27
A Paper About ANALISIS REKONSTRUKSI NASIONALISME PENDIDIKAN ISLAM Abaz Zahrotien A. Meninjau Ulang Kajian dan muatan Nasionalisme dalam Pendidikan Islam Sebagai sebuah sistem yang berjalan, pendidikan Islam tentunya memiliki orientasi dan target tertentu yang menjadi tujuan dasar proses berpendidikan. Disamping target tersebut, ada efek dominio yang muncul sebagai bagian yang turut serta menyertai tercapainya targetan yang telah terencana. Artinya, selain ada tujuan, juga ada hasil proses yakni nilai turunan yang diperoleh dari upaya mencapai tujuan. Terlepas dari tujuan awal bahwa pendidikan adalah sebuah sistem yang berupaya mencerdaskan masyarakat dengan pengetahuan, ada misi etis yang dibawa sebagai dampak tidak langsung dari proses tersebut. Taruhlah misalnya sebagai sebuah sistem pendidikan agama, pesantren bertujuan menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kapasistas dan kapabilitas pengetahuan agama serta penerapan dalam laku sosialnya. Efek domino dari upaya mencapai target tersebut yang turut membangun adalah, menciptakan sumber daya manusia yang prihatin, rajin, ulet dan memiliki kesalehan individu dan sosial. Demikian juga pendidikan secara umum, bahwa tujuan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat, mengarahkan potensi peserta didik ke dalam ruang yang aplikatif dan sesuai, maka ada target turunannya berupa bagaimana peserta didik mampu menjadi sumber daya manusia yang disiplin, menghargai proses dan kecakapan sosial. Dampak turunan dari proses pendidikan inilah justru yang terpenting yang dapat membentuk

Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

A Paper About

ANALISIS REKONSTRUKSI NASIONALISME PENDIDIKAN ISLAM

Abaz Zahrotien

A. Meninjau Ulang Kajian dan muatan Nasionalisme dalam Pendidikan

Islam

Sebagai sebuah sistem yang berjalan, pendidikan Islam tentunya

memiliki orientasi dan target tertentu yang menjadi tujuan dasar proses

berpendidikan. Disamping target tersebut, ada efek dominio yang muncul

sebagai bagian yang turut serta menyertai tercapainya targetan yang telah

terencana. Artinya, selain ada tujuan, juga ada hasil proses yakni nilai

turunan yang diperoleh dari upaya mencapai tujuan.

Terlepas dari tujuan awal bahwa pendidikan adalah sebuah sistem

yang berupaya mencerdaskan masyarakat dengan pengetahuan, ada misi

etis yang dibawa sebagai dampak tidak langsung dari proses tersebut.

Taruhlah misalnya sebagai sebuah sistem pendidikan agama, pesantren

bertujuan menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kapasistas

dan kapabilitas pengetahuan agama serta penerapan dalam laku sosialnya.

Efek domino dari upaya mencapai target tersebut yang turut membangun

adalah, menciptakan sumber daya manusia yang prihatin, rajin, ulet dan

memiliki kesalehan individu dan sosial.

Demikian juga pendidikan secara umum, bahwa tujuan pendidikan

untuk mencerdaskan masyarakat, mengarahkan potensi peserta didik ke

dalam ruang yang aplikatif dan sesuai, maka ada target turunannya berupa

bagaimana peserta didik mampu menjadi sumber daya manusia yang

disiplin, menghargai proses dan kecakapan sosial. Dampak turunan dari

proses pendidikan inilah justru yang terpenting yang dapat membentuk

Page 2: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

karakter peserta didik karena pengalaman membuktikan bahwa guru yang

terbaik bukan dari materi pelajaran atau buku-buku yang terkait dengan

hal tersebut, tetapi hal yang paling baik dan mencerdaskan adalah

pengalaman.

Kembali pada term awal, bahwa sebelum di tinjau ulang seberapa

jauh pendidikan agama memiliki target, baik target dominan maupun efek

domino, terhadap pengembangan nasionalisme dalam berbangsa, maka

akan lebih jelas ketika harus dirumuskan dan didefinisikan kembali secara

tematik mengenai pendidikan, agama dan nasionalisme. Ini penting untuk

dapat membedakan ruang yang satu dengan ruang yang lain sehingga

dalam analisisnya tidak kacau serta ada penyerobotan ruang gerak antara

satu tema dengan tema yang lain.

Diawali dengan pendidikan, bahwa pendidikan pada dasarnya

adalah proses memanusiakan manusia (humanising human being) artinya

pendidikan adalah suatu upaya pengangkatan manusia ke taraf insani

sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan

membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses homonisasi dan

humanisasi, membantu manusia muda untuk berkembang menjadi

manusia yang utuh, bermoral, bersosial, berkarakter, berpribadi,

berpengetahuan dan berohani. Pendidikan merupakan salah satu sarana

yang efektif untuk membina dan mengembangkan potensi yang ada pada

diri manusia. Hal tersebut dapat terlaksana dalam masyarakat apabila

pendidikan dilaksanakan dengan teratur, rapi berdaya guna dan berhasil

guna.

Menarik apa yang ditesiskan oleh John Dewey bahwa pendidikan

adalah sebagai kebuTuhan hidup (a necessary of life), sebagai suatu fungsi

sosial (a social fungtion), sebagai bimbingan (as directing) dan sebagai

sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan, membukakan dan

membentuk disiplin hidup1.1 John Dewey, 1966, Democracy and Education, New York, The Free Press, hal 54,

sebagaimana dikutip Ali Muhi Amnur (Ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, 2007, Pustaka

Page 3: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Banyak definisi mengenai pendidikan dengan berbagai perspektif

para pendefinisnya, ada yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan

upaya survival collective masyarakat berbudaya untuk bertahan atas

budayanya itu. Ada pula yang menafsirkan sebagai sebuah upaya untuk

menciptakan tatanan yang lebih ideal dari tatanan yang sudah ada dalam

tujuan pendidikan jangka panjangnya. Apapun pengertiannya, gambaran

global dari pendidikan telah dapat dirumuskan, yakni sebuah proses untuk

mencerdaskan manusia secara intelektual dan menanamkan nilai citra diri

ideal peserta didik yang bermoral.

Sementara itu, agama sebagai sebuah institusi lebih akan berbicara

mengenai sebuah sistem lembaga sosial yang bergerak dalam bidang

pembenahan, pertahanan serta memajukan kondisi spiritual masyarakat,

baik secara kolektif maupun individual, yang mengarah pada suatu hal

yang transenden dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat yang

berbudaya, berwawasan serta bermoral dengan sesuatu yang transenden

tadi sebagai titik sentralnya.

