32
Februari 2021 MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI INDONESIA: Kajian Kelembagaan dan Pembelanjaan Publik Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

1EXECUTIVE SUMMARY

Februari 2021

MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI INDONESIA:

Kajian Kelembagaan dan Pembelanjaan Publik Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Page 2: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

2 EXECUTIVE SUMMARY

Publikasi ini disusun oleh staf Bank Dunia dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah Norwegia dan Australia. Hasil temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang disampaikan dalam publikasi ini tidak serta merta mewakili pandangan Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia maupun organisasi-organisasi yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data yang tercantum di dalam publikasi ini. Batas-batas, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditampilkan pada peta mana pun di dalam publikasi ini tidak menyiratkan penilaian apa pun dari pihak Bank Dunia mengenai status hukum suatu wilayah, atau dukungan maupun penerimaan terhadap batasan tersebut.

Mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) diperpanjang pada Desember 2020 menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)

Hak dan Izin© 2020 Bank Dunia1818 H Street NW, Washington DC 20433Telepon: 202-473-1000; Internet: www.worldbank.org

Sebagian hak cipta dilindungi oleh undang-undangMateri dalam publikasi ini memiliki hak cipta. Karena Bank Dunia sangat mendukung penyebarluasan pengetahuan, publikasi ini boleh diproduksi ulang, secara keseluruhan atau sebagian, untuk tujuan non-komersial selama mencantumkan secara lengkap atribusi untuk publikasi ini.

Berbagai pertanyaan lainnya yang terkait dengan hak dan perizinan, termasuk hak tambahan, harap dialamatkan kepada Kantor Penerbit Bank Dunia (World Bank Publication), The World Bank Group, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; faks: 202-522-2625; e-mail: [email protected].

Atribusi Harap mengutip publikasi ini sebagai berikut: “Bank Dunia. 2021. Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Pembelanjaan Publik Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan. © Bank Dunia”

Kredit foto: Pemadam kebakaran memadamkan api yang membakar pohon-pohon, api panas menyala. Foto: Pix One / Shutterstock.com

Page 3: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

3

Singkatan 4Ringkasan Eksekutif 6Rekomendasi 8

1. Pendahuluan 12

2. Sebaran Spasial dan Pemicu Karhutla 142.1. Konsentrasi Karhutla di Tujuh Provinsi 142.2. Pemicu Karhutla 14

3. Kebijakan, Mandat, dan Belanja Pengelolaan Karhutla di Tingkat Nasional 173.1. Mandat untuk Pencegahan Karhutla 173.2. Visi Pengelolaan Karhutla Terpadu Indonesia 203.3. Belanja Pemerintah Pusat untuk Fungsi Penanggulangan Karhutla 223.4. Peranan Aktor Non-Negara dalam Pengelolaan Karhutla 24

4. Pengelolaan Karhutla Terpadu di Tingkat Daerah 254.1. Program Tingkat Desa 254.2. Pendekatan Klaster Karhutla Lokal 25

5. Rekomendasi 275.1. Memperkuat kerangka hukum dan kebijakan untuk koordinasi 275.2. Mengadopsi pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster yang dipimpin pemerintah daerah 275.3. Meningkatkan kapasitas dan standar pelaksanaan IFM 285.4. Meningkatkan keputusan belanja yang berkaitan dengan penanggulangan Karhutla 29

Referensi 31

KotakKotak 1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainKotak 2. “Revitalisasi” lahan gambut untuk mencapai Swasembada Beras: risiko dan peluangs

GambarGambar ES.1. Lima elemen dalam Pengelolaan Karhutla Terpadu dengan pendekatan berbasis klaster di IndonesiaGambar 1. Luas lahan terbakar menurut daerah dan provinsi, tahun 2015–2019, dalam hektarGambar 2. Kejadian karhutla di kawasan gambut di 7 provinsi prioritas rawan karhutla, tahun 2015–2016Gambar 3. Jenis penggunaan lahan/tutupan lahan yang terbakar tahun 2015/2016 di 7 provinsi prioritasGambar 4. Luas perkebunan sawit di 7 provinsi prioritas, tahun 2011-2018 (ribu hektar)Gambar 5. Perubahan penggunaan lahan/tutupan lahan di 7 provinsi prioritas, tahun 1990-2014Gambar 6. Jumlah karhutla tahun 2015 yang terjadi di Kawasan Hutan administratif di 7 provinsi prioritasGambar 7. Pemetaan kelembagaan saat ini berdasarkan wilayah hukum – rangkaian Pengelolaan Karhutla

Terpadu di IndonesiaGambar 8. Belanja untuk 10 kegiatan sektor publik yang berkaitan dengan pemicu karhutla di 7 provinsi

prioritas, tahun 2015-2017, USDTabelTabel ES.1. Ikhtisar rekomendasiTabel 1. Pemicu karhutla dan kementerian-kementerian pemerintah pusat dengan mandat terkaitTabel 2. Tanggung jawab kementerian-kementerian koordinator di Indonesia berdasarkan Desain BesarTabel 3. Program dan proyek prioritas yang berkaitan dengan penanggulangan hutan dan lahan dalam

RPJMN 2020–2024Tabel 4. Identifikasi mandat, fungsi dan lembaga yang berkontribusi untuk pencegahan karhutla

1316

714141515161921

24

10182022

23

Daftar Isi

Page 4: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

4

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPDLH Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup BRGM Badan Restorasi Gambut dan MangroveDPG Desa Peduli GambutENSO El Niño–Southern OscillationIFM Integrated Fire Management, Pengelolaan Kebakaran TerpaduKemendesa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan TransmigrasiKemenko Marves Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan InvestasiKemenko Perekonomian Kementerian Koordinator Bidang PerekonomianKemenko Polhukham Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan KeamananKementan Kementerian PertanianKementerian ATR/BPN Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan NasionalKementerian PUPR Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan RakyatKLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KTPA Kelompok Petani Peduli Api, community-based fire response teamLAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa NasionalMPA Masyarakat Peduli Api, community-based fire response teamPemda Pemerintah DaerahRPJMN Rencana Pembangunan Jangka MenengahTNI Tentara Nasional IndonesiaTORA Tanah Obyek Reforma Agraria

Daftar Singkatan

Page 5: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

5EXECUTIVE SUMMARY

Page 6: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

6 EXECUTIVE SUMMARY

Indonesia mengalami dua kebakaran hutan dan lahan skala besar dalam lima tahun terakhir. Menurut data pemerintah, hutan dan lahan seluas 2,6 dan 1,6 juta hektar terbakar masing-masing pada tahun 2015 dan 2019, mengakibatkan kerusakan langsung dan kerugian ekonomi di sektor infrastruktur, pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, transportasi, kesehatan, dan lingkungan hidup.1 Berbeda dengan kebakaran hutan boreal di Amerika Utara, kebakaran hutan hujan tropis dan lahan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia. Episode kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terulang setiap tahun karena alih fungsi lahan dengan cara membakar dianggap sebagai metode termurah untuk mempersiapkan lahan yang akan ditanami, atau untuk mengklaim lahan di daerah konflik yang kepemilikannya tidak jelas dan penegakan hukumnya masih lemah.2 Tanpa tindakan untuk mengendalikan pembakaran lahan, kebakaran dapat menyebar secara tak terkendali, khususnya selama musim kemarau yang lebih panjang akibat pola iklim.3 Ketika kebakaran melanda lahan gambut kering yang kaya akan karbon, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih besar sehingga memicu perubahan iklim.4

Sejak tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan sejumlah reformasi penting, misalnya penerbitan Instruksi Presiden tahun 2015 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan (diperbaharui dalam Inpres 3/2020), moratorium permanen atas alih fungsi (konversi) hutan primer dan lahan gambut, reformasi tenurial, dan program restorasi lahan gambut. Peristiwa karhutla ekstrem tahun 2019 terjadi di tengah berbagai kebijakan yang telah diterapkan dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan pentingnya terus memperkuat upaya pencegahan karhutla dan meningkatkan efektivitasnya.

Sejak pelaksanaan berbagai kebijakan, data resmi menunjukkan bahwa kemajuan yang dicapai sudah cukup baik. Sekitar 57-84 persen desa yang terbakar pada tahun 2015 tidak lagi mengalami kebakaran pada tahun 2019 dan area yang terbakar menurun pada tahun 2016 dan 2017. Akan tetapi, karhutla masih melanda wilayah-wilayah

lain, termasuk lanskap prioritas yang ditetapkan dalam moratorium dan peta indikatif restorasi gambut.5 Episode karhutla tahun 2019 membuktikan bahwa Indonesia perlu terus memperkuat upaya-upaya pengelolaan karhutla, khususnya dalam mengantisipasi siklus musim kemarau yang lebih panjang.

Pandemi COVID-19 saat ini membuat penguatan pengelolaan karhutla semakin mendesak untuk dilakukan di Indonesia, karena masyarakat yang tinggal di wilayah rawan karhutla menjadi semakin rentan terhadap penyakit, dan resesi ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi dapat semakin mendorong masyarakat untuk membuka lahan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penduduk dengan prakondisi, termasuk yang terpapar kabut asap beracun dari karhutla, lebih rentan menderita sakit parah akibat virus.6 Mengingat ada kemungkinan jumlah kasus

baru COVID-19 akan terus meningkat sampai musim kemarau mendatang, strategi pengelolaan karhutla di Indonesia perlu memperhitungkan dampaknya terhadap sektor kesehatan. Selanjutnya, karena pandemi telah diprediksi akan menimbulkan resesi ekonomi besar yang serupa dengan krisis 1998 di Indonesia, pengalaman sejarah7 menunjukkan bahwa hilangnya lapangan kerja di perkotaan akan menciptakan tekanan tambahan terhadap lahan pedesaan, yang berpotensi menimbulkan lebih banyak alih fungsi hutan dan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Sebagian besar karhutla cenderung berulang di tujuh provinsi yang sama di pulau Sumatra dan Kalimantan8, di mana upaya harus difokuskan. Lebih dari dua per tiga karhutla dari tahun 2015 sampai 2019 terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatra. Provinsi Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah sejauh ini mempunyai wilayah terbakar terluas pada tahun 2015, masing-masing mencapai total 647.000 hektar dan 581.000 hektar, atau kira-kira 25 persen dan 22 persen dari total luas lahan terbakar nasional.9 Selanjutnya, lokasi-lokasi kebakaran di provinsi-provinsi tersebut relatif dapat diprediksi, misalnya lahan dengan ketidakpastian tenurial dan lahan yang akan dialihfungsikan menjadi pertanian.

1 KLHK, 2019; http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran2 Bank Dunia 2016.3 El Niño menyebabkan penurunan curah hujan yang rata-rata berlangsung setiap empat tahun. Intensitas El Niño tahun 2019 lebih rendah dibandingkan tahun 2015.4 Pertanian, Hutan dan Pemanfaatan Lahan (AFOLU) menghasilkan hampir dua per tiga dari total emisi Indonesia (Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional). Untuk membandingkan faktor-faktor emisi pada jenis lahan lain, lihat http://incas.menlhk.go.id/wp-content/uploads/2015/10/Standard-Methods-for-Estimating-Green-house-Gas-Emissions-Chapter-7_web.pdf.5 Sebelum kebakaran tahun 2015, KLHK telah melakukan analisis untuk mengidentifikasi desa-desa dengan peristiwa kebakaran berulang, dan mengidentifikasi 713 desa yang dianggap rawan karhutla di provinsi-provinsi prioritas. KLHK mendefinisikan Desa Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan sebagai desa yang berulang kali mengalami kebakaran hutan dan lahan setiap tahun dan terkena dampak kebakaran besar pada tahun 2015. Meskipun jumlah Desa Rawan Kebakaran berubah dari waktu ke waktu, ini menjadi acuan yang berguna untuk memantau perubahan pola spasial karhutla.6 WHO, n.d.7 Penebangan liar, kebakaran hutan, alih fungsi (konversi) hutan dan ekspansi pertanian yang tidak terencana telah menimbulkan degradasi hutan Indonesia seluas 96,3 juta hektar sebagai akibat dari desentralisasi yang tidak dipersiapkan selama era reformasi tahun 1998 dan konflik sosial atas sumber daya hutan (Nawir, Murnia-ti, dan Rum-boko 2007). Reformasi tahun 1998 menyebabkan penataan ulang hubungan pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal dan adat, sektor swasta dan hutan sebagai sumber daya alam utama untuk meningkatkan modal desentralisasi. Tiga puluh juta penduduk sangat bergantung pada hutan.Namun, jutaan pekerja perkotaan yang baru kehilangan pekerjaan dan pulang ke desa untuk mencari pekerjaan telah menciptakan beban tambahan bagi hutan (Barber dan Schweithelm 2000). 8 Provinsi-provinsi tersebut adalah Jambi, Riau, dan Sumatra Selatan; dan Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. 9 Ibid

Ringkasan Eksekutif

Pendekatan IFM dapat memper-mudah penguatan program-program kementerian uta-ma yang tercan-tum dalam RPJMN 2020-2024.

Page 7: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

7Penggunaan api untuk membuka lahan pertanian menjadi salah satu penyebab utama karhutla, yang diperburuk oleh degradasi lahan dan dampak musim kemarau yang lebih panjang. Karhutla yang parah dan luas pada tahun 2015 dan 2019 berkaitan dengan masa kekeringan yang berkepanjangan yang disebabkan oleh pola iklim.10 Namun, fragmentasi dan degradasi hutan akibat penebangan pohon, konversi lahan dan pengeringan lahan gambut (drainase) untuk penanaman memperparah dampak kekeringan, yang menyebabkan karhutla tidak terkendali. Pemicu langsung karhutla sering kali berkaitan dengan penggunaan api untuk membuka lahan di perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh perusahaan maupun masyarakat. Praktik yang disebut sistem tebas-bakar ini dinilai murah karena hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja, menambah kesuburan tanah jangka pendek melalui biomassa yang dibakar, dan membantu mengendalikan hama dan penyakit. Sebaliknya, metode alternatif pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) dianggap kurang menarik karena biayanya yang mahal dan sering kali kurang cocok untuk kondisi-kondisi topografis tertentu.

Efektivitas pengelolaan karhutla di Indonesia perlu didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan yurisdiksi yang lebih terintegrasi di setidaknya tujuh kementerian dan lembaga yang diidentifikasi mempunyai mandat yang berhubungan dengan penanggulangan penyebab karhutla. Meskipun beberapa kementerian mempunyai mandat yang berpotensi dapat mendukung pencegahan karhutla, mereka tidak dapat secara sah melaksanakan tindakan di yurisdiksi tertentu terkait dengan klasifikasi/status hukum lahannya. Pengaturan semacam ini melemahkan upaya untuk mengoordinasikan mobilisasi sumber daya secara efektif di lanskap yang melibatkan beberapa klasifikasi lahan. Misalnya, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tidak dapat memberikan bantuan untuk pembukaan lahan tanpa bakar (zero-burning ) atau pengelolaan air di Kawasan Hutan11 yang berada di bawah yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun beberapa karhutla yang terjadi di Kawasan Hutan kemungkinan diakibatkan oleh budi daya pertanian dan pengeringan lahan gambut. Sementara itu, peranan koordinasi dibagi di antara empat kementerian koordinator.

Belanja pemerintah pusat untuk program-program yang berkaitan dengan pencegahan karhutla perlu didasarkan pada sebaran geografis karhutla dan dikoordinasikan di berbagai yurisdiksi. Antara tahun 2015-2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membelanjakan nominal rata-rata lebih dari USD 20 juta untuk kegiatan ‘pengelolaan lahan dan hutan’.12 Angka ini tergolong relatif rendah dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran. Di luar ini, pemerintah pusat juga telah membelanjakan USD 600 juta sampai USD 1,6 miliar setiap tahun antara tahun 2015-2017 untuk 13 program yang berpotensi dapat berkontribusi untuk pencegahan karhutla, seperti penyediaan mesin pertanian (untuk membuka lahan)

dan pengelolaan air (lahan gambut). Tetapi, program-program tersebut tidak diprioritaskan berdasarkan sebaran spasial karhutla. Antara tahun 2015-2017, hanya USD 121 juta sampai USD 265 juta yang dibelanjakan di tujuh provinsi prioritas/rawan karhutla.

