38
CATATAN PRAKTIK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU Catatan Praktik menyajikan analisis cepat tentang pengalaman yang terkait dengan proyek tertentu. Analisis dan rekomendasi yang tersaji terbatas pada konteks spesifik yang ada dalam catatan ini dan tidak menggambarkan kondisi dalam konteks yang berbeda. wri-indonesia.org

MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

CATATAN PRAKTIK

MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Catatan Praktik menyajikan analisis cepat tentang pengalaman yang terkait dengan proyek tertentu. Analisis dan rekomendasi yang tersaji terbatas pada konteks spesifik yang ada dalam catatan ini dan tidak menggambarkan kondisi dalam konteks yang berbeda.

wri-indonesia.org

Page 2: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG2

DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif ................................................................................................................ 3Daftar Singkatan ..................................................................................................................... 81. Pendahuluan ...................................................................................................................... 9 Masalah: Penggunaan Lahan yang Tumpang-Tindih, Ketidakpastian Tenurial, dan Tata Kelola Lahan yang Buruk ......................................................................................................................... 9

Potensi Solusi: Pemetaan yang Lebih Baik ................................................................................. 10Landasan Teoritis ITUPEDE .....................................................................................................11Studi Kasus ....................................................................................................................... 12Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 17

2.Pendekatan dan Metodologi .................................................................................................. 18Pengumpulan dan Analisis Data .............................................................................................. 18

3.Hasil, Temuan, dan Pembahasan .............................................................................................20Pengelolaan Sumber Daya Alam di Gajah Bertalut .......................................................................20ITUPEDE Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan di Gajah Bertalut .................. 21ITUPEDE Meningkatkan Kemampuan Negosiasi Masyarakat Adat Perihal Hak atas Tanah, Meski Kendala Hukum Tetap Ditemukan .......................................................................................................24Langkah Selanjutnya dan Area Perbaikan untuk ITUPEDE ..............................................................26Peluang untuk Replikasi Pendekatan ITUPEDE ............................................................................27

4. Kesimpulan .......................................................................................................................28Catatan Akhir ........................................................................................................................29Referensi ............................................................................................................................. 31

PenulisDwiki Ridhwan, Carolina Astri, Alif Azadi Taufik, Dean Affandi, Muis Fajar, dan Julius Lawalata

Desember 2020

Saran Kutipan: D. Ridhwan, C. Astri, A.A. Taufik, D. Affandi, M. Fajar, and J. Lawalata, 2020. “Meningkatkan Taraf Hidup Masayarakat Adat melalui Pemetaan: Studi Kasus dari Gajah Bertalut, Riau.” Catatan Praktik. Jakarta, Indonesia: WRI Indonesia. Tersedia Online di: www.wri-indonesia.org/id/publication/Meningkatkan-Taraf-Hidup-Masyarakat-Adat-Melalui-Pemetaan.

Page 3: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

3CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

RINGKASAN EKSEKUTIFIDE POKOK ▪ Penggunaan lahan yang tumpang-tindih

dan ketidakpastian tenurial lazim terjadi di Indonesia. Situasi ini berdampak buruk bagi perlindungan lingkungan dan membatasi kemampuan masyarakat adat dalam menegosiasikan hak mereka atas tanah. Penetapan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di sebagian lahan tempat masyarakat adat Gajah Bertalut hidup merupakan cerminan masalah ini—dan cerminan sistem tata kelola hutan dan lahan yang tidak memadai. ▪ Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (ITUPEDE) mendukung Kebijakan Satu Peta Indonesia dalam mengatasi permasalahan tata kelola lahan, terutama melalui pemetaan partisipatif. ▪ ITUPEDE membantu masyarakat adat Gajah Bertalut memetakan wilayahnya dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kearifan lokal. Inisiatif ini membantu memperjelas batas-batas lahan dan memetakan wilayah secara lebih inklusif. Kesepakatan yang membatasi deforestasi di wilayah tertentu diberlakukan dan diimplementasikan sesuai kesepakatan. ▪ Bukti spasial dan dokumentasi yang dikumpulkan oleh ITUPEDE mendorong pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat Gajah Bertalut; hal ini kemudian mendorong pembatalan keputusan-keputusan terdahulu yang membatasi hak-hak masyarakat adat. Meski demikian, agar pemerintah pusat dapat secara resmi mengakui masyarakat adat, peraturan daerah (perda) perlu dikeluarkan oleh DPRD.

LATAR BELAKANG: KEBIJAKAN SATU PETA INDONESIAPenggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial senantiasa menghambat kemajuan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah data dan informasi geospasial yang tidak akurat, tidak mutakhir, dan tumpang-tindih.

Faktor-faktor ini mengakibatkan pembuatan kebijakan penggunaan lahan yang tidak efektif, sektor penggunaan lahan yang tidak efisien, dan konflik lahan.1

Penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial memiliki konsekuensi yang merugikan bagi lingkungan dan membatasi hak masyarakat adat atas tanah adat. Banyak pemangku kepentingan menyalahgunakan situasi penggunaan lahan dan tenurial dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip perlindungan sosial dan mengeksploitasi sumber daya alam. Dalam beberapa kasus, konflik lahan dapat menyebabkan kehancuran ekologis, seperti kebakaran hutan dan lahan yang dipicu manusia (Harwell 2000). Dalam kasus ini, masyarakat adat berjuang untuk mendapatkan bukti spasial yang diperlukan untuk mengajukan klaim yang meyakinkan mengenai hak mereka atas tanah adat. Hak atas tanah sangat penting untuk melindungi masyarakat sekitar dari perambahan dan perampasan oleh pihak-pihak lain (UNEP 2017). Masyarakat adat kesulitan membuktikan bahwa cara-cara tradisional yang mereka terapkan dalam mengelola sumber daya alam sudah ramah lingkungan; selain itu, mereka dihadapkan dengan narasi yang mengucilkan mereka dari konservasi lingkungan (Dowie 2009).

Kebijakan Satu Peta adalah upaya pemerintah nasional untuk memperbaiki tata guna lahan dan kepastian tenurial (Joko Widodo 2016). Kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan peta yang terpadu, terstandardisasi, dan dapat digunakan bersama, sehingga memungkinkan pemerintah menyelesaikan konflik lahan. Hasilnya adalah Geoportal Kebijakan Satu Peta yang diluncurkan pemerintah pada akhir 2018; geoportal yang mengkompilasi dan mengintegrasikan semua peta tematik yang ditargetkan, kecuali peta batas administrasi desa (Sekretariat Kabinet 2018). Proses tersebut dianggap tidak lengkap dan parsial, terutama dalam mengatasi konflik di tingkat tapak, seperti desa dan wilayah adat (Pradana 2018). Hingga Juni 2020, pemerintah telah melaporkan 484 kasus konflik tenurial di kawasan hutan (PKTHA 2020).

Page 4: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG4

ITUPEDEITUPEDE dikembangkan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia untuk mendukung pelaksanaan Kebijakan Satu Peta di tingkat tapak. Pendekatan ini ditopang prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, pemetaan partisipatif, dan perencanaan penggunaan lahan. Pendekatan ini menerapkan prinsip-prinsip tersebut untuk menyelesaikan konflik lahan, memberdayakan masyarakat setempat dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan mengakui hak-hak masyarakat yang terpinggirkan, termasuk hak-hak perempuan dan masyarakat adat. WRI Indonesia bekerja sama dengan kementerian dan lembaga pemerintah terkait dan organisasi masyarakat sipil setempat sebagai fasilitator bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pendekatan ITUPEDE di Provinsi Riau, Sumatra Selatan, Papua, dan Papua Barat. Sejak 2017, WRI

Indonesia dan mitra setempat telah mengadvokasi pengakuan lahan bagi masyarakat adat. Atas upaya tersebut, masyarakat adat Gajah Bertalut yang terletak di Kabupaten Kampar, Riau, menjadi komunitas percontohan ITUPEDE yang pertama.

Studi Kasus: Proyek Percontohan ITUPEDE di Masyarakat Adat Gajah BertalutGajah Bertalut dan masyarakat adat sekitarnya telah lama terlibat dalam sengketa lahan dengan Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang dikelola oleh pemerintah. Suaka Margasatwa seluas 141.226 hektar ini merupakan kawasan konservasi terbesar keenam di Sumatra, representasi biodiversitas pada hutan tropis dataran rendah perbukitan. Peta RE-1, yang dibuat melalui pemetaan partisipatif, menunjukkan bahwa klaim Gajah Bertalut dan masyarakat adat sekitar bertumpang-tindih hampir 40 persen dari seluruh kawasan suaka margasatwa.

Peta RE-1. | Wilayah Adat Gajah Bertalut dan Wilayah Adat Sekitarnya di Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Batas Kenegerian di dalam Wilayah Adat Kekhalifahan Batu Sanggan

Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Sungai Subayang

PangkalanSerai

Terusan AurKuning

MalakoKociak Gajah

Bertalut

BatuSanggan

Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif, Badan Registrasi Wilayah Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Badan Informasi Geospasial.

Page 5: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

5CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Tim ITUPEDE merekomendasikan agar masyarakat adat Gajah Bertalut mengurus pengakuan hutan adat dalam skema perhutanan sosial. Skema tersebut dinilai mampu menyelesaikan konflik lahan karena masyarakat sudah tinggal di wilayah tersebut jauh sebelum pemerintah menetapkannya sebagai suaka margasatwa, sehingga sejalan dengan gagasan Kebijakan Satu Peta. Tim ITUPEDE mendampingi masyarakat adat dalam proses registrasi hutan adat. Pendampingan ini termasuk mengidentifikasi batas wilayah, penataan ruang, membentuk lembaga pengelola hutan adat, dan berkoordinasi dengan perwakilan pemerintah. Dalam prosesnya, maket wilayah adat dibuat, diikuti oleh perjanjian tertulis perihal perencanaan penggunaan lahan.

Tujuan PenelitianCatatan praktik ini menyelidiki dampak ITUPEDE terhadap bagaimana masyarakat adat Gajah Bertalut mengelola sumber daya alam dan menegosiasikan pengakuan hak mereka atas tanah dan sumber daya alam dalam konteks konflik lahan dengan Suaka

Margasatwa Rimbang Baling. Catatan ini adalah publikasi riset pertama yang menilai dampak ITUPEDE. Temuan-temuan ini mengacu pada pelaksanaan ITUPEDE dari Juli 2017 hingga Agustus 2020.

Hasil dan TemuanTemuan-temuan kami menunjukkan bahwa praktik pengelolaan lahan tradisional yang diterapkan masyarakat adat Gajah Bertalut mengutamakan aspek perlindungan hutan. Berdasarkan pengamatan lapangan kami, masyarakat adat tersebut sebenarnya dianggap melakukan pembalakan liar, yang menyebabkan sejumlah perwakilan pemerintah skeptis untuk mengakui hak mereka atas tanah. Kami menyelidiki kearifan lokal Gajah Bertalut terkait pengelolaan lahan untuk memahami situasi ini secara lebih mendalam. Hasilnya adalah, meskipun masyarakat menebang pohon-pohon di dalam wilayahnya, hal ini dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang menitikberatkan keberlanjutan dalam pengelolaan hutan dan menjunjung unsur kepemilikan bersama. Kearifan lokal ini tercermin lewat sistem imbo atau zonasi (lihat Tabel RE-1).

Tabel RE-1. | Imbo (Zonasi) yang Digunakan Masyarakat Adat Gajah Bertalut

TIPE IMBO DEFINISI FUNGSI

Imbo gano atau hutan larangan Hutan terlarang (sebagian besar ditutupi hutan primer)

Lahan hutan yang tidak boleh diganggu demi melestarikan ekosistem dan membatasi ekstraksi sumber daya

Imbo perkebunan Perkebunan hutan campuran (sebagian besar ditutupi hutan karet dan hutan sekunder)

Lahan yang ditanami kebun karet atau dengan pola tanam campuran antara tanaman hutan dan perkebunan

Imbo pemukiman Pemukiman Tempat tinggal manusia; area yang dapat dibangun

Imbo sungai Sungai Sungai untuk produksi ikan dan sarana transportasi

Imbo sungai–lubuk larangan Perairan terlarang (daerah sungai tertentu di mana penangkapan ikan dilarang)

Sungai yang tidak dimanfaatkan selama periode tertentu untuk menjaga produksi ikan agar tetap lestari

Sumber: Analisis penulis.

Page 6: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG6

Peta RE-2. | Tata Ruang di Gajah Bertalut Berdasarkan Perencanaan Penggunaan Lahan secara Partisipatif yang Difasilitasi oleh ITUPEDE

Sungai Subayang

Lubuk Larangan

Pemukiman

Imbo Perkebunan

Imbo Cadangan

Imbo Gano

Imbo Pemanfaatan

Batas Wilayah Adat/Hutan Adat Gajah Bertalut

Imbo sungai (sungai)

Imbo perkebunan (perkebunan karet campur) - 2,276 ha

Imbo gano (hutan larangan) - 963 ha

Imbo cadangan (hutan larangan sementara) - 684 ha

Imbo pemanfaatan (hutan pemanfaatan) - 463 ha

Imbo pemukiman (pemukiman) - 15 ha

Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha

Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif, Badan Informasi Geospasial, dan USGS.

Kami menemukan bahwa, dari 2001 hingga 2020, masyarakat adat secara konsisten membatasi deforestasi sesuai kearifan lokal, berdasarkan analisis data kehilangan tutupan pohon dan peringatan GLAD (Global Land Analysis and Discovery) dari kumpulan data Global Forest Watch. Temuan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal sudah menjadi landasan yang kuat bagi perlindungan hutan di wilayah tersebut, jauh sebelum intervensi ITUPEDE. Gambar RE-1 menunjukkan tren kehilangan tutupan pohon di berbagai zona Gajah

Bertalut. Sepanjang 2001–2019, kehilangan tutupan pohon umumnya terjadi di imbo perkebunan. Zona ini memiliki 10 peringatan GLAD yang terdeteksi pada 2020, yang masih diklasifikasikan sebagai “probable loss” atau tidak terkonfirmasi benar. Zona-zona seperti imbo gano, imbo cadangan, dan imbo pemanfaatan, mengalami kehilangan tutupan pohon yang lebih rendah atau tidak sama sekali. Tim ITUPEDE memvalidasi bahwa kehilangan tutupan pohon di imbo gano sepanjang 2015–2016 disebabkan oleh kebakaran hutan secara alami, bukan oleh masyarakat.

Berdasarkan pengamatan kami, ITUPEDE membantu masyarakat adat Gajah Bertalut memetakan wilayahnya dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahannya. Dengan memfasilitasi masyarakat melalui pemetaan partisipatif, batas wilayah menjadi lebih jelas dan prosesnya menjadi lebih inklusif. Sebagaimana ditunjukkan dalam Peta RE-2, hasil pemetaan ini melahirkan kesepakatan masyarakat adat yang menetapkan larangan penuh atas

deforestasi di imbo gano (zona hutan larangan) dan larangan parsial di zona baru tertentu, seperti di imbo pemanfaatan (zona hutan pemanfaatan) dan imbo cadangan (zona hutan larangan sementara). Di kedua zona baru ini, ekstraksi sumber daya diizinkan—termasuk penebangan pohon—tetapi memerlukan izin dari para tetua adat dan bukan untuk tujuan komersil. Wilayah yang ditetapkan sebagai imbo cadangan secara khusus dijaga untuk pemanfaatan oleh generasi mendatang.

Page 7: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

7CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Gambar RE-1. | Tren Kehilangan Tutupan Pohon di Gajah Bertalut 2001–2019

Sumber: Analisis penulis berdasarkan data dari Hansen dkk. (2013, 2016).

