap setia menuliskan karya
tafsirnya dalam bahasa dan aksara Arab, seperti: karya lama, Tafsīr Marāh
Labīd karya Nawawī al-Bantanī,10
dan Durūs Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm
karya M. Bashori Alwi Malang.11
Pada tahun 1990-an seorang ulama
bernama KH. Ahmad Yasin Asymuni, menulis Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-
Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā
Aṣābak, dan Tafsīr Āyah al-Kursī dengan memakai bahasa Arab. Sebagian
kitab KH. Ahmad Yasin telah diberikan makna dan terjemah
menggunakan aksara Jawi (Arab pegon). Tradisi menulis kitab tafsir atau
8 Ahmad Baidhowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklil Fi Maani al-Tanzil,” Nun,
vol.1, no.1 (2015): 34. 9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: Lkis, 2013), 54. 10
Informasi tentang KH. Nawawi, lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren...,
87-9; Walid Ibnu Ibrahim, ”Syekh Nawawi al-Bantani Penghulu Ulama Hijaz dari
Banten”, dalam Majalah Amanah, No. 49, 20 Mei-2 Juni 1988; dan untuk kajian atas
tafsirnya, lihat, Didin Hafiduddin,”Tafsīr al-Munīr Karya Imam Muḥammad Nawawi
Tanara”, dalam Ahmad Rifa‟i Hasan (peny.), Warisan Intelektual..., 21-35. Lihat Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia.., 54. 11
M. Bashori Ali Malang, Durūs Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm (Surabaya:
walisongo, 1966). Lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia.., 54.
4
disiplin keilmuan yang lain dalam berbahasa Arab ini, tampaknya masih
tetap hidup di Indonesia, khususnya di kalangan pesantren.12
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengkaji kitab tafsir karya KH.
Ahmad Yasin Asymuni, yaitu Tafsīr Āyah al-Kursī,13
Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm,14
Tafsīr Al-Fātiḥah,15
dan beberapa kitab tafsir
lainnya. Kitab karangan beliau ini ditulis menggunakan bahasa Arab yang
telah diterjemahkan di bawahnya dengan aksara Jawi (Pegon).
KH. Ahmad Yasin Asymuni merupakan seorang ulama yang
produktif dalam menulis kitab. Pada tanggal 2 Januari 2011, KH. Ahmad
Yasin Asymuni mendapat penghargaan dari Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia atas perannya
dalam bidang akademik sebagai penulis produktif dalam kajian kitab di
Pondok Pesantren.16
Tak heran hingga sekarang tahun 2019 sudah mencapai kurang lebih
220-an karya,17
kitab karangan beliau bukan hanya terpaku pada satu
bidang keilmuan akan tetapi bermacam-macam bidang keilmuan yang
telah beliau susun menjadi buku ala Pesantren, seperti dalam bidang ilmu
fikih, ilmu tasawuf, ilmu teologi, tafsir dan lain sebagainya. Begitu juga
12
Pesantren sebagai basis keilmuan Islam, melalui didikan dari kiai dan para guru
telah melahirkan berbagai karya intelektual, tidak hanya dalam bidang tafsir. Syaikh
ihsan Muḥammad Dahlan dari Jampes, kediri, misalnya, pada tahun 1933 menulis Ṣirāj
al-Ṭālibīn, Syarh Minhāj al-Ṭālibīn. Buku ini adalah komentar atas tarekat al-Gazālī.
Buku yang terdiri dua bagian-bagian pertama berisi 419 halaman dan bagian kedua 400
halaman (mengacu pada edisi Muṣṭafā al-Babī al-Halabī Mesir)-ini beredar tidak hanya
di Indonesia tetapi juga di Amerika, kanada, dan Australia. Lihat, “Ṣirāj al-Ṭālibīn dari
Jampes Kediri untuk Dunia Islam”, dalam republika 24 Maret 2000. 13
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī (Kediri: Pesantren Pethuk, t.t.). 14
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1416 H). 15
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Fātiḥah (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1412
H). 16
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018, jam 23.22 WIB.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 17
Data ini penulis ambil dari salah satu santri KH. Ahmad Yasin Asymuni yang
bernama Ahmad Tholut, dengan menyodorkan list daftar kitab terbitan Pondok Pesantren
Hidayatut Thullab (Petuk-Semen, Kota Kediri: 21 Oktober 2018).
5
dengan judul kitab yang beliau tulis, kesemuanya menggunakan bahasa
Arab. Buku karya beliau banyak diminati oleh masyarakat luas, terutama
di Pondok Pesantren Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya.
Di perpustakaan PBNU karya KH. Ahmad Yasin juga ditaruh berjajaran
dengan karya tokoh-tokoh nasional, seperti KH. A. Shiddiq dari Jember,
KH. Sahal Mahfud dari Pati, dan lainnya.18
Berdasarkan hasil penusuran penulis, karya KH. Ahmad Yasin
Asymuni dalam bidang tafsir terdapat 11 kitab, di antaranya: Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm,19
Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah,20
Tafsīr Al-
Fātiḥah,21
Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ,22
Tafsīr al-Mu‟āwiżatain,23
Tafsīr Mā
Aṣābak,24
Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl,25
Tafsīr Sūrah al-
Qadr,26
Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn,27
Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah,28
Tafsīr Āyah al-Kursī.29
Dan beliau juga menulis beberapa kitab yang
berkaitan dengan al-Qur‟an dan ilmu al-Qur‟an; seperti al-Basmalah min
18
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018, jam 23.22 WIB.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 19
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1416 H). 20
Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1411 H). 21
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Fātiḥah (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1412
H). 22
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
1413 H). 23
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.). 24
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Mā Aṣābak (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1414
H). 25
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl (Kediri: PP
Hidayatut Thullab, 1414 H). 26
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.). 27
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.). 28
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah (Kediri: PP
Hidayatut Thullab, t.t.). 29
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
tt.).
6
jihati funūn,30
faḍāil al-suwar31
dan lainnya. Dalam karya ilmiah ini,
penulis membahas metodologi tafsir KH. Ahmad Yasin Asymuni dalam
menafsirkan al-Qur‟an dalam karyanya Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm,
Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ,
Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma
al-wakīl, Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣallū „Alaih fī
bayāni Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah al-Kursī.
Terdapat banyak metode yang digunakan oleh ulama tafsir dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Dengan demikian maka, keragaman
tersebut menimbulkan keragaman corak penafsiran. Akan tetapi, para
ulama tafsir sepakat bahwa cara yang terbaik dan terjamin kebenarannya
dalam memahami al-Qur‟an adalah kembali kepada al-Qur‟an itu sendiri
serta kepada penjelasan-penjelasan Nabi Muḥammad Saw.32
Hingga kini, ketika berbicara tentang metodologi tafsir al-Qur‟an,
banyak orang merujuk pada al-Farmāwī tak terkecuali dengan para
pemerhati kajian tafsir di Indonesia. al-Farmāwī telah memetakan dalam
bukunya al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maudlū‟ī, metode penafsiran al-Qur‟an
menjadi empat bagian pokok: tahlīlī, ijmālī, muqāran, dan maudlū‟ī.
Menurut Islah Gusmian, banyak metodologi kajian tafsir yang
dikembangkan oleh ulama ahli tafsir Indonesia, seperti Quraish Shihab,
Harifudin Cawidu, Komaruddin Hidayat, M. Yunan Yusuf, dan
Nashruddin Baidan.
Untuk lebih menguatkan metodologi tafsir, penulis ingin
berpartisipasi dalam pembahasan tersebut, terutama karya tafsir yang
ditulis oleh ulama Indonesia. Karya tafsir yang akan penulis telaah dalam
30
Ahmad Yasin, al-Basmalah min jihati funūn (Kediri: Pondok pesantren Pethuk,
1416 H). 31
Ahmad Yasin, Faḍāil al-Suwar (Kediri: Pondok pesantren Pethuk, t.t.). 32
M. Quraish Shihab, Tafsīr Amanah, cet. I (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), 7.
7
penelitian ini adalah Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, Muqaddimah
Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-
Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl,
Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah al-Kursī yang ditulis oleh KH. Ahmad Yasin
Asymuni. Dalam pemaparan Islah Gusmian, dia hanya menyebutkan
beberapa karya tafsir KH. Ahmad Yasin Asymuni serta tidak ada
penjelasan mengenai metodologi yang dipakai oleh KH. Ahmad Yasin
Asymuni.
Beberapa motivasi beliau dalam menulis kitab-kitab tafsir salah
satunya terdapat pada isi pembukaan Kitab Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm KH. Ahmad Yasin menulis;
Artinya: “Sesungguhnya semua hal yang terkandung dari kitab-kitab
terdahulu terkumpul dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri pula terkumpul
dalam basmalah dan sedangkan basmalah sendiri terkumpul dalam titik
huruf ba‟ dan awal basmalah. Di ba‟ itulah semua terkumpul hakikat yang
rinci dan menunjukkan isyarat ketauhidan di dalamnya.”33
Atas dasar inilah KH. Ahmad Yasin Asymuni menulis Kitab Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm. Selain itu tak lepas dari faktor eksternal
lainnya, seperti banyaknya permintaan, minat dan kebutuhan masyarakat
mengenai tafsir ayat dari Bismillāhirraḥmānirraḥīm, meskipun beliau
sendiri dalam kesehariannya lebih fokus pada ilmu fikih.
Terdapat pada isi pembukaan Tafsīr Āyah al-Kursī-nya, KH. Ahmad
Yasin menulis:34
Artinya: “Kitab ini ditulis agar penulis serta pembacanya mendapatkan
manfaat, keberkatan serta dijadikan termasuk dalam golongan orang-orang
yang saleh dan ahli surga.”
33
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1416 H), 2. 34
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī (Kediri: Pesantren Pethuk, t.t.), 4.
8
Sebagai gambaran umum, metodologi tafsir KH. Ahmad Yasin
Asymuni dalam menafsirkan al-Qur‟an berusaha memetakan per-kata
yang terdapat pada sebuah ayat secara detail. Salah satu contohnya: ketika
menafsirkan surah al-Baqarah ayat 255, beliau memetakan ayat ini
menjadi beberapa bagian. Mulai dari lafal Allāh, kemudian tiap lafal
Lāilāha illa huwa, al-Ḥayy, al-Qayyūm, lā ta‟khuẓuhu sinatu walā naūm,
lahu mā fī al-samāwāti wamā fī al-ard, man ẓā al-laẓī yasyfa‟u „indahu
illā biiẓnihi, ya‟lamu mā baina aidīhīm wamā khalfahum, walā yuḥīṭuhu
bisyaiin min „ilmihi, illā bimā syā‟, wasi‟a kursiyyuhu al-samāwāti wa al-
ard, walā yauduhu ḥifẓuhumā, wahuwa al-„alī al-„aẓīm.35
Selanjutnya KH.
Ahmad Yasin menyebutkan beberapa hikmah maupun penafsiran ulama
klasik dalam setiap kata yang terdapat pada surah al-Baqarah ayat 255.
Hal serupa dilakukan dalam kitab-kitab tafsir karangan beliau yang
lainnya. Maka timbul pertanyaan, bagaimana cara KH. Ahmad Yasin
Asymuni dalam menafsirkan sebuah ayat/surah? Metode apa yang
digunakan KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-Qur‟an?
Singkat kata, ada dua hal yang mendorong penulis memilih tema
penelitian ini. pertama, metodologi tafsir berkembang pesat dari masa ke
masa, dari Timur Tengah hingga ke Asia Tenggara khususnya Indonesia.
Menarik untuk mengetahui metode apa yang digunakan oleh ulama tafsir
Indonesia terutama pada era kontemporer ini.
Kedua, KH. Ahmad Yasin Asymuni sebagai salah satu mufassir asli
Indonesia terdidik dalam lingkungan agama ala Pesantren. Karya yang
lahir dari khazanah Pesantren dalam bidang metode penafsiran, meliputi
sumber-sumber rujukan hingga perspektif yang digunakan tidak akan
terlepas pada latar belakang, pemikiran serta lingkungan penafsir.
35
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 54-62.
9
Penulis akan melakukan penelitian terhadap Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-
Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā
Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, Tafsīr Sūrah al-Qadr,
Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah
al-Kursī yang ditulis oleh KH. Ahmad Yasin Asymuni. Skripsi ini diberi
judul: ”METODOLOGI PENAFSIRAN KH. AHMAD YASIN
ASYMUNI.”
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah
adalah sebagai berikut:
a. Banyaknya karya-karya KH. Ahmad Yasin Asymuni dalam
bidang tafsir dan ilmu tafsir.
b. Mengidentifikasi metodologi penafsiran KH. Ahmad Yasin
Asymuni dalam karya-karya tafsirnya.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini berfokus kepada metodologi tafsir yang ditulis oleh
KH. Ahmad Yasin Asymuni dalam kitab-kitab tafsirnya. Karya ilmiah ini
tidak mencakup karya di luar bidang tafsir al-Qur‟an. Sehingga beberapa
kitab yang hanya berkaitan dengan keutamaan al-Qur‟an maupun ilmu al-
Qur‟an, seperti al-Basmalah min jihati funūn, faḍāil al-suwar dan lainnya,
tidak dimasukkan dalam koridor pembahasan penelitian ini.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang tertulis di atas, diperlukan rumusan
masalah agar pembahasan tidak melebar. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana metodologi KH. Ahmad Yasin Asymuni
dalam menafsirkan al-Qur‟an al-Karim? Guna menjawab hal tersebut,
10
penulis menyajikan pemetaan metode, analisis, dan corak penafsiran
dalam kitab tafsir Ahmad Yasin Asymuni.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan sejalan dengan rumusan masalah, yaitu:
1. Menjelaskan metode penafsiran KH. Ahmad Yasin Asymuni
dalam menafsirkan al-Qur‟an al-Karim.
2. Menjelaskan corak penafsiran KH. Ahmad Yasin Asymuni
dalam menafsirkan al-Qur‟an al-Karim.
Manfaat dari penelitian yang dilakukan antara lain;
1. Agar dapat menguatkan kajian ilmiah dalam penelitian tafsir
terkait pemahaman metodologi KH. Ahmad Yasin Asymuni
dalam menafsirkan al-Qur‟an.
2. Agar dapat sebagai bagian dari bahan ajar mata kuliah literatur
tafsir.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian metodologi dan tafsir di Indonesia secara umum telah banyak
dikaji, di antaranya:
Howard M. Federspiel membahas tentang penggunaan al-Qur‟an
oleh masyarakat muslim Indonesia dari masa penafsiran yang dilakukan
Mahmud Yunus sampai masa penafsiran Quraish Shihab.36
Syafruddin membahas tentang penafsiran al-Zuhaliy terhadap ayat-
ayat yang berhubungan dengan hukum atau biasa yang disebut ayat
aḥkām.37
36
Howard M. Federspiel, KAJIAN AL-QUR‟AN DI INDONESIA DARI MAHMUD
YUNUS HINGGA QURAISH SHIHAB (bandung: Mizan, 1996). 37
Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkām al-Zuhailiy dalam al-Tafsīr al-Munīr,”
(S3.,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
11
Irwan membahas tentang Tafsīr al-Fātiḥah yang ditulis Achmad
Chodjim dengan aplikasi metodologi yang digunakan oleh Islah Gusmian
dalam menafsirkan al-Qur‟an.38
. Fauzi Saleh menulis tentang metode dan jenis tafsir karya-karya
ulama‟ Aceh serta keistimewaan yang ada dalam karya tafsir ulama‟
Aceh.39
Islah Gusmian menjelaskan tentang pemetaan arah pada pembacaan
terhadap karya tafsir dari dua wilayah: aspek teknis penulisan tafsir dan
aspek hermeneutiknya.40
Mafri Amir membahas tentang 14 kitab tafsir Indonesia dan dikaji
proses penulisan kitab tafsir Indonesia, motivasi penulisan, dan
karakteristik tafsir-tafsir di Indonesia (metode tafsir, sistematika
penulisan, jenis tafsir, dan rujukan penulisan tafsir).41
Faisal Hilmi membahas tentang karya ulama indonesia dari segi
metode, corak serta mazhab yang digunakan oleh KH. Misbah bin Zainul
dalam kitabnya yakni Tafsīr al-Aklīl Fī Ma‟āni al-Tanzīl.42
Wilda Kamalia membahas tentang karya tafsir M. Yunan Yusuf
yaitu Tafsir Juz „Amma al-Sirāju„i Wahhāj dari segi metode dan corak
38
Irwan, “Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim; Aplikasi
Metodologi Kajian Islah Gusmian,” (S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010). 39
Fauzi Saleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh,” al-Ulum IAIN al-Raniry
Banda Aceh Vol. 12, no. 2 (2012). 40
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013). 41
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013). 42
Faisal Hilmi, “Metode dan Corak Tafsīr al-Aklīl Fī Ma‟āni al-Tanzīl karya KH.
Misbah bin Zainul Musthofa,” (S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015).
12
penafsiran Yunan Yusuf yang dimulai dengan juz 30, juz terakhir dari al-
Qur‟an.43
Filzah Syazwana membahas literatur tafsir ulama indonesia
mengenai corak yang dipakai oleh Mahmud Yunus. Walaupun corak ilmu
kalam yang terdapat dalam Kitab Tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud
Yunus sangat mendominasi dalam penafsirannya.44
Selain karya-karya di atas yang menjadi rujukan dan menginspirasi
telaah metodologi penafsiran ulama Indonesia, berikut pembahasan
mengenai tafsir Indonesia karya KH. Ahmad Yasin Asymuni yang telah
dilakukan, di antaranya:
Pertama, F. Nur Hidayatullah, dia menjelaskan bagaimana cara KH.
Ahmad Yasin Asymuni dalam menafsirkan huruf ba‟ dan pandangan
ulama tafsir dalam menafsirkan huruf ba‟ dalam karya KH. Ahmad
Yasin.45
Kedua, AN. Iskandar, dia menulis nilai-nilai pendidikan moral yang
ada pada kitab KH. Ahmad Yasin Asymuni yang berjudul “Makarimal
Akhlak” dan dampak dari kitab KH. Ahmad Yasin dalam lingkungan
pendidikan sekitar.46
Ketiga, Mochammad Chomaruddin Fitroni, dia menulis tentang
pandangan ulama terhadap penafsiran basmalah serta perbedaan penafsir
43
Wilda Kamalia, “Literatur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan Corak
Tafsir Juz „Amma al-Sirāju„i Wahhāj karya M. Yunan Yusuf),” (S1., Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 44
Filzah Syazwana, “Corak Penafsiran Kalam Mahmud Yunus dalam Tafsir
Qur‟an Karim,” (S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 45
F. Nur Hidayatullah, “Penafsiran Ba‟ dalam Basmalah: analisis naskah Kitab
Tafsir Bismillahirrahmanirrahim karya Ahmad Yasin Asmuni,”(S1., Universitas Islam
Negeri (UIN) Surabaya, 2017). 46
AN. Iskandar, “Makarimal Akhlak,”(S1., Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Kudus, 2017).
13
basmalah dari segi teologi, sufi, dan lain sebagainya serta penafsiran KH.
Ahmad Yasin dalam menafsirkan basmalah secara rinci.47
Penelitian seputar KH. Ahmad Yasin Asymuni dari karya
Mochammad Chomaruddin Fitroni, AN. Iskandar, dan F. Nur
Hidayatullah dilakukan dengan telaah satu karya saja. Dalam penelitian
ini, penulis mencoba mendapatkan gambaran lebih luas mengenai
metodologi penafsiran al-Qur‟an KH. Ahmad Yasin Asymuni dengan
meneliti beberapa karya tafsirnya, sehingga didapatkan gambaran
metodologi penafsiran beliau yang lebih utuh.
E. Metode penelitian
1. Metode pengumpulan data
Dalam mengkaji metodologi penafsiran KH. Ahmad Yasin
Asymuni, penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu library
research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Penelitian pertama digunakan untuk melakukan studi terhadap buku-buku
yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, baik itu sumber-sumber
primer atau sekunder. Sedangkan penelitian kedua digunakan untuk
mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan studi ini.
a. Penelitian kepustakaan
Rujukan utama pembahasan ini ialah kitab-kitab tafsir KH. Ahmad
Yasin Asymuni, seperti: Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, Muqaddimah
Tafsīr al-Fātiḥah, Tafsīr al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-
Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl,
Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah al-Kursī (Kediri: PP Hidayatut Thullab), serta
beberapa karya beliau selain dari kitab tafsir bila diperlukan.
47
Mochammad Chomaruddin Fitroni, “Tafsir Basmalah Karya Ahmad Yasin
Asymuni,”(S1., Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta, 2018).
14
Data sekunder dieksplorasi jika data-data mengenai persoalan
tertentu tidak tersedia dalam sumber-sumber primer. Sumber sekunder
adalah buku-buku, artikel jurnal maupun media massa, baik cetak maupun
elektronik, yang dipandang relevan.
b. Penelitian lapangan
Untuk lebih mendalami penelitian ini, penulis mewawancarai secara
langsung KH. Ahmad Yasin Asymuni, penulis Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm, Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah, Tafsīr al-
Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, Tafsīr Mā
Aṣābak, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, Tafsīr Sūrah al-Qadr,
Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Āyah
al-Kursī. Wawancara berguna untuk melengkapi kekurangan dari data
primer maupun sekunder yang relevan untuk penelitian ini.
2. Metode pembahasan
Creswell menyatakan bahwa prosedur dan metodologi penelitian
kualitatif memiliki ciri-ciri induktif dalam mengumpulkan dan
menganalisis datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh dalam cara
mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Oleh karena itu, logika
yang harus diikuti oleh peneliti adalah induktif. Dari bawah (data
lapangan) ke atas. tidak mengambil keseluruhan dari teori yang menjadi
perspektif peneliti. Dalam penelitian ini pun, penulis berupaya untuk
menggunakan logika induktif tersebut, dengan sejumlah langkah yang ada
dalam bagan 1.1.48
Ada 5 tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dari
pengumpulan data hingga deskriptif hasil koding. Tahap 1, pengumpulan
48
Bagan 1.1 diadaptasi dari: John W. Creswell, Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, 277. Lihat Eva Nugraha, KOMODIFIKASI DAN
PRESERVASI KITAB SUCI Dalam Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia
(Tangerang Selatan: hipius, 2019), 32-33.
15
data mentah, yang diambil dari hasil wawancara, buku-buku kitab karya
KH. Ahmad Yasin Asymuni dan lain-lain. Tahap 2, pemilahan data untuk
memudahkan analisis, penulis hanya mengambil kitab-kitab tafsir KH.
Ahmad Yasin sebagai sumber primer dan kitab-kitab lainnya sebagai
sumber sekunder. Tahap 3, membaca data secara keseluruhan agar bisa
diambil metode dan corak sebagai alat koding. Tahap 4, pemberian kode
pada data yang telah dibaca. Penulis meneliti model penafsiran yang
digunakan KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-Qur‟an bisa diambil
dalam segi pengutipan KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan, segi
riwayah bi al-ra'yī dan bi al-ma'ṡūr. Kemudian, meneliti corak penafsiran
dengan melihat penafsiran KH. Ahmad Yasin terhadap sebuah ayat al-
Qur‟an dan kitab-kitab karya beliau selain kitab-kitab tafsir. Tahap 5,
deskriptif hasil koding, menjelaskan objek permasalahan secara apa
adanya kemudian dieksplorasi, dianalisis, diinterpretasi, diberi penilaian
dan terakhir ditarik kesimpulan.
Untuk memastikan keabsahan data, maka penulis memvalidasi
semua informasi dilakukan sejak tahap pemilahan data (lihat bagan 1.1).
Data akan dilacak dan disingkirkan data mana yang belum memberikan
informasi yang cukup sehingga dibutuhkan cross check. Berikut adalah
strategi validasi data yang dilakukan: a.) triangulasi sumber-sumber data
yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti dari sumber tersebut untuk
membangun justifikasi yang koheren. b.) Membuat deskripsi yang kaya
dan padat. c.) mengklarifikasi bias. Saya sebagai peneliti yang memiliki
latar belakang pesantren dan mengkaji al-Qur‟an tentunya memiliki bias
atas subyek.
16
Bagan 1.1: Analisis Data Kualitatif
Hal ini akan diupayakan untuk dihindari dengan menyajikan narasi
yang jujur dan terbuka.49
Dalam menulis karya ini, penulis menggunakan penulisan karya
ilmiah dan pedoman (transliterasi) Arab-Latin, merujuk pada hasil
keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
49
John W. Creswell, Research Design.., 286-287. Lihat Eva Nugraha,
KOMODIFIKASI DAN PRESERVASI KITAB SUCI Dalam Usaha Penerbitan Mushaf al-
Qur‟an di Indonesia, 34.
Validasi akurasi
informasi
Deskriptif hasil koding
Metode
Koding atas Data
Membaca Data terpilah
Memilah Data
Corak
Data Mentah (transkip hasil wawancara, kitab-
kitab tafsir, ilmu tafsir, dan lain-lain)
17
F. Sistematika penulisan
Sistematika penelitian ini disajikan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, pada bagian ini penulis
akan menggambarkan tentang obyek yang akan diteliti selama penelitian
dalam hal ini sub bab yang termasuk di dalamnya meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab dua, berisi tinjauan umum dan penjelasan mengenai landasan
teori. Dalam bab ini penulis akan mengenalkan metodologi tafsir al-
Qur‟an yang meliputi; pengertian tafsir, metode tafsir (pengertian, metode
tafsir, sejarah metode tafsir, sumber penafsiran, dan validasi penafsiran),
corak tafsir (pengertian dan corak penafsiran) dan ittijāh.
Bab tiga, berisi tentang biografi dan perjalanan hidup KH. Ahmad
Yasin secara detail. Dalam bab ini penulis membahas tentang biografi KH.
Ahmad Yasin Asymuni, latar belakang, pendidikan serta karir-Nya,
pemikiran KH. Ahmad Yasin Asymuni (keislaman atau akidah, hukum
Islam atau fikih, tasawuf dan akhlak, serta bidang al-Qur‟an dan tafsir)
meliputi penjelasan mengenai kitab-kitab tafsir KH. Ahmad Yasin
Asymuni, latar belakang penulisan dan sistematika penulisannya.
Bab empat, berupa analisa orientasi dan pemikiran-pemikiran KH.
Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dalam bab ini penulis
membahas metodologi dan corak tafsir KH. Ahmad Yasin Asymuni.
Meliputi; pengertian tafsir, metode tafsir (pengertian, metode tafsir,
sejarah metode tafsir, sumber penafsiran, dan validasi penafsiran), dan
corak tafsir (pengertian dan corak penafsiran), kelebihan dan kekurangan
KH. Ahmad Yasin Asymuni, serta beberapa catatan kritis terhadap
tafsirnya.
18
Bab lima, sebagai akhir pembahasan dari skripsi ini, yang meliputi:
kesimpulan berikut jawaban dari rumusan masalah yang ada serta saran-
saran yang terkait dengan metodologi tafsir KH. Ahmad Yasin Asymuni
dalam menafsirkan al-Qur‟an.
19
BAB II
METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi, tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan
atau 1,(البيان والكشف) atau penjelasan dan membuka (اإليضاح والتبيني)
diambil dari al-tafsīrah (التفسرية) yang artinya sebuah nama alat dokter
yang dapat mengungkapkan penyakit seorang pasien, maka tafsir dapat
diartikan “mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat--
ayat al-Qur‟an.”2 Kata tafsir (تفسري) berasal dari kata fassara-yufassiru-
tafsīran yang bisa diartikan dengan menjelaskan sesuatu (أبان) dan al-
Fasru yang artinya mengungkapkan apa yang tersembunyi, dan tafsir
mengungkapkan apa yang dimaksud dari lafad yang tidak jelas…3
Secara terminologi, tafsir ialah memahami al-Qur‟an yang
diturunkan kepada Nabi Muḥammad ملسو هيلع هللا ىلص, menjelaskan maknanya dan
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.4 Menurut Ṭāhir al-Jazāirī,
pada hakikatnya tafsir adalah menjelaskan lafad yang sulit dipahamkan
oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Ada kalanya
menyebutkan persamaan atau yang mendekatinya, atau dia mempunyai
petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalālāh (petunjuk).5 Menurut
Abdul Mustaqim, tafsir ialah suatu hasil pemahaman atau penjelasan
1 Rif‟at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 139. 2 Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an (Maktabah Syamilah: al-
Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟ūdiyyah, t.t.), 2261. 3 Ibnu Mandūr, Lisān al-„Arab, jilid 5 (Beirut: Dār al-Ṣādr, t.t.), 55.
4 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an, 2265.
5 Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/Al-Qur‟an (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), 173-174.
20
seorang penafsir, terhadap al-Qur‟an yang dilakukan dengan
menggunakan metode atau pendekatan tertentu.6
Sedangkan takwil secara etimologi ialah berpaling atau kembali,
berasal dari kata “aul” yang artinya kembali atau berasal dari kata “ail”
yang berarti memalingkan.7 Menurut pendapat yang masyhur kata takwil
dari segi bahasa adalah sama dengan arti kata tafsir, yakni menerangkan
dan menjelaskan dengan pengertian kata takwil dapat diartikan sebagai
mengembalikan (الرجوع), yakni mengembalikan makna pada tempat yang
sesungguhnya, atau memalingkan (الصرف), yakni memalingkan suatu lafad
yang memiliki sifat khusus dari makna lahir ke makna batin lafad tersebut,
karena ada ketetapan dan keserasian maksud yang dituju, atau menyiasati
kalimat yang mempunyai sifat khusus dan memerlukan siasat ,(السياسة)
untuk menemukan maksud yang setepat-tepatnya.8
Takwil menurut terminologi ialah memalingkan ayat kepada sesuatu
makna yang sesuai dengan makna yang sebelumnya dan makna yang
demikian itu diterima pula oleh ayat, serta tidak bersalahan dengan sesuatu
ayat atau sunnah yang dihasilkan oleh istinbaṭ.9 Jadi mentakwilkan al-
Qur‟an adalah memalingkan lafad atau kalimat yang ada dalam al-Qur‟an
dari makna lahir ke makna lainnya, sehingga mendapat pengertian yang
lebih cocok dan sesuai dengan jiwa al-Qur‟an dan Nabi Muḥammad 10.ملسو هيلع هللا ىلص
6 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Idea Press,
2016), 3. 7 Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
ANGKASA, 1994), 90. 8 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an, 2261.