Karena karhutla tersebar melintasi batas-batas yurisdiksi administratif, Indonesia perlu segera mengadopsi pendekatan Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM)13 untuk mengelola sistem penanggulangan karhutla, yang didefinisikan sebagai pendekatan lintas-pemangku kepentingan menyeluruh (holistik) untuk mewujudkan ekosistem dan mata pencaharian berkelanjutan di lanskap rawan karhutla. Pemetaan berdasarkan data pemerintah menunjukkan bahwa karhutla tersebar di berbagai lanskap, terlepas dari yurisdiksi administratif atau batas-batas tenurialnya.14 Oleh karena itu, untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan IFM dan mendefinisikan pengaturan pengelolaan berdasarkan kombinasi pendekatan lanskap yang terdiri dari klaster-klaster penggunaan lahan dan penguna lahan, pendekatan yurisdiksi yang mendefinisikan berbagai otoritas administratif serta alokasi sumber daya, dan akuntabilitas publik.

IFM juga akan meningkatkan efektivitas program-program pengelolaan karhutla yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pendekatan IFM sudah tercermin dalam Instruksi Presiden tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Karhutla, yang menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan karhutla bergantung pada koordinasi dan kolaborasi yang efektif antar kementerian dan lembaga untuk melakukan pencegahan, pendeteksian dan pemadaman dini karhutla. Inpres 2020 tentang Penanggulangan Karhutla lebih jauh menekankan pesan ini. Pendekatan IFM dapat mempermudah penguatan program-program yang ada di kementerian-kementerian utama dalam RPJMN 2020-2024, khususnya dengan mempromosikan koordinasi lintas pemangku kepentingan di tingkat klaster atau tingkat lapangan, sehingga secara langsung mengatasi isu fragmentasi yurisdiksi.

Gambar ES.1.: Lima elemen dalam Pengelolaan Karhutla Terpadu dengan Pendekatan berbasis Klaster di Indonesia

10 El Niño–Southern Oscillation (ENSO) dan peristiwa positif mode Indian Ocean Dipole (IOD).11 Indonesia secara hukum mengklasifikasi lahan menjadi Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain, bukan masalah kondisi biofisik..12 Pada tahun 2016, sekitar USD6,2 juta dari total anggaran dialokasikan untuk belanja Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, di mana hanya 10 persen dialokasikan untuk pencegahan karhutla. Ada juga kegiatan-kegiatan lain yang dapat berkontribusi untuk pencegahan karhutla, termasuk inisiatif restorasi gambut.13 Myers (2006) mendefinisikan IFM sebagai suatu kerangka yang memadukan aspek-aspek ekologi, sosial ekonomi dan teknis karhutla secara holistik untuk (1) mengatasi masalah sosial dan konservasi, serta isu-isu yang disebabkan oleh pembakaran vegetasi, dan (2) mencapai tujuan ekosistem dan mata pencaharian masyarakat yang berkelan-jutan di lingkungan rawan karhutla.14 Data disediakan oleh KLHK (2015-2017)

5. Pendekatan berbasis klaster

4. Y

urisd

iksi

adm

inist

ratif

dan

pen

ggun

aan

laha

n

1. Deteksi 2.

Pencegahan

3. Prespresi

Page 8: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

8 REKOMENDASI

Ada beberapa peluang bagi Indonesia untuk memperkuat pelaksanaan pendekatan IFM. Bagian ini menyoroti beberapa rekomendasi penting dalam laporan ini:

Penguatan kerangka hukum dan kebijakan untuk koordinasi

Menerapkan instrumen hukum tingkat tinggi yang merefleksikan visi Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM). Instruksi Presiden tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran (diperbaharui tahun 2020) mengakui visi IFM dan menyatukan kerja sama kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga utama. Akan tetapi, untuk memperkuat kedudukan hukum Instruksi Presiden tersebut, diperlukan kerangka hukum yang lebih tinggi, seperti Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP), yang dapat menggantikan peraturan-peraturan terfragmentasi15 yang menghambat implementasi bersama, dan dapat menjadi kerangka pemantauan komprehensif dengan target, indikator, dan anggaran untuk memastikan terkoordinasinya pelaksanaan lintas sektoral di tingkat daerah

Mengadopsi pendekatan lintas-yurisdiksi berbasis klaster untuk pelaksanaan RPJMN 2020-2024 di kawasan-kawasan rawan karhutla. Klaster didefinisikan sebagai area/kawasan yang mencakup berbagai yurisdiksi administratif dan sektoral dalam batas wilayah provinsi. Pengalaman memperlihatkan bahwa pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster layak diterapkan untuk intervensi pengelolaan karhutla secara terpadu dan terkoordinasi. Saat ini, sedikitnya ada tujuh kegiatan prioritas dalam RPJMN yang merupakan Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM), bersama program-program prioritas lain yang menanggulangi penyebab utama karhutla, termasuk Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, rehabilitasi rawa, dan peningkatan produktivitas pertanian. Pelaksanaan proyek-proyek prioritas tersebut dalam lima tahun mendatang perlu didasarkan pada klaster dan difokuskan di 1.200 desa rawan karhutla yang diidentifikasi oleh gugus tugas di bawah koordinasi KLHK.

15 Pasal 11 huruf (g) Instruksi Presiden No. 3/2020 mengamanatkan KLHK dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk berinisiatif menyelesaikan regulasi yang terfragmentasi berkaitan dengan pengelolaan kebakaran. Ini dapat menjadi dasar penyusunan Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah untuk mengoperasionalisasikan IFM di seluruh kementerian dan yurisdiksi administratif.16 Data diperoleh dari website KLHK tentang pengelolaan kebakaran; lihat http://sipongi.menlhk.go.id/home/main.

Rekomendasi

1

2

3

Adopsi pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster yang dipimpin oleh pemerintah daerah

Memberdayakan pemerintah daerah untuk memimpin pelaksanaan pendekatan berbasis klaster sesuai dengan batas-batas administratif yang ada. Peran pemerintah daerah dalam Pengelolaan Kebakaran Terpadu perlu diperkuat. Mengingat yurisdiksi administratif, sumber daya dan kehadiran mereka di lapangan, pemerintah daerah dapat diberdayakan untuk lebih berperan, termasuk dalam mengkoordinasikan pemilik, pengelola, dan pengguna lahan yang ada di yurisdiksi masing-masing. Struktur vertikal dapat mengadopsi pendekatan serupa dalam implementasi pembatasan sosial (social distancing) berbasis daerah berskala besar (PSBB) sebagai bentuk tanggap darurat terhadap COVID-19 sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat namun disahkan penerapannya melalui Surat Keputusan Gubernur.

Memperjelas peranan dan mandat pemerintah daerah. Menurut undang-undang yang berlaku, ketika terjadi karhutla di dalam atau di sekitar Kawasan Hutan yang ditetapkan secara hukum dalam yurisdiksi KLHK, mandat pemerintah daerah untuk merespons masih terbatas, sekalipun secara teknis mereka bertanggung jawab atas keselamatan publik. Dengan koordinasi vertikal yang lebih baik, pemerintah dapat memanfaatkan program-program yang ada di tingkat desa untuk memungkinkan pemerintah daerah memegang kendali, termasuk dalam patroli berbasis masyarakat sebagai upaya pencegahan karhutla yang hemat biaya

Peningkatan kapasitas dan standar pelaksanaan IFM

Laporan ini membahas elemen-elemen penting dalam pengembangan strategi IFM di Indonesia, termasuk identifikasi dan analisis: (1) lokasi-lokasi rawan karhutla, (2) penyebab utama karhutla, (3) instansi-instansi pemerintah pusat dengan mandat yang berhubungan dengan penanganan penyebab karhutla, (4) kerangka program dan belanja publik terkait untuk pengelolaan karhutla, (5) serta peranan instansi daerah dan pendekatan terpadu di tingkat lanskap (‘berbasis klaster’).

Memperkuat kapasitas KLHK dalam pengelolaan karhutla. Undang-undang mengamanatkan KLHK untuk menjaga kualitas udara serta mencegah dan mengambil tindakan terhadap polusi16 , dan dengan demikian memungkinkan KLHK untuk memantau upaya-upaya IFM di tingkat operasional. Namun, kapasitasnya dapat ditingkatkan. Saat ini, komandan brigade pemadam kebakaran Manggala Agni adalah

Page 9: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

9

17 Berrdasarkan Undang-Undang 23/2014 tentang Desentralisasi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 dan 9 tahun 2015.18 Bantuan Keuangan Khusus Berbasis Ekologi (Special Ecology Based Financial Aid).19 Berdasarkan Undang-Undang No. 23/2014 tentang Desentralisasi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 2 dan 9 tahun 2015.

4

pejabat Eselon 4 yang tidak memiliki otonomi anggaran, dan mengelola 113 brigade pemadam Manggala Agni di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra yang dibagi menjadi 29 Daerah Operasional.17 Hal ini membatasi kemampuan untuk mengerahkan staf dan peralatan pemadam dengan cepat dan berkoordinasi dengan badan-badan pemerintah daerah. Melalui pendekatan berbasis klaster, KLHK dapat menugaskan regu-regu Manggala Agni untuk dikoordinasikan sebagai bagian dari respons berbasis klaster selama musim kebakaran hutan yang akan mendukung respons lintas lanskap dalam mengelola karhutla.

Memanfaatkan sistem informasi yang ada dan meningkatkan transparansi data untuk pembuatan kebijakan. Pendekatan IFM mengharuskan informasi dikumpulkan, dianalisis, dan dipantau secara terus-menerus dan sistematis sebagai dasar pembuatan keputusan. Saat ini, pemerintah telah mempunyai sistem yang dapat menangkap parameter utama, termasuk pada sistem pemantauan Karhutla KLHK SiPongi (sistem pemantauan karhutla). Namun, dataset yang tersedia sering kali tidak dapat diakses secara luas, cakupan wilayahnya terbatas, atau terlambat diperbaharui. Informasi seperti cuaca, analisis pola bakar (lokasi, waktu, musim tanam), permukaan air, perubahan tata guna lahan, dan infrastruktur perlu dimanfaatkan secara terpadu untuk mengembangkan strategi dan program yang tepat, termasuk dalam mengidentifikasi lokasi, waktu, metode dan pengerahan sumber daya. Seiring berlalunya waktu, data-data ini dapat dianalisis untuk mengurangi risiko kebakaran. KLHK dan BNPB dapat ditugaskan untuk bersama-sama mengkoordinasikan analisis risiko, perencanaan mitigasi, dan evaluasi tahunan sebagai masukan untuk kegiatan tahun berikutnya.

Menerapkan standar untuk mengatasi berbagai isu yang disebabkan oleh fragmentasi yurisdiksi. Standar dapat diterapkan untuk praktik pertanian berkelanjutan berdasarkan tipologi lahan dan jenis tanaman. Standar ini dapat berlaku di seluruh jenis lahan (gambut atau mineral), jenis penggunaan lahan, serta status tenurial (misalnya perhutanan sosial atau kawasan yang ditetapkan untuk mata pencaharian). Standar tersebut juga harus mencakup pedoman pembukaan lahan tanpa bakar dan pengelolaan permukaan air untuk kawasan gambut dalam dan dangkal. Standar untuk pencegahan karhutla berbasis masyarakat perlu dikembangkan dan diberlakukan kepada seluruh kelompok masyarakat yang dibentuk untuk mencegah dan menanggulangi karhutla.

Peningkatan efektivitas belanja publik terkait penanggulangan karhutla

kerja bersama secara berkala dapat dimanfaatkan untuk menargetkan belanja di tingkat desa, kabupaten/kota dan provinsi yang paling rawan karhutla, termasuk melalui koordinasi revisi anggaran. Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa Proyek-Proyek Prioritas dalam RPJMN diutamakan untuk mendapatkan alokasi anggaran spesifik dan terkoordinasi dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memiliki mandat untuk mengoordinasikan proposal perencanaan dan pendanaan dari kementerian-kementerian terkait. BAPPENAS juga mendapatkan mandat untuk mengintegrasikan sumber pendanaan di kementerian dan lembaga untuk mencapai target pembangunan nasional. Perencanaan kerja bersama antara BAPPENAS dan kementerian-kementerian yang telah diidentifikasi akan membuat perencanaan dan penganggaran lebih terkoordinasi.

Merancang dan mengalokasikan insentif agar pemerintah daerah dapat memimpin upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla dalam klasifikasi lahan yang berbeda-beda, termasuk melalui transfer fiskal berbasis kinerja. Kalimantan Utara adalah salah satu dari beberapa provinsi yang telah menerapkan skema transfer fiskal berbasis kinerja dari provinsi ke kabupaten18 yang berfokus pada beberapa indikator keberlanjutan, termasuk pencegahan dan pengendalilan karhutla. Pendekatan ini sudah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan dapat direplikasi ke seluruh Indonesia untuk memberikan insentif kepada pemerintah daerah. Insentif fiskal dari pemerintah pusat dapat dilaksanakan melalui hibah daerah dalam rangka persiapan sistem Transfer Fiskal Ekologis.

Memanfaatkan peluang pembiayaan dari dana publik maupun swasta yang dapat tersedia dengan cepat, seraya mencari dukungan pendanaan jangka panjang. Peluang pembiayaan tersebut mencakup Dana Reboisasi atau Dana Bagi Hasil–Dana Reboisasi untuk program-program di tingkat pemerintah daerah dan dana desa untuk membiayai program pencegahan karhutla berbasis masyarakat, selain investasi swasta dan bantuan donor. Insentif-insentif lain dapat ditetapkan berdasarkan kerangka yang tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan hidup. Selanjutnya, rencana pemerintah untuk merevisi lampiran Undang-Undang Desentralisasi19 yang akan mendefinisikan IFM sebagai kegiatan prioritas juga dapat mendorong pemerintah daerah untuk mengusulkan pendanaan untuk IFM.

Mengarahkan belanja program masyarakat untuk mempromosikan dan memberikan bantuan pembukaan lahan tanpa bakar (zero-burning). Hibah masyarakat desa seperti bantuan sosial atau Dana Desa dapat diarahkan untuk membiayai uji coba pembukaan lahan tanpa bakar, penyediaan alat pengomposan biomassa, dan perbaikan infrastruktur pengairan berskala kecil. Hal ini dapat dilengkapi dengan kombinasi secara strategis dukungan fasilitas masyarakat dan desa serta penyediaan hibah berbasis hasil,

Menargetkan belanja publik yang berkaitan dengan penanggulangan karhutla untuk wilayah-wilayah geografis berisiko tertinggi melalui peningkatan koordinasi antar kementerian dan lembaga. Perencanaan

Page 10: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

10 REKOMENDASI

dengan memastikan tersedianya dukungan kapasitas maupun pembiayaan investasi untuk lokasi-lokasi rawan karhutla. Program pemulihan ekonomi pasca tanggap darurat COVID19 yang sedang berlangsung juga dapat digunakan sebagai momentum untuk mempromosikan kegiatan stimulus seperti proyek padat karya dan proyek lapangan kerja sementara mempromosikan penyiapan lahan tanpa bakar.

Memasukkan belanja terkait penanggulangan kebakaran ke dalam tagging anggaran aksi iklim guna meningkatkan pemantauan belanja dan menginformasikan keputusan belanja di masa mendatang. Pada tahun 2016, Kemenkeu memberlakukan mekanisme penandaan APBN yang

20 Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian. Kecuali Kementerian Perindustrian, semua kementerian ini juga dimandatkan untuk melaku-kan penandaan belanja adaptasi iklim.