Kami menemukan bahwa, berkat bukti spasial yang dikumpulkan melalui ITUPEDE, masyarakat adat dapat meningkatkan kemampuan negosiasi terkait pengakuan hak atas tanah. Pemerintah kabupaten menjadi lebih reseptif terhadap masyarakat adat dan membatalkan keputusan-keputusan terdahulu yang selama ini membatasi hak-hak masyarakat adat; SK Bupati kemudian diterbitkan pada akhir 2018, yang mengakui masyarakat adat Gajah Bertalut dan hak mereka atas tanah. Oleh karena itu, kami percaya bahwa materi-materi yang dihasilkan melalui proses ITUPEDE, seperti peta, berfungsi sebagai langkah awal untuk mencapai titik temu antara para

pemangku kepentingan, untuk memulai pengakuan hutan adat oleh pemerintah, dan untuk memperkuat pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

Kami menemukan bahwa masyarakat adat memerlukan negosiasi lebih lanjut untuk mengatasi kendala hukum terkait hak hutan adat. Terlepas dari pengakuan pemerintah kabupaten, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan bahwa masyarakat adat Gajah Bertalut perlu diakui dalam PERDA sebelum hutan adat dapat disahkan. Ketentuan ini membawa tantangan politik karena membutuhkan persetujuan DPRD setempat.

Imbo gano/hutan larangan Imbo cadangan

Imbo pemanfaatan Hutan karet tua/hutan sekunder (imbo perkebunan)

Hutan karet produktif (imbo perkebunan)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

12.000

10.000

8.000

6.000

4.000

2.000

0

Page 8: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG8

Rekomendasi untuk Penyempurnaan dan Replikasi ITUPEDE

Intervensi jangka panjang dan monitoring diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan dari ITUPEDE, terutama demi melanjutkan pengembangan mata pencaharian masyarakat adat yang berkelanjutan dan meningkatkan inklusi sosial bagi perempuan, generasi muda, dan orang-orang dari kelas sosial rendah. Selain itu, karena lanskap Gajah Bertalut berkaitan erat dengan masyarakat adat di sekitarnya, ITUPEDE sebaiknya menerapkan pendekatan lanskap yang terintegrasi.

Kami meyakini bahwa ITUPEDE berpotensi untuk direplikasi ke masyarakat adat yang lain. ITUPEDE dirancang sebagai pendekatan—bukan program metodologis yang kaku—untuk pemetaan partisipatif atau perencanaan penggunaan lahan; oleh sebab itu, ia dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan setiap masyarakat adat. Saat ini ITUPEDE sedang dilaksanakan di sejumlah lokasi lain (delapan desa lain di Riau, dua desa di Sumatra Selatan, dan 23 desa di Papua). Keterlibatan lembaga lokal adalah kunci dari perluasan pendekatan ini. Dengan demikian, ITUPEDE kemungkinan lebih sulit direplikasi di daerah-daerah dengan lembaga lokal yang tingkat partisipasinya rendah.

DAFTAR SINGKATAN

AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

BRWA Badan Registrasi Wilayah Adat

PSDABM Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat

OMS Organisasi Masyarakat Sipil

FGD Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah)

GIS Geographic Information System (Sistem Informasi Geografis)

GLAD Global Land Analysis and Discovery

ITUPEDE Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa

KKMA Kawasan Konservasi Masyarakat Adat

KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

PADIATAPAPersetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan atau yang lebih dikenal dengan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent)

PERDA Peraturan Daerah

PKTHA Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat

WRI World Resources Institute

Page 9: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

9CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

1. PENDAHULUANMasalah: Penggunaan Lahan yang Tumpang-Tindih, Ketidakpastian Tenurial, dan Tata Kelola Lahan yang Buruk Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia dinyatakan tidak efektif dan tidak efisien (Fay dan Sirait 2002; Toumbourou 2018; Winoto 2009). Masalah ini berkaitan dengan timbulnya isu ketidakpastian tenurial dan konflik lahan (Lucas dan Warren 2013; Tjondronegoro 2006). Akibatnya, tata kelola hutan dan lahan yang diterapkan tidak mampu melindungi lingkungan dan kurang mengakui hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya (Earth Innovation Institute 2015; Gaveau dkk. 2016; Naylor dkk. 2019).

Salah satu kekhawatiran utama berkaitan dengan terjadinya penetapan penggunaan lahan yang tidak sinkron dalam satu wilayah, yang menyebabkan tumpang-tindih penggunaan lahan dan ketidakpastian tenurial.2 Sejak Indonesia mengalami desentralisasi pada 1998, pemerintah daerah (34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota) diberi wewenang untuk memetakan wilayah mereka dan menerbitkan izin untuk industri berbasis lahan, termasuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (Barr dkk. 2006; Kuncoro 2002; Resosudarmo 2004). Akan tetapi, kementerian di tingkat nasional telanjur membuat peta yang tidak sinkron dengan kementerian lain dan badan pemerintah daerah (OBG 2020). Wewenang yang tidak jelas antara lembaga pemerintah melahirkan ketidakpastian hukum atas tata ruang (Moeliono 2011).

Sebuah laporan pada 2018 mencatat 410 kasus konflik lahan di Indonesia, dengan total luas lebih dari 800.000 hektar lahan (KPA 2018). Pada Juni 2020, badan pemerintah yang bertugas menangani konflik tenurial dan hutan adat (Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat; PKTHA) melaporkan 484 kasus konflik tenurial di kawasaan hutan negara (PKTHA, 2020). Namun, angka ini kemungkinan lebih rendah dari kenyataannya, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan (VOA 2018).

Dampak terhadap LingkunganTumpang-tindih penggunaan lahan dan ketidakpastian tenurial memiliki konsekuensi

negatif yang signifikan bagi perlindungan lingkungan. Sejumlah pihak menyalahgunakan minimnya pemetaan yang terstandardisasi untuk tidak mengindahkan prinsip-prinsip perlindungan sosial dan mengeksploitasi sumber daya alam. Beberapa lembaga pemerintah di sektor sumber daya alam (pertambangan, perkebunan, kehutanan) diuntungkan dari penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial; mereka dapat dengan mudah menerbitkan izin kepada pelaku ekstraksi sumber daya alam untuk meningkatkan pendapatan daerah dan untuk memburu rente (Kurniawan 2016). Industri berbasis lahan skala besar (kelapa sawit, kayu) telah mendorong deforestasi di Indonesia, berkontribusi lebih dari 40 persen terhadap deforestasi nasional 2001–2016 (Austin dkk. 2019). Laporan pada 2014 menemukan 14,7 juta hektar lahan dengan izin penggunaan yang tumpang-tindih antara konsesi penebangan, kayu, dan pertambangan (Purba dkk. 2014).

Perubahan penggunaan lahan, seperti deforestasi, berkontribusi 48 persen terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia (Wijaya dkk. 2017)—lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai emitor gas rumah kaca tertinggi kelima di dunia pada 2016 (CAIT Climate Data Explorer 2019). Konflik lahan di daerah-daerah ini dapat berdampak negatif secara ekologis, terutama apabila bentrokan antara masyarakat dan perusahaan berujung pada kekerasan fisik dan/atau pembakaran hutan (Harwell 2000). Penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendasari deforestasi di Indonesia termasuk pembukaan lahan oleh perkebunan berskala besar (Austin dkk. 2019), kurangnya lahan yang tersedia bagi petani kecil karena sistem tenurial yang tidak adil (Ridhwan dan Bagja 2019), dan sistem perizinan yang lemah dan tidak adil yang melahirkan konflik tenurial (Barr dkk. 2006).

Dampak terhadap Kemampuan Masyarakat Adat dalam Menegosiasikan Pengakuan Hak Atas Tanah dan Sumber DayaPengakuan hak atas tanah dan sumber daya menjadi perhatian penting bagi masyarakat adat. Tanpa pengakuan ini, mereka rentan terhadap perambahan dan perampasan oleh pihak luar (UNEP 2017), yang meningkatkan risiko degradasi dan kebakaran hutan (Samadhi 2015). Telah terjadi konflik antara

Page 10: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG10

perusahaan perkebunan dan masyarakat adat yang mendiami wilayah-wilayah konsesi karena mereka tidak diakui secara resmi (Saturi 2012).

Penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial meningkatkan kerumitan proses negosiasi untuk pengakuan hak atas tanah. Situasi politik dan kebijakan yang tidak menguntungkan kerap menyebabkan keterlambatan atau bahkan pembatalan pengakuan hak atas tanah terhadap masyarakat adat (UN DESA Indigenous Peoples, 2020). Pejabat pemerintah Indonesia yang menerapkan pendekatan birokratis sering kali meminta pemohon untuk menunjukkan peta saat meninjau permohonan. Akan tetapi, umumnya peta tidak dapat diakses oleh masyarakat adat yang tidak memiliki pengetahuan, kompetensi, dan teknologi untuk memetakan lahan mereka dengan menggunakan metode-metode konvensional. Ini artinya mereka tidak diberikan akses menggunakan alat-alat yang diperlukan untuk menegosiasikan hak-hak mereka ke dalam birokrasi penggunaan lahan yang rumit bagaikan labirin. Dalam beberapa kasus, pemangku kepentingan non-adat adalah aktor utama yang memetakan wilayah adat, sehingga menciptakan peta yang tidak representatif (Eghenter 2006; Fay dan Denduangrudee 2016) yang tidak mempertimbangkan pemahaman masyarakat adat dan cara mereka menggunakan lahan.

Ada dua narasi yang berlawanan mengenai peran masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa tradisi adat dapat merusak ekologi (Dowie 2009). Narasi seperti ini umumnya menggambarkan bahwa masyarakat adat turut bertanggung jawab atas degradasi lingkungan, melalui kegiatan-kegiatan seperti pembalakan liar dan perburuan satwa yang terancam punah. Pemerintah dan organisasi konservasi sering mengeksklusikan masyarakat setempat dalam upaya konservasi mereka (Eghenter 2019). Sejumlah pihak berpendapat bahwa penyerahan tata kelola lahan kepada masyarakat adat akan membahayakan ekosistem, sehingga mereka lebih menyukai pendekatan konservasi yang konvensional (Alcorn 2010; Dowie 2011; Raygorodetsky 2018; Sneed 2019).

Namun, sebagian lain berpendapat bahwa pemahaman yang lebih mendalam tentang pengetahuan tradisional sangat penting untuk mengatasi masalah lingkungan (Fitzgerald dan

Mahoney 2019). Pendukung pembatasan peran masyarakat adat dalam konservasi, dituduh mengusung “kolonialisme hijau,” istilah yang digunakan untuk menggambarkan kasus-kasus di mana zona konservasi yang ditetapkan negara mengakibatkan konflik dengan masyarakat adat yang mendiami wilayah-wilayah tersebut (Zaitchik 2018). Dalam beberapa kasus, kawasan konservasi melarang masyarakat adat mengakses sumber mata pencaharian mereka, seperti penangkapan ikan (Coulson-Drasner 2018). Model konservasi baru telah dikembangkan, seperti “konservasi inklusif” (Eghenter 2019) dan “konservasi berbasis hak” (Reed 2019). Pendekatan-pendekatan ini menekankan bahwa konservasi yang sukses perlu mempertimbangkan pengetahuan tradisional dan menjalin kerja sama dengan masyarakat setempat. Sebagai contoh, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari suku First Nations yang hidup di Kanada, yang memiliki apresiasi tinggi terhadap lingkungan. Mereka merestorasi lanskap ekologis, berpartisipasi dalam forum internasional untuk mengatasi krisis iklim, dan secara signifikan mengurangi tingkat deforestasi, terutama jika dibandingkan dengan kawasan hutan konvensional (Askew dan Napoleon 2019; Henderson 2019; Ed 2019; UNEP 2017). Tradisi konservasi serupa oleh masyarakat adat di Indonesia telah didokumentasikan di Papua (Alcorn 2010) dan masyarakat adat Kenyah di Kalimantan Barat (Eghenter 2019).

Potensi Solusi: Pemetaan yang Lebih BaikKebijakan Satu PetaSebagai langkah pertama untuk menanggapi regulasi pengelolaan lahan yang tidak jelas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Kebijakan Satu Peta melalui Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2010 (Yudhoyono 2011). Kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah pembangunan mendorong penerusnya, Presiden Joko Widodo, untuk menerbitkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016 demi melancarkan implementasi kebijakan dan mempercepat Kebijakan Satu Peta (Joko Widodo 2016). Percepatan ini salah satunya dilakukan dengan mengamanatkan Badan Informasi Geospasial untuk memimpin tim pelaksana. Singkatnya, Kebijakan Satu Peta adalah upaya nasional yang dipimpin pemerintah untuk memperbaiki tata kelola penggunaan lahan melalui kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi peta di seluruh Indonesia.

Page 11: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

11CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Hasilnya adalah Geoportal Kebijakan Satu Peta yang diluncurkan pemerintah pada Desember 2018, yang mengumpulkan dan mengintegrasikan 84 dari 85 peta tematik yang telah ditargetkan dalam sebuah portal data yang terpadu dan terstandardisasi (Sekretariat Kabinet 2018). Meskipun pemerintah telah menggembar-gemborkan Geoportal Kebijakan Satu Peta, upaya tersebut belum berhasil merampungkan peta batas administrasi desa dan belum menyediakan peta wilayah adat, peta perkebunan petani swadaya, dan peta perhutanan sosial, sehingga menjadi penghalang Kebijakan Satu Peta dalam mengatasi konflik di tingkat desa dan masyarakat adat (Pradana 2018).

Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (ITUPEDE) Pada awal 2017, World Resources Institute (WRI) Indonesia merancang Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa3 (ITUPEDE) untuk mendukung Kebijakan Satu Peta. Melalui ITUPEDE, WRI Indonesia mengembangkan strategi penerapan Kebijakan Satu Peta pada tingkat subnasional melalui operasionalisasi di tingkat tapak. WRI Indonesia bekerja sama dengan kementerian dan lembaga pemerintah terkait dan organisasi masyarakat sipil daerah (OMS) sebagai fasilitator bagi seluruh pemangku kepentingan ITUPEDE di provinsi Riau, Sumatra Selatan, Papua, dan Papua Barat. ITUPEDE merupakan model tata kelola lahan yang bersifat bottom-up, yang dikembangkan berdasarkan prinsip akuntabilitas, inklusivitas, dan keberlanjutan terhadap pengelolaan penggunaan lahan. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam mengelola penggunaan lahan di ruang hidup mereka sendiri, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan dengan pengorganisasian masyarakat yang kompleks dan kurang diperhatikan. Fokus ini melibatkan komunitas/masyarakat adat.

ITUPEDE menggunakan pemetaan partisipatif untuk melibatkan pemangku kepentingan sehingga dapat mengelola penggunaan lahan dengan lebih baik di tingkat daerah. Salah satu komponen pendekatan ini adalah dengan melibatkan penyelesaian konflik lahan, pemberdayaan masyarakat setempat atau masyarakat adat untuk merencanakan penggunaan lahan, penguatan partisipasi lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, dan pengakuan atas hak-hak masyarakat yang terpinggirkan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan generasi muda. Langkah selanjutnya, setelah pemetaan

partisipatif dan perencanaan penggunaan lahan, adalah pengembangan penghidupan (livelihood) yang bertujuan mendorong masyarakat agar mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan di tempat tinggalnya. Hal ini dapat berupa pengembangan model mata pencaharian ramah lingkungan yang dirancang sesuai dengan karakteristik biofisik dan sosioekonomi di area intervensi. ITUPEDE dirancang sebagai pendekatan, bukan sebagai metodologi tunggal untuk pemetaan partisipatif, perencanaan penggunaan lahan, dan pengelolaan sumber daya alam. Pendekatan ini tidak memaksakan metode yang kaku untuk memetakan suatu lokasi/situs; sebaliknya, pendekatan ini mempelajari apakah penduduk di lokasi tersebut memiliki prinsip dan kekhawatiran yang sama dengan prinsip Kebijakan Satu Peta dan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Landasan Teoritis ITUPEDEPendekatan ITUPEDE dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat (PSDABM) dan menggabungkan pemetaan partisipatif dan perencanaan penggunaan lahan sebagai kegiatan inti.

Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis MasyarakatPSDABM mendorong pengelolaan sumber daya alam oleh dan untuk masyarakat setempat. Tiga tujuannya (Adhikari 2001): ▪ Meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan

masyarakat setempat ▪ Mendorong perbaikan konservasi sumber daya alam ▪ Memberdayakan masyarakat setempat

Keberlanjutan PSDABM bergantung pada kesediaan masyarakat setempat untuk berpartisipasi secara aktif. Dengan demikian, komponen penting dari PSDABM ialah memahami kearifan lokal masyarakat setempat untuk menumbuhkan motivasi konservasi dan menggerakkan organisasi setempat. Peran masyarakat setempat sangat penting: kearifan lokal mendorong pengelolaan sumber daya alam yang lebih efisien, peningkatan penghematan biaya, dan pengambilan keputusan yang lebih baik dengan menginternalisasi biaya sosial dan lingkungan; dengan mengandalkan masyarakat setempat dan pemahaman terperinci mereka tentang tanah, serta dinamika ekologisnya dapat memberikan basis informasi terkait sanksi dan aturan yang senantiasa mendukung upaya konservasi sumber daya alam (Adhikari 2001).

Page 12: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG12

Di Indonesia, masyarakat adat Kasepuhan di Banten, yang tinggal di dalam Taman Nasional Gunung Halimun–Salak milik negara, menerapkan praktik-praktik PSDABM serupa. Affandi (2017) menunjukkan bahwa masyarakat adat mengelola hutan dengan mengumpamakan tanah dan hutan sebagai “ibu” yang tidak boleh dipaksa untuk “melahirkan” lebih dari sekali setiap tahun. Masyarakat adat berhasil memetakan dan memperoleh kembali wilayahnya, yang mencakup sebagian besar area taman nasional dan sekitarnya.

ITUPEDE mendukung masyarakat adat yang memanfaatkan hutan dan lahan untuk bertahan hidup, mengkomodifikasikan sumber daya, dan sumber mata pencaharian; oleh sebab itu, lahan mereka harus dipetakan. Pengalaman dari Kamboja menunjukkan bahwa upaya-upaya PSDABM umumnya berniat baik, kreatif, dan bijaksana (Hall dkk. 2011). PSDABM juga melindungi lanskap alam dan organisme sekitarnya yang diandalkan masyarakat untuk hidup, dengan membatasi akses untuk praktik-praktik yang berisiko eksploitatif.

Pemetaan PartisipatifAlokasi lahan cenderung menjadi hal yang politis (Jones 1945; Srebro dan Shoshani 2007). Dengan demikian, alih-alih pengambilan keputusan yang bersifat top-down, metode pemetaan partisipatif semakin umum diadopsi untuk mendukung dan mempromosikan keterlibatan masyarakat dalam pemetaan (Corbett dkk. 2009). Metode partisipatif ini memberikan peluang untuk mencegah konflik dan sengketa terkait batas wilayah (Sumaryo 2017).

Pemetaan partisipatif telah lama menjadi alat untuk memberdayakan dan mengakui masyarakat adat. Setelah penjajahan Eropa dan munculnya negara-bangsa, para pemimpin adat mulai menyadari bahwa peta digunakan untuk meresmikan klaim atas tanah mereka dan menjadi tertarik untuk mengembangkan peta mereka sendiri (Herlihy dan Knapp 2003). Geografer dan antropolog bekerja sama dengan masyarakat adat untuk “memetakan ulang” lahan mereka melalui metode partisipatif, menggunakan teknologi yang dapat menghasilkan peta yang menandingi “peta resmi” (Poole dan Biodiversity Support Program 1995). Pemetaan partisipatif juga disebut sebagai “pemetaan komunitas,” “etno-kartografi,” “peta tandingan,” “pemetaan kuasa,” “pemetaan sosial,” dan “demarkasi diri” (Chapin dkk.

2005, 623; Herlihy dan Knapp 2003, 303). Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia umumnya menjadi fasilitator dalam pemetaan partisipatif ini.

Perencanaan Penggunaan LahanPerencanaan penggunaan lahan merupakan pendekatan yang digunakan untuk mendorong keberlanjutan (sustainability) kondisi eksisting dengan memperkuat perlindungan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan peluang ekonomi (Wrachien 2001). Inti dari perencanaan penggunaan lahan ialah dialog antara pihak-pihak untuk mencapai mufakat atau konsensus. Proses pembangunan konsensus dilakukan untuk memotivasi pihak-pihak, terutama yang terdampak langsung, untuk konsiliasi kepentingan-kepentingan terkait sumber daya lahan dan jenis penggunaan lahan (Amler dkk. 1999). Perencanaan penggunaan lahan adalah alat untuk menangani konflik antara berbagai jenis penggunaan lahan dengan menyelesaikan konflik di antara para pemangku kepentingan; hal ini memerlukan proses kolaboratif dan partisipatif (Zhang dkk. 2012).

Perencanaan penggunaan lahan di tingkat lokal menghasilkan dokumentasi tentang peraturan pertanahan, panduan pengembangan, dan peta yang menunjukkan batasan dan alokasi sumber daya (Wrachien 2001). Ketika efek dari langkah-langkah perencanaan dipertimbangkan, perhatian harus diberikan kepada pihak-pihak yang rentan secara sosial untuk memastikan partisipasi mereka dalam prosesnya (Amler dkk. 1999).

Studi KasusMasyarakat Adat Gajah BertalutBekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan OMS setempat, WRI Indonesia mulai mendorong pengakuan lahan bagi masyarakat adat4. Pada awal 2017, upaya ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan ITUPEDE, yang diinisiasi dengan melibatkan masyarakat adat Gajah Bertalut.

Gajah Bertalut terletak di perbatasan Riau dengan Sumatra Barat. Masyarakat adat ini diperkirakan telah bermigrasi dari Pagaruyung, Sumatra Barat pada periode 1600-an (Wahyudi dkk. 2017). Sejak 2005, pemerintah telah menyatakan daerah tersebut secara administratif sebagai desa di Kampar, Riau. Survei

Page 13: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

13CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

lapangan kami menunjukkan bahwa, pada 2019, populasi desa tersebut terdiri dari sekitar 109 rumah tangga dengan total 416 penduduk. Menurut hukum adat, wilayah Gajah Bertalut adalah kanagarian,5 bagian dari Kekhalifahan Batu Sanggan yang meliputi lima kanagarian lainnya: Aur Kuning, Batu Sanggan, Malako Kociak, Terusan, dan Pangkalan Serai. Wilayah-wilayah ini mengelilingi Sungai Subayang yang luas, yang menjadi satu-satunya jalur transportasi, sumber ikan, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Gajah Bertalut dan semua masyarakat adat sekitarnya terletak di Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang secara legal formal dikuasai dan dikelola oleh pemerintah. Meskipun pemerintah menunjuk wilayah ini sebagai kawasan suaka margasatwa pada 1982, masyarakat adat secara historis sudah lebih dahulu berada di wilayah tersebut dan terus bermukim di sana. Tujuan utama penunjukan suaka margasatwa di daerah ini adalah untuk melestarikan spesies satwa khas di daerah tersebut. Dengan demikian, pengelolaan habitat diprioritaskan untuk memastikan keberadaan spesies ini secara berkelanjutan. Salah satu spesies unggulan daerah ini adalah Harimau Sumatra, yang sangat terancam punah. Suaka margasatwa ini, dengan luas 141.226 hektar, merupakan hutan konservasi terbesar ke enam di Sumatra dan memenuhi banyak indikator kawasan Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value).6 Akibatnya, manusia tidak diizinkan untuk bermukim di sana. Situasi ini menyebabkan sengketa lahan yang berlarut-larut dan tak kunjung selesai antara masyarakat adat dan negara. Masyarakat adat meyakini bahwa lahan mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas mereka sebagai masyarakat adat. Mereka meyakini bahwa memperoleh pengakuan hukum atas hak tanah akan mengonkretkan klaim mereka perihal hak atas sumber daya, termasuk akses ke sumber daya hutan.

Kami sudah tinggal di hutan ini sebelum bangsa ini merdeka. Saya baru tahu bahwa saya tinggal di kawasan konservasi ketika polisi hutan datang ke desa kami dan mengatur-atur hidup kami. Selama kami bisa mengelola hutan kami, kami siap mengikuti aturan main dari pemerintah. Tetapi, kita memerlukan arahan.

—Ilyas (64), tetua adat di Gajah Bertalut

Masyarakat adat Gajah Bertalut utamanya memelihara hutan karet sebagai sumber pendapatan. Setiap rumah tangga umumnya mengelola sekitar satu hingga dua hektar hutan karet, ada pula yang mengekstraksi komoditas hutan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ikan dan satwa hutan adalah sumber utama makanan mereka, dan air minum diperoleh dari sungai terdekat. Seperti masyarakat adat di sekitarnya, masyarakat adat Gajah Bertalut senantiasa menjalankan tradisi adatnya. Mereka tidak mengenal konsep kepemilikan individu. Meskipun individu berhak mengelola dan menggunakan sebidang tanah tertentu, tanah tidak dapat dijual kepada pihak luar tanpa persetujuan pemangku adat, dan kalau pun ada transaksi tersebut, lumrahnya terjadi di antara masyarakat adat dan dijalankan sesuai hukum adat yang berlaku. Meski demikian, pemerintah tidak mengakui sistem kepemilikan alternatif tersebut.

Pelaksanaan ITUPEDE di Gajah BertalutStrategi implementasi ITUPEDE terdiri dari tiga tahap. Tahap 1 adalah tahap pengumpulan dan analisis data awal, yang dirancang untuk menghasilkan laporan penilaian konflik untuk lokasi/situs tertentu melalui pemetaan partisipatif. Laporan yang dihasilkan dari tahap ini menentukan tujuan spesifik implementasi ITUPEDE di suatu lokasi/situs. Tahap 2 berfokus pada perencanaan dan pengembangan desa atau wilayah adat. Tahap ini dimulai dengan proses perencanaan penggunaan lahan, yang menjadi dasar pengusulan agar pemerintah mengakui masyarakat adat dan wilayah mereka dalam suaka margasatwa. Selanjutnya, masyarakat mengembangkan rencana penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) yang kompatibel dengan situasi pemukiman yang unik ini. Yang terakhir, Tahap 3 berfokus pada bagaimana ITUPEDE membantu masyarakat setempat menerapkan penghidupan berkelanjutan di lapangan, yang terintegrasi dengan perencanaan pemerintah desa.

Page 14: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG14

Saat Catatan Praktik ini ditulis, ITUPEDE berada dalam fase pengembangan penghidupan berkelanjutan di Tahap 2. Ruang lingkup penelitian ini dikhususkan untuk langkah-langkah awal

implementasi ITUPEDE di Gajah Bertalut, yang dimulai dengan praorientasi pada Tahap 1 hingga usulan pemerintah pada Tahap 2, sebagaimana diuraikan secara rinci pada Gambar 2.

Gambar 1. | Strategi Implementasi Umum ITUPEDE

Catatan: PADIATAPA = Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa PaksaanSumber: Tim pelaksana ITUPEDE.

1. Informasi Geospasial di tingkat tapak: terkelola, mutakhir, akurat, terintegrasi

2. Pengembangan perencanaan desa/wilayah adat berdasarkan status hukum, fungsi, dan yurisdiksi

3. Implementasi model perencanaan desa/wilayah adat

Pemetaan partisipatif

Basis data spasial, sosial, sectoral, dan

multi-sektoral

PRA dan riset tematik lainnya

Praorientasi dan PADIATAPA

Skenario perencanaan

desa/wilayah adat

Di dalam Kawasan hutan

Di luar Kawasan hutan

Proposal kepada pemerintah

Kabupaten/provinsi

Area proyek yang disepakati

Pengembangan sustainable livelihood

Rencana Pengelolaan Desa/Wilayah Adat yang berkelanjutan

Implementasi

RPJMDes

Laporan analisis konflik

Kehutanan/Agraria/Desa/

lainnya

Pengembangan Sistem Informasi

Perhutanan sosial (hutan adat,

hutan desa, atau skema lainnya)

Perhutanan sosial (hutan adat) atau wilayah adat atau Reforma Agraria

-Pertanian organic -Agroforestri-Hasil hutan

nonkayu-Pasar karbon

-Ekowisata

Keluaran/masukan Proses Pemangku kepentingan/kebijakan

Page 15: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

15CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Gambar 2. | Langkah-Langkah Pelaksanaan ITUPEDE di Gajah Bertalut pada Saat Penelitian Ini Disusun (Tahap 1 hingga Fase Awal Tahap 2)

Fase persiapan

Fase Pemetaan dan Perencanaan

Fase Legitimasi

Praorientasi dan PADIATAPA

Kolaborasi dengan mitra

Asesmen data spasial

Temu kampung untuk konsolidasi

1 2 3 4

Pemetaan partisipatif

Penandatanganan batas wilayah bersama desa yang berbatasan

Perencanaan pengelolaan hutan adat

5 6 7 8

Pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA)

Koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah

Verifikasi hutan adat oleh

pemerintah kabupaten

Proposal hutan adat kepada KLHK

9 10 11 12

Penerbitan SK Bupati mengenai pengakuan

hutan adat, wilayah adat, dan masyarakat adat

Verifikasi hutan adat oleh KLHK

Pengakuan hutan adat/penerbitan SK

Hutan Adat dari KLHK

13 14

Sumber: Tim pelaksana ITUPEDE.

ITUPEDE Tahap 1 di Gajah Bertalut dimulai dengan praorientasi pada pertengahan 2017. PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan)7 dapat diperoleh melalui berbagai bentuk; ITUPEDE memperolehnya melalui berbagai tahap, dimulai dengan kemitraan dengan BRWA dan AMAN. Kedua organisasi ini telah bekerja sama dengan masyarakat adat melalui perjanjian informal dengan para pemimpin adat, dan secara formal selama upacara penobatan untuk tokoh masyarakat adat—yang turut melibatkan perempuan dan pemuda desa, bukan hanya elite setempat dan otoritas desa.

Setelah itu, fase ini menilai kapasitas sumber daya di kalangan masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya sehubungan dengan Kebijakan Satu Peta. Selanjutnya, analisis data spasial dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik wilayah dan status hukum wilayah Gajah Bertalut, untuk menentukan karakteristik geografis dan mendeteksi penggunaan lahan yang tumpang-tindih. Fase ini dirampungkan dengan rapat konsolidasi sekaligus sosialisasi hasil penilaian.

Page 16: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG16

Penerapan ITUPEDE dikembangkan dengan metode yang bersinergi dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, tim ITUPEDE mempertimbangkan berbagai alternatif, termasuk hutan adat8 dalam program perhutanan sosial pemerintah, skema perhutanan sosial lainnya, Kawasan Konservasi Masyarakat Adat (KKMA),9 dan relokasi (resettlement). Tim merekomendasikan masyarakat adat Gajah Bertalut agar mengurus dan menjalani proses pengakuan hutan adat— solusi terbaik untuk memenuhi tiga indikator berikut: ▪ Kebutuhan sosiokultural ▪ Kejelasan dan kelayakan politik ▪ Kesesuaian dengan praktik masyarakat yang ada

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017, hutan adat dinilai memadai untuk menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat adat dan suaka margasatwa karena masyarakat adat sudah lama tinggal di lahan tersebut, jauh sebelum pemerintah menetapkannya sebagai kawasan suaka margasatwa—sejalan dengan ide Kebijakan Satu Peta.

