Upload
dinhhanh
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 1
PROGRAM COGNITIVE-BEHAVIOR-ORGANIZATION
MENINGKATKAN KETELITIAN, MENURUNKAN INDEKS
STRES DAN CORTISOL, KARYAWAN BANK "X" BALI
Susy Purnawati
Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
E-mail: s [email protected]
ABSTRACT
In recent years, job stress is a major issue in the field of occupational health.
Awareness of the problem of job stress among managers, employees and
implementing health care began to emerge when the perceived demands of the
increasing pressure of work, job insecurity and feelings of under capability in the
workplace. So it is necessary to apply job stress management program that are
not only important for the productivity and morale but also for the company
image. As well as for the individual or the employees themselves and for the
society in general. Experimental studies have been carried out against 15
employees of a bank in Bali in April to December 2010 which aims to analyze the
increased of vigilance, reduced stress, index and cortisol after the intervention of
CBO (cognitive-behavior organization). The mean age of employees who are
involved in this study were 37 ± 6.1 years with the lowest employment is two
years. The working environment shows the wet temperature range 19.5 degree
Celsius, dry temperature of 25.1 degrees Celsius and relative humidity 60%. After
the intervention program CBO found a significant increase in accuracy (23%)
with a decrease in error, with a value of p = 0.004 (p 0.005). Similarly, the index
of stress (stress index reduced of 19%) with a value of p = 0.024 or p <0.005.
Against the morning blood cortisol decreased by 8% with p value = 0.000 (or p
<0.05).
Key words: job stress, CBO, vigilance
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 2
PENDAHULUAN
Stres kerja dalam bahasa Inggrisnya diistilahkan dalam beberapa term,
yaitu job stres atau work stres atau work-related stres. Stres kerja adalah kondisi
distres (pengertian oleh Selye) atau allostatic load (istilah oleh Mc Ewan, 2007)
yang dihubungkan dengan faktor pekerjan akibat stres fisik maupun psikologis.
Stres kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi produktivitas kerja, performance dan image
perusahaan (Susy Purnawati, 2007).
Beberapa tahun terakhir, stres kerja merupakan isu utama dalam bidang
kesehatan kerja. Sudah terbukti bahwa stres kerja berkontribusi terhadap
terjadinya burnout (Tsai, dkk., 2009),berkembangnya perilaku maladaptasi seperti
minum-minuman keras dan merokok dan kondisi-kondisi kesehatan seperti
depresi, kecemasan, kegugupan, kelelahan, gangguan jantung (Baker dan Karasek,
2000) dan low back pain (Ghaffari, dkk., 2008). Selain itu, stres kerja juga dapat
memicu timbulnya kekerasan di tempat kerja yang pada akhirnya dapat
menurunkan produktivitas kerja dan image perusahaan serta menurunkan
kesejahteraan pekerja (Giga dan Hoel, 2003). Di negara Jepang, proporsi pekerja
yang dilaporkan mengalami kecemasan yang berat, kekhawatiran atau stres
sehubungan dengan pekerjaan atau working life menunjukkan peningkatan dari
53% pada tahun 1982 menjadi 63%pada tahun1997 (Baker dan Karasek, 2000;
Haratari dan Kawakami, 2003). Penelitian oleh Hoel dkk pada tahun 2001
menemukan bahwa sepertiga komunitas pekerja di negara berkembang mengalami
tingkat stres dari tinggi sampai sangat tinggi (Giga dan Hoel, 2003).
Di antara berbagai industri, industri perbankan merupakan industri jasa yang
dituntut dapat memberi layanan yang memuaskan bagi pelanggan. Dalam era
persaingan bisnis dewasa ini, berbagai upaya dilakukan industri perbankan agar
mampu menjadi pemenang dalam persaingan secara berkesinambungan.
Penguasaan teknologi tinggi dan terbaru serta strategi merebut pasar menjadi
perhatian yang serius. Tingginya target penampilan kerja industri ini tentunya
harus didukung oleh kapasitas kerja dan organizational citizenship behavioral
dari karyawannya (Utomo, 2002). Pengetahuan dan keterampilan terbaru
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 3
penerapan teknologi perbankan harus dapat dikuasai dengan cepat oleh karyawan.
Idealnya, tuntutan tugas atau beban kerja harus seimbang dengan kapasitas kerja
karyawan. Jika terjadi ketidakseimbangan dapat berdampak timbulnya stres kerja.