1. Penguatan kerangka hukum dan kebijakan untuk koordinasi

- Menerapkan instrumen hukum tingkat tinggi yang mencerminkan visi PengelolaanKebakaran Terpadu (IFM)

- Mengadopsi pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster untuk melaksanakan RP-JMN 2020-2024 di daerah-daerah rawan karhutla

- Mengadakan perencanaan bersama secara berkala yang berfokus pada kawasan-ka-wasan rawan karhutla, termasuk untuk mengoordinasikan revisi anggaran

2. Adopsi pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster yang dipimpin oleh pemerintah daerah

3. Peningkatan kapa-sitas dan standar pelaksanaan IFM

4. Peningkatan efek-tivitas belanja publik terkait penanggulangan karhutla

- Memberdayakan pemerintah daerah untuk memimpin pelaksanaan pendekatanberbasis klaster sesuai dengan batas-batas pengelolaan yang berlaku

- Memperjelas peranan dan mandat pemerintah daerah

- Memperkuat kapasitas Manggala Agni KLHK- Memanfaatkan berbagai sistem informasi yang ada dan meningkatkan keterbu-

kaan data untuk penyusunan kebijakan- Menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menyelesaikan berbagai

isu akibat fragmentasi yurisdiksi

- Menargetkan belanja publik yang berkaitan dengan penanggulangan karhutlauntuk wilayah geografis berisiko tertinggi melalui peningkatan koordinasi antar kementerian dan lembaga

- Merancang dan mengalokasikan insentif agar pemerintah daerah dapat memimpinupaya-upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla dalam klasifikasi lahanyang beda-beda

- Mengarahkan belanja program masyarakat untuk mempromosikan dan memberi-kan bantuan pembukaan lahan tanpa bakar

- Memasukkan belanja terkait penanggulangan kebakaran ke dalam tagging ang-garan aksi iklim guna meningkatkan pemantauan belanja dan menginformasikankeputusan belanja di masa mendatang

digunakan untuk mitigasi perubahan iklim. Penandaan ini dilakukan selama proses penganggaran, di mana anggaran yang berkaitan dengan mitigasi iklim diberlakukan di enam kementerian teknis.20 Dengan menggunakan mekanisme yang ada, kementerian-kementerian dapat melaporkan belanja yang mereka alokasikan secara spesifik untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan karhutla di kawasan-kawasan rawan kebakaran. Informasi ini dapat digunakan untuk memantau belanja publik terkait pencegahan kebakaran serta menginformasikan pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan pengelolaan karhutla. Sejalan dengan pelaksanaan penandaan anggaran di tingkat nasional, pemantauan belanja juga dapat dilakukan di tingkat daerah melalui kegiatan penandaan anggaran serupa.

Tabel ES.1. Ringkasan rekomendasi

PESAN KEBIJAKANREKOMENDASI

Page 11: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

11RECOMMENDATIONS

Page 12: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

12

Indonesia telah mengalami dua kali peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) skala besar dalam lima tahun terakhir. Menurut data pemerintah, episode karhutla tahun 2015 dan 2019 menyebabkan terbakarnya lahan masing-masing sekitar 2,6 juta hektar dan 1,6 juta hektar. 21 Karhutla tahun 2019 dan kabut asap yang ditimbulkannya memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian. Dampak ini berupa kerusakan langsung pada aset dan kerugian pada sektor infrastruktur, pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, transportasi, kesehatan, dan lingkungan hidup.22 Karhutla menghancurkan tanaman perkebunan dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Lebih dari separuh kerugian akibat karhutla dialami di sektor pertanian dan lingkungan hidup. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam juga terkena dampaknya, termasuk akibat penutupan sementara bandara-bandara dan sekolah-sekolah.

Berbeda dari kebakaran di hutan boreal, kebakaran hutan hujan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia dan berulang setiap tahun. Di Indonesia, pembersihan lahan dengan cara membakar dianggap sebagai metode termurah untuk mempersiapkan lahan yang akan ditanami, atau untuk mengklaim lahan di daerah konflik yang kepemilikannya tidak jelas dan penegakan hukumnya lemah.23 Jika tidak ada tindakan untuk mengendalikan pembakaran lahan, karhutla dapat menyebar tak terkendali, khususnya selama musim kemarau yang lebih panjang akibat pola iklim.24 Ketika kebakaran melanda lahan gambut kering yang kaya akan karbon, emisi gas rumah kaca yang timbulkannya menjadi jauh lebih besar sehingga memicu perubahan iklim.25 Karhutla di Indonesia yang disebabkan oleh aktivitas manusia tentu mempunyai tantangan tersendiri, dan hanya sedikit kesempatan untuk belajar dari pengalaman global.

Setelah krisis karhutla tahun 2015, Pemerintah Indonesia melaksanakan sejumlah tindakan untuk mengurangi karhutla.26 Tindakan-tindakan tersebut mencakup Instruksi Presiden tentang Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan (Inpres No. 11 tahun 2015 dan No. 3 tahun 2020), moratorium alih fungsi (konversi) hutan primer dan gambut menjadi perkebunan, reformasi tenurial untuk mengatasi sengketa lahan dan ketidakpastian batas lahan, dan program untuk merestorasi 2,5 juta hektar lahan gambut yang rusak. Baru-baru ini, beberapa program penanggulangan karhutla penting telah dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, yang menjadi dasar yang kuat untuk aksi secara berkelanjutan. Sejak karhutla tahun 2015, kemajuan yang dicapai sudah cukup baik dalam mengurangi karhutla. Sebagai contoh, menurut data resmi, sekitar 57 sampai 84 persen desa yang terbakar pada tahun 2015 tidak lagi mengalami kebakaran pada tahun 2019,

dan area yang terbakar mengalami penurunan pada tahun 2016 dan 2017. 27

Episode karhutla besar tahun 2019 menandakan perlunya meningkatkan upaya-upaya yang dilakukan dan meningkatkan efektivitasnya. Pada tahun 2019, lebih dari 270.000 hektar lahan yang terbakar berada dalam kawasan yang termasuk dalam kebijakan moratorium. Meskipun dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk lebih memahami penyebabnya, lebih dari 320.000 hektar lahan yang terbakar28 berada dalam dan di sekitar kawasan prioritas restorasi gambut. Karhutla juga masih terus terjadi di desa-desa yang diidentifikasi rawan kebakaran oleh Pemerintah Indonesia tahun 2015. Sementara itu, program nasional yang sedang berjalan untuk mempertegas penguasaan lahan yang disebut Program Redistribusi Lahan (Tanah Obyek Reforma Agraria, TORA) masih terbatas

ruang lingkup geografisnya, hanya mencakup sebagian kecil kawasan yang terdampak karhutla. Dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk budi daya, pengelolaan karhutla tampaknya akan tetap menjadi tantangan bagi Indonesia.

1. Pendahuluan

Bukti menunjukkan bahwa kebakaran menyebar ke seluruh lanskap, tidak memandang yurisdiksi administratif atau batas-batas tenurial.

21 KLHK (sipongi,menlhk.go.id)22 Bank Dunia 2019. Kerusakan didefinisikan sebagai kehancuran aset fisik selama peristiwa bencana (diukur dalam satuan fisik dan dinilai sebesar biaya pengganti). Kerugian didefinisikan sebagai perubahan arus ekonomi yang terjadi setelah peristiwa alam selama jangka waktu yang relatif lebih lama (dinilai sebesar harga yang berlaku).23 Bank Dunia 2016.24 El Niño menyebabkan penurunan curah hujan yang rata-rata berlangsung setiap empat tahun. Intensitas El Niño tahun 2019 lebih rendah dibandingkan tahun 2015.25 Pertanian, Hutan dan Pemanfaatan Lahan (AFOLU) menghasilkan hampir dua per tiga dari total emisi Indonesia (Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional). Untuk membandingkan faktor-faktor emisi pada jenis lahan lain, lihat http://incas.menlhk.go.id/wp-content/uploads/2015/10/Standard-Methods-for-Estimating-Green-house-Gas-Emissions-Chapter-7_web.pdf.26 Laporan ini mengidentifikasi sebagian besar kebakaran sebagai kebakaran lahan, bukan kebakaran hutan, namun hal ini lebih banyak menyangkut masalah definisi. Sejauh ini, sebagian besar (41 persen) lahan yang terbakar pada tahun 2015 di provinsi-provinsi prioritas berada dalam kelompok tutupan lahan yang disebut semak belukar yang tidak dicantumkan dalam definisi hutan oleh Pemerintah Indonesia. Tetapi, metode-metode lain untuk mengukur hilangnya hutan, seperti yang digunakan oleh Google, the United States Geological Survey, atau the National Aeronautics and Space Administration (NASA), tampaknya mencantumkan sebagian besar semak belukar dalam definisi hutan mereka (https://blog.globalforestwatch. org/data-and-research/technical-blog-indonesia-tree-cover-loss-and-national-deforestation-da-ta-explained).27 Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data KLHK28 Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data KLHK

Page 13: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

13Pandemi COVID-19 saat ini membuat penguatan pengelolaan karhutla semakin mendesak untuk dilakukan di Indonesia, karena masyarakat yang rawan karhutla menjadi semakin rentan terhadap penyakit, dan resesi ekonomi yang ditimbulkan COVID-19 dapat memperluas pembukaan lahan. Meskipun hubungan sebab-akibat antara kualitas udara yang buruk dengan kejadian infeksi virus corona masih perlu dikaji lebih jauh, penduduk dengan pra kondisi seperti penyakit paru-paru yang disebabkan sering terpapar kabut asap dari kebakaran hutan menjadi lebih rentan untuk mengalami kondisi parah akibat virus corona, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).29 Dengan demikian, strategi pengelolaan karhutla Indonesia perlu memperhitungkan dampak karhutla terhadap sektor kesehatan. Selain itu, pandemi mungkin akan menimbulkan resesi ekonomi besar dan bukti sejarah menunjukkan bahwa tekanan atas lahan di pedesaan meningkat seiring dengan hilangnya lapangan kerja di daerah perkotaan, berdampak pada meningkatnya pembukaan lahan dan konversi hutan, dan juga pada meningkatnya penggunaan api.30

Indonesia perlu segera mengadopsi pendekatan Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM),31 yang mencakup serangkaian kebijakan yang terkoordinasi untuk mendukung pelaksanaan program lintas batas administratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan pada seluruh tingkat yurisdiksi dan skala yang berbeda-beda, sesuai dengan peranan mereka masing-masing dalam pencegahan, pemadaman dan pemulihan dari karhutla. Bukti menunjukkan bahwa karhutla tersebar di berbagai lanskap, tidak peduli batas-batas yurisdiksi administratif atau tenurialnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan IFM dan mendefinisikan pengaturan pengelolaan berdasarkan kombinasi pendekatan lanskap yang terdiri dari klaster-klaster penggunaan lahan dan pengguna lahan, pendekatan yurisdiksi yang mendefinisikan berbagai otoritas administratif, serta alokasi sumber daya dan akuntabilitas publik. Konsep IFM mempertimbangkan bahwa keberhasilan pengelolaan karhutla bergantung pada efektivitas pencegahan, pendeteksian dan pemadaman dini karhutla, kemampuan pemadaman karhutla yang memadai, dan pertimbangan hubungan antara karhutla dan ekologi.32

Susunan dokumen ini adalah sebagai berikut. Bagian 2 menyajikan analisis spasial terhadap kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dan mengidentifikasi lokasi-lokasi rawan karhutla untuk menyoroti hubungan antara tutupan lahan dengan kejadian karhutla guna mengetahui pemicu kebakaran. Analisis ini menjadi dasar untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga pemerintah pusat yang mempunyai mandat terkait lokasi-lokasi karhutla dan faktor pemicunya. Bagian 3 membahas kerangka kelembagaan di tingkat nasional dan pola-pola belanja publik yang terkait tugas fungsinya. Bagian 4 menggali peranan lembaga-lembaga di tingkat lokal, termasuk klaster-klaster kebakaran hutan lintas pemangku kepentingan. Bab 5 menyajikan kesimpulan dan rekomendasi untuk perbaikan pengelolaan karhutla di tingkat pusat dan daerah.

Kotak 1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia dan berulang setiap tahunnya, terutama disebabkan oleh tiga penyebab utama: (i) pembukaan dan penyiapan lahan untuk pertanian, (ii) pembebasan lahan di kawasan sengketa atau tanpa kejelasan tenurial, dan (iii) mekanisme memaksa perpindahan penduduk dari lokasi yang diinginkan. Sebagai alat pembebasan lahan, pemilik lahan membakar lahan di luar batas izin mereka, atau pihak-pihak yang tidak memiliki hak yang sah atas lahan tertentu membakar lahan itu dan kemudian mengklaim sebagai miliknya.a

Jika tidak ada tindakan untuk mengendalikan pembakaran lahan, kebakaran dapat menyebar tak terkendali, khususnya selama musim kemarau yang lebih panjang akibat pola iklim.b Ketika kebakaran melanda lahan gambut kering yang kaya akan karbon, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkannya menjadi cukup signifikan sehingga memicu perubahan iklim.c Sementara itu, mengingat tingkat keuntungan yang dihasilkan dari dari tanaman pangan seperti sawit, ada insentif yang kuat untuk melanjutkan praktik ini. Oleh karena itu, meskipun banyak pihak menderita kerugian akibat kebakaran dan kabut asap, ada aktor-aktor lokal yang mendapatkan keuntungan signifikan.

Sebagai perbandingan, kebakaran hutan yang diamati di negara-negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat disebabkan oleh fenomena alam seperti petir atau akibat yang tidak diharapkan dari kegiatan manusia. Oleh karena itu, kebakaran hutan tersebut dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan utamanya hanya membutuhkan investasi untuk pendeteksian dan pemadaman dini.

Di seluruh dunia, kebakaran hutan yang disertai dengan aktivitas gunung berapi berdampak pada sekitar 6,2 juta orang antara tahun 1998 dan 2017, yang menyebabkan 2.400 kematian akibat sesak nafas, cedera, dan luka bakar.d Seperti di Indonesia, ukuran dan frekuensi kebakaran hutan secara global mengalami peningkatan sebagai akibat dari perubahan iklim. Episode kebakaran besar terakhir terjadi di Australia tahun 2019–2020, ketika sekitar 18,6 juta hektar lahan terbakar, yang mengakibatkan 34 kematian langsung dan 417 kematian tidak langsung.e

Sumber: a. World Bank 2016. b. El Niño causes reduced rainfall roughly every four years. The intensity of El Niño in 2019 was lower than the intensity in 2015. c. Agriculture, Forests, and Land-Use (AFOLU) make up almost two-thirds of Indonesia’s total emissions (Nationally Determined Contributions). d. WHO 2020; https://www.who.int/health-topics/wild-fires#tab=tab_1. e. https://www.busseltonmail.com.au/story/6620313/it-was-a-line-of-fire-coming-at-us-firefighters-return-home

29 WHO, n.d.30 CIFOR 2000. 31 Myers (2006) mendefinisikan IFM sebagai suatu kerangka yang memadukan aspek-aspek ekologi, sosial ekonomi dan teknis kebakaran secara holistik untuk (1) mengatasi masalah sosial dan konservasi, serta isu-isu yang disebabkan oleh pembakaran vegetasi, dan (2) mencapai tujuan ekosistem dan mata pencaharian mas-yarakat yang berkelanjutan di lingkungan rawan karhutla.32 FAO 2003.

Page 14: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

14

3.000.000

2.500.000

1.500.000

500.000

1.000.000

2.000.000

Sekitar setengah dari area yang terbakar pada tahun 2015 dan 2019 adalah lahan gambut yang kaya akan karbon. Pada tahun 2019, lebih dari 44 persen kawasan yang terbakar hingga September 2019 adalah lahan gambut.33 Demikian pula, pada tahun 2015–2016, hampir 60 persen luas lahan terbakar di Kalimantan Tengah, 45 persen luas lahan terbakar di Sumatra Selatan dan 64 persen luas lahan terbakar di Riau adalah lahan gambut. Apabila mulai terbakar, api pada lahan gambut sulit dipadamkan dan melepaskan kabut asap tebal dan emisi karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer.

2. Sebaran Spasial dan Pemicu Karhutla

Gambar 2. Kejadian kebakaran di kawasan gambut di 7 provinsi prioritas rawan kebakaran, tahun 2015–2016

2.1. Konsentrasi Karhutla di Tujuh Provinsi

Data mengenai kawasan yang terbakar memperlihatkan bahwa karhutla dari tahun 2015 sampai 2019 sebagian besar terulang kembali di tujuh provinsi yang sama di dua pulau. Lebih dari setengah karhutla antara tahun 2015 dan 2019 terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatra, yang masing-masing mencapai 34 persen dan 32 persen dari luas lahan yang terbakar secara nasional (Gambar 1, panel A). Di kedua pulau ini, tujuh provinsi memiliki 70 persen dari luas lahan nasional yang terbakar pada tahun 2015 (Gambar 1, panel B). Provinsi Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah sejauh ini mempunyai wilayah terbakar terluas pada tahun 2015, masing-masing mencapai total 647.000 hektar dan 581.000 hektar, atau kira-kira 25 persen dan 22 persen dari total luas lahan terbakar nasional. Sebelum karhutla tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan analisis untuk mengidentifikasi desa-desa yang mengalami karhutla berulang dan mengidentifikasi 731 desa rawan karhutla di provinsi-provinsi prioritas. Beberapa dari desa-desa tersebut mengalami kembali karhutla pada tahun 2019.