Agama dengan berbagai ritus menciptakan kesalehan diri,

berupaya untuk membentuk karakter masyarakat secara keseluruhan yang

berbudaya, bernuansa keagamaan dan yang paling diutamakan adalah

(dalam bahasa agama) menyelamatkan manusia dari kejahatan yang

terstruktur untuk mencapai tujuan akhir yang baik (khusnul khatimah).

Sebagai sebuah institusi sosial dan sistem nilai kolektif, agama

berperan erat dalam menciptakan tatanan sosial yang ideal. Bahwa dengan

adanya agama, sebagai sistem nilai, maka peran agama menjadi social

justice terhadap tatanan sosial yang menyeleweng dari aturan agama.

Maksudnya, agama dalam hal ini berperan sebagai sistem nilai yang

memiliki kewenangan dalam memberikan peraturan, kontrol sosial serta

social justice. Lebih jelasnya lagi, bahwa agama dalam sistem sosial

bertindak sebagai institusi sosial yang membuat peraturan, mengawasi

Fahima, Jogjakarta, hal 71

Page 4: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

peraturan serta memberikan sanksi atas pelanggaran sosial dalam upaya

menciptakan tatanan masyarakat yang ideal sebagaimana yang menjadi

misi etis agama dalam ranah sosial.

Sementara itu, dalam ranah transenden, agama bertindak sebagai

mediator manusia untuk ‘menjumpai’ Tuhan penciptanya. Dalam ritus

transendennya, manusia memasrahkan diri terhadap Tuhan tentang

pertanggungjawabannya atas tindakannya pada saat itu yang dinilai tepat

atau kurang tepat dengan ajaran agama yang dianutnya. Bahawa agama

dalam ruang ini merupakan ruang privasi, yakni ruang yang hanya dapat

diisi individu dengan Tuhannya meskipun terkadang dalam menjalankan

ritus tersebut secara kolektif.

Poin terakhir, nasionalisme yakni merupakan manifesto dari

pernyataan tatanan kolektif yang diikrarkan secara tidak langsung.

Artinya, merupakan bukti dan rasa cinta terhadap komunitas, bangsa atau

negara yang dibuktikan dengan turut serta mempertahankan kedaulatan

komunitas, bangsa atau negaranya dari berbagai upaya desintegrasi yang

memecah belah kedaulatan tersebut. Mudahnya, nasionalisme

bermodaldasarkan rasa memiliki dan cinta terhadap komunitas, bangsa

atau negaranya sendiri yang diterjemahkan dalam laku sosialnya.

Nasionalisme yang merupakan tanggungjawab semua warga

negara dalam menciptakan tatanan negara yang berdauat merupakan

manifestasi dari pernyataan secara tradisi untuk mengakui negara sebagai

sistem sosial yang paling dapat menjamin kemerdekaan sosial

masyarakatnya. Kesepakatan secara turun temurun ini berangkat dari satu

kesamaan nasib sejarah yang kemudian menimbulkan cita-cita bersama

dan bergerak pada ruang yang sama untuk mencapai satu tujuan,

kedaulatan negara.

Hari ini, nasionalisme merupakan jawaban pasti atas problem

desintegrasi bangsa. Bahwa nasionalisme hari ini sudah mulai lapuk dan

harus disuburkan kembali karena banyak ekses-ekses yang merangsang

Page 5: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

terjadinya chauvinisme yang mengunggulkan komunitasnya atas

komunitas yang lain dalam kehidupan berbangsa secara kolektif. Rasa

memiliki secara komunal telah hilang, jangankan rasa cinta, bahkan rasa

memiliki saja sudah tidak dimiliki atau cenderung diabaikan karena proses

sosial yang terjadi di sekitarnya.

Pada titik terakhir, setelah ketiga ruang tadi diterjemahkan dalam

terjemahan yang realis, kemudian yang pertama harus dilakukan adalah

meneliti kembali sejauh mana peran pendidikan mampu menciptakan rasa

nasionalisme. Pendidikan agama yang ada di Indonesia sejauh mana dapat

menjamin masyarakatnya untuk memiliki rasa cinta terhadap integritas

Indonesia sebagai bangsa dan Indonesia sebagai sebuah negara yang

berdaulat penuh tanapa harus menguarai segala bentuk perbedaan

keyakinan, suku, ras, dan warna.

Sebelum sampai menguji jauh, terlebih dahulu kembali harus kita

tentukan, apakah pendidikan agama yang dimaksud disini sebagai

pendidikan formal institusional atau pendidikan agama yang kultural non

formal?. Ini penting mengingat dalam khazanah klasik masyarakat

Indonesia lembaga pendidikan agama non formal menjamur di tiap daerah.

Munculnya pondok pesantren, madrasah diniyah, forum halaqah,

pengajian, forum bahtsul masa’il dan sebagainya merupakan contoh riil

adanya pendidikan non formal struktural yang ada dan berkembang di

Indonesia, bahkan sejak zaman dahulu sebelum sekolah formal

diperkenalkan dalam ruang publik.

Pemisahan ini bukan bertujuan untuk mendikotomikan antar dua

sistem yang berbeda untuk kemudian menjustifikasi kebenaran atas salah

satunya, namun lebih pada bagaimana teori nasionalisme itu dijamin dan

ditumbuhkembangkan dalam sistem yang mana serta menguji sejauh mana

korelasi kedua sistem ini dalam pengembangan nasionalisme.

Padahal, antara sistem pendidikan formal dengan pendidikan non

formal yang ada di Indonesia, merupakan dua hal yang tidak terpisahkan,

Page 6: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

bahwa munculnya yang pertama merupakan cikal bakal dari sistem yang

kedua, demikian juga yang kedua, sistem non formal selanjutnya

dikembangkan dalam suasana yang lebih tertata dengan sistem formal.

Oleh karenanya, kedua sistem inilah yang kemudian akan menjadi objek

analisis ini dengan model generalisasi masalah tanpa mendikotomikan

antara yang satu dengan yang lain.

Pendidikan non formal seperti Pondok Pesantren merupakan ciri

khas sistem pendidikan di Indonesia. Sebelum munculnya pondok

pesantren di berbagai tempat, sejarah juga mencatat bahwa ada sistem

pendidikan yang sama dengan pesantren. Orang-orang datang ke sebuah

tempat dan belajar agama budha/hindu, kepada orang yang lebih pandai,

tinggal ditempat tersebut untuk beberapa waktu, serta mengikuti disiplin

pendidikan yang disusun sesuai norma agama hindu/Budha yakni yang

dikenal sebagai padepokan. Peran padepokan dan pondok pesantren

sebagai institusi pendidikan lebih riil menggambarkan sistem pendidikan

yang tertua di indonesia. Pesantren ataupun padepokan muncul jauh-jauh

hari sebelum Belanda mengenalkan politik etis yang isi salah satunya

adalah mengenai pendidikan.

