18
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015 INTERNALISASI NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN ISLAM : ANALISA PEMIKIRAN KH SAIFUDDIN ZUHRI Winarto Eka Wahyudi Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan E-mail : [email protected] Abstract: The spirit of nationalism today is in need of serious attention. Because, today there have been many groups disturbing the tranquility and harmony of the Unitary State of Republic of Indonesia (NKRI). Ironically, these groups tend to use (Islamic) religious ideologies and symbols to justify their movements. Thus, it is important to internalize the spirit of patriotism in education by re-actualizing the KH Saifuddin Zuhri's thought about nationalism. In this study, the writer uses a library research with a qualitative method approach, in order to uncover and describe in depth the KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism in which its relevance to our times needs to be taken into account. Thus, the writer needs to create a focus of research namely; 1) what is the concept of nationalism in the perspective of KH Saifuddin Zuhri? 2) what is the genealogy of KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism and its implementation at that time? 3) what is the relevance of KH Saifuddin Zuhri's thought to education at the present? This study could obtain some important findings namely; 1) that the religious values become an absolute element in fueling the spirit of patriotism, so that the pattern of KH Saifuddin Zuhri's nationalism could be categorized religious nationalism, 2) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism could successfully be implemented through 5 forms, namely; Islamic, culture, democracy, education and politics. 3) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism is clearly in line with the grounding of curriculum used in the so-called K-13, namely the cultural character that is carried in the national education as well as the same spirit on the importance of education orientation aimed at producing nationalist learners through the goals of curriculum and education. The strategy of implementation is by reconstructing education on the aspects of policy (regulatory) and teaching (instructional). Keywords: nationalism, education, Islamic religion. Pendahuluan Ideologi menempati posisi krusial terhadap konstruksi pemikiran manusia. Berbagai macam konsep tentang pendidikan, ekonomi, budaya, politik, kenegaraan, agama dan lain sebagainya merupakan gugusan puncak dari fondasi ideologi yang diyakinnya. Nasionalisme, adalah sebuah ideologi/ faham yang meniscayakan adanya rasa persatuan, kesatuan, patriotisme, cinta tanah air dan sikap rela berkorban untuk kepentingan serta keutuhan sebuah bangsa dan negara. Dalam konteks kenegaraan, sebuah pemerintahan jika menginginkan keutuhan bangsanya, maka hal yang paling mendasar adalah menyuntikkan semangat nasionalisme di tiap bidang kehidupan. Injeksi nasionalisme bisa mengakar kuat manakala dilakukan secara continue dan massif. Penanaman semangat nasionalisme yang paling efektif salah satunya bisa dilakukan melalui pendidikan dengan doktrin ideologis berupa agama. Islam dalam konteks ini merupakan agama yang sangat menghargai entitas kebangsaan sebagaimana fitrah manusia. Tidak hanya itu, Islam bahkan mampu memberi kontribusi positif terhadap perkembangan kebangsaan. Pernyataan ini pernah dibuktikan Islam. Islam pada awalnya memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai

INTERNALISASI NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN ISLAM ...journal.unisla.ac.id/pdf/13912015/9. Winarno Eka Wahyudi, Internalisasi...nasionalisme di tiap bidang kehidupan. Injeksi nasionalisme

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

INTERNALISASI NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN ISLAM :

ANALISA PEMIKIRAN KH SAIFUDDIN ZUHRI

Winarto Eka Wahyudi

Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan

E-mail : [email protected]

Abstract: The spirit of nationalism today is in need of serious attention. Because,

today there have been many groups disturbing the tranquility and harmony of the

Unitary State of Republic of Indonesia (NKRI). Ironically, these groups tend to

use (Islamic) religious ideologies and symbols to justify their movements. Thus, it

is important to internalize the spirit of patriotism in education by re-actualizing

the KH Saifuddin Zuhri's thought about nationalism.

In this study, the writer uses a library research with a qualitative method

approach, in order to uncover and describe in depth the KH Saifuddin Zuhri's

idea of nationalism in which its relevance to our times needs to be taken into

account. Thus, the writer needs to create a focus of research namely; 1) what is

the concept of nationalism in the perspective of KH Saifuddin Zuhri? 2) what is

the genealogy of KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism and its implementation

at that time? 3) what is the relevance of KH Saifuddin Zuhri's thought to

education at the present?

This study could obtain some important findings namely; 1) that the religious

values become an absolute element in fueling the spirit of patriotism, so that the

pattern of KH Saifuddin Zuhri's nationalism could be categorized religious

nationalism, 2) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism could successfully

be implemented through 5 forms, namely; Islamic, culture, democracy, education

and politics. 3) The KH Saifuddin Zuhri's idea of nationalism is clearly in line

with the grounding of curriculum used in the so-called K-13, namely the cultural

character that is carried in the national education as well as the same spirit on

the importance of education orientation aimed at producing nationalist learners

through the goals of curriculum and education. The strategy of implementation is

by reconstructing education on the aspects of policy (regulatory) and teaching

(instructional).

Keywords: nationalism, education, Islamic religion.

Pendahuluan

Ideologi menempati posisi krusial terhadap konstruksi pemikiran manusia. Berbagai

macam konsep tentang pendidikan, ekonomi, budaya, politik, kenegaraan, agama dan lain

sebagainya merupakan gugusan puncak dari fondasi ideologi yang diyakinnya. Nasionalisme,

adalah sebuah ideologi/ faham yang meniscayakan adanya rasa persatuan, kesatuan,

patriotisme, cinta tanah air dan sikap rela berkorban untuk kepentingan serta keutuhan sebuah

bangsa dan negara. Dalam konteks kenegaraan, sebuah pemerintahan jika menginginkan

keutuhan bangsanya, maka hal yang paling mendasar adalah menyuntikkan semangat

nasionalisme di tiap bidang kehidupan. Injeksi nasionalisme bisa mengakar kuat manakala

dilakukan secara continue dan massif. Penanaman semangat nasionalisme yang paling efektif

salah satunya bisa dilakukan melalui pendidikan dengan doktrin ideologis berupa agama.

Islam dalam konteks ini merupakan agama yang sangat menghargai entitas kebangsaan

sebagaimana fitrah manusia. Tidak hanya itu, Islam bahkan mampu memberi kontribusi

positif terhadap perkembangan kebangsaan. Pernyataan ini pernah dibuktikan Islam. Islam

pada awalnya memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai

120

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

dan berperan dalam peningkatan peradaban manusia. Bahkan Islam telah menjadi kekuatan

dominan yang mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara ke dalam sebuah

identitas baru yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan

keindonesiaan ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara1.

Dalam lingkup sejarah Indonesia agama Islam telah menunjukkan arti pentingnya dalam

pembentukan kebangsaan Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa pondok pesantren dengan

berbagai macam pola pembelajaran, gerakan dan semangat nasionalisme para kyainya,

menjadi basis paling kuat untuk melawan penjajah. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam

sebuah resolusi jihad yang dikeluarkan NU pada masa itu. Pesan jihadnya, mampu

mengobarkan semangat nasionalisme melawan penjajah seperti yang dimiliki oleh penyiar

radio, Bung Tomo.

Pada saat ini, semangat cinta tanah air atau nasionalisme merupakan modal paling

penting dalam mencapai cita-cita Indonesia yang telah tersurat dalam pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.Akan tetapi dewasa ini, keberadaan nasionalisme mulai menghadapi

persoalan. Yaitu ketika paham kebangsaan ini mulai digeser dengan fanatisme yang berdasar

daerah, golongan atau keagamaan. Sebagai contoh banyak pihak yang terang-terangan ingin

memisahkan diri dari kesatuan Indonesia atau ingin mendirikan negara berbasis agama Islam

dengan konsekuensi langsung memarginalkan kelompok lain yang tidak sepaham atau

segolongan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Islam benar-benar menghendaki seperti

itu? Sesuatu yang justru menimbulkan persoalan baru yang menjurus pada perpecahan

bangsa. Padahal cita-cita bangsa Indonesia sama dengan tujuan adanya Islam di dunia. Kalau

Indonesia memiliki tujuan sebagaimana yang ada dalam visinya Pancasila dengan tujuan

utama pembentukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia, maka tujuan Islam sebagaimana yang tertuang dalam kitab sucinya adalah keadilan

sosial dalam bidang ekonomi dan egalitarianisme.

Disini letak pentingnya pendidikan Islam. Yaitu sebagai media transfer pemahaman ke-

islaman yang inklusif dan kontekstual. Karena sampai sekarang pendidikan dipercaya sebagai

sarana paling ampuh untuk proses transformasi nilai, termasuk nilai-nilai nasionalisme yang

juga diakui dan didukung dalam agama Islam. Pada episentrum inilah eksistensi pendidikan

Islam harus memanfaatkan momentnya untuk merubah tatanan yang ada untuk menjadi lebih

baik.