Gambar 1. Luas lahan terbakar menurut daerah dan provinsi, tahun 2015–2019, dalam hektar

Panel A. Luas lahan terbakar menurut daerah

Sumber data: KLHK, 2020; http://sipongi.menlhk.go.id/pdf/luas_kebakaran.

Sumber: Analisis oleh staf Bank Dunia, 2021

Panel B. Luas lahan terbakar menurut provinsi

33 Bank Dunia 2019.

2.2. Pemicu Karhutla

Meskipun musim kemarau yang lebih panjang akibat perubahan pola iklim menjadi pemicu utama terjadinya karhutla ekstrem, keputusan penggunaan lahan dan lemahnya tata kelola lahan memperburuk dampak kekeringan. Karhutla yang parah dan luas sangat berhubungan dengan masa kekeringan yang berkepanjangan, seperti karhutla yang disebabkan oleh peristiwa El Niño–Southern Oscillation (ENSO). Akan tetapi, fragmentasi dan degradasi hutan akibat penebangan pohon dan konversi lahan serta pengeringan lahan gambut untuk budi daya memperburuk dampak kekeringan, yang menyebabkan karhutla menjadi tidak terkendali. Penggunaan api untuk membuka lahan, yang marak dilakukan di Indonesia, sering kali merupakan penyebab langsung kebakaran hutan.

Sumatra Selatan,646.916, 25%

Kalimantan Tengah 581.376, 22%

Kalimantan Selatan 196.440, 7%Riau, 253.365, 10%

Kalimantan Timur 126.300, 5%

Kalimantan Barat 100.472, 4%

Provinsi Lainnya 592.051, 23%

Jambi, 114.489, 4%

Gambut Non-Gambut

Sum

atra

Sel

atan

Pulau Lain

Page 15: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

15

Bukti dari sebaran spasial kawasan yang terbakar tahun 2015 mengindikasikan bahwa api digunakan sebagai alat untuk membuka lahan. Data spasial memperlihatkan bahwa 84 persen karhutla pada tahun 2015 terjadi di lahan pertanian (28 persen), lahan hutan tanaman industri (15 persen), maupun semak belukar (41 persen) (Gambar 3, panel A). Selanjutnya, tingkat kebakaran di semak belukar, tanaman industri dan rawa sangat tinggi dibandingkan dengan luasan total untuk kelas lahan ini di tujuh provinsi (Gambar 3, panel B). Tingginya insiden kebakaran semak belukar juga menunjukkan bahwa api digunakan untuk mengalih fungsikan semak belukar menjadi lahan pertanian yang baru. Semak belukar juga dapat ditemukan pada lahan yang disebut “lahan terlantar”, terutama lahan yang ditinggalkan atau konsesi tidak aktif. Pembakaran tutupan lahan jenis ini pada lanskap sering kali berhubungan dengan upaya-upaya untuk mengklaim lahan yang sedang tidak diolah atau dikelola oleh pemegang haknya.

Penggunaan api untuk membuka lahan untuk pertanian telah diidentifikasi sebagai salah satu pemicu utama karhutla, misalnya, pada perkebunan kayu bahan bubur kertas dan sawit berskala besar, dan oleh pekebun swadaya untuk membuka lahan dan membakar limbah pertanian.34 Penggunaan api untuk membuka lahan, yang juga disebut metode “tebas-bakar”, dipandang hemat biaya karena hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja, dapat menambah kesuburan tanah jangka pendek melalui biomassa yang terbakar, dapat membantu mengendalikan hama dan penyakit, dan mengurangi residu panen.35 Sebaliknya, metode alternatif pembukaan lahan tanpa bakar (zero-burning land clearing) dianggap kurang menarik karena biayanya terbilang tinggi dan sering kali kurang cocok untuk kondisi-kondisi topografis tertentu. Penggunaan api telah dikaitkan dengan pembukaan lahan untuk perkebunan dataran rendah dan dataran tinggi, baik yang dikelola oleh perusahaan maupun pekebun swadaya.36

Setelah karhutla tahun 2015 dan 2019, perluasan lahan pertanian telah menjadi salah satu pemicu utama karhutla di Indonesia dalam beberapa dekade. Analisis spasial terhadap perubahan tutupan lahan di tujuh provinsi prioritas memperlihatkan bahwa luas lahan pertanian rata-rata bertambah 500.000 hektar per tahun antara tahun 1990 sampai 2014. Luas lahan pertanian di tujuh provinsi pada tahun 2014 mencapai 28,5 juta hektar, yaitu 41 persen dari total luas daratan. Tanaman yang mengalami ekspansi terbesar kemungkinan adalah sawit, yang memperlihatkan penambahan luas sebesar 53 persen dari tahun 2011 hingga 2018. Pertumbuhan di Kalimantan Barat sangat tinggi, dengan luas yang mencapai lebih dari dua kali lipat (Gambar 4).

Gambar 3. Jenis penggunaan lahan/tutupan lahan yang terbakar di 7 provinsi prioritas, tahun 2015–2016

Gambar 4. Luas perkebunan sawit di 7 provinsi prioritas, tahun 2011–2018 (ribu hektar)

Panel A. Jenis penggunaan lahan/tutupan lahan yang terbakar

Panel B. Hubungan % luas lahan yang terbakar dengan pangsa kelas lahan dari luas total

Sumber data: Biro Pusat Statistik Indonesia; www.BPS.go.id.

34 Schweithelm 1998; Boonyanuphap et al. 2001.35 Wildayana et al. 2017.36 Wildayana et al. 2017.

Sumber: Analisis oleh staf Bank Dunia, 2021

Lainnya, 2% Lahan rawa/sabana, 6%

Tutupan hutan, 8%

Lahan pertanian, 28%

Semak belukar, 41%

Semak belukar

Lahan pertanian

Tutupan hutan

Lahan rawa/sabana

% tutupan lahan total % area terbakar Kalimantan Timur Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Sumatra Selatan Kalimantan Barat

Lahan hutan tanaman industri

Lahan hutan tanaman industri, 15%

Page 16: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

16 SEBARAN SPASIAL DAN PEMICU KARHUTLA

Kotak 2. “Revitalisasi” lahan gambut untuk mencapai swasembada beras: Risiko dan peluang

Pada pertengahan tahun 2020, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kebijakan untuk mencapai swasembada pangan dalam rangka menghadapi kemungkinan kekurangan pangan global akibat pandemi COVID-19. Rencana ini mencakup kemungkinan membuka kembali kawasan Eks-Proyek Mega Beras (EMRP) yang pernah gagal sebelumnya (karena adanya deforestasi dan degradasi yang besar pada awal tahun 1990an) di Provinsi Kalimantan Tengah, suatu kawasan seluas lebih dari 1,4 juta hektar lahan gambut yang rawan terbakar. Lebih dari dua per tiga luas EMRP, atau hampir 900.000 hektar, dimasukkan dalam moratorium permanen Presiden terkait penerbitan izin baru atas hutan primer dan lahan gambut (Inpres 5/2019) serta ekosistem hidrologi gambut yang berstatus dilindungi dengan kedalaman gambut lebih dari 3 meter (PP 57/2016). Dari total luas EMPR, sekitar 300.000 hektar mengalami deforestasi, dan sekitar setengah lahan deforestasi ini sekarang sedang dipertimbangkan untuk direvitalisasi menjadi daerah produksi pangan.

Beberapa risiko terkait kebijakan ini telah dapat diantisipasi. Pertama, karena lahan gambut sangat rapuh dan berada dalam sebuah sistem hidrologis yang kompleks, setiap upaya untuk meningkatkan produksi pangan tanpa adanya kajian, analisis, dan perencanaan kemungkinan dapat mengakibatkan terulangnya degradasi lingkungan seperti di masa lalu. Implementasi rencana pengembangan tanaman padi pada atau di dekat kawasan gambut tebal akan sangat bermasalah karena kawasan tersebut merupakan penyerap karbon dalam jumlah besar (carbon sink) yang sangat rawan terhadap kebakaran dan perlu tetap dilindungi. Pada saat yang sama, upaya ini membuka peluang untuk merehabilitasi lahan gambut yang sudah rusak melalui perbaikan pengelolaan lahan dan air dalam rangka konservasi yang lebih baik dan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat lokal.

– termasuk untuk bahan bubur kertas dan untuk perkebunansawit – banjir akan sering terjadi dan berkepanjangan selamamusim hujan serta meningkatkan risiko karhutla selamamusim kemarau yang lebih panjang.

Selain itu, degradasi hutan dan dapat memicu karhutla dan berkaitan dengan ekspansi lahan untuk budi daya. Hutan hujan yang masih utuh di Indonesia sebenarnya tidak rawan terhadap karhutla karena kelembabannya tinggi, namun penebangan pohon meninggalkan biomassa mati yang menjadi ‘bahan bakar’ bagi karhutla38 dan membuka hutan untuk aktivitas manusia yang lebih luas. Di kawasan-kawasan yang dianalisis, hutan mencapai 36 persen dari luas daratan, tetapi mencakup hanya 8 persen dari luas lahan yang terbakar tahun 2015 (Gambar 2, panel B). Tetapi, dari tahun 1990 sampai 2014, tutupan hutan di tujuh provinsi tersebut berkurang sekitar 600.000 hektar per tahun, sedangkan lahan pertanian yang baru bertambah sekitar 500.000 hektar per tahun (Gambar 5), dan analisis spasial menunjukkan bahwa kawasan-kawasan tersebut tumpang tindih. Dalam analisis deforestasi antara tahun 2006 dan 2016 di Kalimantan Timur, estimasi pemerintah menghubungkan 51 persen deforestasi dengan perkebunan sawit, 14 persen deforestasi dengan hutan tanaman industri dan 10 persen deforestasi dengan pertambangan.39

Kebakaran lahan gambut juga bisa disebabkan oleh pengeringan gambut (drainase) untuk budi daya. Dalam rangka pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman untuk industri kertas, jutaan hektar lahan gambut di Kalimantan dan Sumatra telah dikeringkan. Di tujuh provinsi yang dianalisis, hampir separuh luas lahan yang terbakar (46 persen) pada tahun 2015 merupakan lahan gambut, meskipun jenis lahan ini hanya mencapai 16 persen dari luas daratan. Selain meningkatnya risiko karhutla, ada kekhawatiran terhadap keberlangsungan kawasan konversi lahan gambut berskala besar menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. 37 Oksidasi lahan gambut akibat pengeringan mengakibatkan subsiden, yaitu penurunan permukaan tanah ke garis permukaan laut atau sungai, yang pada akhirnya berdampak pada banjir. Jika penggunaan lahan berbasis drainase seperti itu dilakukan secara terus-menerus

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia juga berhubungan erat dengan ketidakpastian tenurial dan sengketa hak atas tanah. Di kawasan-kawasan di mana tidak ada kepastian kepemilikan lahan, batas-batas yang sah dipersengketakan dan, apabila penegakan hukumnya lemah, karhutla juga menjadi alat untuk mengklaim lahan.40 Analisis spasial terhadap pola karhutla yang terjadi pada tahun 2019 masih menunjukkan pola yang sama, di mana banyak karhutla mulai terjadi di tepi hutan (seperti yang terjadi di sekitar Taman Nasional Berbak). Terdapat peluang untuk menggunakan program-program utama pemerintah Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk memberikan pengakuan tenurial kepada masyarakat untuk jenis penggunaan lahan wanatani (agroforestry) yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem hutan yang sensitif seperti taman-taman nasional.

Gambar 5. Perubahan penggunaan lahan/tutupan lahan di 7 provinsi prioritas, tahun 1990–2014

37 Wetland International 2016.38 Lennertz and Panzer 1983.39 Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan, Dana Karbon, Dokumen Program Pengurangan Emisi, Program Pengurangan Emisi Yurisdiksi Kalimantan Timur, Indonesia, disam-paikan oleh Pemerintah Indonesia, 2019.40 Bank Dunia 2016.

Sumber: Analisis oleh staf Bank Dunia, 2021

Tutupan hutan Lahan pertanian Semak belukar

Perubahan 1990-2014 (ha)

Lainnya

Page 17: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

17

3.1. Mandat untuk Pencegahan Karhutla

Instruksi Presiden tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran (diperbaharui tahun 2020) mengidentifikasi kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang dapat berkontribusi dalam melakukan upaya-upaya pengelolaan karhutla. Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran mengidentifikasi 23 kementerian dan lembaga pusat yang berperan dalam upaya-upaya pengelolaan karhutla.41 Dokumen ini juga menandakan pentingnya koordinasi dan kolaborasi, serta peranan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan untuk mengoordinasikan kementerian dan lembaga, dengan dukungan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pada tahun 2020, visi yang sama ditegaskan kembali melalui Instruksi Presiden No. 3 tahun 2020, dengan sedikit perubahan dalam daftar kementerian dan penekanan peranan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020–2024) yang baru saja diterbitkan juga menandakan beberapa program yang berkaitan dengan penanggulangan karhutla sebagai prioritas pembangunan.

Bagian ini berfokus pada tujuh kementerian dan lembaga yang diidentifikasi memiliki mandat yang dapat berkontribusi dalam pencegahan karhutla. Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, pemicu utama karhutla di Indonesia berkaitan dengan penggunaan lahan dan perubahan tata guna lahan, termasuk konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pembukaan lahan dengan api, serta pengeringan lahan gambut untuk perkebunan. Bidang-bidang permasalahan ini terutama masuk dalam mandat lima kementerian (tabel 1) dan dua lembaga pusat:

1. Kementerian Pertanian (Kementan): Mengingat eratnyakaitan antara pengolahan tanah dengan karhutla,tentu Kementan mempunyai mandat untuk mendukungkegiatan pencegahan karhutla. Praktik pembukaanlahan merupakan salah satu penyebab utama karhutla,dan Kementan mempunyai mandat untuk mendukungpertanian yang berkelanjutan dan memberikan layananpenyuluhan kepada petani berkaitan dengan pembukaanlahan. Kebakaran hutan juga menyebabkan kerusakantanaman yang signifikan. Penyuluhan pertanian dapatmendukung pengelolaan bibit, pupuk dan hama. Sejaktahun 2017, Kementan juga mendapatkan fasilitasuntuk mendukung pertanian tanpa pembakaran, denganmemberikan bantuan teknis untuk mengembangkan

3. Kebijakan, Mandat, dan BelanjaPengelolaan Karhutla di Tingkat Nasional

lokasi demonstrasi (demonstration plot) pembukaan lahan melalui sistem mekanisasi. Kawasan lahan gambut yang signifikan telah dikonversi menjadi perkebunan sawit, yang termasuk ke dalam mandat Kementan. Namun, yurisdiksi Kementan tidak mencakup kegiatan-kegiatan pertanian (termasuk perkebunan sawit dan tanaman perkebunan lain) di wilayah yang ditetapkan sebagai Kawasan Hutan, karena Kawasan Hutan masuk dalam yurisdiksi KLHK.

2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK): Karena sebagian besar karhutla terjadi di dalamKawasan Hutan, KLHK memainkan peranan utamadalam pencegahan karhutla. Ini termasuk mengelola danmelindungi daerah-daerah berhutan untuk mencegahdeforestasi dan degradasi hutan, yang selama inidiidentifikasi dapat menyebabkan karhutla, danmengawasi kegiatan penggunaan lahan dalam KawasanHutan yang tidak berhutan. Salah satu isu yang perludiperhatikan adalah alih fungsi (konversi) lahan gambutmenjadi hutan tanaman industri, yang termasuk dalamyurisdiksi KLHK. KLHK juga mengoordinasikan komitmenIndonesia untuk mengendalikan perubahan iklim,termasuk yang berkaitan dengan emisi dari karhutla,melalui Direktorat Jenderal Pengendalian PerubahanIklim.

3. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa): Kemendesa berperan dalammendukung kegiatan-kegiatan berbasis masyarakatyang berkaitan dengan pencegahan karhutla. Inimencakup peningkatan kapasitas di bidang praktikpembukaan lahan yang berkelanjutan, pengembanganmata pencaharian alternatif dan penyediaan dana desauntuk kegiatan pencegahan karhutla.

4. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR): Pengelolaan air yang berkaitandengan lahan gambut terutama masuk dalam yurisdiksiKementerian PUPR, yang bertanggung jawab ataspembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi di daerah-daerah yang berada di luar Kawasan Hutan.

5. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR). Melaluimandatnya di bidang administrasi lahan, KementerianATR memainkan peranan utama dalam menyelesaikanketidakpastian tenurial, kecuali untuk Kawasan Hutanyang dikelola oleh KLHK. Kementerian ATR adalah salahsatu institusi utama yang terlibat dalam pelaksanaanprogram Reformasi Agraria.

41 Lihat Gambar 7 untuk organigram kementerian dan lembaga dalam rangkaian Pengelolaan Kebakaran Terpadu dan pemetaan peranannya masing-masing dalam pengelolaan karhutla.

Page 18: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

18

Tabel 1. Pemicu karhutla dan kementerian-kementerian pemerintah pusat dengan mandat terkait penanggulangan penyebab karhutla

Deforestasi dan degradasi hutan

Konversi hutan dan semak menjadi pertanian

Pengeringan gambut

Pembukaan lahan dengan api

Tata kelola lahan dan tata ruang

Penebang liar, pemegang konsesi

Perusahaan perkebunan, pekebun swadaya

Perkebunan sawit dan daerah produksi beras

Pengguna lahan lokal dalam Kawasan Hutan

Pengguna lahan lokal di luar Kawasan Hutan

Perkebunan sawit

Perusahaan Hutan Tanaman Industri

Pengguna lahan lokal

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Pertanian, Kementerian Desa

Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Pertanian, Kementerian Desa

Kementerian Pertanian

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ke-menterian Desa

Masyarakat lokal (perambahan) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa*

KEBIJAKAN, MANDAT, DAN BELANJA PENGELOLAAN KARHUTLA DI TINGKAT NASIONAL

Catatan: *Nama lengkap Kementerian Desa adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

PEMICU KARHUTLA PELAKU LEMBAGA DENGAN MANDAT TERKAIT

6. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)*: BRGMadalah lembaga nonstruktural yang bertanggung jawablangsung kepada Presiden RI. BRGM dibentuk padatahun 2016 melalui peraturan presiden dan bertugasmempercepat pemulihan dan restorasi fungsi hidrologigambut yang rusak, khususnya akibat karhutla danpengeringan (drainase). Salah satu tujuan utama BRGMadalah restorasi 2,4 juta hektar lahan gambut.

7. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): BNPBbertanggung jawab atas pencegahan dan penguranganrisiko bencana dan kesiapsiagaan terhadap bencanamelalui respons cepat.

*Catatan: Mandat BRG diperpanjang pada Desember 2020 dan juga mencakup man-grove. Saat ini, BRG berganti nama menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)

Page 19: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

19

Klasifikasi lahan menurut hukum di Indonesia, yang membedakan “penggunaan lahan hutan” dengan “Areal Penggunaan Lain”, telah membatasi yurisdiksi di mana masing-masing dari ketujuh kementerian dan lembaga dapat menjalankan mandatnya menurut hukum. “Kawasan Hutan” yang ditetapkan secara hukum mencakup kira-kira 133 juta hektar, atau sekitar 65 persen dari luas daratan Indonesia, dan berada di bawah yurisdiksi KLHK. Penggunaan lahan yang diperbolehkan dalam Kawasan Hutan adalah pengelolaan hutan alam untuk penebangan dan konservasi, hutan tanaman industri dan pertambangan. Kawasan Hutan juga mencakup hampir setengah luas daratan Indonesia yang tidak berhutan, sebagian besar telah dikelola oleh masyarakat lokal secara turun-menurun, sering kali tanpa dukungan untuk memperjelas status hukum, dimanfaatkan untuk mengumpulkan hasil hutan non-kayu dan mengembangkan berbagai bentuk sistem wanatani (agroforestry) dan pertanian berskala kecil. Berdasarkan praktik kelembagaan yang ada, kawasan-kawasan yang dianggap ilegal ini42 tidak mendapatkan pelayanan dari Kementan atau Kementerian PUPR. Kedua kementerian ini, dan juga sebagian besar kementerian dan lembaga lain, membatasi kegiatan mereka di luar Kawasan Hutan, yang disebut Areal Penggunaan Lain (APL).

Misalnya, Kementan tidak dapat secara sah memberikan pelayanan pembukaan lahan yang berada dalam Kawasan Hutan, meskipun sebagian besar karhutla terjadi di dalam Kawasan Hutan, dan berkaitan dengan pembukaan lahan untuk pertanian. Pada tahun 2015, sekitar 70 persen kawasan yang terbakar di tujuh provinsi yang dianalisis berada di dalam Kawasan Hutan (Gambar 6). Sebagian besar karhutla tersebut kemungkinan berkaitan dengan pertanian berskala kecil, sehingga termasuk dalam bidang Kementan yang memiliki program-program untuk mendukung penyiapan lahan dan mendukung penyuluhan pertanian. Akan tetapi, karena keterbatasan kelembagaan yang disebutkan di atas dan karena status pertaniannya “ilegal” dalam Kawasan Hutan, program-program Kementan tidak dapat menjangkau masyarakat lokal yang ada di sana. Pada saat yang sama, meskipun kualitas lingkungan hidup secara keseluruhan menjadi tanggung jawab KLHK,43 ketika terjadi karhutla di luar Kawasan Hutan, KLHK tidak mempunyai mandat resmi untuk menanganinya.

Gambar 6. Porsi karhutla tahun 2015 yang terjadi di Kawasan Hutan di 7 provinsi prioritas.

42 Aspek legalitas dari penguasaan lahan oleh masyarakat untuk mencari nafkah sangat kompleks karena beberapa komunitas dianggap sebagai Masyarakat Hukum Adat sedangkan untuk mengesahkan penguasaan lahan, klaim atas lahan itu sendiri merupakan proses politik yang kompleks. Akibatnya, situasi saat ini menghambat badan-badan publik pemerintah untuk memberikan pelayanan publik guna mendukung kegiatan-kegiatan di lahan yang belum dianggap legal.43 Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Demikian pula, pengelolaan air yang berkaitan dengan lahan gambut terutama termasuk dalam yurisdiksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, namun tanggung jawab di bidang ini juga terfragmentasi. KLHK tidak mempunyai mandat dan sumber daya untuk menjalankan fungsi-fungsi seperti pengelolaan air; namun Kementerian PUPR, serupa dengan Kementan, tidak melaksanakan program-program dalam Kawasan Hutan. Selain itu, banyak kanal yang penting untuk mengatur permukaan air di lahan gambut berada di bawah pengelolaan perusahaan-perusahaan konsesi swasta sehingga tanggung jawab semakin terfragmentasi. Selain itu, terdapat ketidakjelasan standar akan kanal yang mewajibkan setiap institusi penanggung jawab untuk mengintegrasikan penanganan karhutla dan berkoordinasi satu sama lain.

Sementara itu, mandat yang dimiliki pemerintah daerah dapat diperjelas lebih lanjut. Undang-Undang Desentralisasi No. 23 tahun 2014 menetapkan bahwa keselamatan publik (termasuk penanggulangan bencana), lingkungan hidup, dan pertanian menjadi tanggung jawab bersama semua pemerintah daerah, yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pengembangan masyarakat juga didelegasikan kepada pemerintah daerah. Namun, tanggung jawab atas Kawasan Hutan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi saja, tanpa melibatkan pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, ketika terjadi kebakaran hutan di dalam atau sekitar Kawasan Hutan, pemerintah kabupaten/kota tidak mempunyai mandat untuk merespons.

Sumber: Analisis oleh staf Bank Dunia, 2021

Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Sumatra Selatan

Area HutanArea Penggunaan Lain (APL)

Page 20: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

20 KEBIJAKAN, MANDAT, DAN BELANJA PENGELOLAAN KARHUTLA DI TINGKAT NASIONAL

Kegiatan kelima kementerian yang disebutkan di atas dikoordinasikan bersama oleh tiga kementerian koordinator, yang dapat membuat koordinasi semakin kompleks (tabel 1). Desain Besar (Grand Design) untuk Pencegahan Kebakaran Hutan, Kebun dan Lahan (Karhutbunla) 2017–201944 membagi tanggung jawab kementerian-kementerian koordinator atas pengelolaan karhutla sebagai berikut: Pencegahan menjadi tanggung jawab Kemenko Perekonomian; Pemadaman menjadi tanggung jawab Kemenko Polhukam; dan Pemulihan menjadi tanggung jawab Kemenko Pembangunan Manusia (tabel 2). Saat ini, KLHK yang mempunyai mandat untuk pengelolaan karhutla berada langsung di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Oleh karena itu, ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi di dalam Kawasan Hutan, KLHK yang berada di bawah koordinasi Kemenko Marves mempunyai mandat untuk memimpin penyelesaian masalah tersebut. Tetapi, ketika karhutla meningkat sampai pada skala yang membutuhkan keterlibatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kementerian koordinator lain akan menjadi penanggung jawab. Pembagian tanggung jawab ini hanya sebagian yang mengikuti mandat kementerian berkaitan dengan karhutla dalam portofolio masing-masing kementerian koordinator. Misalnya, peranan KLHK melampaui pencegahan karena KLHK juga bertanggung jawab atas pemadaman dan pemulihan di Kawasan Hutan. Demikian pula, Kemendesa mempunyai peran yang melampaui pemulihan. Akibatnya, saat ini, belum ada otoritas tunggal sebagai penanggung jawab pencegahan karhutla.

Tabel 2. Tanggung jawab kementerian-kementerian koordinator di Indonesia berdasarkan Desain Besar

Catatan: Kementerian ATR/BPN = Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Kementan = Kementerian Pertanian; KLHK = Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kemendagri = Kementerian Dalam Negeri; Kementerian PUPR = Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Kemendesa = Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; BNPB = Badan Nasional Penganggulangan Bencana; TNI = Tentara Nasional Indonesia

44 Desain Besar (Grand Design) Pencegahan Karhutbunla 2017–2019 dirumuskan oleh BAPPENAS dalam merespons krisis karhutla tahun 2015 dengan tujuan menja-barkan suatu pendekatan terpadu untuk pengelolaan karhutla dengan berfokus pada pencegahan karhutla di mana kegiatan-kegiatannya akan dilaksanakan selama tahun 2017–2019. Dokumen komprehensif ini masih tetap menjadi aspirasi karena belum ditindaklanjuti dengan perencanaan program dan proyek maupun proses implementasi secara formal.45 Myers (2006) mendefinisikan IFM sebagai suatu kerangka yang memadukan aspek-aspek ekologi, sosial ekonomi dan teknis karhutla secara holistik untuk (1) men-gatasi masalah sosial dan konservasi, serta isu-isu yang disebabkan oleh pembakaran vegetasi, dan (2) mencapai tujuan ekosistem dan mata pencaharian masyarakat yang berkelanjutan di lingkungan rawan karhutla.46 Kegiatan IFM mencakup kewaspadaan terhadap karhutla; pencegahan karhutla; pembakaran terkendali (prescribed burning), berbagi sumber daya, dan koordinasi; pendeteksian karhutla; pemadaman; rehabilitasi kerusakan; dan penelitian di tingkat lokal, provinsi dan nasional untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan seimbang, mengurangi kerusakan akibat kebakaran hutan dan mempromosikan cara penggunaan api yang bermanfaat. (http://www.forclime.org/documents/Books/Wildfire%. 20prevention,%20preparedness%20and%20response-study%20tour%20to%20 South%20Africa.pdf).

3.2. Visi Pengelolaan Kebakaran Terpadu Indonesia

Ketika karhutla melanda lintas batas yurisdiksi administratif, Indonesia perlu segera memperbaiki koordinasi untuk mobilisasi sumber daya lanskap yang melibatkan beberapa klasifikasi lahan melalui pendekatan Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM).45 Pengelolaan Kebakaran Terpadu adalah sebuah pendekatan lintas pemangku kepentingan yang holistik untuk mencapai ekosistem dan mata pencaharian berkelanjutan di lanskap rawan karhutla. IFM mencakup serangkaian aksi yang dilaksanakan melalui pengurangan, kesiapan, respons dan pemulihan, serta perencanaan dan pengelolaan (manajemen) karhutla.46 Bukti-bukti yang dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya menunjukkan bahwa karhutla dapat menyebar ke berbagai lanskap, tidak hanya masalah yurisdiksi administratif atau batas-batas tenurialnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan IFM dan mendefinisikan pengaturan pengelolaan berdasarkan kombinasi pendekatan lanskap yang mencakup klaster-klaster penggunaan dan pengguna lahan, pendekatan yurisdiksi yang mendefinisikan berbagai otoritas administratif, serta alokasi sumber daya dan akuntabilitas publik.

Kemenko Kemaritiman dan Investasi

Kemenko Perekonomian

Kemenko Polhukam

Kemenko PMK

Pengelolaan karhutla

Pencegahan

Pemadaman

Pemulihan

KLHK

Kementan, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Kemenkeu

KemendagriTNI

BNPB, Kemendesa

KEMENKO TANGGUNG JAWAB KEMENTERIAN UTAMA DALAM PORTOFOLIO

Page 21: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

21

Instruksi Presiden tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020– 2024 memberikan kesempatan untuk melaksanakan IFM di bawah koordinasi tunggal. Instruksi Presiden tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan,47 yang memperbaharui Instruksi Presiden sebelumnya tahun 2015, membuka jalan untuk mengoordinasikan penanggulangan karhutla di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Terdapat 23 kementerian dan lembaga tingkat pusat yang diidentifikasi

47 Instruksi Presiden No. 3/2020, yang memperbaharui atau menggantikan Instruksi Presiden sebelumnya no. 11/2015, ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2020, ketika laporan ini sedang difinalisasi. Biasanya, diperlukan waktu untuk melaksanakan kerangka hukum yang baru untuk menetapkan mekanisme kelembagaan yang dibutuhkan, dalam hal ini sebuah unit koordinasi tunggal di bawah Kemenko Polhukam.

Sumber: Analisis oleh staf Bank DuniaCatatan: ATR/BPN = Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Bappenas = Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; BMKG = Badan Meteo-

rologi, Klimatologi dan Geofisika; BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana; BPBD = Badan Penanggulangan Bencana Daerah; BRG = Badan Restorasi Gambut; Kemenko Polhukam = Kemenko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; LAPAN = Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Kominfo = Kementerian Teknologi Informasi

dan Komunikasi; Kementan = Kementerian Pertanian; KLHK = Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kemenkeu = Kementerian Keuangan; Kemendagri = Kementerian Dalam Negeri; Kemen PUPR = Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Kemendesa = Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi;

Pemda = Pemerintah Daerah; TNI = Tentara Nasional Indonesia.

Gambar 7. Pemetaan kelembagaan saat ini berdasarkan wilayah hukum (yurisdiksi) – rangkaian Pengelolaan Kebakaran Terpadu di Indonesia

dapat diorganisasikan berdasarkan 10 peranan spesifik dalam rangkaian Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM loop) (Gambar 7). Saat ini, RPJMN 2020–2024 telah mengidentifikasi beberapa program yang berkaitan dengan penanggulangan karhutla sebagai prioritas pembangunan. Oleh karena itu, Instruksi Presiden 2020 memungkinkan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memfasilitasi sinkronisasi dan penganggaran semua kegiatan pengelolaan karhutla nasional dan daerah berdasarkan program dan proyek prioritas dalam RPJMN 2020–2024.

Pencegahan:BRGMKLHKKementan Kemendagri

RANGKAIAN PENGELOLAAN

KEBAKARAN TERPADU

Kesiapsiagaan:KLHKKementanBNPB Kemendagri Pemda-BPBD

Deteksi:BMKGLAPANKLHK Kemendagri Pemda

Peringatan:KominfoKemendagriKLHKKemendesa

Supresi Dini:KLHKKemendagri Pemda-BPBDKementanTNI

Supresi:BNPBKLHKKementanKemendagri Pemda-BPBDTNI

Pemulihan:KemendagriKemen PUPRBRGMKLHK KementanKemendesa

Pemantauan & Evaluasi:KLHKKemenko PerekonomianKemenko PolhukamBappenas

Analisis:BappenasKemenkeuKementerian KoordinatorKementerian Individu

Perencanaan:BappenasKemenkeuKementerian KoordinatorKementerian Individu

ATR/BPNKemen PUPR Kemendesa

Kemendesa Kemenkeu

Page 22: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

22 KEBIJAKAN, MANDAT, DAN BELANJA PENGELOLAAN KARHUTLA DI TINGKAT NASIONAL

Beberapa program dan proyek untuk mengatasi pemicu karhutla telah tercantum dalam RPJMN 2020– 2024.48

Dalam RPJMN, program dan proyek prioritas menetapkan fokus kementerian-kementerian terkait dalam lima tahun mendatang dan memberikan dasar untuk alokasi anggaran. Secara lebih spesifik, program-program tersebut merupakan inisiatif tingkat kementerian yang didasarkan pada dokumen kebijakan dengan indikator kinerja yang sesuai dan alokasi anggaran selama satu tahun fiskal. Tabel 3 mencantumkan 6 program prioritas dan 11 proyek prioritas yang diidentifikasi dapat berkontribusi untuk mengatasi pemicu karhutla dalam RPJMN 2020–2024.