Fase selanjutnya dimulai dengan proses pemetaan partisipatif, yang melibatkan identifikasi batas wilayah dan menciptakan maket wilayah Gajah Bertalut. Langkah ini berlangsung dari September hingga Oktober 2017. ITUPEDE menggunakan sistem informasi geografis (SIG) untuk memproses data spasial dalam format digital. Peta digital ini kemudian diproyeksikan ke dalam bentuk maket untuk memudahkan masyarakat memvisualisasikan lanskap wilayah mereka.10 Para perempuan di Gajah Bertalut membuat maket dari kardus dan plester yang terbuat dari tepung (Foto 1). Maket atau peta tiga dimensi ini digunakan untuk memvalidasi informasi spasial dengan mengajukan pertanyaan kepada masyarakat, misalnya “Apakah batas-batas desa dan penggunaan lahan yang ditunjukkan di sini sesuai dengan perbukitan dan sungai yang diindikasikan dalam peta?” Tim ITUPEDE kemudian melakukan survei lapangan untuk memverifikasi batas wilayah, dengan melibatkan pemuda desa, anggota masyarakat yang memahami lokasi yang bertindak sebagai navigator, dan perwakilan wilayah adat tetangga, untuk mencegah sengketa lahan.

Foto 1. | Maket/ Model Tiga Dimensi Wilayah Adat di Gajah Bertalut

Proses pemetaan partisipatif menemukan bahwa wilayah adat Gajah Bertalut memiliki luas 4.414 hektar, mencakup 3 persen dari keseluruhan wilayah Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Pada saat yang bersamaan, diketahui bahwa seluruh wilayah adat di Rimbang Baling (termasuk Gajah Bertalut dan wilayah adat tetangganya) mencakup sekitar 55.714 hektar, hampir 40 persen dari keseluruhan kawasan suaka margasatwa. Proses ini juga menemukan

bahwa pemerintah belum memiliki batas administrasi desa yang definitif; dengan demikian, terdapat peluang untuk menjadikan peta partisipatif ini sebagai referensi. Akan tetapi, meskipun peta ini diproduksi pada skala 1:50.000, yang memenuhi standar Kebijakan Satu Peta untuk peta hutan adat, peta batas administrasi desa memerlukan skala minimal 1:10.000.

Page 17: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

17CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Peta 1. | Enam Wilayah Adat (Kekhalifahan Batu Sanggan) di Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Batas Kenegerian di dalam Wilayah Adat Kekhalifahan Batu Sanggan

Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Sungai Subayang

PangkalanSerai

Terusan AurKuning

MalakoKociak Gajah

Bertalut

BatuSanggan

Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif, Badan Registrasi Wilayah Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Badan Informasi Geospasial.

Sejak November hingga Desember 2017, tim ITUPEDE membantu masyarakat adat membentuk Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) untuk mengisi kesenjangan dalam koordinasi teknis terkait pengelolaan hutan adat. LPHA dikelola tokoh masyarakat (datuk pucuk), tokoh agama, sesepuh adat, perwakilan pemerintah desa, dan pimpinan kekhalifahan (datuk godang khalifah). LPHA bertugas mengambil keputusan terkait perencanaan penggunaan lahan di seluruh kawasan Gajah Bertalut, dengan mempertimbangkan kearifan lokal sebagai nilai inti.

Dua perjanjian diformalkan untuk menetapkan rincian batas-batas lahan dan perencanaan penggunaan lahan yang telah dirancang ulang.11 Semua masyarakat adat diundang untuk menghadiri Rapat Perjanjian Internal yang bertujuan mempelajari dan memperbaiki kesalahan dalam draf. Draf perjanjian difinalkan setelah mendapatkan persetujuan masyarakat adat. Perjanjian yang telah rampung memenuhi persyaratan administrasi

registrasi Gajah Bertalut sebagai hutan adat dengan pemerintah kabupaten Kampar. Setelah itu, pemkab melakukan proses verifikasi lapangan pada April 2018. Tim verifikasi mengklaim bahwa Gajah Bertalut memenuhi kriteria hutan adat, yang memungkinkan bupati mengeluarkan SK empat bulan kemudian, yang mengakui masyarakat adat Gajah Bertalut dan lahan-lahannya (SK Bupati Kampar 660-489/X/2018). Proses ini merupakan tahap akhir ITUPEDE dalam proses pengakuan di tingkat daerah. Proses registrasi hutan adat kemudian dilanjutkan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang saat ini masih berlangsung mengikuti dinamika proses negosiasi.

Tujuan PenelitianCatatan Praktik ini menyelidiki implementasi ITUPEDE di Gajah Bertalut dan dampaknya terhadap bagaimana masyarakat mengelola sumber daya alam dan bernegosiasi untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan sumber daya dalam konteks konflik lahan dengan Suaka Margasatwa Rimbang Baling.

Page 18: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG18

Karena intervensi ini bersifat dinamis, pelaksanaan ITUPEDE di Gajah Bertalut masih berlangsung. Catatan praktik ini meneliti perkembangan proyek dari Juli 2017 hingga Agustus 2020. Catatan ini merupakan penelitian pertama yang memeriksa dampak proyek percontohan ITUPEDE dan semoga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pelaku reformasi pengelolaan lahan di lembaga pemerintah maupun Organsisasi Masyarakat Sipil.

2. PENDEKATAN DAN METODOLOGI Tim peneliti WRI Indonesia terdiri dari enam peneliti dari berbagai latar belakang, termasuk ahli di bidang GIS, antropologi, manajemen, dan kehutanan. Tim peneliti kami bekerja sama dengan tim pelaksana12 ITUPEDE untuk mengadakan 15 kali kunjungan lapangan ke Gajah Bertalut, yang dilakukan sejak April 2017 sampai Maret 2019. Peran utama kami adalah mendokumentasikan dan menganalisis proses implementasi ITUPEDE (meski sejumlah anggota tim turut memainkan peran kecil dalam implementasi). Pada setiap kunjungan, kami menghabiskan sekitar dua hingga tiga minggu dalam kelompok yang terdiri dari empat hingga lima peneliti, sedangkan tim pelaksana secara berkala tinggal di desa selama beberapa bulan untuk memfasilitasi berbagai kegiatan.

Pengumpulan dan Analisis DataPengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data etnografi; observasi partisipasi (participant observation), wawancara mendalam, serta diskusi kelompok terarah (FGD). Metode klasifikasi berdasarkan tingkat kekayaan (wealth rank) dianggap perlu untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok individu yang tidak memiliki privilese dan yang tidak berpartisipasi secara aktif dalam proyek ini. Klasifikasi berdasarkan tingkat kekayaan kami lakukan dengan merujuk pada Li (2000) dan berkonsultasi dengan kepala desa dan istrinya untuk membantu kami mengembangkan parameter yang akan memastikan keterwakilan masyarakat dalam riset ini.13

Kepala desa dan istrinya, yang bertindak sebagai perwakilan desa, diminta mengembangkan parameter untuk mengklasifikasi tingkat kekayaan. Setelah diberikan pertanyaan-pertanyaan pemicu untuk menyelidiki kriteria terkait penggunaan lahan, distribusi lahan, aset rumah, dan aset transportasi, keduanya memutuskan bahwa tingkat pendidikan, utang kepada tengkulak, dan pembagian tenaga kerja dalam perekonomian setempat merupakan parameter utama untuk mengelompokkan masyarakat desa ke dalam klasifikasi kelas atas, menengah, atau bawah. Selanjutnya, pasangan ini diminta membuat daftar kepala rumah tangga di desa dan menerapkan parameter klasifikasi kekayaan yang telah disusun pada daftar tersebut. Mereka merangkum daftar menjadi lima kepala keluarga untuk masing-masing kategori guna memberikan kami gambaran tentang sampel keluarga di masyarakat ini.

Dengan menggunakan nama-nama yang diidentifikasi dari proses klasifikasi kekayaan, kami memilih tiga informan dari setiap kelas untuk berpartisipasi dalam wawancara mendalam dan FGD. Narasumber yang diwawancara mendapatkan pertanyaan tentang persepsi mereka terhadap peran para pihak sebagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya masyarakat umum, tokoh adat, pemerintah daerah, juga terkait ITUPEDE, dan bagaimana ITUPEDE melibatkan mereka. Tiga FGD digelar dengan total peserta sebanyak 18 orang. Sembilan narasumber ialah mereka yang masuk dalam klasifikasi tingkat kekayaan, sedangkan 9 lainnya dipilih karena telah berpartisipasi dalam pemetaan tiga dimensi atau survei lapangan ITUPEDE. Para narasumber FGD membantu kami memverifikasi informasi yang telah dikumpulkan dan memperdalam pemahaman kami terkait sejarah, kearifan lokal, dan mata pencaharian masyarakat, terutama mengenai ekstraksi hutan karet dan sumber daya alam, hak-hak kepemilikan dalam rumah tangga, akses ke sumber daya milik bersama, dan proses pengambilan keputusan yang biasanya terjadi di komunitas mereka. Selain itu, kami melakukan observasi partisipasi terhadap narasumber dengan mengikuti dan mendokumentasikan kegiatan sehari-hari masyarakat untuk memahami secara holistik sistem sosial di desa. Observasi partisipasi meliputi pengamatan dengan partisipasi peneliti dalam kegiatan penyadapan karet, pembelian sembako, menangkap ikan, trekking ke hutan, tinggal di rumah pondok dalam hutan, dan mengamati proses negosiasi antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kampar.

Page 19: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

19CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Kami menggunakan SIG untuk mengukur dan memvisualisasikan data spasial spesifik terkait dengan penerapan ITUPEDE dan pengelolaan sumber daya alam di Gajah Bertalut. Dalam prosesnya, kami memanfaatkan sumber-sumber data spasial open-source, data pengamatan lapangan yang dikumpulkan saat mengimplementasikan ITUPEDE, dan data yang dihasilkan dari sejumlah analisis dan pemodelan, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1. Kami juga menggunakan SIG untuk menilai dampak ITUPEDE terhadap pengelolaan sumber daya alam, khususnya dengan menganalisis kehilangan tutupan pohon tahunan (annual tree cover loss) dan peringatan deforestasi dari GLAD berdasarkan data dari Hansen dkk. (2013, 2016). Kami menganalisis data kehilangan tutupan pohon dari 2001 hingga 2019, dan peringatan deforestasi yang diterima dari Januari hingga Agustus 2020. Periode yang digunakan untuk

analisis ini memungkinkan kami untuk memantau apakah perencanaan penggunaan lahan ITUPEDE—yang diproses pada akhir 2017—benar-benar efektif dengan membandingkan tren sebelum dan sesudah program berjalan, berdasarkan dataset yang terbaru dan paling relevan. Kami juga menganalisis kehilangan tutupan pohon di Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan wilayah adat sekitar Gajah Bertalut, yang memungkinkan kami untuk membandingkan antara kehilangan tutupan pohon di kawasan hutan yang “dikelola penduduk asli” dan yang “dikelola negara”. Analisis ini memungkinkan kami menyelidiki narasi “pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat” yang membuka peluang bagi masyarakat adat Gajah Bertalut untuk diakui oleh pemerintah kabupaten.

Tabel 1. | Sumber Data Spasial

DATA SPASIAL DESKRIPSI TAHUN SUMBER ATAU METODE PEROLEHAN DATA

Peta dasar Rupabumi Indonesia (RBI)

Peta dasar resmi Indonesia yang digunakan untuk menentukan batas administrasi, jaringan sungai, dan jaringan jalan di Gajah Bertalut dan Rimbang Baling.

2016 Badan Informasi Geospasial (2016)

Digital Elevation Model–Shuttle Radar Topography Mission

Peta relief resolusi 30 meter yang digunakan untuk menganalisis ketinggian dan kemiringan lahan di Gajah Bertalut.

2017 US Geological Survey (2017)

Kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Batas kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2014 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2014)

Zonasi kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Zonasi Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang dirancang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017)

Wilayah adatBatas wilayah adat di Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang dihasilkan dari pemetaan partisipatif ITUPEDE

2017 Badan Registrasi Wilayah Adat (2017) dan observasi lapangan (kegiatan etnografis)

Tutupan lahan Tutupan lahan di wilayah adat Gajah Bertalut 2017

Interpretasi citra satelit menggunakan Landsat 8 Operational Land Imager (tanggal citra: 6 Juli 2017) dari U.S.G.S melalui metode unsupervised classification untuk klasifikasi tutupan lahan, dan WorldView-2 (tanggal citra: 15 Juni 2017, hak cipta DigitalGlobe 2017) melalui metode klasifikasi manual untuk delineasi wilayah pemukiman dan batas-batas wilayah tertentu

Markah tanah (landmark) dan sumber daya alam

Objek-objek fisik (misalnya: bukit, sungai, benda buatan) atau distribusi sumber daya alam (misalnya: hutan karet, lokasi penebangan, keberadaan hasil hutan nonkayu) di Gajah Bertalut

2017 dan 2018

Pengamatan lapangan (kegiatan etnografis) dan pemodelan distribusi spesiesa menggunakan Maximum Entropy (MaxEnt)

Page 20: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG20

DATA SPASIAL DESKRIPSI TAHUN SUMBER ATAU METODE PEROLEHAN DATA

Tata ruang di Gajah Bertalut

Zonasi penggunaan lahan atau hutan di Gajah Bertalut yang dihasilkan dari perencanaan penggunaan lahan partisipatif ITUPEDE

2017 Observasi lapangan (kegiatan etnografis)

Kehilangan tutupan pohon

Kehilangan secara keseluruhan kanopi tutupan pohon pada resolusi 30 meter yang mendukung data pada situs Global Forest Watch yang digunakan untuk mengukur kehilangan tutupan pohon tahunan di Gajah Bertalut dan Rimbang Baling

2001–19 Analisis menggunakan data dari Hansen dkk. (2013)

Peringatan GLAD

Sistem peringatan deforestasi secara mingguan yang tersedia di situs Global Forest Watch yang digunakan untuk menghitung jumlah peringatan dini terkait kehilangan hutan di Gajah Bertalut dan Rimbang Baling. Kategori peringatan meliputi “kemungkinan” (probable loss) atau ”terkonfirmasi” (confirmed loss)

Januari–Agustus 2020

Analisis menggunakan data dari Hansen dkk. (2016)

Catatan: a. Tidak ada peta hutan karet yang tersedia untuk wilayah Gajah Bertalut, dan analisis citra satelit tidak dapat memetakannya dengan baik. Oleh karena itu, kami menggunakan pemodelan Maximum Entropy untuk penaksiran distribusi spesies secara geografis. Model ini menggunakan data spesies presence-only sebagai training sample dan menggunakan serangkaian variabel lingkungan untuk menjalankan algoritmanya. Dalam hal ini, kami memperoleh spesies tanaman karet yang dikelola masyarakat berdasarkan survei lapangan sebagai training sample (n = 88) dan menyiapkan sejumlah data variabel lingkungan melalui ArcGIS sebelum proses pemodelan, yang meliputi (i) jarak ke sungai, (ii) jarak ke pemukiman, (iii) NDVI, (iv) kemiringan, (v) elevasi, dan (vi) jenis tanah. Asumsi dan parameter ditetapkan pada ambang batas nilai probabilitas keberadaan tanaman karet > 0,70, random test percentage = 10%, replication = 10 kali (cross-validate), dan maximum iterations = 500. Untuk validasi model, hasil dari nilai AUC (area under the curve) = 0,9299 (>=0,5 berarti model lebih baik daripada prediksi acak). Perangkat lunak: Phillips dkk. (2018).

3. HASIL, TEMUAN, DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Sumber Daya Alam di Gajah BertalutKearifan lokal di Gajah Bertalut menjunjung konsep kelestarian lingkungan. Berdasarkan FGD, sebagian anggota masyarakat adat menganalogikan hutan sebagai “[sumber] kehidupan bagi setiap orang yang dilahirkan ke bumi,” dan mereka meyakini bahwa jika hutan mereka rusak, masyarakat dan generasi berikutnya akan menderita. Mereka menghargai konservasi sumber daya alam dengan menganggap satwa hutan dan air sebagai elemen penting untuk mempertahankan mata pencaharian.