Studi pendahuluan (Susy, 2009) yang dilakukan terhadap 12 orang karyawan
sebuah bank di Bali, mendapatkan informasi bahwa kondisi stres memang
dirasakan oleh karyawan yang umumnya ditandai dengan tanda-tanda gelisah,
uring-uringan, temperamen dan gangguan konsentrasi. Untuk mengantisipasi stres
seorang pekerja memilih mengikuti grup meditasi.
Jika dalam monitoring di tempat kerja ditemukan adanya gejala stres kerja
yang dialami karyawan, maka secara dini perlu dilakukan manajemen yang tepat.
Mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkannya. Program manajemen stres
kerja tidak saja penting bagi produktivitas dan moral maupun image perusahaan,
tetapi juga penting bagi individu atau karyawan sendiri dan masyarakat pada
umumnya. Beberapa bukti manfaat penerapan program manajemen stres terhadap
kondisi kesehatan mental karyawan di Negara Inggris telah diungkapkan oleh
Cooper (1986). Di Indonesia, sampai saat ini upayaupaya penerapan strategi
manajemen stres kerja di masyarakat industri tampak belum memuaskan.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia masih terbatas pada penemuan
fakta-fakta tentang kejadian stres kerja pada karyawan (Ambar, 2004). Belum
sampai kepada penemuan strategi yang efektif sebagai solusi dari kondisi tersebut.
Secara teori aktivitas program manajemen stres kerja bisa dalam bentuk
pencegahan primer, sekunder dan tersier (Cooper dkk., 1986). Jenis aktivitas
program dapat berupa perbaikan kondisi kerja dalam bentuk perbaikan organisasi
atau penerapan ergonomi dan peningkatan kapasitas kepribadian (Munandar,
2001). Dalam penelitian ini, program manajemen stres diberi nama program
cognitive-behavior and organization (CBO). Program manajemen stres kerja
CBO adalah bentuk dari penerapan partisipatori ergonomi yang diintegrasikan
dengan psikologi industri dalam pelayanan kesehatan kerja di perusahaan.
Program ini memadukan upaya-upaya penerapan ergonomi dan peningkatan
kapasitas kepribadian sehingga upaya perbaikan yang dihasilkan nantinya
merupakan satu kesatuan yang utuh dalam aspek kerja dan kapasitas individu
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 4
karyawan. Upaya peningkatan kapasitas kepribadian diharapkan dapat
membentuk mekanisme coping yang adekuat dalam diri individu dalam
menghadapi stresor. Dengan diterapkannya program manajemen stres kerja CBO
diharapkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan stres kerja pada
karyawan dapat dikelola dengan lebih menyeluruh dan berkesinambungan.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui peningkatan ketelitian karyawan
Bank "X" Bali sesudah menjalani program manajemen stres kerja CBO; 2)
mengetahui penurunan indikes stres karyawan Bank "X" Bali sesudah menjalani
program manajemen stres kerja CBO; 3) mengetahui penurunan kadar kortisol
darah karyawan Bank "X" Bali sesudah menjalani program manajemen stres kerja
CBO.
Hipotesis penelitian adalah: 1) program manajemen stres kerja CBO dapat
meningkatkan ketelitian karyawan Bank "X" Bali; 2) program manajemen stres
kerja CBO dapat menurunkan indeks stres karyawan Bank "X" Bali; 3) program
manajemen stres kerja CBO dapat menurunkan kadar kortisol darah karyawan
Bank "X" Bali
METODOLOGI
Penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan sama subjek ini
dilakukan di Denpasar pada bulan April — Desember tahun 2010. Sebanyak 15
karyawan ditetapkan sebagai sampel penelitian yang dipilih secara random
menggunakan teknik undian. Sebelum dan sesudah aplikasi program CBO
dilakukan pemeriksaan Boudon Wiersma test (untuk menilai ketelitian), penilaian
indeks stres menggunakan kuesioner indeks stres dan pemeriksaan kortisol darah
pagi hari. Program CBO dilakukan dengan memberi satu sesi pelatihan di tempat
kerja yang dilakukan pads siang hari selama 90 menit dengan materi yang
diajarkan berupa stres dan dampaknya terhadap kesehatan, menata emosi dan
pikiran, keterampilan manajemen waktu serta latihan relaksasi dalam bentuk mini
progresive muscle relaxation.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan
program CBO dalam menurunkan indeks stres, ketelitian dan kadar kortisol darah
karyawan sebelum dan sesudah intervensi. Temuan yang utama dari penelitian ini
adalah bahwa intervensi tersebut secara signifikan menurunkan indeks stres,
meningkatkan ketelitian dan menurunkan kadar kortisol darah karyawan bank "X"
Bali. Responden dalam penelitian ini memiliki rerata umur 37 ± 6,1 tahun dengan
masa kerja terendah adalah dua tahun, dominan menikah dan memiliki
keperibadian extrovert. Lingkungan kerja menunjukkan kisaran suhu basah 19,5,
suhu kering 25,1 derajat Celcius dan kelembaban relatif 60%. Hasil uji beda
menggunakan uji T -paired dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Beda Indeks Stres, Ketelitian dan Kadar Kortisol Darah
Sebelum dan Sesudah Intervensi Program CBO dengan Menggunakan
Uji T -Paired.
