Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
INTERNALISASI NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN ISLAM :
ANALISA PEMIKIRAN KH SAIFUDDIN ZUHRI
Winarto Eka Wahyudi
Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan
E-mail : [email protected]
Abstract: The spirit of nationalism today is in need of serious attention. Because,
today there have been many groups disturbing the tranquility and harmony of the
Unitary State of Republic of Indonesia (NKRI). Ironically, these groups tend to
use (Islamic) religious ideologies and symbols to justify their movements. Thus, it
is important to internalize the spirit of patriotism in education by re-actualizing
the KH Saifuddin Zuhri's thought about nationalism.
In this study, the writer uses a library research with a qualitative method
approach, in order to uncover and describe in depth the KH Saifuddin Zuhri's
idea of nationalism in which its relevance to our times needs to be taken into
account. Thus, the writer needs to create a focus of research namely; 1) what is
the concept of nationalism in the perspective of KH Saifuddin Zuhri? 2) what is
the genealogy of KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism and its implementation
at that time? 3) what is the relevance of KH Saifuddin Zuhri's thought to
education at the present?
This study could obtain some important findings namely; 1) that the religious
values become an absolute element in fueling the spirit of patriotism, so that the
pattern of KH Saifuddin Zuhri's nationalism could be categorized religious
nationalism, 2) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism could successfully
be implemented through 5 forms, namely; Islamic, culture, democracy, education
and politics. 3) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism is clearly in line
with the grounding of curriculum used in the so-called K-13, namely the cultural
character that is carried in the national education as well as the same spirit on
the importance of education orientation aimed at producing nationalist learners
through the goals of curriculum and education. The strategy of implementation is
by reconstructing education on the aspects of policy (regulatory) and teaching
(instructional).
Keywords: nationalism, education, Islamic religion.
Pendahuluan
Ideologi menempati posisi krusial terhadap konstruksi pemikiran manusia. Berbagai
macam konsep tentang pendidikan, ekonomi, budaya, politik, kenegaraan, agama dan lain
sebagainya merupakan gugusan puncak dari fondasi ideologi yang diyakinnya. Nasionalisme,
adalah sebuah ideologi/ faham yang meniscayakan adanya rasa persatuan, kesatuan,
patriotisme, cinta tanah air dan sikap rela berkorban untuk kepentingan serta keutuhan sebuah
bangsa dan negara. Dalam konteks kenegaraan, sebuah pemerintahan jika menginginkan
keutuhan bangsanya, maka hal yang paling mendasar adalah menyuntikkan semangat
nasionalisme di tiap bidang kehidupan. Injeksi nasionalisme bisa mengakar kuat manakala
dilakukan secara continue dan massif. Penanaman semangat nasionalisme yang paling efektif
salah satunya bisa dilakukan melalui pendidikan dengan doktrin ideologis berupa agama.
Islam dalam konteks ini merupakan agama yang sangat menghargai entitas kebangsaan
sebagaimana fitrah manusia. Tidak hanya itu, Islam bahkan mampu memberi kontribusi
positif terhadap perkembangan kebangsaan. Pernyataan ini pernah dibuktikan Islam. Islam
pada awalnya memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai
120
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
dan berperan dalam peningkatan peradaban manusia. Bahkan Islam telah menjadi kekuatan
dominan yang mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara ke dalam sebuah
identitas baru yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan
keindonesiaan ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara1.
Dalam lingkup sejarah Indonesia agama Islam telah menunjukkan arti pentingnya dalam
pembentukan kebangsaan Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa pondok pesantren dengan
berbagai macam pola pembelajaran, gerakan dan semangat nasionalisme para kyainya,
menjadi basis paling kuat untuk melawan penjajah. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam
sebuah resolusi jihad yang dikeluarkan NU pada masa itu. Pesan jihadnya, mampu
mengobarkan semangat nasionalisme melawan penjajah seperti yang dimiliki oleh penyiar
radio, Bung Tomo.
Pada saat ini, semangat cinta tanah air atau nasionalisme merupakan modal paling
penting dalam mencapai cita-cita Indonesia yang telah tersurat dalam pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.Akan tetapi dewasa ini, keberadaan nasionalisme mulai menghadapi
persoalan. Yaitu ketika paham kebangsaan ini mulai digeser dengan fanatisme yang berdasar
daerah, golongan atau keagamaan. Sebagai contoh banyak pihak yang terang-terangan ingin
memisahkan diri dari kesatuan Indonesia atau ingin mendirikan negara berbasis agama Islam
dengan konsekuensi langsung memarginalkan kelompok lain yang tidak sepaham atau
segolongan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Islam benar-benar menghendaki seperti
itu? Sesuatu yang justru menimbulkan persoalan baru yang menjurus pada perpecahan
bangsa. Padahal cita-cita bangsa Indonesia sama dengan tujuan adanya Islam di dunia. Kalau
Indonesia memiliki tujuan sebagaimana yang ada dalam visinya Pancasila dengan tujuan
utama pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, maka tujuan Islam sebagaimana yang tertuang dalam kitab sucinya adalah keadilan
sosial dalam bidang ekonomi dan egalitarianisme.
Disini letak pentingnya pendidikan Islam. Yaitu sebagai media transfer pemahaman ke-
islaman yang inklusif dan kontekstual. Karena sampai sekarang pendidikan dipercaya sebagai
sarana paling ampuh untuk proses transformasi nilai, termasuk nilai-nilai nasionalisme yang
juga diakui dan didukung dalam agama Islam. Pada episentrum inilah eksistensi pendidikan
Islam harus memanfaatkan momentnya untuk merubah tatanan yang ada untuk menjadi lebih
baik.
Dengan merujuk pada latar belakang diatas, maka penulis mengangkat tokoh besar yaitu
KH Saifuddin Zuhri yang merepresentasikan pendidikan Islam yang ramah yang sekaligus
berakar dari kararakter bangsa Indonesia, yakni institusi Pesantren. Sosok ini penulis yakini
sebagai prototype keberhasilan pendidikan pesantren dalam rangka pengembangan
pendidikan Nasional seutuhnya.
Konsep Dasar Nasionalisme; Menemukan Makna dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif etimologis, nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa.
Bangsa disini mempunyai dua pengertian, yaitu dalam pengertian antropologis serta
sosiologis, dan dalam pengertian politik.2 Dalam pengertian antropologis dan sosiologis,
bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan
masing-masing anggota persekutuan tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah
dan adat istiadat. Adapun bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam satu
daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan
yang tertinggi keluar dan kedalam.
Ali Mahsan Moesa menyitir pernyataan Ernest Renan tentang definisi dari
Nasionalisme, dalam bukunya nation and narration dikatakan bahwa bangsa (nation) adalah
1Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 26.
2Aminudin Nur, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), 87.
121
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
kesatuan solidaritas yang digantungkan atas kehendak warganya untuk hidup secara bersama
dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis primordial-sektarian.3 Identitas
kolektif dalam konteks ini, menurut Renan tidak dapat disamakan dengan kesatuan
masyarakat yang didasarkan pada kesamaan ras, budaya bahkan agama.Karena bangsa
merupakan jiwa atau something spiritual. Sedangkan Benedict Anderson mempunyai
pandangan berbeda mengenai konsep nasionalisme.
Dalam karyanya yang berjudul Imagined Community (1983) Anderson mengemukakan
bahwa bangsa (nation) merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political
community) yang bermakna bahwa anggota dari bangsa tersebut terdiri dari beragam
elemenyang tidak mungkin kenal satu sama lain secara keseluruhan, tetapi dalam benak dan
bayangan, merekamenyadari akan pentingnya sebuah wujud kesatuan bangsa yang melampaui
luasnya jarak demografis. Bangsa yang dibayangkan ini, terwujud karena faktanya tersekat
oleh zona geografis dalam satu Negara atau bahkan dipisahkan oleh bangsa lain. Sebuah
bangsa yang berdaulat dan cita-citakan karena memiliki kesamaan sejarah serta perasaan
ketidak adilan dan penindasan yang dilakukan oleh kelompok lain.