Meski demikian, terdapat klaim deforestasi dan kegiatan degradasi hutan di kawasan suaka margasatwa. Masyarakat adat dianggap telah merambah dan melakukan pembalakan liar. Situasi ini akhirnya membuat beberapa representatif dari pemerintah untuk skeptis terhadap pengakuan wilayah masyarakat adat. Berdasarkan pengamatan kami, di rumah pondok dalam hutan, bahwa

deforestasi dan degradasi hutan terjadi karena penebangan dan perburuan burung. Penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat adat menggunakan metode tebang-pilih, yang berbeda dari praktik tebang-habis perkebunan berskala besar. Menurut para penebang dari masyarakat adat, mereka menebang paling banyak sekitar 25 meter kubik kayu—setara dengan 25 pohon dengan diameter 60-80 sentimeter—ini dilakukan sepanjang musim hujan, ketika pohon karet mengalami tingkat produktivitas rendah.

Untuk memahami situasi ini secara lebih mendalam, kami menyelidiki kearifan lokal terkait ekstraksi sumber daya. Berdasarkan wawancara dengan pemimpin kanagarian dan tiga anggota masyarakat adat yang sering mengakses hutan, terdapat kearifan lokal mengenai pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam sistem imbo atau sistem zonasi hutan (Table 2). Wilayah atau kawasan yang dikenal sebagai imbo gano atau hutan larangan adalah zona hutan terlarang, di mana ekstraksi sumber daya untuk keuntungan pribadi dilarang. Lubuk larangan adalah zona perairan terlarang, di mana kegiatan penangkapan ikan dilarang kecuali para sesepuh memberikan izin dengan melakukan ritual adat. Sistem imbo berfungsi sebagai tindakan kolektif yang menopang pengelolaan sumber daya milik bersama di hutan.

Tabel 1. | Sumber Data Spasial (lanjutan)

Page 21: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

21CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Tabel 2. | Sistem Zonasi Hutan yang Digunakan Masyarakat Adat Gajah Bertalut

TIPE IMBO DEFINISI FUNGSI

Imbo gano atau hutan larangan Hutan terlarang (sebagian besar ditutupi hutan primer) Lahan hutan yang tidak boleh diganggu demi melestarikan

ekosistem dan membatasi ekstraksi sumber daya

Imbo perkebunan Perkebunan campuran (sebagian besar ditutupi hutan karet dan hutan sekunder)

Lahan yang dapat ditanami untuk kebun karet atau dengan pola tanam campuran antara tanaman hutan dan perkebunan

Imbo pemukiman Pemukiman Tempat tinggal manusia; area yang dapat dibangun

Imbo sungai Sungai Sungai untuk produksi ikan dan sarana transportasi

Imbo sungai–lubuk larangan

Perairan terlarang (daerah sungai tertentu di mana penangkapan ikan dilarang)

Sungai yang tidak dimanfaatkan selama periode tertentu untuk menjaga produksi ikan agar tetap lestari

Sumber: Analisis penulis.

Melalui FGD kami juga mengetahui bahwa terdapat aspek lain dari kearifan lokal yakni menghargai relasi antara manusia dengan satwa. Masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan Harimau Sumatra, percaya keberadaan harimau menjadi pemberi tanda peringatan akan adanya bahaya di kehidupan mereka dan mereka tidak terlibat dalam perburuan satwa tersebut. Ekstraksi hasil hutan pada akhirnya tetap terkendali berkat kearifan lokal tersebut. Kearifan lokal juga melarang penebangan pohon sialang karena berperan penting sebagai habitat lebah madu. Masyarakat adat percaya bahwa keberadaan sarang lebah penting sebagai tanda dari hutan yang sehat dan dengan demikian kearifan lokal ini turut melestarikan populasi lebah.

ITUPEDE Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan di Gajah BertalutSelama proses observasi partisipasi, ITUPEDE mulai mendokumentasikan pengelolaan sumber daya alam di seluruh 4.414 hektar hutan adat Gajah Bertalu dengan memetakan imbo (zonasi hutan) dan distribusi hasil hutan melalui interpretasi citra satelit dan survei lapangan. Peta yang dihasilkan berfungsi sebagai landasan bagi perencanaan penggunaan lahan pada tahap selanjutnya. Analisis kami, seperti yang diilustrasikan dalam Peta 2, menemukan bahwa hutan karet mencakup 62 persen dari seluruh kawasan dan terdiri dari dua jenis pengelolaan lahan: hutan karet yang dikelola secara intensif oleh perorangan petani swadaya (13 persen); dan hutan karet komunal yang kurang produktif dan bercampur dengan hutan sekunder (49 persen).

Page 22: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG22

Peta 2. | Tutupan Lahan dan Lokasi untuk Mengekstraksi Hasil Hutan di Gajah Bertalut

Sungai Subayang

Lubuk Larangan

Pemukiman Utama

Pondok Kobun Nampo

Pondok Kobun Semai

Pondok Kobun Binjai Sungai

Tikun Kidaugh

Sungai Tikun Kanan

Sungai Tikun

Batas wilayah adat/hutan adat Gajah Bertalut

Pemukiman - 15 hektar

Hutan karet produktif dikelola perorangan (imbo perkebunan) - 581 hektar

Hutan karet tua/hutan sekunder (imbo perkebunan) - 2.198 hektar

Hutan primer (imbo gano/hutan larangan) - 1.607 hektar

Sungai

Lubuk larangan - 3 hektar

Lokasi tebang pilih kayu

Tempat penimbunan kayu sementara

Lokasi ekstraksi hasil hutan nonkayu (madu hutan, buah-buahan, dsb.)

Lokasi pikat burung

Sumber: Berdasarkan pengamatan lapangan; interpretasi citra satelit dari WorldView-2 (15 Juni, 2017) dan Landsat 8 Operational Land Imager (6 Juli 2017); pemodelan distribusi spesies untuk hutan karet menggunakan Maximum Entropy; dan data dari Badan Informasi Geospasial dan USGS.

Masyarakat kemudian merancang ulang rencana penggunaan lahannya dengan difasilitasi tim ITUPEDE. Peta 3 menggambarkan penataan ruang berdasarkan rencana penggunaan lahan yang telah dirancang ulang. Peraturan mengenai fungsi masing-masing zona, misalnya larangan deforestasi, ditulis dalam sebuah kesepakatan.14 Masyarakat mengalokasikan agar imbo gano (hutan larangan) dilindungi secara ketat dan agar lubuk larangan (perairan terlarang) dijaga fungsinya sebagai perairan yang dilindungi secara berkala. Sebagian besar hutan karet yang dikelola secara intensif oleh perorangan dan hutan karet komunal sebagai imbo perkebunan (kebun campuran), menjadikannya zona

terbesar (52 persen) di kawasan. Masyarakat adat akan mendiversifikasi komoditas mereka dengan hasil hutan nonkayu lainnya, seperti rotan jernang, gaharu, durian, dan pohon lokal lainnya. Masyarakat mengusulkan penambahan area untuk ekstraksi sumber daya, yang disebut imbo pemanfaatan (hutan pemanfaatan) dan imbo cadangan (hutan larangan sementara). Imbo pemanfaatan memungkinkan masyarakat adat menebang pohon dengan syarat untuk tujuan nonkomersial, misalnya membangun rumah atau masjid, yang bergantung pada izin dari para tetua adat. Area yang ditandai sebagai imbo cadangan tetap dilindungi dan hanya akan digunakan oleh masyarakat adat generasi mendatang.

Page 23: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

23CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Peta 3. | Tata Ruang di Gajah Bertalut Berdasarkan Perencanaan Penggunaan Lahan Partisipatif yang Difasilitasi oleh ITUPEDE

Sungai Subayang

Lubuk Larangan

Pemukiman

Imbo Perkebunan

Imbo Cadangan

Imbo Gano

Imbo Pemanfaatan

Batas Wilayah Adat/Hutan Adat Gajah Bertalut

Imbo sungai (sungai)

Imbo perkebunan (perkebunan karet campur) - 2,276 ha

Imbo gano (hutan larangan) - 963 ha

Imbo cadangan (hutan larangan sementara) - 684 ha

Imbo pemanfaatan (hutan pemanfaatan) - 463 ha

Imbo pemukiman (pemukiman) - 15 ha

Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha

Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif, Badan Informasi Geospasial, dan USGS.

Kami memantau apakah masyarakat mematuhi perencanaan penggunaan lahan yang dirancang ulang ITUPEDE, menggunakan larangan deforestasi sebagai indikatornya. Kami secara bersamaan memeriksa periode sebelum ITUPEDE sebagai perbandingan untuk mengevaluasi dampak ITUPEDE. Dengan menggunakan data dari Global Forest Watch (Hansen dkk. 2013, 2016), kami melakukan overlay data kehilangan tutupan pohon (tree cover loss)15 dari 2001 hingga 2019 dan peringatan deforestasi GLAD16 dari Januari hingga Agustus 2020 dengan data tata ruang ITUPEDE.

Kami menemukan bahwa kehilangan tutupan pohon terjadi terus menerus dari 2001 hingga 2020; namun, kehilangan tutupan pohon terjadi di lokasi-lokasi tertentu yang berlaku sesuai dengan rencana penggunaan lahan ITUPEDE. Misalnya, imbo perkebunan mengalami kehilangan tutupan pohon sekitar 1–15 hektar per tahun, atau rata-rata 4,74 hektar per tahun, sepanjang 2001–2019 dan memiliki 10 peringatan GLAD berkategori probable loss sepanjang Januari–Agustus 2020. Masyarakat adat cenderung

menebang pohon karet yang sudah tua dan tidak produktif, dan memanfaatkannya untuk keperluan penebangan rumah tangga dan komersial. Sebaliknya, zona yang relatif dibatasi, seperti imbo gano, imbo cadangan, dan imbo pemanfaatan, mengalami kehilangan tutupan pohon tahunan yang jauh lebih rendah, dengan rata-rata hanya 0,16 hektar per tahun, dan 1 peringatan probable loss yang terjadi di imbo cadangan. Meskipun terjadi kehilangan tutupan pohon hingga 7 hektar di imbo gano secara tiba-tiba pada 2015–2016, tim ITUPEDE kemudian memverifikasi bahwa musim kemarau yang berkepanjangan telah menyebabkan kebakaran hutan secara alami di kawasan tersebut, yang juga terjadi di sebagian besar wilayah Sumatra pada periode yang sama. Gambar 3 menunjukkan kehilangan tutupan pohon di berbagai zona Gajah Bertalut dari waktu ke waktu. Temuan ini menyiratkan bahwa, rencana penggunaan lahan terkait larangan deforestasi sudah sesuai dengan kearifan lokal. Tetapi, temuan ini juga mengungkapkan bahwa kearifan lokal telah mendorong pembatasan deforestasi jauh sebelum ITUPEDE dikembangkan.

Page 24: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG24

Gambar 3. | Tren Kehilangan Tutupan Pohon di Gajah Bertalut 2001–2019

Imbo gano/hutan larangan Imbo cadangan

Imbo pemanfaatan Hutan karet tua/hutan sekunder (imbo perkebunan)

Hutan karet produktif (imbo perkebunan)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

12.000

10.000

8.000

6.000

4.000

2.000

0

Sumber: Analisis penulis berdasarkan data dari Hansen dkk. (2013, 2016).

ITUPEDE Meningkatkan Kemampuan Negosiasi Masyarakat Adat Perihal Hak atas Tanah, Meski Kendala Hukum Tetap DitemukanAnalisis kami menemukan kehilangan tutupan pohon yang lebih signifikan di Suaka Margasatwa Rimbang Baling daripada di Gajah Bertalut selama periode 2001 hingga 2019. Gajah Bertalut mengalami kehilangan tutupan pohon sebesar 3 persen (132 hektar), sementara kawasan suaka margasatwa di luar Gajah Bertalut mengalami kehilangan sebesar 5 persen (6.186 ha). Perbedaan serupa dalam kehilangan tutupan pohon ditemukan saat kami membandingkan keseluruhan wilayah adat Kekhalifahan Batu Sanggan (2 persen; 1.127 hektar) dengan kawasan suaka margasatwa di luar wilayah adat (6 persen; 5.192 hektar). Kami menemukan bahwa tingkat kehilangan tutupan pohon tahunan di kawasan suaka

margasatwa di luar wilayah adat secara signifikan lebih besar daripada di dalam wilayah adat (p-value = 0,0003). Namun, kehilangan tutupan pohon di suaka margasatwa terkonsentrasi di dekat Gema, ibu kota kecamatan Kampar Kiri Hulu. Kegiatan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan infrastruktur jalan yang illegal semakin meluas di sana (Peta 4). Jika tidak memperhitungkan daerah di sekitar Gema dan wilayah adat, kawasan suaka margasatwa hanya kehilangan 1,7 persen (1.322 hektar) tutupan pohon. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kehilangan tutupan pohon tahunan di kawasan suaka margasatwa dan wilayah adat (p-value = 0,41). Artinya, wilayah adat mampu mempertahankan tingkat kehilangan tutupan pohon tahunan yang hampir identik dengan kawasan suaka margasatwa tanpa daerah di sekitar Gema. Situasi di sekitar Gema menimbulkan kekhawatiran tentang kerentanan kawasan suaka margasatwa terhadap deforestasi, terutama di wilayah yang berada di luar kontrol masyarakat adat.

Page 25: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

25CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Peta 4. | Kehilangan Tutupan Pohon di Kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling 2001–2019

")

"

")")

")

")

")

")

Sungai Subayang

Pangkalan Serai

Terusan AurKuning

GajahBertalut

BatuSonggan

MalakoKociak

Gema

Kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Kehilangan tutupan pohon di Suaka Margasatwa Rimbang Baling

Batas wilayah adat/hutan adat

Sungai

Jalan

Ibukota kecamatan

Berkat adanya bukti spasial, Pemerintah Kabupaten Kampar menyetujui inisiatif yang ditawarkan masyarakat adat Gajah Bertalut. Pada kunjungannya ke Gajah Bertalut pada April 2018, Bupati Kampar menyatakan akan menerbitkan SK pada Oktober 2018 yang berisi pengakuan atas masyarakat adat, wilayah adatnya, dan hutan adatnya serta membuat rencana jangka panjang untuk mengakomodasi kebutuhan seluruh wilayah adat di Kampar. Selanjutnya, pada saat catatan praktik ini ditulis, peta wilayah adat sedang dalam proses diintegrasikan ke dalam Jaringan Informasi Geospasial Daerah di Kampar sebagai bagian dari Kebijakan Satu Peta di tingkat daerah.

Kami menemukan bahwa ITUPEDE berhasil menyelesaikan masalah signifikan yang dihadapi masyarakat adat Gajah Bertalut, dengan mendampingi penulisan dokumen formal yang diperlukan agar lembaga pengelola hutan adat yang dibentuk dapat menjalani proses pemetaan dengan lancar.

ITUPEDE memfasilitasi pemetaan di tingkat tapak dan menyiapkan kodifikasi hukum wilayah adat yang merepresentasikan nilai-nilai adat. Selama proses formalisasi aturan pengelolaan sumber daya alam dan pengakuan hak atas tanah, tim ITUPEDE dan masyarakat adat menggabungkan terminologi adat dengan terminologi konvensional terkait hukum formal dan pengelolaan hutan. Penggabungan kearifan lokal ke dalam pengelolaan hutan memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam. Bagi masyarakat adat, hal ini meningkatkan legitimasi pendekatan pengelolaan hutan yang telah diperbaiki, terutama karena perbaikan tersebut dibingkai dengan norma-norma sosiokultural mendasar yang diyakini masyarakat adat. Meskipun framing hukum ini tidak dipandang signifikan dari perspektif hukum formal, ia berdampak besar terhadap meningkatnya penyebaran dan replikasi dalam pengelolaan hutan dan pengakuan hak atas tanah ke desa-desa adat tetangga Gajah Bertalut.