Tabel 3. Program dan proyek prioritas yang berkaitan dengan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dalam RPJMN 2020–2024

48 RPJMN disusun menjadi tujuh bidang prioritas, termasuk Lingkungan Hidup, Iklim dan Bencana Alam, sebagai salah satu bidang prioritas yang berisi tindakan-tinda-kan untuk menanggulangi karhutla.49 Program Desa Peduli Gambut adalah inisiatif yang dibentuk oleh Badan Restorasi Gambut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat desa yang hidup di kawasan gambut mengenai pentingnya restorasi gambut, termasuk pencegahan karhutla.

Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan karhutla saat ini termasuk dalam proyek prioritas Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, yang dipetakan sebagai Program Prioritas Perbaikan Kualitas Lingkungan dan terdiri dari tujuh kegiatan berikut ini:

1. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan2. Penanggulangan (pemadaman) kebakaran hutan dan lahan3. Pembentukan desa-desa mandiri peduli gambut (DMPG)

di 7 provinsi restorasi gambut prioritas43

4. Pembentukan desa-desa mandiri peduli gambut di 12provinsi

5. Pengelolaan dampak perubahan iklim dan pencegahankebakaran hutan dan kebun

6. Pencegahan kebakaran di kawasan rawa7. Penyediaan data titik panas (hotspot).

Kegiatan-kegiatan lain yang berkontribusi dalam pengelolaan karhutla dibagi menjadi beberapa kategori. Misalnya, Pengelolaan Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran Kebun dan Lahan menjadi bagian dari proyek prioritas Pengembangan Industri Berbasis Perkebunan. Dua proyek prioritas lain, yaitu (1) Rehabilitasi Jaringan Irigasi Rawa serta (2) Restorasi dan Konservasi Infrastruktur Berbasis Alam, secara spesifik akan menangani pengelolaan air di kawasan rawa yang diketahui rawan terjadi kebakaran ketika kondisinya kering. Terakhir, ada dua proyek prioritas—Restorasi dan Pemulihan Gambut serta Perbaikan Produktivitas dan Efisiensi Pertanian—yang berkaitan dengan pengelolaan karhutla dalam Program Prioritas Nasional Pembangunan Rendah Karbon. Tabel 3 memetakan keterkaitan antara ke-6 program prioritas dengan 11 proyek prioritas dalam RPJMN 2020–2024.

Terdapat kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan tenurial terkait kebakaran hutan dan lahan di bawah Proyek Prioritas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dalam RPJMN 2020–2024. Di bawah Program Prioritas Nasional Pengentasan Kemiskinan, Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ditetapkan sebagai dua proyek prioritas di mana kegiatan-kegiatannya mendukung penyelesaian permasalahan tenurial maupun penerapan praktik pengelolaan lahan dan hutan berkelanjutan di tingkat masyarakat. Oleh karena itu, RPJMN 2020–2024 menjadi dasar formal untuk melaksanakan unsur-unsur penting IFM melalui mandat yang ada di berbagai kementerian nasional dan daerah. Secara umum, penerapan pendekatan IFM dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan RPJMN 2020–2024.

3.3. Belanja Pemerintah Pusat untuk Fungsi Penanggulangan Karhutla

Pada lima kementerian dan dua lembaga yang diidentifikasi memiliki mandat dalam bagian 3.1, terdapat 10 fungsi yang berpotensi membantu mengatasi pemicu karhutla (tabel 4). Fungsi-fungsi tersebut terdiri dari kegiatan dan program di mana tingkat belanja publik dapat dipantau. Akan tetapi, fungsi-fungsi tersebut dapat diperkuat lebih lanjut mengingat adanya fragmentasi yurisdiksi. Sebagai contoh, Direktorat

1. Meningkatkan kuantitasdan ketahanan keter-sediaan air untuk men-dukung pertumbuhanekonomi

2. Meningkatkan nilai tam-bah, mata pencaharian,investasi di sektor riil sertaindustrialisasi.

4. Infrastruktur dasar ( jugaberkaitan dengan ProyekPrioritas No. 1)

5. Perbaikan kualitaslingkungan

6. Pembangunan rendahkarbon

3. Pengentasan kemiskinan

1. Pengembangan dan rehabili-tasi jaringan irigasi

2. Pengembangan industriberbasis perkebunan

8. Pengelolaan Kawasan HutanBerbasis Masyarakat

9. Pencegahan kebakaranhutan dan lahan

10. Restorasi dan rehabilitasigambut

11. Perbaikan produktivitasdan efisiensi pertanian

3. Peningkatan kapasitas mas-yarakat di bidang lingkun-gan hidup dan kehutanan

4. Tanah Obyek ReformaAgraria (TORA)

5. Perbaikan kualitas danlegalisasi data penguasaanlahan

6. Pemberdayaan masyarakatdalam penggunaan lahandan melakukan produksi diatas tanah obyek reformaagraria (TORA)

7. Community-based ForestArea management

6 PROGRAMPRIORITAS

11 PROYEKPRIORITAS

Page 23: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

23Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) mempunyai fungsi untuk melaksanakan “pengelolaan sumber daya air” dari segi operasi infrastruktur maupun pengelolaan daerah tangkapan air,50 termasuk lahan gambut yang berkaitan dengan karhutla. Selain itu, salah satu fungsi Kementerian Pertanian adalah memberikan pelayanan yang berkaitan dengan pembangunan pertanian, seperti penyiapan dan penanaman lahan serta perlindungan tanaman.51

Antara tahun 2015 dan 2017, belanja tahunan untuk ke-10 fungsi yang tercantum dalam tabel 4 berkisar mulai dari USD 600 juta hingga USD 1,6 miliar di tingkat nasional, 52 dan dari USD 121 juta sampai USD 265 juta di tujuh provinsi prioritas (Gambar 8). Di tujuh provinsi prioritas, empat kegiatan mendominasi dari segi belanja—pengelolaan air (73 persen), penyiapan lahan (8 persen), penyediaan mesin pertanian (7 persen), dan pemberdayaan masyarakat (7 persen)—sedangkan program-program lainnya menerima sekitar 4 persen dari total anggaran, dan pengelolaan kebakaran lahan dan hutan menerima sekitar 3 persen. Berdasarkan kelembagaan, belanja terbesar dilakukan oleh Kementerian PUPR (59 persen), yang diikuti oleh Kementerian Pertanian (31 persen), Kemendesa (7 persen), dan KLHK (3 persen). Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak melaksanakan kegiatan di tingkat provinsi selama periode ini.

Tabel 4. Identifikasi mandat, fungsi dan lembaga yang berkontribusi untuk pencegahan karhutlaa

Sumber: Analisis staf Bank DuniaCatatan: a. Tidak termasuk: reformasi tenurial, penegakan hukum, respons dan pemulihan. b. Anggaran BRG dimasukkan sebagai bagian dari KLHK. BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana; BRGM = Badan Restorasi Gambut dan Mangrove; Kementan = Kementerian Pertanian; KLHK = Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Ke-

menterian PUPR = Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Kemendesa = Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

50 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 15/PRT/M/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.51 Peraturan Menteri Pertanian No. 3/Permentan/OT.010/8/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian.52 Kemenkeu, 2018 (melalui BKF)53 https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190813155714-92-420999/picu-tekor-rp200-t-brg-minta-kebakaran-hutan-cepat-diatasi.

1. Pengelolaan air

2. Produksi pertanian berkelanjutan

3. Pengelolaan hutan dan lingkungan hidup

4. Pengelolaan risiko bencana

5. Pemberdayaan desa dan masyarakat

1. Pengelolaan air, irigasi dan pengem-bangan rawa

2. Penyiapan lahan untuk budi daya3. Perlindungan/konservasi lahan4. Penyediaan mesin pertanian5. Perlindungan tanaman

7. Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan8. Pengendalian kerusakan lingkungan

(gambut)

9. Kesiapsiagaan terhadap bencana

10. Pembinaan masyarakat tentangpengelolaan bencana

6. Rehabilitasi lahan

Kementerian PUPR

Kementan

Kementan

BNPB

BNPBKemendesa

KementanKLHK

KLHK(+BRGM)

MANDAT FUNGSI LEMBAGA

Belanja untuk fungsi-fungsi kritis KLHK seperti “pengelolaan kebakaran lahan dan hutan,” “rehabilitasi lahan (Kawasan Hutan),” dan “pengendalian kerusakan lingkungan hidup,” khususnya pada lahan gambut, dapat diperkuat lebih lanjut. Belanja KLHK untuk fungsi “pengelolaan kebakaran lahan dan hutan” selama tahun 2016– 2017 rata-rata mencapai USD 18,6 juta secara nasional dan USD 4,7 juta untuk tujuh provinsi prioritas. Selain itu, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK membelanjakan hampir USD 6 juta pada tahun 2016, sebagian besar untuk pemadaman dan kegiatan pasca karhutla seperti penyewaan pesawat untuk pemadaman api dan dukungan lain. Sub-output dari kegiatan pendeteksian dan peringatan dini terdiri dari pengembangan peta-peta kawasan rawan karhutla dan pemberdayaan tanggap darurat kabut asap, termasuk patroli.53 Kajian yang lebih terperinci mengenai belanja publik yang berkaitan dengan kehutanan perlu dilakukan untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kontribusi KLHK terhadap pengelolaan karhutla, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, penegakan hukum kehutanan, pengembangan program-program perhutanan sosial, dan pengawasan penebangan dan konsesi perkebunan.

Page 24: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

24 KEBIJAKAN, MANDAT, DAN BELANJA PENGELOLAAN KARHUTLA DI TINGKAT NASIONAL

Secara keseluruhan, belanja untuk fungsi-fungsi yang berpotensi mencegah karhutla belum ditargetkan kepada kawasan atau yurisdiksi yang rawan karhutla, sehingga membuka kesempatan untuk penyelarasan. Dari belanja yang dialokasikan untuk fungsi “pengelolaan kebakaran hutan dan lahan”, hanya 25 persen yang diberikan kepada tujuh provinsi prioritas selama tahun 2015–2017, di mana provinsi-provinsi tersebut memiliki lebih dari setengah luas kebakaran lahan nasional (54 persen selama tahun 2015–19). Pada tahun 2017, hanya dua dari tujuh provinsi prioritas (Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah) yang mendapatkan pendanaan. Demikian pula, belanja untuk “penyediaan mesin pertanian” pada tahun 2015 terutama ditargetkan untuk pengembangan sawah baru di daerah-daerah produksi pangan. Di Provinsi Sumatra Selatan, wilayah prioritas belanja adalah Kabupaten Musi Banyuasin, sementara daerah yang paling rawan karhutla di Provinsi itu adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sementara itu, belanja untuk pengelolaan air terutama berhubungan dengan pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, air tanah, rawa dan tanggul, ketimbang untuk menjaga permukaan air tanah di lahan gambut yang rawan karhutla.

Analisis tingkat belanja saat ini dapat dijadikan wakil pengukur (proxy) untuk menghitung potensi besaran anggaran pemerintah pusat yang dapat berkontribusi bagi pencegahan karhutla melalui penargetan area geografis yang lebih tepat dan koordinasi lintas yurisdiksi yang lebih baik. Belanja untuk pengelolaan air dapat secara efektif mengatasi pemicu karhutla jika diarahkan sepenuhnya untuk pencegahan karhutla. Demikian pula, penargetan belanja berdasarkan wilayah geografis untuk fungsi-fungsi lain maupun koordinasi lintas yurisdiksi yang lebih baik dapat meningkatkan efektivitas belanja secara signifikan. Oleh karena itu, pengarusutamaan pencegahan karhutla dalam program-program tersebut merupakan langkah penting menuju pengelolaan karhutla secara terpadu.

Gambar 8. Belanja untuk 10 kegiatan sektor publik yang berkaitan dengan pemicu karhutla di 7 provinsi prioritas, tahun 2015–2017

Sumber: Analisis staf Bank Dunia

Panel A. Menurut kegiatan (USD)Panel B. Menurut kementerian

(hanya tersedia empat kementerian) (USD juta)

54 Mafira, Mecca, dan Muluk 2020.55 Dari hasil wawancara dengan kedua perusahaan.56 Aliansi Bebas Api beranggotakan Asia Pulp and Paper, APRIL, Asian Agri, Musim Mas, dan Wilmar.

3.4. Peranan Aktor Non-Negara dalam Pengelolaan Karhutla

Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang belum lama ini diluncurkan berpotensi mengelola dan mengalokasikan sumber pendanaan internasional dan domestik untuk membiayai upaya-upaya pencegahan karhutla yang dipimpin oleh aktor non-negara. BPDLH diluncurkan untuk mengelola dan menghimpun dana lingkungan hidup dari berbagai sumber, seperti anggaran pendapatan dan belanja negara, pendanaan multilateral dan bilateral, sektor swasta dan sumber-sumber lain. Dana akan disalurkan melalui berbagai skema, seperti hibah, pinjaman dan pembayaran berbasis hasil kepada berbagai pemangku kepentingan.54

Kontribusi dari para aktor non-negara melengkapi upaya-upaya pemerintah, meskipun kontribusi tersebut biasanya berupa kegiatan spesifik atau berada di lokasi tertentu. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat memberikan dukungan untuk berbagai uji coba berbasis masyarakat. Lembaga-lembaga akademis dan penelitian melakukan riset yang berkaitan dengan pengelolaan karhutla. Mitra-mitra pembangunan memberikan hibah dan bantuan teknis untuk mendukung berbagai upaya. Beberapa pemegang konsesi swasta memberikan dukungan kepada desa-desa rawan karhutla dalam berbagai bentuk. Dukungan tersebut mencakup melatih kelompok-kelompok penanggulangan karhutla dan menyediakan dana dan peralatan operasional serta dukungan pengembangan mata pencaharian. Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinar Mas dan APRIL memberikan insentif kepada desa-desa bebas api55 yang berada dekat dengan kawasan konsesi mereka. Sebuah asosiasi perusahaan konsesi besar56, Aliansi Bebas Api, memberikan edukasi kepada publik mengenai penanggulangan karhutla.

Pemberdayaan masyarakat dalam penanganan bencana

Penanganan kerusakan lingkungan: gambut, lahan

Pengelolaan air, irigasi, dan pengembangan rawa

Perlindungan hasil panen: Makanan, holtikultura, dan perkebunan

Rehabilitasi lahan: Pertanian, hutan

Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan

Perlindungan lahan

Persiapan lahan untuk budi daya

Realisasi Anggaran Realisasi Anggaran Realisasi Anggaran

Persiapan akan bencana

Penyediaan mesin pertanian

Realisasi Anggaran Realisasi Anggaran

Kementerian PUPR

Kementan

KLHK

Kemendesa

Realisasi Anggaran

Page 25: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

25

4.1. Program Tingkat Desa

Lembaga-lembaga utama sudah memiliki program di tingkat desa. Misalnya, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) telah meluncurkan program restorasi gambut berbasis masyarakat yang bernama Desa Peduli Gambut (DPG). Beberapa warga desa juga dapat direkrut sebagai anggota tim penanggulangan kebakaran berbasis masyarakat, yaitu Masyarakat Peduli Api (MPA) atau Kelompok Petani Peduli Api (KTPA), masing-masing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan telah memberikan dukungan untuk metode penanaman tanpa bakar dan penyuluhan guna meningkatkan produktivitas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga memberikan dukungan fasilitas irigasi, sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjalankan program ketahanan terhadap bencana yang disebut Desa Tangguh Bencana. Pada saat yang sama, desa-desa mendapatkan dana dari Kementerian Desa dan pemerintah daerah sehingga mereka berkewajiban melapor kepada Kemendesa maupun pemerintah daerah. Kemendesa mentransfer dana desa kepada pemerintah daerah, yang mungkin bisa digunakan untuk kepentingan pencegahan karhutla (dana desa “diisi ulang” oleh pemerintah daerah). Selain itu, desa-desa dapat menerima dukungan langsung dari perusahaan pemegang konsesi.