Pendidikan non formal tersebut, meskipun konsentrasi

pendidikannya lebih menekankan pendidikan keagamaan, namun itu tidak

dapat dipungkiri bahwa pesantren dan padepokan memberikan kontribusi

yang besar terhadap pengembangan masyarakat dan pemupukan jiwa-jiwa

nasionalisme. Taruhlah sebagai contoh pondok pesantren Ampeldenta

(yang konon dianggap sebagai pesantren tertua) yang didirikan Sunan

Ampel di Surabaya, selain sebagai tempat untuk memperoleh ilmu-ilmu

agama dari Sunan Ampel, pesantren ini juga mengajarkan tentang

bagaimana membangun masyarakat, beliau (Sunan Ampel) selalu

mengajarkan kepada santrinya untuk mendarmabaktikan dirinya untuk

kepentingan kemaslahatan masyarakat. Sunan Kalijogo, Sunan Kudus dan

Page 7: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Sunan Gunungjati sebagai contoh, mereka adalah beberapa santri sunan

Ampel yang muncul dipermukaan.

Sunan Gunungjati merupakan seorang ulama besar (yang

tergabung dalam walisongo) serta prajurit yang taat dan pemberani. Salah

satu kebesaran kerajaan Demak adalah karena peran serta Sunan Gunung

jati yang mendarmabhaktikan dirinya untuk masyarakat, agama dan

negara.

Lain halnya dengan Sunan Kalijogo, ulama yang konon juga

seorang wali ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdakwah

di daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan kearifan lokal yang ada

seperti tari-tarian, wayang, tetembangan (lagu-lagu), dolanan (permainan)

dan sebagainya. Sunan Kalijogo menghabiskan waktunya untuk

mengembangkan masyarakat dan memberikan pendidikan kepada

masyarakat secara kultural dengan tidak mendirikan institusi pendidikan

secara resmi untuk masyarakat grass root.

Gambaran selanjutnya, apakah pendidikan yang mengajarkan

untuk mencerdaskan orang lain melalui sebuah sistem, kemudian

ditumbuh kembangkan lagi keilmuannya dalam mengembangkan

masyarakat dan mencerdaskan sosial tidak merupakan bagian dari

nasionalisme?.

Atau paling tidak, apa yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati

yang merupakan tentara kerajaan Islam Demak Bintoro untuk berperang

melawan Belanda di Batavia dan Banten tidak merupakan contoh konkrit

dari laku nasionalisme?.

Untuk mengetahui kepastiannya, beberapa ulasan selanjutnya

mungkin dapat membantu untuk memecahkan kebuntuan. Pertanyaan

diatas hanya sebagai acuaan untuk memberikan landasan pengetahuan

bahwa nasionalisme tidak hanya mengajarkan mengenai berperang untuk

mempertahankan kedaulatan negara, menjadi anggota militer atau turut

Page 8: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

serta bermain dalam ranah politik negara. Tetapi hal-hal kecil yang

merupakan manifesto rasa cinta terhadap negara juga merupakan

pengejawantahan dari nasionalisme dalam konteks laku. Inilah yang sering

dilalaikan, bahwa membicarakan nasionalisme maka ingatan publik lebih

menjurus kepada militer yang memegang senjata dari pada seorang guru

ngaji yang sedang mengajar ilmu agama.

Sejarah mencatat, bahwa sebelum abad ke-20 Indonesia berada

pada “ruang hampa”, dimana yang ada dalam benak masyarakat secara

keseluruhan adalah bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-

hari tanpa mendapat kekejian dan ancaman dari Belanda. Demikian juga

dengan upaya meraih kemerdekaan, perjuangan itu dilakukan tidak

tersentral dan terstruktur, yang ada masing-masing daerah melakukan

perlawanan tanpa melibatkan daerah yang lain, perjuangan sektoral,

demikian istilahnya.

Selanjutnya, pasca disahkannya politik etis dari kerajaan Belanda,

masyarakat negara Indonesia memiliki sedikit keleluasaan untuk

memperoleh pendidikan, pengairan untuk pertanian serta mendapatkan

lahan baru dengan transmigrasi ke luar pulau Jawa yang dinilai telah

terlalu padat.

Pada masa ini, pergerakan nasional mulai nampak muncul di

permukaan, dimulai dari Boedi Oetomo yang hendak mencerdaskan

masyarakat miskin melalui pola pendidikan yang mengarusutamkan

kearifan lokal yang ada sebagai tindak perlawanan atas hegemoni

pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak menjamin kemerdekaan

berpendidikan secara kolektif.

Dalam wilayah ini, peranan pendidikan agama juga masih

memberikan kontribusi yang besar, dimana pada masa ini, pondok

pesantren merupakan tempat selain untuk belajar ilmu agama juga sebagai

kawasan militer sipil, yakni kaum santri yang dianjurkan untuk berjihad

dengan berperang melawan penjajah. Sebagai komandannya, Ustadz atau

Page 9: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Kiyainya menjadi pemimpin terdepan ‘santri militer’ ini dalam setiap

pertempuran mengusir penjajah. Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan

produsen pesantren semacam ini dan menjamur di tiap-tiap daerah.

Gaya santri militer juga didukung oleh masyarakat sekitar

pesantren, ketika berperang, masyarakat yang memang selalu merasa

dirugikan oleh kebijakan penjajah juga turut serta angkat senjata ala

kadarnya dalam mengusir penjajah. Meskipun alat perangnya sederhana,

seperti bambu runcing, yang kemudian ditarungkan dengan senjata api,

namun kekuatan santri militer ini tetap tangguh karena menurut informasi

yang beredar turun temurun bahwa senjata yang digunakan seperti bambu

runcing mengandung kekuatan mistis.

Terlepas dari itu, dalam hal ini akan penulis petik salah satu

maqalah dari As Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang berbunyi,

حب الوطن من اليمانArtinya: “ Cinta Tanah Air merupakan sebagian dari Iman” 2

Maqalah (dawuh) ini memberikan arti yang mendalam tentang

bagaimana masyarakat itu peduli terhadap negara, mencintai negara

sebagai manifestasi keiman terhadap Sang Pencipta alam, karena negara,

dalam pandangan beliau, adalah sebuah sistem yang akan menjamin

kemeredekaan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh agama sendiri.