Dari sedikit paparan diatas mengenai konsep nasionalisme, dapat dipahami bahwa
nasionalisme merupakan supremeloyality terhadap kelompok bangsa.Kesetiaan tersebut
muncul karena adanya kesadaran identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya.Pada
kebanyakan kasus, hal itu terjadi karena kesamaan keturunan, bahasa atau budaya. Namun,
yang paling substansial tentang konstruk nasionalisme adalah adanya rasa kemauaan untuk
bersatu “a living and active corporate will”.Sehingga, melihat pemaknaan nasionalisme
diatas dapat dipaham bahwa sebenarnya konsep nasionalisme bukanlah hal yang statis.
Entitasnya selalu berubah sesuai dengan kondisi yang membentuknya, ia juga bukan sesuatu
yang given.
Lebih jauh lagi, dalam islam sendiri kajian mengenai nasionalisme harus diletakkan
secara proporsional sesuai perspektif yang diinginkan. Dalam kerangka inilah, menjadi
sebuah keniscayaan akademik untuk merumuskan nasionalisme sebagai common pattern (pola
umum) sebelum mengkaji secara mendalam implementasinya dalam dinamika kebangsaan
Indonesia. Dalam hal ini, diperlukan konseptualisasi nasionalisme dalam kerangka ideal (the
ideal typeof Nationalism) yang menjadi referensi dan tolok ukur implementasi semangat
nasionalisme dalam kerangka particular (khas).
Konsep ideal nasionalisme secara umum dapat dideduksi secara normatif dari perspektif
pancasila, sebagaimana yang tertuang dalam tiap pasal dan butir-butirnya, sedangkan secara
ideologis dapat kita ketemukan melalui statment al-Quran tentang keniscayaan sebuah
komunitas yang mempunyai beragam suku dan bangsa, sebagaimana yang tertuang dalam al-
Quran sebagai berikut:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”(Al-Hujurat: 13)
3Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai (Yogajakarta: Lkis, 2007). xi.
122
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
Selain itu, statement Nabi atas kecintaanya terhadap kota Mekkah4 yang
diungkapkannya sebelum melakukan hijrah ke Madinah juga menjadi indikasi syar’i yang
legitimed untuk membuktikan bahwa semangat cinta tanah air merupakan hal yang sangat
krusial . Ungkapan Nabi Muhammad SAW ini, berhasil direkam dalam catatan muhadits
sebagai berikut ; ا أخرج من مكة لم ك أحب بلد هللا اليه وأكرمه عل هللا ولول : عن ابن عباس قال قال رسول هللا صل هللا عليه وسل اني لخرج منك واني لعل أن
منك أن أهل أخرجون 064ص / 1ج –زوائد الهيمثي –مس ند احلارث ) منك ما خرج
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata:
Sungguh aku diusir darimu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang
paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak
mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)”
Selain itu, analisa induktif yang terejawentahkan melalui fakta historis sejarah awal
umat Islam Indonesia, oleh para ahli sejarah disebut proto-nationalism (embrio faham
nasionalisme), dan atau ; dari seputar pergulatan pemikiran dan kontak fisik antara kalangan
pesantren dengan kolononial penjajah. Studi terdahulu mengenai hal-hal tersebut memberikan
gambaran mengenai konsep nasionalisme era awal (The Formative Period of Nationalism).
Konsep tersebut sangat berguna sebagai alat analisis dan kerangka teoritik untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian ini.
Indonesia ditengah ancaman distegrasi; Identifikasi Ideologis
Dalam konteks Indonesia, pasca tumbangnya era orde baru pada tahun 1998,Indonesia
tengah memasuki era reformasi di segala bidang.Beragam ekspresi seseorang, seperti
kebebasan berpendapat, berserikat/ berkumpul dan lain sebagainya menjadi indikasi nyata
bahwa reformasi benar-benar mewujud di Indonesia. Namun dalam implementasi era tersebut,
tidaklah gratis.Karena perwujudan orde reformasiberkonsekuensi pada meningkatnya dua
poros disintegrasibangsa secara bersamaan. Pertama, disintegrasi vertikal, seperti konflik
sosial anta relit politik dan konflik antar daerah dan pusat. Kedua, disintegrasi horizontal yang
ditandai dengan konflik antar suku, etnis, agama, ras dan antar golongan.Sudah barang tentu
dua pola disintegrasi tersebut pada gilirannya mengancam rasa nasionalisme dan pada
akhirnya menghancurkan eksistensi negara-bangsa (nation-state) yang menjadi genuine
Indonesia.5
Dalam konteks kekinian, munculnya kelompok-kelompok islam yang mengusung
semangat pemberlakuan syariat Islam pada tataran politik-formalitas, menjadi ancaman
tersendiri bagi pemerintah pasca dibukanya kran demokrasi secara besar-besaran.Tentunya,
hal tersebut berkonsekuensi mudahnya kelompok-kelompok militan untuk masuk dan
berkembang mengatasnamakan demokrasi. Dengan semangat jihad, organisasi-organisasi
yang tergabung dalam Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI),
Jama>’ah Isla>miyyah (JI), Forum Umat Islam (FUI) dan beberapa kelompok dengan pola
yang sama telah menjadi bagian dari dinamika sosial keagamaan bangsa Indonesia dan pada
saat yang sama ingin merubah sistem pemerintahan Negara Indonesia.
Salah satu dampak globalisasi pada aspek ideologis adalah semakin mudahnya akses
akulturasi pemikiran antar Negara. Jika merujuk pada definisi etimogisnya, KH Hasyim
Muzadi secara sederhana mengetengahkan bahwa tansnasional berarti, trans (lintas)
sedangkan nasional (negara). Jadi, ideologi transnasional merupakan ideologi importer yang
memang secara faktual terbentuk melalui pemikiran lintas Negara.6Di Indonesia, ideologi ini
4Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460
5Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruk Sosial Berbasis Agama (Yogjakarta: Lkis, 2007), ix.
6 Penjelasan ini disampaikan KH Hasyim Muzadi pada Seminar Nasional dengan tema “Radikalisme Agama di
Indonesia” di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, 2009
123
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
direpresentasikan oleh ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI).
Secara kelembagaan, MMI bukanlah sebuah organisasi yang di impor dari Timur
Tengah secara langsung, namun secara pemikiran dan gerakan, organisasi ini tak ubahnya
sebagai “penerus” gerakan Jama’ah Islami>yah yang berada di Mesir terutama Afganistan.
Kenyataan ini bisa dilacak jika melihat para inisiator gerakan ini yang dipelopori oleh Abu
Bakar Ba’syir sebagai Amirul Mujahidin (pemimpin pasukan jihad) dan Irfan S. Awwas
sebagai dewan Legislator (semacam Lajnah Tanfidziyah di organisasi NU). Kedua orang ini
merupakan alumnus Afganistan yang ditengarai sebagai pemimpin jaringan Al-Qaedah distrik
Asia Tenggara. Organisasi Jihadi ini, tergolong masih muda, karena baru diproklamirkan
sekitar lima belas tahun yang lalu, setelah pertemuan aktifis muslim diberbagai daerah di
Indonesia dan beberapa delegasi dari luar negeri pada bulan Agustus 2000 yang disebut-sebut
sebagai “Kongres Mujahidin.”
Selanjutnya, HTI merupakan kelompok yang juga dituding sebagai organisasi Islam
yang berpotensi makar terhadap pemerintahan yang sah. Kesimpulan ini bisa dilihat melalui
statement pendirinya, yakni Taqiyuddin An-Nabhani yang mengatakan bahwa, “ Barang siapa
yang tidak membaiat khalifah hingga akhir hayatnya, maka orang tersebut telah mengakhiri
hayatnya dalam keadaan jahiliyah seperti penyembah berhala.”7
Di Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan organisasi ini pertama kali mengendap
dikalangan masyarakat. Namun yang jelas, ideologi ini telah hadir di Indonesia setelah
pendirinya, yakni Syaikh Taqiyuddin mengunjungi Indonesia pada tahun 1972.
Gerakan HTI ini memang ramai dan mampu menarik hati kalangan mahasiswa
utamanya dikampus-kampus sekuler (bukan perguruan tinggi islam) dewasa ini. Karenanya,
organanisasi ini banyak mempropagandakan ajarannya melalui dunia akademis seperti
seminar, diskusi publik, pelatihan-pelatihan serta berbagai macam pertemuan intelektual
lainnya yang banyak menyeret kalangan mahasiswa awam.