9 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), 157. 10
Abu Anwar, Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar (Jakarta: Penerbit AMZAH,
2009), 99.
21
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan tafsir dan
takwil. Menurut Abū „Ubaidah, tafsir dan takwil itu memiliki makna yang
sama. Tetapi pengertian yang demikian ditolak oleh sekelompok para
ulama, di antaranya Ibnu Habīb al-Naisābūrī. Beliau berkata: para ahli
tafsir pada zaman kita ini telah berkembang, jika mereka ditanya tentang
perbedaan tafsir dengan takwil, maka mereka tidak dapat memberikan
keterangan dengan jelas. Menurut al-Raghīb, tafsir lebih umum dari
takwil, tafsir lebih banyak pemakaiannya dalam lafad-lafad dan
kosakatanya, sedangkan takwil lebih banyak pada makna-makna dan
susunan kalimat.11
Kata Abū Ṭālib al-Ṡa‟labī, tafsir ialah menerangkan
makna lafad, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti
menafsirkan makna al-sirāt dengan jalan dan al-ṣayyib dengan hujan.
Takwil ialah, menafsirkan batin lafad. Jadi tafsir bersifat menerangkan
petunjuk yang dikehendaki, sedangkan takwil menerangkan hakikat yang
dikehendaki. Sebagaimana firman Allah Swt.:
إن ربك لبالمرصاد Artinya: ”Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”(QS.Al-
Fajr (89): 40).
Tafsirnya ialah bahwa Allah Swt. senantiasa memperhatikan
keadaan hamba-Nya. Adapun takwil-Nya ialah mempertakutkan manusia
dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Ada
juga ulama yang mengartikan bahwa sesuatu yang jelas diterangkan dalam
al-Qur‟an dan Sunnah, itulah yang dinamai tafsir. dan tidak boleh bagi
seseorang menjalankan ijtihadnya lagi mengenai ayat-ayat atau surah-
surah yang telah terang tegas itu. Dan sesuatu yang di-istinbaṭ-kan oleh
ulama-ulama yang mengetahui baik ilmu-ilmu alat, itulah yang dinamai
takwil.
11
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an, 2261.
22
Sebagian ulama juga berkata: ”Tafsir berpaut dengan riwayat,
sedangkan takwil berpaut dengan dirayah. Hal ini mengingat bahwa tafsir
dilakukan dari apa yang dinukilkan dari sahabat, sedangkan takwil
dipahamkan dari ayat dengan mempergunakan tata bahasa Arab.”12
Al-
Maghrabī dalam Kitab al-Akhlāq Wa al-Wājibāt menerangkan
bahwa: ”Takwil itu banyak sekali dipakai pada ayat mutasyābihāt,
sedangkan tafsir banyak sekali dipakai pada ayat-ayat muḥkamāt”.13
Yang dimaksud ayat-ayat mutasyābihāt ialah ayat-ayat yang tidak
jelas maknanya; dan yang dimaksud dengan ayat-ayat muḥkamāt ialah
ayat-ayat yang jelas maknanya. Karena itu kebanyakan takwil
dipergunakan oleh para ahli tafsir mengenai ayat-ayat mutasyābihāt.
Sedang tafsir digunakan terhadap ayat-ayat muḥkamāt. Maka dapat
disimpulkan bahwa perbedaan antara tafsir dengan takwil itu ialah sebagai
berikut:14
2.1. perbedaan tafsir dan takwil
No. Tafsir No. Takwil
1. banyak digunakan
terhadap lafad-lafad dan
mufradat/kosakata
1. banyak digunakan pada
makna-makna dan
susunan kalimat
2. berhubungan dengan
riwayat
2. berhubungan dengan
dirayah
3. jelas diterangkan dalam al-
Qur‟an dan Hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص
yang sahih
3. kebanyakan di-istinbaṭ-
kan oleh para ulama
4. bersifat menjelaskan
petunjuk yang dikehendaki
4. bersifat menjelaskan
hakikat yang dikehendaki
5. digunakan dalam ayat-ayat
muḥkamāt (jelas)
5. digunakan dalam ayat-
ayat mutasyābihāt
12
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, 156-157. 13
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, 158. 14
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, 93.
23
Ilmu tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang nuzūl ayat,
keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, nāsikh, „am-
nya, mutlaq-nya, mujmal-nya, mufassar-nya, halal-nya, haram-nya,
wa‟id-nya, amr-nya, nahyu-nya, „ibar-nya dan amsāl-nya.15
Abu Ḥayyan
dalam Kitab “Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ” memberikan arti ilmu tafsir sebagai
ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafad al-Qur‟an, tentang
maksudnya, hukum-hukum dari lafad tersebut, makna-makna yang
terkandung dalam susunan kalimatnya dan penyempurnaannya.16
Pokok pembicaraan ilmu tafsir adalah al-Qur‟an. Dengan
mempelajari ilmu tafsir maka akan menghasilkan penjelasan dan
pembahasan, baik mengenai lafad maupun mengenai makna dalam al-
Qur‟an.
B. Metode Tafsir
1. Pengertian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang mempunyai
arti cara atau jalan.17
Dalam bahasa Inggris, kata “metode” ditulis
method,18
dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan manhaj dan
tarīqah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tersebut berarti: cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
15
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an, 2264. 16
Muḥammad bin Yusuf Abī Hayyan, Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 1 (Beirut: Dār
al-Fikr, 1420 H), 14. 17
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an (Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR, 2012), 1. 18
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris An Indonesia-
English Dictionary, cet. 9 (Jakarta: PT Gramedia, 2006), 372.
24
ditentukan.19
Metode bisa dikatakan sebuah sarana yang amat penting
untuk memperoleh sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini,
studi tafsir Al-Qur‟an tidak lepas dari metode, yaitu jalan yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa
yang dimaksudkan Allah Swt. dalam al-Qur‟an yang diturunkan kepada
Nabi Muḥammad 20.ملسو هيلع هللا ىلص
Berbeda dengan metode, istilah metodologi berasal dari gabungan
kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan dengan ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Pengertian metode berbeda
dengan metodologi. Metode adalah suatu jalan atau cara pelaksanaan atau
petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi
disebut juga science of methods, yaitu ilmu yang membicarakan cara,
jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi
penelitian membahas konsep teoretis berbagai metode.21
Metode tafsir
ialah suatu cara menafsirkan al-Qur‟an. Sedangkan metodologi tafsir ialah
ilmu tentang suatu cara menafsirkan al-Qur‟an. Jadi dapat disimpulkan
bahwa metode tafsir merupakan kaidah atau teori yang digunakan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dan cara yang dipakai dalam menerapkan
kaidah yang telah tertuang di dalam metode; sedangkan metodologi tafsir
ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur‟an.22
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.web.id/metode
diakses, 13 Maret, 2019. 20
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 1-2. 21
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia (Jakarta: BUMI
AKSARA, 2013), 90. 22
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 2.
25
2. Sejarah perkembangan Tafsir
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi Muḥammad
para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada ,ملسو هيلع هللا ىلص
beliau, maka setelah wafatnya, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam „Alī bin Abī
Ṭālib, Ibnu „Abbās, Ubay bin Ka‟ab, dan Ibnu Mas‟ud. Ada pula sahabat
yang secara khusus dijadikan rujukan perihal sejarah Nabi-Nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur‟an kepada tokoh-tokoh Ahlul-
Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti „Abdullāh bin Salām,
Ka‟ab al-Akhbar dan lain-lain.
Para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang telah disebutkan di atas
memiliki beberapa murid dari para tabiin, khususnya di Kota-Kota tempat
mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh tafsir dari kalangan tabiin, seperti:
pertama di Kota Mekah, Saīd bin Jubair, Mujāhid bin Jabr, „Ikrimah,
Ṭāwūs bin Kaisāni, „Aṭa‟ bin Abī Rabāh. mereka menimba ilmu kepada
Ibnu „Abbās. Kedua di Kota Madinah, Abū al-„Āliyah, Muḥammad bin
Ka‟ab, Zaid bin Aslam. Mereka menimba ilmu kepada Ubay bin Ka‟ab,
ketiga di Irak, „Alqamah bin Qais, Masrūq, Al-Aswad bin Yazīd, Murrah
al-Hamdānī, „Āmir al-Sya‟bī, Al-Ḥasan al-Basrī, Qatādah. Mereka
menimba ilmu kepada „Abdullāh bin Mas‟ud.23
Dapat dikatakan bahwa kebutuhan umat Islam saat itu terpenuhi oleh
penafsiran yang singkat, karena mereka tidak memerlukan penjelasan
yang rinci dan mendalam. Penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an pada saat itu
menggunakan metode global/ijmālī, artinya tidak memberikan rincian
23
Muḥammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1 (Kairo: Dār
al-Ḥadiṡ, 2005), 76-95.
26
secara luas dan tafsir di era sahabat dan tabiin sukar menemukan uraian
yang detail. karena itu tidak salah, apabila dikatakan bahwa metode ijmālī
merupakan metode tafsir al-Qur‟an yang pertama kali muncul dalam
kajian tafsir al-Qur‟an. Metode ini terasa lebih praktis dan mudah
dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan dan diterapkan oleh al-
Suyūtī di dalam Kitab-nya al-Jalālain, dan al-Mirghāmi di dalam kitabnya
Tāj al-Tafsīr. Pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami
perkembangan lebih luas sampai di luar Jazirah Arab, banyak bangsa non-
Arab yang masuk Islam, dan membawa konsekuensi logis terhadap
perkembangan pemikiran Islam. Akibatnya, perkembangan ini membawa
pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin
beragam.
Kondisi ini merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode
analitis/tahlīlī, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang
rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an. kemudian berkembang
pula dua bentuk penafsiran; penafsiran bi al-ma‟ṡur dan penafsiran bi al-
ra'yī dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti corak fikih,
falsafī, „ilmi dan lain sebagainya.24
Setelah muncul dua bentuk penafsiran dan disertai pula corak yang
beragam, umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an
yang terlihat mirip, padahal dalam segi maknanya berbeda. Kondisi ini
mendorong para mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-
ayat al-Qur‟an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh karena itu lahirlah tafsir dengan
metode perbandingan/muqārin seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf dalam
24
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 6.
27
Kitab Darrat al-tanzīl wa Ghurrat al-Ta‟wil, dan al-Karmāni dalam Kitab-
nya al-Burhān fī Taujih Mutasyabah al-Qur‟ān.25
Pada abad ke-20-an, Mahmud Syaltut menyusun Kitab Tafsir al-
Qur‟ān al-Karīm, dalam bentuk penerapan ide yang telah dikemukakan
oleh al-Syatibī, yakni menafsirkan ayat-per-ayat, tetapi membahas surah-
per-surah, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surah, kemudian
merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surah
tersebut. Namun, apa yang ditempuh Syaltut belum menjadikan
pembahasan tentang petunjuk al-Qur‟an dijelaskan dalam bentuk
menyeluruh. Atas dasar ini, Ahmad Sayyid al-Kumī memiliki ide untuk
menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu,
kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh
dan menyeluruh. Metode modern menawarkan terhadap umat untuk
menanggulangi permasalahan realitas kehidupan masyarakat, metode ini
dinamakan metode tematik/maudhū‟ī.
Langkah-langkah dalam menerapkan metode ini telah dijelaskan
secara terperinci oleh Abdul Hay Al-Farmawī dalam Kitab al-Bidāyah fī
al-Tafsīr Al-Maudhū‟ī.26
3. Metode Tafsir
Pada perkembangan tafsir di atas secara umum terdapat empat
macam metode tafsir, yaitu; a. Metode ijmālī (Global), b. Metode Tahlīlī
(Analitis), c. Metode Muqārin (Komparatif), d. Metode Maudhū‟ī
(Tematik);
a. Metode ijmālī (global) ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara
ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, dan mudah
dimengerti. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat di
25
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 7. 26
Abdul Hay Al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr Al-Maudhū‟ī (Kairo: Al-Hadrah
al-„Arabiyah, 1977), 62.
28
dalam al-Qur‟an, serta penyajiannya tidak terlalu berbeda dengan
gaya bahasa al-Qur‟an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-
akan masih tetap mendengarkan al-Qur‟an padahal yang didengarnya
adalah tafsiran al-Qur‟an.
Ciri-ciri metode global sangat jauh berbeda dengan metode
yang lain. Dalam metode komparatif yang didominasi oleh
perbandingan, dan metode tematik yang berangkat dari judul yang
telah ditetapkan. Kedua metode tersebut sangat berbeda dengan
metode global, yakni mufassir menafsirkan al-Qur‟an dari awal surah
hingga akhir surah tanpa perbandingan dan penetapan judul.
Sedangkan dalam metode analitis berbeda pada uraian yang lebih
rinci dari pada metode global, sehingga mufassir lebih banyak dapat
mengemukakan ide-idenya. Sebaliknya, metode global tidak ada
ruang bagi mufassir untuk mengemukakan idenya.
Kitab tafsir yang masuk dalam metode global, seperti; Kitab
Tafsīr Al-Qur‟ān al-Karīm karya Muḥammad Farīd Wajdī, Al-Tafsīr
al-Wasīṭ terbitan Majma‟ al-Buḥūṡ al-Islāmiyyah, Tafsīr Jalālain
karya Imam Maḥalli dan Al-Suyūṭī dan Tāj al-Tafāsīr karya
Muḥammad Uṡmān al-Mirghanī.
Metode global mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya; praktis dan mudah di pahami, bebas dari penafsiran
israiliyat, dan akrab dengan bahasa al-Qur‟an. Sedangkan
kekurangannya; menjadikan petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial, tak
ada ruangan bagi mufassir untuk mengemukakan analisis yang
memadai.27
Contoh dalam metode ini, sebagaimana penjelasan Nabi
27
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 13-30.
29
Muḥammad ملسو هيلع هللا ىلص ketika menjelaskan lafad (ظلم) dalam surah al-An‟am
(6): 82;
هتدون الذين ءامن وا ول ي لبسوا إين هم بظلم أولئك لم المن وىم مArtinya:”Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (aniaya),
mereka Itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Ayat ini membuat pikiran para sahabat terganggu akan
maknanya. Mereka yang mencampurkan iman dengan aniaya tidak
akan memperoleh keamanan dan petunjuk. Seakan-akan percuma
mereka beriman karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka
percaya bahwa tak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan
kezaliman (aniaya). Namun mereka merasa lega ketika Nabi
Muḥammad ملسو هيلع هللا ىلص menafsirkan lafad (ظلم) di dalam ayat itu dengan
;dengan mengutip surah Luqman (31): 13 (شرك)
رك لظلم عظيم وإذ قال لقمن لبنو وىو يعظو ي ب ن لتشرك با اهلل إن الشArtinya: ”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".28
b. Metode Taḥlīlī (Analitis) ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan menjelaskan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup
di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat, surah per-surah sesuai dengan urutan di
dalam Al-Qur‟an atau yang menurut Muḥammad al-Baqir al-Ṣadr
28
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 4-5.
30
metode taḥlīlī bisa disebut dengan metode Tajzi‟ī29
(al-Ittijāh al-
Tajzi‟ī).
Mufassir yang menggunakan metode analitis ini menurut Al-
Farmawī seperti yang dikutip Suryadilaga dapat dibedakan menjadi 2
bagian;
1) Tafsīr bi al-ma'ṡur yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
berdasarkan ayat-ayat yang lain atau menafsirkan suatu riwāyah
yang dinukilkan dari Nabi Muḥammad ملسو هيلع هللا ىلص atau sahabat ataupun
tabiin. sebagaimana firman Allah Swt.:
Artinya: ”Tunjukkanlah Kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat. ( surah Al-Fātiḥah (1): 7).
“Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” dalam ayat di
atas ditafsirkan dengan firman Allah Swt.:
Artinya: ”dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya,
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para Ṣiddīqīn,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan
mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya” (surah al-Nisā‟(4):
69).
29
Tafsir Tajzi‟i secara harfiah dapat diartikan sebagai tafsir yang menguraikan
secara bagian perbagian, atau tafsir secara parsial. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, Al-
Qur‟an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 69.
31
Inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang
tersebut dalam surah al-Fātiḥah (1): 7.30
Contoh ini menunjukkan
bahwa sebuah ayat ditafsirkan dengan ayat yang lain.
2) Tafsīr bi al-ra'yī31
yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan
ijtihad atau penalaran. Para mufassir memperoleh kebebasan,
sehingga mereka berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap
ayat-ayat al-Qur‟an selama masih dalam batas ketentuan syara‟ dan
kaidah-kaidah penafsiran. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsīr
bi al-ra'yī dengan metode analitis dapat melahirkan beberapa corak
dalam penafsiran seperti tafsir corak lughawī, corak fikih, falsafi, sufī,
„ilmi, adābi ijtimā‟i, dan lain sebagainya. Dikarenakan adanya
kebebasan dalam berinterpretasi, maka tafsīr bi al-ra'yī berkembang
jauh lebih pesat meninggalkan tafsīr bi al-ma'ṡur, sebagaimana diakui
oleh manna‟ al-Qaṭṭān.32
Metode taḥlīlī ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihannya adalah;
a. Ruang lingkup yang sangat luas. artinya, metode ini dapat
digunakan oleh mufassir dalam dua bentuk: Penafsiran bi al-ma'ṡur
dan penafsiran bi al-ra'yī. Bentuk bi al-ra'yī dapat dikembangkan
30
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir (Bandung: penerbit Pustaka, 1987), 25-26. 31
Tafsīr bi al-ra'yī terbagi menjadi dua macam; pertama, tafsīr bi al-ra'yī al-
maḥmūd (terpuji), yakni tafsir yang jauh dari kesesatan, sesuai dengan tujuan Allah
(pembuat hukum), sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, dan berpegang pada uslūb
(susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur‟an. dan kedua, tafsīr bi al-ra'yī al-
mażmūm (tercela), yakni menafsirkan al-Qur‟an menurut selera penafsir sendiri, di
samping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah
kepada mazhab yang menyimpang. Maka dari itu tafsir model bi al-ra'yī al-mażmūm ini
ditolak. Lihat Tafsir Bil Ra‟yi menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijthad, Anshori LAL., 10-
11. 32
Manna‟ al-Qattān, Mabāḥiṡ fī „Ulūm al-Qur‟ān (Mansyurat al-Aṣr al-Hadis,
t.tp., 1973), dalam Nashiruddin Baidan, 50.
32
dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian mufassir.
Misalnya, ahli bahasa menafsirkan al-Qur‟an dengan keluasan dan
pemahaman kebahasaannya, seperti Tafsīr al-Nasafī, karangan Abū
al-Su‟ūd, Ahli qiraat seperti Abū Ḥayyan, menjadikan ilmu qiraat
sebagai titik tolak dalam penafsirannya, al-Rāzī sebagai ahli Filosuf
menggunakan Filsafat sebagai kunci dari menafsirkan Al-Qur‟an.
b. Memuat berbagai ide. Artinya, mufassir memiliki kebebasan
dalam menggagas ide baru dalam penafsiran al-Qur‟an.
Sedangkan kekurangan metode taḥlīlī adalah;
a. Menjadikan petunjuk al-Qur‟an yang parsial. Artinya, metode
ini bisa membuat petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial atau terpecah-
pecah, sehingga terasa bahwa al-Qur‟an memberikan petunjuk yang
tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran satu ayat dengan ayat
yang lain berbeda, padahal ada sebuah kesamaan yang kurang
diperhatikan.
b. Penafsiran yang subjektif. Artinya, terkadang mufassir tidak
menyadari bahwa dia telah menafsirkan al-Qur‟an secara subjektif,
dan tidak mustahil pula di antara mereka menafsirkan al-Qur‟an
sesuai hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-
norma yang berlaku.
c. Pemikiran Israiliyyat. Karena metode taḥlīlī tidak membatasi
mufassir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka
berbagai pemikiran dapat masuk di dalamnya, tidak terkecuali
Israiliyyat.33
33
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 53-64.
33
Metode ini memiliki kelemahan yang harus diindahkan oleh
seorang mufassir, yakni kurangnya rambu-rambu metodologi ketika
menarik makna dan pesan dari ayat-ayat al-Qur‟an. hal tersebut terasa
ketika sang mufassir yang biasanya mengarahkan pandangan pada
ayat yang dibahasnya, terlepas dari ayat lain yang memiliki
keterikatan makna dengan ayat tersebut. Sebagaimana contoh firman
Allah Swt. dalam surah al-Baqarah (2): 219:
Artinya: “mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". dan mereka bertanya (juga) kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berfikir.”
Mufassir akan menjelaskan paling sedikit tiga persoalan pokok,
yaitu Khamr (minuman keras), maisir (perjudian), dan al-„afw dalam
soal nafkah. Penjelasannya tidak tuntas karena ada ayat-ayat lain yang
berbicara tentang persoalan yang sama dan yang nyaris tidak di
singgungnya. Misalnya, firman Allah dalam surah al-Mā‟idah (5): 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya khamer,
judi, berhala-berhala, panah-panah (mengundi nasib), adalah
Termasuk kekejian yang perbuatan setan. Maka jauhilah ia agar
kamu mendapat keberuntungan.”
Memang harus diakui bahwa sang mufassir dapat
menghidangkan secara tuntas makna ayat yang ditafsirkannya secara
berdiri sendiri, tetapi dia tidak menghidangkan secara tuntas petunjuk
34
al-Qur‟an menyangkut keseluruhan uraian kitab suci yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan yang dibahasnya. Uraiannya melebar
sehingga terhidang aneka hidangan yang bisa jadi sebagian di
antaranya tidak diperlukan oleh pembacanya.34
c. Metode Muqārin (Komparatif) ialah menafsirkan al-Qur‟an dengan
membandingkan teks ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki persamaan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan memiliki redaksi yang
berbeda dalam satu kasus yang sama. Atau membandingkan ayat al-
Qur‟an dengan hadis yang secara makna lafad terlihat bertentangan
atau membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur‟an.
Ciri-ciri metode komparatif adalah memusatkan pada sejumlah
ayat tertentu, lalu meneliti berbagai pendapat para mufassir tentang
ayat tersebut, baik ulama klasik maupun ulama khalāf, kemudian
membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan untuk
mengetahui kecenderungan-kecenderungan mereka, aliran-aliran yang
mempengaruhi mereka, dan keahlian yang mereka kuasai.
Metode komparatif memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah memberikan wawasan penafsiran yang relatif
lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-
metode lain, membuka akan sikap toleran terhadap pendapat orang
lain yang terkadang bertentangan dengan pendapat kita. Mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat agar memperluas dan
mendalami penafsiran al-Qur‟an (bukan bagi pemula), dan mufassir
didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis serta pendapat-
pendapat mufassir yang lain agar mufassir lebih berhati-hati dalam
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut anda
ketahui dalam memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2015), 379-381.
35
proses penafsiran suatu ayat agar penafsiran yang diberikannya relatif
lebih terjamin kebenarannya dan dapat dipercaya. Sedangkan
kekurangannya adalah penafsiran metode ini tidak dapat diberikan
kepada para pemula, karena pembahasan yang dikemukakan di
dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrem, metode ini
kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang
tumbuh di tengah masyarakat, metode ini terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.35
Contoh dalam metode
komparatif sebagaimana firman Allah Swt. surah Āli „Imrān (3):
126:36
Artinya: ”Allah tidak menjadikannya (pemberitaan tentang bala
bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu,
dan agar menjadi tenteram hati kamu disebabkan olehnya.
Kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat di atas sedikit berbeda dengan surah al-Anfāl (8): 10. Di
sana dinyatakan:
Artinya: “Allah tidak menjadikannya (pemberitaan tentang bala
bantuan malaikat), melainkan sebagai kabar gembira dan agar
menjadi tenteram-disebabkan olehnya-hati kamu. Kemenangan
itu hanyalah bersumber dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
35
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 65-150. 36
M. Quraish Shihab, Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut anda
ketahui dalam memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an 382-383.
36
Dalam surah Āli Imrān di atas kata bihi terletak sesudah
qulūbukum, berbeda dengan surah al-Anfāl yang letaknya sebelum
qulūbukum. Dalam al-Anfāl fāshilat (penutup ayat) dibarengi dengan
harf taukīd (Inna/sesungguhnya), sedang dalam Āli Imrān huruf
tersebut tidak ditemukan. Mengapa? Padahal kedua surah tersebut
berbicara tentang turunnya malaikat untuk mendukung kaum Muslim.
Dalam Tafsīr Al-Misbāh, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
ayat al-Anfāl berbicara tentang peperangan Badar, sedang ayat Āli
Imrān berbicara tentang peperangan Uhud.
Perbedaan redaksi memberi isyarat tentang perbedaan kondisi
kejiwaan dan pikiran Mukhātab (mitra bicara), dalam hal ini kaum
muslim. Dalam peperangan Badar mereka sangat khawatir karena
mereka lemah dari segi jumlah pasukan dan perlengkapannya, mereka
juga belum pernah berperang membela agama dan belum pernah
mendapatkan bantuan dari malaikat, oleh karena itu, Allah
menekankan dengan menggunakan kata inna/sesungguhnya, berbeda
dengan peperangan Uhud, jumlah mereka cukup banyak, semangat
mereka sangat menggebu, terutama para pemudanya yang mendesak
agar kaum Muslim keluar menghadapi musuh, keyakinan tentang
turunnya malaikat pun tidak mereka ragukan, setelah sebelumnya –
dalam peperangan Badar- mereka telah alami.37
d. Metode Mauḍū‟ī (Tematik) ialah metode yang membahas ayat-ayat
al-Qur‟an sesuai dengan judul atau tema yang ditetapkan. Semua ayat
yang terkait dengan tema dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya,
seperti asbāb al-Nuzūl, kosakata dan sebagainya.38
Semuanya
37
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), 247-250. 38
Menurut Mustafa Muslim ada 3 pemetaan dalam tafsīr mauḍū‟ī (Tematik);
pertama, mauḍū‟ī (Tematik) dalam tema, model mauḍū‟ī seperti ini menghimpun semua
37
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
argumen itu berasal dari al-Qur‟an, Hadis, maupun pemikiran
rasional.
“Menurut al-Farmāwī, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh
mufassir dalam menerapkan metode ini;
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl-nya;
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surah-nya masing-
masing;
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan
pokok pembahasan;
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat-nya yang mempunyai pengertian yang sama,
atau mengkompromikan antara yang „am (umum) dan yang khās
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan atau pemaksaan.”39
Metode tematik juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Di
antara kelebihannya adalah menjawab persoalan zaman, praktis,
sistematis, dinamis, dan membuat sebuah pemahaman yang utuh.
Adapun kekurangannya adalah memenggal ayat al-Qur‟an dan
membatasi pemahaman ayat.40
ayat yang memiliki tema yang sama sehingga kemudian dianalisis menggunakan
metodologi tafsir mauḍū‟ī (Tematik) sehingga bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan. kedua, mauḍū‟ī (Tematik) surah, penafsir hanya mengkhususkan satu surah
untuk dikaji secara komprehensif dengan berbagai macam aspeknya. Ketiga, mauḍū‟ī
(Tematik) term, model tafsir tematik yang berupaya menjelaskan makna term tertentu
dalam al-Qur‟an dan berbagai macam makna derifasinya. Lihat Mustafā Muslim,
Mabāhis fī Tafsīr al- Mauḍū‟ī (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), 37-41. 39
„Abdul Hay Al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr Al-Maudhū‟ī, 62. 40
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an,151-170.
38
4. Sumber penafsiran
Secara garis besar, sumber-sumber penafsiran al-Qur‟an pada
konteks klasik-tradisional terdiri atas 3 bagian, yaitu Al-Qur‟an, Hadis,
dan perkataan sahabat, dan tabiin.41
Pada konteks kontemporer, menurut
Abdul Mustaqim42
sumber penafsiran bersumber pada teks Al-Qur‟an,
Akal (ijtihad), dan realitas empiris.43
Pertama, bersumber pada teks atau
lebih sering disebut dengan tafsīr bi al-ma'ṡūr. Para ulama berselisih
dalam batasan yang termasuk dalam kategori bi al-ma'ṡūr. Al-Zarqāni
membatasi pada “tafsir yang diberikan oleh ayat al-Qur‟ān, sunnah Nabi,
dan para sahabat.44
Dalam batasan itu jelas terlihat, tafsir yang diberikan
oleh tabiin tidak termasuk bi al-ma'ṡūr. Hal itu karena menurut Al-Zarqāni
penafsiran tabiin terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran isra‟iliyyat.
Sementara ulama lain, seperti al-Żahabī, memasukkan tafsir tabiin ke
dalam al-ma'ṡūr karena menurutnya, meskipun tabiin tidak menerima
tafsir langsung dari Nabi Muḥammad Saw., namun Kitab tafsir bi al-
ma'ṡūr memuat tafsir mereka, seperti al-Ṭabari tidak hanya
41
Pertama, Mufassir menafsirkan al-Qur‟an dengan meninjau dan meneliti secara
detail serta mengumpulkan ayat-ayat yang ada pada satu topik, kemudian
membandingkannya satu ayat dengan ayat yang lainnya, karena sebagian ayat yang masih
global di satu tempat, ditafsirkan pada tempat yang lain. Ini yang disebut menafsirkan al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an. kedua, Tafsir dengan mengutip Hadis nabi yakni perilaku,
perkataan dan ketetapan dari Rasulullah Saw. serta menjaga dan menghindari hadis ḍo‟if
dan mauḍū‟ī. Dan ketiga, Perkataan sahabat yang sahih, karena mereka lebih mengetahui
kitab Allah dan lebih mengetahui rahasia kandungan al-Qur‟an. karena mereka
menyaksikan turunnya al-Qur‟an sesuai konteksnya, dan memiliki pemahaman yang
sempurna, seperti Khulafa al-Rāsyidin, Ubay bin Ka‟ab, Ibnu Mas‟ud, Ibnu „Abbas, dan
lainnya serta perkataan tabiin, bila mereka berijma‟ terhadap suatu penafsiran. lihat Tafsir
bi al-ra'yī menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijthad karya Anshori LAL., 17. 42
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta, LkiS GROUP,
2012), 66-67. 43
Realitas empiris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai;
pengalaman nyata yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah
dilakukan. Lihat https://kbbi.web.id/empiris diakses, 10 Desember, 2019. 44
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 372.
