4
Benda-benda yang terbuat dari dari anyaman pandan itu disusun dengan rapi dan baik di atas meja di salah satu sudut ruang apertemuan itu. Ada berbagai jenis tas, topi, tempat tissue, tempat payung, alas meja, alasan piring dan lainnya. Bu Ros dan Bu Das berdiri di dekat meja itu sambil menjelaskan kepada para pengunjung tentang benda-benda itu termasuk harganya. Mereka adalah para ketua kelompok dari dua kelompok perempuan dari Desa Pangkalan Gondai dan Desa Situgal yang memanfaat- kan hasil hutan non kayu yang ada di sekitar desa mereka untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Bu Ros dari Kelompok Gondai Lestari di Desa Pang- kalan Gondai dan Bu Das dari Kelompok Rindu Alam Di Desa Situgal. Kedua desa ini meru- pakan dua dari 22 desa yang mengelilingi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pada awal berdirinya TNTN yaitu sekitar Tahun 2004, kondisi kawasan hutan ini masih bagus dan mempunyai keane- karagaman yang tinggi. Be- berapa penelitian yang dilaku- kan sebelum tahun 2005 menunjukkan bahwa kawasan ini mempunyai nilai biodiver- sitas yang tinggi. Termasuk diantaranya hasil hutan non kayu. Mulai dari sialang, rotan, pandan, umbai, damar dan lain- nya. Banyak penduduk yang dapat memanfaatkan hasil hutan non kayu itu untuk kebutu- hannya dan bahkan untuk men- ingkatkan kesejahteraan mereka. Perempuan-perempuan di desa-desa di sekitar TNTN mempunyai kemampuan mem- buat tikar dari pandan atau dari umbai dan mereka menjual pro- duk itu. Bahkan produksi madu sialang bisa mencapai ratusan kilogram dalam satu pohon sialang. Tetapi saat ini hasil hutan non kayu itu sudah berkurang dan cenderung punah disebabkan oleh perambah. Perambah tidak mempunyai akar tradisi dengan hutan. Mereka tidak menghormati hutan sebagaimana penduduk lokal. Mereka cenderung mem- babat habis hutan termasuk pohon-pohon sialang dan pohon lainnya sehingga hasil hutan non kayu juga semakin habis. Keprihatinan itu mendorong Riau Women Working Group (RWWG) dan Forum Masyara- kat Tesso Nilo (FMTN) yang tergabung di dalam Konsorsium YTNTN untuk mengintervensi pemanfaatan hasil Hutan Non Kayu. Dengan bantuan pen- danaan dari TFCA Sumatera, FMTN memfasilitasi pening- katan produksi madu sialang sedangkan RWWG memfasili- tasi pemanfaatan pandan untuk dibuat anyaman. Dan itu diker- jakan oleh kelompok perem- puan. Cukup panjang proses yang harus dibangun oleh Eva dan Rina dua orang pendamping lapang RWWG untuk meyakinkan masyarakat khususnya kelompok perem- puan bahwa hasil hutan non kayu dapat meningkatkan ke- sejahteraan. Mereka mem- fasilitasi beberapa pertemuan bersama masyarakat tentang manfaat dari hasil hutan non kayu itu. Mereka juga mem- fasilitasi pelatihan selama 10 hari untuk meningkatkan ke- mampuan anggota kelompok dalam membuat anyaman pan- dan, bahkan didatangkan pe- latih dari Cirebon. Bantuan peralatan dan bahan-bahan juga diberikan sehingga kelompok dapat mengembang- kan kreatifitasnya untuk men- ciptakan produk-produk anya- man dari pandan. Saat ini produk-produk kerajinan itu sudah dipasarkan dan sudah mampu mendatangkan keun- tungan bagi anggota kelom- pok. Jika pasar anyaman pan- dan ini dapat dicari maka pro- duk-produk itu akan mem- berikan masa depan yang lebih baik bagi kelompok perempuan. Oleh : T. Fadli MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA DEPAN Diterbitkan atas kerjasama Konsorsium YTNTN dan TFCA Sumatera JANUARI 2014 Kegiatan Masyarakat 1.1 Patroli Gajah 2.1 Ketentuan Adat 3.1 Rehabilitasi Lahan 4.1 Redaksi 4.2 Rubrik : Ada berbagai jenis tas, topi, tempat tissue, tempat payung, alas meja, alasan piring dan lain- nya. Bu Ros dan Bu Das berdiri di dekat meja itu sambil menjelas- kan kepada para pengunjung tentang benda- benda itu terma- suk harganya.

MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA · PDF filecerita yang berbeda. Saat sekarang, para ... hot. Memberi makan, memberi vita-min, ... (Bersambung) Oleh :

  • Upload
    lekiet

  • View
    234

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA  · PDF filecerita yang berbeda. Saat sekarang, para ... hot. Memberi makan, memberi vita-min, ... (Bersambung) Oleh :

Benda-benda yang terbuat dari

dari anyaman pandan itu disusun

dengan rapi dan baik di atas

meja di salah satu sudut ruang

apertemuan itu. Ada berbagai

jenis tas, topi, tempat tissue,

tempat payung, alas meja, alasan

piring dan lainnya. Bu Ros dan

Bu Das berdiri di dekat meja itu

sambil menjelaskan kepada para

pengunjung tentang benda-benda

itu termasuk harganya. Mereka

adalah para ketua kelompok dari

dua kelompok perempuan dari

Desa Pangkalan Gondai dan

Desa Situgal yang memanfaat-

kan hasil hutan non kayu yang

ada di sekitar desa mereka untuk

meningkatkan kesejahteraan

mereka. Bu Ros dari Kelompok

Gondai Lestari di Desa Pang-

kalan Gondai dan Bu Das dari

Kelompok Rindu Alam Di Desa

Situgal. Kedua desa ini meru-

pakan dua dari 22 desa yang

mengelilingi Taman Nasional

Tesso Nilo (TNTN).

Pada awal berdirinya TNTN

yaitu sekitar Tahun 2004,

kondisi kawasan hutan ini masih

bagus dan mempunyai keane-

karagaman yang tinggi. Be-

berapa penelitian yang dilaku-

kan sebelum tahun 2005

menunjukkan bahwa kawasan

ini mempunyai nilai biodiver-

sitas yang tinggi. Termasuk

diantaranya hasil hutan non

kayu. Mulai dari sialang, rotan,

pandan, umbai, damar dan lain-

nya. Banyak penduduk yang

dapat memanfaatkan hasil hutan

non kayu itu untuk kebutu-

hannya dan bahkan untuk men-

ingkatkan kesejahteraan

mereka. Perempuan-perempuan

di desa-desa di sekitar TNTN

mempunyai kemampuan mem-

buat tikar dari pandan atau dari

umbai dan mereka menjual pro-

duk itu. Bahkan produksi madu

sialang bisa mencapai ratusan

kilogram dalam satu pohon

sialang. Tetapi saat ini hasil

hutan non kayu itu sudah

berkurang dan cenderung punah

disebabkan oleh perambah.

Perambah tidak mempunyai

akar tradisi dengan hutan.

Mereka tidak menghormati

hutan sebagaimana penduduk

lokal. Mereka cenderung mem-

babat habis hutan termasuk

pohon-pohon sialang dan pohon

lainnya sehingga hasil hutan

non kayu juga semakin habis.

Keprihatinan itu mendorong

Riau Women Working Group

(RWWG) dan Forum Masyara-

kat Tesso Nilo (FMTN) yang

tergabung di dalam Konsorsium

YTNTN untuk mengintervensi

pemanfaatan hasil Hutan Non

Kayu. Dengan bantuan pen-

danaan dari TFCA Sumatera,

FMTN memfasilitasi pening-

katan produksi madu sialang

sedangkan RWWG memfasili-

tasi pemanfaatan pandan untuk

dibuat anyaman. Dan itu diker-

jakan oleh kelompok perem-

puan.