VARIABEL Periode I Intervensi
(Periode II)
Rerata SD Rerata SD t p
Indeks stes pre 66,07 4.55 66,09 4.21 0,991 0,332
Indeks stres post 66,10 4,04 53,38 2,31 3.991 0,024
Ketelitian pre 14,79 5,49 14,68 5,56 1,650 0,079
Ketelitian post 14,69 4.11 11,31 3.565 3.201 0,004
Kortisol darah post 14.03 3,05 12,94 3,07 4,520 0,000
Pengaruh Penerapan Program CBO terhadap Ketelitian
Dalam penelitian ini ditemukan eningkatan ketelitian yang bermakna
dengan adanya penurunan kesalahan yaitu p = 0,004 (p < 0,005) setelah aplikasi
program CBO pada karyawan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi
program CBO meningkatkan ketelitian sebesar 23 %. Temuan ini senada dengan
temuan Shimazu (2003) yang mengaplikasikan lima sesi program manajemen
stres terhadap 24 orang guru dan menemukan bahwa program tersebut dapat
menurunkan respon stres responden yang mengindikasikan perbaikan terhadap
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 6
kemampuan konsentrasi dan berfikir atau mengolah informasi dengan lebih tepat.
Perubahan ini dapat terjadi karena individu lebih mengerti tentang situasi emosi
dan pikiran yang dialami dan sudah memiliki keterampilan coping, terjadi
persepsi yang berbeda di sistem limbik yang terintegrasi dengan pusat kognitif di
area korteks otak) sehingga bisa meningkatkan ketelitian dan akhirnya muncul
respon yang lebih positif. Hal yang sama juga ditemukan oleh (Kobayashi dkk.,
2008) dalam penelitian clinical trial pada industri manufaktur. Kobayashi, dkk
menemukan adanya perubahan stresor yang bermakna pada aspek intrinsik
rewards setelah responden mendapatkan intervensi berupa perbaikan organisasi
secara partisipatori. Richardson dalam penelitian meta analisisnya terhadap 36
buah studi ekperimental tentang efektivitas program manajemen stres dalam
bidang kesehatan kerja, mendapatkan bahwa yang paling menunjukkan efek
maksimal adalah intervensi berupa pembelajaran yang mencakup aspek perubahan
kognitif dan perilaku responden terhadap stres kerja.
Pemahaman yang holistik tentang faktor risiko potensial penyebab stres
kerja sangat membantu dalam merancang isi dari suatu program manajemen stres
kerja tersebut. Analisis beberapa pakar ilmu kesehatan jiwa mengatakan bahwa
proses globalisasi menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi di
berbagai kawasan dunia yang memberikan dampak terhadap perubahan nilai-nilai
sosial dan budaya. Keadaan ini membutuhkan kemampuan penyesuaian dan
mengatasi masalah yang tinggi, disamping dukungan lingkungan yang kondusif
untuk berkembangnya nilai-nilai sosial budaya yang tanggap terhadap berbagai
perubahan. Kondisi demikian sangat rentan terhadap stres, kecemasan, konflik,
ketergantungan obat psikotropika, perilaku seksual yang menyimpang yang dapat
digolongkan sebagai masalah psikososial (Nasution, 2011).