39
mencantumkan tafsir dari Nabi dan sahabat, melainkan juga
mencantumkan penafsiran dari tabiin.45
Dapat disimpulkan bahwa al-Zarqāni lebih selektif dibanding
dengan al-Żahabī dalam menerima penafsiran tabiin. Sebab bagi al-
Zarqāni menerima tafsir tabiin sebagai bi al-ma'ṡūr tidak cukup hanya
tercantum dalam Kitab tafsir, akan tetapi perlu diteliti ulang apakah
penafsirannya berasal dari Nabi Saw. dan sahabat. Sedangkan al-Żahabī
tidak memerlukan penelitian ulang, tapi cukup termaktubnya tafsir
tersebut dalam Kitab-Kitab tafsir bi al-ma'ṡūr.46
Kedua, bersumber dengan akal dan realitas. Tafsir dalam periode
kontemporer lebih banyak bersumber pada al-ra'yī dari pada al-ma'ṡūr.
Bentuk tafsir ini disebut juga tafsīr bi al-ma‟qūl atau tafsīr bi al-dirayah,
bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka tidak didasarkan
pada riwayat sahabat dan tabiin.47
Sedangkan tafsir bersumber pada
realitas empiris adalah termasuk salah satu yang umum digunakan oleh
tafsir kontemporer. Sumber ini berawal dari asumsi bahwa al-Qur‟an harus
ṣālih li kulli zamān wa makān. Dalam arti selalu berupaya
mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan mangambil prinsip-
prinsip dan ide universalnya. Maka, jika terdapat ayat-ayat yang secara
tekstual dianggap sudah relevan dengan perkembangan zaman maka para
mufassir kontemporer berusaha menafsirkan ayat-ayat itu dengan
semangat zamannya. Sebagai contoh ayat-ayat yang berbicara tentang
perbudakan, pluralisme, poligami, dan juga ayat-ayat yang berhubungan
dengan masalah-masalah sosial masyarakat. Dalam masalah-masalah
45
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, vol. 1 (Kairo: Dār al-
Ḥadiṡ, 2005), 152. 46
Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, 373. 47
Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, vol. 1, 152.
40
sosial tersebut penafsir kontemporer selalu menghubungkan ayat yang
ditafsirkan dengan realitas.
5. Validasi penafsiran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang
kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aristoteles. Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan
yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak
itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan
penyempurnaan sampai kini.
Sebelum masuk pada pembahasan validasi tafsir. Secara garis besar
terdapat dua aliran inti dalam epistemologi,48
yaitu rasionalisme dan
empirisme dan berkembang beberapa aliran lainnya, misalnya
rasionalisme kritisme, fenomenalisme, intuisisme, positivisme, dan lain
sebagainya.49
Penulis hanya menjelaskan dua aliran, yaitu rasionalisme
dan empirisme dengan pertimbangan agar tidak melebar.
a. Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran filsafat yang meyakini bahwa
otoritas rasio adalah sumber dari segala pengetahuan dan sudah pasti
kriteria kebenaran berdasar pada intelektualitas.50
Menurut Sudarsono,
rasionalisme itu sumber pengetahuan adalah pikiran, rasio, dan jiwa
manusia.51
Namun, aliran rasionalisme juga tidak mengingkari
kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan; pengetahuan indra
48
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi adalah cabang ilmu
filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. diunduh, 10 Desember, 2019,
https://kbbi.web.id/epistemologi. 49
A.Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), 115. 50
Tim Penyusun MKD UINSA Surabaya, Pengantar Filsafat (Surabaya:
UINSAPress, 2013), 109-110. 51
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001),
157.
41
sendiri diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-
bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja.52
b. Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani empirikos yang berarti
pengalaman. Aliran ini adalah manusia dalam memperoleh
pengetahuan berdasarkan pengalaman (pengalaman indrawi). Menurut
Jhon Locke bapak Empirisme Britania mengatakan bahwa ketika
manusia dilahirkan, akalnya seperti catatan kosong, dan catatan
kosong tersebut terdapat pengalaman-pengalaman indrawi. Empirisme
sendiri memiliki ciri kritis terhadap abstraksi dan spekulatif dalam
membangun dan memperoleh ilmu pengetahuan karena memang
empirisme sangat membatasi ilmu pengetahuan manusia berdasarkan
apa yang diamati dan diuji.53
Dapat ditarik kesimpulan dari para ahli di atas tentang sumber
pengetahuan, bahwa sumber pengetahuan yang memungkinkan bagi
manusia adalah sebagai berikut:
1. Sumber pengetahuan yang bersandar pada akal.
2. Sumber pengetahuan yang bersandar pada pengalaman indrawi.
Dalam kaitannya dengan filsafat, kebenaran merupakan tujuan
akhir yang hendak dicapai oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Manusia yang memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman
indrawi akan berbeda hasilnya dengan memperoleh pengetahuan yang
bertumpu pada akal, intuisi, otoritas, keyakinan, atau wahyu.54
Tidak
sampai di sini bahwa persoalan metodologi sangat erat kaitannya
dengan persoalan sumber pengetahuan. kembali pada kepercayaan,
52
A.Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis, 141. 53
Tim Penyusun MKD UINSA Surabaya, Pengantar Filsafat, 109-110. 54
Tim Penyusun MKD UINSA Surabaya, Pengantar Filsafat, 109-110.
42
jika kita percaya bahwa rasionalisme merupakan metode paling benar,
maka logika adalah metode yang paling tepat dalam hal mendapatkan
pengetahuan. Namun, jika kita mempercayai bahwa empirisme
merupakan yang paling benar, maka empiris merupakan metode
terbaik untuk mendapatkan pengetahuan.
3. Validitas (kebenaran) pengetahuan
Ada tiga teori kebenaran yang dapat mengukur ke-validasi-an
penafsiran, yakni teori koherensi,55
teori korespondensi,56
dan teori
pragmatisme.57
Pertama, teori koherensi. Teori ini selalu menekankan pada permasalahan
konsistensi dari sebuah pernyataan yang bersifat teoretis. Oleh karena itu,
teori ini juga disebut dengan teori konsistensi. Menurut Sudarsono teori ini
disebut kebenaran yang saling berhubungan (cocherence theory of thurth).
Pembuktian dari teori ini sendiri berdasarkan fakta sejarah dan logika.58
Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap benar
apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten
55
Dalam Kamus Filsafat, coherence theory of truth (teori kebenaran berbasis
koherensi) adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa kebenaran suatu proposisi
terdapat dalam kumpulan proposisi yang konsisten, koheren dan mungkin dianugerahi
kebijakan-kebijakan lain. KAMUS FILSAFAT, Simon Blackburn, diterj. Yudi Santoso,
S.Fil., cet. 1 (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013), 157. Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, koherensi adalah tersusunnya uraian atau pandangan
sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu dengan yang lainnya. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Tim Kamus Pusat Bahasa, cet. 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 579. 56
Aristoteles menyatakan benar adanya jika menyatakan sesuatu apa adanya, dan
yang bukan memang bukan. Namun demikian, teori korespondensi bukan sekedar
pandangan yang menyatakan bahwa kebenaran terdapat dalam korespondensi dengan
fakta, tetapi lebih merupakan pandangan bahwa menarik secara teoretis untuk menyadari
hal ini. KAMUS FILSAFAT, Simon Blackburn, diterj. Yudi Santoso, S.Fil., cet. 1, 196. 57
Pragmatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah n 1 kepercayaan
bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan,
ucapan,dsb), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia; 2 pandangan
yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat
sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Tim Kamus Pusat Bahasa, cet. 4, 891. 58
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 146.
43
menerapkan metodologi yang dibangun oleh setiap mufassir. Dengan kata
lain, jika dalam sebuah penafsiran terdapat konsistensi berpikir secara
filosofis maka penafsiran tersebut bisa dikatakan benar secara koherensi.59
Kedua, teori korespondensi. Menurut teori ini suatu pernyataan
dianggap benar apabila berkorespondensi (berhubungan) dengan objek
yang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau apabila pernyataan tersebut
benar secara akurat dan cukup mempresentasikan realita. Bisa dikatakan
bahwa teori ini berpegang pada pengalaman indrawi manusia. Ada dua hal
yang harus diingat dalam teori ini, ialah; pernyataan dan kenyataan.60
Menurut teori ini, sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia
berkorespondensi, cocok, dan sesuai dengan fakta ilmiah yang ada di
lapangan. Teori ini dapat dipakai untuk mengukur kebenaran tafsir ilmi.
Penafsiran yang terkait dengan ayat-ayat kauniyyah dikatakan bisa benar
apabila sesuai dengan hasil penemuan teori ilmiah.61
Ketiga, teori pragmatisme. Teori ini dapat dikatakan valid tidaknya
suatu pernyataan, dalil ataupun teori semata-mata bergantung pada segi
pemanfaatannya bagi manusia.62
Oleh karena itu teori pragmatis
ditentukan oleh kegunaan, dapat dikerjakan, dan berpengaruh pada
kepuasan atau hasil yang memuaskan. Dengan demikian kebenaran
perspektif pragmatisme tidak bersifat mutlak, hal ini bisa terjadi karena
sangat bergantung pada manfaat bagi umat manusia atau bersifat relatif
sesuai dengan tempat dan waktu tertentu.63
Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan valid
apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi bagi problem sosial
59
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 83. 60
Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman (Yogyakarta: Pustka Pelajar, 2015),
161. 61
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 83. 62
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 146. 63
Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 163.
44
yang muncul. Dengan kata lain, Penafsiran itu tidak diukur dengan teori
atau penafsiran lain, tetapi diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan
solusi atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini.64
C. Corak Tafsir
1. Pengertian
Dalam bahasa Arab, corak berasal dari kata alwān yang merupakan
bentuk plural dari kata launun yang berarti warna, dalam Kitab Lisān al-
„Ārab, Ibnu Manżūr menyebutkan:
نو وب ني غريه ولون كل شيء ما فصل ب ي Artinya: ”Dan warna setiap sesuatu merupakan pembeda antara sesuatu
dengan sesuatu yang lain.”
Menurut Ibnu Manżūr, warna sama dengan jenis dan jika
dicontohkan kepada seseorang maka arti Fulān mutalawwin, berarti si
laki-laki memiliki karakter yang berubah-ubah.65
Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, corak memiliki beberapa arti; pertama bunga atau
gambar (ada yang berwarna-warna) pada kain (tenunan, anyaman, dan
sebagainya). seperti kalimat; corak kain sarung ini kurang bagus, kedua
berjenis-jenis warna pada warna dasar (tentang kain, bendera, dan
sebagainya). Seperti kalimat; dasarnya putih, coraknya merah, ketiga sifat
(paham, macam, bentuk) tertentu. Seperti kalimat; perkumpulan itu tidak
tentu coraknya.66
Ahmad Warson Munawwir menyebutkan kata laun
dalam Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia) sebagai singular dari plural
alwān yang berarti warna, kata laun juga bisa berarti al-nau‟ wa al-ṣinfu
yang artinya macam dan jenis.67
64
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 83. 65
Muḥammad bin Makram bin Manżūr, Lisān al-„Ārab, jilid 13 (Beirut: Dār Ṣādr,
t.t.), 393. 66
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.web.id/corak
diakses, 13 Maret, 2019. 67
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 1209.
45
Pengertian tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
tafsir secara etimologi adalah menjelaskan dan menerangkan ( اإليضاح68,(البيان والكشف) atau penjelasan dan membuka (والتبيني
atau diambil dari
tafsīrah (التفسرية) yang artinya sebuah nama alat dokter yang dapat
mengungkapkan penyakit seorang pasien, maka Tafsir dapat diartikan
“mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an.”69
Sedangkan menurut terminologi, tafsir menurut al-Zarkasyī ialah:
د صلى اهلل عليو ر علم ي عرف بو ف هم كتاب اهلل المن زل على نبيو مم فسي الت وحكمو وسلم وب يان معانيو و استخراج أحكامو
Artinya: ”Tafsir adalah ilmu untuk memahami, menjelaskan makna,
dan mengkaji hukum-hukum serta hikmah hukum tersebut dalam kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muḥammad 70.ملسو هيلع هللا ىلص”
Corak tafsir secara umum menurut pengertian di atas adalah suatu
kekhususan tafsir yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang
mufassir dalam menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur‟an. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan pada suatu tafsir adanya corak lain,
hanya saja yang menjadi acuan adalah corak dominan yang ada dalam
tafsir tersebut, karena kita tidak bisa memungkiri dalam satu tafsir
memiliki beberapa kecenderungan. Seperti halnya yang terjadi pada tafsir
al-Munīr karya Wahbah al-Zuḥailī yang memiliki dua corak sekaligus,
yaitu corak lughawī dan corak fikih.
68
Rif‟at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, 139. 69
Jalāl al-Dīn al-Ṣuyūṭī, al-Itqān Fī „Ulūm al-Qur‟an 2261. 70
Muḥammad bin Bahādir bin Abdullāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī „Ulūm al-
Qur‟an, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, t.t.), 55.
46
2. Corak Tafsir
Corak adalah kecenderungan seorang mufassir. Hal itu dilatar
belakangi oleh pendidikan, akidah atau keyakinan dan lingkungan. Oleh
karena itu, bila seorang mufassir adalah seorang yang ahli bahasa, maka
dia menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an menggunakan analisa kebahasaan
yang biasa disebut sebagai corak lughawī. Bila mufassir adalah seorang
pakar dalam meng-istinbaṭ hukum syar‟i, maka dia dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan hukum syar‟i yang biasa
disebut corak fikih. Bila seorang mufassir adalah pakar dalam bidang ilmu
pengetahuan, maka dia akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
menggunakan paradigma ilmu pengetahuan yang biasa disebut corak ilmi
dan lain seterusnya.71
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain;
1. Corak tafsir sastra bahasa atau corak tafsir lughawī, yakni jika
seorang mufassir menafsirkan al-Qur‟an dengan kecenderungan
pendekatan dan analisa kebahasaan, cenderung untuk menganalisa
asal kata, bentuk lafad-lafad dan asal lafad tersebut, kemudian
menggabungkan mulai dari bahasa, naḥwu, sarf, qira‟āt, lalu
membuka dan menjelaskan kata ganti/Ḍamir, kemudian menjelaskan
ayat menggunakan bait-bait syair Arab, dan dilandasi prinsip-prinsip
perkembangan bahasa Arab. Mufassir bercorak sastra dan bahasa
sebelum menjelaskan makna bahasa, dia harus menganalisa berbagai
segi bahasa seperti mufradatnya (kosakata), kata-kata yang sulit, lalu
dia memperhatikan perkembangan bahasa Arab berdasarkan periode
sejarahnya.72
71
Anshori LAL., Tafsir Bil Ra‟yi menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijthad (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010), 88. 72
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 44
47
Timbulnya corak ini dikarenakan banyaknya orang non-Arab yang
memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan orang-orang Arab terhadap
Sastra, sehingga dibutuhkan kejelasan terhadap mereka akan keistimewaan
dan kedalaman kandungan al-Qur‟an.73
2. Corak tafsir falsafī, yakni kecenderungan pendekatan penafsiran al-
Qur‟an dengan filsafat. Untuk menjangkau maksud-maksud yang
esensial yang dikandung ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang
fenomena wujud alam dan penciptanya. Dalam corak falsafī, terbagi
menjadi 2 bagian;
a. Sebagian ahli Filosuf, menggunakan akal semata dalam menafsirkan
al-Qur‟an. Mereka berpandangan bahwa filsafat yunani dengan al-
Qur‟an itu sama, sehingga mereka menyandarkan pikiran
falsafahnya terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang awal mulanya jauh
tidak ada hubungannya dengan ilmu tafsir. Filsafat ini telah
mempengaruhi pada pemikiran dan kehidupan seluruh filosuf
muslim. Sebagian mereka menduga bahwa filsafat merupakan
filsafat akal yang benar, meskipun pembahasannya banyak yang
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akidah Islam dan keluar dari
lingkup akidah. Oleh karena itu, pembahasannya merupakan
pembahasan akal semata. Seorang mufassir tidak menundukkan
teks-teks al-Qur‟an terhadap kaidah-kaidah ini.
b. Langkah-langkah falsafi untuk menjangkau maksud-maksud dasar
dan menjadikan sebuah metode untuk mendalami, menganalisa
secara detail makna ayat al-Qur‟an sesuai dengan ketentuan-
ketentuan tafsir. Sebagaimana usaha akal untuk mengerti makna-
makna al-Qur‟an tunduk pada kaidah-kaidah falsafat. Seperti contoh
73
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 107.
48
Kitab tafsir al-Qur‟ān al-Karīm karya Ṣadr al-Dīn al-Syairāzī yang
dikenal dengan tafsir "صدر املتألني" yang menghimpun antara hikmah
dan pemikiran yang bersifat isyārī dan menggunakan akal untuk
mengurai makna-makna al-Qur‟an.74
Timbulnya corak ini dikarenakan penerjemahan Kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-
agama lain ke dalam Islam yang sadar atau tanpa sadar masih
mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.75
3. Corak tafsir fikih, yakni corak tafsir yang mufassirnya
memperhatikan istinbaṭ hukum-hukum syar‟i terhadap ayat-ayat
yang berkaitan dengan hukum syar‟i yang lima. Seorang mufassir
yang ahli fikih berusaha untuk menetapkan hukum-hukum yang
berupa praktik yang pada umumnya masih bersifat global belum
terperinci dan menambahkan penjelasan terkait hadis untuk
mencapai hukum-hukum amaliyah. Disamping ayat-ayat al-Qur‟an,
mufassir juga diharuskan menguasai kaidah-kaidah fikih.76
Timbulnya corak ini dikarenakan berkembangnya ilmu fikih, dan
terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang setiap kelompok berusaha
untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang berhubungan
dengan hukum.77
Dari sinilah kemudian muncul para Imam Mazhab seperti Abī
Ḥanīfah (150 H), Mālik bin Anas (179 H), Muḥammad bin Idris al-Syāfī‟ī
(204 H), dan Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal (241 H), yang kemudian
74
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 64. 75
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 107-108. 76
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 88. 77
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 108.
49
diikuti oleh para pengikutnya yang memiliki konsentrasi dalam bidang
tafsir, sehingga penafsirannya memiliki kecenderungan terhadap hukum-
hukum fikih dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
Di antara karya mufassir yang memiliki kecenderungan terhadap
corak tafsir fikih ialah;
a. Aḥkām al-Qur‟ān karya al-Jassās yang memiliki corak tafsir fikih
mazhab Ḥanafi.
b. Tafsīr al-Kabīr karya Fakhruddīn al-Rāzī yang memiliki corak
tafsir fikih mazhab Syafī‟ī.
c. Al-Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟ān karya Abū Abdillāh al-Qurṭubī yang
memiliki corak tafsir fikih mazhab Mālikī.
d. Kanzu al-„Irfān fī Fiqh al-Qur‟ān karya Miqdād al-Saiwarī yang
memiliki corak tafsir mazhab Imāmiyah.
4. Corak tafsir „Ilmī, yakni tafsir yang menghimpun idiom-idiom
ilmiah yang ada dalam ungkapan bahasa al-Qur‟an dan berusaha
mengungkap berbagai ilmu pengetahuan dan beberapa pendapat
mengenai filsafat dari ungkapan-ungkapan tersebut.78
Timbulnya
corak ini dikarenakan sejalan berkembangnya zaman dan kemajuan
ilmu pengetahuan maka penafsir berusaha untuk memahami ayat-
ayat al-Qur‟an sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.79
Jika
ditinjau dari sejarah perkembangan tafsir, maka kita akan
menemukan kecenderungan ini (Tafsir ilmī) sudah ada sejak masa
keemasan Dinasti Abbasyiah sampai pada masa kita sekarang ini.
Awalnya hanya berupa usaha untuk memadukan hasil penelitian
ilmiah dengan apa yang ada dalam al-Qur‟an, kemudian menjadi
gagasan yang mulai mengkristal pada karya al-Gazālī, Ibnu Arabī,
78
Muḥammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2 (Kairo: Dār
al-Hadiṡ, 2005), 417. 79
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 108.
50
al-Mursī, al-Suyūṭī, baru kemudian muncul dalam tataran praktik
pada karya tafsir al-Rāzī, dan akhirnya menjadi sebuah kajian
khusus yang diambil dari al-Qur‟an berupa karya yang memuat
beberapa ayat al-Qur‟an mengenai beberapa disiplin ilmu
pengetahuan.80
5. Corak tafsir ṣūfī, yakni tafsir dengan kecenderungan sufistik. Corak
penafsiran seorang sufi yang berpegang teguh pada rasa yang ada
dalam hati yang dapat menjangkau kondisi hati yang sangat dalam,
dengan melatih jiwa, menyingkap batin dan hati tanpa berhubungan
dengan ẓāhir al-āyah. Pendekatan dan kecenderungannya adalah
menjelaskan atas dasar bahasa batin dan mengabaikan hal-hal yang
ẓāhir yang biasa diungkapkan oleh keyakinan orang umum.81
Timbulnya corak ini dikarenakan gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau
sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.82
Tafsir
sufi dibagi menjadi dua bagian, tafsir sufi naẓarī dan tafsir ṣūfī
isyāri. Tafsir ṣūfī naẓarī adalah tafsir sufī yang berlandaskan pada
teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat.83
Sedangkan tafsir ṣūfī isyāri
adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tidak sama dengan makna
lahir dari ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-
isyarat tersembunyi yang nampak pada para pelaku ritual sufistik,
dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir
sebagaimana yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.
80
Muḥammad Husain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2, 425. 81
Muḥammad „Ali Iyāzī, Al-Mufassirūn hayātuhum Wa manhajuhum, 60. 82
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 108. 83
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, 246.
51
Tafsir ṣūfī naẓarī itu dibina atas dasar mukadimah-mukadimah dan
pokok-pokok pikiran yang tercela dalam paham penafsiran-nya. Setelah
itu mufassir menyelewengkan pentakwilan ayat-ayat al-Qur‟an agar sesuai
dengan pokok-pokok pikirannya. Sedangkan tafsir ṣūfī isyāri tidaklah
mengandung hal-hal sebagaimana tafsir naẓarī. Tafsir ṣūfī isyāri dibina
atas dasar riyāḍah kerohanian, yang telah ditetapkan oleh mufassir sufī
bagi dirinya sendiri, yang dengannya ia sampai kepada suatu keadaan
yang bisa menerima isyarat-isyarat dan kelimpahan-kelimpahan ilahi.
Dari sisi lain, tafsir ṣūfī naẓarī menganggap bahwa apa yang
ditafsirkannya itu sudah merupakan segala-galanya dari makna yang
terkandung dalam ayat, sedangkan tafsir ṣūfī isyāri tidaklah mengingkari
makna ẓāhir al-āyah, tidak pula ia menganggap bahwa apa yang
ditafsirkannya itu sudah mencangkup segala yang terkandung dalam
makna ayat.84
6. Corak adabi Ijtimā‟ī memiliki 2 model yaitu:
a. Corak adabi, yakni tafsir dengan kecenderungan dan pendekatan
sastra seperti nahwu, sarf, dan balaghah. Yang kesemuanya itu
berkaitan akan menjelaskan makna dan ketentuannya. Pada
hakikatnya, corak ini mencakup akan corak lughawī, balaghī, dan
bayanī. Hanya saja di antara mufassir terkadang mengambil salah
satu di antara ketiga corak tersebut. Terkadang terlihat bentuk
lughawī, atau balaghī atau nahwiyyah.
b. Seorang mufassir berusaha menafsirkan al-Qur‟an yang terkait
dengan masalah kemanusiaan baik pada ruang lingkupnya,
peranannya dan perbedaan keadaan mereka, seperti antara keadaan
lemah dan kuat, mulia dan hina, kebodohan dan ilmu, iman dan
84
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, 250.
52
kafir. Kemudian mereka membacakannya setelah itu memberikan
petunjuk manusia atau memperbaiki kondisi mereka atau hukum-
hukum mereka. Dalam hal ini seorang mufassir cenderung untuk
mengetahui keadaan sosial dan sejarah.85
Corak Ijtimā‟ī, artinya
penafsir melakukan penafsiran untuk memahami keadaan sosial dan
kebutuhan masa kini. Dalam hal ini, seorang mufassir
menggabungkan tujuan agama di dalam al-Qur‟an dengan tujuan
sosial. Atau bisa dikatakan sebagai upaya melaksanakan ajaran al-
Qur‟an pada realitas sosial atas dasar prinsip-prinsip al-Qur‟an.86
Pada masa Muḥammad Abduh (1849-1905 M.), corak-corak yang
telah dijelaskan di atas mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju
kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. yakni sebuah corak yang
menjelaskan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha
untuk menanggulanginya, masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-
petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk
tersebut dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.87
D. Ittijāh
Ittijāh88
adalah sebuah arah mufassir dalam berpandangan,
bermazhab, serta berpedoman akidah baik berakidah sunnah, Syiah,
Muktazilah, dan asy‟ariyah. dalam menafsirkan al-Qur‟an mereka
mengikuti (taqlīd) terhadap Ulama terdahulu atau mereka menemukan
cara baru dalam menafsirkan al-Qur‟an (tajdīd). Menafsirkan al-Qur‟an
85
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 53. 86
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 42. 87
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 108. 88
Pengertian Ittijāh sama dengan I‟tiqad yang akrab disebut dengan teologis. Hal
ini menimbulkan corak penafsiran kalam, karena berbeda paham antara satu dengan yang
lain. Abdul Mustaqim menuturkan bahwa corak kalam adalah bentuk produk yang lebih
mementingkan kelompok teologis tertentu, bahkan produk ini lebih berbicara tentang
tema-tema teologis dibanding menguak pesan-pesan pokok al-Qur‟an. Lihat Abdul
Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir Dari Periode Klasik Hingga Kontemporer (Bandung:
Mizan, 2007), 74.
53
dengan akal ataukah dengan menukil dalam al-Quran, Sunnah, ataupun
Kitab tafsir yang terdahulu, atau mengkomparasikan keduanya. Hal
tersebut akan mempengaruhi mufassir dalam penafsirannya terhadap al-
Qur‟an.89
KH. Ahmad Yasin sangat berpedoman pada akidah ahlusunnah wal
jamaah, hal tersebut tampak sejalan dengan buku karya tulis beliau yang
membahas masalah-masalah yang ada tampak sejalan dengan tulisan
beliau yang menjelaskan ajaran paham Wahabiyyah, Khawārij, Hizbut
Taḥrir dan paham Syiah. Menurut KH. Ahmad Yasin sebagian ajaran
mereka termasuk dalam ajaran yang menyimpang, karena sebagian paham
akidah mereka dinilai telah bertolak belakang dari paham Ahlusunnah wal
Jamaah.
89
Muḥammad „Ali Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayatuhum wa manhajuhum, 32.
54
55
BAB III
KH. Ahmad Yasin Asymuni: Biografi dan Pemikirannya
KH. Ahmad Yasin Asymuni merupakan seorang mufassir yang
lahir di kalangan keluarga Pondok Pesantren. Pondok Pesantren identik
dengan musyawarah/diskusi, serta mengaji dan mengkaji kitab kuning
menjadikan beliau terlatih dalam menghadapi persoalan-persoalan
keagamaan, baik di Pondok maupun di kalangan masyarakat. Dengan
kecerdasannya, beliau mampu menghasilkan tulisan-tulisan yang
membahas hampir seluruh fan bidang keagamaan, terutama dalam bidang
fikih, akhlak, tafsir dan lain sebagainya. Penulis menjelaskan dalam bab
berikut kehidupan KH. Ahmad Yasin berikut lingkungan, pendidikan serta
pemikirannya karena hal tersebut dapat mempengaruhi KH. Ahmad Yasin
dalam menafsirkan al-Qur‟an.
A. Biografi
1. Latar Belakang
Beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1963 di Dusun Pethuk, sekitar
tujuh kilometer dari pusat Kota Kediri. Tepatnya adalah di Dusun Pethuk,
Desa Poh Rubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Beliau dilahirkan
dari pasangan KH. Asymuni dan Nyai Hj. Muthmainnah. Ayah beliau
merupakan tokoh agama yang dipandang alim dan mumpuni dalam
berbagai fan ilmu agama terutama di bidang ilmu fikih, falak, tasawuf.
KH. Asymuni sendiri diketahui telah hafal Kitab al-Ḥikam karya Ibnu
Aṭaillāh.
Ahmad Yasin mempunyai nama lengkap Ahmad Yasin bin KH.
Asymuni bin KH. Fahri bin KH. Ihsan bin KH. Hakam. Silsilahnya jika di
runut sampai kepada Sunan Bayat yang merupakan salah satu murid dari
56
Sunan Kalijaga. Dalam urutan keluarga, Ahmad Yasin merupakan putra
keenam dari sebelas bersaudara.1
Pada usia balita, beliau tidak jauh berbeda dengan anak-anak
seusianya yang suka bermain. Ketika beliau berusia 6 sampai 12 tahun
mulai terlihat tanda-tanda kealiman dan kecerdasannya. Ahmad Yasin
terlihat lebih cerdas dan dewasa dibanding teman-teman seusianya, serta
sering kali dijadikan sebagai pemimpin dan sering menjadi penengah
apabila terjadi perselisihan antar temannya.2
2. Pendidikan dan Karier
Di usia 6 tahun, Ahmad Yasin mulai mengenyam pendidikan. Pagi
hari beliau mengikuti pendidikan SD (Sekolah Dasar), sore harinya
sekolah di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri), dan pada malam harinya
beliau belajar kepada ayahandanya sendiri KH. Asymuni. Di bawah
bimbingan ayahnya ini ia belajar membaca al-Qur‟an, menulis Arab,
memahami dasar-dasar kaidah, fikih, tajwid, dan lain-lain.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1975 beliau telah lulus
Sekolah Dasar (SD), selanjutnya melanjutkan pendidikan menengahnya di
Madrasah Hidayatul Mubtadi‟ien Lirboyo, Kota Kediri yang berjarak
kurang lebih 5 kilometer dari tempat tinggalnya, Dusun Pethuk
dikarenakan pada saat itu beliau tidak bermukim di Pondok Pesantren
Lirboyo, Ahmad Yasin setiap hari menempuh perjalanan kurang lebih 5
1 Karena biografi KH. Ahmad Yasin Asymuni sudah tertulis lengkap di situs
website Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, maka KH. Ahmad Yasin Asymuni
menganjurkan untuk mengunjungi; http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-
ppht/ (05 Desember 2018, 15.08); KH. Ahmad Yasin Asymuni (Pengasuh Pondok
Pesantren Hidayatut Thullab), diwawancarai oleh Achmad Choirul Amin, Ponpes
Hidayatut Thullab, Pethuk, 08 Juli 2018, Kediri. 2 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018, jam 23.22 WIB.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
57
kilometer dengan naik sepeda kayuh.3 Pada tahun 1979 bertepatan saat
beliau kelas 2 Tsanawiyah, Ahmad Yasin Asymuni telah berhasil
menyelesaikan pelajaran Alfiyah Ibnu Mālik. Pada masa akhir pendidikan
Tsanawiyah, beliau dinobatkan sebagai siswa teladan. Menariknya, pada
saat itu belum ada santri yang nduduk4 yang menjadi siswa teladan selain
Ahmad Yasin.