Maka dengan pandangan itu KH. Hasyim Asy’ari dan NU pada umunya

mengajukan konsep persaudaraan dalam masyrakat yang plural seperti

Indonesia dengan persaudaraan sesama manuisa (Ukhuwah basyariyah),

persaudaraan sesama umat beragama (ukhuwah diniyah), persaudaraan

sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan sesama warga

negara (ukhuwah wathaniyah).3

2 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, LkiS, Yogyakarta, 2007, hal. 1903 Ibid, hal. 175-176

Page 10: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Bahwa, peranan pesantren pada masa penjajahan lebih banyak

sebagai lembaga pendidikan yang terkonsentrasi pada pengenalan ajaran

agama dengan didukung doktrinasi untuk mempertahankan negara dari

serangan bangsa asing yang hendak meruntuhkan kedaulatan negara.

B. Rekonstruksi Paradigmatik pendidikan Islam yang Berwawasan

Nasionalisme

Sebagaimana telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, bahwa pada

dasarnya, pendidikan merupakan upaya humanisasi dan hominisasi. Kalau

hominisasi lebih bagaimana mengembangkan manusia menjadi manusia

sebagai makhluk, pendeknya, pertumbuhan biologis psikis, maka akan lain

halnya dengan humanisasi yang orientasinya lebih bagaimana manusia itu

tumbuh dan mengenal dirinya serta menumbuhkan rasa tanggung jawab

untuk mensejahterakan manusia yang lain dan dirinya sendiri.

Pada titik lain, bahwa yang membendakan manusia dengan

makhluk yang lain adalah bahwa manusia diciptakan dengan dianugerahi

akal (otak) sebagai alat berfikir dan mencari penemuan-penemuan baru.

Dengan dianugerahinya akal, maka praktis manusia harus lebih maju dan

berkembang dibandingkan dengan makhluk lainnya karena fungsi otak

(akal) saat ini sebagai control of doing dan think to be better. Apabila

kedua fungsi ini digabungkan, maka yang pertama kali sebelum sampai

pada berpikir untuk mencapai yang terbaik dengan penemuan baru adalah

mengasah kekuatan otak, memfungsikan otak sebagai alat berfikir untuk

mendapatkan pemikiran baru.

Bayangkan seandainya manusia tidak dianugerahi otak, maka baik

pithecantropus erectus ataupun Nabi Adam (dalam khazanah agama

samawi) tidak mampu berfikir dan manusia hari ini tidaklah jauh berbeda

dengan binatang-binatang lainnya yang ada disekitarnya, bahkan ada juga

kemungkinan manusia punah. Manusia hari ini tidak ubahnya seperti kera

apabila memang teori Charles Robert Darwin, The Origin of Species itu

benar adanya. Untunglah manusia memiliki otak sebagai control of doing

Page 11: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

dan think to be better yang akan terus berinovasi mencari penemuan baru

guna mempermudah kondisi dan situasi yang sedang dijalaninya. Bahkan

sempat pula muncul pernyataan bahwa kemajuan suatu bangsa lebih dapat

dilihat dari kualitas pendidikan serta pemanfaatan potensi kekuatan otak

untuk mencari penemuan baru.

Dalam konteks tersebut, dapat diketahui bahwa kemajuan suatu

bangsa tidak dapat terlepas dari fungsi pendidikan. Bahwa pendidikan

turut memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengembangan bangsa.

Penemuan teknologi-teknologi baru yang semakin mempermudah kinerja

manusia, tidak dapat lepas dari fungsi dunia pendidikan, meskipun dalam

ranah riil kemajuan bidang teknologi dan industri itu telah mengalahkan

laju perkembangan pendidikan, namun pada dasarnya bahwa kemajuan

bidang teknologi dan industri itu merupakan produk dunia pendidikan baik

secara langsung maupun melalui teori dasar yang dikembangkan melalui

penelitian otodidaknya pasca pendidikan.

Dapat kemudian diketahui setelah melihat kondisi diatas, bahwa

pendidikan merupakan tumpuan kemajuan suatu bangsa. Melalui

pendidikan dapat diukur sejauh mana bangsa tertentu telah maju.

Berkembangnya wacana merupakan bukti konkrit bahwa ilmu

pengetahuan yang hari ini dipelajari semakin mengalami penyempurnaan

teoritik untuk mendapatkan tesis-tesis yang akan menemukan titik terang

atau jalan menuju titik terang itu semakin lebar. Suatu bangsa yang

didalamnya wacana pengetahuan berkembang pesat, maka dapat diyakini

bahwa bangsa tersebut telah selesai dalam persoalan pendidikan dan

pengembangannya.

Yang kemudian harus dilihat secara kritis dan jeli adalah pada

wilayah metodologisnya, bahwa metode untuk mendapatkan pemikiran-

pemikiran baru tersebut merupakan barometer untuk menguji apakah

pemikiran-pemikiran tersebut terstruktur atau hanya penemuan pemikiran

berbasis realita yang lacakan akar epistemologi dan aksiologinya tidak

Page 12: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

terdeteksi. Ini hal yang paling menarik karena dengan mengetahui pola

pemikiran yang terstruktur dan tidak terstruktur merupakan bagian yang

paling menentukan dalam membaca tingkat kecerdasan positivistik (dalam

bahasa Auguste Comte) yang merupakan ciri tata sosial modern.

Menarik apa yang disampaikan Ali Muhdi, bahwa pendidikan

merupakan usaha sadar yang memiliki tujuan, yang tentunya memiliki

suatu landasan. Bagi suatu bangsa, proses pendidikan tidak lepas dari

filosofi dan kultur bangsa dimana proses pendidikan itu berlangsung.

Filosofi dan kultur bangsa akan menentukan idealisme manusia seutuhnya,

yang kemudian akan disampaikan dan bagaimana cara penyampaian

dilakukan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perbeedaan sistem dan

praktik pendidikan bermula dari perbedaan ideal manusia seutuhnya yang

dimiliki bangsa yang bersangkutan. Konsekuensinya, suatu bangsa tidak

mungkin dapat mengambil alih begitu saja sistem dan praktik pendidikan

yang demikian ini dari negara asalnya4

Selain memiliki ideologi, pendidikan juga membutuhkan

paradigma, yakni suatu cara atau model berfikir untuk mencapai tujuan

pendidikan. Melihat perannya yang begitu penting, sebuah Paradigma

haruslah efektif dan akurat. Paradigma yang dimiliki seseorang dengan

orang lain atau suatu bangsa dengan bangsa lain seringkali berbeda, dan

sebagai cara berfikir paradigma bisa berubah setiap saat sesuai dengan

kebutuhan.

Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca

mengenai ideologi pendidikan, bahwa tidak seluruh paradigma atau bagian

paradigma yang dilaksanakan berhasil sebagaimana yang diharapkan oleh

penemu paradigma tersebut. Banyak pelaksanaan paraigma mengalami

anomali, sehingga hal itu membuka jalan kepada penemuan baru atau teori

baru sehingga melahirkan paradigma baru pula.