Cukup panjang proses yang

harus dibangun oleh Eva dan

Rina – dua orang pendamping

lapang RWWG – untuk

meyakinkan masyarakat

khususnya kelompok perem-

puan bahwa hasil hutan non

kayu dapat meningkatkan ke-

sejahteraan. Mereka mem-

fasilitasi beberapa pertemuan

bersama masyarakat tentang

manfaat dari hasil hutan non

kayu itu. Mereka juga mem-

fasilitasi pelatihan selama 10

hari untuk meningkatkan ke-

mampuan anggota kelompok

dalam membuat anyaman pan-

dan, bahkan didatangkan pe-

latih dari Cirebon. Bantuan

peralatan dan bahan-bahan

juga diberikan sehingga

kelompok dapat mengembang-

kan kreatifitasnya untuk men-

ciptakan produk-produk anya-

man dari pandan. Saat ini

produk-produk kerajinan itu

sudah dipasarkan dan sudah

mampu mendatangkan keun-

tungan bagi anggota kelom-

pok. Jika pasar anyaman pan-

dan ini dapat dicari maka pro-

duk-produk itu akan mem-

berikan masa depan yang

lebih baik bagi kelompok

perempuan.

Oleh : T. Fadli

MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA DEPAN

Diterbitkan atas kerjasama Konsorsium YTNTN dan TFCA Sumatera

JANUARI 2014

Kegiatan Masyarakat 1.1

Patroli Gajah 2.1

Ketentuan Adat 3.1

Rehabilitasi Lahan 4.1

Redaksi 4.2

Rubrik :

Ada berbagai jenis

tas, topi, tempat

tissue, tempat

payung, alas

meja, alasan

piring dan lain-

nya. Bu Ros dan

Bu Das berdiri di

dekat meja itu

sambil menjelas-

kan kepada para

pengunjung

tentang benda-

benda itu terma-

suk harganya.

Page 2: MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA  · PDF filecerita yang berbeda. Saat sekarang, para ... hot. Memberi makan, memberi vita-min, ... (Bersambung) Oleh :

Ha l 2 Ed is i 2 TAMPU i

Flying Squad : Mahot

Mahot adalah para penunggang gajah.

Istilah ini kemungkinan berasal dari ba-

hasa India. Dalam sejarah perkembangan

peradaban manusia. Hubungan antara

gajah dan manusia sudah terjalin sejak

lama. Dapat dilihat dalam armada ten-

tara gajah dari RajaAbrahah yang hen-

dak memindahkan Kakbah.Dan juga

armada perang tentara gajah dari kera-

jaan Persia.

Kisah penunggang gajah ini terus

berkembang dari berbagai zaman dengan

cerita yang berbeda. Saat sekarang, para

mahot atau penunggang gajah berperan

sebagai tentara terakhir dalam pen-

gusiran gajah liar. Mereka dikenal den-

gan sebutan Flying Squad. Ada beberapa

tempat di Riau yang menjadi camp flying

squad ini. Salah satu nya berada di desa Gon-

dai. Kabupaten Pelalawan, Riau. Para mahot

ini bertempat tinggal di daerah yang dapat

dikatakan panas. Mereka berada di konsesi

lahan perusahaan APRILyang sampai

saat ini masih diselidiki keterlibatan nya

dalam merambah hutan alam di Riau.

(sumber :http://www.greenpeace.org/

seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-

alam-terakhir/app1/). Anggota

dari flying squad Gondai ini adalah

anak anak muda yang berdedikasi

tinggi menjaga gajah gajah liar untuk

tetap di dalam alur imigrasi mereka.

Hutan-hutan yang dahulu nya menjadi

daerah imigrasi dari gajah. Telah

berubah fungsi menjadi kawasan

perkebunan, kawasan hutan industri.

Akibat nya, konflik antara manusia

dan gajah tidak bisa di hindari.