Tipe organisasi satu ini, -dalam mempropagandakan ideologinya- bisa dibilang sangat
cantik sekaligus unik. Hal ini bisa dilihat teknik mereka ketika menawarkan khilafah
islami>yahsebagai gold progamnya dengan jalan memberitakan serta “membuktikan”
kebrobokan sistem demokrasi, ekonomi serta berbagai macam isu kemiskinan, penindasan
kaum muslimin serta tidak amanahnya pemerintah dalam mengemban tugas kenegaraan yang
pada akhirnya ditawarkanlah solusi ideal yakni penerapan syari’at islam secara ka>ffah.
Metode semacam ini kian menerima banyak simpati ketika dibarengi dengan upaya
yang sangat massive melalui penerbitan majalah bulanan al-Wa’ie dan buletin mingguan al-
Islam yang menjadi corong gerakannya. Wal hasil, usaha yang dilakukan orang-orang HTI ini
terbukti berhasil menyeret kalangan intelektual dan para akademisi untuk bergeser dari
pemahaman sebelumnya menjadi seorang yang getol memperjuangkan penerapan syariat
islam melalui Khilafah Islami>yah ala Minhajin Nubuwah.8
Bagi HTI, penerapan syari’at islam merupakan bukti keimanan sekaligus konsekuensi
logis dari kewajiban untuk melaksanakan islam secara menyeluruh (ka>ffah), serta realisasi
dari kewajiban untuk memilih pemimpin (khalifah) melalui bai’ah.
Dalam konteks kekinian, kedua kelompok diatas secara tegas mempunyai cita-cita suci,
yakni h}ilafah Establishing (pembangunan kembali khilafah) yang direprentasikan secara
massive oleh Hizbut Tahrir (HTI) dan Jama’ah Islamiyah (JI) yang diindonesia di
representasikan oleh MMI. Yang disebut diakhir, bahkan sudah menjadi gerakan yang
mempunyai konsep sangat rapi dalam merealisasikan impiannya. Menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Agus Maftuh, gerakan ini sudah mencapai bentuk organisasi gerakan
yang bersifat ‘alamy atau international yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial Negara.
7 Ali Syu’aibi & Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Surabaya: Duta Aksara Mulya, 2010), 142.
8 Agus Maftuh Abegebriel,dkk, Negara Tuhan (Yogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), 695.
124
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
Mereka sudah mempunyai semaca, “pedoman suci” yang bertitel PUPJI (Pedoman Umum
Perjuangan Al-Jama>’ah al-Isla>miyah) yang memuat tujuan, target dan strategi untuk
proyek pendirian kekhalifahan.9
Eksistensi agama yang menjadi basis gerakan pada kelompok ini, menjadikan ormas
yang didatangkan melalui ideologi transnasional tersebut mendapatkan tempat di hati
beberapa warga muslim Indonesia yang ingin “memperjuangkan agamanya”. Pada akhirnya,
secara tidak sadar nasionalisme menjadi ancaman tersendiri bagi pelaku agama yang “taat”
untuk segera menggantinya dengan sistem yang dilegitimasi oleh ajaran agama, terutama
islam.
Pemikiran KH Saifudin Zuhri tentang Nasionalisme
Saifuddin Zuhri dilahirkan dari rahim ibu yang bernama Siti Saudatun pada tanggal 1
Oktober 1919, di Kedawenan Sukaraja, 9 km dari Purwokerto, Banyumas Jawa Tengah.10
Dalam konstelasi sosial politik yang terjadi pada saat itu, menempatkan Saifuddin pada
sebuah posisi perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan. Putra tertua dari Sembilan
bersaudara ini (lima laki-laki dan empat perempuan) dilahirkan ditanah dimana banyak
terlahir tokoh-tokoh ABRI. Diantaranya Pak Sudirman (Jenderal Besar), Gatot Subroto
(Wakil KSAD), Sungkono (Panglima Brawijaya), Sadikin (Panglima Siliwangi), Subyakto
(Laksamna KSAL), Suprapto (Pahlawan Revolusi), Surono (Mentri Kesra).11
Sehingga, tak
heran jiwa patriotismenya terbentuk sehingga pernah menjadi Komandan Divisi Barisan
Hizbullah Jawa Tengah di Magelang.
Kondisi sosial yang melingkupi Saifuddin lebih banyak dihabiskan dilingkungan
pesantren dan orang-orang pesantren pula. Hal inilah yang menjadikan pola perjuangan
Saifuddin baik dalam bidang politik, pendidikan, dan perjuangan melawan penjajahan syarat
dengan landasan ajaran islam yang diajarkan dipesantren yang menjadi lingkungan
akrabnya12
.
Pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, Saifuddin diminta menghadap ke
Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung
Karno. Banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya saat itu, kenapa secara mendadak ia
di panggil orang nomor satu di Indonesia tersebut.13
Ternyata dalam pertemuan itu, Bung
Karno memintanyauntuk menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang
mengundurkan diri.14
9 Bahkan kelompok ini menjadikan NKRI sebagai qa’idah amina (safe area) atau base camp menuju
terbentuknya Khilafah islamiyah ala Minhajin Nubuwah. Tidak hanya itu, JI juga telah mempunyai Nidl}om
Asasi atau semacam UUD yang mengatur mekanisme gerakan, dan yang lebih mengagetkan lagi, mereka juga
sudah menyiapkan semacam Military Training dengan empat materi pokok; Weapon Training, Teknik Infanteri,
Map reading dan Field Engineering lengkap dengan bombing trainingnya. Baca Selengkapnya dalam Agus
Maftuh, Negara Tuhan, 2008, xi. 10
Saifullah Ma’shum (ed), Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1958), 305. 11
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: PT Gunung Agung, 1981), Jilid 2, VI 12
Kedekatan dengan dunia pesantren, menempatkan Saifuddin mempunyai Hubungan yang akrab dengan para
Kyai antara lain KH Wahid Hasyim, KH Mas Mansur, KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Asy’ari dan tokoh-
tokoh teras Islam tradisionalis lainnya sehingga menempatkan dirinya pada kutub pemikiran yang
mengedepankan semangat juang jihad ala Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah 13
Pertanyaan-pertanyaan yang sempat keluar dari benak Saifuddin antara lainApakah karena urusan DPR atau
DPA? Apa soal urusan Sekjen NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? 14
Selama perjalanan sejarah, negara Republik Indonesia telah mengalami ketidak stabilan politik yang akut. Ini
ditandai dengan timbul tenggelamnya kabinet yang bertugas menjalankan roda administrasi pemerintahan.
Dalam jangka waktu 21 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sampai munculnya orde baru,
Negara ini telah mengalami bongkar pasang kabinet sekitar dua puluh kali. Usia rata-rata kabinet sekitar hanya
satu tahun saja, bahkan ada kabinet yang usianya hanya sebulan, yaitu kabinet Susanto yang memegang tampuk
pemerintahan pada tanggal 20 Desember 1949 sampai 21 Januari 1950 yang pada saat itu Menteri Agamanya
adalah KH Masykur. Dalam kemelut percaturan kabinet ini, ada menteri agama yang menjabat lebih dari satu
125
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
Pada saat itu Bung Karno berujar bahwa penunjukannya sebagai menteri
Agamasudahnya secara matang.15
Namun, permintaan ini tidak serta merta diambil oleh
Saifuddin, tetapi beliau justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh teras NU,
khususnya K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu
dengan Kyai Wahib dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan
Kyai Wahib yang mundur sebagai Menteri Agama.
Lebih lanjut, kesadaranya terhadap entitas agama (Islam) sebagai unsur penunjang
pembangunan nasionalkian kuat setelah mendapatkan hadiah dari KH Muhammad Ilyas, Duta
Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Ilyas pada kesempatan itu memberikannya sebuah buku
karya C.A.O Nieuwenhuije yang berjudul “Aspect Of Islam in Post Colonial Indonesia”.
Saat membaca buku itu, ia tertarik dengan pernyataan orang Belanda tersebut yang
mengatakan dalam bukunya dengan bunyi kalimat pendek namunsangat substansial. Dalam
karyanya tersebut, Nieuwenhuije menyatakan “Islam is one of the main determinant of the
sociocultural climate of modern Indonesia” yang bermakna bahwa eksistensi islam
merupakan salah satu faktor penentu paling krusial terhadap terciptanya suasanan sosial
budaya pada Indonesia Modern.