4 Ali Muhdi Amnur (Ed), 2007, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Jogjakarta, hal. 18-19

Page 13: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Oleh karenanya, dalam sub-bab ini, penulis lebih terkonsentrasi

pada membaca paradigma dan ideologi pendidikan Islam, kemudian

mencari titik anomalinya, selanjutnya direkonstruksi kembali untuk

mendapatkan penyempurnaan dari pendidikan Islam yang berwawasan

Nasionalisme sebagaimana yang menjadi tujuan dan cita-cita paradigma

pendidikan islam.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan sistem

keyakinan yang dianut masyarakat untuk menata dirinya sendiri.

Sementara secara terminologi, ideologi memiliki formulasi yang beraneka

ragam, yang dapat disimpulkan sebagai seperangkat aturan yang diyakini

dan dijadikan pedoman dalam hidup. Seperangkat aturan tersebut dapat

berasal dari kebudayaan, agama atau kombinasi keduanya. Ideologi selalu

menentukan arah hidup suatu masyarakat. Satu yal yang perlu diperhatikan

adalah bahwa pengertian ideologi tidak cukup hanya dipandang

rasionalistik sebagai suatu yang disadari, tetapi perlu memperhitungkan

aspek-aspek afektif, ketidaksadaran dan simbolis dari ideologi. Aspek-

aspek afektif misalnya, menentukan bagaimana seseorang hidup dengan

relasinya yang spontan terhadap setu struktur kekuasaaan dalam kehidupan

masyarakatnya.

Sehubungan dengan pendidikan, ideologi diartikan sebagai

seperangkat aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan

dalam rangka mencapai tujuan. Sebuah ideologi pendidikan akan

bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, yaitu konservatif dan

liberal. Masing-masing aliran mempunyai tiga ideologi pendidikan5

Dalam aliran konservatif setidaknya ditemukan tiga ideologi,

yakni:

1. Ideologi fundamentalisme, pada dasarnya idelogi ini memiliki ciri

yang anti terhadap intelektual dalam arti meminimalkan

5 William F. O’Neil, 2001, Ideologi-ideologi Pendidikan, Terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 104-110

Page 14: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual, serta cenderung

untuk mendasarkan diri pada penerimaan yang relatif tanpa kritik

terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang

sudah mapan (taken for granted).

2. Ideologi intelektualisme, ideologi ini didasarkan pada sistem-sistem

pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian.

3. Ideologi konservatisme. Ideologi ini mendukung ketaatan terhadap

lembaga-lembaga dan proses-proses buadya yang sudah teruji lewat

waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap hukum

dan tatan sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif.

Adapun ideologi-ideologi liberal antara lain;

1. Idelogi liberalisme. Ideologi ini mengajarkan bahwa sekolah adalah

lembaga untuk menjadikan anak siap menghadapi kehidupannya.

2. Ideologi libarasionisme, ialah ideologi yang bertujuan untuk

memajukan kebebasan individu dan mempromosikan perwujudan

potensi-potensi diri semaksimal mungkin.

3. Ideologi anarkisme, yaitu ideologi yang menekankan perlunya

meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan

kelembagaan terhadap perlaku personal.6

Setidaknya dari dua aliran tersebut diatas dan enam ideologi yang

menjadi turunannya, dimanakah letak ideologi pendidikan Islam yang ada

ditengah-tengah proses pendidikan islam di Indonesia?.

Sebelum sampai pada menemukan mana yang merupakan ideologi

pendidikan islam Indonesia, hal yang pertama harus disadari bahwa

sejarah turut memberikan andil yang besar terhadap proses pendidikan

islam yang berlaku di Indonesia. Artinya bahwa sejarah telah berperan

sebagai bukti tentang bagaimana Islam mampu menjadi satu mainstream

6 Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, hal 20-21

Page 15: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

yang dianut oleh ratusan juta masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat,

bahwa kelahiran Islam di Indonesia tidak kemudian langsung taken for

granted, menerima apa adanya ajaran yang diberikan oleh para

pendahulunya, melainkan melalui proses yang teramat panjang dengan

berbagai pergulatan, baik pergulatan budaya maupun pergulatan ideologi.

Bahwa sejarah telah tercantum, Islam di Indonesia adalah Islam yang

mengalami proses akulturasi dengan khazanah lokal, Islam di Indonesia

dalam sisi muammalah telah mengalami percampuran peradaban, namun

tidak mengacaukan pada sisi akidahnya. Proses pergulatan ideologi inilah

yang memberikan warna terhadap kemajemukan negara Indonesia.

Dalam catatan perjalanan sejarah bangsa yang demikian itu, maka

praktis akan ditemukan berbagai ritus keagamaan (pada sisi muammalah)

yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Masing-masing

suku bangsa yang ada, memiliki ritus sosio religius sendiri yang berbeda

dengan yang lainnya karena memang pada dasarnya, sebagaiman

disebutkan dimuka, ritus muammalah mengalami proses akulturatif

dengan khazanah klasik lokal. Jelasnya, Islam di Indonesia adalah islam

yang berbeda dengan Islam lainnya karena penanaman ideologi

muammalahnya cenderung lebih menekankan pada penguasaan khazanah

klasik, yang tujuan dasarnya lebih pada bagaimana ideologi (agama) dapat

lebih mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat, pada lapisan grass

root sekalipun.

Yang sebenarnya ingin penulis katakan, bahwa Islam di Indonesia

adalah plural dan majemuk, yakni Islam yang beragam sesuai dengan

khazanah lokal yang ada dimasing-masing suku bangsanya. Bahwa Islam

Indonesia merupakan Islam yang kompleks yang pada beberapa sisi akan

ditemukan ciri khas yang menonjol yang akan membedakan antara satu

daerah dengan daerah yang lain, meskipun masih dalam satu kawasan.

Ambillah contoh permisalan, di Jogjakarta, tradisi memperingati kelahiran

nabi Muhammad SAW tidak hanya diperingati dengan mengadakan

Page 16: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

pengajian akbar saja, tetapi ritus-ritus klasiknya ditampilkan berupa

adanya prosesi kultur sesucen (mensucikan), membersihkan dan

mengarakkan benda-benda keramat (keris, tombak, gamelan dsb),

mengarak kuda keramat, memainkan gamelan keramat, membersihkan

harta dan jiwa atau kesemua prosesi kultural tersebut dinamakan grebeg

mulud.

Ini akan berbeda dengan yang terjadi di wilayah lain, misalnya di

pesisir pantai utara pulau Jawa yang masih dalam satu region. Masyarakat

pantura (sebutan tempat untuk wilayah utara pulau Jawa) prosesi seperti

diatas diadakan pada bulan sadran (sya’ban) yang intinya merupakan bukti

kepasrahan diri pada tuhan untuk mensucikan harta dan jiwanya sebelum

dibasuh lebih bersih dalam bulan ramadhan.