Ahmad Yasin mulai bermukim di Pondok Pesantren Lirboyo pada
tahun pertama Madrasah Aliyah (MA) agar kegiatan belajar lebih efektif
dan fokus pada pelajaran. Tanpa terasa pada tahun 1982, Ahmad Yasin
telah menyelesaikan pendidikan Aliyahnya. Tercatat lebih dari 18 tahun
beliau menempuh pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo.5 Di tahun
1983, beliau diangkat sebagai guru bantu (munawwib) di kelas 6
Ibtidaiyah. Pada tahun 1984 beliau diangkat menjadi guru tetap (mustahiq)
kelas 4 Ibtidaiyah Pondok Pesantren Lirboyo.6
Berbeda dengan santri pada umumnya, sejak tahun 1979 sampai
tahun 1988 Ahmad Yasin menghabiskan waktunya di bulan Ramadan
dengan mengikuti pengajian kilatan di Pondok-Pondok Pesantren, seperti
Pondok Pesantren Batokan Kediri, Sumber Kepoh Nganjuk, Suruh
Nganjuk, Pacul Gowang Jombang, dan Ngunut Tulungagung. Tahun 1989,
beliau mulai membaca kitab-kitab dengan sistem kilatan sampai sekarang
di Pondok Pethuk. Tahun 1989 juga, Ahmad Yasin diangkat menjadi
mudīr (Kepala Sekolah) sampai tahun 1993 bersamaan dengan selesainya
jabatan sebagai mustahiq di kelas 3 Aliyah Lirboyo. Konon belum pernah
3 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 4 Nduduk ialah sebutan kepada santri yang tidak bermukim atau menetap di
Pondok Pesantren. Melainkan pulang pergi ke rumah dan akan kembali ke Pesantren
ketika kegiatan belajar di mulai. 5 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 6 Aturan pada waktu itu serupa dengan aturan sekarang, yakni mustahiq mengikuti
dan mendampingi muridnya dari kelas ke kelas hingga kelas 3 Aliyah.
58
ada di Lirboyo seorang mustahiq merangkap menjadi mudīr, kecuali
Ahmad Yasin.7
Setelah Ahmad Yasin tamat sekolah, waktu beliau dihabiskan untuk
menelaah dan mendalami kitab-kitab kuning terutama dalam bidang fikih.
Satu persatu dipelajari, diberi makna, dan dicatat bila ditemukan
keterangan yang dapat menjawab setiap persoalan masyarakat baik
bersifat kasuistik (kasus), insidentil (kejadian), atau masalah lama yang
perlu diketahui masyarakat sesuai dengan perkembangan teknologi dan
pengaruh global.
Prinsip KH. Ahmad Yasin: ”Menuntut ilmu tidak ada batas umur
dan tidak mengenal waktu.” Prinsip inilah yang selalu mendorong beliau
menelaah kitab-kitab/buku-buku yang dikarang orang dahulu (Kutub al-
Turāṡ) atau kontemporer (Muāṡarah). Walaupun sudah menjadi guru serta
diangkat menjadi mudīr madrasah (Kepala Sekolah), sampai sekarang
beliau masih tetap gemar membaca.8
Ahmad Yasin sering membacakan kitab di Pesantren Lirboyo.
Beliau tercatat sebagai pembaca kitab terbanyak saat itu. Kajian kitab
kuning beliau kurang lebih diikuti oleh 300 sampai 500 santri. Ahmad
Yasin mulai membaca kitab kuning pada tahun 1985 M. Kitab yang
pertama dibacakannya adalah kitab Majmu‟ Sharfiyyah, lalu di masa
mendatang beliau membacakan kitab dalam berbagai bidang ilmu seperti
ilmu nahwu, balaghah, ṣarf, fikih, tafsir, hadis dan lain-lain.9
Ilmu fikih adalah ilmu yang lebih ditekuni oleh Ahmad Yasin karena
beliau menganggap bahwa ilmu fikih merupakan ilmu tentang semua
7 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 8 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 9 Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
59
hukum Allah, sedangkan semua kehidupan manusia tidak akan terlepas
dari hukum fikih. Fikih menurut Ahmad Yasin sangat besar manfaatnya.
Pada tahun 1993, Ahmad Yasin Asymuni merintis Pondok Pesantren yang
dahulu pernah didirikan oleh kakeknya pada tahun 1890-an dengan nama
“Pondok Pesantren Takhaṡuṡ Fikih Hidayatut Thullab.” Lokasi Pesantren
ini terletak di Desa Semen, Pethuk, Kediri Jawa Timur. Pondok tersebut
hingga sekarang lebih dikenal dengan sebutan “Pondok Pethuk.”10
Setelah selesai masa pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo,
Ahmad Yasin pulang ke rumah dan menikah dengan Hamimah dari Kota
Probolinggo yang masih merupakan keponakan dari KH. Idris Ramli dari
Lirboyo. Dari pernikahannya, beliau memiliki 7 anak, 3 putra dan 4
putri.11
Pada tahun 1983 Ahmad Yasin mengawali kiprahnya yang lebih luas
dalam diskursus Islam dengan menjadi ketua pengurus baḥṡul masāil di
Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau tercatat sebagai perintis baḥṡul masāil
setelah sekian lama fatrāh (vakum). Karena kepiawaian dan
kecerdasannya ini ia kerap menjadi utusan untuk menjadi wakil delegasi
baḥṡul masāil dari Pondok Pesantren Lirboyo yang diadakan oleh Pondok-
Pondok Pesantren, RMI (Rābithah Ma‟had Islāmiyah) pusat dan LBM
NU. Tak jarang beliau ditunjuk sebagai Tim perumus di setiap
musyawarah baḥṡul masāil, Munas Alim Ulama‟, bahkan Muktamar NU
pada tahun 1989 yang diadakan di Krapyak Jogjakarta. Pada empat tahun
setelahnya, Ahmad Yasin memperoleh kepercayaan menjadi Musaḥiḥ
FMPP mulai tahun 1992 sampai 2010. Dua tahun menjabat sebagai ketua
LBM NU Jawa Timur kemudian diangkat menjadi pengurus syuriyah NU
10
Ahmad Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, 09.20). 11
F. Nur Hidayatullah, “Penafsiran Ba‟ dalam Basmalah: analisis naskah kitab
Tafsir Bismillahirrahmanirrahim karya Ahmad Yasin Asmuni” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Surabaya, 2017), 41.
60
Jawa Timur, (menurut ketentuan AD/ART, syuriyah tidak boleh
merangkap jabatan pada lembaga) dan menjadi wakil LBM NU pusat
(PBNU) hingga tahun 2010 dan tahun 2015 sampai sekarang beliau
menjadi Tim Ahli di LBM NU pusat.12
3. Karya-karya
Dalam hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص:
"لن ت زول قدما عبد ي وم بن جبل قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:عن معاذ ن القيامة حت يسأل عن أربع خصال: عن عمره فيما أف ناه، وعن شبابو فيما أبله، وع
ارمي(رواه (اكتسبو وفيما أن فقو، وعن علمو ماذا عمل فيو". مالو من أين 13.الدArtinya: ”(dari Mu'ādz bin jabal berkata; Rasulullah :bersabda ملسو هيلع هللا ىلص
"Tidaklah kaki seorang hamba bergeser (dari tempat penantiannya) pada
hari kiamat hingga ia ditanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa ia
habiskan, tentang badannya untuk apa ia gunakan, tentang harta dari mana
ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang ilmu untuk apa ia
amalkan). (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Dārimī)”.
Salah satu isi dari hadis di atas membuat KH. Ahmad Yasin berpikir
untuk menyebarkan ilmu, terutama yang telah dipelajarinya dari Pondok
Pesantren. Beliau menyampaikan bahwa berdakwah itu bisa dilakukan
dengan 3 hal:
1. Memberikan contoh perilaku yang baik (Uswatun Ḥasanah)
kepada masyarakat.
2. Mengajarkan melalui lisan, yakni dengan mengajar, membaca
kitab, halaqoh, ceramah, mauidoh hasanah, dialog dan lain
sebagainya.
3. Melalui karya tulis.
12
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 13
Abdullāh bin Abdurrahmān Al-Dārimī, Sunan Al-Dārimī, jilid 2 (Maktabah
Syamilah: al-Misriyah, t.t.), 94.
61
Pada tahun 1989 beliau mulai berdakwah dengan tulisan. Karya tulis
perdananya berjudul Tashil al-Muḍaḥī dengan menggunakan bahasa Jawa
kemudian buku Tashil al-„Awām yang berbahasa Jawa dan berisi 300
pertanyaan tanya jawab masalah agama.
Setelah setahun, beliau mengevaluasi dan menganggap kedua kitab
tersebut kurang diminati masyarakat. Kemudian beliau mencoba menulis
menggunakan bahasa Arab dengan judul Risālah al-Jamā‟ah dan Taḥqīq
al-Ḥayawān.
Akibat pengalihan bahasa pada karya tulisnya dari bahasa Jawa ke
bahasa Arab, minat masyarakat dan para pencari ilmu semakin bertambah
dan pertambahannya sangatlah pesat. Sampai sekarang tahun 2019 tercatat
220-an judul kitab (hampir kesemuanya menggunakan bahasa Arab) karya
KH. Ahmad Yasin banyak diminati oleh masyarakat, terutama di kalangan
Pondok-Pondok Pesantren, seperti di Jawa, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, bahkan sampai ke luar negeri seperti; Malaysia, Timur Tengah,
dan Inggris. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya masyarakat
yang mempelajari karya beliau dan juga banyaknya orang yang datang
secara langsung ke Pondok Pethuk untuk meminta ijazah (meminta izin)
untuk mempelajari kitab-kitab yang disusun oleh KH. Ahmad Yasin.
Bahkan di Perpustakaan PBNU karya beliau juga ditaruh berjajaran
dengan karya tokoh-tokoh nasional, seperti KH. A. Shiddiq dari Jember,
KH. Sahal Mahfud dari Pati dan lain-lain.14
Tercatat tahun 1989 sampai tahun 2010 terdapat kurang lebih 150
kitab yang telah di susun oleh KH. Ahmad Yasin dan pada tahun 2019
beliau sudah menulis 220-an kitab yang sebagian banyak karangannya
menggunakan bahasa Arab. Tulisan beliau meliputi semua bidang fan ilmu
14
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
62
agama, seperti fikih, tasawuf, tafsir, hadis dan lain-lain.15
Karya-karya
KH. Ahmad Yasin antara lain:
3.1. Nama Kitab dan penjelas
NO NAMA KITAB PENJELAS
1. Tashil al-Muḍaḥī, Kitab ini menggunakan bahasa Jawa,
kitab pertama yang ditulis oleh KH.
Ahmad Yasin
2. Tashil al-„Awām Kitab ini menggunakan bahasa Jawa,
kitab kedua KH. Ahmad Yasin yang
berisi 300 pertanyaan tanya jawab
masalah agama.
3. Tashil al-Ṭullāb Kitab ini menggunakan bahasa
Indonesia.
4. Ḥikayat al-Mu‟ażżibīn Kitab ini menggunakan bahasa Arab,
kitab yang menceritakan nikmat dan
siksa di dalam kubur. Kitab ini ditulis
berdasarkan pengalaman metafisik
pribadi KH. Ahmad Yasin.
5. Mughayyabāt fī al-Jawāh
wa al-Masjid al-Ḥarām
wa al-Masjid al-Nabāwi,
Kitab ini hampir sama dengan Kitab
Ḥikayat al-Mu‟ażżibīn, yang
menjelaskan hal-hal gaib yang ada di
tanah Jawa, Kota Mekah dan Kota
Madinah.16
6. Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Kitab ini berisi tentang tafsir ayat
Bismillāhirraḥmānirraḥīm serta
menjelaskan tentang faedah dan
keutamaan membaca Basmalah.
7. Masāil al-Ṣalāt Kitab ini berisi tentang masalah-
masalah yang terkait dengan ibadah
solat.
8. Makārimul Aḥlaq Kitab ini berisi tentang cara
memperbaiki akhlak.17
9. Masāil fī Iḥżar „alā al- Kitab ini berisi tentang masalah-
15
Ahmad Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, jam 09.20). 16
Ketika menulis kitab ini, Ahmad Yasin bertemu dengan Nabi Muḥammad Saw.
dalam mimpi 3 kali dan diajari bacaan solawat al-Fatih sebanyak 3 kali beserta arti dan
pemahamannya. Keterangan ini berasal dari keterangan beliau waktu Ijazah Kubro di
Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, Kediri, Jum‟at, 12 April 2019. 17
Ahmad Yasin, Makārimul Akhlāq (Kediri: Pondok Pesantren Hidayatut Thullab
Pethuk, 2007).
63
Wahabiyyah masalah dalam menghadapi orang-
orang wahabi.
3.2. Nama-nama Kitab tanpa penjelas
No Nama Kitab No Nama Kitab
10. Adāb al-„Alīm wa al-
Muta‟allīm
11. Adāb fī al-Dīn.
12. Adāb al-Murīd I 13. Adāb al-Murīd II
14. Adāb al-Ṣuhbah 15. Adāb al-Zifāf
16. Adāb al-Naum Isṭiqāẓ 17. Adāb al-Mu‟asyarāh
18. Adilah Marāji‟ A‟malī Ahli
Sunnah
19. „Adl wa faḍāiluhu
20. Ad‟iyyah Mustajabāh 21. Afātul Lisān
22. Aḥabbul Asma‟ wa al-A‟māl
ila Allāh
23. Aḥadiṡ al-Adāb
24. Aḥadiṡ al-Nikāh 25. Aḥadiṡ al-Qudsiyyah
26. Ahammul „A‟mal 27. Ahl al-Sunnah wa al-
Jamā‟ah18
28. Ahl al-Sunnah wa
Khaṣaiṣuhum ahl al-Bid‟ah.19
29. Aḥwāl al-Qiyāmah
30. Ajāib al-Nabī 31. „Alam al-Jin
32. Alfāẓu ṣalawat 33. Al-Adwā‟
34. Al-Adān wa al-Iqamah 35. Al-Aṣl
36. Al-Hawa wa al-Syahwah 37. Al-Mu‟jizat I
38. Al-Mu‟jizat II 39. Al-Waṣiyyah
18
Ahmad Yasin, Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk,
t.t). 19
Ahmad Yasin, Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-Bid‟ah (Kediri:
Pondok Pesantren Pethuk, t.t).
64
40. Amal Bil Ma‟ruf 41. Amr Bil Ma‟ruf
42. Amal Jariyah 43. A‟māl al-Qulūb
44. Anwa‟ul Kalimī an al-Nabī
45. Aqīqah Aḥkāmuha wa
Faḍāiluha
46. Aql wa al-Hawā 47. Aqwāl al-„Ulamā‟
48. Asās al-Ṭuruqāh 49. Asbāb al-„Uqubah
50. Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh20
51. Aṣḥāb al-Uḥdūd
52. Asmā‟ al-Ḥusnā 53. Asrār al-Ṣalāh
54. Al-Syafa‟ah 55. Asyrāh al-Sa‟ah
56. Al-Taqwa 57. Badai‟uz Ẓuhur
58. Bakhīl wa Munfiq 59. al-Basmalah min jihati
funūn21
60. Bir al-Wālidain 61 Dār al-Barzah
62 Dawāul Qulūb 63 Ḍalalah al-Aqidah al-Syi‟ah
64 Ẓam al-Gībah 65 Durār al-Saniyyah
66 Faḍāil al-A‟mal I 67 Faḍāil al-A‟mal II
68 Faḍāil al-A‟mal III 69 Faḍāil al-Auliyā`
70 Faḍāil al-bukā` 71 Faḍāil al-Ẓikr
72 Faḍāil al-Ḥajj al-Bait 73 Faḍāil al-Ḥilmi wa al-Ṣabr
74 Faḍāil al-„Ibādah 75 Faḍāil al-„Idain
76 Faḍāil al-Qur‟ān 77 Faḍāil al-Qana‟āh
78 Faḍāil al-Syahr Rajab 79 Faḍāil al-Syahr Ramaḍān
80 Faḍāil al-Syukr 81 Faḍāil al-Suwar22
82 Faḍāil al-Tahajjud 83 Faḍāil al-Tawaḍu‟
20
Ahmad Yasin, Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk,
t.t.). 21
Ahmad Yasin, al-Basmalah min jihati funūn (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk,
1416 H). 22
Ahmad Yasin, Faḍāil al-Suwar (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk, t.t.).
65
84 Faḍāil Yaum al-Jum‟āh 85 Faḍāil al-Warā‟
86 Faḍāil al-Warā‟ 87 Fajr al-Ṣadiq
88 Fatawā al-Rasūl 89 Fath al-Izār lī Rajā‟i Walad
Ṣalih
90 Fawāid fī al-Nikāh 91 Farq baina „Ulamā` al-
Dunya wa al-Akhirah
92 Fiqh al-Ṣiyām wa Adillatuhu
wa Asrāruhu
93 Fiqh Ṭaharah wa Adillatuhu
94 Fiqh Zakāh 95 Firāsah al-Mu`min
96 Ḥaṡ al-Ikhtirāf 97 Ḥāsibū Qabla An Tuḥāsabū
98 Ḥikāyah al-„Ājibah 99 Ḥikāyah al-Ṣīn
100 Ḥikāyah al-Ẓorīfah 101 Ḥikāyah al-Ḥayawān
102 Ḥikāyah al-„Ibādah 103 Ḥikāyah al-Ṣalihīn
104 Ḥikām wa Mawāiẓ 105 Ḥikām al-Tasyrī‟ al-Ṣalāh
106 Ḥiwarul Usrati 107 Ḥubb al-Nabī
108 Ḥuqūq Zaujain 109 Ḥusnuẓan bī Allāh
110 Ijtihad wa Taqlīd 111 Ikhlāṣ wa Yaqīn
112 Ikhtilāf Zaujain 113 Ikrām al-Ḍayyif wa al-Jūd
114 „Ilm wa Amal 115 Īmān bī al-Qadr
116 Inna al-Ṣalāh 117 Innama Ya‟muru Masājid al-
Allāh
118 Iṡbah al-Karāmah 119 Islamiyyah wa Jahiliyyah
120 Ismul A‟ẓom wa Asmāul Ḥusna 121 Istigosah bi al-Nabī
122 Istijabah Do‟ain Nabī 123 Istikharah
124 Isyarah al-Nabawiyyah 125 Jannah wa Na‟īmuha
126 Kabāir wa Zawājir I 127 Kabāir wa Zawājir II
128 Karamah al-Auliyā` 129 Karamah al-Ṣaḥabah
66
130 Karamah al-Syaikh „Abd al-
Qadīr al-Jailānī
131 Kiżb wa Nifāq wa Afātuhuma
132 Kitāb al-Mawāiż 133 Khalqu Adām wa al-Jan
134 Khaṣaiṣ Ism al-Allāh al-Ṣamad 135 Kullukum Mas‟ūlūn
Khulaṣah Taṣanif
136 Khuṭabah al-Nabī 137 Khuṭabah al-Ṣaḥabah
138 Lāilāha illā Allāh 139 Lam‟atul Furūq
140 Ma‟āṣil Baṭinah 141 Ma‟āṣid Ẓohīrah
142 Mab‟aṡun Nabī 143 Magfirah al-Rahmān
144 Manāfi‟ al-Do‟a wa Żikr 145 Manāfi‟ wa Maḍarrul Māl
146 Manāqib al-Gāzalī 147 Manhaj al-Mau‟iẓah
148 Masāil al-Ba‟ 149 Masāil fī iḥdar „ala Ḥizb
Taḥrīr
150 Masāil fī iḥdar „ala Khawārij
wa al-Mu‟tazilah
151 Masāil fī iḥdar „ala Syi‟ah
152 Masāil fī iḥdar „ala al-
Wahabiyyah
153 Masāil fī istiqamah wa al-
Karamah
154 Masāil fī Mar‟ah Ṣalihah 155 Masāil Fiqh Siyasah
156 Masāil fī Rad „ala Aqwāl al-
Wahabiyyah
157 Masāil al-Ḥaiḍ
158 Masāil al-Jamā‟ah wa al-
Jumū‟ah
159 Masāil al-Nikāh
160 Masāil al-Ṭaharah 161 Masāil al-Ṣiyām\
162 Masāil al-Ṣalāh 163 Masyāhir al-Fuqahā
164 Mau‟iẓoh bi al-Ḥikāyah 165 Mā wa‟adar Rasūl wa
Dukhul al-Jannah
166 Mawaiẓ al-Nabī wa Ṣaḥabah 167 Mujahadah al-Nafsī
168 Munjiyyat min Ażab al-Qabr 169 Mutaḥabbun fī al-Allāh
67
170 Naba‟ul Khaḍīr 171 Nār wa Syażaiż „Ażabiha
172 Nisā Ahl al-Jannah 173 Niswah al-Ṣufiyyah
174 Qiṣṣah Tawwabīn 175 Qiṣṣah Uqubati Zaman al-
Anbiyā`
176 Qurratul „Uyūn 177 Risālah al-Jamā‟ah
178 Risālah al-Ṣiyām 179 Riwāyah „Ajāib al-Gorībah
180 Riwāyah fī al-Tāibīn 181 Sa‟aduz Zaujain fī Darain
182 Sa‟atus Syams 183 Sa‟atul Qamar
184 Syayāṭīn wa Anbiyā` 185 Syayāṭīn wa „Ibād al-Allāh
186 Ṣifatul Munāfiqīn 187 Ṣilaturraḥīm
188 Syifa` bī Do‟a I 189 Syifa` bī Do‟a II
190 Ṣalāh al-Lailiyyah 191 Ṣuḥḥul Mar`i
192 Ṣuḥuf Mūsa 193 Ta`bīr Ru`ya I
194 Ta`bīr Ru`ya II 195 Ta`bīr Ru`ya III
196 Taḍarru‟ ilā al-Allāh 197 Tafrikhul Khaṭīr
198 Taḥammul Syażaiż fī Da‟watin
Nabī
199 Tagliẓu Masawi‟il Aḥlaq
200 Taḥlīl wa al-Fawāiduhu 201 Taḥsīnat Minassyaiṭan
202 Taḥqiq al-Ḥayawān 203 Talbiṡ al-Iblīs
204 Tarbiyah al-Walad
205 Targīb wa Tarhīb fī Imārah
wa al-Amānah
206 Targīb wa Tarhīb fī al-Nikāh
207 Targīb wa Tarhīb Ṣadaqah
al-Wājibāh
208 Taṣfiyah al-Qulūb 209 Taṣliyah Ahl al-Maṣaib
210 Taubatan Naṣuḥa 211 Uḍḥiyyah Aḥkāmuha wa
Faḍailuha
212 Ukhuwah fī al-Allāh „Azza wa 213 „Użmatu Qadriṣ Ṣalāh
68
Jalla
214 Uqūbah fī al-Dunya 215 Wa „Allama Adam
216 Waṣiyyah Liyakūna min Ahl al-
Jannah
217 Waṣaya „Inda Ḥuḍūr al-
Maut
218 Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah 219 Tafsīr al-Fātiḥah
220 Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ 221 Tafsīr al-Mu‟āwiżatain
222 Tafsīr Mā Aṣābak 223 Tafsīr Ḥasbunallāh wa
ni‟ma al-wakīl
224 Tafsīr Sūrah al-Qadr 225 Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn
226 Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-
Āyah
227 Tafsīr Āyah al-Kursī
Di atas adalah karya yang ditulis oleh KH. Ahmad Yasin baik yang
sudah diberi makna Jawa (pegon) atau belum diberi makna.23
Dalam
bidang tafsir, Kitab tafsir pertama yang beliau tulis ialah Muqaddimah
Tafsīr al-Fātiḥah. Kitab tersebut selesai pada tanggal 3 Rabiul Awal 1411
H tepatnya pada hari Sabtu, 22 September 1990 M Kemudian beliau
menulis Kitab Tafsīr al-Fātiḥah yang diselesaikan pada 12 Rabiul Awal
1412 H tepatnya pada hari Sabtu, 21 September 1991 M Selang setahun
kemudian beliau telah menulis Kitab Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ yang selesai
pada 20 Muharram 1413 H (1992 M.). Pada tahun 1414 H/1993 M beliau
mampu menyelesaikan tiga Kitab tafsir sekaligus, yakni Kitab Tafsīr Āyah
al-Kursī, Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl dan Tafsīr Mā Ashābak. Setelah
beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1416 H bulan rajab atau
bertepatan bulan Desember 1995 M ditulis Kitab Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm. Kemudian ditahun-tahun berikutnya beliau
23
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
69
juga menulis kitab tafsir yang lain, seperti Kitab Tafsīr al-Mu‟āwiżatain,
Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, dan Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah. pada saat ini, di tahun 2019 beliau telah menulis 11 kitab
Tafsir al-Qur‟an dan ada juga beberapa kitab yang berkaitan dengan al-
Qur‟an dan ilmu al-Qur‟an; seperti al-Basmalah min jihati funūn, faḍāil
al-suwar, dan lainnya.
Sistematika penulisan kitab tafsir karya KH. Ahmad Yasin secara
keseluruhan menggunakan bahasa Arab dan menggunakan alat bantu
bermakna jawa (pegon) yang ditulis dibawah tafsir dengan tulisan yang
miring.24
Kitab-kitab tafsir ini keseluruhannya dicetak oleh Maktabah
Ma‟had al-Islām al-Salaf Hidayatut Thullab, Pethuk-Semen-Kediri.
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir secara umum sebagai berikut:
a. Menjelaskan Asbābun Nuzūl ayat al-Qur‟an atau surah al-Qur‟an
b. Penamaan sebutan terhadap sebuah ayat al-Qur‟an atau surah al-
Qur‟an tertentu
c. Keutamaan dari ayat al-Qur‟an atau surah al-Qur‟an
d. Penafsiran per-kata atau per-kalimat dengan didukung oleh ayat
yang lain, Hadis, riwayat sahabat, dan tabiin serta penjelasan
yang terkait dengan ayat tersebut dan tahapan ini diberi judul
“Bab Tafsir ayat ini atau Bab Tafsir surah ini”.25
Di antara motivasi penulisan kitab, beliau terinspirasi oleh kakek
beliau dalam menafsirkan al-Qur‟an. sebagaimana contoh ketika kakek
beliau menafsirkan lafad alḥamdu beliau menyarankan KH. Ahmad Yasin
agar menafsirkan dengan jalan makrifat agar memahami lafad tersebut
24
Pegon dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aksara Arab yang
digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan oleh KH. Ahmad Yasin
guna memudahkan penerjemahan kosakata yang dianggap sulit bagi masyarakat terutama
bagi para pembaca yang berlatar belakang santri. 25
Ahmad Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, jam 09.20).
70
mendetail secara utuh.26
akan tetapi kakek beliau belum sempat
membukukan apa yang ada dalam pikirannya dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Hal tersebut membuat KH. Ahmad Yasin Asymuni termotivasi
untuk menulis. Beliau juga mencantumkan dalam salah satu mukadimah
tafsir-Nya:
يعها يعو ف الفاتة وج مة ف القرآن الكري وج ت قد
يع ما ف الكتب امل ف البسملة إن جقائق متوية ولعلو نطوية وىي على كل احلقائق والد
يعها تت ن قطة الباء امل أشار وج
فريد ها مدار سلوك أىل الت وحيد الت علي .ال ن قطة الت
Artinya: “Sesungguhnya semua hal yang terkandung dari kitab-
kitab terdahulu terkumpul dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an sendiri
terkumpul dalam sūrah al-Fātiḥah. Dan sūrah al-Fātiḥah sendiri
terkumpul dalam basmalah dan basmalah sendiri terkumpul dalam titik
huruf ba‟. Di ba‟ terkumpul semua hakikat yang terdalam dan
menunjukkan isyarat ke-tauhid-an di dalamnya.”27
Perkataan ulama di atas dinukil oleh KH. Ahmad Yasin; sehingga
membuat beliau termotivasi untuk menulis Kitab Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm dan ada beberapa faktor lainnya, seperti banyak
permintaan dan kebutuhan masyarakat mengenai tafsir. Oleh karena itu selain
ada penafsiran ayat al-Qur‟an atau surah al-Qur‟an beliau juga
mencantumkan hikmah, keutamaan dan keistimewaan ayat al-Qur‟an atau
surah al-Qur‟an tersebut.
4. Kredibilitas
Kealiman dan ketekunan KH. Ahmad Yasin yang menjadikan beliau
dikenal di masyarakat, bukan hanya di Kota Kediri saja, akan tetapi
hampir di seluruh Indonesia. Kecerdasan beliau sudah terlihat sejak di usia
muda. Ketika beliau sudah beranjak dewasa sudah mampu menjadi
panutan umat. Di masa mudanya Ahmad Yasin dikenal sebagai ahli dalam
bidang baḥṡul masāil. Beliau juga sering ditunjuk untuk menjadi musoḥiḥ
26
Ahmad Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, jam 09.20). 27
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1416 H), 2.
71
Baḥṡul masāil yang diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo maupun
Lembaga Baḥṡul Masāil Nahdlatul ‟Ulama‟ (LBM NU). Beliau juga
dikenal sebagai ulama yang multi talent, karena hampir semua fan ilmu
keislaman beliau kuasai. Selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren
Hidayatut Thullab, beliau juga dikenal sebagai ṭabīb/ahli pengobatan.28
Pada tahun 2003, KH. Ahmad Yasin mengaku didatangi oleh
seorang penulis dan cendekiawan muslim dari negara Inggris yang
bernama Mr. Yakiti. Dia (Mr.Yakiti) meminta izin mencatat nama KH.