Kondisi stres kerja sangat merugikan dalam hal performance kognitif atau
fungsi intelegensi. Penurunan fungsi kognitif merupakan ancaman terhadap
ketelitian dan penampilan kerja. Buruknya konsentrasi, ketidakmampuan dalam
pengambilan keputusan, mental block, dan penurunan rentang perhatian muncul
akibat stres kerja. Efek peningkatan ketelitian berdampak kepada peningkatan
penampilan kerja mencakup juga pengambilan keputusan-keputusan yang
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 7
kompleks (Guyton dan Hall 2006). Mekanismenya mencakup intervensi terhadap
sirkuit otak di area talamo-kortikal yang menjelaskan bahwa emosi dan inotivasi
berhubungan dengan fungsi intelegensi (area Wernicke). Rangsangan pada pusat
emosi (pada sistem limbik di midbasal otak) dapat mempengaruhi area Wernicke,
area pikiran kompleks termasuk ingatan yang rumit dan mempengaruhi fungsi
kognitif yang juga berperan dalam pengambilan keputusan / performance. Secara
detail, optimaliasi fungsi intelektual di area tersebut mencakup: kemampuan
memecahkan masalah kompleks, mengantisipasi beberapa aktivitas kompleks
secara simultan, perasaan yang mampu bersaing, mampu berfikir yang lama,
emosi stabil, aktivitas-aktivitas fisik lebih bertujuan, respon sosial yang lebih
sesuai, tingkah laku lebih terkendali (karena area otak tersebut berhubungan
dengan korteks asosiasi limbik), performance kemampuan kognitif sangat
cemerlang (berfikir, menganalisis tingkat tinggi, proses berfikir dengan urutan
yang logis dengan cepat, lebih cepat menyelesaikan tugas atau tujuan tanpa rasa
bingung, berperan dalam ingatan aktif, yaitu kemampuan untuk: memperkirakan
masa depan, membuat rencana untuk masa yang akan datang, perlambatan kerja
sebagai respon terhadap sinyal sensorik yang masuk sehingga informasi sensorik
ini dapat dipertimbangkan sampai bentuk respon yang terbaik diputuskan,
mempertimbangkan akibat kerja motorik bahkan sebelum kerja tersebut
dilakukan, menyelesaikan masalah yang kompleks, menganalisis fenomena dan
mengendalikan aktivitas dalam kaitannya dengan hukum dan moral (Guyton dan
Hall, 2006). Secara teori penurunan kekuatan fisik sudah terjadi mulai umur 30
tahun dan kemampuan fisiologis menurun secara bermakna pada umur 44 tahun.
Sehingga kemampuan untuk mengantisipasi beban kerja fisik maupun mental
berkurang dan penurunan psycho physical fitness akibat pengaruh umur ini dapat
berakibat risiko circadian fatigue lebih cepat muncul. Literatur lain mengatakan
bahwa antara umur 25-60 tahun ada penurunan kapasitas fisik seseorang.
Kekuatan otot menurun 25% dan kapasitas sensoris motoris 60%. Berbagai
perubahan biologis terjadi sejalan dengan penambahan umur yang berpengaruh
kepada kemampuan seseorang melakukan pekerjaan. Secara teori terdapat
pengaruh faktor life style, kebugaran jasmani dan perbedaan faktor individual atau
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 8
perbedaan individual coping strategies pada seseorang yang juga dapat
berpengaruh terhadap tingkat kelelahan umum sejalan dengan pengaruh umur.
Seseorang yang berumur di atas 30 tahun bisa saja memiliki tingkat kelelahan
yang lebih rendah dari orang yang berumur kurang dari 30 tahun dengan beban
pekerjaan yang sama apabila tingkat kebugaran jasmaninya lebih baik. Faktor
tingkat pendidikan secara teori dapat mempengaruhi kelelahan oleh karena faktor-
faktor tersebut yang merupakan personal characteristic factors dapat
mempengaruhi employees values dan job expectations. Pekerja dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap
tugas dan faktor-faktor stres lainnya ditempat kerja. Mereka akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan masalah-masalah ataupun tugas
di tempat kerja sehingga memiliki kapasitas yang lebih besar dalam
mengantisipasi kelelahan. Secara teori terdapat pengaruh proses pembelajaran di
tempat kerja yang dapat menutupi pengaruh perbedaan status pendidikan terhadap
persepsi pekerja terhadap beban pekerjaan. Hal ini secara tidak langsung dapat
mempengaruhi tingkat kelelahan. Pekerja-pekerja dengan tingkat pendidikan lebih
rendah tetapi memiliki kemampuan adaptasi tinggi akan dengan cepat belajar
bagaimana mengantisipasi tugas-tugas yang harus dijalankan sehingga akan
memiliki persepsi yang lebih baik terhadap tugas-tugas tersebut. Maka tingkat
kelelahan bagi pekerja-pekerja ini bisa menjadi lebih rendah.
Pengaruh Program CBO terhadap Indeks Stres
Setelah intervensi program CBO ditemukan penurunan indeks stres
sebesar 19 %) dengan nilai p = 0,024 atau p < 0,005. Dengan adanya program
CBO berdampak dilakukannnya perbaikan kondisi kerja dan berefek terhadap
image karyawan terhadap organisasinya, atau dengan kata lain terbentuk
citizenshif behavior organization yang lebih positif. Intervensi yang sampai
kepada core belief individu melalui cogtitive restructuring dapat mengarahkan
individu untuk mengubah mood yang negatif dan cara berfikir yang salah
(distorsi) menjadi individu yang selalu berfikir dan berperasaan (memiliki mood)
yang lebih positif, sehingga pada akhimya berperilaku yang lebih positif terhadap
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 9
stresor yang berhubungan dengan efek job demands. Pada akhirnya efek yang
terjadi adalah penurunan indeks stres.
Efektivitas program ini sejalan dengan pendapat Abbatt (1992) yang
mengatakan bahwa metode dan situasi pembelajaran sangat mempengaruhi efek
perubahan sikap. Training atau pelatihan bagi pekerja sangat mempengaruhi
suasana organisasi ke arah lebih positif. Dengan adanya pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan perusahaan untuk pekerja, selain dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan juga dapat meningkatkan semangat kerja. Pekerja
akan terhindar dari suasana kemonotonan dan kebosanan sehingga mempunyai
kapasitas yang lebih besar untuk mengantisipasi beban kerja mental maupun fisik
serta efek kelelahan. Latihan pendahuluan untuk membentuk keterampilan harus
dilakukan terutama kalau satu teknologi baru mulai diperkenalkan. Pelatihan yang
tepat dapat meningkatkan produktivitas kerja dan dapat menimbulkan lingkungan
kerja yang lebih aman serta sikap mental yang lebih positif.
Pengaruh Program CBO terhadap Kadar Kortisol Darah
Beberapa peneliti menemukan bahwa kondisi akumulasi stres dapat dilihat
dari peningkatan kadar kortisol darah pagi hari (Schulz dkk., 1998; Wust dkk.,
2000, dalam Sonnentag dan Fritz, 2006; Pruessner dkk., 2003). Toivanen dkk.
(1996), dalam Sonnentag dan Fritz (2006), dalam penelitiannya mengukur kadar
kortisol pagi hari pada pekerja bank, pembantu rumah tangga dan petugas
kebersihan rumah sakit, akan tetapi tidak menemukan gambaran yang jelas
tentang hubungan antara kadar kortisol dengan beberapa variabel sebagai bukti
adanya kondisi stres. Berbeda halnya dengan penelitian oleh Brandstadter dkk.
(1991), dalam Sonnentag dan Fritz (2006), yang menemukan peningkatan kadar
kortisol pagi hari pada pekerja-pekerja yang terpapar stres berkepanjangan.
Theorel dkk., meneliti 150 pekerja dari berbagai profesi, dan menemukan kortisol
pagi hari yang lebih tinggi pada pekerja profesi dokter (Sonnentag dan Fritz,
2006). Dengan masih adanya ketidakkonsistenan hasil-hasil penelitian yang
melihat hubungan antara kadar kortisol dan kondisi stres pada pekerja maka
tentunya masih sangat dibutuhkan penelitian-penelitian dengan sampel yang lebih
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 10
besar yang sifatnya penelitian longitudinal untuk bisa membuktikan adanya
hubungan tersebut.
Dalam penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kortisol darah pagi hari
terhadap responden dan ditemukan adanya perbedaan kadar kortisol darah yang
bermakna antara sebelum dan sesudah program CBO, nilai p = 0,000 (p < 0,05).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi CBO menurunkan kadar
kortisol darah pagi hari sebesar 8 %. Rerata kadar kortisol darah responden
sebelum perlakuan sebesar 14,03 tg/dl (SB = 3,05) menyerupai kadar kortisol
darah para tenaga kesehatan yang menjadi responden dalam penelitian Kawaguchi
dkk. (2007) yaitu sebesar 13,7 tg/dl (SB = 5,1). Temuan dalam penelitian ini
senada dengan temuan Theorel dkk. (2001) pada penelitian eksperimennya
dengan intervensi berupa pemberian pelatihan manajemen stres dua kali seminggu
masing-masing dua jam dalam tiap sesi selama setahun kepada supervisor
perusahaan asuransi. Theorel, dkk menemukan penurunan kadar kortisol darah
yang sigifikan pada 155 orang pada kelompok intervensi dan tidak ada perubahan
pada 147 orang pada kelompok kontrol (nilai p = 0,002). Evolahti dkk. (2006)
dalam studi longitudinalnya yang mengikuti 100 orang responden di Swedia
selama dua tahun merekomendasikan beberapa faktor yang dapat menjadi
intervensi untuk menurunkan kadar kortisol darah karyawan adalah peningkatan
awareness tentang kondisi psikososial ditempat kerja, peningkatan dukungan
sosial dan pengaturan kembali tuntutan kerja yang tinggi. Apa yang
direkomendasikan oleh Evolahti dkk, tentunya sesuai dengan isi program Ergo-
JSI terutama aspek perubakan kondisi kerja dan peningkatan pemahaman
karyawan tentang kondisi stres kerja dan mekanismenya dalam tubuh. Sebelum
dapat menentukan parameter biologi terkini yang sangat akurat dalam
menggambarkan kondisi stres kerja pada karyawan, mengetahui kadar kortisol
dalam darah karyawan yang terpapar stres merupakan hal yang penting. Karena
kortisol yang tinggi dalam darah dapat berakibat timbulnya berbagai masalah
kesehatan, diantaranya: meningkatkan lemak abdomen, gangguan penampilan
kognitif, meningkatkan kadar gula darah, menurunkan densitas tulang,
meningkatkan tekanan darah, menurunkan imunitas tubuh dan respon terhadap
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 11
inflamasi dengan berbagai konsekuensinya (Hanson dkk., 2000; Hanson dkk.,
2008). Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, peningkatan kadar kortisol
dalam tubuh diatur oleh mekanisme kontrol yang melibatkan pusat-pusat kontrol
di otak maupun oleh kadar kortisol sendiri di dalam darah. Stres mental dapat juga
segera menyebabkan peningkatan sekresi ACTH. Keadaan ini dianggap sebagai
akibat dari naiknya aktivitas dalam sistem limbik, khususnya dalam regio
amigdala dan hipokampus, yang keduanya kemudian menjalankan sinyal ke
bagian posterior medial hipotalamus. Berbagai stres dapat mengaktifkan seluruh
sistem untuk menyebabkan timbulnya pelepasan kortisol dengan cepat, dan jika
masih dalam rentang kondisi terkontrol kortisol ini selanjutnya akan menginduksi
suatu rangkaian efek metabolisme yang akan langsung mengurangi sifat
pengerusakan dari keadaan stres itu. Sebagai tambahan, juga ada umpan balik
langsung dari kortisol terhadap hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior untuk
menurunkan konsentrasi kortisol dalam plasma sewaktu tubuh tidak mengalami
stres. Akan tetapi, rangsangan stres itu sebenarnya merupakan salah satu
rangsangan terkuat; rangsangan ini selalu dapat mematahkan umpan balik
penghambat langsung dari kortisol, sehingga akan menyebabkan timbulnya
eksaserbasi periodik dari sekresi kortisol pads berbagai waktu selama satu hari
atau pemanjangan sekresi kortisol dalam keadaan stres kronik.
Menurut Guyton dan Hall (2006), temyata sebagian besar stresor dalam
kehidupan kita sehari-hari bersifat psikososial. Walaupun mobilisasi cepat
sumber-sumber daya tubuh memang tepat untuk menghadapi cedera fisik baik
yang masih bersifat sebagai ancaman atau yang sudah terjadi, secara umum hal
tersebut kurang sesuai untuk respon terhadap stres non fisik. Apabila tidak
diperlukan energi tambahan, tidak ada kerusakan jaringan, dan tidak ada
pengeluaran darah, penguraian cadangan energi tubuh dan retensi cairan
merupakan tindakan yang sia-sia, bahkan merugikan bagi individu yang
mengalami stres. Pada kenyataannya, terdapat bukti-bukti tidak langsung yang
kuat yang menghubungkan antara pajanan stresor psikososial kronik dan
berkembangnya keadaan patologis, misalnya aterosklerosis dan tekanan darah
tinggi, walaupun hubungan sebab dan akibatnya masih perlu dibuktikan lebih
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 12
lanjut. Akibat respon stres yang tidak digunakan akan dapat dijelaskan secara
logis dampak yang dapat ditimbulkannya sehubungan dengan kondisi patologis
yang muncul akibat stres tersebut (Guyton and Hall, 2006). Dalam penelitian ini,
pemeriksaan kortisol dilakukan pagi hari. Hal ini didasari juga bahwa sekresi
kortisol bervariasi mengikuti pola diurnal harian. Sekresi tertinggi terjadi pada
pagi hari yang kemudian menurun sampai kadar terendah pada tengah malam
Penyimpangan sekresi kortisol dari pola siklus diurnal menjadi dasar informasi
sehubungan dengan pengaruh lingkungan, termasuk stres kerja, terhadap HPA-
axis dan peran HPA-axis tersebut terhadap proses-proses penyakit (Stone dkk.,
2001).
Dalam CBO kondisi kerja dikondisikan menjadi lebih ergonomis dan
mengajarkan individu agar mengerti dan lebih mengenali kondisi emosi maupun
pikiran, serta mengajarkan karyawan melakukan relaksasi secara teratur terutama
saatsaat merasakan adanya tekanan. Hal ini dapat mengubah persepsi yang
diterima oleh sistem limbik otak sehingga berdampak kepada lebih optimalnya
fungsi kognitifdan respon lanjutan pada system HPA-axis dan SAM-axis menjadi
lebih terkontrol sehingga kadar kortisol darah pagi hari turun yang menjadi efek
dari intervensi. Kondisi homeostasis ini sangat dibutuhkan oleh karyawan yang
memiliki kemungkinan-kemungkinan mengalami stres akut selama waktu kerja
akibat tuntutan beban pekerjaan yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif.
Lonjakan kadar kortisol darah karyawan yang telah mendapatkan efek intervensi
CBO dapat mengendalikan kadar kortisol darah agar tidak sampai kepada kondisi
yang patologis yang terutama berdampak kepada sistem metabolisme energi dan
sistem imunitas tubuh.
Temuan penelitian ini yang memakai marker biologi kadar kortisol darah
untuk menilai efek aplikasi program manajemen stres secara objektif tentunya
masih perlu mendapat penguatan-penguatan dari studi-studi lainnya.
Kecenderungan perkembangan studi-studi tentang stres kerja ke depan adalah
pemakaian marker-marker biologi sebagai parameter objektif yang handal untuk
menilai kondisi stres kerja maupun efek program manajemennya secara akurat
dan aplikatif.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 13
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang dikaji berdasarkan literatur yang
mendukung dan temuan dalam penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)
Intervensi program CBO menurunkan indeks stres karyawan bank "X" Bali; 2)
Intervensi program CBO meningkatkan ketelitian karyawan bank "X" Bali; 3)
Intervensi program CBO menurunkan kadar kortisol darah karyawan bank "X"
Bali.
Beberapa hal yang dapat disarankan setelah penelitian ini adalah: 1) masih
dibutuhkan penelitian-penelitian yang lebih besar dan menemukan suatu
kreativitas yang tinggi untuk merancang sebuah program yang sesuai dengan
kondisi perusahaan dan diadopsi oleh karyawan; 2) untuk dapat memaksimalkan
efektivitas program, dalam merancang suatu program manajemen stres kerja
komponen perbaikan kondisi kerja hendaknya disesuaikan; dengan jenis
permasalahan yang ada yang benar-benar sudah dianalisis dengan teliti dan
prioritas aplikasinya ditetapkan secara partisipatori bersama pihak perusahaan.
Mengingat kondisi kerja sangat beragam dengan berbagai variasi faktor-faktor
yang berhubungan dengan stres kerja; 3) program hendaknya benar-benar dapat
menjadi suatu customer need yang sudah mempertimbangkan berbagai aspek
secara holistik agar program dapat diaplikasikan secara berkesinambungan dan
dapat sampai membentuk suatu corporate culture yang positif. Untuk itu
dibutuhkan pembentukan komitmen yang sungguh-sungguh kepada pihak
perusahaan untuk merasa perlu melakukan program pencegahan dengan
menerapkan program manajemen stres di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, D.B. and ,Karasek R.A., 2000. Stress. Occupational Health, Recognition
and Preventing Work-Related Disease and Injury 4th
Ed. USA: Lippincot
Williams Wilkins. pp. 419-36
Cooper, C.L., Dewe, P. and O'Driscoll, M.P. 1986. Organizational Stress:
AReview and Crique of Theory, Research, and Applications. UK: Sage.