Jelaslah bahwa dalam tradisi sosial, akulturasi budaya semacam ini

memang menjadi hal yang menarik dan menunjukkan adanya perbedaan

kultural antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal inilah yang

kemudian menjadi persoalan apabila dalam menentukan ideologi

pendidikan Islam diseragamkan maka yang akan terjadi adalah ideologi

tersebut tidak akan dapat merealisasikan cita-citanya (anomali). Ramalan

anomali ini lebih dipertimbangkan karena dalam pengetahuan masyarakat,

ada banyak kultur yang berbeda dan satu sama lain memiliki landasan

filosofis sendiri yang dipegang kuat.

Selanjutnya, untuk mempermudah penjelasan, dengan mengetahui

bahwa negara indonesia tidak hanya kaya akan suku, bangsa, agama, ras

dan adat-istiadat, di dalam islam sendiri, sebagai satu bagian keragaman

terdapat banyak hal yang berbeda yang masing-masing memiliki akar

tradisi dan landasan filosofis yang kuat. Intinya, bahwa Islam di Indonesia

adalah islam yang jamak dan multikultural. Sehingga dalam penerapan

ideologinya harus bertumpu pada keragaman tersebut. Dimana penanaman

ideologi ini lebih menitikberatkan pada bukan upaya penyeragaman secara

Page 17: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

ideologi, tetapi menghargai perbedaan dengan menciptakan suasana tertib

multikultural.

Ideologi berbasis multikultural ini, sebaiknya para peneliti dan

pemikir tidaklah terlalu repot menciptakan ideologi, tetapi cukuplah

dengan pancasila sebagai suatu landasan ideologi. Dalam ruang kesadaran

masyarakat, telah diyakini bahwa pancasila (bukan Jakarta Charter) telah

menjamin suasana yang kondusif multikultural. Pancasila dengan berbagai

pasalnya yang mengarahkan pada satu sistem ideologi yang bertumpu

pada khazanah lokal terbukti mampu mengatasi krisis desintegrasi.

Artinya, yang ingin ditegaskan dalam hal ini bahwa pancasila telah

cukup untuk dapat dijadikan sebagai satu ideologi pendidikan Islam di

Indonesia. Yakni Ideologi pendidikan Islam yang berbasis pada kearifan

lokal sebagainama negara meletakan pancasila sebagai dasar negara

Indonesia yang final7. Yang menghargai perbedaan kultural dan

memberikan kebebasan untuk menjalankan tradisinya itu selama tidak

bertentangan dengan nilai dasar pancasila.

Setelah setidaknya dapat dianalisis bahwa pancasila menjadi satu

solusi terbaik dalam merumuskan ideologi pendidikan Islam, selanjutnya,

yang sebenarnya menjadi persoalan paling mendasar, yakni merumuskan

paradigma sabagai sebuah gagasan besar mengenai pentingnya paradigma

sebagai kerangka berpikir dan cara pandang secara kolektif.

Paradigma pada hakikatnya merupakan suatu model penelitian atau

model berfikir yang dianut oleh sekelompok manusia. Paradigma baru

pendidikan Isalm merupakan suatu konspirasi komitmen kelompok,

tentunya pertama-tama dari pakar pendidikan Islam, di dalam usaha

meletakkan dasar-dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis

pendidikan guna membangun masyarakat Indonesia baru.

7 M. Sayafi`i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoneisa (Jakarta:Paramadina, 1995), hal. 208

Page 18: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Dalam kajian ini, akan diuaraikan praksis pendidikan yang lahir

sekarang dan seharusnya. Proses pendidikan yang terjadi dewasa ini yang

cenderung mengalineasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita

memerlukan suatu perubahan paradigma, dari pendidikan nasional untuk

menghadapai proses globalisasi dan menata kembali kehidupan

masyarakat Indonesia (selanjutnya akan dikupas dalam sub-bab

berikutnya) dengan sistem demokrasi pendidikan.

Proses demokrasi merupakan salah satu proses yang mewarnai

kehidupan berbangsa kita hari ini. Dimana demokrasi menjadi satu

madzhab yang memberi kebebasan berkespresi dengan batasan

tanggungjawab, kebebasan berpendapat serta mengakui keabsahan dari

konsensus atau resolusi internasional mengenai hak asasi manusia.

Demokrasi diejawantahkan dalam kebebasan menyuarakan pendapat

dimana kelompok yang paling banyak konstituennya merupakan

kelompok yang menang dengan batasan untuk kemaslahatan bersama.

Demokrasi pada intinya adalah upaya menciptakan suatu tatanan

(baik sosial ataupun politik, termasuk pendidikan) dari, oleh dan untuk

masyarakat secara kolektif.8 Artinya, bahwa masyarakat secara

keseluruhan adalah pihak yang, apabila dikaitkan dengan proses

pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan (memberikan sumbangsih),

mengelola lembaga pendidikan dan sekaligus menerima dari proses

pendidikan itu sendiri. Sederhananya, masyarakat sebagai subjek sekaligus

objek dalam dunia pendidikan.

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan harus memberikan

jawaban kepada kebutuhan dari masyarakat sendiri. Jadi pendidikan

tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai

kebijakan atau proyek apalagi perintah dari penguasa, yang seringkali sarat

kepentingan tertentu. Pendidikan yang diharapkan adalah yang tumbuh

dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sendiri.

8 Ibid, hal, 24

Page 19: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah

merupakan objek pendidikan, untuk melaksanakan kemauan negara atau

suatu kelompok semata-mata, tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat,

dimana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program

pendidikannya. Hal ini berarti masyarakat bukan sekedar penerima belas

kasih dari pemerintah, tetapi suatu sistem yang percaya kepada

kemampuan masyarakat untuk bertanggungjawab atas pendidikan generasi

mudanya.