Ahmad Yasin untuk dimasukkan dalam 100 tokoh Islam dunia
dikarenakan karya tulis beliau sudah banyak dipelajari di Inggris. Hal ini
membuat Mr. Yakiti semakin bersimpati kepada KH. Ahmad Yasin.
Selain meminta izin, Mr. Yakiti juga ingin menanyakan sesuatu kepada
KH. Ahmad Yasin. Dengan membawa fotokopi karya tulis Imam al-
Gazālī yang membahas mengenai falsafah dan baru ditemukan di Iran,
karena banyak tulisannya yang hilang beliau dimintai tolong untuk
mengisi yang hilang dan menerangkan maksudnya. Setelah dijelaskan
dengan bahasa Arab, Mr. Yakiti manggut-manggut mengiyakan sambil
berkata, ”Ini sudah saya tanyakan kepada ulama Timur Tengah, ulama
Malaysia dan ulama Indonesia baru sekarang saya paham.”. Pria ini juga
bertanya kepada KH. Ahmad Yasin mengenai sikapnya atas teroris. KH.
Ahmad Yasin menjawab dengan dalil-dalil yang isinya menentang teroris.
Beliau juga mempertegas bahwa sekarang sudah tidak ada kafir Ḥarbī,
yakni tidak ada celah yang dibuat alasan untuk membunuh orang kafir
kecuali apabila orang kafir tersebut menyerang orang Islam.29
28
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 29
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
72
Pada tahun 2005 hingga sekarang KH. Ahmad Yasin mengadakan
istighasah, pengajian Kitab al-Ḥikam, dan dialog interaktif yang diikuti
oleh masyarakat sekitar. Masyarakat juga bisa menanyakan tentang hukum
Islam atau meminta sebuah amalan doa yang telah diijazahkan untuk
menyembuhkan penyakit, mengusir jin dan lain sebagainya.
KH. Ahmad Yasin tak pernah lelah dalam berdakwah agama Allah
Swt., beliau berpedoman pada prinsip, ”Bagi yang memiliki ilmu agama
tidak boleh Kitmānul „Ilm (menyembunyikan ilmu).” Oleh karena itu,
beliau tidak pernah menolak kepada siapa saja yang minta ilmunya, baik
melalui pengajian, dialog, ceramah, dan sebagainya termasuk kitab-kitab
yang sudah diberi makna berbahasa Jawa (pegon) ketika hendak di
fotokopi beliau mempersilahkannya. Karena kian banyak peminat kitab-
kitab KH. Ahmad Yasin, maka beliau terinspirasi untuk mencetak kitab-
kitab yang bermakna.30
Setelah kitab-kitab bermakna dicetak, respons dari
Pondok-Pondok Pesantren cepat meluas, bahkan banyak kiai dan
penceramah yang minta diberi makna terhadap kitab-kitab yang masyhur,
seperti Kitab Ihyā‟ Ulūm al-dīn, Aqīdah al-„Awwām dan lainnya.31
Pada setiap bulan Ramadan beliau kurang lebih membacakan 30
kitab kuning, hal ini karena kecintaannya kepada ilmu dan umat tak
pernah habis. Para santri yang mengikuti kajian kitab kuning bukan hanya
30
Kitab bermakna jawa (pegon) pada dasarnya untuk membantu para ustad dalam
membaca kitab di Pondok Pesantren Hidayatut Thullab (sorogan), bukan hanya karena
tidak mempunyai makna atau makna yang kurang komplit tetapi dikarenakan banyaknya
siswa madrasah yang mengaduh perihal banyaknya pelajaran/kitab-kitabnya yang besar
serta tidak cukupnya waktu bagi para ustad untuk membacakan makna sekaligus
menerangkannya. Akibat adanya kitab bermakna jawa (pegon) para ustad cukup memberi
batasan kepada siswa agar membaca kitabnya, dan besoknya guru bisa menerangkan,
evaluasi, dan diskusi. Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05
Desember, 2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 31
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/
73
dari Pesantren setempat melainkan dari Pondok-Pondok yang tersebar di
pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
Pada tahun 2006, KH. Ahmad Yasin didatangi seseorang yang
meminta agar setiap kitab yang dibacakan oleh KH. Ahmad Yasin
direkam dan didokumentasikan dalam format MP3, agar mudah untuk
membaca dan memahami. Akhirnya, setiap beliau membacakan kitab
selalu direkam dan dijadikan MP3, seperti membaca Kitab al-Maḥallī,
Fath al-Mu‟īn, Fath al-Qarīb, Bulūghul Marām, dan masih banyak yang
lainnya.
Pada tahun 2009, KH. Ahmad Yasin mengadakan istighasah dan
dialog interaktif yang diadakan setiap 35 hari sekali tepatnya pada malam
sabtu legi tempatnya berpindah-pindah di kawasan kabupaten dan Kota
Kediri. Dan juga terekspos oleh beberapa media masa, seperti Dhoho TV,
Kaka TV, Radio Arafah FM dan Bonansa FM. Selain istighasah, di forum
tersebut, masyarakat bisa bertanya tentang masalah agama dan meminta
doa kepada beliau.
Pada tanggal 02 Januari 2011, KH. Ahmad Yasin mendapat piagam
penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam atas jasanya dalam bidang keilmuan/Akademik
sebagai penulis produktif dalam kajian kitab di Pondok Pesantren.32
KH. Ahmad Yasin juga memiliki kelebihan sebagai orang yang
kasyaf.33
Beliau sering melihat hal-hal gaib yang pada umumnya tidak bisa
dilihat. Oleh karena itu banyak karangan kitab beliau disusun sesuai
dengan apa yang dialami oleh KH. Ahmad Yasin melalui pengalaman
32
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 33
Kasyaf ialah kelebihan yang diberikan Allah Swt. kepada hambanya yang
dikasihinya agar dapat melihat hal-hal ghaib yang orang normal tidak dapat melihatnya.
Lihat F. Nur Hidayatullah, “Penafsiran Ba‟,”49. Atau dapat diartikan dengan terbukanya
“dinding” antara hamba dengan tuhannya. Asmal May, M.A., “Corak Tasawuf Syekh
Jalaluddin.” (Tesis S2., IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), 190.
74
spiritualnya, seperti Kitab Ḥikayat al-Mu‟ażżibīn, kitab yang menceritakan
nikmat dan siksa di dalam kubur. Mughayyabāt fī al-Jawāh wa al-Masjid
al-Ḥarām wa al-Masjid al-Nabāwi, kitab ini hampir sama dengan Kitab
Ḥikayat al-Mu‟ażżibīn, yang menjelaskan hal-hal gaib yang ada di tanah
Jawa, Kota Mekah dan Kota Madinah. Pengalaman spiritual beliau
menambah keahlian dalam bidang kesaktian, kebal senjata, dan pemberian
ijazah-ijazah untuk segala macam tujuan masyarakat.34
B. Pemikiran
Pemikiran yang dibicarakan oleh penulis di sini relevan dengan
keberadaan KH. Ahmad Yasin sebagai ulama. Mengategorikan sebagai
ulama, ada yang berpendapat, ulama ialah orang yang memiliki ilmu.35
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ulama berarti orang yang
ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.36
Sedangkan
menurut al-Dārimī ada 3 kategori mengenai ulama:
ث نا حاد بن زيد عن أي وب عن أب قلبة قال قال أب و أخب رنا سليمان بن حرب حدعاش معو الناس فيو ورجل عاش ف مسلم الولن العلماء ثلثة ف رجل عاش ف علمو و
رواه )علمو ول يعش معو فيو أحد ورجل عاش الناس ف علمو وكان وبال عليو.ارمي(. 37الد
Artinya: ”Telah mengabarkan kepada kami Sulaimān bin Ḥarb
telah menceritakan kepada kami Ḥammād bin Zaid dari Ayyūb dari Abī
Qilābah ia berkata: "Abū Muslim al-Khaulānī berkata: Ulama itu ada tiga:
Pertama; Ulama' yang hidup dengan ilmunya dan manusia lain hidup
dengan ilmunya, Kedua; ulama' yang hidup dengan ilmunya dan tidak
seorang pun mendapatkan manfaat ilmu tersebut, dan yang ketiga; ulama
34
Muhammad Awi, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05 Desember,
2018,.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-khyasin-asymuni-ppht/ 35
Ibrahīm Mustafā, al-Mu‟jam al-Wasīṭ, jilid 2 (Maktabah Syamilah: Majma‟
Lughah al-„Arabiyah, t.t.), 155. 36
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses, 13 Maret, 2019,
https://kbbi.web.id/ulama.html 37
Al-Dārimī, Sunan al-Dārimī, jilid 1 (Damaskus: Bāb al-Barīd, 1349 H), 102.
75
yang masyarakat hidup dengan ilmunya, namun ilmu tersebut justru
mencelakakan dirinya sendiri.” (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Dārimī).
KH. Ahmad Yasin termasuk kategori ulama yang pertama, selain
beliau istikamah mengajar di Pondok Pesantren, beliau juga kerap sekali
dimintai tolong masalah keagamaan, baik berupa masalah ibadah sampai
masalah muamalah keseharian masyarakat. Dari pengalaman menghadapi
masyarakat beliau tuangkan dalam beberapa karya tulis, agar keilmuan
beliau bisa dirasakan oleh seluruh umat islam khususnya di negara
Indonesia ini. Setiap ulama memiliki karakter paham dan pemikiran
masing-masing. Pemahaman dan pemikiran keagamaan yang jelas dapat
diketahui pada KH. Ahmad Yasin dalam hal masalah akidah, dalam hal
hukum Islam atau masalah fikih, dalam hal tasawuf dan akhlak serta
dalam masalah al-Qur‟an dan tafsir.
1. Akidah
Dalam hal akidah, KH. Ahmad Yasin, seperti yang telah beliau
tuangkan dalam tulisannya, beliau berpaham Ahlusunnah wal Jamaah.
Ahlusunnah wal Jamaah di sini ialah ajaran akidah sebagaimana yang
telah diajarkan al-Qur‟an dan hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص serta ajaran yang dipegang
oleh para sahabat Nabi 38.ملسو هيلع هللا ىلص KH. Ahmad Yasin juga berpegang pada
prinsip akidah Ahlusunnah Wal Jamaah, baik dalam hal pandangan dan
pendapat serta pendirian bila menyangkut dalam masalah akidah.
Paham pemikiran Ahlusunnah ini, tampak sejalan dengan tulisan
beliau yang menjelaskan akan ajaran paham Wahabiyyah, Khawārij,
Hizbut Taḥrir dan paham Syiah. Ajaran mereka termasuk dalam ajaran
38
Ahmad Yasin, Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-Bid‟ah (Kediri:
Pondok Pesantren Pethuk, t.t.), 2.
76
yang menyimpang, karena sebagian paham akidah mereka dinilai telah
menyimpang dari paham Ahlusunnah wal Jamaah.
Paham Ahlusunnah wal Jamaah yang dianut oleh KH. Ahmad Yasin
ialah Paham yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Iḥya‟
„Ulūm al-Dīn bahwa Ahlusunnah wal Jamaah adalah ajaran yang telah
dibawa oleh 2 Imam yakni Abū al-Ḥasan al-Asy‟arī dan Abū Mansūr al-
Māturīdī.39
Di Indonesia, paham Ahlusunnah wal Jamaah ada beberapa versi,
ada yang menurut versi Asy‟ariyah dan ada yang menurut versi
Wahabiyyah. Versi Asy‟ariyah dianut antara lain oleh kalangan warga
Nahdlatul Ulama (NU). Sedang versi Wahabiyyah dianut oleh sebagian
kalangan Muhammadiyah.40
Adapun KH. Ahmad Yasin, dalam hal paham dan pemikiran
berkenaan dengan masalah akidah, lebih condong ke Nahdlatul Ulama.
Hal tersebut dikarenakan semenjak beliau menjadi santri hingga menjadi
tokoh agama telah berkecimpung dalam organisasi yang ada dalam
Nahdlatul Ulama, seperti Lembaga baḥṡul masāil (LBM) Nahdlatul
Ulama dan wakil rais syuriah PWNU Jawa Timur hingga sekarang. Apa
yang tersebut di atas ini adalah karakteristik KH. Ahmad Yasin dalam hal
paham dan pemikirannya pada aspek akidah.
39
Ahmad Yasin, Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-Bid‟ah, 3. 40
Hal ini dapat diketahui di mana hampir setiap Pesantren Nahdlatul Ulama, kitab
pelajaran yang dipakai pada pelajaran tauhid adalah beraliran Asy‟ariyah. Misalnya,
Kitab Umm al-Barahin, kitab Kifayat al-„Awwam, kitab Tahqīq al-Maqam, kitab Al-
Hudhudi, Kitab al-Dasuqi, dan lain sebagainya. Sedangkan dikalangan Muhammadiyah
banyak melakukan upaya-upaya pemurnian akidah dari segala bid‟ah dan khurafat, yang
dimulai oleh KH. Ahmad Dahlan, kemudian diikuti oleh pengikut-pengikutnya. KH.
Ahmad Dahlan dalam hal ini menerapkan paham akidah beraliran wahabiyah. Lihat
Hadariansyah, “KH. Hasan Basri (1920-1998) Kajian Biografis Tokoh Majelis Ulama
Indonesia,” (S3., Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), 164.
77
2. Hukum Islam atau Fikih
Dalam masalah hukum Islam atau fikih,41
KH. Ahmad Yasin
mempunyai beberapa tulisan yang membahas hukum Islam atau fikih
terutama dalam masalah fikih ibadah. seperti Kitab Fiqh Zakāt, masāilul
Ṣalāt, masāilul Ṭaharah, masāilul Ṣiyām, masāil al-Nikāh, masāil al-
Haiḍ, dan sebagainya. Beliau menulis kitab-kitab tersebut agar masyarakat
dan santri-santri memahami secara ringkas dalam masalah-masalah
Fiqhiyyah.
Selain menulis beberapa masalah fikih, beliau juga menulis
keistimewaan dalam mengerjakan suatu ibadah, seperti dalam Kitab
Faḍāilul `Ibādah dan Faḍāilut Tahajjud. Selain memberikan penjelasan
tentang masalah fikih, beliau juga menjelaskan hikmah yang ada pada
suatu ibadah. Beliau juga menulis Kitab Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh, sebab
diperintahkannya suatu pekerjaan fikih, baik berupa fikih dalam masalah
ibadah (al-„Ubūdiyah), transaksi perdagangan (al-Muāmalah), pernikahan
(Munākaḥah), dan kejahatan pidana (Jināyāt).42
Karena beliau menganut paham Ahlusunnah Wal Jamaah, maka ada
4 Imam Mazhab yang dijadikan acuan mengenai hukum islam atau fikih,
seperti Mazhab Abī Ḥanīfah (150 H), Mālik bin Anas (179 H),
Muḥammad bin Idris al-Syāfī‟ī (204 H), dan Aḥmad bin Muḥammad bin
Ḥanbal (241 H).43
KH. Ahmad Yasin sering sekali ditanyai oleh masyarakat, baik di
daerah tempat tinggalnya maupun diluar daerah tempat tinggal beliau.
Kebanyakan masalah-masalah fikih yang sering ditanya oleh masyarakat,
41
Menurut KH. Ahmad Yasin, Fikih ialah sebuah ilmu mengetahui tentang hukum
pekerjaan seorang mukallaf baik wajib, Mubah, Sunnah, Haram dan Makruh. Al-
Basmalah min Jihat al-Funūn al-„Ilm, (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk, 1416 H), 14. 42
Ahmad Yasin, Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh (Kediri: Pondok Pesantren Pethuk,
t.t.), 2. 43
Ahmad Yasin, Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-Bid‟ah, 5.
78
fikih ibadah ialah pekerjaan ibadah yang dilakukan dalam keseharian
setiap umat Islam. Oleh karena itu, beliau membuat sebuah buku khusus
menerangkan perihal fikih ibadah yang terkait dengan solat, puasa, zakat
dan lainnya. Beliau juga menerangkan sebab mengamalkan ibadah
tersebut. Salah satu contohnya, beliau menerangkan sebab; mengapa umat
Islam harus mengerjakan ibadah solat? ;
ؤال ىو ما -الواب ما احلديث اآلخر الذي ي عرف سبب وروده ف الصلة؟ -السال: ق أخرجو البخاري ومسلم عن زيد بن ثابت أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم
كت وبة" "صلوا أي ها الناس
لة امل ف ب ي وتكم فإن أفضل صلة المرء ف ب ي وتو إل الص44
Artinya: “Soal- Apa Hadis lain yang menjelaskan sebab terjadinya
solat? Jawab- Hadis yang dituturkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari
Zaid bin Ṡābit, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Solatlah wahai ملسو هيلع هللا ىلص
manusia di dalam rumah kalian, sesungguhnya lebih utama solat bagi
seseorang di rumah kecuali solat maktubah (Solat lima waktu)”.
Setiap individu umat Islam hendaknya memilih satu mazhab dalam
menganut soal hukum Islam atau fikih. Dalam masalah hukum Islam atau
fikih KH. Ahmad Yasin lebih condong pada mazhab Muḥammad bin Idris
al-Syāfī‟ī atau yang lebih dikenal dengan al-Syāfī‟ī. Dikarenakan;
pertama, dalam segi tulisan beliau lebih banyak menukil pendapat al-
Syāfī‟ī. Kedua; sejak dari kecil hingga sekarang beliau bermazhab al-
Syāfī‟ī dalam mengamalkan ibadah dan amaliah. Hal tersebut serupa
dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang menganut al-Syāfī‟ī
dalam hukum Islam atau fikih.
3. Akhlak dan Tasawuf
Dalam masalah akhlak, KH. Ahmad Yasin banyak menjelaskan hal
yang berkenaan dengan akhlak. Beliau menulis tentang akhlak
44
Ahmad Yasin, Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh, 16.
79
dikarenakan betapa pentingnya akhlak itu. Ajaran akhlak ini diperlukan
untuk semua orang, untuk semua individu dan masyarakat, untuk semua
kalangan, dan untuk semua usia. Kitab yang ditulis oleh beliau dalam
membahas masalah akhlak, seperti Kitab Makārimul Akhlāq, Aḥādiṡul
Adāb, Adābul Murīd 2 jilid, dan beliau juga menekankan bagaimana tata
cara mendidik seorang anak yang telah dijelaskan dalam Kitab Tarbiyatul
Walad. Dalam Kitab Makārimul Akhlāq, beliau mencantumkan syair
tentang keutamaan akhlak:
أنشدن أب و جعفر القرشي:قضي # إل الث ناء فإنو باق كل المور ت زول عنك وت ن
ر ماسن الخلق لة # ما إخت رت غي رت كل فضي ولو أنن خي Artinya: Abū Ja‟far al-Qurasyī menyanyikan sebuah Syair
kepadaku:
“Setiap perkara akan hilang dan habis # kecuali pujian, maka ia
akan selalu bersamamu”
“Seandainya aku disuruh memilih setiap keutamaan # maka tidak
akan kupilih kecuali akhlak yang baik”.45
Beliau juga banyak berbicara tentang masalah tasawuf.46
Hal ini
mungkin karena beliau berpandangan bahwa inti dari kehidupan di dunia
ini adalah makrifat kepada Allah Swt. Berbeda dengan akhlak, ajaran
tasawuf diperuntukkan bagi orang tertentu, yakni orang-orang yang
dipandang dapat menerima dan dapat memahami, dan tidak tepat
disampaikan oleh semua orang di semua tingkat usia. Walaupun tidak ada
45
Ahmad Yasin, Makārimul Akhlāq (Kediri: Pondok Pesantren Hidayatut Thullab
Pethuk, 2007), 3. 46
Menurut KH. Ahmad Yasin, ulama tasawuf yang beliau jadikan pedoman ialah
Syaikh al-Junaid al-Baghdādī, lihat kitab Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-
Bid‟ah, 4.
80
tulisannya yang secara khusus membahas tasawuf, akan tetapi banyak
tulisan beliau yang mengarah pada ilmu tasawuf, seperti kitab Faḍāilul
Warā‟i, Faḍāilul Qanā‟ah, Ḥikam wal Mawā‟id, al-Niswatus Ṣufiyyah,
Ma‟aḍil Baṭinah dan lain sebagainya. Dan hampir pada semua kitab yang
ditulisnya, baik berupa kitab dalam bidang tafsir, fikih dan sebagainya,
kesemuanya pasti ada hikmah atau intisari tasawuf yang terkandung di
dalamnya.
4. Al-Qur‟an, Hadis dan Tafsir
KH. Ahmad Yasin banyak berbicara tentang al-Qur‟an, hadis dan
tafsir. sebagaimana ada 13 kitab yang membahas tentang al-Qur‟an, dan
tafsir, 11 kitab menjelaskan tafsir sebuah ayat atau surah tertentu dan 2
Kitab Faḍāil Sūrah. Secara tidak langsung di dalam kitab-kitab tersebut
ada penjelasan hadis-hadis Nabi Muḥammad ملسو هيلع هللا ىلص. Beliau menulis tafsir
karena banyak permintaan, dan kebutuhan masyarakat mengenai
penjelasan dalam al-Qur‟an. beliau menafsirkan al-Qur‟an bukan secara
keseluruhan 30 juz, akan tetapi beliau menafsirkan al-Qur‟an per-surah
atau per-ayat. Seperti Kitab Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm,
Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah, Tafsīr al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ,
dan lainnya.
KH. Ahmad Yasin sering sekali mencantumkan ayat al-Qur‟an dan
hadis di setiap kitab yang ditulisnya. Sebagaimana contoh pada kitab
Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh, beliau mencantumkan hadis Nabi Dalam
menjawab Asbāb al-Wurūd membaca doa setelah bangun dari ruku‟ ketika
solat;
ما أخرجو أب و داود عن أب سعيد الدري أن رسول اهلل صلى اهلل الواب: ىو ده". ع اهلل لمن ح "اللهم رب نا لك احلمد، ملء عليو وسلم كان ي قول: حني ي قول:"س
81
موات وملء الرض وملء ما شئت من شىء ب عد، أىل الث ناء واد، أحق ما قال السفع ذا الد العبد وكلنا لك عبد، ل مانع لما أعطيت، ول معطى لما من عت ول ي ن
47«.منك الد Artinya: Jawab: hadis yang dikeluarkan oleh Abū dāwud dari Abī
Sa'īd al-Khudrī bahwa ketika Rasulullah Saw. mengucapkan; "Sami'allāhu
liman ḥamidah" beliau berdoa Ya Allah Rabb kami, hanya untuk Engkau
lah segala pujian sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa saja yang
Engkau kehendaki, wahai Allah yang berhak menerima sanjungan dan
kehormatan, Ucapan yang paling pantas di ucapkan oleh seorang hamba,
dan kami semua adalah hamba-Mu, tak seorang pun yang dapat melarang
apa yang telah Engkau berikan, begitu pula tak seorang pun yang dapat
memberikan apa yang Engkau cegah dan sekali-kali tidak bermanfaat bagi
orang yang mempunyai kebesaran, dari Engkau lah kebesaran itu."
Di atas adalah jawaban KH. Ahmad Yasin atas pertanyaan “Hadis apa
yang menjelaskan tentang pembacaan doa i‟tidal dalam solat?”
Walaupun beliau tidak pernah menulis kitab yang membahas tentang hadis
Nabi atau „Ilm al-Hadis tetapi hadis Nabi Muḥammad selalu ada pada
setiap kitab yang ditulisnya. Bukan hanya dalam tulisan pada bidang fikih
saja, beliau juga mencantumkan hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص baik dalam bidang tafsir,
akhlak dan lain sebagainya.
47
Ahmad Yasin, Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh, 12.
82
83
BAB IV
METODE DAN CORAK TAFSIR KH. AHMAD YASIN ASYMUNI
Bab ini merupakan pokok bahasan penelitian, ada 3 pembahasan
pokok dalam bab ini: pertama, metodologi penafsiran yang meliputi;
metode tafsir, sumber penafsiran, dan validitas penafsiran. kedua, corak
penafsiran, dan ketiga, kelebihan dan kekurangan penafsiran.
Berikut penjelasan terhadap metode, corak dan kelebihan-
kekurangan penafsiran yang digunakan oleh KH. Ahmad Yasin.
A. Metodologi Penafsiran
Metodologi penafsiran harus mengacu pada prinsip-prinsip
penafsiran, yaitu hal-hal yang menjadi dasar mufassir dalam menafsirkan
al-Qur‟an, walaupun masing-masing mufassir memiliki rumusan prinsip
dasar yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan perspektif,
asumsi dasar dan latar belakang keilmuan mufassir. Oleh sebab itu,
muncul berbagai macam corak dan ragam produk penafsiran.1
Menurut KH. Ahmad Yasin, tafsir dan takwil itu berbeda.
Menurutnya, tafsir itu harus mempunyai sanad yang jelas hingga sampai
kepada para sahabat dan menyambung sampai kepada Rasulullah.
Sedangkan hemat beliau, takwil itu dapat diartikan sebagaimana
berkembangnya waktu, asalkan tidak keluar dari kaidah ilmu al-Qur‟an,
oleh karena itu beliau mengaku menafsirkan al-Qur‟an dengan cara takwil
bukan dengan tafsir. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan metode dan
corak yang dilakukan oleh KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan. Oleh
karena itu dalam menafsirkan kitab-kitab tafsirnya KH. Ahmad Yasin
selain memanfaatkan sumber al-Qur‟an, Hadis, dan perkataan ulama,
beliau juga menggunakan nalar intuitif dalam menafsirkan al-Qur‟an.
1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 134-135.
84
Realitas bahwa upaya-upaya untuk memahami dan menafsirkan al-
Qur‟an dengan berbagai perspektif dan pendekatan yang dipergunakan,
ikut memperkaya khazanah intelektual Islam yang lahir dan berkembang
semenjak awal perkembangan Islam, setidaknya hal ini ditandai semakin
banyak karya-karya tafsir yang bermunculan dan semakin marak kajian-
kajian al-Qur‟an.
1. Metode Tafsir
Berikut uraian metode KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-
Qur‟an;
a. Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Sistematika penulisan Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm: mukadimah
tafsir, tafsir ayat bismillāhirraḥmānirraḥīm, dan keutamaan ayat. Metode
yang digunakan oleh KH. Ahmad Yasin dalam Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm adalah metode ijmālī (apabila disatukan dengan
Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah dan Tafsīr al-Fātiḥah bisa dikatakan kitab
tafsir ini menggunakan metode mauḍū‟ī lī sūrah wāhid karena ketiga kitab
tafsir ini saling berkaitan). Bentuk penulisan dalam tafsir ini menggunakan
bentuk penulisan tafsīr bi al-ra'yī dan bi al-ma'ṡūr. Hal ini terlihat jelas,
ketika beliau hendak menafsirkan ayat al-Qur‟an secara terperinci dengan
ijtihadnya, bermula dari aspek bahasa Arab serta mengupas corak sufistik
secara ringkas.
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menafsirkan huruf ba‟, kata Ism,
Allāh, al-Rahman dan al-Rahīm. menganalisa kebahasaan, riwayat-riwayat
yang berkaitan, dan pendapat ulama-ulama klasik. Dalam hal pengutipan,
beliau mengutip dari berbagai kitab-kitab klasik ulama masyhur. Di antara
kitab yang menjadi sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Kabīr karya
al-Rāzī.
85
Sebagaimana penjelasan ringkas beliau ketika membahas kata ba‟,
kata al-Ism dan lain sebagainya. Sebagai contoh;
ا الناص ف قولو ت عال )ت بارك اسم ربك ت عال ىو اهلل ت عال ل أم
تبارك امل
( واملا احلكم ف هو أن الرجل اذا قال: زي نب طالق وكان زي نب اسا الصوت ول احلرف، وأم
ر ا سم غي ها الطلق، ولو كان ال ى لكان قد اوقع الطلق على لمرأتو وقع علي سم
ملها. ب ان ل ي قع الطلق علي رأة، فكان ي
غريه تلك امل
Artinya: “Dalil atau hujah pendapat yang menyatakan bahwa السم sama
dengan املسمى adalah sebagai berikut: pertama, Naṣ: Allah berfirman
dalam ayat ini yang memberikan berkah dan maha (تبارك اسم ربك)
memberkahi adalah Allah bukan Nama-Nya (yang berbentuk huruf dan
suara), sementara redaksi adalah nama-Nya, berarti dalam hal ini nama dan
yang menyandang nama itu sama atau satu kesatuan. Kedua, Akal: ketika
ada seorang yang berkata: زينب طالق (zainab tertalak), dan zainab adalah
nama istrinya, maka istrinya tertalak. Andaikan nama itu berbeda dengan
yang dinamai, maka tentunya zainab yang bukan istrinya juga tertalak,
atau tidak seperti itu maka tidak bisa menentukan zainab tertalak karena
bukan hanya istrinya yang bernama zainab"2
Dilihat dari contoh di atas menunjukkan bahwa Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm menggunakan metode ijmālī. Beliau
menafsirkan secara ringkas dan terperinci, mulai dari huruf ba‟, kata Ism,
dan seterusnya. Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah3 yang dapat diambil
dari keistimewaan dalam membaca bismillāhirraḥmānirraḥīm.4
2 Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1416 H), 9. 3 Hikmah adalah mengetahui dan mengenal rahasia-rahasia serta pemahaman
terhadap kebenaran al-Qur‟an, mencapai kebenaran melalui lisan dan perbuatan, dan
mengenal Allah. Lihat M. Nafiuddin, “Al-Hikmah dalam Al-Qur‟an Menurut Ulama
Tafsir,” (S2., Universitas Islam Negeri Surabaya, 2010), 65-66. 4Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, 51.
86
b. Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah
Sistematika penulisan dalam Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah;
mukadimah, Asbāb al-nuzūl, penamaan surah, keutamaan surah, masalah-
masalah fiqhiyyah dan membahas tentang al-isti‟āżah (meminta
pertolongan kepada Allah).
Dalam kitab ini, penafsir lebih banyak menjelaskan penamaan nama
lain dari al-Fātiḥah, keutamaan hikmah yang ada dalam surah al-Fātiḥah,
membahas al-isti‟āżah (meminta pertolongan kepada Allah) serta perihal
hukum membaca surah al-Fātiḥah dalam solat. Tafsir ini menggunakan
bentuk penulisan tafsīr bi al-ra'yī dan bi al-ma'ṡūr akan tetapi dalam tafsir
ini lebih condong dalam menggunakan riwayah bi al-ma'ṡūr, sebagaimana
ketika menjelaskan keutamaan surah al-Fātiḥah:
انو قال فاتة الكتاب شفاء من ملسو هيلع هللا ىلصروي عن أب سعيد الدري عن النب . م الس
Artinya: “Diriwayatkan dari Abī Sa‟īd al-khudrī dari Nabi Saw.