Sumber: Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Informasi Geospasial, dan Badan Registrasi Wilayah Adat. Analisis kehilangan tutupan pohon berdasarkan Hansen dkk. (2013, 2016).

Page 26: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG26

Setelah pengakuan pemerintah kabupaten, langkah selanjutnya adalah mendaftar ke KLHK. Tim KLHK melakukan proses verifikasi lapangan pada Desember 2018. Akan tetapi, melegitimasi usulan masyarakat adat Gajah Bertalut pertama-tama status masyarakat adat perlu diakui berdasarkan peraturan daerah (PERDA). Pengakuan tersebut berasal dari pemerintah kabupaten atau provinsi, dan ketentuan ini membawa tantangan politik karena membutuhkan persetujuan dari DPRD setempat. Menurut hukum yang berlaku, Perda dari Kabupaten Kampar tentang hak atas tanah ulayat yang diberlakukan pada 1999 (Perda No.12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat) tidak mencukupi. Proses perundingan Perda masih berlangsung saat ini.

Selanjutnya, analisis kami mengungkap bahwa pihak suaka margasatwa telah menerapkan sistem zonasi17 sesuai dengan keputusan yang diberlakukan pada Desember 2017 (KLHK 2017). Keputusan ini menandakan zonasi dirancang pada waktu yang sama dengan perencanaan penggunaan lahan partisipatif ITUPEDE, hanya saja masing-masing proses berjalan secara terpisah tanpa konsolidasi. Peta zonasi suaka margasatwa ini meletakkan wilayah adat Gajah Bertalut ke dalam tiga jenis zona: ▪ 60 persen di blok perlindungan ▪ 1 persen di blok pemanfaatan ▪ 39 persen di blok khusus

Demi perlindungan ekosistem, blok perlindungan dirancang untuk menghindari kegiatan antropogenik tetapi ia bertumpang-tindih dengan zona imbo perkebunan yang ditetapkan masyarakat adat Gajah Bertalut (27 persen), imbo pemanfaatan (100 persen), dan imbo cadangan (100 persen). Blok pemanfaatan seluruhnya terletak di Sungai Subayang dan direncanakan untuk ekowisata berbasis sungai, tetapi rencana ini belum terlaksana. Blok khusus menyediakan ruang hidup bagi masyarakat setempat yang telah mendiami daerah itu jauh sebelum pemerintah menetapkannya sebagai kawasan suaka margasatwa—sebagian besar berlokasi di hutan karet dan area pemukiman. Saat ini perundingan masih berlangsung dengan pihak suaka margasatwa untuk mengadopsi desain zonasi yang mengakomodasi perencanaan penggunaan lahan tradisional masyarakat adat Gajah Bertalut.

Langkah Selanjutnya dan Area Perbaikan untuk ITUPEDEDari segi inklusivitas, langkah aktif diambil oleh tim ITUPEDE untuk mendorong partisipasi kelompok yang sering terpinggirkan, seperti perempuan, pemuda, dan masyarakat miskin. Langkah-langkah ini meliputi diskusi publik terbuka dan pembagian tugas tertentu selama pemetaan partisipatif. Kami mengamati bahwa kelompok tersebut kurang memiliki inisiatif untuk berpartisipasi dan hanya terlibat ketika diberi tugas.

Berdasarkan wawancara dengan partisipan perempuan maupun laki-laki, menurut tradisi setempat, setiap bidang tanah diwariskan secara matrilineal, dari ibu ke anak perempuannya. Tradisi ini menandakan bahwa perempuan memiliki wewenang atas lahan, khususnya hutan karet yang mencakup hingga 62 persen wilayah Gajah Bertalut. Tetapi, sebagian besar anggota masyarakat adat yang berpartisipasi dalam perencanaan penggunaan lahan ITUPEDE adalah elite desa. Laki-laki yang sudah menikah termasuk ke dalam elite yang mendominasi sebagian besar proses. Selain itu, meskipun perempuan secara tradisional memiliki kekuatan persuasif yang besar terhadap kepala rumah tangga, dan tidak tabu bagi anak muda untuk berbicara di depan khalayak, norma sosial dan budaya senantiasa membatasi ekspresi mereka terutama dalam hal pengaturan keluarga.

Saat Catatan Praktik ini ditulis, ITUPEDE sedang memfasilitasi pengembangan penghidupan alternatif di Gajah Bertalut, seperti membentuk kelembagaan usaha lokal dan mengkaji potensi hasil hutan nonkayu. ITUPEDE berencana menerapkan pengembangan ini tidak hanya di Gajah Bertalut, melainkan masyarakat adat di wilayah adat sekitar. Kami meyakini bahwa langkah ini merupakan kunci untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam.

Page 27: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

27CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Mengingat seluruh wilayah Gajah Bertalut dan wilayah adat lainnya saling terhubung dan berperan penting untuk keberlanjutan jasa ekosistem, ITUPEDE perlu mempertimbangkan pendekatan lanskap yang terintegrasi. Peta partisipatif yang dihasilkan dan rencana penggunaan lahan akan menjadi elemen penting dalam pendekatan lanskap terintegrasi. Pendekatan ini dapat digunakan dalam pengaturan yang berbeda; ia menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk mengintegrasikan berbagai tujuan lanskap dengan skala yang sesuai, untuk memastikan hasil terbaik bagi masyarakat adat (Baral dan Holmgren 2015; Reed dkk. 2017). Dengan demikian, ITUPEDE perlu melakukan penelitian tambahan untuk menentukan berapa luas yang optimal untuk wilayah adat, berdasarkan kepadatan populasi dan sumber penghidupan mereka. Kajian hidrologis menjadi penting karena seluruh wilayah adat memainkan peran vital sebagai ecoregion Sungai Subayang, yang pada akhirnya berdampak pada DAS Kampar. ITUPEDE juga perlu mempertimbangkan pola distribusi satwa liar di lanskap di seluruh wilayah adat, salah satunya Harimau Sumatra.

Peluang untuk Replikasi Pendekatan ITUPEDEPeluang untuk meresmikan klaim masyarakat adat Gajah Bertalut atas tanah mereka telah memicu tiga desa tetangga dan desa di daerah lain untuk mencoba melakukan hal yang sama. Hingga tahun 2020, pendekatan ITUPEDE telah direplikasi ke tiga desa lainnya di kabupaten Kampar, tiga desa di kabupaten lain di Riau, dua desa di Sumatra Selatan, dan 23 desa di Papua. Mengingat ITUPEDE dirancang sebagai pendekatan, bukan sebagai program metodologis tunggal untuk pemetaan partisipatif atau perencanaan penggunaan lahan, ia dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat lainnya. Kerja sama dengan lembaga/institusi lokal merupakan faktor kunci dalam penerapan ITUPEDE. Meski demikian, mereplikasi ITUPEDE boleh jadi menantang di daerah-daerah dengan partisipasi lembaga/institusi lokal yang rendah.

Page 28: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG28

4. KESIMPULAN Melalui kegiatan etnografis dan analisis SIG, kami menemukan bahwa masyarakat adat Gajah Bertalut memiliki seperangkat norma dan tradisi yang kaya, yang menjunjung tinggi elemen-elemen keberlanjutan. Serangkaian norma dan tradisi ini meliputi elemen kepemilikan bersama dan ekstraksi sumber daya yang dibatasi. Misalnya, sistem imbo berfungsi sebagai bentuk zonasi tradisional; masing-masing imbo memiliki aturan dan fungsinya sendiri. Meskipun analisis kami terbatas pada periode 2001-2020, temuan kami mengungkapkan bahwa kearifan lokal telah memprakarsai pelarangan deforestasi di area tertentu jauh sebelum ITUPEDE dikembangkan. Area ini meliputi 48 persen wilayah adat Gajah Bertalut, terdiri dari imbo gano (hutan larangan), imbo cadangan (hutan larangan sementara), dan imbo pemanfaatan (hutan pemanfaatan). Luas setiap zona dapat dilihat pada Peta 3.

Kami menyimpulkan bahwa ITUPEDE telah berhasil membantu masyarakat adat untuk mengklarifikasi batas-batas lahan dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahan. Inisiatif ini mendorong pemerintah kabupaten untuk memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat, yang berujung pada pembatalan keputusan-keputusan terdahulu yang membatasi hak-hak masyarakat adat. Peta yang dihasilkan oleh inisiatif ini berfungsi sebagai langkah awal untuk mencapai titik temu antara para pemangku kepentingan, memenuhi hak masyarakat adat atas tanah adat, dan memperkuat implementasi Kebijakan Satu Peta. Meskipun demikian, kami menemukan bahwa masyarakat adat membutuhkan negosiasi lebih lanjut untuk menangkal skeptisisme sebagian perwakilan pemerintah, terutama dalam mengatasi kendala hukum dan tantangan politik terkait hak-hak atas hutan adat. Melegitimasi hak masyarakat adat atas hutan dan lahan membutuhkan kedudukan hukum yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum.

Temuan ini menepis anggapan bahwa pendekatan konservasi konvensional adalah satu-satunya metode yang tepat. Meskipun temuan kami tidak dapat digeneralisasikan ke semua masyarakat adat, temuan kami mendukung kelangsungan pendekatan inklusif untuk konservasi atau, setidaknya, pendekatan kasus per kasus untuk perlindungan hutan. Misalnya, kehilangan tutupan pohon di suaka margasatwa milik negara secara proporsional melampaui tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di Gajah Bertalut dan wilayah adat tetangga dalam periode yang sama.

Di sisi lain, meskipun banyak aktivis mengklaim bahwa masyarakat adat mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, seperti di Gajah Bertalut dan masyarakat adat lain, hubungan mereka dengan lingkungan bersifat dinamis. Oleh sebab itu, klaim semacam ini merupakan penyederhanaan berlebihan atas permasalahan yang bernuansa dan kompleks ini. Dengan demikian, meskipun kami menemukan bahwa masyarakat adat memiliki potensi untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, kami mengimbau bahwa hak atas tanah adat sebaiknya tidak diberikan ketika dan hanya jika masyarakat adat tersebut terbukti mampu menerapkan pengelolaan yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, pemangku kepentingan perlu mendampingi masyarakat adat secara berkesinambungan.

Terakhir, kami merekomendasikan ITUPEDE untuk melakukan monitoring dan intervensi jangka panjang untuk melanjutkan pengembangan penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) dan mendukung inklusivitas dan pelaksanaan pendekatan lanskap terpadu. Kami menyarankan agar proyek-proyek di masa depan berfokus pada peningkatan inklusi sosial bagi perempuan, generasi muda, dan masyarakat dari kelas sosial rendah. Kami juga menyarankan penggabungan desain lanskap terintegrasi ke dalam kerangka konseptual ITUPEDE. Hal ini akan mengakui bahwa wilayah Gajah Bertalut dan masyarakat adat tetangga saling terhubung dalam mempertahankan berbagai jasa ekosistem.

Page 29: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

29CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

CATATAN AKHIR

1 Isu ini dibahas dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, “Satu Peta untuk Pembangunan Nasional 1”, yang diselenggarakan di Jakarta pada 2017.

2 Isu ini dibahas dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, “Satu Peta untuk Pembangunan Nasional 1”, yang diselenggarakan di Jakarta pada 2017.

3 Istilah “desa” yang digunakan di sini tidak membatasi pendekatan ITUPEDE hanya pada desa; melainkan dapat diterapkan pada tingkat-tingkat lainnya yang setara, seperti wilayah adat dan daerah-daerah lain di tingkat tapak.

4 Sepanjang 2016–2017, WRI Indonesia menjalin hubungan baik dengan tokoh masyarakat dan aktivis gerakan adat di wilayah Kabupaten Kampar, Riau. Interaksi ini difasilitasi oleh AMAN, yang memiliki kantor cabang di hampir setiap provinsi di Indonesia. AMAN adalah organisasi yang telah menjadi ujung tombak pencatatan dan pemetaan masyarakat adat.

5 Istilah “kanagarian” berasal dari kata “nagari”. Menurut Davidson dan Henley (2007, 204), “Nagari adalah unit adat Minangkabau yang paling tepat digambarkan sebagai desa, atau konglomerasi desa atau pemukiman. Nagari umumnya dipandang sebagai ‘republik desa’ yang otonom; meski cakupan otonomi inilah yang seringkali ‘diperdebatkan’.”

6 Lihat Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia (2008) untuk daftar indikator lengkap.

7 PADIATAPA diwajibkan oleh hukum. Namun, tidak ada standar tentang cara memperoleh PADIATAPA.

8 Skema perhutanan sosial didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 (KLHK 2016). Program ini terdiri dari lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan produksi masyarakat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Skema perhutanan sosial merupakan suatu bentuk kompromi antara pemerintah dan masyarakat lokal yang berkonflik untuk memungkinkan masyarakat memperoleh akses ke hutan negara (Fisher dkk. 2018). Skema hutan adat tidak seperti skema perhutanan sosial lainnya. Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan pada 2012 bahwa lahan hutan milik masyarakat adat tidak boleh diklasifikasikan sebagai hutan negara (Mahkamah Konstitusi, 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 35/PUU-X/2012). Berdasarkan keputusan ini, semua wilayah adat di hutan negara secara resmi diakui secara eksplisit sebagai kawasan hutan milik masyarakat adat, atau hutan adat. Mengingat salah satu tujuan skema perhutanan sosial adalah mengembangkan pemeliharaan hutan yang lebih baik dan mencegah eskalasi konflik tenurial di seluruh Indonesia di masa mendatang (Wiratno 2017), tim ITUPEDE menemukan bahwa skema hutan adat cocok untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan dan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya di Gajah Bertalut.

9 KKMA adalah pendekatan yang dirancang berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Konservasi Ekosistem Nomor P.6/2018 (Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem 2018) untuk mempromosikan pengelolaan bersama kawasan konservasi milik negara antara pihak negara dan masyarakat adat. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat adat untuk melakukan kegiatan ekstraksi sumber daya tertentu atau rehabilitasi ekosistem di zona tertentu di dalam kawasan konservasi. Sebelum Bupati Kampar mengeluarkan SK tentang pengakuan masyarakat adat Gajah Bertalut pada Oktober 2018, tim ITUPEDE telah mengusulkan KKMA yang baru ditetapkan pada Juni 2018 sebagai salah satu alternatif untuk dipertimbangkan oleh masyarakat. Namun, masyarakat menolak alternatif ini karena merasa KKMA tidak memberikan hak tenurial dan membatasi kegiatan penggunaan lahan di dalam kawasan tersebut.

10 Maket atau peta tiga dimensi adalah lanskap berwujud yang terpahat secara fisik, dapat dirasakan, dan dapat dilakukan overlay dengan proyeksi digital (NCSU GeoForAll Lab - 2020). Peta tiga dimensi secara praktis mendukung pemetaan partisipatif karena lebih mudah dipahami oleh penduduk setempat. Model ini memfasilitasi peningkatan keterampilan membaca peta di kalangan masyarakat. Untuk proyek ini, pertama-tama lapisan kontur dari potongan kardus disusun; kemudian ditutupi dengan plester yang terbuat dari tepung; dan, terakhir, dicat untuk mengindikasikan zonasi lahan.

11 Kedua kesepakatan tersebut berjudul “Keputusan Lembaga Adat Kenegerian Gajah Bertalut, Kekhalifahan Batu Sanggan Nomor 01 Tahun 2017 tentang Penetapan Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Adat Gajah Bertalut” dan “Piagam Kesepakatan Bersama Lembaga Adat, Kepala Desa, dan Alim Ulama Kenegerian Gajah Bertalut, Kekhalifahan Batu Sanggan tentang Penetapan Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Adat Gajah Bertalut.”

Page 30: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG30

12 Tim ini termasuk WRI Indonesia dan mitra-mitra CSO/LSM lokal: AMAN, BRWA, Pelopor, Scale-Up, Bahtera Alam, Mitra Aksi, Perkumpulan Alam Sumatra (PASA), dan Green Radio.