Dalam prakteknya, di lembaga-lembaga pendidikan kita dewasa

ini, pendidikan lebih banyak mematikan otonomi masyarakat. Jenis

program yang ditentukan oleh pemerintah tanpa alternatif dapat

mematikan berbagai prakarsa dan eksperimen, termasuk kebebasan para

pendidik. Akibatnya, output sistem pendidikan nasional kita berupa

manusia-manusia robot tanpa inisiatif dan tentu saja tidak dapat bersaing

dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi. Pendidikan oleh masyarakat

bukan berarti melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah

di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya

tanggung jawab dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Fakta yang terjadi akhir-akhir ini adalah, bahwa proses pendidikan

lebih dapat dilihat sebagai suatu proses alienasi dan proses

indemokratisasi. Dimana pemegang tampuk otoritas pendidikan langsung

ditangan pemerintah melalui menteri pendidikannya. Bahwa, peran serta

masyarakat dalam rangka menciptakan tatanan sosial pendidikan yang

seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif hari ini didikte dan diarahkan

pada satu titik tertentu untuk kepentingan tertentu pada penguasa negara

kita. Demokratisasi pendidikan di negara kita hanyalah simbol, pada

prakteknya merupakan otoritarianisme pendidikan, seperti di Jerman pada

pemerintahan Nazisme Adolf Hitler. Sederhananya, pemerintah (presiden

dan mendiknas) tidak percaya kepada kemampuan masyarakat untuk

menjalankan proses pendidikan.

Page 20: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Seharusnya, proses pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat,

dimana setiap kebijakan bukan merupakan otoritas penyelenggara negara,

tetapi merupakan aspirasi masyarakat yang kemudian dijustifikasi melalui

kewenangan lembaga pemerintah yang menangani hal pendidikan. Dan

untuk putaran selanjutnya, aspirasi yang telah mendapatkan legalitas itu

akan kembali ke masyarakat. Dan masyarakat bertanggung jawab atas

aplikasinya dalam dunia pendidikan dengan memanfaatkan, sekali lagi,

kearifan lokal.

Kearifan lokal menjadi bahan yang penting dalam penyelenggaraan

pendidikan. Mengingat bahwa pendidikan Indonesia hari ini harus sudah

berbasis realita. Artinya tidak ada hegemoni atau doktrinasi tertentu yang

tidak terbantahkan untuk kepentingan tertentu pula. Tetapi lebih pada

bagaimana pendidikan mampu menjaring kearifan lokal yang merupakan

realitas konkrit di lapangan sebagai satu medium, bahan kajian dan ritus

habitus masyarakat peserta didik dan pemegang tanggung jawab

pendidikan.

Pentingnya kearifan lokal dapat digambarkan secara sederhana

dengan permisalan berikut, di bagian dalam pulau sumatera adalah masih

bergantung pada alam, dimana masyarakatnya lebih menggantungkan

kehidupannya dari kekayaan alam yang ada dengan sedikit polesan dari

produk-produk daerah lain. Yang mereka butuhkan bukan ilmu astronomi,

matematika lanjut atau akuntansi keuangan, tetapi kalau berkaca pada

kearifan lokal, yang mereka butuhkan adalah intensifikasi pertanian,

pengolahan lahan, pemberdayaan hasil hutan dan hal yang terkait dengan

itu. Ini akan lebih membantu masyarakat dibandingkan dengan

penyeragaman materi pendidikan, karena memang dalam pendidikan tidak

berdasarkan keseragaman, tetapi pemanfaatan potensi yang optimal dari

khazanah lokal. Dari sinilah kemudian materi muatan lokal dalam

kurikulum pendidikan menjadi hal yang harus diprioritaskan dibandingkan

materi lain yang tidak aplikatif dalam kehidupan riil.

Page 21: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Apabila tidak berkaca pada kearifan lokal dari permisalan diatas,

maka fungsi lembaga pendidikan sebagai lembaga yang mencerdaskan

masyarakat tidak berfungsi. Out put peserta didik yang latar belakangnya

petani, tidak lagi akan mengingat atau memfungsikan mata pelajaran

matematika lanjut, akuntansi keuangan, astrologi, serta materi lainnya

karena tidak semua masyarakat akan dapat melanjutkan pendidikannya

karena faktor ekonomi maka hal yang paling mungkin adalah setelah

sekolah kembali ke lahan pertaniannya. Lalu apabila demikian, maka

fungsi pendidikan sebagai alat meningkatkan kualitas peradaban

masyarakat dapat dikatakan gagal.

Analisis paradigmatik ini, apabila ditarik dalam sistem pendidikan

islam yang berlandaskan atas jiwa Nasionalisme, secara sederhana dapat

ditarik kesimpulan bahwa, paradigma yang digunakan dalam sistem

pendidikan islam adalah paradigma yang demokratis berbasis kearifan

lokal, sementara ideologi pendidikan yang tepat dalam sistem ini adalah

pancasila. Karena pancasila merupakan ideologi yang memfasilitasi semua

golongan tanpa mendiskreditkan golongan yang lain. Penempatan yang

sama dalam sistem yang seragam.

Pada ideologi pancasila apabila diterapkan dalam kurikulum

pendidikan islam maka akan mencegah terjadinya desintegrasi bangsa

karena sentimen rasial antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Pancasila yang mengakomodir setiap madzhab dalam Islam akan lebih

diterima sebagai ideologi pendidikan karena penyetaraan ditengah

pluralitas, dimana tidak ada yang diunggulkan dan tidak ada yang

didiskreditkan.

Kelompok Nahdliyin sebagai kelompok terbesar Islam di Indonesia

akan menempatkan diri sama seperti kelompok Rifa’iyyah yang minoritas

dengan ideologi pancasila sebagai sistem pendidikan Islam. Oleh

karenanya, kelompok minoritas tidak akan merasa dirugikan dengan

kelompok mayoritas dalam sistem.

Page 22: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

Hal ini dapat dilahat, NU sebagai kelompok Islam yang selalu

berlandaskan pada konsep dasar bahwa Islam adalah Rahmatan Lil

’Alamin atau rahmat bagi seisi alam. Karena itu ruang bagi kelompok

Islam yang lain atau bahkan kelompok non muslim sangat lebar dalam

tubuh NU sendiri. Fakta menunjukkan bahwa NU malah kerap kali di cap

sebagai pembela kelompok lain.

Rahadi Wiratama menulis bahwa faktor ke-Indonesia-an telah

membuat NU sulit untuk menganggap kalangan non-muslim Indonesia

sebagai ‘pihak lain.’ Bahkan oleh mereka yang tidak memahami NU

secara socio-kultural sering memandang NU dengan terkejut (karena sikap

yang sangat toleran) dan bahkan di kritik sebagai pembela ‘kafir’. Tentu

bagi mereka yang memahami NU, tidak akan pernah punya sikap

demikian, karena prinsip pluralitas sudah ada dalam diri NU sendiri.

Kesadaran NU terhadap pluralisme dan solidaritas kehidupan beragama,

sebetulnya bukan sesuatu yang baru, atau karena menyesuaikan diri dalam

kondisi perubahan politik, atau karena akhir-akhir ini Indonesia

mengalami banyak kemelut dan konflik antar umat beragama. Sejak awal

berdirinya NU, ada empat tradisi bermasyarakat yang sudah dijalankan

dalam hidup berdampingan dengan kelompok Islam lain atau kelompok

non-Islam, keempat tradisi tersebut adalah: sikap tawazun

(keseimbangan), tasamuh (toleran), tawasut (moderat), dan I’tidal (adil).9

Keempat tradisi diatas membuat warga NU melihat hubungan antar

agama dan kelompok sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian

dari semangat keseimbangan, toleransi dan keadilan.