Hidup sebagai mahot berat. Mereka

tidak mengenal libur dan bersenang

senang. Gajah- gajah yang mereka

tunggangi adalah tanggung jawab ma-

hot. Memberi makan, memberi vita-

min, merantai gajah,dan memandikan

adalah kegiatan sehari hari yang dila-

kukan oleh mereka. Sekali mereka

alpa, akibat nya berbahaya. Bisa ke-

matian akan gajah mereka atau gajah

mereka kabur.

Untuk mengantisipasi masuk nya gajah

liar ke perkampungan biasa nya para

mahot akan berpatroli. Hal ini di laku-

kan sekali seminggu. Luasan patroli

mereka tergantung kesepakatan antara

para mahot. Saat mereka patroli, satu

gajah akan di pegang oleh dua mahot.

Sudah biasa bagi mahot dan gajah

mereka untuk tidur di hutan saat mereka

melaksanakan patroli pengawasan. Pada

dasar nya, penunggang gajah adalah

manusia biasa, Jika gajah tidak masuk

ke dalam kawasan. Maka para mahot

akan kembali menjadi manusia biasa.

Hidup di dalam hutan bertemankan

suara makhluk makhluk hutan. Para

mahot juga merupakan bagian dari

usaha mempertahankan surga/protect

paradise. Karena mereka juga salah satu

garda terdepan dalam konservasi gajah.

(http://bayuwinata.wordpress.com/tag/

black-and-white/)

Page 3: MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA  · PDF filecerita yang berbeda. Saat sekarang, para ... hot. Memberi makan, memberi vita-min, ... (Bersambung) Oleh :

Hutan Adat Petalangan

Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin

oleh kepala adat yang dikenal dengan sebutan batin. Hak per-

lindungan hukum atas hukum adat dan tanah adat pada

masyarakat Petalangan telah mendapat legitimasi. Hak ini

terbukti dengan diterbitkan Surat Keterangan Hutan Tanah

(Grand Sultan) bagi masyarakat adat yang memiliki Tombo

atau Terombo.

Menurut sumber yang lain, disebutkan bahwa sejarah bahwa

Kerajaan Pelalawan berasal dari Kerajaan Pekantua yang

didirikan oleh Maharaja Indera sekitar tahun 1380 M. Maha-

raja Indera adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik

(Singapura). Sebelum berdirinya Kerajaan Pekantua, daerah

ini telah dihuni penduduk asli setidaknya dari ras Proto dan

Deutro Melayu yang sisanya sekarang disebut Orang Darat

atau Petalangan.

Secara sosiologis empiris keberadaan masyarakat adat Peta-

langan tidak terban-

tahkan, mereka hidup

berpuluh tahun bahkan

beratus tahun dalam

lingkungan yang dito-

pang oleh dukungan

sumber daya alam yang

berlimpah. Mereka

memiliki otoritas

wilayah berupa tanah,

hutan dan air yang di-

dalamnya kaya akan

sumber penghidupan.

Terdapat pengaturan

dalam sebuah tatanan

hidup baik berlaku bagi

pribadi, kelompok

bahkan untuk masyara-

kat luar tentang peman-

faatan kekayaan yang berada dalam wilayah yang diakui se-

bagai milik turun temurun. Mereka memiliki sistem hidup

dalam sebuah naungan hukum adat, pola kepemimpinan,

bahasa, agama dan lainnya.

Tetapi saat ini ada kecenderungan bahwa system hidup itu

sudah memudar. Kearifan lokal masyarakat terkait hutan

juga sudah terkikis seiring maraknya pemberian lahan hutan

secara hibah oleh oknum pimpinan masyarakat lokal se-

bagiannya kepada pendatang. Dan memudarnya system hidup

tersebut, juga akan berdampak pada kelestarian hutan. Hutan

yang dulu menjadi sumber kehidupan dan marwah masyara-

kat lokal kini sudah tidak ada dan berganti dengan kebun

sawit. (Bersambung)

Oleh : Yuliantony dan T. Fadli, dari berbagai sumber.

