186
i MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL TESIS Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh: Norita Novalina Sembiring NIM: 086322010 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

i

MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI:

STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG

BERIBADAH DI GEREJA MAL

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Norita Novalina Sembiring

NIM: 086322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Norita Novalina Sembiring

Nomor Mahasiswa : 086322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada

Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan

secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 25 November 2010

Yang menyatakan

(Norita Novalina Sembiring)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “MENGGEREJA DALAM

MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG

BERIBADAH DI GEREJA MAL merupakan hasil karya dan penelitian saya

sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian karya-karya

sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah

sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 28 Oktober 2010

Norita Novalina Sembiring

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

vi

MOTTO

Seorang ilmuwan dari India, Manmohan Singh,

pernah bertutur :

“ Tuhan menganugerahiku ketenangan

untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah,

keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah,

dan kebajikan untuk mengetahui perbedaannya.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

vii

PERSEMBAHAN

Untuk masa dan asa

yang memproses tiap

langkah menjadi penuh

arti…

Terurai kata

T e r i m a k a s i h …

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

viii

KATA PENGANTAR

Hidup ibarat perjalanan panjang yang ditempuh dari satu titik ke titik lain.

Katanya dalam perjalanan itu ada tiga tahap yang biasanya dialami, yaitu start, dead

point dan second wind. Dengan penuh semangat kita memulai perjalanan itu. Namun,

setelah jauh berjalan kita mulai merasa kelelahan. Kita menatap ke belakang dan

mengukur berapa jauh kita sudah berjalan. Akan tetapi, perjalanan itu belum selesai.

Kita masih setengah jalan, atau bahkan masih seperempat jalan. Oleh karena itu,

timbullah kejenuhan. Dalam kejenuhan ini kita bisa saja menjadi putus asa dan hilang

harapan. Tahap ini disebut dead point. Kalau kita membiarkan diri berada pada tahap

ini, maka sirnalah sudah impian untuk sampai pada garis finish. Lalu, bagaimana

supaya kita tidak jatuh pada tahap ini? Ada yang bilang segeralah bangkit, lalu

berjalanlah. Ingatlah bahwa perjalanan ini harus diselesaikan. Tahap ini disebut tahap

second wind, ibarat mendapatkan angin segar, kita kembali bergairah untuk

menuntaskan perjalanan panjang ini.

Bagi saya, studi di Magister Program Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Sanata

Dharma, ibarat perjalanan panjang mengalami tiga tahap tadi. Awal masuk di kampus

ini, semangat saya begitu membara, mengindam-idamkan “Santapan Harian” yang

disuguhkan oleh dosen-dosen di sini. Di perjalanan itu, ternyata proses

menyelesaikan tesis adalah bagian terberat. Katanya, menyelesaikan tesis perlu

kedisiplinan, ketekunan, dan juga ketenangan. Akan tetapi, rasa jenuh, bosan, malas

mulai menggerayangi semangat yang membara tadi. Saya tidak punya kekuatan yang

cukup untuk menjaga konsistensi semangat dan daya. Namun, sampai kapan harus

begini? Akhirnya, angin segar itu datang menghampiri saya dan memberikan

kekuatan baru untuk menuntaskan semuanya. Bagian kitab dari Mazmur menuturkan,

“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan

jiwaku”. Akhirnya, saya menuntaskan proses penulisan tesis ini. Wah, lega sekali

rasanya. Terimakasih untuk Sang Pengirim angin segar ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

ix

Saya sangat bersyukur memiliki orangtua yang mendukung saya dalam proses

“petualangan ilmu” di IRB. Terimakasih untuk Mamak dan Bapak yang selalu

mengerti dan mendukung saya. Semua dukungan itu tentu tak pernah bisa

terbalaskan. Karena memang semua pengorbanan Mamak dan bapak tak ternilai oleh

apapun juga.

Proses “meramu” dan “memasak” setiap teori yang didapat di IRB juga tak

lepas dari kepiawaian tiap dosen yang mengampu mata kuliah menurut bidangnya

masing-masing. Rasa terimakasih ini khususnya juga dialamatkan pada dosen

pembimbing saya, Dr. St. Sunardi, yang telah memperkenalkan fenomena-fenomena

sosial yang sangat menarik untuk dicermati dan diteliti dalam perkembangan

masyarakat. Tips “memasak” data berdasarkan kerangka konseptual yang dipilih

menjadi bagian yang paling mendebarkan untuk dikerjakan. Terimakasih untuk

kesediaan Bapak berbagi tips itu. Terimakasih juga untuk Mbak Henkie yang setia

mengurus keperluan mahasiswa. Tak lupa untuk Mba Devi, yang dengan cermat

mengomentari kesalahan teknis dan logika kalimat dalam tesis ini.

Saya juga mengucapkan terimakasih untuk gereja saya, Gereja Batak Karo

Protestan (GBKP), khususnya yang ada di Yogyakarta dan Semarang. Dua gereja ini

telah menjadi lokus saya bertumbuh dan berkembang dalam panggilan pelayanan,

sementara saya kuliah di Yogyakarta. Pengalaman berjemaat di dua tempat ini telah

memberikan pengalaman baru bagi saya memaknai setiap panggilan Tri Tugas

Gereja.

Dua tahun di Yogyakarta telah pula menambah khazanah pertemanan saya.

Gak kebayang sebelumnya akan bertemu dengan teman-teman IRB 2008 yang “asoy

geboy”. Monik [thanx untuk persahabatan kita, yuks lembur bareng, hehe], Tika

[teman kenalan pertama di IRB, hidup Lekra!!!], Aik [wualahh diet kita piye iki?],

Doan [ingat ya, kronothesis, hehe], Mbak Rini [kapan aku diajarin Yoga?], Hikmah

[argumentasinya setajam silet], Herlina [lama tak bersua, kemana dirimu?], Bang

Inyiak [thanx ya udah mau jadi “dosen wali” di luar perkuliahan resmi], Son [thanx

untuk wacana pendidikan ala anak PeJaBati], Mas Danang [ibu pendeti ini pergi dulu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

x

ya, heheh], Mas Wahyu [sebenarnya gimananya sih mas, kog aku gak ngerti?], Hadid

[diam-diam tapi paper selalu jadi duluan], Manda [ketemu di Medan ajalah kita ya].

Kalian semua telah memberi warna dalam memaknai arti hidup dalam keberagamaan.

Jangan lupa update milis ya, hehehe.

Pertemanan ini juga semakin kaya dengan interaksi bersama teman-teman

Permata di Jogya: Cobra (Wansa, Tinus, Thomas, Sanusi, Charlie, Eme, Citra, Tere),

bujur melala ya dek untuk setiap cerita yang terjalin di dalam kebersamaan kita.

Semoga kita bisa bertemu dalam event-event lainnya (walahhh cem betol aja,

hehehe). Kelto (Kelompok Teologi Karo), terimakasih untuk diskusi-diskusi kita

tentang arti pelayanan yang sesungguhnya, meskipun kakak hanya bisa datang dua

kali saja dalam pertemuan Kelto. Secara keseluruhan, terimakasih untuk semua teman

Permata GBKP Rg. Yogyakarta, khususnya Pengurus Permata, bujur untuk

rekomendasinya ya. It means a lot gie.

Memaknai arti pertemanan yang sesunguhnya, tak akan pernah lengkap

sebelum mengucapkan satu nama ini, Sony Tarigan. Terimakasih untuk semuanya.

Untuk kam, gak ada kata yang cukup untuk mengungkapnya. Rasa terimakasih yang

mendalam juga saya ucapkan pada mereka, yang selalu bertanya, “Ta, kapan

pulang?” yang ternyata mampu menumbuhkan semangat dan motivasi untuk suatu

pertemuan yang sangat dirindu dan didamba.

Proses penulisan ini bisa rampung oleh karena dukungan mereka, orang-orang

yang saya hormati, hargai, dan sayangi yang hadir dalam “nuansanya” masing-

masing. Selamat membaca karya ini. Selamat bertamasya dalam fenomena ibadah

dan belanja yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi. Kiranya tulisan ini

bisa bermanfaat bagi kita yang hidup dalam produksi budaya yang berkembang dari

waktu ke waktu.

Akhir Oktober 2010

Norita Novalina Sembiring

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERNYATAAN iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

MOTTO vi

PERSEMBAHAN vii

KATA PENGANTAR viii

ABSTRAK xi

DAFTAR ISI xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang 1

2. Rumusan Masalah 8

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9

4. Tinjauan Pustaka 10

5. Kerangka Teori 14

6. Metode Penelitian 22

7. Sistematika Penulisan 25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xii

BAB II GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI

DI INDONESIA 28

1. Gereja dan Pasar 29

2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia 30

3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet 35

4. Kesimpulan 42

BAB III IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN

DAN BELANJA YANG MENGGAIRAHKAN 45

1. Mal sebagai One Stop Service 46

2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa 50

2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda 51

2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda 57

2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta 62

3. Pola Ibadah di Gereja Mal 65

4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal 73

5. Kesimpulan 80

BAB IV REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA

DI GEREJA MAL 82

1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal 83

1.1 Bahasa Tubuh 84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xiii

1.2 LCD dan Alkitab Elektronik 93

1.3 Bahasa Roh 95

1.4 Gaya Berpakaian 102

1.5 Belanja di Mal 103

2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu 108

2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik 111

2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD 115

2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya 119

2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona 120

3. Kesimpulan 128

BAB V PENUTUP 132

DAFTAR PUSTAKA 137

LAMPIRAN

Transkripsi Wawancara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xiv

ABSTRAK

Selama ini gereja dan pasar sering ditempatkan dalam posisi antagonistik.

Kini, posisi itu tampaknya sudah bergeser: tidak antagonistik lagi melainkan malah

berduet dengan harmonis. Penelitian ini mengkaji fenomena pergeseran tersebut.

Gereja dan pasar, dua hal yang dipahami secara berbeda, dalam kenyataannya

sekarang ini bergabung menjadi satu. Sadar atau tidak sadar manusia tidak bebas

memilih apa yang diinginkannya, melainkan mensintesakan pilihan-pilihan tersebut.

Dalam penelitian ini, pilihan tersebut adalah soal ibadah dan belanja.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena di atas, ada beberapa

masalah yang akan dijawab, yaitu bagaimana proses pembentukan gereja di mal,

sejauh mana model bergereja di mal menyerupai model konsumsi, dan realitas sosial

seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja di mal? Melalui dinamika ibadah

dan konsumsi di gereja mal kita akan melihat budaya massa yang berkembang saat ini

sebagai ciri dari masyarakat konsumsi.

Untuk mendukung pencarian jawaban atas fenomena di atas, penulis

melakukan penelitian lapangan di Jakarta dan Yogyakarta. Data empirik sangat

penting untuk mengetahui pengalaman orang-orang yang selama ini belum terjangkau

oleh konsep-konsep tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis

menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Melalui

metode ini, penulis akan menemukan bagaimana kegairahan ibadah dan belanja

dalam pesona mal. Data yang diperoleh dalam penelitian lapangan akan diolah

dengan bantuan dari kerangka teoretis yang diambil dari Interaksionisme Simbolik

karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi Jean Baudrillard.

Akhirnya, penelitian ini menemukan beberapa temuan yang menarik untuk

dicermati. Temuan-temuan itu antara lain: adanya kemiripan dalam pola beribadah

dan pola berkonsumsi di gereja mal. Kemiripan itu tampak lewat besarnya hasrat

beribadah dan pemuasan yang diperoleh dalam beribadah di gereja mal serta

kepuasan hasrat belanja dalam konsumsi barang-barang yang dipamerkan di toko-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xv

toko yang terdapat di mal. Gereja mal juga melahirkan suatu realitas sosial baru bagi

cara menggereja (ekklesiologi) umat yang datang ke sana, jika dibandingkan dengan

gereja-gereja arus utama. Orang terhisap masuk menjadi bagian dari komunitas bukan

hanya berdasarkan keimanan atau kebutuhan, melainkan berdasarkan interaksi

simbolis dan nilai tanda konsumsi yang ditafsirkan dalam pola-pola hubungan

seorang dengan yang lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xvi

ABSTRACT

During times, the church and the marketplace are often placed in antagonistic

positions. Now, that position seems to have shifted: no longer antagonistic but even a

duet with harmony. This research examines the shifting phenomenon. Church and

market, two things that were understood differently, in fact now joined into one.

Conscious or not, human beings are not free to choose what they want, but

synthesizes these choices. In this research, the choice is a matter of worship and

shopping.

There are several issues to be answered to know about the phenomenon: the

process of establishing the church at the mall, the extent of the in-mall church model

resembles the model of consumption, and the kind of social life realities that was

born through the in-mall church pattern. Through the dynamics of in-mall church

worship and culture of consumption, we will see a mass culture that was growing as a

hallmark of consumptive society today.

To support the search for answers to this phenomenon, I conducted field

research in Jakarta and Yogyakarta. I believe that empirical data is very important to

know people experiences that so far have not been answered by certain concepts.

Therefore, in this research, I use interviews and observations directly in the field as

methods. Through this method, I will find people excitement and how they got

enchanted by the way of worship and shopping malls. The data which was obtained

in field will be processed with the help of a theoretical framework drawn from the

theory of symbolic interactionism by George Herbert Mead and the Sociology of

Consumption by Jean Baudrillard.

Finally, this research found some interesting findings to be observed. The

findings include: the similar pattern of in-mall church worship and consumption in

mall. Similarities were looked from the desire and satisfaction gained within the

worship in an in-mall church as well as satisfaction and desire in the consumption of

goods that were displayed in stores within shopping malls. In-mall church also gave

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

xvii

birth to a new social reality of how people go to in-mall church (ecclesiology)

compares to the main stream churches. People who get into a part of the community

were not based on faith or needs only, but by the symbolic interaction and sign of

consumption values that were interpreted in patterns of relationship one with the

other.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

Bab I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Apa yang terbersit dalam pikiran kita jika mendengar kata “gereja”?

Mungkin kita akan menjawab, gedung atau bangunan, rumah ibadah, dan Kristen.

Gereja identik dengan suatu bangunan, besar, kecil atau sedang yang terbuat dari

beton atau setengah papan yang terletak di lahan tertentu dan biasanya dekat

dengan pemukiman penduduk. Di bagian depan biasanya ada papan penanda

nama gereja dan denominasinya (alirannya), serta lambang salib di atasnya.

Karena terletak di lahan tertentu, beberapa gereja memiliki halaman yang cukup

luas yang bisa dipakai untuk tempat parkir, untuk acara kebersamaan umat, atau

sebagai tempat berjualan untuk mencari dana. Tak hanya identik dengan gedung

atau bangunan, gereja juga identik dengan kumpulan orang, khususnya kumpulan

orang-orang Kristen yang bertemu satu dengan lainnya dalam satu kesempatan

yang dimaknai sebagai Dominggos, Hari Tuhan atau hari Minggu. Memaknai

gereja sebagai suatu tempat pertemuan yang membahas tentang Tuhan, maka

gereja mengartikulasikan banyak kegiatannya pada persoalan Yang Kudus di

dalam ibadahnya.

Gereja umumnya berada di wilayah tertentu dan dekat dengan pemukiman

penduduk. Namun, pada kenyataannya, kini gereja berada di tempat-tempat lain,

misalnya di hotel, aula perkantoran, Rumah Toko (RuKo), juga di mal. Yang

terakhir, menjadi fenomena yang sangat menarik untuk diteliti karena mal yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

2

merupakan pasar modern, adalah suatu tempat yang secara sadar dipahami sangat

bertolak belakang dengan hakekat “kekudusan” gereja. Gereja yang terhisap

dalam geliat pasar modern ini agaknya melahirkan karakteristik gereja yang baru,

yang dalam penelitian ini, penulis mencoba memberi nama atas fenomena

tersebut. Gereja dan pasar yang pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak

mungkin digabungkan, kini malah bergabung dan menjual daya pikat kepada

orang yang mengunjunginya. Ada gaya baru yang ditawarkan lewat munculnya

gereja di mal, kendatipun kita tidak dapat menangkis kenyataan soal sulitnya

memperoleh ijin untuk mendirikan rumah ibadah di tempat “yang umum” tadi.

Kedudukan ibadah dalam gereja menjadi bagian yang sangat penting

karena untuk itulah orang datang ke gereja. Dalam ibadah inilah makna

kebersamaan dan perkumpulan umat Kristen diartikulasikan. Ibadah adalah

perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan

mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.1 Secara etimologis,

ibadah berasal dari kata Arab abdi (`i-ba-dah), yang pengertiannya sama dengan

pelayanan. Sementara itu, leitourgia dalam kata Yunani di dalam Alkitab

Perjanjian Baru adalah terjemahan dari kata Ibrani `abodah, yang menunjukkan

peng-abdi-an atau pe-layan-an. Ibadah/liturgi/bakti sebenarnya mempunyai

pengertian luas yang meliputi seluruh hidup, yaitu bagaimana sikap dan tingkah

laku kita di hadapan Tuhan.2 Umat menggunakan kata ibadah dengan pengertian

yang sangat sederhana, yaitu pergi ke gereja. Di gereja, yang bertugas melayani

1 Dedy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), h. 565. 2 H.A Van Doop, ”Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT

Jakarta ke-75, 27 September 2009 di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

3

umat adalah kaum klerus, pendeta, penatua, diaken.3 Dalam pemaparan di bab-bab

selanjutnya poin ibadah akan dijelaskan lebih detil karena menyangkut respons

umat terhadap pola-pola ibadah yang dinamis dan statis. Hal ini berhubungan

dengan daya tarik ibadah yang dianggap mampu menyentuh kedalaman batin

umat. Pola ini pulalah yang dilihat dalam ibadah di gereja mal.

Ada beberapa unsur dalam ibadah. Pertama, kesadaran akan Allah. 4

Pada

bagian ini orang yang datang beribadah diajak untuk menyadari tentang

kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan Allah. Kesadaran ini memampukan

manusia untuk menghayati hakekat Tuhan yang dipercayainya dalam pergumulan

hidupnya sehari-hari. Tuhan menjadi kekuatan yang memampukannya menjalani

berbagai realitas sosial yang dihadapinya.

Kedua, kesadaran diri, di mana manusia yang tadinya mengagungkan

Tuhan dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, balik

memandang dirinya yang serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa. Cara

pandang ini membuat manusia menaruh kepercayaannya pada Tuhan yang lebih

3 Pendeta, penatua dan diaken merupakan jabatan gerejawi, di mana ketiganya saling

bekerjasama untuk mengatur dan mengurus kegiatan-kegiatan gereja, salah satunya adalah

menyiapkan ibadah. 4 Beberapa istilah teknis untuk mengungkapkan hal ini adalah votum, salam, introitus.

Tahbisan atau Votum, yaitu ucapan, “Dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”. Artinya,

dengan demikian dinyatakan bahwa kebaktian kita tidaklah sama saja dengan suatu persidangan

yang biasa. Gereja adalah himpunan orang-orang yang dipanggil, sehingga mereka datang bukan

atas kehendaknya sendiri, melainkan oleh karena mereka dipanggil oleh Tuhan. Kita berkumpul

sebagai jemaat Kristus, kesatuan kita ada di dalam Kristus. Itulah sebabnya gereja berkumpul

dalam nama Tuhan, sehingga kita yakin bahwa Kristus berada di tengah-tengah warga jemaat.

Salam, pada masa dahulu salam-menyalam berarti saling memohonkan berkat. Oleh karena warga

jemaat bersama-sama berkumpul di dalam nama Tuhan, lalu mereka saling salam-menyalami.

Biasanya pemimpin kebaktian menyampaikan, “Sejahteralah kamu”, dan dijawab, “Dengan roh-

mu pun”. Introitus, yaitu ayat pembimbing, yang dipilih dari Alkitab berhubung dengan waktu

tahun gereja. Maksudnya supaya mulai dari awal, pikiran kita telah diarahkan kepada pokok-pusat

yang khusus pada kebaktian itu. Kutipan dari B. J. Boland, Percakapan tentang Gereja, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia,1951), h. 138-141.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

4

berkuasa dalam hidupnya. Ketiga, pengakuan dosa. Umat yang menyadari

kekuatan Tuhan dan kekuatan dirinya, menyadari bahwa sebagai makhluk yang

bertaqwa, kerapkali ia tidak taat dalam aturan Tuhannya. Oleh karena itu umat

melihat dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari

Tuhan semata. Keempat, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya

adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang

mengaku dosanya.

Orang yang telah berekonsiliasi dengan Sang Kudus yang disembahnya itu

akhirnya menjadi pribadi yang siap menerima pelayanan firman atau khotbah.

Itulah unsur kelima. Umat diberikan petunjuk hidup baru melalui firman Tuhan

yang dikhotbahkan oleh pendeta. Setelah itu, individu tadi memiliki komitmen

(respon) terhadap firman Tuhan, dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya.

Ini adalah unsur keenam. Umat yang telah semakin mantap dan dibaharui

imannya ini akhirnya diberikan suatu tugas pengutusan. Umat diutus keluar

sebagai manusia yang terus bergumul dalam kesehariannya dengan tetap

berpegang pada firman Tuhan. Dalam menjalankan serangkaian aktifitasnya umat

diberkati sebagai orang-orang yang mengandalkan hidupnya pada Tuhan yang

disembahnya dalam ibadah tadi. Dan ini adalah unsur yang terakhir.

Keseluruhan unsur inilah yang dikemas secara berbeda oleh gereja-gereja.

Ada yang mengemasnya dengan suasana tenang, syahdu, dan impresif. Akan

tetapi, ada pula yang mengemasnya dengan suasana meriah dan ekspresif.

Kemasan meriah dan ekspresif inilah yang ditampilkan dalam ibadah-ibadah di

gereja mal, sebagaimana nilai tanda mal yang merupakan tempat untuk menikmati

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

5

kemeriahan dan kemewahan. Penulis memakai istilah gereja mal untuk

membedakannya dengan gereja arus utama. Gereja mal adalah suatu gereja yang

berada di mal dan memanfaatkan “barang-barang” mal untuk mengemas

ibadahnya dengan menarik dan menggairahkan.

Menurut pengamatan penulis, menggereja di gereja mal memang memiliki

sense yang berbeda tatkala saya menggereja di gereja saya sendiri, yang beraliran

arus utama5. Ada beberapa hal menarik di gereja mal, antara lain: orang datang

secara berombongan, muda-mudi, orangtua, sampai anak-anak yang hadir di sana

umumnya tidak datang sendirian, minimal mereka datang berdua. Pilihan waktu

ibadah juga beragam, mulai dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Biasanya

dibagi menjadi empat atau lima kali jam ibadah. Jumlah yang datang ibadah ke

gereja mal tidak kecil, pastinya lebih dari ratusan orang. Pola ibadah yang

dihadirkan juga sangat wah dan glamour dibantu oleh musik dengan full band dan

keterlibatan anak-anak muda yang energik dan piawai bermain musik.

Ada yang mengatakan bahwa model ibadahnya lebih nge-roh, rame.6

Sekelompok pemusik, beberapa penyanyi (singer), dancer, serta seorang WL

(Worship Leader)7 menambah meriahnya ibadah di sana. Kelompok musik ini

sangat pandai mengatur suasana. Seorang Worship Leader dengan cakap

menyemarakkan dan meneduhkan suasana. Ia tahu betul di mana moment orang

harus menari, melompat, dan bertepuk saat bernyanyi, serta di mana moment

5 Beberapa contoh gereja arus utama adalah GKJ, HKBP, GBKP, GKI, GPIB, GKPS.

Gereja-gereja ini umumnya tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). 6 Pengakuan IS, seorang Worship Leader (WL) di gereja mal,wawancara tanggal 25 Mei

2009 di Yogyakarta. 7 Worship Leader (WL) adalah seorang pemandu ibadah, biasanya menyapa umat pada

bagian awal dan mengajak umat menyanyikan lagu-lagu pujian dalam ibadah. Seorang WL

biasanya juga dibantu oleh beberapa orang penyanyi (singer) dan penari (dancer).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

6

orang harus khusyuk, merenung, bahkan setengah menangis saat bernyanyi.

Kesemarakan ini semakin bertambah dengan tarian beberapa nona-nona manis

yang memakai gaun panjang dengan memegang tamborin di tangannya dan

menghentakkannya ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang. Suara

gemerincing tamborin menambah manisnya suasana ibadah di sana. Singkatnya,

“ibadah di sana lebih hidup, gak bikin ngantuk”.8

Tempat duduk umat juga fleksibel, tidak ada aturan sebelah kiri tempat

duduk khusus laki-laki dan sebelah kanan khusus tempat duduk perempuan (jika

membandingkannya dengan posisi duduk di gereja suku tertentu). Ruangan ber-

AC dan modern menambah kesan mewah dalam ibadah di gereja mal. Mereka

yang datang berpakaian lebih santai, sebenarnya lebih mirip pakaian untuk jalan-

jalan daripada pakaian ke gereja. Balutan kaos dan celana jeans, stelan blouse dan

celana legging, menambah kesan simple, trendy dan modis.

Mal punya daya tarik sendiri karena segala kebutuhan nyaris ada di sana.

Mulai dari bumbu dapur sampai barang elektronik ada di sana. Oleh karena itu,

orang tidak perlu repot-repot lagi berbelanja di tempat lain. Kenyamanan belanja

semakin nikmat dengan suasana ruangan yang sejuk dan desain yang modern.

Kalau pun orang harus berdesak-desakan memilih barang yang sedang discount

besar-besaran, pengunjung tetap menikmati suasana belanja. Apalagi jika barang

yang ditawarkan edisi terbatas, maka berlomba cepat orang akan membeli barang

itu.

8 Pengakuan beberapa orang pemuda gereja arus utama yang sering beribadah di gereja

mal dalam obrolan santai dengan penulis di Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

7

Dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji hadirnya gereja dalam ruang

konsumsi. Gereja yang hadir di mal umumnya beraliran gereja kharismatik. Oleh

karena itu untuk membedakannya dengan gereja yang lain, penulis memakai

istilah gereja arus utama (mainstream) atau konvensional untuk merujuk pada

gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang umumnya tidak

berada di mal dan istilah gereja mal untuk merujuk pada gereja-gereja yang ada

di mal.

Dalam kajian budaya penelitian ini bisa masuk ke dalam ranah politik

identitas. Bagaimana identitas religius orang-orang yang beribadah di gereja mal?

Selain itu penulis menelusuri realitas sosial seperti apa yang terlahir dalam

fenomena gereja mal? Bisa dipastikan mereka yang beribadah di sana berasal dari

kelompok sosial tertentu, yaitu kelas menengah atas yang memiliki pergumulan

hidup sekitar dunia kerja dan bisnisnya. Cara berpakaiannya, sarana transportasi

yang digunakannya, golongan usianya menjadi penanda (signifier) identitasnya.

Faktor-faktor apa saja yang mendukungnya hadir? Di manakah letak hubungan

antara gereja dan mal? Seberapa besar pengaruh ruang konsumsi terhadap

motivasi beribadah dan sekuat apa pula bentuk ibadah di gereja mal memberi daya

tarik pada orang yang datang? Penulis ingin menelusuri desire apa yang dijawab

lewat kehadiran gereja mal? Apakah pola ibadah dan pola konsumsi memiliki

kemiripan? Persoalan seperti inilah yang hendak penulis kaji dalam tesis ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

8

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembentukan gereja di mal?

2. Sejauh mana model menggereja di mal menyerupai model

mengonsumsi?

3. Realitas sosial seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja

di mal?

Pertanyaan pertama ingin menggali muncul dan berkembangnya kehadiran

gereja-gereja di mal di Indonesia. Dari penelusuran yang mendalam tentang latar

belakang gereja di mal kita bisa tahu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

gereja hadir di mal. Sejauh mana alasan birokrasi administrasi mempengaruhinya,

sejauh mana pula modernisasi menjadi aspek yang penting dalam kemunculan

gereja di mal, serta sebesar apa desire umat yang mau dijawab lewat kehadiran

gereja di mal.

Rumusan masalah kedua menganalisis bagaimana pola-pola ibadah dan

pola-pola konsumsi memiliki kemiripan satu sama lain. Bagaimana hasrat belanja

yang tak pernah terpuaskan memiliki kemiripan dengan kerinduan orang untuk

mencari dan bertemu dengan Yang Kudus. Ibadah yang didominasi dengan

fasilitas modern, isi khotbah tentang kesuksesan dan kemakmuran, serta

kesaksian orang-orang yang telah menerima “dasyatnya” khotbah itu dalam

hidupnya. Penulis ingin menggali bagaimana hasrat berkonsumsi orang-orang

dalam pesona belanja yang menggairahkan di mal. Dari sana, penulis mencoba

menemukan sosialitas yang terbentuk di gereja mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

9

Sementara itu, rumusan masalah yang terakhir ingin mengamati realitas

sosial seperti apa yang muncul pada orang-orang yang menggereja di gereja mal.

Apakah interaksi antar umat mewujudkan suatu bentuk persekutuan yang kuat dan

mendalam di gereja ini? Adakah persekutuan di sana mencerminkan keakraban

dan kehangatan antar umat? Atau umat hanya peduli pada kepuasan pribadi dalam

ibadah saja.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Dengan menelusuri pembentukan gereja di mal melalui literatur atau

wawancara, maka penulis bisa mengetahui dengan lebih jelas apa situasi

sosial, ekonomi, dan budaya di balik terbentuknya gereja di mal. Data

historis ini memberi manfaat bagi gereja-gereja untuk melihat wacana

kehadiran gereja yang semakin banyak mengambil ruang publik sebagai

tempat utama ibadahnya.

2. Dengan menganalisis pola ibadah dan pola konsumsi dalam praktik

menggereja di mal, penulis berusaha menemukan budaya yang

berkembang dalam masyarakat konsumsi saat ini. Bagaimana hubungan

gereja dan budaya konsumsi yang semakin tidak bisa dihindarkan dalam

kenyataan hidup manusia saat ini. Lalu, sensasi ibadah dan belanja seperti

apa yang dirasakan manakala aktivitas hidup manusia bisa dilakukan

dengan one-stop service.

3. Mendeskripsikan pengalaman orang beribadah di gereja mal. Kajian ini

akan mewarnai wacana konsumsi yang selama ini dipahami sebagai gaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

10

hidup modern dan kapitalistis, dengan mengetengahkan persoalan

konsumsi spiritual yang terjadi di gereja mal. Dalam wilayah teologi,

kajian ini ingin memperlihatkan wilayah-wilayah psiko-spiritual manusia

dalam memaknai ruang menggereja. Untuk studi agama kajian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap hubungan

gereja dan konsumsi. Tidak hanya alergi atau gelisah dengan hadirnya mal

sebagai “produk dunia” yang berdosa, namun melihatnya dengan lebih

jujur dalam memproduksi budaya warga jemaatnya.

4. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang gereja di mal sejauh ini cenderung terfokus pada masalah

teologi praktis. Gereja-gereja yang ada di mal umumnya berasal dari aliran neo-

pentakostal atau kharismatik. Oleh karena itu para peneliti menempatkan gereja

mal dalam payung besar konsep gereja kharismatik, yang memiliki perbedaan

yang sangat mencolok dengan gereja arus utama dalam cara beribadah, bernyanyi,

berdoa, pakaian dan isi khotbah pendeta, sakramen perjamuan kudus, dan

fasilitas-fasilitas modern yang mendukung ibadah. Melihat perbedaan yang

mencolok inilah, beberapa peneliti umumnya terfokus pada kajian mendalam

tentang konsep ibadah gereja kharismatik dan konsep ibadah gereja konvensional,

lalu menawarkan dialog di antara keduanya (Lihat Wilfred J. Samuel, 2007;

Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, 2007). Dalam hal ini, Samuel

menangkap “kebingungan” warga jemaat yang bertanya, “Dalam ibadah,

haruskah kita bertepuk tangan atau duduk tenang? Haruskah kita mengangkat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

11

tangan ke atas atau mengatupkan tangan di depan dada ketika mendengar firman

Tuhan?”9 Pertanyaan-pertanyaan “klasik” seperti ini sering dihadapi oleh warga

jemaat ketika berhadapan dengan teologi, pengalaman, dan kebiasaan yang

berbeda di gereja arus utama. Ia menganalisis, mengapresiasi, membandingkan,

sekaligus mengkritik kedua tradisi gereja, baik tradisi gereja kharismatik maupun

tradisi gereja konvensional. Akhirnya ia memberi arah baru bagi interaksi positif

antara kelompok Kristen tradisional dan kelompok Kristen kharismatik.10

Kehadiran gereja-gereja kharismatik ini juga menimbulkan reaksi antipati

dari kalangan gereja-gereja arus utama. Pendeta-pendeta gereja arus utama [ada

yang] menaruh curiga terhadap perkembangan gereja kharismatik. Hal inilah yang

diamati oleh van Kooij dan Tsalatsa.11

Dalam penelitian kedua orang ini mereka

menemukan bahwa terdapat warga jemaat gereja arus utama yang menjadi warga

jemaat “simpatisan” di gereja kharismatik. Menurut pengakuan para simpatisan

ini kebutuhan batin mereka lebih terjawab dalam ibadah di gereja kharismatik.

Ibadah yang ekspresif di gereja kharismatik tampaknya menjawab “kehausan

spiritual” warga jemaat. Oleh karena itu mereka mengusulkan supaya ada dialog

9Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca-

Kharismatik,( terj.Liem Siem Kie ) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007). 10

Awalnya disebut sebagai Gerakan Kharismatik atau Gerakan Pentakosta Baru.

Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang mempunyai ciri: tidak

begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan persekutuan yang

diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan membentuk jaringan

dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama “injili”, tidak

menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan sebagai

konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan menggugah emosi

(Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah

Ekklesiologi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 11

Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, Bermain dengan Api (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2007).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

12

antara pendeta-pendeta gereja kharismatik dengan pendeta-pendeta gereja arus

utama.

Penelitian yang mulai menelisik relasi ekonomi dan agama, antara lain

dengan melihat kekuatan pasar dan media yang mewarnai gaya hidup posmodern

(Lihat Vincent J. Miller, 2003: Pradip Thomas, 2009; Steinar Kvale, 2003; Eka

Darmaputera, 1998.). Miller dalam penelitiannya berfokus pada sebuah topik

bagaimana kebiasaan konsumsi mengubah hubungan kita dengan kepercayaan

religius yang kita anut. Analisis tentang pembawa kebiasaan-kebiasaan ini ke

dalam praktik religius membutuhkan sebuah pertimbangan yang lebih jauh

tentang asal-usul dan ciri-ciri masyarakat konsumsi-tinggi. Analisis landasan dari

penelitiannya adalah soal komodifikasi, sebuah cerita tentang kemerosotan dan

kehilangan. Ketika kita menganggap tradisi-tradisi kultural dan religius sebagai

komodifikasi, tradisi-tradisi tersebut kehilangan kuasa untuk mempengaruhi

praktik hidup yang konkrit. Cerita tentang cara-cara dalam mana kepercayaan,

narasi, simbol, dan praktik religius ini dilucuti dalam budaya kapitalisme maju

tidak serta-merta mempradugakan bahwa ada sebuah masa ketika unsur-unsur

tradisi religius ini secara langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari.12

Thomas mengetengahkan hubungan antara pasar, komoditi, dan agama

dalam budaya pop dengan politik ekonomi. Dalam hal ini ia menyoroti bagaimana

gereja-gereja dari kelompok Pentakostal dan Neo-Pentakostal menggunakan

produk multi media dalam penginjilannya.13

Kvale melihat aspek psikologis yang

12

Vincent J. Miller,Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a

Consumer Culture (New York ∙ London: Continuum, 2003.). 13

Pradip Thomas, “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual Markets

and the Media” (Global Media and Communication 2009; 5; 57, SAGE publication) “To celebrate

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

13

berperan dalam pembentukan pola-pola hidup manusia di tiga wilayah, yaitu

gereja, industri (pabrik), dan pasar. Ia melihat bagaimana agama, konsumsi, dan

industri saling kena-mengena dalam psikologis manusia.14

Darmaputera dalam

judul tulisannya Altar dan Pasar melihat bahwa dalam memasuki millenium

ketiga, ekonomi dan agama hadir sebagai dua kekuatan yang paling menentukan

pola pikir, pola sikap, dan pola tindak umat manusia, baik individual maupun

relasional. Ia menyimpulkan tiga hal tentang relasi antara ekonomi dan agama

yaitu isolasi, kolusi, dan saling menantang. Ia tidak memberi kesimpulan

bagaimana keduanya bisa berelasi. Ia justru menyisakan pertanyaan bagaimana

menghubungkan dengan benar, secara dinamis dan dialektis, antara pasar dan

altar. 15

Dari pemetaan tinjauan kepustakaan di atas, penulis belum melihat kajian

yang spesifik tentang kehadiran gereja mal di Indonesia dan bagaimana kekuatan

konsumsi masuk ke dalam pemaknaan aktifitas agama manusia zaman modern

saat ini. Kajian yang ada selama ini masih bergerak pada masalah teologi dan

ekspresi iman manusia yang bergumul dengan sejuta persoalan hidupnya yang

terjawab lewat “sentuhan” dekorasi ritual ibadah dan fisik bangunannya. Dalam

penelitian ini penulis ingin mencari tahu apa duduk perkara maraknya

kemunculan gereja di ruang konsumsi.

„religious‟ signifying processes and the „rumours of God‟ in „irreligious‟ spaces at the expense of

understanding the relationship between politics, economics, power and religion in the 21st

century, an era imprinted by close correspondences between fundamentalist religion, economics

and politics, remains a significant oversight in contemporary studies of religion and/as media”. 14

Steinar Kvale, “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in a

Postmodern Age” (Theory Psychology 2003; 13; 579, SAGE publication). 15

Eka Darmaputera,”Altar dan Pasar: Sebuah Telaah Reflektif Mengenai Relasi Agama

dan Ekonomi” dalam Gereja dan Kontekstualisasi, Sularso Sopater, et all (ed), (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1998).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

14

5. Kerangka Teori

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang sudah diuraikan di atas,

penelitian ini menggunakan kerangka konseptual yang dipinjam dari

Interaksionisme Simbolik karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi

dari Jean Baudrillard. Interaksionisme Simbolik diharapkan bisa membantu untuk

melihat jenis interaksi yang ada di gereja mal. Sementara itu Sosiologi Konsumsi

Baudrillard diharapkan bisa membantu melihat pengalaman orang yang

menggereja di dalam masyarakat konsumsi. Dua teori ini memiliki hubungan satu

dengan yang lain dan berfaedah untuk membantu penulis mencermati penelitian

ini.

Kedua teori ini dipilih karena tema ini didekati dari perspektif sosiologis

yang menempatkan individu dalam pembentukan struktur sosial. Peran individu

merupakan bagian penting dalam penelitian ini. Dengan sengaja saya juga tidak

memakai teori tentang agama, meskipun tema tesis ini tentang gereja. Saya

berusaha bersikap netral agar tidak terjebak pada penilaian hitam putih atas

fenomena gereja di mal.

Interaksionisme Simbolik adalah suatu teori yang diterapkan dalam

sosiologi. Teori ini mau menjawab bagaimana masyarakat itu terbentuk dan ingin

mengatasi pandangan lain yang cenderung menganggap individu semata-mata

hanya dibentuk oleh struktur sosial saja. Interaksionisme Simbolik mau memberi

tempat pada individu. Ada beberapa konsep penting dalam teori Mead ini antara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

15

lain tentang : perbuatan, gestur, sombol-simbol signifikan, pikiran, konsep diri

dan masyarakat.16

Dalam teori interaksi simbol, kenyataan sosial muncul melalui proses

interaksi. Teori ini berhubungan dengan media simbol di mana interaksi terjadi.

Dalam karya Mead, khususnya, teori ini meliputi analisa mengenai kemampuan

manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Interaksionisme

simbol memusatkan perhatiannya terutama pada tingkat interaksi antar pribadi

secara mikro.17

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di

belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling

penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek

yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan

individu yang lain.18

Interaksionisme Simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada

pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri

dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar

belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih

kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-

perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari

individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga

16

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (terj.Nurhadi) (Yogyakarta:

Kreasi Wacana, cet. Ke-5, 2010), h. 380-391. 17

Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h.

4.