Sesungguhnya beliau bersabda surah al-Fātiḥah dalam al-Qur‟an adalah
obat dari racun.”5
Dalam kitab ini hanya menjelaskan pendahuluan tafsir surah al-
Fātiḥah, sehingga tidak ada penjelasan tafsir surah al-Fātiḥah di
dalamnya.
c. Tafsīr al-Fātiḥah
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada Tafsīr al-
Fātiḥah menggunakan metode Tafsir mauḍū‟ī lī sūrah karena beliau
menafsirkan satu surah yaitu surah al-Fātiḥah. Bentuk penulisan dalam
tafsir ini menggunakan bentuk penulisan tafsīr bi al-Ra'yī sekaligus bi al-
Ma'ṡūr.
5Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah (Kediri: PP Hidayatut
Thullab, 1411 H), 13.
87
Sistematika penulisan dalam Tafsīr al-Fātiḥah: mukadimah,
keutamaan basmalah dan al-Fātiḥah, Jumlah ayat al-Fātiḥah, tafsir ayat
al-Fātiḥah yang dimulai dari alḥamdulillāh sampai akhir ayat dan tafsir
surah al-Fātiḥah secara global. Kemudian KH. Ahmad Yasin
menerjemahan ayat satu persatu akan tetapi beliau tidak membahas ayat
pertama yakni bismillāhirraḥmānirraḥīm karena ayat tersebut telah
dibahas dalam satu judul kitab tersendiri, dan menafsirkan dengan
menggunakan analisis korelasi antar ayat atau surah, analisis kebahasaan,
riwayat-riwayat yang berkaitan, dan pendapat ulama-ulama klasik serta
hikmah yang terdapat dalam surah al-Fātiḥah.
Dalam hal pengutipan, beliau mengutip dari berbagai kitab-kitab
klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang menjadi sumber
pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Rāzī, Tafsīr Rūh al-Bayān, Tafsīr Ibnu
Kaṡīr, Khazīnah al-Asrār, Tafsīr al-Kasyāf, dan lain sebagainya.
Dalam kitab ini, metode yang digunakan adalah metode Mauḍū‟ī,
dan di akhir kitab ini ada pembahasan tafsir surah al-Fātiḥah secara global
dan terperinci. Sebagaimana beliau menjelaskan secara terperinci
perbedaan antara alḥamdu dengan al-syukru;
كر ف هو ان ا ن عام اليك الفرق ب ني احلمد وب ني الش حلمد ي عم ما اذا وصل ذلك الن عام الواصل اليو. كر ف هو متص بال ا الش او ال غريك. وام
Artinya:“Perbedaan antara alḥamdu dengan al-syukru adalah
sesungguhnya kata alḥamdu lebih umum dari pada al-syukru. alḥamdu adalah sesuatu pemberian nikmat yang datang padamu atau kepada selain
kamu, dan al-syukru adalah sesuatu pemberian nikmat yang khusus datang
kepadamu.”6
6 Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Al-Fātiḥah (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1412
H), 8.
88
Menurut penulis, 3 Kitab tafsir di atas adalah satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan karena dalam tafsir surah al-Fātiḥah tidak ada
penjelasan mengenai Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, dan Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirraḥīm menjadi satu pembahasan tersendiri dalam satu
judul buku. Begitu pula di dalam Kitab Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm
dan tafsir surah al-Fātiḥah tidak ada pembahasan asbāb al-nuzūl,
penamaan surah, dan masalah-masalah fiqhiyyah yang masih berkaitan
dengan Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm dan Tafsīr Sūrah al-Fātiḥah.
Oleh karena itu ketiga tafsir ini saling ada keterkaitan dan saling
melengkapi kitab tafsir satu dengan yang lain.
d. Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ
Tafsir ini menggunakan metode Tafsir mauḍū‟ī lī sūrah wāhid
karena beliau menafsirkan satu surah yaitu surah al-Ikhlāṣ. Bentuk
penulisan dalam tafsir ini menggunakan bentuk penulisan tafsīr bi al-Ra'yī
dan bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam mukadimah, asbāb al-nuzūl, penamaan
surah, keutamaan surah al-Ikhlāṣ, dan membahas keutamaan membaca
kalimat la ilāha illā al-Allāh dan subhānallāh. Kemudian, KH. Ahmad
Yasin menerjemahan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan
menggunakan analisis korelasi antar ayat atau surah, analisis kebahasaan,
dan mengupas sufistik, riwayat-riwayat yang berkaitan, dan pendapat
ulama-ulama klasik. Dalam hal pengutipan, beliau mengutip dari berbagai
kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang menjadi
sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Rāzī dan Tafsīr Rūh al-Ma‟ānī.
Beliau menjelaskan bagaimana bacaan surah al-Ikhlāṣ. Sebagaimana
contoh:
89
بدون قل ملسو هيلع هللا ىلصوق رأ أب وابن مسعود بغري قل ىكذا )ىو اهلل احد( وق رأ النب م ان ذلك ما كان ىو ىكذا )اهلل احد اهلل الصمد(...ومن حدفو قال: لئل ي ت وى
ملسو هيلع هللا ىلص.معلوما للنب Artinya: “Bapakku (bapak dari periwayat hadis, red) dan Ibnu Mas‟ūd
membaca قل ىو اهلل احد dengan tanpa lafad (ىو اهلل احد) قل dan Nabi Saw.
membaca dengan tanpa lafad (اهلل احد اهلل الصمد) قل ىو hal tersebut
dilakukan Nabi karena hal tersebut maklum bagi Nabi Muḥammad Saw.”7
Beliau juga menukil perkataan para ulama‟ sufi dalam membahas
keutamaan membaca kalimat la ilāha illā al-Allāh. Sebagaimana contoh:
عادة الصوفية أن من قال ل الو ال اهلل سبعني الف مرة اعتق اهلل ا ذكر الس رق بتو او رق بة من قالا لو من النار.
Artinya: “Barang siapa yang membaca kalimat la ilāha illā al-Allāh
700.000x maka Allah akan memerdekakannya atau Allah akan
memerdekakannya dari siksa api neraka.”8
Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ menggunakan metode Mauḍū‟ī. Beliau
menafsirkan satu tema dengan menghubungkan pembahasan yang
berkaitan dengan Surah al-Ikhlāṣ. Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah
yang dapat diambil dari keistimewaan dalam surah al-Ikhlāṣ.
e. Tafsīr al-Mu‟āwiżatain
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada tafsir ini
menggunakan metode tafsir mauḍū‟ī lī sūrah karena beliau menafsirkan 2
surah yaitu al-Nās dan al-Falaq. Bentuk penulisan dalam tafsir ini
menggunakan bentuk penulisan tafsir bi al-Ra'yī dan bi al-Ma'ṡūr
sekaligus. Hal ini terlihat jelas, ketika beliau hendak menafsirkan ayat-
ayat al-Qur‟an dengan ijtihadnya, bermula dari aspek bahasa Arab serta
7 Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
1413 H), 37. 8 Ahmad Yasin Asymuni, Tafsir Sūrah al-Ikhlāṣ, 30.
90
mengupas corak sufistik yang ada dan beberapa corak lainnya. Namun di
sisi lain beliau tetap menggunakan riwayat sebagai landasan
penafsirannya.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr al-Mu‟āwiżatain ialah:
mukadimah, keutamaan surah dengan membahas hadis-hadis yang
berkaitan, asbāb al-nuzūl atau sebab-sebab turunnya surah al-
Mu‟āwiżatain, dan kisah Nabi Adam setelah turun ke bumi maupun
hukum menikah dengan jin.
Kemudian KH. Ahmad Yasin menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau
surah, analisis kebahasaan, riwayat-riwayat yang berkaitan, dan pendapat
ulama-ulama klasik. Dalam hal pengutipan, beliau mengutip dari berbagai
kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang menjadi
sumber pengutipan beliau adalah hadis Ṣaḥiḥ al-Bukhārī dan Muslim,
Itqān, ma‟ālim al-Tanzīl dan lain sebagainya.
Sebagaimana penjelasan beliau mengenai ( الناس رب ):
حدثات، ولكنو ىهنا ذكر انو رب الناس على التخصيص
يع امل انو ت عال رب جوسوس ف صدور الناس فكأنو وذلك ل
وجوه: أحدىا: ان الستعاذة وق عت من شر امل
م الذي يلك عليهم أمورىم وىو ال وسوس ال الناس بر
هم قيل: أعوذ من شر املوال اذا اعت راىم خطب بسيدىم ومدومهم ووال ومعب ودى
م كما يستغيث ب عض امل
أمور
خلوقات ف العال ىم الناس، وثالث ها ان امل
ها ان أشرف امل امرىم، والثاني ستعاذة ىو نسان، فإذا ق رأ النسان ىذه صار كأنو ي قول: يارب ياملكي بال ال
ياالي. Artinya: “Allah adalah Tuhan semua hal yang baru. Ada beberapa hal
mengenai kekhususan pada lafad ( الناس رب ): pertama, manusia meminta
91
perlindungan pada Allah pada kejelekan/was-was dalam hati manusia
tersebut, karena Allah yang memiliki semua makhluk dan hanya Allah
yang disembah oleh mereka. kedua, manusia adalah makhluk Allah yang
paling sempurna. Ketiga, sesungguhnya yang diperintahkan untuk
berlindung adalah manusia. Apabila manusia membaca lafad ( الناس رب )
mereka seakan-akan berucap; wahai Tuhan-ku, wahai Raja-ku.”9
Tafsīr sūrah al-Mu‟āwiżatain menggunakan metode Mauḍū‟ī.
Beliau menafsirkan ayat dengan ayat atau surah yang berhubungan
kemudian menghubungkan pembahasan yang berkaitan dengan surah al-
Nās dan surah al-Falaq. dalam tafsir ini juga terdapat hikmah yang dapat
diambil dari keistimewaan dalam membaca surah al-Nās dan surah al-
Falaq.
f. Tafsīr Mā Aṣābak
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada tafsir ini
menggunakan metode Tafsir ijmālī karena beliau menafsirkan satu ayat
ما أصابك من حسنة فمن اهلل وما أصابك من سيئة فمن ن فسك وأرسلنك للناس رسول )10وكفى باهلل شهيدا(
secara ringkas dan terperinci dengan menggunakan
korelasi antar ayat atau surah yang berhubungan, riwayat-riwayat yang
berkaitan. Bentuk penulisan dalam tafsir ini menggunakan bentuk
penulisan tafsīr bi al-Ra'yī sekaligus bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Mā Aṣābak ialah; mukadimah,
membahas hadis-hadis yang berkaitan, perbedaan pandangan antara
Ahlusunnah Wal Jamaah dan Muktazilah terhadap maksud yang
terkandung dalam mā aṣābak dan Penjelasan tentang sabar.
9 Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.),18. 10
Surah al-Nisā (4):79.
92
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menafsirkan mā aṣābak dengan
menganalisa kebahasaan, perbedaan pandangan teologis dan pendapat
ulama-ulama klasik. Beliau menukil beberapa kitab ulama-ulama klasik.
Di antara kitab yang menjadi sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-
Rāzī.
Contoh Tafsīr Mā Aṣābak:
د من رخاء ونعمة وعافية ما يصيبك )ما أصابك من حسنة فمن اهلل( يا مما ق ولو ) ما وسلمة، فمن فضل اهلل عليك ي ت فضل بو عليك احسانا منو اليك. وأم
ة ومش (أصابك من سيئة فمن ن فسك : وما أصابك من شد ة واذى ومكروه ي عن قها بو واكتسبتو ن فسك. : بذنب است وجبت فمن ن فسك ي عن
Artinya: “(ما أصابك من حسنة فمن اهلل) Apa yang menimpamu (wahai
Muḥammad) dalam keadaan baik, kenikmatan, sehat, dan keselamatan
maka semua itu adalah karunia dari Allah kepadamu. Karunia Allah yang
telah membuat kebaikan. (ما أصابك من سيئة فمن نفسك) apa yang
menimpamu baik kesusahan, penderitaan, kejahatan, dan kesukaran maka
hal tersebut berasal dari dirimu sendiri, artinya dosa yang telah engkau
perbuat maka engkau wajib dibalas dengan siksaan.”11
Tafsīr Mā Aṣābak menggunakan metode ijmālī. Beliau menafsirkan
satu ayat secara ringkas dengan menghubungkan pembahasan yang
berkaitan dengan ayat mā aṣābak. Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah
yang dapat diambil dari keutamaan dalam ayat mā aṣābak.
g. Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada tafsir ini
menggunakan metode tafsir ijmālī karena beliau menafsirkan satu ayat,
yakni ين قال لم ا لناس إن الناس قد جعوا لكم فاخشوىم ف زادىم إينا وقالوا حسب نا )الذ
11
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Mā Aṣābak (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1414
H), 22.
93
(اهلل ونعم الوكيل 12
secara ringkas dan terperinci dengan menggunakan
korelasi antar ayat atau surah yang berhubungan, riwayat-riwayat yang
berkaitan. Bentuk penulisan dalam tafsir ini menggunakan bentuk
penulisan bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl
ialah; mukadimah, keutamaan surah dengan membahas hadis-hadis yang
berkaitan, dan asbāb al-nuzūl atau sebab-sebab turunnya ayat ḥasbunallāh
wa ni‟ma al-wakīl.
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menafsirkan ḥasbunallāh wa ni‟ma
al-wakīl dengan menganalisa kebahasaan, aspek sufistik serta hikmah
yang terkandung dalam ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl. Beliau menukil
beberapa kitab ulama-ulama klasik. Di antara kitab yang menjadi sumber
pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Rāzī dan perkataan Abū Ḥasan al-
Syażili.
Contoh Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl:
ظهروا ما يطابقو ف قالوا: حسب نا اهلل ونعم واملراد ان هم كلما ازدادوا ايانا ف ق لوم ا )حسب نا اهلل( اي كاف نا اهلل. الوكيل، قال الن باري
Artinya: “Yang dimaksud dengan (حسبنا اهلل) adalah sesungguhnya
ketika seseorang bertambah imannya, maka mereka akan merasakan
kekuatan tersebut di dalam hatinya, seraya berucap; ونعم الوكيل حسبنا اهلل .
Dan Ibnu Anbāri berkata: (حسبنا اهلل) Allah akan mencukupi kita.”13
Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl menggunakan metode ijmālī.
Beliau menafsirkan satu ayat secara ringkas dengan menghubungkan
pembahasan yang berkaitan dengan ayat ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl.
12
surah Ali Imrān (3): 173. 13
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl (Kediri: PP
Hidayatut Thullab, 1414 H), 4-5.
94
Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah yang dapat diambil dari keutamaan
dalam ayat ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl.
h. Tafsīr Sūrah al-Qadr
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada tafsir ini
menggunakan metode tafsir mauḍū‟ī lī sūrah karena beliau menafsirkan
satu surah yaitu al-Qadr. Bentuk penulisan dalam tafsir ini menggunakan
bentuk penulisan tafsīr bi al-Ma'ṡūr sekaligus bi al-Ra'yī.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Sūrah al-Qadr ialah;
mukadimah, keutamaan surah dengan membahas hadis-hadis yang
berkaitan, penamaan surah al-Qadr, bagaimana cara bermimpi dengan
Nabi Muḥammad dan Hikmah dalam surah al-Qadr.
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau
surah, riwayat-riwayat yang berkaitan, menganalisa aspek sufistik dan
pendapat ulama-ulama klasik. Dalam hal pengutipan, beliau mengutip dari
berbagai kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang
menjadi sumber pengutipan beliau adalah Rūh al-Bayān, dan Khazīnah al-
Asrār.
Contoh bentuk bi al-Ma'ṡūr:
: من ق رأ سورة القدر أعطى ث واب من صام رمضان وأحيا ملسو هيلع هللا ىلصقال رسول اهلل لة القدر. لي
Artinya: “Nabi Muḥammad Saw. bersabda: barangsiapa yang membaca
surah al-Qadr maka akan diberi pahala sebagaimana pahala orang yang
berpuasa di siang bulan Ramadan pahala seperti orang yang solat di malam
bulan Ramadan dan mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukan
ibadah di malam lailatul Qadar.”14
Dan contoh lain:
14
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.), 2.
95
راد:
رون على أن امل فس
لة القدر، ولكنو ت عال ت رك أجع امل إنا أن زلنا القرآن ف لي ركيب يدل على عظم القرآن من ثلثة أوجو: أحدىا: التصريح بالذكر، لنو ىذا الت
ا بو دون غريه. والثان: انو جاء بضمريه دون أ و نو اسند إن زالو إليو وجعلو متص اسستغناء عن التصريح. والثالث: ت عظيم الوقت ال ذي الظاىر، شهادة لو بالنباىة واإل
أنزل فيو. Artinya: “Para ulama berpendapat bahwa makna (إنا أنزلناه ف ليلة القدر)
adalah Allah menyembunyikan kata al-Qur‟an karena menunjukkan
keagungan al-Qur‟an; ada 3 hal: pertama, Allah menyandarkan turunnya
al-Qur‟an kepada Allah, dan menjadikan al-Qur‟an istimewa dari yang
lainnya. Kedua, bahwa kata al-Qur‟an diganti dengan ḍamīr/kata ganti
karena al-Qur‟an memiliki pengertian yang kaya dan sangat dalam. Ketiga,
mengagungkan (lailatul qadar) waktu turunnya al-Qur‟an”15
Tafsīr Sūrah al-Qadr menggunakan metode mauḍū‟ī. Beliau
menafsirkan satu ayat dengan menghubungkan pembahasan yang
berkaitan dengan surah al-Qadr. Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah
yang dapat diambil dari keutamaan dalam surah al-Qadr.
i. Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada tafsir ini
menggunakan metode Tafsir mauḍū‟ī lī sūrah karena beliau menafsirkan
satu surah yaitu surah al-Kāfirūn. Bentuk penulisan dalam tafsir ini
menggunakan bentuk penulisan tafsīr bi al-Ra'yī dan bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn; mukadimah,
penamaan surah, keutamaan surah, asbāb al-nuzūl, dan pemahaman hidup
dan hukum-hukum.
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau
surah, analisis kebahasaan, menganalisa aspek sufistik dan Fikih, dan
15
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr, 11.
96
pendapat ulama-ulama klasik. Dalam hal pengutipan, beliau mengutip dari
berbagai kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang
menjadi sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Qurṭubī, Tafsīr al-
Rāzī, Tafsīr al-Munīr, Aḥkām al-Syarī‟ah, dan lain sebagainya.
Dalam Kitab Sūrah al-Kāfirūn dijelaskan:
ر، ولن ي رجى ار الذين مرن وا على الكفر ف لم ي عد فيهم خي د لؤلء الكف قل يا ممون أن ها هم إيان، قل لم: ل أعبد الذي ت عبدونو،... أن تم ت عبدون آلة تظن ل ف من ت
فعاء ول صورة أو تظهر ف صنم أو وثن... وأنا أعبد اهلل ول مثيل لو وىو الغن عن الش ي ت قرب إليو بخلوق... فل أنا أعبد ما ت عبدون ول عابدون ما أعبد.
Artinya: “Katakan wahai Muḥammad kepada orang-orang kafir yang
telah terbiasa pada kekufurannya dan mereka tidak akan memperoleh
keimanan. Katakan kepada mereka: aku tidak akan menyembah apa yang
kalian sembah. Kalian menyembah tuhan yang kalian kira dia tinggal di
dalam gambar atau yang nampak dalam berhala. Aku menyembah Allah
yang Maha Esa yang tidak butuh pada makhluk. Allah yang Maha kaya,
yang Maha menolong dan tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa
yang aku sembah.”16
Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn menggunakan metode mauḍū‟ī. Beliau
menafsirkan satu ayat dengan menghubungkan pembahasan yang
berkaitan dengan surah al-Kāfirūn. Dalam tafsir ini juga terdapat hikmah
yang dapat diambil dari keutamaan dalam surah al-Kāfirūn.
j. Ṣallū „Alaih fī Bayāni Tafsīr al-Āyah
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada Tafsīr Ṣallū
„Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah menggunakan metode Tafsir ijmālī karena
beliau menafsirkan satu ayat secara ringkas, yakni:
16
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.), 18-19.
97
ين آمن وا صلو عليو وسلموا إن اهلل وملئكتو ) يصلون على النب ياأي ها الذ(تسليما
17
Dengan menggunakan korelasi antar ayat atau surah yang
berhubungan, riwayat-riwayat yang berkaitan. Bentuk penulisan dalam
tafsir ini menggunakan bentuk penulisan bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Ṣallū „Alaih ialah; mukadimah,
keutamaan surah dengan membahas hadis-hadis yang berkaitan, dan asbāb
al-nuzūl atau sebab-sebab turunnya ṣallū „alaih, dan keistimewaan
membaca solawat, dan peringatan bagi yang tidak menjawab solawat.
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau
surah, analisis kebahasaan dan aspek sufistik, riwayat-riwayat yang
berkaitan, dan pendapat ulama-ulama klasik. Beliau mengutip dari
berbagai kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang
menjadi sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Rāzī, dan al-Ażkār.
لة عليو ليس اذا صلى اهلل وملئكتو عليو فأى حاجة ال ص لتنا؟ ن قول الصظ ا ىو ل لئكة مع صلة اهلل عليو، وان
ها وال فل حاجة ال صلة امل هار حلاجتو الي
نا ذكر ن فسو و ظهار ت عظيمو كما أن اهلل ت عال اوجب علي ا ىو ل لحاجة لو اليو، واننا ليثيب نا عليو. ت عظيمو منا شفقة علي
Artinya: “Allah dan Malaikat bersolawat kepada Nabi Muḥammad
Saw., maka buat apa kita membaca solawat kepada Nabi? Kami
menjawab: bahwa membaca solawat kepada Nabi bukan karena Nabi
Muḥammad Saw. membutuhkan solawat kita, begitu pula solawat Allah
dan Malaikat kepada Nabi Muḥammad Saw. akan tetapi solawat kepada
Nabi untuk menampakkan keagungan Nabi Muḥammad. Sebagaimana
Allah Swt. mewajibkan kepada kita untuk mengingat-Nya, sedangkan
Allah sendiri tidak membutuhkan hal tersebut. Ketika makhluk mengingat
Allah, hal tersebut untuk menampakkan keagungan Allah yang maha kasih
dan sayang kepada kita, sehingga apabila kita mengingat Allah, Allah akan
17
Surah al-Ahzāb (33): 56.
98
membalas dengan memberi pahala kepada siapa saja yang mengingat-
Nya.”18
Tafsīr Ṣallū „Alaih menggunakan metode ijmālī. Beliau menafsirkan
satu ayat secara ringkas dengan menghubungkan pembahasan yang
berkaitan dengan ayat ṣallū „alaih. Dalam tafsir ini terdapat banyak
hikmah yang dapat diambil dari keutamaan dalam membaca solawat,
menjadikan syafaat bagi yang membaca solawat dan istimewa membaca
solawat di hari jum‟at.
k. Tafsīr Āyah al-Kursī
Penulisan yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin pada Tafsīr Āyah
al-Kursī menggunakan metode tafsir ijmālī karena beliau menafsirkan satu
ayat secara ringkas, yakni: ( وم ل تأخذه سنة ول ن وم لو اهلل ل إلو إل ىو احلي القي
ي ماوات وما ف الرض من ذا الذ يشفع عنده إل بإذنو ي علم ما ب ني أيديهم وما ما ف الس
ماوات والرض ول ي ئ يطون بشيء من علمو إل با شاء وسع كرسيو الس وده خلفهم ول ي
(حفظهما وىو العلي العظيم19
dengan menggunakan korelasi antar ayat atau
surah yang berhubungan, riwayat-riwayat yang berkaitan. Bentuk
penulisan dalam tafsir ini menggunakan bentuk penulisan bi al-Ra'yī dan
bi al-Ma'ṡūr.
Sistematika penulisan dalam Tafsīr Āyah al-Kursī; mukadimah,
penamaan surah, asbāb al-nuzūl atau sebab-sebab turunnya ayat al-kursī,
keutamaan ayat al-kursī disertai dengan keutamaan kalimat tasbih, do‟a
dan lain sebagainya.
18
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah (Kediri: PP
Hidayatut Thullab, t.t.), 3. 19
Surah Al-Baqarah (2): 255.
99
Kemudian, KH. Ahmad Yasin menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau
surah, analisis kebahasaan dan aspek sufistik, riwayat-riwayat yang
berkaitan, dan pendapat ulama-ulama klasik. Beliau mengutip dari
berbagai kitab-kitab klasik dari para ulama masyhur. Di antara kitab yang
menjadi sumber pengutipan beliau adalah Tafsīr al-Rāzī, al-Dūr al-
Manṡūr dan Khazīnah al-Asrār.
Sebagaimana contoh, ketika beliau menjelaskan (ل تأخده سنة ول نوم):
ساعة لختال امر أنو ل ي غفل عن تدبري اللق، لن القيم بأمر الطفل لو غفل عنو مكنات، فل يكن ان ي غفل عن
وم امل حدثات، وق ي
يع امل الطفل، ف هو سبحانو ق يم ج
تدبريىم.Artinya: “Allah tidak akan lupa dalam mengatur makhluk, karena Allah
apabila seorang anak kecil ditinggal beberapa saat oleh orangtuanya ,(قيوم)
maka anak kecil tersebut akan cacat/tidak terurus. Hal itu berbeda dengan
Allah yang memiliki sifat lurus/bijaksana (قيوم) dalam segala hal yang baru
ataupun dalam segala keadaan. Oleh karena itu, Allah tidak mungkin lupa
mengatur makhluknya.”20
Kemudian beliau menjelaskan ayat di atas secara aqliyah:
هو والغفلة مالت على اهلل ت عال، لن ىذه وم والس ليل العقل دل على أن الن الدا عبار ات عن عدم العلم... فل بد وأن ي نتهى ال من يكون علمو صفة الشياء إم
هو عليو م وم والغفلة والس ال. واجبة الثب وت متنعة الزوال، واذا كان كذلك كان الن Artinya: “sesungguhnya tidur, keliru, dan lupa adalah sifat mustahil
bagi Allah, karena sifat tersebut menandakan ketiadaan adanya ilmu,
padahal Allah maha mengetahui dan (العلم) Allah maha mengetahui adalah
20
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī (Kediri: PP Hidayatut Thullab,
t.t.), 53.
100
sifat wajib Allah yang tetap dan tidak akan hilang. Oleh karena itu, tidur,
keliru dan lupa adalah sifat yang mustahil bagi-Nya.”21
Tafsīr Āyah al-Kursī menggunakan metode ijmālī. Beliau
menafsirkan satu ayat secara ringkas dengan menghubungkan pembahasan
yang berkaitan dengan ayat al-kursī. Dalam tafsir ini terdapat banyak
hikmah yang dapat diambil dari keutamaan dalam ayat al-kursī.
Secara umum KH. Ahmad Yasin menulis 11 kitab tafsir, ada dua
metode yang digunakan oleh beliau dalam menafsirkan al-Qur‟an, yaitu:
pertama, metode Mauḍū‟ī bi al-sūrah karena menafsirkan sebuah surah
dalam satu judul kitab tafsir dan kedua, metode ijmāli karena menafsirkan
potongan ayat secara ringkas dan terperinci. Beliau juga menghadirkan
korelasi yang berkaitan dengan surah atau ayat tersebut baik korelasi antar
ayat atau surah, riwayat-riwayat yang berkaitan, pendapat ulama-ulama
klasik dan hampir dalam setiap kitab tafsir beliau mengandung keutamaan
serta hikmah22
surah atau ayat dalam penafsirannya.
2. Sumber Penafsiran Kitab
Sebagai Kitab tafsir, sudah pasti membutuhkan rujukan dalam
mengembangkan suatu penafsiran, sebagaimana dengan kitab-kitab tafsir
lain yang memiliki rujukan sebagai pegangan dalam menafsirkan al-
Qur‟an. KH. Ahmad Yasin menggunakan model tafsir klasik-tradisional.
Beliau banyak menukil kitab-kitab tafsir klasik, seperti; Tafsīr Mafātiḥ al-
Gaib karya Fakhruddin al-Rāzī, Tafsīr al-Qurṭubī karya Imam al-Qurṭubī,
Rūh al-Ma‟ānī karya al-Alūsī, Tafsīr Ibnu Kaṡīr karya Ibnu Kaṡīr, Tafsīr
al-Kasyāf karya al-Zamakhsyarī, Muqaddimah Tafsīr Ibnu Nuqaib karya
Ibnu Nuqaib, dan al-Dūr ma'ṡūr karya al-Nawawī.
21
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 56. 22
Hikmah berarti kebijaksanaan ilmu tentang segala sesuatu yang baik atau
kebenaran yang hakiki dan juga dimaknakan sebagai pelajaran yang bisa diambil dari
suatu kejadian atau peristiwa. Sebagaimana meneladani kisah Nabi Ayub yang sabar
terhadap musibah yang menimpanya. Lihat M. Quraish Shihab, Lautan Hikmah
(Bandung: Mizan, 1994), 78.
101
Beliau menuturkan bahwa dalam kitab-kitab tafsirnya banyak
mengambil dalam Kitab Tafsīr Mafātiḥ al-Gaib karya Fakhruddin al-Rāzī,
dengan alasan karena dalam kitab tersebut terdapat banyak penafsiran
tafsīr bi al-ra'yī al-maḥmūd dan beliau menginginkan dalam semua
disiplin ilmu tafsirnya bisa sampai pada al-Ra'yī al-maḥmūd.23
Beliau juga
menukil dari kitab tafsir kontemporer seperti Tafsīr al-Munīr karya
Wahbah al-Zuḥaili, al-Tafsīr al-Ḥadiṡ Tartīb al-Suwar Hasb al-Nuzūl
karya Muḥammad „Izzah darwazah.