HUTAN ADAT DALAM PERSUKUAN PETALAN-

GAN DI TESSO NILO

(BAGIAN PERTAMA)

Baru-baru ini Forum Masyarakat Tesso NIlo mengada-

kan penelitian cepat terhadap ketentuan-ketentuan adat

yang berlaku di masyarakat Petalangan di sekitar Tesso

Nilo. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan

peraturan adat itu khususnya terkait dengan penge-

lolaan hutan. Dalam penelitian, tim melakukan wawan-

cara kepada tokoh-tokoh adat serta mendokumentasi-

kan ketentuan-ketentuan adat tertulis.

Hukum Adat yang berkembang dimasa lalu mempu-

nyai kearifan lokal dalam mengelola hutan dan tanah

yang sudah ada jauh sebelum kemerdekaan, bahkan

hukum Adat juga

membaur dengan

hukum yang di-

bawa kolonial

(Belanda). Akan

tetapi, setelah ke-

merdekaan dengan

berlakunya hukum

positif secara perla-

han melalui pe-

rangkat hukum

nasional telah

menghapus eksis-

tensi hukum adat

terutama terhadap

fungsi formal hu-

kum Adat.

Secara historis,

disekitar kawasan

TNTN terdapat masyarakat adat Melayu dari 3 kelom-

pok etnis yaitu etnis Kerajaan Petalangan, etnis Kera-

jaan Gunung Sahilan dan etnis Kenegerian Logas

Tanah Darat. Dari ketiga etnis tersebut, wilayah ulayat

etnis Petalanganlah yang mendonimasi kawsan Taman

Nasional Tesso Nilo.

Masyarakat hukum adat Petalangan merupakan sebuah

kelompok masyarakat yang memiliki dukungan his-

toris serta keberadaannya tidak diragukan. Menurut

tombo, mereka berasal dari Johor menggunakan perahu

dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang

ini. Mereka menjadi kawula Kerajaan Kampar yang

sekarang lebih dikenal dengan Pelalawan. Di bawah

pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat

pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan

Ha l 3 TAMPU i Ed is i 2

Beberapa Batin, Ninik Mamak dan Tokoh Adat Petalangan Ketika Pertemuan

dengan Menteri Kehutanan, di TNTN Februari 2013

Page 4: MENGANYAM PANDAN, MENGANYAM MASA  · PDF filecerita yang berbeda. Saat sekarang, para ... hot. Memberi makan, memberi vita-min, ... (Bersambung) Oleh :

Salam lestari.

Ini adalah terbitan Kedua dari Koran Selembar yang diterbitkan atas kerjasama YTNTN, Konsorsium YTNTN dan TFCA Sumatera.

Pada terbitan kedua ini kami kembali menampilkan berita-berita tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota konsorsium

YTNTN yang bekerja untuk mengefektifkan pengelolaan TNTN.

Pada halaman satu, diberitakan kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Riau Women Working Group terhadap kelompok per-

empuan. Pada edisi ini, pendampingan yang diberitakan adalah pendampingan dalam rangka memanfaatkan hasil hutan non kayu

yaitu pandan. Pendamping Lapang RWWG melakukan pertemuan kelompok, pelatihan dan pemberian bantuan kepada kelompok

perempuan di Desa Pangkalan Gondai dan Desa Situgal.

Selanjutnya pada halaman dua, diberitakan kegiatan pada flying squad Gondai yaitu tentang mahot. Tulisan ini dikutip dari blog Bayu

WInata di www.bayuwinata.wordpress.com. Bayu tinggal bersama mahot flying squad Gondai selama satu minggu untuk menulis.

Selanjutnya pada halaman tiga, diinformasikan segala sesuatu terkait dengan aturan adat Petalangan. Ini adalah tulisan berseri di

mana pada setiap minggu akan diinformasikan kearifan lokal masyarakat adat petalangan. Kami berharap dengan menginformasikan

kearifan adat tersebut maka dapat memunculkan kembali semangat masyarakat adat untuk melestarikan hutan yang itu disinyalir

semakin berkurang.