18 Cuplikan dari buku Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi

Modern (Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2001).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

16

menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah

sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah,

yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk

sepenuhnya.19

Mead melihat realitas sosial yang terjadi di masyarakat lewat bahasa

simbol yang ditafsirkan. Bagi Mead, realitas sosial muncul karena interaksi lewat

simbol antar anggota masyarakat. Beberapa perhatian utama dalam teori interaksi

simbol adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan

yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman kelompok

kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran individu dan pola-pola

interaksi dalam skala kecil.20

Apabila seseorang bertatap muka atau berbicara

dengan orang lain dalam suatu kelompok, orang lain bisa menafsirkan arti tatapan

dan bicara saya. Begitu juga sebaliknya sesuai dengan norma-norma bersama

yang berlaku dalam kelompok itu. Dalam dunia anak-anak, hal ini sangat kentara.

Anak-anak dalam permainannya bisa saling mengerti dan memahami arti-arti

simbol yang mereka mainkan, misalnya sisi-sisi tersembunyi di ruang tamu

ditafsirkan sebagai gua persembunyian.

Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling

sederhana dan yang paling pokok dalam komunikasi, tetapi manusia tidak terbatas

pada komunikasi ini. Manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam

perilakunya dari sudut pandangan orang lain. Sebagai akibatnya mereka dapat

mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe

19

Ibid. 20

Jhonson, Op.cit., h. 5.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

17

respons tertentu dari orang lain.21

Sebuah isyarat yang menghasilkan respons yang

sama pada orang yang sedang melakukannya seperti terjadi pada orang ke mana

isyarat itu diarahkan merupakan sebuah isyarat yang berarti. Respons yang sama

ini merupakan arti isyarat, dan munculnya arti-arti bersama ini memungkinkan

komunikasi simbol (symbolic communication). Karakteristik khusus dari

komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyarat-syarat

fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang

mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar. Dalam ibadah di gereja mal

faktor isyarat dan suara menjadi simbol yang sangat menentukan tipe interaksi

yang terjadi di antara umat. Bagi Mead, dunia di mana manusia hidup bukanlah

sekedar dunia fisik saja: dunia itu juga merupakan suatu dunia simbol yang

dikonstruksikan. Komunikasi simbol memampukan manusia memahami suatu

maksud dengan cara-cara yang lebih mendalam, menyadari respons orang lain

terhadap suatu rangsangan.

Menurut Mead, pikiran atau kesadaran muncul dari proses penggunaan

simbol secara tak kelihatan (covert), khususnya simbol-simbol bahasa. Dengan

kata lain pikiran adalah proses penggunaan simbol internal atau yang bersifat

tidak kelihatan. Reaksi seseorang terhadap suatu rangsangan lingkungan akan

berbeda-beda tergantung pada kebutuhan tertentu atau dorongan yang penting

pada waktu itu serta hakikat kegiatan yang sedang berlangsung di mana individu

terlibat.22

Ketika kita berpikir sesungguhnya kita sedang mencari jalan keluar atas

hambatan-hambatan yang terjadi di dalam hidup kita dan memperhitungkan

21

Ibid., h. 11. 22

Ibid., h. 15-16.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

18

respons-respons orang lain dalam cara berpikir yang sedang kita laksanakan.

Seorang pemimpin ibadah (pendeta atau Worship Leader) dalam proses

berpikirnya mempertimbangkan pula bagaimana umat merespons cara bicaranya,

isi khotbahnya dalam usaha merumuskan jalan keluar dari persoalan hidup yang

dihadapi umat secara keseluruhan.

Mead mengemukakan bahwa konsep diri terdiri dari kesadaran individu

mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang

sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Kesadaran

diri ini merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan di mana

individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari

titik pandangan orang lain dengan siapa individu itu berhubungan. Ia

mencontohkan tindakan seorang sersan dalam tugas militer mungkin tidak senang

hanya supaya perintah-perintahnya ditaati, sebaliknya nada dan gema suaranya

dan sikap umumnya akan dibuat sedemikian rupa untuk meyakinkan bahwa

mereka yang ada di bawah dia tidak hanya taat, tetapi juga takut kepadanya dan

mengakuinya sebagai seorang sersan yang kuat.23

Hal yang kurang lebih sama

juga berlaku dalam tindakan-tindakan di gereja dalam suatu ibadah. Seorang

pendeta dalam khotbahnya “harus” bicara dengan suara yang keras dan

menggelegar, setidaknya mampu membuat seluruh umat diam mendengarkannya

dan “meng-amin-kan” suara Tuhan yang sedang berbicara lewat si pendeta

tersebut. Suara yang tenang umumnya membuat umat mengantuk dan malah

bercakap-cakap satu dengan yang lain.

23

Ibid., h. 17-18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

19

Interaksionisme Simbolik dalam perkembangan selanjutnya dipakai dalam

cultural studies yang memusatkan perhatiannya pada tiga masalah yang terkait

satu sama lain : produksi makna kultural, analisis tekstual makna-makna dan studi

kebudayaan yang dijalani dan pengalaman yang dijalani.24

Kedudukan teori ini ingin menjawab konteks individu dalam pembentukan

interaksi sosial di gereja mal. Konsep ini mau dipakai untuk membantu menjawab

bagaimana gereja mal berkembang menjadi sebuah komunitas, semacam entitas

sosial gereja. Aspek pembentukan sosial menurut Mead ini mau dipakai untuk

menjawab aspek pembentukan entitas sosial di gereja. Iteraksi yang terjadi di

kalangan umat gereja mal dilihat berdasarkan beberapa karakteristik yang dipakai

Mead, sehingga kita bisa melihat bagaimana pembentukan komunitas sosial dalam

interaksi di gereja mal.

Kerangka konseptual yang kedua yang dipakai adalah Sosiologi Konsumsi

Baudrillard. Teori ini mau dipakai untuk membantu mengenali jenis komunitas

gereja yang baru saja terbentuk dalam konteks masyarakat konsumsi. Baudrillard

menunjukkan bahwa dalam masyarakat konsumsi, interaksi individu dengan

individu lainnya sangat ditentukan oleh apa yang dipakai, yang dikonsumsi.

Artinya, barang-barang yang dipakai sama dengan bahasa individu. Mengonsumsi

sejajar dengan interaksi yang dimaksudkan oleh Mead. Pada dasarnya Sosiologi

Konsumsi Baudrillard mirip dengan Interaksionisme Simbolik Mead.

Konsumsi yang mempunyai nilai sosial ini mengasumsikan bahwa

pertama-tama barang-barang yang dikonsumsi bukan berdasarkan nilai gunanya,

24

Norman K. Denzin, Simbolic Interactionism And Cultural Studies: The Politics of

Interpretation (Oxford UK dan Cambridge: Blackwell, 2003), h. 34.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

20

melainkan nilai tandanya atau nilai simboliknya, menurut Mead. Yang agak

berbeda dari Baudrillard dibandingkan Mead adalah dalam konsumsi zaman

sekarang (kapitalisme), orang tidak akan pernah mendapatkan kepuasan.

Teori Baudrillard penting untuk menjelaskan masyarakat konsumsi di

gereja mal. Klaim sentral Baudrillard adalah bahwa objek-objek menjadi tanda

(sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Objek, dalam masalah

objek konsumsi adalah bagian dari sistem tanda. Ketika kita mengonsumsi objek,

maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita mendefinisikan

diri. Melalui objek setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat

masing-masing pada sebuah tatanan. Masyarakat merupakan apa yang mereka

konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi.

Apa yang kita konsumsi bukan banyakya objek, tapi tanda. Konsumsi merupakan

sebuah sistem aksi dari manipulasi tanda, supaya menjadi objek konsumsi, objek

harus menjadi tanda. Mengonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara

tidak sadar), bahwa kita sama dengan orang yang mengonsumsi objek tersebut

dan kita berbeda dari siapa yang mengonsumsi objek lain. 25

Kerangka konseptual

ini dipakai untuk melihat tanda-tanda apa yang dihadirkan lewat pola beribadah

dan berkonsumsi di mal.

Dalam masyarakat konsumsi yang dikontrol oleh kode, hubungan manusia

ditransformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama konsumsi objek.

Objek-objek tersebut tidak lagi memiliki makna karena kegunaan atau

keperluannya. Agaknya makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan

25 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h. 137-

138. (bdk. Baudrillard, Mayarakat Konsumsi, terj.Wahyunto, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

21

hubungannya dengan, dan atau objek lain. Apa yang kita perlukan dalam

kapitalisme bukanlah objek tertentu, tetapi kita lebih berusaha berbeda, dan

melalui perbedaan itu kita memiliki status sosial dan makna sosial.26

Baudrillard menegaskan bahwa orang bisa membeli banyak sekali barang

bukan karena nilai gunanya, melainkan karena nilai tandanya – yang bisa

dibandingkan dengan barang kepunyaan orang lain. Dalam hal ini terjadi fetisisme

tanda. Tanda yang ada pada barang tertentu akhirnya difetiskan oleh orang yang

mengonsumsinya. Kerangka konseptual inilah yang dipakai untuk melihat sensasi

ibadah di gereja mal yang banyak mengandung nilai tanda dalam kerinduan akan

Yang Ilahi.

Nilai tanda atau nilai simbolik diproduksi oleh pasar. Pasarlah yang

membuat tanda itu pada akhirnya difetiskan. Pasar memproduksi cara orang

berinteraksi dalam tanda. Barang memaksa orang untuk berinteraksi sesuai

dengan kemauan tanda dari barang itu. Pasar modern, dalam hal ini mal juga

merupakan tempat memproduksi tanda. Menurut Baudrillard, mal mengeliminasi

ruang pembatasan dengan menjual barang-barang dalam partai besar yang berasal

dari berbagai tempat di dunia. Ia mengikhtisarkan, “Di sinilah kita berada dalam

jantung konsumsi sebagai organisasi total dari kehidupan sehari-hari, sebagai

homogenisasi yang sempurna … shopping yang terus menerus … pusat shopping

yang hebat, tempat ibadah baru kita, neraka kita, terus menyampaikan semuanya

pada tuhan-tuhan, atau iblis-iblis konsumsi.”27

26

Ibid., h. 139-140. 27

Ibid., h. 143.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

22

Teori konsumsi dari Baudrillard ini mau dipakai untuk melihat hasrat

konsumsi dan hasrat ibadah. Agaknya pengalaman tak terpuaskan ini mirip

dengan kerinduan orang yang tak pernah terpuaskan untuk menemukan Yang

Ilahi. Dalam situasi seperti ini agaknya bukan hanya beribadat yang mengambil

model konsumsi, melainkan konsumsi pun mengambil model orang ibadah.

Pencarian orang akan barang-barang konsumsi itu mirip dengan orang yang

mencari Tuhan. Sebaliknya orang yang mencari Tuhan ada kemiripannya dengan

mencari barang konsumsi. Kedudukan teori ini dipakai untuk melihat lingkungan

masyarakat konsumsi dalam gereja di mal.

6. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif interpretatif dan

observasi partisipatoris. Subjek penelitian penulis adalah komunitas gereja mal.

Penulis memilih tiga buah gereja, dua di Jakarta dan satu di Yogyakarta. Dua

gereja mal yang di Jakarta adalah gereja yang berada pada mal yang sama.

Namun, kedua gereja tersebut memiliki perbedaan yang mencolok, misalnya

jumlah umat yang hadir dan sosialitas yang terbentuk. Sementara itu, gereja mal

yang berada di Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri, yaitu berada di mal yang

relatif tidak terlalu menarik perhatian, namun gereja di sana tetap mampu

memikat umat.

Periode waktu penelitian sejak Mei 2009 - Februari 2010. Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan cara menemui tokoh-tokoh utama yang

berperan besar dalam ibadah di gereja mal (misalnya, pendeta, Worship Leader,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

23

pemusik). Penulis mengikuti prosesi ibadat di lokasi penelitian. Dalam hal ini,

data berupa dokumen yang berisi sejarah lahirnya gereja di mal atau pengalaman

informan selama terlibat aktif di gereja mal. Informan lainnya yang penulis

wawancarai adalah pihak pengelola mal. Mengapa gereja diperbolehkan menyewa

ruangan di mal? Apakah gereja dan usaha-usaha lainnya, seperti toko pakaian,

counter handphone, supermarket, memiliki kategori yang sama bagi pihak

pengelola mal, yaitu sebagai “penghidup” suasana mal?

Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan umat yang

mengikuti ibadah di gereja mal. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana pengalaman mereka beribadah di sana (apa daya tarik ibadah di gereja

mal jika dilihat dari musik, pelayan ibadah, fasilitas ibadah, dan lain-lain). Lalu

bagaimana pula umat mengekspresikan hasrat belanja di mal pasca ibadah.

Sumber data penelitian ini adalah wawancara dan rekaman prosesi ibadah yang

penulis ikuti dalam beberapa kali kebaktian Minggu di gereja mal. Berikut ini

adalah bagan pengolahan data.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

24

Bagan pengolahan data

Keterangan bagan:

Objek penelitian penulis adalah gereja mal. Data-data yang dikumpulkan tentang

latar belakang kemunculan gereja tersebut (wawancara dan literatur), pengalaman

mengikuti prosesi ibadah dan sensasi belanja (wawancara dan pengamatan

langsung). Data ini dianalisis dengan bantuan dua kerangka konseptual, yaitu dari

George Herbert Mead dan Jean Baudrillard. Kerangka konseptual Mead tentang

interaksionisme simbolik membantu untuk melihat bahasa simbolik baru yang

muncul dalam interaksi umat di gereja mal. Kerangka konseptual kedua adalah

sosiologi konsumsi dari Jean Baudrillard. Teori ini membantu untuk melihat

Data : 1. Hasil Wawancara: munculnya gereja di mal, pengalaman orang beribadah di gereja mal. 2. Prosesi ibadah 3. Sensasi belanja

Sosiologi konsumsi

dari Jean Baudrillard:

nilai tanda, hasrat

konsumsi.

Analisis

Interaksionisme Simbolik dari Mead: konsep diri, isyarat tubuh, suara.

Hasil penelitian: 1. Munculnya gereja mal 2. Pola ibadah dan pola konsumsi 3. Masyarakat konsumsi dalam komunitas umat di gereja mal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

25

hasrat konsumsi dalam nilai tanda dan hasrat bertemu Yang Ilahi. Lalu penulis

menunjukkan beberapa temuan dari hasil analisis atas fenomena bergabungnya

gereja dan pasar yang menciptakan msyarakat konsumsi dalam komunitas gereja

mal.

7. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Pada bagian ini penulis memaparkan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,

metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab I merupakan gambaran

mengapa topik ini penting untuk dibahas. Di sini penulis memperlihatkan

bagaimanakah konsep ibadah yang dilakukan oleh gereja pada umumnya, dalam

hal ini gereja konvensional atau arus utama. Dengan memaparkan beberapa unsur

ibadah dan paham tentang ibadah, penulis membandingkannya dengan pola

ibadah di gereja mal. Lalu, topik ini dipertajam dengan beberapa rumusan

masalah yang dianalisis melalui beberapa kerangka teori yang paling signifikan.

Dari sana diharapkan kajian ini memberikan sumbangsih yang positif dalam

perkembangan kajian budaya dan agama-agama.

Bab II: Gereja dalam Pusaran Masyarakat Konsumsi di Indonesia

Pada bagian ini dipaparkan sejarah lahirnya konsumerisme, khususnya di

Indonesia. Sejak kapan orang menangkap gejala konsumerisme di Indonesia serta

apa reaksi orang banyak soal fenomena ini. Penelusuran sejarah ini

memperlihatkan pergeseran paradigma orang tentang arti konsumsi di pasar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

26

dengan corak penggabungan gereja dan pasar yang semakin marak belakangan ini.

Di bagian ini penulis membahas bagaimana pola gereja mal mengkombinasikan

dirinya dengan mal yang sarat dengan aktivitas belanja.

Bab III: Ibadah dan Konsumsi: Pengalaman Iman dan Belanja yang

Menggairahkan

Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsumerisme itu senyatanya tak

pernah mati, namun terus hadir dalam bentuk pasar yang lebih modern, misalnya

di mal. Bagian awal bab ini menguraikan latar belakang munculnya gereja di mal.

Penulis memaparkan situasi-situasi sosial seperti apakah yang menyebabkan

adanya peluang membuka gereja di mal. Bagian selanjutnya penulis menguraikan

tentang ekstatik ibadah dan ekstatik belanja di mal. Bagaimana pengalaman

psiko-spiritual yang terjadi dalam peribadatan dan perbelanjaan di mal.

Bab IV: Realitas Sosial Orang-orang yang Menggereja di Gereja Mal.

Bab ini terdiri dari dua bagian, yaitu: menarasikan secara analitik dan

menafsirkan secara mendalam realitas sosial yang tercipta di gereja mal. Lalu,

bagaimana orang-orang yang menggereja di mal mengidentifikasikan dirinya

dengan pola konsumsi di mal itu sendiri? Bagian ini terdiri dari dua bagian besar,

yaitu temuan penulis tentang simbol-simbol baru dalam pola ibadah di gereja mal

dan tafsiran penulis tentang simbol-simbol yang terbentuk sehingga menciptakan

makna tersendiri bagi komunitas umat yang menggereja di mal. Realitas sosial

semacam apa yang terbentuk dari fenomena gereja di mal dalam budaya

masyarakat konsumsi saat ini?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

27

Bab V : Penutup

Bagian ini berisi kesimpulan, mulai dari awal perhatian penelitian ini, data

yang diperoleh di lapangan dan literatur, serta hasil analisis tentang fenomena

menggereja dalam masyarakat konsumsi. Di bab ini penulis memberikan beberapa

penilaian terhadap berduetnya pesona mal dan sakralnya ibadah di gereja. Dalam

bab ini penulis merekomendasikan beberapa kemungkinan bagi peneliti lain, baik

itu dari kalangan teologi maupun sosiologi untuk meneruskan penelitian dengan

tema-tema sekitar agama dan budaya konsumsi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

Bab II

GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI

DI INDONESIA

Setiap umat beragama menyakini bahwa rumah ibadah merupakan suatu

tempat yang sakral. Keyakinan ini timbul karena aktivitas yang berlangsung di

dalamnya sarat dengan hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati yang

diyakininya menguasai eksistensi hidupnya di dunia. Begitu pula halnya dengan

gereja. Orang pergi ke gereja dengan sadar mengekspresikan kesakralan lewat

penampakan luar (fisik) maupun dalam (hati). Misalnya: penampilan fisik bisa

terlihat dari cara berpakaian yang sopan dan rapi (tidak seronok) dan barang-

barang yang dibawa (Alkitab, buku nyanyian rohani, atau buku catatan kecil).

Ekspresi penampilan hati (meskipun hal ini tidak terlalu terukur), misalnya,

seseorang datang ke gereja dengan sukacita dan perdamaian, karena ia akan siap

“bertemu” dengan Tuhan dan menerima pemberitaan firman juga bertemu dengan

sesamanya manusia. Intinya, aktivitas menggereja dipisahkan pemaknaannya

dengan aktivitas di tempat lain, khususnya pasar.

Ketika kita mendatangi suatu tempat yang bernama pasar, kesan pertama

yang muncul di pikiran kita adalah proses jual-beli. Proses ini pasti jauh dari

kesan kudus dan rohani, karena yang bermain adalah soal untung-rugi dan

pemuasan nafsu jasmani. Kehidupan di pasar memproduksi budaya konsumsi.

Orang-orang yang datang untuk berkonsumsi tentu saja harus memiliki modal

keuangan yang cukup guna memenuhi hasrat membeli di pasar. Jika tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

30

mempunyai cukup uang, orang-orang itu cukup berpuas diri hanya dengan

melihat-lihat saja.

Dalam bab ini penulis akan memaparkan wacana hubungan antara pasar

dan gereja. Bagaimanakah wajah gereja dan pasar yang membentuk pola

penghayatan iman manusia yang hidup dalam perkembangan zaman yang terus

berubah di balik kekuatan kapitalisme pasar.

1. Gereja dan Pasar

Secara singkat di bagian awal penulis telah menyingggung tentang

perbedaan prinsip antara gereja dan pasar. Gereja dan pasar adalah dua hal yang

saling berlawanan. Gereja adalah suatu lembaga yang sakral, sedangkan pasar

adalah hal yang profan. Karena ke-sakral-an gereja, kegiatan di dalamnya juga

sarat dengan kekudusan. Misalnya: kebaktian yang berlangsung umumnya tenang

dan teduh karena ini “rumah Tuhan”, kita harus datang dengan penuh rasa hormat.

Jika sebelum ibadah dimulai banyak orang bercakap-cakap, sehingga

menimbulkan suasana yang berisik, maka petugas ibadah biasanya mengingatkan

umat untuk menjaga ketenangan, “Ssstt, ini bukan pasar”. Contoh lain, ketika

menyusun program pelayanan gereja dan anggaran belanjanya, maka kerapkali

diingatkan bahwa ini adalah pelayanan, jadi jangan mencari keuntungan di

dalamnya. Ini uang Tuhan.

Sementara itu pandangan orang tentang pasar adalah suatu tempat di mana

interaksi transaksional terjadi, yang tidak mungkin tidak melibatkan keuntungan

material di sana. Di dalamnya sarat dengan suara “gaduh” orang yang beradu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

31

menawarkan barang dagangannya. Dengan lihai dan daya tarik persuasif penjual

membujuk pembeli supaya singgah di tokonya dan akhirnya membeli barang yang

dipamerkan tersebut. Akhirnya orang berbondong-bondong datang, berdesak-

desakan, rela antri berjam-jam demi mendapatkan barang yang sayang kalau

dilewatkan.

Pasar identik dengan dunia persaingan. Setiap orang berusaha sekuat

tenaga mencari keuntungan, daya juangnya keras, sehingga gaya hidup orang di

pasar juga bisa ditebak dari gaya bicaranya, misalnya dalam ungkapan “Huhh

pasaran sekali gaya bicaranya”. Artinya, kurang sopan dan bernada kasar. Daya

tarik pasar begitu kuat karena menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia

sehari-hari. Setiap orang bebas berkonsumsi asal memiliki modal yang kuat.

Apalagi sejak era konsumsi semakin berkembang, manusia dihadapkan pada

pilihan-pilihan hidup yang menggoda hasrat konsumsi manusia.

Bagian berikut kita akan melihat bagaimana dan kapan menguatnya

masyarakat konsumsi, khususnya di Indonesia. Apa yang digarisbawahi pada isu

ini ketika mulai muncul dan berkembang sedemikian jauh hingga saat ini, dan

akhirnya menjadi topik yang menarik untuk dibahas.

2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia

Pada masa pemerintahan Orde Baru ketika situasi perekonomian Indonesia

sulit, dikeluarkanlah Undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967

untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan ini menyebabkan datangnya ahli-ahli

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

32

periklanan dari luar negeri untuk memperkenalkan produknya.1 Tidak bisa

disangkal bahwa iklan akan memprovokasi orang untuk membeli dan tentu saja

akan memberi keuntungan pada pihak pemodal.

Tahun 1980-an isu tentang konsumerisme semakin merebak. Pada masa itu

konsumerisme merupakan istilah baru. Istilah ini pernah menjadi judul ceramah

tentang hak dan tanggung jawab konsumen tentang lingkungan hidup yang sehat

dan bersih (dalam tulisan Emil Salim tahun 1981). Namun istilah ini belum

termuat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta,

1986). Istilah ini baru masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Depdikbud, 1988:458) dengan pengertian: konsumerisme adalah gaya hidup

yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan

sebagainya; -- jangan sampai ditumbuhkan di dalam masyarakat.2 Definisi

dengan contoh yang moralistik ini mengingatkan kita akan pengertian populer

“konsumtif” dan “materialistik” yang diartikan sebagai gaya hidup boros dan

berlebihan. Dalam tulisannya ini, Hardjana mengutip beberapa berita dari koran:

Di balik semakin mantapnya keserasian masyarakat, masih ditemukan adanya

gejala negatif yang menghinggapi sebagian masyarakat kita – demikian siaran

pers Ketua DPA. Sifat yang jauh dari sifat dan semangat keadilan sosial yang

bernafaskan persamaan dan pemerataan sebagaimana tercantum dalam P4 itu,

antara lain sikap konsumerisme, eksklusifisme, egosentrisme, menipisnya

solidaritas sosial, serta melemahnya kepekaan dan kepedulian terhadap

kepentingan bersama seluruh bangsa. (Kompas 19 Maret 1991).

1 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Konsumerisme dalam Tinjauan Sejarah” dalam

MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat

Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 7. 2 Andre Hardjana, “Konsumerisme dalam Era Globalisasi” dalam BASIS, No

7/XLI/Juli/1992 (Yogyakarta: Yayasan B. P. BASIS, 1992), h. 243.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

33

Selain itu, Soedharmono, Wakil Presiden, saat membuka kongres ISKI (Ikatan

Sarjana Komunikasi Indonesia) di Surabaya menugasi organisasi ahli-ahli tersebut

demikian:

Pelajari dampak teknologi dan komunikasi.... (karena sebagai akibat dari

perkembangan dan kemajuan di bidang tersebut) .... kita menyaksikan persaingan

yang makin ketat, pemasangan iklan yang semakin merangsang semangat

konsumerisme, pemuatan berita-berita yang melanggar nilai-nilai moral dan

kepribadian, dan sebagainya (Kompas 8 Maret 1991).

Dari kedua kutipan tersebut jelas terlihat bahwa “sikap konsumerisme” dan

“semangat konsumerisme” dinyatakan masuk ke dalam kategori “tidak sesuai

dengan P4 (Pancasila) dan bertentangan dengan nilai-nilai moral maupun

kepribadian bangsa.3 Dari sini kita dapat melihat betapa konsumerisme mendapat

penilaian yang sangat negatif dan masyarakat harus menjaga diri dari “virus”

ekonomi ini. Untuk menanggulangi masalah ini pemerintah pada masa itu,

khususnya Presiden Soeharto, menetapkan dua buah peraturan pemerintah yang

berkaitan denga pola hidup sederhana.4 Pola hidup konsumtif yang berakibat

pada semakin jelasnya jurang pemisah antara kaya dan miskin diatasi dengan

ajakan untuk menahan diri dan hidup sederhana.

Karena hal mengonsumsi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh iklan, pada

tahun 1981, tepatnya tanggal 1 April, pemerintah mengumumkan bahwa sejak

saat itu iklan-iklan di TVRI dihapuskan penyiarannya. Mendadak hubungan

antara konsumerisme dan iklan menjadi isu di masyarakat. Menurut Sardono W.

Kusumo dalam tulisannya “Gadis Disco dan Petani Tengger di Hari Keramat”

3 Ibid., h. 243-244.

4 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Menahan Laju Konsumerisme” dalam

MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat

Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 20.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

34

dalam Kompas 3 Maret 1980 dalam observasinya mengungkapkan bahwa betapa

daya perusaknya suatu gaya hidup apabila segala sesuatunya telah dijadikan

sebagai barang dagangan: termasuk juga agama dan kebudayaan manusia. Banyak

hal dijadikan barang dagangan; upacara-upacara keagamaan, perkawinan,

pemakaman dan tari-tarian hanya dijadikan sekedar paket pariwisata. Gaya hidup

ini nyaris menjadi semacam mesin raksasa, dengan segala sarana komunikasi

massa yang perkasa mampu menyeret orang sedemikian rupa, sehingga orang itu

tak mampu lagi menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya sendiri. Gaya hidup

ini adalah konsumerisme, dan bentuk media komunikasi massa yang

digunakannya adalah iklan, baik iklan surat kabar, majalah, radio, maupun

televisi.5

Beberapa opini masyarakat tentang konsumerisme, salah satunya datang

dari Ny. Suwardi Salyo, SH, yang menyebutkan bahwa orang merasa terdorong

untuk mengikuti gaya hidup modern. Gaya hidup ini dijajakan sebagai semacam

commodity untuk dikonsumsi dengan segala periklanannya. Dalam iklan juga

dikatakan bahwa barang ini atau barang itu adalah “bagian dari gaya hidup Anda”

... setiap hari kita dihadapkan kepada segala macam penjajaan (display) barang-

barang konsumsi dan jasa-jasa yang menarik, dan semua itu “perlu untuk rasa diri

kita”, “harga diri kita”, dan “kebahagiaan kita”.6 Opini lain mengatakan bahwa

iklim umum di tanah air kita makin memperlihatkan sifat-sifat masyarakat

konsumsi. Lewat iklan-iklan di surat kabar, radio dan televisi kita digiurkan untuk

5 Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, “Opini Masyarakat tentang Konsumerisme”

dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun IV/Juli/1981 (Jakarta: Pusat

Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), h. 10. 6 Ibid., h. 11.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

35

membeli macam-macam barang mewah, untuk mengeruk kantong kita sendiri

sehingga barang-barang itu dapat kita peroleh.7 Opini lain yang lebih tajam

dikemukakan dari kalangan pesantren yang mengungkapkan bahwa

konsumerisme yang berarti semangat belanja yang berlebihan yang mengarah

pada pola hidup mewah, telah terjadi hampir di seluruh lapisan masyarakat.

Dengan kegemaran seperti itu berarti masyarakat tidak suka menabung atau

menyimpan investasi. Hal ini dapat berindikasi pada terhambatnya program

pembangunan di negara kita dan sangat tidak sesuai dengan pidato presiden

tentang hidup sederhana. Kebiasaan ini bisa sangat merugikan.8

Dari argumen-argumen yang dikemukakan oleh beberapa orang di atas,

menurut penulis pendangan orang tentang konsumerisme di Indonesia pada akhir

abad ke-20 sangat negatif. Konsumerisme adalah budaya yang harus diwaspadai

karena akan semakin membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain

dalam kelas sosialnya. Dalam kenyataannya toh konsumerisme tidak ada matinya.

Penulis setuju dengan pendapat Hardjana, bahwa sebagai anak kandung

industrialisme, konsumerisme tampil sebagai kekuatan global yang menjangkau

dan membangkitkan berbagai reaksi di dunia-dunia ketiga. Di negara-negara

dunia ketiga konsumerisme akhir-akhir ini berkembang bersamaan dengan

semakin derasnya arus globalisasi bisnis dalam konteks global village.9

Konsumerisme terus berkembang dengan semakin banyaknya pemilik

modal yang ingin “meng-anak-kan” keuntungannya dalam perguliran uang di

pasar. Masyarakat semakin “dibuai” dengan iklan yang nyatanya tidak pernah

7 Ibid.

8 Ibid., h. 12.

9 Hardjana, op. Cit., h. 242.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

36

terlalu jujur menceritakan produknya. Penulis setuju dengan pendapat Arif

Budiman bahwa konsumerisme semakin memperluas pasar. Orang menjadi

membeli barang-barang yang diproduksi. Oleh karena itu produsen berusaha

mendorong konsumerisme. Alat untuk melakukan proses ini adalah iklan. Iklan

merupakan sesuatu yang sangat hakiki bagi perkembangan kapitalisme.10

Iklan

dan pasar merupakan dua unsur yang sangat berpengaruh terhadap budaya

konsumsi masyarakat.

Dalam bagian selanjutnya kita akan melihat bagaimana gaya hidup

konsumtif (pasar) yang tadinya sangat dibedakan dalam gaya hidup ibadat, kini

tidak lagi ber-duel, namun ber-duet. Fenomena keagamaan yang banyak muncul

di mal atau hotel, misalnya: Kebaktian Minggu, Kebaktian Kebangkitan Rohani

(KKR)11

, buka puasa bareng, pengajian, dan lain sebagainya. Namun, dalam

penelitian ini penulis membatasi diri pada kajian gereja di mal.

3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet12

Gereja-gereja yang ada di mal umumnya beraliran kharismatik13

, suatu

aliran gereja yang berasal dari Amerika. Aliran kharismatik cukup berbeda dari

10

Arief Budiman, Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern dalam

“Jangan Tangisi Tradisi: kumpulan Karangan” ed. Johanes Mardimin (Yogyakarta:1994), h.98. 11

Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) adalah suatu jenis kebaktian yang besar dan

wah, dihadiri oleh ribuan orang dengan melibatkan artis-artis Kristen. Tujuan kebaktian ini

biasanya untuk membangun iman umat. Oleh karena itu pendeta pengkhotbah juga dipilih yang

terkenal dan bisa memukau umat. Pelibatan artis dan pengkhotbah terkenal merupakan daya tarik

untuk memikat orang hadir di KKR ini. Biasanya dalam KKR ada aksi penyembuhan ilahi dengan

memakai media minyak urapan, sehingga banyak orang yang tertarik mengikuti ibadah ini. 12

Frase Duet dan Duel diambil dari judul Buku Duet atau Duel? Teologi dan Sains

dalam Dunia Posmodern: kuliah John Albert Hall, karya J. Wentzel van Huyssteen, terj. (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2000) 13

Aliran kharismatik awalnya disebut sebagai gerakan kharismatik atau gerakan

pentakosta baru. Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

37

aliran lain, khususnya arus utama. Gerakan kharismatik menginginkan supaya

umat Kristen membuka diri untuk pekerjaan roh kudus seperti dahulu kala secara

penuh dan lengkap. Sangat dirasakan bahwa gereja dengan tradisinya yang

dogmatis, yang terlalu rasional dan ketat serta penuh dengan peraturan-peraturan

yang mematikan itu, sekarang ini sangat membutuhkan api yakni api roh kudus.14

Saya akan memaparkan secara singkat latar belakang aliran/gerakan kharismatik.

Gerakan kharismatik sering juga disebut sebagai gerakan pentakostal baru.

Secara etimologis istilah kharismatik berasal dari kata Yunani charisma (bentuk

jamaknya charismata), yang berarti karunia [-karunia] Roh, misalnya berbahasa

lidah atau berkata-kata dalam bahasa asing, bernubuat, melakukan mujizat,

dan/atau menyembuhkan.15

Dalam perjalanan sejarah gereja karunia Roh seperti

ini semakin kurang diperhatikan dan difungsikan, sementara itu gerakan

pentakostal dan kharismatik menggabungkan semangat kesucian dan karunia Roh

dalam ajaran mereka, sehingga seolah-olah yang menjadi ciri khas gerakan ini

adalah hal-hal tentang Roh. Dalam bab selanjutnya akan sangat jelas bagaimana

pengelola gereja mal “membungkus” ajaran ini dalam kemasan yang menarik

perhatian orang-orang yang datang ke sana.

mempunyai ciri: tidak begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan

persekutuan yang diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan

membentuk jaringan dalam bentuk persekutuan-persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama

“injili”, tidak menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan

sebagai konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan

menggugah emosi (Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang dalam Apa dan Bagaimana Gereja:

Pengantar Sejarah Ekklesiologi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 14

L. Sugiri,Dkk, Gerakan kharismatik Apakah Itu?( Jakarta : BPK Gunung Mulia,cet. Ke -4,

1991)h.106. 15

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1995), h. 197.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

38

Jangkauan kalangan kharismatik yang melampaui batas-batas gereja

Pentakostal yang resmi menjadi semakin nyata terungkap melalui organisasi The

Full Gospel Business Men’s Fellowship International (FGBMFI) yang dibentuk

oleh Demos Shakarian. Shakarian adalah seorang milyuner, pengusaha peternakan

di California, yang berasal dari keluarga imigran Armenia yang pada tahun 1905

mengungsi ke daerah itu. Di negeri asalnya mereka sudah mengenal praktik

bahasa lidah.16

Pada konferensi nasionalnya tahun 1953, FGBMFI menyebut diri

sebagai organisasi pebisnis yang dipenuhi Roh Kudus dan terpanggil

melaksanakan penginjilan dan kesaksian kepada umat bukan Pentakostal.

Kegiatannya diselenggarakan lewat doa bersama pada waktu sarapan atau makan

malam dalam suasana santai di restoran atau hotel bergengsi, sedangkan di tingkat

regional dan nasional dilakukan lewat serangkaian konferensi. Semua ini

kemudian didukung oleh majalahnya, Voice (semula bertiras 5000 exp., kemudian

berkembang sampai 700.000 dan tersebar di seluruh dunia, termasuk di

Indonesia).17

Hingga tahun 1980-an FGBMFI telah berhasil membentuk sekitar

2.500 cabang atau kelompok yang aktif yang tersebar di seluruh dunia. Sebagian

besar anggotanya terdiri dari kalangan menengah ke atas: direktur-direktur

perusahaan, pengacara, dokter, kontraktor, pedagang besar dan sebagainya di

samping sejumlah pendeta dari gereja-gereja Pentakostal maupun arus utama

(belakangan juga kaum muda dan mahasiswa). Tema-tema kemakmuran dan

kesuksesan sering diangkat dalam pertemuan mereka18

.

16

Ibid., h. 198. 17

Ibid., h. 199. 18

Ibid., h. 199-200.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

39

Di Indonesia gerakan kharismatik mulai masuk pada bagian kedua tahun

1960-an melalui penginjil-penginjil dari Amerika Serikat dan Eropa, tetapi

pengaruhnya baru menonjol pada dasawarsa berikutnya. Latar belakangnya adalah

kenyataan gereja-gereja yang kurang tanggap terhadap kebutuhan rohani warga

jemaat yang terkait dengan perkembangan masyarakat.19

Beberapa kekosongan

rohani yang dirasakan umat pada masa-masa, khususnya setelah G30S adalah

sikap pemerintah dalam pembangunan ekonomi dan kontrol politik yang ketat dari

pihak militer, serta ketegangan antara Islam dan Kristen. Faktor lain adalah

kurangnya jumlah dan mutu tenaga-tenaga pelayan gereja, masalah keuangan

gereja, dan kurang relevannya pemahaman Injil dengan masalah-masalah yang

sedang dihadapi umat.

Oleh karena itu menurut penulis kekosongan rohani yang terjadi pada

masa itulah yang menyebabkan model persekutuan doa, yang menjadi ciri gerakan

kharismatik, banyak diminati oleh umat. Model ini lebih bersifat kelompok kecil

dan tidak kaku layaknya ibadah di gereja. Sebagai tempat berdoa, kelompok-

kelompok ini bisa menggunakan tempat seperti aula kantor, rumah-rumah, hotel,

ruangan di mal. Tempat-tempat ini tentu sifatnya lebih santai untuk melakukan

kegiatan sharing iman. Dengan demikian berkembangnya konsumerisme dan

iman menjadi fenomena yang tidak asing lagi dijumpai di tempat-tempat umum

ini.

Yasraf Amir Piliang, mengatakan bahwa gejala ini disebut

postspiritualitas, yaitu suatu kondisi bercampuraduknya nilai-nilai spiritual

19

Ibid., h. 214.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

40

dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang ilahi,

bersimpangsiurnya yang transenden dengan yang imanen, bertumpangtindihnya

hasrat rendah dengan kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi

kabur.20

Tulisan Piliang ini sangat jelas memperlihatkan sikapnya yang

memandang fenomena duet ini sebagai gejala yang kurang baik. Menurutnya

wacana postspiritualitas adalah simbiosis dua kekuatan bertentangan menjadi satu

kekuatan kontradiktif: ketuhanan/konsumerisme, transeden/imanen,

kesucian/kedangkalan. 21

Namun dalam kenyataannya dalam pengamatan penulis

di gereja mal, orang-orang yang datang beribadah di sana dengan jujur

mengungkapkan bahwa ada sensasi lain dirasakan oleh mereka lewat berduetnya

gereja dan pasar. Sensasi yang beda dan luar biasa ini akan tampak dalam bab-bab

selanjutnya.

Menurut pengakuan beberapa orang penjual makanan22

di sebuah mal

tempat penulis meneliti, hari Minggu adalah hari yang paling ramai pengunjung,

“Kalau hari biasa begini gak terlalu ramai mbak, apalagi setelah makan siang,

foodcourt di sini pasti sepi, tapi hari Minggu ramai sekali, kan ada gereja di

lantai lima”. Jelas saja ada hubungan simbiosis mutualisme antara pengunjung

20

Yasraf Amir Piliang, Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed. Alfathri

Adlin) (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 320. 21

Ibid., h. 334... lebih jauh disebutkannya bahwa di dalam wacana postspiritualitas

beroperasi dua kekuatan yang bertentangan satu sama lainnya, yaitu kekuatan spirit ketuhanan dan

spirit konsumerisme. Spirit ketuhanan adalah spirit pengendalian hasrat, sementara spirit

konsumerisme adalah spirit pembebasan hasrat. Keberadaan wacana spiritualitas di tengah

masyarakat konsumer telah menciptakan situasi beroperasinya hutan rimba materialisme,

pelepasan hasrat, kelimpahruahan citra, dan ekstrimitas di dalam wacana kezuhudan, kefakiran,

kesederhanaan; dunia kecepatan pergantian tanda, citra, gaya, dan gaya hidup, di tengah-tengah

ruang perenungan dan refleksi; kolonialisasi dunia materi, komoditi dan prestise di dalam rumah-

rumah suci; penularan spirit ketidakacuhan, pengingkaran dan patologi sosial di antara pencerahan

spiritualitas; ekspresi tamasya hasrat di antara tamasya spiritualitas; beroperasinya prinsip apapun

boleh, di antara cahaya spiritualitas. 22

Wawancara tanggal 16 Januari 2010 di mal Piazza Calda dengan penjual makanan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

41

mal dan pedagang di sana. Setiap minggunya ada lebih dari tiga kali jadwal

ibadah yang dilangsungkan, di mana setiap jadwal dipadati tidak kurang dari

seribu orang yang beribadah di sana. Umat yang tadinya beribadah tentunya

menjadi konsumen yang potensial untuk membelanjakan uangnya di mal tersebut.