Toleransi juga merupakan bagian dari kebudayaan Indoneisa, dan

bagi NU kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah

NU. KH. Mustofa Bisri, seorang ulama NU yang juga budayawan,

mengatakan bahwa kehadiran NU adalah merupakan wujud sumbangan

warga NU buat kebudayaan nasional. Dalam semangat pengembangan

9 M Yusni Amru Ghazaly, Solidaritas NU, www.nu-uk.org

Page 23: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

kebudayaan, NU sangat memperhatikan lokalitas isu dan tidak pernah

memandang atau mengembangkan isu promordialisme. Jadi bagi NU

toleransi dan penghargaan atas kelompok adalah juga merupakan budaya

yang harus dipelihara sebgai wujud kesetiaan dan pengakuan atas ideologi

bangsa ini.10

Dalam ideologi pancasila, tidak mengenal istilah otoritarianisme

dan primordialisme kebijakan pendidikan, dimana kelompok yang

mayoritas akan menjadi penguasa dan memiliki kewenangan mutlak atas

tirani minoritas dibawahnya. Misalnya apabila kelompok nahliyin sebagai

penguasa, maka dia akan memaksakan Aswaja (ideologi kaum Nahdliyin)

untuk wajib diterapkan dan digunakan oleh kaum syi’ah yang minoritas.

Sistem pancasila tidak mengenal seperti itu, sistem pancasila

sebagai dasar ideologi pendidikan islam akan menempatkan sama satu

golongan dengan golongan lain, duduk berdampingan sebagai kekayaan

berasama tanpa dendam, ambisi kuasa menguasai dan lebih

mengutamakan kemaslahatan bersama dibandingkan kemaslahatan

individu atau kelompok. Dengan demikian, maka ditengah banyaknya

konflik rasial yang akhir-akhir ini muncul seperti di Aceh, Poso, Maluku,

Papua, Kalimantan dan terakhir sentimen golongan di Monas 1 Juni 2008

lalu, Pendidikan Islam dan Pancasila menjadi solusi yang terbaik agar

konflik rasial dapat diminimalisir.

Sementara sistem demokrasi dengan kearifan lokal menjadi satu

hal yang mutlak diperlukan dalam sistem pendidikan Islam. Hal ini

mengingat isu Nasionalisme sebagai manifesto pernyataan bernegara

adalah lebih subur berkembang secara sektoral dengan medium khazanah

kearifan lokal. Oleh karenanya sistem pendidikan islam harus

memfasilitasi ini sebagai sistem yang diterima oleh setiap golongan yang

ingin menyatakan pernyataan bernegara dan berbangsanya ditengah

10 Drs Hi Iskandar Lexy Arie Gobel, Memahami NU adalah memahami Indonesia; Refleksi Hari Ulang Tahun NU ke – 82, Opini, Mei 2008, www.nu-uk.org, hal. 12

Page 24: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

pluralitas tanpa menimbulkan kecemburuan sosial pihak lain dan ditengah

perbedaan kultural yang ada.

Khazanah kearifan lokal adalah bertumpu pada ritus habitus

pengejawantahan Nasionalisme dalam konteks lokal hingga tingkat

nasional. Ini akan dapat dipupuk dalam konteks pendidikan Islam dengan

pancasila sebagai ideologi dan demokrasi sebagai jalan besar menuju

kesuburan Nasionalisme pada masing-masing sektor.

Maka dalam Pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan NU

harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:

1. Paradigma pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat teocentris

dan antroposentris sekaligus. Pendidikan Islam yang ingin

dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada

dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi

bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu

pengetahuan yang rasional tanpa meninggalkan sisi tradisional.

2. Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan

kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi

kehidupan manusia.

3. Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan

mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia

demokratis, kompetetif, inovatif dan bermoral berdasarkan nilai-nilai

Islam.

4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan

masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan

datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan

dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat. Pendidikan

Islam yang dikembangkan selalu diorientasikan pada perubahan

lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok untuk situasi

masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda,

Page 25: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan

dunia pendidikan.

5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan

potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat

modern tanpa meninggalkan khasanah klasik. Sistem pendidikan

Islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat lokal

yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi sosial, mentaati

dan menghargai supermasi hukum, menghargai hak asasi manusia,

menghargai perbedaan [pluralisme], memiliki kemampuan kompotetif

dan kemampuan inovatif.

6. Penyelenggaraan pendidikan Islam harus diubah berdasarkan

pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik

dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus

disesuaikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralistik.

Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk

berpartisipasi di dalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan

kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.

7. Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses

pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel,

menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang

memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses

berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

8. Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama,

dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat

mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam

hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu

mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek,

dan Kedua, dimensi ketundukan vertikal, yaitu pendidikan selain

sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan

Page 26: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam

lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha

Pencipta, yaitu Allah Swt”11

9. Pendidikan Islam lebih diorientasikan pada upaya “pendidikan sebagai

proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan,

pendidikan menjunjung tinggi hak-hak manusia, pendidikan

menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan sebagai proses

pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak

berwawasan integratif, pendidikan sebagai wahana membangun watak

persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik, pendidikan

menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan”, dan harus

dibangun suatu pandangan bahwa “sekolah bukan satu-satunya

instrumen pendidikan” ,12 akan tetapi masyarakat dan semua yang

bersinggungan dalam keseharian kita merupakan istrumen pendidikan.

Dengan kesembilan poin dasar paradigma pendidikan islam ini,

dapat kita simpulkan bahwa Islam sebagai sebuah sistem keyakinan akan

mampu memberikan perubahan dan kemajuan bangsa ini dari segala

sektor kehidupan tanpa harus mengorbankan golongan lain dengan alasan

islamisasi atau formalisasi Syariat Islam yang telah nyata akan

meruntuhkan kesatuan berbangsa dan bertanah air Indonesia.

11 Hujair AH. Sanaky, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi, Volume V Th IV, ISSN: 0853 – 7437, FIAI UII, Yogyakarta, Agustus 1999, hlm. 11

12 Djohar,“Soal Reformasi Pendidikan Omong Kosong,Tanpa Mengubah UU No.2/89”,Kedaulatan Rakyat,4 Mei 1999, Yogyakarta.

Page 27: Meninjau Ulang Kajian Dan Muatan Nasionalisme Dalam Pendidikan Islam