13 Sangat penting untuk mengklasifikasikan parameter berdasarkan perspektif masyarakat demi menghindari pemaksaan konsep “kekayaan” oleh para peneliti ke masyarakat adat, yang mungkin saja memiliki pemahaman dan konsep berbeda dalam memaknai kekayaan. Hal ini sangat relevan khususnya ketika berhadapan dengan masyarakat adat, di mana tradisi dan perbedaan budaya dapat menghasilkan perbedaan signifikan terhadap cara memandang dunia.

14 Kesepakatan ini berjudul “Piagam Kesepakatan Bersama Lembaga Adat, Kepala Desa, dan Alim Ulama Kenegerian Gajah Bertalut, Kekhalifahan Batu Sanggan tentang Penetapan Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Adat Gajah Bertalut.”

15 Kehilangan tutupan pohon (tree cover loss) tidak selalu berarti deforestasi. Berdasarkan terminologi data Global Forest Watch, tree cover loss mengacu pada gangguan pada vegetasi berkayu dengan ketinggian lebih dari lima meter, baik itu vegetasi yang terletak di hutan primer dewasa, hutan sekunder yang sedang pulih dari gangguan, atau di hutan tanaman. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada keterangan data Global Forest Watch (Hansen dkk. 2013).

16 Setiap peringatan GLAD mengindikasikan kehilangan hutan pada resolusi piksel 30 kali 30 meter. Namun, peringatan tersebut tidak disarankan untuk digunakan dalam perhitungan luas lahan yang mengalami deforestasi (Weisse dan Pickens 2020). Annual tree cover loss dianggap sebagai indikator yang lebih baik untuk memperkirakan luas, namun saat ini datanya hanya tersedia untuk tahun 2001–2019. Untuk tahun 2020, kami hanya menghitung jumlah peringatan yang terdeteksi di area analisis.

17 Berdasarkan Peraturan KLHK Nomor 76 Tahun 2015 (KLHK 2015), penataan ruang kawasan konservasi dilakukan dengan perencanaan dan membagi kawasan ke dalam zona atau blok pengelolaan berdasarkan potensi kawasan serta mempertimbangkan prioritas pengelolaan kawasan. Sistem pembagian kawasan ini bergantung pada jenis kawasan konservasi, misalnya zona inti, blok perlindungan, zona/blok pemanfaatan, dan beberapa zona/blok lainnya. Sesuai pasal 22 dalam Peraturan ini, prancangan zonasi atau blok pengelolaan harus dibahas melalui proses konsultasi publik yang melibatkan masyarakat setempat.

Page 31: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

31CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Adhikari, J.R. 2001. “Community Based Natural Resource Management in Nepal with Reference to Community Forestry: A Gender Perspective.” Journal of Environment 6 (7): 9–22. http://hdl.handle.net/10919/67269.

Affandi, D.Y. 2017. “The Struggle over Adat Forest Rights in Up-land Banten, Indonesia.” Tesis PhD, Monash University. https://doi.org/10.4225/03/58f81930bcb17.

Alcorn, J.B. 2010. “Indigenous Peoples and Conservation.” Buku Putih. Chicago: MacArthur Foundation. https://www.macfound.org/media/files/CSD_Indigenous_Peoples_White_Paper.pdf.

Amler, B., D. Betke, and H. Eger, A. Kohler, A. Kutter, A. von Lossau, U. Müller, S. Seidemann, R. Steurer, dan W. Zimmermann. 1999. Land Use Planning: Methods, Strategies and Tools. Eschborn, Jerman: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit. http://www.meso-nrw.de/toolkit/Downloads/gtz-lup.pdf

Askew, H., dan B. Napoleon. 2019. “The Caribou Are Our Four-Legged Cousins.” Centre for International Governance Innovation, 27 Juni.https://www.cigionline.org/articles/caribou-are-our-four-legged-cousins.

Austin, K.G., A. Schwantes, Y. Gu, dan P.S. Kasibhatla. 2019. “What Causes Deforestation in Indonesia?” Environmental Research Letters 14 (2): 024007. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aaf6db.

Baral, H., dan P. Holmgren. 2015. “A Framework for Measuring Sustainabil-ity Outcomes for Landscape Investments.” Kertas Kerja 195. Bogor: Center for International Forestry Research. https://doi.org/10.17528/cifor/005761.

Barr, C., I.A.P. Resosudarmo, A. Dermawan, J. McCarthy, M. Moeliono, dan B. Setiono, eds. 2006. Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Com-munity Livelihoods. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research. https://doi.org/10.17528/cifor/002113.

Badan Informasi Geospasial. 2016. (Database). “Base Map Rupabumi Indonesia.” https://tanahair.indonesia.go.id/portal-web/inageoportal/#/. Diakses Desember 2017.

Badan Registrasi Wilayah Adat. 2017. (Database). “GIS-BRWA.” https://brwa.or.id/sig/. Diakses September 2017.

CAIT Climate Data Explorer. 2019. “CAIT Country Greenhouse Gas Emissions Data (1990–2016).” Washington, DC: World Resources Institute. https://www.climatewatchdata.org/ghg-emissions?end_year=2016&regions=TOP%2CBRA%2CCHN%2CIND%2CIDN%2CJPN%2CRUS%2CUSA%2CEUU&start_year=1990.

Chapin, M., Z. Lamb, dan B. Threlkeld. 2005. “Mapping Indigenous Lands.” An-nual Review of Anthropology 34 (1): 619–38. https://doi.org/10.1146/annurev.anthro.34.081804.120429.

Corbett, J., S. Devos, S. Di Gessa, K. Fara, I. Firmian, H. Liversage, M. Mangiafico, dkk. 2009. Good Practices in Participatory Mapping: A Re-view Prepared for the International Fund for Agricultural Development (IFAD). Roma: International Fund for Agricultural Development (Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian). https://www.ifad.org/documents/38714170/39144386/PM_web.pdf/7c1eda69-8205-4c31-8912-3c25d6f90055.

Coulson-Drasner, A. 2018. “Land Loss Threatens Indigenous Communities Worldwide.” Deutsche Welle, 9 Agustus. https://www.dw.com/en/land-loss-threatens-indigenous-communities-worldwide/a-44997211-0.

Davidson, J., dan D. Henley, eds. 2007. The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism. New York: Routledge.

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 2018. Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Cagar Alam dan Kawasan Konservasi Alam. Jakarta: Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Ling-kungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Indonesia. http://ksdae.menlhk.go.id/assets/news/peraturan/Perdirjen%20No%206%20Tahun%202018%20tentang%20Juknis%20Kemitraan%20Konservasi.pdf.

Dowie, M. 2009. “Clash of Cultures: The Conflict between Conservation and Indigenous People in Wild Landscapes.” The Guardian, 2 Juni. https://www.theguardian.com/environment/2009/jun/03/yosemite-conservation-indigenous-people.

Dowie, M. 2011. Conservation Refugees: The Hundred-Year Conflict between Global Conservation and Native Peoples. Cambridge, MA: MIT Press.

REFERENSI

Page 32: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG32

Earth Innovation Institute. 2015. Central Kalimantan Land Governance Assessment. Washington, DC: Bank Dunia. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/28514.

Eghenter, C. 2006. “Conserving Nature in Culture. Case Studies from Southeast Asia, Michael R. Dove, Percy E. Sajise, & Amity A. Doolittle (Eds).” Ulasan buku. Moussons (9–10): 360–62. https://doi.org/10.4000/moussons.1921.

Eghenter, C. 2019. “Learning Conservation from Indigenous People.” World Wide Fund for Nature, 9 Agustus. https://wwf.panda.org/knowledge_hub/where_we_work/borneo_forests/?351390/Learning-Conservation-from-Indigenous-People.

Fay, C., dan H.M.S. Denduangrudee. 2016. “Emerging Options for the Rec-ognition and Protection of Indigenous Community Rights in Indonesia.” Terbit di Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty, disunting oleh J.F. McCarthy dan K. Robinson, 91–112. Singa-pura: Institute of Southeast Asian Studies–Yusok Ishak Institute. https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2155.

Fay, C., dan M. Sirait. 2002. “Reforming the Reformists in Post-Soeharto Indonesia.” Terbit di Which Way Forward: People, Forests, and Policymak-ing di Indonesia,, diedit oleh C.J.P. Colfer dan I.A.P. Resosudarmo, 126–43. New York: Routledge. https://doi.org/10.4324/9781936331772.

Fisher, M.R., M. Moeliono, A. Mulyana, E.L. Yuliani, A. Adriadi, Kamalu-ddin, J. Judda, dan M.A.K. Sahide. 2018. “Assessing the New Social Forestry Project in Indonesia: Recognition, Livelihood and Conser-vation?” International Forestry Review 20 (3): 346–61. https://doi.org/10.1505/146554818824063014.

Fitzgerald, O.E., dan K. Mahoney. 2019. “Environmental Challenges on Indigenous Lands.” Centre for International Governance Innovation, 27 Juni. https://www.cigionline.org/articles/environmental-challenges-indigenous-lands.

Gaveau, D.L.A., D. Sheil, H., Mohammad A. Salim, S. Arjasakusuma, M. Ancrenaz, P. Pacheco, dan E. Meijaard. 2016. “Rapid Conversions and Avoided Deforestation: Examining Four Decades of Industrial Planta-tion Expansion in Borneo.” Scientific Reports 6 (1): 32017. https://doi.org/10.1038/srep32017.

Hall, D., P. Hirsch, dan T.M. Li. 2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.

Hansen, M., A. Krylov, A. Tyukavina, P.V. Potapov, S. Turubanova, B. Zutta, S. Ifo, B. Margono, F. Stolle, dan R. Moore. 2016. “Humid Tropical Forest Disturbance Alerts Using Landsat Data.” Environmental Research Letters 11 (3): 034008. https://doi.org/10.1088/1748-9326/11/3/034008.

Hansen, M., P.V. Potapov, R. Moore, M. Hancher, S.A. Turubanova, A. Tyu-kavina, D. Thau, dkk. 2013. “High-Resolution Global Maps of 21st-Century Forest Cover Change.” Science 342 (6160): 850–53. https://doi.org/10.1126/science.1244693.

Harwell, E. 2000. “Remote Sensibilities: Discourses of Technology and the Making of Indonesia’s Natural Disaster.” Development and Change 31 (1): 307–40. https://doi.org/10.1111/1467-7660.00156.

Henderson, J.Y. 2019. “Wild Buffalo Recovery and Ecological Restoration of the Grasslands.” Centre for International Governance Innovation, 27 Juni. https://www.cigionline.org/articles/wild-buffalo-recovery-and-ecologi-cal-restoration-grasslands.

Herlihy, P.H., dan G. Knapp. 2003. “Maps of, by, and for the Peoples of Latin America.” Human Organization 62 (4): 303–14. http://www.jstor.org/stable/44127812.

Joko Widodo. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1: 50.000. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

Jones, S.B. 1945. Boundary-Making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors, and Boundary Commissioners. Washington, DC: Carnegie Endow-ment for International Peace, Division of International Law.

Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi: Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. Balikpapan: Program Tropenbos International Indonesia.

KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). 2018. Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik: Catatan Akhir Tahun 2018. Jakarta Selatan: KPA. http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-peluncuran_.pdf.

Kuncoro, A. 2002. “The New Laws of Decentralization and Corruption in Indonesia: Examination of Provincial and District Data.” Makalah Konferensi ERSA. Louvain-la-Neuve, Belgia: European Regional Science Association. https://ideas.repec.org/p/wiw/wiwrsa/ersa02p053.html.

Page 33: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

33CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Kurniawan, N.I. 2016. “Getting the One Map Policy Right.” Indonesia at Mel-bourne (blog), 11 Mei. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/getting-one-map-policy-right/.

KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). 2015. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Jakarta: KLHK, Pemerintah Indonesia. http://pika.ksdae.menlhk.go.id/assets/pdf/PERMEN%20LHK%20NO%20P%2076%20TAHUN%202015%20%20tentang%20kriteria%20zona%20dan%20blok%20tn%20ca%20sm%20tahura%20twa.pdf.

KLHK. 2016. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan So-sial. Jakarta: KLHK, Pemerintah Indonesia. http://ksdae.menlhk.go.id/assets/news/peraturan/PERMENLHK-No-83-Tentang-Perhutanan-Sosial.pdf.

KLHK. 2017. Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.439/KSDAE/SET/KSA.0/12/2017 tentang Pengesahan Blok Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Jakarta: KLHK, Pemerintah Indonesia. http://pika.ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/zona_dan_blok_dengan_sk_.pdf

KLHK. 2014. (Database). “ArcGIS REST Services Directory: KLHK.” http://geo-portal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK. Diakses Januari 2020.

KLHK. 2017. (Database). “ArcGIS REST Services Directory: KLHK.” http://geo-portal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK. Diakses Januari 2020.

Li, T.M. 2000. “Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot.” Comparative Studies in Society and History 42 (1): 149–79. https://doi.org/10.1017/S0010417500002632.

Lucas, A., dan C. Warren. 2013. “The Land, the Law, and the People.” Terbit di Land for the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia, diedit oleh Anton Lucas dan Carol Warren, 1–41. Athena: Ohio University Press.

Moeliono, T.P. 2011. “Spatial Management in Indonesia: From Planning to Implementation—Cases from West Java and Bandung: A Socio-Legal Study.” Tesis PhD, Universitas Leiden. http://hdl.handle.net/1887/18242.

Naylor, R.L., M.M. Higgins, R.B. Edwards, dan W.P. Falcon. 2019. “Decentraliza-tion and the Environment: Assessing Smallholder Oil Palm Development in Indonesia.” Ambio 48 (10): 1195–1208. https://doi.org/10.1007/s13280-018-1135-7.

NCSU (North Carolina State University) GeoForAll Lab. 2020. “Tangible Land-scape.” https://tangible-landscape.github.io/. Diakses 16 Maret 2020.

OBG (Oxford Business Group). 2020. “Indonesia Introduces One Map Policy as a Solution to Overlapping Land Claims.” https://oxfordbusinessgroup.com/overview/indonesia-introduces-one-map-policy-solution-overlapping-land-claims.

Phillips, S.J., M. Dudik, dan R.E. Schapire. 2018. Maxent Software for Modeling Species Niches and Distributions (Version 3.4.1). American Museum of Natural History. https://biodiversityinformatics.amnh.org/open_source/maxent/. Diakses 8 Oktober 2020.

PKTHA (Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat). 2020. “Statistik Penan-ganan Pengaduan & Pengusulan.” http://pskl.menlhk.go.id/pktha/. Diakses 20 Januari 2020.

Poole, P., and Biodiversity Support Program. 1995. Indigenous Peoples, Mapping & Biodiversity Conservation: An Analysis of Current Activities and Opportunities for Applying Geomatics Technologies. Landover, MD: Biodiversity Support Program.

Pradana, A. 2018. “Three Strategies Government Should Do following the Launch of One Map Geoportal.” WRI Insights (blog). 14 Desember. https://wri-indonesia.org/en/blog/three-strategies-government-should-do-following-launch-one-map-geoportal.

Purba, C.P.P., S.G. Nanggara, M. Ratriyono, I. Apriani, L. Rosalina, N.A. Sari, dan A.H. Meridian. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009–2013. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia. https://fwi.or.id/wp-content/up-loads/2015/05/PKHI-2009-2013_update__sz.pdf.

Raygorodetsky, G. 2018. “Indigenous Peoples Defend Earth’s Biodiversity—but They’re in Danger.” National Geographic, 16 November. https://www.nation-algeographic.com/environment/2018/11/can-indigenous-land-stewardship-protect-biodiversity-/.

Reed, G. 2019. “Connecting the Local Communities and Indigenous Peoples Platform to Domestic Climate Challenges in Canada.” Centre for International Governance Innovation, 4 Juli. https://www.cigionline.org/articles/connect-ing-local-communities-and-indigenous-peoples-platform-domestic-climate-challenges.