KH. Ahmad Yasin juga menukil dari kitab-kitab selain kitab tafsir
seperti kitab-kitab hikmāh, yakni; khazīnah al-Asrār karya karya
Muḥammad haqqī al-Nāzilī, durrah al-nāsiḥīn karya „Uṡmān bin Ḥasan
al-Syākir al-khuwairī. Beliau juga menukil dari kitab-kitab fikih, seperti;
Ḥāsyiyah al-Jamal „ala Syarḥ al-Minhaj karya Sulaimān bin „Umar al-
„ajlī, Al-Majmu‟ syarh al-Muhażab karya Imam al-Nawawī, Mujarrabāh
al-Dīrabī al-Kabīr karya Aḥmad Dairābī, al-Aḥkām al-Syar‟iyyah karya
Isybīlī.
Dalam periwayatan Hadis beliau menukil pada kitab-kitab masyhur,
seperti al-Kutub al-Sittah, al-Sunan al-Sughrā dan al-Sunan al-Kubrā
karya al-Baihaqī dan lain sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Nahwu di
antaranya beliau menukil dalam Kitab I‟rāb al-Qur‟ān karya Ibnu Sīdah.
Beliau juga merujuk pada pendapat Abū Ḥasan al-Syāżilī pengarang Kitab
Ḥizb al-Baḥr sebagai hikmah yang terkandung dalam ayat Tafsīr
Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl.24
Secara umum kitab-kitab yang menjadi pegangan atau rujukan yang
digunakan oleh KH. Ahmad Yasin pada kitab klasik, terdiri dari 2 macam
fan ilmu, yaitu fan tafsir al-Qur‟an dan fan ḥikmah. Beliau juga
23
Ahmad Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, jam 09.20) 24
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 3.
102
menggunakan model tafsir klasik-tradisional dalam mengambil sumber
penafsirannya, walau terkadang juga menukil pada kitab kontemporer
seperti, Tafsīr al-Munīr karya Wahbah al-Zuḥailī, Al-Tafsīr al-Ḥadiṡ
Tartīb al-Suwar Hasb al-Nuzūl karya Muḥammad „Izzah darwazah dan
lainnya.
3. Validasi Penafsiran Kitab
Sebuah produk penafsiran akan sulit dikatakan sebagai benar atau
salah secara objektif dan ilmiah apabila tanpa tolok ukur yang jelas.
Terlebih jika tolak ukurnya sangat “subjektif”, seperti produk-produk
tafsir abad pertengahan, di mana tolok ukurnya sering didominasi oleh
ideologi mazhab penguasa atau ideologi penafsirannya sendiri.
Ada beberapa alasan diperlukannya validitas tafsir KH. Ahmad
Yasin. Pertama, melihat dan mengingat fungsi dari tafsir al-Qur‟an adalah
sebagai penjelas, oleh karena itu perlu dilihat sejauh mana hasil pemikiran
KH. Ahmad Yasin dalam menyampaikan pesan yang ada dalam al-Qur‟an.
apakah itu bertentangan dengan tradisi tafsir atau sebaliknya, dan apakah
tafsirnya dapat diterima. Kedua, KH. Ahmad Yasin sebagai ulama
Indonesia, perlu ditinjau sejauh mana pengaruh latar belakang
kepesantrenan dan tradisi sufi pesantren yang kental memengaruhi tafsir
yang disusun oleh KH. Ahmad Yasin. Ketiga, sifat relatif yang dihasilkan
oleh tafsir al-Qur‟an membuka ruang untuk dilakukan uji validitas, apakah
telah sesuai dengan teori kebenaran ilmu pengetahuan. Keempat, meninjau
konsistensi KH. Ahmad Yasin dalam tafsirnya, meliputi cara penjabaran
dan pendekatan tafsir yang digunakan.
Pada bagian ini penulis akan menguraikan tolak ukur kebenaran
tafsir KH. Ahmad Yasin berdasar teori kebenaran dalam perspektif
Filsafat Ilmu tersebut.
103
a. Teori Koherensi
Teori ini menyatakan bahwa standar kebenaran itu tidak dibentuk
oleh hubungan antara pendapat dengan sesuatu yang lain (fakta atau
realitas), tetapi dibentuk oleh hubungan internal (internal relation) antara
pendapat-pendapat atau keyakinan-keyakinan itu sendiri. Yang dimaksud
ialah sebuah penafsiran itu dianggap benar apabila ada konsistensi logis-
filosofis dengan proposisi-proposisi yang dibangunnya.25
Mengacu pada teori di atas, penulis melihat bahwa KH. Ahmad
Yasin menganut teori kebenaran koherensi. Meskipun demikian,
penerapan teori ini juga tidak lepas dari kelemahan. Kelemahan tersebut
adalah teori ini akan membenarkan hasil suatu tafsir, meskipun secara
umum terdapat beberapa kesalahan. Pembenaran ini terjadi lantaran, teori
ini lebih mengedepankan aspek konsistensi. Artinya teori ini secara
mendalam belum mampu membedakan antara kebenaran yang konsisten
dan kesalahan yang konsisten.
Konsistensi yang diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin setelah
penguraian mukadimah, dipaparkan secara runtut asbāb al-nuzūl atau
sebab-sebab turunnya dan keutamaan ayat atau surah. Ia cukup konsisten
dalam penukilan Hadis-Hadis Nabi Muḥammad dan penukilan perkataan
ulama, namun KH. Ahmad Yasin kurang memperhatikan kualitas Hadis-
Hadis tersebut. Di seluruh kitab tafsirnya, beliau menjabarkan dengan
tafsīr bi al-Ra'yī dan bi al-Ma'ṡūr dalam sebuah ayat atau surah. Beliau
selalu menguraikan hikmah yang terkandung dalam ayat atau surah, baik
berupa pesan dari kisah Nabi, penjelasan tentang sabar, dan lain
25
Dagobert D. Runes (ed.),Dictionary of philosophy, Article Truth New Jersey
(T.tp.: t.p., 1963), 321. Lihat pula Bob Hale dan Crispin Wright (ed.), A Companian to
The Philosophy of Language, 314. Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, 293.
104
sebagainya. Berikut kesimpulan penerapan teori koherensi terhadap kitab-
kitab tafsir KH. Ahmad Yasin:
Tabel 4.1. Koherensi dalam penafsiran KH. Ahmad Yasin
Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa hampir semua Kitab tafsir
KH. Ahmad Yasin memiliki proposisi yang konsisten. Konsistensi yang
diterapkan oleh KH. Ahmad Yasin meliputi, penguraian terhadap
mukadimah, asbāb al-nuzūl atau sebab-sebab turunnya dan penukilan
No Kitab Tafsir Asbab
Nuzul
Keutamaan
ayat atau
surah
Bi al-
Ma'ṡūr
Bi al-
Ra'yī
Hikmah
1. Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirra
ḥīm
- - Hal. 3 Hal. 9 Hal. 63
2. Muqaddimah Tafsīr al-
Fātiḥah
Hal. 12 Hal. 13 Hal. 31 Hal.
65
Hal. 55
3. Tafsīr al-Fātiḥah - Hal. 4 Hal. 4 Hal. 8 Hal. 4-5
4. Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ Hal. 4 Hal. 11 Hal. 15 Hal. 55 Hal. 55
5. Tafsīr al-Mu‟āwiżatain Hal. 5-6 Hal. 2-3 Hal. 3 Hal. 19 Hal. 21
6. Tafsīr Mā Aṣābak hal. 2 - Hal. 7 Hal. 4 Hal. 23
7. Tafsīr Ḥasbunallāh wa
ni‟ma al-wakīl
Hal. 2
Hal. 5
Hal. 16
-
-
8. Tafsīr Sūrah al-Qadr - Hal. 2-3 Hal. 2 Hal. 13 Hal. 14
9. Tafsīr Sūrah al-
Kāfirūn
Hal. 13-
15
Hal. 5 Hal. 8 Hal. 41 Hal. 53
10. Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah
- Hal. 14 Hal. 3 - Hal. 16
11. Tafsīr Āyah al-Kursī Hal. 4 Hal. 39 Hal.35 Hal. 56 Hal. 32
105
Hadis-Hadis Nabi Muḥammad dan penukilan perkataan ulama. Akan
tetapi ada dalam empat Kitab tafsir yang tidak ada asbāb al-nuzūl, yakni
Kitab sollū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, Tafsīr Sūrah al-Qadr, Tafsīr
al-Fātiḥah, dan Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm. dua diantaranya
dikarenakan di dalam Kitab Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah telah
dijelaskan asbāb al-nuzūl pada surah ini.
Beliau mencantumkan dengan tafsīr bi al-ra'yī dan bi al-ma'ṡūr
dalam sebuah ayat atau surah hampir disetiap penafsirannya, walaupun
terkadang beliau hanya mencantumkan bi al-ma'ṡūr saja. Beliau selalu
menguraikan hikmah yang terkandung dalam ayat atau surah, baik berupa
pesan dari kisah Nabi, penjelasan tentang sabar, dan lain sebagainya,
kecuali pada Kitab Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl.
b. Teori korespondensi
Teori ini menyatakan bahwa “suatu proposisi itu dianggap benar
jika terdapat suatu fakta yang memiliki kesesuaian dengan apa yang
diungkapkannya”. ada juga yang memberi arti teori korespondensi sebagai
“kesepakatan atau kesesuaian antara pernyataan suatu fakta (keputusan)
dengan situasi lingkungan yang diinterpretasikannya”.26
Apabila teori tersebut ditarik ke dalam kajian tafsir maka sebuah
produk penafsiran dapat dikatakan benar apabila ia sesuai dengan realitas
empiris. Pada dasarnya teori ini sangat cocok jika digunakan untuk
mengukur kebenaran tafsir yang memiliki corak atau berdasarkan analisis
ilmu pengetahuan, yang dikenal dengan tafsīr „ilmī.27
Dari teori ini, penulis melihat bahwa produk penafsiran KH. Ahmad
Yasin yang cenderung kepada aspek sufistik rasanya adalah hal yang sulit.
Karena sasaran dari teori ini adalah hal-hal yang bersifat bisa diuji
26
Harold H. Titus, Living Issues in Philosophy, 64. Lihat Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer, 291. 27
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 83.
106
langsung dan memiliki keterikatan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Adapun tafsir bercorak sufi adalah tafsir yang dibangun dan
dibentuk dengan nalar intuitif, yang mana sangat sulit untuk melacak
kebenarannya jika harus diuji dengan standar dan pola pengujian pada
teori ini. Dengan demikian penulis melihat bahwa ini merupakan salah
satu kelemahan dari teori ini, yakni melakukan penolakan pada satu hasil
tafsir bila tidak sesuai dengan realita. Padahal kenyataannya realita dan
ilmu pengetahuan akan selalu berkembang.
Sulitnya mengukur tingkat kebenaran tafsir sufi dengan
menggunakan teori ini bukan berarti tafsir sufi adalah sesuatu hal yang
salah dan tertolak dengan sendirinya. Melainkan hal tersebut lebih
terkendala oleh faktor sumber dan pendekatan yang diterapkan dalam
tafsir sufi, berupa intuitif.28
Sumber tersebut sangat sulit dibuktikan secara
empiris, karena hal tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan realita,
melainkan berhubungan dengan tingkat spiritual seorang sufi.
Corak tafsir sufi terkonsentrasi menakwilkan al-Qur‟an dengan
sesuatu di balik makna ẓāhir sesuai dengan isyarat samar yang ditangkap
oleh ahli suluk kemudian berusaha memadukan antara keduanya. Hal ini
merupakan konsentrasi logis dari latar belakang beliau, KH. Ahmad Yasin
yang berlatar belakang Pesantren.
c. Teori Pragmatisme
Teori ini menyatakan bahwa ”Suatu proposisi dianggap benar
sepanjang ia berlaku atau memuaskan, yang digambarkan secara beragam
oleh perbedaan pendukung dan pendapat.”29
Ciri yang menonjol dari teori ini adalah: pertama, teori ini berangkat
dari satu asumsi bahwa kebenaran tafsir bukanlah suatu hal yang final
28
Arsyad Abrar, “Epistemologi Tafsir Sufi (studi terhadap tafsir al-Sulami dan al-
Qushayrī),” (S3., Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2015), 192-193. 29
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 297.
107
(selesai); kedua, sangat menghargai kerja-kerja ilmiah; dan ketiga, kritis
melihat kenyataan lapangan. Jika teori ini diterapkan dalam wilayah
penafsiran maka tolok ukur kebenaran tafsir adalah ketika penafsiran itu
secara empiris mampu memberikan solusi bagi penyelesaian problem
sosial kemanusiaan.
Ada sebuah kritikan terhadap teori ini, terutama dalam hal bahwa
teori ini terkadang kabur dalam memberikan standar atau ukuran
kebergunaannya. Apa yang berguna bagi seseorang belum tentu berguna
bagi yang lain. Demikian juga produk tafsir yang cocok dalam era tertentu
belum tentu cocok untuk era yang lain. Oleh karena itu, sebuah penafsiran
harus berangkat dari realitas sosial sehingga tafsir yang dihasilkan mampu
memberikan solusi bagi problem sosial umat manusia. Hal ini menjadikan
relativitas dan tentativitas sebuah penafsiran akan diakui.
Berangkat dari teori pragmatisme ini, KH. Ahmad Yasin sepakat
bahwa sebuah penafsiran dapat dikatakan benar apabila dia mampu
memberi solusi atas problem sosial dan memiliki daya transformatif bagi
perbaikan sebagian umat khususnya jamaah pengajian KH. Ahmad Yasin.
Perspektif teori pragmatisme ini dapat dibaca setidaknya dari 3 hal berikut
yang ada dalam kitab-kitab tafsir KH. Ahmad Yasin:
1. Tata cara berdo‟a menggunakan ayat atau surah yang ada dalam
kitab tafsir. Contoh:
Artinya: “....Barang siapa yang membaca ayat al-kursī ketika
waktu tidur maka akan dilindungi dari godaan setan dan
barang siapa yang membaca ayat al-kursī ketika dalam
keadaan marah kemudian meludah di sisi kiri setan akan
dikurung dan hilang sifat marahnya...”30
30
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 28.
108
2. Keutamaan ayat atau surah berupa riwayat-riwayat Hadis dan
perkataan ulama dalam kitab tafsir berfungsi untuk menguatkan
posisi ayat atau surah yang diamalkan. Contoh:
Artinya: “al-Baihaqī dari Nabi Saw. bersabda: barangsiapa yang
membaca ayat al-kursī, ketika selesai solat maka tidak ada pemisah
di antaranya sesuatu hal kecuali dia masuk surga. kecuali ada
pemisah yaitu kematian. Maka apabila ia telah mati ia telah berada
di dalam surga. Sebagaimana penjelasan dalam Kitab al-Dūr al-
Manṡūr.”31
3. Kisah-kisah sebagai pelajaran yang bisa diambil dari suatu kejadian
atau peristiwa. Sebagai contoh:
Artinya: “Kami melakukan perjalanan dengan guru kami H. Ibrahim
Afandi pada musim hujan kemudian dalam perjalanan turunlah
hujan, salju dan angin berhembus sepoi-sepoi. Dan ketika itu langit
mendung dan kami kehilangan arah jalan, kemudian guru kami
menyuruh kami untuk membaca ayat al-kursī sekali ketika sampai
pada kalimat ول يؤده حفظهما وىو العلى العظيم kami mengulang kalimat
kali, kemudian kami membaca dari 70 ول يؤده حفظهما وىو العلى العظيم
awal ayat sampai akhir ayat dan kami mengulang kalimat ول يؤده kali. Beberapa saat kemudian guru kami 70 حفظهما وىو العلى العظيم
berkata: Allah telah membuka cahaya untuk kita seperti bintang.
Hujan tidak turun kepada kita sampai kita telah sampai negeri
tujuan. Orang-orang menatap keheranan kepada kita karena hujan
berada di samping kanan dan kiri kita dan begitu juga turunnya salju
yang besar sedangkan kita dalam keadaan baju yang kering. Dan
guru kami berkata: apabila engkau memiliki tujuan yang ingin di
cari atau ingin menolak keburukan maka bacalah ayat al-kursī dengan cara tersebut. Semoga Allah memudahkan tujuanmu dan
menolak keburukan yang akan menimpamu....”32
Dari 3 hal di atas, menunjukkan bahwa kitab tafsir KH. Ahmad
Yasin menggunakan teori pragmatisme karena produk tafsir beliau cocok
bagi sebuah komunitas jamaah pengajian dan sebagian kalangan
Pesantren.
31
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 35. 32
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 32.
109
Berikut kesimpulan penerapan teori pragmatisme terhadap kitab-
kitab tafsir KH. Ahmad Yasin:
Tabel 4.2. Pragmatisme dalam penafsiran KH. Ahmad Yasin
NO Kitab Tafsir Praksis/Tata Cara Faḍīlah/Keutamaan Hikmah/Kisah
1. Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirr
aḥīm
(anjuran menulis
bismillāhirraḥmāni
rraḥīm sebelum
menulis sesuatu)33
(Nabi Saw.
bersabda:
barangsiapa yang
menulis
Bismillāhirraḥmānir
raḥīm dan
memperindah
tulisannya karena
mengagungkan
Allah Swt., maka
Allah akan
mengampuninya...)
34
(kisah Umar
bin Khaṭṭab)35
2. Muqaddimah Tafsīr
al-Fātiḥah
Wajibnya
membaca al-
Fātiḥah ketika
solat.36
Dari Nabi Saw.
beliau bersabda:
sesungguhnya al-
Fātiḥah adalah
obat..37
Nabi
Muḥammad
Saw. membaca
Bismillāhirra
ḥmānirraḥīm.
38
33
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, 61. 34
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, 63. 35
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, 63. 36
Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, 31. 37
Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, 13. 38
Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, 54.
110
3. Tafsīr al-Fātiḥah Anjuran membaca
al-Fātiḥah ketika
hendak tidur.39
Rasulallah Saw.
bersabda:
barangsiapa yang
membaca al-
Fātiḥah...akan aman
dari segala
gangguan kecuali
kematian..40
Orang sakit
meminum air
yang telah
dibacakan al-
Fātiḥah akan
sembuh
dengan izin
Allah.41
4. Tafsīr Sūrah al-
Ikhlāṣ
Anjuran membaca
surah al-Ikhlāṣ 10
kali.42
Nabi Saw. bersabda:
barangsiapa yang
membaca surah al-
Ikhlāṣ 10 kali maka
Allah akan
membuatkan
bangunan disurga.43
Kisah seorang
yang meminta
ijazah surah
al-Ikhlāṣ agar
diselamatkan
dari api
neraka.44
5. Tafsīr al-
Mu‟āwiżatain
Anjuran membaca
al-Mu‟āwiżatain
pagi dan sore
sebanyak 3 kali.45
Bersabda Rasulullah
Saw. kepadaku,
bacalah surah al-
Ikhlāṣ dan al-
Mu‟āwiżatain pagi
dan sore 3 kali maka
kamu akan
dicukupi.46
Kisah Nabi
Adam.47
6. Tafsīr Mā Aṣābak - - Kisah Nabi
39
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Al-Fātiḥah, 4. 40
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Al-Fātiḥah, 4. 41
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Al-Fātiḥah, 5. 42
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, 15. 43
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, 15. 44
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, 17. 45
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 3. 46
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 3. 47
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 21.
111
Ayyub.48
7. Tafsīr Ḥasbunallāh
wa ni‟ma al-wakīl
Anjuran membaca
ḥasbunallāh wa
ni‟ma al-wakīl 450
kali sehari
semalam.49
Barangsiapa yang
ingin dicukupi
hidupnya maka
bacalah ḥasbunallāh
wa ni‟ma al-wakīl
450 kali.50
Kisah abū
Ḥasan al-
Syāżilī
bertemu Nabi
Saw.51
8. Tafsīr Sūrah al-Qadr Anjuran membaca
surah al-Qadr 100
kali.52
Nabi Saw. bersabda:
barangsiapa yang
membaca surah al-
Qadr 100 kali,
Allah akan
memasukkan dalam
hatinya Nama Allah
Swt. yang maha
Agung...53
Nabi
Muḥammad
Saw. bersabda:
barangsiapa
yang melihat
aku di dalam
mimpi maka ia
benar-benar
telah
melihatku.54
9. Tafsīr Sūrah al-
Kāfirūn
Anjuran membaca
surah al-Kāfirūn.55
Diriwayatkan
sesungguhnya orang
yang telah membaca
surah al-Kāfirūn
sebagaimana orang
yang membaca
Toleransi
beragama.57
48
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Mā Aṣābak, 23. 49
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 6. 50
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 25. 51
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 5-6. 52
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr, 2. 53
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr, 2. 54
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr, 6. 55
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, 5.
112
seperempat dari al-
Qur‟an.56
10. Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah
Anjuran untuk
memperbanyak
membaca
solawat.58
Nabi Muḥammad
Saw. bersabda:
barangsiapa yang
bersolawat
kepadaku maka
Allah akan
membalas dengan
10 kali solawatan.59
Kisah seorang
yang sering
membaca
solawat dan
dimuliakan
oleh Nabi
Muḥammad
Saw.60
11. Tafsīr Āyah al-Kursī Barang siapa yang
membaca ayat al-
Kursī ketika waktu
tidur maka akan
dilindungi...61
Nabi Saw.
bersabda:62
barangsiapa yang
membaca ayat al-
kursī, ketika selesai
solat maka tidak ada
pemisah di
antaranya sesuatu
hal kecuali dia
masuk surga.
kecuali ada pemisah
yaitu kematian.
Dari analisis tiga teori kebenaran di atas, yaitu teori koherensi,
korespondensi dan pragmatisme, didapatkan bahwa karya-karya tafsir KH.
57
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, 5. 56
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, 53. 58
Ahmad Yasin Asymuni, Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, 32. 59
Ahmad Yasin Asymuni, Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, 11. 60
Ahmad Yasin Asymuni, Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, 31-32. 61
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 28. 62
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 35.
113
Ahmad Yasin sejalan dengan kerangka teori koherensi dan pragmatisme.
Validitas penafsiran beliau dapat dinilai dengan teori koherensi dan
pragmatisme. Sedangkan pada teori korespondensi, tidak dapat dinilai
karena teori ini bersifat membenarkan produk penafsiran, apabila ia sesuai
dengan realitas empiris. Adapun penafsiran dalam kitab-kitab tafsirnya
lebih condong pada pendekatan sufistik. Yang mana tafsīr ṣūfī adalah
tafsir yang dibangun dan dibentuk dengan intuitif. Hal ini menjadikan
kitab-kitab tafsir KH. Ahmad Yasin relevan sebagai suatu pengetahuan,
dan dapat dinilai valid sebagai karya tafsir yang ilmiah.
B. Corak Penafsiran
Berikut uraian corak KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-
Qur‟an;
Setelah dibahas macam-macam corak di Bab II mengenai corak
tafsir lughawī, corak tafsir adabi ijtimā‟ī, corak tafsir ṣūfī, corak tafsir
kalam, corak tafsir „ilmī, corak tafsir fikih, dan corak tafsir falsafī. Adapun
dari segi corak yang digunakan KH. Ahmad Yasin dalam menafsirkan al-
Qur‟an:
1. Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Terdapat beberapa corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, seperti
corak lughawī, corak ṣūfī, corak adabi ijtimā‟ī, corak Kalam dan corak
falsafah. Akan tetapi corak penafsiran yang paling dominan dalam tafsir
ini adalah corak tafsīr ṣūfī. Sebagaimana ketika beliau menafsirkan al-
rahman dan al-rahīm;
اعلم أن الشياء على أرب عة اقسام: ل: وىو الذي يكون نافعا وضروريا1 ا ان يكون كذلك ف . القسم الو معا. فإم
فس ن يا ف قط، وىو مثل الن ا ان -الد وت، وإم
فإنو لو ان قطع منك حلظة واحد حصل امل
114
الت عن القلب حلظة واحدة يكون كذلك ف اآلخرة، وىو معرفة اهلل ت عال، فان ها ان ز مات القلب، واست وجب عذاب البد.
ن يا.2 ال ف الد
. القسم الثان: وىو الذي يكون نافعا ول يكون ضروريا، ف هو كاملكاملضار الت ل بد -كون ضروريا ول يكون نافعا. القسم الثالث: وىو الذي ي 3
ر لذا القسم ف اآلخر وت، والفقر، والرم، ول نظي
ن يا: كالمراض، وامل ها ف الد ة، من . فإن منافع اآلخرة لي لزمها شيئ ضار
من امل
ن يا -. القسم الرابع: وىو الذي ل يكون نافعا وضروريا4 ف هو كالفقر ف الد والعذاب ف اآلخرة.
ن يا نافع وضر فس ف الد وري ف لو ان قطع عن اذا عرفت ىذا ف ن قول: قد ذكرنا أن الن النسان حلظة لمات ف احلال، وكذلك معرفة اهلل ت عال امر ل بد منو ف اآلخرة ف لو
ار رحة اهلل، زالت عن القلب حلظة لمات القلب ل مالة. ووصلت اليو قطرة من ب فتح على ق لبك معرفة كون اهلل ت عال رحانا رح يما. وذرة من ان وارا حسانو فعند ىذا ي ن
فصيل فاعلم انك جوىر مرك عن على الت
ب من ن فس، فاذا اردت ان ت عرف ىذا امل وبدن وروح وجسد.
Artinya: “Segala sesuatu itu ada 4 bagian:
1. Sesuatu yang penting dan bermanfaat baik di dunia seperti nyawa
seorang manusia, karena apabila nyawa tersebut hilang dalam sekejap
saja maka kematianlah yang menjadi jawabannya, dan begitupula
makrifat kepada Allah di akhirat, apabila sirna dari diri manusia, maka
matilah hatinya dan nerakalah tempatnya.
2. Sesuatu yang tidak penting tetapi bermanfaat seperti harta di dunia
3. Sesuatu yang penting tapi tidak bermanfaat seperti sakit, mati, dan
pikun di dunia. Adapun di akhirat tidak ada kecuali hanya kemanfaatan
bagi orang-orang yang selamat.
4. Sesuatu yang tidak penting dan juga tidak bermanfaat seperti fakir di
dunia dan di siksa di akhirat.
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kematian seseorang di dunia
dengan kematian hatinya di akhirat memiliki pengaruh yang berbeda,
kematian di dunia hanyalah rasa sakit sementara, namun kematian hati di
115
akhirat menyebabkan seseorang mengalami siksaan dalam waktu yang
panjang. jika ingin mengetahui detail tentang sifat Rahman dan rahim
Allah maka ketahuilah bahwa manusia adalah mutiara yang tersusun dari
roh, jasad dan badan, dengan ini akan terbuka hati manusia untuk
mengetahui Allah mempunyai sifat rahmaniyyah dan rahīmiyyah.”63
Corak tafsīr ṣūfī ini terkonsentrasi menakwilkan al-Qur‟an dengan
sesuatu di balik makna ẓāhir sesuai dengan isyarat samar yang ditangkap
oleh ahli suluk kemudian berusaha memadukan antara keduanya. Hal ini
merupakan konsentrasi logis dari latar beliau KH. Ahmad Yasin yang
berlatar belakang Pesantren.
2. Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah
Terdapat beberapa corak yang ada dalam kitab ini, seperti corak
lughawī dan corak Fikih. Akan tetapi corak Fikih paling dominan di Kitab
tafsir ini. Sebagaimana beliau membahas bagaimana hukum bagi orang
yang solat membaca surah al-Fātiḥah? Beliau menjawab dengan mengutip
perkataan al-Syāfi‟ī dan Abū Ḥanīfah.
ها حرفا وا لة. فإن ت رك من افعى رحو اهلل: قراءة الفاتة واجبة ف الص حدا قال الشب قراءة الفات فة لت ة.وىو يسن هال تصح صلتو. وبو قال الكث رون، وقال أب و حني
Artinya: “al-Syāfi‟ī berpendapat bahwa membaca surah al-fātiḥah bagi
orang yang solat itu wajib, apabila ia meninggalkan satu huruf saja dalam
bacaan surah tersebut maka tidak sah solatnya. Begitu pula pendapat
kebanyakan ulama‟ dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa tidak wajib bagi
orang yang solat membaca surah al-fātiḥah”.64
Dalam Kitab Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah, beliau hanya
menjelaskan pendahuluan dalam menafsirkan surah al-Fātiḥah sehingga
beliau menonjolkan pemahaman Fikih.
63
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm, 48. 64
Ahmad Yasin Asymuni, Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, 31.
116
3. Tafsīr al-Fātiḥah
Terdapat 2 corak penafsiran dalam kitab ini, corak lughawī dan
corak ṣūfī. Sebagaimana contoh corak ṣūfī yang telah dibahas dalam kitab
mengenai makna lafad احلمد :
فكل ىذه القسام الت ل ناية لا داخلة تت ق ول العبد )احلمد هلل رب بب قال ت عال: انظروا ال عبدى قد اعطيتو نعمة واح ( فلهذا الس دة ل قدر لا العالمني
كر ما لحد لو ول ناية لو. فأعطان من الشArtinya: “Pujian yang paling sempurna dalam setiap bentuk yang tidak
ada batasnya, sebagaimana seorang hamba berucap “احلمد هلل رب العاملني” oleh sebab itu, Allah berfirman: lihatlah kepada hambaku, aku telah
memberinya satu nikmat yang tidak ada ukurannya. Kemudian aku beri
rasa syukur yang tidak ada batas dan akhirnya.”65
4. Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ
Terdapat 2 corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, corak lughawī,
dan corak ṣūfī. Sebagaimana contoh corak lughawī:
كفوا( بضم الكاف والفاء وبضم الكاف )كيف القراءة ف ىذه اآلية؟ قرئ ف مثل طنب و عنق.و طنب وعنق وكسرىا مع سكون الفاء، والصل ىو الضم ث يف
Artinya: “ bagaimana membaca ayat ini? dibaca (كفوا) dengan kaf dan
fa‟ di ḍammah, dan kaf di ḍammah dan kasrahnya kaf dengan fa‟ disukun
Dan bacaan aslinya adalah dengan kaf dan fa‟ yang di ḍammah .(كفوا)
dengan meringankan seperti طنب asli katanya طنب dan عنق asli katanya
”.عنق 66
Dan juga contoh corak lughawī:
ان ىو كناية عن اسم اهلل، ف يكون ق ولو: اهلل مرتفعا بأنو خب ر مبتدأ.
65
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Al-Fātiḥah, 15. 66
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, 57.