Available from: URL: http// www.polaris.com.Akses 16/09/ 2009
Evolahti, A., Hultcrantz, M., and Collins, A. 2006. Women's work stress and
cortisol
levels: a longitudinal study of the association between the psychosocial work
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 14
environment and serum cortisol. Journal of Psychosomatic Research, 61: 645 –
652
Ghaffari M., AlipourA., Farshad AS., Jensen I., Josephson M., and Eva Vingard.
2008. Effect of psychosocial factors on low back pain in industrial workers.
Occupational Medicine. Oxford University Press
Giga, S.I. and Hoel, H. 2003. Violence and Stress at Work in Financial Services.
Geneva: ILO.
Guyton & Hall. 2006. Adrenocortical Hormones. In Textbook of Medical
Physiology 7 ed. Philadelphia, Pensylvania: Elsevier Inc.
Hanson, E.K.S., Maas, C.J.M., Meijman, T.F., Godaert, GL.R. 2000. Cortisol
secretion throughout the day, perceptions of the work environment, and
negative affect. Ann Behav Med; 22 (4): 316 – 324.
Hansson,A.S., Vingard, E.,Arnetz, B.B. and Anderzen, I. 2008. Organizational
change, health, and sick leave among health care employees: a longitudinal
study measuring stress markers, individual, and work site factors. Work &
Stress, A Journal of Work, Health and Organization, 22 (1), January-March.
Haratari, T. dan Kawakami, N. 1999. Internatinal Perspective. Work Stress and
Health'99. Available from: URL: http://www.cdc.gov/niosh Aksestanggal
1/7/10.
Kawaguchi, Y., Toyomasu, K., Yoshida, N., Baba, K., Uemoto, M., Minota, S. 2007.
Measuring job stress among hospital nurses: an attempt to identify biologycal
markers. Fukuoka Acta Med, 98 (2): 48 – 55.
Kobayashi Y., Kaneyoshi A., Yokota A., Kawakami N. 2008. Effects of Worker
Participatory Program for Improving Work Environments on Job Stressors and
Mental Health among Workers: A Controlled Trial. (Journal of Occupational
Health; Vol 50 (6), November: 455-70
Kunz-Ebrecht, SR., Kirschbaum, C., and Steptoe, A. 2004. Work stress,
socioeconomic status and neuroendocrine activation over the working day.
Social Science & Medicine, 58: 1523 — 1530.
McEwan, B.S.2007.Physiology and Neurobiology of Stres and Adaptation:
Central Role of teh Brain. Physiol Rev. American Physiological Society;
87:873-904.
Munandar, A.S.2001. Stres dalam Pekerjaan. Psikologi Industri & Organisasi.
UIP
Nasution, H.2011. Manajemen Risiko Psikososial di Tempat Kerja. 22-23
September. Kuta-Bali:Depnakertrans-perdoki.
Shimazu, A., Umanodan, R., dan Schaufeli, W.B.2006. Effect of brief worksite
stres manajemen program on coping skills, psychological distres and physical
complaints: a controlled trial. Int Arch Occup Environ Health, 80:60-69.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224 ISSN : 2087-7641 15
Sonentag, S., dan Firtz, C.2006.Endocrinological Processes Associated with Job
Stres: Cathecholamine and Kartisol Responses to Acute and Cronic Stressor.
Employee health, coping and Methodologies Research in Occupational Stres and
Wellbeing. Elsevier Ltd. Volume 5.p. 1-59.
Steptoe, A.,OE, Hill,D.P.,Cropley,M., Griffith, J., and Kirschbaum, C.2000. Job
strain and anger ekspression predict early morning elevation in salivary
cortisol. Psychosomatic Medicine, 62:286-292.
Susy.2007. manajemen Stres Kerja dan Penampilan Kerja. Majalah Kedokteran
Udayana. Vol.38 September
Susy.2009. work Ability Index,Job Satisfaction dan Indeks Stres pada karyawan
Bank ―X‖ Bali.
Tsai, F.J., Huang, W.L., Chan, C.C.2009. Occupational Stres and Burnout. J
Occup Health; 51:443-450.
Utomo, K.W.2002. Kecenderungan Kepemimpinan Transaksional dan
Transformasional, dan Hubungannya dengan Organizational Citizenship
Behavior, Komitmen Organisasi, dan Kepuasan Kerja. Journal Riset Ekonomi
dan Manajemen. Surabaya. Vol.2. No.2. hal.34-52.