Reed, J., J. van Vianen, J. Barlow, dan T. Sunderland. 2017. “Have Integrated Landscape Approaches Reconciled Societal and Environmental Issues in the Tropics?” Land Use Policy 63 (April): 481–92. https://doi.org/10.1016/j.landuse-pol.2017.02.021.

Page 34: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG34

Resosudarmo, I.A.P. 2004. “Closer to People and Trees: Will Decentralisa-tion Work for the People and the Forests of Indonesia?” European Journal of Development Research 16 (1): 110–32. https://doi.org/10.1080/09578810410001688761.

Ridhwan, D., dan B. Bagja. 2019. “Understanding the Causes and Solutions of Forest Enroachment in Riau.” WRI Insights (blog). 18 Desember. https://wri-indonesia.org/en/blog/understanding-causes-and-solutions-forest-enroachment-riau.

Samadhi, T.N. 2015. “New Forest Fires Threaten Indonesia’s Pro-tected Areas.” Jakarta Post, 30 Juli. https://www.thejakartapost.com/news/2015/07/30/new-forest-fires-threaten-indonesia-s-protected-areas.html.

Saturi, S. 2012. “Konflik Sawit Menggunung, GAPKI Bilang Masih Kecil.” Mongabay, 24 Desember. https://www.mongabay.co.id/2012/12/24/konflik-sawit-menggunung-gapki-bilang-masih-kecil/.

Sneed, A. 2019. “What Conservation Efforts Can Learn from Indigenous Communities.” Scientific American, 29 Mei. https://www.scientificameri-can.com/article/what-conservation-efforts-can-learn-from-indigenous-communities/.

Srebro, H., dan M. Shoshani. 2007. “The Order of Precedence of Boundary Delimitations.” Makalah disajikan pada “FIG Working Week 2007,” Inter-national Federation of Surveyors, Hong Kong, 13–17 Mei. https://www.fig.net/resources/proceedings/fig_proceedings/fig2007/papers/ts_1g/ts01g_01_srebro_shoshani_1295.pdf.

Sumaryo. 2017. “Penetapan Dan Penegasan Batas Desa, Teori Dan Praktek.” Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Kebijakan Satu Peta, Jakarta.

Sekretariat Kabinet. 2018. “Peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta dan Buku Kemajuan Infrastruktur Nasional 2018, 11 Desember 2018, di Ruang Birawa, Hotel Bidakara, Jakarta.” 11 Desember. https://setkab.go.id/peluncuran-geoportal-kebijakan-satu-peta-dan-buku-kemajuan-infra-struktur-nasional-tahun-2018-11-desember-2018-di-ruang-birawa-hotel-bidakara-jakarta/.

Tjondronegoro, S.M.P. 2006. “Land Policies in Indonesia.” Kertas Kerja 37435. Washington, DC: Bank Dunia. http://documents.worldbank.org/curated/en/777651468260378738/Land-policies-in-Indonesia.

Toumbourou, T. 2018. “Using a Delphi Approach to Identify the Most Efficacious Interventions to Improve Indonesia’s Forest and Land Governance.” Land Use Policy (Maret): 102768. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2017.05.017.

UN DESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs) Indigenous Peoples. 2020. “Environment.” https://www.un.org/develop-ment/desa/indigenouspeoples/mandated-areas1/environment.html. Diakses 11 Februari 2020.

UNEP (United Nations Environment Programme). 2017. “Indigenous People and Nature: A Tradition of Conservation.” 21 Juli. http://www.unenviron-ment.org/news-and-stories/story/indigenous-people-and-nature-tradition-conservation.

U.S. Geological Survey. 2017. (Database). EarthExplorer. https://earthex-plorer.usgs.gov/. Diakses Desember 2017.

VOA (Voice of America). 2018. “Indonesia Reforms Seek to Solve Decades of Land Conflict.” 11 Desember. https://www.voanews.com/east-asia-pacific/indonesia-reforms-seek-solve-decades-land-conflict.

Wahyudi, H., L. Supartmanono, E. Jusman, A.A. Ilyas, dkk. 2017. “Profil Masyarakat Adat Kekhalifahan Batu Sanggan Kampar-Riau.” Kampar, Indonesia: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kampar.

Weisse, M., dan A. Pickens. 2020. “GLAD Deforestation Alerts, Explained.” Global Forest Watch Blog, 2 September. https://blog.globalforestwatch.org/data-and-research/glad-deforestation-alerts.

Wijaya, A., H. Chrysolite, M. Ge, C.K. Wibowo, A. Pradana, A.F. Utami, dan K. Austin. 2017. “How Can Indonesia Achieve Its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-Use Policies.” Kertas Kerja. Jakarta: World Resources Institute. https://files.wri.org/s3fs-public/how-can-indonesia-achieve-its-climate-change-mitigation-goal-analysis-potential-emissions-reductions-from-energy-land-use-policies_0.pdf.

Page 35: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

35CATATAN PRAKTIK • MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI PEMETAAN: STUDI KASUS DARI GAJAH BERTALUT, RIAU

Winoto, J. 2009. “Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and National Land Agency’s Strategic Plan.” Makalah di-siapkan untuk Lokakarya di International Federation of Surveyors’ Forum, Washington DC, Maret. https://fig.net/resources/proceedings/2009/fig_wb_2009/papers/country/country_winoto.pdf.

Wiratno. 2017. “Perebutan” Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehu-tanan Universitas Gadjah Mada Ke 54. Yogyakarta, Indonesia: Universitas Gadjah Mada. https://www.bksdabengkulu.id/assets/filepublikasi/1/dokpublik_1525669376.pdf.

Wrachien, D. 2001. “Land Use Planning: A Key to Sustainable Agriculture.” Terbit di Conservation Agriculture, diedit oleh L. García-Torres, J. Benites, A. Martínez-Vilela, dan A. Holgado-Cabrera, 471–82. Dordrecht, Nether-lands: Springer. https://doi.org/10.1007/978-94-017-1143-2.

Yudhoyono, S.B. 2011. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Peningkatan PengelolaanHutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

Zaitchik, A. 2018. “From Conservation to Colonization.” Foreign Policy (blog), 16 Juli. https://foreignpolicy.com/2018/07/16/how-conservation-became-colonialism-environment-indigenous-people-ecuador-mining/.

Zhang, Y.J., A.J. Li, dan T. Fung. 2012. “Using GIS and Multi-criteria Decision Analysis for Conflict Resolution in Land Use Planning,” pada “18th Bien-nial ISEM Conference on Ecological Modelling for Global Change and Coupled Human and Natural System,” diedit oleh Z. Yang dan B. Chen, edisi khusus, Procedia Environmental Sciences 13 (Januari): 2264–73. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2012.01.215.

Page 36: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

WRI-INDONESIA.ORG36

TENTANG WRIWorld Resources Institute adalah organisasi riset global yang mengubah gagasan-gagasan besar menjadi aksi di titik temu antara lingkungan, peluang ekonomi, dan kesejahteraan manusia.

Tantangan Kami Sumber daya alam merupakan fondasi peluang ekonomi dan kes-ejahteraan manusia. Namun, saat ini manusia menghabiskan sumber daya alam Bumi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, sehingga mengancam perekonomian dan kehidupan manusia. Masyarakat bergantung pada air bersih, tanah yang subur, hutan yang lestari, dan iklim yang stabil untuk tetap hidup. Kota yang layak huni dan energi bersih sangat penting untuk memastikan keberlanjutan planet kita. Pada dekade ini, kita harus mengatasi tantangan-tantangan global yang mendesak tersebut.

Visi Kami Kami membayangkan planet yang adil dan makmur yang didorong oleh pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Kami bercita-cita men-ciptakan dunia di mana aksi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat bersinergi untuk menghapus kemiskinan dan melestarikan lingkungan alam untuk semua orang.

Pendekatan Kami HITUNGKami memulai dengan data. Kami melakukan penelitian independen dan memanfaatkan teknologi terbaru untuk membangun pemahaman baru dan menghasilkan berbagai rekomendasi mutakhir. Analisis kami yang cermat menghasilkan identifikasi risiko, mengungkap peluang, dan mendasari berbagai strategi cerdas. Kami memfokuskan upaya kami pada negara-negara dengan perekonomian yang berkembang dan berpengaruh yang akan menjadi penentu keberlanjutan masa depan.

UBAHKami menggunakan penelitian kami untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, strategi bisnis, dan aksi masyarakat sipil. Kami menguji hasil kerja kami dengan berbagai komunitas, perusahaan, dan lembaga pemerintah untuk membangun basis bukti yang kuat. Selanjutnya, kami bekerja dengan para mitra untuk mewujudkan perubahan-perubahan yang mendasari pengentasan kemiskinan dan penguatan masyarakat. Kami mengemban tanggung jawab untuk memastikan bahwa hasil kerja keras kami senantiasa inovatif dan bertahan lama.

PERLUASKami tidak berpikir dalam skala kecil. Setelah teruji, kami bekerja den-gan para mitra untuk mengadopsi dan memperluas upaya-upaya kami secara regional dan global. Kami terlibat dengan pembuat keputusan untuk melaksanakan gagasan-gagasan yang kami usung sehingga meningkatkan dampak kerja kami. Kami mengevaluasi keberhasilan kami melalui kebijakan dan aksi pemerintah dan pelaku usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan lingkungan yang sehat.

Peta-peta yang disajikan dalam Catatan Praktik ini adalah untuk tujuan ilustrasi dan tidak menyiratkan pernyataan pendapat apa pun dari pihak WRI, mengenai status hukum suatu negara atau wilayah atau tentang penetapan batas atau perbatasan wilayah.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia yang telah mendanai proyek Inisiatif Satu Peta WRI Indonesia.

Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada masyarakat adat Gajah Bertalut dan seluruh warga Kekhalifahan Batu Sanggan atas keramahan dan persahabatan mereka selama beberapa tahun terakhir. Apresiasi dan terima kasih juga kami haturkan kepada para mitra Inisiatif Satu Peta di Riau: Pemerintah Kabupaten Kampar, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, AMAN, BRWA, Bahtera Alam, Pelopor, Scale-Up, Mitra Aksi, PASA, dan Green Radio. Selain itu, beberapa dari kami ingin mengucapkan terima kasih kepada WRI Indonesia di Riau yang telah menginisiasi pelaksanaan proyek ini di lapangan: Rakhmat Hidayat, Julius Lawalata, Muis Fajar, Syafredo, Surta Siallagan, dan Dessy. Tanpa dukungan mereka, WRI Indonesia sebagai organisasi tidak akan mungkin menorehkan pencapaian yang baik dan menyelesaikan pekerjaan penting ini.

Kami juga ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para pengulas eksternal kami, yang telah menyumbangkan waktu dan masukan berharga mereka untuk menyempurnakan Catatan Praktik ini: Barbara Karni, Hery Santoso (Java Learning Center), Kasmita Widodo (BRWA), Khairil Fahmi Faisal (World Wildlife Fund), dan Yuli Prasetyo (KLHK). Terima kasih kepada rekan-rekan kami di WRI yang telah membantu kami sepanjang proses ini: Thiago Guimares, Hidayah Hamzah, Julia Kalmirah, Neha Lal, Emily Matthews, Adi Pradana, Akansha Saklani, Celine Salcedo-La Viña, Lauri Scherer, Nirarta Samadhi, Emilia Suarez, Gregory Taff, Bill Dugan, Sakinah Ummu Haniy, dan Septika Sihite.

TENTANG PENULISDwiki Ridhwan adalah Analis Riset dan Livelihood Berbasis Hutan untuk Program Hutan WRI Indonesia—Regional Riau.Kontak: [email protected]

Carolina Astri adalah Analis Transformasi Konflik untuk Program Hutan WRI Indonesia. Kontak: [email protected]

Alif Azadi Taufik adalah Konsultan Riset untuk Program Hutan WRI Indonesia. Kontak: [email protected]

Dean Affandi adalah Manajer Riset, Data, dan Inovasi WRI Indonesia. Kontak: [email protected]

Muis Fajar adalah Project Lead Perhutanan Sosial dan Hutan Adat WRI Indonesia. Contact: [email protected]

Julius Lawalata adalah mantan Koordinator Lapangan WRI Indonesia di Riau.

Page 37: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

KREDIT FOTO:Foto Cover, hal.16 Julius Lawalata/WRI Indonesia

Peta-peta yang disajikan dalam Catatan Praktik ini adalah untuk tujuan ilustrasi dan tidak menyiratkan pernyataan pendapat apa pun dari pihak WRI, mengenai status hukum suatu negara atau wilayah atau tentang penetapan batas atau perbatasan wilayah.

Setiap laporan World Resources Institut mewakili perlakuan ilmiah yang sesuai zaman atas suatu topik yang menjadi perhatian publik. WRI bertanggung jawab atas pemilihan topik studi dan menjamin kebebasan penulis dan peneliti untuk mengkaji suatu subjek. Kami juga meminta dan menindaklanjuti masukan dan arahan dari panel penasihat dan peninjau ahli. Namun, kecuali dinyatakan lain, semua interpretasi dan temuan yang ditetapkan dalam publikasi WRI adalah milik penulis.

Hak Cipta 2020 World Resources Institute. Karya ini dilisensikan di bawah Lisensi Internasional Creative Commons Attribution 4.0. Untuk melihat salinan lisensinya, kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/

TENTANG CATATAN PRAKTIKStudi kasus ini menangkap pembelajaran dari implementasi Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (ITUPEDE) WRI Indonesia. Inisiatif ini mencerminkan upaya untuk membantu menyelesaikan penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial di Indonesia. Melalui kolaborasi dengan CSO/LSM setempat dan pemerintah daerah, ITUPEDE memilih masyarakat adat Gajah Bertalut di Riau sebagai proyek percontohan pertama, dengan konteks sengketa tanah di tingkat tapak, khususnya antara wilayah adat dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling yang dikelola pemerintah. Proyek ini dimulai pada awal 2017 dan terus berjalan hingga kini, sementara studi ini mendokumentasikan perkembangan proyek hingga Agustus 2020.

Pendekatan inisiatif ini dikembangkan berdasarkan konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, pemetaan partisipatif, dan perencanaan penggunaan lahan. Catatan Praktik ini menyelidiki dampak ITUPEDE terhadap bagaimana masyarakat adat Gajah Bertalut mengelola sumber daya alam dan menegosiasikan pengakuan hak mereka atas tanah dan sumber daya alam dalam konteks konflik lahan dengan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Temuan studi ini merekomendasikan pengakuan hak atas tanah dan konservasi hutan berbasis adat, alih-alih penunjukan lahan yang bersifat top-down dan pendekatan konservasi yang konvensional. Meskipun temuan kami tidak dapat digeneralisasikan ke semua masyarakat adat, ia mendukung kelangsungan pendekatan inklusif untuk konservasi atau, setidaknya, pendekatan kasus per kasus untuk perlindungan hutan.

Penulis percaya bahwa studi ini akan menjadi referensi yang menarik bagi para pemangku kepentingan yang berfokus pada masalah di mana masyarakat adat memperjuangkan hak mereka atas tanah dan sumber daya hutan, sambil menghadapi tantangan dalam mendorong pengelolaan hutan mereka sehingga menjadi lebih berkelanjutan. Studi ini merupakan publikasi penelitian pertama dari proyek Inisiatif Satu Peta, yang saat ini sedang diperluas ke wilayah/desa adat lainnya di Sumatra Selatan, Papua, dan Papua Barat. Pendekatan proyek dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan lokal di setiap wilayah.

Page 38: MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT ADAT MELALUI … Praktik... · Imbo sungai-lubuk larangan (sungai larangan) - 3 ha Sumber: Berdasarkan data dari proses pemetaan partisipatif,

Wisma PMI lantai 7, Jalan Wijaya I no. 63Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12170Telepon: +62 21 22775816Fax: +62 21 2275825Email: [email protected]