Tentang pentingnya semangat nasionalisme ini, Saifuddin menyatakan dalam artikelnya
yang berjudul “Yang Belum Tergalang Dalam Memanfaatkan Sumber Potensi: Islam=
Nasionalisme” bahwa:“Bangsa Indonesia (kecuali yang berjiwa budak) dalam segala versinya
adalah nasionalis pengemban cita-cita nasionalisme. Kesadaran sebagai kesatuan sebangsa
setanah air membangunkan semangat percaya diri sendiri untuk mempertahankan eksistensi
sebagai satu ras, membina kerukunan makro nasional, mempertahankan daulat kemerdekaan
sebagai satu bangsalain, nasionalisme itu akan membakar semangat merebut kembali
miliknya yang hilang, jikatidak bisa dengan jalan halus, rela menempuh jalan bertempur
mengorbankan peran kemerdekaan” 16
Dalam pandangannya, realitas semacam ini menjadi sebuah bukti bahwa rasa
nasionalisme merupakan sebuah fitrah yang alami.Walaupun masih bersifat kedaerahan,
nasionalisme jenis ini merupakan nasionalisme yang mengalami pertumbuhan, dengan
puncaknya lahir sumpah pemuda yang menjadi cikal-bakal kokoh dan teguhnya Negara
Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI).
Selanjunya, secara lebih spesifik pandangan Saifuddin tentang peran agama yang dapat
dijadikan sebagai unsur penting dalam pembentukan solidaritas nasional dapat ditemui dalam
statementnya yang mengatakan:Memelihara kelestarian agama dan menjaga kemurnian
ajaran-ajarannya menjadi hak tiap pemeluk agama.Ummat islampun tidak terkecuali untuk
memperoleh hak tersebut. Sudah banyak diketahui bahwa perincian doktrin islam mengenai
pelaksanaan iman ialah barang siapa berbuat untuk memelihara kelestarian daripada: 1)
susbtansi agama, 2) keselamatan jiwa raga, 3) keselamatan harta-benda dan keamanannya, 4)
keselamatan keluarga, 5) keselamatan akal pikiran, 6) keselamatan kehormatan diri. Usaha
memelihara 6 perkera tersebut diatas itu tidak harus dilakukan oleh tiap orang terhadap
individunya masing-masing, tetapi oleh tidap-tiap orang dalam usaha kolektif untuk
periode pemerintahan (kabinet) secara berturut-turut; KH Wahid Hasyim, KH. M. Ilyas, KH. Wahib Wahab, dan
KH Saifuddin Zuhri. Atau yang berselang seling seperti KH Masykur dan KH Fakih Usman. KH Saifuddin
adalah orang kesembilan dalam urut-urutan orang yang pernah menjabat sebagai menteri agama, dan orang
pertama yang menduduki jabatan Menteri Agama yang lamanya melebihi lima tahun. 15
Pertimbangan matang Bung Karno dalam memilih Saifuddin sebagai Menteri Agama diperolehnya melalui
track recordnya saat menjadiwartawan, politisi, dan pejuang. Salahsatu petikan ucapan Bung Karno kala itu
dalam memilih Saifuudin adalah, “Saya dekatkan saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati.
Baru-baru ini saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin
mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung karno ketika itu. 16
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop, Jilid 3, 121
126
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
keselamatan bersama.Di situlah fungsi dan peranan persatuan (ukhuwah) dan solidaritas
(tadlammun).17
Dari pernyataannya diatas, jelas Saifuddin memiliki kesadaran yang dalam bahasanya
Ernest Renan disebut Something Spiritual, yakni jiwa kesatuan dan persatuan untuk
membentuk sebuah solidaritas masyarakat non-primordial dan sektarian.Kesadaran inilah
yang menjadi unsure penting dalam pembentukan bangsa yang satu, yakni kesadaran kolektif
untuk bekersajama sesame elemen bangsa, yang melampaui skat-skat agama, suku, ras dan
budaya.
Pandangan Saifuddin tentang konsep nasionalisme ini mengahasilkan kesimpulan
bahwa ia mampu mengkonstruk paham kebangsaan yang berangkat dari ajaran agama (Islam).
Saifuddin meyakini bahwa sampai saat ini agama menjadi faktor pokok yang mampu
mengintegrasikan bangsa sekaligus menjadi supra identity, yaitu sebagai basis solidaritas
sosial yang kuat.
Lebih jauh lagi, kajian ini menemukan bahwa Saifuddin mempunyai pandangan yang
genuine Indonesia tentang konsepsinya terhadap nasionalisme.Corak nasionalisme yang
diperjuangkan oleh Saifuddin lebih pada jenis nasionalisme-religius.Yakni, bahwa eksistensi
agama mampu dijadikan sebagai unsur perekat atas kesadaran kolektif semua elemen
masyarakat terhadap terbentuknya negara-bangsa (nation-state) Indonesia.Islam, dalam hal ini
sesuai dengan pengalaman Indonesia menjadi semacam kekuatan pendorong munculnya rasa
kebangsaan Indonesia. Sehingga, kesimpulan penting yang dapat dicatat dalam konteks ini
bahwa agama (islam) secara inherently memang menjadi unsur krusial terbentuknya Negara
bangsa (nation-state), tentunya hal ini tak lepas dari paradigm yang digunakan dalam
memahami ajaran agama (Islam).
Sebuah rasa nasionalisme dengan bukti kecintaannya terhadap tanah air dan bangsanya,
menurut Saifuddin tidak akan pernah usang karena semangat nasionalis tidak akan pernah
mengalamai kedaluarsa. Keusangan semangat tersebut tidak akan pernah sirnah dari benak
dan pola pikirbangsa Indonesia selagi seluruh warga Negara menyadari dengan benar-benar
bahwa kesatuan tanah air dan semangat rela berkorban untuk bangsa Indonesia tetap tumbuh
subur dalam sanubari terdalam rakyat-rakyat Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa kecintaan terhadap tanah air yang berimplikasi pada jiwa
nasionalis, tidak akan pernah berubah dikarenakan nasionalisme merupakan sifat yang
natural-instinctive, yaitu sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena jiwa
kebangsaan lahir sebuah fitrah, maka eksistensinya tak akan pernah berubah layaknya produk
teknologi yang mersifat sintetis dan plastis.18
Dalam karyanya ia menegaskan
bahwa:“Nasionalisme adalah alami, tegasnya; sifat pembawaan manusia yang dilahirkan
sebagai bekal mengarungi hidup atas qodrat dan iradat Allah Tuhan Maha Pencipta, manusia
sejak lahir telah membawa nasionalisme, dan tidak bisa memilih macam nasionalisme apa
yang dikehendaki.Menghendaki sesuatu nasionalisme itu sendiri sejak guagarba itu adalah
satu kemustahilan.nasionalisme alami secara fitrah berkat rahmat Allah Tuhan yang Maha
Esa. Tanpa planning tanpa programming, tanpa menuntut tanpa memilihi kita dilahirkan
menjadi bangsa indonesia”19
Lebih jauh lagi, untuk menegaskan karakter nasionalisme bangsa Indonesia, maka
Saifuddin menyatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia adalah Nasionalisme
Pancasila.Ciri khas nasionalisme pancasila menurutnya, merupakan bangunan kecintaan
terhadap tanah air yang dipelopori oleh pendiri bangsa Indonesia.The Faunding Fathers
tersbeut merupakan politisi sekaligus negarawan yang arif dan bijaksana dengan
menempatkan Negara ini berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Agar bangsa Indonesia
17
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), Jilid 3, 70. 18
Ibid, 217. 19
Ibid, 217.
127
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
menjadi nasionalis yang bersyukur kepada Allah Tuhan yang Kuasa, melakukan perbuatan
yang di ridloi-Nya supaya menjadi bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt.
Melalui kearifan semangat nasionalis diatas, sebagai penerus dari perjuangan bapak
pendiri bangsa dituntut untuk melanjutkan perjuangannya melalui konteks sekarang dengan
menghayati dan mengamalkan Nasioanlisme-Pancasila. Suatu bentuk nasionalisme yang
berketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
nasionalisme persatuan Indonesia, nasionalisme yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijksanaan dalam permusyawararat perwakilan, serta nasionalisme yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Internalisasi Nasionalisme dalam Pendidikan
Pendidikan dalam sistem pelaksanaan prosesnya selalu bersifat dinamis, yaitu selalu
berubah untuk dikembangkan menyesuaikan dengan kehidupan sosial dan Ilmu Pengetahuan
manusia. Hal ini berkaitan pula dengan sifat Pendidikan yang historis, maksudnya bahwa
pendidikan memiliki latar belakang kebudayaan dan filsafat yang berpengaruh pada jaman
tertentu. Dengan adanya perubahan kehidupan sosial dan Ilmu Pengetahuan manusia seiring
berjalannya waktu, maka Sistem pendidikan terkait kurikulum selalu berproses dengan
pengembangan-pengembangan sesuai dengan kebutuhan jaman.
Di Indonesia, Pendidikan formal khususnya, mengalami berbagai pasang surut masalah
dari segi pendidik, peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun output proses
pendidikan. Oleh karena itu diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan
nasional, yang dipandang berbagai pihak sudah tidak efektif, bahkan dari segi mata pelajaran
yang diberikan dianggap kelebihan muatan (overload) tetapi tidak mampu memberikan bekal,
serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
Secara eksplisit, tidak diketengahkan secara tegas bahwa secara filosofis pendidikan
nasioanl merujuk pada aspek-aspek nasionalisme bangsa Indonesia, seperti misalnya nilai-
nilai pancasila, kebhenikaan, UUD 1945 dan NKRI. Namun, dalam beberap point, misalnya
point misalnya dalam landasan filosofis Kurikulum 2013, yaitu pada point 1 dan 2,
mengakomodir unsur budaya dan seni sebagai modal dasar dalam mengembangkan
pendidikan nasional.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, unsur budaya sekaligus dalam hal ini kesenian,
merupakan salah satu elemen penting dalam implementasi semangat nasionalisme.20
Selain itu,
pada poin 2 di tegaskan bahwa prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau
adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta
didik.Kebijakan ini menemukan relevansinya dengan pemikiran Saifuddin yang menyatakan
bahwa jiwa peserta didik harus dibangkitkan dengan mengenal kepahlawanan nenek
moyang.Ia juga menegaskan bahwa mentalitas atau cara berfikir seorang peserta didik
haruslah bersumber pada rasa kebanggana nasional yang pernah dihasilkan oleh bunga bangsa
masa lalu tanpa menjurus pada semangat kebangsaan yang sempit (chauvinisme). Kebanggaan
ini, menurut Saifuddin guna mengobarkan semangat percaya diri dalam membangun
masyarakat adil dan makmur dalam rangka nation dan character building yang tantangannya
tetap eksis di setiap perubahan zaman mendatang.21
Selanjutnya, pada K-13 juga memposisikan keunggulan budaya sebagai bahan yang
harus dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam
kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan
berbangsa masa kini. Argumentasi ini, dalam perspektif Saifuddin merupakan upaya dalam
mengenal kehidupan masyarakat dengan penghayatan yang kokoh. Pengenalan ini menjadi
20
Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 63. 21
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 105.
128
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
vital, karena dapat menjadikan peserta didik mempunyai modal sosial serta dalam rangka
mengcounter sifat yang berang dan jiwa “memberontak” yang senantiasa melekat dalam
kepribadian pemuda.
Kesadaran pemuda terhadap pentingnya kemanfaatan bagi banyak orang (baca:
masyarakat) akan secara perlahan meminimalisir sikap dan sifat garang akibat kondisi
psikologis yang belum mapan. Upaya ini menjadi sangat vital, melihat realita kasus-kasus
pelaku bom kuningan di Jakarta pada tahun 2004 lalu dan warga Negara Indonesia yang
manjadi anggota ISIS merupakan pemuda-pemuda yang mempunyai kisaran usia 20-30 tahun.
Apalagi WNI yang masih berposisi sebagai mahasiswa di Timur Tengah itu, sampat terseret
arus untuk menjadi anggota kelompok yang membuat ancaman bagi nasionalisme bangsa
sendiri adalah sebuah “kecolongan” penanaman semangat nasionalisme sejak dini.
Tentu saja fenomena ini tidak bisa digeneralisir, ada banyak faktor penyebab yang
melatar belakanginya. Apalagi kasus-kasus yang mengancam eksistensi Negara pada
dasawarsa belakangan ini muncul dari kelompok yang mengatasnamakan ideologi tertentu,
yakni islam.
Pada posisi inilah pendidikan islam, dengan perspektif nasionalisme Saifuddin
menemukan relevansinya. Posisi islam dalam sebuah bangunan filosofi kurikulum, dan agama
lain pada umumnya. Harus mendapat tempat tersendiri secara legal-formal agar pemikiran
pendidikan nasional, sekaligus pendidikan islalm pada khususnya tidak kehilangan karakter
ketuhanannya.
Bila ditelaah lebih jauh, dari keempat poin landasan filosofis K-13 diatas, belum
menempatkan unsur agama/ ketuhanan sebagai landasannya. Hal ini menjadi penting, karena
kesadaran berbangsa dan bernegara tanpa adanya semangat spiritual akan menjadi tak
berdaya. Saifuddin menegaskan bahwa, nasionalisme (politik, ekonomi dan pendidikan)
haruslah berlandaskan nilai-nilai rohani, yakni agama.22
Entitas agama, agar tidak mengusung semangat primordial maka menjadi representative
diterapkan dengan mengusung filosofi pancasila.Lambang Negara inilah merupakan
representasi ideal dalam mengakomodir entitas keragaman suku, agama, ras dan budaya
bangsa Indonesia.
Mengenai pentingnya eksistensi pancasila ini, Saifuddin menyatakan bahwa Pancasila
merupakan weltanschauung atau dasar falsafah nasional yang menjadi kekayaan moral bangsa
untuk melandasi tegak berdirinya Bangsa Indonesia.23
Selanjutnya, mengenai isi kurikulum, isi kurikulum merupakan pengalaman pendidikan/
pengajaran yang diperoleh peserta didik selama proses belajar mengajar. Membahasa
mengenai pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik, tidak bisa dilepaskan mengenai
“aturan main” bagaimana pengalaman pembelajaran peserta didik tersebut diterapkan. Aturan
tersebut, semua terangkum dalam terminologi kurikulumnya disebut sebagai Komptensi Inti
(selanjutnya disingkat KI).
Dalam KI yang berlaku dalam K-13, terkategorisasikan menjadi KI 1 yang berorientasi
pada penghayatan nilai-nilai spiritualitas, KI 2 mengasah kepekaan sosial, KI 3 menajamkan
intelektualitas dan KI 4 mengembangkan keterampilan. Secara umum, pendidikan nasional
memang diarahkan pada penguasaan keempat Kompetensi Inti tersebut, tentunya melalui
penjabaran Kompetensi Dasar (KD) yang dikemas dan diwujudkan melalui pengalaman
belajar siswa.
Namun, yang menjadi menarik disini adalah semangat Nasionalisme tidak dijadikan
sebagai orientasi pokok dalam mencetak peserta didik dalam program pendidikan nasional.
Walaupun secara landasan filosofis dan tujuan kurikulum serta pendidikan telah diakomodir,
22
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop, Jilid 1, 135. 23
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 51.
129
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
akan tetapi ketika tidak di realisasikan pada pengalaman belajar, maka nilai-nilai ini hanya
menjadi sebuah aksesoris kurikulum belaka.
Hal yang seharusnya direkonstruksi adalah, menyematkan nilai-nilai nasionalisme
menjadi salah satu Kompetensi Inti yang diterapkan dalam pendidikan Nasional.Bagaimana
dengan materi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan? Dilihat dari alokasi waktu dan
beban belajar, setiapminggu peserta didik hanya diberi wawasan kebangsaan selama 2 jam
saja. Hal ini tampak tidak seimbang dengan program pemerintah yang berharap agar peserta
didik menjadi generasi yang demokratis, berkonstribusi bagi bangsa dan Negara tanpa adanya
internalisasi secara massif tentang kecintaan terhadap tanah air melalui proses pembelajaran.
Urgensitas kenapa nasionalisme menjadi penting dimasukkan ke dalam Kompetensi Inti
adalah, agar disetiap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik, sekaligus
disisipi nilai-nilai/ unsur nasionalisme dalam setiap mata pelajar. Misalnya unsur demokratis,
patriotis, budaya, menghargai perbedaan, agama (islam) yang toleran, damai, serta sikap-sikap
lain yang menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Sebuah rasa kebanggaan
nasional, bisa dipupuk salah satunya melalui pembiasaan, penghayatan, penyadaran serta
pengamalan tehadap konstribusi kepada bangsa melalui dunia pendidikan.