Ini terbukti melalui pengakuan seorang informan 23

yang mengatakan bahwa sejak

berdirinya gereja di mal Piazza Calda24

pada tahun 1992 dan semakin berkembang

pesat dari tahun ke tahun, maka mal ini yang dulu sepi kini jadi ramai, “Wah

kalau sudah hari Minggu, cari tempat parkir susahnya bukan main,” katanya.

Fenomena ini menunjukkan betapa laju postspiritualitas, semakin

berkembang. Jika diamati, fenomena ini telah memproduksi budaya instan.

Orang-orang zaman sekarang, dengan semboyan time is money, tidak perlu repot

melakukan pekerjaan berbeda di tempat yang berbeda, jika pada satu tempat-pun

semuanya bisa dilakukan dengan cash and carry. Mal menjadi salah satu tempat

produksi budaya tersebut.

Gereja lain yang penulis amati adalah gereja yang dulunya dipakai sebagai

restoran pada tahun 1990-an. Namun ketika restoran ini berpindah lokasi pada

tahun 2005, pemilik restoran memberikan gedung restoran dipakai dengan cuma-

cuma untuk tempat ibadah di sana.25

Dalam pengamatan penulis saat mengikuti

ibadah di sana, dekorasi ruangan dan fasilitas ruangan kurang lebih mirip suasana

restoran daripada gereja. Perasaan yang muncul dalam diri saya saat itu adalah

saya sedang mengunjungi resepsi pernikahan atau pergi ke gereja ya? Artinya,

23

Wawancara dengan ES, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja

arus utama, wawancara di Sekolah PSKD 21 Januari 2010. 24

Penulis memakai nama samaran untuk merujuk pada nama mal. Mal ini nantinya

merupakan tempat penelitian penulis di mana ada dua gereja yang melakukan ibadahnya di sana. 25

Wawancara dengan Pdt. RK, pendeta gereja Casa Nera di Jakarta, tanggal 17 Januari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

42

suasana ibadah yang tercipta sangat santai. Singkatnya menurut pendeta yang

bertanggung jawab di gereja ini:

Dibikin simple aja cara ibadahnya. Jemaat ini kan sudah capek bekerja salama satu

minggu. Intinya kita mau memberikan “kenyamanan” beribadah pada jemaat dengan

fasilitas-fasilitas yang ada, kalo di tempat lain, gedungnya gerah. Karena kami ada di mal

kadang ada aja yang kebetulan lewat, lagi belanja di mal ehh mampir untuk kebaktian.

Makanya selalu ada perkenalan siapa aja jemaat yang pertama kali datang.26

Ungkapan pendeta ini bagi penulis merupakan suatu pengakuan bahwa

keberadaan gereja di mal merupakan suatu beribadah gaya baru yang serius tapi

santai (SerSan). Serius karena ini adalah ibadah yang menyangkut hubungan iman

dengan Tuhan, namun santai karena ini dibuat di mal, sambil lewat-pun bisa

singgah sebentar untuk beribadah. Kalau begitu menurut saya, gereja ini tak

ubahnya toko-toko lain yang memamerkan barang dagangannya untuk ditengok,

dinilai, lalu kalau cocok dibeli.

Menurut pengakuan salah seorang pendeta muda 27

(biasa disingkat Pdm)

dari gereja aliran kharismatik, kehadiran mal yang semakin marak di Indonesia,

dianggap sebagai peluang. Dengan dasar bahwa firman Allah tidak dibatasi oleh

ruang dan waktu maka menurutnya:

Ketika ada mal yang mungkin aula-nya belum terpakai atau sudah tua, dan kemungkinan

ini dilihat oleh gembala Tuhan tersebut sebagai opportunity untuk dibuka, ya dia buka

gereja di sana. Dari mal-nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai lagi, karena apa?

Kan setiap minggunya banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal yang membuat gereja

bertumbuh, itu apportunity saja. Jadi karena ada yang kosong dan mereka mau sewain

buat gereja, ya udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum). Ide pertamanya gitu.

Sebelum tahun 2000-an sudah mulai banyak. Ketika maraknya mal-mal, dia bikin aula,

lalu karena gereja itu mempertimbangkan berapa nampung? Kapasitasnya paling sedikit

kan kurang lebih 500. Lalu kalo boleh ini disewa oleh gereja dan owner nya bilang gak

ada masalah. Dia kan tahu boleh gak ini disewain karena ada kegiatan gereja, ya kalau

owner nya menginjinkan, kita gak ada masalah, gereja di sini juga gak masalah. Tentu

pasti dalam pelaksanaannya tergantung kepada lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu

26

Ke-simple-an ibadah di gereja-gereja seperti ini akan dibahas dalam bab berikutnya.

27

Wawancara dengan SL, tanggal 14 Januari 2010 di kantor sekretariat gereja Bethel di

Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

43

ya you boleh pakai untuk ibadah tapi jangan pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh

pakai nama, paling ada spanduk di belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah

turunin lagi.

Lagi-lagi pendeta mengakui bahwa mal adalah sebuah peluang untuk kehidupan

peribadahan umat. Semakin jelas bagi penulis bahwa beberapa gereja memang

melihat bahwa kehadiran mal sebagai “pembawa pesan ilahi” untuk membangun

iman umat di tengah-tengah kehidupan yang semakin berkembang dari zaman ke

zaman.

Lalu, ketika penulis melakukan wawancara dengan salah seorang

pengelola mal28

, ia mengatakan bahwa pada prinsipnya developer membangun

gedung ini (mal) sebagaimana bentuk yang telah dirancangkan oleh ahlinya. Lalu

owner yang berminat untuk membelinya dan memiliki modal yang cukup, dengan

bebas menyewakan atau menjual kembali ruangan yang telah dibelinya kepada

pihak lain, jika tidak ingin pakai sendiri, “Ya, pokoknya itu terserah owner-lah,

gak ada hubungan lagi dengan pihak developer. Mau dipakai untuk gereja atau

counter belanja ya terserah saja”. Artinya, pihak pengelola mal sendiri tidak

(atau sengaja pura-pura tidak) mempersoalkan ruangan-ruangan dalam mal itu

mau dipakai sebagai tempat kegiatan apa.

4. Kesimpulan

Ibadah dan pasar, dua kata yang maknanya sangat berbeda, kini tidak lagi

dinilai secara antagonistik, setidaknya bagi umat yang menggereja di gereja mal,

meskipun dari kalangan pemimpin agama, khususnya gereja arus utama, masih

28

Wawancara dengan SY, pengelola mal, tanggal 12 Januari 2010 di kantor pengelola

mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

44

menilai miring fenomena ini. Konsumerisme yang dulu dinilai dengan sangat

negatif sekitar tahun 80-an, kini tidak lagi terlalu bermakna peyoratif.

Konsumerisme yang geliatnya sangat terasa di mal justru bisa menjadi daya tarik

orang beribadah di sana. Orang tidak terlalu mempersoalkan lagi kemewahan ala

“anak dunia” dalam ibadah di mal. Dekorasi ruangan ibadah di gereja mal pun

diisi dengan fasilitas modern dan mahal bercirikan modern dan mewah.

Penggabungan keduanya membuat terciptanya suatu budaya beriman dan belanja

yang berbeda dibandingkan dengan gereja-gereja arus utama.

Simbol-simbol agama banyak disulap sedemikian rupa menjadi komoditi

yang ditawarkan kepada konsumen sebagai tanda keimanannya. Dengan alasan-

alasan praktis tadi dan ketidakpuasan dengan gereja asalnya, pendiri gereja mal

melihat kehadiran mal sebagai kesempatan untuk mendirikan atau melaksanakan

peribadahan di sana. Gereja yang dianggap sebagai lembaga yang sakral karena

identik dengan firman keselamatan dan berbagai ritus kudusnya telah beralih ke

ruang publik. Namun, dalam kenyataannya, saat ini gereja-gereja seperti inilah

yang tumbuh subur dan sangat diminati oleh umat.

Gereja di mal menjadi menu “paket lengkap” gaya hidup manusia zaman

sekarang. Ibarat peribahasa sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui,

sekali berkunjung ke mal, banyak urusan, baik rohani maupun jasmani terpenuhi.

Orang bahkan tidak hanya bisa belanja, tetapi juga membayar listrik, air, telepon

di sana. Tanggung jawab iman pergi ke gereja pada hari Minggu dapat dilakukan

di mal bersamaan dengan tanggungjawab kebutuhan hidup sehari-hari. Suasana

berbelanja pun rasanya lebih imani, karena berbelanja di tempat yang sama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

45

dengan tempat menyembah Tuhan. Yang sakral hadir bersama dengan yang

profan. Gereja dan pasar saling membumbui. Bumbu yang menurut pengalaman

orang-orang yang beribadah di sana menumbuhkan iman. Apakah bumbu itu

dapat dirasakan oleh orang lain, yang berada di lingkungan luar gereja? Kritik

terhadap gereja mal akan terlihat dalam bab-bab berikutnya. Selanjutnya kita akan

melihat bagaimana sensasi ibadah dan belanja dalam pengalaman menggereja di

gereja mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

BAB III

IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN DAN BELANJA

YANG MENGGAIRAHKAN

Dalam bab sebelumnya kita telah melihat bagaimana perkembangan

konsumerisme muncul di Indonesia. Konsumerisme yang pada awal-awal

perkembangannya dinilai dengan sangat negatif, kini tampaknya dianggap lebih

bersahabat. Ketika berbicara soal konsumerisme, perhatian orang lebih banyak

terarah pada gaya hidup modern. Bahkan status sosial seseorang bisa diukur dari

tingkat dan jenis barang yang dikonsumsinya. Hal ini terbukti dengan semakin

maraknya perkembangan mal. Mal sebagai wujud dari pasar modern menjadi

salah satu indikator menilai status sosial seseorang, karena mal-mal tertentu

diperuntukkan bagi kalangan menengah atas.

Bab ini akan membicarakan pesona mal dalam gairah ibadah dan belanja.

Oleh karena itu terlebih dahulu akan dipaparkan tentang pesona mal dan latar

belakang kehadiran gereja mal. Setelah itu akan diuraikan pola ibadah yang

berlangsung di gereja mal, yang mampu menyentuh aspek psiko-spiritual umat

yang datang ke sana. Lalu pola ibadah di gereja mal tersebut akan dibandingkan

dan dilihat kedekataannya dengan pola berbelanja di mal, yang tidak kurang

menggairahkannya.

Seperti yang sudah direncanakan sejak awal, maka di bab ini data-data

yang akan dimasukkan berupa latar belakang kemunculan gereja di mal. Sampel

gereja yang dipilih ada tiga. Dua di antaranya berada di mal yang sama, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

47

sisanya di mal yang lain. Selain itu, data berupa wawancara langsung dengan

umat yang beribadah di gereja mal juga akan dipakai untuk mengetahui

bagaimana pengalaman umat menikmati suasana ibadah dan belanja di mal.

1. Mal sebagai One Stop Service

Pasar sebagai tempat terjadinya transaksi konsumsi, kini hadir dalam

wujud yang semakin modern. Mal, dalam hal ini adalah bentuk dari pasar modern

yang semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Mal menyajikan nyaris

semua kebutuhan hidup manusia. Mal adalah ruang belanja yang besar dengan

penjagaan yang sangat ketat. Di pintu masuk, pengunjung terlebih dahulu akan

diperiksa oleh beberapa petugas security. Mereka memakai alat metal detector

yang diusap-usapkan ke badan tas dan badan pengunjung untuk mengecek apakah

ada barang-barang berbahaya yang dibawa masuk pengunjung. Jika ada (misalnya

benda tajam), maka metal detector akan berbunyi tiiitttttttt dan pengunjung

tersebut tidak diperkenankan masuk ke dalam mal sebelum benda itu

ditinggalkannya karena bisa membahayakan orang lain.

Setelah lolos dari pemeriksaan pertama, maka nuansa dekorasi modern dan

tata letak ruang-ruang di mal akan menjadi pemandangan yang elok dipandang

mata. Sejuknya ruangan yang ber-AC menambah kenyamanan orang berjalan

menyusuri lorong demi lorong, lantai demi lantai, dan memasuki toko demi toko.

Di toko-toko ada berbagai jenis barang yang dipamerkan, mulai dari barang-

barang dengan merk terkenal yang harganya mahal, sampai barang yang tidak ber-

merk dan cukup terjangkau. Barang-barang itu berbentuk macam-macam, ada tas,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

48

baju, sepatu, perlengkapan kamar tidur, jam, barang-barang elektronik, bumbu

dapur, dan lain sebagainya.

Ada banyak motivasi pengunjung memasuki toko-toko yang menawarkan

barang-barang dagangannya itu, bisa jadi pengunjung datang sekedar untuk “cuci

mata”, karena penasaran dengan produk yang dijual. Namun, bisa juga

pengunjung akhirnya tertarik untuk membeli dan memiliki barang-barang

tersebut. Ada yang berpendapat bahwa mal dapat dikatakan merupakan

sanctuarium para penikmat konsumerisme (a temple of consumerism), di mana,

secara sadar, pengalaman berbelanja berlanjut hingga masuk wilayah hiburan.1

Secara sepintas penulis setuju dengan pernyataan ini, karena mal juga dijadikan

sebagai tempat rekreasi dan bersantai. Namun, tidak semua orang beranggapan

bahwa mal menjadi surga-nya, karena ada kalanya orang justru tidak terlalu

tertarik pada desain modern dan mewah, melainkan pada konsep sederhana dan

natural.

Aktivitas belanja menjadi menyenangkan karena ada suatu hasrat yang

terpenuhi dan perasaan beruntung manakala memanfaatkan promosi harga yang

ditawarkan. Kesenangan demi kesenangan yang didapatkan di sana, pada akhirnya

menciptakan suatu habitus dalam diri seseorang. Pengalaman menggairahkan

dalam pesona mal menjadi bagian dari gaya hidupnya. Orang yang belanja barang

tertentu di tempat tertentu kadang ditandakan oleh member card. Dengan menjadi

member toko tertentu, maka pengunjung akan mendapatkan beberapa keuntungan,

1 Mal tidak hanya merupakan tempat di mana konsumen bebas memilih dan juga

merupakan pusat ekonomi pasar, melainkan secara aktif membentuk imaji mengenai kehidupan

“yang seharusnya”. Di dalam sebuah mal perbelanjaan, kita menjadi bagian dari komunitas

konsumerisme [bdk. Haryanto Soedjatmiko, Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi

dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 53-55.]

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

49

misalnya pemotongan harga, atau pengumpulan poin yang bisa ditukar dengan

hadiah-hadiah menarik. Misalnya: ketika saya berbelanja di Matahari Department

Store, di kasir saya ditanya, apakah saya punya Kartu Matahari? Dengan nada

persuasif kasir akan memberi penjelasan singkat bahwa jika menjadi member

Matahari, maka bonus belanja akan bertambah, dan dalam waktu mendatang bisa

ditukar dengan hadiah tertentu atau mendapatkan potongan harga dari barang lain

yang dibeli. Justru ada yang merasa beruntung dengan mendapatkan kesempatan

penukaran poin dengan hadiah tertentu dan pemotongan harga dalam hasrat

belanja yang agaknya memang tidak dapat terpuaskan.

Pesona toko-toko di dalam mal itu semakin memikat hati pengunjung

dengan promosi bertuliskan, discount up to 70 %, hanya di hari ini diharga’in

segini, beli dua gratis satu, dan lain-lain. Meskipun seringkali yang bertuliskan

diskon besar-besaran itu adalah barang yang kurang menarik dan kurang diminati,

sementara barang lainnya harganya normal. Namun tulisan “discount up to 70 %”

telah berhasil memikat konsumen untuk masuk ke dalam toko itu. Angka ini

ternyata hanya mengiming-imingi calon pembeli, dan ternyata berhasil juga

karena pengunjung toko akan berbondong-bondong ke sana. Secara formal

mereka (pemilik toko) tidak berbohong, tetapi jika berpikir sedikit kritis banyak

konsumen merasa diperdayakan juga. Cara promosi seperti ini agaknya

merupakan gaya promosi yang biasa bagi bisnis modern.2 Meski pengunjung

sering kecewa dengan promosi ini, namun tidak menyurutkan keinginan

pengunjung untuk “memburu” barang-barang murah di mal.

2 K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual (Yogyakarta: Kanisius,

2001), h. 165.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

50

Hadirnya mal sebagai pusat perbelanjaan menyediakan sarana guna

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang beragam. Di dalam mal kita

dapat melakukan one stop shopping, yakni berbelanja barang-barang kebutuhan

rumah tangga di super market, makan di kafetaria, membeli pakaian di butik,

obat-obatan di apotek, dan seterusnya.3 Ciri ini menjadikan mal menjadi tempat

yang tepat untuk dikunjungi demi efisiensi waktu dan kenyamanan belanja,

karena menyediakan hampir segala jenis kebutuhan hidup manusia.

Semakin menggeliatnya hasrat konsumsi manusia di pasar modern ini

turut membentuk identitas orang pengkonsumsi produk-produk tertentu. Menurut

Baudrillard ketika kita mengonsumsi objek, kita sedang mendefinisikan diri kita,

kategori objek dipahami sebagai produksi kategori persona. Masyarakat

merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain

berdasarkan atas objek konsumsi. Sedihnya apa yang kita konsumsi bukan

banyaknya objek, tetapi tanda.4 Penulis setuju dengan konsep ini mengingat

komunitas umat yang menggereja di mal pun pada akhirnya menciptakan nilai

tanda tertentu dalam penghayatan imannya. Penelitian ini melihat segi-segi mana

saja dalam ibadah memiliki kedekatan dengan pola konsumsi. Bagaimana

pengelola gereja mal mengemas ibadahnya sehingga sanggup menarik perhatian

ribuan orang untuk beribadat ke sana setiap minggunya. Pemikiran Baudrillard

dipakai untuk mengulas pesona mal dalam ibadah dan belanja yang

menggairahkan di mal. Pemikiran George Herbert Mead dipakai untuk melihat

simbol-simbol interaksi dalam komunitas umat di gereja mal.

3 Soedjatmiko, op. Cit., h. 5.

4 George Ritzer, Teori Sosial Posmodern (terj.Muhammad Taufik) (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2009), h. 137-138.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

51

(Gambar 1) Situasi di dalam sebuah mal

(Sumber http://www.destination360/middle-east

United-arab-emirates/mall.com)

2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa

Gereja di mal? Bagaimana bisa? Begitulah beberapa reaksi orang

menanggapi fenomena baru ini. Beberapa orang menganggap fenomena ini adalah

bersatunya “yang duniawi” dan “yang ilahi”. Beberapa orang yang ekstrim

mengganggap hal ini sebagai pengkaburan pesan Injil dalam nuansa hidup

beriman yang mengusung nilai-nilai kesederhanaan. Namun, di pihak lain, bagi

pengunjung gereja ini, gereja di mal merupakan jawaban atas arus modernisasi

yang semakin berkembang. Pada kenyataannya, sebagai seorang pendeta jemaat,

saya mau berkata jujur bahwa gereja dengan pesona mal ini lebih diminati oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

52

umat saat ini. Jumlah umat yang beribadah ribuan orang setiap minggunya.

Gereja-gereja arus utama “ketinggalan jauh”, karena terlalu mempertahankan

tradisi, sehingga terkesan kuno dan kaku.

Penulis memilih tiga sampel gereja mal di dua tempat yang berbeda. Dua

gereja berlokasi di Jakarta dan di mal yang sama dan satu gereja berlokasi di

Yogyakarta. Alasan penulis memilih dua gereja di mal yang sama, karena

meskipun berada di mal yang sama, jumlah orang yang datang beribadah di sana

sangat berbeda jauh. Gereja Casa Rosa5 misalnya, bisa dipadati ribuan orang,

tetapi gereja Casa Nera dengan pola yang sama hanya dihadiri ratusan orang saja.

Selain itu, penulis juga memiliki keterbatasan waktu untuk menilik gereja mal

yang lainnya, mengingat jarak tempuh dan macetnya jalan di Jakarta tentu akan

menguras banyak waktu. Sampel ketiga dipilih di Yogyakarta, gereja yang juga

perkembangannya sangat signifikan dati tahun ke tahun, padahal pesona mal-nya

tidak semenarik mal-mal lain.

2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda6

Gereja Casa Rosa berdiri pada tahun 1992. Nama gereja Casa Rosa

diambil dari lokasi mal yang berada di sekitar kantor kedutaan. Sumber yang tidak

ingin diketahui namanya menceritakan bahwa sebenarnya dulu mal ini tidak

terlalu ramai, cukup sepi, tetapi sekarang menjadi sangat ramai karena ada “kita”.

Berikut ini penuturannya tentang latar belakang gereja Casa Rosa:7

5 Nama-nama gereja disamarkan menjadi Casa Rosa, Casa Nera, dan Casa Piccola.

6 Penulis memakai nama samaran untuk merujuk nama gereja dan mal yang diteliti.

7 SM, seorang konselor di gereja Casa Rosa. Wawancara pada tanggal 20 Januari 2010 di

salah satu ruangan gereja Casa Rosa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

53

Historisnya begini, Pak Iw8 itu dulunya adalah salah seorang anggota dari GKI

9. Ia adalah

anggota gereja kita10

. Tapi sebagaimana yang kita tahu bahwa gereja kita ini masalah

yang berhubungan dengan Roh Kudus dalam arti, Bahasa Roh, terus nubuatan, usir setan

kurang dijelaskan. Kita percaya Roh Kudus, tapi cara kerjanya kita pahami berbeda. Nah,

jadi beliau ini rupanya dia merasakan ada suatu. Katakan di dalam hatinya, yang saya

tahu ya dia pernah cerita, ada gerakan di dalam hatinya bahwa ketika gereja-gereja GKI

itu, sejenis gereja GKI merasakan bahwa bahasa roh, waktu itu ekstrim sekali mereka

mencap itu sesat, sesat, sesat. Nah sampai akhirnya beliau, karena dia punya karunia

seperti itu itu, dia merasa seperti itu, itu ditunjukkan juga ketika dia di rumahnya. Dia

sedang belajar, lalu pembantunya kerasukan gitu lho, dia jerit, dia jerit. Dia sedang

belajar, dia dengar, itu dia masih muda itu. Lalu setelah itu dia pergi ke belakang, dia

ambil air satu gelas, dia doakan dalam nama Yesus dan (ehhh: tertawa) itu orang sembuh.

Itu dia jadi punya. Nah kalau selanjutnya beliau ini (Pak Iw), sebetulnya dia ini seorang

pengusaha, dia tidak sekolah teologia memang, dia tidak sekolah teologi, dia seorang

pengusaha, tetapi karena dia punya kerinduan untuk menampung, katakanlah membentuk

suatu gereja, persekutuan di mana yang bersifat itu tadi bisa (diakomodasi). Maka dia

membentuklah gereja di ----- (menyebut nama Mal), di mal ini, persekutuan. Jauh dari

pemikiran bahwa dia mau jadi pendeta, gak, tapi dia adalah yang memanggil orang.

Gereja ini kecil, lalu memang ehh satu dia bilang gini suatu kali dalam ibadah, dia menata

ibadah itu sedemikian rupa, yaitu begitu mulai ibadah malah dikatakan WL yang ada di

belakangnya itu lebih banyak daripada jemaat. WL nya ada, singernya ada, pemainnya

ada. Malah pemain band-nya itu lebih banyak dari orang yang hadir, tapi dia melihat

suatu penglihatan, dia dengar bahwa saat bernyanyi itu dia melihat ke belakang sedikit

sekali orang, tetapi saat memuji itu dia merasakan ada ribuan orang di belakang dan dia

nyanyi bersama. Itu dia merasakan seperti itu.

Itulah latar belakang hadirnya gereja Casa Rosa di mal Piazza Calda. Menurut

penuturan informan ini diketahui bahwa jumlah awal umat di gereja Casa Rosa

bentukan Pak Iw awalnya hanya berkisar 20-an orang saja, yang merupakan

keluarga-keluarga terdekat. Keluarga-keluarga dekat yang umumnya memang

pengusaha ini memilih mal sebagai tempat pertemuan mereka. Ketika saya

bertanya soal usaha apa yang digeluti oleh pendiri gereja ini, informan saya agak

enggan menjelaskannya. Dengan hati-hati ia mengatakan:

8 Iw adalah inisial yang penulis pakai untuk melindungi identitas seseorang. Pak Iw

adalah pendiri gereja Casa Rosa yang kemudian disebut sebagai Bapak Gembala Sidang. 9 GKI singkatan dari Gereja Kristen Indonesia, gereja arus utama yang beraliran

Calvinisme. 10

“Kita” yang dimaksudkan oleh beliau adalah gereja arus utama (gereja saya dan gereja

beliau dulu), karena beliau dulunya adalah seorang pelayan gereja tertentu aliran arus utama,

sebelum aktif sebagai pelayan di gereja Casa Rosa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

54

Ehh beliau ini eh (agak enggan) udah, udah kelas atas sebenarnya bisnisnya, udah ke luar

negeri ya. Dia gerak di batubara dulu, trus sebenarnya ada juga dulu dia kerjasama

dengan tentara republik Indonesia ini, seragam. Bayangkan se Indonesia. Sampai

sekarang itu.... ehhh (enggan lagi) off the record ya, jadi sampai sekarang itu geluti

batubara, tapi dengar-dengar saya gak tau apa naik ke atas apa turun? Tapi ya kurang

lebih begitulah. Ya pokoknya usaha luar negerilah, urusan senjata dengan luar negeri

juga..... ya begitu.... Nah jadi ini berkembang (mengalihkan pembicaraan ke soal gereja).

Ada kesaksian-kesaksian iman bagi dia dulu itu waktu kita ada di ruangan yang pertama

kita mulai itu sewa. Saat sewa itu kita diusir, itu di ruangan sekretariat kita itu, yang kita

ada di situ (sambil menunjuk ruang sekretariat di depan). Gak dikasi sama pengelola, cari

tempat yang lain, tapi beliau tetap berdoa, saya merasa bahwa ini milik ---- (menyebut

nama gereja). Jadi, dengan iman, begitu, sampai pada akhirnya pengelola suruh

mengajukan permohonannya apa? Nanti akan disidang, sampai akhirnya persidangan itu,

OK you dikasi dan ditanya mau tambah berapa? You butuh berapa? Akhirnya kita ada

seperti ini. Lalu, penuh, trus ada tawaran lagi.Tapi intinya pertama kecil, lalu mendapat

tantangan, justru diberi lebih lebar dan lebih besar lagi.

Dengan latar belakang pengusaha, tentu tidak terlalu sulit bagi Pak Iw, sebagai

pendiri gereja Casa Rosa untuk menyokong dana, meskipun awalnya jemaatnya

tidak banyak. Lebih lanjut informan saya mengatakan:

Iya, kalau dari awal karena kebetulan Pak Iw kan pengusaha besar, uangnya banyak,

akhirnya kalau penyelenggaraan ibadah pertama dengan singer, diberi bekal, diberi

makan, itu gak cukuplah kalo dari gereja, persembahan atau apa ya nggak cukup, kalau

tidak ada donatur di balik itu. Nah, makanya dipilih mal karena dia sudah bisa

memperhitungkan semua itu. Kalau dibilang jemaat yang datang, ya jemaat yang datang

umumnya pengusaha. Saya tahu orang-orang awal di sini memang bos-bos gitu. Karena

kalau kita lihat ada orang kasih sumbangan 1 Miliar, itu kan luar biasa, waktu pembelian

sebelah sana (menunjuk ke arah gedung gereja sekarang).

Dari sini saya menyimpulkan bahwa awal lahirnya gereja Casa Rosa adalah

ketidakpuasan akan ajaran di gereja asalnya. Lalu, dengan adanya pengalaman-

pengalaman iman yang “berbeda” namun mengesankan itu, seseorang yang

mempunyai modal cukup untuk membiayai kebutuhan gereja bisa mendirikan

gereja. Saya belum bisa memastikan apakah naluri bisnis Pak Iw turut

mempengaruhi kepiawaiannya memperhitungkan jauh ke depan bahwa tatkala

gereja yang ia dirikan di mal Piazza Calda akan membuat gereja dan mal ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

55

seiring sejalan berkembang dengan pesat. Namun, beberapa aspek tadi saya kira

menjadi faktor yang mendukung lahirnya gereja Casa Rosa di mal.

(Gambar 2) Gedung awal yang dimiliki oleh gereja Casa Rosa pada tahun 1992.

Sekarang dipakai untuk ibadah anak

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

56

(Gambar 3) Gedung kebaktian sekarang yang lebih luas.

Berada di lantai lima mal Piazza Calda (Tampak depan)

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

(Gambar 4) Keadaan di dalam gedung gereja

Casa Rosa Saat Natal tahun 2009

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

57

(Gambar 5) Pintu masuk umat untuk memulai ibadah

di gereja Casa Rosa

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

(Gambar 6) pintu keluar untuk umat yang selesai

Beribadah di gereja Casa Rosa

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

58

2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda

Gereja lain yang berada di mal Piazza Calda berada tepat dua lantai di

bawah gereja Casa Rosa. Dari jumlah umat yang mengikuti ibadah di gereja Casa

Nera, sangat kontras situasinya dibanding dengan gereja Casa Rosa Jumlah umat

yang hadir di gereja Casa Rosa hanya sekitar 150-200 orang. Gereja ini juga

hanya melaksanakan ibadah minggu satu kali saja, karena gereja ini adalah

cabang. Jumlah yang tidak terlalu banyak ini menyebabkan setiap orang baru bisa

langsung dikenali. Saat penulis pertama kali datang beribadah ke gereja ini,

penerima tamu di depan langsung bertanya, “Oh, mbak baru pertama kali datang

ya?”. Lalu saya diminta untuk menuliskan nama saya, dan pada saat warta jemaat

nama saya dibacakan dan diminta berdiri di tempat. Umat yang lainnya

menyambut dengan hangat dan tepuk tangan, lalu petugas penerima tamu yang

tadi berdiri menyambut tamu di pintu masuk, langsung memberikan agenda gereja

ini dalam bentuk buletin dan VCD yang berisi khotbah pendeta pendiri gereja ini.

Menurut pengakuan pendeta di gereja Casa Nera ini, gereja ini awalnya

adalah restoran dengan merk Black Steer yang dipakai sejak tahun 1990-an.

Namun ketika restoran ini berpindah lokasi pada tahun 2005, maka pemilik

restoran ini, yang adalah seorang pelayan gereja ini, memberikan restoran ini

untuk dipakai dengan cuma-cuma sebagai tempat ibadah. Gereja Casa Nera

merupakan gereja wilayah/cabang, sedangkan pusatnya berada di mal yang lain.

Menurut penuturan pendeta di gereja ini:11

Untuk bisa mendirikan gedung gereja susah dapat ijin bangunan, syarat-syarat ijin

masyarakat setempat repot. Itulah sebabnya ketika restoran Blacksteer ini kosong, dan

pemilik memberikannya untuk kami, kami langsung pakai untuk tempat kebaktian.

11

Pdt. Rk, pendeta pelayan di gereja Casa Nera. Wawancara tanggal 17 Januari 2010

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

59

Awalnya ada juga pihak-pihak yang keberatan ketika ruangan ini mau dipakai untuk

kebaktian, tapi akhirnya bisa diatasi. Karena sifatnya pemakaian untuk fungsi tertentu.

Gak ada bedanya dengan fungsi-fungsi yang lain, misalnya counter-counter handphone

yang berfungsi untuk transaksi jual-beli hp.

Sampai saat ini (tahun 2010) ibadah di gereja Casa Nera terus berlangsung. Model

ibadah gereja Casa Nera tidak terlalu berbeda dengan gereja Casa Rosa. Dekorasi

ruangan dan fasilitas ruangan kurang lebih sama. Ruangannya ber-AC, musik

yang dipakai full band, ada LCD yang menampilkan lagu-lagu yang dinyanyikan.

Umat juga bernyanyi dengan luapan ekspresi bahagia, seperti bertepuk tangan,

melambaikan tangan, dan bergoyang. Sebagaimana pengakuan pendeta gereja ini

di bab II tentang upaya menghadirkan suasana ibadah yang nyaman, maka dalam

pelaksanaan ibadahnya petugas ibadah berusaha memberikan yang terbaik, mulai

dari sambutan di pintu masuk, musik, dan khotbah.

Pendeta ini mengakui bahwa 70 % umatnya datang beribadah dengan

menggunakan mobil pribadi. Sekilas dari penampilan umat yang datang ke gereja

ini menunjukkan mereka dari kelas menengah atas. Bapak-bapak umumnya

memakai stelan jas, ibu-ibu berpakaian gaun modis dan juga seksi dengan rambut

yang diwarnai. Saya menyimpulkan bahwa kelas sosial dari mana umat ini berasal

membuat gereja pun harus mampu menyiapkan fasilitas-fasilitas yang nyaman

menurut orang dari kalangan ini, salah satunya ruangan yang tidak gerah, menurut

pendeta tadi.

Menurut pendeta ini jumlah yang tidak terlalu mencolok dalam gereja ini

membuat ikatan kekeluargaan umat lebih dekat. Setiap orang saling kenal satu

sama lain. Kekeluargaan di gereja Casa Nera lebih akrab daripada di gereja Sasa

Rosa. Penulis dapat melihatnya dengan jelas saat ibadah telah selesai, umat tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

60

langsung bubar. Akan tetapi, umat saling berbincang-bincang satu dengan yang

lainnya. Pendeta gereja ini juga tahu siapa saja umatnya yang datang dan tidak

datang. Ini terbukti saat kesempatan bersalam-salaman dengan pendeta, ia

menanyakan seorang Opa, “Lho, Oma kog gak ikut Opa?”.

(Gambar 7) Gereja Casa Nera tampak dari depan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

61

(Gambar 8) Tampak depan penanda restoran ini

lewat dua buah tanduk banteng.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

(Gambar 9) Plang tanda restaurant dulu

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

62

(Gambar 10) Bentuk kursi dan tatanannya di dalam

ruang ibadah gereja Casa Nera

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

Bisa dikatakan bahwa kehadiran di gereja Casa Nera di mal ini adalah

suatu kebetulan. Kebetulan restoran kosong, mengapa tidak dimanfaatkan untuk

kegiatan ibadah? Sulitnya izin membangun rumah ibadah di lahan pemukiman

penduduk juga menjadi alasan pihak gereja memanfaatkan ruangan di mal.

Menarik untuk diperhatikan pernyataan pendeta ini tatkala ada masalah soal izin

memakai ruangan, maka alasan yang digunakan adalah bahwa ruang restoran yang

dipakai sebagai tempat ibadah ini tak ubahnya seperti toko-toko lain yang

berjualan di mal itu. Sengaja atau tidak sengaja, tetapi pernyataan ini menyiratkan

pemaknaan tempat ibadah yang tidak terlalu berbeda dengan tempat konsumsi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

63

2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta

Gereja Casa Piccola telah mengalami banyak perpindahan dari satu tempat

ke tempat lain dalam tahun-tahun perkembangannya. Akhirnya pada akhir tahun

2007, gereja Casa Piccola menempati salah satu ruangan di mal yang tidak terlalu

wah di Yogyakarta dengan kapasitas sekitar 1500 tempat duduk. Gedung ini dibeli

bukan disewa.12

Pemakaian gedung yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain

tak lain karena izin bangunan gedung gereja yang sulit diperoleh. Oleh karena itu

ketika pihak pemilik mal bersedia menjual beberapa ruangan di mal itu, pihak

gereja membelinya, meskipun tidak dengan harga yang murah. Selain karena

pemiliknya adalah orang Kristen, di lantai bawah mal itu terdapat supermarket

yang menjual banyak kebutuhan rumah tangga. Jika sudah selesai ibadah dan

lelah berbelanja, maka umat bisa menikmati makan siang di foodcourt yang

tersedia di mal.13

Setali tiga uang, jumlah umat yang datang beribadah di gereja

ini merupakan konsumen potensial yang akan membelanjakan uangnya di mal

tersebut.

12

Bunga rampai yang disiapkan oleh panitia perayaan 10 tahun ulang tahun gereja Casa

Piccola, Yogyakarta (diparafrase oleh penulis) 13

Wawancara dengan IS, salah seorang WL (Worship Leader) di gereja Casa Piccola

pada tanggal 25 Mei 2009.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

64

(Gambar 11) Beberapa pemuda yang terlibat

dalam pelayanan ibadah di gereja Casa Piccola

(Sumber: Dokumentasi Gereja Casa Piccola)

Gereja Casa Piccola berpindah lokasi ibadah dari satu tempat ke tempat

yang lain. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapat izin membangun rumah

ibadah. Lalu, ketika peluang untuk menyewa atau memiliki ruangan di mal

terbuka, maka pihak gereja memanfaatkan kesempatan ini. Hasilnya,

perkembangan jumlah umat selama mengadakan ibadah di mal lebih tinggi

daripada di tempat yang ada selama ini. Gereja yang berada di Yogyakarta ini

mampu menarik perhatian banyak anak muda, khususnya mahasiswa lewat

suasana ibadah yang bersemangat dan bergaya modern. Meski, mal tempat gereja

ini berada tidak terlalu mewah, tapi foodcourt dan supermarket tetap menarik

perhatian pengunjung. Ketika saya mengamati aktivitas pasca ibadah di sini, maka

saya melihat bahwa umat tidak langsung pulang, namun berkeliling (belanja atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

65

makan) di mal terlebih dahulu. Kekuatan konsumsi agaknyapun menjadi salah

satu faktor daya tarik gereja ini.

Pada kesempatan yang lain penulis melakukan wawancara dengan salah

seorang pendeta muda (biasa disingkat Pdm)14

dari gereja aliran kharismatik, yang

kebanyakan berada di mal. Menurutnya manakala kehadiran mal di Indonesia

semakin marak, maka gereja-gereja melihat situasi ini sebagai peluang. Baginya,

firman Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, maka di manapun gereja berada

itu tidak menjadi soal. Katanya:

“Jawaban yang paling gamblang dan paling mudah sih sebetulnya karena gak punya

gereja yang sesuai apa kata orang tentang gedung gereja, karena GBI-GBI secara khusus

ataupun gereja aliran Pentakosta ini memiliki kesulitan untuk: satu, lahan dan gedung

gereja selayaknya seperti gereja-gereja Protestan atau gereja Katolik zaman dulu. Karena

tergusur-tergusur terus dan ada mal yang mungkin aula-nya belum terpakai atau sudah

tua, dan kemungkinan ini dilihat oleh gembala Tuhan tersebut sebagai opportunity untuk

dibuka, ya dia buka, karena liturginya tidak akan berubah oleh sebab bangunan. Dari mal-

nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai lagi, karena apa? Kan setiap minggunya

banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal yang membuat gereja bertumbuh, itu

opportunity saja. Jadi karena ada yang kosong dan mereka mau sewain buat gereja, ya

udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum). Ide pertamanya gitu. Sebelum tahun 2000-

an sudah mulai banyak. Ketika maraknya mal-mal, dia bikin aula, lalu karena gereja itu

mempertimbangkan berapa nampung? Kapasitasnya paling sedikit kan kurang lebih 500.

Lalu kalo boleh ini disewa oleh gereja dan owner nya bilang gak ada masalah. Dia kan

tahu boleh gak ini disewain karena ada kegiatan gereja, ya kalau owner nya mengijinkan,

kita gak ada masalah, gereja di sini juga gak masalah. Tentu pasti dalam pelaksanaannya

tergantung kepada lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu ya you boleh pakai untuk

ibadah tapi jangan pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh pakai nama, paling ada

spanduk di belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah turunin lagi.