117
Artinya: “Sesungguhnya lafad ىو dari قل ىو اهلل adalah sebuah kiasan
dari nama Allah. Dan lafad tersebut ber-i‟rab khabar dari mubtada‟”67
5. Tafsīr al-Mu‟āwiżatain
Terdapat beberapa corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, seperti
corak lughawī, corak ṣūfī, dan corak fikih. Sebagaimana corak lughawī:
صدر، كأنو وسوسة ف الوسواس اسم
ي بامل يطان س راد بو الش
بعن الوسوسة،.. وامل ن فسو لن ها صن عتو وشغلو الذي عاكف عليو.
Artinya: “(الوسواس) adalah ism yang artinya kecemasan. Yang dimaksud
kecemasan adalah bersumber dari setan, karena kecemasan adalah
kelakuan dan kesibukan setan yang mana setan menetap di dalamnya.”68
Dan contoh corak fikih:
ليو وسلم ىل توز مناكحة الن أم ل؟ وأخرج جرير عن أحد واسحق أنو صلى اهلل ع ن
راجية للحنفية انو ل توز امل اكحة ن هى عنو ومن ث كرىو اسحق لكن ف الفتاوى السختلف النس. اء ل
ب ني النس والن وانسان امل
Artinya: “Apakah boleh menikah dengan bangsa jin? Diriwayatkan dari
Jarīr dari Aḥmad dan Isḥaq: sesungguhnya Nabi Saw. melarang hal
tersebut. Isḥaq memakhruhkan hal tersebut. Tetapi dalam Kitab Fatāwā
al-sirājiyyah karangan ulama pengikut Abū Ḥanīfah; tidak boleh menikah
antara jin dan manusia karena berbeda jenis.”69
Dan juga contoh corak ṣūfī:
لم ق لبك ل فل يدخل فيو حب غريى، ولسانك ل د عليو الس كان احلق قال لمحمذ برب الفلق( فإن انا الذي فل تذكر بو أحدا غريى... وان خفت ضررا ف قل )اعو
وى. وصفت ن فسي بأن خالق الصباح، وبأن فالق احلب والن Artinya: “Bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi Muḥammad Saw.
bahwasanya hatimu itu milikku maka janganlah masuk di dalamnya
mahabbah kecuali hanya kepada-Ku, lisanmu itu milik-Ku maka jangan
67
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, 37. 68
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 20. 69
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 30.
118
berzikir kecuali hanya kepada-Ku.dan jika kamu merasa takut akan
marabahaya maka katakanlah (aku berlindung kepada Tuhan pemilik
waktu subuh) maka sesungguhnya akulah yang menyifati pada diri-Ku
bahwasanya akulah pencipta waktu subuh dan sesungguhnya akulah yang
membelah biji-bijian...”70
6. Tafsīr Mā Aṣābak
Terdapat 2 corak penafsiran dalam Kitab tafsir ini; corak lughawī,
dan corak kalām. Di kitab ini, KH. Ahmad Yasin menjelaskan pandangan
antara Ahlusunnah Wal Jamaah dan Muktazilah terhadap maksud yang
terkandung dalam kitab Tafsīr Mā Aṣābak:
فرقة يئة ال العبد؟ ىل ىذه الت لى شيئ استندت احلسنة ال اهلل واستندت السفرقة ليست مذىب أىل السنة مذىب أىل السنة ا عتزلة؟ اعلم اول أن الت
و مذىب امل
يئة ىو اهلل وحده عتزلة، لن مذىب أىل السنة ان خالق احلسنة والس
ول مذىب املهما ال الكسب الظاىرى، لتأثري لحد معو ل ف ر ن هما، وليس للعبد ف كل من ق ب ي
عتزلة أن العبد
يلق وىو مناط التكليف الذي ي ت رتب عليو الث واب والعقاب. ومذىب املختيار يئة، اف عال ن فسو ال ية بقدرة خلقها اهلل فيو، ول ف رق عندىم ب ني احلسنة والس
درة ف ي قولون: إن اسناد احلسنة ال اهلل لكونو خلق القدرة ف العبد فأوجد بتلك الق ا اس يئة ال العبد فجاءت على الصل بناء على مذىبهم ان ها بلق احلسنة. وام ناد الس
ا أىل السنة ف قالوا: إن اسناد احلسنة ال اهلل جاء على الصل، لن اهلل ىو العبد. وأمها اسندت ال العبد، لنو الالق لا، يئة لكن وليس للعبد ال الكسب، ومث لها الس
كتسب لا.
املArtinya: “Mengapa perbuatan baik disandarkan kepada Allah
sedangkan perbuatan buruk disandarkan kepada manusia? Apakah ada
perbedaan antara Ahlusunnah Wal Jamaah dan Muktazilah? Jawab:
ketahuilah bahwa tidak ada perbedaan antara Ahlusunnah Wal Jamaah dan
Muktazilah. Ahlusunnah Wal Jamaah berpandangan bahwa yang
menciptakan kebaikan dan keburukan adalah Allah Swt., jadi tidak ada
70
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr al-Mu‟āwiżatain, 10-11.
119
bedanya antara kebaikan dan keburukan. Begitu pula bagi manusia kecuali
apa yang telah nampak dikerjakannya (baik atau buruk). Dan apa yang
dikerjakan memiliki kadar tanggungan yang pasti antara memperoleh
pahala (melakukan kebaikan) atau dosa (melakukan keburukan). Dan
kelompok Muktazilah berpandangan bahwa manusia melakukan
perbuatannya sendiri yang telah dipilihnya sesuai kemampuannya sebagai
makhluk Allah. Dan tidak ada bedanya antara kebaikan dan keburukan.
kelompok Muktazilah mengatakan bahwa kebaikan disandarkan kepada
Allah karena Allah menciptakan kesanggupan sesuai kemampuan manusia,
kemudian manusia tersebut mampu melakukan hal kebaikan. Dan adapun
perilaku keburukan disandarkan kepada manusia karena manusia tidak
mampu melakukan kebaikan dan hal tersebut akan kembali kepada
manusia tersebut yakni perbuatan buruk.”71
7. Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl
Terdapat 2 corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, corak lughawī dan
corak ṣūfī. Sebagaimana contoh corak lughawī ketika KH. Ahmad Yasin
menafsirkan kalimat (الذين): ؤمن
، صفة للمؤمنني بت قدير واهلل ل يضيع أجر امل ني )الذين( وجوه: أحدىا: أنو جر
الثالث: أنو رفع الذين قال لم الناس. الثان: أنو بدل من ق ولو )للذين أحسن وا(، بتداء وخب ره )ف زادىم ايانا( بال
Artinya: “lafad (الذين) memiliki beberapa I‟rab; pertama, di-jer-kan
karena sifat dari مؤمنني yang dikira-kirakan ( واهلل ل يضيع أجر املؤمنني الذين قال) Kedua, sebagai badal/kata pengganti dari firman Allah .(لم الناس للذين
Ketiga, dibaca rafa‟ dengan berkedudukan sebagai mubtada‟ dan .(أحسنوا
khabarnya ( ايانا فزادىم ).”72
contoh corak ṣūfī:
71
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Mā Aṣābak (Kediri: PP Hidayatut Thullab, 1414
H), 6. 72
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 3.
120
وق والمحبة اذكركم بالوصل والقرابة اذك رن باحلمد والث ناء اذكركم فاذكرون بالشعاء ن وب اذكرون بالد غفرة من الذ
وبة اذكركم بامل ن والزاء اذكرون بالت
اذكركم بامل بالعطاء...
Artinya: “Ingatlah aku dengan rasa rindu, dan cinta maka aku akan
mengingat kalian dengan menerima dan mendekat, ingatlah aku dengan
memuji maka aku akan mengingat dengan melimpahkan karunia dan
memberi pahala kepada kalian, ingatlah aku dengan bertobat maka aku
akan mengingat dengan pengampunan segala dosa-dosa kalian, ingatlah
aku dengan meminta do‟a kepadaku maka aku akan mengabulkan
permintaan kalian....”73
8. Tafsīr Sūrah al-Qadr
Corak penafsiran dalam kitab tafsir ini adalah corak ṣūfī. Sebagai
contoh ketika KH. Ahmad Yasin menafsirkan lafad (ليلة القدر):
لة لوجوه: أنو أخفاىا منا أخفى سائر الشياء، فإنو إن و ت عال أخفى ىذه اللي عاصى ليحتزوا
أخفى رضاه ف الطاعات، حت ي رغب وا ف الكل، وأخفى غضبو ف امل
عن الكل...Artinya: “Mengapa Allah Swt. menyembunyikan malam lailatul Qadr;
bahwa Allah Swt. menyembunyikan malam tersebut sebagaimana Allah
menyembunyikan segala sesuatu, bahwa Allah menyembunyikan ridho-
Nya bagi orang-orang yang taat, sehingga mereka senang dengan segala
hal dan Allah menyembunyikan kemarahan-Nya ketika ada seorang yang
bermaksiat sehingga mereka menjaga dari segala hal….”74
9. Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn
Terdapat beberapa corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, seperti
corak lughawī, corak ṣūfī, corak adabi ijtimā‟ī. Sebagaimana contoh corak
adabi ijtimā‟ī:
73
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl, 26. 74
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Qadr, 13.
121
ورة على اختلف المعب ود ما فقو احلياة والحكام من سورة الكافرون؟ دلت السسلمني وغريىم، وعلى أن الك
فر ملة واحدة ف مواجهة واختلف العبادة ب ني امل
اإلسلم. Artinya: “Apa makna kehidupan dan hukum-hukum dalam surah al-
Kāfirūn? surah ini menunjukkan perbedaan yang disembah, berbedanya
ritual ibadah antara muslim dengan yang lainnya, dan sesungguhnya
orang-orang kafir satu agama yang konfrontasi dengan Islam.”75
Contoh corak lughawī:
فردات اللغوية من سورة الكافرون؟ قل خطاب لرسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم
ما املArtinya: “Apa kosakata bahasa dalam surah al-Kāfirūn? Lafad قل
adalah pesan (khiṭāb) bagi Nabi Muḥammad saw.”.76
10. Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah
Terdapat satu corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, yakni corak
ṣūfī. Sebagaimana contoh corak ṣūfī, KH. Ahmad Yasin menukil
perkataan Ibnu „Arābī;
ابن العرب فائدة الصلة عليو صلى اهلل عليو وسلم ت رجع ال الذي يصلى قال داومة عل
حبة وامل
ية واظهار امل ى طاعة عليو لدللة ذلك على نصوح العقيدة وخلوص الن
حتام للواسطة الكرية صلى اهلل عليو وسلم.وال Artinya: “Keistimewaan membaca Solawat kepada Nabi Muḥammad
Saw. akan kembali kepada yang bersolawat kepada Nabi Muḥammad Saw.
karena orang yang bersolawat kepada nabi akan memiliki ciri-ciri; akidah
yang baik, Niat yang ikhlas, tanda kecintaan, menjaga ketaatan, dan
memuliakan Nabi Muḥammad Saw.”77
11. Tafsīr Āyah al-Kursī
Terdapat 2 corak penafsiran dalam kitab tafsir ini, corak lughawī
dan corak ṣūfī. Contoh corak lughawī:
75
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, 53. 76
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn, 18. 77
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah, 8.
122
ابق ساكنا وقال ابن ا اجتمعت الياء والواو ث كان الس و، ف لم : أصلو احلي الن باريدة .فجعلنا الياء مشد
Artinya: “Ibnu al-Anbāri berkata: asal kata al-Ḥayyu (احلي) adalah al-
Ḥaywu (احليو), karena bertemunya ya‟ (ياء) dengan wawu (واو) dan sebelum
wawu disukun (mati) maka ya‟ harus di tasydid ( ).”78
Secara umum KH. Ahmad Yasin menafsirkan al-Qur‟an
menggunakan corak ṣūfī, corak lughawī, corak fikih, corak adabi ijtimā‟ī
dan Corak kalam. Namun hampir dalam seluruh kitab tafsirnya bercorak
ṣūfī. Hal tersebut dikarenakan pengalaman spiritual beliau.79
Berikut kesimpulan metode dan corak penafsiran KH. Ahmad Yasin:
Tabel 4.3. Metode dan Corak penafsiran KH. Ahmad Yasin Asymuni
NO
NAMA KITAB
TAFSIR
METODE
CORAK
BENTUK
PENAFSIR
AN
HIKMAH
bi al-
Ra'yī/bi al-
Ma'ṡūr 1 Tafsīr
Bismillāhirraḥmānirr
aḥīm
Ijmālī corak lughawī,
corak adabi
ijtimā‟ī, corak fikih, corak kalam
dan corak falsafī
bi al-Ra'yī
dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
2 Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah
- corak lughawī, dan
corak fikih bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
3 Tafsīr al-Fātiḥah mauḍū‟ī lī sūrah wāhid
corak lughawī,dan
corak ṣūfī bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
4 Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ mauḍū‟ī lī sūrah wāhid
corak lughawī,dan
corak ṣūfī bi al-Ra'yī dan bi al-
Ada
78
Ahmad Yasin Asymuni, Tafsīr Āyah al-Kursī, 54. 79
Selain faktor dari kakek beliau kiai Asymuni, pengalaman spiritual KH. Ahmad
Yasin menjadi landasan beliau menulis kitab-kitab yang bercorak kesufian serta tujuan
beliau menulis juga salah satunya untuk makrifat kepada Allah Swt. karena hal tersebut
menjadikan pemahamannya terhadap al-Qur‟an dapat dipahami secara utuh. Ahmad
Yasin Asymuni. Wawancara, (18 Januari 2019, 09.20).
123
Ma'ṡūr
5 Tafsīr al-Mu‟āwiżatain
mauḍū‟ī lī sūrah
corak lughawī, corak kalam dan
corak ṣūfī
bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
6 Tafsīr Mā Aṣābak Ijmālī corak kalam, dan
corak lughawī bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
7 Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl,
Ijmālī corak lughawī,dan
corak ṣūfī bi al-Ma'ṡūr -
8 Tafsīr Sūrah al-Qadr mauḍū‟ī lī
sūrah wāhid
corak ṣūfī bi al-Ma'ṡūr Ada
9 Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn
mauḍū‟ī lī sūrah wāhid
corak lughawī, corak ṣūfī, dan
corak adabi ijtimā‟ī
bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
10 Ṣallū „Alaih fī bayāni
Tafsīr al-Āyah
Ijmālī corak ṣūfī bi al-Ma'ṡūr Ada
11 Tafsīr Āyah al-Kursī Ijmālī corak lughawī,dan
corak ṣūfī bi al-Ra'yī dan bi al-
Ma'ṡūr
Ada
C. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan Tafsir KH. Ahmad Yasin:
a. Menggunakan bahasa Arab dan diterjemahkan dengan bahasa Jawa
Arab (pegon).
b. Menggunakan metode mauḍū‟ī lī surah wāhid dan metode ijmālī.
Dalam metode mauḍū‟ī lī surah wāhid beliau membahas dengan
satu tema yang berkaitan, dengan menampilkan riwayah-riwayah
dan pendapat ulama, keutamaan ayat atau surah dan Hikmah ayat
atau surah. Sedangkan dalam metode ijmālī beliau menjelaskan
secara singkat dan terperinci.
c. Validitas penafsiran KH. Ahmad Yasin dapat dinilai dengan teori
koherensi dan pragmatisme.
2. Kelemahan Tafsir KH. Ahmad Yasin
a. Beliau kurang memilah kualitas riwayat-riwayat dalam Hadis
Nabi, akibatnya tercampur antara Hadis Ṣaḥīḥ, Ḥasan dan Ḍa‟īf.
124
b. Profil mufasir yang berlatar belakang pengalaman spiritual sangat
mempengaruhi penafsiran KH. Ahmad Yasin bercorak ṣūfī, dengan
rujukan kitab-kitab tasawuf yang banyak dikaji di Pesantren.
c. Validitas penafsiran KH. Ahmad Yasin tidak dapat dinilai dengan
teori korespondensi, karena teori ini bersifat membenarkan produk
penafsiran, apabila ia sesuai dengan realitas empiris. Sedangkan
nalar sufi yang tersaji dalam beberapa kitab tafsir Ahmad Yasin,
adalah sejalan dengan nalar intuitif dan pengalaman spiritual.
Sehingga hal ini menyulitkan metodologi penafsiran ini diuji
dalam konteks pembacaan konteks realitas yang ada.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan deskripsi dan analisis terhadap penafsiran
Tafsir KH. Ahmad Yasin maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Metode tafsir KH. Ahmad Yasin dapat dikatakan sebagai tafsir
al-Qur‟an metode mauḍū‟ī dan sebagian kitab tafsirnya menggunakan
metode ijmālī. Menurut hemat penulis, tafsir KH. Ahmad Yasin dapat
digolongkan dalam metode mauḍū‟ī lī sūrah wāhid ala Musṭafa Muslim.
Penafsir hanya mengkhususkan satu surah dan ayat untuk dikaji secara
komprehensif dengan berbagai macam aspeknya. dengan ciri-ciri
sebagaimana contoh: sebelum menafsirkan sūrah al-Fātiḥah, beliau
terlebih dahulu menjelaskan hal yang terkait dengan sūrah al-Fātiḥah
dengan memaparkan dua fasal: pertama, beliau membahas hadis
keutamaan-keutamaan, kekhususan surah, dan kemanfaatan sūrah al-
Fātiḥah dan basmalah. Di samping itu, beliau menerangkan jumlah
bilangan yang terkandung dalam sūrah al-Fātiḥah. kemudian beliau
menerjemahan ayat satu persatu, dan menafsirkan dengan menggunakan
korelasi antar ayat atau surah, kebahasaan, riwayat-riwayat yang
berkaitan, dan pendapat ulama-ulama serta hikmah yang terdapat dalam
sūrah al-Fātiḥah. Dan menggunakan ijmālī. Penafsir menjabarkan sebuah
ayat dengan ringkas, jelas, dan terperinci. Dengan menghadirkan hadis dan
perkataan ulama serta memunculkan keutamaan ayat tersebut.
Kedua, Kitab-kitab rujukan yang digunakan oleh KH. Ahmad Yasin,
meliputi kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer. kitab-kitab fikih, kitab-
kitab hadist dan kitab-kitab hikmah. Beliau lebih banyak menukil dari 2
macam fan kitab, yaitu fan Kitab tafsir al-Qur‟an seperti; Tafsīr Mafātih
al-Gaib karya Fakhruddin al-Rāzī, Tafsīr al-Qurṭubī karya Imam al-
126
Qurṭubī, dan Tafsīr Ibnu Kaṡīr karya Ibnu Kaṡīr dan fan Kitab ḥikmah,
seperti; khazīnah al-Asrār karya Muḥammad haqqī al-Nāzilī. Beliau
menggunakan model tafsir klasik-tradisional dengan merujuk pada kitab
tafsir klasik.
Ketiga, Validitas penafsiran beliau dapat dinilai dengan teori koherensi
dan pragmatisme, sedangkan pada teori korespondensi, tidak dapat dinilai
karena teori ini bersifat membenarkan produk penafsiran, apabila ia sesuai
dengan realitas empiris. Adapun penafsiran dalam kitab-kitab tafsirnya
lebih condong pada pendekatan sufistik. Yang mana tafsīr ṣūfī adalah
tafsir yang dibangun dan dibentuk dengan intuitif.
Keempat, KH. Ahmad Yasin menafsirkan dengan beberapa corak
penafsiran, yakni corak ṣūfī, corak lughawī, corak adabi ijtimā‟ī, corak
kalam, corak „ilmī, corak fikih, dan corak falsafī. Menurut hemat penulis
beliau lebih condong pada corak ṣūfī disebabkan pengalaman spiritualnya
sehingga kebanyakan kitab-kitab yang ditulisnya lebih condong pada
corak ṣūfī begitupula kitab-kitab tafsirnya.
B. Kritik dan Saran
Dalam konteks penafsiran al-Qur‟an di Indonesia, diperlukan
keberanian intelektual untuk mengubah paradigma dan epistemologi dari
nalar ideologis ke nalar kritis. Perkembangan tafsir sangat dipengaruhi
oleh perubahan dan perkembangan epistemologi yang menyertainya.
Apabila situasi zaman telah berubah, namun epistemologi tafsirnya tidak
berubah maka perkembangan tafsir tetap saja akan mengalami stagnasi.
Akibatnya, tafsir akan terjebak pada pengulangan pendapat-pendapat masa
lalu yang belum tentu relevan dengan konteks keindonesiaan.
Sebagai sebuah eksperimentasi keilmuan, tentunya ada kekurangan
dalam memotret penafsiran KH. Ahmad Yasin baik dalam memberikan
analisis dan melakukan kritik atasnya. Selain itu, upaya penulis untuk
127
bersikap objektif dalam mengkaji pemikiran KH. Ahmad Yasin ini tentu
saja tetap menyimpan unsur-unsur subjektivitas. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan dan menyempurnakan karya ini, maka kritik dan saran
yang tentunya bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga karya
sederhana ini dapat ditindaklanjuti, baik oleh penulis sendiri maupun oleh
para sarjana studi tafsir lainnya.
128
129
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Madzhab Ciputat, 2013.
Al-Andalusī, Abu Ḥayyān. Tafsīr al-Baḥr al-Muḥīṭ. Beirut; Dār al- Fikr,
1420 H.
Anshori LAL.Tafsir Bil Ra‟yi menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijthad.
Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Anwar, Abu. Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit
AMZAH, 2009.
Ash-Shiddieqy, Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/al-Qur‟an.
Jakarta; Bulan Bintang, 1974.
---. Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra. 2009.
Asymuni, Ahmad Yasin. Tafsīr Āyah al-Kursī fī Bayāni Nuzūlihā wa
Asmāihā wa Afḍalīyatihā wa al-Khaṣāiṣ Liqirāatihā wa Kitābatihā
wa Da‟wātihā wa Tafsīrihā. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-
Thullab, t.t.
---. Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat
al-Thullab, t.t.
---. Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-
Thullab, t.t.
---. Tafsīr al-Fātiḥah. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab.
---. Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab,
t.t.
---. Tafsīr al-Mu‟āwiżatain. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab,
t.t.
---. Tafsīr Mā Aṣābak. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab, t.t.
---. Tafsīr Ḥasbunallāh wa ni‟ma al-wakīl. Kediri: Pondok Pesantren
Hidayat al-Thullab, t.t.
130
---. Tafsīr Sūrah al-Qadr. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab,
t.t.
---. Tafsīr Sūrah al-Kāfirūn. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-Thullab,
t.t.
---. Ṣallū „Alaih fī bayāni Tafsīr al-Āyah. Kediri: Pondok Pesantren
Hidayat al-Thullab, t.t.
---. Ahlussunnah Wa Khaṣāiṣuhum Wa ahl al-Bid‟ah. Kediri: Pondok
Pesantren Hidayat al-Thullab, t.t.
---. Al-Basmalah min Jihat Funūn al-„Ilm. Kediri: Pondok Pesantren
Hidayat al-Thullab, t.t.
---. Asbāb al-Wurūd fī al-Fiqh. Kediri: Pondok Pesantren Hidayat al-
Thullab, t.t.
---. Makārimul Akhlāq. Kediri: Pondok Pesantren Hidayatut Thullab
Pethuk, 2007.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia. Tiga
Serangkai: Pustaka mandiri, 2003.
Biyanto. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustka Pelajar,
2015.
Blackburn, Simon.diterj. Yudi Santoso. KAMUS FILSAFAT. cet. 1,
Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2013.
Al-Dārimī, Abdullāh bin Abdurrahmān. Sunan al-Dārimī. Maktabah
Syamila; Mauqi‟ wizārat al-auqāf al-Miṣriyah, t.t.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Indonesia Inggris An
Indonesia-English Dictionary. cet. 9, Jakarta: PT Gramedia, 2006.
Al-Farmāwī, „Abdul Ḥay. al-Bidāyah fī al-Tafsīr Al-Mauḍu‟ī. Kairo: Al-
Hadrah al-„Arabiyah, 1977.
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-Tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir. Bandung: penerbit Pustaka, 1987.
131
Fedrspiel, Howard M. kajian Al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab. Bandung; Penerbit Mizan, 1996.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi. Yogyakarta:Lkis, 2013.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: sebuah kajian
hermeneutik. Jakarta: paramadina, 1996.
Ibnu Manẓur, Muḥammad bin Makram. Lisān al-„Ārab. Beirut: Dār sādr,
t.t.
Iqbal, Mashuri Sirojuddin dan Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
ANGKASA, 1994.
Iyāzī, Muḥammad „Ali. Al-Mufassirūn Ḥayātuhum Wa manhajuhum.
Teheran: Muassasah al-Tabâ‟ah wa al-Nasyr Wizārah al-Ṡaqāfah al-
Irsyād al-Islāmī, 1333 H.
Nugraha, Eva. KOMODIFIKASI DAN PRESERVASI KITAB SUCI Dalam
Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia. Tangerang
Selatan: hipius, 2019.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Jakarta; Ciputat Press, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta, LkiS
GROUP, 2012.
---. Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik Hingga Kontemporer.
Bandung: Mizan, 2007.
Mustafā, Ibrahīm. al-Mu‟jam al-Wasīṭ. Majma‟ Lughah al-„Arabiyah. t.t.
Muslim, Mustafā. Mabāḥiṡ fī Tafsīr al-Mauḍū‟ī. Damaskus: Dār al-
Qalam, 2000.
132
Nawawi, Rif‟at Syauqi dan Muḥammad Ali Hasan. Pengantar Ilmu Tafsir.
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Al-Qattān, Manna‟. Mabāhiṡ fī „Ulūm al-Qur‟ān. Mansyurat al-Aṣr al-
Ḥadiṡ, ttp., 1973.
Al-Rāzī, Fakhruddin. Asrār al-Tanzīl wa Anwār Al-Ta‟wil. Beirut: Dār al-
Jail, 1992, dan Mesir: al-Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1997.
Terj. M. Abdurrahman, Bandung: Tafsir Kalimah Tauhid, Pustaka
Hidayah, 2007.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I atas Berbagai
Persoalan Umat. Cet, 9. Bandung: Mizan, 1999.
---. Lautan Hikmah. Bandung: Mizan, 1994.
---. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jilid. II.
Jakarta: Alhmahira, 2002.
---. Membumikan al-Qur‟an: fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan
Masyarakat, Bandung; Mizan, 1994.
---. Tafsir Amanah. Jakarta; Pustaka Kartini, 1992.
---. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
---. Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut anda ketahui dalam
memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an. Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Al-Ṣabūni, Muḥammad Ali. Rawā‟iu al-Bayān: Tafsīr Āyah al-Aḥkam
Min al-Qur‟ān. Juz 1. Beirut: Dār al-Qalam, 1997.
Sudarsono. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta,
2001.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
BUMI AKSARA, 2013.
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.
133
Al-Ṣuyūtī, Jalāl al-Dīn. al-Dūr al-Manṡūr bī al-Ma'ṡūr. juz 3, Mesir: ttp.,
2003.
---. al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-
Su‟ūdiyyah, t.t.
Tim Penyusun MKD UINSA Surabaya. Pengantar Filsafat. Surabaya:
UINSA Press, 2013.
Tim Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. 4, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.
Al-Żahabī, Muḥammad Ḥusain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Dār al-
Ḥadiṡ, 2005.
Al-Zarkasyī, Muḥammad bin Bahādir bin Abdullah. al-Burhān fī „Ulūm
al-Qur‟ān. Beirut: Dār al-Ma‟rifah. t.t.
Artikel:
Baidhowi, Ahmad. “Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklil Fi Maani al-Tanzil,”
Nun: Jurnal Studi al-Quran dan Tafsir di Nusantara. Vol. 1, No. 1
(2015): 33-61.
Gusmian, Islah. “Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,”
Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah IAIN Surakarta, Nun, vol. 1, No.
1 (2015): 1-32.
Saleh, Fauzi. “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh,” al-Ulum. Vol. 12, no.
2 (2012): 377-396.
SI., Retno Kartini. “Tipologi Karya Ulama Pesantren Kediri Jawa Timur,”
Jurnal Lektur keagamaan, Vol.12, No. 1 (2014): 127-148.
Skripsi
Fitroni, Mochammad Chomaruddin. “Tafsir Basmalah Karya Ahmad
Yasin Asymuni,”Skripsi S1., Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an
(PTIQ) Jakarta, 2018.
134
Hidayatullah, Nur. “Penafsiran ba‟ dalam Basmalah: Analisis Naskah
Kitab Tafsir Bismillahirrahmanirrahim karya Ahmad Yasin
Asmuni,” skripsi S1., Universitas Islam Negeri Surabaya, 2017.
Hilmi, Faisal. “Metode dan Corak Tafsīr al-Aklīl Fī Ma‟āni al-Tanzīl
karya KH. Misbah bin Zainul Musthofa,” Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Irwan. “Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim;
Aplikasi Metodologi Kajian Islah Gusmian,” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Iskandar, AN. “Makarimal Akhlak,” Skripsi S1., Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Kudus, 2017.
Kamalia, Wilda. “Literatur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan
Corak Tafsir Juz „Amma al-Sirāju„i Wahhāj karya M. Yunan
Yusuf),” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017.
Syazwana, Filzah. “Corak Penafsiran Kalam Mahmud Yunus dalam Tafsir
Qur‟an Karim,” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018.
Tesis
Nafiuddin, M.“Al-Hikmah dalam Al-Qur‟an Menurut Ulama Tafsir,”
Tesis S2., Universitas Islam Negeri Surabaya, 2010.
May, Asmal. “Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin,” Tesis S2., IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1999.
Disertasi
Abrar, Arsyad. "Epistemologi Tafsir Sufi (studi terhadap tafsir as-Sulami
dan al-Qushayrī),” Disertasi S3., Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
135
Hadariansyah, “KH. Hasan Basri (1920-1998) Kajian Biografis Tokoh
Majelis Ulama Indonesia,” Disertasi S3., Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkām al-Zuhailiy dalam al-Tafsīr al-
Munīr,” Disertasi S3.,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Website:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, kbbi.web.id/metode
diakses, 13 Maret 2019.
---, https://kbbi.web.id/ulama.html diakses, 13 Maret 2019.
---, https://kbbi.web.id/corak diakses, 13 Maret 2019.
----, https://kbbi.web.id/empiris. diakses, 10 Desember 2019.
---, https://kbbi.web.id/epistemologi. diakses, 12 Desember 2019.
Awi, Muhammad, “Profil KH Yasin Asymuni, 2015,” diakses, 05
Desember, 2018, jam 23.22 WIB.http://www.pphtpetuk.or.id/profil-
khyasin-asymuni-ppht/