Dengan merujuk pada latar belakang diatas, maka penulis mengangkat tokoh besar yaitu

KH Saifuddin Zuhri yang merepresentasikan pendidikan Islam yang ramah yang sekaligus

berakar dari kararakter bangsa Indonesia, yakni institusi Pesantren. Sosok ini penulis yakini

sebagai prototype keberhasilan pendidikan pesantren dalam rangka pengembangan

pendidikan Nasional seutuhnya.

Konsep Dasar Nasionalisme; Menemukan Makna dalam Perspektif Islam

Dalam perspektif etimologis, nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa.

Bangsa disini mempunyai dua pengertian, yaitu dalam pengertian antropologis serta

sosiologis, dan dalam pengertian politik.2 Dalam pengertian antropologis dan sosiologis,

bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan

masing-masing anggota persekutuan tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah

dan adat istiadat. Adapun bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam satu

daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan

yang tertinggi keluar dan kedalam.

Ali Mahsan Moesa menyitir pernyataan Ernest Renan tentang definisi dari

Nasionalisme, dalam bukunya nation and narration dikatakan bahwa bangsa (nation) adalah

1Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 26.

2Aminudin Nur, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Pembimbing Masa, 1967), 87.

121

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

kesatuan solidaritas yang digantungkan atas kehendak warganya untuk hidup secara bersama

dalam identitas kolektif baru yang melampaui garis-garis primordial-sektarian.3 Identitas

kolektif dalam konteks ini, menurut Renan tidak dapat disamakan dengan kesatuan

masyarakat yang didasarkan pada kesamaan ras, budaya bahkan agama.Karena bangsa

merupakan jiwa atau something spiritual. Sedangkan Benedict Anderson mempunyai

pandangan berbeda mengenai konsep nasionalisme.

Dalam karyanya yang berjudul Imagined Community (1983) Anderson mengemukakan

bahwa bangsa (nation) merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political

community) yang bermakna bahwa anggota dari bangsa tersebut terdiri dari beragam

elemenyang tidak mungkin kenal satu sama lain secara keseluruhan, tetapi dalam benak dan

bayangan, merekamenyadari akan pentingnya sebuah wujud kesatuan bangsa yang melampaui

luasnya jarak demografis. Bangsa yang dibayangkan ini, terwujud karena faktanya tersekat

oleh zona geografis dalam satu Negara atau bahkan dipisahkan oleh bangsa lain. Sebuah

bangsa yang berdaulat dan cita-citakan karena memiliki kesamaan sejarah serta perasaan

ketidak adilan dan penindasan yang dilakukan oleh kelompok lain.

Dari sedikit paparan diatas mengenai konsep nasionalisme, dapat dipahami bahwa

nasionalisme merupakan supremeloyality terhadap kelompok bangsa.Kesetiaan tersebut

muncul karena adanya kesadaran identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya.Pada

kebanyakan kasus, hal itu terjadi karena kesamaan keturunan, bahasa atau budaya. Namun,

yang paling substansial tentang konstruk nasionalisme adalah adanya rasa kemauaan untuk

bersatu “a living and active corporate will”.Sehingga, melihat pemaknaan nasionalisme

diatas dapat dipaham bahwa sebenarnya konsep nasionalisme bukanlah hal yang statis.

Entitasnya selalu berubah sesuai dengan kondisi yang membentuknya, ia juga bukan sesuatu

yang given.

Lebih jauh lagi, dalam islam sendiri kajian mengenai nasionalisme harus diletakkan

secara proporsional sesuai perspektif yang diinginkan. Dalam kerangka inilah, menjadi

sebuah keniscayaan akademik untuk merumuskan nasionalisme sebagai common pattern (pola

umum) sebelum mengkaji secara mendalam implementasinya dalam dinamika kebangsaan

Indonesia. Dalam hal ini, diperlukan konseptualisasi nasionalisme dalam kerangka ideal (the

ideal typeof Nationalism) yang menjadi referensi dan tolok ukur implementasi semangat

nasionalisme dalam kerangka particular (khas).

Konsep ideal nasionalisme secara umum dapat dideduksi secara normatif dari perspektif

pancasila, sebagaimana yang tertuang dalam tiap pasal dan butir-butirnya, sedangkan secara

ideologis dapat kita ketemukan melalui statment al-Quran tentang keniscayaan sebuah

komunitas yang mempunyai beragam suku dan bangsa, sebagaimana yang tertuang dalam al-

Quran sebagai berikut:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

lagi Maha Mengenal”(Al-Hujurat: 13)

3Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai (Yogajakarta: Lkis, 2007). xi.

122

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Selain itu, statement Nabi atas kecintaanya terhadap kota Mekkah4 yang

diungkapkannya sebelum melakukan hijrah ke Madinah juga menjadi indikasi syar’i yang

legitimed untuk membuktikan bahwa semangat cinta tanah air merupakan hal yang sangat

krusial . Ungkapan Nabi Muhammad SAW ini, berhasil direkam dalam catatan muhadits

sebagai berikut ; ا أخرج من مكة لم ك أحب بلد هللا اليه وأكرمه عل هللا ولول : عن ابن عباس قال قال رسول هللا صل هللا عليه وسل اني لخرج منك واني لعل أن

منك أن أهل أخرجون 064ص / 1ج –زوائد الهيمثي –مس ند احلارث ) منك ما خرج

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata:

Sungguh aku diusir darimu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang

paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak

mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)”

Selain itu, analisa induktif yang terejawentahkan melalui fakta historis sejarah awal

umat Islam Indonesia, oleh para ahli sejarah disebut proto-nationalism (embrio faham

nasionalisme), dan atau ; dari seputar pergulatan pemikiran dan kontak fisik antara kalangan

pesantren dengan kolononial penjajah. Studi terdahulu mengenai hal-hal tersebut memberikan

gambaran mengenai konsep nasionalisme era awal (The Formative Period of Nationalism).

Konsep tersebut sangat berguna sebagai alat analisis dan kerangka teoritik untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan penelitian ini.

Indonesia ditengah ancaman distegrasi; Identifikasi Ideologis

Dalam konteks Indonesia, pasca tumbangnya era orde baru pada tahun 1998,Indonesia

tengah memasuki era reformasi di segala bidang.Beragam ekspresi seseorang, seperti

kebebasan berpendapat, berserikat/ berkumpul dan lain sebagainya menjadi indikasi nyata

bahwa reformasi benar-benar mewujud di Indonesia. Namun dalam implementasi era tersebut,

tidaklah gratis.Karena perwujudan orde reformasiberkonsekuensi pada meningkatnya dua

poros disintegrasibangsa secara bersamaan. Pertama, disintegrasi vertikal, seperti konflik

sosial anta relit politik dan konflik antar daerah dan pusat. Kedua, disintegrasi horizontal yang

ditandai dengan konflik antar suku, etnis, agama, ras dan antar golongan.Sudah barang tentu

dua pola disintegrasi tersebut pada gilirannya mengancam rasa nasionalisme dan pada

akhirnya menghancurkan eksistensi negara-bangsa (nation-state) yang menjadi genuine

Indonesia.5

Dalam konteks kekinian, munculnya kelompok-kelompok islam yang mengusung

semangat pemberlakuan syariat Islam pada tataran politik-formalitas, menjadi ancaman

tersendiri bagi pemerintah pasca dibukanya kran demokrasi secara besar-besaran.Tentunya,

hal tersebut berkonsekuensi mudahnya kelompok-kelompok militan untuk masuk dan

berkembang mengatasnamakan demokrasi. Dengan semangat jihad, organisasi-organisasi

yang tergabung dalam Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI),

Jama>’ah Isla>miyyah (JI), Forum Umat Islam (FUI) dan beberapa kelompok dengan pola

yang sama telah menjadi bagian dari dinamika sosial keagamaan bangsa Indonesia dan pada

saat yang sama ingin merubah sistem pemerintahan Negara Indonesia.

Salah satu dampak globalisasi pada aspek ideologis adalah semakin mudahnya akses

akulturasi pemikiran antar Negara. Jika merujuk pada definisi etimogisnya, KH Hasyim

Muzadi secara sederhana mengetengahkan bahwa tansnasional berarti, trans (lintas)

sedangkan nasional (negara). Jadi, ideologi transnasional merupakan ideologi importer yang

memang secara faktual terbentuk melalui pemikiran lintas Negara.6Di Indonesia, ideologi ini

4Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460

5Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruk Sosial Berbasis Agama (Yogjakarta: Lkis, 2007), ix.

6 Penjelasan ini disampaikan KH Hasyim Muzadi pada Seminar Nasional dengan tema “Radikalisme Agama di

Indonesia” di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, 2009

123

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

direpresentasikan oleh ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI).

Secara kelembagaan, MMI bukanlah sebuah organisasi yang di impor dari Timur

Tengah secara langsung, namun secara pemikiran dan gerakan, organisasi ini tak ubahnya

sebagai “penerus” gerakan Jama’ah Islami>yah yang berada di Mesir terutama Afganistan.