Mal dilihat sebagai suatu peluang dan kesempatan bagi “pemberitaan Injil”. Di

sisi lain, kehadiran gereja juga dianggap sebagai penggerak massa untuk datang

ke mal. Memang, ada kesepakatan-kesepakatan tertentu antara pihak pengelola

mal dengan pihak gereja untuk membuat ibadah di dalam mal itu sendiri,

misalnya tanda-tanda fisik gereja mal. Namun, bagi pihak gereja, kesepakatan itu

14

Wawancara dengan SL, seorang pendeta muda gereja beraliran kharismatik pada

tanggal 14 Januari 2010 di kantor sekretariat gereja, di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

66

bukanlah hal yang terlalu mendasar selama owner gedung yang dipakai untuk

ibadah itu setuju dengan biaya penyewaan atau kalau memungkinkan dibeli untuk

menjadi milik gereja.

Itulah beberapa latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal. Ibadah

yang umumnya dijauhkan dari pasar, kini hadir di dalam pasar, khususnya pasar

dengan gaya modern, yaitu mal. Mal dengan pesona belanja yang menggairahkan

nyatanya turut pula menggairahkan pola beribadah umat. Selanjutnya akan

dipaparkan pola ibadah gereja di mal yang menimbulkan pengalaman psiko-

spiritualitas yang menggetarkan dalam prosesi ibadah di sana.

3. Pola Ibadah di Gereja Mal

Ibadah sebagai suatu kesempatan bertemu dengan Yang Kudus merupakan

aktivitas yang sentral dalam kehidupan beragama umat. Dalam ibadah ada

beberapa unsur yang diartikulasikan melalui setiap kesempatan dari awal sampai

akhir berlangsungnya ibadah. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab I tentang

unsur ibadah yang diambil dari bagian kitab Yesaya 6:1-8, maka ibadah pada

dasarnya adalah ungkapan kesadaran manusia tentang dirinya, sesama dan

Tuhannya. Pada bagian awal ibadah, umat diajak untuk menyadari tentang Tuhan

yang disembahnya dalam kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan-Nya. Lalu,

umat menatap dirinya sebagai manusia yang sedianya mengagungkan Tuhan

dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, ternyata adalah

manusia yang berdosa, serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa.

Akhirnya, terjadilah pengakuan dosa umat. Umat menyadari bahwa ia sering

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

67

tidak taat dalam menjalankan kehendak Tuhana. Oleh karena itu umat melihat

dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari Tuhan

semata. Unsur selanjutnya, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya

adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang

mengaku dosanya.

Orang yang telah berdamai dengan Sang Kudus, yang telah dibaharui itu

kini menjadi pribadi yang siap menerima “siraman rohani” yang akan

disampaikan lewat khotbah pendeta. Isi khotbah akan menjadi pegangan hidup

menjalani pergumulannya hari lepas hari. Berkat dan penyertaan Tuhan menjadi

jaminan keselamatan bagi orang yang menaruh kepercayaannya pada pertolongan

Tuhan. Ini adalah unsur-unsur pokok yang biasanya berlangsung dalam ibadah.

Namun, tiap-tiap gereja punya cara sendiri untuk mengemas unsur ini secara

kreatif dan lebih hidup. Lain di gereja arus utama, lain di gereja mal. Berikut ini

adalah prosesi ibadah yang berlangsung dalam ibadah di gereja mal dalam

pengamatan penulis.15

1. Sambutan di depan pintu masuk oleh empat orang berpakaian rapi yang

memakai stelan jas dan blazer hitam. Penerima tamu biasa disebut Usher.

Mereka terdiri dari tiga orang perempuan dan satu orang laki-laki. Lalu tiap

umat yang masuk diberikan sebuah buletin Mingguan, satu amplop

persembahan yang lux (dari karton tebal) dan amplop janji iman.

15

Pengamatan Pertama di Casa Piccola pada ibadah minggu tanggal 19 April 2009

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

68

2. Ibadah dimulai. Pada saat ini lampu mulai diredupkan dan lampu sorot

dimainkan. Menurut penulis suasana ruangan yang remang-remang ini agak

mirip dengan lighting lampu di café. Pada saat ini ada beberapa hal yang terjadi:

a. Worship Leader masuk dengan enam orang singer, delapan orang muda-

mudi sebagai peraga gerak, dan 4-6 orang penari tamborin.

b. Lalu, Worship Leader menyapa umat secara keseluruhan (greeting), dan

memimpin pujian dengan lagu-lagu yang bertempo pelan dan cepat

berulang-ulang16

sekitar 30 menit, sementara jemaat berdiri.

3. Setelah itu ada sambutan dari petugas ibadah (WL, konselor, pendeta muda)

kepada jemaat yang baru pertama kali hadir, diminta berdiri atau mengangkat

tangan supaya diketahui oleh umat yang lain, dan disambut dengan

menyanyikan lagu “Selamat Datang”. Nanti usai kebaktian dipersilahkan masuk

ke dalam ruang “Jiwa Baru”, dan malamnya ada jamuan makan malam bersama

pendeta.

4. Persembahan (kolekte). Hanya satu kantong saja yang diedarkan. Sementara

kantong persembahan diedarkan, warta jemaat “disiarkan” melalui LCD oleh

seorang host, bukan dibacakan seperti gereja arus utama pada umumnya. Cara

mewartakannya mirip seperti iklan di TV, seorang host cantik dengan penuh

percaya diri mengumumkan beberapa kegiatan gereja dan beberapa lowongan

pekerjaan, misalnya lowongan divisi web.

16

Nyanyian berulang-uang ini agak berbeda dengan kebiasaan bernyanyi umat di gereja

arus utama yang umumnya dinyanyikan sekali, terdiri dari 3 atau empat bait. Dalam gereja mal

satu buah lagu bisa dinyanyikan berulang-ulang sampai empat atau lima kali. WL akan

memenggal-menggal labu, misalnya reff diulang dua kali, lalu diulangi lagi dari awal, dan syair

terakhir bisa diulangi sebanyak tiga kali untuk mengakhiri lagu tersebut. Itulah sebabnya satu

nyanyian bisa dinyanyikan tidak kurang dari 5-7 menit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

69

5. Pendeta pengkhotbah masuk – lalu “kebetulan” ada acara penyerahan anak – di

mana anak-anak kecil dibawa ke depan altar oleh orang tuanya untuk didoakan

oleh pendeta. Sambil didoakan dan diiringi nyanyian, berlangsunglah aktivitas

bahasa roh17

sekitar 30 menit, sementara jemaat tetap berdiri. Uniknya setiap

usai berdoa, bernyanyi, atau mengucapkan satu kata-kata penguatan, seorang

Worship Leader atau pendeta mengajak umat bertepuk tangan seraya berkata,

“Mari beri kemuliaan buat Tuhan kita”.

6. Khotbah

a. Sama sekali tidak membuka Alkitab (mungkin kebetulan, karena di

cabang yang lain pada gereja yang sama, pendetanya membuka Alkitab

sebelum pelayanan firman). Di layar langsung ditampilkan beberapa

gambar yang menjadi judul khotbah minggu ini atau bahkan isi dari nas

yang menjadi sumber bacaan khotbah.

b. Tidak menguraikan suatu perikop/bahan ayat tertentu, melainkan

meloncat-loncat dari perikop yang satu ke perikop yang lain, dan

mengambil ayat-ayat tertentu untuk mendukung topik yang dibicarakan.

c. Pendeta tidak memakai pakaian jabatan gerejawi (misalnya jubah

dengan stola atau dasi putih), hanya memakai stelan jas saja. Ternyata

Pendeta yang bersangkutan melayani lima kali jadwal kebaktian di

gereja yang sama.

17

Pada masa jemaat mula-mula, tak sedikit orang Kristen diberi Tuhan rupa-rupa

“karunia Roh” atau “karunia oleh Roh Allah”, sepertikarunia menyembuhkan orang sakit,

mengadakan mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan Bahasa Roh (glosolalia),

yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak, tetapi yang

perlu diterangkan maknanya (terdapat dalam bagian kitab 1 Korintus 12:10), dalam H. Berkhoof

dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 8. (Bdk. Sugiri,

Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? h. 93-94.)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

70

d. Pendeta memakai kata “Judul”, bukan “Tema”. Pada minggu ini yang

menjadi judulnya adalah “Berpacu dalam Kegerakan”.

e. Inti khotbah: konsep kepuasan hidup sangat dikedepankan. Isi khotbah

sarat dengan teologi sukses/kemakmuran. Menurut Pendeta, orang yang

maju adalah orang yang bergerak (sebagai contoh: Careffour itu adalah

bentuk dari kemajuan, sementara pasar tradisional sudah ketinggalan

zaman, mimbar yang modern inipun kelak harus diganti mengikuti

kemajuan zaman)

f. Aplikasi khotbah. Umat diharapkan dapat memakai khotbah dalam

kegerakan di tengah-tengah keluarga, dalam bisnis dan dalam kehidupan

rohaninya dengan mengikuti program-program gereja, seperti CGM,

Cell Group Movement)

g. Durasi khotbah kurang lebih 50 menit

7. Selesai khotbah, ada satu nyanyian yang dinyanyikan bersama, lalu doa

pengutusan – dan akhirnya pulang sambil bersalam-salaman.

Kurang lebih pola ini hampir sama di setiap gereja-gereja yang ada di mal.

Ibadah berlangsung selama kurang lebih dua jam. Setelah itu akan masuk jam

ibadah selanjutnya. Biasanya umat yang akan masuk pada ibadah berikutnya

sudah antri berdiri di depan pintu masuk. Agaknya umat yang datang tidak mau

terlambat. Mereka rela berdesak-desakan antri menunggu giliran masuk

berikutnya. Di gereja yang lain pintu masuk dan pintu keluar umat dibedakan

mengingat ribuan umat yang akan keluar-masuk setiap pergantian jam ibadah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

71

Menurut pengamatan penulis, pada dasarnya unsur-unsur ibadah di gereja mal

tidak terlalu jauh berbeda dengan unsur ibadah yang berlaku di gereja arus utama.

Perbedaan yang mencolok adalah pada istilah-istilah teknis, seperti votum, salam,

introitus, pengucapan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli, yang jarang

(bahkan tidak pernah) disebutkan dalam ibadah di gereja mal.

Umat merasakan “pengalaman iman” yang baru dalam pola beribadah di

gereja mal. Nyanyian yang ekspresif ditambah gerak dan goyang yang girang

membuat umat merasa keluar dari „kungkungan‟ ibadah yang adem-ayem, yang

bahkan melarang tepuk tangan saat ibadah berlangsung – yang selama ini mereka

alami dalam ibadah di gereja asalnya. Khotbah pendeta juga menjadi pusat

perhatian umat. Secara umum isi khotbah berkisah soal kemakmuran, bagaimana

menjadi sukses di dalam Tuhan? Bagaimana menjadi orang yang diberkati Tuhan

dalam usaha yang sedang dijalankan? Bagaimana kita bisa memuji Tuhan lewat

BB (Blackberry)? Yang terakhir penulis dengar dalam khotbah seorang pendeta

dalam ibadah Youth, yang biasanya dilangsungkan setiap malam minggu. Bahkan

dalam salah satu khotbahnya seorang pendeta gereja ini mengatakan dengan tegas

bahwa Yesus bukan orang miskin, Ia adalah orang kaya, dan kita sebagai orang

yang diberkati Tuhan tentu akan menjadi orang kaya pula. Kalau sudah menjadi

sukses di dalam Tuhan, umat juga diingatkan agar tidak lupa memberi

persembahan kepada Tuhan. Cara berkhotbah yang “menggelegar” dan

meyakinkan umat dengan ucapan, “Ada amin?”, Lalu umat menjawab serempak,

“Amin”, rasanya semakin menambah klop-nya khotbah pendeta tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

72

Kadangkala dalam khotbah, pendeta meminta beberapa orang untuk

memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. Misalnya: dalam kasus hukum

tabur-tuai menurut Alkitab, seorang pengusaha muda bersaksi, “Ketika saya

menomorsatukan Tuhan dalam hidup saya, saya memberikan persembahan

kepada Tuhan, meskipun saya hanya makan tempe, berjalan kaki ke sana ke sini,

namun apa yang saya tabur itu menuai hasil yang luar biasa. Dalam setahun gaji

saya naik lima kali, kini kami punya dua buah rumah besar yang harganya tak

kurang dari ratusan juta rupiah. Ditambah mobil mewah”. Kesaksian ini

disambut dengan tepuk tangan meriah dan takjub oleh umat. Kesaksian-kesaksian

seperti ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh umat dan terang saja

mampu menggugah dan memotivasi umat yang lain. Setidaknya itulah yang

dungkapkan beberapa informan saya tentang efek dari kesaksian orang dalam

ibadah (lih. Transkripsi wawancara 1).

Gereja ini juga tidak jarang menghadirkan pengkhotbah dari luar negeri,

misalnya dari Amerika, Singapore, atau Malaysia. Beberapa kali saya mengikuti

ibadah, pengkhotbahnya berbahasa Inggris karena berasal dari luar negeri. Tentu

saja seorang penerjemah diperlukan supaya umat mengerti isi khotbah yang

disampaikannya. Menariknya, seorang penerjemah memiliki semangat yang sama

persis dengan pengkhotbah, baik itu intonasi, mimik wajah, bahkan guyonannya.

Saya pikir situasi inipun menambah kesan wah lainnya dalam mengikuti proses

ibadah di gereja mal. Saya merasa tidak hanya sedang beribadah di Jakarta, tetapi

di Singapore, di mana kemampuan bahasa Inggris saya sedang dilatih juga. Saya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

73

tentu tidak mau terkesan tidak mengerti isi khotbah pendeta tersebut atau

ketinggalan tertawa, meskipun ada penerjemah.

Kesemarakan ibadah di gereja mal sangat dipengaruhi oleh peran serta

semua pelayan/petugas ibadah, mulai dari penerima tamu, Worship Leader,

singer, dancer, cameraman, tim musik, tim LCD, pengkhotbah. Menurut salah

seorang informan18

, mereka yang terlibat aktif sebagai pelayan/petugas di gereja

mal ini, diapresiasi dengan sangat baik. Setiap persiapan yang mereka lakukan

untuk memberikan yang terbaik dalam ibadah dianggap sebagai pekerjaan

professional. Penerima tamu (usher) di depan pintu pun mendapatkan amplop

ucapan syukur. Worship Leader, singer, dancer dianggap sangat layak untuk

dihargai sesuai kontribusi mereka. Bahkan, konon pendeta yang berkhotbah pun

memiliki tarif-tarif tertentu, yang diukur dengan tingkat “bintang berapa”.

Misalnya: pendeta dengan popularitas bintang lima dihargai senilai Rp. 1,5 juta

sekali berkhotbah, pendeta bintang tiga dihargai senilai Rp. 1 juta (lih. Transkripsi

wawancara 2).

Di pihak lain, pihak gereja mal tampaknya sangat mengakomodasi

kemajuan teknologi. Untuk mendukung ibadah, gereja ini sudah terbiasa

menggunakan LCD, TV-flat, AC, peralatan band, lampu sorot/disco, smoked,

kursi satuan merk Chitose, sound system merk Marshal dan Laney. Alat-alat ini

menambah kesan mewah dalam ibadah. Amplop persembahan-pun sangat lux,

bukan amplop merk Air Mail biasa, tetapi dari karton tebal dan colourfull, selain

itu ada juga amplop janji iman.

18

Pengakuan SM dalam wawancara pada tanggal yang sama seperti di atas. (Lih.

Transkrip wawancara 2)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

74

(Gambar 12) Amplop persembahan di Gereja Casa Piccola

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal

Dari pengamatan saya, umat yang beribadah di gereja mal pada umumnya

berasal dari kelas menengah atas. Memang akan sulit untuk mengetahui kondisi

ekonomi seseorang apabila hanya melihat tampilan luarnya saja, tanpa

berinteraksi langsung dengan mereka. Namun, penulis berani memastikan mereka

berasal dari kelas menengah atas berdasarkan penampilan (cara berpakaian) yang

mirip eksekutif muda dan mobil yang dipakai. Kelompok ini tentu mempunyai

pergumulan yang berbeda dengan kelompok lain, katakanlah kelas menengah

bawah. Umumnya kelompok ini merupakan golongan usia produktif bekerja atau

paling tidak orang yang telah berpengalaman dalam dunia bisnis.

Kondisi psikologis kelas menengah seperti ini bisa dipastikan memiliki

tingkat kepenatan yang cukup tinggi dalam tuntutan kerja mereka. Situasi kerja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

75

dari hari Senin sampai Jumat, atau kadang-kadang sampai hari Sabtu, ditambah

kemacetan jalanan di Jakarta menambah kepenatan demi kepenatan. Dari

beberapa informan penulis, agaknya situasi seperti inilah yang ditangkap oleh

pihak pengelola gereja di mal. Orang-orang seperti ini membutuhkan saat santai

dan refreshing yang efektif dan efesien di akhir pekannya. Sementara itu, gereja

Casa Piccola yang berada di Yogyakarta sanggup menjawab kebutuhan anak

muda yang umumnya kuliah di kota ini dalam gairah masa muda lewat pola

ibadahnya. Gereja di mal dan pola ibadah yang ekpresif mampu memberikan

tempat bagi situasi ini.

Menurut saya ada beberapa hal yang membuat orang rutin beribadah di

gereja mal tanpa harus menjadi anggota tetap di sana. Pertama sambutan dan

sapaan ramah oleh penerima tamu (usher) entah mereka datang terlambat ataupun

tidak. Mereka merasa diterima meskipun bukan jemaat asli gereja tersebut. Para

usher yang berpakaian rapi itu menambah kesan elegan memasuki ruang ibadah.

Ada perasaan spesial manakala usher mempersilahkan masuk, bahkan mencarikan

tempat duduk. Belum lagi ketika mereka pertama kali datang beribadah di gereja

tersebut mereka di perkenalkan dan diberikan sambutan oleh seluruh jemaat, dan

kadang-kadang diberikan kenang-kenangan seadanya. Saya sendiri pernah

merasakannya saat melakukan penelitian ini. Bisa dibayangkan betapa perlakuan

ini menumbuhkan rasa diterima dan dihargai.

Pola ibadah yang ekspresif lewat tepuk tangan, menari, melompat,

bergoyang bisa menjadi sarana melepaskan emosi dan kepenatan mereka. Umat

dengan bebas mengekspresikan kediriannya setelah sepekan lelah bekerja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

76

Semangat umat “dibakar” oleh situasi ibadah yang semarak dan fasilitas ibadah

yang modern. Ketika umat melompat-lompat, lampu sorot ikut bermain,

menciptakan warna-warni yang indah di dalam ruangan itu. Umat bebas

bergoyang karena lampu di ruangan agak diredupkan. Jadi, tidakperlu malu akan

dilihat oleh orang lain. Semuanya bebas bergerak dalam bahasa tubuh yang

menandakan suatu makna tertentu dalam pengalaman psiko-spiritual umat.

Karena gereja seperti ini umumnya berada di kota-kota besar, tak jarang

umat bertemu dengan artis-artis rohani Kristen yang mengisi pujian/nyanyian atau

memberi kesaksian iman dalam ibadah di gereja tersebut. Kesaksian iman artis-

artis tersebut mampu menggugah iman umat yang hadir (lih. transkripsi

wawancara 1). Seperti beberapa waktu lalu ketika penulis melakukan pengamatan

di acara Natal Kaum Ibu salah satu gereja mal, bintang tamunya yang memberi

kesaksian adalah seorang penyanyi non Kristen yang saat ini sedang belajar

agama Kristen (akan melakukan konversi). Beratnya persoalan rumah tangga yang

dihadapinya, membuat ia ingin belajar mengenal Kristus. Kristus yang maha baik

dan pengasih agaknya menjadi jawaban dalam masalahnya. Ibu-ibu yang hadir di

situ begitu terkesima dengan kesaksian penyanyi tersebut. Mereka memperhatikan

dengan seksama kesaksian si artis. Mereka ikut terharu mendengar beratnya

persoalan rumah tangga si artis dan mereka bertepuk tangan mengapresiasi

pilihan si artis, meskipun si artis tidak menunggu acara Natal sampai usai, karena

sebelum khotbah mulai, toh artis sudah pulang dengan pengawalnya.

Sensasi yang lain adalah khotbah pendeta. Seorang informan

mengungkapkan bahwa khotbah di gereja mal ini lain dengan gereja biasa, “Kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

77

tidak diajar tentang sejarah-sejarah yang akhh membosankan, belum lagi

pendetanya gak semangat, tapi khotbahnya mengena di hati. Kita ditantang

sebagai orang Kristen apa yang kita berikan untuk Tuhan, pokoknya enak

didengar deh”, begitu pengakuan salah seorang informan yang berstatus jemaat

simpatisan.19

Umat mendapatkan semangat baru dari pesan khotbah yang

disampaikan. Memang secara umum pengkhotbah gereja mal menyampaikan

khotbahnya dengan bersemangat, berapi-api dan sering membuat lelucon yang

menyegarkan. Kadang-kadang pendeta berkhotbah turun dari mimbar dan berjalan

ke sana-sini. Pergerakan ini memang lebih mudah karena mereka tidak memakai

jubah panjang, tetapi umumnya memakai stelan jas. Tak jarang pengkhotbah

untuk ibadah pemuda malah memakai jeans dan kemeja pressbody. Khotbah

mereka juga sangat interaktif dan komunikatif. Umat diajak berdialog dengan

pendeta tentang isi khotbahnya.

Yang tak kalah penting adalah isi khotbah. Isi khotbah umumnya tentang

kemakmuran dan kesuksesan. Dalam khotbah seorang pendeta, sangat jarang

(hampir tidak pernah) menyinggung tentang kemiskinan, penderitaan sosial,

tindak pidana korupsi yang merugikan banyak orang, dan lain-lain. Tak jarang

umat sengaja mencari jadwal pendeta yang khotbahnya lucu-lucu dan

menyegarkan. Oleh karena itu kesan saya mereka merasa “aman dari khotbah

yang menegur”. Hal ini juga terlihat dari pendapat informan berikut ini.

Dia (seorang pendeta) ngaku di sebuah wawancara di koran, bahwa dia tidak

akan mengatakan yang jelek-jelek dan negatif, tentang dosa dan sebagainya

karena itu tidak disukai oleh jemaat-jemaatnya. Iya, dalam hal ini, dia

19

ES, seorang guru SD Kristen di Jakarta, wawancara tanggal 21 Januari 2010.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

78

mengkhotbahkan yang enak-enak aja dan itu yang banyak dicerca oleh gereja

lain, tapi saya kira itu bukan Injil yang sebenarnya”20

Dengan demikian wajarlah jika kelompok kelas menengah yang bergumul dengan

bisnisnya, menyukai isi khotbah yang memotivasi seperti ini. Tingkat kesuksesan

seseorang bahkan dapat menjadi tolok ukur tingkat keimanannya. Umat

disemangati supaya menjadi anak-anak Tuhan yang berprestasi dan mengingat

pertolongan Tuhan dalam hidupnya lewat persembahan yang diberikan ke gereja.

Hal lain tentang ibadah di gereja mal adalah prestise. Ketika mereka

beribadah di gereja mal, mereka bertemu dengan realitas tampilan “kemewahan,

kemegahan dan keistimewaan”. Cara berpakaian umat yang santai tetapi tetap

mewah, kendaraan pribadi yang membuat padat tempat parkir, sistem pemberian

persembahan atau persepuluhan via rekening bank entah disadari atau tidak

membuat mereka merasa menjadi bagian dari realitas itu dan bangga dengannya.

Belum lagi ada tokoh terkenal atau populer seperti pejabat pemerintah dan artis

yang hadir dalam ibadah itu atau yang memang rutin beribadah di gereja tersebut

tentu makin menambah faktor prestise ini.

Kesan saya, umat menemukan cara menggereja yang baru lewat beribadah

di gereja mal. Umat telah merasa bosan dengan pola ibadah yang kaku dan terlalu

menjaga tradisi, sehingga tertutup dengan pembaharuan. Kesan ini juga yang

dirasakan oleh seorang Pendeta Muda, informan saya, khususnya di kalangan

pemuda (lih. transkripsi wawancara 4). Mereka tidak perlu malu karena umat yang

hadir belum tentu saling kenal satu sama lain, tidak akan ada gosip-gosip seputar

20

SS, seorang dosen teologi di Jakarta, wawancara tanggal 15 Januari 2010 di Jakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

79

kehidupan umat yang bisa beredar (hal ini biasanya sangat rentan dalam gereja

kesukuan). Yang penting khotbahnya enak, membangun iman, berikan kolekte

sesuai kepuasan yang didapat, lalu pasca ibadah masih bisa bersantai “cuci mata”

di mal. Gereja di mal agaknya menjadi tren pemenuhan spiritualitas yang bisa

menyentuh kebutuhan psikologis orang-orang dari kelas ini. Pengelola gereja mal

bisa menangkap kegelisahan mereka.

Hal lain yang dirasakan sangat menggugah iman dan membuat hati plong

adalah saat Altar Call. Bagian ini sangat menarik, umat ditantang untuk

menunjukkan responsnya atas khotbah yang telah disampaikan. Biasanya

tantangan ini berkaitan dengan keterikatan seseorang dengan roh jahat atau dosa-

dosa keturunan yang membuat hidupnya belum juga damai atau masih menderita

sapai saat ini. Mereka yang dipanggil ke depan altar didoakan dan

ditumpangtangan oleh pendeta. Beberapa pelayan ibadah yang lain juga turut

berdiri mendampingi umat yang maju ke depan tadi. Pendeta berdoa dengan suara

yang lantang, sementara itu ibadah menyambung-nyambung doanya tersebut.

Terciptalah suasana doa yang ramai karena mereka berdoa dengan suara yang

keras, “Shhhsssss, pergi kau iblis, kami tengking21

di dalam nama Tuhan Yesus”.

Doa ini berkali-kali diulangi, berganti-gantian dengan ucapan, yang menurut

mereka adalah karunia bahasa roh, “Sylabalaba, bababaabbab, lalallaallalal”

semakin lama semakin kencang, pelan lagi, kencang lagi. Kesan saya terhadap

situasi ini adalah timbul semacam perasaan magis, karena sedang terjadi

“pertempuran” antara roh jahat dan roh Tuhan dalam diri seseorang.

21

Kata “tengking” merupakan kata yang sangat sering dipakai oleh gereja ini untuk

memperlihatkan proses mengeluarkan roh-roh jahat dari dalam diri seseorang. Agaknya kata

tengking memiliki kedekatan arti dengan enyahkan, keluarkan, hancurkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

80

Satu gelombang Altar Call bisa berlangsung selama setengah jam. Umat

yang tadinya berdiri kadang kala ada yang terjatuh ke lantai dan pingsan.

Biasanya peristiwa ini dipahami sebagai keluarnya roh jahat dari dalam tubuh

seseorang. Namun, di pihak lain, informan saya pernah mengatakan bahwa ia

terjatuh karena posisi badan yang tidak seimbang. Saat matanya terpejam,

kepalanya disentuh, pundaknya dipegang, lalu didoakan dengan suara keras, maka

pertahanannya limbung dan ia terjatuh. Umat merasakan ada sensasi magis yang

terjadi di sana atas bantuan Roh Kudus melalui pendeta yang diurapi itu. Ada

kelegaan tersendiri, ketika beban batinnya didoakan oleh pengkhotbah dengan

cara yang memang tidak terlalu umum di gereja-gereja konvensional. Menurut

pengamatan saya acara ini sifatnya sangat teatrikal.

(Gambar 13) Suasana Altar Call: pengkhotbah memanggil beberapa orang

maju ke depan sambil diiringi nyanyian oleh singer.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

81

Kegiatan pasca ibadah tidak kalah penting. Setelah ibadah biasanya

mereka berkumpul bersama teman atau anggota keluarga yang juga beribadah di

gereja tersebut sambil makan bersama. Selain makan bersama mereka juga dapat

sekalian berbelanja atau paling tidak “mejeng di mal”.

Sensasi belanja dan suasana foodcourt semakin menambah lengkap pesona

mal sebagai one stop service. Jika mau belanja kebutuhan sehari-hari, ada

supermarket atau hypermarket yang siap menjual mulai dari bumbu dapur sampai

alat elektronik. Apabila bepergian dengan keluarga, anak-anak kecil bisa dibawa

ke arena bermain anak. Semuanya bisa dilakukan dengan one stop service di mal.

5. Kesimpulan

Ada berbagai alasan dan latar belakang berdirinya gereja-gereja di mal.

Pihak pengelola gereja sebenarnya memiliki keinginan untuk membangun gereja

di wilayah pemukiman penduduk dan di lahan tertentu, sebagaimana gereja-gereja

pada umumnya. Namun, dalam kenyataannya, izin untuk membangun rumah

ibadah agak sulit diperoleh. Keinginan yang kurang didukung oleh ketatnya

aturan pemerintah dan masyarakat inilah yang agaknya membuat pihak pengelola

gereja mencari alternatif lain.

Akhirnya, kehadiran mal dianggap sebagai peluang untuk mengadakan

ibadah di sana. Meskipun tidak sebebas gereja-gereja arus utama yang memberi

tanda-tanda Kristen pada fisik gerejanya, misalnya salib di depan gereja, namun

gairah mengadakan ibadah tetap berkobar. Hasilnya, malah luar biasa. Mal yang

awalnya sepi, justru “dihidupi” oleh umat yang datang beribadah di gereja mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

82

Justru gereja mal mempunyai daya tarik tersendiri bagi umat. Setiap hari Minggu

ada ribuan umat yang potensial membelanjakan uangnya di mal setelah mereka

mengikuti ibadah di gereja tersebut. Fenomena ini menjadikan adanya simbiosis

mutualisme yang terjadi antara pengelola gereja dan pengelola mal, meskipun

ketika ditanyakan, pihak pengelola mal seolah-olah tidak terlalu peduli dengan

simbiosis mutualisme ini, karena yang terpenting gedungnya laku disewa.

Yang terjadi kemudian adalah ibadah dan belanja berduet dalam atmosfer

pesona mal. Jika dulu orang memiliki kesan tentang gereja yang kudus dan pasar

yang kurang kudus, kini orang tidak terlalu mempersoalkan pemaknaan keduanya.

Yang terpenting saat ini adalah penggabungan keduanya. Ada pola-pola yang

hampir mirip ketika orang bicara soal hasrat beribadah dan hasrat berbelanja.

Hasrat belanja yang tidak pernah terpuaskan ada miripnya dengan hasrat mencari

Yang Ilahi yang selalu dirindukan sentuhannya.

Masuk ke ruang ibadah kita disambut senyum hangat dan bersahabat para

penerima tamu. Setelah itu, ibadah yang dilangsungkan di dalam gereja sangat

ekspresif dan “lepas”. Konon, pendeta-pendeta yang berkhotbah adalah pendeta

yang telah tersohor namanya dengan khotbah yang menggelegar dan sedap

didengar karena bicara soal “Bagaimana menjadi sukses di dalam Tuhan?”.

Belum lagi kesaksian beberapa orang yang meng-amin-kan pesan khotbah, karena

kekayaan dan kesuksesan yang dimilikinya sekarang disebabkan oleh berkat

Tuhan yang luar biasa dalam hidupnya. Bentuk promosi seperti diskon, iklan dan

sense of space dalam pesona mal melahirkan suatu pengalaman iman dan belanja

yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

BAB IV

REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA

DI GEREJA MAL

Salah satu sifat manusia adalah berhubungan dengan manusia lainnya.

Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan

keinginannya masing-masing. Dalam proses berhubungan inilah tercipta interaksi

sosial dalam kehidupan manusia. Interaksi terjadi apabila satu individu melakukan

tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain. Bentuk

interaksi itu bermacam-macam, salah satunya yang akan penulis pakai untuk

menganalisis tema menggereja di mal adalah interaksionisme simbolis yang

dikemukakan oleh George Herbert Mead. Mead melihat realitas sosial yang terjadi di

masyarakat lewat bahasa simbol yang ditafsirkan. Bagi Mead realitas sosial muncul

karena interaksi lewat simbol antar anggota masyarakat. Perhatian utama dalam teori

interaksionisme simbolis adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling

ketergantungan yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman

kelompok kecil, negosiasi mengenai norma-norma bersama dan peran individu dan

pola-pola interaksi dalam skala kecil.1

Bab ini akan menganalisis dan menafsirkan secara mendalam realitas sosial

seperti apa yang dilahirkan oleh orang-orang yang beribadah di gereja mal. Lalu,

bagaimana orang-orang yang menggereja di mal mengidentifikasikan dirinya dengan

1 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 5.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

84

pola konsumsi mal itu sendiri? Teori konsumsi dari Baudrillard akan dipakai untuk

melihat bagaimana barang-barang menjadi sarana komunikasi dan interaksi orang

dalam masyarakat konsumsi. Untuk menguraikan tema-tema ini, penulis akan

menempuh dua langkah, yaitu menguraikan temuan penulis tentang simbol-simbol

baru dalam pola ibadah di gereja mal, lalu mencermatinya secara analatik lewat

penafsiran simbol-simbol yang ada, sehingga terbentuklah komunitas gereja dalam

masyarakat konsumsi.

1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal

Gereja mal menciptakan berbagai jenis interaksi simbol di dalamnya. Dari dua

kata yang membentuknya, yaitu gereja dan mal, maka yang secara langsung muncul

di pikiran orang adalah hal tentang gereja yang berada di mal dan gereja yang

memakai fasilitas di mal sebagai ornamen-ornamen ibadatnya. Oleh karena itu, bisa

dipastikan bahwa simbol-simbol interaksi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mead

tercipta dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan simbol-simbol

interaksi dalam gereja konvensional. Ada banyak simbol yang tercipta di gereja mal,

namun penulis memilih beberapa simbol yang dianggap penting yang cukup berbeda

dengan konsep gereja konvensional ataupun gereja sealiran yang tidak berada di mal.

Konsep Mead tentang bahasa isyarat, suara, dan konsep diri akan dipakai sebagai

kerangka teori untuk mengetahui kekuatan simbolik apa yang terdapat dalam

interaksionisme simbolis yang berlangsung dalam kehidupan umat yang menggereja

di mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

85

1.1 Bahasa Tubuh

Sebagaimana setiap orang terhisab dalam komunitasnya dan memahami

konsep-konsep simbol yang berlaku di komunitasnya tersebut, maka umat di gereja

mal dengan sadar mengekspresikan gerak tubuhnya dalam ibadah yang berlangsung.

Gerak tubuh ini menjadi isyarat yang ditafsirkan oleh anggota dalam komunitas itu

dan tentu saja memberi efek yang mendalam pada diri orang yang memakainya.

Beberapa gerak tubuh itu antara lain:

i. Mengangkat tangan (satu atau dua tangan) ke atas

Gerakan ini umumnya dilakukan pada saat menyanyikan lagu. Saat

menyanyikan sebuah lagu umat terhanyut dalam suasana girang dan sendu, sehingga

dengan refleks mengangkat tangannya. Namun, kadangkala ajakan tersebut datang

dari Worship Leader yang memimpin berlangsungnya ibadah. Ada beberapa gerakan

dalam mengangkat tangan, antara lain: mengangkat kedua tangan ke atas dengan

telapak tangan terbuka, mengangkat satu tangan ke atas sementara dengan posisi

telapak tangan terbuka dan tangan lain diletakkan di dada dengan posisi telapak

tangan mengusap dada atau mengepalkan tangan di dada, mengangkat kedua tangan

ke atas dengan mengepalkan kedua telapak tangan. Kedua tangan yang terangkat ke

atas dengan posisi telapak tangan terbuka dan diayun ke kanan dan kiri membawa

seseorang masuk ke dalam suasana gembira berada dalam komunitas. Sementara

tangan yang dikepalkan menyiratkan suatu kebulatan tekad dan kepastian dalam diri

umat, misalnya dalam lirik lagu, “Ku mau menyenangkan-Mu Yesus,” tangan kanan

dikepalkan dengan kencang sebagai pernyataan kebulatan tekad seseorang untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

86

menyenangkan Yesus. Umat dalam komunitas di tempat itu mengkomunikasikan

pesan bahwa dirinya yang sedang mengangkat tangan dan mengepalkan tangan

adalah seorang beriman yang ingin menyenangkan Yesus dalam kehidupannya. Ada

pesan “iman” yang dikirim umat dalam gereja itu dalam bahasa simbol yang mereka

lakukan lewat gerakan tangan ini.

Gerakan lain yang juga sering dilakukan oleh umat pada saat menyanyi adalah

memejamkan mata, seakan membiarkan lagu itu masuk ke relung hatinya yang paling

dalam. Mata yang terpejam umumnya membantu seseorang berkonsentrasi dalam

melakukan suatu tindakan. Sementara mulutnya terus bernyanyi, tangannya diangkat

ke atas, matanya terpejam, umat berada dalam suasana riang nan syahdu yang

diciptakan dengan sangat baik oleh tim musik dan Worship Leader yang bertugas.

Gerakan ini memiliki kekuatan yang mendalam pada diri umat karena berkaitan

dengan pemaknaan akan sesuatu yang “berkuasa” di dalam dirinya. Tentu tidak

mudah bagi seorang Worship Leader untuk menciptakan suasana seperti ini. Ia perlu

latihan untuk menyesuaikan jenis musik dengan pesan yang akan disampaikannya,

memenggal lagu dan mengulanginya, mengisi jeda di lagu dengan kata-kata motivasi,

dll. Ini terbukti lewat wawancara penulis dengan salah seorang tokoh (tangan kanan

gembala sidang)2 ketika penulis hendak meminta wawancara dengan tim musik:

“Oh tidak bisa wawancara, mereka (tim musik) sangat sibuk. Kalau kamu mau

datang lihat latihannya di hari Sabtu silahkan saja, tetapi saya tidak jamin mereka

mau diwawancarai karena mereka sangat sibuk”

2 Seorang ibu tangan kanan gembala sidang, wawancara tanggal 20 Desember 2009 di ruang

sebelah sekretariat Gereja Casa Rosa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

87

Kepiawaian tim musik menciptakan suasana yang mengagumkan ini terbukti pada

saat ibadah hari Minggu nyaris mereka tampil tanpa cacat dan membuat umat yang

hadir mampu menghayati setiap kesempatan dengan ekpresi mengangakat tangan atau

memejamkan mata. Saat pertama kali saya datang ke gereja ini, saya merasa agak

canggung mengikuti gerakan tubuh seperti ini karena tidak terbiasa dilakukan di

gereja saya. Namun bagi mereka yang sudah rutin beribadah di gereja ini, aksi

mengangkat tangan adalah hal yang lazim. Bahkan jika tidak mengangkat tangan

malah mungkin merasa tidak enak karena biasanya akan diperhatikan oleh atau dilihat

oleh beberapa orang (petugas ibadah) yang berdiri di ruas-ruas tempat duduk umat.