Terakhir pada halaman empat, kami informasikan sedikit mengenai

Rehabilitasi yang kami lakukan. Direncanakan 200 Ha lahan akan

direhabilitasi, dan 25 Ha diantaranya sudah selesai ditanam.

Kami berharap media ini dapat menambah wawasan Pembaca ten-

tang apa yang kami lakukan dan mendukung upaya per;indungan

TNTN. Salam,

Yuliantony.

Konsorsium Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo untuk TFCA Sumatera

(Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, WWF Indonesia Program Riau, Forum

Masyarakat Tesso Nilo, Riau Women Working Group dan Sumatera Sustainability

Fund)

Jl.Kelapa Gading Gg. Kelapa Gading II No.18 B

Kelurahan Tangkerang Labuai, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru,

Riau, Indonesia-28282

Phone/Fax.: 0761-7874685

email : [email protected]; web : www.ytntn.org

maka masyarakat akan mendapatkan

manfaat tanpa harus memanen kayunya.

Bibit buah itu antara lain durian, petai,

dan cempedak hutan. Jika di LKB

penanaman dilakukan untuk pengkayaan

hutan, maka di Situgal penanaman dila-

kukan untuk merehabilitasi lahan kritis.

Di Situgal didirikan juga camp rehabili-

tasi di sekitar lokasi penanaman.

Sayangnya camp ini sempat diserang

gajah liar ketika masyarakat melakukan

penanaman, sehingga harus dipindah dan

dibangun kembali ke lokasi yang

diperkirakan bukan jalur gajah.

Saat ini camp tersebut sudah sele-

sai dikerjakan dan bisa dimanfaat-

kan.

Dalam melakukan penanaman,

Kemal dan anggotanya di LKB

serta Hadta dan anggotanya di

Situgal mendapatkan pelatihan

terlebih dahulu. Pelatihan diberi-

kan oleh Jonotoro, dari Fakultas

Bibit pulai, meranti, dan medang itu dis-

usun dengan rapi di tampat penampun-

gan sementara di camp pembibitan

WWF. Kamal, mengatur anggotanya

untuk menyusun bibit –bibit yang baru

diturunkan dari truk itu agar dapat den-

gan mudah dibawa ke lokasi penanaman.

Bibit itu harus dilangsir dengan meng-

gunakan kenderaan roda dua untuk sam-

pai di lokasi penanaman. Sebagian bibit

sudah ditanam di lahan seluas 5 ha dari

rencana 15 hektar di dalam TNTN, te-

patnya disekitar daerah Lubuk Kembang

Bunga (LKB).

Selain di LKB, program rehabilitasi

YTNTN dengan bantuan pendanaan dari

TFCA Sumatera ini juga dilakukan di

kawasan TNTN di sekitar desa Situgal.

Untuk tahun I, direncanakan akan dila-

kukan penanaman seluas 20 ha. Saat ini

sudah dilakukan penanaman seluas 10

ha. Beberapa bibit buah akan ditanam

juga di SItugal. Ini atas permintaan

masyarakat karena dengan adanya buah,

REHABILITASI LAHAN

Office

Dari Redaksi

Penanggung Jawab

Yuliantony

Editor

T. Fadli

Pendukung

Tim Konsorsium YTNTN

Ha l 4 Ed is i 2 TAMPU i

Bibit buah yang siap ditanam di Desa Situgal

Kehutanan Universitas Lancang Kuning.

Selama tiga hari mereka dilatih dengan

materi meliputi pengenalan jenis tumbuhan

hutan lokal dan pembiakan tanaman, ter-

masuk pemeliharaan tanaman. Peserta juga

diberikan sedikit materi tentang konser-

vasi. Metode yang diberikan tidak hanya

teori tetapi juga praktek. Setelah pelatihan,

anggota masyarakat itu dapat melakukan

program rehabilitasi di TNTN.

Oleh. T. Fadli