Patroli berbasis masyarakat merupakan kesempatan untuk melakukan pencegahan karhutla hemat biaya, namun koordinasi pelaksanaan program di tingkat desa dapat diperkuat. Tim KTPA dan MPA dilatih oleh Manggala Agni, brigade pemadam kebakaran dari KLHK, dan standar peralatan mengikuti standar KLHK; namun dana operasional program yang berasal dari dana desa masih belum memadai. Dalam masyarakat di mana tim KTPA dan MPA, kelompok tani dan pemerintah desa melakukan komunikasi yang baik, pencegahan penggunaan api untuk penyiapan lahan telah terbukti berhasil. Namun, dalam kasus lain, koordinasi antar program masih perlu ditingkatkan.

4.2. Pendekatan Klaster Karhutla Lokal

Pengalaman terbaru di Indonesia di mana pengelolaan karhutla difokuskan pada “klaster-klaster” geografis yang lebih kecil dengan cakupan lintas yurisdiksi administratif dan sektoral yang melibatkan para pemangku kepentingan di berbagai tingkatan menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Setelah diterbitkannya Instruksi Presiden No. 11 tahun 2015 (sebelum diperbarui dengan Instruksi Presiden No. 3 tahun 2020), sebuah gugus tugas dibentuk untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

(Kemenko Perekonomian). Gugus tugas mengidentifikasi pentingnya bagi semua pelaku di tingkat operasional untuk bekerja bahu-membahu dan bagi kawasan-kawasan rawan karhutla untuk dipantau dalam unit-unit geografis yang lebih kecil yang disebut “klaster”. Para anggota gugus tugas, yang didukung oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Layanan Proyek, mengambil bagian dalam kunjungan operasional tingkat tinggi ke Afrika Selatan yang difasilitasi oleh Program Working on Fire57 dalam rangka menimba pengalaman dari Afrika Selatan yang menerapkan praktik Pengelolaan Kebakaran Terpadu lintas pemangku kepentingan melalui Asosiasi Perlindungan dari Kebakaran. Sejak kunjungan itu, Kemenko Perekonomian memiliki minat lebih lanjut untuk mengembangkan unit-unit koordinator berbasis geografis untuk Pengelolaan Kebakaran Terpadu melalui pendekatan berbasis klaster.

Kemenko Perekonomian telah memfasilitasi uji coba penerapan klaster untuk memupuk kerja sama antar pengguna lahan di tiga daerah— Kabupaten Pelawan di Provinsi Riau, Kabupaten Ogan Komering Ilir di Provinsi Sumatra Selatan, dan Kabupaten Pulang Pisau di Provinsi Kalimantan Tengah. “Model klaster”, yang sejalan dengan prinsip pendekatan pengelolaan lanskap terpadu dengan berbagai penggunaan lahan dan pengguna lahan, menekankan pentingnya koordinasi lintas pemangku kepentingan, penggunaan tata ruang dan fokus geografis untuk memprioritaskan intervensi, dan promosi insentif di tingkat keputusan penggunaan lahan. Oleh karena itu, model klaster berupaya mengorganisasi para pemegang konsesi swasta yang menjalankan usaha perkebunan sawit dan karet di bawah koordinasi Kementan dan perkebunan pulpwood di bawah koordinasi KLHK, untuk mencakup lahan lintas

4. Pengelolaan Karhutla Terpadu di Tingkat Daerah

Semua pengguna dan pemilik lahan harus menjadi bagian dari klaster, dan tanggung jawab pengelolaan kebakaran dipikul bersama oleh para anggota klaster.

57 Working on Fire (WoF) dalam Program Pekerjaan Umum yang Diperluas (EPWP), diluncurkan tahun 2003 sebagai bagian dari inisiatif pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan dengan merekrut masyarakat marginal dan membekali mereka dengan keterampilan kewaspadaan terhadap karhutla, edukasi, pencegahan dan pemadaman karhutla. Sekarang, program ini telah mempekerjakan lebih dari 5.000 pria dan wanita muda yang sepenuhnya terlatih dan ditempatkan dalam lebih dari 200 tim di seluruh Afrika Selatan. WoF pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 2015 untuk membantu menanggulangi bencana karhutla. Sejak itu, mereka telah bekerja sama dengan instansi Indonesia di bidang pemadaman karhutla (lihat https://workin-gonfire.org/about-us/, https://www.environment.gov.za/projectsprogrammes/workingonfire and http://www.forclime.org/documents/Books/Wildfire%20preven-tion,%20preparedness%20and%20re-sponse-study%20tour%20to%20South%20Africa.pdf

Page 26: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

26 PENGELOLAAN KARHUTLA TERPADU DI TINGKAT DAERAH

yurisdiksi dalam mencegah dan mengelola karhutla. Klaster-klaster menjadi seperti platform terstruktur bagi pengguna lahan dan pemilik lahan untuk mengoordinasikan kegiatan pencegahan karhutla dan memanfaatkan sumber daya dari pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan masyarakat.

Sejak diuji coba, pendekatan berbasis klaster mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh umpan balik dan interaksi antar pemangku kepentingan di kabupaten-kabupaten percontohan. Pembelajaran berikut ini telah dipetik dari desain klaster yang berhasil:

• Pemerintah kabupaten muncul sebagai pemimpin dariklaster-klaster percontohan. Penting bagi pimpinanpemerintah daerah untuk tidak mengecualikanperusahaan-perusahaan pemegang konsesi ataumasyarakat kecil dari manfaat klaster. Dengan adanyarasa kepemilikan oleh pemerintah daerah, semuapemangku kepentingan, pengguna lahan, pemilik lahandan pengelola akan berpartisipasi, dan pemerintahdaerah bertanggung jawab atas perkebunan masyarakat,pemukiman mereka dan lahan-lahan di mana pemiliknyatidak dapat diidentifikasi.

• Karena dipimpin oleh pemerintah kabupaten, batas-batas klaster akan mengikuti batas-batas administratifkabupaten.

• Semua pengguna dan pemilik lahan harus menjadibagian dari klaster, yang memiliki tanggung jawab ataspengelolaan karhutla yang dipikul bersama di antara paraanggota klaster. Hal ini akan memastikan bahwa semuakawasan yang ada dalam klaster tercakup, tanpa adayang tertinggal. Kabupaten-kabupaten telah membentuksekretariat koordinasi58 di mana keanggotaan pemangkukepentingan bersifat wajib dan sekretariat dibentukdengan Surat Keputusan Bupati. Pembagian tugas dantanggung jawab ditentukan bersama-sama dan disepakatioleh para anggota, dan tugas dan tanggung jawab itudijabarkan dalam berbagai dokumen.

• Badan penanggulangan bencana daerah dapatmelaksanakan pemantauan harian.

• Kontribusi dari sektor swasta dan pemerintah harusdikelola secara mandiri dan terpisah. Awalnya, KemenkoPerekonomian mengusulkan agar sektor swastamemberikan kontribusi sumber daya kepada klaster.Namun, entitas-entitas pemerintah tidak diperbolehkanmenerima kontribusi dari sektor swasta atau menetapkanbiaya/fee.

Meskipun klaster-klaster dapat meningkatkan kerja sama antar pemangku kepentingan, batas-batas yurisdiksi yang berkaitan dengan Kawasan Hutan masih menjadi tantangan dalam melaksanakan pengelolaan karhutla yang efektif. Pada klaster percontohan di Pelalawan, misalnya, beberapa pemerintah kabupaten jelas perlu memimpin upaya-upaya pemantauan dan pemadaman dini di bagian-bagian Kawasan Hutan yang berdekatan dengan pemukiman atau lahan pertanian skala kecil, dan tidak hanya mengandalkan institusi-institusi penanggung jawab Kawasan Hutan. Demikian pula, dalam beberapa keadaan, brigade pemadam kebakaran dari KLHK mungkin diperlukan untuk memadamkan kebakaran di perkebunan yang berbatasan dengan Kawasan Hutan. Namun, para petugas belum melaksanakan kegiatan di luar wilayah kerja yang dimandatkan kepada mereka.

Terdapat beberapa peluang bagi Indonesia untuk memperkuat pelaksanaan pendekatan Pengelolaan Kebakaran Terpadu, yang dilakukan melalui empat rekomendasi utama ini:

1. Memperkuat kerangka hukum dan kebijakan untukkoordinasi

2. Memberdayakan pemerintah daerah untuk memimpinpelaksanaan Pengelolaan Kebakaran Terpadu/IFM

3. Meningkatkan kapasitas dan standar pelaksanaan IFM4. Meningkatkan belanja yang berkaitan dengan

penanganan karhutla.

58 Kabupaten Pelalawan membentuk sekretariat “Gugus Tugas.” Kabupaten Pulang Pisau membentuk sekretariat koordinator sebagai “Kelompok Kerja”.

Page 27: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

27

5.1. Memperkuat kerangka hukum dan kebijakan untuk koordinasi

Memperkenalkan instrumen hukum tingkat tinggi yang mencerminkan

visi Pengelolaan Kebakaran Terpadu (IFM). Instruksi Presiden No. 11 tahun 2015

dan kemudian Instruksi Presiden No. 3 tahun 2020 telah mempersatukan pemangku kepentingan untuk mencegah terulangnya kembali kebakaran hutan dan lahan yang besar setelah peristiwa karhutla yang menghancurkan pada tahun 2015. Sebuah peraturan perundang-undangan tingkat tinggi, seperti Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, akan lebih mengikat dan dapat memberikan instruksi spesifik untuk koordinasi kepada masing-masing kementerian dan lembaga. Instrumen tersebut dapat digunakan untuk memberikan tugas-tugas spesifik kepada masing-masing kementerian dan lembaga,59 dan menetapkan mekanisme pelaporan dan pemantauan spesifik.

Peraturan yang diusulkan perlu menyebutkan mandat dan peranan yang jelas untuk menggantikan peraturan-peraturan terfragmentasi yang menghambat implementasi bersama. Peraturan ini perlu mencantumkan kerangka pemantauan yang komprehensif dan memastikan bahwa target dan indikator dijabarkan dalam rencana-rencana strategis kementerian dan pemerintah daerah untuk menjamin implementasi di tingkat sektoral dan lokal. Peraturan ini perlu segera diundangkan dan mencantumkan pembelajaran (termasuk tantangan) dan memberikan mandat yang lebih tegas dan mekanisme yang terperinci untuk pelaksanaan IFM. Peraturan baru ini dapat mendukung perencanaan dan pelaksanaan selama musim karhutla tahunan, dengan tugas-tugas terkait yang spesifik bagi kementerian-kementerian yang diidentifikasi dalam kajian ini untuk mengambil tindakan yang terkoordinasi di wilayah geografis yang sama.

Sebuah mekanisme koordinasi formal perlu dibuat untuk mencerminkan sistem Pengelolaan Kebakaran Terpadu. Struktur komando dan pertanggungjawaban yang jelas dari tingkat nasional sampai ke tingkat provinsi, kota/kabupaten, dan klaster bagi setiap pemangku kepentingan perlu didefinisikan dalam peraturan baru yang lebih kuat atau dalam prosedur pelaksanaannya. Ini hendaknya juga mencakup pemantauan dan pelaporan kemajuan atau tantangan dalam melakukan kegiatan. Mandat baru yang diberikan oleh Instruksi

5. Rekomendasi

Presiden No. 3 tahun 2020 kepada satu lembaga tunggal (yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan kegiatan

Pengelolaan Kebakaran Terpadu merupakan babak awal baru yang perlu segera

dioperasionalisasikan.

5.2. Mengadopsi pendekatan lintas yurisdiksi berbasis klaster yang dipimpin pemerintah daerah

Pendekatan klaster perlu diadopsi sebagai komponen sentral kerangka pengelolaan karhutla Indonesia. Pengalaman baru-baru ini dalam menetapkan klaster-klaster yang mencakup berbagai yurisdiksi administratif dan sektoral dalam batas-

batas wilayah provinsi menunjukkan pendekatan yang tepat untuk intervensi terpadu dan terkoordinasi. Konsep klaster perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang baru dan perlu disosialisasikan ke seluruh daerah yang rawan karhutla. Karena klaster-klaster akan meliputi kawasan-kawasan dalam yurisdiksi provinsi, maka kegiatan-kegiatan klaster dapat diatur melalui Surat Keputusan Gubernur. Pembelajaran yang dipetik dari pengalaman baru-baru ini dalam melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar berbasis wilayah untuk tanggap darurat COVID-19 yang disahkan dengan Surat Keputusan Gubernur, menurut parameter yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, dapat diterapkan untuk pengelolaan klaster karhutla.

Klaster-klaster perlu diselaraskan dengan batas-batas administratif, dengan pemerintah daerah sebagai pimpinan. Meskipun konfigurasi dan peranan yang disepakati mungkin berbeda-beda di setiap klaster, hasil

uji coba menunjukkan bahwa koordinasi menjadi lebih baik ketika pemerintah daerah mempunyai rasa kepemilikan dan dilibatkan. Dengan adanya rasa kepemilikan pemerintah daerah, semua pemangku kepentingan, pengguna lahan, pemilik lahan dan pengelola juga akan berpartisipasi, dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas perkebunan masyarakat, pemukiman mereka, dan lahan-lahan di mana pemiliknya tidak dapat diidentifikasi. Oleh karena itu, pengembangan klaster, sedapat mungkin, perlu mengikuti batas-batas administratif. Pemerintah daerah saat ini memainkan peranan yang belum cukup besar dalam Pengelolaan Kebakaran Terpadu, tetapi dengan

Peraturan yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah akan lebih mengikat dan dapat memberikan instruksi spesifik untuk koordinasi kepada setiap kementerian dan lembaga.

59 Dari segi hierarki peraturan perundang-undangan, Instruksi Presiden mempunyai kekuatan hukum yang kurang mengikat dibandingkan dengan Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.

Page 28: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

28 REKOMENDASI

mempertimbangkan yurisdiksi administratif, sumber daya dan kehadiran mereka di lapangan, mereka perlu diberdayakan agar peranannya lebih besar, termasuk dalam mengoordinasikan semua pemilik lahan,

pengelola, dan pengguna lahan yang berada di bawah yurisdiksi mereka.

5.3. Meningkatkan kapasitas dan standar pelaksanaan IFM

Kapasitas pengelolaan karhutla KLHK perlu diperkuat. Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup mengamanatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menjaga kualitas udara serta mencegah dan mengambil tindakan terhadap polusi.60 Tanggung jawab perlindungan lingkungan hidup dipikul bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.61 Dengan mandat ini62, KLHK dapat memantau upaya-upaya yang berkaitan dengan Pengelolaan Kebakaran Terpadu di tingkat operasional, namun kapasitasnya masih terbatas. Saat ini, ada 113 brigade pemadam Manggala Agni di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra yang terbagi menjadi 29 Wilayah Operasional yang meliputi kawasan-kawasan rawan karhutla.63 Meskipun memiliki cakupan areal dan tanggung jawab yang luas itu, komandan Manggala Agni adalah pejabat Eselon 4 tanpa otonomi anggaran. Hal ini membatasi kemampuannya untuk mengerahkan staf dan peralatan dengan cepat dan berkoordinasi dengan entitas-entitas (badan-badan) pemerintah daerah. Melalui Pendekatan Klaster, KLHK dapat menugaskan regu-regu Manggala Agni untuk dikoordinasikan secara operasional sebagai bagian dari sistem klaster selama musim karhutla untuk mendukung respons lintas lanskap dalam mengelola karhutla.

Pengaturan sistem informasi yang memungkinkan pengumpulan, pembuatan dan pemantauan informasi secara sistematis sebagai dasar pengambilan keputusan dibutuhkan untuk pelaksanaan IFM yang efektif. Pemerintah dapat memanfaatkan sistem-sistem informasi yang ada, termasuk SiPongi (sistem pemantauan kebakaran hutan dan lahan) dari KLHK guna mengembangkan suatu pengaturan yang memungkinkan informasi dianalisis secara terus menerus sebagai dasar untuk perencanaan, alokasi sumber daya dan keputusan operasional. Selain titik panas, informasi seperti cuaca, pola kebakaran (lokasi, waktu, musim tanam), permukaan air, perubahan tata guna lahan, dan infrastruktur (kanal dan irigasi) perlu disediakan. Informasi ini akan membantu menentukan

jawaban sehubungan dengan jenis strategi atau program yang perlu dikembangkan maupun lokasi, waktu, metode dan pengerahan sumber dayanya. Pemantauan (perekaman dan pelaporan) perlu dikembangkan berdasarkan hasil tinjauan riwayat karhutla. Berdasarkan unsur-unsur yang dijelaskan dalam laporan ini, setiap analisis perlu mempertimbangkan korelasi antara riwayat karhutla, pola dan perilaku. Seiring berlalunya waktu, korelasi harus dianalisis untuk memahami cara mengurangi risiko karhutla. KLHK dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dapat ditugaskan untuk mengoordinasikan analisis, perencanaan mitigasi, dan evaluasi risiko gabungan tahunan sebagai masukan untuk kegiatan tahun berikutnya.

Standar perlu dikembangkan untuk mengurangi permasalahan yang disebabkan oleh fragmentasi yurisdiksi, seperti:

• Standar praktik pertanian yang berkelanjutan di semua lokasi dan semua jenis tanaman. Standar iniperlu diterapkan pada lahan gambut dan tanah mineral,pertanian/kebun, atau hutan tanaman (di kawasanperhutanan sosial atau zona mata pencaharian yangditetapkan). Standar ini mencakup pedoman penyiapanlahan tanpa bakar dan pengelolaan permukaan air untukkawasan gambut dalam dan dangkal.

• Standar pencegahan karhutla berbasis masyarakat perlu dikembangkan dan diterapkan kepada semua kelompok masyarakat yang dibentuk untuk mencegah dan mengelola karhutla. Saat ini, KLHK menetapkanstandar untuk kelompok-kelompok masyarakat yangmelakukan pencegahan dan penanggulangan karhutladi kawasan-kawasan yang berada dalam yurisdiksiKLHK dan di kawasan-kawasan dalam yurisdiksiKementan. Ada kelompok-kelompok yang dibentuk olehpara pemegang konsesi swasta; standar yang samahendaknya berlaku bagi mereka.

• Standar tata kelola air untuk berbagai keperluan perlu dikembangkan dan ditegakkan dalam mengantisipasi risiko karhutla, dengan mempertimbangkan pentingnya pengelolaan permukaan air di kawasan gambut.Karena Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat dimandatkan untuk mengawasi tata kelola air,kementerian ini dapat memimpin dalam mengembangkanstandar. Ini mencakup mengidentifikasi sumber air terdekat, mengidentifikasi kebutuhan untuk membangunwaduk dan infrastruktur lain, dan menjaga permukaan air selama musim kemarau.

60 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.61 Ketertiban umum dan keamanan (yang mencakup penanggulangan bencana), kehutanan, pertanian, pekerjaan umum dan lingkungan hidup merupakan urusan konkuren, artinya tanggung jawab atas urusan ini dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Pelaksanaan ketertiban umum dan keamanan serta kesiapsiagaan terhadap bencana, keamanan pangan, infrastruktur dan jaminan kualitas lingkungan semuanya merupakan tanggung jawab yang dimandatkan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, dinas-dinas pemerintah daerah terkait seperti Badan Manajemen Risiko Bencana Daerah, brigade pemadam kebakaran, dinas pertanian, dinas pekerjaan umum, dan dinas lingkungan hidup, bekerja secara mandiri (otonomi). Dengan memiliki otonomi, pemerintah daerah dapat menentukan alokasi sumber daya, kepegawaian dan program-program.62 Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015–2019 menetapkan target pencegahan kebakaran. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim bertanggung jawab untuk mengurangi luas areal kebakaran hutan di perkebunan non-hutan konservasi (sampai 10 persen, dari 498.736 hektar menjadi 448.863 hektar) dan mengurangi titik panas di perkebunan non-hutan konservasi sampai 10 persen (dari 32.323 titik panas menjadi 29.091), yang berfokus pada Kali-mantan, Sulawesi, dan Sumatra.63 Data diperoleh dari website KLHK tentang penanggulangan karhutla; lihat http://sipongi.menlhk.go.id/home/main.

Page 29: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

29

5.4. Meningkatkan Keputusan Belanja yang berkaitan dengan penanggulangan karhutla

Menargetkan belanja publik yang berkaitan dengan penanggulangan karhutla untuk

wilayah-wilayah geografis berisiko tertinggi melalui peningkatan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Perencanaan kerja bersama secara berkala dapat diadakan untuk meningkatkan koordinasi revisi anggaran yang berfokus pada desa, kabupaten dan provinsi rawan karhutla. Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa Proyek-Proyek Prioritas dalam RPJMN memenuhi syarat untuk mendapatkan alokasi anggaran spesifik dan terkoordinasi dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mendapatkan mandat untuk mengoordinasikan proposal perencanaan dan pendanaan dari kementerian-kementerian terkait. BAPPENAS juga mendapatkan mandat untuk mengintegrasikan pemanfaatan belanja, subsidi, dan sumber pendanaan lain di kementerian dan lembaga untuk mencapai target pembangunan nasional. Perencanaan kerja bersama antara BAPPENAS dengan kementerian-kementerian yang telah diidentifikasi akan membuat proses perencanaan dan penganggaran lebih terkoordinasi.

Rencana kerja bersama dapat dilaksanakan segera, dengan memanfaatkan saluran revisi anggaran setelah penerbitan RPJMN 2020–2024. Setelah tersusunnya rencana kerja bersama, rencana anggaran masing-masing kementerian dan lembaga terkait dapat direvisi sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang dicantumkan dalam proyek-proyek prioritas di mana lokasi, jadwal dan alokasinya telah disinkronisasikan

dengan program Pengelolaan Kebakaran Terpadu. 1.200 desa rawan karhutla yang diidentifikasi oleh KLHK sebagai desa-desa prioritas untuk lima tahun mendatang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun intervensi proyek antar sektor setiap tahun dengan melaksanakan pendekatan klaster. BAPPENAS, Kementan dan KLHK dapat membentuk gugus tugas untuk memfasilitasi perencanaan kerja bersama tahunan, koordinasi pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Merancang dan mengalokasikan insentif agar pemerintah daerah bersedia memimpin upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla dengan klasifikasi lahan yang

berbeda-beda, termasuk melalui transfer fiskal berbasis kinerja. Kalimantan Utara adalah salah satu dari beberapa provinsi yang telah menerapkan skema transfer fiskal berbasis kinerja64 dari provinsi ke kabupaten yang berfokus pada beberapa indikator keberlanjutan, termasuk pencegahan dan pengendalilan kebakaran. Pendekatan ini sudah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan dapat direplikasi ke seluruh Indonesia untuk memberikan insentif kepada pemerintah daerah. Insentif fiskal percontohan dari pemerintah pusat dapat diberikan sebagai hibah daerah dalam persiapan sistem Transfer Fiskal Ekologi.

Program-program pencegahan karhutla perlu memanfaatkan dana publik maupun swasta yang dapat tersedia dengan cepat, seraya mencari dukungan pendanaan jangka panjang. Ini mencakup Dana Reboisasi atau Dana Bagi Hasil – Dana Reboisasi untuk program-program di tingkat pemerintah daerah dan dana desa untuk membiayai program pencegahan karhutla berbasis masyarakat.

64 Bantuan Keuangan Khusus Berbasis Ekologi.

Peraturan Peme-rintah menetapkan bahwa Proyek-Proyek Prioritas dalam RPJMN memenuhi syarat untuk mendapat-kan alokasi ang- garan spesifik dan terkoordinasi, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPE-NAS) mendapat-kan mandat untuk mengoordi-nasikan proposal perencanaan dan pendanaan dari kementerian-ke-menterian terkait.

Page 30: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

30 REKOMENDASI

Lampiran Undang-Undang Desentralisasi perlu diubah untuk menetapkan fungsi dan kegiatan IFM oleh provinsi dan kabupaten. Tujuan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan hendaknya tidak didanai kecuali dijabarkan sebagai kegiatan dengan indikator spesifik. Misalnya, Lampiran Undang-undang Desentralisasi65 tidak menyebutkan kegiatan-kegiatan Pengelolaan Kebakaran Terpadu. Tanpa pernyataan yang didefinisikan dengan jelas untuk memprioritaskan kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah daerah tidak akan bisa mengusulkan pendanaan. Pemerintah bermaksud merevisi lampiran maupun pedoman dalam perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)66 yang didasarkan pada pendekatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan lanskap.67

Belanja program-program masyarakat dapat diarahkan untuk memberikan bantuan pembukaan lahan tanpa bakar. Kegiatan-kegiatan seperti percontohan penyiapan lahan tanpa bakar, penyediaan alat pengomposan biomassa dan perbaikan infrastruktur pengairan berskala kecil dapat dibiayai melalui hibah masyarakat desa seperti bantuan sosial atau melalui dana desa. Kombinasi strategis dukungan fasilitas masyarakat dan desa, serta pemberian hibah berbasis hasil untuk mendukung dana desa dan mekanisme pembiayaan masyarakat lainnya, dapat membantu memastikan tersedianya dukungan kapasitas maupun pembiayaan investasi untuk lokasi-lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan. Program pemulihan ekonomi pasca tanggap darurat COVID-19 di masa mendatang juga dapat digunakan sebagai momentum untuk mempromosikan kegiatan-kegiatan stimulus seperti proyek padat karya dan proyek lapangan kerja sementara mempromosikan

65 Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Desentralisasi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 dan 9 tahun 2015.66 Peraturan Menteri Dalam Negeri.67 Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009, pasal 9 menetapkan bahwa Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus disusun sebagai dasar untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional maupun Daerah.68 Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perindustrian. Semua kementerian tersebut, kecuali Kementerian Perindustrian, juga diberikan mandat untuk melakukan penandaan belanja adaptasi iklim.

penyiapan lahan tanpa bakar; dan restorasi lanskap melalui penanaman hutan kembali, rehabilitasi infrastruktur pengairan lahan gambut dan restorasi ekosistem.

Belanja penanggulangan karhutla dapat dimasukkan dalam penandaan anggaran perubahan iklim untuk meningkatkan pengawasan belanja dan mempengaruhi keputusan belanja di masa mendatang. Pemantauan belanja yang berkaitan

dengan pencegahan karhutla dapat dilakukan melalui penandaan yang lebih sistematis untuk belanja pencegahan karhutla lintas kementerian, yang dapat dimasukkan sebagai bagian dari penandaan anggaran iklim yang dipimpin oleh Kemenkeu. Pada tahun 2016, Kemenkeu memberlakukan mekanisme penandaan anggaran atas output yang dibiayai dengan APBN untuk mitigasi perubahan iklim. Hal ini dilakukan selama proses penganggaran ketika ditetapkan anggaran yang berkaitan dengan mitigasi iklim di enam kementerian dan lembaga teknis.68 Dengan menggunakan mekanisme yang ada, kementerian-kementerian dapat melaporkan belanja yang mereka alokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan karhutla yang ditargetkan kepada kawasan-kawasan rawan karhutla. Hal ini memungkinkan pemantauan dan analisis yang lebih baik terhadap belanja untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan karhutla di luar mandat eksplisit KLHK, sehingga akhirnya akan lebih menyediakan informasi bagi proses pengambilan kebijakan. Sejalan dengan pelaksanaan penandaan anggaran di tingkat nasional, pemantauan belanja juga dapat dilakukan di tingkat daerah melalui kegiatan penandaan anggaran serupa atau melalui perbaikan data fiskal.

Kombinasi strategis dukungan fasilitas masyarakat dan desa serta pemberian hibah berbasis hasil untuk mendukung dana desa dan mekanisme pembiayaan masyarakat lainnya, dapat membantu memastikan tersedianya dukungan kapasitas maupun pembiayaan investasi untuk lokasi-lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan.

Page 31: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

31

Barber, C. V., and J. Schweithelm. 2000. “Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform.” World Resources Institute, in collaboration with WWF-Indonesia and Telapak Indonesia Foundation, Washington, DC.

Boonyanuphap, J., F. G. Suratmo, I. N. S. Jaya, and F. Amhar. 2001. “GIS-based method in developing wildfire risk model.” Tropical Forest Management Journal 7: 33–45.

CIFOR (Center for International Forestry Research). 2000. “Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa” (“The Impact of Indonesia’s Economic Crisis on Smallholders and Natural Forest Cover Outside of Java”). CIFOR Occasional Paper No. 28 (I), June. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2003. “Wildland Fire Management Terminology.” FAO Forestry Paper 70, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Lennertz, R., and K. F. Panzer. 1983. “Preliminary assessment of the drought and forest fire damage in East Kalimantan.” Transmigration Areas Development Project (TAD), German Agency for Technical Cooperation, Eschborn, Germany.

Mafira, T., B. Mecca, and S. Muluk. 2020. Indonesia Environment Fund: Bridging the Financing Gap in Environ-mental Programs. Climate Policy Initiative, Jakarta.

Myers, R. L. 2006. “Living with Fire—Sustaining Ecosystems & Livelihoods Through Integrated Fire Manage-ment.” The Nature Conservancy, Tallahassee, Florida, United States.

Nawir, A., A. Murniati, and L. Rumboko. 2007. “Forest Rehabilitation in Indonesia: where to after three de-cades.” Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia.

Schweithelm, J. 1998. “The fire this time an overview of Indonesia’s forest fires in 1997–98.” Discussion Paper for Project ID162 Analysis of the Causes and Impacts of Forest Fires and Haze, WWF-In-donesia, Jakarta.

Wetlands International. 2016. “Can Peatland Landscapes in Indonesia be Drained Sustainably? An Assess-ment of the ‘Eko-Hidro’ Water Management Approach.” Wetlands International Report, LZ Ede, Netherlands.

WHO (World Health Organization). n.d. “Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public: Myth bust-ers.” World Health Organization. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavi-rus-2019/advice-for-public/myth-busters.

———. 2020. “Wildfires.” https://www.who.int/health-topics/wildfires#tab=tab_1.

Wildayana, E., M. Edi Armanto, I. Zahri, and M. Y.Hasan. “Novel Innovation of Subsidized Fertilizers Based on Soil Variability and Farmer’s Perception.” Jurnal Ekonomi Pembangunan 18 (1): 50–63.

World Bank. 2016. “The cost of fire: an economic analysis of Indonesia’s 2015 fire crisis.” World Bank, Jakar-ta.

———. 2019. Indonesia Economic Quarterly: Investing in People. Washington, DC: World Bank Group.

Referensi

Page 32: MENGATASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERULANG DI …

32 REKOMENDASI

Publikasi ini disusun oleh staf Bank Dunia dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah Norwegia dan Australia. Hasil temuan, interpretasi, dan kesimpulan yang disampaikan dalam publikasi ini tidak serta merta mewakili pandangan Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia maupun organisasi-organisasi yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data yang tercantum di dalam publikasi ini. Batas-batas, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditampilkan pada peta mana pun di dalam publikasi ini tidak menyiratkan penilaian apa pun dari pihak Bank Dunia mengenai status hukum suatu wilayah, atau dukungan maupun penerimaan terhadap batasan tersebut.

Hak dan Izin© 2021 Bank Dunia1818 H Street NW, Washington DC 20433Telepon: 202-473-1000; Internet: www.worldbank.org

Sebagian hak cipta dilindungi oleh undang-undangMateri dalam publikasi ini memiliki hak cipta. Karena Bank Dunia sangat mendukung penyebarluasan pengetahuan, publikasi ini boleh diproduksi ulang, secara keseluruhan atau sebagian, untuk tujuan non-komersial selama mencantumkan secara lengkap atribusi untuk publikasi ini.

Berbagai pertanyaan lainnya yang terkait dengan hak dan perizinan, termasuk hak tambahan, harap dialamatkan kepada Kantor Penerbit Bank Dunia (World Bank Publication), The World Bank Group, 1818 H Street NW, Washington, DC 20433, USA; faks: 202-522-2625; e-mail: [email protected].

Atribusi Harap mengutip publikasi ini sebagai berikut: “Bank Dunia. 2021. Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berulang di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Pembelanjaan Publik Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan. © Bank Dunia”