Tentang hal ini akan lebih jelas dibahas pada bagian analisis mengenai beberapa

motivasi orang melakukan suatu tindakan yang menjadi komunikasi simbol.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

88

(Gambar 1) Mengangkat tangan dalam ibadah menjadi ciri gereja ini,

ekspresi mendalam saat bernyanyi

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

ii. Tepuk tangan

Tepuk tangan adalah suatu cara memberi apresiasi pada suatu hal yang

dianggap baik. Tepuk tangan dalam ibadah di gereja ini tidak terbatas pada tepuk

tangan biasa(di depan dada). Kadang-kadang tepuk tangan dilakukan dalam posisi

diatas kepala. Cara ini menjadi suatu kekuatan simbol yang menandakan bahwa

seseorang sedang bersemangat dan bergembira mengikuti prosesi ibadah itu. Pesan

yang dikirim oleh Worship Leader kepada umat dan pesan yang dikirim antar umat

adalah ekspresi bahagia dan sukacita. Ungkapan yang sering dipergunakan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

89

khususnya setelah mengakhiri suatu lagu, Worship Leader akan mengucapkan, “Beri

tepuk tangan bagi Tuhan kita”, dan umat dengan serempak memberikan tepuk tangan

yang meriah. Luapan kegembiaraan yang dirasakan oleh semua umat dikirim lewat

pesan tepuk tangan mengakhiri lagu. Bagi saya yang baru pertama kali datang,

tindakan ini pasti agak menganggu karena di gereja-gereja arus utama, umumnya

sangat jarang bertepuk tangan dalam ibadah, khususnya ibadah minggu karena

dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah. Gerakan-gerakan yang biasanya

dilakukan dalam ibadah di gereja konvensional agak terbatas pada aksi duduk dan

berdiri saja.

iii. Melompat dan Menari

Melompat dan menari merupakan aksi yang cukup sering dilakukan dalam

ibadah di gereja mal. Pada bagian ini lagu yang dinyanyikan biasanya bertempo

cepat. Seseorang yang melakukan hal ini bisa mengirimkan pesan pada orang lain

yang ada di sekitarnya bahwa dirinya sedang bersukacita, bergembira dan

bersemangat. Gerak dan goyang ini dilakukan tanpa sungkan atau malu-malu,

ditambah pemandu gerak di depan mimbar juga dengan sangat ekpresif

mencontohkan gerak demi gerak yang sesuai dengan kata-kata di dalam lagu tersebut,

misalnya lirik lagu, “Dari utara ke selatan, nama Yesus disanjung tinggi, dari barat

sampai ke timur … dari lembah-lembah, sungai-sungai, gunung-gunung yang

tinggi… Allahku dahyat, perkasa, seluruh bumi tunduk menyembah …”. Umat tidak

akan sungkan mengangkat tangannya menunjuk kiri, kanan, muka dan belakang,

bergoyang ke kanan dan ke kiri, lalu melompat ketika ada pernyataan kedahsyatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

90

Allah. Ekspresi ini diungkapkan dengan sangat terbuka. Hal ini tentu sangat berbeda

dengan gereja lain, yang dalam kebaktiannya jarang sekali bertepuk tangan, menari

dan melompat. Tiap orang yang menggereja di gereja mal sudah tahu bahwa di gereja

ini ibadahnya tampil sangat ekspresif. Setidaknya begitulah pengakuan informan

penulis saat melakukan wawancara:

“Yang membuat aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya,

lagu-lagunya. Padahal lagu-lagunya kadang memakai Kidung Jemaat

juga, tetapi cara menyanyikannya yang berbeda, lebih

semangat dan ekspresiflah”3

Suasana yang berbeda yang ditemukan di gereja mal ini membuat beberapa umat

yang meskipun telah memiliki keanggotaan di gereja lain, merasa tertarik beribadah

di sana. Ada semacam “kebosanan” tersendiri dengan pola ibadah di gereja asalnya

yang kelihatannya agak kaku dan tidak terlalu memberi tempat pada aksi-aksi yang

lebih semarak, misalnya tepuk tangan atau menari. Pengakuan ini juga terlontar oleh

informan yang lain:

“Kita tu dibawa masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana

sih, ekspresif aja, gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita,

tenaga kita, energi kita untuk Tuhan, fokuslah.”4

Agaknya para informan ini berani bertaruh bahwa pertumbuhan iman mereka di

gereja mal jauh lebih dinamis dibandingkan di gereja asal mereka. Ha ini juga

terbukti dari mimik wajah dan antusiasme para informan ketika penulis mewawancari

3 Wawancara dengan ES, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu digereja arus

utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD. 4 Wawancara dengan RS, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus

utama. wawancara tanggal 21 Januari 2010di Sekolah PSKD.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

91

mereka tentang ibadah di gereja mal ini. Dengan bersemangat mereka menceritakan

pengalaman mereka beribadah di sana dan terpesona dengan pola ibadah yang

ditampilkan.

(Gambar 2) Kelompok penari Tamborin yang ikut menyemarakkan

Lagu-lagu yang dinyanyikan dengan tarian mereka

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

iv. Munundukkan kepala, memukul dada, dan menangis

Setelah sekitar 30 menit umat diajak dalam suasana “sorak-sorai bergembira”

pada bagian awal ibadah, maka umat yang tadinya bersemarak dengan luapan

kegembiraannya, kini digiring ke dalam suasana teduh nan syahdu, yaitu saat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

92

pengakuan dosa. Jenis lagu dan tempo lagu yang dimainkan langsung berbeda. Pada

bagian ini lagu yang dinyanyikan lebih pelan dan menyayat hati, misalnya pada lirik

lagu, “… walau dosaku merah bak kain kesumba, Engkau menjadikanku putih,

seputih bulu domba…”. Dengan lugas layar di LCD dan TV-TV flat yang ada di

sekitar ruangan ibadah menampilkan gambar-gambar orang yang berlutut, yang

mengakui kesalahannya dan gambar Tuhan yang mengampuni manusia yang tentu

saja mampu menggugah perasaan umat. Worship Leader kembali menggiring umat

masuk dalam penghayatan pengakuan dosa ini. Menurut pengakuan seorang

informan:

“Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita dibawa. Nah kita merasa kuat dan

plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang saya rasa’in di gereja ini”5

Dengan jujur informan mengakui bahwa ada perasaan lega manakala umat menangis

sekaligus merasakan bahwa ada “sentuhan ilahi” yang memasuki hidupya yang

berdosa dan berbeban berat itu. Penulis sendiri merasakan hal yang kurang lebih

serupa. Di bagian ini tim musik mampu menghasilkan suasana syahdu yang

melibatkan emosi umat. Itulah sebabnya tak jarang ada umat yang menitikkan air

mata atau terisak-isak di dalam doa pengakuannya. Umumnya posisi tangan yang saat

berdoa berada di depan dada. Sambil menunduk sedih umat hanyut dalam refleksi

perasaan dosa dan bersalah yang dilakukannya mungkin dalam sepekan ini. Umat

tidak malu-malu jika dalam penghayatan keberdosaannya ini ia sampai menangis,

lagipula bukankah tidak banyak orang yang dikenalnya di dalam ibadah tersebut.

5 Pengakuan RS wawancara tanggal 21 Januari di Jakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

93

Simbol ini memberikan suatu pernyataan kesadaran dan penyesalan yang mendalam

atas dosa-dosanya, serta pemaknaan akan besarnya kasih Allah yang senantiasa

mengampuni orang yang menyesali dosanya. Di sini kebesaran Allah yang diagung-

agungkan pada bagian awal ibadah tadi menjadi semakin tampak tatkala ada

pengampunan yang diberikan-Nya pada orang yang mengaku bersalah. Desire umat

tentang Yang Kudus “berjumpa” dalam jangkauan perasaan yang ditimbulkan pada

bagian ini.

Beberapa hal di atas umumnya berlangsung selama tigapuluh sampai empat

puluh lima menit. Bagian pertama dalam rangkaian ibadah ini disebut dengan bagian

Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship). Inilah saat di mana umat diajak

masuk dalam suasana menyembah Tuhan yang luar biasa kuasa-Nya yang mampu

memberikan berkat berlipat ganda dalam hidup umat. Setiap isyarat simbol menjadi

alat komunikasi yang ditafsirkan oleh setiap umat yang hadir baik lewat bahasa

tubuh, suara, atau nyanyian. Ungkapan kegembiraan, kebulatan tekad, ekspresi

kesedihan, lompatan, tarian, tepuk tangan, dan memukul dada tanda penyesalan

menciptakan suatu pembacaan akan kualitas beriman seseorang. Tentu saja dalam

melakukan semua kegiatan ini umat tidak perlu terlalu takut, canggung atau malu-

malu, karena mereka tidak ada hubungan apa-apa dengan orang-orang yang ada di

sekitarnya. Mereka tidak saling kenal karena jumlah umat yang mencapai ribuan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

94

orang dalam satu kali ibadah. Menurut pengakuan salah seorang umat yang penulis

wawancarai:6

“ Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu

kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in,

padahal gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian

jemaat yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan

terdekat saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-

sekali saja ke gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah”

Individu dikenali dari ekspresi simbolis yang terjadi, yang mereka lakonkan

selama ibadah itu berlangsung. Melalui gerak tubuh ini terciptalah suatu komunitas

simbolik yang saling menafsirkan gerakan satu sama lain dalam berlangsungnya

ibadah di gereja mal.

1.2 LCD dan Alkitab Elektronik

Salah satu simbol baru yang juga sangat mencolok dalam gereja mal adalah

memanfaatkan kemajuan tekhnologi dalam berlangsungnya ibadah di sana. Sebagian

umat memang masih ada yang datang membawa Alkitab, tetapi tak jarang umat yang

datang mengandalkan kemajuan tekhnologi yang dipakai oleh gereja ini, khususnya

menampilkan ayat-ayat Alkitab di layar besar yang ada di depan. Umat tidak perlu

repot membawa Alkitab di tasnya, karena fasilitas Alkitab elektronik disediakan oleh

gereja. Selain itu dengan kemajuan tehnologi saat ini, program Alkitab juga sudah

ada aplikasinya di layanan telepon seluler (handphone). Dengan demikian, umat

dengan mudahnya membuka Alkitab lewat HP-nya saja.

6 Pengakuan ES wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

95

Dalam khotbah-khotbahnya, para pendeta gereja mal banyak mengutip ayat-

ayat Alkitab. Jika tidak terbiasa membuka Alkitab pastilah kita akan megalami sedikit

kesulitan membuka kitab demi kitab. Akan tetapi, gereja ini banyak memanfaatkan

kemajuan tekhnologi, sehingga ketika baru saja pendeta mengucapkan, “bersama-

sama kita baca di dalam kitab Keluaran pasal 3 ayat 29”, layar monitor yang ada di

bagian depan atau TV flat yang ada di sudut-sudut atau samping-samping kursi secara

langsung akan menampilkan isi teks yang dimaksudkan oleh pendeta, sehingga umat

bisa langsung membacanya. Jelas saja hal ini sangat memudahkan umat menjangkau

teks-teks Alkitab yang diuraikan oleh pendeta dalam khotbahnya. Kadangkala teks

Alkitab dibaca secara berbalasan, misalnya ayat ganjil dibacakan oleh pendeta,

sementara ayat genap oleh umat, tentu saja umat yang tidak membawa Alkitab

sekalipun bisa ambil bagian karena teks Alkitab yang dimaksud sudah terpampang di

hadapan mereka. Umat tidak perlu menunggu lama, sekali klik saja, ayat-ayat itu

sudah terpampang. Umat yang membawa Alkitab justru memakan waktu yang lebih

lama mencari-cari teks yang dimaksud di dalam Alkitabnya.

Masing-masing umat sudah mengetahui bagian ini, sehingga ketika giliran

pendeta menyampaikan khotbah mereka sudah bersiap-siap menatap ke layar monitor

yang paling dekat dengan dirinya. Terang saja umat yang menggereja di sini tidak

gaptek (gagap tekhnologi). Mereka menjadi biasa dengan adanya layar besar, TV flat,

LCD yang dengan sangat mudah dan cepat menampilkan kebutuhan yang berkaitan

dengan teks-teks “siraman rohani”. Pastilah suasana ini sangat berbeda dengan

gereja-gereja lain yang umumnya fasilitas yang dimilikinya hanyalah organ dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

96

papan tulis kecil yang tergantung di sudut-sudut dinding berisi nomor-nomor lagu

yang akan dinyanyikan dan teks Alkitab yang akan dibaca pada minggu itu. Selain

itu, aplikasi Alkitab Elektronik yang dipergunakan dalam membaca teks khotbah juga

memberi kesan elegan. Orang kini bisa terlihat modern namun tetap rohani dengan

adanya aplikasi tersebut. Ada semacam “rasa wah” tertentu yang tercipta dengan

pemanfaatan tekhnologi tersebut. Rasanya segala sesuatunya menjadi mudah dalam

ibadah di sini.

1.3 Bahasa Roh

Bahasa Roh atau glosolalia merupakan peristiwa pada saat keduabelas rasul

dihinggapi lidah-lidah api. Dalam peristiwa itu para rasul mampu mengucapkan kata-

kata yang bukan dalam bahasanya, sehingga banyak orang yang berkumpul pada saat

itu yang berasal dari berbagai suku, mengerti apa yang diucapkan oleh para rasul. Isi

pengajaran para rasul tersebut bisa dipahami oleh orang banyak dan membuat mereka

takjub dengan situasi turunnya Roh Kudus. Namun, dalam tradisi bahasa roh di gereja

mal, agaknya definisi tentang bahasa roh mengalami pergeseran makna dari

pengalaman awal para rasul dan orang-orang yang berkumpul pada saat itu. Umat

yang hadir dalam ibadah – yang nyatanya mampu mengucapkan Bahasa Roh – tidak

mengerti apa yang diucapkannya. Informan penulis yang terlibat aktif melayani di

gereja mal mengatakan bahwa “Saya gak ngerti bahasa roh itu apa, karena itu kan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

97

bahasa malaikat, tapi saya bisa mengucapkannya”7. Ada pergeseran makna dan

konsep tentang Bahasa Roh itu sendiri.

Sementara itu dalam obrolan santai saya dengan seorang teman yang pernah

pula berdiskusi dengan dosennya yang “bisa berbahasa roh”, menurut pengakuan

sang dosen, “Saya mendapatkan kemampuan ini pada saat saya di Amerika dan

mengikuti ibadah gereja kharismatik. Bahasa roh itu adalah cara roh berdoa pada

Tuhan mewakili pergumulan hidup manusia yang berat.” Menurut pengakuan teman

saya tadi, pernah suatu kali saat mereka mengadakan retreat di daerah Kaliurang,

sang dosen mendengar bahwa di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat retreat

mereka, ada sekelompok orang yang sedang melakukan retreat juga dan si dosen bisa

mendengar dan menangkap bahwa di tempat komunitas itu mereka sedang berbahasa

roh dan ia bisa memastikan bahwa ada banyak masalah dan pergumulan orang-orang

yang mengikuti retreat tersebut, terbukti dari isi bahasa roh yang diucapkan di sana.8

Jadi ada beberapa konsep tentang bahasa roh yang berkembang dalam pemikiran

umat. Bagi saya sendiri, bahasa roh diucapkan jika ada orang yang mampu

menafsirkannya, sehingga pesan pengajaran dari bahasa roh itu membangun iman

orang yang mendengarkannya.

Lafal dari bahasa roh yang dikeluarkan oleh umat pada saat ibadah di gereja

mal misalnya: syalabalaba, syikilabalaba atau syakarakara, biasanya diucapkan

secara serempak, mirip orang yang sedang tahlilan (dalam tradisi Muslim). Saat-saat

7 Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal, wawancara tanggal 24 Juli

2009. 8 Wawancara dengan FS, mahasiswa teologi, wawancara tanggal 17 Agustus 2010.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

98

akan mengucapkan bahasa roh biasanya diiringi oleh sebuah lagu. Lagu mempunyai

kekuatan yang sangat penting menggiring umat dalam berbagai situasi ekstatik

Bahasa Roh ini. Pada saat ini Worship Leader yang berada di bagian depan stage

mengajak umat mengulang-ulang sebuah lagu dan memberikan tekanan pada lirik-

lirik tertentu, “…mujizat terjadi, mujizat terjadi saat datang di altar-Nya”. Lalu,

mulailah suara desisan syikilabalabalaba yang awalnya diucapkan oleh Worship

Leader dan umat mulai mengikutinya.

Di tengah-tengah suasana riuh rendah pelafalan syikilabalabalaba atau

syakarakarakara, Worship Leader kadangkala menambahkan satu lagu lagi untuk

dinyanyikan yang pesannya hampir mirip dengan lagu pertama tadi, misalnya “Besar

anugerah-Mu……,”, dan umat yang mengetahui lagu ini dengan spontan umat

menyanyikan lirik lagu ini dan meneruskannya, “Melimpah kasih-Mu, semakin hari

semakin bertambah besar anugerah-Mu”. Untuk sementara ucapan syikilabalabalaba

terpotong dengan lagu ini. Lagu ini juga dinyanyikan berkali-kali dengan penekanan

lirik yang diucapkan dengan lantang oleh Worship Leader, “Ya memanglah besar

angugerah-Mu, Tuhan….. Setiap hari dalam hidup kami Kau tambahkan…”

sementara umat terus bernyanyi dan sebagian mengucapkan bahasa roh.

Ketika lagu kedua selesai dinyanyikan, sementara musik terus mengalun,

Worship Leader kembali berucap syalabalabalabala, dari lembut, makin keras,

sangat keras, dan umat serta merta ikut mengucapkan syalabalalbalabala. Di sela-

sela suara gemuruh umat, Worship Leader berucap “Mari sembah Dia, sembah Dia”

dan mengulangi lagi, syikirabarabarabaraba. Umat terus mengucapkan hal yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

99

sama, sedikit bergetar mengucapkan kalimat-kalimat bahasa roh, kadang-kadang

seperti menggemakan babababbababa dengan suara yang keras dan semakin keras.

Lalu Worship Leader kembali mengucapkan peenyataan-pernyataan tentang

kebesaran Tuhan, “Kau yang layak kami puji Tuhan, Kaulah Allah kami, Kau yang

berkuasa, Engkau yang bekerja dalam hidup kami, mari Tuhan lihat kami yang ada di

tempat ini”. Suasana begitu riuh rendah dan untaian kata-kata yang diucapkan secara

serempak. Lalu Worship Leader bernyanyi lagi, “Selama ku menyembahMu, ku

percaya bahwa mujizat pasti terjadi, selama Kau besertaku, kupastikan ada mujizat

setiap hari….”, seolah menjadi pertanda bahwa Bahasa Roh telah selesai dan akan

segera ditutup oleh lagu ini. Kekuatan simbolik ini berada pada penekanan-penekanan

yang berulang-ulang dari lagu yang dinyanyikan dan kekuatan penegasan kata-kata

dalam lirik lagu yang dikutip oleh Worship Leader. Nyatanya umat yang sudah

terbiasa dengan gereja ini hanyut ke dalam “situasi magis” yang terjadi beberapa

menit itu.

Bahasa roh kadang juga dilakukan ketika diadakan Altar Call, di mana umat

ditantang maju ke depan untuk didoakan, untuk dibaharui oleh Roh Kudus. Itulah

sebabnya disebut dengan Altar Call. Biasanya orang yang didoakan atau ditumpang

tangan oleh pendeta pada saat Altar Call terjatuh dan kadang pula pingsan. Penulis

tidak mengetahui dengan jelas apa sebenarnya yang menyebabkan orang terjatuh

dalam Altar Call tatkala pendeta mendoakannya dengan suara yang keras. Bisa jadi

ini adalah ungkapan penyesalan yang mendalam atas dosa-dosanya atau hanya ikut-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

100

ikutan karena orang lain yang sudah “dilepaskan” dari roh jahat selalu jatuh setelah

didoakan.

Menurut salah seorang informan yang dulunya aktif melayani di gereja seperti

ini, aksi jatuhnya tersebut tak lain karena mengikuti “skrip” yang diatur oleh pihak

gereja:

Mereka kelihatan sekali menekankan kesucian dibandingkan gereja-gereja

mainstream. Di hadapan jemaat didoakan sampai jatuh jatuh, harus jatuh. Waktu itu

saya belum baca skenarionya dan tidak jatuh, makanya dimarahi. Ada skripnya dan

biasanya bahasa-bahasa yang digunakan untuk mengingatkan skrip itu “jangan

keraskan hatimu”. Ingat lho skrip tadi. Dan itu rahasia umum, tim musik dan jemaat

[bukan jemaat simpatisan] biasanya tahu. Ada skenario besar, yang mengaku dosa di

setiap tempat ibadah yang berbeda-beda itu orang yang sama, yang angkat tangan,

yang menangis ke depan dan yang angkat tangan itu orang yang sama. Lama-lama

melayani di situ sambil-sambil cari tahu mana yang benar, bosan juga akhirnya.9

Pengakuan informan ini agak mengejutkan saya, khususnya tentang skrip itu. Dalam

wawancara ini beberapa orang yang berkumpul sempat pula menanyakan apakah

pendeta yang memimpin acara ini juga tahu kepura-puraan ini? Akan tetapi, ternyata

ada alasan tersendiri yang menyebabkan kadang-kadang orang ikut dalam skrip ini,

sebagaimana lanjutan wawancara di bawah ini:

Bisa berbahasa roh itu tandanya mereka sudah layak melayani. Di kalangan kita

[baca:anggota gereja] banyak yang gak tahu bahasa roh itu apa, tapi banyak yang

meniru-niru. Saya punya teman baik, satu group band, dan dia tidak tahu bahasa roh.

Terus tiba-tiba pas satu kali kesempatan saya kaget karena dia bisa berbahasa roh.

Wah ini kog bisa bahasa roh, emang loe bisa? Enggak akh, gua buat-buat aja.

Kenapa? Saya tertekan!! Dia itu personel lama dan personel lama itu sudah ada suatu

keharusan mencapai level rohani seperti itu. Sama mereka yang gak tahu rahasia ini,

wuihh keren ya, kita harus seperti mereka. Terus dia cerita juga sama saya, kayak

teman yang di sana, dia juga gak bisa, dia pernah cerita, dia pura-pura. Apalagi di

antara pemusik, rahasia itu mulai terbongkar. Saya anggota paling muda dan paling

9 Wawancara dengan SIW, mahasiswa teologi yang dulunya pernah bergabung dengan tim

musik di salah satu gereja aliran kharismatik. SIW pemain gitar dan keyboard. Wawancara tanggal 20

Januari 2010 di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

101

baru, dan kalau dibuat-buat saya juga bisa. Tapi mereka men-cap saya paling tidak

rohani. Saya diblacklist, karena kebetulan saat itu merokok dan mereka selalu

mendoakan saya supaya tidak merokok. Pernah suatu ketika saya disuruh maju ke

depan trus teman-teman saya juga. Yang berdosa, yang berzinah semua disuruh maju

ke depan, trus saya kaget lho kog drummer ini juga ikutan, padahal tadi malam kami

baru minum bear terus didoakan dia jatuh. Lho ini kenapa jatuh? Saya kaget, padahal

fisiknya lebih kuat dari gua kan, lebih kekar, ikut fitness lagi. Ini sesi khusus sebelum

ibadah dimulai. Kami dipanggil untuk disucikan. Trus pas giliran saya, teman-teman

lihat saya wah ini si Papua pasti jatuh sebentar lagi. Trus didoakan lama banget, tapi

gak jatuh-jatuh, trus didoakan dan dibilang “Jangan keraskan hatimu, jangan

keraskan hatimu,” sambil ditendang-tendang kakiku sama temenku, dia singer, dia

dari belakang. Dia mendoakan dari belakang dan ada yang mendoakan dari depan.

Dalam hatiku berisik banget sih ini. Lama-lama karena ada yang nendang gua dari

belakang, akhirnya saya pasang kuda-kuda, saya jadi tambah kuat. Akhirnya

dibilang, ya sudah ambilkan kursi, suruh dia duduk saja. Diambil kursi, saya disuruh

duduk. Yang lain jatuh, saya doang yang duduk.10

Ada beberapa kata kunci yang bisa dilihat dalam peristiwa ini. Yang pertama, umat

tidak merasakan apa-apa, artinya biasa saja dengan peristiwa bahasa roh itu. Kedua,

ikut-ikutan karena malu atau tertekan jika belum juga mencapai level rohani mampu

berbahasa roh. Yang menarik lagi adalah adanya skrip yang mengatur jalannya

suasana teatrikal tersebut. Hal yang kurang lebih sama juga pernah dialami oleh

informan berikut ini:

Aku juga pernah, dulu kan aku ikut kharismatik gitu. Aku ikut gracia-gracia gitu pas

SMP. Trus ceritanya gini pas pengurapan pakai minyak urapan, lho kog teman-

temanku pada nge-gebrak ke belakang? Trus pas bagian aku digini’in (dipegang

kepalanya atau ditumpangtangankan oleh pendeta) aku biasa aja. Trus digini’in lagi,

didorong ke belakang, akhirnya aku jatuh juga karena didorong. Trus aku nanya

temenku, kamu ngerasa apa kog kamu jatuh? Kog aku gak ngerasa apa-apa ya? Apa

gua yang gak beriman? Terus dia bilang begini sama gua. Enggak, gua juga gak

ngerasakan apa-apa kog. Cuma kan malu aja kalau semuanya jatuh kita gak jatuh jadi

ya jatuh aja (hahahhaha, sambil tertawa). O, jadi mungkin semuanya juga pura-pura

jatuh.11

10

Pengakuan SIW dalam wawancara tanggal 20 Januari 2010 di Jakarta. 11

Wawancara dengan SS, mahasiswa teologi. Wawancara tanggal Wawancara tanggal 20

Januari 2010 di Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

102

Dari sini bisa dipastikan bahwa interaksi simbolik yang sedang terjadi sangat

dipengaruhi oleh tindakan anggota dalam suatu komunitas itu. Inilah yang disebutkan

oleh Mead tentang konsep diri, di mana adanya kesadaran individu mengenai

keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang

berlangsung dalam suatu komunitas yang terorganisir. Dalam kasus jatuhnya

seseorang dalam Altar Call pada saat didoakan ia melihat tindakan pribadinya dari

titik pandangan orang lain dengan siapa ia berhubungan, dalam hal ini pemimpin

(pelayan gereja) atau yang lebih kecil adalah pandangan dari teman-teman yang

tergabung dalam satu tim musik. Bisa dikatakan bahwa peristiwa jatuh tadi memiliki

makna komunikasi sosiologis.

Jatuhnya seseorang menyiratkan bahwa ia adalah orang yang lembut hatinya,

yang dikuasai oleh Roh Kudus, yang dengan kata lain, tingkat imannya lebih baik

dari orang yang belum jatuh. Padahal belum tentu. Jika peristiwa jatuhnya itu

hanyalah karena ikut-ikutan, malu diliatin orang atau petugas, maka peristiwa jatuh

agaknya bukanlah tindakan iman. Bisa jadi tafsiran ini pula yang menyebabkan setiap

minggu semakin banyak orang yang jatuh dalam Altar Call untuk menunjukkan

orang dalam level iman bagaimanakah dirinya. Meskipun demikian, bagi beberapa

orang menyadari bahwa suara orang yang berbahasa roh bukanlah sesuatu yang

dibuat-buat, tetapi datangnya dari Tuhan semata dalam cara-cara yang manusia tidak

pahami arti dan maksudnya. Isyarat suara dalam hal ini menjadi simbol interaksi yang

cukup membedakannya dengan pola ibadah gereja-gereja lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

103

1.4 Gaya Berpakaian

Gereja di mal agaknya juga membentuk kode pakaian sendiri. Umumnya cara

berpakaian orang ke gereja rapi, sopan, dan sederhana. Ibu-ibu yang berumur 40

tahun ke atas di gereja-gereja konvensional umumnya memakai kebaya atau stelan

blouse dan rok. Sementara itu gadis-gadis yang masih muda atau ABG (Anak Baru

Gede) sedikit lebih modis, dengan model pakaian yang lebih ketat di badan, namun

tidak berlebihan. Artinya perempuan memakai rok atau celana bahan, dengan paduan

kemeja. Ibu-ibu tak jarang memakai celana ¾ ketat dengan baju atasan kaos. Gadis-

gadis memakai celana jeans dan kaos yang ketat. Pemandangan model pakaian di

gereja mal agak sedikit berbeda dengan cara berpakaian di gereja-gereja

konvensional.

Hal ini berbeda dengan gaya berpakaian di gereja konvensional yang lebih

mengutamakan kesederhanaan. Di gereja konvensional orang berpakaian lebih sopan.

Sementara itu di gereja mal cara berpakaian rasanya lebih bebas. Menurut saya

kebebasan ini juga dikarenakan budaya cuek karena tidak saling kenal. Perempuan

yang khususnya beribadah di sana terkesan modis dan trendi.

Hal ini bisa dipahami mengingat setelah ibadah, umat masih akan

melanjutkan aktivitasnya dengan kegiatan berbelanja. Seandainya saja seorang ibu

yang berumur 50 tahun memakai kebaya lengkap dengan kondenya ke gereja mal,

bisa dipastikan ia tidak percaya diri untuk menyusuri mal untuk berbelanja ini-itu.

Memang yang paling mencolok adalah cara berpakain perempuan, sementara bagi

laki-laki cara berpakaiannnya tidak terlalu mencolok perbedaannya dengan gereja

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

104

konvensional. Orang tentu tidak ingin saltum (salah kostum) berbelanja di mal,

karena image yang diberikan mal adalah sebagai tempat belanja yang elegan dan wah.

1.5 Belanja di Mal

Memasuki mal, ruang besar tempat gereja berada, mau tidak mau kita

berjumpa dengan banyak etalase yang men-display beragam kebutuhan manusia,

mulai dari kebutuhan bayi yang baru lahir hingga kebutuhan lansia. Belanja menjadi

hal yang menyenangkan karena segala kebutuhan bisa dipenuhi di gedung besar ini,

dan tentu saja desain modern dan sejuknya Air Conditioning menambah nyaman

berbelanja di sini. Bagi umat yang ke gereja mal, dua kebutuhan mendasar manusia

bisa langsung terpenuhi, rohani dan jasmani. Aktivitas bisa dilakukan kapan saja. Jika

sudah tidak sabar, maka sebelum masuk ke gereja, adakalanya umat terlebih dahulu

menyempatkan diri melihat-lihat barang-barang yang menarik perhatiannya. Kalau

cocok dengan harganya bisa langsung membelinya. Akan tetapi kebanyakan orang

berbelanja setelah ibadah, karena tidak akan terburu-buru waktu. Orang masih punya

banyak waktu untuk sekedar melihat-lihat atau memutuskan membeli barang tertentu

sebelum akhirnya memutuskan pulang ke rumahnya.

Setelah ibadah yang berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat segera

keluar menuruni eskalator yang berdesak-desakan karena jumlah yang beribadah

sangat banyak. Sebenarnya di sudut gereja disediakan snack serta minuman berupa

teh atau kopi untuk dinikmati bersama setelah ibadah selesai. Akan tetapi, tidak

semua umat menyempatkan dirinya menikmati snack, kopi atau teh yang disediakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

105

Bahkan yang terlihat adalah orang terburu-buru keluar untuk menghindari antri yang

panjang turun ke lantai bawah. Mungkin hanya beberapa orang yang memang adalah

jemaat tetap yang saling kenal masih berbincang-bincang satu dengan yang lain.

Sementara itu ada juga umat yang tidak mau ambil pusing berkenalan ke sana-sini.

Hal ini saya yakini karena dari ribuan umat yang hadir hanya sedikit yang mengarah

ke ruang snack, sementara yang lainnya, termasuk saya dan teman-teman langsung

berdesak-desakan keluar dari pintu keluar yang telah disediakan. Perasaan saya saat

itu tak ubahnya seperti mengingat saat-saat saya keluar dari bioskop. Tidak ada

obrolan santai, tidak ada upaya untuk saling kenal dengan yang lain. Bahkan

penerima tamu yang tadinya sangat ramah saat ibadah akan dimulai, kini memilih

berbincang-bincang dengan sesama petugas di sudut-sudut ruangan.

Dari sini penulis menyadari bahwa dalam gereja dengan jumlah umat sangat

besar ini, hubungan antar umat menjadi kurang akrab. Dari pengakuan informan di

bagian awal tadi, baginya tidak soal kelonggaran hubungan ini, yang penting khotbah

pendetanya mengena di hati. Setelah ibadah selesai dengan sangat mudah umat

menemukan tempat untuk makan, minum, bercengkrama atau bersenda gurau dengan

kerabat yang gereja bersama.

Menuruni lantai lima tempat gereja berada, tidak sulit bagi umat mencari toko

makanan, yang letaknya persis satu lantai di bawah gedung kebaktian. Setelah turun

dari eskalator, persis di sisi sebelah kanan tangga, ada restoran Hoka-hoka Bento.

Para pramuniaga yang berdiri tepat di depan pintu masuk menyapa dan

mempersilahkan pengunjung untuk makan di restoran itu. Secara tidak disadari tubuh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

106

kita akan langsung berbelok ke kanan dan pemandangan restoran ini sungguh

menarik hati. Tidak sedikit umat yang singgah makan di restoran itu. Saya bisa

mengenali mereka dari brosur warta jemaat gereja yang dipegangnya. Selebihnya

mungkin ada yang mencari tempat makan yang lain atau mungkin saja memilih untuk

berbelanja di Carefour yang berada di lantai dasar. Beberapa umat yang tadi

beribadah langsung memadati foodcourt untuk makan bersama keluarga atau teman

akrab. Peristiwa ini gampang dikenali karena beberapa orang itu tadinya adalah umat

yang duduk di dekat saya. Namun, kami pun tidak saling tegur karena memang tidak

kenal satu sama lain.

Selesai makan, agak jarang orang langsung pulang. Kebanyakan dari umat

melanjutkan “perjalanannya” dengan mengelilingi mal, memasuki toko yang satu ke

toko yang lain untuk sekedar cuci mata atau memang berencana untuk membeli. ITC

yang berada persis di sebelah mal menjadi tempat yang menyenangkan untuk

meneruskan kegiatan berbelanja, misalnya belanja pakaian, tas atau sepatu. Sekarang

mereka adalah konsumen yang potensial membelanjakan uangnya di mal tersebut.

Barang-barang yang dipamerkan dengan sangat menarik dan menawan, serta godaan

discount besar-besaran yang terpampang di etalase toko menjadi daya tarik tersendiri

menggereja di mal. Realitas sosial yang terjadi berikutnya adalah adanya hubungan

ekonomis antara umat yang tadinya beribadah dengan para penjual yang berada di

dalam mal. Hal ini diakui oleh beberapa penjual yang penulis wawancarai. Menurut

pengakuan mereka, mal ini menjadi sangat ramai pada saat hari minggu karena ada

ibadah di lantai atas. Pengunjung yang paling ramai adalah saat jam makan siang dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

107

sore menjelang makan malam. “Kami bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan

pada hari itu”, aku seorang penjual makanan di foodcourt yang berada di lantai tiga.12

Dalam hubungan simbiosis ini sesuatu yang awalnya tidak masuk akal, kini

telah terjadi lewat hubungan antara beribadat di mal dan shopping di mal. Bisa jadi

hubungan ini terjadi begitu saja, tanpa kesadaran bahwa ada kekuatan konsumsi yang

melatarbelakangi aktivitas ibadah tersebut. Misalnya, ketika pada awalnya pihak

pemilik mal bersedia menyewakan beberapa ruangannya untuk kegiatan ibadah

karena di lantai dasar mal itu ada swalayan miliknya, seperti ungkapan informan

saya, “Selama ini gereja kami pindah-pindah terus kak, sampai akhirnya kami boleh

menyewa ruangan di mal ini. Soalnya ada pemilik saham yang Kristen dan dia juga

yang punya Gold13

di bawah. Jadi kan selesai gereja kita bisa belanja di bawah.”14

Gold adalah swalayan yang menyediakan kebutuhan pokok rumah tangga yang

berada di lantai dasar mal Yogyakarta. Memang kebanyakan umat datang ke tempat

ini untuk berbelanja setelah ibadah selesai. Saat saya mengikuti pengunjung

memasuki Gold, ada rasa nyaman lain, yaitu lagu-lagu yang dimainkan di Gold

adalah lagu-lagu rohani Kristen.

Umat merasa beruntung karena tidak perlu repot-repot mencari tempat makan

atau tempat belanja kebutuhan pokok rumah tangga, karena saat ini semuanya bisa

dilakukan sekaligus di dalam tempat yang bernama mal, yang menyajikan segala

12

Wawancara dengan PL, seorang penjual makanan di foodcourt mal. Wawancara tanggal 14

Januari 2010. 13

Penulis memakai kata Gold untuk menyamarkan nama swalayan yang terdapat di mal, di

Yogyakarta. 14

Wawancara dengan IS, seorang Worship Leader di gereja mal. Wawancara tanggal 25 Mei

2010 di Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

108

jenis kebutuhan hidup manusia, mulai dari yang jasmani sampai yang rohani. Dulu,

pandangan orang tentang dunia mal adalah sesuatu yang berbau pemborosan, gaya

hidup foya-foya, dan kelas atas, karena barang-barang yang dijual di sana pasti mahal

dan kena pajak, sementara itu ajaran gereja yang umumnya disampaikan dalam

khotbah-khotbah pendeta menekankan hidup sederhana dan menghindari gaya hidup

konsumerisme. Dua hal yang dulu mustahil dijadikan satu, kini malah bergabung

dalam dunia gaya hidup posmodern saat ini. Dan orang tidak ambil pusing dengan

penggabungan itu, karena yang terpenting adalah kebutuhan hidupnya terpenuhi

dengan cara-cara yang lebih cepat dan efisien.

“Ya ada sekalian ibadah, dan ya seperti yang tadi aku bilang, bisa sekalian belanja

atau jalan-jalan.”15

Mal menjadi tempat rekreasi yang menjawab segala kebutuhan, rohani dan jasmani.

Hari Minggu bisa dimanfaatkan sebagai hari berkumpul keluarga sambil refreshing

setelah satu minggu beraktivitas. Saat refreshing itu pun menjadi saat yang tepat

untuk mendengar siraman rohani yang umumnya bicara soal kesuksesan atau

kemakmuran hidup. Meskipun demikian ada juga informan yang merasa bahwa pihak

gereja sendiri selalu mengingatkan umat tentang bahaya hidup berfoya-foya:

Kita kan juga diingetin sama orang gerejanya, eh jangan mata lapar eh lapar mata,

jangan mentang-mentang gereja ini dekat mal atau dekat ini, jangan langsung ngabis-

ngabisin uang, gitu. Kita juga diingetin, oh iya ya, tujuan kita ke sini kan bukan

untuk belanja, walaupun di mal. Jadi kita terfokus aja, ya seperlunya aja belanja di

sana. Enak sih, tapi gak jadi lapar matalah kita.16

15

Pengakuan ES dalam wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Jakarta. 16

Wawancara dengan RK, Guru PSKD di Jakarta dan Guru Sekolah Minggu di gereja arus

utama. Wawancara tanggal 21 Januari 2010 di Sekolah PSKD.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

109

Informan ini bersikap lebih bijaksana tentang kemungkinan orang membelanjakan

uangnya di mal. Ia tetap menekankan bahwa yang terutama tujuan ke gereja adalah

beribadah, bukan hanya menikmati kegiatan belanja. Bahkan dalam pendapatnya

kemudian ia menyebutkan bahwa setelah selesai dari ibadah, ia dan teman-temannya

kerapkali membahas khotbah pendeta dalam obrolan makan siang di foodcourt. Tentu

ada beberapa pemaknaan ibadah di gereja mal. Namun, bagi penulis satu hal yang

tidak mungkin terhindarkan oleh umat yang menggereja di mal adalah kegiatan

belanja yang dengan segala bahasa persuasinya, iklan diskon besar-besaran dan

keuntungan menjadi pembeli pertama dari suatu produk, yang diumumkan dengan

besar-besaran oleh pemilik toko di sana.

2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu

Di bagian pertama pada bab ini saya telah memaparkan data-data secara

naratif. Simbol-simbol yang dipakai dalam prosesi ibadah di gereja mal telah

diklasifikasikan menurut sifatnya, misalnya bahasa tubuh, tekhnologi, gaya

bapakaian, dan belanja. Lalu, pada bagian kedua ini saya ingin membuatnya sedikit

lebih analitik dan reflektif. Di bagian inilah kerangka konseptual dari Mead dan

Baudrillard akan dipakai menurut porsinya masing-masing dalam mengkaji fenomena

gereja di mal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

110

Altar dan pasar17

adalah dua kata yang berbeda dan bertolak belakang. Namun

dalam kenyataannya keduanya saat ini hadir bersama dalam satu ruangan, yang

disebut mal. Kini pemadupadanan dua hal yang tidak lazim menjadi semakin

popular, bahkan menyentuh dunia spiritualitas. Gereja, yang dulunya dianggap

sebagai suatu hal yang teramat kudus dan khusyuk, kini hadir di tempat yang umum

dan ramai, yakni pasar, yang sangat jauh dari pesan kekudusan. Pasar, dalam hal ini

mal, menjadi kekuatan yang ternyata sanggup mempesona umat. Umat terpesona

dengan daya tarik kenyamanan belanja dan keanekaragaman barang yang ditawarkan.

Umat terpesona dengan pola ibadah gereja mal yang menuntun umat pada “jalan yang

benar” di tengah pergumulan hidupnya. Berduetnya pasar dan altar dalam temuan-

temuan penulis akan dianalisis dan ditafsirkan satu per satu dalam bagian ini.

Pergi ke gereja menjadi satu ciri kehidupan orang Kristen. Hari Minggu yang

dianggap sebagai hari-Nya Tuhan, dikhususkan dan dikuduskan untuk beribadah pada

Sang Khalik. Hal beribadah tidak bisa dilepaskan dari perkumpulan, persekutuan atau

komunitas. Menggereja adalah berinteraksi dengan orang lain. Karena menggereja

adalah hal berkumpul, saya teringat dengan satu lagu anak Sekolah Minggu tentang

gereja, “Aku gereja, kau pun gereja kita sama-sama gereja, dan mengikut Yesus di

seluruh dunia, kita sama-sama gereja. Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula

menaranya.Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya”. Dari lirik

lagu ini menarik untuk diperhatikan bahwa sejak dini anak-anak sudah diajarkan

17

Frase Altar dan Pasar adalah judul artikel tulisan Eka Darmaputera “Altar dan Pasar”

tentang Gereja dan Ekonomi dalam buku penghormatan untuk HUT ke-70 Radius Prawiro (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1998).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

111

tentang konsep gereja. Konsep yang paling sederhana adalah menyatakan bahwa

gereja adalah orang, tepatnya sekumpulan orang. Jika bicara tentang sekumpulan

orang, tentunya berkaitan pula dengan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.