Kenyataan ini bisa dilacak jika melihat para inisiator gerakan ini yang dipelopori oleh Abu

Bakar Ba’syir sebagai Amirul Mujahidin (pemimpin pasukan jihad) dan Irfan S. Awwas

sebagai dewan Legislator (semacam Lajnah Tanfidziyah di organisasi NU). Kedua orang ini

merupakan alumnus Afganistan yang ditengarai sebagai pemimpin jaringan Al-Qaedah distrik

Asia Tenggara. Organisasi Jihadi ini, tergolong masih muda, karena baru diproklamirkan

sekitar lima belas tahun yang lalu, setelah pertemuan aktifis muslim diberbagai daerah di

Indonesia dan beberapa delegasi dari luar negeri pada bulan Agustus 2000 yang disebut-sebut

sebagai “Kongres Mujahidin.”

Selanjutnya, HTI merupakan kelompok yang juga dituding sebagai organisasi Islam

yang berpotensi makar terhadap pemerintahan yang sah. Kesimpulan ini bisa dilihat melalui

statement pendirinya, yakni Taqiyuddin An-Nabhani yang mengatakan bahwa, “ Barang siapa

yang tidak membaiat khalifah hingga akhir hayatnya, maka orang tersebut telah mengakhiri

hayatnya dalam keadaan jahiliyah seperti penyembah berhala.”7

Di Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan organisasi ini pertama kali mengendap

dikalangan masyarakat. Namun yang jelas, ideologi ini telah hadir di Indonesia setelah

pendirinya, yakni Syaikh Taqiyuddin mengunjungi Indonesia pada tahun 1972.

Gerakan HTI ini memang ramai dan mampu menarik hati kalangan mahasiswa

utamanya dikampus-kampus sekuler (bukan perguruan tinggi islam) dewasa ini. Karenanya,

organanisasi ini banyak mempropagandakan ajarannya melalui dunia akademis seperti

seminar, diskusi publik, pelatihan-pelatihan serta berbagai macam pertemuan intelektual

lainnya yang banyak menyeret kalangan mahasiswa awam.

Tipe organisasi satu ini, -dalam mempropagandakan ideologinya- bisa dibilang sangat

cantik sekaligus unik. Hal ini bisa dilihat teknik mereka ketika menawarkan khilafah

islami>yahsebagai gold progamnya dengan jalan memberitakan serta “membuktikan”

kebrobokan sistem demokrasi, ekonomi serta berbagai macam isu kemiskinan, penindasan

kaum muslimin serta tidak amanahnya pemerintah dalam mengemban tugas kenegaraan yang

pada akhirnya ditawarkanlah solusi ideal yakni penerapan syari’at islam secara ka>ffah.

Metode semacam ini kian menerima banyak simpati ketika dibarengi dengan upaya

yang sangat massive melalui penerbitan majalah bulanan al-Wa’ie dan buletin mingguan al-

Islam yang menjadi corong gerakannya. Wal hasil, usaha yang dilakukan orang-orang HTI ini

terbukti berhasil menyeret kalangan intelektual dan para akademisi untuk bergeser dari

pemahaman sebelumnya menjadi seorang yang getol memperjuangkan penerapan syariat

islam melalui Khilafah Islami>yah ala Minhajin Nubuwah.8

Bagi HTI, penerapan syari’at islam merupakan bukti keimanan sekaligus konsekuensi

logis dari kewajiban untuk melaksanakan islam secara menyeluruh (ka>ffah), serta realisasi

dari kewajiban untuk memilih pemimpin (khalifah) melalui bai’ah.

Dalam konteks kekinian, kedua kelompok diatas secara tegas mempunyai cita-cita suci,

yakni h}ilafah Establishing (pembangunan kembali khilafah) yang direprentasikan secara

massive oleh Hizbut Tahrir (HTI) dan Jama’ah Islamiyah (JI) yang diindonesia di

representasikan oleh MMI. Yang disebut diakhir, bahkan sudah menjadi gerakan yang

mempunyai konsep sangat rapi dalam merealisasikan impiannya. Menurut hasil penelitian

yang dilakukan oleh Agus Maftuh, gerakan ini sudah mencapai bentuk organisasi gerakan

yang bersifat ‘alamy atau international yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial Negara.

7 Ali Syu’aibi & Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Surabaya: Duta Aksara Mulya, 2010), 142.

8 Agus Maftuh Abegebriel,dkk, Negara Tuhan (Yogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), 695.

124

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Mereka sudah mempunyai semaca, “pedoman suci” yang bertitel PUPJI (Pedoman Umum

Perjuangan Al-Jama>’ah al-Isla>miyah) yang memuat tujuan, target dan strategi untuk

proyek pendirian kekhalifahan.9

Eksistensi agama yang menjadi basis gerakan pada kelompok ini, menjadikan ormas

yang didatangkan melalui ideologi transnasional tersebut mendapatkan tempat di hati

beberapa warga muslim Indonesia yang ingin “memperjuangkan agamanya”. Pada akhirnya,

secara tidak sadar nasionalisme menjadi ancaman tersendiri bagi pelaku agama yang “taat”

untuk segera menggantinya dengan sistem yang dilegitimasi oleh ajaran agama, terutama

islam.

Pemikiran KH Saifudin Zuhri tentang Nasionalisme

Saifuddin Zuhri dilahirkan dari rahim ibu yang bernama Siti Saudatun pada tanggal 1

Oktober 1919, di Kedawenan Sukaraja, 9 km dari Purwokerto, Banyumas Jawa Tengah.10

Dalam konstelasi sosial politik yang terjadi pada saat itu, menempatkan Saifuddin pada

sebuah posisi perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan. Putra tertua dari Sembilan

bersaudara ini (lima laki-laki dan empat perempuan) dilahirkan ditanah dimana banyak

terlahir tokoh-tokoh ABRI. Diantaranya Pak Sudirman (Jenderal Besar), Gatot Subroto

(Wakil KSAD), Sungkono (Panglima Brawijaya), Sadikin (Panglima Siliwangi), Subyakto

(Laksamna KSAL), Suprapto (Pahlawan Revolusi), Surono (Mentri Kesra).11

Sehingga, tak

heran jiwa patriotismenya terbentuk sehingga pernah menjadi Komandan Divisi Barisan

Hizbullah Jawa Tengah di Magelang.

Kondisi sosial yang melingkupi Saifuddin lebih banyak dihabiskan dilingkungan

pesantren dan orang-orang pesantren pula. Hal inilah yang menjadikan pola perjuangan

Saifuddin baik dalam bidang politik, pendidikan, dan perjuangan melawan penjajahan syarat

dengan landasan ajaran islam yang diajarkan dipesantren yang menjadi lingkungan

akrabnya12

.

Pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, Saifuddin diminta menghadap ke

Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung

Karno. Banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya saat itu, kenapa secara mendadak ia

di panggil orang nomor satu di Indonesia tersebut.13

Ternyata dalam pertemuan itu, Bung

Karno memintanyauntuk menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang

mengundurkan diri.14

9 Bahkan kelompok ini menjadikan NKRI sebagai qa’idah amina (safe area) atau base camp menuju

terbentuknya Khilafah islamiyah ala Minhajin Nubuwah. Tidak hanya itu, JI juga telah mempunyai Nidl}om

Asasi atau semacam UUD yang mengatur mekanisme gerakan, dan yang lebih mengagetkan lagi, mereka juga

sudah menyiapkan semacam Military Training dengan empat materi pokok; Weapon Training, Teknik Infanteri,

Map reading dan Field Engineering lengkap dengan bombing trainingnya. Baca Selengkapnya dalam Agus

Maftuh, Negara Tuhan, 2008, xi. 10

Saifullah Ma’shum (ed), Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1958), 305. 11

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: PT Gunung Agung, 1981), Jilid 2, VI 12

Kedekatan dengan dunia pesantren, menempatkan Saifuddin mempunyai Hubungan yang akrab dengan para

Kyai antara lain KH Wahid Hasyim, KH Mas Mansur, KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Asy’ari dan tokoh-

tokoh teras Islam tradisionalis lainnya sehingga menempatkan dirinya pada kutub pemikiran yang

mengedepankan semangat juang jihad ala Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah 13

Pertanyaan-pertanyaan yang sempat keluar dari benak Saifuddin antara lainApakah karena urusan DPR atau

DPA? Apa soal urusan Sekjen NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? 14

Selama perjalanan sejarah, negara Republik Indonesia telah mengalami ketidak stabilan politik yang akut. Ini

ditandai dengan timbul tenggelamnya kabinet yang bertugas menjalankan roda administrasi pemerintahan.