Namun, upaya pemerintah juga sudah dikatakan maksimal, walaupun beberapa celah
memancing sebuah saran untuk sebuah kesempurnaan. Beberapa upaya pemerintah yang patut
diapresiasi, dikembangkan dan dioptimalkan kembali adalah pengakomodirannya terhadap
materi pelajaran muatan lokal dan ekstrakulikuler. Misalnya saja mengenai muatan lokal24
,
dalam peraturan kementrian pendidikan, muatan lokal yang diberlakukan tersebut memuat
Lingkup isi/jenis muatan lokal berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah,
keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas
lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan potensi
daerah yang bersangkutan.
Muatan ini dalam pendidikan menjadi sangat penting karena mengenalkan lebih jauh
potensi-petensi daerah beserta karakter dan keragamannya sekaligus dalam membentuk moral
peserta didik agar lebih memiliki budayannya.Karakter halus dan perangai yang baik, menurut
Saifuddin juga bisa diperoleh salah satunya dengan mengapresiasi seni dan budaya.25
Adapun jenis muatan lokal yang akan dikembangkan dalam K-13 meliputi empat
rumpun muatan lokal yang merupakan persinggungan antara budaya lokal (dimensi sosio-
budaya-politik), kewirausahaan, pra-vokasional (dimensi ekonomi), pendidikan lingkungan,
dan kekhususan lokal lainnya (dimensi fisik).26
Yang menjadi penekanan pada konteks ini
adalah poin budaya lokal (dimensi sosio-budaya-politik), Karena budaya lokal dalam
perspektif K-13 mencakup pandangan-pandangan yang mendasar mengenai nilai-nilai sosial,
dan artifak-artifak (material dan perilaku) yang luhur dan bersifat lokal. Kesadaran inilah
yang mampu menjadi pupuk penyubur penghayatan peserta didik tentang makna adi luhung
peradaban bangsa yang menjadikannya kian cinta dan semangat dalam mencintai tanah air
dan bangsanya.
Setelah memaparkan, menganalisis dan menelaah tentang landasan filosofis pendidikan
nasional dan unsur nasionalisme kurikulum 2013, maka menjadi penting adalah bagaimana
semangat nasionalisme lebih dioptimalkan kembali dalam iplementasi pendidikan nasional.
Dalam perspektif Saifuddin, unsur-unsur nasionalisme yang perlu dikembangkan dalam
dunia pendidikan meliputi 5 kategori. 1) Keislaman sebagai akar nasionalisme, 2)
24
Peraturan tentang muatan lokal ini, selengkapnga bisa dibaca dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman
Pengembangan Muatan Lokal. 25
Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Oarng Dari Pesantren, 77. 26
Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan Lokal , halaman 4.
130
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
Kebudayaan ; unsur krusial nasionalisme, 3) Demokrasi sebagai indikasi nasionalisme, 4)
Pendidikan sebagai media internalisasi semangat nasionalisme dan 5) Politik: Regulasi
implementasi nasionalisme.
Dalam konteks pendidikan ini, maka penanaman nasonalisme merupakan salah satu
orientasi yang harus diprioritaskan. Pasalnya, berbagai macam ancaman yang berupaya
meruntuhkan keutuhan bangsa mulai menggeliat melalui beragam bentuk. Mulai dari ormas
(HTI, MMI, FUI dll) dengan agama sebagai simbol gerakannya, gerakan separatis (di Papua,
Maluku, Aceh, dll) serta beberapa fenomena yang mengancam disitegrasi bangsa melalui isu
SARA, kepentingan politik, gengsi dan lain sebagainya.
Hal ini, walaupun merupakan isu nasional, salah satu upayanya harus diminalisir atau
bahkan dihilangkan melalui pendidikan.Kenapa pendidikan nasionalisme menjadi penting, hal
ini disebabkan pendidikan nasionalisme terdapat inklusifitas nilai, penghargaan terhadap
heterogenitas karakter dan budaya bangsa, penyiapan generasi muda agar mempunyai pribadi
yang patriotik dan rela berkorban dan berbuat demi kepentingan bangsanya.
Dalam konteks ini, maka yang diperlukan adalah strategi implementasi dalam
menginternalisasikan nasionalisme dalam pendidikan, terutama pendidikan islam. Penulis
pada kesempatan ini, membagi dua aspek dalam rangka penerapan pendidikan yang apresiatif
terhadap semangat kecintaan terhadap tanah air. Kedua aspek tersebut yaitu:
1. Aspek Regulatif (Kebijakan)
Membahas masalah aspek regulative/ kebijakan maka arahnya adalah sistem perundang-
undangan yang mengatur pendidikan.Dalam hal ini adalah peraturan pendidikan yang
diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah tadi menganalisasi secara
filofofis landasan dan tujuan pendidikan, maka dalam rangka menggugah semangat
nasionalisme setidaknya harus ada orientasi jelas dan tersistimatis terkait kebijakan
pemerintah dalam mengatur pendidikan nasional agar tidak tercerabut dari nilai-nilai
nasionalisme.
Seperti yang diketengahkan sebelumnya, maka landasan filosofis yang diberlakukan
dalam kurikulum 201327
secara garis besar memang mengakomodir budaya yang notabene
sebagai unsur nasinalisme sebagai item dari filosofinya. Namun, ada beberapa celah yang
setidaknya perlu direkonstruksi kembali, yakni aspek agama (islam) dan atau pancasila. Hal
ini menjadi penting karena kedua item tersebut akan mampu mengakomodir secara lebih
kompleks nilai-nilai nasionalisme yang dikandurng. Antara lain; demokratisasi, toleransi,
pengharagaan terhadap keberagaman dan lain sebagianya.
Komponen agama ataupun pancasila jika diimplementasikan sebagai landasan filosofis
pendidikan, maka hal ini akan relevan dengan cita-cita pendiri bangsa Bung Karno yang
dikemukakan kepada Saifuddin bahwa unsur yang mutlak dalam nation building (pendidikan)
adalah agama. Tentu saja, agama yang dimaksud adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-
nilai toleransi (tasammuh), tolong-menolong (tawazun), teguh memegang prinsip/ identitas
kebangsaan (I’tidal) serta sikap rela berkorban dan menentang hal-hal yang dapat
meruntuhkan eksistensi bangsa dan Negara (amar ma’ruf nahi munkar/ patriotik).
Terkait regulasi pendidikan selanjutnya adalah implementasi nasionalisme yang
dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional sekaligus tujuan kurikulum 2013. Tujuan
pendidikan nasional, sudah mengarahkan kepada terbentuknya peserta didik untuk memiliki
semangat nasionalisme, hal ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiksnas), BAB II, Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
27
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka
dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan
Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah
131
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.28
Adapun K-13 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki
kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia.29
2. Aspek Intructional (Pengajaran)
Pada aspek pengajaran (intructional) ini, internalisasi semangat nasionalisme menjadi
salah satu orientasi.Seperti yang dijelaskan diatas, elemen nasionalisme dalam dunia
pendidikan merupakan hal yang sangat krusial untuk membentuk generasi muda agar
memiliki kesadaran berbangsa melalui kecintaannya terhadap tanah air. Beberapa hal yang
mendesak untuk diselarskan antara nilai-nilai nasionalisme dengan proses pengajaran adalah
sebagai berikut:
a. Memasukkan Unsur Nasionalisme Dalam K-13
Seperti yang diketahui, dalam kurikulum 2013 dikenal dengan dua macam kompetensi,
yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Karakteristik Kurikulum 2013
mendefinisikan kompetensi inti merupakan perangkat yang menjadi unsur pengorganisasi
(organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses
pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi
inti.30
Walhasil, apapun nilai yang terkandung dalam Kompetensi Inti, menjadi sebuah hal
yang harus dijabarkan dan direalisasikan dalam Kompetensi dasar yang menjadi sebuah acuan
operasional pembelajaran.
Adapaun Kompetensi Inti yang terdapat dalam K-13 terdapat empat kategorisasi, yakni
KI 1 yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai spiritualitas, KI 2 mengasah kepekaan
sosial, KI 3 menajamkan intelektualitas dan KI 4 mengembangkan keterampilan. Secara
umum, pendidikan nasional memang diarahkan pada penguasaan keempat Kompetensi Inti
tersebut, tentunya melalui penjabaran Kompetensi Dasar (KD) yang dikemas dan diwujudkan
melalui pengalaman belajar siswa.
Namun, yang menjadi menarik disini adalah semangat Nasionalisme tidak dijadikan
sebagai orientasi pokok dalam mencetak peserta didik dalam program pendidikan nasional.
Walaupun secara landasan filosofis, tujuan kurikulum serta tujuan pendidikan telah
diakomodir, akan tetapi ketika tidak di realisasikan pada pengalaman belajar, maka nilai-nilai
nasionalisme tersebut hanya menjadi sebuah aksesoris kurikulum belaka.
Hal yang seharusnya direkonstruksi adalah, menyematkan nilai-nilai nasionalisme
menjadi salah satu Kompetensi Inti yang diterapkan dalam pendidikan Nasional.Bagaimana
dengan materi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan? Dilihat dari alokasi waktu dan
beban belajar, setiap minggu peserta didik diberi wawasan kebangsaan selama 2 jam saja. Hal
ini tampak tidak seimbang dengan program pemerintah yang berharap agar peserta didik
menjadi generasi yang demokratis, berkonstribusi bagi bangsa dan Negara tanpa adanya
internalisasi secara massif tentang kecintaan terhadap tanah air melalui proses pembelajaran.
Urgensitas kenapa nasionalisme menjadi penting dimasukkan ke dalam Kompetensi
Inti adalah, agar disetiap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik,
sekaligus disisipi nilai-nilai/ unsur nasioanlisme dalam setiap mata pelajar. Misalnya unsur
28
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 TentangSistem Pendidikan Nasional, bab II, pasal
3. 29
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka
dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan
Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah 30
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka
dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan
Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah.
132
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
demokratis, patriotis, budaya, menghargai perbedaan, agama (islam) yang toleran, damai,
serta sikap-sikap lain yang menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Sebuah rasa
kebanggaan nasional, bisa dipupuk salah satunya melalui pembiasaan, penghayatan,
penyadaran serta pengamalan tehadap konstribusi kepada bangsa melalui dunia
pendidikan.Selain itu juga, nasionalisme yang dijadikan sebagai Kompetensi Inti dapat
mengarahkan seorang guru agar pada setiap mata peljaran, peserta didik ditunjukkan prestasi-
prestasi bangsa Indonesia yang telah mendunia. Misalnya prestasi dalam bidang penemuan
ilmu pengetahuan baru sertakeberhasilannya dalam memenangkan lomba internasional
(bidang robotik, kimia, astronomi, olahraga, fisika, biologi dan lain sebagainya), begitupun
juga dengan temuan-temuan yang secara teoritis keilmuan pernah diproduksi dari rahim
bangsa Indonesia sendiri, hal ini bisa lakukan dengan mengurai beragam produk-produk
budaya dan ilmpu pengetahuan dari Indonesia (alat musik, keragaman baju dan rumah adat,
kekayaan bahasa, adat istiadat, buku-buku/kitab karya tokoh-tokoh agama yang dikaji oleh
bangsa asing, lagu-lagu dan lain sebagainya).
Hal ini jika diimplementasikan secara continu dan massif di dunia pendidikan
Indonesia, maka generasi babngsa akan menjadi generasi yang kian cinta pada jati dirinya,
kepada bangsa dan tanah airnya, kalau sebenarnya bangsa Indonesia mampu bersaing dan
berkompetisi sebagai bagian dari konstribusi terhadap agama, bangsa dan Negara. Inilah yang
dalam bahasa Saifuddin bahwa pendidikan sebaiknya mampu membentuk idealisme generasi
muda.
b. Membentuk Budaya Nasionalisme Dalam Lembaga Pendidikan
Salah satu hal yang tak kalah penting dalam rangka memupuk kecintaan generasi muda
terhadap tanah airya adalah dengan membentuk budaya nasionalis-religius di lembaga
pendidikan/sekolah.Upaya pemerintah dalam konteks inijuga sudah dikatakan baik, walaupun
beberapa celah memancing sebuah saran untuk sebuah kesempurnaan.Beberapa upaya
pemerintah yang patut diapresiasi, dikembangkan dan dioptimalkan kembali adalah
pengakomodirannya terhadap materi pelajaran muatan lokal dan ekstrakulikuler. Misalnya
saja mengenai muatan lokal31
, dalam peraturan Kementrian Pendidikan, muatan lokal yang
diberlakukan tersebut memuat lingkup isi/jenis muatan lokal berupa: bahasa daerah, bahasa
Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan
tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk
pengembangan potensi daerah yang bersangkutan.
Muatan ini dalam pendidikan menjadi sangat penting karena mengenalkan lebih jauh
potensi-petensi daerah beserta karakter dan keragamannya sekaligus dalam membentuk moral
peserta didik agar lebih merasa memiliki budayannya.Karakter halus dan perangai yang baik,
menurut Saifuddin juga bisa diperoleh salah satunya dengan mengapresiasi seni dan budaya.32
Adapun jenis muatan lokal yang akan dikembangkan dalam K-13 meliputi empat
rumpun muatan lokal yang merupakan persinggungan antara budaya lokal (dimensi sosio-
budaya-politik), kewirausahaan, pra-vokasional (dimensi ekonomi), pendidikan lingkungan,
dan kekhususan lokal lainnya (dimensi fisik).33
Yang menjadi penekanan pada konteks ini
adalah poin budaya lokal (dimensi sosio-budaya-politik), Karena budaya lokal dalam
perspektif K-13 mencakup pandangan-pandangan yang mendasar mengenai nilai-nilai sosial,
dan artifak-artifak (material dan perilaku) yang luhur dan bersifat lokal.Kesadaran inilah yang
mampu menjadi pupuk penyubur penghayatan peserta didik tentang makna adi luhung
31
Peraturan tentang muatan lokal ini, selengkapnga bisa dibaca dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman
Pengembangan Muatan Lokal. 32
Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Oarng Dari Pesantren, 77. 33
Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan Lokal , halaman 4.
133
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
peradaban bangsa yang menjadikannya kian cinta dan semangat dalam mencintai tanah air
dan bangsanya.
Gambaran diatas, dalam regulasi kurikulum sudah diarahkan pada Standart Komptensi
Lulusan (SKL).Pada domain pengetahuan peserta didik diarahkan untuk memiliki
kemampuanprosedural dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
humaniora dengan wawasan kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban.Bahkan, pada domain
pengetahuan tersebut unsur manusia, bangsa, negara, tanah air, dan duniadijadikan sagabagai
elemen subyek pembelajaran.34
Adapun pada bidang ekstrakurikuler, menempatkan kegiatan
pramuka dan paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) sebagai opsi kegiatan diluar jam pelajaran,
bahkan kepramukaan dijadikan sebagai kegiatan wajib diluar kulikuler yang diterapkan dalam
K-1335
.Hal ini juga menjadi sebuah usaha baik dari pemerintah guna meningkatkan rasa
kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa.
Selain itu, dalam upaya memupuk budaya cinta tanah air adalah dengan
menyelenggarakan upacara rutin (hari senin) dan upacara dalam rangka memperingati hari
kemerdekaan dan kebangkitan nasional.Tidak hanya itu, harus juga diselenggarakan acara
napak tilas untuk memperingati hari-hari bersejarah tersebut yang diharapkan mampu untuk
dijadikan sebagai media introspeksi dan pembentukan karakter peserta didik yang patriotis.
Selanjutnya yang tak kalah penting adalah pemasangan atribut-atribut yang berkaitan
dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dan yang berjasa bagi perjalanan bangsa Indonesia
lainnya.Selanjutnya bisa dilengkapi dengan sisipkan serpihan cerita motivasi dan biografi para
tokoh-tokoh tersebut dalam andilnya untuk kemajuan dan perkembangan bangsa Indonesia
selama ini. Hal ini dimaksudkan, agar peserta didik tidak tercerabut dari akar perjuangannya,
tidak asing dengan para pendahulu-pendahulunya yang telah berjasa mengharumkan nama
Indonesia. Jika budaya ini disisipkan pada setiap sekolah, minimal seminggu/ sehari sekali,
maka secara tidak sadar, sedikit demi sedikit karakter dan jati diri peserta didik akan
terbentuk, sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan nasional.
Mengenai pentingnya biografi/sejarah ini, sebenarnya telah diatur oleh K-13, setidaknya
hal ini bisa dilihat dari poin 2 dalam landasan filosofis kurrikulum 2013 yang menyatakan
bahwa prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang
harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik.36
Kebijakan ini juga menemukan relevansinya dengan pemikiran Saifuddin yang
menyatakan bahwa jiwa peserta didik harus dibangkitkan dengan mengenal kepahlawanan
nenek moyang (melalui sejarahnya, kiprahnya dan biografinya). Ia juga menegaskan bahwa
mentalitas atau cara berfikir seorang peserta didik haruslah bersumber pada rasa kebanggaan
nasional yang pernah dihasilkan oleh bunga bangsa masa lalu tanpa menjurus pada semangat
kebangsaan yang sempit (chauvinisme). Kebanggaan ini, menurut Saifuddin guna
mengobarkan semangat percaya diri dalam membangun masyarakat adil dan makmur dalam
rangka nation dan character building yang tantangannya tetap eksis di setiap perubahan
zaman mendatang.37
Penutup
34
Tentang Standart Kompetensi Lulusan (SKL) ini, lebih jauh bisa dirujuk dalam Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan tentang Standart Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar, PPT-13 35
Lampiran III Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Kegiatan Ekstra Kulikulier. 36
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka
dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. 37
Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 105.
134
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
Islam merupakan agama yang sangat menghargai entitas kebangsaan sebagaimana fitrah
manusia. Tidak hanya itu, Islam bahkan mampu memberi kontribusi positif terhadap
perkembangan sebuah bangsa. Pernyataan ini pernah dibuktikan Islam. Islam pada awalnya
memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai dan berperan
dalam peningkatan peradaban manusia. Bahkan Islam telah menjadi kekuatan dominan yang
mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara ke dalam sebuah identitas baru
yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan keindonesiaan
ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara.
Selain itu, pesantren yang merupakan tempat persemaian bibit-bibit perjuangan islam
ala nusantara disinyalir telah melahirkan konsep negara-bangsa yang khas. Sehingga,
konstruk pemikiran seorang tokoh H Saifudin Zuhri yang merupakan kader pesantren tulen
kala itu memperkenalkan secara lebih luas bagaimana pandangan komunitas santri dan kiai
tentang arti sebuah perjuangan dalam menegakkan NKRI dan bangsa. Saifuddin, ingin
membuktikan secara lebih luas bahwa islam di indonesia, yang direpresentasikan melalui
pendidikan pesantren selalu lekat dengan kecintaan terhadap tanah air dan selalu
mengkontekstualisasikan diri dengan perkembangan bangsa Indonesia, sebuah konsep
nasionalisme yang merangkul-semua (all encompassing concept) dan dengan sendirinya
menolak “nasionalisme-primordial” yang belakangan direpresentasikan oleh gerakan islam
transnasional.
Wal hasil, kekuatan agama sebagai jembatan dalam menggalang semangat nasionalisme
yang telah dibuktikan oleh kiprah KH Saifuddin Zuhri dewasa ini merupakan kebutuhan yang
tak bisa dihindarkan. Pemikiran-pemikiran Saifuddin tentang nasionalisme dengan paradigm
keislamannya mempunyai andil besar dalam mengawal persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Wa akhiran, sebagai generasi yang sadar akan sejarah kebangsaan, maka harus
meyakini bahwa sampai saat ini agama mampu menjadi faktor pokok yang dapat
mengintegrasikan bangsa sebagai supra identity, yaitu sebagai basis solidaritas sosial yang
kuat. Inilah pandangan yang genuine tentang eksistensi islam ala Indonesia yang membuncah
melalui konsepsinya terhadap nasionalisme yang khas indonesia. Corak nasionalisme yang
dikenalkan oleh KH Saifuddin Zuhri merupakan nasionalisme-religius. Yakni, bahwa
eksistensi agama mampu dijadikan sebagai unsur perekat atas kesadaran kolektif semua
elemen masyarakat terhadap terbentuknya negara-bangsa (nation-state) Indonesia. Islam,
dalam hal ini sesuai dengan pengalaman Indonesia menjadi semacam kekuatan pendorong
munculnya rasa kebangsaan Indonesia. Sehingga, kesimpulan penting yang dapat dicatat
dalam konteks ini bahwa agama (islam) secara inherently memang menjadi unsur krusial
terbentuknya Negara bangsa (nation-state), tentunya hal ini tak lepas dari paradigma yang
digunakan dalam memahami ajaran agama (Islam). Wallahu a’lam.
Daftar Rujukan Abbas, Siradjudin. I’t}iqad Ahlusunnah wa al-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004.
Abegebriel, Agus Maftuh, dkk. Negara Tuhan, Yogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004. Ali Syu’aibi & Gils Kibil. Meluruskan Radikalisme Islam, Surabaya: Duta Aksara Mulya,
2010.
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya: Duta Aksara Mulya, cet III
2010.
Auda, Ali, Ali bin Abi T}alib. Jakarta: Litera AntarNusa, cet IV,2008.
Azra, Azyumardi, Dr, dkk. 1998,Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta :
Kerjasama INIS-PPIM-Balitbang Depag.
-------, Nasionalisme, Etnisitas dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi, Makalah:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2009.
135
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
------, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and
Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Century, Ph.D.
Dissertation. Columbia University, 1992.
------, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crows Nest, Australia, Honolulu,
Leiden: AAAS, Hawaii University Press, dan KITLV Press,. 2005.
Baso, Ahmad. Pesantren Studies 2a, Jakarta: Pustaka Afid, 2012.
Departemen Agama. Agama Unsur Mutlak Nation Building dalam Peranan Departemen
Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Biro Penerbitan
Perpustakaan Agama, 1965.
Djumhur dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 2009.
Fukuyama, Cf. F. The End of History, The National Interest, Summer, 1998.
Hilmy, Masdar. Islam, Politik dan Demokrasi, Surabaya: Imtiyaz, 2014.
Himmelfarb, Gertrude. The Dark and Bloody Crossroads: Where Nationalism and Religion
Meta, The National Interest, Summer, 1993.
Ma’shum, Saifullah (ed). Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung:
Mizan, 1958.
Maliki, Zainuddin. Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta: Galang Press, 2000.
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kyai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogjakarta:
Lkis, 2007.
Moelang, Luxy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996.
Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogjakarta: Rake Saradin,1991.
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa Cendekia. 2003.
Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam, Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002.
Mudhofir, Ali. Materi Peningkatan Guru Pendidikan Agama Islam, Surabaya: Direktorat
Pendidikan Agama Islam, tt.
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Raharjo, Suparto. Ki Hajar Dewantara, Biografi Singkat, Yogjakarta: Garasi.Tt.
Ramly, Nadjamuddin. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan,
Jakarta:Grafindo, 2005.
Saifuddin, Lukman Hakim, dkk. Riwayat Hidup dan Perjuangan KH Saifuddin Zuhri: Ulama
Pejuan Kemerdekaan, Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013.
Santoso, Syarif Hidayat. “Soekarno dan Ta’ridh Politik NU”, Duta Masyarakat, (Jakarta), 27
Juni 2012.
Sukamto. Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta, LP3S, 1999.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Islam 2, Bandung: Salamadani, 2012.
Syakur, Fatah, Sistem Nilai dalam Budaya Organnisasi Pendidikan di Pesantren ; Studi
tentang interaksi Edukatif Kyai, Santru dan Keluarga Pesantren, Jurnal Nadwa
Semarang : IAIN Walisongo Press, 2007.
Tibi, Bassam. Islam and The Culural Acomodation of Social Change, California: University
of Caliifornia, 1991.
Tilaar, HAR. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999.
-------, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas Media Nusantara,2005.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Yulianti, Dewi. Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Pondok Tingal Magelang, 23 Mei 2009.
Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-orang dari Pesantren, Yogjakarta: Pustaka Sastra.2011.
136
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 1,1981.
-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 2,1981.
-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 3, 1981.
-------, Berangkat dari Pesantren, Yogjakarta: Lkis, 2012.
-------, Mbah Wahab Hasbullah; Kyai Nasionalis Pendiri NU, Yogjakarta: Pustaka Pesantren,
2010.
Lampiran-lampiran
1. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013
Tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah
Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah.
2. Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan
Lokal.
3. Lampiran III Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Kegiatan Ekstra Kulikulier.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bab II, pasal 3.