Interaksi itu menciptakan realitas sosial dalam perkumpulan tersebut.

Kualitas sosialitas umat di gereja diukur dari tingkat partisipasinya dalam

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh gereja. Pada prinsipnya hubungan itu

setara. Umat dan pelayan gereja adalah orang-orang yang saling mendukung satu

sama lain. Di gereja setiap orang merasa diterima dengan hangat. Itulah sebabnya

setiap ada umat yang baru pertama kali datang beribadah di suatu gereja, ia akan

diminta untuk memperkenalkan diri, supaya umat yang lain dapat mengenalnya, dan

biasanya pelayan gereja itu akan membimbing dan memperkenalkan tentang gereja

tersebut. Perkenalan yang mendalam antara umat dengan umat lainnya, umat dengan

pendeta, umat dengan gereja akan semakin menumbuhkan kedekatan dan rasa saling

memiliki dalam komunitas orang di gereja.

Sosialitas di gereja juga terbentuk lewat berbagai kegiatan yang berlangsung

bukan saja di hari Minggu, melainkan juga lewat kebaktian rumah tangga, doa

lingkungan, pertemuan PA (Penelaahan Alkitab) kaum bapak, kaum ibu, kaum anak

dan pemuda, di mana setiap orang berdasarkan kategorinya bisa bersama-sama

mendalami pemahamannya akan firman Tuhan dan mempererat hubungannya satu

dengan yang lainnya. Bahkan ada juga yang melanjutkan keakrabannya dalam hobby

yang sama, misalnya dalam bentuk olahraga bareng, bermain badminton atau bola

volley, dan dalam bentuk ketrampilan, misalnya memasak bareng. Kehangatan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

112

kedalaman hubungan inilah yang membuat gereja semakin “hidup” dalam pesan-

pesan kenabian yang disampaikannya tidak hanya intern gereja, tetapi juga ekstern

gereja, yakni lingkungan sosialnya. Namun, bagaimanakah sosialitas itu bisa

terbangun dalam konteks berduetnya gereja dan pasar dalam fenomena gereja mal?

Kita akan melihatnya lewat uraian si bawah ini.

Saya akan membahas kategori-kategori yang sudah dijelaskan di atas bagian

per bagian. Sub-sub judul berikut ini mengikuti bagian-bagian data yang telah saya

narasikan pada bagian awal. Dari pemaparan secara analitik dan reflektif berikut ini,

kita dapat melihat bagaimana realitas sosial yang tercipta dalam masyarakat konsumsi

di gereja mal.

2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik

Sebagaimana dipaparkan pada bagian pertama tentang bahasa tubuh umat

yang beribadah di gereja mal, maka secara umum bahasa tubuh mereka memiliki arti

sosiologis. Melompat, menari, dan bertepuk tangan mengkomunikasikan pesan

tertentu pada orang-orang yang berkumpul di sana. Saya sedang bergembira dan

bersukacita sebagaimana yang diinginkan oleh petugas gereja (tim musik) dalam

ibadah. Dalam menciptakan respons ini besar sekali peran tim musik dan kepiawaian

seorang Worship Leader. Bahkan bisa dikatakan peran seorang Worship Leader jauh

lebih besar daripada peran pendeta pengkhotbah. Worship Leader-lah yang berperan

“membakar” semangat umat yang hadir. Tentu ia juga dibantu oleh orang lain.

Kemahiran orang-orang yang tergabung dalam tim musik dan pemandu gerak yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

113

disebut dancer tidak bisa dikecilkan perannya menciptakan suasana ibadah yang

menurut pengakuan beberapa orang sangat ekspresif, tidak kaku, dan tak berbatas.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mead bahwa dinamika proses

komunikasi dapat digambarkan dalam “percakapan isyarat” yang akhirnya

merangsang orang lain untuk menyesuaikan perilakunya sendiri, maka isyarat-isyarat

yang “dimainkan” oleh tim musik menyebabkan umat berlaku sebagaimana yang

diharapkan oleh mereka. Misalnya: gerakan dancer yang mengangkat tangannya ke

atas, atau gerakan Worship Leader yang mengepalkan tangan kanannya

mengkomunikasikan suatu pesan bahwa ibadah ini dimulai untuk menyembah Tuhan.

Umat yang hadir “digerakkan” untuk mengikuti pesan yang disampaikan lewat

bahasa isyarat tersebut. Oleh karena itu menurut penulis ibadah yang berlangsung di

gereja mal ini terletak pada kehandalan tim musik menggiring umat merespons

isyaratnya. Dan kenyataannya umat melakukan gerakan-gerakan sebagaimana yang

diinginkan oleh tim yang bertugas di depan.

Namun, saya belum bisa memastikan apakah bahasa tubuh yang tampil lewat

gerakan-gerakan tadi merupakan ungkapan iman umat atau malah hanya merupakan

reaksi ikut-ikutan saja. Pada aksi jatuh, misalnya: beberapa informan menyebutkan

bahwa jatuhnya mereka sebagai wujud dari ikut-ikutan saja. Ada perasaan tidak

nyaman jika tidak jatuh, karena itu mengasumsikan bahwa dirinya adalah orang yang

hatinya masih keras dan dikuasai oleh roh jahat. Konsep diri seorang tim musik yang

seharusnya sudah sampai pada level rohani yang baik yang ditandakan oleh suatu

kemampuan berbahasa roh, “memaksanya” untuk terjatuh saat didoakan oleh pendeta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

114

Justru aksi ini lahir dari ketertekanan yang mendalam karena level imannya yang

tidak sama dengan orang lain “se-angkatan”-nya. Akhirnya kekhawatiran atas cap

kurang beriman membuat seseorang ikut-ikutan dalam aksi jatuh ini, setidaknya

itulah yang dipahami oleh Siska, seorang informan, saat proses pengurapan, “Apa

gua yang gak beriman ya, makanya gak jatuh saat didoakan?”, padahal dirinya

sama sekali tidak ada perasaan yang berbeda, begitu juga teman-temannya yang

terjatuh saat didoakan. Menurut saya, paling tidak hal “terjatuh” ini dilakukan untuk

menunjukkan bahwa orang yang terjatuh itu masuk dalam komunitas, khususnya

komunitas orang beriman. Ini adalah bentuk dari interaksi simbolik.

Mead juga mengungkapkan bahwa komunikasi simbol manusia adalah bahwa

dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata

yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar.18

Alunan suara dalam lafal bahasa roh syikirabarabaraba atau syalabalabalabalaba

yang diucapkan perlahan-lahan, semakin keras, dan sangat keras serta diulang-ulang

menciptakan suasana hipnose, sehingga banyak umat yang “bergabung”

mengucapkannya, yang walaupun mereka sendiri tidak tahu apa artinya. Namun,

kemampuan untuk menggunakan simbol suara ini memungkinkan umat untuk melihat

dirinya sendiri menurut perspektif orang lain, setidaknya petugas yang berdiri di ruas

tempat duduknya yang mengamati umat selama proses ini.

Kecenderungan yang ikut-ikutan ini mirip dengan pola konsumsi di mana

seseorang membeli sesuatu bukan hanya karena membutuhkannya, melainkan karena

18

Doyle Paul Johnson, op.cit., h. 12.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

115

ada sign value dalam proses mengkonsumsi itu. Sebut saja seseorang yang tergiur

membelanjakan uangnya untuk membeli baju merk Armani, bukan karena ia sudah

tidak memiliki baju, melainkan karena orang lain dari kelas tertentu memakai baju

merk Armani. Jadi, aksi membeli barang tertentu dengan merk tertentu menciptakan

konsep diri tertentu pada diri seseorang bahwa ia adalah orang dari kelas pemakai

baju merk Armani.

Barang-barang yang dikonsumsi telah diberi pemaknaan yang lebih luas dari

arti barang itu sendiri, sehingga orang mengonsumsi barang tersebut atas pencitraan

yang diciptakan oleh sistem promosinya. 19

Penulis setuju dengan pendapat

Baudrillard yang mengatakan bahwa orang tidak pernah mengonsumsi objek itu

sendiri (dalam nilai gunanya) – objek selalu dimanipulasi (dalam makna yang lebih

luas) sebagai tanda yang membedakan seseoang, baik kepada dirinya sendiri yang

berafiliasi dengan kelompok dirinya sendiri, yang mengacu pada kelompok status

yang lebih tinggi.20

Bahasa tubuh yang terbuai dan terhanyut dalam aktivitas di gereja mal – yang

menunjukkan terhisabnya seseorang pada “komunitas beriman” – juga terbangun

19

Proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:

1. Sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana

praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan

sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa.

2. Sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana objek-objek atau tanda-tanda

ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai

nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.

Dalam Jean P Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (terj. Wahyunto ), (Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2009), h. 60-61. 20

Ibid., h. 76.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

116

karena adanya pencitraan yang diciptakan oleh pendeta atau Worship Leader yang

memimpin jalannya peribadatan di sana. Akhirnya, ketika seseorang mengangkat

tangannya, tidak bisa dipastikan secara gamblang bahwa ia memang sedang

mengikuti irama “sukacita” pujian dan penyembahan yang tercipta dalam suasana

ibadah, melainkan atas godaan “takut beda sendiri” di tengah-tengah komunitas yang

sedang terbuai alunan musik itu. Aksi-aksi yang timbul agaknya pun merupakan nilai

tanda, bukan nilai guna yang teresapi dalam bahasa tubuh tersebut.

Pada kenyataannya ribuan orang tertarik dengan pesona ibadah di gereja mal.

Umat merasakan sensasi yang berbeda dengan pola beribadah di gereja yang selama

ini diikutinya. Dengan mengikuti gerakan-gerakan tubuh yang ekspresif ini, umat

telah menjadi bagian “kelompok penyembah” yang berbeda dengan umat di gereja

lain. Menurut Baudrillard individu tertentu menjadi bagian dari kelompok tertentu,

karena individu tersebut mengonsumsi barang-barang tertentu, dan individu

mengonsumsi barang tertentu karena ia bagian dari kelompok tertentu.21

Itulah yang

terjadi dalam proses menggereja dan mengonsumsi dalam prosesi ibadah dan belanja

di gereja mal.

2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD

Rasa yang ditimbulkan oleh pemanfaatan teknologi modern seperti LCD dan

Alkitab elektronik tentu berbeda dengan rasa ibadah di gereja konvensional. Menurut

saya bagi umat yang mengikuti ibadah di gereja mal dengan fasilitas modern

21

Ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

117

menciptakan suatu perasaan komunitas yang gaul tetapi tetap beriman. Dalam

khotbah di ibadah pemuda akhir tahun 2009, suatu kali pengkhotbahnya mengatakan

bahwa kita bisa memuji Tuhan lewat Blackberry. Kita bisa BB-BB-an dengan saling

mengirimkan ayat-ayat firman Tuhan, begitu ungkapnya. Saya yang tidak akrab

dengan BB agak bingung menangkap pesan yang dimaksudkan oleh pengkhotbah.

Ternyata BB adalah jenis telepon seluler terbaru yang keluar sekitar tahun 2009 yang

memiliki aplikasi yang lengkap, dan memiliki nilai tanda yang wah, karena umumnya

digunakan oleh kalangan atas. Dengan aplikasi dan fitur-fitur yang lengkap, tentu

mudah sekali untuk menambahkan aplikasi Alkitab Elektronik di dalamnya.

Pemanfaatan tekhnologi dalam ibadah di gereja mal sedikit banyak

mempengaruhi ketertarikan umat. Jika umat berasal dari gereja suku yang tidak

terlalu terbiasa menggunakan LCD, maka situasi ini merupakan pengalaman iman

yang modern. Mengapa disebut modern? Gereja-gereja arus utama, khususnya yang

berada di pedalaman, dalam ibadahnya biasanya hanya diiringi oleh sebuah organ

saja. Bahkan masih ada gereja yang tidak memiliki organ dan tidak memakai

microphone dalam ibadahnya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana pemuda-

pemuda yang datang dari kampung untuk kuliah di Pulau Jawa, merasakan sensasi

yang sangat berbeda dengan kemajuan tekhnologi dalam pola ibadah di gereja mal.

Umat jadi lebih terbiasa menekan tombol-tombol di telepon selulernya

daripada membuka lembaran demi lembaran Alkitab untuk mencari teks khotbah.

Padahal saat di Sekolah Minggu, anak-anak diajarkan untuk menghafal urutan-urutan

bagian kitab dalam Alkitab mulai dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Kini,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

118

dengan adanya aplikasi Alkitab di telepon seluler, semuanya dipermudah. Bagian

kitab yang jarang dibaca dan dikhotbahkan, dengan sangat gampang dicari di telepon

seluler. Misalnya, ketika pendeta mengatakan bahwa teks khotbah minggu ini diambil

dari kitab Yehezkiel, umat tidak perlu menebak-nebak apakah kitab Yehezkial berada

di bagian Perjanjian Baru atau Perjanjian Lama. Akan tetapi, orang tinggal ketik

Yehezkiel, maka di layar telepon seluler langsung muncul bagian kitab tersebut.

Selain itu, layar LCD yang juga langsung menampilkan dengan cepat ayat-

ayat Alkitab yang menjadi teks khotbah, semakin memudahkan umat untuk

mengetahui isi teks. Jika harus membaca secara berbalasan antara pendeta dan umat,

maka umat yang tidak membawa Alkitab-pun bisa terlibat aktif. Bagi saya, hal ini

mengimplikasikan dua sikap, pertama, positif, karena umat bisa terlibat dalam ibadah,

khususnya membaca teks Alkitab. Kedua, negatif, karena kemudahan ini bisa

membuat umat tidak perlu membawa Alkitab lagi ke gereja. Akhirnya sikap terhadap

kebiasaan pergi ke gereja bergeser dengan adanya tekhnologi canggih di gereja.

LCD juga membantu umat melihat teks lagu yang dinyanyikan saat ibadah.

Umat jadi merasa lebih efesian menatap layar LCD daripada membuka buku

nyanyian. Pola ibadah yang ekspresif, di mana umat diajak “berjingkrak-jingkrak” ke

kanan dan ke kiri, memang semakin dipermudah jika lagu-lagu tinggal dibaca di layar

LCD. Bagaimana mungkin bergerak bebas, jika tangan kanan saya memegang buku

nyanyian rohani, sementara Worship Leader mengajak saya melompat dan bertepuk

tangan? Tekhnologi ini membuat segalanya menjadi lebih cepat, mudah dan modern.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

119

Pada akhirnya umat terhisab dalam suatu komunitas ibadat yang akrab dengan

kemajuan-kemajuan zaman.

Secara tidak langsung pemanfaatan barang-barang teknologi di gereja mal

sekaligus mempromosikan barang-barang tersebut. LCD, TV flat, Hp merupakan

barang-barang yang juga menjadi komoditas yang dijual di mal tersebut. Turun ke

lantai empat, etalase-etalase yang menjual telepon seluler baru dan setengah pakai

berjejer di sisi kanan dan kiri. Masuk ke toko elektronik lainnya, televisi dengan

berbagai ukuran layar datar terpajang manis dengan rayuan diskon besar, seolah

pembeli adalah orang yang paling beruntung jika memanfaatkan harga diskon

tersebut. Duet altar dan pasar semakin tak terelakkan.

(Gambar 3) TV-flat yang dipakai untuk menyiarkan khotbah dalam Ibadah Youth

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Norita)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

120

2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya

Mal sebagai tempat hang out mencipatakan gaya berbusana tersendiri. Orang

bisa membedakan pakaian ke kantor dan pakaian ke mal. Orang lebih memilih

pakaian santai ke mal daripada pakaian formal, misalnya jas. Orang memakai pakaian

santai karena kegiatan berbelanja di sana sifatnya santai, tidak harus terburu-buru,

dan juga modis, karena mal biasanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas.

Barang-barang dengan merk mahal dan terkenal menjadi sajian yang akan

memanjakan pembeli yang berkunjung ke dalamnya. Orang pergi ke mal biasanya

memakai kaos/T-shirt dan celana jeans. Celana yang digunakan kadang celana

panjang atau pendek, yang penting memudahkan pergerakan belanja ke sana dan ke

sini. Perempuan jarang menggunakan rok karena akan menyulitkan pergerakannya,

apalagi untuk naik-turun elevator menuju lantai yang satu ke lantai yang lain.

Sementara itu orang pergi ke gereja dengan pakaian yang formal, sedikitnya

kemeja dan celana/rok. Dari model berpakaian ini saja bisa dilihat bahwa komunitas

di gereja mal pada akhirnya menciptakan kode berpakaian sendiri jika dibandingkan

dengan gereja-gereja arus utama. Di gereja mal jarang dijumpai ibu-ibu yang

memakai kebaya. Pakaian ibu-ibu sangat modis dengan balutan celana ketat dan baju

kaos yang agak panjang. Atau terusan dress setinggi paha atau lutut dengan tambahan

legging di bagian bawah, supaya terlihat tetap sopan namun trendy. Pakaian ABG

atau perempuan muda lainnya juga lebih trendy. Nyaris tidak bisa dibedakan lagi

mereka ingin ke gereja atau ingin mejeng di mal. Tak jarang para ABG memaki baju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

121

yang sangat terbuka di bagian atas dan sangat mini di bagian bawah. Bagi saya

sendiri model pakaian di gereja mal agak kurang sopan. Namun, kembali ke masalah

keakraban antar umat. Mungkin saja mereka yang memakai pakaian agak terbuka

tetap leluasa mengenakannya karena tidak harus malu atau sungkan dengan orang

yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya mereka tidak saling kenal. Belum tentu

minggu depan akan bertemu dengan orang yang sama, jadi cuek aja. Budaya cuek dan

masa bodo’ pun bisa dipastikan berkembang di antara umat.

Baju-baju dengan berbagai ukuran dan model sangat mudah didapatkan di

mal dan di ITC sebelah mal itu berada. Jadi, jika kita tertarik dengan model

berpakaian orang yang ke gereja mal, kita bisa juga mencarinya di mal. Beragam

jenis pakaian dengan embel-embel harga murah ramai dipamerkan di etalase-etalase

mal tersebut. Mode pakaian yang sedang trendy delam pergaulan anak muda saat ini

bisa dibeli dengan mudah dan murah di mal. Pengalaman ini tentunya menimbulkan

suatu perasaan “lain” karena saat belanja sekaligus menjadi saat ibadah. Baju belanja

sekaligus baju ibadah.

2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona

Sistem kebutuhan adalah produk dari sistem produksi. Melalui sistem

kebutuhan kita mengerti bahwa kebutuhan tidak dibuat satu per satu dalam hubungan

dengan objek-objek lain tetapi dibuat produksi sebagai kekuatan konsumtif sebagai

kesediaan secara global dalam lingkup yang lebih umum dari kekuatan-kekuatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

122

produktif.22

ITC di sebelah mal menjadi bukti dari sistem produksi yang berusaha

membuat orang merasa “membutuhkan” barang-barang yang dipamerkan. Kebutuhan

inipun menjadi seragam dengan peredaran musim yang sedang berlangsung,

misalnya: tas yang sedang trend saat ini adalah tas sandang kecil, maka perempuan-

perempuan muda akhirnya merasa membutuhkan tas sandang tersebut. Contoh lain

beberapa waktu yang lalu yang sedang musim adalah baju atau jilbab Manohara

(berkaitan dengan hangatnya isu pelecehan seksual yang diderita artis Manohara di

Malaysia), maka ibu-ibu pun berbondong-bondong mencari baju dan jilbab Manohara

di pusat-pusat perbelanjaan.

Geliat konsumsi ini menjadi sesuatu yang secara tidak sadar mempengaruhi

konsumen menentukan kebutuhannya. Hal ini semakin menguatkan pendapat

Baudrillard bahwa konsumsi adalah sebuah prilaku aktif dan kolektif, ia merupakan

sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah

keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi integrasi kelompok dan

integrasi kontrol sosial. Masyarakat konsumsi juga merupakan masyarakat

pembelajaran konsumsi, pelatihan sosial dalam konsumsi – artinya sebuah cara baru

dan spesifik bersosialisasi dalam hubungannya dengan munculnya kekuatan-kekuatan

produktif baru dan restrukturisasi monopolistik sistem ekonomi pada produktivitas

yang tinggi.23

Dengan hadirnya gereja di mal maka secara tidak langsung terbentuk

pulalah masyarakat konsumsi atau umat yang berkonsumsi. Pola ibadah di gereja mal

22

Ibid., h. 81-82. 23

Ibid., h. 90-91.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

123

sedikit banyak memiliki kemiripan dengan pola konsumsi. Umat yang awalnya

datang untuk konsumsi spiritual di gereja, kini merupakan konsumen yang aktif

potensial membeli barang-barang yang dijual di mal.

Sebagaimana konsumsi meliputi pembelian barang-barang yang dijual

berdasarkan pencitraannya, bukan lagi pada nilai gunanya, maka orang beribadah di

gereja mal pun agaknya mendasarkan ibadahnya pada pola konsumsi. Seseorang

mendengarkan khotbah ibarat membeli sesuatu. Jika khotbahnya menarik dan

mengena dalam kehidupannya, maka umat yang terkesan dengan khotbah tersebut

tidak segan-segan memberikan uang persembahan yang besar. Menurut pengakuan

informan:

Di sini memang persembahannya tidak terlalu merata, tetapi yang “kakap-kakapnya”

kalo kasih persembahan besar, mereka senang dengan khotbah pendetanya. Makanya

kami pun mencari pendeta pengkhotbah yang hebat yang memang bisa menggugah

jemaat.24

Ekstase ibadah yang dirasakan umat ada kemiripannya dengan ekstase

belanja. Orang yang puas dengan produk tertentu tidak akan sayang menghabiskan

uang dalam jumlah yang besar jika produk yang dibelinya memenuhi keinginannya.

Pola ibadah di gereja mal tampaknya sangat banyak memberikan kepuasan, mulai

dari bagian awal nyanyian dan penyembahan yang semarak, hentakan atas rasa salah

diri dan keberdosaan umat, masuknya Roh Kudus dalam diri umat yang berbeban

berat, dan janji-janji kemakmuran dalam khotbah pendeta. Semua unsur ini menjadi

24

Wawancara dengan Pak SM, tenaga konseling di gereja Casa Rosa, pada tanggal 16 Januari

2010.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

124

daya tarik menggereja di mal ditambah manisnya janji-janji “keselamatan” produk-

produk yang ditawarkan di mal.

(Gambar 4) Aktivitas belanja di mal

(Sumber: http : // eshape. blogspot.com/)

Dari uraian analitik tentang fenomena bergabungnya altar dan pasar, sikap

saya ada dua. Pertama, hubungan budaya konsumsi dengan gereja atau peribadahan

tidak bisa dihindarkan. Lingkungan orang menggereja saat ini adalah masyarakat

konsumsi. Fenomena ini bahkan telah berimplikasi pada gereja-gereja arus utama

yang juga mulai menilik pola-pola ibadah di gereja mal. Kedua, jika fenomena ini

dikaitkan dengan hakekat gereja yang menyampaikan kabar gembira, maka saya

memiliki pandangan yang positif dan negatif. Pada satu sisi, bahasa gereja yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

125

menyampaikan kabar baik dengan cara mengabsorsi bahasa budaya konsumsi,

membuat ibadah lebih komunikatif dan sanggup menyentuh kedalaman batin umat.

Ini adalah budaya pop dalam komunitas masyarakat konsumsi di gereja mal.

Fenomena ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari inkulturasi menggereja zaman

sekarang. Saya sepakat dengan pembaharuan ini. Namun, pada sisi lain, tanggung

jawab gereja yang idealnya menyentuh aspek hidup manusia secara holistis (inklusif,

tidak diskriminatif, mengedepankan nilai-nilai keadilan, pro kemiskinan, dan lain

sebagainya) belum nyata dalam gereja mal. Gereja sebagai perwujudan kabar gembira

yang hanya menyentuh golongan tertentu, bukanlah gereja, melainkan hanya

merupakan komunitas budaya pop dengan lifestyle tertentu tanpa tanggung jawab

moral dan etis. Gereja seperti ini pada akhirnya berakhir pada eksklusivisme dan

manipulasi. Oleh karena itu, dengan tegas saya masih menuntut pembaharuan sosial

gereja dari gereja-gereja seperti ini.

Bagi banyak orang sosialitas di dalam gereja menumbuhkan rasa saling

memiliki dan menghargai satu sama lain. Gereja sebagai tempat bersekutunya umat

merupakan suatu wadah untuk saling mengenal serta menumbuhkan belas kasih yang

mendalam dalam interaksi sosial umat, sebagaimana cara hidup jemaat mula-mula

dalam tradisi Kristen yang merupakan komunitas rumahan. Cara hidup jemaat yang

pertama ini dicatat dalam bagian kitab Kisah Para Rasul 2: 41-47 yang menyebutkan

bahwa mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan, mereka

selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, segala kepunyaan mereka

adalah kepunyaan bersama, selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya lalu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

126

membagi-bagikannya dengan semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.25

Situasi ini menyiratkan suatu keadaan persekutuan yang akrab dan dekat di mana

setiap orang berperan aktif untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan mau

berkorban untuk yang lainnya.

Oleh karena itu, situasi jemaat mula-mula memang pantas menjadi landasan

hubungan di gereja sepanjang masa. Gereja harus tetap menjaga sosialitas yang akrab

dalam pelayanannya. Namun, dalam kenyataannya sekarang, ketika jumlah umat di

suatu gereja mencapai ribuan jiwa, maka realitas sosial yang terlahir pun menjadi

berbeda. Gereja mal dengan jumlah umat yang sangat besar menciptakan realitas

sosial yang berbeda dengan gereja-gereja arus utama. Orang tidak terlalu

mementingkan hubungan mendalam dengan orang lain, melainkan kepuasan pribadi.

Sekarang orang dihadapkan pada banyak pilihan, tetapi sayangnya orang tidak

bisa memilih. Yang malah terjadi adalah orang mempunyai cara sendiri untuk

menggunakan semuanya, yakni dengan cara menggabungkan atau mensintesakannya.

Salah satu contoh orang yang tidak bisa memilih adalah kenyataan tentang kegairahan

orang beribadah dan berbelanja di mal. Penggabungan aktivitas menggereja dan

berbelanja ini merupakan wujud dari logika hidup manusia zaman sekarang pada

level sintagmatik.26

25

Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007). 26

The logic of life manusia zaman sekarang banyak bermain-main pada level sintagmatik.

Hubungan sintagmatik adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan dengan tanda lain sejauh tanda-

tanda itu memiliki fungsi satu sama lain. Oleh karena itulah hubungan sintagmatik juga disebut

hubungan fungsional. Hubungan ini tampak paling jelas dalam sebuah sintagma yang ditata mengikuti

sintaks tertentu. Hubungan sintagmatik sifatnya linear (tidak mungkin kita bicara dua kata bersamaan),

in praesentia (ada, tertulis, terucapkan, hadir bersamaan), kombinasi (paduan unit-unit yang dipilih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

127

Sebagaimana mal yang menjanjikan kemewahan, ke-elegan-an, keuntungan,

dan kenyamanan, siapa yang tidak tertarik dengan isi khotbah yang menjanjikan

kesuksesan dan kekayaan atas nama Tuhan? Penyampaian khotbah yang

bersemangat, berapi-api dan disertai lelucon nyatanya mampu menguatkan dan

menyegarkan pendengar khotbah. Namun, menurut saya, itu tidaklah cukup. Khotbah

tidak hanya bersifat untuk menghibur pendengarnya, tetapi ia sekaligus berfungsi

untuk mengoreksi hidup umat. Sebuah khotbah juga harus berani menyatakan

kebenaran di tengah-tengah maraknya ketidakadilan, kekerasan, penindasan, dan

penderitaan.

Gereja di mal tampaknya melahirkan komunitas yang eksklusif. Hal ini

terlihat dari kehomogenan umat yang beribadah di sana, yang kebanyakan datang dari

kelas menengah atas yang “terberkati”. Mereka “mengiklankan” berkat Tuhan dalam

kesuksesan dan kekayaan yang diraihnya lewat bisnis, usaha, dan kerjanya. Namun,

pertanyaan saya, di manakah tempat orang miskin dalam komunitas di gereja mal?

Beranikah mereka beriklan tentang kebaikan Tuhan jika hidup mereka belum juga

sesukses dan sekaya kakap-kakap lainnya? Jangan-jangan di gereja ini, kemiskinan

dan penderitaan dianggap sebagai kutukan dari Tuhan. Kalau sudah seperti ini, maka

panggilan beriman umat patut juga dipertanyakan. Konon, gereja ini juga kurang

begitu tanggap dengan masalah-masalah sosial. Jumlah kas yang besar itu banyak

dari sebuah paradigma secara beraturan dari tanda-tanda yang berinteraksi membentuk keseluruhan

yang bermakna. Contoh yang paling mencolok dalam hubungan sintagmatik adalah dalam dunia

fashion (peragaan busana), ada kalanya sang model menghadirkan rok dan celana panjang sekaligus

dalam peragaan busana, dalam St. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 62.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

128

dipakai untuk keperluan biaya rumah tangga gereja, seperti gaji pendeta, gaji petugas

ibadah yang lain, peningkatan fasilitas, dan sangat jarang dialokasikan untuk bantuan

bencana. Bukankah gereja harusnya “keluar”? Ia tidak cukup hanya memikirkan

kepuasan orang yang beribadah di sana, tetapi hadir bagi orang di luar gereja yang

menderita.

Saya sangat terkesan dengan pola ibadah yang ekspresif di gereja mal.

Kekuatan musik dan kepiawaian petugas-petugas ibadah patut diacungi jempol. Tidak

diragukan lagi jika mereka berlatih dengan serius untuk menyiapkan ibadah pada hari

Minggu. Bagi gereja arus utama, pola ibadah ini harusnya dilihat dengan bijaksana

karena nyatanya mampu menyentuh kedalaman batin umat dalam pengalaman

psikospiritualnya. Gereja arus utama harus berani keluar dari kekakuan pola ibadah

yang berlangsung selama ini. Namun, jika ibadah segaja diatur oleh sebuah skrip

yang menentukan kapan seseorang jatuh, menangis, dan berjalan ke depan altar untuk

didoakan, tentu itu bukanlah ibadah yang murni. Ibadah yang direkayasa seperti ini

sama sekali bukan ibadah yang sejati. Ibadah ini telah dipakai sebagai alat untuk

melanggengkan pesona gereja saja, bukan lagi pada penghayatan iman yang

sesungguhnya.

Gereja arus utama dan gereja mal sama-sama memiliki kelemahan. Gereja

arus utama yang terlalu ketat dengan dogma dan tradisi dianggap kurang menjangkau

kebutuhan umat. Namun, di sisi lain, gereja yang terlalu memikirkan hasrat umat dan

menjadi eksklusif, bisa kehilangan suara kenabiannya. Fenomena bergabungnya altar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

129

dan pasar sekali lagi tidak bisa ditolak, hanya saja kita perlu menyikapinya dengan

bijaksana, kritis, dan bertanggungjawab.

3. Kesimpulan

Gereja di mal adalah suatu fenomena ibadah yang berbeda dengan gereja-

gereja arus utama. Interaksi simbolis yang terjadi di antara umat dalam gereja ini

menjadi realitas sosial yang baru dalam cara menggereja umat (ekklesiologi) lewat

bahasa isyarat, suara dan komunikasi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi

semacam itu, bagi mereka yang beribadah di sana, sangat menyentuh kedalaman hati

individu yang sedang bergumul dengan masalah hidupnya. Namun, umat memang

bisa terjebak pada kepuasan pribadi belaka. Hasil penggabungan (sintesa) dua unsur

yang selama ini bertolak belakang, ternyata memproduksi budaya massa yang

semakin memikat hati, namun harus tetap diwaspadai karena bisa jatuh pada

penghayatan iman yang ekskusif.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ciri gereja yang super besar membuat

pola hubungan dan interaksi umat jadi terbatas dan agak longgar. Umat tidak

mempunyai cukup banyak waktu untuk sekedar ngobrol sambil nge-teh, berkenalan

secara mendalam. Karakteristik umat ibarat orang yang berbelanja, masuk ke dalam

toko, lihat-lihat, pilih yang cocok, pergi ke kasir, bayar, lalu keluar. Begitu pula

halnya dengan beribadah, masuk, duduk, mengapresiasi ibadah dengan mengikuti

acara demi acara, mendengar khotbah, jika menyentuh berikan uang persembahan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

130

seharga kepuasan khotbah, lalu pulang. Akibatnya, keakraban dan kedekatan umat

yang satu dengan lainnya sangat dangkal di gereja ini.

Adanya jenis keanggotaan simpatisan dalam aturan rumah tangga gereja mal,

semakin menambah longgarnya interaksi umat dengan umat. Pelayan di gereja ini

mengakui bahwa umat simpatisan yang beribadah di gereja ini sangat banyak.

Dengan menjadi umat simpatisan seseorang tidak harus meninggalkan gereja asalnya.

Siraman rohani yang didapatkan di gereja mal menjadi penambah “kenikmatan cara

beriman” yang selama ini tidak diperolehnya di gereja asalnya. Agaknya “rasa”

ibadah di gereja mal lebih spesial dan mengena dalam pengalaman psiko-spiritual

umat dibandingkan dengan pengalaman di gereja asalnya. Singkatnya, ibadah di

gereja mal merupakan bentuk spiritualitas yang baru. Kekuatan bahasa simbolik yang

berlangsung dalam prosesi ibadah dan aktivitas belanja pasca ibadah sungguh

mempesona. Apakah setelah itu (setelah keluar dari gereja atau mal) umat menjadi

semakin saleh, setia, dan beriman, itu masih perlu diuji. Apakah menggereja di mal

pada akhirnya mengarahkan umat pada nilai tanda bukan nilai gunanya? Bisa saja

terjadi.

Realitas lain yang muncul adalah adanya simbiosis mutualisme antara umat

dan pedagang di mal tersebut lewat cara berkonsumsi umat setelah dan sebelum

ibadah dimulai. Tanpa disadari ada setting-an interaksi manusia yang terbentuk lewat

hadirnya gereja-gereja di mal. Setelah urusan “rohani” selesai dalam ibadah yang

berlangsung selama kurang lebih dua jam, umat selanjutnya bisa menyelesaikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

131

urusan “jasmani”nya dengan sekedar “cuci mata” di mal atau akhirnya memutuskan

untuk membeli sesuatu.

Sadar atau tidak sadar posisi toko elektronik, foodcourt, arena bermain anak,

dan supermarket menciptakan interaksi simbolis umat setelah keluar dari gereja.

Umumnya gereja berada di lantai paling atas, lalu satu lantai di bawahnya arena

bermain anak atau foodcourt. Artinya, setelah ibadah umat perlu bersantai dengan

membawa anak-anak ke arena bermain atau mengisi tenaga yang tadi telah terpakai

selama ibadah, dengan mengunjungi foodcourt, memesan dan menikmati menu

makanan yang beragam, sesuai selera. Biasanya lokasi foodcourt cukup berdekatan

dengan gereja.

Lalu setelah tenaga terkumpul dan situasi pikiran lebih segar, orang akan

semakin nikmat menyusuri toko-toko pakaian, tas, sepatu, atau alat-alat elektronik

yang berada di lantai selanjutnya. Sebelum memutuskan pulang, sekali lagi konsumen

bisa singgah ke supermarket yang umumnya berada di lantai bawah. Posisi ini tentu

bukan tanpa tujuan tertentu. Pada bagian akhir “petualangannya” di mal, orang

diingatkan lagi soal kebutuhan sehari-harinya, mulai dari bumbu dapur, sayur mayur,

peralatan mandi, perlengkapan kebersihan rumah tangga, keperluan sekolah, dll.

Aktivitas belanja di tempat ini lebih baik dilakukan terakhir, supaya tidak berat-berat

membawa barang belanjaan ke sana ke mari. Setelah meyelesaikan aktivitas belanja

di supermarket ini, pintu keluar dan jalan menuju tempat parkir sudah tidak jauh lagi.

Dengan demikian, semua kebutuhan hidup yang diperlukan sudah didapatkan di

tempat yang bernama mal. Sintesa antara gereja dan mal ini berlangsung dalam gerak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

132

perkembangan ekonomis dan religiositas dalam gaya hidup posmodern manusia

zaman sekarang.

Akhirnya, di bab ini saya menyimpulkan bahwa pola ibadah dan pola

konsumsi memiliki kemiripan dalam banyak hal. Hubungan menggereja dan

mengonsumsi saling mempengaruhi satu sama lain. Kita tidak bisa menolaknya, ini

adalah fenomena bergabungnya altar dan pasar dalam perkembangan budaya

masyarakat saat ini. Namun, meskipun fenomena ini tidak dapat ditolak, saya tetap

mempunyai sikap kritis, hakekat gereja sebagai penyampai kabar baik, yang

diartikulasikan dalam ibadah di gereja mal berimplikasi pada dua hal, pertama ia

sanggup menggunakan bahasa budaya konsumsi dalam penghayatan beriman umat,

kedua, ia bisa terjebak pada pesona glamour ibadah dan eksklusivisme tanpa

memperdulikan tanggung jawab moral dan etis sosialnya.

Nilai tanda yang tercipta dalam aktivitas ibadah dan aktivitas belanja memiliki

karakteristik yang kurang lebih saling mendukung. Gereja di mal akhirnya

melahirkan realitas sosial baru bagi “jemaat diaspora” masa kini. Umat yang semakin

tersebar ke dalam pola dan model ibadah serta ruang menggereja masa kini,

sebenarnya sedang tidak bisa membuat pilihan sendiri atas “hasrat dirinya”.

Kapitalisme dan globalisasi telah memproduksi budaya baru dalam penghayatan

beriman manusia yang hidup dalam modernitas zaman saat ini. Inilah pengalaman

beriman dan berbelanja dalam pesona mal. Prosesi duet ini menciptakan komunitas

masyarakat konsumsi di gereja mal, yang masih harus dipertanyakan tanggung jawab

moralnya terhadap situasi sosial masyarakat pada umumnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

BAB V

PENUTUP

Gereja di Mal: Pola Beribadah dalam Budaya Konsumsi

Sejak awal tesis ini mengarahkan seluruh perhatiannya pada fenomena

bergabungnya gereja dan pasar. Penggabungan keduanya bisa dilihat lewat fenomena

gereja-gereja yang mengadakan ibadahnya di mal. Gereja yang mewartakan nilai-

nilai sakral keselamatan hadir bersama dengan pasar yang menawarkan nilai-nilai

kenikmatan dan kepuasan konsumsi. Saat ini situasi ibadah sangat bervariasi, yang

paling mencolok adalah perbedaan pola ibadah di gereja aliran arus utama dan gereja

aliran kharismatik. Pada prinsipnya ibadah di gereja bertujuan untuk mengantar umat

pada pertemuan dengan Sang Kudus dan menyampaikan kabar gembira. Akan tetapi,

kemasan yang membungkus pesan ibadah tadi disiapkan dan ditampilkan dengan cara

yang berbeda-beda.

Penelitian ini menggali praktik menggereja di mal dalam konteks budaya

konsumsi, di mana gaya hidup manusia semakin banyak berada pada level

sintagmatik, hadirnya dua hal yang tidak lazim secara bersamaan. Penelitian ini

dilakukan untuk menjawab: pertama, apa yang menyebabkan gereja bisa hadir di

ruang publik, dalam arti pasar, khususnya mal? Kedua, sejauh mana model

menggereja di mal menyerupai model mengonsumsi? Ketiga, realitas sosial seperti

apa yang terbentuk dalam masyarakat konsumsi di gereja di mal? Dengan menjawab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

134

ketiga pertanyaan ini, fenomena gereja di mal akan dilihat pesonanya dalam gaya

hidup budaya manusia zaman sekarang.

Penulis melakukan penelitian baik empirik maupun kepustakaan selama

kurang lebih satu tahun. Penelitian empirik dilakukan dengan wawancara dan

mengikuti ibadah di gereja mal. Berdasarkan pengamatan awal di lapangan, penulis

merumuskan hipotesis penelitian: adanya kemiripan pola beribadah dan pola

berkonsumsi di gereja mal. Paradigma ini muncul setelah penulis menemukan

beberapa simbol-simbol atau bahasa-bahasa baru dalam pola beribadah di gereja mal.