Dalam jangka waktu 21 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sampai munculnya orde baru,

Negara ini telah mengalami bongkar pasang kabinet sekitar dua puluh kali. Usia rata-rata kabinet sekitar hanya

satu tahun saja, bahkan ada kabinet yang usianya hanya sebulan, yaitu kabinet Susanto yang memegang tampuk

pemerintahan pada tanggal 20 Desember 1949 sampai 21 Januari 1950 yang pada saat itu Menteri Agamanya

adalah KH Masykur. Dalam kemelut percaturan kabinet ini, ada menteri agama yang menjabat lebih dari satu

125

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Pada saat itu Bung Karno berujar bahwa penunjukannya sebagai menteri

Agamasudahnya secara matang.15

Namun, permintaan ini tidak serta merta diambil oleh

Saifuddin, tetapi beliau justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh teras NU,

khususnya K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu

dengan Kyai Wahib dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan

Kyai Wahib yang mundur sebagai Menteri Agama.

Lebih lanjut, kesadaranya terhadap entitas agama (Islam) sebagai unsur penunjang

pembangunan nasionalkian kuat setelah mendapatkan hadiah dari KH Muhammad Ilyas, Duta

Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Ilyas pada kesempatan itu memberikannya sebuah buku

karya C.A.O Nieuwenhuije yang berjudul “Aspect Of Islam in Post Colonial Indonesia”.

Saat membaca buku itu, ia tertarik dengan pernyataan orang Belanda tersebut yang

mengatakan dalam bukunya dengan bunyi kalimat pendek namunsangat substansial. Dalam

karyanya tersebut, Nieuwenhuije menyatakan “Islam is one of the main determinant of the

sociocultural climate of modern Indonesia” yang bermakna bahwa eksistensi islam

merupakan salah satu faktor penentu paling krusial terhadap terciptanya suasanan sosial

budaya pada Indonesia Modern.

Tentang pentingnya semangat nasionalisme ini, Saifuddin menyatakan dalam artikelnya

yang berjudul “Yang Belum Tergalang Dalam Memanfaatkan Sumber Potensi: Islam=

Nasionalisme” bahwa:“Bangsa Indonesia (kecuali yang berjiwa budak) dalam segala versinya

adalah nasionalis pengemban cita-cita nasionalisme. Kesadaran sebagai kesatuan sebangsa

setanah air membangunkan semangat percaya diri sendiri untuk mempertahankan eksistensi

sebagai satu ras, membina kerukunan makro nasional, mempertahankan daulat kemerdekaan

sebagai satu bangsalain, nasionalisme itu akan membakar semangat merebut kembali

miliknya yang hilang, jikatidak bisa dengan jalan halus, rela menempuh jalan bertempur

mengorbankan peran kemerdekaan” 16

Dalam pandangannya, realitas semacam ini menjadi sebuah bukti bahwa rasa

nasionalisme merupakan sebuah fitrah yang alami.Walaupun masih bersifat kedaerahan,

nasionalisme jenis ini merupakan nasionalisme yang mengalami pertumbuhan, dengan

puncaknya lahir sumpah pemuda yang menjadi cikal-bakal kokoh dan teguhnya Negara

Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI).

Selanjunya, secara lebih spesifik pandangan Saifuddin tentang peran agama yang dapat

dijadikan sebagai unsur penting dalam pembentukan solidaritas nasional dapat ditemui dalam

statementnya yang mengatakan:Memelihara kelestarian agama dan menjaga kemurnian

ajaran-ajarannya menjadi hak tiap pemeluk agama.Ummat islampun tidak terkecuali untuk

memperoleh hak tersebut. Sudah banyak diketahui bahwa perincian doktrin islam mengenai

pelaksanaan iman ialah barang siapa berbuat untuk memelihara kelestarian daripada: 1)

susbtansi agama, 2) keselamatan jiwa raga, 3) keselamatan harta-benda dan keamanannya, 4)

keselamatan keluarga, 5) keselamatan akal pikiran, 6) keselamatan kehormatan diri. Usaha

memelihara 6 perkera tersebut diatas itu tidak harus dilakukan oleh tiap orang terhadap

individunya masing-masing, tetapi oleh tidap-tiap orang dalam usaha kolektif untuk

periode pemerintahan (kabinet) secara berturut-turut; KH Wahid Hasyim, KH. M. Ilyas, KH. Wahib Wahab, dan

KH Saifuddin Zuhri. Atau yang berselang seling seperti KH Masykur dan KH Fakih Usman. KH Saifuddin

adalah orang kesembilan dalam urut-urutan orang yang pernah menjabat sebagai menteri agama, dan orang

pertama yang menduduki jabatan Menteri Agama yang lamanya melebihi lima tahun. 15

Pertimbangan matang Bung Karno dalam memilih Saifuddin sebagai Menteri Agama diperolehnya melalui

track recordnya saat menjadiwartawan, politisi, dan pejuang. Salahsatu petikan ucapan Bung Karno kala itu

dalam memilih Saifuudin adalah, “Saya dekatkan saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati.

Baru-baru ini saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin

mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung karno ketika itu. 16

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop, Jilid 3, 121

126

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

keselamatan bersama.Di situlah fungsi dan peranan persatuan (ukhuwah) dan solidaritas

(tadlammun).17

Dari pernyataannya diatas, jelas Saifuddin memiliki kesadaran yang dalam bahasanya

Ernest Renan disebut Something Spiritual, yakni jiwa kesatuan dan persatuan untuk

membentuk sebuah solidaritas masyarakat non-primordial dan sektarian.Kesadaran inilah

yang menjadi unsure penting dalam pembentukan bangsa yang satu, yakni kesadaran kolektif

untuk bekersajama sesame elemen bangsa, yang melampaui skat-skat agama, suku, ras dan

budaya.

Pandangan Saifuddin tentang konsep nasionalisme ini mengahasilkan kesimpulan

bahwa ia mampu mengkonstruk paham kebangsaan yang berangkat dari ajaran agama (Islam).

Saifuddin meyakini bahwa sampai saat ini agama menjadi faktor pokok yang mampu

mengintegrasikan bangsa sekaligus menjadi supra identity, yaitu sebagai basis solidaritas

sosial yang kuat.

Lebih jauh lagi, kajian ini menemukan bahwa Saifuddin mempunyai pandangan yang

genuine Indonesia tentang konsepsinya terhadap nasionalisme.Corak nasionalisme yang

diperjuangkan oleh Saifuddin lebih pada jenis nasionalisme-religius.Yakni, bahwa eksistensi

agama mampu dijadikan sebagai unsur perekat atas kesadaran kolektif semua elemen

masyarakat terhadap terbentuknya negara-bangsa (nation-state) Indonesia.Islam, dalam hal ini

sesuai dengan pengalaman Indonesia menjadi semacam kekuatan pendorong munculnya rasa

kebangsaan Indonesia. Sehingga, kesimpulan penting yang dapat dicatat dalam konteks ini

bahwa agama (islam) secara inherently memang menjadi unsur krusial terbentuknya Negara

bangsa (nation-state), tentunya hal ini tak lepas dari paradigm yang digunakan dalam

memahami ajaran agama (Islam).

Sebuah rasa nasionalisme dengan bukti kecintaannya terhadap tanah air dan bangsanya,

menurut Saifuddin tidak akan pernah usang karena semangat nasionalis tidak akan pernah

mengalamai kedaluarsa. Keusangan semangat tersebut tidak akan pernah sirnah dari benak

dan pola pikirbangsa Indonesia selagi seluruh warga Negara menyadari dengan benar-benar

bahwa kesatuan tanah air dan semangat rela berkorban untuk bangsa Indonesia tetap tumbuh

subur dalam sanubari terdalam rakyat-rakyat Indonesia.

Ia juga menegaskan bahwa kecintaan terhadap tanah air yang berimplikasi pada jiwa

nasionalis, tidak akan pernah berubah dikarenakan nasionalisme merupakan sifat yang

natural-instinctive, yaitu sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena jiwa

kebangsaan lahir sebuah fitrah, maka eksistensinya tak akan pernah berubah layaknya produk

teknologi yang mersifat sintetis dan plastis.18

Dalam karyanya ia menegaskan

bahwa:“Nasionalisme adalah alami, tegasnya; sifat pembawaan manusia yang dilahirkan

sebagai bekal mengarungi hidup atas qodrat dan iradat Allah Tuhan Maha Pencipta, manusia

sejak lahir telah membawa nasionalisme, dan tidak bisa memilih macam nasionalisme apa

yang dikehendaki.Menghendaki sesuatu nasionalisme itu sendiri sejak guagarba itu adalah

satu kemustahilan.nasionalisme alami secara fitrah berkat rahmat Allah Tuhan yang Maha

Esa. Tanpa planning tanpa programming, tanpa menuntut tanpa memilihi kita dilahirkan

menjadi bangsa indonesia”19

Lebih jauh lagi, untuk menegaskan karakter nasionalisme bangsa Indonesia, maka

Saifuddin menyatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia adalah Nasionalisme

Pancasila.Ciri khas nasionalisme pancasila menurutnya, merupakan bangunan kecintaan

terhadap tanah air yang dipelopori oleh pendiri bangsa Indonesia.The Faunding Fathers

tersbeut merupakan politisi sekaligus negarawan yang arif dan bijaksana dengan

menempatkan Negara ini berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.Agar bangsa Indonesia

17

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), Jilid 3, 70. 18

Ibid, 217. 19

Ibid, 217.

127

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

menjadi nasionalis yang bersyukur kepada Allah Tuhan yang Kuasa, melakukan perbuatan

yang di ridloi-Nya supaya menjadi bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt.

Melalui kearifan semangat nasionalis diatas, sebagai penerus dari perjuangan bapak

pendiri bangsa dituntut untuk melanjutkan perjuangannya melalui konteks sekarang dengan

menghayati dan mengamalkan Nasioanlisme-Pancasila. Suatu bentuk nasionalisme yang

berketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,

nasionalisme persatuan Indonesia, nasionalisme yang berkerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijksanaan dalam permusyawararat perwakilan, serta nasionalisme yang berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Internalisasi Nasionalisme dalam Pendidikan

Pendidikan dalam sistem pelaksanaan prosesnya selalu bersifat dinamis, yaitu selalu

berubah untuk dikembangkan menyesuaikan dengan kehidupan sosial dan Ilmu Pengetahuan

manusia. Hal ini berkaitan pula dengan sifat Pendidikan yang historis, maksudnya bahwa

pendidikan memiliki latar belakang kebudayaan dan filsafat yang berpengaruh pada jaman

tertentu. Dengan adanya perubahan kehidupan sosial dan Ilmu Pengetahuan manusia seiring

berjalannya waktu, maka Sistem pendidikan terkait kurikulum selalu berproses dengan

pengembangan-pengembangan sesuai dengan kebutuhan jaman.

Di Indonesia, Pendidikan formal khususnya, mengalami berbagai pasang surut masalah

dari segi pendidik, peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun output proses

pendidikan. Oleh karena itu diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan

nasional, yang dipandang berbagai pihak sudah tidak efektif, bahkan dari segi mata pelajaran

yang diberikan dianggap kelebihan muatan (overload) tetapi tidak mampu memberikan bekal,

serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di

dunia.

Secara eksplisit, tidak diketengahkan secara tegas bahwa secara filosofis pendidikan

nasioanl merujuk pada aspek-aspek nasionalisme bangsa Indonesia, seperti misalnya nilai-

nilai pancasila, kebhenikaan, UUD 1945 dan NKRI. Namun, dalam beberap point, misalnya

point misalnya dalam landasan filosofis Kurikulum 2013, yaitu pada point 1 dan 2,

mengakomodir unsur budaya dan seni sebagai modal dasar dalam mengembangkan

pendidikan nasional.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, unsur budaya sekaligus dalam hal ini kesenian,

merupakan salah satu elemen penting dalam implementasi semangat nasionalisme.20

Selain itu,

pada poin 2 di tegaskan bahwa prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau

adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta

didik.Kebijakan ini menemukan relevansinya dengan pemikiran Saifuddin yang menyatakan

bahwa jiwa peserta didik harus dibangkitkan dengan mengenal kepahlawanan nenek

moyang.Ia juga menegaskan bahwa mentalitas atau cara berfikir seorang peserta didik

haruslah bersumber pada rasa kebanggana nasional yang pernah dihasilkan oleh bunga bangsa

masa lalu tanpa menjurus pada semangat kebangsaan yang sempit (chauvinisme). Kebanggaan

ini, menurut Saifuddin guna mengobarkan semangat percaya diri dalam membangun

masyarakat adil dan makmur dalam rangka nation dan character building yang tantangannya

tetap eksis di setiap perubahan zaman mendatang.21

Selanjutnya, pada K-13 juga memposisikan keunggulan budaya sebagai bahan yang

harus dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam

kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan

berbangsa masa kini. Argumentasi ini, dalam perspektif Saifuddin merupakan upaya dalam

mengenal kehidupan masyarakat dengan penghayatan yang kokoh. Pengenalan ini menjadi

20

Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 63. 21

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 105.

128

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

vital, karena dapat menjadikan peserta didik mempunyai modal sosial serta dalam rangka

mengcounter sifat yang berang dan jiwa “memberontak” yang senantiasa melekat dalam

kepribadian pemuda.

Kesadaran pemuda terhadap pentingnya kemanfaatan bagi banyak orang (baca:

masyarakat) akan secara perlahan meminimalisir sikap dan sifat garang akibat kondisi

psikologis yang belum mapan. Upaya ini menjadi sangat vital, melihat realita kasus-kasus

pelaku bom kuningan di Jakarta pada tahun 2004 lalu dan warga Negara Indonesia yang

manjadi anggota ISIS merupakan pemuda-pemuda yang mempunyai kisaran usia 20-30 tahun.

Apalagi WNI yang masih berposisi sebagai mahasiswa di Timur Tengah itu, sampat terseret

arus untuk menjadi anggota kelompok yang membuat ancaman bagi nasionalisme bangsa

sendiri adalah sebuah “kecolongan” penanaman semangat nasionalisme sejak dini.

Tentu saja fenomena ini tidak bisa digeneralisir, ada banyak faktor penyebab yang

melatar belakanginya. Apalagi kasus-kasus yang mengancam eksistensi Negara pada

dasawarsa belakangan ini muncul dari kelompok yang mengatasnamakan ideologi tertentu,

yakni islam.

Pada posisi inilah pendidikan islam, dengan perspektif nasionalisme Saifuddin

menemukan relevansinya. Posisi islam dalam sebuah bangunan filosofi kurikulum, dan agama

lain pada umumnya. Harus mendapat tempat tersendiri secara legal-formal agar pemikiran

pendidikan nasional, sekaligus pendidikan islalm pada khususnya tidak kehilangan karakter

ketuhanannya.

Bila ditelaah lebih jauh, dari keempat poin landasan filosofis K-13 diatas, belum

menempatkan unsur agama/ ketuhanan sebagai landasannya. Hal ini menjadi penting, karena

kesadaran berbangsa dan bernegara tanpa adanya semangat spiritual akan menjadi tak

berdaya. Saifuddin menegaskan bahwa, nasionalisme (politik, ekonomi dan pendidikan)

haruslah berlandaskan nilai-nilai rohani, yakni agama.22

Entitas agama, agar tidak mengusung semangat primordial maka menjadi representative

diterapkan dengan mengusung filosofi pancasila.Lambang Negara inilah merupakan

representasi ideal dalam mengakomodir entitas keragaman suku, agama, ras dan budaya

bangsa Indonesia.

Mengenai pentingnya eksistensi pancasila ini, Saifuddin menyatakan bahwa Pancasila

merupakan weltanschauung atau dasar falsafah nasional yang menjadi kekayaan moral bangsa

untuk melandasi tegak berdirinya Bangsa Indonesia.23

Selanjutnya, mengenai isi kurikulum, isi kurikulum merupakan pengalaman pendidikan/

pengajaran yang diperoleh peserta didik selama proses belajar mengajar. Membahasa

mengenai pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik, tidak bisa dilepaskan mengenai

“aturan main” bagaimana pengalaman pembelajaran peserta didik tersebut diterapkan. Aturan

tersebut, semua terangkum dalam terminologi kurikulumnya disebut sebagai Komptensi Inti

(selanjutnya disingkat KI).

Dalam KI yang berlaku dalam K-13, terkategorisasikan menjadi KI 1 yang berorientasi

pada penghayatan nilai-nilai spiritualitas, KI 2 mengasah kepekaan sosial, KI 3 menajamkan

intelektualitas dan KI 4 mengembangkan keterampilan. Secara umum, pendidikan nasional

memang diarahkan pada penguasaan keempat Kompetensi Inti tersebut, tentunya melalui

penjabaran Kompetensi Dasar (KD) yang dikemas dan diwujudkan melalui pengalaman

belajar siswa.

Namun, yang menjadi menarik disini adalah semangat Nasionalisme tidak dijadikan

sebagai orientasi pokok dalam mencetak peserta didik dalam program pendidikan nasional.

Walaupun secara landasan filosofis dan tujuan kurikulum serta pendidikan telah diakomodir,

22

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop, Jilid 1, 135. 23

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 51.

129

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

akan tetapi ketika tidak di realisasikan pada pengalaman belajar, maka nilai-nilai ini hanya

menjadi sebuah aksesoris kurikulum belaka.

Hal yang seharusnya direkonstruksi adalah, menyematkan nilai-nilai nasionalisme

menjadi salah satu Kompetensi Inti yang diterapkan dalam pendidikan Nasional.Bagaimana

dengan materi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan? Dilihat dari alokasi waktu dan

beban belajar, setiapminggu peserta didik hanya diberi wawasan kebangsaan selama 2 jam

saja. Hal ini tampak tidak seimbang dengan program pemerintah yang berharap agar peserta

didik menjadi generasi yang demokratis, berkonstribusi bagi bangsa dan Negara tanpa adanya

internalisasi secara massif tentang kecintaan terhadap tanah air melalui proses pembelajaran.

Urgensitas kenapa nasionalisme menjadi penting dimasukkan ke dalam Kompetensi Inti

adalah, agar disetiap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik, sekaligus

disisipi nilai-nilai/ unsur nasionalisme dalam setiap mata pelajar. Misalnya unsur demokratis,

patriotis, budaya, menghargai perbedaan, agama (islam) yang toleran, damai, serta sikap-sikap

lain yang menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Sebuah rasa kebanggaan

nasional, bisa dipupuk salah satunya melalui pembiasaan, penghayatan, penyadaran serta

pengamalan tehadap konstribusi kepada bangsa melalui dunia pendidikan.

Namun, upaya pemerintah juga sudah dikatakan maksimal, walaupun beberapa celah

memancing sebuah saran untuk sebuah kesempurnaan. Beberapa upaya pemerintah yang patut

diapresiasi, dikembangkan dan dioptimalkan kembali adalah pengakomodirannya terhadap

materi pelajaran muatan lokal dan ekstrakulikuler. Misalnya saja mengenai muatan lokal24

,

dalam peraturan kementrian pendidikan, muatan lokal yang diberlakukan tersebut memuat

Lingkup isi/jenis muatan lokal berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah,

keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas

lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk pengembangan potensi

daerah yang bersangkutan.

Muatan ini dalam pendidikan menjadi sangat penting karena mengenalkan lebih jauh

potensi-petensi daerah beserta karakter dan keragamannya sekaligus dalam membentuk moral

peserta didik agar lebih memiliki budayannya.Karakter halus dan perangai yang baik, menurut

Saifuddin juga bisa diperoleh salah satunya dengan mengapresiasi seni dan budaya.25

Adapun jenis muatan lokal yang akan dikembangkan dalam K-13 meliputi empat

rumpun muatan lokal yang merupakan persinggungan antara budaya lokal (dimensi sosio-

budaya-politik), kewirausahaan, pra-vokasional (dimensi ekonomi), pendidikan lingkungan,

dan kekhususan lokal lainnya (dimensi fisik).26

Yang menjadi penekanan pada konteks ini

adalah poin budaya lokal (dimensi sosio-budaya-politik), Karena budaya lokal dalam

perspektif K-13 mencakup pandangan-pandangan yang mendasar mengenai nilai-nilai sosial,

dan artifak-artifak (material dan perilaku) yang luhur dan bersifat lokal. Kesadaran inilah

yang mampu menjadi pupuk penyubur penghayatan peserta didik tentang makna adi luhung

peradaban bangsa yang menjadikannya kian cinta dan semangat dalam mencintai tanah air

dan bangsanya.

Setelah memaparkan, menganalisis dan menelaah tentang landasan filosofis pendidikan

nasional dan unsur nasionalisme kurikulum 2013, maka menjadi penting adalah bagaimana

semangat nasionalisme lebih dioptimalkan kembali dalam iplementasi pendidikan nasional.

Dalam perspektif Saifuddin, unsur-unsur nasionalisme yang perlu dikembangkan dalam

dunia pendidikan meliputi 5 kategori. 1) Keislaman sebagai akar nasionalisme, 2)

24

Peraturan tentang muatan lokal ini, selengkapnga bisa dibaca dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan

Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman

Pengembangan Muatan Lokal. 25

Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Oarng Dari Pesantren, 77. 26

Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013

Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan Lokal , halaman 4.

130

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Kebudayaan ; unsur krusial nasionalisme, 3) Demokrasi sebagai indikasi nasionalisme, 4)

Pendidikan sebagai media internalisasi semangat nasionalisme dan 5) Politik: Regulasi

implementasi nasionalisme.

Dalam konteks pendidikan ini, maka penanaman nasonalisme merupakan salah satu

orientasi yang harus diprioritaskan. Pasalnya, berbagai macam ancaman yang berupaya

meruntuhkan keutuhan bangsa mulai menggeliat melalui beragam bentuk. Mulai dari ormas

(HTI, MMI, FUI dll) dengan agama sebagai simbol gerakannya, gerakan separatis (di Papua,

Maluku, Aceh, dll) serta beberapa fenomena yang mengancam disitegrasi bangsa melalui isu

SARA, kepentingan politik, gengsi dan lain sebagainya.

Hal ini, walaupun merupakan isu nasional, salah satu upayanya harus diminalisir atau

bahkan dihilangkan melalui pendidikan.Kenapa pendidikan nasionalisme menjadi penting, hal

ini disebabkan pendidikan nasionalisme terdapat inklusifitas nilai, penghargaan terhadap

heterogenitas karakter dan budaya bangsa, penyiapan generasi muda agar mempunyai pribadi

yang patriotik dan rela berkorban dan berbuat demi kepentingan bangsanya.

Dalam konteks ini, maka yang diperlukan adalah strategi implementasi dalam

menginternalisasikan nasionalisme dalam pendidikan, terutama pendidikan islam. Penulis

pada kesempatan ini, membagi dua aspek dalam rangka penerapan pendidikan yang apresiatif

terhadap semangat kecintaan terhadap tanah air. Kedua aspek tersebut yaitu:

1. Aspek Regulatif (Kebijakan)

Membahas masalah aspek regulative/ kebijakan maka arahnya adalah sistem perundang-

undangan yang mengatur pendidikan.Dalam hal ini adalah peraturan pendidikan yang

diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah tadi menganalisasi secara

filofofis landasan dan tujuan pendidikan, maka dalam rangka menggugah semangat

nasionalisme setidaknya harus ada orientasi jelas dan tersistimatis terkait kebijakan

pemerintah dalam mengatur pendidikan nasional agar tidak tercerabut dari nilai-nilai

nasionalisme.

Seperti yang diketengahkan sebelumnya, maka landasan filosofis yang diberlakukan

dalam kurikulum 201327

secara garis besar memang mengakomodir budaya yang notabene

sebagai unsur nasinalisme sebagai item dari filosofinya. Namun, ada beberapa celah yang

setidaknya perlu direkonstruksi kembali, yakni aspek agama (islam) dan atau pancasila. Hal

ini menjadi penting karena kedua item tersebut akan mampu mengakomodir secara lebih

kompleks nilai-nilai nasionalisme yang dikandurng. Antara lain; demokratisasi, toleransi,

pengharagaan terhadap keberagaman dan lain sebagianya.

Komponen agama ataupun pancasila jika diimplementasikan sebagai landasan filosofis

pendidikan, maka hal ini akan relevan dengan cita-cita pendiri bangsa Bung Karno yang

dikemukakan kepada Saifuddin bahwa unsur yang mutlak dalam nation building (pendidikan)

adalah agama. Tentu saja, agama yang dimaksud adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-

nilai toleransi (tasammuh), tolong-menolong (tawazun), teguh memegang prinsip/ identitas

kebangsaan (I’tidal) serta sikap rela berkorban dan menentang hal-hal yang dapat

meruntuhkan eksistensi bangsa dan Negara (amar ma’ruf nahi munkar/ patriotik).

Terkait regulasi pendidikan selanjutnya adalah implementasi nasionalisme yang

dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional sekaligus tujuan kurikulum 2013. Tujuan

pendidikan nasional, sudah mengarahkan kepada terbentuknya peserta didik untuk memiliki

semangat nasionalisme, hal ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiksnas), BAB II, Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan

pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

27

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka

dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan

Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah

131

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.28

Adapun K-13 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki

kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,

inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia.29

2. Aspek Intructional (Pengajaran)

Pada aspek pengajaran (intructional) ini, internalisasi semangat nasionalisme menjadi

salah satu orientasi.Seperti yang dijelaskan diatas, elemen nasionalisme dalam dunia

pendidikan merupakan hal yang sangat krusial untuk membentuk generasi muda agar

memiliki kesadaran berbangsa melalui kecintaannya terhadap tanah air. Beberapa hal yang

mendesak untuk diselarskan antara nilai-nilai nasionalisme dengan proses pengajaran adalah

sebagai berikut:

a. Memasukkan Unsur Nasionalisme Dalam K-13

Seperti yang diketahui, dalam kurikulum 2013 dikenal dengan dua macam kompetensi,

yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Karakteristik Kurikulum 2013

mendefinisikan kompetensi inti merupakan perangkat yang menjadi unsur pengorganisasi

(organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses

pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi

inti.30

Walhasil, apapun nilai yang terkandung dalam Kompetensi Inti, menjadi sebuah hal

yang harus dijabarkan dan direalisasikan dalam Kompetensi dasar yang menjadi sebuah acuan

operasional pembelajaran.

Adapaun Kompetensi Inti yang terdapat dalam K-13 terdapat empat kategorisasi, yakni

KI 1 yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai spiritualitas, KI 2 mengasah kepekaan

sosial, KI 3 menajamkan intelektualitas dan KI 4 mengembangkan keterampilan. Secara

umum, pendidikan nasional memang diarahkan pada penguasaan keempat Kompetensi Inti

tersebut, tentunya melalui penjabaran Kompetensi Dasar (KD) yang dikemas dan diwujudkan

melalui pengalaman belajar siswa.

Namun, yang menjadi menarik disini adalah semangat Nasionalisme tidak dijadikan

sebagai orientasi pokok dalam mencetak peserta didik dalam program pendidikan nasional.

Walaupun secara landasan filosofis, tujuan kurikulum serta tujuan pendidikan telah

diakomodir, akan tetapi ketika tidak di realisasikan pada pengalaman belajar, maka nilai-nilai

nasionalisme tersebut hanya menjadi sebuah aksesoris kurikulum belaka.

Hal yang seharusnya direkonstruksi adalah, menyematkan nilai-nilai nasionalisme

menjadi salah satu Kompetensi Inti yang diterapkan dalam pendidikan Nasional.Bagaimana

dengan materi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan? Dilihat dari alokasi waktu dan

beban belajar, setiap minggu peserta didik diberi wawasan kebangsaan selama 2 jam saja. Hal

ini tampak tidak seimbang dengan program pemerintah yang berharap agar peserta didik

menjadi generasi yang demokratis, berkonstribusi bagi bangsa dan Negara tanpa adanya

internalisasi secara massif tentang kecintaan terhadap tanah air melalui proses pembelajaran.

Urgensitas kenapa nasionalisme menjadi penting dimasukkan ke dalam Kompetensi

Inti adalah, agar disetiap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik,

sekaligus disisipi nilai-nilai/ unsur nasioanlisme dalam setiap mata pelajar. Misalnya unsur

28

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 TentangSistem Pendidikan Nasional, bab II, pasal

3. 29

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka

dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan

Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah 30

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka

dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan

Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah.

132

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

demokratis, patriotis, budaya, menghargai perbedaan, agama (islam) yang toleran, damai,

serta sikap-sikap lain yang menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Sebuah rasa

kebanggaan nasional, bisa dipupuk salah satunya melalui pembiasaan, penghayatan,

penyadaran serta pengamalan tehadap konstribusi kepada bangsa melalui dunia

pendidikan.Selain itu juga, nasionalisme yang dijadikan sebagai Kompetensi Inti dapat

mengarahkan seorang guru agar pada setiap mata peljaran, peserta didik ditunjukkan prestasi-

prestasi bangsa Indonesia yang telah mendunia. Misalnya prestasi dalam bidang penemuan

ilmu pengetahuan baru sertakeberhasilannya dalam memenangkan lomba internasional

(bidang robotik, kimia, astronomi, olahraga, fisika, biologi dan lain sebagainya), begitupun

juga dengan temuan-temuan yang secara teoritis keilmuan pernah diproduksi dari rahim

bangsa Indonesia sendiri, hal ini bisa lakukan dengan mengurai beragam produk-produk

budaya dan ilmpu pengetahuan dari Indonesia (alat musik, keragaman baju dan rumah adat,

kekayaan bahasa, adat istiadat, buku-buku/kitab karya tokoh-tokoh agama yang dikaji oleh

bangsa asing, lagu-lagu dan lain sebagainya).

Hal ini jika diimplementasikan secara continu dan massif di dunia pendidikan

Indonesia, maka generasi babngsa akan menjadi generasi yang kian cinta pada jati dirinya,

kepada bangsa dan tanah airnya, kalau sebenarnya bangsa Indonesia mampu bersaing dan

berkompetisi sebagai bagian dari konstribusi terhadap agama, bangsa dan Negara. Inilah yang

dalam bahasa Saifuddin bahwa pendidikan sebaiknya mampu membentuk idealisme generasi

muda.

b. Membentuk Budaya Nasionalisme Dalam Lembaga Pendidikan

Salah satu hal yang tak kalah penting dalam rangka memupuk kecintaan generasi muda

terhadap tanah airya adalah dengan membentuk budaya nasionalis-religius di lembaga

pendidikan/sekolah.Upaya pemerintah dalam konteks inijuga sudah dikatakan baik, walaupun

beberapa celah memancing sebuah saran untuk sebuah kesempurnaan.Beberapa upaya

pemerintah yang patut diapresiasi, dikembangkan dan dioptimalkan kembali adalah

pengakomodirannya terhadap materi pelajaran muatan lokal dan ekstrakulikuler. Misalnya

saja mengenai muatan lokal31

, dalam peraturan Kementrian Pendidikan, muatan lokal yang

diberlakukan tersebut memuat lingkup isi/jenis muatan lokal berupa: bahasa daerah, bahasa

Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan

tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu untuk

pengembangan potensi daerah yang bersangkutan.

Muatan ini dalam pendidikan menjadi sangat penting karena mengenalkan lebih jauh

potensi-petensi daerah beserta karakter dan keragamannya sekaligus dalam membentuk moral

peserta didik agar lebih merasa memiliki budayannya.Karakter halus dan perangai yang baik,

menurut Saifuddin juga bisa diperoleh salah satunya dengan mengapresiasi seni dan budaya.32

Adapun jenis muatan lokal yang akan dikembangkan dalam K-13 meliputi empat

rumpun muatan lokal yang merupakan persinggungan antara budaya lokal (dimensi sosio-

budaya-politik), kewirausahaan, pra-vokasional (dimensi ekonomi), pendidikan lingkungan,

dan kekhususan lokal lainnya (dimensi fisik).33

Yang menjadi penekanan pada konteks ini

adalah poin budaya lokal (dimensi sosio-budaya-politik), Karena budaya lokal dalam

perspektif K-13 mencakup pandangan-pandangan yang mendasar mengenai nilai-nilai sosial,

dan artifak-artifak (material dan perilaku) yang luhur dan bersifat lokal.Kesadaran inilah yang

mampu menjadi pupuk penyubur penghayatan peserta didik tentang makna adi luhung

31

Peraturan tentang muatan lokal ini, selengkapnga bisa dibaca dalam Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan

Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman

Pengembangan Muatan Lokal. 32

Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Oarng Dari Pesantren, 77. 33

Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013

Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan Lokal , halaman 4.

133

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

peradaban bangsa yang menjadikannya kian cinta dan semangat dalam mencintai tanah air

dan bangsanya.

Gambaran diatas, dalam regulasi kurikulum sudah diarahkan pada Standart Komptensi

Lulusan (SKL).Pada domain pengetahuan peserta didik diarahkan untuk memiliki

kemampuanprosedural dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,

humaniora dengan wawasan kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban.Bahkan, pada domain

pengetahuan tersebut unsur manusia, bangsa, negara, tanah air, dan duniadijadikan sagabagai

elemen subyek pembelajaran.34

Adapun pada bidang ekstrakurikuler, menempatkan kegiatan

pramuka dan paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) sebagai opsi kegiatan diluar jam pelajaran,

bahkan kepramukaan dijadikan sebagai kegiatan wajib diluar kulikuler yang diterapkan dalam

K-1335

.Hal ini juga menjadi sebuah usaha baik dari pemerintah guna meningkatkan rasa

kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa.

Selain itu, dalam upaya memupuk budaya cinta tanah air adalah dengan

menyelenggarakan upacara rutin (hari senin) dan upacara dalam rangka memperingati hari

kemerdekaan dan kebangkitan nasional.Tidak hanya itu, harus juga diselenggarakan acara

napak tilas untuk memperingati hari-hari bersejarah tersebut yang diharapkan mampu untuk

dijadikan sebagai media introspeksi dan pembentukan karakter peserta didik yang patriotis.

Selanjutnya yang tak kalah penting adalah pemasangan atribut-atribut yang berkaitan

dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dan yang berjasa bagi perjalanan bangsa Indonesia

lainnya.Selanjutnya bisa dilengkapi dengan sisipkan serpihan cerita motivasi dan biografi para

tokoh-tokoh tersebut dalam andilnya untuk kemajuan dan perkembangan bangsa Indonesia

selama ini. Hal ini dimaksudkan, agar peserta didik tidak tercerabut dari akar perjuangannya,

tidak asing dengan para pendahulu-pendahulunya yang telah berjasa mengharumkan nama

Indonesia. Jika budaya ini disisipkan pada setiap sekolah, minimal seminggu/ sehari sekali,

maka secara tidak sadar, sedikit demi sedikit karakter dan jati diri peserta didik akan

terbentuk, sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan nasional.

Mengenai pentingnya biografi/sejarah ini, sebenarnya telah diatur oleh K-13, setidaknya

hal ini bisa dilihat dari poin 2 dalam landasan filosofis kurrikulum 2013 yang menyatakan

bahwa prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang

harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik.36

Kebijakan ini juga menemukan relevansinya dengan pemikiran Saifuddin yang

menyatakan bahwa jiwa peserta didik harus dibangkitkan dengan mengenal kepahlawanan

nenek moyang (melalui sejarahnya, kiprahnya dan biografinya). Ia juga menegaskan bahwa

mentalitas atau cara berfikir seorang peserta didik haruslah bersumber pada rasa kebanggaan

nasional yang pernah dihasilkan oleh bunga bangsa masa lalu tanpa menjurus pada semangat

kebangsaan yang sempit (chauvinisme). Kebanggaan ini, menurut Saifuddin guna

mengobarkan semangat percaya diri dalam membangun masyarakat adil dan makmur dalam

rangka nation dan character building yang tantangannya tetap eksis di setiap perubahan

zaman mendatang.37

Penutup

34

Tentang Standart Kompetensi Lulusan (SKL) ini, lebih jauh bisa dirujuk dalam Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu

Pendidikan tentang Standart Kompetensi Lulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar, PPT-13 35

Lampiran III Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013

Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Kegiatan Ekstra Kulikulier. 36

Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013 Tentang Kerangka

dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan

Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. 37

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, Jilid 2, 105.

134

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

Islam merupakan agama yang sangat menghargai entitas kebangsaan sebagaimana fitrah

manusia. Tidak hanya itu, Islam bahkan mampu memberi kontribusi positif terhadap

perkembangan sebuah bangsa. Pernyataan ini pernah dibuktikan Islam. Islam pada awalnya

memiliki citra dan cerita yang positif karena penyebarannya dengan jalan damai dan berperan

dalam peningkatan peradaban manusia. Bahkan Islam telah menjadi kekuatan dominan yang

mampu menyangga dan mempersatukan penduduk nusantara ke dalam sebuah identitas baru

yang bernama Indonesia, sekalipun pada akhirnya secara legal formal ikatan keindonesiaan

ini diatur dan diperkuat oleh administrasi dan ideologi negara.

Selain itu, pesantren yang merupakan tempat persemaian bibit-bibit perjuangan islam

ala nusantara disinyalir telah melahirkan konsep negara-bangsa yang khas. Sehingga,

konstruk pemikiran seorang tokoh H Saifudin Zuhri yang merupakan kader pesantren tulen

kala itu memperkenalkan secara lebih luas bagaimana pandangan komunitas santri dan kiai

tentang arti sebuah perjuangan dalam menegakkan NKRI dan bangsa. Saifuddin, ingin

membuktikan secara lebih luas bahwa islam di indonesia, yang direpresentasikan melalui

pendidikan pesantren selalu lekat dengan kecintaan terhadap tanah air dan selalu

mengkontekstualisasikan diri dengan perkembangan bangsa Indonesia, sebuah konsep

nasionalisme yang merangkul-semua (all encompassing concept) dan dengan sendirinya

menolak “nasionalisme-primordial” yang belakangan direpresentasikan oleh gerakan islam

transnasional.

Wal hasil, kekuatan agama sebagai jembatan dalam menggalang semangat nasionalisme

yang telah dibuktikan oleh kiprah KH Saifuddin Zuhri dewasa ini merupakan kebutuhan yang

tak bisa dihindarkan. Pemikiran-pemikiran Saifuddin tentang nasionalisme dengan paradigm

keislamannya mempunyai andil besar dalam mengawal persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia.

Wa akhiran, sebagai generasi yang sadar akan sejarah kebangsaan, maka harus

meyakini bahwa sampai saat ini agama mampu menjadi faktor pokok yang dapat

mengintegrasikan bangsa sebagai supra identity, yaitu sebagai basis solidaritas sosial yang

kuat. Inilah pandangan yang genuine tentang eksistensi islam ala Indonesia yang membuncah

melalui konsepsinya terhadap nasionalisme yang khas indonesia. Corak nasionalisme yang

dikenalkan oleh KH Saifuddin Zuhri merupakan nasionalisme-religius. Yakni, bahwa

eksistensi agama mampu dijadikan sebagai unsur perekat atas kesadaran kolektif semua

elemen masyarakat terhadap terbentuknya negara-bangsa (nation-state) Indonesia. Islam,

dalam hal ini sesuai dengan pengalaman Indonesia menjadi semacam kekuatan pendorong

munculnya rasa kebangsaan Indonesia. Sehingga, kesimpulan penting yang dapat dicatat

dalam konteks ini bahwa agama (islam) secara inherently memang menjadi unsur krusial

terbentuknya Negara bangsa (nation-state), tentunya hal ini tak lepas dari paradigma yang

digunakan dalam memahami ajaran agama (Islam). Wallahu a’lam.

Daftar Rujukan Abbas, Siradjudin. I’t}iqad Ahlusunnah wa al-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004.

Abegebriel, Agus Maftuh, dkk. Negara Tuhan, Yogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004. Ali Syu’aibi & Gils Kibil. Meluruskan Radikalisme Islam, Surabaya: Duta Aksara Mulya,

2010.

Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya: Duta Aksara Mulya, cet III

2010.

Auda, Ali, Ali bin Abi T}alib. Jakarta: Litera AntarNusa, cet IV,2008.

Azra, Azyumardi, Dr, dkk. 1998,Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta :

Kerjasama INIS-PPIM-Balitbang Depag.

-------, Nasionalisme, Etnisitas dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi, Makalah:

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2009.

135

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

------, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and

Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Century, Ph.D.

Dissertation. Columbia University, 1992.

------, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crows Nest, Australia, Honolulu,

Leiden: AAAS, Hawaii University Press, dan KITLV Press,. 2005.

Baso, Ahmad. Pesantren Studies 2a, Jakarta: Pustaka Afid, 2012.

Departemen Agama. Agama Unsur Mutlak Nation Building dalam Peranan Departemen

Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Biro Penerbitan

Perpustakaan Agama, 1965.

Djumhur dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 2009.

Fukuyama, Cf. F. The End of History, The National Interest, Summer, 1998.

Hilmy, Masdar. Islam, Politik dan Demokrasi, Surabaya: Imtiyaz, 2014.

Himmelfarb, Gertrude. The Dark and Bloody Crossroads: Where Nationalism and Religion

Meta, The National Interest, Summer, 1993.

Ma’shum, Saifullah (ed). Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung:

Mizan, 1958.

Maliki, Zainuddin. Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta: Galang Press, 2000.

Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kyai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogjakarta:

Lkis, 2007.

Moelang, Luxy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996.

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogjakarta: Rake Saradin,1991.

Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa Cendekia. 2003.

Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis Pendidikan

Islam, Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002.

Mudhofir, Ali. Materi Peningkatan Guru Pendidikan Agama Islam, Surabaya: Direktorat

Pendidikan Agama Islam, tt.

Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005.

Raharjo, Suparto. Ki Hajar Dewantara, Biografi Singkat, Yogjakarta: Garasi.Tt.

Ramly, Nadjamuddin. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan,

Jakarta:Grafindo, 2005.

Saifuddin, Lukman Hakim, dkk. Riwayat Hidup dan Perjuangan KH Saifuddin Zuhri: Ulama

Pejuan Kemerdekaan, Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013.

Santoso, Syarif Hidayat. “Soekarno dan Ta’ridh Politik NU”, Duta Masyarakat, (Jakarta), 27

Juni 2012.

Sukamto. Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta, LP3S, 1999.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Islam 2, Bandung: Salamadani, 2012.

Syakur, Fatah, Sistem Nilai dalam Budaya Organnisasi Pendidikan di Pesantren ; Studi

tentang interaksi Edukatif Kyai, Santru dan Keluarga Pesantren, Jurnal Nadwa

Semarang : IAIN Walisongo Press, 2007.

Tibi, Bassam. Islam and The Culural Acomodation of Social Change, California: University

of Caliifornia, 1991.

Tilaar, HAR. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1999.

-------, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas Media Nusantara,2005.

Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Yulianti, Dewi. Menyibak Fajar Nasionalisme Indonesia, Makalah Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, di Hotel Pondok Tingal Magelang, 23 Mei 2009.

Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-orang dari Pesantren, Yogjakarta: Pustaka Sastra.2011.

136

AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015

-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 1,1981.

-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 2,1981.

-------, Kaleidoskop Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, Jilid 3, 1981.

-------, Berangkat dari Pesantren, Yogjakarta: Lkis, 2012.

-------, Mbah Wahab Hasbullah; Kyai Nasionalis Pendiri NU, Yogjakarta: Pustaka Pesantren,

2010.

Lampiran-lampiran

1. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67, 68, 69 tahun 2013

Tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Sekolah

Menengah Pertama/ Madrasah Tranawiyah dan Sekolah Menengah atas/madrasah aliyah.

2. Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Pengembangan Muatan

Lokal.

3. Lampiran III Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor

81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Kegiatan Ekstra Kulikulier.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional, bab II, pasal 3.