Bergesernya ruang ibadah dari wilayah tertentu ke ruang konsumsi memproduksi

budaya baru dalam masyarakat. Pesona mal mampu mengakomodasi (nyaris) semua

kebutuhan hidup manusia dengan semboyan cepat, tepat dan efesien. Dari sini saya

melihat bahwa senyatanya hubungan gereja dan budaya konsumsi tidak bisa

dihindarkan. Keduanya saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain dalam

kegairahan beriman dan berbelanja sekarang ini.

Dinamika pergeseran paradigma ruang ibadah ini diteliti dengan

mempertimbangkan beberapa alasan. Pertama, penelusuran tersebut ditempatkan

sebagai sebuah tinjauan teoretis yang memperkaya pembahasan tentang fenomena

gereja-gereja di mal dan situasi bergereja di gereja-gereja arus utama. Kedua,

kerangka analisis dalam penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik

dan sosiologi konsumsi dari Baudrillard. Kedua kerangka konseptual ini dipakai

untuk menganalisis jenis-jenis interaksi umat di gereja mal yang melahirkan realitas

sosial yang baru dalam bahasa komunikasi konsumsi yang baru. Ketiga, wacana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

135

fenomena di gereja mal tidak dimaksudkan untuk menilai benar-salah praktik

beribadah umat Kristen, melainkan ditempatkan sebagai pembanding atas pola

beribadah di gereja-gereja arus utama yang sadar atau tidak sadar semakin “kurang

diminati” umat. Namun, beberapa sikap kritis saya terhadap pola ibadah di gereja mal

tetap diketengahkan. Oleh karena itu mau tak mau gereja arus utama harus berbenah

diri menyiapkan dan “menyajikan” kemasan istimewa dalam pola ibadahnya yang

selama ini agaknya mengalami “kekeringan”. Namun, di sisi lain, gereja di mal juga

harus tetap menunjukkan pembaharuan sosial menggereja yang inklusif. Penelitian

tesis ini berusaha didekati dari perspektif sosiologis dan wajah identitas komunitas

dalam budaya posmodern.

Melalui proses analisa atas ketiga pertanyaan penelitian dan menempatkannya

dalam pergeseran pemaknaan ruang ibadah, maka penulis menemukan tiga

pandangan dalam gemerlapnya dunia mal dan sakralnya dunia gereja: Pertama,

kehadiran gereja di mal secara tidak sengaja disebabkan oleh susahnya birokrasi

administrasi izin pembangunan rumah ibadah, serta adanya kebosanan umat dengan

pola ibadah gereja arus utama yang terjadi selama ini. Pemimpin gereja arus utama

dianggap kurang mampu membuka diri terhadap perkembangan zaman. Pola ibadah

di gereja mal dianggap sebagai trend baru yang lebih mampu memberi “kepuasaan”

atas dahaga spiritualitas selama ini. Umat merasakan sensasi psiko-spiritual yang

berbeda dengan pola ibadah di gereja arus utama karena ornamen-ornamen yang

digunakan dalam ibadah lebih fresh dan mengikuti perkembangan arus zaman.

Singkatnya ibadah di gereja mal menghantar umat pada “rasa ibadah yang modern

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

136

dan gaul”. Kedua, mal sebagai sanctuarium para penikmat konsumerisme telah

melahirkan kegairahan beribadah dan berbelanja. Keduanya kini berduet harmonis

dalam budaya yang berkembang di masyarakat. Ketiga, fenomena bergabungnya

gereja dan pasar menciptakan realitas sosial yang baru. Sosialitas dan interaksi sosial

antar umat bukan hal yang utama di gereja ini karena yang lebih diutamakan adalah

kepuasan pribadi (personal salvation). Kepuasan pribadi yang dirasakan ini mirip

dengan pola orang berkonsumsi. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa pola

menggereja dan pola mengonsumsi yang terjadi di gereja mal hadir bersama sebagai

sebuah mekanisme pasar dalam budaya konsumsi saat ini. Apakah fenomena seperti

ini merupakan pengalaman religius atau bukan? Itu di luar skope dari tesis ini.

Artinya tesis ini bukan penelitian teologis. Tesis ini dibatasi pada interaksi dan relasi

atas sentuhan lembaga gereja dan lembaga konsumsi. Namun, jika dikaitkan dengan

hakekat gereja yang menyampaikan kabar baik, maka fenomena gereja di mal bisa

ditempatkan sebagai: inkulturasi menggereja yang baru dalam budaya konsumsi dan

eksklusivisme menggereja yang cenderung berpihak pada golongan masyarakat

tertentu saja.

Saya menyadari bahwa dalam penelitian ini belum semua data terekam,

terwakili dan dieksplorasi dalam analisis. Apa yang dilakukan tesis ini hanya

merumuskan mekanisme praksis ibadah dan pasar. Bagaimana praksis gereja yang

sakral berkomunikasi dengan praksis pasar yang profan melalui beragam jenis produk

mal yang diakomodasi sebagai penunjang kenikmatan ibadah. Oleh karena itu saya

menyebut tesis ini sebagai pembuka bagi penelitian lain yang hendak memahami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

137

agama dalam masyarakat konsumsi. Kajian yang lebih mendalam yang berkaitan

dengan tesis ini masih sangat perlu dikembangkan, misalnya gereja dan bisnis, atau

tema seperti eksklusivisme gereja mal di tengah-tengah wacana pluralisme dan

lingkungan sosial.

Zaman terus berubah. Ini berarti setiap perubahan memproduksi suatu budaya

baru di tengah-tengah masyarakat. Ketidakmampuan manusia membuat pilihan-

pilihan dalam hidupnya atas munculnya fenomena penggabungan unsur-unsur yang

berbeda (Yang Kudus dan yang profan), membuat manusia mensintesakan keduanya.

Namun, gereja sebagai sebuah institusi agama hendaknya melihat fenomena ini

dengan cakap dan bijak. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan betapa gairah

menggereja umat hingga saat ini masih antusias. Umat mencari dan terus mencari

pola-pola ibadah yang paling menjawab kebutuhannya saat ini. Lalu, yang menjadi

tantangan gereja adalah, apakah gereja atau pemimpin gereja mampu menangkap

gairah ini? Artinya, bagaimanakah hubungan jemaat dan pemimpin gereja menjawab

setiap hasrat umat terhadap berbagai kecenderungan yang terlahir dalam budaya

konsumsi kapitalisme akhir? Namun, dalam proses mencari jawab ini setiap pihak

harus mawas diri terhadap berbagai kecenderungan yang mampu membuat gereja

kehilangan suara kenabiannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1995.

Baudrillard, Jean P. Masyarakat Konsumsi.(terj. Wahyunto). Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2009.

Bellah, Robert N. Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta:

Paramadina, 2000.

Bertens, K. Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:

Kanisius, 2001.

Boland, B. J. Percakapan tentang Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1951.

Darmaputera, Eka. Gereja dan Ekonomi dalam “Gereja dan Kontekstualisasi”.

Sularso Sopater, et all (ed). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.

de Jonge, Chr dan Aritonang, Jan S. Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah

Ekklesiologi. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989.

Denzin, Norman K. Symbolic Interactionism And Cultural Studies: The Politics Of

Interpretation. Oxford UK and Cambridge USA : Blackwell, 2003.

Featherstone, Mike. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001.

Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terj. M. Z. Lawang).

Jakarta: Gramedia, 1986.

Lee, Martyn J. Budaya Konsumen Terlahir Kembali: Arah Baru Modernitas dalam

Kajian Modal Konsumsi dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.

Lury, Celia. Budaya Konsumen. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Miller, Vincent J. Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a

Consumer Culture. New York ∙ London: Continuum, 2003.

Piliang,Yasraf Amir. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer (ed.

Alfathri Aldin). Yogyakarta: Jalasutra, 2007.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

139

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. (terj. Nurhadi) Yogyakarta:

Kreasi Wacana Offset, 2010.

_______. Teori Sosial Posmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.

Samuel, Wilfred J. Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan

Pasca-Kharismatik .(terj.Liem Sien Kie) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Soedjatmiko, Haryanto. Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan

Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.

Solomon, Michael R. Consumer Behavior: Buying, Having, Being. New Jersey:

Prentice Hall, 1996.

Steinberg, Shirley R dan Kinchheloe, Joe L. Christotainment: Selling Jesus Through

Popular Culture. Boulder: Westview Press, 2009.

Sugiri, L, dkk. Gerakan Kharismatik: Apakah Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1991.

Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik, 2006.

van Kooij, Rijnardus dan Yam’ah, Tsalatsa. Bermain dengan Api. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2007.

Artikel, Jurnal

Budiman, Arif. “Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern” dalam

Jangan Tangisi Tradisi: kumpulan Karangan. (ed. Johanes Mardimin)

Yogyakarta:1994.

Hardjana, Andre. “Konsumerisme dalam Era Globalisasi” dalam BASIS,

No.7/XLI/Juli/1992. Yogyakarta: Yayasan P. P. BASIS, 1992.

Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Opini Masyarakat

tentang Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No.

3/Tahun IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.

Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Konsumerisme dalam

Tinjauan Sejarah” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun

IV/Juli/1981. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

140

Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya (tanpa nama penulis), “Menahan Laju

Konsumerisme” dalam MONITOR: Ringkasan Berita dan Ulasan, No. 3/Tahun

IV/Juli/198. Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981.

Kvale, Steinar. “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in

a Postmodern Age” dalam Theory Psychology. SAGE publication, 2003.

Thomas, Pradip. “Selling God/saving souls: Religious Commodities, Spiritual

Markets and the Media” dalam Global Media and Communication. SAGE

publication, 2009.

Van Doop, H. A. “Tabuhlah Tifa dan Gendang” dalam Simposium Dies Natalis STT

Jakarta ke-75. Jakarta: 2009.

Kamus dan Alkitab

Sugono, Dedy, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Alkitab. Jakarta: LAI, 2007.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

LAMPIRAN

Transkripsi Wawancara 1

Pewawancara (P) : Norita

Informan : ES, RS, dan RK (Umat simpatisan di gereja mal)

Pekerjaan : Guru SD Kristen di Jakarta

Tanggal wawancara : 21 Januari 2010

P: Selamat siang Miss, sebelumnya saya berterimakasih karena Miss berdua sudah

menyediakan waktu untuk wawancara siang ini. Begini Miss, saya tertarik mengamati

gereja yang ada di mal. Nah, saya mau tahu nih, bagaimana pengalaman beribadah

yang Miss berdua rasakan di gereja Casa Rosa ini? Kenapa sih memilih gereja Casa

Rosa?

ES: Mmmmm, sebenarnya saya melayani juga di gerejaku (menyebutkan salah satu

nama gereja Batak). Saya juga Guru Sekolah Minggu. Bentuk ibadah di gerejaku dan

di gereja Casa Rosa sama aja sih, tetap sakral kog dua-duanya. Tapi, yang membuat

aku tertarik, interest ya suasananya, fellowship-nya, lagu-lagunya. Padahal lagu-

lagunya kadang memakai Kidung Jemaat juga, tetapi cara menyanyikannya yang

berbeda, lebih semangat dan ekspresiflah, interest gitu. Kalau di gerejaku kan lagu-

lagunya dalam bahasa Batak gitu kan, jujur aku gak terlalu ngerti. Sebenarnya saya

partisipan di gereja Casa Rosa sudah lama, sejak tahun 1998. Dulu, masih zaman-

zamannya di mal Piazza Calda itu belum ada ITC. Jemaatnya juga masih kecil, bentuk

fisiknya juga belum sepanjang itu, baru beberapa inilah (menggerakkan tangannya

membuat bentuk kotak bangunan). Saya timbul tenggelam lah di sana. Mulai tahun

2000an lah saya mulaif. Mungkin cara pemujiannya itu yang lebih bersemangat, lebih

ekspresif lah. Cuma kalau dibilang pembaruan iman, bisa juga dibilang pembaruan iman

di gereja ini. Karena kan terkadang kita mau ke gereja bukan cuma mau datang saja, tapi

mengerti juga. Nah kalau bahasanya aja gak dimengerti, kan kurang dapat makna

ibadahnya. Memang kadang-kadang sekalian ibadah, ya bisa juga belanja (sambil

tersenyum).

P: Artinya ibadah di gereja itu sangat tergantung dengan fasilitas untuk

menghidupkan suasana ya? Khususnya cara bernyanyi ya?

ES: Oh iya, itu sangat mempengaruhi ibadah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

142

P: Kalau Miss RS sejak kapan mulai ikut gereja di Casa Rosa? Kenapa di sana?

RS: Kalau aku sejak tahun 2006-lah. Tahun 2003 aku tadinya gereja di Gereja

Oikumene Imanuel karena aku tinggal sama sepupuku yang rumahnya dekat situ.

Kadang juga aku gereja di GKI. Nyobain gitu. Trus diajak teman ke GPIB.

Sebenarnya aku udah ngerasa nyaman juga, bahkan sempat mau melayani juga, mau

ngajar sekolah minggu. Tapi gak tau kenapa teman kita, guru di sini juga, miss RK,

bilang ada tuh di gereja Casa Rosa, enak deh. Sebenarnya ibadahnya ya gak jauh

beda, ibadahnya masih mirip-miriplah dengan gereja yang biasa kuikuti. Cuma

ibadahnya full band, nah itu yang paling membedakannya dengan gereja-gereja,

kayak GKI, gak terlalu kaku-lah.

ES: Kalau di GKI dan HKBP kan musiknya lebih ke piano.

RS: Ya udah kita cobain, kita kaget juga. Kita wagu, di sini kita tepuk tangan. Pas

dengar firman, pendetanya itu bagus. Di gereja Casa Rosa itu kan fokusnya ke

firman. Kalau pas firman bisa sampai 1,5 ke 2 jam. Gak tau kenapa tapi aku gak

bosan, lucu juga sih pendetanya. Trus besok-besoknya, kita coba lagi yuk. Eh

dapetnya pendeta yang enak-enak. Pendetanya pintar, gak cuma diajar firman, tapi

pujian juga, misalnya setelah pendetanya ngucapin kalimat apa, eh terus disambung

sama lagu yang cocok. Jadi nyentuh banget deh. Kita diajak, “Keluarkan ini-mu”

(sambil memainkan gerakan tangan menyimbolkan suatu “beban”). Kita itu dibawa

masuk, tidak kaku, iman kita jadi kayak makin bertumbuh, gimana sih, ekspresif aja,

gak ada batasan-batasan. Kita itu kayak ditarik semua hidup kita, tenaga kita, energi

kita untuk Tuhan, fokuslah. Sampai kita menangis, itu kan, apa sih, emosi kita

dibawa. Nah kita merasa kuat dan plong, kayak ada aja yang masuk gitu kan. Itu yang

saya rasa’in di gereja ini. Kalau saya bukan suasana mal-nya yang membuat saya

senang ke gereja ini, tapi ya suasana ibadahnya, soalnya saya lebih suka gereja di

cabangnya, bukan di mal ini.

P: Suasana ibadahnya yang menarik ya. Kalau soal khotbah, ukurannya yang enak

gimana sih?

RS: Kalau aku sih firman itu pokoknya dia (pendeta) tahu, jangan dianalisa begini-

begitu. Kita kan gak menyelami itu (maksudnya soal teologi). Trus biasanya pendeta

di sana pakai kehidupan sehari-harinya dia. Dia bersaksi. Kalau dia udah bersaksi,

berarti kan dia sudah memakai firman itu. Terus dari kesaksiannya itu, kita kan juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

143

jadi berpikir, “Oh iya ya”, terus kita flashback-lah hidup kita. Dia bisa berubah,

kenapa kita gak? Dia menceritakan kenyataan dirinya. Kalau orang sudah merasakan,

kan bisa berpengaruh ke orang lain. Kalau belum dirasain kan gak dapat feel-nya.

Misalnya kalau pendeta bilang, “Serahkanlah khawatirmu kepada Tuhan”. Itu kan

cuma ngomong doang. Tapi kalau dia ngomong dia punya pergumulan terus dapat

jalan keluar saat dia berserah pada Tuhan, nah kita kan percaya dan kita jadi

dikuatkan.

ES: kalau di gereja Casa Rosa ada keterbukaan dalam alur cerita, firman. Pendeta itu

apa adanya kog. Akhirnya, membuat kita berpikir bahwa memang benar yang

dikatakan firman ini. Firman itu gak mengada-ada, Dalam kehidupan sehari-harinya

mereka (pendeta) praktekkan itu, kesaksian mereka blak-blakan Kadang ada satu

pendeta yang berani buka aibnya. Dia buka karena dia mau ngasitau gini lho

kehidupanku dulu, tapi sekarang saya ikut Tuhan. Jadi, kita bisa tahu perubahan

hidupnya. Ada satu lagi kelebihan di gereja ini, kalau ada jemaat yang baru pertama

kali datang, disambut, jadi kita gak merasa terasing. Song leader-nya akan

menanyakan siapa jemaat baru. Sampai-sampai gembala sidangnya pun menyalami

kita. Itu juga daya tarik untuk menjaring jemaat. Enak gitu, welcome. Trus disalami

lalu dinyanyikan lagu selamat datang,”Kukasihi kau...”. Kita senang kan meskipun

gak saling kenal.

ES: Bukan hanya di kebaktian minggu, tetapi di kebaktian muda-mudi juga seperti itu

kog. Ditanyain juga siapa yang baru pertama kali datang.

P: Nah selain ibadah, biasanya ngapain aja di mal?

ES: Aku biasanya setelah ibadah ya terkadang makan, keliling-keliling, kalau gak ya

langsung pulang.

RS: Kalau pertama-tama ya makan, setelah itu mungkin belanja. Tapi gak tiap

minggu juga kan kita belanja.

ES: Kalau belanja ya tergantunglah, tapi kalau makan sih, itu sudah pasti ya.

RS: Kalau hari Minggu foodcourt penuh lho. Kita tahu kog kalau pengunjung

foodcourt itu orang yang baru pulang gereja, bajunya bagus-bagus, kadang pegang

Alkitab, atau brosur warta jemaat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

144

ES: Kalau di-flasback lagi ke belakang, secara tidak langsung gereja Casa Rosa telah

membawa berkat bagi pedagang-pedangan di sekitarnya. Tadinya toko-toko di Mal

Piazza Calda gak terlalu banyak. Bahkan, meskipun ada diskon besar-besaran, belum

tentu ramai orang yang datang. Tapi, sejak adanya gereja Casa Rosa berdiri di sini,

makin banyak jemaat yang datang. Nah, otomatis kan orang belanja-belanja juga,

lihat-lihat juga. Gak mungkin cuma lewat-lewat aja.

P: Kira-kira sejak tahun berapa gereja Casa Rosa semakin ramai pengunjungnya?

ES: Sekitar tahun 2000-an lah jemaatnya semakin banyak. Bahkan sekarang gereja ini

buka cabang juga di perkantoran BIP yang dekat SCTV dan di Wisma Pelangi,

Tangerang.

P: Apa bedanya gereja Casa Rosa yang di mal dan yang di aula kantor?

RS: Kalau yang di aula kantor jemaat yang hadir gak sebanyak yang di mal. Coba

yang di mal, mau masuk aja kita udah antri panjang. Mau masuk aja rebutan banget

kan. Kalo di BIP gak terlalu banyak. Kapasitasnya sekitar ratusan lah. Gedungnya

lebih kecil memang, tapi ramai juga. Cuma kendalanya di BIP, letaknya gak strategis

Jalur angkotnya ke sana susah.

ES: Kalau di mal kan letaknya strategis. Mau dari Kuningan, Manggarai, Kampung

Melayu atau Sudirman, kayak kita-kita yang naik angkot, gampanglah, mudah

dicapai.

P: Artinya lokasi gereja pun sangat penting ya?

ES dan RS: Iya, bahkan kalau yang di Wisma Pelangi juga agak sepi, karena jauh.

Kayaknya yang di sana dialokasikan untuk orang yang dekat ke situ, misalnya daerah

Tangerang.

P: Kalau hari Minggu di mal ini ramai sekali berarti ya? Susah gak ya cari parkiran?

ES: iya, apalagi sejak sudah ada ITC. Kadang orang yang ke ITC pun parkirnya di

mal ini. Padahal dulu sebelum ada ITC masih sepi. Sekarang jadi makin ramai.

Sekarang walah mau jalan di escalator aja padat banget. Apalagi kalau ada event

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

145

Paskah, kan biasanya digabung semua cabang-cabang gereja. Wah penuh banget deh

gereja ini.

P: Trus sejauh mana kita bisa saling kenal dengan jemaat yang lain? Gimana

kedekaatan kita dengan umat yang lain dalam jumlah yang ribuan itu?

ES: Dengan umat yang lain, ya kita senyum-senyum saja. Kalau setiap minggu

kebetulan bertemu dengan orang yang sama dalam ibadah, ya kita senyum’in, padahal

gak tahu juga siapa namanya. Kalau dibilang kenal, ya gak kenal juga, lagian jemaat

yang hadir kan ribuan, mana mungkin kita saling kenal, paling kawan-kawan terdekat

saja. Apalagi saya jemaat simpatisan, bukan jemaat tetap. Hanya sekali-sekali saja ke

gereja ini. Kalau dengan jemaat yang lain ya paling senyum sajalah. Paling kalau

kenal jemaat yang lain, juga hanya sebatas hari itu saja. Minggu depan belum tentu

ketemu lagi dengannya kan?

RS: Yah, kita sebatas senyum ajalah. Dari senyum kdang-kadang kita bertegur sapa,

“Eh apa kabar?” Atau kalau ketemu di mal kadang ada yang nanya, “Mau ibadah

ya?” Iya, “Oh kalau aku udah tadi”. Kalau yang rutin datang biasanya bisa kenal juga

kog. Tapi kalau yang cuma datang sekali-sekali aja ya kita gak kenal.

P: Selain datang pada kebaktian Minggu, apakah miss datang juga di ibadah yang

diselenggarakan di hari lain?

RS: Kalau aku sih suka juga pada kebaktian hari Kamis, khusus untuk karyawan.

Biasanya fokusnya banyak tentang kesaksian. Dan bukan jemaat aja lho yang

kesaksian, tapi kadang-kadang ada artris jga. Jadi, kit akan perlu banget kesaksian.

Masuk ke hati kita dan melekat. Jadi di gereja ioni itu yang menyenangkan banget.

Kalau di gereja biasa kan di kebaktian minggu, jarang bisa ada kesaksian

P: Oiya, katanya sering datang artis-artis juga ya? Siapa sih artis yang biasanya suka

datang dan mengisi kebaktian? Trus tanggapan miss gimana?

ES: Ya Joy Tobing atau Lea Simanjuntak?

RS: Kalau aku sih biasa aja, aku sih liat firmannya. Ada Joy Tobing atau enggak, bagi

aku ya gak ngaruh bangetlah. Aku gak akan bela-belain untuk nunggu Joy Tobing.

Pokoknya firman itulah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

146

P: Apakan lihat-lihat jadwal pendetanya juga? Siapa nih pendeta yang paling OK?

RS: Awal-awalnya sih iya, tapi sekarang semua pendetanya bagus-bagus sih.

Khususnya karena kesaksian itu lho, meskipun kadang teksnya gak nyambung, tapi

kesaksiannya menguatkan.

ES: dasarnya memang mal ini kan usher-nya (penerima tamu) dulu memang artis-

artis rohani, Jacklin Salose, itu gemblengannya Pdt. Iw. Kebanyakan artis-artis

rohani. Tapi aku sih biasa ajalah. Tapi ada sisi menariknya jugalah, Aku bisa tahu

kehidupan artis ini. Kalau di entertainment kan bisa aja gini, tapi kalau kesaksian kan

gak mungkin berdusta. Yah menarik juga sih kalau ada artis.

P: Kalau ibadah Kamis atau Sabtu rame juga gak?

RS dan ES: ya 100-an oranglah..

RS: Terus banyak kesaksian, misalnya pengusaha yang bangkrut, trus kesaksian. Eh

bisa bangkit lagi. Terus kan kita mikir, wah dia aja bisa bangkit. Aku bagaimana nih?

Kita jadi termotivasi.

P: Beriman dan bergaul kayaknya jalan berbarengan sekarang ini. Gimana pendapat

Miss berdua? Pengalaman seperti ini ditemui gak?

RS: Ada juga sih pendeta yang gaul, tapi kita gak lihat ininya, tapi firman yang bisa

bikin kita bertumbuh. Di mal kita bisa diskusi tentang ayat firman. Bagus donk, kita

bisa kumpul di sini, sambil minum Capuccino atau juice, terus kita bisa sharing

tentang firman. Boleh juga kan kita bergaul tapi ngomongin firman Tuhan. Tapi

setelah itu, eh baju yang itu bagus ya. Tapi kita awalnya kan udah ngomong tentang

firman. Misalnya kalau datang Youth hari Sabtu, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu trus

bisa saling sharing.

P: Berarti saat makan, kita gak semata-mata ngomongin soal belanja aja ya?

ES: itu sih kebetulan aja ya. Karena gereja itu ada di mal, jadi kita sekalian bisa

belanja. Misalnya di foodcourt, di sana kita bisa ngobrol tentang firman. Ada

tempatnya gitulah. Kalau di gereja lain, masak duduk di depan-depan itu, kan gak

nyaman. Kalau di mal kan sampai jam 9 malam kita bisa nongkrong.. Mal

memfasilitasi berdirinya gerejalah. Yah… kita bisa sharinglah, misalnya: waktu aku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

147

berbeban berat. Di gereja Casa Rosa begitu turun, langsung fasilitas itu ada. Ibadah

dan pergaulan memang ada pertumbuhannya.

RS: karena perkembangan ya. Zaman dulu, opung-opung kita,pulang gereja langsung

pulang. Kalau di mal ada gereja ya kan bisa sekaligus. Tapi masih bisa kog berjalan.

Memang kog di mal sih? Memang kenapa? Ini dunia kita, kita menyembahm memuji,

kita dengar firma Tuhan. Mau ada perang sekalipun kalau kita mau ibadah kan bisa

aja. Makanay akalau di mal ya kenapa gak?

ES: Konteks orang kan mal tempat shopping, tapi datang ke mal gak cuma untuk

belanja kan, tapi ada yang bisa didapat.

RS: Meski ijinnya susah, ya kita kan mau ibadah, di mal di buka ya kalau bisa,

kenapa enggak. Di mal gampang bukanya, cuma ngontrak. Kayaknya yang di ruko-

ruko juga begitu tuh. Kalau masyarakat gak ngebolehin bangun gereja, ya udah

nyewa ruko aja.

P: berarti ini berkaitan juga ya dengan soal perijinan ya.

RS: begitulah, yah kalau memang hatimu sudah Ok mau di mana pun bisa ibadah.

ES: walaupun keberadaannya di mal, tata ibadahnya sama kog. Memang gak ada

buku liturginya, tapi kita udah tahu kog urutan-urutannya.

P: oiya misalnya kita tahu 30 menit pertama pujian dan penyembahan, begitu ya?

RS: oh iya, meskipun awalnya kita ngantuk pas datang, tapi setelah itu malah jadi

bersemangat (tersenyum).

P: Terimakasih atas pengalaman2 Miss ES dan RS. Yang penting apakah iman kita

bertumbuh ya.

Di ruangan yang berbeda, setelah wawancara di atas, penulis mewawancarai

informan yang lain:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

148

P: mau nanya nih, bagaimana pengalaman miss selama beribadah di gereja Casa

Rosa? Bagaimana ibadahnya dan bagaimana suasana di luar gereja, misalnya belanja

di mal.

RK: saya gak ingat sejak kapan saya di gereja Casa Rosa. Kurang lebih sudah tiga

tahunan lah kayaknya. Tiap minggu saya datang ke sana. Saya suka ikut kebaktian

yang jam 11.00 WIB dan jam 13.00 WIB. Biasanya kalau saya ke sana sehabis gereja

saya semula. Saya ke sana karena di gereja semula (gak usah disebutin ya), saya

merasa kurang bertumbuh. Sekali saya ke sana, terus lama kelamaan asyik.

Sebenarnya gerejanya itu gak resmi ya? Saya juga gak tahu ya, soalnya gak ada Doa

Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli. Tapi kiblatnya kan sama ya. Saya ngerasa

saya banyak diingetin di gereja ini. Kalau mengenai musiknya memang dari dulu saya

suka musik yang gak kaku banget. Kalau di gereja saya (menyebutkan salah satu

nama gereja Batak) musiknya kan kaku. Karena bahasa Batak, saya juga gak begitu

mengerti. Kalo sore memang bahasa Indonesia, tetapi banyak anak muda, ABG dan

gak seumuran lagi sama saya. Jadi susah, mau gereja pagi ibu2 dan bahasa Batak,

sore anak-anak. Selain itu, di gereja Casa Rosa itu firmannya bikin kita diisilah.

Misalnya: ditemukan rangka perahu nuh, o gitu ya, kit ajadi tahu informasi,

P: Kalau suasana belanja-belanjanya gimana tuh miss?

RK: Kalau saya niatnya kan gak macam-macam. Kalau ada yang dibeli ya dibeli.

Kadang teman-teman ngajak, “Eh belanja yuk” Kita kan juga diingetin sama orang

gerejanya, eh jangan mata lapar eh lapar mata, jangan mentang-mentang gereja ini

dekat mal atau dekat ini, jangan langsung ngabis-ngabisin uang, gitu. Kita juga

diingetin, oh iya ya, tujuan kita ke sini kan bukan untuk belanja, walaupun di mal.

Jadi kita terfokus aja, ya seperlunya aja belanja di sana. Enak sih, tapi gak jadi lapar

matalah kita.

P: berarti ke sana karena gerejanya ya bukan karena malnya ya?

RK: Iya sih, karena gerejanya yang asyik. Kadang-kadang saat kita makan, bisa

ngobrol-ngobrol juga kan. Khususnya dengan, RS, kami lumayan dekat dan kita suka

sharing. Misalnya soal penemuan bahtera Nuh itu, ya dia juga bilang, “Oh gitu ya,

iya gua juga cari di internet beritanya”. Kalau teman yang satunya lagi ya ngomongin

hal lain lagi. Tapi kalau saya nge-gosip setelah kebaktian, saya jadi ingat pesan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

149

pendeta. Jangan sucinya di dalam gereja aja. Jangan di luar gereja malah nge-gosipin

orang. Jadi saya teringat.

P: Saling kenal gak ya dengan umat yang lain di gereja Casa Rosa? Apalagi segitu

ramenya orang yang datang?

RK: Kalau saya sih ya cuma kenal MC nya aja, WL nya aja. Tertarik aja sama dia,

WL yang laki-laki, terus sama pemain musiknya. Ya lumayan jadi semangat deh,

tadinya yang gak semangat jadi semangat. Tapi tergantung kita juga sih. Kadang

kalau dia suruh lompat-lompat, pas saya gak mood, ya saya gak ikut. Tapi diingetin

terus kog sama pendetanya, “Kalau ke rumah Tuhan tuh harus semangat”. Kalau

dengan umat lain, karena saya jemaat kunjungan, saya gak anggota di sana. Ya saya

gak terlalu kenal. Tapi ya biasa ajalah. Mau ada yang kaya, sombong, biasa cuma pas

ibadah disuruh salaman, ya udah kita salaman.

P: Terus gimana tanggapan miss dengan gaya berpakaian di gereja mal? Apakah ada

kesan gaya dan gaul ala anak Tuhan gitu?

R: Kalau saya berpakaian sih karena paginya saya ngajar dulu di gereja saya, ya saya

biasa. Tapi pakaian di sana heboh-heboh lho. Ada yang pake rok mini, baju u can see.

Tapi diingatin sama pendetanya bahwa kalau datang kerumah Tuhan kita harus

datang ke pakain yang sopan, bukan berarti harus mahal kan. Kalau saya tuh tetap

memandang di situ tuh ada gereja yang harus saya hormati.

P: Berarti pergi ke gereja itu karena ibadahnya yang lebih menarik ya dibandingkan

di gereja asal ya? Kalau sama umat yang lain, seadanya aja donk ya interaksi kita.

Dan belanja pun sesuai kebutuhan saja ya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

150

Transkripsi Wawancara 2

Pewawancara (P) : Norita

Informan : SM

Pekerjaan : Konselor di Gereja Casa Rosa

Tanggal wawancara : 20 Januari 2010

P: Jadi, sebagaimana yang udah kita omongin dulu di awal-awal, soal latar belakang

dan mengapa saya mengambil topik gereja-gereja yang ada di mal, karena

ketertarikan saya belajar dari gereja ini dan kenyataannya adalah memang sudah

semakin marak gereja hadir di tempat yang tidak biasa, artinya gereja selama ini kan

berada di wilayah tertentu gitu ya pak. Dari informasi yang saya ketahui ternyata

gereja Casa Rosa termasuk gereja yang sangat pesat perkembangannya dari waktu ke

waktu, yang katanya sejak tahun 1992 ya berdirinya. Says ingin tahu bagaimana

proses pembentukan gereja Casa Rosa di mal ini pak? Mengapa memilih di mal kog

gak di tempat lain?

SM: Oke, jadi barangkali karena ini wawancara kita, saya belum siap memberikan

jawaban yang pasti tentang itu, tetapi biarlah saya menyampaikan dulu tentang apa

yang saya tahu. Soalnya buku tentang sejarahnya belum ada, padahal sudah diminta

oleh bapak gembala sidang. Historisnya begini, Pak Iw itu dulunya adalah salah

seorang anggota dari GKI. Ia adalah anggota gereja kita. Tapi sebagaimana yang kita

tahu bahwa gereja kita ini masalah yang berhubungan dengan Roh Kudus dalam arti,

Bahasa Roh, terus nubuatan, usir setan kurang dijelaskan. Kita percaya Roh Kudus,

tapi cara kerjanya kita pahami berbeda. Nah, jadi beliau ini rupanya dia merasakan

ada suatu. Katakan di dalam hatinya, yang saya tahu ya dia pernah cerita, ada gerakan

di dalam hatinya bahwa ketika gereja-gereja GKI itu, sejenis gereja GKI merasakan

bahwa bahasa roh, waktu itu ekstrim sekali mereka mencap itu sesat, sesat, sesat. Nah

sampai akhirnya beliau, karena dia punya karunia seperti itu itu, dia merasa seperti

itu, itu ditunjukkan juga ketika dia di rumahnya. Dia sedang belajar, lalu

pembantunya kerasukan gitu lho, dia jerit, dia jerit. Dia sedang belajar, dia dengar, itu

dia masih muda itu. Lalu setelah itu dia pergi ke belakang, dia ambil air satu gelas,

dia doakan dalam nama Yesus dan (ehhh: tertawa) itu orang sembuh. Itu dia jadi

punya. Nah kalau selanjutnya beliau ini (Pak Iw), sebetulnya dia ini seorang

pengusaha, dia tidak sekolah teologia memang, dia tidak sekolah teologi, dia seorang

pengusaha, tetapi karena dia punya kerinduan untuk menampung, katakanlah

membentuk suatu gereja, persekutuan di mana yang bersifat itu tadi bisa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

151

(diakomodasi). Maka dia membentuklah gereja di ----- (menyebut nama Mal), di mal

ini, persekutuan. Jauh dari pemikiran bahwa dia mau jadi pendeta, gak, tapi dia

adalah yang memanggil orang. Gereja ini kecil, lalu memang ehh satu dia bilang gini

suatu kali dalam ibadah, dia menata ibadah itu sedemikian rupa, yaitu begitu mulai

ibadah malah dikatakan WL yang ada di belakangnya itu lebih banyak daripada

jemaat. WL nya ada, singernya ada, pemainnya ada. Malah pemain band-nya itu lebih

banyak dari orang yang hadir, tapi dia melihat suatu penglihatan, dia dengar bahwa

saat bernyanyi itu dia melihat ke belakang sedikit sekali orang, tetapi saat memuji itu

dia merasakan ada ribuan orang di belakang dan dia nyanyi bersama. Itu dia

merasakan seperti itu.

P: Berarti awalnya sekitar berapa jemaat di gereja ini pak?

SM: Awalnya sekitar 20an orang aja kog, itupun keluarga dekat saja. Jadi, memang

beliau mengambil, katakanlah dari awal direncanakan atau ditangkap bahwa memang

singer, pemusik, WL itu adalah orang-orang yang dipilih dan beliau itu selalu

berbicara tentang kalau lakukan apa-apa selalu persiapkan dengan baik. Bahkan kalau

sampai sekarang kami ditugaskan melayani, disuruh keluar, selalu kata dia persiapkan

dengan baik. Dan beliau itu tahu kalau belum mempersiapkan dengan baik. Sehingga

dari awal dia membentuk itu selalu persiapan. Nah, sehingga selanjutnya berkembang

itu adalah karena persiapan yang baik. Dia persiapkan dengan baik, dan juga dalam

mencari pembicara juga dia persiapkan dengan baik.

P: Karena Pak Iw itu pengusaha, mungkin link-nya juga banyak ya pak.

SM: Nah, itu, itu juga satu, dia adalah pengusaha.

P: Kalau boleh tahu pengusaha apa ya pak?

SM: Ehh beliau ini eh (agak enggan) udah, udah kelas atas sebenarnya bisnisnya,

udah ke luar negeri ya. Dia gerak di batubara dulu, trus sebenarnya ada juga dulu dia

kerjasama dengan tentara republik Indonesia ini, seragam. Bayangkan se Indonesia.

Sampai sekarang itu.... ehhh (enggan lagi) off the record ya, jadi sampai sekarang itu

geluti batubara, tapi dengar-dengar saya gak tau apa naik ke atas apa turun? Tapi ya

kurang lebih begitulah. Ya pokoknya usaha luar negerilah, urusan senjata dengan luar

negeri juga..... ya begitu.... Nah jadi ini berkembang (mengalihkan pembicaraan ke

soal gereja). Ada kesaksian-kesaksian iman bagi dia dulu itu waktu kita ada di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

152

ruangan yang pertama kita mulai itu sewa. Saat sewa itu kita diusir, itu di ruangan

sekretariat kita itu, yang kita ada di situ (sambil menunjuk ruang sekretariat di depan).

Gak dikasi sama pengelola, cari tempat yang lain, tapi beliau tetap berdoa, saya

merasa bahwa ini milik ---- (menyebut nama gereja). Jadi, dengan iman, begitu,

sampai pada akhirnya pengelola suruh mengajukan permohonannya apa? Nanti akan

disidang, sampai akhirnya persidangan itu, OK you dikasi dan ditanya mau tambah

berapa? You butuh berapa? Akhirnya kita ada seperti ini. Lalu, penuh, trus ada

tawaran lagi.Tapi intinya pertama kecil, lalu mendapat tantangan, justru diberi lebih

lebar dan lebih besar lagi.

P: Soal penamaan nama gereja ini terinsipasi oleh apa pak?

SM: Oh ya gereja ini kan terletak di kawasan kedutaan, banyak kantor juga. Jadi

terinspirasi dari sana bahwa kita, gereja kita adalah duta Injil.

P: Jadi sebenarnya bukan karena kesulitan mendapat izin bangunan ya pak?

SM: Oh gak, gak, kalau gereja kita tidak

P: Karena latar belakang sosial keluarga dekat yang 20 orang itu dari kelas menengah

atas, mungkin juga mereka mencari tempat berkumpul di mal ya, bukan cuma di

warung makan biasa ya?

SM: Iya, kalau dari awal karena kebetulan Pak Iswara kan pengusaha besar, uangnya

banyak, akhirnya kalau penyelenggaraan ibadah pertama dengan singer, diberi bekal,

diberi makan, itu gak cukuplah kalo dari gereja, persembahan atau apa ya nggak

cukup, kalau tidak ada donatur di balik itu. Nah, makanya dipilih mal karena dia

sudah bisa memperhitungkan semua itu. Kalau dibilang jemaat yang datang, ya

jemaat yang datang umumnya pengusaha. Saya tahu orang-orang awal di sini

memang bos-bos gitu. Karena kalau kita lihat ada orang kasih sumbangan 1 Miliar,

itu kan luar biasa, waktu pembelian sebelah sana (menunjuk ke arah gedung gereja

sekarang).

P: Kalau gedung yang sekarang ini sudah jadi hak milik atau masih sewa pak?

SM: Udah hak milik itu, udah hak milik. Saya kurang tau berapa ukurannya kalau

sekarang, tapi saya ingat berkali-kali diceritakan ada seorang ibu yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

153

menghadiahkan itu, memberi sumbangan, ketika ditanya siapa yang tergerak, lalu dia

panggil BPH-nya istilahnya, ya ada, tolong dibantu itu jual rumah saya itu, berapa itu,

minimal setiap ini, ini, dijual langsung bulat-bulat kasih ke gereja.

P: Kalau Bapak sendiri bergabung di gereja ini sejak kapan?

SM: Saya tahun… (sambil berpikir), sekarang tahun 2010 ya, 2009… ya, udah 1,5

tahun, hampir 2 tahun saya, berarti sejak 2008 saya bergabung di sini

P: Hmm, sejak tahun 2008 ya Pak? Berarti gereja ini sudah besar ya Pak?

SM: Oh, udah, udah besar duluan. Udah terkenal, sehingga kalau orang bilang juga

kalau saya masuk di sini semua orang lihat bahwa saya punya potensi yang luar biasa

sehingga bisa diterima di tempat ini. Jadi orang menganggap begitu, padahal biasa-

biasa aja.

P: Kalau boleh tahu, sebelum di sini, Bapak bekerja di mana?

SM: Mmmm (agak enggan), memang saya sebenarnya sudah pendeta di gereja

Kristus. Awalnya, saya ini kan kepala sekolah di BPK Penabur, Bogor. Saya juga

sudah 12 tahun menjadi guru di sana penabur, enam tahun saya menjabat sebagai

kepala sekolah. Setelah itu saya ke jemaat, gereja Kristus di Purwakarta. Nah, udah

enam tahun di situ baru kemudian sebenarnya saya mau mutasi ke Lampung. Pada

saat yang bersamaan, bulan yang bersamaan, minggu yang bersamaan ada teman

yang memberitahukan bahwa ada di sini (maksudnya di gereja sekarang)

membutuhkan tenaga, mau gak?

Jadi saya tergiur, tertarik, lebih memutuskan memilih di sini. Jadi saya tidak tahu itu

salah atau tidak, itu keputusan saya sudah memilih. Jadi maksudnya begini, kalau

orang masuk gereja Casa Rosa itu gereja besar, jemaat besar, udah dikatakan di

lingkungan kharismatik itu disegani. Sehingga kalau nanti pendeta ditarik ke dalam

situ wah, hebat sekali ya gabung juga?

P: Oh begitu. Mungkin karena Bapak seorang kepala sekolah Kristen, orang jadi

banyak kenal Bapak ya?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

154

SM: Oh, begini, mereka baru tahu saya setelah saya kirim lamaran dan kita

wawancara gitu. Lewat wawancara, dan itu pun sebenarnya gak mudah juga ya,

karena saya latar belakang saya lulusan STT Jakarta. STT jakarta waktu itu beliau

Tanya, “Kamu lulus tahun berapa?” “Tahun 90”, saya bilang. Lalu beliau bilang, “Oh

iya kalau begitu. Ya udah, gak apa-apalah belum ini”. Kalau saya mau katakan juga

bahwa lingkungan gereja ini, STT jakarta itu jelek, dianggap dengan sinis, dianggap

miring juga, sesat juga. Mungkin karena liberalnya itu. Nah, kalau itu saya bicara di

sini sebenarnya kejutan. Kok bisa, kok bisa di situ? Loh apa yang menggerakkan anda

ke situ, gitu lho.

Nah, itu kalau saya dari Agustus, sudah hampir dua tahun mengabdi di tempat ini.

P: Hmm, tentu orang yang memanggil bapak dan memberi tahu ada kesempatan di

sini juga tentu kenal betul gereja di sini, jadi begitu ya pak?

SM: Oh benar, karena kebetulan orang yang memanggil saya adalah orang

Purwakarta. Dia orang gereja kharismatik, tapi mamanya anggota gereja kami, dia

tahu bahwa kami mau mutasi itu, dia pikir di lingkungan gereja mereka itu kalau

pendeta mutasi berarti dipecat. Itu pemikiran dia dipecat, padahal di kita itu terjadi

pemecatan pendeta itu oh aduh terjadi kiamat dulu baru dipecat gitu. Mutasi ya iya

gitu lho.

P: Lalu Bapak bergabung di gereja ini sebagai apa?

SM: Ya, kalau istilah kami di sini adalah, ya tenaga tim penggembalaan, konselor ya.

Di sini istilah tim penggembalaan di sini ya konselor itu betul. Dalam ibadah, tim

penggembalaan juga bisa menyatakan berkat

P: Kalau begitu kembali ke pertanyaan awal tadi itu pak, artinya soal ya oke bapak

sudah di sini 2 tahun udah mengenal gereja ini besar, lalu pertanyaannya adalah

sekarang apa sih yang menggerakkan orang tertarik beribadah di sini? Karena mal-

nya atau karena gerejanya? Bagaimana pak melihatnya?

SM: Kalau mau jujur mal ini sebenarnya nyaris mati, sepi. Itu saat krisis pertama di

Indonesia, kira-kira tahun 1996 atau 1998, pokoknya mal ini mau mati. Sebenarnya

ada lima gereja dulu di mal ini, tapi gereja kami yang paling berkembang dan masih

eksis. Saya bilang waktu itu gak ada yang buka toko disini gak ada yang nyewa, tapi

jujur pengelola mal akhirnya mengamati bahwa kehadiran gereja yang membuat mal

ini akhirnya ramai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

155

P: Menurut Bapak apa sih yang membuat umat merasa berbeda beribadah di gereja

ini?

SM: Pertama kalau kita melihat itu dipuaskan dalam hal ibadah yang diselenggarakan

itu dilihat dari segi pertumbuhannya, perkembangannya. Karena kami mencatat

bukan hanya 1000 jemaat atau 3000 anggota jemaat tapi puluhan ribu yang tercatat.

Nah itu berarti bahwa ada banyak peminat jadi kalau dia dah mendaftar, terus datang

lagi, menjadi peminat tetap, berarti dia senang, dia puas itu. Kalau kita melihat sejauh

mana tapi melalui sisi itu komentar-komentar jemaat yang kami tanya meskipun Casa

Rosa ini beda walaupun sama dengan gereja kharismatik lain, tapi katanya Casa Rosa

lebih baik dibanding yang lain, lebih teratur

R: Di mana terlihat lebih teraturnya pak?

SM: Jadi begini mungkin dari yang memimpin pujian, pemain musiknya lebih teratur

jadi gak sembarangan atau beginilah atau mungkin di kalangan tertentu yang bisa

melihat itu, tapi di Casa Rosa ini pujiannya yang sangat kuat

P: Misalnya 30 menit pertama dalam ibadah sesi pujian dan penyembahan ya pak?

SM: Iya, maksudnya begini WL nya juga gak sembarangan, talentanya udah di situ.

P: Apa gak difasilitasi dulu ikut SOM (Sekolah Orientasi Melayani) atau apa gitu

Pak?

SM: Gak, begini rupanya salah satu yang saya dengar ada lulusan theologia juga di

sini, tapi sebagian yang lain adalah dari bakat dan talenta, dan sering ikut latihan, jadi

akhirnya terbiasa

P: Efeknya luar biasa terhadap kepuasan jemaat yang datang ya pak?

SM: Ya, saya kira begitu. Saya pertama kali ikut KKR di gereja ini, ya terasa ada

hadirat Tuhan hadir. Jadi yang kita lihat dari kepuasan itu pertama dulu memang

ibadah di sini itu menjawab kebutuhan, menyentuh kebutuhan jemaat. Saya gak tahu

itu salah atau gak tapi setidaknya itu dulu banyak dibicarakan jemaat masalah-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

156

masalah penyakit, masalah kekuatiran, keuangan atau masalah apa jadi kalau di

gereja kita hadirkan pembicara yang mengerti hal itu, kita pilih orang-orang yang

model gitu itu yang hadir disini sehingga mengatakan hal setelah itu wah berarti

cukup baguslah menjawab kebutuhan dari sisi aktual jadi kalau masalah dendam itu

setelah beberapa bulan itu tuntas jadi saya melihat itu luar biasa, sangat bagus jadi

punya karunia yang hebat.

P: Jadi muatan khotbahnya itu banyak mengakomodasi kebutuhan jemaat soal

bagaimana hubungan relasi dengan yang lain dendam, kesehatan, keuangannya begitu

ya pak?

SM: Iya begitu. Betul tapi saya takut juga kalau semuanya berjalan baik karena kalau

saya lihat ada kalanya kurang sehat juga khotbah itu. Kalau yang didengar yang enak

terus, bisa-bisa jemaat bosan dan kalau mau yang enak terus nanti jemaat jadi gak

dewasa

P: Jadi setiap pengkhotbah menentukan sendiri tema apa yang dia khotbahkan?

SM: Tentukan sendiri. Tapi begini juga seperti yang saya katakan bahkan pembicara

yang top yang mengulang judul itu terus. Ada jemaat yang bertanya kenapa hanya

judul itu aja yang disampaikan? Jadi seperti pembicara hebat yang kita hadirkan yang

bisa mengundang banyak jemaat tapi kalau seperti itu dikritik juga oleh jemaat atau

kalau gak jemaatnya bilang ganti pendeta yang lain kenapa? Ya itu tadi orang nya

begitu-begitu terus jadi hanya memikirkan yang enak aja.

P: Jadi jemaat mulai berpikir memasukkan dimensi lain dalam khotbah ya Pak?

SM: Nah waktu pertama-tama jemaat menganggap ini wah dan asyik, tapi lama-lama

orang bisa eneg juga melihat begini-begini terus. Jadi ada juga jemaat yang keluar

karena jenuh, ikatan kekeluargaannya kurang, dan tema khotbah yang itu-itu saja.

P: Gimana dengan pengkhotbah yang didatangkan dari luar negeri Pak?

SM: Kalau masalah dana sih kita gak masalah. Soalnya ada pendeta luar yang

mengerti tentang pengurapan Roh Kudus dan teknik berbahasa Roh. Jadi kami rasa

perlu mendatangkan mereka untuk pemahaman jemaat, ya supaya jemaat dibekali

dengan bahasa Roh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

157

P: Bagaimana dengan cara penyajian ibadah di sini Pak?

SM: Begini, ibadah di sini kan sangat antusias, digerakkan penuh dengan urapan.

Inilah ibadah yang dahsyat. Kenapa kita katakan gitu karena itu ibadah yang kita ikuti

selama ini, ya kayak di gereja dulu kan hanya membaca liturgi tetapi tidak

menyanyikan pujian dengan semangat. Jadinya kaku. Jadi penyembahan lagu itu

hanya formalitas aja atau dalam menyanyikan itu rohnya gak ada.

P: Kenapa satu lagu bisa dinyanyikan berulang-ulang Pak?

SM: Jadi waktu itu ada yang bertanya memang, “Kenapa lagu-lagu ini diulang-

ulang?” Ya, karena di dalam lagu-lagu itu adalah pujian penyembahan kepada Tuhan.

P: Gimana dengan WL, singer atau pemain musiknya Pak? Maaf sebelumnya Pak,

apakah ada sekedar tali kasih untuk mereka?

SM: Jadi satu hal yang saya lihat hal positifnya karena mereka bekerja professional

seperti singer dan pelayan lain itu biasanya ada PK (Persembahan Kasih). Jadi

seperti pemain musik atau WL itu persembahan kasihnya lumayanlah itu saya kira

sama kalau seperti saya khotbah di gereja kita. Artinya, hakekat amplopnya itu sama

(sambil tersenyum)

P: Kalau untuk pendeta yang khotbah bagaimana Pak?

SM: Ooo iya. Ada yang mulai dari Rp. 800 ribu, Rp.1 juta kalau bintang empat, kalau

bintang 5 itu bisa Rp.1,5 juta sekali tampil dalam khotbah.

P: Apa syaratnya untuk naik bintang?

SM: Saya kurang tahu

P: Bagaimana dengan database jemaat Pak?

SM: Cukup banyak. Kalau melihat database paling sekitar 1500 orang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

158

Tapi kalau yang hadir kebaktian setiap hari minggu bisa banyak sekali. Khususnya

kebaktian yang jam 09.00 WIB pagi sampai jam 14.00 WIB ramai sekali, dan mereka

semua kan kasih persembahan.

P: Apakah selain mengikuti ibadah Minggu dan memberi persembahan yang banyak,

mereka mash sempat mengikuti ibadah-ibadah lain di tengah minggu, seperti

perkumpulan pemuda, ibu-ibu, atau komisi bapak?

SM: Kalau kebaktian pemuda ada, ibu-ibu juga ada. Tapi memang yang hadir tidak

sebanyak kebaktian di hari Minggu. Hari kamis juga ada ibadah khusus untuk

karyawan. Di hari Jumat juga ada ibadah jam 12.00 WIB dan hari Sabtu kebaktian

remaja dan pemuda

P: Apakah lewat kegiatan-kegiatan ibadah ini jemaat jadi saling kenal Pak? Termasuk

jemaat simpatisan atau jemaat tetap?

SM: Saya rasa gak. Jemaat di sini gak terlalu saling kenal satu sama lain. Misalnya

saja yang kelas “kakapnya”, memang mereka kasih persembahan besar, tapi kadang

habis ambil snack dan minum, langsung turun ke bawah. Saya kira sangat terbatas

waktu untuk bisa bercakap-cakap. Tapi saya serius ada satu kelemahan juga. Kalau di

gereja-gereja dulu liturgi itu sangat formal, sementara kelemahan di sini, kan

pendeta-pendeta jam terbangnya tinggi. Mereka melayani sekitar dua jam saja di

gereja ini, lalu pergi ke gereja lain. Jadi kadang gak ada kesempatan bersalaman

dengan pendeta, karena dia mengejar kebaktian di tempat lain.

P: Oiya bagaimana dengan warta jemaat Pak? Artinya, biasanya kan diumumkan

berapa orang yang hadir, berapa jumlah persembahan, ibadah keluarga selanjutnya di

rumah ini, kunjungan diakonia orang sakit begini. Yang seperti ini ada gak Pak?

SM: Gak ada. Tapi saya kira untuk persembahan atau bantuan bencana ada

alokasinya masing-masinglah. Tapi yang saya tahu pendeta pengkhotbah itu ada

yang dapet Rp. 800ribu, Rp.1 juta, Rp. 1,5. Bintang satu sekian, bintang tiga sekian,

bintang lima sekian… Ya saya kira begitulah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

159

Transkripsi Wawancara 3

Pewawancara (P) : Norita

Informan : IS (seorang Worship Leader di gereja mal)

Pekerjaan : Mahasiswi

Tanggal wawancara : 25 Mei 2009

P: Selamat pagi dek, sebelumnya terimakasih ya untuk waktu dan kesediaannya. Oiya

kakak mau nanya tentang gereja Casa Rosa, di mana selama ini kamu terlibat aktif di

dalamnya.

IS: Gereja Casa Rosa sebenarnya adalah bagian dari GBI (Gereja Bethel Indonesia).

Cabang-cabang GBI itu kan bersifat otonom. Ada banyak cabangnya, di Yogyakarta

saja misalnya selain Gereja Casa Rosa ada juga Gereja Aletheia. Gereja Casa Rosa

sendiri adalah satelit (sebutan untuk cabang) dari gereja pusat yang ada di Solo.

P: Gereja Casa Rosa ini sudah berdiri berapa tahun sih?

IS: Gereja ini sudah berumur sekitar 9-10 tahunlah kak. Gereja ini kan pindah-pindah

kak. Pernah memakai gedung RRI, Hotel Jayakarta, Rumah Makan Adem-Ayem,

Lippo Bank, Gedung Pelita, dan yang terakhir adalah Impact Center yang di Saphir

Squere, kalau gak salah sih sejak tahun 2008.

P: Bearti berpindah-pindah terus ya hingga akhirnya menetap di mal ini. Gimana

ceritanya kog akhirnya gereja Casa Rosa ini bisa berada di mal ini?

IS: Ya, memang sih selama ini kita berpindah-pindah terus kak, sampai akhirnya

boleh menyewa gedung di Saphir Squere ini. Soalnya ada pemilik saham di mal ini

yang beragama Kristen dan dia juga yang punya swalayan yang berada di lantai

bawah mal ini. Logikanya aja, jadi kan kalau selesai gereja kita bisa belanja di bawah.

Kebayang kan kak berapa banyak orang yang datang ke gereja dan kemungkinan

besar belanja di situ. Tapi, pemakaian gedung yang berpindah-pindah dari satu tempat

ke tempat lain, kalau aku gak salah ya kak, tak lain karena izin bangunan gedung

gereja yang sulit diperoleh. Oleh karena itu ketika pihak pemilik mal bersedia

menjual atau menyewakan beberapa bagian bangunannya, gereja Casa Rosa

membelinya. Kalau aku gak salah ingat mungkin biaya membeli gedung tempat

ibadah itu seharga Rp.40 M.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

160

P: Boleh tahu jumlah anggota jemaatnya dan kebanyakan dari golongan mana?

IS: Kalau gak salah sih jumlah anggotanya yang terdaftar saat ini sekitar 6000-7000

jiwa, yang awalnya hanya berkisar 2000-an jiwa. Kan visi gereja ini untuk tahun 2009

sebenarnya menjangkau 10.000 jiwa. 50%-70% anggotanya adalah anak muda,

selebihnya orangtua dan kebanyakan pengusaha. Salah satu cara menjangkau

anggotanya adalah dengan cara cell group (satu orang menjadi kakak rohani, lalu ada

sekitar 4-5 orang adik rohaninya dalam satu kelompok, begitu selanjutnya, adik

rohani akan menjadi kakak rohani dan mempunyai adik rohani lain). Ya, seperti

perkembangbiakan sel gitulah kak.

P: Apa tanggapan kamu tentang ibadah di sana? Ya termasuk fasilitas musik yang

dipakai.

IS: Wah, model ibadah di sini beda banget kak dengan ibadah di gereja-gereja suku.

Di sini ibadahnya semangat banget, ya lebih nge-roh lah, rame dan semarak. Soalnya

fasilitasnya juga kan mendukung banget. Ada sound system yang bagus, lampu sorot,

smoked, mike yang bagus dan mahal, LCD besar, musik yang fullband. Semua

fasilitas ini betul-betul dirawat kak. Ada bagian khusus yang menjaganya. Mike

untuk singer saja harganya itu berkisar Rp.1,5 juta, sementara mike untuk Worship

Leader dan Pendeta seharga Rp.3 jt. Artinya, gereja ini memang mau memberika

yang terbaik, termasuk lewat fasilitas-fasilitasnya.

P: Kalau soal persembahannya gimana di sini dek?

IS: Oiya selain ada amplop persembahan, ada juga amplop “Janji Iman” yang

biasanya dipakai untuk biaya pelebaran gereja. Ya, kalau mau jujur, jumlah

persembahan memang cukup besar di gereja ini. Mungkin dalam satu minggu bisa

berkisar Rp.100 jt), mereka yang memberikan persembahan biasanya jumlahnya

besar, anak Sekolah Minggu saja ada yang memberikan persembahan Rp.20.000-

50.000 kak. Beda banget kan dengan di gereja suku, misalnya.

P: Wah, berarti tidak ada masalah ya dengan keuangan.

IS: Aku rasa sih gitu kak. Bahkan kalau ada acara-acara spesial, misalnya HUT gereja

atau Natal, pengisi acara biasanya juga disubsidi untuk membeli baju atau peralatan

make-up dan biasanya itu semua menjadi hak milik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

161

P: Oh gitu, berarti pengisi ibadah benar-benar dipersiapkan untuk penampilan yang

terbaik ya?

IS: Iya begitulah. Soalnya mulai dari pengisi acara yang ada di depan mimbar utama

yang menhadap jemaat, kita juga kan harus tampil sebaik dan serapi mungkin. Ya

intinya kita mau memberikan yang terbaik aja sih.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

162

Transkripsi Wawancara 4

Pewawancara (P) : Norita

Informan : SL

Pekerjaan : Pendeta Muda (Pdm) di gereja aliran kharismatik

Tanggal wawancara : 14 Januari 2010

P: Selamat pagi ibu, langsung saja ya. Saya mau tahu bagaimana proses terbentuknya

gereja-gereja yang ada di mal? Apalagi umumnya ya seperti yang kita ketahui

kebanyakan beraliran kharismatik?

SL: “Jawaban yang paling gamblang dan paling mudah sih sebetulnya karena gak

punya gereja yang sesuai apa kata orang tentang gedung gereja, karena GBI-GBI

secara khusus ataupun gereja aliran Pentakosta ini memiliki kesulitan untuk: satu,

lahan dan gedung gereja selayaknya seperti gereja-gereja Protestan atau gereja

Khatolik zaman dulu. Karena tergusur-tergurus terus dan ada mal yang mungkin aula-

nya belum terpakai atau sudah tua, dan kemungkinan ini dilihat oleh gembala Tuhan

tersebut sebagai opportunity untuk dibuka, ya dia buka, karena liturginya tidak akan

berubah oleh sebab bangunan. Dari mal-nya yang kemaren udah mau sepi jadi ramai

lagi, karena apa? Kan setiap minggunya banyak jemaat yang datang. Jadi bukan mal

yang membuat gereja bertumbuh, itu opportunity saja. Jadi karena ada yang kosong

dan mereka mau sewain buat gereja, ya udah kita pakai deh, gitu (sambil tersenyum).

Ide pertamanya gitu. Sebelum tahun 2000-an sudah mulai banyak. Ketika maraknya

mal-mal, dia bikin aula, lalu karena gereja itu mempertimbangkan berapa nampung?

Kapasitasnya paling sedikit kan kurang lebih 500. Lalu kalo boleh ini disewa oleh

gereja dan owner nya bilang gak ada masalah. Dia kan tahu boleh gak ini disewaim

karena ada kegiatan gereja, ya kalau owner nya menginjinkan, kita gak ada masalah,

gereja di sini juga gak masalah. Tentu pasti dalam pelaksanaannya tergantung kepada

lokasi-lokasi tertentu, ada lokasi tertentu ya you boleh pakai untuk ibadah tapi jangan

pakai spanduk ya, misalkan, jadi gak boleh pakai nama, paling ada spanduk di

belakang mimbar waktu lagi ibadah, selesai ibadah turunin lagi.

P: Kalau pola ibadah di gereja yang umumnya beraliran pentakosta atau kharismatik

bagaimana sih buk?

SL: Kalau bicara soal tata ibadah pentakosta ini gak beda jauh ya.. Sederhana aja sih

sebenarnya, dan lebih fleksibellah. Alurnya ya praise and worship, khotbah,

kemudian tantangan doa ke depan, lalu doa syafaat, dan terakhir doa berkat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

163

P: Bagaimana mempersiapkan semuanya agar tampil menarik dan menggugah hati

jemaat Bu?

SL: Biasa aja kog, jadi begini di gereja pentakosta itu sudah diatur divisi-divisi

pelayanannya. Misalnya: WL dan singer itu ada divisinya, pemain musik full band

juga ada divisinya. Kecuali Ibadah kecil seperti di rumah ada acara syukuran itu

hanya ada pemain keyboard. Kalau di gereja pentakosta itu full band, di protestan itu

hanya keyboard.

P: Jadi memang sudah disiapkan sedemikian rupa ya.

SL: Sudah ada divisi-divisinya dan biasanya mereka latihan minimal 1 kali seminggu

gitu juga dengan multimedianya sudah disiapkan 3 hari sebelum ibadah. Juga dengan

sound system-nya.

P: Peran seorang WL sangat besar sekali dalam ibadah ya Bu?

SL: Oh iya, dia yang mengajak umat menyanyikan lagu sesuai pesan lagu dan

suasana pujian. Umumnya mereka hafal lagu-lagunya, tapi kalau gak ya tinggal lihat

di slide aja. Tapi jangan salah lho, waktu saya buat KKR di Tanah Pinem, di daerah

Karo justru mereka ada yang mahir juga lho jadi WL.

P: Oiya Buk, kalau semua dipersiapkan dengan baik dengan waktu latihan yang

lumayan banyak, setidaknya apakah ada uang transport-lah untuk mereka yang

terlibat dalam pelayanan ini?

SL: Sebenarnya ka nada yang melayani penuh waktu dan paruh waktu. Tentu ada

uang transport yang disediakan, hanya saja itu kan sesuai dengan kebijakan gereja

masing-masing.

P: Yang saya perhatikan anak muda yang terlibat di dalam ibadah itu bersukacita

sekali ya?

SL: Mungkin itulah yang harus kita perhatikan. Namanya juga kan anak muda,

mereka kan kreatif jadi kalau banyak orang tua yang mengikat liturgisnya membuat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

164

anak muda malas dan akhirnya pergi ke gereja yang memiliki cara mengembangkan

kreatifitas mereka.

P: Dalam hal ini gereja kharismatik untuk menjangkau kebutuhan pemuda dalam

aktivitasnya, maksudnya?

SL: Iya makanya pemuda punya ibadah sendiri dalam mereka punya kegiatan dan

kelompok komisi anak dan pemuda. Komisi ini harus memikirkan konteks kawula

muda, nah kalau liturgi anak muda ini dicampur dengan orangtua, bisa kita

bayangkan suatu saat mereka gak akan betah, gerah gitu kan, walaupun diwajibkan

ibadah pada hari Minggu yang suatu saat dia akan bosan dan keluar. Artinya, tiap

kebutuhan golongan usia haruslah diperhatikan.

P: Selain pertemuan dalam kebaktian minggu, apa saja kegiatan di tengah minggu

Bu?

SL: Ada yang komsel, komsel ini di rumah-rumah atau di tempat hamba Tuhan. Nah

itu membina hubungan jadi kayak maintenance. Firman udah ditabur jadi harus di-

maintenance, membahas masalah-masalah hidup kitalah. Dan biasanya setiap

kelompok ada leader-nya yang terlebih dahulu sudah dibekali firman. Lalu di

kelompok itulah mereka bisa sharing.

P: Konsep Komsel itu bagaimana Buk?

SL: Kalau komsel itu gak boleh lebih dari 12 orang dalam satu kelompok.

P: Berarti lewat Komsel inilah diharapkan tingkat kedekatan dan keakraban umat bisa

terjalin ya?

SL: Iya, misalnya saja ada satu orang stress karena di pekerjaan ada masalah atau

karena apalah, terus dibantu sama anggota dan teman-teman lain dalam kelompoknya

itu, lalu didoakan bersama.Yang paling bagus itu sebenarnya homogen bapak dengan

bapak , ibu dengan ibu, anak muda dengan anak muda, dokter dengan dokter, insinyur

dengan insinyur, yang punya “bahasa” dan pergumulan yang sama, namun

kenyataannya sulit membuat kategori homogeny seperti ini.

P: Oh begitu ya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

165

SL: Sharing gak harus di rumah, tapi bisa jadi di cafe, yang penting kan bisa

membahas firman Tuhan. Bahkan bisa saja mereka sudah janji ketemunya di tempat

lain sambil makan bak mie, misalnya, itu gak apa-apa yang dilihat kan tujuannya.

P: Jadi fleksibel sifatnya ya bu?

SL: Sangat fleksibel karena yang dilihat itu tadi tujuannya

P: Lalu mereka ada kolektenya

SL: Ada

P: Itu disetorkan ke gereja?

SL: Ada yang punya peraturan demikian ada yang setengahnya disetorkan ada yang

dibuat untuk kegiatan besarnya, juga tidak disetor karena untuk kegiatan di rumah itu.

Misal untuk buat kue atau untuk menolong teman yang lagi kesusahan, sakit, nah itu

tergantung dari porsi pemimpin paling atas kembali lagi dari gembala. Tapi kalau

gembala serahkan kepada pemimpin di bawahnya itu terserah boleh aja tergantung

gereja masing-masing punya aturan main dilakukan, tapi kalau sudah dilakukan ntar

seragam semua

P: Tetap ada aturannya lah ya?

SL: Ada aturan tapi gak baku dilihat dari kebutuhan. Jadi itulah yang dibuat oleh

gereja aliran pentakosta atau kharismatik, mencoba menjawab kebutuhan dari masa

ke masa. Mungkin berubah juga sih nantinya. DI sini tidak ada batasan-batasan

karena aliran pentakosta mempunyai aliran sendiri, itu gak di atur sama sinode. Kalau

gereja yang lama bahkan khotbahnya diatur. Padahal khotbah yang diinginkan sesuai

kebutuhan jemaat. Jadi kebutuhan itu gak gampang memenuhinya, gak bisa 100%

tapi paling tidak kita mengerti bahwa tiap manusia punya masalah. Tiap kali kita

lempar satu firman paling tidak beberapa persen itu terjamah dari mana kita tahu

mereka terjamah dari jemaat yang tetap hadir kalau 10 tahun dia gak pernah ibadah

dan gak pernah terjamah maka dia cari yang lain. Saat firman ditabur pada hari

minggu, pada Komsel itulah kita menjamah atau kepada pelayanan konseling atau

acara yang ada di gereja. Kita kan punya layanan konseling 24 jam. Kebanyakan sih

ada yang datang jadi ada yang telepon. Pernah ada yang datang konsultasi ke saya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

166

katanya sudah 5 tahun gak punya anak saya antar aja ke sini terus didoain. Nah

setelah itu dia gak pernah berobat lagi, sebelumnya dia berobat ke singapura, tahu-

tahu hamil, sekarang udah melahirkan. Nah kedua di sini ada formulir doa itu juga

yang pernah dibaca para majelis di sini didoakan.

P: Jadi boleh datang langsung, via telepon atau menulisnya di kertas ya?

SL: Iya tiap hari minggu siapa yang mau didoakan itu ditulis, nah para pendoa syafaat

akan mendoakan terus. Jadi dari segala bidang pelayanan diadopsi, segala kebutuhan

diupayakan dijawab. Kami percaya bahwa healing yang menyembuhkan itu bukan

karena pendetanya kog, tapi karena kuasa Tuhan dan ia (orang itu) beriman. Kita

cuma alat Tuhan aja. Sebenarnya bukan tempatnya. Ini kita punya healing aja kita

pindah-pindah terus kog. Jadi mau di mal atau gak, sebenarnya gak masalah juga kan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

167

Transkripsi Wawancara 5

Pewawancara (P) : Norita

Informan : SS

Pekerjaan : Dosen Teologi di Jakarta

Tanggal wawancara : 15 Januari 2010

P: Langsung saja ya Pak. Jadi apa tanggapan bapak tentang ibadah gereja-gereja yang

ada di mal yang semakin marak saat ini?

SS: Ya memang saya pikir ada kecenderungan di kalangan gereja karismatik

membuat ibadah yang bersifat entertainment. Kalau di Amerika saya lihat tata ibadah

gereja reform mereka sebut open community future sifatnya ya entertainment, kita

seperti nonton aja gitu, seperti layar terbuka, paduan suara yang banyak, permainan

lampu. Jadi itu menarik banyak pengunjung dan itu membuat orang tertarik dan

terhibur. Kita lihat misalnya mega church dengan pengkhotbah-pengkhotbah Joel

Oestien yang sering kita lihat, dia membeli 10-15 ribuan stadion base ball dan dia

ubah menjadi gereja. Dia ngaku di sebuah wawancara di koran, bahwa dia tidak akan

mengatakan yang jelek-jelek dan negatif, tentang dosa dan sebagainya karena itu

tidak disukai oleh jemaat-jemaatnya.

P: O berarti isi khotbah menjadi hal yang sangat penting diperhatikan dalam corak

gereja mal ya pak?

SS: Iya, dalam hal ini dia mengkhotbahkan yang enak-enak aja dan itu yang banyak

dicerca oleh gereja lain, tapi saya kira itu bukan Injil yang sebenarnya.

P: tapi banyak orang yang suka itu karena mereka bilang kalau senin-sabtu itu dapat

berita jelek, kenapa minggu harus dapat berita jelek lagi, gitu. Di hari minggu itu ya

dapat kekuatan dari firman Tuhan.

SS: Ya, saya kira-kira begitu

P: Menurut bapak apa namanya fenomena ini?

SS: Iya saya kira agama dijadikan sebagai sebuah komoditi yang tidak ada bedanya

dengan apa yang dijual di mal lainnya. Apa lagi dengan setting-nya mal tu sendiri. Ya

saya kira pesan dalam khotbah sangat juga sangat menarik hati banyak orang.

Sebenarnya kan banyak ibadah yang baik tapi yang penting ditekankan disini adalah

spesifikasi pesan dalam ibadah, seperti di mal, dipaket dalam bentuk indah, menarik.

Saya pikir sama aja seperti sebuah etalase yang dibuat untuk menarik pengunjung.

P : Jadi, pola belanja dan pola ibadah hampir sama

SS: Iya memang polanya disesuaikan seperti pola belanja. Saya akan bicara tentang

gereja saya, GKI. Pernah salah satu anggota jemaat ditawari oleh seseorang untuk

membangun gereja di mal dan memang tujuannya adalah menarik orang-orang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

168

selama ini keluar dari gereja-gereja dan kemudian mencari gereja mal, dan saya

katakan oke, kita bisa ke sana dan saya setuju tapi kita mengkompromikan isi pesan

Dalam khotbah, model ibadah memang bisa kita buat lebih rileks atau membuat

musik band tapi tetap isi pesan khotbah tidak bisa kita ubah. Kita tidak bisa

sampaikan pesan yang bagus-bagus aja, yang sedap didengar. Bagaimana pun juga

pesan kenabian harus ada.

SS: Tapi bukan hanya khotbah, sebenarnya unsur liturgi juga. Misalnya lagu-lagunya.

Kalau teman saya di Amerika bilang lagu di gereja-gereja seperti itu ya, seven

eleven-lah. Tau gak istilah seven eleven itu? sepeti circle K yang menjual minuman,

makanan kecil, koran dalam 24 jam

P: Apakah yang bapak maksudkan soal muatan teologis dalam lagu yang dinyanyikan

di gereja-gereja tersebut?

SS: lagu itu seven eleven words time, kata-kata nya hanya tujuh kata, tetapi

dinyanyikan berulang-ulang sebanyak sebelas kali.

P : Berarti menurut bapak lagunya easy listening dan gampang mengikutinya,

ditambah kita tidak perlu belajar notnya ya? (sambil tersenyum)

SS : Ya, begitulah

P: Kalau soal persembahannya gimana Pak? Karena katanya persembahan umat di

sana besar, apalagi jika khotbahnya mengena.

SS: sepengetahuan saya ya persembahannya memang besar, tapi tidak ada kejelasan

atau pertanggungjawabannya ini kemana itu kemana. Wartanya aja gak ada kan,

selesai kebaktian kan langsung bubar. Itulah memang betul-betul dagang, orang

dagang kan tidak pernah menjelaskan berapa keuntungan

P: Kira-kira aspek mana yang dijawab oleh ibadah di gereja mal itu Pak?

SS: Saya pikir ini adalah model jajan yang sama halnya saya makan burger perut

saya kenyang dan udah saya pulang, pemuasan-pemuasan kebutuhan sesaat yang

dilakukan dengan segera dan cepat tapi di pihak lain kita bisa bertanya apa sih

misinya? Itu yang jadi persoalan dan mereka nggak peduli dengan itu. Gizi buat kita

itu kan harus utama, sering kali mereka tidak bicara soal keadilan. Itu kan pesan-

pesan kenabian yang harus disampaikan. Bagaimana kita adil membela orang miskin

dan tertindas dan saya nggak tau karena saya nggak pernah hadir di situ. Pernah gak

mereka mengkhotbahkan bagaimana sikap kita terhadap masalah, katakanlah KPK,

itu nggak pernah disinggung, korupsi dan hal-hal yang bersifat moralitas: jangan

main judi, mabuk-mabukan, jangan memukuli istri, anak harus taat orang tua, ya

seperti itu moralitas-moralitas yang sangat terbatas saya pikir itu penting.

P: Apa tanggapan Bapak tentang bintang tamu yang sering hadir dalam ibadah di

gereja mal?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

169

SS: Ya menurut saya, kita itu jadi kayak melihat suatu pertunjukkan-pertunjukaan

seperti show dengan bintang tamu. Itu kan daya tariknya sendiri. Bahkan kadang-

kadang bukan hanya hanya artis lokal, tapi dari luar negeri juga. Dan kayaknya ada

simbiosis mutualisme juga. Katakanlah sewaktu Joy Tobing belum terlalu terkenal

dan dia ikut Indonesian Idol. Dengan mengisi acara di kebaktian tentu di asekaligus

mempromosikan diri kan, cari dukungan lewat sms. Yah begitulah.

P: Kalau simbiosis mutualisme antara pihak gereja dan pihak pengelola mal

bagaimana Pak?

SS: Ooo, iya jelas kan, kalau dia bisa mendatangkan 1000 orang ke gereja itu akan

ada 1000 potential costumer di mal itu, sebab habis dari gereja mereka mau ngapain?

Masak langsung pulang? Ya mereka makan dululah di mal atau belanja dulu, ngapain

juga langsung pulang? Jelas kan, karena itu pengelola mal sangat tertarik

mengadirkan gereja di tempat mereka.

P: Mungkin gak Pak pola ibadah di gereja mal itu diadopsi oleh gereja arus utama,

seperti GKI atau GBKP? Kita datangkan Worship Leader yang terkenal, kita lengkapi

peralatan band untuk menarik minat pemuda. Gimana menurut Bapak?

SS: Kalau dulu Pak Eka pernah bilang bahwa kita gak bisa menghadirkan tiruan,

tiruan itu akan ketahuan bahwa itu bohong, bukan yang asli. Jadi tampilah sesuai jati

dirimu. Saya pernah di gereja presbiterian di Amerika, saya ikut di pertemuan raya

pemuda selama beberapa hari bisa 3000an orang ke situ dan ibadahnya itu full band.

Begitu saya datang ke ibadah itu, dengan latar belakang dari gereja tradisional, saya

lihat lho gereja di Amerika pun masih memakai cara-cara tradisional juga rupanya,

sampai di situ saya sempat kaget juga. Saya gak bisa menikmati kebaktian seperti itu

(seperti yang di gereja mal). Tapi barangkali itu yang sering terjadi, kita lihat aja PKJ

(Pelengkap Kidung Jemaat) sudah memasukkan lagu-lagu mereka dan akhirnya

memang kita gak bisa membendung lagi. Yang bisa kita lakukan hanya menyeleksi

menilai teologis lagu-lagu yang sehat.

P: Yah seperti yang kita ketahui Pak bahwa anak muda kan maunya nyanyian yang

gembira dan bersemangat dan dilengkapi dengan alat musik yang memadai, gak cuma

organ. Gimana menurut Bapak?

SS: Barangkali di sini kita harus melihat apakah kita gagal megembangkan lagu-lagu

yang memenuhi selera mereka. Saya lihat PKJ misalnya, saya gak puas dengan PKJ.

Sebagian lagunya kacau misalnya, “Aku bawa persembahanMu”. Bait keduanya

mengatakan begini, “Kita mengenal orang susah supaya kita kuat…” lho apa itu?

Motivasinya jadi egoisme dong.

P: Jadi menurut Bapak yang terpenting dalam suatu lagu apanya Pak?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS

170

SS: Saya pikir banyak sekali penulis lagu yang sudah punya kata-kata yang baik.

Saya melihat lagu dari Amerika Latin yang mengatakan, “Kami tetap benyanyi, kami

tetap memohon kami tetap bermimpi…” atau “Kita tetap berharap bahwa keadilan

akan terjadi”. Nah ini lagu yang sangat kontekstual terhadap kondisi masyarakat

Amerika Latin yang hidup dengan diktatorisme yang menuntut keadilan. Ada lagi

satu,”Karena roh-Mu mempersatukan kami, karena Dia adalah kehidupan, sehingga

kami masih bisa bernyanyi. Meskipun ada intimidasi, kami masih tetap bernyanyi dan

mengharapkan kedatangan kerajaaan Allah karena Roh Kudus akan menyertai”. Satu

lagi dari Tanah Karo, “Sayur kubi jatuh harga”. Nah, itu lagu yang sangat bagus, tapi

berapa kali kita menyanyikannya? Kita kadang-kadang gak serius menganggap lagu

itu, padahal untuk petani lagu-lagu itu sangat menyentuh di hati.

P: Jadi kalau untuk lagu-lagu yang diminati saat ini bobot teologisnya yang

bagaimana sih Pak?Yang sedap didengar?

SS: misalnya, “Kami memujiMu, Engkau Allah yang dahsyat”, kenapa dahsyat?

Pertanyaan seperti itu memang yang patut kita curigai atau kita apakan terhadap

teman-teman yang datang ke sana. Misalnya korupsi yang sering terjadi. Itu ngasih

persembahan berjuta-juta, itu dilakukan hanya untuk menutupi penghapusan dosa

atau apa? Banyak nilai teologis yang salah saya kira.

P: Menurut Bapak keakraban di gereja mal itu bagaimana?

SS: Ya memang gak ada kan kalau kita omongin gereja di mal, orang kan gak saling

kenal dan ngerasa gak kenal karena belum tentu dia ada lagi kan. Kalau saya

memikirkan berapa pengunjung tetap dan sulit bagi kita untuk mengetahui

databasenya. Yang perlu kita curigai gak banyak pengunjung tetapnya. Kebanyakan

mungkin hanya jemaat simpatisan yang datang ke sana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI